Tiroiditis Edit [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT Diagnosis dan Tata Laksana Tiroiditis



Oleh: Sara Vigorousty Loppies 030.09.223



Pembimbing: dr. Soebijanto Sp.PD, MM, KGEH, FINASIM



FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA November 2013 1



BAB I Pendahuluan



Istilah tiroiditis mencakup segolongan kelainan yang ditandai dengan adanya inflamasi tiroid. Termasuk di dalamnya keadaan yang timbul mendadak dengan disertai rasa sakit yang hebat pada tiroid (misalnya subacute granulomatous thyroiditis dan infectious thyroiditis) dan keadaan dimana secara klinis tidak ada inflamasi dan manifestasi penyakitnya terutama dengan adanya disfungsi tiroid atau pembesaran kelenjar tiroid (misalnya subacute lymphocytic painless thyroiditis).1 Pada golongan tiroiditis subakut pola perubahan fungsi tiroid biasanya dimulai dengan hipertiroid diikuti dengan hipotiroid dan akhirnya kembali eutiroid. Hipotiroid terjadi karena kerusakan sel sel folikel tiroid dan pemecahan timbunan tiroglobulin, menimbulkan pelepasan yang tidak terkendali dari T3 dan T4. Hipertiroid ini berlangsung sampai timbunan T3 dan T4 habis. Sintesis hormon yang baru terhenti tidak hanya karena kerusakan sel sel folikel tiroid tapi juga karena penurunan TSH akibat kenaikan T3 dan T4. Hipotiroid yang terjadi biasanya sementara. Bila inflamasi mereda, sel sel folikel tiroid akan regenerasi, sintesis dan sekresi hormone akan pulih kembali. 1



2



BAB II PEMBAHASAN



I.



DEFINISI 2 Tiroiditis adalah istilah umum yang digunakan menunjuk pada inflamasi dari kelenjar tiroid. Tiroiditis sendiri dapat menyebabkan peningkatan ataupun penurunan kadar hormon tiroid di darah. Biasanya penyakit ini disebabkan oleh autoimun tapi dapat juga disebabkan oleh infeksi. Hasil pemeriksaan laboratorium pada tiroiditis beragam sesuai dengan tipenya. Contohnya pada kasus subakut tiroiditis, inflamasi yang terjadi akan menyebabkan kerusakan dari folikel tiroid dan pengeluaran hormon tiroid ke darah sehingga akan terjadi tirotoksikosis, yang kemudian akan diikuti oleh fase hipotiroid seiring dengan perjalanan penyakit.3 Di lain kasus misalnya pada Tiroiditis Hashimoto, tirotoksikosis jarang terjadi, yang sering terjadi adalah penurunan hormon tiroid akibat penghancuran kelenjar tiroid sehingga kelenjar tiroid tidak dapat memproduksi jumlah hormon yang cukup. Selain kedua tipe tersebut, terdapat beberapa variasi lain dari tiroiditis yang akan dibahas dalam penjelasan selanjutnya.



II.



KLASIFIKASI 1 Tiroiditis dapat dibagi berdasarkan etiologi, patologi atau penampilan klinisnya. Penampilan klinis dapat berupa perjalanan penyakit dan ada tidaknya rasa sakit pada tiroid. Ada tidaknya rasa sakit ini penting karena merupakan pertimbangan utama untuk menegakkan diagnosis. Berdasarkan perjalanan penyakit dan ada tidaknya rasa sakit tiroiditis dapat dibagi atas:



3



 Tiroiditis akut dan disertai rasa sakit a. Toroiditis infeksiosa akut / tiroiditis supurativa b. Tiroiditis oleh karena radiasi c. Tiroiditis traumatika  Tiroiditis subakut a. Yang disertai rasa sakit : Tiroiditis granulomatosa / Tiroiditis non supurativa / Tiroiditis de Quervain b. Yang tidak disertai rasa sakit : Tiroiditis limfositik subakut / Tiroiditis post partum / Tiroiditis oleh karena obat obatan  Tiroiditis kronis a. Tiroiditis Hashimoto b. Tiroiditis Riedel c. Tiroiditis infeksiosa kronik oleh karena mikrobakteri, jamur dan sebagainya



III. KLINIS DAN PERUBAHAN BIOKEMIKAL Tiroiditis dapat menyebabkan perubahan jumlah hormon sehingga terjadi tirotoksikosis, hipotiroid, ataupun keduanya. 2 Tirotoksikosis2 Pada tiroiditis limfositik subakut, tiroiditis postpartum, dan tiroiditis de’Quervain, destruksi dari tiroid akan menyebabkan tirotoksikosis dimana terjadi pengeluaran hormon tiroid oleh kelenjar yang rusak. Seiring dengan jumlah penyimpanan hormon yang semakin sedikit, maka akan terjadi eutiroid,



