Toponim Kota Malang
 9786237092230 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...

Table of contents :
BAGIAN I PENGANTAR 1
Latar Belakang 1
Metode 2
BAGIAN II EKOLOGI DAN DEMOGRAFI KOTA 7
Tanah Dan Vegetasi 7
Penduduk 11
BAGIAN III TOPONIM KOTA MALANG 19
Akar Nama Kampung 19
Asal-Usul Nama Kampung Di Jawa 26
Asal-Usul Nama Kampung Di Malang 40
KECAMATAN KLOJEN 45
Kelurahan Rampal Celaket 46
1. Klerek 47
2. Celaket 51
Kelurahan Oro-Oro Dowo 56
1. Oro-Oro Dowo Ledok 56
Kelurahan Saman 57
1. Tugu 58
2. Sumber Waras 60
3. Klitik 61
Kelurahan Penanggungan (Kampung Gerabah) 62
1. Betek 63
Kelurahan Gadingkasri 66
1. Gading 66
2. Klampok Kasri 68
Kelurahan Bareng 69
Kelurahan Kasin 70
1. Arab 70
2. Ngaglik 72
3. Kepunden 73
4. Kramat 74
Kelurahan Sukoharjo 76
1. Jagalan 76
2. Comboran 77
3. Kidul Pasar 79
4. Pecinan 81
5. Pecinan Kecil 83
Kelurahan Kauman 85
1. Kayu Tangan 85
2. Talun 88
3. Gandekan 91
4. Klojen Ledok 93
Kelurahan Kidul Dalem 94
1. Tumenggungan 95
KECAMATAN BLIMBING 99
Kelurahan Kesatrian (Kampement) 100
1. Tumenggungan Ledok 100
Kelurahan Purwantoro 101
1. Glintung 101
2. Patuksalam 103
3. Pandean 105
4. Sanan 106
Kelurahan Bunulrejo 108
1. Bunul 108
2. Ngujil 109
3. Kendal Kerep Kidul 110
4. Klampisan 112
Kelurahan Pandanwangi 113
1. Locari 114
2. Wonosalam 116
Kelurahan Blimbing 118
Kelurahan Purwodadi 119
1. Sumpil 119
2. Kemirahan 120
3. Pulosari 122
Kelurahan Balearjosari 124
1. Sumbersuko 124
Kelurahan Jodipan 125
1. Kebalen 127
Kelurahan Polowijen 129
1. Watukenong 130
KECAMATAN KEDUNGKANDANG 133
Kelurahan Arjowinangun 134
1. Wonorejo 134
Kelurahan Tlogowaru 135
1. Tlogosari 136
Kelurahan Mergosono 137
Kelurahan Kota Lama 138
1. Kedung Luncing 139
Kelurahan Cemorokandang 140
1. Temboro 140
2. Tempuran 142
Kelurahan Lesanpuro 143
1. Tegaron 143
2. Baran Tegaron 144
Kelurahan Madyopuro (Ngadipuro) 145
1. Gribik Sentana 145
Kelurahan Sawojajar 147
1. Kwangsan 148
KECAMATAN LOWOKWARU 151
Kelurahan Jatimulyo 151
1. Bioro 152
Kelurahan Lowokwaru 153
Kelurahan Tulusrejo 154
1. Bantaran 154
2. Kendalsari 156
3. Kedawung 157
Kelurahan Mojolangu 159
Kelurahan Tunjungsekar 159
1. Sambirejo 160
Kelurahan Tunggulwulung (Petung Wulung) 162
Kelurahan Dinoyo (Dinaya) 162
Kelurahan Tlogomas 163
1. Karuman 163
2. Guyangan 165
3. Ngelo 167
4. Watu Gong 168
KECAMATAN SUKUN 171
Kelurahan Karangbesuki 173
1. Badut 173
2. Gasek 174
Kelurahan Pisangcandi 176
1. Juwet Kulon 176
2. Genitri 177
3. Bebekan 179
4. Kejuron 181
Kelurahan Tanjungrejo 181
1. Mergan 182
Kelurahan Bakalankrajan 183
1. Bakalan 183
2. Klabang 185
3. Selelir 186
4. Urung-Urung 188
Kelurahan Janti 191
1. Kepuh 191
2. Kemantren 193
3. Klayatan 194
Kelurahan Gadang 196
Kelurahan Kebonsari 197
1. Kacuk 197
2. Lowokdoro 198
BAGIAN IV PENUTUP 201
DAFTAR PUSTAKA 203

Citation preview

TOPONIM KOTA MALANG TOPONIM KOTA MALANG



Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta 2019



Skiblat 1/1 (bolak balik)



TOPONIM KOTA MALANG



Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019



TOPONIM KOTA MALANG PENGARAH Hilmar Farid PENANGGUNG JAWAB Triana Wulandari PENYUNTING Agus Widiatmoko PENULIS Ismail Lutfi Reza Hudiyanto RISET DATA Fider Tendiardi Devi Kusumastuti Primasari Annisa Mardiani Desinta Mega Sandria Devan Firmansyah TATA LETAK DAN GRAFIS Wahid Hisbullah PENERBIT Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jalan Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta 10270 2019 ISBN: 978-623-7092-23-0 Keterangan Kover: Perempatan Semeru tahun 1950-an (Sumber: F.J.M. Van Liempt, STADSGEMEENTE MALANG 1914-1939. GEDRUKT BIJ N.V. G. KOLFF & Co. TE SOERABAIA)



iv



Toponim Kota Malang



SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL KEBUDAYAAN



S



ebagai negara kepulauan dengan wilayah membentang dari Sabang hingga Merauke, betapa pentingnya pemberian nama-nama tempat dan wilayah rupabumi.Tidak saja bentang alamnya yang berbeda-beda, namun juga namanya juga beragam sesuai dengan latar berlakang sosial budaya masyarakat. Pada sisi lain pembakuan nama-nama wilayah NKRI menjadi hal yang mutlak dalam menjaga kedaulatan NKRI sebagai ruang hidup bangsa Indonesia. Penyandingan pembakuan nama wilayah dengan kajian sejarah toponimi yang berdasar pada asal usul nama wilayah atau lokasi yang bersumber dari pengetahuan masyarakat, kiranya dapat menjadi penguat akar historis pembangunan keutuhan wilayah kedaulatan NKRI. Penulisan toponim dapat bermanfaat dan memberi sumbangsih dalam upaya pembakuan nama-nama rupabumi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sekaligus bisa menjadi identitas kebangsaan dan kebudayaan Indonesia. Dalam hal ini peran Direktorat Sejarah lewat penulisan sejarah toponim di wilayah Indonesia perlu dilanjutkan dan dikembangkan dalam memberi sumbangan terhadap implementasi Undang Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dan penguatan kedaulatan wilayah NKRI serta merawat ingatan sejarah masyarakat akan ruang hidupnya. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi dukungan dan berkontribusi dalam penulisan buku sejarah toponim, khususnya Toponim Kota Malang. Selamat membaca semoga bermanfaat dan memperkaya cakrawala historiografi pengetahuan tentang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Direktur Jendral Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid, Ph. D



Toponim Kota Malang



SAMBUTAN DIREKTUR SEJARAH



P



enulisan toponimi kewilayahan Indonesia, khususnya Kota Malang dari perspektif sejarah kaya akan nilai-nilai budaya tempatan (geografis) dalam perjalanan sejarah terbentuknya Kota Malang. Sumber-sumber sejarah lokal mengenai Kota Malang juga tersirat sebuah peristiwa dan tokoh-tokoh penting yang telah memberi warna dalam sejarah nasional. Jejak peristiwa sejarah di Kota Malang hingga saat ini masih terekam dalam memori kolektif masyarakat. Salah satu wujudnya terdapat dalam toponim nama-nama tempat, kampung, jalan, bangunan yang ada di sudut-sudut kota. Oleh karena itu, munculnya gagasan untuk menuliskan Toponim Kota Malang bagi kami mempunyai nilai penting dalam rangka melestarikan nilai-nilai lokalitas sebagai pijakan historis dalam pembangunan masyarakat Kota Malang. Kota Malang secara administratif terdiri dari 5 kecamatan dengan 57 kelurahan. Kelurahan-kelurahan tersebut kemungkinan besar merupakan turunan dari wilayah kampung pada ada masa Kolonial Belanda, namun sebagian dari mereka merupakan reorganisasi atau pemekaran. Secara umum asal usul nama-nama kampung (toponim) di Kota Malang berasal dari nama Flora, nama jabatan, penanda (land mark), pewayangan, profesi dan etnis, dan nama kuno. Penulisan dan penerbitan Toponim Kota Malang oleh Direktorat Sejarah bertujuan untuk memperkaya khasanah sejarah lokal Kota Malang sebagai bagian dari jalinan sejarah nasional. Oleh karena itu penulisan buku ini juga dapat memperkuat simpul-simpul keindonesiaan. Harapan kami semoga dengan terbitnya buku Toponim Kota Malang dapat memberi manfaat dan pemahaman pembaca tentang identitas Kota Malang. Jakarta, Oktober 2019 Direktur Sejarah Dra. Triana Wulandari, M.Si



v



vi



Toponim Kota Malang



DAFTAR ISI



SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL KEBUDAYAAN IV SAMBUTAN DIREKTUR SEJARAH V DAFTAR ISI VI BAGIAN I PENGANTAR 1 Latar Belakang 1 Metode 2 BAGIAN II EKOLOGI DAN DEMOGRAFI KOTA 7 Tanah Dan Vegetasi 7 Penduduk 11 BAGIAN III TOPONIM KOTA MALANG 19 Akar Nama Kampung 19 Asal-Usul Nama Kampung Di Jawa 26 Asal-Usul Nama Kampung Di Malang 40 KECAMATAN KLOJEN 45 Kelurahan Rampal Celaket 46 1. Klerek 47 2. Celaket 51 Kelurahan Oro-Oro Dowo 56 1. Oro-Oro Dowo Ledok 56 Kelurahan Saman 57 1. Tugu 58 2. Sumber Waras 60 3. Klitik 61 Kelurahan Penanggungan (Kampung Gerabah) 62 1. Betek 63 Kelurahan Gadingkasri 66 1. Gading 66



Toponim Kota Malang



2. Klampok Kasri Kelurahan Bareng Kelurahan Kasin 1. Arab 2. Ngaglik 3. Kepunden 4. Kramat Kelurahan Sukoharjo 1. Jagalan 2. Comboran 3. Kidul Pasar 4. Pecinan 5. Pecinan Kecil Kelurahan Kauman 1. Kayu Tangan 2. Talun 3. Gandekan 4. Klojen Ledok Kelurahan Kidul Dalem 1. Tumenggungan



68 69 70 70 72 73 74 76 76 77 79 81 83 85 85 88 91 93 94 95



KECAMATAN BLIMBING Kelurahan Kesatrian (Kampement) 1. Tumenggungan Ledok Kelurahan Purwantoro 1. Glintung 2. Patuksalam 3. Pandean 4. Sanan Kelurahan Bunulrejo 1. Bunul 2. Ngujil 3. Kendal Kerep Kidul 4. Klampisan Kelurahan Pandanwangi 1. Locari 2. Wonosalam Kelurahan Blimbing



99 100 100 101 101 103 105 106 108 108 109 110 112 113 114 116 118



vii



viii



Toponim Kota Malang



Kelurahan Purwodadi 1. Sumpil 2. Kemirahan 3. Pulosari Kelurahan Balearjosari 1. Sumbersuko Kelurahan Jodipan 1. Kebalen Kelurahan Polowijen 1. Watukenong



119 119 120 122 124 124 125 127 129 130



KECAMATAN KEDUNGKANDANG Kelurahan Arjowinangun 1. Wonorejo Kelurahan Tlogowaru 1. Tlogosari Kelurahan Mergosono Kelurahan Kota Lama 1. Kedung Luncing Kelurahan Cemorokandang 1. Temboro 2. Tempuran Kelurahan Lesanpuro 1. Tegaron 2. Baran Tegaron Kelurahan Madyopuro (Ngadipuro) 1. Gribik Sentana Kelurahan Sawojajar 1. Kwangsan



133 134 134 135 136 137 138 139 140 140 142 143 143 144 145 145 147 148



KECAMATAN LOWOKWARU Kelurahan Jatimulyo 1. Bioro Kelurahan Lowokwaru Kelurahan Tulusrejo 1. Bantaran 2. Kendalsari 3. Kedawung



151 151 152 153 154 154 156 157



Toponim Kota Malang



Kelurahan Mojolangu Kelurahan Tunjungsekar 1. Sambirejo Kelurahan Tunggulwulung (Petung Wulung) Kelurahan Dinoyo (Dinaya) Kelurahan Tlogomas 1. Karuman 2. Guyangan 3. Ngelo 4. Watu Gong



159 159 160 162 162 163 163 165 167 168



KECAMATAN SUKUN Kelurahan Karangbesuki 1. Badut 2. Gasek Kelurahan Pisangcandi 1. Juwet Kulon 2. Genitri 3. Bebekan 4. Kejuron Kelurahan Tanjungrejo 1. Mergan Kelurahan Bakalankrajan 1. Bakalan 2. Klabang 3. Selelir 4. Urung-Urung Kelurahan Janti 1. Kepuh 2. Kemantren 3. Klayatan Kelurahan Gadang Kelurahan Kebonsari 1. Kacuk 2. Lowokdoro



171 173 173 174 176 176 177 179 181 181 182 183 183 185 186 188 191 191 193 194 196 197 197 198



BAGIAN IV PENUTUP DAFTAR PUSTAKA



201 203



ix



Peta Malang Spoor



Toponim Kota Malang



BAGIAN I



PENGANTAR



Latar Belakang



I



dentitas merupakan sebuah pembeda antara objek satu dengan objek lain. Salah satu unsur yang penting dalam labeling benda adalah penamaan. Kebiasaan memberi nama telah dilakukan oleh nenek moyang bangsa Indonesia, bahkan sejak bangsa ini memasuki era pra-aksara. Bentuk penamaan sebagian besar sangat dipengaruhi tradisi literasi pendatang pertama di Indonesia, Hindu dan Buddha. Istilah sungai Candrabagha, nama Purnawarman dan Taruma Nagara merupakan istilah asing dalam hal ini dari India. Pertanyaan berikutnya seperti apa nama asli orang Indonesia, khususnya Jawa. Jika dilihat dalam Kronik Singhasari dan Majapahit, muncul nama Kebo Ijo, Mahesa Wong ateleng, Hayam Wuruk, Banyak Wide dan Gajah Mada. Ini mengindikasikan penamanan orang Jawa tidak jauh beda dengan penamaan suku Asli Amerika (Indian) yang memberi nama orang dengan nama hewan. Kebiasaan ini juga berlaku dalam penamaan Gunung sehingga muncul nama Gunung Banyak, Gunung Putri Tidur dan Geger baya pada lereng gunung Merapi. Sebenarnya apakah maksud dari penamaan, apa tujuan sebuah kelompok manusia memberikan nama terhadap diri dan tempat tinggal mereka. Kedua apakah sumber inspirasi dari pembentukan nama? Apakah karena faktor alam, faktor kejadian penting ataukan ada sebab lain. Dan ketiga adalah apa latar belakang pemberian nama, dan mengapa ada semangat mempertahankan dan mengganti nama yang sudah ada? Pertanyaan tersebut diatas melatarbelakangi beberapa produk tulisan yang membahas toponim. Penelitian toponimi bukan merupakan sub tema baru dalam penelitian sejarah lokal. Kajian ini merupakan kajian lintas bidang yang mencakup filologi, antropologi, arkeologi, sejarah dan geografi. Ini disebabkan toponim sering identic dengan geographical nama. Nama lebih banyak terinsipirasi dari bentuk landscape (rupa bumi). Ini merupakan salah satu isu yang dibahas Kees van Dijk tentang nama nama di Jakarta (van Dijk 2007). Sarkawi juga melakukan kajian tentang nama jalan di Kota Surabaya



1



2



Toponim Kota Malang



dalam sebuah proyek penelitian kerjasama NIOD dengan PSSAT UGM pada tahun 2004. Kedua penulis memiliki kesamaan perspektif dalam melihat perubahan toponimi yang terjadi sepanjang era Kolonial hingga Orde Baru, yaitu adanya faktor politis dan sosial disamping ekologis yang mempengaruhi pilihan penamaan identitas jalan di kota-kota. Penelitian soal toponim memiliki arti penting karena toponim merupakan salah satu penghubung antara masa kini dengan masa lalu. Disamping memberikan identitas dan karakteristik khusus sebuah wilayah, toponim menandai bentuk ruang suatu kawasan sebelum kawasan itu mengalami perubahan drastis akibat urbanisasi.



Metode Penulisan ini menggunakan dua metode yaitu metode sejarah dan metode arkeologisejarah. Terdapat beberapa bagian dalam penelitian yang menggunakan arkeologi sejarah, karena pencarian informasi berbasis pada data tekstual. Observasi langsung hanya dilakukan ketika pengecekan di lapangan, apakah ada perubahan ataukah masih tetap. Observasi langsung ini tidak dapat dilakukan dalam hal pengambilan informasi mengingat kondisi lapangan telah mengalami perubahan. Cakupan temporal penelitian ini mencakup wilayah administrasi Kota Malang per tahun 1988 sebaba setelah tahun 1988 tidak ada lagi perubahan tapal batas Kota Malang. Sedangkan batasan spasial penelitian ini adala wilayah administratif Kota Malang, kecuali satu kasus khusus, yakni penelilaan situs Candi Badut yang berada di kawasan Karangwidoro Kecamatan Dau, Kabupaten Malang. Ada beberapa sumber yang dapat diandalkan untuk menelusuri asal mula nama nama kampung di Kota Malang. Ada dua sumber yaitu sumber tekstual Negara Kertagama, yang telah dibahas oleh Th Pigeaud (1960). Sumber kedua adalah Pararaton dari J.L.A Brandes dan Kidung Margasmara oleh Struat Robson dan Hadi Sidomulya (2015). Sumber kedua berasal dari Prasasti antara lain Prasasti Dinoyo, Prasasti Sukun, Prasasti Balingawan dan Kanuruhan. Sementara itu, untuk periode Islam, sumber informasi dapat diperoleh dari Babad Blambangan dan Babad Kadiri. Informan atau data oral dalam penulisan ini sangat diperlukan untuk mengetahui penamaan itu memang sesuai dengan lokasi sekarang. Dalam penelitian ini, informant tidak selalu dari orang-orang tua, namun dari peneliti terdahulu yang pernah melakukan kajian toponim. Tingkat kesulitan yang dihadapi penelitia adalah beberapa toponim berasal dari bahasa yang



Toponim Kota Malang



telah punah seiring pergantian beberapa konsonan dan vokal dari bahasa Jawa Kuna ke Bahasa Jawa Tengahan. Oleh karena itu peneliti menggunakan apa yang disebut Aris Munandar sebagai kajian arkeologi sejarah. arkeologi-sejarah (historical-archaeology), yaitu telaah tentang arkeologi yang berada dalam periode sejarah. Suatu masa yang masyarakatnya telah mengenal dan menggunakan aksara sebagai salah satu media untuk mengekspresikan kebudayaannya. Kedua data, yaitu data arkeologi dan data tulisan dapat digunakan secara bersama untuk menjelaskan permasalahan.1 Studi arkeologi senantiasa berkaitan dengan berbagai nama tempat yang kemudian digunakan untuk menamai situs, struktur, monumen, kawasan dan lain sebagainya. Nama-nama tersebut telah dikenal dalam waktu yang cukup lama, acapkali nama-nama tempat tersebut dapat ditelisik maknanya untuk kemudian dapat membantu menjelaskan permasalahan arkeologi. Arkeolog senantiasa akan mencurigai nama-nama tempat yang berciri arkais dalam kaitannya dengan temuan arkeologi di suatu lokasi. Tempat-tempat yang diasumsikan dengan nama arkais menurut kajian arkeologis jika:



1. Nama itu dapat dilacak berasal dari bahasa kuno, seperti Jawa Kuno, Sunda Kuno, atau Sansekerta, namun telah mengalami perubahan pengucapan. 2. Di kawasan tempat itu mempunyai situs atau monumen kuno yang masih berdiri hingga sekarang, dapat ditafsirkan bahwa di tempat itu pernah terjadi aktivitas masyarakat masa silam. Oleh karena itu topinimi di sekitar candi atau petirthan acapkali menjadi sasaran perhatian para arkeolog, karena dapat saja ditemukan situs lain yang baru di kawasan candi yang telah dikenal. Hal ini mungkin dapat disebut sebagai telaah arkeo-toponimi, yaitu menelusuri nama tempat berdasarkan tinggalan arkeologis yang ada di tempat tersebut. Informan dijadikan sumber tambahan mengingat perlu pemahaman folklore yang hidup di masyarakat. Akan tetapi sikap kritis sangat diperlukan mengingat informan belum tentu penduduk asli yang memiliki pengetahuan pertama tentang toponimi tempat tinggalnya. Pada umumnya, sumber informan non primer rawan dengan interpolation (sisipan yang terjadi saat penyalinan) yang berasal dari social budaya dari penyalin. Tulisan ini tidak hanya mengandalakan sumber yang bertema historis namun 1  Agus Aris Munandar, “ Toponimi dalam Kajian Arkeologi Makalah dalam “Seminar Nasional Toponimi: Toponimi dalam Perspektif Ilmu Budaya”, Kamis, 3 November 2016, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Diselenggarakan atas kerja sama Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya (PPKB FIB-UI) dengan Komunitas Toponimi Indonesia (KOTISIA). Hlm 3



3



4



Toponim Kota Malang



juga pustaka di bidang Botani. Salah satu sumber utama dari tulisan ini adalah hasil penelitian Heyne berjudul De Nuttige Planten van Nederlandsch Indie, yang diterbitkan oleh Ruygrok & Co Batavia di tahun 1922. Sebenarnya buku ini terbit secara bertahap sejak dari tahun 1917 hingga 1922. Sekalipun tidak sedemikian lengkap menyebut semua jenis tanaman, buku ini dapat menjadi petunjuk beberapa nama tanaman yang telah jarang dijumpai sekarang. Buku ini akan disajikan dalam 4 bab. Bab pertama berisi pendahuluan yang jika dielaborasi dalam tiga sub bahasan yaitu, latar belakang, metode dan kajian pustaka. Bab kedua berisi penjelasan tentang kondisi lingkungan alam dan manusia yang ada di kawasan Kota Malang dan sekitarnya. Sub bab ini berisi uraian faktor eksternal dan internal yang menopang perkembangan kawasan Kota Malang dan sekitarnya. Pertumbuhan kawasan dan pengelompokkan penduduk ini sangat penting untuk mencari akar toponim dari suatu tempat. Bab ketiga berisi asal muasal pembentukan nama (toponim) kampung di Kota Malang. Masing-masing disertai dengan peta yang menunjukkan posisi kampung tersebut. Setiap peta disajikan dalam dua tampilan, yaitu tampilan kawasan di era kolonial dan di era kini. Bab keempat berisi tentang refleksi tentang toponim dan kota sebagai media penghubung antara masa kini dan masa lalu.



Kantor Pos dan Telegraf, Kajoetangan straat (Sumber: Stadsgemeente Malang 1914-1930, Soerabaia: NV G Kolff & Co)



Peta Administrasi Kota Malang (Sumber: Peta Rupabumi Badan Informasi Geospasial)



Toponim Kota Malang



BAGIAN II



EKOLOGI DAN DEMOGRAFI KOTA Tanah dan Vegetasi



M



alang merupakan kawasan yang memiliki topografi yang sangat beragam. Di bagian utara, barat, timur, dan tenggara merupakan daerah berbukit-bukit dan memiliki kesuburan tinggi. Di kawasan tenggara terdiri dari tanah kapur yang dicampur denga abu vulkanik dari gunung berapi aktif, yaitu Semeru. Pada bagian barat, Afdeeling Malang merupakan kawasan datar dan menjadi daerah aliran Sungai Brantas dan Metro. Sebagian besar kawasan di wilayah timur dan selatan merupakan kawasan lahan kering sehingga mengandalkan pasokan air tadah hujan. Distrik kota – sebutan Kota Malang sebelum tahun 1914, berada di titik tengah antara dua pegunungan tersebut. Jalan masuk ke kota ini masih didominasi jalan setapak dan tiga sungai yang membelah kota ini, Brantas, Metro dan Amprong. Sebelum dibangun Jalan Pos pada tahun 1845, kawasan Malang masih merupakan kawasan frontier. Tidak banyak penduduk yang tinggal di kawasan tersebut walaupun beberapa temuan artefak bercorak megalitik maupun Hindu dan Buddha mengindikasikan kawasan itu telah lama dihuni. Sekalipun demikian, kota ini tidak jauh berbeda dengan kota lain di pedalaman, yaitu tidak memiliki aktivitas perekonomian yang menonjol. Sudut elevasi sungai yang tinggi tidak memungkinkan daerah ini memilik potensi menjadi bandar atau kota sungai. Di samping itu, ketinggian tanah di kawasan ini sangat bervariasi. Menurut Hadi Sabari Yunus (2009), kawasan landai yang terdapat pada inti Kota Malang ini disebut sebagai inter mountain valley.1 Kondisi ini menyebabkan Kota Malang memiliki suhu yang relatif lebih rendah dibandingkan kota-kota yang lain di Jawa Timur. Oleh karena itu, Malang menjadi satu dari dua kota pusat tanaman perkebunan (bergcultures) di Jawa. Disamping itu Malang menjadi pusat rehabilitasi mental dengan didirikannya Rumah Sakit Jiwa Sumber 1  Hadi Sabari Yunus, Kharakteristik Kota. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm 50



7



8



Toponim Kota Malang



Porong di Lawang. Pada perkembangan kemudian, kondisi alam ini melatarbelakangi pemindahan sebagain besar aktivitas militer dari Surabaya ke Malang. Sebagai kawasan dataran tinggi, Malang memiliki kontur sungai yang dalam, curam dengan arus yang deras sehingga tidak memungkinkan adanya sistim sawah irigasi. Melihat dari kondisi alam tersebut diperkirakan tidak banyak penduduk kawasan ini sebelum kedatangan Belanda pada tahun 1767. Kota Malang bahkan digambarakan oleh Arthur van Schaik sebagai Stad in Wildernis (kota yang masih liar). Sebagai sebuah ruang hidup, Malang merupakan kawasan yang terhuni sejak abad ke-8. Terdapat Negara Tradisional yang disebut dengan Kanjuruhan sekalipun tidak banyak keterangan lebih lanjut dari Kerajaan Kanuruhan ini selain dari Prasasti Dinaya. Data prasasti dan naskah menyebutkan adanya Kerajaan Singasari yang muncul pada kurun abad ke 12 Masehi. Kerajaan ini mengalami perpindahan pusat pemerintahan dari Tumapel ke Singhasari, sebuah lokasiyang diperkirakan berada di kawasan Kecamatan Singasari sekarang.2 Pada era Hindu Klasik, dikenal sistem adminstrasi kewilayahan dengan wilayah administrasi terendah (terkecil) disebut dengan beberapa variasi terminologi, yaitu wanua, banua, wanwa, karaman, atau thani.3 Pada saat itu, terbentuk kampung yang masih berupa duhan (duwan), yakni setingkat dusun. Sejumlah duwan membentuk thani atau wanwa, yakni setingkat dengan desa. Dari sejumlah wanwa itu dapat berkonfederasi menjadi watak. Watak ini setara dengan kabupaten. Dari data tekstual diketahui bahwa federasi desa-desa kuna di waktu lampau berada di bawah naungan seorang rake yang menguasai satuan wilayah administratif yang disebut watak atau wisaya. Dengan diketahuinya posisi masing-masing desa kuno tersebut diharapkan dapat dilacak lebih jauh lagi berbagai informasi yang dibutuhkan. Konsep kabupaten ini berbeda dengan sistem yang dipahami setelah era kolonialisme modern. Kabupaten pada masa klasik bisa setara dengan kerajaan. Bhupati dalam bahasa Jawa Kuno berarti Bhu (bumi) dan pati (pemimpin/raja) sehingga berarti pemimpin bhumi (raja). Pada masa Singasari, terdapat istilah akuwu, yang berasal dari kata kuwu/kubu atau pemukiman. 4 Pada era Kerajaan Kediri di abad ke-11, Tumapel masih berstatus Akuwu (pemukiman) dan merupakan kawasan yang menjadi ajang perebutan antara Jenggala dan Kadiri 2  Arthur van Schaik, Malang Beeld van Een Stad. (Purmerend: Asia Maior, 1996), hlm 6 3  Edi Setyawati, “Pengarcaan Ganesha masa Kadiri Singhasar”. Dissertasi S-3 Universitas Indonesia. Fakultas Pasca Sarjana, 1985 4  Ismail Lutfi, “Desa desa Kuna abad 9-10.” Jurnal Sejarah dan Budaya, Tahun 2003



Toponim Kota Malang



hingga munculnya Singasari. Menurut Ismail Lutfi, akuwu merupakan satuan wilayah yang setara dengan desa dan kerajaan pada saat itu setara dengan kabupaten. Pada kawasan itu diperkirakan telah banyak desa yang tersebar di kawasan bantaran Sungai Brantas, Metro, Amprong dan Bango. Beberapa desa kuna itu terdeteksi dalam beberapa Prasasti dan Kakawin dan dideskripsikan dalam berita raja memberikan tanah kepada seseorang atas jasa yang telah dilakukan kepada raja. Keberadaan komunitas manusia desa desa kuna ini tidak lepas dari kondisi alam yang menopang kehidupan. Terdapat empat sungai besar yang melintasi kawasan ini, yaitu Brantas, Metro, Amprong dan Bango. Akan tetapi sungai sungai tersebut terlalu curam untuk dimanfaatkan sebagai irigasi sawah. Di sisi lain, teknologi manusia pra-industri masih belum memungkinkan untuk “memompa” air dari sungai ke dataran yang lebih tinggi. Oleh karena itu, diduga masyarakat desa desa di Malang lebih banyak memanfaatkan air dari mata air (sumber) untuk kemudian ditampung dalam patirtan atau kolam buatan. Di tempat tersebut pada umumnya penduduk menjadikan sebagai pemujaan. Di bagian tengah kota, sebelum masuknya kekuasaan kolonial masih didominasi hutan dan ladang. Hal ini didukung oleh kontur tanah yang relatif datar di wilayah tengah, sedikit berbukit di kawasan timur. Tanah di wilayah ini relatif subur karena masih berada di cakupan kawasan gunung api Bromo-Semeru. Oleh karena itu, kawasan ini digambarkan oleh Junghunh sebagai kawasan banyak desa yang terisolir satu sama lain oleh hutan rimba. Informasi ini diperkuat dengan catatan Robert Elson yang menyatakan bahwa pada awal tahun 1816, kawasan ini masih belum memberikan keuntungan terhadap pemerintah kolonial.5 Sebagian besar kawasan Malang masih hutan belukar saat VOC – yang dilanjutkan oleh pemerintah kolonial, meluaskan dominasi ke kawasan ini. Daerah sangat sulit dijangkau jika ditempuh dari arah Pasuruan, setidaknya sebelum Jalan Pos dibuka ke wilayah ini pada tahun 1825. Catatan Domis pada tahun 1835 menunjukan bahwa semenjak pembukaan perkebunan kopi di Pasuruan Selatan, khususnya Afdeling Malang mengalami perkembangan pesat. Beberapa distrik di Malang, seperti Ngantang, Penanggungan dan Kotta merupakan wilayah yang banyak memberikan kontribusi produksi kopi.6 Informasi lain telah menyebut kondisi alam di Malang sebagaimana yang tertulis dalam 5 Robert Elson, Javanese Peasant and Colonial Sugar Industry. (Singapore: Oxford University Press, 1983), hlm 10 6  H.I, Domis, De Residentie Passoereorang op het Eiland Java. (S Gravenhage: HSJ de Groot, 1836), hlm. 26.



9



10



Toponim Kota Malang



laporan Residen Pasuruan, Domis, Catatan Perjalanan Frans Junghun, dan H van Kol dalam Uit Onze Kolonien. Dalam buku Van Kol terdapat beberapa wilayah yang disebut, meskipun dalam redaksi yang sangat berbeda dengan sekarang. Wilayah itu antaralain Sangkaling (sengkaling), Pananggungan (Penanggungan) dan Sisir (Batu). Van Kol menyebut kawasan-kawasan tersebut merupakan jalur pengangkutan kopi. Informasi lebih awal tentang Malang disinggung namun tidak terlalu banyak dalam buku The Java Last Frontier. Minimnya informasi tersebut karena buku itu lebih fokus pada sejarah Blambangan. Dalam kronik tradisi literasi Jawa tersebut telah disebutkan beberapa nama wilayah dalam setting kejadian. Setelah berdirinya Pabrik Gula Kebon Agung, Krebet, Panggungrejo dan Sempalwajak, wilayah Malang berkembang sangat pesat. Jumlah areal dataran rendah yang menjadi produktif semakin bertambah. Pada tahun 1912, Pabrik Gula Kebon Agung telah meluaskan kawasan perkebunan hingga Malang Utara (Arsip De Javasche Bank 1918). Mengingat pabrik gula tidak boleh “merebut” jatah air irigasi pertanian, pabrik-pabrik gula ini membangun jalur irigasi dan water viaduct di Bululawang dan Kepanjen. Sementara itu, di sebelah tenggara jumlah perkebunan kopi semakin bertambah sehingga hampir seluruh kawasan Afdeeling Malang berkembang menjadi kawasan produktif. Jika dilihat pada tabel di bawah ini, maka sebagian besar Kawasan Afdeeling Malang terdiri atas kawasan tegalan.Wilayah sawah yang luas hanya terdapat di kawasan Distrik Bululawang, Gondanglegi, dan sebagian Kepanjen. Perbandingan Luas Lahan Sawah dan Tegalan di Kawasan Perkebunan Tebu pada Tahun Produksi 1924/1925 DISTRIK



SAWAH



TEGAL



TOTAL



Tumpang



41



35



76



Pakis



2



36



38



Turen



7



39



46



Wajak



27



46



73



Dampit



34



173



207



Bululawang



165



267



435



Gondanglegi



661



322



983



Toponim Kota Malang



Tajinan



14



48



62



Kepanjen



7



96



103



Sumberpucung



55



79



134



1241



1013



2254



Total



Sumber: A.A. Crince Le Roy, “ Opkoop van Bevolkingsriet in de Afdeeling Malang.” Koloniale Studien 1928. Twaalfde Jaargang. (Weltevreden: G.Kolff & Co, 1928), hlm. 16.



Berdasarkan tabel di atas, sebagian besar kawasan distrik di sekitar kota Malang merupakan lahan perkebunan. Dataran tinggi didominasi tanaman kopi, karet dan coklat. Selain itu, di daerah aliran sungai dan dataran rendah didominasi tebu. Beberapa pabrik gula di kawasan selatan dan barat daya merupakan kawasan yang didominasi perkebunan tebu. Perkebunan-perkebunan ini merupakan sumber pendapatan yang cukup besar bagi pemerintah kolonial Belanda. Oleh karena itu, jaringan jalan dan kereta api yang terdapat di kawasan distrik tersebut terhubung langsung dengan aktivitas perekonomian di kawasan Malang.



Penduduk Dinamika penduduk di Kota Malang sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi di kawasan tersebut. Sebagai contoh sebagian besar aktivitas ekonomi sangat tergantung pada sector pertanian. Penduduk kota Malang sebagian besar terdiri dari etnis Jawa. Diperkirakan mereka telah menghuni kawasan ini sejak abad ke-8 bahkan mungkin sebelumnya. Ini bisa dilihat dari peninggalan Candi Badut dan situs Megalitik Watu Gong. Mereka hidup dari persawahan lahan sempit, dan sistem ladang. Jika dilihat dari temuan struktur bangunan, patirtan, arung dan struktur lain, diperkirakan tempat tinggal mereka tidak jauh dari Sungai Brantas, Metro dan Amprong. Beberapa candi yang ditemukan di Kawasan Malang ini menunjukkan bahwa penduduk telah mulai banyak sejak era klasik. Pasca runtuhnya Singasari, tidak banyak informasi yang merujuk kepada keberadaan kawasan ini. Pada masa ini, etnis Jawa masih menjadi kelompok penduduk yang mendominasi kawasan yang disebut dengan nama Tumapel. Komposisi mulai sedikit beragam seiring dengan datangnya orang orang Eropa sebagai penguasa



11



12



Toponim Kota Malang



atas bangsa Bumiputera. Kedatangan mereka tidak hanya memberikan pengaruh berupa masuknya orang orang Belanda, namun juga orang orang Cina dan Arab. Perubahan komposisi ini terjadi seiring terbentuknya pemerintah kolonial di Malang. Pada tahun 1819, terbentuklah sistem pemerintahan local seiring pemantapan kekuasaan colonial dibawah Komisaris Baron van der Capellen. Pulau Jawa dibagi menjadi beberapa Karesidenan antara lain Banten, Batavia, Buitenzorg, Preangen regentschappen, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Kedu, Djogjakarta, Surakarta, Jepara dan Juana, Rembang, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Besuki, Banyuwangi, dan Madura-Sumenep. Masing-masing wilayah dipimpin oleh seorang asisten residen dan sekretaris. Residen itu bertanggung jawab atas terlaksananya ketertiban, hukum dan keamanan (Staatsblad van Ned Indie 1819 No. 16). Kabupaten Malang – dalam catatan colonial, terbentuk pada tahun 1819 di bawah Bupati Kartanegara. Sekalipun demikian banyak folklore yang menyatakan bahwa Kabupaten Malang telah ada sejak jaman Demak, hingga Masa Mataram. Namun cerita ini kurang didukung temuan artefak berupa makam maupun dokumen pembanding lain. Sebagai contoh, makam Islam “tertua” atau yang dianggap paling awal adalah makam Ki Ageng Gribig. Berdasar dari motif ukiran dan jenis nisan jirat menunjukkan bahwa makam ini berasal dari periode abad ke-19. Tidak ada temuan makam lain yang seusia dengan periode Demak. Memasuki pertengahan akhir abad ke-19, pemerintah tidak lagi menjadi pemain tunggal dalam menjalankan sistem kolonial, namun juga pengusaha perkebunan swasta. Beberapa lahan perkebunan mulai dibuka oleh para pengusahan swasta. Akan tetapi mereka menjumpai permasalahan akan kurangnya jumlah penduduk lokal untuk dipekerjakan sebagai buruh. Oleh karena itu, mereka mendatangkan penduduk dari luar kawasan Malang, yaitu dari Jawa Tengah dan Madura. Kedatangan orang orang Madura ini menyebabkan komposisi penduduk Malang semakin beragam. Ini menjadi titik awal terbentuknya komunitas Madura di Gondang Legi,Turen dan Dampit. Hingga saat buku ini ditulis, komunitas Madura ini masih dijumpai di kawasan Gondang Legi, Bululawang,Wajak, Dampit, hingga Malang Selatan. Migrasi penduduk dari Madura ini juga disebutkan dalam buku Broersma, Besoeki, Een Gewest in Opkomst. Menurut Broersma, gelombang migrasi etnis Madura ke Kawasan Ujung Timur Jawa ini terjadi seiring dengan pembukaan lahan perkebunan di Kawasan Situbondo, Bondowoso hingga Besuki oleh George Birnie pada tahun 1850 an. Sebagian besar perkebunan di Kawasan ini, termasuk Malang adalah daerah perkebunan dataran



Toponim Kota Malang



tinggi. Berbeda dengan perkebunan gula yang berada di dataran rendah, dengan jumlah sawah dan penduduk yang banyak, perkebunan dataran tinggi berada jauh dari kantong penduduk dan sawah luas. Jika pengusaha perkebunan menginginkan tenaga kerja, mereka harus mendatangkan penduduk dari desa terdekat. Sementara jumlah penduduk di desa terdekat tidak terlalu banyak, dan mereka enggan jika harus berbagi jam kerja dan tanah mereka dengan perkebunan.7 Oleh karena itu, para pengusaha harus mendatangkan penduduk dari daerah lain. Latar Belakang ini yang menyebabkan migrasi orang madura dan Jawa ke Kawasan Ujung Timur dan Malang Selatan. Mereka kemudian membentuk desa desa di Kawasan kantong perkebunan di Kawasan tersebut. Kawasan selatan ini memang telah diketahui sebagai Kawasan yang layak untuk perkebunan berkat petualangan ahli botani Jerman bernama Junghunh pada tahun 1845.8 Sebagaimana kecenderungan demografi di kawasan lain di Jawa, pola pertumbuhan penduduk di Malang baru mengalami kenaikan setelah pertengahan abad ke-19. Menurut Boomgard, berkurangnya jumlah konflik skala besar, penemuan vaksin cacar dan peningkatan layanan kesehatan menjadi penyebab penurunan angka kematian. Khusus untuk wilayah-wilayah ujung timur, peningkatan penduduk dipicu oleh migrasi orang Madura dan Jawa ke wilayah perkebunan yang baru dibuka di Kawasan Malang Selatan. Pembukaan perkebunan di kawasan Malang Selatan ternyata memunculkan kebutuhan buruh untuk melakukan pekerjaan baik di lapangan maupun pabrik. Di sisi lain, pembangunan infrastruktur di kawasan frontier ini mendorong adanya upaya untuk mendatangkan penduduk dari kawasan lain seperti Madura dan Jawa Tengah ke kawasan Malang Selatan.9 Jumlah penduduk Afdeling Malang Tahun 1847 ETNIS



JUMLAH



Jawa



83.419



7  R Broersma, Besoeki. Een Gewest in Opkomst. (Amsterdam: Scheltema en Holkemas Boekhandel, 1923), Hlm. 86 8  Frans Junghuhn. Java Zijngedaante, zijn Plantentooi en Inwendige bouw. IIde deel. (Gravenhage: CV Mielin, 1854), hlm 400 9  Reza Hudiyanto, Menciptakan Masyarakat Kota: Malang di bawah Tiga Penguasa 1914-1950. (Yogyakarta: Lilin Persada Press, 2011), hlm 35



13



14



Toponim Kota Malang



Madura Eropa Arab Melayu Cina



3.881 103 8 114 465



Sumber: Algemeen verslag van de Afdeling Malang 1847, Koleksi arsip Pasuruan. ANRI



Ketika masyarakat mulai memasuki era industri dan kapitalisme, jumlah tanah semakin terbatas, dan sumber alam mulai tidak seimbang dengan daya dukung populasi. Batas dalam arti garis imajiner yang diperkuat dengan pal, patok dan titik koordinat baru dikenal setelah tahun 1850-an setelah perkembangan sistem pemetaan. Pada saat bangsa Eropa membangun struktur bangunan baru yang modern, muncul beberapa tradisi penamaan baru. Penetapan batas kota Malang mulai dilakukan sejak tahun 1905 dan diresmikan pada tahun 1914. Pertimbangan penetapan batas kota yang baru itu berdasar adanya keberatan dari anggota Gemeente Malang terhadap tapal batas yang sudah ada. Tapal batas stadsgemeente dinilai teralu sempit dan tidak sesuai lagi dengan pertambahan jumlah penduduk. Permasalahan ini telah dinyatakan oleh penasehat Pembangunan Kota pada tahun 1933, mengingat penduduk Kota Malang senantiasa naik setiap tahunnya (angka kenaikan penduduk dalam kota sejak tahun 1933 adalah 4% per tahunnya). Pada tahun 1935 penasihat pembangunan kota menghitung bahwa 67% wilayah gemeente telah dikonversi menjadi bangunan. Keberatan ini telah mendorong dewan kota untuk mengajukan permohonan ke dewan provinsi agar menyetujui garis tapal batas baru kota Malang. Tapal batas baru yang ditetapkan adalah sebagai beriktu; Di sebelah Utara: batas Utara dari Desa Jatimulya, Mojolangu, Tunjung sekar,Polowijen, dan sebelah Sebelah Selatan Kali Mewah (Mewek). Pada bagian Timur, sejak dari Kali Mewah sepanjang tepi Barat Kali Santun dan Kali Sari hingga Kali Wendit, setelah itu arah Timur Laut sepanjang tebing Selatan Kali Wendit, setelah itu elanjutnya ke arah TImur sepanjang batas Utara Deesa Sekarpura, dan berlanjut ke arah Tenggara arah titik Kali Amprong, dimana batas Utara desa Ngadipura, setelah itu mengikuti batas desa Kedungkandang berlanjut ke Timur sepanjang Batas Utara desa ini sejauh 1000 m, setela itu di arah Barat Daya mengikuti garus hingga batas Selatan Desa Buring, selanjutnya ditarik garis 600 m hingga saluran irigasi Kedungkandang, setelah itu bagian selatan sepanjang saluran irigasi hingga kampung Wonoredjo dan



Toponim Kota Malang



akhirnya mengikuti garis kurang lebih 200 meter ke arah Barat dan selanjutnya ke arah Selatan hingga 100 meter Selatan desa Wonokodjo. Di Sebelah Selatan: dari titik tersebut terakhir, Sebelah Barat sepanjang jalan Kampung dan batas selatan desa Bumiayu hingga kali Brantas, setelah itu ke arah Selatan sepanjang kali ini dan mengikui batas Selatan Desa Kebosari hingga Kali Metro; sejak titik ini berlanjut ke titik akhir hingga ke batas Timur Desa Arjosari, ke arah Utara hingga mengikuti Sungai Metro ke arah Barat hingga Desa Pandan landung, ke Arah Selatan hingga batas Desa Mulyareja. Batas Barat: batas barat Desa Mulyareja, mengikuti arah Utara menyusri gariis hingga Kali Po, kali ini menuju ke arah Timur hingga batas Bara Desa Poerwodadi, garis ini ke Utara mengikuti Kali Metro dan sepanjang ini ke Kali Braholo,hingga batas Utara desa Dinoyo dan dari desa ini mengikuti Kali Brantas.10 (van Liempt, 1939). Pertambahan Jumlah Penduduk di Malang Tahun, 1890-1940 TAHUN KEWARGAAN



1890



1905



1920



1930



1940



Bumiputera



9.813



29.584



43.352



86.650



169.316



Cina



1.542



3.600



4.312



70.662



142.286



Timur asing lain



226



357



371



693



930



Eropa



459



1.353



3.504



7.463



13.867



12.040



29.584



43.352



86.650



169.316



Total Sumber: van Schaik: 1996, 29



Tapal batas ini yang menjadi dasar hukum batas wilayah kota Malang hingga tahun 1983. Pada saat terjadi perluasan lahan perumahan ke Sawojajar pada tahun 1981 dan Buring pada tahun 1992, lahan kota semakin meluas ke Timur. Penetapan batas batas wilayah ini memang tidak dapat dilepaskan dari kepentingan ekonomi, yaitu kepastian hukum terhadap tanah erfpacht, baik di kawasan Kabupaten maupun pinggiran kota. Penentuan erfpacht ini terkait dengan wilayah hukum operasioal Perkebunan setelah tahun 1870. Pada saat perkebunan berkembang pesat pada akhir abad ke-19, muncul 10  F J M Van Liempt. Kroniek Der Stadsgemeente Malang 1938. (Soerabaia: Uitkolff, 1939). Hlm 60



15



16



Toponim Kota Malang



kebutuhan akan adanya garis imajiner yang mampu membagi kavling tanah yang akan disewa oleh swasta. Garis batas itu akan dijadikan penentuan batas wewenang dan menghitung luas areal perkebunan yang akan diusahaka.11 Pada era Desentralisasi, perbatasan ini ternyata sempat memunculkan perselisihan antar dua Kabupaten ketika terdapat sumber daya alam dikawasan perbatasan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perkembangan penduduk dari aspek jumlah maupun keragaman sangat dibentuk dari aspek ekonomi. Perkembangan Kawasan perkebunan telah menjadi pulling factor Gerakan demografis ke desa desa di Kawasan Malang Selatan pada akhir abad ke 19. Memasuki dasawarsa kedua abad ke-20, arus penduduk mulai berubah ke perkotaan. Dan perubahan arus demografi ini menyebabkan terbentuknya desa desa dengan toponimi yang sebagian besar masih bertahan hingga sekarang dalam bentuk nama Dusun dan Kampung. Struktur social masyarakat kota Malang yang longgar. Di satu sisi pengaruh feodalisme tidak begitu kuat, di sisi lain pengaruh colonial sangat kuat. Dalam disertasi Reza Hudiyanto (2009) disebutkan bahwa anggota Gemeenteraad Malang dari tahun 1920-1941 tidak didominasi nama Jawa, namun terdapat beberapa nama dari etnis lain. Ini menunjuknan bahwa struktur social sangat cari dan kebudayaan relative beragam. Oleh karena itu, di Malang muncul panggilan yang lebih merepresentasikan sebuah kesetaraan social yaitu Arek. Sebagaimana Surabaya, Malang adalah kota “tanpa kraton” sehingga karakter masyarakat sangat egaliter. Kedua pengaruh Barat sangat kuat di kedua kota ini, sehingga kebudayaan dan nilai-nilai “demokrasi” sangat berkembanga di kedua kota ini. Ketiga, kebudayaan kota yang berbasis jasa, agraris dan perdagangan menciptakan masyarakat urban yang tidak terlalu memperlihatkan sebuah level dan kasta dalam masyarakat. INilah latar belakang kebudayaan masayarakat baik Surabaya dan Malang yang menjadi representasi dari “budaya arek” di Jawa Timur.



11  Reza Hudiyanto, “The Used of The Used of Cartographical Archives to identified Distribution of Coffee Plantation during the Dutch Colonial Periods in the District of Ngantang and Dampit, Malang Regency. Seminar Proceeding in the title Utilization of Historical Sources in Learning. Faculty of Social Sciences: Malang, 2016



Klenteng straat (Sumber: Stadsgemeente Malang 1914-1930, Soerabaia: NV G Kolff & Co)



Langgar di Kampung (Sumber: Stadsgemeente Malang 1914-1930, Soerabaia: NV G Kolff & Co)



Toponim Kota Malang



BAGIAN III



TOPONIM KOTA MALANG Akar Nama Kampung Kemunculan Desa



K



onsep identifikasi wilayah sebenarnya berjalan seiring dengan adanya keinginan manusia untuk memberikan batas wilayah. Sementara disisi lain konsep batas wilayah muncul ketika manusia mulai menciptakan ruang untuk hidup dan berorganisasi social. Sebagian besar batas yang digunakan adalah batas alam seperti sungai, bukit, batu besar telaga dan pohon besar. Informasi tentang nama tempat berasal dari dua sumber yaitu kolektif memori masyarakat setempat dan sumber tertulis, baik di prasasti maupun naskah. Penamaan desa/kampung di Jawa pada umumnya berhubungan erat dengan peristiwa pembukaan wilayah oleh tokoh yang pertama kali membuka wilayah (Babad Alas). Selain itu, penamaan wilayah juga dikaitkan dengan tanda tanda alam. Terdapat beberapa metode penamaan wilayah yang didasarkan dari periodisasi. Sebelum kedatangan bangsa Belanda, penamaan wilayah diperoleh dari tanda tanda alam dan vegetasi yang dominan di kawasan tersebut. Tidak banyak tradisi penamaan yang diambil dari nama orang, sebagaimana yang lazim di dunia Barat, terutama di Amerika. Dalam catatan perjalanan raja Hayam Wuruk di kurang lebih abad ke-14, terdapat nama beberapa wilayah yang disebut secara spesifik, terutama daerah sima (desa bebas pajak), dan desa yang berhubungan dengan peristiwa tertentu seperti perang. Berdasar kajian prasasti toponimi kampung di Kota Malang ternyata dapat dilacak dari era Klasik. Pada masa sekarang wilayah pada taraf demikian mungkin sama dengan desa atau kelurahan. Selanjutnya oleh Sedyawati dikatakan bahwa di dalam thani masih dimungkinkan adanya satuan wilayah yang lebih kecil lagi dan pada masa Kadiri disebut



19



20



Toponim Kota Malang



duhan atau duwan. Hal ini juga ditemui pada desa modern yaitu dimilikinya bagian yang lebih kecil disebut dukuh, dusun atau kampung. Pada tahap selanjutnya, ketika sejumlah wanua sepakat membentuk suatu federasi dan memilih satu orang pimpinannya, maka muncullah satu kesatuan wilayah yang disebut watak, watek atau wisaya. Adapun pemimpinnya adalah seorang rakai, rake, atau rakarayan. Ia dibantu sejumlah pejabat dalam menjalankan roda pemerintahan. Namun sebagaimana diutarakan Kartakusuma (1985) bahwa tidak semua pejabat rakai adalah pemegang daerah lungguh (apanage). Hanya mereka yang pada nama jabatan ke-rakaiannya disertai dengan nama tempat (toponimi) adalah pemegang kekuasaan pada level watak selebihnya adalah pejabat pemerintahan (Boechari,1977). Pendapat ini cukup memberi kemudahan dalam upaya menentukan keberadaan suatu watak yang selanjutnya dapat direlokasikan di atas peta. Meskipun demikian, masalah tentang benar-tidaknya penafsiran terhadap keberadaan toponimi itu sendiri masih sangat terbuka.



Identifikasi Watek Data tekstual prasasti yang ditemukan (berasal) dari areal terbahas menunjukkan bahwa di wilayah Kota dan Kabupaten Malang sekarang ini, sekitar seribu tahun silam (abad ke-10 Masehi) setidaknya telah terdapat 3 (tiga) watak, yaitu Kanuruhan, Hujung dan Tugaran. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa keberadaan ketiga watak tersebut diketahui berdasarkan informasi tentang adanya pejabat rakai dari tiga daerah lungguh atau apanage (Rakai Kanuruhan, Rakai Hujung dan Rakai Tugaran). Selain itu juga terdapat informasi tentang sejumlah pejabat rendahan yang bekerja di bawah kewibawaan masing-masing rakai tersebut. Kemungkinan besar di luar ketiga watak tersebut masih terdapat watak lain mengingat pada beberapa prasasti tulisan nama watak-nya sudah aus. Dengan dukungan informasi yang akurat tentang tempat asalmula sejumlah prasasti batu (linggopala) dapat diperoleh tingkat kepastian yang tinggi terhadap posisi (keletakan) ketiga watak tersebut di atas peta. Salah satu problem yang sulit dipecahkan adalah perihal batas wilayahnya sehingga apa yang dapat dilakukan dalam upaya ini semata-mata adalah asumsi atas dasar data yang dapat diperoleh.



Toponim Kota Malang



Informasi tertua tentang keberadaan watak Kanuruhan setidaknya telah terekam dalam sumber tertulis prasasti Balingawan 813 Saka/891 M dari raja Daksa (Brandes, 1913:22-25). Dalam prasasti tersebut dituliskan adanya seorang pejabat tinggi, yaitu rakryan kanuruhan pu huntu (Pu Huntu sang penguasa ke-rakai-an (watak) Kanuruhan). Pada masa pemerintahan raja Sindok, jabatan rakai Kanuruhan telah digantikan oleh Dyah Mungpang (OJO XXXVIII). Menurut de Casparis sebagaimana dikutip Sumadio (1977) dikatakan bahwa Kanuruhan identik dengan Kanjuruhan dalam prasasti Dinoyo 682 Saka/760 M yang sekarang berubah menjadi Kejuron. Menurut hemat penulis, sekalipun tempat yang bernama Kejuron itu berada dalam wilayah watak Kanuruhan, tidak berarti nama Kanjuruhan harus diterima sebagai padanan dari Kanuruhan. Di atas kertas, tulisan keduanya dalam aksara Jawa Kuna menunjukkan perbedaan. Di lain pihak kata dasar kedua nama itupun tidak sama. Apabila antara keduanya dianggap identik maka perlu dipertanyakan apakah masa gelap antara pasca prasasti Dinoyo dan prasasti Balingawan yang meliputi masa 131 tahun dapat begitu saja diabaikan. Menurut hemat penulis bukan tidak mungkin dalam kurun waktu tersebut terjadi dua peristiwa besar, yaitu hancurnya kerajaan Kanjuruhan dan lahirnya ke-rakai-an Kanuruhan pada wilayah yang relatif sama. Harus diakui bahwa munculnya kemungkinan lain sangat terbuka. Watak Kanuruhan kiranya dahulu berada di areal pusat Kota Malang. Adapun perkiraan luas wilayahnya dapat dilihat dari batas-batasnya yang sejauh ini dapat diasumsikan memiliki tingkat ketepatan tertentu. Batas-batas itu hendak dilihat dari sudut arah mata angin. Sisi timur dan tenggara berbatasan dengan watak Tugaran. Areal perbatasan di sisi timur diperkirakan berada di sekitar Kelurahan Mangliawan atau sedikit ke timur dengan penanda tempat ditemukannya prasasti Balingawan 813 Saka/891 M. Mungkin sekali nama Mangliawan adalah perubahan bunyi dari Balingawan. Di desa ini juga terdapat situs petirtaan Wendit dan situs bekas candi di tengah makam desa. Perbatasan di sisi tenggara diperkirakan berada di sekitar desa Madyopuro. Batas sisi selatan kemungkinan juga masih termasuk wilayah watak Tugaran namun areal perbatasannya kurang jelas mengingat sampai saat ini belum ditemukan prasasti sejaman dari areal ini. Batas sisi Barat mungkin berada di sekitar Desa Dadaprejo. Di desa ini, tepatnya di dusun Ngandat, dahulu ditemukan prasasti Sangguran 846 Saka/924 M (OJO XXXI) dari raja Rake Sumba Dyah Wawa. Prasasti ini sekarang bernama prasasti



21



22



Toponim Kota Malang



Minto karena merupakan koleksi Lord Minto House di London, Inggris. Hanya sayang nama watak-nya tidak terbaca karena aus. Sisi utara rupa-rupanya berbatasan dengan watak Hujung, demikian pula kiranya dengan sisi timur laut. Batas sisi utara yang merupakan daerah perbatasan dua watak tersebut mungkin berada di sekitar Kelurahan Polowijen. Perihal nama (toponimi) ini menimbulkan perhatian yang serius. Kiranya tidak salah bila diasumsikan bahwa ia sebagai perubahan bunyi dari Panawijyan atau Panawijen sebagaimana termuat dalam prasasti Wurandungan 865 Saka/943 M (OJO L) dan Kitab Pararaton (Padmopuspito, 1966). Dari kitab ini antara lain diketahui bahwa Ken Dedes berasal dari Desa Panawijen. Watak Hujung secara garis besar berada di sekitar wilayah kecamatan Singosari, Lawang dan Jabung. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa batas sisi selatan adalah kelurahan Polowijen. Batas sisi timur kemungkinan berada di desa Wonorejo. Di desa ini terdapat sebuah dusun (kampung) bernama Blandit. Menurut de Casparis (1940) nama dusun ini identik dengan nama Walandit, Balandit atau Walandet dalam sejumlah prasasti baik dari abad ke-10 maupun abad ke-14. Dusun Blandit ini dahulu memiliki peranan yang besar semasa pemerintahan raja Sindok hingga Hayam Wuruk sebagaimana tertuang dalam prasasti Lingga Suntan 851 Saka/929 M, Muncang 866 Saka/944 M, Jeru-jeru 852 Saka/930 M, Gulung-gulung 851 Saka/929 M dan prasasti Walandit (tanpa tahun) dari masa Majapahit. Untuk batas sisi utara dan barat sampai sekarang belum bisa diperkirakan karena data prasasti yang diharapkan memberi informasi tentang hal itu belum ditemukan. Hanya terdapat catatan kecil, untuk batas sisi barat mungkin berada di lereng timur Gunung Arjuna mengingat keberadaannya di sebelah barat kecamatan Singosari. Mungkin sisi utara watak Hujung berbatasan dengan watak Bawang. Hal ini dapat dijelaskan dengan keberadaan insitu prasasti Cunggrang 851 Saka/929 M di desa Suci kecamatan Gempol kabupaten Pasuruan. Keberadaan Watak Tugaran diketahui melalui dua indikator, yaitu (1) adanya seorang pejabat rake yang membawahi wilayah Tugaran (rake Tugaran), (2) adanya sejumlah jabatan setingkat dan dua tingkat di bawah rake yang bertugas di wilayah Tugaran (patih i tugaran, rakryan juru gotra i tugaran). Keletakan watak ini setidaknya untuk bagian utara dipercaya berada di kecamatan Kedungkandang, khususnya desa Lesanpuro. Di desa ini terdapat kampung Tegaron yang sangat dekat bunyinya dengan Tugaran. Atas dasar kedekatan unsur bunyi dan tulisannya diperkirakan keduanya adalah sama. Selanjutnya



Toponim Kota Malang



dapat diajukan dugaan bahwa tempat ini dahulu adalah pusat kegiatan pemerintahan watak Tugaran. Batas wilayah watak Tugaran di sisi utara adalah watak Hujung. Sisi barat dibatasi oleh watak Kanuruhan dengan areal perbatasan yang belum jelas. Adapun sisi timur kiranya dibatasi oleh lereng barat gunung Semeru. Adapun sisi selatan kiranya berbatasan dengan watak lain yang tidak diketahui namanya. Namun keberadaan watak ini didukung oleh keberadaan prasasti Turyyan 851 Saka/929 M di Desa Tanggung Kecamatan Turen, walaupun tulisan nama watak pada prasasti ini aus hingga tidak dapat terbaca tetapi nama wanua-nya, yaitu Turyyan. Nama desa tempat berdirinya prasasti itu sendiri sudah berubah, beruntung nama aslinya tetap bertahan sebagai nama kecamatan. Sayang sekali nama Desa Kulowara yang juga tertulis pada prasasti itu sekarang sudah tidak dapat dilacak kembali keberadaannya.



Identifikasi Wanua Identifikasi wanua dilakukan menurut keberadaannya dalam suatu watak. Dari informasi berbagai prasasti terbahas diperoleh sejumlah nama wanua baik sebagai sima (perdikan), tepi siring (tetangga desa terdekat) maupun wanua biasa. Upaya pelacakan asal keberadaan desa-desa kuno tersebut mengalami banyak kendala. Namun demikian sejumlah desa kuno dapat dikenali kembali keletakannya, sekalipun tidak selalu dikuatkan dengan temuan artefak sejaman. Artefak yang ditemukan pada desa-desa kuno itu kadang berasal dari penanggalan yang lebih muda. Hal ini justru sangat mendukung dugaan bahwa desa tersebut telah dihuni oleh sederet generasi atau dalam waktu yang lama. Di antara desa-desa kuno tersebut, di masa sekarang ada yang sama sekali berubah namanya tetapi ada juga yang tetap atau sedikit berubah. Persoalan ini tidak sulit dipahami mengingat dalam perjalanan waktu perubahan senantiasa terjadi di samping beberapa hal yang tetap sama. Desa-desa kuno di wilayah watak Kanuruhan yang masih dapat dilacak kembali lokasinya yaitu Waharu, Balingawan, Panawijyan, dan Bantaran. Pelacakan ini dilakukan melalui proses mencari kesesuaian antara nama wanua dalam prasasti dengan toponimi baik



23



24



Toponim Kota Malang



yang terekam pada peta maupun yang masih hidup dalam tradisi lisan. Selain itu juga dilakukan pelacakan on the spot survei dan wawancara dengan warga masyarakat. Wanua i waharu mungkin sekarang ini bernama Lowok Waru yang terletak di wilayah kecamatan Lowok Waru. Perubahan nama dari waharu atau waru menjadi Lowok Waru kiranya tidak berlebihan atau menjadi suatu gejala yang sudah lazim. Perubahan semacam ini juga terjadi pada kasus lain misalnya desa Rejo Kidal (tempat beradanya candi Kidal) berasal dari nama Kidal sebagai tempat pen-dharma-an Anusapati yang termuat dalam Kitab Pararaton. Selain penjelasan itu juga terdapat sejumlah desa yang diawali dengan kata Lowok, yaitu Lowok Suruh, Lowok Jati dan Lowok Dara. Kata lowok dalam kosa kata bahasa Jawa (Baru) salah satu artinya adalah bunga. Adapun wanua i balingawan kiranya telah berubah menjadi Mangliawan, yaitu suatu desa di kecamatan Pakis. Proses perubahan nama ini tidak terjadi secara serta-merta. Sangat mungkin prosesnya diawali dari Balingawan menjadi Malingawan. Seterusnya berubah menjadi Manglingawan dan akhirnya Mangliawan. Posisi desa Mangliawan pada poros Malang–Tumpang yang diketahui memiliki kepadatan tinggalan arkeologi yang cukup tinggi sangat mendukung keberadaannya sebagai salah satu desa kuna. Selain itu di lokasi desa ini juga ditemukan tinggalan ikonografi yang cukup banyak antara lain yang masih tersimpan di Taman Rekreasi Wendit dan di areal makam (kramatan) Desa Mangliawan. Dengan demikian tidak berlebihan bila diajukan dugaan bahwa lokasi ini adalah bekas desa kuna yang pada abad ke-13 bernama Balingawan. Wanua i panawijyan diduga kuat saat ini adalah desa Polowijen sebagaimana disinggung pada pembicaraan tentang watak terdahulu. Perubahan bunyi melalui pertukaran konsonan ‘n’ dan ‘p’ pada bahasa Jawa kiranya merupakan peristiwa bahasa yang acap kali terjadi. Istilah ini disebut dengan dublet. Adapun perubahan bunyi pada vokal dari ‘a’ menjadi ‘o’ adalah disebabkan perubahan pada bunyi abjad (susunan aksara) yang dipakai dari abjad Jawa Kuna menuju Jawa Baru. Selain terdapat kedekatan unsur nama, di desa ini juga terdapat beragam tinggalan arkeologis yang menguatkan dugaan di atas.Tinggalan arkeologis yang masih dapat ditemukan di tempat ini antara lain bekas pemukiman yang kaya dengan pecahan keramik asing dan gerabah, sisa umpak-umpak batu dan arung (saluran air bawah tanah). Nama Panawijyan tertulis pada prasasti Wurandungan 865 Saka dan tertulis sebagai Panawijen pada kitab Pararaton. Dalam Pararaton dilukiskan betapa keberadaan desa ini penting mengingat di sana tinggal atau



Toponim Kota Malang



berada suatu perguruan (mandala/kadewagurwan) yang dipimpin oleh Mpu Purwwa. Ia memiliki seorang putri bernama Ken Dedes. Putri ini di kemudian hari dijadikan istri oleh akuwu Tunggul Ametung yang berkuasa di Tumapel. Dari paparan data yang singkat ini kiranya dapat ditarik suatu hipotesis bahwa wanua i panawijen setidaknya telah dihuni sejak abad ke-10 hingga sekarang. Wanua i bantaran yang disebut juga alas ing bantaran mungkin adalah kelurahan Bantaran di wilayah kecamatan Blimbing. Melihat adanya kesamaan nama ini kiranya sangat dimungkinkan bahwa yang dimaksud dengan Bantaran adalah tempat yang sama juga. Dari keletakannya yang berdekatan dengan Lowok Waru (wanua i waharu) maka dugaan di atas menjadi semakin kuat. Selain itu masih terdapat sebuah desa yang bernama Bunulrejo di kecamatan Lowok Waru. Melihat dari namanya kiranya dapat dihubungkan dengan sebuah prasasti dari masa Sindok yang dikeluarkan atas perintah Rakai Kanuruhan, yaitu prasasri Rampal 856 Saka/934 M. Prasasti ini disebut prasasti Kanuruhan oleh Sedyawati (1985). Isi prasasti ini berkenaan dengan pemberian sima oleh Rakai Kanuruhan bagi Pu Bulul dengan kompensasi melakukan kewajiban tertentu. Menarik perhatian adanya nama tempat yang kemungkinan berasal dari nama penerima sima, yaitu Bunul. Nama ini kiranya berasal dari Bulul dengan kasus terjadi pertukaran konsonan l dan n, sebagaimana kasus Panawijen dan Polowijen. Selain desa-desa tersebut, jauh di wilayah Malang selatan terdapat kecamatan Turen. Nama ini mengingatkan kita pada prasasti Turyyan 851 Saka yang insitu di desa Tanggung Kecamatan Turen. Meskipun nama desa tempat beradanya prasasti itu telah berubah sama sekali tetapi rupanya nama kuna tersebut tetap bertahan sebagai nama kecamatan. Berbeda dengan kondisi data tentang watak Kanuruhan, informasi tentang desa-desa kuna di bawah watak Hujung tidak banyak yang tersisa sehingga hanya sedikit desa yang masih dapat dilacak kembali lokasinya. Sejauh ini desa kuna yang terlacak adalah Balandit, Jeru-jeru dan Lingga Suntan. Sekalipun pada teks prasasti terbaca sejumlah besar nama desa namun hingga saat ini masih sangat sulit untuk mengidentifikasikan lokasi asal mereka. Pendapat de Casparis tentang keberadaan desa Balandit atau Walandit nampaknya (1940) di atas tidak perlu diragukan lagi. Tetapi ada satu pertanyaan besar mengenai desa ini, yaitu mengapa desa yang dahulu memiliki peran sangat penting saat ini tidak memiliki tinggalan kebesarannya kecuali namanya yang masih tersisa. Sementara nama



25



26



Toponim Kota Malang



wanua I Jeru-jeru kiranya masih tersisa sebagai Desa Jeru yang terletak kira-kira satu kilometer di sebelah utara kota kecamatan Tumpang. Adapun nama Lingga Suntan sebagai suatu desa kiranya tidak dapat ditemukan lagi pada saat sekarang. Berdasarkan berita asal-usul prasasti Lingga Suntan, yaitu pertama kali ditemukan di desa Lowokjati, ditambah besarnya ukuran batu prasasti tersebut, kiranya dapat diterima pendapat de Casparis (1940) bahwa desa itulah yang semula bernama Lingga Suntan. Selain itu keletakan desa ini tidak terlampau jauh (± 5 km di atas peta) di sebelah barat laut dari dusun Blandit sebagai salah satu wanua i tpi siring-nya. Mengingat nama suatu watak diangkat dari nama asal daerah lungguh (apanage) sang rake maka dengan singkat dapat diasumsikan bahwa Tugaran digunakan untuk menyebut watak sekaligus wanua. Wanua i tugaran kemungkinan sekarang tertinggal sebagai dusun Tegaron di Kelurahan Lesan Puro, Kecamatan Kedung Kandang. Pada Pararaton dilukiskan bahwa Ken Angrok pernah tinggal sementara di desa Tugaran yang berdekatan dengan desa Kabalon. Desa Kabalon ini saat sekarang masih tetap ada di kawasan bukit Buring disebelah timur dusun Tegaron. Dengan demikian di desa ini proses pemukiman juga telah berjalan setidaknya selama 10 abad. Dari keterangan lisan Dr. M. Habib Mustopo (Desember 2000) diketahui bahwa di desa/kelurahan Lesanpuro di mana kampung Tegaron berada memang terdapat sejumlah temuan arkeologis yang sayang sekali saat ini telah banyak yang raib. Informasi lain tentang desa kuno yang berada dalam wilayah watak ini hingga saat ini belum ditemukan. Tetapi perlu dipertimbangkan keberadaan prasasti Turyyan 851 Saka/929 Masehi di Desa Tanggung Kecamatan Turen. Apabila dapat diajukan perdapat bahwa wilayah watak Tugaran sisi selatan mencakup kecamatan Turen, maka desa-desa yang termuat dalam prasasti Turyyan, yaitu desa Kulowara dan Turyyan, tentunya juga bagian dari watak ini.