4



dan kemudian hipotiroid. Perubahan biokemikal pertama yang terjadi sebelum onset tirotoksikosis adalah peningkatan konsentrasi serum tiroglobulin. Pada bentuk yang lain dari tirotoksikosis dapat terjadi penekanan hormon TSH, konsentrasi T3 T4 baik total maupun bebas meningkat. Biasanya kadar T4 akan lebih tinggi dari kadar T3. Tanda dan gejala tirotoksikosis yang timbul pada tiroiditis biasanya tidak terlalu parah. Hipotiroid2 Fase hipotiroid disebabkan oleh deplesi gradual dari penyimpanan hormon tiroid. Walaupun biasanya keadaan hipotiroid kronik biasanya dihubungkan dengan tiroiditis Hashimoto, semua tipe dari tiroiditis dapat berlanjut menjadi hipotiroid yang permanen. Hal ini biasanya terjadi pda pasien dengan konsentrasi antibodi tiroid serum yang tinggi atau pada pasien dengan fase hipotiroid lebih parah dari umumnya. Kombinasi dari peningkatan konsentrasi TSH serum dan T3 T4 bebas yang normal disebut “hipotiroid subklinis”, atau “gagal tiroid ringan”. Seiring dengan perjalanan penyakit, maka konsentrasi T4 serum akan menurun. Keadaan dimana terjadi peningkatan kadar TSH disertai dengan konsentrasi T4 serum yang rendah disebut “overt hypothyroidsm”. Awalnya konsentrasi T3 tidak akan menurun arena kadar TSH yang tinggi akan menstimulasi pengeluaran T3. Pada saat konsentrasi T3 serum turun, maka gejala dan tanda hipotroid mulai muncul.



IV. TIPE TIROIDITIS 1



1. Tiroiditis Akut Tiroiditis Infeksiosa Akut (bedah) Tiroiditis infeksiosa akut sinonim dengan tiroiditis supuratif akut yang mana penyakit tiroid yang jarang berlaku. Penyebab utama terjadinya



5



tiroiditis akut ini adalah karena adanya infeksi dari fungi dan bakteri, yang mana terjadi melalui penyebaran hematogen atau lewat fistula dari sinus piriformis yang berdekatan dengan



laring, yang merupakan anomaly



konginetal yang sering terjadi pada anak-anak. Sebetulnya kelenjar tiroid sendiri resisten terhadap infeksi karena beberapa hal diantaranya berkapsul, mengandung iodum tinggi yang mana berfungsi sebagai baktericidal, kaya suplai darah dan saluran limfe untuk drainase. 4,5 Tiroiditis infeksiosa sangat jarang terjadi kecuali pada keadaan-kedaan tertentu seperti mempunyai penyakit tiroid, atau orang-orang yang mempunyai supresi sistem imun seperti pada orang tua, pasien yang menghidap tuberculosis atau penderita AIDS. Pasien tiroiditis supurativa bakteri ini biasanya mengeluh rasa sakit yang hebat pada kelenjar tiroid, panas,



menggigil, disfagia, disfoni, sakit leher depan, nyeri tekan, ada



fluktuasi dan eritema. Sering terjadi pembesaran kelenjar tiroid yang bersifat unilateral dan didapatkan tanda-tanda radang. Fungsional tiroid umumnya normal tetapi bisa juga terjadi hipotiroid dan hipertiroid yang



ringan.



Jumlah leukosit dan laju endap darah meningkat. Pada pemeriksaan USG leher, didapatkan hiperfusi apabila adanya abses pada daerah tiroid yang mengalami inflamasi. Pada skintigrafi didapatkan pada daerah supuratif tidak menyerap iodium radioaktif (dingin). Pasien harus dilakukan aspirasi dan drainase dari daerah supuratif dan diberikan antibiotic yang sesuai. 6



6



Diagnosis banding untuk tiroiditis akut ini mencakup tiroiditis subakut de Quervain’s, dan hemorragik pada nodul tiroid. Pada pemeriksaan USG leher, pada tiroiditis supuratif akut akan tampak daerah yang mengalami hiperfusi ( mengandungi abses)



sedangkan pada tiroiditis subakut de Quervain’s



didapatkan mikroabses dan



tidak didapatkan daerah yang hiperfusi.



Computed Tomography (CT) dan/atau oesografi kotras bisa dilakukan untuk memperoleh diagnosis yang lebih rinci dan membantu dalam penanganan operatif jika didapatkan infeksi pada fistula sinus piriformis. (6,7)



Gambar 1 Pasien perempuan umur 31 tahun dengan tiroiditis infeksiosa akut. Tampak pembesaran kelenjar tiroid yang bersifat unilateral



Gambar 2 USG tiroid pada pasien dengan tiroiditis infeksiosa akut. Tampak daerah yang mengalami hiperfusi dan adanya cairan (diduga abses) pada daerah lobus kiri.



7



Tiroiditis Akut Karena Radiasi Tiroiditis akibat radiasi sering terjadi pada pasien-pasien yang post radioterapi, misalnya pada penyakit graves yang diterapi dengan iodium radioaktif sering mengalami kesakitan dan nyeri tekan pada tiroid 5-10 hari kemudian. Destruksi pada folikel akibat dari sinar dari radiasi menyebabkan terjadinya hipertiroidisme yang bersifat sementara dan diikuti terjadinya hipotiroidisme. Gejala ini biasanya ringan dan menghilang sendiri dalam satu minggu. (1,8)



Tiroiditis Akut Karena Trauma Manipulasi kelenjar tiroid dengan memijat-mijat terlalu keras pada pemeriksaan dokter atau oleh pasien sendiri dapat menimbulkan tiroiditis akut yang disertai rasa sakit dan mungkin dapat timbul tirotoksikosis. Trauma ini dapat juga terjadi akibat pemakaian sabuk pengaman mobil yang teralu kencang.