Asal Usul Nama Kampung di Jawa Menurut Agus Aris Munandar, ada beberapa nama yang selalu muncul di beberapa wilayah di Jawa, khususnya. Berdasarkan penelitian toponimi yang pernah dilakukan di beberapa kota, Munandar berpendapat bahwa nama nama itu dapat dikelompokkan dalam



Toponim Kota Malang



beberapa kelompok sebagai berikut:



1. Nama tumbuhan (flora), misalnya Tarumanagara (tanaman tarum untuk menghasilkan warna biru), Kanjuruhan (juruh[Jawa Kuno/Jakun= air gula aren], Majapahit, Kasurangganan (rangga [Jakun]= bunga bakung), Pakwan-Pajajaran (pakwan [Sunda Kuno]=tempat pohon pakis tumbuh), Karangasem (Bali), Pandan Salas, Cemoro Sewu, dan lain-lain. Beberapa nama mengalami dublet (pertukaran konsonan) sehingga tidak diketahui seperti medang sebagai ejaan kuna dari merang. 2. Nama hewan (fauna), misalnya Singhasari, Panjalu, Watukura, Palintahan (lintah), Lwa Gajah (Bali), Gunung Ngliman (Nganjuk), Bukit Gajah Mungkur (Mojokerto), Kedung Banteng (Sragen), dan lain-lain. 3. Mengacu kepada peristiwa sejarah, mitos, atau legenda, misalnya Gunung Sindoro, Sumbing, Gunung Tangkuban Parahu, Ratu Baka, Sungai Serayu, nama Candi Lara Jonggrang, dan kawasan Karang Kamulyan di Ciamis 4. Nama yang mengacu kepada ajaran, konsep keagamaan atau ikonografi, misalnya Gunung Kajar di Lasem, Gunung Pawitra, Semeru, Bromo (Brahma), Panderman di Batu, Dieng (pada dataran tinggi Dieng) dari kata adi-hyang (Jawa Kuno) yang berarti hyang yang utama, Banten. Contoh yang berasosiasi dengan ikonografi Hindu-Buddha misal, Jalatunda (nama petirtaan),Probolinggo dari kata prabha (sinar) (Mardiwarsito 1986: 428) Kudus dari Al Quds, dan lingga (bentuk lonjong [batu atau logam] simbol dari eksistensi Dewa Siwa). 5. Gelar tokoh masa silam. Misalnya, nama Desa Rejoso di Sidoarjo. Nama Rajasa berasal dari tokoh Rajasanagara (Hayam Wuruk), Kepanjen (di Malang), kota Indramayu dari nama tokoh Nyi Endang Dharma Ayu, perempuan pembuka permukiman awal di tepi Sungai Cimanuk. 6. Kondisi geografis, misalnya Segara Anakan, Pegunungan Sewu, Demak, Segaran(Trowulan), Rawa Pening (Rawa yang tenang, pening [Jawa Kuno/Jakun]= tenang, khusuk), Lwa Wentar di Blitar (tempat bobolnya tanggul Sungai Berantas masa silam, wentar/bentar [Jakun]=pecah]1



1  Agus Aris Munandar, “ Toponimi dalam Kajian Arkeologi Makalah dalam “Seminar Nasional Toponimi: Toponimi dalam Perspektif Ilmu Budaya”, Kamis, 3 November 2016, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Diselenggarakan atas kerja sama Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya (PPKB FIB-UI) dengan Komunitas Toponimi Indonesia (KOTISIA). Hlm 4



Peta Administrasi Kota Malang (Sumber: Peta Rupabumi Badan Informasi Geospasial)



27



28



Toponim Kota Malang



Di Kota Malang terdapat 5 kecamatan, yaitu Blimbing, Klojen, Sukun, Lowokwaru dan Kedungkandang. Masing-masing kecamatan memiliki jumlah kelurahan yang berbeda beda. Jika dijumlahkan secara keseluruhan terdapat 57 kelurahan. Kelurahan itu kemungkinan besar merupakan turunan dari wilayah kampung pada masa Kolonial Belanda, namun sebagian merupakan reorganisasi atau pemekaran. Sebelum tahun 1969, nama kampung terwakili pada nama jalan di kota Malang. Oleh karena itu, pada peta dan adressboek kota Malang tahun 1954, dan 1964 masih terdapat nama Jalan Oro Oro Dowo, Jalan Betek, Jalan Celaket, Jalan Glintung, Jalan Blimbing dan Jalan Kasin. Belanda sama sekali tidak mengubah nama jalan, hanya memberi nama baru pada jalanjalan baru yang dibangun seiring perluasan Bouwplan. Akan tetapi setelah tahun 1969, sebagian nama jalan yang mewakili identittas kampung diubah menjadi nama Pahlawan Revolusi (Reza Hudiyanto: 2014). Jika dikelompokkan secara garis besar, maka nama nama kampung di Kota ini berasal dari nama-nama sebagai berikut: 1. Flora (buah, bunga, alang alang dan pohon-tanaman keras); 2. Nama Jabatan (Tumenggungan), Kauman; 3. Landmark (Klojen, Kidul Dalem, Kauman, Tlogomas, Sumbersari, Bandulan, Polehan, Kidul Pasar, Kota Lama, Buring, Oro oro Dawa, Bareng, Polehan); 4. Pewayangan (Jodipan, Sawojajar, Madyopura, Arjowinangun, dan Tasikmadu); 5. Nama Kuna yang menarik ada nama yang berasal dari tokoh kuno Pu-Bulul yang kemudian berubah bunyi menjadi Bunul, Sukun, dan Gadang, Bantaran dan Palawijen; 6. Profesi dan Etnis (Samaan/“nyamak”, Pandean/“pande”, Kesatrian, dan Kudusan, Kejuron) Berikut ini adalah daftar nama Kampung di Kota Malang berdasarkan catatan pemerintah kota pada tahun 2016: 1. KECAMATAN KLOJEN A. Kelurahan/Desa Klojen Dusun/Lingkungan/Kampung Klojen Lor Dusun/Lingkungan/Kampung Klojen Wetan Dusun/Lingkungan/Kampung Klojen



Toponim Kota Malang



B. Kelurahan/Desa Rampal-Celaket Dusun/Lingkungan/Kampung Rampal Kulon Dusun/Lingkungan/Kampung Klerek Dusun/Lingkungan/Kampung Celaket Dusun/Lingkungan/Kampung Celaket Wetan C. Kelurahan/Desa Oro-Oro Dowo Dusun/Lingkungan/Kampung Oro-Oro Dowo Ledok Dusun/Lingkungan/Kampung Kawedusan (Ledusan) D. Kelurahan/Desa Samaan Dusun/Lingkungan/Kampung Kampung Klithik Dusun/Lingkungan/Kampung Tugu Dusun/Lingkungan/Kampung Sumber Waras Dusun/Lingkungan/Kampung Celaket Kulon E. Kelurahan/Desa Penanggungan Dusun/Lingkungan/Kampung Penanggungan Dusun/Lingkungan/Kampung Jenggrik Dusun/Lingkungan/Kampung Betek Dusun/Lingkungan/Kampung Betek Tempel F. Kelurahan/Desa Gadingkasri Dusun/Lingkungan/Kampung Kasri Dusun/Lingkungan/Kampung Gading Lor Dusun/Lingkungan/Kampung Gading Tengah Dusun/Lingkungan/Kampung Gading Wetan Dusun/Lingkungan/Kampung Gading Kidul Dusun/Lingkungan/Kampung Klampok G. Kelurahan/Desa Bareng Dusun/Lingkungan/Kampung Bareng Dusun/Lingkungan/Kampung Bareng Tengah Dusun/Lingkungan/Kampung Bareng Kulon Dusun/Lingkungan/Kampung Bareng Bantar Angin (RW IV) H. Kelurahan/Desa Kasin Dusun/Lingkungan/Kampung Arab Dusun/Lingkungan/Kampung Sawahan Dusun/Lingkungan/Kampung Kasin Kulon Dusun/Lingkungan/Kampung Kasin Kidul



29



30



Toponim Kota Malang



Dusun/Lingkungan/Kampung Ngaglik Dusun/Lingkungan/Kampung Kepunden Dusun/Lingkungan/Kampung Kramat I. Kelurahan/Desa Sukoharjo Dusun/Lingkungan/Kampung Jagalan Dusun/Lingkungan/Kampung Comboran Dusun/Lingkungan/Kampung Urek-Urek Dusun/Lingkungan/Kampung Kidul Pasar Dusun/Lingkungan/Kampung Kulon Pasar Dusun/Lingkungan/Kampung Wetan Pasar Dusun/Lingkungan/Kampung Pecinan Dusun/Lingkungan/Kampung Pecinan Kecil J. Kelurahan/Desa Kauman Dusun/Lingkungan/Kampung Kayu Tangan Dusun/Lingkungan/Kampung Talun Dusun/Lingkungan/Kampung Talun Lor Dusun/Lingkungan/Kampung Gandekan Dusun/Lingkungan/Kampung Kauman Ledok Dusun/Lingkungan/Kampung Tongan Dusun/Lingkungan/Kampung Klojen Ledok K. Kelurahan/Desa Kidul Dalem Dusun/Lingkungan/Kampung Kudusan Dusun/Lingkungan/Kampung Temenggungan Dusun/Lingkungan/Kampung Klojen Kidul 2. KECAMATAN BLIMBING A. Kelurahan/DesaKesatrian (Kampement) Dusun/Lingkungan/Kampung Tumenggungan Ledok B. Kelurahan/Desa Polehan Dusun/Lingkungan/Kampung Sukorejo Dusun/Lingkungan/Kampung Gumuk C. Kelurahan/Desa Purwantoro Dusun/Lingkungan/Kampung Genuk Watu Barat Dusun/Lingkungan/Kampung Glintung Dusun/Lingkungan/Kampung Patuksalam



Toponim Kota Malang



Dusun/Lingkungan/Kampung Wonosari Dusun/Lingkungan/Kampung Banjarsari Dusun/Lingkungan/Kampung Pandean Dusun/Lingkungan/Kampung Sanan Dusun/Lingkungan/Kampung Melati D. Kelurahan/Desa Bunulrejo Dusun/Lingkungan/Kampung Bunul Dusun/Lingkungan/Kampung Bunul Lor Dusun/Lingkungan/Kampung Bunul Kulon Dusun/Lingkungan/Kampung Bunul Wetan Dusun/Lingkungan/Kampung Klampisan Dusun/Lingkungan/Kampung Beji Sari Dusun/Lingkungan/Kampung Ngujil Dusun/Lingkungan/Kampung Ngujil Wetan Dusun/Lingkungan/Kampung Kendal Kerep Kidul Dusun/Lingkungan/Kampung Tlogosari Dusun/Lingkungan/Kampung Glagahurip E. Kelurahan/Desa Pandanwangi Dusun/Lingkungan/Kampung Lowok Padas Dusun/Lingkungan/Kampung Gambiran Dusun/Lingkungan/Kampung Tawangrejo Dusun/Lingkungan/Kampung Jambangan Dusun/Lingkungan/Kampung Locari Dusun/Lingkungan/Kampung Kenangasari Dusun/Lingkungan/Kampung Wonosalam Dusun/Lingkungan/Kampung Gandongan F. Kelurahan/Desa Blimbing Dusun/Lingkungan/Kampung Meduran (RW VIII, IX, X) Dusun/Lingkungan/Kampung Madutama Dusun/Lingkungan/Kampung Madyatama Dusun/Lingkungan/Kampung Purwatama Dusun/Lingkungan/Kampung Kampung Baru G. Kelurahan/Desa Purwodadi Dusun/Lingkungan/Kampung Sumpil Dusun/Lingkungan/Kampung Kemirahan



31



32



Toponim Kota Malang



Dusun/Lingkungan/Kampung Plaosan Dusun/Lingkungan/Kampung Pulosari Dusun/Lingkungan/Kampung Sidomulyo Dusun/Lingkungan/Kampung Pulerejo H. Kelurahan/Desa Arjosari Dusun/Lingkungan/Kampung Kesek I. Kelurahan/Desa Balearjosari Dusun/Lingkungan/Kampung Karang Asem Dusun/Lingkungan/Kampung Cerme Dusun/Lingkungan/Kampung Sumber Suko Dusun/Lingkungan/Kampung Payaman J. Kelurahan/Desa Jodipan Dusun/Lingkungan/Kampung Jodipan Dusun/Lingkungan/Kampung Jodipan Wetan Dusun/Lingkungan/Kampung Jodipan Kulon Dusun/Lingkungan/Kampung Sidosadar Dusun/Lingkungan/Kampung Gang Boldi Dusun/Lingkungan/Kampung Kebalen Dusun/Lingkungan/Kampung Kebalen Wetan Dusun/Lingkungan/Kampung Cimplung K. Kelurahan/Desa Polowijen Dusun/Lingkungan/Kampung Watu Kenong Dusun/Lingkungan/Kampung Karang Jambe Dusun/Lingkungan/Kampung Santrean (Pesantren) Dusun/Lingkungan/Kampung Lok Bangle Dusun/Lingkungan/Kampung Kampung Rejo 3. KECAMATAN KEDUNGKANDANG A. Kelurahan/Desa Arjowinangun Dusun/Lingkungan/Kampung Tutut Dusun/Lingkungan/Kampung Babatan Dusun/Lingkungan/Kampung Wonorejo B. Kelurahan/Desa Tlogowaru Dusun/Lingkungan/Kampung Sekarsari Dusun/Lingkungan/Kampung Tlogosari



Toponim Kota Malang



Dusun/Lingkungan/Kampung Baran Tlogowaru C. Kelurahan/Desa Mergosono Dusun/Lingkungan/Kampung Lorejo (Gang 7 & 9) D. Kelurahan/Desa Bumiayu Dusun/Lingkungan/Kampung Bumiayu Lor Dusun/Lingkungan/Kampung Bumiayu Kidul Dusun/Lingkungan/Kampung Budengan Lor Dusun/Lingkungan/Kampung Budengan Kidul Dusun/Lingkungan/Kampung Bulurejo E. Kelurahan/Desa Wonokoyo Dusun/Lingkungan/Kampung Kalisari Dusun/Lingkungan/Kampung Kalianyar Dusun/Lingkungan/Kampung Sekar Putih Dusun/Lingkungan/Kampung Baran Wonokoyo F. Kelurahan/Desa Buring Dusun/Lingkungan/Kampung Gedangan Dusun/Lingkungan/Kampung Baran Buring G. Kelurahan/Desa Kota Lama Dusun/Lingkungan/Kampung Kuto Bedah (Kuto Rejo) Dusun/Lingkungan/Kampung Kedung Luncing/Lonceng H. Kelurahan/Desa Kedungkandang Dusun/Lingkungan/Kampung Wareng Dusun/Lingkungan/Kampung Kedungkandang Timur I. Kelurahan/Desa Cemorokandang Dusun/Lingkungan/Kampung Temboro Dusun/Lingkungan/Kampung Kebalon Dusun/Lingkungan/Kampung Krajan Dusun/Lingkungan/Kampung Tempuran J. Kelurahan/Desa Lesanpuro Dusun/Lingkungan/Kampung Tegaron Dusun/Lingkungan/Kampung Baran Tegaron Dusun/Lingkungan/Kampung Baran Bataan Dusun/Lingkungan/Kampung Karang Kates Utara Dusun/Lingkungan/Kampung Karang Kates Selatan K. Kelurahan/Desa Madyopuro (Ngadipuro)



33



34



Toponim Kota Malang



Dusun/Lingkungan/Kampung Glendangan Pakem Dusun/Lingkungan/Kampung Ngadipuro Lor Dusun/Lingkungan/Kampung Ngadipuro Tengah Dusun/Lingkungan/Kampung Gempol Dusun/Lingkungan/Kampung Gribik Sentana (Gribik Tengah) Dusun/Lingkungan/Kampung Gribik Cilik (Gribik Kulon) Dusun/Lingkungan/Kampung Gribik Ledok (Gang Mirej) Dusun/Lingkungan/Kampung Sanasari Dusun/Lingkungan/Kampung Krajan (RW I & RW II) Dusun/Lingkungan/Kampung Baran Ngadipuro Dusun/Lingkungan/Kampung Baran Gribik L. Kelurahan/Desa Sawojajar Dusun/Lingkungan/Kampung Sundeng Dusun/Lingkungan/Kampung Kwangsan Dusun/Lingkungan/Kampung Sukorejo 4. KECAMATAN LOWOKWARU A. Kelurahan/Desa Jatimulyo Dusun/Lingkungan/Kampung Tembalangan Dusun/Lingkungan/Kampung Karang Tengah Dusun/Lingkungan/Kampung Mangu Dusun/Lingkungan/Kampung Magetan Dusun/Lingkungan/Kampung Menjing Dusun/Lingkungan/Kampung Bioro B. Kelurahan/Desa Lowokwaru Dusun/Lingkungan/Kampung Karang Jepun Dusun/Lingkungan/Kampung Dayak Dusun/Lingkungan/Kampung Balean Barat Dusun/Lingkungan/Kampung Santrean C. Kelurahan/Desa Tulusrejo Dusun/Lingkungan/Kampung Bantaran Dusun/Lingkungan/Kampung Janti Dusun/Lingkungan/Kampung Bukirsari Dusun/Lingkungan/Kampung Kendalsari Dusun/Lingkungan/Kampung Kedawung



Toponim Kota Malang



Dusun/Lingkungan/Kampung Sumbersari D. Kelurahan/Desa Mojolangu Dusun/Lingkungan/Kampung Panggungrejo Dusun/Lingkungan/Kampung Bukur Dusun/Lingkungan/Kampung Perembukan Dusun/Lingkungan/Kampung Rembuksari Dusun/Lingkungan/Kampung Ledok Dusun/Lingkungan/Kampung Sudimoro Dusun/Lingkungan/Kampung Lowok Mojo Dusun/Lingkungan/Kampung Ketapang E. Kelurahan/Desa Tunjungsekar Dusun/Lingkungan/Kampung Sumberingin Dusun/Lingkungan/Kampung Bulurejo Dusun/Lingkungan/Kampung Lok Gempol Dusun/Lingkungan/Kampung Babatan Dusun/Lingkungan/Kampung Karang Geneng Dusun/Lingkungan/Kampung Besuk Dusun/Lingkungan/Kampung Sambirejo F. Kelurahan/Desa Tasikmadu Dusun/Lingkungan/Kampung Lowokwaru Dusun/Lingkungan/Kampung Terimosemut Dusun/Lingkungan/Kampung Jeruk Dusun/Lingkungan/Kampung Kasur Dusun/Lingkungan/Kampung Bentis Dusun/Lingkungan/Kampung Karangsuko G. Kelurahan/Desa Tunggulwulung (Petung Wulung) Dusun/Lingkungan/Kampung Krajan Dusun/Lingkungan/Kampung Bawang Dusun/Lingkungan/Kampung Pohpayung H. Kelurahan/Desa Dinoyo Dusun/Lingkungan/Kampung Ngemplak/Bulak Dusun/Lingkungan/Kampung Koplakan Dusun/Lingkungan/Kampung Sanggrahan I. Kelurahan/Desa Merjosari Dusun/Lingkungan/Kampung Candri



35



36



Toponim Kota Malang



Dusun/Lingkungan/Kampung Gandul Dusun/Lingkungan/Kampung Clumprit Dusun/Lingkungan/Kampung Pentung Lamuk Dusun/Lingkungan/Kampung Sempol Dusun/Lingkungan/Kampung Joyo Suko Dusun/Lingkungan/Kampung Mertojoyo Dusun/Lingkungan/Kampung Genting J. Kelurahan/Desa Tlogomas Dusun/Lingkungan/Kampung Karuman Dusun/Lingkungan/Kampung Guyangan Dusun/Lingkungan/Kampung Ngelo Dusun/Lingkungan/Kampung Watu Gong K. Kelurahan/Desa Sumbersari Dusun/Lingkungan/Kampung Ketawangsari Dusun/Lingkungan/Kampung Pilang L. Kelurahan/Desa Ketawanggede Dusun/Lingkungan/Kampung Watugong Dusun/Lingkungan/Kampung Watumujur Dusun/Lingkungan/Kampung Watugilang Dusun/Lingkungan/Kampung Watuaji Dusun/Lingkungan/Kampung Kertosariro 5. KECAMATAN SUKUN A. Kelurahan/Desa Bandulan Dusun/Lingkungan/Kampung Sumber Alur Dusun/Lingkungan/Kampung Bandulan Permai Dusun/Lingkungan/Kampung Bandulan Baru Dusun/Lingkungan/Kampung Sumbersari B. Kelurahan/Desa Karangbesuki Dusun/Lingkungan/Kampung Badut Dusun/Lingkungan/Kampung Gasek Dusun/Lingkungan/Kampung Klaseman (Karang Asem) Dusun/Lingkungan/Kampung Jeksaan/Kajeksan/Ndesan Dusun/Lingkungan/Kampung Sidomulyo C. Kelurahan/Desa Pisangcandi



Toponim Kota Malang



Dusun/Lingkungan/Kampung Kejuron Dusun/Lingkungan/Kampung Juwet Kulon Dusun/Lingkungan/Kampung Juwet Wetan Dusun/Lingkungan/Kampung Sumber Sareh Dusun/Lingkungan/Kampung Genitri Dusun/Lingkungan/Kampung Gantasan Dusun/Lingkungan/Kampung Bebekan D. Kelurahan/Desa Mulyorejo Dusun/Lingkungan/Kampung Tebo Utara Dusun/Lingkungan/Kampung Tebo Selatan Dusun/Lingkungan/Kampung Kocek Dusun/Lingkungan/Kampung Kemulan Dusun/Lingkungan/Kampung Sedudut (RW VI) Dusun/Lingkungan/Kampung Supit Urang E. Kelurahan/Desa Sukun Dusun/Lingkungan/Kampung Pandean Dusun/Lingkungan/Kampung Gempol F. Kelurahan/Desa Tanjungrejo Dusun/Lingkungan/Kampung Cangkringan Dusun/Lingkungan/Kampung Mergan Dusun/Lingkungan/Kampung Mergan Kramat Dusun/Lingkungan/Kampung Ledok Dusun/Lingkungan/Kampung Ketepengan Dusun/Lingkungan/Kampung Sidomulyo (Kampung Pemulung) G. Kelurahan/Desa Bakalankrajan Dusun/Lingkungan/Kampung Bakalan Dusun/Lingkungan/Kampung Klabang Dusun/Lingkungan/Kampung Duren Lor Dusun/Lingkungan/Kampung Selelir (Slilir) Dusun/Lingkungan/Kampung Urung-Urung (Areng-Areng) H. Kelurahan/Desa Bandungrejosari Dusun/Lingkungan/Kampung Janti Lor Dusun/Lingkungan/Kampung Janti Kulon Dusun/Lingkungan/Kampung Janti Kidul Dusun/Lingkungan/Kampung Janti Wetan



37



38



Toponim Kota Malang



Dusun/Lingkungan/Kampung Kepuh Dusun/Lingkungan/Kampung Kemantren Dusun/Lingkungan/Kampung Klayatan Dusun/Lingkungan/Kampung Panjura I. Kelurahan/Desa Ciptomulyo Dusun/Lingkungan/Kampung Tawean (nDawean, Gang 8) J. Kelurahan/Desa Gadang Dusun/Lingkungan/Kampung Waduk (Sekitaran Gang 6-21) K. Kelurahan/Desa Kebonsari Dusun/Lingkungan/Kampung Kacuk Dusun/Lingkungan/Kampung Lowokdoro Berdasar uraian nama kampung di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nama kampung itu memenuhi beberapa uraian pola penamaan kampung. Dalam buku, ini tidak semua kampung diulas berdasarkan pertimbangan minimum analisis yang diberikan. Sebelum penjabaran identifikasi toponimi nama jalan berdasar dari urutan Kecamatan yang ada di Kota Malang, penulis terlebih dahulu menjelaskan toponimi nama Malang sebagai awal tulisan.



Toponim Kota Malang



Peta Administrasi Kota Malang (Sumber: Peta Rupabumi Badan Informasi Geospasial)



39



40



Toponim Kota Malang



Asal Usul Nama Kampung di Malang Konsep batas wilayah adalah konsep yang muncul setelah jumlah tanah semakin terbatas, dan sumber alam mulai tidak seimbang dengan daya dukung populasi. Pada era prakolonialisme, tidak ada batas wilayah yang jelas untuk menandai daerah kekuasaan. Sebagian besar batas yang digunakan adalah batas alam seperti sungai, bukit, batu besar telaga dan pohon besar. Batas dalam arti garis imajiner yang diperkuat dengan pal, patok dan titik koordinat baru dikenal setelah tahun 1850an setelah perkembangan system pemetaan. Sekalipun belum mengenal konsep batas wilayah, masyarakat sudah membentuk system organisosial yang kompleks. Ini dibuktikan dengan adanya informasi tentang Kerajaan Kanjuruhan yang dibuktikan dari prasasti Dinaya dan Candi Badut. Sekalipun Negara ini tidak begitu banyak diketahui, pada abad ke-12 di wilayah ini muncul sebuah Negara bernama Singsari. Singasari didirikan oleh seorang “rakyat jelata” yang bernama Ken Angrok yang mampu menikahi seorang wanita kasta tinggi bernama Ken Dedes. Ken Angrok diberitakan menempati wilayah yang disebut dengan nama Tumapel. Pada masa Raja Wisnuwardhana, pusat pemerintahan Singasari dipindahkan ke Utara ke desa yang sekarang bernama Singhasari. Ken Arok membentuk Dinasti yang disebut Dinasti Rajasa. Dinasti ini bertahan hingga raja terakhir bernama Kartanegara. Kerajaan runtuh setelah diserbu oleh Jayakatwang dari Kediri. Jayakatwang berhasil dikalahkan Raden Wijaya dengan memanfaatkan tentara Mongol. Setelah wafatnya Kartanegara, menantu raja ini yang bernama Raden Wijaya memindahkan pusat kerajaan baru di wilayah Tarik (sekarang daerah Sidoarjo). Setelah itu, daerah Malang tidak pernah muncul dalam sejarah, kecuali hanya menjadi wilayah bawahan Majapahit yang dipimpin Bhre Tumapel. Catatan tentang nama Malang disebut pada dokumen tahun 1810. Dalam catatan Domis, wilayah ini disebut juga dengan nama Selogo. Akan tetapi seiring dengan perlawanan Untung Suropati terhadap VOC dan Susuhunan dimana Bupati Malang menyatakan bahwa wilayahnya adalah wilayah merdeka. Susuhunan kemudian menyebut bupati Malang ini sebagai penghalang (Malangi: Jawa). Penulis mengintepretasikan kata penghalang karena sikap Bupati yang selalu menghalangi kehendak Sunan Mataram. Dari sikap inilah nama wilayah ini berasal, Malang. Teks dari Domis dapat dibaca pada paragraph berikut. “Reeds hebben wij gezegd dat het regentschap Malang van oudes eene zekere rol in de geschiedenis heft gespeeld onder de benaming van Selogo. Eene



Toponim Kota Malang



groote menigten oudheden, puinen van hindoesche tempels, muren en andere overblijfselen, getuigen van de voormalige grootheid dezer strekken. Malang is, sedert het oponthoud van Soerapati`s zonen aldaar, steeds onafhankelijk van de Soesoehoenan en compagnie gebleven. De Keiser van Java moet hieruit aanleiding genomen hebben om de Regent van malang te zeggen, dat hij een dwarsboomer was, waaraan de naam van Malang deszelfs oorsprong zou ontleend hebben.2 Selanjutnya setelah peristiwa itu, nama wilayah ini disebut dengan Malang. Ini dibuktikan dalam Babad Blambangan, sekar XXVII Katja (halamn 73) Pupuh Dandanggula menyebutkan: “Kacariyos lampahipun Adipati Lumajang sagarwa putra minggah redi mandap jurangtansah memelas sambatipun, ingkang dipun ajeng ajeng petukan saking ingkang putra Adipati Malang. Dumadakan ….Adipati kaglundug ing jurang angantos dados lan sedanipun sinengkalan karna trusing lindu bumi (2961 dibaca 1692 Jawa atau 1760 M) Layon karukti kabekta dateng Malang wonten ing margi pinanggih para mantri petukan saking Malang. Boten dangu lampahipun sampun dumugi Kabupapten Malang, layon lajeng kasarekaken. (Babad Blambangan)3 Berdasarkan naskah tersebut, maka nama Malang dapat dipastikan sudah digunakan sejak pertengahan abad ke-18. Sebelum itu, nama yang digunakan ada dua yaitu Tumapel, Singasari dan Selogo. Terbentuknya nama ini juga tidak bisa dipisahkan dengan pembentukan birokrasi. Terbentuknya system pemerintahan di Malang tidak dapat dilepaskan dari konflik antara VOC dan Mataram dengan Keturunan Untung Surapati.



2  Kita telah mengatakan bahwa sejak lama, kabupaten Malang punya peran yang penting, yang dalam catatan sejarah disebut dengan Selogo. Beberapa bangunan tua (candi), dan sisa sisa candi Hindu, tembok dan beberapa peninggalan, menjadi saksi arti penting dari wilayah ini. Malang, sejak perlawanan Surapati, selalu menempatkan diri sebagai wilayah yang merdeka- bukan bagian dari Susuhunan dan Kumpeni. Oleh karena itu, Raja Jawa selalau menyebut Bupati Malang sebagai “pohon yang melintang atau bisa diartikan merintangi ”, dan dari itulah nama Malang itu berasal. (Domis; 133) 3 Teks tersebut artinya: Diceritakan perjalanan Adipati Lumajang berserta istri dan putranya naik gunung turun jurang, senantiasa mengeluh, yang diharapkan adalah bertemu dengan Putra Adipati Malang.Tiba tiba Tuan Adipati terpeleset jatuh ke Jurang yang menyebabkan kematiannya. Peristiwa itu ditandai dengan candra sengkala (kronogram) karna trusing lindu Bhumi (1692) atau 1768 Masehi. Babad Blambangan



41



42



Toponim Kota Malang



Selama peperangan, yang dipimpin oleh keturunan dari Untung Suropati, daerah Malang mengalami depopulasi dan kerusakan. VOC memutuskan untuk menduduki wilayah ini. Mereka mengutus Letnan Kolonel Toppannegro pada tahun 1767. Dia berhasil menahan “buronan” Mataram, yaitu Pangeran Singosari dan anak anak laki lakinya, Raden mas, dan memenjarakannya. Sementara itu Bupati Adipati Melaya Kusuma dan pengikutnya meninggal terbunuh. Pada waktu itu beberapa harta milik Bupati, Sumodrono dirampas dan dibakar, dan Patin Onggoyudo dibunuh sementara bupati ditahan di looji. Pada tahun 1763 Bupati malang, Raden Adipati Wiranrgara, meiggal di sana. Pada tahun 1764 di digantikan oleh adik bungsunya Adipati Malaya Kusuma. Pada tahun 1764, dia bersama orang orang malang dikalahkan orang orang Belanda di Porong dan Sutajaya lari ke Lumajang. Selanjutnya Porong telah diserahkan kepada bupati Pasuruan Raden Adipati Notonagoro. Pada tahun 1766 Belanda memutuskan untuk menundukkan perlawanan Bupati Malang yang terus menerus tiada henti. Gubernur Jawa Timur Laut, Nicolas Hartingh di Pasuruan memerintahkan tentara VOC Troppan Negoro, dengan Bupati Pasuruan Notto Nagoro4 dan Raden Adipati Surabaya untuk menangkap Bupati Malang yang melawan VOC. Pertemuan kedua pasukan terjadi di desa Wondoroko (sekarang bernama Mandaraka). Pertempuran dimenangkan koalisi pasukan VOC, Pasuruan dan Mataram dan menyebabkan Bupati Maland dan Pangeren Prabu(jaka) menyingkir ke pesisir Selatan. Bupati Malang, Adipati Malaya Kusuma terluka dan gugur sementara Pangeran Prabu(jaka) dan seluruh keluarganya ditangkap dan dipenjara. Selanjutnya, pada tahun 1767 dianggap oleh Belanda sebagai tahun awal kemakmuran bagi Malang dan Antang (Ngantang). VOC menunjuka Soeta Negoro dan Rongo Lawa sebagai kepala wilayah di dua tempat tersebut. Sekalipun demikian pada tahun 1777, posisi mereka diganti oleh Tumenggung Karto Negoro. Pada tahun 1794, bupati ini dipecat karena dianggap tidak mampu mengelola wilayanya. Malang kemudian digabung dengan Kabupaten Bangil yang dipimpin bupati Soerio Adie Negoro. Pergantian ini atas keputusan Daendels, dimana Soerio Adi negoro ini diberi kekuasaan di Malang dari tahun 1794 hingga 1811. Pemerintahan di Kabupaten Malang dikembalikan dari Kabupaten Bangil pada tahun 1816, Sorio Adinigoro digantikan oleh Bupate Notoadinegoro pada tahun 1825. Pergantian ini dilatarbelakangi kesalahan yang dilakukan Soerioadinegoro sehingga di diberhentikan. Untuk selanjutnya, pembahasan akan dilanjutkan dengan pembahasan nama Kampung di kota kota Malang. 4  Domis 1836, Ibid, halaman, 113



Hotel Mabes Perempatan Semeru (Sumber: Stadsgemeente Malang 1914-1930, Soerabaia: NV G Kolff & Co)



Toponim Kota Malang



Kecamatan Klojen



Sumber: Pengolahan data tahun 2019 Peta Persebaran kampung di Kecamatan Klojen



Toponim klojen berasal dari kata ka-lodge-an. Lodge adalah kata Bahasa Belanda yang berarti bangunan bertembok. Dalam lafal Jawa, lodge dibaca dengan loji sehingga terbentuk kala ka-loji-an atau klojen karena dalam pola pelafalan jawa vocal ‘i’ bertemu



45



46



Toponim Kota Malang



dengan ‘a’ menjadi ‘é’. Klojen, menurut Arthur van Schaik, seperti disebut dalam buku laporan 20 tahun Kota Malang, adalah kata yang tidak dapat dilepaskan dari kata loji. Loji berasal dari kata lodge yang berarti tembok. Kata tembok ini tidak dapat dilepaskan dari benteng VOC yang merupakan bangunan tembok pertama di Malang. Benteng itu dikatakan berada di tepi Sungai Brantas. Kini lokasi tersebut berada di Rumah Sakit Saiful Anwar. Di Kecamatan Klojen terdapat beberapa kelurahan antara lain Rampal (CelaketRampal), Oro-oro Dowo, Samaan, Penanggungan, Gadingkasri, Bareng, Kasin, Sukoharjo (Jagalan-Pecinan-Comboran-Kidul Pasar), Kauman (Talun, Gandekan, Ledok, Klojen Ledok, Tongan), dan Desa Kidul Dalem (Kudusan-TumenggunganKlojen Kidul). Berikut ini adalah uraian dari toponim kampung yang ada di wilayan Kecamatan Klojen.