2. Tiroiditis Subakut 1 Tiroiditis subakut dapat dibagi atas ada tidaknya rasa sakit.



Tiroiditis Subakut yang Disertai Rasa Sakit (Painful Subacute Thyroiditis) Tiroiditis ini dikenal dengam beberapa nama diantaranya tiroiditis granulomatosa subakut, tiroiditis nonsupurativa subakut, tiroiditis de quervain, tiroiditis sel raksasa, subacute painful thyroiditis. Tiroiditis granulomatosa subakut (TGS) penyebab yang pasti belum jelas, diduga penyebabnya adalah infeksi virus atau proses inflamasi post viral infection. Kebanyakan pasien memiliki riwayat infeksi saluran pernapasan bagian atas beberapa saat sebelum terjadinya tiroiditis. Kejadian tiroiditis ini juga berkaitan dengan adanya infeksi virus Coxsackie, parotitis epidemika, campak, adenovirus. Antibody terhadap virus juga sering didapatkan tetapi keadaan ini dapat merupakan nonspecific



8



anamnestic response. Tidak didapatkan adanya inclution body pada jaringan tiroid. Tampaknya proses autoimun tidak berperan pada terjadinya TGS ini. TGS berkaitan dengan HLA-B35. Kemungkinan bahwa sebelumnya terjadi infeksi virus subklinis yang akan menyebabkan terbentuknya antigen dari jaringan tiroid yang rusak akibat virus. Kompleks antigen HLA-B35 mengaktifkan cytotoxic T lymphocytes yang akan merusak sel folikel tiroid. Berbeda dengan penyakit tiroid autoimun, pada TGS reaksi imun tersebut tidak berlangsung terus, proses ini hanya sementara. Inflamasi



TGS



akan



mengakibatkan kerusakan folikel



tiroid dan



mengaktifkan proteolisis dari timbunan tiroglobulin. Akibatnya terjadi pelepasan hormone T3 dan T4 yang tidak terkendali di dalam sirkulasi dan terjadilah hipertiroid. Hipertiroid ini akan berakhir kalau timbunan hormone telah habis karena sintesis hormone yang baru tidak terjadi karena kerusakan folikel tiroid maupun penurunan TSH akibat hipertiroid tersebut. Pada keadaan ini dapat diikuti terjadinya hipotiroid. Bila radangnya sembuh, terjadi perbaikan folikel tiroid, sintesis hormone kembali normal. Gambaran patologi anatomi yang karateristik dari folikel tiroid adalah adanya inti tengah koloid yang dikelilingi oleh sel raksasa yang berinti banyak, lesi ini kemudian berkembang menjadi granuloma. Didamping itu didapatkan infiltrasi neutrofil, limfosit, histiosit. Disruption dan kolaps folikel tiroid, nekrosis sel tiroid. Awitan dari TGS biasanya pelan pelan tapi kadang mendadak. Rasa sakit berupa keluhan yang selalu didapatkan dan mendorong pasien berobat. Rasa sakit dapat terbatas pada kelenjar tiroid atau menjalar sampai bagian leher depan, telinga, rahang, tenggorokan yang terkadang menyebabkan pasien ke THT. Biasanya terjadi demam, malaise, anoreksia, mialgia. Kelenjar tiroid membesar difus dan sakit pada palpasi. Separuh pasien menunjukan klinis gejala hipertiroid, tetapi gejala rasa sakit lebih mendominasi. Inflamasi dan hipertiroiditis bersifat sementara, berlangsung sekitar 2-6 minggu, kemudian diikuti terjadinya hipotiroid yang asimtomatik yang berlangsung 2-8 minggu



9



dan diikuti penyembuhan. Pada 20% pasien dapat terjadi kekambuhan dalam beberapa bulan kemudian. Walaupun gejala klinis hipertiroid hanya terjadi pada separuh pasien TGS, tetapi pemerikasaan lab hampir selalu didapatkan T4 dan T3 meningkat serta terdapat penurunan dari TSH. Uptake iodium radioaktif rendah, kadar tiroglobulin serum tinggi, anemia ringan, leukositosis dan LED meningkat. Biasanya tidak didiapatkan peningkatan antibody terhadap tiroid peroksidase (TPO) maupun tiroglobulin. Pada dasarnya diagnosis TGS cukup diagnosis klinis. Adanya pembesaran kelenjar tiroid difus disertai adanya rasa sakit dan nyeri pada palpasi yang menjalar ke leher depan cukup untuk menduga adanya TGS. Gejala hipertiroid belum ada, tetapi T4 selalu naik dan TSH menurun. Meningkatnya LED memperkuat diagnosis TGS. Ultrasonografi, RAIU, AJH dapat membantu memastikan diagnosis. Diferensial diagnosis adalah tiroiditis infeksiosa akut dan perdarahan pada nodul. Kedua keadaan tersebut menimbulkan rasa sakit pada tiroid dan nyeri tekan tetapi kelenjar tiroid yang sakit biasanya unilateral dan fungsi tiroid normal. Terapi TGS bersifat simtomatis. Rasa sakit dan inflamasi diberikan NSAID atau aspirin. Pada keadaan yang berat dapat diberikan kortikosteroid, misalnya prednisolon 40 mg perhari. Tirotoksikosis yang timbul biasanya tidak berat, bila berat diberikan obat beta bloker misalnya propanolol 40-120 mg/hari atau atenolol 25-50 mg/hari. Pemberian PTU atau metimasol tidak diperlukan karena tidak terjadi peningkatan sinteis atau sekresi hormone. Pada perjalanan penyakitnya kadang kadang dapat timbul hipotiroid yang ringan yang berlangsung tidak lama, karenanya tidak memerlukan pengobatan. Bila hipertiroidnya berat dapat diberikan L-tiroksin 50-100 mcg perhari selama 6-8 minggu dan tiroksin kemudian dihentikan.



Tiroditis Subakut yang Tidak Disertai Rasa Sakit (Painless Subacute Thyroiditis)



10



Ada tiga penyakit pada golongan ini, yaitu tiroiditis limfositik subakut, tiroiditis post partum, tiroiditis karena obat. a. Tiroiditis Limfositik Subakut Tanpa Rasa Sakit (TLSTRS) TLSTRS merupakan varian dari tiroiditis autoimun kronis diduga merupakan bagian dari spectrum penyakit tiroid autoimun. Banyak pasien TLSTRS mempunyai konsentrasi antibody yang tinggi baik terhadap tiroid peroksidase maupun tiroglobulin. Disamping itu banyak didapatkan riwayat keluarga yang menderita penyakit tiroid autoimun. Beberpa pasien berkembang menjadi tiroiditis autoimun kronis beberapa tahun kemudian. TLSTRS berkaitan dengan HLA haplotipe yang spesifik yaitu HLA-DR3 yang menunjukan adanya inherited suscepribility walaupun asosiasinya lemah. Faktor yang diduga sebagai pencetus TLSTRS antara lain intake iodium yang berlebihan dan sitokin. Suatu sindrom yang menyerupai TLSTRS dapat terjadi pada pasien yang mendapat terapi amiodaron yang kaya iodium, interferon alfa, interleukin 2 dan litium. Keadaan ini menunjukan bahwa pelepasan sitokin sebagai akibat dari kerusakan jaringan atau inflamasi mungkin sebagai awal dari proses terjadinya TLSTRS. Inflamasi yang terjadi pada TLSTRS akan menyebabkan kerusakan folikel tiroid dan mengaktifkan proteolisis tiroglobulin yang berakibat pelepasan hormone T3 dan T4 ke dalam sirkulasi dan terjadilah hipertiroid. Hipertiroid ini terjadi sampai timbuan T3 dan T4 habis. Oleh karena tidak terjadi pembentukan hormon baru. Keadaan ini akan diikuti dengan terjadinya hipotiroid yang diperberat oleh adanya penurunan dari TSH pada saat hipertiroid. Bila inflamasi mereda, sel folikel akan regenerasi maka pembuatan hormone tiroid akan pulih kembali. Pada biopsy kelenjar tiroid didapatkan adanya infiltrasi limfosit, kadang kadang terdapat germinal centre dan sedikit fibrosis. Dibandingakan dengan tiroiditis autoimun kronis gambaran PA tersebut jauh lebih ringan. Manifestasi klinis dari TLSTRS adalah terjadinya hipertiroid yang timbul 12 minggu dan berakhir 2-8 minggu. Gejala hipertiroidnya biasanya ringan.



11



Kelenjar tiroid membesar ringan, difus dan biasanya tidak disertai dengan rasa sakit. Gejala hipertiroid ini akan diikuti dengan adanya perbaikan atau terjadinya hipotiroid selama 2-8 minggu yang biasanya juga ringan atau malah asimtomatik dan diikuti perbaikan. Kadang-kadang dapat diikuti terjadinya tiroiditis autoimun kronis dnegan hipotiroid permanent 20-50%. Pada saat terjadi hipertiroid terjadi peningkatan kadar T4 dan T3 dan penurunan TSH. Kadang kadang hanya terjadi penurunan TSH saja yang menunjukan adanya hipertiroid subklinis. Pada pasien yang mengalami hipotiroid kadar T3 dan T4 turun disertai dengan peningkatan dari TSH. Kadang kadang ditemui hanya peningkatan TSH saja yang menunjukan hipotiroid subklinis. Antibody terhadap tiroid yaitu tiroid peroksidase dan antitiroglobulin menigkat pada 50% pasien saat terdiagnosis TLSTRS. Titer antibody ini akan menurun (berbeda pada tiroiditis post partum yang persisiten). Jumlah leukosit biasanya normal dan laju endap darah hanya sedikit meningkat. Biasanya pasien TLSTRS tidak memerlukan pengobatan baik pada fase hipotiroid maupun pada hipertiroid karena gejalanya ringan. Bila gejala hipertiroid berat perlu diberikan beta bloker propanolol (40-120 mg/hari) atau atenolol (25-50 mg.hari). pemberian PTU dan metimasol tidak perlu karena tidak ada peningkatan dari sintesis hormone. Pemberian prednisone dapat memperpendek masa hipertiroid. Kadang kadang gejala hipotiroid cukup berat dan perlu diberikan L- tiroksin (50-100 mcg/hari) selama 8- 12 minggu, yang penting pada pasein ini perlu diapantau kemungkinan terjadi tiroiditis autoimun kronik.



b. Postpartum Tiroiditis Tiroiditis ini terjadi dalam kurun waktu 1 tahun pasca persalinan. Dapat juga terjadi sesudah abortus spontan atau yang dibuat. Gambarannya menyerupai subacute lymphocytes painless thyroiditis, perbedaanya pada PPT lebih bervariasi dan selalu terjadi sesudah persalinan.