Kelurahan Rampal Celaket Rampal (Ngrampal), nama ini sekarang sudah tidak menjadi identitas kelurahan namun menjadi identitas sebuah lapangan yang cukup luas. Penduduk kota Malang menyebutnya dengan nama Rampal. Daerah ini masuk di antara kawasan Celaket dan Kesatrian. Sebagaimana peta di atas nama rampal pada awalnya bernama ngrampal. Rampal adalah nama salah satu jenis bamboo. Bambu Rampal ( Schizostachyum zolingeri) merupakan spesies bamboo yang sering dijumpai di kawasan tropis. Diperkirakan tanaman bamboo rampal ini tumbuh di sekitar Sungai Bango yang tidak jauh dari kawasan Rampal. Setelah tahun 1880, Departemen van Oorlog membukan kawasan Ngrampal ini untuk asrama dan pendidikan militer kompi Baterij, infantrie dan cavalrie (Reza Hudiyanto 2011). Sekarang bamboo rampal ini sudah tidak dijumpai di kawasan ini. Akan tetapi nama Ngrampal ini masih digunakan sebagai identitas lapangan luas yang sering dijadikan tempat upacara, latihan militer dan panggung hiburan.



Toponim Kota Malang



1. Klerek Informasi tentang toponim klerek ini ditemukan dari hasil penelusuran Ketua Jelajah Jejak Malang, Devan Firmansyah. Menurutnya, klerek (Sapindus Rarak de Candole) merupakan bahan “deterjen” untuk mencuci batik dan pakaian lain sebelum adanya sabun cici. Tanaman klerek ini diperkirakan mendominasi lanscape ini sebelum pemerintah kolonial menyulap lahan ini menjadi kawasan penyangga tangsi militer tentara kolonial. Dusun Klerek ini berada di Kelurahan Rampal-Celaket, Kecamatan Klojen. Sekarang Dusun Klerek di Kelurahan Rampal Celaket kini telah berubah menjadi kampung di area Jalan Panglima Sudirman, dan terpusat di wilayah Jalan Panglima Sudirman Utara. Selama penelusuran di lapangan tidak ditemukan adanya indikasi punden tokoh babat alas atau bedah kerawang di dusun ini. Sejauh ini satu-satunya data sejarah yang mengabadikan nama dusun ini adalah sebuah peta yang bernama “Java Town Plan” tahun 1946, koleksi Leiden University Library.1 Dalam peta itu terdapat keterangan bahwa nama kampung area “Dusun Klerek” diabadikan menjadi nama sebuah jalan oleh pemerintah HindiaBelanda yaitu “Klerek Straat”. Jalan itu kini berubah menjadi Jalan Panglima Sudirman.2



Ds Kidul Pasar



Sumber: Peta Malang dalam Buku Arthur van Schaik, Malang Beeld van een Stad (1996)



1  Arthur Van Schaik, Malang Beeld van een Stad. (Prumerend: Asia Maior, 1996), lampiran 2  http://aremamedia.com/daerah-rampal-yang-dulu-banyak-ditumbuhi-klerek



47



48



Toponim Kota Malang



Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Klerek



Sumber: survei lapangan 2019



Gapura masuk Kampung Klerek di Jalan Panglima Sudirman Utara



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019 Suasana siang hari di Kampung Klerek



Buah klerek sendiri memiliki beberapa sebutan, antara lain ciu,  lerak,  rerak,  rerek, atau  lamuran. Ira Fatmawati dalam artikelnya yang berjudul “Efektivitas Buah Lerak (Sapindus Rarak de Candole) Sebagai Bahan Pembersih Logam Perak, Perunggu dan Besi”, yang dimuat di Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur,Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, hlm. 24-31, menjelaskan Sapindus rarak De Candole merupakan nama binomial dari lerak yang dikenal di Jawa sebagai klerek, di Sunda sebagai rerek, di Palembang sebagai lamuran, di Kerinci sebagai kalikea, dan di Minang sebagai kanikia. Masih menurut Ira Fatmawati, lerak termasuk dalam divisi Spermatophyta yang tumbuh di daerah Jawa dan Sumatera dengan ketinggian 450–1500 meter di atas permukaan air laut. Tinggi tanaman dapat mencapai 15–42 meter, berwarna putih kusam berbentuk bulat dan keras dengan diameter mencapai 1 meter. Biji tanaman berbentuk bulat, keras, dan berwarna hitam. Buahnya berbentuk bulat, keras, diameter ± 1,5 cm, dan berwarna kuning kecoklatan. Di dalam buah terdapat daging buah yang aromanya wangi. Tanaman lerak mulai berbuah pada umur 5–15 tahun. Pada umumnya musim berbuah pada awal musim hujan dan menghasilkan biji sebanyak 1.000–1.500 biji.



49



50



Toponim Kota Malang



Sumber Foto:  www.leraksoapnut.blogspot.com) dikutip dari tulisan Devan Firmansyah dalam laman http://aremamedia.com/daerah-rampal-yangdulu-banyak-ditumbuhi-klerek



Gambar Buah klerek yang bermanfaat sebagai sabun untuk mencuci kain. Meski berbau harum, rasanya pahit



Dalam tradisi masyarakat Jawa, buah klerek biasanya dijadikan ungkapan untuk menyindir seseorang dalam konotasi negatif. Misalnya, “Wong Iku Pait Koyok Klerek”, artinya orang itu pahit (kikir) seperti (rasa) buah klerek, untuk menggambarkan betapa kikirnya orang yang disindir itu. Sedangkan di dalam tradisi Jawa yang lainnya, juga disebutkan sebuah pribahasa yang menggunakan obyek buah klerek untuk pengungkapan sesuatu, seperti pribahasa yang dicatat oleh Sedangkan Imam Budhi Santosa, di dalam bukunya yang berjudul “Suta Naya Dhadap Watu (Manusia Jawa dan Tumbuhan)”, tahun 2017, halaman 27, yaitu “Kaya Wit Lerak (Klerek, red), Kebak uler didohi sanak”. Artinya, seperti pohon lerak (Sapindus rarak) yang penuh ulat sehingga dijauhi kerabat atau tetangga. Pohon lerak setiap musim peralihan sering dipenuhi ulat yang memakan habis daundaunnya. Oleh karena itu, sering kali pohon lerak dimatikan. Karena banyak orang (terutama perempuan dan anak-anak) akan ketakutan jika berada di bawahnya. Pesan



Toponim Kota Malang



moralnya, orang harus menjaga kebersihan badan dan penampilannya agar tidak dijauhi orang lain. Dalam artikel yang berjudul “Lerak (Sapindus rarak) Tanaman Industri Pengganti Sabun”, tahun 2009 yang dimuat dalam Jurnal Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 15 Nomor 2, Agustus 2009, pada halaman 7-8, dijelaskan bahwa “Tinggi tanaman ini dapat mencapai 15–42 meter, bertajuk rindang dapat dimanfaatkan sebagai tanaman penghijauan, dan pohon pelindung sebagai tanaman pekarangan dekat rumah. Kayu dari tanaman lerak dapat digunakan sebagai papan, dan batang korek api. Biji lerak kering bila direndam dalam air akan mengeluarkan busa saponin yang dapat membersihkan kain. Di Jawa banyak dijumpai untuk membatik, dan membersihkan barang berharga yang terbuat dari logam mulia (emas dan perak). Manfaat lainnya dapat digunakan sebagai insektisida dan nematisida serta sebagai antiseptik sering digunakan untuk mengobati kudis, sebagai kosmetik dan pembersih rambut (sampo).3



2. Celaket Lingkungan Celaket terletak di sekitar Jalan Jaksa Agung Suprapto. Toponim celaket berasal dari nama pohon celaket (Chrysophyllum roxburhii), sering disebut pula mempulut, merupakan pohon berkayu yang memang sejak masa lalu jarang ditemukan di Jawa. Berdasarkan penelitian K. Heyne dalam buku Tumbuhan Berguna Indonesia I-IV (Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan, 1987), dijelaskan bahwa pohon celaket dapat setinggi 30 m dan diameter batangnya mencapai 60 cm (Imam Budhi Santosa 2017). Celaket disebut dengan kayu nasi dalam bahasa Palembang dan kilaketan dalam bahasa Sunda. Pohon ini memiliki tinggi hingga 36 cm hingga 65 cm dan tumbuh di ketinggian antara 50 dan 1200 m dari permukaan laut. Tanaman ini memiliki ciri batangnya biasanya lurus, tanpa akar. bingkai dan dengan mahkota tinggi. Kayunya dapat digunakan, tetapi karena terlalu langka dan tidak berkualitas luar biasa maka kayu ini jarang atau tidak pernah digunakan oleh penduduk.4 3 Devan Firmansyah. Ibid 4  K Heyne, De Nuttige Planten van Nederlandsche Indie. Deel IV. (Batavia: Ruygrok & Co, 1917), 28



51



52



Toponim Kota Malang



Sumber: Peta Jalur Kereta Tebu SF Keboen Agoeng 1932. Koleksi arsip De Javasche Bank



Lokasi Tjlaket (Celaket) dalam sebuah peta lama



Batang pohon celaket lurus dan bulat. Percabangannya bewarna merah dan berbulu. Celaket banyak terdapat di hutan hingga ketinggian 1.200 mdpl. Konon, kayunya dapat dipakai sebagai bahan peralatan rumah dan bangunan, namun kurang memiliki sifat istimewa dibanding kayu jenis lain. Akibatnya, di Jawa jarang dimanfaatkan, juga karena pohon celaket jarang ditemukan. Karena jarang dibudidayakan maka keberadaan pohon celaket jadi tidak sebanyak pohon kayu lain yang tumbuh di Jawa. Walaupun demikian, dikabarkan penggunaan kayu celaket banyak terjadi di Pulau Bangka. Kebanyakan dipakai sebagai tangkai kapak untuk menebang kayu. Selain itu kayu celaket juga digunakan untuk pembuatan birih roda yang melengkung karena cukup liat (alot). Dari informasi media sosial dikabarkan pohon celaket atau mempulut sudah demikian langka dan perlu dijaga kelestariannya karena celaket merupakan salah satu kekayaan flora Indonesia dari masa lalu. Kampung Celaket merupakan daerah inti kota periode awal karena sebagian besar bangunan bangunan lama berada di Kawasan ini. Sebagai contoh, Benteng, rumah sakit



Toponim Kota Malang



bmiliter dan pesanggrahan pertama setelah VOC berkuasa di Kota Malang ini berada di Kawasan Celaket. Kampung Celaket pada awalnya merupakan gerbang masuk Kota Malang dari arah Pasuruan. Di kampung ini juga terdapat rumah sakit pertama di Malang. Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Celaket Sumber: survei lapangan 2019 Masjid An-Nur di Kampung Celaket



53



54



Toponim Kota Malang



Intepretasi tentang toponim celaket ini pernah dibahas oleh Devan Firmansyah dalam laman http://aremamedia.com/celaket-ingin-tahu-nama-apa-sebenernyainilah-jawabannya/. Dari keterangan Devan disebutkan bahwa Celaket adalah nama sebuah tumbuhan berasal dari Bahasa Jawa Kuna (Kawi). Dalam buku “Kamus Kawi – Indonesia”, karya Wojowasito, tahun 1977, memberikan pengertian bahwa Celaket berasal dari kata “Calakět” yang berarti sejenis bunga. Senada dengan Wojowasito, L. Mardiwasito di dalam bukunya yang berjudul “Kamus Jawa Kuna Indonesia”, tahun 1983, pada halaman 133, memberi pengertian “Calakět” berartibunga atau sesuatu yang lengket seperti kapur dengan kunyit.5 Namun berbeda dengan kedua pendapat di atas, Zoetmulder dan Robson dalam kamus mereka “Kamus Jawa Kuna Indonesia”, tahun 2006, halaman 154, menjelaskan bahwa kata “Celaket” berasal dari kata Jawa Kuna yaitu “Calakět atau Calěkět” yang berarti pedas atau masam (?). Menariknya, Zoetmulder menambahkan suatu keterangan lanjutan bahwa kata Calakět tersebut terdapat didalam salah satu teks naskah susastra Kakawin Ramayana (16.44) yaitu sebagai berikut: Kamalagi,  Calakět, Kukap, Gintuŋan. Dalam buku tersebut di halaman 448 dijelaskan bahwa Kamalagi berarti asam. Sementara dalam halaman 528, dijelaskan bahwaKukap berarti sejenis pohon sukun (Artocarpus Incisa?). Lalu di halaman 297, diaktakan bahwa Gintuŋan berarti sejenis pohon (Schleichera Trijuga). Dan akhirnya Zoetmulder menduga dan menyamakan Calakět dengan  Kamalagi yang berarti ‘Pohon Asam’. Pendapat Zoetmulder dan Robson dikuatkan oleh pendapat Anita Swandayani, alumnus Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia (UI) dalam skripsinya “Makanan dan Minuman Dalam Masyarakat Jawa Kuno Abad 9-10 M: Suatu Kajian Berdasarkan Sumber Prasasti dan Naskah”, tahun 1989, di halaman 42, yang juga menduga bahwa Calakět sama dengan pohon asam. Terkait dengan pohon asam tersebut, sejarawan dan arkeolog Malang  M. Dwi Cahyono, dalam artikelnya “Orasi Budaya Festival Kampung Celaket Ke-3’: Perhelatan Budaya 5  Devan Firmansyah, aremania.com dalam laman http://aremamedia.com/celaket-ingin-tahu-namaapa-sebenernya-inilah-jawabannya/



Toponim Kota Malang



KampungTua Celaket”, tahun 2015, halaman 02, menerangkan:“Secara harafiah kosakata dalam Bahsa Jawa Kuna ‘calaket atau caleket’ berarti pedas atau masam. Istilah ini disebut dalam kakawin Ramayana (6.45) dengan kalimat ‘…. kamalagi calaket kukap gintungan’. Kata-kata yang menyertainya adalah nama-nama tanaman, yaitu kamalagi  (kini ‘kemlagi’ atau asam), kukap (sejenis pohon sukun atau Artocarpusinsica), dan gintungan  (kini ‘glintung’, sejenis pohon atau Schleicheratrijuga). Dalam arti pedas, istilah ini menujuk pada sejenis tanaman cabai, merica, dsb. Bila asam rasanya, maka dapat menunjuk pada sejenis pohon asam. Untuk kemungkinan terakhir, mengingatkan kita pada deretan pohon asam Jawa yang tinggi-besar di kanan kiri koridor Celaket hingga tahun 1980an, yang sebagian diantaranya kini masih tertinggal”, terangnya. Dari pembahasan di atas hampir semua sejarawan dan arkeolog, serta ahli Bahasa Jawa Kuna sepakat bahwa Celaket adalah pohon asam. Pencetus awal pendapat bahwa adalah pohon asam yaitu Zoetmulder dan Robson masih membubuhkan tanda tanya (?) dalam tafsirnya, menandakan bahwa mereka cukup ragu dalam tafsirnya itu. Sementara itu, Iman Budhi Santosa, dalam bukunya “Suta Naya Dhadap Waru (Manusia Jawa dan Tumbuhan)”, memberikan uraian bahwa “Pohon Celaket (atau bahasa ilmiahnya Chrysophyllum roxburghii) yang sering pula disebut mempulut merupakan pohon berkayu yang memang sejak masa lalu jarang ditemukan di Jawa. Berdasarkan penelitian K. Heyne dalam buku Tumbuhan Berguna Indonesia I-IV (Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan, 1987), dijelaskan bahwa pohon celaket dapat setinggi 30 m dan diameter batangnya mencapau 60 cm. Batang pohon celaket lurus dan bulat. Percabangannya berwarna merah dan berbulu. Celaket banyak terdapat di hutan ketinggian 1.200 m dpl. Konon, kayunya dapat dipakai sebagai bahan perlatan rumah dan bangunan, namun kurang memiliki sifat yang istimewa dibanding kayu jenis lain. Akibatnya, di Jawa jarang dimanfaatkan, juga karena pohon celaket jarang ditemukan. Karena jarang ditemukan maka keberadaan pohon celaket jadi tidak sebanyak pohon kayu lain yang tumbuh di Jawa”.6



6  Devan Firmansyah, Ibid.



55



56



Toponim Kota Malang



Kelurahan Oro-oro Dowo 1. Oro-oro Dowo Ledok Oro-oro dowo (ejaan yang benar seesunggunya adala ara ara-dawa) adalah nama yang menunjukkan rupa bumi (landscape) wilayah yang ada di tepian sungai Brantas itu pada awalnya merupakan ara-ara (padang tegalan yang luas). Nama ara ara dawa (yang sering dikelirukan dengan Oro Oro Dowo) merupakan desa yang berada di tepi Selatan Sungai Brantas. Nama ini menggambarkan bahwa wilayah ini merupakan daerah terbuka didekat perkebunan tebu milik Perusahaan Kebon Agung. Setelah tahun 1917, kawasan ini dibeli oleh Gemeente Malang untuk dijadikan proyek perluasan kawasan kota Bouwplan V yang merupakan kelanjutan dari Bouwplan I dan II. Setelah Jembatan Jalan Majapahit dan Kahuripan selesai pada tahun 1924, kawasan Oro oro Dowo berubah dari daerah oro-oro menjadi permukiman elit Belanda yang diberi nama Bergenbuurt. Kawasan yang dibangun pada periode 1916-1924 ini kemudian menjadi kawasan permukiman Belanda yang terluas di Kota Malang.7 Sekalipun demikian, nama Oro Oro Dowo masih diabadikan menajdi nama kampung di kawasan ini, sekalgus nama jalan oleh Gemeente. Nama Jalan Oro oro Dowo ini kemudian diganti menjadi Jalan Brigjend Slamet Riyadi pada tahun 1969. Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Oro-oro Dowo Ledok



7  Reza Hudiyanto, ‘Pemerintah Kota dan Masyarakat Bumiputera. Kota Malang 1914-1950.” Disertasi Doktor. Fakultas Ilmu Budaya Univeristas Gadjah Mada, 2009. Hlm 156



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019 Salah satu gapura masuk Kampung Oro-oro Dowo Ledok



Kelurahan Samaan Nama samaan berasal dari nama samakan yang memiliki asal nama samak yang diambil dari nama abdi dalem. Samak, yaitu orang yang pekerjaannya membuat barang dari kulit (Haditama, 2010:61). Dalam penggunaan bahasa Jawa sehari-hari, seorang anak diperintah guru agar “ bukune disamaki” yang dalam bahasa Indonesia artinya bukunya disampul (ditambah lapisan/samak). Dalam dunia profesi di kraton, abdi dalem Samak adalah abdi dalem yang bertugas untuk membuat barang-barang dari kulit. Oleh Panemebahan Senapati abdi dalem samak diberi tempat untuk tinggal, yaitu di Kampung Samakan (Samaan). Tentu saja proses pembentukan nama itu terjadi di wilayah Yogyakarta, sebagai pusat pengembangan kebudayaan Jawa. Pengadopsian nama Samaan itu diperkirakan terjadi seiring dengan pembentukan Kabupaten Malang sebagai bagian dari Karesidenan Pasuruan pada tahun 1819.8 Akan tetapi, terdapat pemaknaan lain terhadap terminologi Samaan yang dikaitkan 8  Besluit van Commissarissen Generaal over Nederlandsch Indie van 9 Januarij 1819 no 3 waarbij gearrestterd wordt het Reglement op het binnenlansche bestuur en dat der financien op Java. Staatsblad van Nederlansch Indie 1819 No 16



57



58



Toponim Kota Malang



dengan pekerjaan prosesing kulit. Dalam penelitiannya tentang sejarah kampung Samaan, Devan Frimansyah (2018) mengatakan bahwa nama Samaan terkait dengan istilah dari bahasa Jawa Kuna, Sěma yang berarti makam atau kuburan. Dalam istilah lain disebut Šmašãna yang diartiken pemakaman. Melalui perubahan pelafalan, istilah lama itu beradaptasi dengan perubahan system gramatikal Belanda menjadi Semakan.9 Interpretasi ini memang mereferensi pada kondisi eksisting dimana di Kampung Samaan sekarang ini terdapat makam terpadat dan terluas di Kota Malang. Makam ini berada di sebelah Barat Pasar Tawangmangu.



1. Tugu Lingkungan Tugu terletak di Jalan Jaksa Agung Suprapto II B. Di Lingkungan Tugu terdapat situs Punden Mbah Tugu. Punden ini adalah artefak batu seperti tugu, dan yang kedua seperti miniatur lumbung batu, kemudian satu batu persegi. Temuan ini masih terdapat di lokasi, dimana masyarakat menyebutnya sebagai mbah Tugu. Gambar situs mbah tugu ada di bawah ini: Sumber: survei lapangan 2019



Foto situs Tugu, Celaket 9  Devan Firmanysah dkk, Kelurahan Samaan dalam Lintasa Sejarah Malang. (Tijauan Sosio-KulturalHistoris), Buku Penelitian Sejarah Desa/Kelurahan. (Malang: Kantor Kelurahan Samaan, 2018), hlm 206-7



Toponim Kota Malang



Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Tugu



Sumber: survei lapangan 2019 Suasana pagi hari di Kampung Tugu



59



60



Toponim Kota Malang



2. Sumber Waras Jika dirunut dari asal kata maka sumber berarti mata air. Penduduk Jawa pada umumnya menganggap mata air lebih dari sekedar sumber kehidupan. Dan air sumber seringkali dipercaya memiliki kekuatan penyembuh, dan menyebabkan orang yang sakit menjadi sehat. Kata sehat dalam bahas Jawa disebut dengan waras. Sehat dalam konsep waras ini mencakup dua makna yaitu sehat dalam artian fisik dan batin. Pada era pra Industri di Malang (sebelum tahun 1880) sumber dari penyakit ada dua yaitu penyakit fisik dan mistis. Keduanya disembuhkan dengan media yang sama yaitu air. Oleh karena itu, tempat yang memiliki sumber air akan menjadi daerah yang dihuni oleh banyak orang. Urbanisasi yang disertai dengan perubahan ekologi akan berdampak pada perubahan spasial sehingga sumber itu tertutup oleh permukiman padat penduduk.



Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Sumber Waras



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019 Gapura masuk Kampung Sumber Waras



3. Klithik Dusun klitik ini merupakan toponim yang berasal dari nama tanaman Klithik. Klitik ini memilik nama latin (Polytoca bracteata). Nama Jawa dari tanaman ini adalah suket branjangan, greopahan, iser,kiser, klitik dan tebon. Ciri khusus tanaman ini adalah berbentuk rumput mirip jagung dengan multi tangkai. Tinggi tanaman mencapai 1,252 m, dengan batang tegak, besar, tidak berbulu, tetapi ditutupi dengan rambut tajam; linier, 25 hingga 100 cm panjang dan 8 hingga 30 mm. Daunnya lebar, sangat kasar dan bermata tengah. Rumput ini telah ditemukan di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Vegetasi ini tumbuh di dataran antara 25 dan 1400 m di atas permukaan laut di daerah kering, berumput, cerah di tanah kering, terutama di ladang alang-alang dan di daerah terbuka hutan jati, kadang-kadang dalam spesimen yang tersebar, kemudian dalam jumlah besar. Rumput ini menghasilkan sejumlah besar daun yang sering digunakan sebagai pakan ternak, karena banyak yang dapat dipotong tanpa banyak usaha dalam waktu singkat dan



61



62



Toponim Kota Malang



karakteristik yang selalu tersebar luas di kalangan petani Jawa, meskipun kandungan gizi tanaman rendah. 10



Kelurahan Penanggungan (Kampung Gerabah) Kata Penanggungan merupakan kata yang sama untuk menamai gunung di kawasan Mojokerta yang dianggap sebagai Pawitra. Pawitra atau gunung suci ini menjadi orientasi keagamaan pada era Hindu Klasik di Jawa. Menurut Ismail Lutfi Penganggunan berasal dari kata tanggung. Akan tetapi apakah akar Penanggunan di Mojokerto sama dengan Penanggungan yang ada di Malang? Dalam kamus tanaman kuno di Jawa, Hyne menyebut satu jenis vegetasi yang bernama Nanggung. Apakah tanaman Nanggung itu,



Sumber: survei lapangan 2019



Salah satu gapura di Kelurahan Penanggungan



10  Heyne, ibid.. hlm 87



Toponim Kota Malang



Kata Penanggunan menganut pola pembentukan kata dalam bahasa Jawa yang lazim. Penggunaan awalan pe- dan akhiran -an menunjukkan identitas tempat. Oleh karena itu, Penanggungan dianggap memiliki kata dasar Nanggung. Ternyata kata Nanggung (Arenga pinnata merr.) merupakan sinonim dari tanaman aren, dalam bahasa Madura di sebut kangean. Dan dalam bahasa Melayu disebut sebagai pohon enau dan dalam bahasa Belanda dikenal sebagai sugar palm. Penyebutan sugar palm ini karena bentuk pohon seperti palm namun menghasilkan buah yang dapat dijadina sebagai gula. Pohon ini dikenal di hampir seluruh penjuru Indonesia dan dapat ditanam hingga ketinggan 4000 kaki dengan jarak tanam masing-masing 5 meter. Bagian dari pohon ini sering digunakan sebagai tutup kepala, sementara bagian inti akar digunakan untuk cambuk dan bagian kayu digunakan tongkat atau rangka atap. Seorang Belanda Kloppenburg menyebutkan bahwa dalam tradisi penduduk lokal, akar nanggung (aren) sering digunakan untuk menghancurkan batu kandung kemih. Menurut De Clercq (No. 332) nanggung itu masih harus digunakan di Gorontalo dan di Sulawesi Selatan; Teysmann menyatakan bahwa akar nangung digunakan untuk cambuk, yang sangat dicari oleh para pengemudi kereta. Kloppenburg menyatakan bahwa akarnya tumbuhan nanggung menghancurkan batu kandung kemih. Kayu. Kayu tipis tapi sangat keras digunakan untuk tongkat dan iga atap; batang setengahnya sering digunakan sebagai talang. Buah dari pohon aren ini sering dimanfaatkn untuk membuat minuman yang disamakan oleh orang eropa dengan anggur fermentasi. Daun kering dari pohon ini dapat dimanfaatkan sebagai pembungkus rokok.11



1. Betek Lingkungan Betek terletak di Jalan Mayjend Panjaitan, sisi selatan. Dulunya, Lingkungan Betek terdiri dari dua lingkungan, Betek dan Betek Tempel. Menurut Devan Firmansyah, kampung Betek berasal dari kata bahasa Jawa betek yang berarti pagar bambu. Terdapat banyak versi yang mengatakan asal nama Betek. Versi pertama 11  Heyne, K, De Nuttige Planten van Nederlands Indie. Eerste Deel Herdruk. (Batavia: Ruygrok & Co, 1922), hlm 395.



63



64



Toponim Kota Malang



mengatakan bahwa betek berasal dari pagar bambu yang dibuat di sepanjang bantaran Sungai Brantas. Pagar bambu itu dibuat karena tebing sungai curam dan mencegah agar anak tidak terpeleset dan tercebur langsung ke sungai. Kedua, sumber ini masih perlu dikonfirmasi. Betek berasal dari profesi penduduk di sekitar Sungai Brantas yang sebagian besar pembuat alat alat dari bambu. Pada era sebelum terjadi banyak perubahan, kawasan tepi Sungai Brantas banyak ditumbuhi oleh pohon bambu sehingga masyarakat memanfaatkannya sebagai bahan baku pembuatan betek dan gedek.



Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Betek



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019 Tandon air di Kampung Betek



Sumber: survei lapangan 2019 Salah satu gapura masuk Kampung Betek



65



66



Toponim Kota Malang



Kelurahan Gadingkasri 1. Gading Kampung Gading wetan adalah nama asli dari nama kampung Gading Kasri. Gading dalam Bahasa Jawa sering diartikan warna kuning. Ada dua tanaman yang sering diberi identitas warga gading, yaitu kelapa dan bambu (Kelapa gading dan pring gading). Sebagian besar buah kelapa berwarna hijau. Buah kelapa gading ini tidak dikonsumsi untuk minuman dan makanan sebagaimana laziamnya kelapa hijau, akan tetapi lebih banyak dimanfaatkan untuk ritual dan obat penyakit demam. Disamping warna kuning keemas an yang memberikan symbol kemuliaan. Sementar itu buah kelapa gading yang masih kecil bernama cengkir. Cengkir merupakan buah yang menjadi kelengkapan ritual. Cengkir ini mengandung makna kenceng ing pikir (cerdas dan cepat memahami persoalan). Asri berarti indah, oleh karena itu jika digabungkan menjadi indahnya warna kuning. Belum diketahui mengapa kampung itu diberi nama indahnya warna kuning. Kemungkinan ada keterkaitan dengan sejarah atau tradisi lokal masyarakat tersebut. Jika Sumber: Peta Jalur Kereta Tebu SF Keboen Agoeng 1932. Koleksi arsip De Javasche Bank



Lokasi Gadingwetan dalam sebuah peta lama



Toponim Kota Malang



dilihat dari arsip De Javasche Bank, pada tahun 1920-an sebelum dibangunnya Kawasan Ijen, kawasan ini merupakan daerah pertanian yang akan diubah menjadi perkebunan tebu. Di kawasan ini terdapat wisselplats, yakni rail pengangkut tebu (decauvillebaan) dari Blimbing menuju ke arah Kebon Agung. Sumber: https://www.google.com/maps Letak Kampung Gading Sumber: survei lapangan 2019 Gapura Masuk Kampung Gading



67



68



Toponim Kota Malang



2. Klampok Kasri Dalam bahasa Jawa, kamplog berarti jambu air. Buah jambu air merupakan pohon yang satu family dengan pohon salam. Nama latin klampok adalah Eugenia acuminatissima, Kurz (Jambosa acuminatissima, Hassk). Pohon klampok memiliki tinggi hingga 35 m. tinggi dengan diameter batang 1 m, tetapi sering hanya tinggi 20 m dan tebal 35 cm, tersebar di Jawa tumbuh di ketinggian hingga 1.600 m di atas permukaan air laut, banyak tumbuh di daerah pegunungan. Hasskarl menyatakan bahwa karakter klampok, sebagai berikut: kayu merah kasar dan kuat, digunakan sebagai kayu bangunan. Namun, itu dipengaruhi oleh semut putih. Demikian pula, saya diberitahu oleh Banka bahwa itu adalah jenis kayu yang cukup bagus, yang disimpan oleh buku dan juga bertahan cukup lama di luar. Menurut Hasskarl, rebusan kulit, tanpa penambahan zat lain, berfungsi untuk mewarnai benang hitam dan buahnya asam dan sedikit asam, tetapi bisa dimakan: pada Banka mereka digolongkan sebagai enak.12 Pada peta jalur rel tebu milik Kebon Agung yang dibuat pada tahu 1910, lingkungan Klampok Kasri terbagi menjadi 2 lingkungan, yaitu lingkungan Klampok dan Kasri. Lingkungan Klampok Kasri terletak di Jalan Klampok Kasri. Klampok adalah kampung yang berada diantara Kelurahan Claket dan Klaseman. Sebelum perkembangan Bouwplan V (Idjen Bulevardan Villa Park) pada tahun 1926, Klampok merupakan kampung yang berada kawasan perkebunan tebu dibawah wewenang Pabrik Gula Kebon Agung. Sekarang Klampok menjadi Kampung padat hunian di sebelah Barat Pasar Buku jalan Wilis Malang. Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Klampok Kasri 12  K Heyne, De Nuttige Planten van Nederlandsch Indie. Deel I Herdruk (Batavia: Ruygrok en Co), 1922, hlm 362



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019 Gapura masuk Kampung Klampok Kasri



Kelurahan Bareng Asal mula kata Bareng ini memilik dua versi. Versi pertama bareng berasal dari nama tanaman. Versi kedua mengatakan bareng merupakan tanda landscape, yaitu ambane ereng ereng (Bahasa Jawa) atau lereng yang luas. Versi kedua ini lebih banyak didukung oleh memori kolektif masyarakat Malang. Sementara itu, berdasarkan data tanaman di Jawa yang disusun oleh Heyne (1922), nama bareng tidak ditemukan, akan tetapi yang ditemukan adalah nama wareng. Perbedaan konsonan sebenarnya bukan sesuatu yang asing karena dalam beberapa kasus juga terjadi pertukaran konsonan. Ini dijumpai pada kasus Bunul dan Wendit. Wendit berasal dari penyebutan asli yaitu Balandit. Pada perkembangan selanjutnya konsonan B ditukar dengan W. Pola ini juga terjadi pada konsonan W ke B pada nama bareng. Wareng (Gmelina villosa, Roxb.) (G. asiatica, Auct.) ini adalah tanaman dengan banyak cabang yang mencapai tinggi hingga 7 meter dan tebal 0,15 meter. Di seluruh masyarakat Melayu dan Jawa, Rumphius mengatakan tentang Radix dei par ae spuria, bahwa tanaman ini digunakan untuk pagar yang tidak dapat ditembus oleh manusia dan hewan karena duri yang menyebabkan pembengkakan yang menyakitkan.



69



70



Toponim Kota Malang



Kayu tanaman wareng itu digambarkan keras dan cukup tahan lama. Bagi orang Jawa wareng dapat digunakan sebagai tusik gigi. Sementara itu seorang ahli tumbuhan bernama Scheffer mencatat dalam Hasskarl’s Nut bahwa jus dari daun dan buah-buahan wareng dapat untuk dijadikan obat tetes telinga. Di Batavia buahnya yang dipanggang, dapat digunakan pada kaki yang gatal akibat mengarungi genangan air (rangen: Jawa). Sedangkan di Bogor buah dari wareng dalam jumlah yang sedikit dihancurkan direndam dalam air, akan cocok untuk pencucian mata.13 Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, Kampung Bareng dipeceh menjadi beberapa kampung yaitu kampung: Bareng, Bareng Tengah, Bareng Kulon, dan Bareng Bantar Angin.