12



Seperti halnya pada TLSTRS, PPT diduga merupakan varian dari penyakit tiroid autoimun kronis. Lima puluh persen wanita yang titer antibodinya terhadap peroksidase meningkat akan berkembang menjadi PPT sesudah persalinan. Tiga puluh persen pasien PPT menunjukan gambaran klinis yang berurutan yaitu hipertiroid yang timbul 1-4 bulan sesudah persalinan yang berlangsung 28 minggu, diikuti hipotiroid yang juga berlangsung 2-8 minggu dan akhirnya eutiroid. Kadang kadang pada 20%-40% gejala yang muncul hanya hipertiroid dan 40%-50% hanya muncul hipotiroid saja. Hipertiroid dan hipotiroid yang muncul biaanya ringan. Pada 20%-50% PPT dapat terjadi hipotirod yang permanen, keadaan ini berhubungan dengan tingginya titer antibody terhadap peroksidase. 70% pasien dapat kambuh pada kehamilan berikutnya. Kelenjar tiroid pada PPT biasanya sedikit membesar, difus dan tidak terasa sakit pada hipertiroid. PPT harus dibedakan dengan penyakit graves yang bisa juga terjadi seusai persainan. Bedanya pada PPT gejala hipertiroidnya ringan dan tidak ada oftalmopati, pembesaran tiroidnya juga minimal. Bila sulit dibedakan dapat ditunggu 3-4 minggu, biasanya pada penyakit graves gejalanya akan memberat. Dapat juga dilakukan RAIU diamana pada penyakit graves akan meningkat sedangkan pada PPT akan rendah. Pengobatan didasarkan atas gejala klinis dan bukan dari hasil laboratorium. Pemberian PTU dan metimasol tidak doanjurkan karena tidak terjadi peningkatan sintesis hormone. Bila gejala hipertiroid nyata dapat diberikan propanolol (40-120 mg/hari) atau atenolol (25-50 mg/hari) sampai gejala klinis membaik. Bila gejala hipotiroid cukup berat dan perlu diberikan L- tiroksin (50-100 mcg/hari) selama 8- 12 minggu. Pasien PPT perlu diberitahukan atas kemungkinan terjadi hipotiroid atau struma di kemudian hari, karenanya pasien diberitahu gejala awa hipotiroid. Pasien juga diberitahukan bila hamil lagi PPT ini dapat kambuh.



13



c. Tiroiditis Karena Obat Beberapa obat dapat menimbulkan tiroiditis yang tidak disertai rasa sakit diantaranya interferon alfa, interleukin 2, amiodaraon dan litium. Pasien hepatitis B dan C yang mendapat interferon alfa 1-5% dapat mengalami disfungsi tiroid, baik hipotiroid maupun hipertiroid. Terjadinya disfungsi berkaitan dengan adanya titer antibody tiroid yang tinggi. Amiodaron obat antiaritmia mengandung 35% iodium. Amiodaron dapat menimbulkan hipertiroid maupun hipotiroid. Hipertiroid yang terjadi dapat karena terjadinya tiroiditis tiroidnya normal atau meningkatnya sintesis hormone yang biasanya terjadi pada pasien struma nodusa atau penyakit graves yang laten. Tiroiditis yang terjadi menyerupai subacute lymphocytic painless tiroiditis. Hipotiroid yang terjadi merupakan efek dari kelebihan iodium.



3. Tiroidits Kronis 1 Tiroiditis Hashimoto Penyakit ini sering disebut sebagai tiroiditis autoimun kronis, merupakan penyebab utama hipotiroid di daerah yang iodiumnya cukup. Karakter klinisnya berupa kegagalan tiroid yang terjadi pelan pelan, adanya struma atau kedua duanya yang terjadi akibat kerusakan tiroid yang diperantarai autoimun. Hampir semua pasien mempunyai titer antibody tiroid yang tinggi, infiltrasi limfositik termasuk sel B dan sel T dan apoptosis sel folikel tiroid. Penyebab tiroiditis hashimoto diduga kombinasi dari faktor genetic dan lingkungan. Suseptibilitas gene yang dikenal adalah HLA dan CTLA-4. Mekanisme imunopatogenetik terjadi karena adanya ekspresi HLA antigen sel tiroid yang menyebabkan presentasi langsung dari antigen tiroid pada system imun. Adanya hubungan familial dengan penyakit graves dan penyakit graves sering terlibat pada tiroiditis hashimoto atau sebaliknya. Ada 2 bentuk tiroiditis hashimoto yaitu bentuk goitrus 90% dimana terjadi pembesaran kelenjar tiroid dan bentuk atrofi 10% dimana kelenjar tiroidnya



14



mengecil. Tiroiditis hashimoto umumnya terdapat pada wanita dengan resiko wanita dan laki-laki 7:1. Pada perjalanan tiroiditis hashimoto terjadi hipertiroid oleh karena proses inflamasi, tetapi kemudian diikuti dengan penurunan fungsi tiroid yang terjadi pelan-pelan. Sekali muali timbul hipotiroid maka gejala ini akan menetap. Gambaran PA nya berupa infiltrasi limfosit yang profus, lymphoid germinal centers dan destruksi sel-sel folikel tiroid. Fibrosis dan area hiperplasi sel folikuler oleh karena TSH yang meningkat akan terlihat pada tiroiditis hashimoto yang berat. Ada 4 antigen yang berperan pada tiroiditis hashimoto yaitu tiroglobulin, tiroid peroksidase, reseptor TSH dan sodium iodine symporter. Hampir semua pasien tiroiditis hashimoto mempunyai antibody terhadap tiroglobulin dan tiroid peroksidase dengan konsentrasi yang tinggi. Pada penyakit tiroid yang lain dan pada orang normal kadang-kadang didapatkan juga antibody ini namun jumlahnya tidak terlalu tinggi. Antibody terhadap reseptor TSH bersifat stimulasi atau memblok reseptor TSH. Pada penyakit graves antibody yang bersifat memacu lebih kuat dan karenanya menimbulkan hipertiroid, sedangkan pada tiroiditis hashimoto antibody yang bersifat memblok lebih kuat dan karenanya timbul hipotiroid. Antibody pada reseptor TSH ini lebih spesifik pada penyakit graves dan tiroiditis hashimoto. Pengobatan ditujukan pada hipotiroid dan pembesaran tiroid. Levotiroksin diberikan sampai kadar TSH normal. Pada pasien dengan struma baik hipotiroid maupun eutiroid pemberian levotiroksin selama 6 bulan dapat mengecilkan struma 30%. Pada pasien disertai nodul perlu dilakukan AJH untuk memastikan ada tidaknya limfoma atau karsinoma. Walaupun jarang resiko limfoma tiroid ini meningkat pada tiroiditis hashimoto.