Kelurahan Kasin Kata kasin ini tidak dijumpai pada kamus Jawa modern. Akan tetapi, kata kasin ini ditemukan dalam beberapa lontar dan kamus Jawa Kuna.14 Di dalam catatan Hyne (1922), nama Kasin tidak ada di dalam daftar nama, akan tetapi nama ini ditemukan dalam bahasa Makassar, yaitu Kasina. Dalam bahasa Melayu, jenis tanaman Kasin ini disebut dengan Kayu Cina mengingat tanaman ini dikenal sebagai Smilax dan wortel Cina. (Rhizoma Chinae). Tanaman ini lebih banyak dikonsumsi sebagai minuman penyegar anti-hifa,obat kusta dan diminum sebagai jamu rimpang.15



1. Arab Kampung Arab terletak di Jalan Syarif Al Qodri, atau biasa disebut Embong Arab. Kampung Arab merupakan kawasan pemukiman dan pertokoan milik orang-orang keturunan Arab. Posisi ini tidak dapat dilepaskan dari kebijakan awal Pemerintah Kolonial yang mengadopsi sistem segregasi ruang yang memisahkan antara permukiman warga Eropa, Cina, Arab dan Bumiputera. Pemukiman Arab ini diperkirakan telah ada semenjak tahun 1847. Mereka datang sebagai pedagang di daerah yang masih baru 13  Ibid, 118 14  Kasine adalah jenis pohon yang khas, berdasarkan naskah Partayadña kasine adalah pohon yang buahnya yang menguning. Zoetmulder, Kamus Jawa Kuna Indonesia. 15  Hyne, Ibid 479.



Toponim Kota Malang



terbentuk sebagai Onderdistrik Kota. Belanda menerapkan system segregasi, atau pemisahan penduduk berdasarkan etnis semenjak tahun tersebut dengan menempatkan etnis Timur Asing, khususnya Arab di sebelah Barat Daya Alun alun Kabupaten Malang. Sekalipun Kawasan ini disebut kampung, sebagian besar bangunan di Kampung ini memiliki gaya seperti rumah orang orang Eropa, hanya dibuat dengan proporsi yang lebih kecil dan tanpa halaman luas. Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Arab Sumber: survei lapangan 2019 Salah satu gang yang berada di Kampung Arab



71



72



Toponim Kota Malang



2. Ngaglik Menurut arti kamus, Ngaglik berarti tempat yang agak tinggi (menonjol).16 Akan tetapi apakah makna dari tempat yang agak tinggi ini masih belum ditemukan mengingat kawasan ini relatif berada di wilayah yang datar dan tidak teralu nampak menonjol dari segi bentang alam. Tempat itu memang secara topografi sedikit lebih tinggi dibandingkan dataran yang lain. Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Ngaglik



Sumber: survei lapangan 2019



Gapura masuk Kampung Ngaglik 16  Th Pigeaud, Javaans-Nederlands handwoordenboek. (Batavia: JB Wolters Uitgevers, 1932), hlm 315



Toponim Kota Malang



3. Kepunden Dalam kamus bahasa Jawa karangan Pigeaud, pepunden berarti tempat sakral baik itu pohon mata air, makam. Arti kedua adalah tempat “penyembahan berhala”. Penyebutan nama kepunden merupakan ciri khas penamaan Jawa yang menambahkan Ke untuk memberi nama suatu tempat. Oleh karena itu, kampung itu dinamakan kepunden karena pernah ada sebuah punden (tempat pemujaan) di kampung tersebut. Seiring perkembangan ruang kota, peninggalan berupa pepunden itu hilang. Menurut Devan Firmansyah, punden itu pernah berada di Makam Kasin, namun sekarang sudah hilang.



Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Kepunden



73



74



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019



Gapura masuk Kampung Kepunden di Jalan Brigjen Katamso



4. Kramat Penyebutan kramat berasal dari kramatan yang berarti pemakaman. Toponimi ini menjelaskan tentang adanya landmark yang menonjol, yaitu pemakaman. Pengkramatan terhadap makam sebenarnya menunjukkan sebuah kontinuitas kebudayaan masyarakat meskipun sudah mengalami perubahan agama. Sebagaimana telah disebut di bagian sebelumnya tetang nama Punden, Biara, dan SUmber waras, toponimi ini sangat berhubungan dengan kramat yaitu menghormati benda benda tertentu yang dibuat sebagai represntasi dari leluhur. Ini merupakan ciri Animisme dan Dinamisme yang merupakan agama asli orang Indonesia. Keberadaan nama Kramat menunjukkan adanya kelompok masyarakat di Malang sebelum datangnya Islam yang memuja kekuatan alam dan nenek moyang yang dimediasi benda seperti punden dan makam.



Toponim Kota Malang



Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Kramat



Sumber: survei lapangan 2019 Gapura masuk Kampung Kramat yang berbatasan langsung dengan TPU Kasin



75



76



Toponim Kota Malang



Kelurahan Sukoharjo 1. Jagalan Nama Kampung Jagalan diambil dari kata jagal, yang mengalami proses afiksasi. Kampung Jagalan merupakan kampung yang berada di wilayah barat laut pasar. Nama kampung ini diambil dari nama profesi sebagian besar masyarakat yang menghuninya yaitu sebagai tukang jagal atau penyembelih hewan ternak seperti kambing dan sapi. Lingkungan atau Kampung Jagalan terletak di sekitar Jalan Halmahera. Di Lingkungan Jagalan inilah juga terdapat bekas stasiun trem Jagalan (Balai Bahasa Yogyakarta, 2011: 278). Sebelum Belanda membangun Abbatioir (Rumah pemotongan Hewan) di Mergasana, penduduk, khususnya penjual daging biasa memotong hewan secara mandiri, tidak dilakukan di tempat khusus sepertiTPH. Para pemotong hewan ini adalah orang orang khusus yang akan melakukan pekerjaan di tempat khusus yang dimanakan dengan tempat memotong hewan (Jagalan). Oleh karena itu, Kampung Jagalan adalah nama yang berkaitan dengan porfesi tertentu. Interpretasi ini berdasar analisis tempat dimana kampung Jagalan berada di dekat Pasar besar, dimana banyak pedagang menjual daging di tempat itu. Kedua, kampung jagalan berada di dekat Kampung Arab. Seperti kita ketahui bahwa etnis Arab sebagian besar mengkonsumsi daging sapi dan kambing. Maka tidak heran jika mereka membutuhkan pasokan itu dari rumah rumah jagal. Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Jagalan



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019 Gapura masuk Kampung Kramat yang berbatasan langsung dengan TPU Kasin



2. Comboran Comboran terletak di sekitar Jalan Irian Jaya. Comboran terkenal sebagai sentra pasar loak di Kota Malang. Kata Comboran berasal dari combor (tempat air minum kuda). Sebelum operasional kendaraan roda empat bermesin, sarana transportasi masih didominasi oleh kereta kuda. Kereta-kereta ini berkumpul di Selatan Pasar mengingat banyak penumpang yang meminta diantar ke pasar. Oleh karena itu, banyak sekali kereta kuda yang ditambatkan di kawasan Selatan Pasar. Tempat itu juga dijadikan tempat minum kuda kuda diistirahatkan di Selatan Pasar. Keberadaan kereta kuda ini pada umumnya tidak dapat dilepaskan dari fungsinya sebagai feeder dari transportasi Kereta Api di Stasiun Kota Lama dan Trem di Stasiun Jagalan.



Suasana di bekas stasiun Jagalan menjadi perkampungan kumuh



77



78



Toponim Kota Malang



Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Comboran



Sumber: survei lapangan 2019



Papan penanda jalan Kampung Comboran



Toponim Kota Malang



3. Kidul Pasar Toponim Kidul Pasar ini berasal dari posisi kampung yang berada di sebelah Selatan Pasar Besar. Di kampung ini terdapat lokasi yang disebut disebut comboran. Penamaan kampung dengan menggunakan landmark Pasar sebagai pusat perkonomian kota Malang. Pada era colonial akhir, Kidul Pasar merupakan daerah Kawasan bisnis yang sangat ramai. Selain terdapat percetakan pertama di Kota Malang, Kwee Khay Khee, juga terdapat perusahaan penjual mobil bernama NV OoostJava Automobile Mij. Disamping itu juga masih terdapat beberapa took grosir besar di Kawasan ini. Sekarang ini, Kidul Pasar tetap menjadi Kawasan perdagangan terpadat di Kota Malang yang ditandai dengan kemacetan yang rutin terjadi di siang hari pada Kawasan Kidul Pasar ini.



Lokasi Kidul Pasar dalam sebuah peta lama (Sumber: Peta Jalur Kereta Tebu SF Keboen Agoeng 1932. Koleksi arsip De Javasche Bank)



79



80



Toponim Kota Malang



Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Kidul Pasar



Peta Kampung Kidul Pasar tahun 1927



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019 Masjid Noor yang terletak di Kampung Kidul Pasar



4. Pecinan Kampung Pecinan terletak di sepanjang Jalan Pasar Besar. Lingkungan Pecinan merupakan kawasan pertokoan milik orang-orang Cina. Pecinan, atau dalam bahasa Belanda disebut dengan Chineze Kamp merupakan salah satu karakteristik kota colonial. Kawasan Pecinan ini telah disebutkan dalam catatan Residen Malang pada tahun 1845. Aktivitas mereka dikaitkan dengan jual beli bahan pangan, dan produk perkebunan. Setelah perkembangan kota berlangsung pesat pada tahun 1910, peran mereka sebagai pemasok barang- barang import menjadikan kawasan Pecinan ini semakin padat.



81



82



Toponim Kota Malang



Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Pecinan



Sumber: De Oosthoek Bode



Suasana Kampung Pecinan pada tahun 1924



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019 Papan Kampung Pecinan



5. Pecinan Kecil Lingkungan Pecinan Kecil terletak di Jalan Wiro Margo. Lingkungan Pecinan Kecil juga merupakan kawasan pertokoan milik orang-orang Cina. Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Pecinan Kecil



83



84



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019



Museum Bentoel di Pecinan Kecil



Sumber: survei lapangan 2019



Suasana pagi hari di Pecinan Kecil



Toponim Kota Malang



Kelurahan Kauman Kauman. Istilah ini berasal dari kata Kaum. Kaum adalah nama profesi yang berkait dengan kegiatan keagamaan Islam. Kaum adalah kelompok profesi yang bertugas memimpin ritual dalam agama Islam. Jika dikaitkan dengan kawasan Kauman sekarang, maka kauman itu adalah lokasi kampung Arab. Sebagaimana yang lazim dijumpai di kota kota lain, posisi kampung kauman berada di sebelah Barat Alun alun dimana Posisi Masjid Agung berada. Ini mengikuti tradisi kraton yang selalu menempatkan kelompok penghulu di dekat Masjid Agung. Pada masa awal terbentuknya kota Kabupaten, para mantri pengulon (pejabat mengurus masalah keagamaan) ditempatkan di sekitar Masjid. Kampung pengelola masjid ini pada umumnya berada di sebalah Barat Alun alun dan diberi nama Kauman. Asal kata kaum berasal dari sebutan orang Jawa pada orang yang ditunjuk sebagai pemuka agama sekaligus pemimpin doa pada sertiap acara kelahiran, kematian maupun selamatan yang lain. kampung ini digunakan sebagai permukiman para kaum, menurut bahasa Jawa artinya alim ulama. Pada akhirnya, kampung ini disebut dengan kampung Kauman (Tim Balai Bahasa Yogyakarta, 2011:400).



1. Kayu Tangan Lingkungan Kayu Tangan terletak diantara Jalan Jenderal Basuki Rahmat, Gang 4 dan Jalan A.R. Hakim Gang 4. Lingkungan Kayu Tangan merupakan salah satu destinasi wisata sejarah di Kota Malang, yang lebih dikenal sebagai Kampung Heritage Kayu Tangan. Toponim Kayu Tangan ini dijelaskan secara panjang lebar oleh Devan Firmansyah dalam satu reportase tentang Kayu Tangan. Menurut Devan, Kayu Tangan adalah nama tanaman. Tanaman “Kayu Tangan” (Euphorbia Tirucalli L) disebutkan di dalam buku botani ilmiah berbahasa Belanda yang berjudul Nieuw Plantkundig Woordenboek voor Nederlandsch Indië. Dalam bahasa Indonesia buku tersebut artinya “Kamus Botani Baru untuk Hindia-Belanda”. Buku tersebut ditulis oleh F.S.A. de Clercq (1842-1906), yakni seorang mantan Residen Ternate dan Riau. Ketika de Clerq meninggal tahun 1906, buku tersebut kemudian disunting dan diterbitkan tahun 1909 di Penerbit J. H. De Bussy Amsterdam oleh Dr. M. Greshoff, yakni seorang Direktur Museum Kolonial di Kota Haarlem, Belanda. Dalam buku tersebut tanaman Kayu Tangan disebut pada halaman 262 dengan No. Register 1389.



85



86



Toponim Kota Malang



De Clercq menjelaskan dengan jelas bahwa masyarakat Jawa menamakan tanaman ini dengan sebutan Kayu Tangan dikarenakan ketika tanaman ini tumbuh bentuknya mirip dengan tangan. Dengan demikian jelaslah bahwa Kayu Tangan adalah nama dari sebuah tanaman. Selain nama Kayu Tangan, tanaman ini memiliki beberapa nama daerah antara lain di Jawa disebut: (1) Getih Urip; (2) Kayu Getih Urip; (3) Kayu Urip; (4) Suru Tangan (Sunda); dan (5) Tikel Balung. Di Pulau Madura dan kepulauan sekitarnya tanaman ini disebut: (1) Kayu Jaliso; (2) Kayu Langtolangan; (3) Kayu Leso; (4) Kayu Potong; (5) Kayu Tabar; dan (6) Langtolangan. Kemudian di Pulau Bali tanaman ini disebut: (1) Kayu Tulang; (2) Tulang; dan (3) Tulang Sambung. Di Suku Dayak Kalimantan menyebutnya: (1) Tatulang. Di Suku Sasak, Provinsi NTB disebut: (1) Lelesuk. Di Makasar, Sulawesi disebut: (1) Pata Tulang. Dan di dalam bahasa Melayu disebut: (1) Pata Tulang; (2) Patah Tulang; dan (3) Satulang. Tanaman Kayu Tangan memiliki manfaat praktis untuk kesehatan, antara lain: Bagian tanaman yang digunakan sebagai obat adalah akar, batang kayu, ranting, dan getahnya. Akar dan ranting dapat digunakan untuk nyeri lambung, tukak rongga hidung, rematik, tulang terasa sakit, nyeri syaraf, wasir, dan sifilis. Batang kayu digunakan untuk sakit kulit, kusta, dan kaki dan tangan mati rasa. Pada abad ke-12 M daerah Kayu Tangan disebut dengan nama “Patang” dan juga “Alas Patangtangan”. Pertama, nama “Patang” disebutkan dalam Prasasti Pamotoh atau Prasasti Ukir Negara yang dikeluarkan pada masa Kerajaan Kaðiri tepatnya pada tahun 1120 Šaka atau tanggal 06 Desember 1120. Prasasti tersebut di tulis oleh Mpu Damawan di ‘Talun’, yang kini dikenal sebagai Kampung Talun, Kelurahan Kauman, Kecamatan Klojen, Kota Malang. Nama Patang disebutkan dalam Lempeng I.B. Sisi Belakang, Baris ke-5: “ ... taganu patang hwaran – ma 1 – ckang – ku 2 - taðah sa 2 – tinambahan ku …”. Artinya:“… di Patang dari Hwaran ma 1 diterima 2 sa, dari Padungan 3 ku diterima 3 sa dari jungan 3 ku …”. Kedua, nama Alas Patangtangan disebutkan dalam kitab Sêrat Pararaton, sebagai berikut: “… Lunga sira angungsi alas. Ndan lingira Ken Angrok. Panghêr mani aburuha. Yata sangkaning alas ring Patangtangan arane …”. Artinya: Lalu dia pergi ke hutan. Ken Angrok berkata: “Tempat berlindungku dari pengejaran di Hutan Patangtangan namanya”. Kata patang dalam bahasa Jawa Kuno/Kawi bersinonim dengan kata “watang” yang bermakna “kayu”. Dengan demikian Patangtangan sama dengan kata Kayu Tangan sekarang. Hal ini diperkuat bahwa tidak jauh dari kampung Kayu Tangan terdapat kampung yang bernama “Talun”. Dalam bahasa Jawa Kuno/Kawi, kata Talun berarti ‘tanah hutan’. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa Kerajaan Kaðiri, daerah Kayu Tangan bernama “Patang”. Baru kemudian ketika Ken Angrok



Toponim Kota Malang



(pendiri Kerajaan Singhãsari/Tumapêl) berlindung di hutan ini dari pengejaran para tentara Kerajaan Kaðiri dan penduduk Malang, ia memberi nama hutan tersebut “Alas Patangtangan”. Dan baru dimasa berikutnya tempat ini berganti nama “Kayu Tangan” hingga saat ini. Selain Kampung Kayu Tangan, di Jawa Timur yang menggunakan nama tumbuhan ini menjadi nama tempat ialah Desa Rejotangan (Rejo=Ramai, Rejotangan bermakna desa yang ramai dan terdapat tanaman Kayu Tangan sebagai tetengger (penanda)-nya, pen), Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung. 17 Hutan patangtangan (Kayutangan) adalah kawasan yang disebut dalam kronik Ken Angrok. Dalam sebuah episode pelarian Ken Angrok, dia dikejar oleh orang orang dari kapundungan dan Nagamasa. Angrok mengungsi ke Oran, kemudian melanjutkan pelarian ke hutan Patangtangan. Sekali lagi nama ini muncul di Prasasti Pamotoh. Kata patang, merupakan kata yang dalam pola bahasa Jawa sering bertukar konsonan sehingga menjadi watang. Jika dihubungkan dengan tempat persembunyian Angrok, maka dapat disimpulkan watangtangan merupakan sebuah pohon hutan, karena hutan merupakan lokasi yang lazim menjadi tempat persembunyian.18 Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Kayutangan 17  Devan Firmansyah, Mengenal Tanaman Kayutangan” (Kajian Toponimi Kampung Kayutangan, Kelurahan Kauman, Kecamatan Klojen, Kota Malang. Artikel disampaikan pada acara tanam pohon Kayu Tangan pada acara bertajuk “Oeklam-Oeklam Heritage nang Kajoetangan dek Kajoetanganstraat 30 & 31 Agoetoes 2019”. 18  Suwardono, Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok Pendiri Wangsa Rajasa. (Yogyakarta: Penerbit Ombak 2013), Hlm 154-55



87



88



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019



Gapura masuk Kampung Kayu Tangan di Jalan Jenderal Basuki Rahmat



2. Talun Nama Talun ini ditemukan dalam kamus Jawa Kuna yang berarti Kebun atau Tanah Hutan.19 Toponimi Talun ini menjadi kajian yang sangat menarik dan diulas oleh Arkheolog Universitas Negeri Malang, M.Dwi Cahyono. Menurut Dwi Cahyono, Talun adalah toponomi yang tidak berasal dari nama tanaman, sesuatu yang agak menyimpang dari sebagian besar nama kampung di Kota Malang. Latar penamaan “Talun” lebih banyak berkaitan dengan kondisi ekologis wilayah ini pada masa lalu. Kata “talun” terdapat alam bahasa Jawa Kuna dan Jawa Tengahan, yang secara harafiah berarti “kebun luar (di tepi hutan, belum lama dibuka (Zoetmulder, 1995: 1188). Istilah itu disebut dalam kakawin Bhomakawya (7.5), Sumanasantaka (37.7), Partayajnya (12.7), 19  L Mardiwarsito, Kamus Jawa Kuna Indonesia. (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1990), hlm. 577



Toponim Kota Malang



Subhadrawiwaha (7.5), Ramaparasuwijaya (36.9, 39.25), Tantupanggelaran (111), Kidung Ranggalawe (4.101, 6.11), Kidung Malat (11.2),Tantri Kadiri (2.6, 2.25), dsb. Kata jadiannya antara lain ‘tahunan, talun-talun, patalunan”. Selain itu terdapat kata gabung seperti “ayam talun (ayam hutan), selasih talun (salasih liar), wiku talun (wiku yang hidup dalam hutan)”. Maharsi (3009:621) juga mengartikan istilah “talun” dengan : kebun luar, tanah di hutan. Sejalan itu, Wojowasito (1977:259) mengartikan “talun” dengan :kebun atau perkebunan. Begitu pula Suparlan (1991:279) maupun C. F.Winter dan Ranggawarsita (2007: 264) mengaryikan dengan : ladang, desa. Dalam bahasa Jawa Baru juga terdapat kata “talun” untuk menyebut ladang, huma (Prawiroatmojo, 1980: 230). Tergambar bahwa menurut sejumlah pengertian itu, talun adalah suatu kebun atau padang baru pada suatu dusun yang dibukan di areal tepian hutan. Paling tidak pada abad ke-10 sampai abad ke-12 M, menurut keterangan dalam dalam prasasti Kanjuruhan (Wurandungan) B bertarik 943 Maseh dan Prasasti Ukir negara (Panotoh) bertarikh 1198 Masehi, areal tertelaah telah bernama “Talun”. Hal ini menjadi petunjuk bahwa kebun baru di tepian hutan itu telah ada pada medio abadi X Masehi. Kebun baru di tepian hutan itulah maka areal itu disebut “talun”. Hutan di areal itu boleh jadi berada di sisi Timur permukiman desa (wanua, thani) Talun, yang besar kemungkinan bernama “Patangtangan”. Gambaran mengenai kebun di tepian hutan itu diperoleh dalam tembang bocah Kurang Talun” Kidang Talun, mangan kacang talun. Milkethemil, milkethemil si kidang mangan lembayung. (Kijang di Talun; memakan kacang Talun; mengunyah khunya; si Kijang memakan lembayun)



Tembang ini menggambarkan kondisi ekologi daerah pinggiran hutan dimana seringkali hewan melintas di kawasan tersebut. Masyarakat yang menanam tanaman juga sering diganggu dengan hewan yang memakan tanaman mereka yang salah satunya antara lain kidang (kijang). Kijang itu keluar dari hutan dan masuk ke Desa Talun untuk memakan tanaman budidaya, baik kacang atau lembayung.



89



90



Toponim Kota Malang



Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Talun



Sumber: survei lapangan 2019



Gapura masuk Kampung Talun



Toponim Kota Malang



3. Gandekan Nama Gandekan berasal dari kata dasar Gandek, sebuah tanaman dengan nama latin (Mesua ferrea) dan nama Jawa Nagasari.Tanaman ini ditandai dengan Kuncup bunga yang tertutup. Tanaman ini banyak dijual di toko pengeringan asli di Jawa Tengah. Nama lain dari tanaman itu sari mékar atau tjangkok mèkar, benang sari wangi seperti sari moerni atau sari naga, juga dikenal sebagai podisar. Semua bagian tanaman ini digunakan untuk menyusun berbagai obat dan kosmetik. Rumphius mengatakan bahwa jika benang sari tanaman gandek ini digosok dengan cendana, pulosari dan akar gendaroesa (Justicia) akan memberikan pengaruh yang bagus untuk menurunkan suhu tubuh (dalam kasus panas tinggi) dan sari itu, dicampur dengan pengering lainnya, juga digunakan sebagai jamu. Vorderman melaporkan (tanaman Madura No. 250), yang digunakan orang di Madura untuk benang sari untuk mengisi bantal kecil, untuk ditempatkan di tempat tidur pengantin sebagai bantal harum.20 Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Gandekan



20  K Heyne, Ibid., hlm (256)



91



92



Toponim Kota Malang



Bibit, yang disebut gandèk atau widji di JawaTengah, juga merupakan obat umum di sana. Menurut Boorsma, biji yang telah dihalurkan dapat dioleskan pada bagian luar pada luka gores. Kloppenburg menyatakan bahwa gandek memiliki kekuatan penyembuhan yang hebat terhadap semua jenis kelenjar. Minyak itu, katanya, adalah obat luar biasa untuk ruam kepala, seperti sakit kepala, ketombe, dan jantung. Daerah yang terkena dampak digosok dengan inti yang dicap. Sebagai benih minyak teknis, mereka tidak memiliki jasa khusus.



Sumber: survei lapangan 2019



Salah satu gapura masuk Kampung Gandekan



Toponim Kota Malang



4. Klojen Ledok Nama Kampung Ledok (lihat Kampung Ledok) memiliki asal nama ledok. Ledok berarti jemek (Balai Bahasa Yogyakarta, 2011:425) atau tanah yang berlumpur atau tidak padat. Pada masa kampung Ledok belum dihuni penduduk, keadaan tanah masih berlumpur. Nama kampung Ledok memiliki makna kampung yang dulu tanahnya ledok atau berlumpur. Di Kota Malang, selain Klojen Ledok, ada beberapa kampung yang menggunakan nama ledok, antara lain Tumenggungan Ledok, Oro-oro Dowo Ledok. Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Klojen Ledok Sumber: Lakeman: 1934 Suasana Kampung Klojen Ledok pada tahun 1934. Suasana tanah belumpur dengan posisi Landai ini diduga yang menyebabkan kampung in disebut sebagai Klojen Ledok



93



94



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019



Gapura masuk Kampung Klojen Ledok



Kelurahan Kidul Dalem Dalem adalah sebutan untuk rumah bangsawan besar dalam bahasa Jawa. Jika dilihat dari posisi kampung tersebut, maka diperkirakan kidul dalem adalah kampung yang terletak di sebelah selatan rumah patih dan bupati. Jika dilihat pada posisi sekarang, posisi Kidul Dalem sedikit janggal. Posisi Desa Kidul Dalem terletak di sebelah Barat Posisi Pendapa Bupati. Oleh karena itu muncul dugaan bahwa posisi Pendopo Bupati (Regent) berada di posisi yang ditempati Societeit Concordia. Oleh karena itu, hingga sekarang tempat dimana Societeit Concordia berdiri disebut dengan Kidul Dalem.



Toponim Kota Malang



Sumber: Peta Jalur Kereta Tebu SF Keboen Agoeng 1932. Koleksi arsip De Javasche Bank



Lokasi Kidul Dalem dalam sebuah peta lama



1. Tumenggungan Kawasan ini merupakan kawasan inti ekonomi dan politik kota. Di kampung in terdapat Pendopo Bupati Malang. Di samping itu, disekelilingnya terdapat banyak toko, pasar, hotel, dan tempat hiburan. Sebagian besar warga keturunan Tionghoa menempati kawasan ini. Kampung Tumenggunan ditunjukkan dalam peta dibawah ini. Di kawasan ini terdapat Pendopo Bupati Malang. Sekalipun gelar Bupati Malang setelah Notonegara II adalah Kanjeng Aria Adipati, nama wilayah kampung ini tetap menggunakan Tumenggung, gelar yang disandang Bupati Notonegara I dan II dan nama kampung tidak diubah menjadi kadipaten. Lokasi kampung ini dapat dilihat pada peta Malang Tahun 1881. Nama Tumenggung memang lazim dianugerahkan oleh raja pada seseorang yang memiliki keahlian yang dibutuhkan oleh istana seperti hal finansial, peperangan dan diplomasi. 21



21  Schrieke, B. Indonesian Sociological Studies. Part Two. Ruler and Realm. (Bandung: Van Hoeve, 1958), hlm 164



95



96



Toponim Kota Malang



Sumber: Arthur van Schaik; Malang Beeld van een Stad



Peta ini disisipkan naskah baru supaya memperjelas identitas kampungkampung yang berada di distrik kota. AR adalah keterangan untuk rumah Asisten Residen, Reg adalah singkatan Regent (Bupati), dan D adalah singkatan Distrik Hoofd (Wedana)



Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Temenggungan



Toponim Kota Malang



Sumber: Van Liempt: 1939 Suasana Kampung Temenggungan tahun 1938



Sumber: survei lapangan 2019 Suasana Kampung Temenggungan pada pagi hari



97



Toponim Kota Malang



Kecamatan Blimbing



Sumber: Pengolahan data tahun 2019 Peta Persebaran kampung di Kecamatan Blimbing



99



100



Toponim Kota Malang



N



ama Blimbing merupakan toponimi yang berasal dari sebuah tanaman yang memiliki buah berbentuk segi lima. Tanaman yang bernama latin Averrhoa Carambola, termasuk jenis pohon buah-buahan yang dapat memiliki ketinggian hingga 12 M dan berdiameter kayu setebal 35 cm.Tanaman ini tumbuh liar di beberapa tempat di bawah 500 M d.p.l. Tanaman ini umumnya dibudidayakan di daerah yang lebih rendah. Kayunya blimbing tidak banyak digunakan. Buah blimbing memiliki rasa asam namun banyak dikonsumsi sebagai penyegar. Beberapa jenis memiliki rasa manis dan sangat berair (K. & V.). Di Demak, budidaya penanaman blimbing rutin dilakukan.22



Kelurahan Kesatrian (Kampement) 1. Tumenggungan Ledok KampungTumenggungan Ledok terletak di JalanTumenggungan Ledok.Tumenggungan Ledok pada masa sekarang lebih dikenal sebagai Kampung Tridi (3D), sebagai destinasi wisata di Kota Malang. Nama Kesatrian ini tidak dipisahkan dari fungsi lokasi ini sebelum perang dunia kedua. Pada masa colonial Belanda, tempat ini dibangun sebagai tempat para soldaat (serdadu). Indikasi ini diperkuat dengan jarak tempat ini yang tidak terlalu jauh dengan kompleks tentara yang dibangun Belanda di Kawasan Ngrampal. Soldaat (tentara) selalu diidentikkan dengan satria. Oleh karena itu, wilayah yang berada di dekat markas militer ini disebut dengan Kesatrian.



Kelurahan Purwantoro 22  Heyne, Ibid., hlm 3



Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Tumenggungan Ledok



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019 Gapura masuk Kampung Tumenggungan Ledok



Kelurahan Purwantoro Toponim Purwantoro ini berasal dari kata Purwa (awal; timur; tua) dan antara. Nama ini merupakan nama baru. Berdasarkan peta, Purwantoro terdapat di kawasan desa Sanan. Desa Poerwantoro berdiri sejak tahun 1925 yang sebelumnya merupakan bagian Pandeankerti, Sanan, Kendalkerepkidul dan Pandean, dan kemudian menjadi desa yang berdiri sendiri.



1. Glintung Nama Gintung berasal dari nama sebuah vegetasi yang dinakakan Gintung, atau gintungan. Nama latin dari pohon ini adalah Bischofia javanica. Ciri khas pohon ini adalah dapat tumbuh tinggi, dengan diameter batang 95 hingga 150 Cm. Tanaman ini Tersebar di seluruh Asia Tenggara dan Australia tropis. Di Jawa pada umumnya, pohon ini berbentuk lurus, tanpa simpul. Di Pelabuhan Ratu (Preanger Barat), kayu pohon gintung digunakan sebagai kayu halus untuk pembangunan rumah. Kayu Gintung dikatakan cukup tahan terhadap semut putih. Di ‘Minahassa, kayu itu digunakan untuk konstruksi rumah, jembatan besar dan digunakan dalam penambangan. Ini dilaporkan



101



102



Toponim Kota Malang



oleh Residen Menado yang merekomendasikan Dinas Pekerjaan Umum untuk memanfaatkan kayu Gintung untuk pos dan. Informasi yang diperoleh tentang kualitas tidak sepenuhnya menguntungkan. Di pantai timur Sumatra gintung dikenal sebagai sisir tjing atau kerinjing. Kayu itu sesuai untuk bangunan karena bagus, tahan lama, jika tidak terkena angin dan cuaca. Kekerasan kayu ini membuat paku akan bengkok ketika ditancapkan pada kayu gintung. Ini dianggap cocok untuk jembatan tertutup dan mengingat warna merah-coklatnya yang indah - untuk perabotan.23 Menurut Jasper & Pirngadie (Vlechtwerk, Bab IV), keranjang rotan dicelup dengan ekstrak kulit kayu tumbuk di distrik Ranau dengan berulang kali menutupi ekstrak dengan ekstrak: merah yang diperoleh sangat tahan cahaya. Jika Anda ingin warna hitam pekat, keranjang berwarna merah akan dikubur di lumpur selama beberapa waktu. Infus yang sama, dicampur dengan jelaga, berfungsi di Balapoelang (Pekalongan) untuk mewarnai bahan anyaman bambu hitam. Daunnya Gintung dapat digunakan untuk mengusir serangga berbahaya dari padi dan djagoeng. Ada laporan berbeda tentang hasil tes untuk mengusir kumbang moncong dari gudang kopi; dalam satu kasus sukses ditemukan, yang lain tidak. Menurut Jasper & Pirngadie, daunnya juga digunakan untuk warna bahan kepang merah, seperti pandan dan mongong. Kampung Glintung sekarang berada di ruas Jalan S. Parman dan menjadi jalan pos Malang-Surabaya pada masa Kolonial Belanda. Jalan Pos ini kemudian berkembang menjadi jalan Poros Utama di Kota Malang. Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Glintung 23  Heyne, Ibid., hlm 77



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019 Eksistensi Glintung sebagai Kampung Hijau



2. Patuksalam Salam (Syzygium occlusum) nama Pohon yang mirip dengan S. lambolana; calyx dan corolla menyatu menjadi satu tutup yang jatuh; ranting bundar, sedikit terjepit di bagian atas; batang daun berlekuk memanjang di bagian atas (dalam kondisi pengeringan vena daun berwarna coklat gelap) 2–2 1/2 garis panjang; daun pada pangkal runcing pendek, elips, runcing dalam garis panjang, tumpul-berakhir, seperti pergament, ditutupi dengan beberapa titik mirip kelenjar, ditekan pada permukaan atas, menonjol pada permukaan bawah dan menunjukkan dirinya sebagai titik-titik hitam pada daun kering, berurat padat, menyamping dan akhirnya bertemu. Daunnya yang seperti bumbu terbukti sangat dicari sebagai bumbu untuk menyiapkan makanan. Namun, pohon itu tampaknya langka, setidaknya di dan dekat Surabaya. Spesimen itu, di kebun rumah saya dekat Gerbang Simpang, dipetik terus untuk memenuhi proposal yang tak henti-hentinya, seolah-olah itu adalah satu-satunya dari jenisnya di seluruh Residence. Hanya dengan susah payah saya bisa mendapatkannya



103



104



Toponim Kota Malang



sejauh itu sehingga dia tetap tidak terganggu selama beberapa waktu dan berkembang sehingga saya bisa memeriksanya. Penduduk asli menyebut pohon nohon Salam dan daun daon Salam.24 Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Patuksalam Sumber: survei lapangan 2019



Masjid Al-Ikrom RW 8 di Patuksalam 24  AH Bisschop Grevelink. 1883. Planten van Nederlandsch Indie. Amsterdam: JH De Bessy. Hlm 444



Toponim Kota Malang



3. Pandean Berdasar kajian toponimi, nama pandean banyak ditemukan di kota kota di Jawa. Nama pandean dapat dilacak dari kata pande-an. Sufik(akhiran) an pada kata Jawa sering bermakna tempat. Sementara itu, dalam bahasa Jawa Pande berarti orang yang ahli dalam skill kerajinan di bidang logam seperti pande besi, pande gangsa dan pande mas. Di samping itu juga terdapat profesi yang berkaitan dengan skill memuat saluran air bawah tanah yang disebut Pandepangarung. Nama Kampung Pandean berasal dari kata pande yang diambil dari nama abdi dalem. Pande adalah orang yang membuat perkakas dari besi (Tim Balai Bahasa Yogyakarta) atau dikenal sebagai abdi dalem yang membuat perkakas dari besi. Perkakas tersebut dapat digunakan untuk keperluan keraton maupun dijual ke pasar. Nama Kampung Pandean memiliki makna kampung yang menjadi tempat tinggal abdi dalem Pande.



Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Pandean



105



106



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019



Gapura masuk Kampung Pandean



4. Sanan Jika dilihat dari morfologi kata, maka sana-an yang berarti tempat terdapat banyak pohon sana. Sana jika dibaca menurut logat vocal Jawa terdengar sono. Sono adalah jenis pohon besar dengan nama latin (Dalbergja latifolia). Kampung ini sekarang dikenal sebagai kampung kuliner kripik tempe. Lingkungan Sanan terletak di Jalan Sanan. Kondisi kampung ini sudah berubah sama sekali. Berdasar toponimi sana, maka diperkirakan Kampung Sanan ini pada masa pra-kolonial hingga colonial merupakan kampung yang banyak ditumbuhi pohon Sana.



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019 Lokasi Kampung Sanan



Sumber: https://www.google.com/maps Gapura masuk Kampung Sanan



107



108



Toponim Kota Malang



Kelurahan Bunulrejo Terdapat sebuah desa yang bernama Bunulrejo di Kecamatan Lowok Waru. Melihat dari namanya kiranya dapat dihubungkan dengan sebuah prasasti dari masa Sindok yang dikeluarkan atas perintah Rakai Kanuruhan, yaitu prasasti Rampal 856 Saka/934 M. Prasasti ini disebut prasasti Kanuruhan oleh Sedyawati (1985). Isi prasasti ini berkenaan dengan pemberian sima oleh Rakai Kanuruhan bagi Pu Bulul dengan kompensasi melakukan kewajiban tertentu. Menarik perhatian adanya nama tempat yang kemungkinan berasal dari nama penerima sima, yaitu Bunul. Nama ini kiranya berasal dari Bulul dengan kasus terjadi pertukaran konsonan ‘l’ dan ‘n’, sebagaimana kasus Panawijen dan Polowijen.



1.Bunul Menurut salah satu buku yang idterbitkan oleh Dinas Pendidikan Pemerintah Kota Malang, asal dari Desa Bunulrejo dapat dirunut sejak abad ke-10 M, yaitu pada era kekuasaan Dinasti Isyana. Shir Maharaja Sri Isyana Pu Sindok, dipercaya adalah penguasa di wilayah Jawa Timur yang pindah dari daerah Medang. Menurut Suwandono, desa desa yang berada di sekirat sungai seirng ditandai dengan akhiran tan, sehingga kemungkinan desa Pamwatan merupakan desa di penggir Sungai bango. Nama Bunul diyakini berasal dari nama seseorang bernama Bulul, seorang yang memiliki kemampuan lebih dibanding pemuda yang lain. Desa tempat Bulul tinggal senantiasa diancam dengan situasi tidak aman seperti pencurian dan perampokan. Kekuasaan bandit dan rampok memang sering dominan di wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan. Pemuda bernama Bulul ini berhasil mengalahkan para rampok dan penjahat sehingga berita tentang dirinya terdengar oleh Rakryan Kanuruhan. Sebagai hadiah atas jasa Bulul, Rakryan Kanuruhan memberikan Bulul sebidang tanah. Kemudian Bulul membangun kolam dan taman ditempat tersebut. Kejadian ini diperkirakan terjadi pada tahun 856 Saka, dan tahun itu menjadi titik awal perubahan nama desa dari pamwatan menjadi Bulul.25



25 Suwardono, Sejarah Asal usul Desa Bunulrejo. (Malang: Pemerintah Kota Malang, Dinas Pendidikan, 2005), 33



Toponim Kota Malang



Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Bunul Sumber: survei lapangan 2019 Pasar Bunulrejo yang terletak di Kampung Bunul



2. Ngujil Kata Ngujil memiliki kesamaan arti dengan kata mijil yang berarti muncul atau lahir mijil yang berarti muncul. Hingga saat ini, apakah kebenaran asumsi tersebut belum dibuktikan.



109



110



Toponim Kota Malang



Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Ngujil Sumber: survei lapangan 2019



TPU Ngujil yang terletak di Kampung Ngujil



3. Kendal Kerep Kidul Kampung Kendal Kerep Kidul sekarang lebih dikenal dengan Kendal Kerep. Kampung Kendal Kerep terletak di Jalan Sebuku, RW 8. Kendal (Cordia Myxa, L.) C. suaveolens, BL adalah sejenis pohon dengan tinggi mencapai 20 meter dengan diameter 60 cm. Tanaman Kendal banyak dijumpai di Jawa. Sementar itu kerep adalah sub cabang dari



Toponim Kota Malang



jenis tanaman kendal. Ini didasari oleh data adanya jenis tanaman kendal seperti kendal maesa dan kendal sapi yang banyak di jumpai di Jawa terutama di lahan berketinggian diawah 700 meter dpl namun tidak dijumpai di tetapi tidak di pegunungan atau di hutan lebat. Karena cabang yang panjang dan lurus berakar dengan sangat mudah, mereka digunakan untuk tugas taman hidup. Kayunya lunak tapi kusam dan warnanya putih sehingga tidak cocok untuk bangunan, dan hanya bisa digunakna untuk kayu bakar. Mereka memasaknya dengan kulit delima setengah matang dan diminum setiap hari. Horsfield mengatakan bahwa Kendal adalah salah satu obat terpenting orang Jawa yang digunakan untuk melawan demam dan nampaknya merupakan tonik lunak. Di Jawa Barat, ekstrak pahit kulit pohon itu memang diminum untuk meredakan demam, seperti yang dilaporkan Rumphius tentang daun yang juga milik obat “resmi” penduduk asli di Jawa. Kendal juga merupakan jenis tanaman yang rasanya enak dan digunakan untuk membuat beta botok (ikan, yang dimasak dengan dibungkus daun). Tanaman ini “cukup dingin”, sehingga mereka digunakan untuk menurunkan panas, demam, sakit kepala. Sebaliknya, seseorang mengambil jus dari daun yang digosok dengan air atau meminum ramuannya. Buah-buahan yang dihasilkan pohon dalam jumlah besar sehingga cabang-cabangnya bengkok seperti ceri kecil, merah muda, sangat halus, mengkilap dan lembut. Buah Kendal dipenuhi dengan lendir yang lengkat sehingga digunakan penduduk asli sebagai lem perekat untuk menempel benda-benda yang tidak harus bertahan lama, seperti bunga kertas dan karangan bunga untuk pernikahan, layang-layang dan sebagainya.26 Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Kendal Kerep Kidul 26  K Heyne, De Nuttige Planten van nederland Indie. Deel IV (Batavia: Ruygrok & Co, 1917), hlm. 103



111



112



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019



Gapura masuk Kampung Kendal Kerep Kidul



4. Klampisan Klampis (Acacia tomentosa) adalah nama pohon yang mendukung daun berduri, berpasangan; cabang muda dan batang daun terasa berbulu dengan kelenjar lonjong di antara kuk bawah dan dua kelenjar bulat di antara kuk atas; sirip daun 15-40 pasang, linear, tumpul, panjang 1 baris, rambut rata permukaan bawah; tangkai bunga aksila, panjang 2” dengan 4 bracts pada ketinggian setengah, kepala bunga bulat, putih; polong kasar, melengkung, panjang 2” - 4 “, lebar 3 1/2 garis. Di Jawa Timur, di negara-negara yang lebih rendah ke pantai, kayu ini ditemukan dalam jumlah besar di hutan Residence Rembang. Di hutan-hutan desa, klampis ditanam sangat sering, tetapi hampir secara eksklusif untuk kayu bakar. Tumbuh di tanah berpasir, penuh sesak dan berlapis dan di sepanjang sungai hingga ketinggian 15’-20 ‘dan ketebalan 8 “-10”. Kayunya berwarna putih, halus, kuat dan fleksibel dan sangat cocok sebagai ikat pinggang untuk kapal. Buahbuahan dapat dimakan dan permen karet dapat digunakan sebagai pengganti permen karet arab. Daun disiapkan dalam minuman dianggap oleh orang Jawa sebagai obat yang baik, terutama di tempat tidur bersalin. Tidak muncul dalam dimensi besar, tetapi cukup untuk hobi rumah dan untuk pembuatan beberapa perabot dan terutama alat.



Toponim Kota Malang



Kayunya memiliki serat halus sedang, fleksibel dan kuat, dan terbukti tahan terhadap kelembaban. Namun, cenderung robek. Pohon klampis (Acacia tomentosa) batangnya kecil hingga sedang, tingginya antara 5-10 m, dan gemang batangnya sekitar 50 cm. Klampis punya sifat menggugurkan daun. Tajuk pohon ini mirip payung. Rantingranting mudanya berwarna kuning, rapat, dengan banyak duri berukuran besar dan panjang.27 Pohon ini biasa dijumpai tumbuh di hutan jati atau semak belukar dekat pantai. Di Jawa Timur juga didapati di hutan musim. Kadang klampis juga ditanam sepanjang tepi jalan dan pematang-pematang sawah. Biasanya klampis tumbuh baik pada ketinggian hingga 500 mdpl. Pohon ini berbunga pada bulan-bulan Oktober hingga Juni. Klampis dipelihara untuk dimanfaatkan kayunya sebagai kayu bakar, gagang cangkul dan tangkai sabit. Kayu klampis tergolong kayu yang berkualitas sedang. Kulit batang klampis rasanya pahit, berbau tidak enak, dan sering dimanfaatkan sebagai obat kuda. Serat dari pepagannya sangat liat dan digunakan membuat tali atau tambang. Getahnya dimanfaatkan untuk membuat tinta. Tunas dan daun-daun mudanya disenangi ternak, walaupun berduri. Di samping itu, daun klampis dapat dijadikan pupuk hijau. Belakangan klampis banyak dijadikan bonsai dengan harga jual cukup tinggi.



Kelurahan Pandanwangi Di Indonesia terdapat banyak jenis pandan (Pandanus sp), namun yang sudah dikenal masyarakat Jawa sejak lama adalah pandan wangi (Pandanus ammaryllifolius), pandan duri, dan pandan Betawi. Diinformasikan tidak kurang dari 600 berbagai jenis pandan tersebar dari Afrika Timur, Asia Tenggara, Australia hingga kepulauan Pasifik.Tumbuhan ini mudah dijumpai di pekarangan atau tepi-tepi selokan yang teduh, kecuali jika sudah dibudidayakan. Pandan memiliki akar tunggang yang menopang pertumbuhannya jika telah cukup besar. Daunnya memanjang seperti daun palem dan tersusun rapat, panjangnya dapat mencapai 60 cm. Beberapa varietas memiliki tepi daun yang bergerigi. Di Jawa daun pandan duri banyak dijadikan bahan kerajinan. Setelah dikeringkan kemudian dijadikan bahan baku anyaman untuk tikar, tas, topi pandan, dan lain-lain.28 27  Heyne, ibid., hlm. 5. 28  Heyne, Ibid. Hlm 59



113



114



Toponim Kota Malang



Sedangkan pandan wangi daunnya banyak dijadikan bahan pelengkap masakan maupun berbagai upacara tradisional. Misalnya, dipakai dalam pembuatan kue atau masakan lain seperti kolak dan bubur kacang hijau. Sewaktu menanak nasi, daun pandan juga sering dimasukkan dalam tempat menanak nasi agar nasi beraroma harum. Sedangkan aroma harum yang khas ini terasa kuat ketika daunnya masih cukup segar atau sebagai rangkaian bunga di pesta perkawinan untuk mengharumkan ruangan. Tidak hanya dalam hal masak-memasak atau kebutuhan rumah tangga, manfaat daun pandan juga berkhasiat untuk kesehatan. Dikabarkan pandan dapat meringankan gejala rematik. Caranya daun pandan yang masih segar dua atau tiga lembar diiris kecil-kecil. Siapkan setengah cangkir minyak kelapa yang telah dipanaskan dan sedu daun pandan. Aduk sampai rata, kemudian setelah dingin digunakan sebagai minyak gosok pada bagian tubuh yang sakit. Jika sulit tidur, kandungan zat tanin daun pandan bermanfaat memberikan efek ketenangan seperti manfaat coklat, sehingga dapat membantu cepat tidur. Caranya, daun pandan dua lembar dicuci dan diiris kecil-kecil. Lalu diseduh dengan segelas air panas. Saring seduhan daun pandan itu dan setelah dingin diminum sekaligus.



1. Locari Toponim Locari diduga berasal dari nama sebuah pohon, yaitu pohon Lacari (Michelia Champaca). Pohon-pohon ini jarang tumbuh di alam liar dan biasanya ditemukan di kebun dan desa-desa Jawa. Pohon ini disembah oleh umat Hindu dan didedikasikan untuk Wisnu. Terkenal dengan aroma indah bunganya, yang begitu kuat sehingga, menurut pernyataan Sir W. Jones, lebah jarang atau tidak pernah puas. Penduduk asli menghiasi kepala mereka dengan itu, karena warna oranye cerah dari bunga kontras dengan hitam gelap rambut mereka. Buah ini dikatakan bisa dimakan. Kayunya ringan dan digunakan untuk membuat drum. Benih dikatakan menghancurkan hama.29



29  AH Bisschop Grevelink. Planten van Nederlandsch Indie (Amsterdam: JH De Bessy, 1883), hal 277.



Toponim Kota Malang



Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Locari Sumber: survei lapangan 2019 Perumahan Griya Lokcari Permai yang terletak di dekat Kampung Locari



115



116



Toponim Kota Malang



2. Wonosalam Wana memiliki arti hutan dalam bahasa Jawa Kuna. Sebagai contoh, tan sangsaya n dating ing sabha ngke awedi ngulun yan liwata ring wana sabha. Wana menjadi sebuah kata yang sering dipakai untuk identitas kota antara laian Wonosari, Wonosobo dan Bondowoso. Salah satu penyebab karena banyak kejadian penting dalam siklus hidup tokoh legenda dalam cerita Jawa yang terjadi saat tokoh ini berada pada eposide pertapaan dan penggembaraan. Sementara itu, salam adalah nama tanaman dengan nama latin Syzygium occlusum miq. Pohon yang mirip dengan S. lambolana; calyx dan corolla menyatu menjadi satu tutup yang jatuh; ranting bundar, sedikit terjepit di bagian atas; batang daun berlekuk memanjang di bagian atas (dalam kondisi pengeringan vena daun berwarna coklat gelap) 2–2 1/2 garis panjang; daun pada pangkal runcing pendek, elips, runcing dalam garis panjang, tumpul-berakhir, seperti pergament, ditutupi dengan beberapa titik mirip kelenjar, ditekan pada permukaan atas, menonjol pada permukaan bawah dan menunjukkan dirinya sebagai titik-titik hitam pada daun kering, berurat padat, menyamping, dan akhirnya bertemu.30 Daunnya yang seperti bumbu terbukti sangat dicari sebagai bumbu untuk menyiapkan makanan. Namun, pohon itu tampaknya langka, setidaknya di Surabaya dan sekitarnya. Spesimen itu, di kebun rumah saya dekat Gerbang Simpang, dipetik terus untuk memenuhi proposal yang tak henti-hentinya, seolah-olah itu adalah satu-satunya dari jenisnya di seluruh residence. Hanya dengan susah payah saya bisa mendapatkannya sejauh itu sehingga dia tetap tidak terganggu selama beberapa waktu dan berkembang sehingga saya bisa memeriksanya. Penduduk asli menyebut pohon-pohon Salam dan daun-daun Salam.



hlm. 444.



30  AH Bisschop Grevelink, Planten van Nederlandsch Indie (Amsterdam: JH De Bessy, 1883),



Toponim Kota Malang



Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Wonosalam



Sumber: survei lapangan 2019 Gapura masuk Kampung Wonosalam



117



118



Toponim Kota Malang



Kelurahan Blimbing Salah satu pohon buah yang telah menyatu dengan kehidupan masyarakat Jawa berbagai lapisan adalah belimbing atau blimbing (Averrhoa carambola). Baik blimbing buah, maupun belimbing wuluh (Averrhoa blimbi) yang digunakan untuk bumbu masak. Penyebaran pohon belimbing sangat luas, karena benihnya dapat disebarkan oleh lebah. Artinya, tumbuhnya pohon blimbing dapat terjadi bukan karena dibudidayakan, melainkan karena peristiwa alam di luar campur tangan manusia. Nama bunga belimbing di Jawa disebut drenges (Imam Budhi Santosa 2017). Khusus untuk belimbing wuluh, di berbagai daerah memiliki nama sebutan berbedabeda: Minang menyebut balimbieng, Sunda menyebut calincing atau balingbing, Madura menyebut bhalimbhing bulu, Bali menyebut blingbing buloh, dan Makassar menyebutnya bainang. Di Jawa Tengah ada daerah yang terkenal akan produksi blimbing buah, yaitu Kabupaten Demak. Buahnya cukup besar, warnanya kuning jernih dan rasanya manis. Selain dimakan sebagai buah, belimbing biasa untuk rujak bersama pepaya, mentimun, nanas, kedondong, mangga muda, besusu, dan lain-lain. Belimbing di Jawa sangat disukai anak-anak. Seperti halnya buah-buahan lain, misalnya jambu, rambutan, mangga, kedondong. Namun, nilai blimbing sedikit berbeda dengan buah-buahan lain, khususnya mangga dan rambutan. Mungkin karena nilai jual belimbing agak lebih rendah dibanding mangga dan rambutan, maka oleh pemiliknya, belimbing dan kedondong sering dibagikan kepada tetangga dan anak-anak. Sedangkan untuk mangga, rambutan, sawo, apel, salak, cenderung dijual untuk menambah penghasilan keluarga. Walaupun pembudidayaan belimbing buah dan belimbing wuluh masih dilestarikan oleh orang Jawa namun belakangan populasinya terkesan mulai menurun. Kegunaan belimbing wuluh terdesak oleh bumbu masak buatan, sedangkan belimbing buah terdesak oleh buah-buahan lain yang lebih populer, seperti rambutan, mangga, salak, apel, duku, dan sebagainya. Kawasan Kampung Blimbing berada di TImur Laut Kota Malang. Di sini terdapat bangunan Halte Stasiun SS yang menghubungkan tempat ini dengan Pasuruan dan Surabaya. Di Halte Blimbing juga terdapat halte tram yang akan menuju ke arah Tumpang, Dampit, Bululawang dan Turen. Blimbing menjadi “kota” yang ramai di ujung Utara Malang karena banyaknya kompleks pertokoan sejark era Kolonial. Pada era Orde Baru, Blimbing menjadi kawasan penting karena adanya Pusat Layanan



Toponim Kota Malang



satu Atap Pemerintahan Kota Malang, sebelum kemudian dipindah ke Block Office Kedungkandang.



Kelurahan Purwodadi 1. Sumpil Dalam kamus bahasa Jawa sumpil berari lengket atau makanan tradisional terbuat dari beras dan dikemas dengan daun pisang berbentuk segitiga. Sumpil juga memiliki arti lain yaitu daun bambu.31 Arti ketiga dari sumpil ditemukan di kamus Jawa Kuno yang berarti, siput kecil. Salah satu contoh penggunaan kata sumpil adalah (ulam ing beji) santen anrereñcek sumpil. Beji adalah kata kata yang ada ditempat lain di Malang barat yang berarti kolam.32 Sementara itu, hewan sumpil juga ditemui di sungai. Hewan ini sejenis keong kecil yang memiliki cangkang berbentuk lonjong. Dia tidak bisa hidup di tanah berlumpur, hanya dapat hidup di air yang jernih. Interpretasi terakhir ini adalah yang paling kuat mengingat dalam peta existing, Kampung Sumpil berada di dekat Sungai Mewek. Kemungkinan besar sungai ini membentuk suwakan di sepanjang kanan kiri nya. Suwakan dimanfaatkan untuk menjebak ikan dan kemungkinan terdapat sumpil di dalamnya. Para era colonial kualitas sungai di Malang diprediksi masih sangat jernih karena belum terdapatnya industry skala besar, produk sampah plastic dan jumlah penduduk yang sangat sedikit. Sumber: https://www.google.com/maps 31  Th Pigeaud, Javaans-Nederlands Handwoordenboek. (Batavia: JB Wolters Uitgeversmaatschappij, 1932), hlm 539 32  P.J. Zoetmulder, Kamus Jawa Kuna Indonesia 2. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1982), 1145.



Lokasi Kampung Sumpil



119



120



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019



Salah satu gang yang terdapat di Kampung Sumpil



2. Kemirahan Lingkungan Kemirahan terletak di Jalan Kemirahan (1, 2, dan 3). Dalam tradisi tata bahasa Jawa, seringkali sebuah nama diberi prefik dan sufik ke- dan -an. Sebagai contoh adalah nama kampung Kemirahan. Nama ini diambil dari nama tanaman mirah. Mirah memiliki nama latin Vitis discolor. Dalam bahasa Jawa nama mirah juga disebut dengan Bantèng, Dara, Deres, Mirah, Sambang, dan Sariawan. Tanaman ini berupa tanaman semak, panjang 2 hingga 10 meter, dan tumbuh di hutan dan semak belukar dari pantai laut hingga 1000 m. Jika dilihat dari atas, nampak garis ganda bintik hijau pucat atau putih pada Daun dan dari bawah sebagian besar berwarna merah (Backer, Schoolflora). Karena rasanya yang asam dan menyenangkan, daun ini dimakan mentah, juga sebagai obat untuk sakit perut.33



33  Heyne, ibid., hlm. 171.



Toponim Kota Malang



Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Kemirahan



Sumber: survei lapangan 2019 Salah satu gapura masuk Kampung Kemirahan



121



122



Toponim Kota Malang



3. Pulosari Nama kampung ini berasal dari nama sebuah vegetasi bernama Poelasari (Alyxia stellata). The Pulassarium digambarkan ahli botani Rumphius sebagai liana liar, yang terjadi di seluruh kepulauan di hutan tinggi lereng gunung. Batang utama merayap di sepanjang tanah atau melalui kekasaran lain dan menjadi tebal. Batang itu tumbuh batang tipis, tidak lebih dari satu inci tebal, yang tidak berdaun hingga ke puncak pohon di mana mereka memanjat dan hanya di sana mereka membagi diri menjadi cabang-cabang. Di mana batang menyentuh tanah, di sanalah mereka berakar dan membentuk semak baru. Siapa pun yang ingin menanam poelosari yang tepat harus, memiliki beberapa potong batang yang dibawanya dengan beberapa simpul dan wortel yang menyertainya, bersama dengan tanah liat tempat mereka mencuci, dan dengan demikian meletakkannya di pengadilan di bawah para-para. Dia memang menunggu dedaunan berhenti selama tanaman belum tumbuh, karena mereka akan mati ringan. Kayunya putih dan lunak, tidak berbau dan karenanya tidak berharga. Seseorang hanya menggunakannya untuk membuat bubur pendingin yang digunakan untuk menggosok orang yang demam, terutama anak-anak (Rumphius). Kadang-kadang, tetapi jarang, pengerasan resin di dalam kayu, membuatnya cocok untuk dijadikan kayu odor dan sebenarnya digunakan untuk tujuan itu. Boorsma memeriksa sepotong yang diterima olehnya dari Banka. Kulit susu, lanjut Rumphius, adalah Bast yang kotor dan sobek dan pecah-pecah, berwarna putih dan rapuh, rasanya pahit tetapi berbau tidak sedap. Saat mengumpulkan, pertama-tama lapisan gabus dikikis dan kemudian batangnya sedikit dipukuli. Kulit yang dikupas menyerupai kayu manis putih, mempertahankan aroma selama sekitar dua tahun, tetapi dengan kepahitan segera menghilang. Dia diangkut ke seluruh Hindia Timur untuk para wanita, yang menempatkan bundel mereka dengan pakaian mereka untuk memberi mereka aroma yang menyenangkan. Demikian juga, dicampur dengan dupa dan boboré, tidak hanya karena baunya, tetapi juga untuk pendinginan. Ini juga dilakukan dalam pengobatan untuk digunakan di dalam ruangan, untuk membantu meringankan gejala “perut memanas” (semacam panas dalam).34 34  Heyne, De Nuttige Planten Van Nederlandsch Indie (Deel IV), (Batavia: Department van Landbouw, 1917), hlm.74.



Toponim Kota Malang



Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Pulosari



Sumber: survei lapangan 2019 Gapura masuk Kampung Pulosari



123



124



Toponim Kota Malang



Kelurahan Balearjosari 1. Sumber Suko Devan Firmansyah pernah melakukan wawancara dengan seorang tetua warga Sawojajar Gang VII untuk menanyakan mengapa kampung ini diberi nama Sumber Suko. Menurut kesaksian, pada masa kolonial, para serdadu Belanda yang tinggal di Asrama Tangsi Rampal banyak bermain dan bersenang-senang di kawasan Timur asrama (yang sekarang menjadi Kampung Sumber Suko). Ini menyebabkan mereka menyebut kampung ini sebagai tempat mencari penghiburan dan kesenangan (sumber diartikan sebagai asal dan suka adalah kesenangan).



Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Sumber Suko



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019 Suasana Kampung Sumber Suko saat siang hari



Kelurahan Jodipan Berasal dari kata Jodipati, wilayah kerajaan Bima (werkudara). Kawasan ini memiliki kesamaan karakter pewayangan dengan wilayah lain seperti Sawojajar. Versi kedua berasal dari informan bernama Ahmad Hudan Dardiri yang mengatakan bahwa Jodipan berasal dari kata Jawa-dwipa, sementara an adalah sufik yang membentuk kata yang bermakna tempat. Kampung ini sekarang memiliki identitas tambahan, yaitu kampung warna Jodipan dan menjadi salah satu destinasi wisata di Kota Malang.



125



126



Toponim Kota Malang



Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Jodipan



Sumber: Van Liempt; 1939



Suasana Kampung Jodipan tahun 1939



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019 Salah satu gang masuk Kampung Jodipan



1. Kebalen Selain Kampung Jodipan sebagai pusat kelurahan, terdapat pula kampung lain di Kelurahan Jodipan, salah satunya adalah Kampung Kabalen. Terdapat dua versi dalam menjawab asal dari kata Kebalen. Sumber pertama mengaitkan nama Kebalen sekarang dengan Kabalon yang diseebut dalam kronik Ken Arok dengan sebutan “Kabalon”. Sumber kedua berasal dari penuturan Bapak Ahmad Hudan Dardiri. Dalam interview yang dilakukan pada tahun 2006 bapak Dardiri sempat menceritakan bahwa naan Kebalem buka dari bali,nama itu berasal dari Ka balu an. Balu berarti janda, sehingga Kabaluan berarti tempat banyak janda. Apakah ini terkait dengan karakter wilayah Kebalen yang menjadi tempat prostitusi? Versi kedua diperoleh dari pendekatan etimologis, yaitu Ke-Bali-an. Kemunculan karakter i dan a menjadi é, sehingga menjadi kebalén



127



128



Toponim Kota Malang



Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Kebalen



Sumber: Van Liempt; 1939



Suasana Lingkungan Kebalen tahun 1939



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019 Kelenteng Eng Ang Kiong yang terletak di Kampung Kebalen



Kelurahan Polowijen Polowijen berasal dari kata Pala-Wijen.35 Toponim Palawijen ini memiliki peluang terbentuk dari dua makna. Pertama dari buag (pala) dan wiji (Biji). Kedua toponim Palawijen bisa juga dimakna Palawija. Kedua, toponim palawijen dikaitkan denga nama kuna yang disebut dalam Prasasti Sukun dengan pana-wijen. (Ismail Lutfi 2003) Kata Palawija juga mengingatkan pada nama abdi dalem Kraton Yogyakarta yang bernama abdi dalem Palawija. Pohon wijen (Sesamun indicum) adalah semak semusim yang termasuk dalam famili pedaliaceae. Tanaman ini dibudidayakan sebagai sumber minyak nabati yang dikenal sebagai minyak wijen. Minyak tersebut diperoleh dari ekstraksi bijinya. Tanaman wijen dapat tumbuh subur pada dataran rendah hingga ketinggian 1.200 mdpl. Selain itu, syarat yang harus diperhatikan adalah tanaman wijen sangat sensitif terhadap curah hujan tinggi, suhu rendah, cuaca mendung dan berkabut. 35  Ibid., hlm 446.



129



130



Toponim Kota Malang



Di Jawa terdapat dua jenis wijen yang biasa dibudidayakan, yaitu wijen putih dan hitam. Dalam pengolahan makanan, wijen putih lebih disukai tetapi peluang ekspor keduanya tidak berbeda. Varietas yang kini dianjurkan untuk diusahakan adalah varietas unggul Garati KKO, Marada Putih, Bogor Sutami, Marada Hitam dan varietas unggul harapan Sesamindo (wijen varietas sate) serta Pachequino. Biji wijen yang bewarna putih digunakan sebagai penghias kue, misalnya onde-onde. Biji wijen adalah sumber minyak nabati dengan kadar asam lemak jenuh yang rendah dapat dikonsumsi langsung, dalam bentuk minyak atau tepung. Selain itu, biji wijen diperlukan untuk bahan baku industri seperti farmasi, kosmetik, pestisida dan obatobatan. Biji dan minyak wijen, secara tradisional, juga pernah dimanfaatkan untuk mencegah penyakit.



1. Watukenong Watukenong adalah salah satu bentuk peninggalan budaya megalitik. Jenis batu berbentuk seperti kenong alat musik kenong ini banyak ditemukan di Bondowoso, namun di beberapa kasus ditemukan juga di Malang. Batu kenong ini pada umumnya digunakan sebagai pondasi sebuah rumah, dan bukan merupakan tempat pemujaan. Oleh karena itu, toponim watukenong ini bukan dari keberadaan flora namun dari objek yang menonjol (landmark) yang membuat identias dari sebuah wilayah. Ini sama dengan nama kampung Kepunden dan Watugong.



Toponim Kota Malang



Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Watukenong



Sumber: survei lapangan 2019 Penanda masuk Kampung Watukenong



131



Toponim Kota Malang



Kecamatan Kedungkandang



Sumber: Pengolahan data tahun 2019 Peta Persebaran kampung di Kecamatan Kedungkandang



133



134



Toponim Kota Malang



Kelurahan Arjowinangun 1. Wonorejo Dalam bahasa Jawa, Wana berarti hutan dan rejo berarti ramai. Toponime wana nampaknya banyak dijumpai di wilayah Jawa Tengah dan Timur. Beberapa kota bahkan menggunankan nama Wana seperti Wonosobo, Wonosari dan Wana wasa (Bondowoso).



Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Wonorejo



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019 Masjid Miftahul Huda yang terletak di Kampung Wonorejo



Kelurahan Tlogowaru Kata Tlaga waru ini memiliki makna rangkap yaitu vegetasi dan tanda alam. Jika digabungkan maka Tlaga waru bermakna Telaga yang di sekitarnya terdapat banyak pohon waru. Oleh karena itu, berdasar toponim ini diperkirakan daerah Tlogowaru pada awalnya merupakan sebuah telaga dengan banyak pohon waru di sekelilingnya. Kondisi ekologi ini telah berubah seiring dengan perubahan ruang alam menjadi ruang terbangun.



135



136



Toponim Kota Malang



1. Tlogosari Dalam bahasa Jawa telaga berarti sumber air yang meluas menjadi semacam danau kecil dan, sari berarti bunga. Nama telaga ini juga ditemui di Utara Malang yang disebut telaga mas. Telaga sari memiliki sinonim dengan Sumbersari. Telaga adalah sumber air tawar yang biasa dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup masyarakat. Seringkali karena menjadi sumber kehidupan baik kehidupan sehari hari maupun pertanian, telaga dikeramatkan oleh penduduk. Mengingat setelah era industry colonial berjalan, telaga ini sudah tidak dijumpai lagi.



Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Tlogosari



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019 Masjid Jami’ Al Falah yang terletak di Kampung Tlogosari



Kelurahan Mergosono Mergasana. Nama kampung ini merupakan salah satu nama kampung yang berasal dari unsur alam. Dalam Peta Malang 1910, nama ini tertulis marga sana. Marga dalam bahasa Jawa berarti Jalan dan Sana adalah nama pohon. Pohon sana, atau yang sebagian besar orang Jawa mengenalnya dengan sebutan sana keling merupakan jenis pohon besar yang sering dimanfaatkan sebagai kayu, peneduh, tapal batas desa dan juga dikeramatkan. Sementara itu kata Marga berarti jalan. Sehingga jika digabungkan maka terbentuk kata margasana, yang berarti jalan yang terdapat pohon sana. Pembentukan nama ini diperkirakan karena kawasan Timur Malang ini memang telah memiliki struktur jalan yang dirindangi dengan pohon sana.