Tiroiditis Riedel



15



Tiroiditis riedel merupakan penyakit yang terbatas pada kelenjar tiroid saja atau dapat merupakan bagian dari penyakit infiltratis umum suatu multifocal fibrosklerosis yang dapat mengenai retroperitoneal, mediastinum, ruang retroorbital dan traktus billiaris. Kelenjar tiroid membesar secara progresif dan tidak disertai rasa sakit, keras, bilateral. Proses fibrotic ini berkaitan dengan adanya inflamasi sel mononuclear yang menjorok melewati tiroid sampai ke jaringan lunak peritiroid. Fibrosis peritiroidal ini dapat mengenai kelenjar paratiroid yang menyebabkan hipoparatiroid, n. laryngeus rekuren yang menyebabkan suara serak, ke trakea menyebabkan kompresi, juga ke mediastinum dan dinding depan dada. Penyebab Tiroiditis riedel belum jelas, diduga proses autoimun, mengingat adanya infiltrasi mononuclear dan vaskulitis desertai danya peningkatan titer antibody terhadap tiroid. Walaupun demikian, kemungkinan peningkatan antibody tersebut karena lepasnya antigen yang terjadi akibat kerusakan jaringan tiroid. Tampaknya fibrosklerosis multifolak yang terjadi adalah kelainan fibrotic primer dimana proliferasi fibroblast terpacu oleh sitokin yang berasal dari sel limfosit B dan T. Tiroiditis riedel jarang dijumpai hanya 0,05% dari seluruh operasi tiroid. Wanita lebih sering terkena dari pada laki-laki 4:1, dengan umur 30-50 tahun. Pembesaran tiroid yang terjadi pelan-pelan dan tanpa rasa sakit. Pembesaran ini menekan leher depan mengakibatkan terjadinya disfagia, suara serak, sesak napas kadang-kadang hipoparatiroid. Hipotiroid sendiri terjadi 30-40% pasien, walaupun tidak hipotiroid pasien sering mengeluh malaise umum dan kelelahan. Kelenjar tiroid yang membesar bisa kecil atau besar, biasanya keldua lobus walaupun tidak simetris. Kelenjar ini teraba seperti batu dan melekat pada jaringan otot sekitarnya dan keadaan ini menyebabkan tiroiditis riedel tidak bergerak waktu menelan. kadang-kadang didapatkan pembesaran kelenjar limfe sekitarnya. Semua keadaan tersebut menyebabkan kesan suatu karsinoma. Kebanyakan pasien tiroiditis riedel kadar T3 T4 dan TSH normal, sekitar 3040% didapatkan hipotiroid subklinis atau hipotiroid nyata. Pada 2/3 pasien



16



didapatkan peningkatan antibody terhadap tiroid. Perlu juga diperiksa kadar kalsium dan fosfot untuk mengetahui kemungkinan adanya hipoparatiroid. Skintigrafi tiroid menunjukan gambaran yang heterogen atau adanya uptake yang rendah. Secara mikroskopis gambaran tiroiditis riedel adalah keras, putih, avaskular. Secara histologi didapatkan hyalinized fibrosis tissue dengan sedikit sel limfosit, plasma dan eosinofil, disertai tidak adanya folikel tiroid. Jaringan fibrosis tersebut menembus ke jaringan sekitarnya. Fibrosis tiroid ini juga terdapat pada tiroiditis riedel atau Ca papilare tetapi tidak menembus jaringan disekitarnya. Tiroiditis riedel yang tidak diobati biasanya pelan pelan progresif kadang kadang stabil atau malah regresi. Pengobatan ditujukan pada hipotiroid yang terjadi dan penekanan yang terjadi karena fibrosklerosis terutama pada trakea dan esophagus. Operasi terbatas pada obstruksi saja karena reseksi yang luas sulit karena medan yang sulit dan resiko merusak struktur sekitarnya. Pemberian glukokortikoid dan tamoksifen dapat diberikan walaupun belum banyak dilakukan karena kasusnya jarang.



Tiroiditis Infeksiosa Kronis Penyakit



ini



jarang



ditemukan.



Penyebabnya



diantaranya



jamur,



mikrobakteri, parasit, sifilis. Tiroiditis karena mikroba tuberculosis hanya sekitar 19 kasus yang pernah dilaporkan. Tiroiditis TBC biasanya dikaitkan dengan TB milier dan gejalanya berlangsung selama beberapa bulan. Rasa sakit dan demam jarang didapatkan.



17



Berikut adalah karakteristik dari tipe-tipe tiroiditis:2



Tabel berikut merupakan ringkasan dari semua tipe tiroiditis: 9



18



V. PENATALAKSANAAN Secara umum penatalaksanaan tiroiditis diberikan sesuai dengan tipe dan presentasi klinisnya. 1 1.



Tiroiditis Akut Tiroiditis akut membutuhkan penanganan cepat dengan menggunakan antibiotik parentreal sebelum pembentukan abses dimulai. Untuk terapi awal, dapat diberikan penisilin atau ampisilin untuk kokus gram postifi, dan kuman anaerob yang biasanya menyebabkan tiroiditis. Pada pasien yang alergi terhadap penisilin, dapat digunakan antibiotik golongan sefalosporin. 10



2.