137



138



Toponim Kota Malang



Kelurahan Kota Lama Berdasar sumber kolonial, alun-alun Kabupaten Malang baru terbentuk tahun 1821. Padahal keberadaan Bupati Malang sudah ada sejak sebelum jatuhnya Malang ke VOC pada tahun 1767. Pertanyaan kemudian, dimanakah posisi alun alun sebelum 1821? Jika berdasar penelitian, terdapat banyak temuan strukur di kawasan supit Urang Kelurahan Kutareja, maka diperkirakan pusat kegiatan masyarakat sebelum kedatangan Penguasa Kolonial Belanda ada di Malang, tenggara, dan diperkirakan di sekitar Kotalama dan Kutaredjo. Dugaan ini dikemukakan dalam rangka mencoba menelususi mengapa nama Kotalama digunakan untuk menandai kawasan Malang Tenggara, mengingat Kota yang berkembang sekarang justru di kawasan Kota baru. Disekitar kawasam ini terdapat nama Kutoredjo. Nama kutarejo, sering identik dengan nama Kutabedah. Sekarang, nama yang dipakai identitas wilayah ini secara resmi adalah Sukoreja. Dalam sebuah naskah yang dikutip oleh Pigeaud, disebutkan: “ adanya daerah luas sebelah timur Gunung Kawi makmur karena hasil, sebagai tempat tinggal menteri, bernama Kutharaja tunduk seluruh penduduknya. Itulah tempat putra Girinatha melakukan darma melatih keperwiraan, menggirangkan budiman menyirnakan penjahat, bakti meneguhkan negara”. Pigeaud: Nagarakertagama. Dalam Suwardono. 2013. 220 Beberapa naskah kemudian mengindikasikan bahwa daerah Tumapel merupakan akuwu yang beribukota di Kutaraja. Kota ini tetap menjadi pusat kedudukan ketika kekuasaan dipegang oleh Ken Angrok. Pada tahun 1254, Wisnuwardana menjadi raja, dean mengganti nama Tumpel menjadi Sunghsari. Menurut terjemahan dari Slamet Mulyana, Kutaraja adalah nama Ibu Kota kerajaan Tumapel. Dalam tradisi kerajaan pada masa Klasik, ibukota kerajaan memang sering berpindah-pindah, sementara wilayah Kerajaan tetap. Kondisi eksisting memang mendukung pendapat tersebut antara lain posisi yang berada di daerah pertemuan dua sungai. Bukti pendukung kedua adalah banyak ditemukan artefak dan struktur candi, sisa siasa tembok, struktur parit dan ceruk ceruk pertapaan.36 36  Pendapat ini masih mendapat respon yang bermacam macam antara lain perbedaan pemaknaan Kutaraja denga Kutorejo. Kedua, nama Kutoreja juga ditemukan di kota lain seperti Majakerta, Tuban, Kertosono dan Purworejo. Ketiga, benda benda arkaik yang ditemukan di Kutoreja bisa jadi benda benda yang ada ditempat tersebut berasal dari tempat lain ketika tempat itu menjadi makam Cina, termasuk Arca Ganesha yang berasal dia Bangliawan. Sowardono, Tafsir Kesejarahan Ken Angrok. (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), hlm 225-6



Toponim Kota Malang



1. Kedung Luncing Lingkungan Kedung Luncing atau Kedung Lonceng terletak di sekitar Jalan Martadinata, berbatasan langsung dengan Kelurahan Sukoharjo. Lingkungan Kedung Lonceng ini ditandai dengan adanya beberapa warung yang menggunakan nama akhiran “lonceng”. Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Kedung Luncing



Sumber: survei lapangan 2019 Kedai Kopi Lonceng yang terletak di Kampung Kedung Luncing



139



140



Toponim Kota Malang



Kelurahan Cemorokandang Nama Cemara (Kandang) berasal dari nama pohon Cemara. Pohon cemara (Casuarina sp), di Jawa biasanya tumbuh atau dibudidayakan pada dua kawasan. Di hutan berfungsi sebagai tumbuhan konservasi dan di taman atau halaman rumah sebagai pohon hias. Walau ada 70-an jenis cemara, tetapi yang paling populer di Jawa, antara lain cemara kipas, cemara pensil, cemara Norfolk, cemara angin, cemara buaya, cemara udang, cemara lilin/pecut, cemara embun, cemara laut, cemara renthes, dan cemara Chinese golden tree. Kendati dalam era modernitas pohon cemara makin memperoleh perhatian dari masyarakat, namun di masa lalu pemanfaatan cemara pada masyarakat Jawa tradisional masih terbatas. Kadang hanya kayunya saja yang digunakan sebagai bahan bangunan rumah dan kerajinan. Terlebih lagi pada masa Belanda ketika penanaman dikhususkan untuk hutan lindung di pegunungan. Sama halnya pinus yang sengaja diusahakan oleh pemerintah, di mana getahnya digunakan sebagai bahan baku minyak cat. Posisi cemara dan pinus yang terkesan lebih dimiliki pemerintah serta pemanfaatannya sebagai tanaman hias di perkotaan, boleh jadi menimbulkan jarak emosional antara komunitas orang Jawa di pedesaan dengan pohon cemara. Resikonya, kedekatan batin mereka dengan cemara jadi berbeda dengan pohon-pohon berkayu lain yang dapat dimiliki dan menyatu dengan kehidupan mereka sehari-hari.



1. Temboro Nama temboro berasal dari tembaran (Fimbristylis Miliacea) yang punya nama lain Adas-adasan, Dasadasan, Riwit, Soendoek wëloet, Sriwit, dan Toembaran. Tinggi pohon hingga sebuk sari sekitar 8 hingga 75 cm, batang hijau polos, yang dibagi di dalam menjadi kecil, berdekatan dan di atas dengan bagian lainnya. Daun berbentuk garis sempit memanjang 5 sampai 40 cm. Tanaman ini digolongkan jenis rumput yang tersebar luas muncul di Jawa dari Barat ke Timur dari dataran rendah hingga ± 1300 M. permukaan laut. Tumbuh hanya di tanah yang sangat lembab atau tergenang dangkal (hanya di air tawar) di parit, di padang rumput berawa dan terutama di sawah beririgasi, di mana yang paling umum tumbuh di antara gulma. Tanaman ini menghasilkan sejumlah besar makanan hijau yang cukup keras dan dinilai sangat berbeda di setiap



Toponim Kota Malang



wilayah. Di daerah di mana banyak rumput liar, orang tidak melihat tanaman tembara inisebagai tanaman yang berguna. 37 Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Temboro



Sumber: survei lapangan 2019 Gapura masuk Kampung Temboro 37  K. Heyne. 1922. De Nuttige Planten Van Nederlandsch Indie (Deel I). Batavia: Department van Landbouw Nijverheid en Handel (RuyGrok & Co). Hlm 299



141



142



Toponim Kota Malang



2. Tempuran Dalam bahasa Jawa, Tempuran bermakna pertemuan dua alur Sungai. Pada umumnya daerah pertemuan dua sungai ini merupakan daerah yang dikeramatkan oleh orang sehingga dijadikan sebagai pertapan. Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Tempuran



Sumber: survei lapangan 2019



SDN Cemorokandang 3 yang terletak di Kampung Tempuran



Toponim Kota Malang



Kelurahan Lesanpuro 1. Tegaron Nama tegaron ono sering “dihubungkan” dengan Tugaran. Keberadaan Watak Tugaran diketahui melalui dua indikator, yaitu (1) adanya seorang pejabat rake yang membawahi wilayah Tugaran (rake Tugaran), (2) adanya sejumlah jabatan setingkat dan dua tingkat di bawah rake yang bertugas di wilayah Tugaran (patih i tugaran, rakryan juru gotra i tugaran). Keletakan watak ini setidaknya untuk bagian utara dipercaya berada di kecamatan Kedungkandang, khususnya desa Lesanpuro. Di desa ini terdapat kampung Tegaron yang sangat dekat bunyinya dengan Tugaran. Atas dasar kedekatan unsur bunyi dan tulisannya diperkirakan keduanya adalah sama. Selanjutnya dapat diajukan dugaan bahwa tempat ini dahulu adalah pusat kegiatan pemerintahan watak Tugaran. 38



Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Tegaron



38  Brandes. J, Oudheidkundig Verslag 1913. (Weltevreden; Landsdrukkerij), hlm 22-25



143



144



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019



Gapura masuk Kampung Tegaron



2. Baran Tegaron Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Baran Tegaron



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019 Papan petunjuk arah ke Kampung Baran Tegaron, RW 5.



Kelurahan Madyopuro (Ngadipuro) 1. Gribik Sentana Penamaan gribik ini merupakan jenis toponimi yang tidak memiliki kaitan dengan flora namun lebih terkait dengan keberadaan situs makam Ki Ageng Gribig, tokoh yang dianggap membawa agama Islam ke wilayah Malang. Kompleks makam Ki Ageng Gribig juga dijadikan kompleks makam Bupati Malang pertama hingga ketiga.



145



146



Toponim Kota Malang



Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Gribik Sentana



Sumber: survei lapangan 2019



Salah satu gapura masuk Kampung Gribik Sentana



Toponim Kota Malang



Kelurahan Sawojajar Nawa Sawo (jajar)39 berasal dari nama buah Sawo. Ada tiga jenis sawo yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat Jawa, yaitu sawo manila (Achras zapota), sawo kecik (Manilkara kauki), dan sawo ijo (Chrysophyllum cainito). Sawo manila (Achras zapota) banyak ditanam di dataran rendah, namun dapat tumbuh dengan baik hingga dataran tinggi sekitar 2.000 mdpl. Pohonnya cukup besar dan rindang, tingginya mencapai 30-40 m. Seluruh bagian pohon mengandung getah (lateks) bewarna putih kental. Buah sawo manila berbentuk bulat atau bulat telur. Warna kulitnya coklat kemerahan sampai kekuningan. Daging buahnya lembut kadang memasir, warnanya coklat kemerahan atau kekuningan. Rasanya manis dan mengandung banyak sari buah. Biasanya buah sawo manila dimakan dalam keadaan segar. Kayu sawo berkualitas bagus. Tergolong kayu keras dan berat dengan tekstur halus dan pola warna yang menarik sehingga banyak digunakan sebagai perabot dan kerajinan ukiran. Kayu sawo memiliki keawetan yang baik, juga tahan terhadap serangan jamur dan serangga. Sedangkan sawo kecik (Manilkara kauki) di Yogya-Solo pada masa lalu cenderung dijadikan penanda bahwa orang yang menanamnya abdi dalem keraton. Kayu sawo kecik cukup keras dan kuat untuk bahan bangunan, perabot rumah tangga, dibuat patung ukiran, bahkan sering digunakan untuk peralatan musik seperti badan biola dan rebana. Pohon sawo kecik tingginya mencapai 25 m dengan diameter batang dapat 100 cm. Buah sawo kecik berbentuk bulat atau bulat telur. Warnanya merah kebiruan. Bila sudah masak rasanya manis dan kadang agak sepat. Pohon sawo kecik sering ditanam sebagai pohon peneduh, pohon buah, dan sebagai pohon hias yang ditanam di dekat kuil atau istana. Sedangkan sawo ijo atau sawo hijau (Chrysophyllum cainito) mahkota pohonnya tampak selalu hijau dan tumbuh cepat.Tingginya hingga 30 m. Batang pohonnya silindris, tegak dan cenderung lurus. Seluruh bagian pohon juga mengeluarkan getah putih yang pekat. 39  Ibid., hlm 372-374.



147



148



Toponim Kota Malang



Buah sawo ijo berbentuk bulat hingga bulat telur. Kulit buahnya licin mengkilap, coklat keunguan atau hijau kekuningan sampai keputihan. Kulit sawo ijo agak tebal, banyak mengandung lateks dan tak dapat dimakan. Daging buahnya putih atau keunguan, lembut, rasanya manis dan banyak mengandung sari buah. Sawo ijo umumnya dikonsumsi sebagai buah segar, meski juga dapat digunakan sebagai bahan baku es krim. Pohonnya biasa digunakan sebagai tanaman hias dan peneduh lingkungan. Kayunya pun cukup baik sebagai bahan bangunan.



1. Kwangsan Toponimi Kwangsan berasal dari kata dasar “wangsa” yang berarti keluarga bangsawan yang tinggal di wilayah tersebut. Keterangan ini diperkuat dengan temuan punden Mbah Wareng. Di samping itu, secara konteks wilayah, kawasan itu berada di tepi Sungai Bango yang merupakan sungai kuno. Ini memperkuat dugaan jika wilayah tersebut memenuhi syarat untuk terbentuknya kawasan pemukiman.



Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Kwangsan



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019 Salah satu gapura masuk Kampung Kwangsan di Jalan Ranu Grati



149



Toponim Kota Malang



Kecamatan Lowokwaru



Sumber: Pengolahan data tahun 2019 Peta Persebaran kampung di Kecamatan Lowokwaru



Kelurahan Jatimulyo Menurut toponiminya, Kelurahan Jatimulyo berasal dari nama tumbuhan. Nama “Jatimulyo” terdiri dari dua kata yaitu “jati” dan “mulyo”. “Jati” adalah nama pohon, sedangkan “mulyo” atau “mulya” berasal dari kata “mulia”. Berdasarkan arti kata tersebut bisa jadi pada zaman dahulu di wilayah Kelurahan Jatimulyo banyak sekali tumbuh pohon jati yang berkualitas atau memberi manfaat yang baik (mulia).40 40  Prawiroatmojo. Bausastra Jawa-Indonesia (Jilid 1). (Jakarta: Haji Masagung, 1988), hlm. 179, 384.



151



152



Toponim Kota Malang



1. Bioro Menurut informasi dari Devan Firmansyah, nama Bioro berasal dari serapan kata Vihara.Vihara merupakan tempat peribadatan umat Buddha. Hipotesa ini dihubungkan dengan toponim wilayah sekitarnya, yaitu Candi Panggung dan Beji. Salah satu akar kata panggung adalah bentuk bangunan. Pada era pra-kolonial bangunan tropis sebagia besar dibangun dalam bentuk panggung. Diperkirakan rumah-rumah panggung besar itulah yag berfungsi sebagai asrama biara. Sementara itu, banyaknya jumlah temuan benda-benda artefak di dekat kawasan Bioro menunjukkan tingginya intensitas aktivitas pemujaan di tempat tersebut.41



Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Bioro



41  Devan Firmansyah, Kampung Panggungrejo di Mojolangu dengan Situs Punden Yai Beji Sari serta Patirthan Kuno yang Eksotis dan Arkais. aremamedia.com 14 Desember 2018.



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019 Musholla Baitur Rohman yang terletak di Kampung Bioro



Kelurahan Lowokwaru Nama Lowokwaru sering dikaitkan dengan wanua i waharu atau desa yang banyak pohon waru. Pada pembahasan sebelumnya di buku ini, telah diuraikan bahwa nama Lowok waru telah disebutkan dalam Prasasti Sukun. Lowok dalam bahasa Jawa baru berarti bunga. Lowok waru merupakan daerah Utara kota, yang pada awal perkembangan Kota Malang di tahun 1920an disetting menjadi makam Eropa. Oleh karena munculnya keberatan dari para pemukim di Lowokwaru, akhirnya kompleks pemakaman Eropa dipindah ke Sukun. Pohon waru (Hibiscus tiliaceus) telah lama dikenal sebagai pohon peneduh jalan di kota dan perkampungan. Pohon waru termasuk pohon yang cepat tumbuh hingga mencapai 5-15 m, dengan diameter batang 40-50 cm. Kemampuan bertahannya pun tinggi karena toleran terhadap kondisi tanah. Waru masih tumbuh hingga ketinggian 2.000 mdpl. Cirinya, pada tanah yang subur batangnya lurus, tetapi pada tanah yang tidak subur pertumbuhan fisiknya berbeda. Batangnya cenderung membengkok, sedang daun-daunnya jadi lebih lebar.



153



154



Toponim Kota Malang



Kayu teras waru terhitung agak ringan, padat, berstruktur cukup halus, dan tak begitu keras. Warnanya kelabu kebiru-biruan, semu ungu atau cokelat keunguan, atau kehijau-hijauan. Kayu waru biasa digunakan sebagai bahan bangunan, roda pedati, gagang perkakas, ukiran, serta kayu bakar. Uniknya lagi, bunga waru dapat dijadikan sebagai jam biologi. Bunganya mekar pada pagi hari dengan mahkota bewarna kuning. Di siang hari warnanya berubah menjadi jingga dan sore hari menjadi merah, dan akhirnya gugur. Sedang kulit batangnya, setelah direndam dan dipukul-pukul, dapat diperoleh serat yang disebut lulup waru. Serat ini sangat baik dijadikan tali. Biasanya tali ini sering digunakan sebagai bahan dasar membuat jaring dan tas-tas kasar. Daun waru diinformasikan mengandung saponin, flavonoida, dan polifenol, sedangkan akarnya mengandung saponin, flavonoida, dan tanninn. Dalam pengobatan tradisional, daun yang diremas dan dilayukan dapat digunakan untuk mempercepat pematangan bisul. Remasan daun muda dapat digunakan sebagai bahan penyubur rambut. Sedangkan daun muda yang direbus dengan gula batu bisa dimanfaatkan untuk melarutkan (mengencerkan) dahak pada sakit batuk yang agak berat. Kuncup daunnya digunakan untuk mengobati berak darah dan berlendir pada anak-anak. Akar waru dipakai untuk obat demam, penurun panas dan penurun haid.



Kelurahan Tulusrejo 1. Bantaran Nama bantaran memiliki dua makna. Makna pertama adalah karakter geografis berupa pinggiran aliran sungai. Makna yang kedua masih belum terpecahkan karena nama ini disebutkan dalam Prasasti Wurandungan yang ditemukan di Malang. Nama bantaran ini ternyata wanua i bantaran yang disebut juga alas ing bantaran, mungkin adalah Kelurahan Bantaran di wilayah Kecamatan Blimbing. Melihat adanya kesamaan nama ini kiranya sangat dimungkinkan bahwa yang dimaksud dengan Bantaran adalah tempat yang sama juga. Dari keletakannya yang berdekatan dengan Lowok Waru (wanua i waharu), maka dugaan di atas menjadi semakin kuat.



Toponim Kota Malang



Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Bantaran



Sumber: survei lapangan 2019 Masjid Baiturrahman yang terletak di Kampung Bantaran



155



156



Toponim Kota Malang



2. Kendalsari Kendal Sapi (Argyreia mollis) Nama umum: Kêndal sapi, Toeupan. Tanaman ini berupa semak belukar di daerah pegunungan. Tanaman Kendal ini sering digunakan sebagai jamu oleh orang orang Kraton. Batang Kendal digunakan sebagai bahan pengikat sementara (Vorderman, tanaman Madoerecsche No. 297). Jus kendal dapat digunakan sebagai obat melawan peradangan ringan.42



Sumber: https://www.google.com/maps



Peta letak Lingkungan Kendalsari



42  Heyne, ibid, hlm 105



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019 Ikon penanda Lingkungan Kendalsari di Jalan Kendalsari Gang 3.



3. Kedawung Toponimi Kedawung berasal dari nama tanaman yang memiliki nama latin Blumea balsamifera yang menonjol dapat ditemukan di Rumphius (VI, hal. 55) dengan nama Conyza odorata sebagai semak, setinggi 5 hingga 6 kaki, dengan tangkai bundar, tebal, hampir berkayu, yang membelah menjadi banyak cabang lurus. Hal ini dikenal untuk semua pulau-pulau Timur, di mana ia tumbuh di ladang terbuka, kering, berpasir di tepi datar sungai dan di hutan. Kebun-kebun dan bidang konstruksi yang tergesa-gesa itu menjadi semak dengan batang resmi setebal lengan dan sistem akar yang sangat luas.43



43  K Heyne. 1917. De Nuttige Planten Van Nederlandsch Indie (Deel IV). Batavia: Department van Landbouw Nijverheid en Handel (RuyGrok & Co). Hal 241.



157



158



Toponim Kota Malang



Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Kedawung



Sumber: survei lapangan 2019



Salah satu gang yang terdapat di Kampung Kedawung



Toponim Kota Malang



Kelurahan Mojolangu Topinimi Kelurahan Mojolangu mengandung dua unsur kata yaitu: tanaman atau pohon bernama “mojo” atau “maja”, serta “langu” yang berarti “bau yang tidak sedap”. Jadi, dapat dikatakan bahwa konon dahulu di wilayah kelurahan ini banyak terdapat pohon maja yang berbau langu.44



Kelurahan Tunjungsekar Pohon bunga teratai (Nymphea sp) adalah tanaman hias yang berasal dari rawa atau sungai-sungai dangkal dengan aliran yang tenang (air tergenang). Dalam perkembangan berikutnya teratai mulai dipelihara dijadikan tumbuhan hias kolam dalam lingkungan taman.



44  Devan Firmansyah dalam artikel Misteri serta Sejarah Jatimulyo dan Mojolangu, Malang (Bag. 1), Maret 2017 (https://www.artebia.com/).



159



160



Toponim Kota Malang



Daun teratai mengapung pada permukaan air, sedang bunganya muncul (mencuat) di atas permukaan air. Daun teratai berbentuk seperti bangun perisai, bundar lonjong kadang melipat. Tepi daun bergerigi, warna atasnya hijau, bagian bawah warnanya lebih muda dan berambut pendek yang rapat. Bunga teratai agak berbau busuk, mekar pada malam hari dan menutup pada siang hari. Buah teratai masak di bawah air, serupa spons, membuka tidak beraturan. Selain dimanfaatkan sebagai bunga hias kolam, teratai dikabarkan juga memiliki manfaat lain untuk kesehatan, seperti mengobati batuk berdarah, darah tinggi, disentri, mimisan, serta diare.



1. Sambirejo Berasal dari kata Sambi. Sambi merupakan sejenis tanaman yang memiliki nama latin Schleichera trijuga, Willd. (Stadmannia Sideroxylon, Bl). Sambi memiliki tinggi 15 hingga 40 m dan 60 hingga 175 cm tebalnya. Hampir selalu bengkok dan keriput, biasanya dengan bingkai rooting kecil dan rendah dan banyak slot. Sambi tersebar di seluruh Asia dan Jawa yang ditemukan di bawah 1.000 m, sebagian besar di bawah 600 m, permukaan laut tepatnya terjadi di alam liar, yaitu tanpa bantuan budaya. Dibutuhkan untuk pabrik gula (asli). De Sturler mengatakan bahwa kayu koesambi digunakan untuk jangkar kapal yang lebih kecil karena ketangguhan khususnya dan kemampuan untuk menahan pergantian kelembaban dan kekeringan.45



45  K Heyne. 1917. De Nuttige Planten Van Nederlandsch Indie (Deel III). Batavia: Department van Landbouw Nijverheid en Handel (RuyGrok & Co). Hal 152).



Toponim Kota Malang



Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Sambirejo



Sumber: survei lapangan 2019 Suasana Kampung Sambirejo saat siang hari



161



162



Toponim Kota Malang



Kelurahan Tunggulwulung (Petung Wulung) Toponim ini berasal dari nama tanaman Petung wulung atau bambu wulung (Dendrocalamus flagellifer) memiliki ciri batangnya lurus, berdinding tebal, dengan bagian panjang, kuat dan tangguh; ketebalannya bervariasi antara 3 dan 15 cm. Bambu ini memiliki kekuatan dan daya tahan yang kuat sehingga paling dicari di seluruh Jawa untuk pembangunan rumah dan jembatan dan untuk semua jenis pekerjaan anyaman. Bambu ini juga dipakai untuk atap kayu, keranjang dan pengikat.46



Kelurahan Dinoyo (Dinaya) Kampung Dinoyo ini menjadi istimewa karena banyaknya temuan arkeologi di wilayah ini. Temuan itu antara lain prasasti Dinaya dan beberapa lingga yoni yang hingga sekarang masih ada kemungkinan ditemukan terpendap di dalam tanah. Jika kita menghubungkan antara banyaknya temuan benda purbakala, lokasi sungai Brantas dan Karuman, maka kemungkinan besar kawasan Dinaya pernah menjadi pemukiman kuna. Ternyata ini diperkuat dari ulasan Devan Firmansyah dalam pemberitaan media elektronik sebagai berikut. Kata “Dinoyo” yang dalam tata bahasa Jawa Kuno diucapkan “Dinaya”. Akar kata Dinoyo atau Dinaya adalah “Naya” yang berarti pemimpin (pengertian ini dikutip dari Woyowasito, yang berjudul “Kamus Kawi-Indonesia”, tanpa tahun, halaman 177 dan dikutip juga dari Mardiwasito, di dalam kamusnya yang berjudul “Kamus Jawa KunoIndonesia”, tahun 1985, pada halaman 366, red). Dalam tata bahasa Sansekerta, akar kata Naya justru lebih dekat dengan kata “Dinaya”. Menurut tata bahasa Sansekerta, akar kata “Ni” jika dibentuk reduplikasinya akan menjadi kata “Ni-nay-a”, yang artinya memimpin (dikutip dari haryati Soebadio, dalam bukunya yang berjudul “Tata Bahasa Sansekerta Ringkas”, tahun 1983, halaman 60, red). Apakah kata “Ninaya” ini adalah pengucapan Jawa menjadi Dinaya/Dinoyo? Menurut Suwandono, akar kata Dinaya berasal dari Naya yang berati Pemimpin. Kara kaya Naya ini dekat denga kata Dinaya . Semntar 46  Heyne, ibid.. hlm 285



Toponim Kota Malang



aitu, kata ni-nay-a dapat diartikan sebagai memimpin. Cerita rakyat menghubungkan kata Dinaya dengan sosok “pemimpin” yang pernah menguasai wilayah tersebut.47 Sumber: survei lapangan 2019 Foto pemakaman Dinaya. Pengambilan posisi koordinat dilakukan di makam ini karena kemungkinan besar posisi keluaran ada di sekitar Makam Asli kelurahan



Kelurahan Tlogomas 1. Karuman Nama Karuman diketahui dari sumber tertulis Serat Pararaton. Karuman adalah salah satu tempat dimana Ken Angrok pernah tinggal dalam pelariannya. Secara etimologis, karuman berasal dari kata dasar Arum yang berarti harum. Nama Karuman melekat dalam pribadi ken Arok berdasarkan penggelan cerita tentang Bango samparan. Adalah seorang penjudi dari Karuman bernama Bango Samparan. Kalah berjudi di Karuman, ditagih tidak dapat membayar, pergilah Bango Sampatan 47  Suwardono dan Sri Hariningsih, Upacara Adat Bersih Desa di Kelurahan Dinoyo Kec. Lowokwaru Kota Malang dalam Perspektif Sejarah dan Nilai Tradisi. Pemerintah Kota Malang Dinas Pendidikan Sub Din Kebudayaan, 2004, 35



163



164



Toponim Kota Malang



dari karuman bertapa di Rambut jalu. Mendengar suara dari langit yang menyuruh dia kembali ke Karuman: “adalah anak saya yang akan melunasi hutangmu bernama Ken Angrok. Bango Samparan akhirnya pulang dan bertemu dengan anak yang dimaksud oleh petunjuk dari Dewa tersebut. Ken Angrok dibawah pulang oleh Bango Samparan dan dijadikan anak. Berdasar cerita tersebut, maka Karuman sering dihubungkan dengan masa kecil Ken Angrok, pendiri Dinasti Rajasa Penguasa Kerajaan Singasari. 48 Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Karuman Sumber: survei lapangan 2019



Balai RW 6 yang terletak di Kampung Karuman 48  Suwardono, Tafsir Kesejarahan Ken Angrok: Pendiri Wangsa Rajasa. Yogyakarta (Penerbit Ombak, 2013), hlm 23-24



Toponim Kota Malang



2. Guyangan Guyangan adalah nama asli dari wilayah Tlogomas. Nama Tlogomas baru digunakan pada tahun 1930. Pada awalnya nama kampung itu adalah Paguyangan dalam bahasa Jawa berarti tempat untuk meemandikan ternak terutama kuda. Ditempat tersebut dijumpai struktru arung dan tempat untuk aktivitas di pinggir Sungai Brantas. Lokasi kampung guyangan itu padat dilihat pada peta dibawah ini:



Peta Kampung Paguyagan, yang termasuk juga Dinaya dan sekitarnya 1932



Guyangan berasal dari kata dasar ‘Guyang” yang berarti menyiramkan air. Diperkirakan guyangan adalah kawasan yang berada tidak jauh dari sumber air. Para era pra-Industri di Malang, penduduk desa terbiasa menggunakan air sungai untuk kebutuhan sehari hari, termasuk memandikan ternak. Mereka menyebutkanya ngguyang sapi (memandikan sapi atau kerbau).



165



166



Toponim Kota Malang



Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Guyangan



Sumber: survei lapangan 2019



Taman PKK di Kampung Guyangan



Toponim Kota Malang



3. Ngelo Ngelo beradal dari kata ela-ela yang berati buah tanaman mirip cengkeh dan berbentuk “kursi tipis” berwarna merah muda, setebal jari 2 sampai 2,50 m.Tanaman ini memiliki nama latin (Amomum gracile) merupakan jenis tanaman di dataran rendah, dan tumbuh di mana tanah gembur dan berkualitas baik, berkelompok dan kadang kadang tersebar luas. Buah elo berbentuk kecil yang dikelilingi oleh kulit kasar kadang-kadang dimakan sebagai permen dan mereka ditemukan kering di Batavia dalam perdagangan obat asli. Saat matang, rasanya seperti biji aromatik dan aromanya mirip kapur barus. Di daerah lain dikenal sebagai èla-èla tjina, chin, atau Tjoen sa djin. Ngelo memiliki bau kapur barus yang sama dengan yang asli, tetapi pada tingkat yang jauh lebih besar.49



Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Ngelo



49  Heyne, ibid, 536



167



168



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019



Gapura masuk Kampung Ngelo



4. Watu Gong Kampung watu gong ini diberikan nama watugong karena ditempat itu banyak ditemukan artefak batu yang berbentuk seperti gong (alat musik Jawa bagian dari orkestra gamelan). Kemungkinan dahulu batu itu berfungsi sebagai umpak atau alas bangunan.



Toponim Kota Malang



Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Watu Gong Sumber: survei lapangan 2019 Papan petunjuk situs Watu Gong di Kampung Watu Gong



169



Toponim Kota Malang



Kecamatan Sukun



Sumber: Pengolahan data tahun 2019 Peta Persebaran kampung di Kecamatan Sukun



171



172



Toponim Kota Malang



P



ohon Sukun (Artocarpus altilis) adalah pohon mirip keluwih yang menghasilkan buah yang dinamakan bauah sukun. Sukun menyukai iklim tropis, lebih cocok pada dataran rendah, di bawah 600 mdpl. Pohon Sukun dapat tumbuh tinggi walau umumnya hanya sekitar 8-10 m saja. Batangnya besar dan lurus, sering dengan akar papan (banir) yang rendah dan memanjang. Bertajuk renggang, bercabang mendatar. Daunnya besar mirip keluwih. Semua bagian pohon mengeluarkan getah putih (lateks) apabila dilukai.



Buah sukun tidak berbiji dan merupakan bahan pangan penting dan sumber karbohidrat di berbagai kepulauan tropis, terutama di Pasifik dan Asia Tenggara. Di Jawa, sukun biasa dimasak utuh atau dipotong-potong terlebih dulu: direbus, digoreng, atau dibakar. Buah yang telah dimasak dapat diiris-iris dan dikeringkan di bawah matahari atau dalam tungku, sehingga awet dan dapat disimpan lama.



Toponim Kota Malang



Daunnya dapat dijadikan pakan ternak. Kulit batangnya menghasilkan serat yang bagus yang pada masa lalu pernah digunakan sebagai bahan pakaian lokal. Getahnya digunakan untuk menjerat burung, menambal perahu, dan sebagai bahan dasar permen karet. Kayu sukun berpola bagus, ringan, dan cukup kuat, sehingga kerap digunakan sebagai bahan pembuat alat rumah tangga, dan konstruksi ringan.50 Dalam kondisi eksisting, sekarang sukun lebih identic dengan sebuah makam Belanda. Permakaman Belanda ini sebenarnya dibuka sejak tahun 1923 dan dinamai Kawasan Bouwplan III. Oleh karena Beladna memprediksi akan berkuasan lebih lama (tidak berhenti di tahun 1942), maka lahan yang dikhususkan untuk makam Sukun ini sangat luas, tidak hanya berada di batas makam Sukun yang sekarang.



Kelurahan Karangbesuki 1. Badut Pertanyaan soal mana yang lebih dahulu antara nama Kampung Badut dan nama Candi Badut masih belum ditemukan. Karena banyak candi yang diberi nama sesuai dengan nama desa tempat candi itu berada. Dalam bahasa Jawa modern, nama badut berarti pelawak, sementara nama Jawa kuna untuk badut adalah banyol. Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Badut 50  Imam Budhi Santosa, Suta Naya Dhadhap Waru: Manusia Jawa dan Tumbuhan (Yogyakarta: Interlude, 2017), hlm 398



173



174



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019



Masjid Nurul Huda yang terletak di Kampung Badut



2. Gasek Kata gasek berasal dari kata kuno dalam Prasasti Pamotoh (1161M) yang sering disebut Prasasti Sukun. Dalam prasasti tersebut disebut nama “gasik”. Dalam arti kamus gasik berarti awal. Awal dimaknai sebagai desa pertama di kawasan tersebut. Ini dikaitkan dengan struktur candi Badut dan Candi Karang Besuki yang terdapat di desa tersebut. Di sisi lain, dari segi ekologis kawasan tersebut sangat memungkinkan menjadi tempat permukiman karena adanya sumber air dari Sungai Metro



Toponim Kota Malang



Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Gasek



Sumber: survei lapangan 2019



Papan penanda Situs Karangbesuki di Kampung Gasek



175



176



Toponim Kota Malang



Kelurahan Pisangcandi 1. Juwet Kulon Toponimi juwet berasal dari nama tanama yang bernama latin Eugenia Jambolana. Nama lain dari juwet adalah duwet. Juwet memiliki tinggi hingga 15 m dan 75 cm tebalnya. Sebagian besar juwet bentuk batang pohon bengkok, tumbuh di kawasan Asia tropis dan Australia. Pohon ini banyak terdapat di alam liar di Jawa Tengah dan Timur dengan ketinggian di bawah 500 M. Tanaman ini juga terdapat hutan jati namun tidak tumbuh dengan baik. Kayu pohon jarang digunakan karena bentuknya melengkung. Rumphius mengatakan bahwa di Bali kayu dari spesies lama Jambolana digunakan untuk pembangunan rumah, tetapi tidak ada yang lebih baik dari itu. Di Bali, kayu djewët manting (nama yang diberikan oleh De Clercq untuk E. Jambolana) berwarna cokelat, benang kasar, lunak tetapi sulit diolah. Kayu jawet memang digunakan di sana untuk pembangunan rumah meski ketika terpapar ke udara luar, kayunya bisa retak tetapi tidak akan terpengaruh oleh serangga. Daun dan bunganya, menurut Kloppenburg, memiliki efek yang sama pada glikosuria seperti kulit kayu dan biji-bijian. Pohon ini tidak kehilangan kekuatan melalui pengeringan.51 Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Juwet Kulon 51  Heyne, ibid., hlm (369-370)



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019 Gapura masuk Kampung Juwet Kulon



2. Genitri Genitri adalah sejenis tanaman dengan tinggi antara 25 hingga 30 m dan ketebalan sekitar 30 hingga 40 cm. Nama latin tanaman ini adalah (Elaeocarpus Qanitrus) dan nama Jawa Djènitri, Ganitri, atau Genitri. Tanaman ini tersebar di kawasan Asia Tenggara yang tumbuh di ketinggian hingga 1.200 meter dpl. Menurut Van Delden Laèrne, pembudidayaan tanaman genitri banyak dilakukan di Trenggalek (Kediri Selatan) dan di Kedu, di sekitar Tasikmalaya dan Banjar, rata-rata 350 meter di atas permukaan laut. Meskipun kayu tersedia dalam dimensi yang cukup, tidak digunakan oleh penduduk asli karena kayu ini tidak terlalu kuat. Rumphius menggambarkan kayu Ganitrus-nya berwarna putih pucat, keropos, tetapi agak keras dan berat dan mengatakan bahwa kadang-kadang berfungsi dalam kasus konstruksi rumah untuk balok pada superstruktur: jika kontak dengan tanah, kayu itu tidak tahan lama. Namun, karena gravitasi ia tidak terseret terlalu banyak dan jika digunakan, orang lebih suka mengambil batang pohon yang tumbang.