Tiroiditis Subakut Tiroiditis subakut merupakan self-limiting disease. Tujuan terapi adalah untuk memperbaikan rasa tidak nyaman dan mengontrol fungsi tiroid yang abnormal. Rasa tidak nyaman biasanya dapat diperbaiki dengan pemberian aspirin dosis rendah. Pada beberapa kasus (jarang), pemberian aspirin tidak dapat mengatasi rasa nyeri, sehingga dapat diberikan predsone selama seminggu, kemudian dilakukan tappering off. 10 Propanolol dapat digunakan untuk mengurangi tanda dan gejala dari hipertiroid. Dosis rendah levotiroksin dapat diberikan untuk pasien dengan hipotiroid. 10



3.



Tiroiditis Kronis Autoimun Pengobatan diberikan tergantung dari hasil laboratorium fungsi tiroid. Pasien dengan gejala hipotiroid yang nyata, dengan TSH tingi dan FT4 yang rendah perlu diberikan levotiroksin. Dosis yang diberikan sesuai dengan umur. Selama pengobatan, kadar TSH tetap perlu dimonitor. 10 Pengobatan pada hipotiroid subklinis pada pasien dengan TSH meningkat dan FT4 normal masih kontroversi. Penggunaan tiroksin pada pasien dengan goiter akibat tiroiditis autoimun dengan kadar TSh dan FT4 normal juga masih kontroversial. Beberapa studi menunjukkan terjadinya pengecilan ukuran kelenjar, namun studi yang lain 19



mengatakan bahwa pengecilan ukuran kelencar hanya terjadi pada anak-anak dengan kadar TSH yang meningkat. Sesuai dengan presentasi klinisnya maka pengobatan yang diberikan pada tiroiditis adalah sebagai berikut: 9 1. Tirotoksikosis Pada pasien yang muncul dengan gejala tirotoksikosis dapat diberikan beta bloker untuk mengatasi palpitasi dan gejala tremor yang muncul. Saat terjadi perbaikan gejala, maka medikasi yang diberikan dapat diturunkan secara perlahan mengingat fase tirotoksis hanya terjadi sementara. Pengobatan antitiroid tidak diberikan karena pada tiroiditis tidak terjadi over-reaktif dari kelenjar tiroidnya sendiri. Beta-Blocker 11,12 Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat bermanfaat



untuk



mengendalikan



manifestasi



klinis



tirotoksikosis



(hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat -meskipun sedikit- menurunkan kadar T-3 melalui penghambatannya terhadap konversi T-4 ke T-3. Dosis awal propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari. Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta dengan durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis awal atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek serupa dengan propranolol. Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek samping yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan depresi, dan yang lebih jarang terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis, dan trombositopenia. Obat golongan penyekat beta ini dikontraindikasikan pada pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung yang jelas disebabkan oleh fibrilasi atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan



20



pada keadaan bradiaritmia, fenomena Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat monoamin oksidase. 2. Hipotiroid Tata laksana hipotiroid (Thyroid Hormone Replacement) diberikan khususnya pada tiroiditis Hashimoto. Terapi ini juga dapat diberikan pada jenis tiroiditis yang lain dimana terjadi hipotiroid dengan gejala yang lebih berat dari biasanya. Bila gejala hipotiroid yang muncul ringan, maka terapi pengganti hormon tidak perlu diberikan. 9 Pasien dengan tiroiditis Hashimoto dan goiter yang besar, levotiroksin dosis supresi TSH dapat diberikan selama 6 bulan untuk menurunkan ukuran goiter. Pada kebanyakan pasien, ukurannya akan menurun sekitar 30% setelah pengobatan 6 bulan. Dosis pengganti dapat dilanjutkan jika ukuran goiter tidak menurun setelah pemberian levotiroksin dosis supresi. 2 Levothyroxine (Synthroid, Levoxyl, Levothroid, Unithroid) Dalam bentuk aktif, mempengaruhi pertumbuhan dan pematangan jaringan. Terlibat dalam pertumbuhan normal, metabolisme, dan perkembangan. Membuat tingkat T3 dan T4 stabil. Diberikan sebagai dosis tunggal di pagi hari saat perut kosong. Dapat diberikan PO / IV / IM. Memiliki waktu paruh yang panjang (7-10 hari), dan dosis parenteral jarang diperlukan (kecuali jika obat oral tidak tersedia, pasien sedang dalam pemberian makanan enteral secara kontinu misalnya melalui NGT , atau dalam keadaan darurat, seperti koma myxedema). Dosis subterapeutik awal dianjurkan untuk menghindari stres pada perubahan metabolic yang cepat pada pasien usia lanjut dan pada mereka yang memiliki penyakit arteri koroner atau PPOK berat. 13 Dewasa 1,6 µg/kg/hari per oral; dosis yang lebih tinggi mungkin diperlukan dalam kehamilan; pada lanjut usia dan orang-orang dengan penyakit koroner atau PPOK berat, mulai dari 25-50 µg/hari per oral, meningkat 25-50 µg/hari setiap 4-8 minggu sampai respon yang dikehendaki tercapai.Maintenance: 50-200 µg per oral setiap pagi.5



21



Hipotiroidisme subklinis: Jika diobati dosis awal L-T4 25-50µg/hari dapat digunakan dan dititrasi setiap 6-8wk untuk mencapai target TSH antara 0,3 dan 3 mIU/mL.5 Koma myxedema: 200-250 µg IV bolus, diikuti dengan 100 µg pada hari berikutnya dan kemudian 50 µg/hari per oral atau IV bersama dengan T3; menggunakan dosis lebih kecil pada pasien dengan penyakit jantung; pasien harus terlebih dulu menerima dosis stress steroid jika mereka memiliki insufisiensi adrenal primer atau sekunder yang beriringan.5,6,7 Anak Neonatus - 6 bulan



: 25-50 µg/hari PO



6-12 bulan



: 50-75 µg/hari PO



1-6 tahun



: 75-100 µg/hari PO



6-12 tahun



: 100-150 µg/hari PO



>12 tahun



: 150 µg/hari PO



Interaksi: Fenitoin dapat meningkatkan degradasi, agen antidiabetik, teofilin, adrenocorticoids, digoksin, dan antikoagulan, yang mungkin memerlukan penyesuaian dosis. Fenitoin iv dapat melepaskan hormon tiroid dari thyroglobulin; efek dari TCAs dan sympathomimetik dapat ditingkatkan; cholestyramine, sucralfate, zat besi dapat menurunkan absorpsi; estrogen dapat menurunkan respons terhadap terapi hormon tiroid pada pasien dengan kelenjar tiroid yang tidak berfungsi; aktivitas dari beberapa beta-blocker dapat menurun bila pasien dengan hipotiroidisme dikonversi menjadi stadium eutiroid; betablocker dapat menurunkan konversi T3 ke T4. Kontraindikasi : Hipersensitivitas, insufisiensi adrenal yang tidak dikoreksi; infark myocardial akut yang tidak diperparah oleh hipotiroidisme; tirotoksikosis yang tidak diobati.13 Perhatian : Pasien usia lanjut dan pasien dengan gagal ginjal, hipertensi, iskemia, angina, dan penyakit kardiovaskular lainnya; harus secara berkala dipantau status tiroidnya; karena risiko krisis adrenal, T4 tidak boleh diberikan



22



tanpa kortikosteroid pada setiap pasien yang diduga insufisiensi adrenal, baik primer atau sekunder.4,6 3.



Thyroidal Pain 9 Nyeri biasanya terjadi pada tiroiditis subaku, dan biasanya dapat diatasi dengan pemberian obat anti inflamasi ringan seperti aspirin maupun ibuprofen. Adakalanya nyeri yang dirasakan sangat hebat dan diperlukan terapi steroid seperti prednison.



23



BAB III Kesimpulan



Tiroiditis adalah inflamasi yang terjadi pada kelenjar tiroid yang dapat menyebabkan kelainan fungsi hormon yang bervariasi. Biasanya tiroiditisi disebabkan oleh autoimun, namun selain itu dapat juga disebabkan oleh infeksi. Berdasarkan perjalanan penyakit dan ada tidaknya rasa sakit, maka tiroiditis dibagi menjadi 3 golongan, tiroiditis akut, subakut, dan kronis. Gejalanya bervariasi tergantung kelainan yang disebabkan. Pemeriksaan penunjang yang bermakna untuk diagnosis tiroiditis antara lain fungsi tiroid, pemeriksaan antibodi tiroid, LED, radioactive iodine uptake (RAIU), dan apabila disebabkan oleh bakteri, dapat dilakukan fine needle aspiration biopsy (FNAB). Penatalaksanaan yang diberikan pun variatif sesuai dengan kelainan fungsi tiroid yang terjadi. Pada penderita tiroiditis dengan tiroroksikosis, dapat diberikan beta bloker untuk mengatasi gejala yang muncul. Pemberian obat-obatan anti tiroid tidak diberikan karena pada kasus tiroiditis, kelenjar tiroid tidak aktif, peningkatan hormon disebabkan oleh penghancuran sel folikel oleh autoantibodi. Untuk pasien dengan hipotiroid subklinis, tidak diperlukan subtitusi hormon, namun bila gejala hipotiroid yang muncul berat, dapat diberikan terapi pengganti hormon (levotiroksin).



24



Daftar Pustaka 1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 2016-21. 2. Pearce EN, Farwell AP, Braverman LE. Current Concepts-Thyroiditis. In: The New England Journal of Medicine. Pub: June 26th 2003 3. NHS.



Thyroiditis.



Available



in:



http://www.nhs.uk/Conditions/thyroiditis/Pages/Introduction.aspx.



Accessed



on November 23rd 2013 4. Guyton, Arthur C,Johan E Hall. Hormon metabolic tiroid. In: Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 11. Jakarta: ECG.2007 5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 1955-65. 6. Oertli D, Udelsman R. Tiroiditis. In: Surgery of the thyroid and parathyroid glands: Springer verlag berlin publisher;2007.p.207-23 7. Richard A, Edgar D. Physiology of thyroid. In: Endocrine Surgery. Landes Bioscience, Texas, 2000, p:1-9 8. Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI : Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002 : hal 9-18 9. American



Thyroid



Association.



Thyroiditis.



Available



in:



http://www.thyroid.org/what-is-thyroiditis/. Accessed on November 22nd 2013. 10. Hoffman RP. Thyroiditis Treatment & Management. Available in: http://emedicine.medscape.com/article/925249-treatment.



Accessed



on



November 25th 2013. 11. Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI : Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002 : hal 9-18



25



12. Subekti, I, Makalah Simposium Current Diagnostic and Treatment Pengelolaan Praktis Penyakit Graves, FKUI, Jakarta, 2001 : hal 1-5 13. Peleg RK, Efrati S, Benbassat C, Fygenzo M, Golik A. The effect of levothyroxine on arterial stiffness and lipid profile in patients with subclinical hypothyroidism. Thyroid. Aug 2008;18(8):825-30. Available



at



http://emedicine.medscape.com/article/122393. Accessed on November 23rd 2013.



26