177



178



Toponim Kota Malang



Buah genitri menggantung tipis pada batang yang panjang dan tipis, mereka adalah bola, agak lebih besar dari bola musket, biru matang dicampur dengan ungu, kecuali lapisan tipis daging buah yang seluruhnya terdiri dari biji keras. Daging buah yang sudah matang rasanya agak anggur, sehingga anak-anak gembala memakannya sebagai permen, tetapi sebagian besar dikonsumsi oleh semua jenis burung besar dan sapi, yang dalam kotorannya orang menemukan biji yang sudah dibersihkan.52



Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Genitri



52  Heyne, ibid. hlm 178



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019 Balai RW 4 di Kampung Genitri



3. Bebekan Bebekan (Eragrostis unioloides) termasuk jenis tanaman rumput dengan panjang sekitar 10 hingga 80 cm, daun sempit dan memanjang, biasanya berwarna merah-ungu indah. Tanaman ini tumbuh di dataran rendah hingga 1.250 meter di atas permukaan laut atau di bawah tanah, terutama di tepi selokan, parit, sawah yang kurang terurus, di bendungan sawah, kebun the, dan di tanah dekat pohon. Meskipun dimakan oleh ternak dan memiliki komposisi yang sangat bernutrisi, rumput ini tidak mencukupi sebagai tanaman pakan.



179



180



Toponim Kota Malang



Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Bebekan



Sumber: survei lapangan 2019



Gapura masuk Kampung Bebekan



Toponim Kota Malang



4. Kejuron Akar kata Kejuron berasal dari profesi seperti juru kunci, juru jalir (mucikari). Pada intinya Kejuron mengacu pada tempat tingga profesi tertentu. Di Kota Madiun, terdapat juga nama Kejuron, yang kemungkinan besar berkaitan erat dengan nama juru kunci karena posisi kampung yang berada dipinggir sebuah makam besar. Kata Kejuron juga dapat dikaitkan dengan nama juruh yang berarti nira kelapa yang dimasak. Apakah ini menunjukkan indikasi bahwa kejuron adalah tempat tinggal petani nira? Ketiga kejuron berasal dari perubahan bunyi dari Kanjuruhan, sebuah kerajaan yang disebut dalam prasasti Dinoyo. Akan tetapi analisis yang terakhir tidak ditopang dengan bukti yang kuat mengingat tidak banyak temuan benda seperti punden, prasasti, lingga yoni dan arca di wilayah tersebut.



Kelurahan Tanjungrejo Nama Tanjung ini berasal dari nama tanaman yang dikenal dengan nama latin (Mimusops Elciigi, L). Penduduk Jawa menyebut bahwa tanaman ini telah ada selama berabadabad. Tanaman ini dijumpai sebagai tanaman di pinggir jalan yang tumbuh dengan cepat. Pohon yang dicirikan memiliki mahkota padat yang indah dan berbunga yang cukup harum (K. & V. - 1, hlm. 128). Rumphius (II, hlm. 189) menggambarkannya dengan nama Tanjoworteis dan memilik khasiat pada akarnya. Jika akarnya digosokkan dalam cuka, dioleskan secara sebagai obat luar untuk nyeri wajah. Jika dicampur air dapat menjadi obat sariawan dan sakit tenggorokan. Batang pohon ini bersudut dan berisi kayu yang sangat keras, inti berat, dengan serat halus, tetapi sangat rentan terhadap keretakan, sehingga tidak pernah digunakan sebagai kayu rumah dan peralatan hidup. Rebusan kulitnya adalah stimulan ringan, dan bermanfaat melawan demam dan sebagai obat kuat. Tanjung juga bermanfaat sebagai sebagai obat kumur terhadap gigi dan geraham yang goyang sementara kulit kayu Tanjung dapat bermanfaat sebagai obat kudis.53 Sementara kata reja adalah tambahan dari nama asli kampung itu. Reja berarti semacam harapan supaya di masa depan kampung itu menjadi ramai oleh penduduk. Kata yang 53 K Heyne, De Nuttifge Planten van Nederlands Indie. Deel III (Batavia: Ruygrok & Co, 1917).



181



182



Toponim Kota Malang



serupa yang bermakna harapan adalah “sari” sehingga banyak nama yang diberi sufiks sari dan rejo. Sebagai contoh Sumbersari dan Landungsari’



1. Mergan Di dalam bahasa Jawa, banyak kasus terjadi pertukaran vokal sebagaimana amarta dan amerta. Oleh karena itu, ada kemungkinan terjadi gejala yang sama antara mãrga dan merga-n.54 Dalam kamus Jawa-Kuna kata mãrga berarti jalan, kendaraan atau juga jalan hidup. Masih sulit memberi keterkaitan antara daerah mergan sekarang dengan istilah jalan. Kemungkinannya, bahwa salah satu akses darat dari Malang ke wilayah Barat adalah melalui kawasan yang sekarang disebut mergan.



Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Mergan



54  Zoetmulder, ibid., hlm. 655.



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019 Gapura masuk Kampung Mergan



Kelurahan Bakalankrajan 1. Bakalan Dalam bahasa Jawa kuna, bakalan diartiken sebagai yang akan datang, atau mulai. Akan tetapi dalam konteks sosial bakal sering diterjemahkan sebagai kampung/desa yang “baru dibuka” dan “bakal” menjadi desa.55 Menurut Jean Wiessman Christie, pola persebaran penduduk di masyarakat kuna Asia Tenggara memang unik. Ketika jumlah penduduk mengalami kenaikan, mereka tidak membentuk struktur permukiman dan ekonomi yang kompleks dan rumit – yang meenjadi cikal bakal kota, namun cenderung dispersed atau menyebar. Oleh karena itu, ini menjadi sebab mengapa tingkat konsentrasi penduduk di Jawa sebelum abad ke-20 justru lebih banyak di desa bukan di kota. Penduduk jawa terbiasa membuka desa baru ketika desa yang lama sudah padat. Oleh karena itu muncul istilah bakal desa, atau desa baru.



55  Babakalan, bakal , bakalan dan abakal berarti mulai atau yang akan datang. Zoetmulder, ibid, hlm 97



183



Toponim Kota Malang



vei lapangan 2019



184



Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Bakalan



Sumber: survei lapangan 2019



Suasana Kampung Bakalan saat siang hari



Toponim Kota Malang



2. Klabang Klabang merupakan jenis tanaman dengan nama latin (Pothos hermaphroditus). Tanaman ini berbentuk seperti kelabang diperkirakan sejenis brotowali. Bagian yang dominan dimanfaatkan adalah batang yang memiliki ketebalan selebar jari kelingking, dan memiliki bagian dalam yang keras sehingga mampu menyangga tanaman ini. Warna tanaman ini bermacam-macam, seperti putih, coklat atau hitam tergantung dari spesies klabang ini.56 Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Klabang Sumber: survei lapangan 2019 Suasana Kampung Klabang saat siang hari 56  Heyne, ibid, hlm 443



185



186



Toponim Kota Malang



3. Selelir Nama Selelir merupakan hasil dari evolusi bahasa Jawa yang cukup lama. Berikut adalah kutipan yang mencantumkan istilah selelir.



“Keesokan harinya, Lembu Ampal melaksanakan kehendaknya itu dengan menusuk prajurit Rajasa yang sedang membuang air besar. Ketika orang membuat ribut ia melarikan diri ke tempat orang Sinelir. Dengan demikian timbul dugaan bahwa orang Sinelir-lah yang membunuh orang Rajasa. Dua hari kemudian, Lembu Ampal menusuk orang Sinelir lalu melarikan diri ke kampung prajurit Rajasa. Kedua satuan pengawal ini saling mencurigai, yang berakhir dengan suatu perkelahian dan beberapa orang mati. Raja Tohjaya hendak mengusir mereka dengan kekerasan, tetapi mereka tak mau menurutinya. Kemudian Tohjaya menyuruh membunuh kedua pemimpin pasukan itu. Kini kedua belah pihak itu marah kepada raja karena mereka merasa diri mereka disalahkan.” (Pararaton) Dalam arti kamus, selir atau sinelir dapat diartikan sebagai pasukan terpilih.57 Kampung selelir sebagai pusat kediaman pasukan terpilih pada masa Kerajaan Singasari adalah keterangan yang masih perlu dibuktikan dengan temuan artefak pendukung.



57  Zoetmulder, ibid.. 1068



Toponim Kota Malang



Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Selelir



Sumber: survei lapangan 2019 Patok penanda masuk Kampung Selelir



187



188



Toponim Kota Malang



4. Urung-Urung Berdasar penuturan Devan, dia pernah membaca sebuah ulasan dalam surat kabar Harian Surya, edisi Jumat, 19 April 2013, dengan judul artikel “Warga Temukan Dolmen Kuno: Bakalan Krajan Diyakini Kampung Pemujaan”, hlm. 15. Menurut versi penulis artikel tersebut, ditulis Suwardono, urung-urung disebut dalam Prasasti Turyyan Tahun 929 sebagai Gurung-Gurung dan disebut dalam Negarakretagama Pupuh ke 78 Bait ke-4 Tahun 1365 sebagai Parung ... Gurung-Gurung, Parung dan Urung-Urung memiliki makna yang sama dan diartikannya sebagai “tempat yang curam”.58 Informasi ini memilik kesamaan dengan kontur kampung urung-urung yang curam. Jika dilihat dalam kamus Jawa Kuna, kata urung-urung tidak ditemukan, kata yang mirip dengan urung-urung adalah wuruñ yang berarti sejenis rumput atau tanaman liar. Dalam kalimat dapat ditemukan, “(sawah mandadi bhasma daminya tinurwan/satpada mungwi sekar ni wuruñnya).59 Kata lain yang merupakan turunan dari urung-urung adalah paru yang berarti jurang (kuda nira winiwekanhertaly anenduni paruñ).60 Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Urung-urung 58  Wawancara dengan Devan Firmansyah, 2 September 2019. 59  Zoetmuler, ibid, 1476 60  Zoetmulder Ibid, 783



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019



Suasana Kampung Urung-urung saat siang hari



Kelurahan Janti Janti berasal dari nama anaman janti61 atau jayanti (Sesbania sesban), ada juga yang menyebut giyanti dan kelor wana (hutan). Nama kuna dari janti adalah jayanti, dan diterangkan jayanti adalah sejenis bunga yang khas.62 Janti banyak ditemukan di Jawa dan biasa ditanam di pekarangan, pematang sawah, atau di perkebunan sebagai naungan dan pupuk hijau. Tanaman ini dapat tumbuh di tanah yang relatif buruk (gersang) pada dataran rendah hingga 800 mdpl. Terdapat 4 Lingkungan Janti, yaitu Janti Kulon, Janti Wetan, Janti Lor dan Janti Kidul. Kampung Janti berada di sebelah Selatan Kota Malang. Kampung ini berdekatan dengan komples industri Faroka. Pada awalnya Kampung Janti ini banyak didominasi vegetasi alam, namun seringin perkembangan kawasan Faroka, banyak rumah yang dibangun lebih bagus. 61  Heyne, Ibid., hlm 167. 62  Zoetmulder, ibid, 419



189



190



Toponim Kota Malang



Sumber: Koleksi arsip De Javasche Bank



Arsip Peta Jalur Kereta Tebu SF Keboen Agoeng



Tanaman jayanti termasuk jenis perdu yang bercabang banyak.Tumbuhnya cepat hingga setinggi 2-6 m. Perbanyakannya menggunakan biji. Bunga tanaman jayanti bewarna kuning dan termasuk bunga majemuk berbentuk tandan. Buahnya berbentuk polong yang menggantung. Hampir seluruh bagian tanaman jayanti dapat dimanfaatkan untuk obat-obatan dan makanan ternak. Daunnya dapat disayur dan mengobati TBC serta demam. Dikabarkan olahan kulit kayu dan akarnya dapat pula untuk mengobati kesulitan buang air kecil.



Toponim Kota Malang



1. Kepuh Pohon kepuh63 (Sterculia foetida) atau ada yang menyebut pohon pranajiwa, pada era abad 20 sudah menjadi pohon langka. Tanaman ini nyaris tidak dibudidayakan lagi, dan misalnya masih terdapat di beberapa tempat dapat dipastikan merupakan sisasisa tumbuhan dari masa lalu. Pohon kepuh cukup besar dan dapat setinggi 40 m dengan panjang batang ranting pohon mencapai 2-3 m. Tanaman ini tumbuh pada ketinggian 500 mdpl. Sebelum berbunga dan berbuah, pohon kepuh punya kebiasaan menggugurkan daunnya. Kayunya bewarna putih keruh, ringan, kasar dan tidak kuat, tidak awet, karena tidak tahan terhadap serangan serangga. Meskipun mudah didapatkan dalam ukuran besar, kayu kepuh kurang baik untuk bangunan karena mudah rusak. Di masa lalu biasanya hanya digunakan untuk membuat biduk, peti pengemas, dan batang korek api. Karena pohon kepuh sering tumbuh di daerah-daerah yang dianggap ‘angker’ seperti kuburan, sumber air, tepian sungai, maka penggunaannya oleh masyarakat setempat jarang dilakukan. Di Jawa, biji kepuh dipakai sebagai bahan jamu. Daunnya digunakan mengobati demam, mencuci rambut, dan sebagai tapal untuk meringankan sakit pada kaki dan tangan yang terkilir atau patah tulang. Kulit buahnya yang tebal setelah dibakar hingga menjadi abu, digunakan untuk memantapkan warna yang dihasilkan oleh kesumba. Air rendaman abu ini juga digunakan sebagai obat penyakit kencing nanah. Sebagaimana kawasan Janti, daerah Kepuh berada di Selatan Kota Malang berbatasan dengan Pabrik Gula KebonAgung.



63  Ibid., Hlm 227-228.



191



192



Toponim Kota Malang



Sumber: https://www.google.com/maps



Lokasi Kampung Kepuh



Sumber: survei lapangan 2019



Salah satu gapura masuk Kampung Kepuh



Toponim Kota Malang



2. Kemantren Kemantren adalah nama bentukan yang diduga berasal dari kata dasar “mantri” salah satu jabaran teknis yang telah dikenal lama sejak era Mahapahit. Pada saat itu dikenal istilah maha mantri. Pada era Kesultanan Mataram di abad ke-17 sampai dengan 18 dan selanjutnya pada era Kesultanan Yogyarkarta dan Kasunanan Surakarta, nama Mantri digunakan untuk jabatan teknis dibawah Patih. Ini masih dijumpai di Yogyakarta dalam bentuk jabatan Mantri Jero dan Mantri Jaba.64 Pada era kolonial nama mantri lebih dikhususkan pada pejabat yang memiliki keahlian khusus, umumnya dibidang kesehatan. Oleh karena, itu dikenal nama mantri pes, dan mantri cacar. Jabatan mantri sangat penting dalam menunjang fungsi layanan kesehatan pada masa kolonial mengingat jumlah dokter Belanda yang sangat tidak seimbang dengan jumlah pasien dan kasus epidemik yang sering mewabah di daerah tropis seperti Malang. Selain itu, nama mantri juga dipakai untuk pejabat yang mengontrol perdagangan candu, sehingga disebut sebagai mantri candu. Dalam morfologi bahasa Jawa dikenal pembentukan nama daerah dengan menambahkan awalan ke- kata dasar menjadi sebuah nama tempat. Oleh karena itu, asumsi Kemantren adalah bekas tempat tinggal mantri sebagaimana nama Kademangan dan Ngabean. Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Kemantren 64 Soemarsaid Moertono, 1985. Negara dan dan usaha Bina Negara Mataram pada abad ke-17 dan 18. (Jakarta; Yayasan Obor Indonesia) hlm, 120



193



194



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019



Suasana Kampung Kemantren saat siang hari



3. Klayatan Nama Kelayatan dapat dilacak dari kata dasar laya memiliki banyak arti. Arti pertama laya adalah (alaya) rumah kediaman, atau tempat tinggal seseorang. Arti kedua dari laya adalah pemadaman, kematian dan kebinasaan, atau juga bencana. Sementara arti ketiga dari laya adalah seuatu yang bertambah panjang, menjulur atau terbentang. Arti keempat dari laya adalah berlawanan atau bertentangan satu sama lain. Dalam bahasa jawa baru dikenal kata sulaya (berkonflik).65 Jika dilihat dari banyak arti tersebut, maka akan muncul kesulitan mencari makna yang memiliki kaitan dengan nama klayatan. Makna buruk dalam sebuah nama pasti 65  Zoetmulder, P.j, dengan Struat Robson, Kamus Jawa Kuna Indonesia. (Jakarta; Gramedia Pustaka utama, 1995



Toponim Kota Malang



menjadi sesuatu yang harus dihindari, oleh karena itu maka laya sebagai kematian, laya sebagai permusukan dan konflik kecil kemungkinan merupakan arti dari Klayatan. Kemungkinan terbesar nama Klayatan merupakan nama yang menggambarkan kediaman atau tempat tinggal yang berbentuk bentangan yang memanjang. Hipotesa yang muncul ini diperkuat dengan posisi klayatan yang beada di sungai sukun. Akan tetapi cerita rakyat yang ada di wilayah tersebut lebih condong pada istilah tempat melayat (laya sebagai kematian). Menurut cerita rakyat, klayatan berkaitan dengan aktivtas orang yang mampir di tempat tersebut untuk melayat ke makam legenda Panji Pulang Jiwo dan Roro Proboretno yang meninggal di Kepanjen (makanya di belakang Dinas Pendidikan Kepanjen tahun 1952 Wedono Kepanjen mengizinkan Kraton Madura untuk membawa jenazah Panji Pulang Jiwo untuk dibuktikan di Madura).



Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Klayatan



195



196



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019



Salah satu gapura masuk Kampung Klayatan



Kelurahan Gadang Gadang berasal dari kata bahasa Jawa Kuna, gadañ (ng) yang berarti jenis tumbu tumbuhan tertentu (pohon?). Menurut Zoetmulder, kata gadañ ini ditemukan dalam kakawin Sutasoma, pupuh 9 baris 6: “dodot wuk nanahen kasampir i pagernya kura kura gadang gadang janur.” (Kain bersimbah nanah busuk tersampir di pagarnya, kura kura (jenis tumbuhan dengan bunga yang khas), gadang, janur (daun kelapa). 66 Terdapat pendapat kedua yang dikemukakan arkeolog, yakni Dwi Cahyono yang menghubungkan kata Gadang dengan Gada, senjata yang umum ditemukan pada arca. Seringkali ide penamaan tempat berasal dari temuan situs pada lokasi tertentu seperti 66  Zoetmulder, Kamus Jawa Kuna Indonesia (JiildI) 1982 terj: Danu Suprapro dan Sumarti Suprayitno (Jakarta: Gramedia, Pustaka Utama).



Toponim Kota Malang



kasus Kampung Watugong dan Kepunden. Akan tetapi pembuktian pada pendapat kedua ini masih sulit mengingat tidak ada lagi arca atau bentuk gada di Kelurahan Gadang.



Kelurahan Kebonsari 1. Kacuk Pengertian kacuk mengandung dua makna yaitu jenis tumbuhan dan anak laki laki. Pigeaud menerjemahkan Kacuk sebagai anak laki laki.67 Zoetmulder berpendapat lain, dimana dia menuliskan nama kacu dengan tidak disertai konsonan K. Oleh karena itu, dia menuliskan Kacu dalam kamus Jawa Kuna. Kacu disini berarti jenis tumbuhan (Areta Catechu nama latin). Getahnya dimakan dengan sirih sperti gambir. Dalam bahasa Melayu, Kacu ini disebut sebagai Gambir hitam. Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Kacuk



hlm..



67  Pigeaud, Javaan Nederland Handwoordenboek. (Batavia: Wolters Uitgevers Mij, 1932),



197



198



Toponim Kota Malang



Sumber: survei lapangan 2019



Salah satu gapura masuk Kampung Kacuk



2. Lowokdoro Dalam arti kamus, Lowok doro ini masih interpretatif. Apakah dara ini diartikan merpati, dan perempuan sebagimana yang terdapat dalam kamus Jawa Kuna, Zoetmulder. Namun, jika dibandingkan dengan kata Lowokwaru, maka dara disini lebih dekat dengan widara atau wadara, mengingat waru juga merupakan jenis vegetasi. Ini memiliki kesamaan dengan Lowokdara karena widara adalah jenis tumbuhan yang khas (Zizyphus-jujuba). Dalam bahasa sansekerta, widara disebut sebagai badara.



Toponim Kota Malang



Sumber: https://www.google.com/maps Lokasi Kampung Lowokdoro



Sumber: survei lapangan 2019 Salah satu gapura masuk Kampung Lowokdoro



199



Sebuahs Pertokoam di Pecinan, terlihat ada Bendera Belanda dan Kuo Mintang (Sumber: Stadsgemeente Malang 1914-1930, Soerabaia: NV G Kolff & Co)



Toponim Kota Malang



BAGIAN IV



PENUTUP



M



engungkap toponim Kota Malang berarti mengungkap identitas sejati Kota Malang. Hasil dari penelitian tentang toponim ini memperkuat apa yang pernah dikatakan arsitek ternama di Hindai Belanda, Herman Thomas Karsten, bahwa Malang adalah garden city (kota taman). Jika melihat seluruh arti nama kampung di Kota Malang, tercermin bahwa Malang ibarat sebuah kebun yang besar dan hampir semua tanaman ada. Akan tetapi jika dilihat secara keseluruhan, pola panamaan kampung di Kota Malang menunjukkan pola-pola tertentu yang menunjukkan karakter masyarakat pada masa lampau dan menunjukkan arah periodisasi dan karakter pada setiap periodenya. Dari persepetif kronologi, tradisi penamaan kampung di Kota Malang tidak banyak mengalami perubahan dengan adanya kolonialisme bangsa barat. Beberapa peta yang berasal dari awal abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 tidak menunjukkan adanya perubahan nama yang berarti, kecuali nama kampung yang harus dihapus karena kawasan tersebut dijadikan perumahan orang Belanda. Ada nama yang tercipta karena pada masa Hindu Klasik, ada nama yang tercipta pada masa Islam dan ada nama yang terbentuk pada masa Kolonial. Dari perspektif bahasa, pembentukan nama di kota Malang menujukkan adanya evolusi bahasa dan terkadang inkonsistensi dalam morfologi bahasa Jawa. Ada perbedaan, pertukaran vocal, konsosnan, penghilangan, penambahan fonem dan pada suatu kata dan bahkan ada nama yang tidak terlacak sama sekali. Perubahan ini disebabkan adanya faktor politis ketika “si pemegang hegemoni atas kekuasaan” seringkali mengubah beberapa istilah yang berkaitan dengan kekuasaan kekuasaan pendahulunya – yang dianggap musuh. Kemungkinan kedua, hilangnya beberapa kata disebabkan semakin jarangnya penduduk melakukan aktivitas – yang masa Hindu Klasik menjadi rutinitas, namun hilang pada masa Islam. Ini membuat beberapa kata yang berkaitan dengan aktivitas ritual pre-Islam menghilang seiring dengan berkurangnya jumlah masyarakat pendukungnya. Dari perspektif geografis, pembentukan nama seakan akan memberi informasi tentang karakter wilayah tertentu sebelum terjadinya perubahan ekologi pasca berkembanganya industry perkebunan dan permukiman kota pada awal abad ke-20. Lembah, bukit, padang rumput, dan karakter tanaman yang dominan merupakan karakter alam sebuah



201



202



Toponim Kota Malang



wilayah. Disamping itu, berdasarkan karakter toponim di beberapa wilayah, terutama dekat sungai dapat disimpulkan bahwa beberapa desa lebih banyak menggantungkan pasokan air yang ditampung dalam sebuah kolam (beji). Dari beji tersebut berkembangan permukiman, baik berupa desa maupun biara (pertapaan). Karakter air yang muncul di Toponim terdapat pada jenis vegetasi dan hewan (sumpil) mengindikasikan pola permukiman desa Malang yang terpencar pencar satu sama lain. Ini berbeda dengan permukiman di kawasan dataran rendah yang memiliki permukiman desa desa yang relatif dan lebih terintegrasi daripada daerah Pegunungan. Dari perspektif memori kolektif, terbentuknya nama seakan akan menunjukan adanya benda atau struktur tertentu yang menjadi benda penting pada masa lalu, dan (pernah) terdapat pada atau menempati kawasan tersebut. Pada beberapa tempat, banyak dijumpai situs atau punden yang memiliki bentuk khas sehingga penduduk memberi nama wilayah sesuai dengan bentuk punden yang terdapat di wilayah. Penamaan juga diambilkan dari fungsi tempat tersebut di masa lalu. Keberadaan punden mungkin sudah tidak lagi ditemukan di kawasan tersebut, akan tetapi toponim akan menjadi protret tanpa gambar terhadap keabadian sebuah struktur. Kecederungan ini berlanjut hingga masa colonial. Penamaan berdasar landmark tetap menjadi pedoman, akan tetapi orientasinya bukan pada religio-magis, namun lebih ke dominant activity. Aktivitas pasar, hiburan, olahraga dan plesir menjadi objek yang akan “ditandai” oleh masyarakat sebagai toponimi kampong. Dari perspektif cerita rakyat, asal mula sebuah nama sering dikaitkan dengan bagian penting dari sebuah episode cerita pertempuran, atau perjalanan tokoh penting dalam sejarah. Dalam beberapa kasus di kota Malang, toponim menjadi petunjuk tempat tinggal bupati, persinggahan tokoh legenda dalam sejarah local dan peristirahatan terakhir, menjadi salah satu sumber penamaan sebuah wilayah. Folklore ini akan diabadikan melalui bantuan toponimi kampong. Sekalipun sebuah kampung tidak menggunakan nama tokoh sebagai identitas, namun peran mereka, arti penting mereka diabadikan dalam bentuk nama tempat. Sebagai penutup, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa toponim merupakan sebuah potret abadi aktivitas manusia masa lampau. Toponim juga menggambarakan kehidupan baik manusia, khususnya alam, flora dan fauna, di masa lalu yang tidak lagi ditemui di masa kini. Toponim dapat mengabadikan tanaman yang sudah punah akibat perubahan ekosistem ruang manusia. Kota Malang menunjuukan keunikan karena keragaman keterwakilan jaman. Toponim malang merupakan gambaran aktivitas manusia pada masa Hindu Klasik, masa Islam, dan masa Kolonial. Kharakteristik itu jarang dijumpai di beberapa kota lain yang pada umumya lebih didominasi pengaruh politik kerajaan dan kolonialisme yang dominan. Melalui kajian toponim, masa lalu, kita mampu menggambarkan, kekayaan alam dan budaya dapat beserta nilai karakter dapat diwariskan ke generasi muda.



Toponim Kota Malang



DAFTAR PUSTAKA



Algemeen verslag van de Afdeling Malang 1847, Koleksi arsip Pasuruan. ANRI. Atmodjo, M.M. S. Karto. 1979. Struktur Masyarakat Jawa Kuno pada Jaman Mataram Hindu dan Majapahit.Yogyakarta: Puslit dan Studi Pedesaan dan Kawasan UGM. Besluit van Commissarissen Generaal over Nederlandsch Indie van 9 Januarij 1819 no 3 waarbij gearrestterd wordt het Reglement op het binnenlansche bestuur en dat der financien op Java. Staatsblad van Nederlansch Indie 1819 No 16. Brandes, Jan Laurens Andries. 1913. Oud-Javaansche oorkonden (OJO). Dutch: Albrecht. Cahyono, MD. 2015. Orasi Budaya Festival kampung Celaket Ke-3: Perhelatan Budaya Kampung Tua Celaket. Domis, H.I, 1836. De Residentie Pasoeroeang. Gravenhage: Gedrukt bij H SJ De Groot, MDCCCXXXVI. Fatmawati, Ira. 2014. Efektivitas Buah Lerak (Sapindus Rarak de Candole) Sebagai Bahan Pembersih Logam Perak, Perunggu dan Besi. Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur. 8 (2): 24-31. Firmansyah, Devan. 2017. Misteri serta Sejarah Jatimulyo dan Mojolangu, Malang (Bag. 1). (Online) (https://www.artebia.com/). Diakses 12 September 2019. Firmansyah, Devan. 2018. Daerah Rampal Yang Dulu Banyak Ditumbuhi Klerek, (Online) (http://aremamedia.com/daerah-rampal-yang-dulu-banyak-ditumbuhi-klerek). Diakses 9 September 2019. Firmansyah, Devan. 2018. Celaket Ingin Tahu Nama Apa Sebenernya, Inilah Jawabannya, (Online) (http://aremamedia.com/celaket-ingin-tahu-nama-apa-sebenernya-inilahjawabannya/). Diakses 10 September 2019.



203



204



Toponim Kota Malang



Firmansyah, Devan. 2018. Asal-usul Nama di Malang Raya: Dinoyo, Pusat Pemerintahan di Zaman Hindu hingga Mataram. (Online) (http://aremamedia.com/). Diakses 10 September 2019. Firmansyah, Devan. 2018. Kampung Panggungrejo di Mojolangu dengan Situs Punden Yai Beji Sari serta Patirthan Kuno yang Eksotis dan Arkais. (Online) (http://aremamedia. com). Diakses 12 September 2019. Firmansyah, Devan. 2019. Mengenal Tanaman Kayutangan (Kajian Toponimi Kampung Kayutangan, Kelurahan Kauman, Kecamatan Klojen, Kota Malang. Artikel disampaikan pada acara tanam pohon Kayu Tangan pada acara bertajuk “Oeklam-Oeklam Heritage nang Kajoetangan dek Kajoetanganstraat, 30 & 31 Agoetoes 2019”. Grevelink, AH Bisschop. 1883. Planten van Nederlandsch Indie. Amsterdam: JH De Bessy. Heyne, K. 1917. De Nuttige PlantenVan Nederlandsch Indie (Deel III). Batavia: Department van Landbouw Nijverheid en Handel (RuyGrok & Co). Heyne, K. 1917. De Nuttige PlantenVan Nederlandsch Indie (Deel IV). Batavia: Department van Landbouw Nijverheid en Handel (RuyGrok & Co). Heyne, K. 1922. De Nuttige Planten Van Nederlandsch Indie (Deel I). Batavia: Department van Landbouw Nijverheid en Handel (RuyGrok & Co). Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia I-IV. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan. Hudiyanto, R. 2009. Pemerintah Kota dan Masyarakat Bumiputera: Kota Malang 19141950. Disertasi, Fakultas Ilmu Budaya Univeristas Gadjah Mada. Hudiyanto, R. 2011. Menciptakan Masyarakat Kota: Malang Di Bawah Tiga Penguasa 19141950.Yogyakarta: Penerbit Lilin. Hudiyanto, R. 2014. Perkembangan Wilayah dan Masyarakat Perbatasan Kabupaten Malang Kediri Berdasar Analisis Arsip Kartografi (1854-2009). Patrawidya. 15 (2): Hudiyanto, R. 2016. Nationalism From The Oosthoek The Contribution Of Gemeenteraad Malang On The Empowering Of Indonesia Local Politician (1920-1941). Patrawidya. 17 (3):



Toponim Kota Malang



Grevelink, AH Bisschop. 1883. Planten van Nederlandsch Indie. Amsterdam: JH De Bessy. Lakeman, P.K.W. 1934. Stadsgemeente Malang 14 April 1914-1934. Malang: G. Kolff & Co. Le Roy, A.A. Crince. 1928. Opkoop van Bevolkingsriet in de Afdeeling Malang. Koloniale Studien 1928. Twaalfde Jaargang. Weltevreden: G.Kolff & Co. Liempt, F J M van. 1939. Stadsgemeente Malang, 1914-1939. Malang: Stadsgemeente. Lutfi, Ismail. 2003. Desa-desa Kuno di Malang Periode Abad ke-9 hingga 10 Masehi:Tinjauan Singkat Berbasis Data Tekstual Prasasti dan Toponimi. Jurnal Sejarah. 1 (3): Mardiwarsito, L. 1990. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Ende: Penerbit Nusa Indah. Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan dan usaha Bina Negara Mataram pada abad ke17 dan 18. Jakarta;Yayasan Obor Indonesia. Munandar, Agus Aris. 2016. Toponimi dalam Kajian Arkeologi. Makalah disajikan dalam “Seminar Nasional Toponimi: Toponimi dalam Perspektif Ilmu Budaya. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Diselenggarakan atas kerja sama Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya (PPKB FIB-UI) dengan Komunitas Toponimi Indonesia (KOTISIA). Depok, 3 November. Padmopuspito, Ki. 1966. Pararaton: Teks Bahasa Kawi Terjemahan Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Taman Siswa. Pigeaud, Th. 1932. Javaans-Nederlands handwoordenboek. Batavia: JB Wolters Uitgevers. Prawiroatmojo. 1988. Bausastra Jawa-Indonesia (Jilid 1). Jakarta: Haji Masagung. Purnomo. 2013.Tanaman Kultural dalam Perspektif Adat Jawa. UB Press. Santosa, Imam B. 2017. Suta Naya DhadhapWaru: Manusia Jawa dan Tumbuhan.Yogyakarta: Interlude. Schaik, Arthur van. 1996. Malang Beeld van een Stad. Schrieke, B. 1958. Indonesian Sociological Studies. Part Two. Ruler and Realm. Bandung: Van Hoeve.



205



206



Toponim Kota Malang



Sedyawati, Edi. 1985. Keadaan Masyarakat Jawa Kuna Masa Kadiri dan Masalah Penafsirannya. Dalam Satyawati Suleiman (eds.) Pertemuan Ilmiah Arkeologi III. Jakarta: Puslitarkenas. Soebadio, Haryati. 1983. Tata Bahasa Sansekerta Ringkas. Jakarta: Djambatan. Sumadio, B (ed). 1977. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka. Suwardono & Hariningsih, S. 2004. Upacara Adat Bersih Desa di Kelurahan Dinoyo Kec. Lowokwaru Kota Malang dalam Perspektif Sejarah dan Nilai Tradisi. Malang: Pemerintah Kota Malang Dinas Pendidikan Sub Din Kebudayaan. Suwardono. 2005. Sejarah Asal usul Desa Bunulrejo. Malang: Pemerintah Kota Malang, Dinas Pendidikan. Suwardono. 2013. Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok Pendiri Wangsa Rajasa. Yogyakarta: Ombak. Swandayani, Anita. 1989. Makanan dan Minuman Dalam Masyarakat Jawa Kuno Abad 9-10 M: Suatu Kajian Berdasarkan Sumber Prasasti dan Naskah. Jakarta: Universitas Indonesia (skripsi tidak diterbitkan). Tim Balai Bahasa Yogyakarta. 2011. Kamus Bahasa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta: Kanisius. Udarno, Laba. 2009. Lerak (Sapindus rarak) Tanaman Industri Pengganti Sabun, tahun 2009 yang dimuat dalam JurnalWarta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. 15 (2): 7-8. Yunus, Hadi Sabari. 2005. Klasifikasi Kota.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Zoetmulder. 1982. Kamus Jawa Kuna Indonesia Jiild I (terj. Danu Suprapro dan Sumarti Suprayitno). Jakarta: Gramedia: Pustaka Utama.



Skiblat 1/1 (bolak balik)



TOPONIM KOTA MALANG TOPONIM KOTA MALANG



Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta 2019