Traumatic Brain Injury [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

49 Rehabilitasi Cedera Otak (Brain Injury) Bab ini membahas rehabilitasi pada pasien brain injury, yang didefinisikan sebagai suatu injury (cedera) pada otak yang didapatkan oleh pasien, yang bersifat nonprogresif. Cedera otak traumatis (Traumatic Brain Injury (TBI)) adalah bentuk cedera yang paling sering terjadi. Yang kurang begitu sering terjadi, cedera otak biasa diakibatkan oleh anoksia dan beberapa tipe tertentu dari stroke, infeksi, dan tumor otak. Meskipun etiolologinya berbeda-beda, banyak pasien penderita brain injury memiliki riwayat klinis yang serupa—yang berawal dengan melemahnya fungsi global



otak,



perkembangan-perkembangan



setelah



melalui



suatu



periode



penyembuhan fungsional, dan berakhir dengan level fungsi yang stabil tanpa adanya kerusakan lebih lanjut. Kesamaan riwayat klinisnya merupakan dasar pemikiran untuk memberikan program rehabilitasi yang sama dalam memperlakukan brain injury dengan etilogi-etiologi yang berbeda-beda, seperti halnya program-program rehabilitasi untuk urat saraf sumsum tulang belakang memperlakukan paraplegia dan tetraplegia dengan etiologi yang berbeda-beda. Bab ini mengkaji bahasan mengenai rehabilitasi brain injury dari sudut pandang kedokteran yang bertanggungjawab terhadap manajemen individu-individu penderita brain injury setelah berhenti dari perawatan akut. Bab ini menekankan pada komplikasi-komplikasi medis pasien-pasien rawat inap yang mendapatkan rehabilitasi brain injury. Topic-topik yang berkaitan dengan rehabilitasi brain injury yang tercakup di dalam buku ini pada bab-bab yang lain antara lain spastisitas (Bab 29), gangguan komunikasi (Bab 3), pengukuran outcome (Bab 8), ambulasi (Bab 5), dan kemampuan hidup sehari-hari (Bab 25). TBI diketahui sejak awal di dalam catatan sejarah kedokteran, 96, 294 namun baru setelah abad duapuluh-an program-program rehabilitasi untuk pasien-pasien penderita brain injury ditemukan. Selama Perang Dunia I, 44 program-program tersebut mulai



diadakan untuk membantu veteran-veteran perang yang menderita brain injury. Akhir abad duapuluh-an, perkembangan di bidang ini berkembang dengan begitu pesatnya, yang setidaknya memacu empat faktor yang terkait satu sama lain: (1) perkembangan-perkembangan sistem-sistem penanganan trauma dan perawatan neurosurgical yang meningkatkan angka harapan hidup penderita TBI 203,317; (2) peningkatan prevalensi penderita-penderita yang mampu bertahan dari brain injury dengan kecacatan jangka panjang, yang menimbulkan beban emosional dan finansial bagi keluarga mereka351; (3) edukasi publik oleh organisasi-organisasi advokasi nasional, khususnya Brain Injury Association (dulunya the National Head Injury Foundation) di Amerika Serikat dan Headway di Inggris, yang meningkatkan pengenalan publik tentang kebutuhan-kebutuhan para penderita brain injury yang mampu bertahan dan keluarganya; (4) pertumbuhan pengetahuan mengenai biayabiaya—yang diperkirakan $25.9 hingga $34.4 milyar di Amerika Serikat selama tahun 1986184—bahwa TBI mengganggu hidup kemasyarakatan. Permasalahan brain injury saat ini merupakan fokus umum perhatian dari berbagai bidang, dari ilmu syaraf hingga pencegahan injury. Informasi lebih detil mengenai rehabilitasi brain injury, dan mengenai TBI pada umumnya, dapat ditemui di berbagai buku dan monograf. 25, 52, 88, 114, 149, 154, 171, 207, 215, 232, 260, 261, 295, 345. TERMINOLOGI BRAIN INJURY Traumatic Brain Injury. Istilah Traumatic Brain Injury (TBI) disahkan sebagai istilah umum untuk semua jenis injury terhadap otak yang disebabkan oleh faktor eksternal.



207



Seperti spinal cord injury, TBI merupakan istilah umum yang tidak



mengimplikasikan suatu keadaanpatologi yang spesifik. Istilah alternatif dapat digunakan ketika terdapat kepentingan untuk menjelaskan keadaanpatologi TBI. Tabel 49-1 menampilkan terminologi yang umum digunakan untuk TBI. Sedangkan beberapa istilah terdahulu, yang singkatnya disebut head injury (atau head trauma), masih digunakan untuk menunjuk pada TBI, istilah-istilah dapat menyalahartikan.



“Head injury”, sebagai contoh, hanya mengimplikasikan adanya injury pada otak. Lebih lanjut, istilah ini kadang kala digunakan untuk mengacu pada injury yang terbatas hanya di bagian wajah atau kepala, namun tanpa adanya injury pada otak. Dengan demikian istilah brain injury dipilih karena dengan jelas menunjukkan bahwa injury pd otak merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas, dan bahwa karena injury tersebut disebabkan oleh faktor eksternal. Nontraumatik Brain Injuries. Terminologi nontraumatic brain injuries mengindikasikan etiologi dan keadaanpatologi yang spesifik, dan oleh karenanya siap untuk dipahami. Istilah anoxic brain injury mengacu pada injury yang disebabkan oleh berkurangnya suplai oksigen ke otak.



145



Istilah ini ekuivalen dengan istilah



hypoxic brain injury (injury otak hipoksi) dan hypoxic encephalopathy. Penyebabpenyebab utama injury otak anoksik adalah gagal jantung, gagal pernapasan, dan keracunan karbon monoksida. Istilah-istilah untuk injury otak nontraumatis lainnya, seperti stroke (Bab 50), infeksi, tumor, dan injury otak toksik-metaabolik, 9 semuanya sudah cukup dikenal. PATOFISIOLOGI BRAIN INJURY Bagian ini membahas patofisiologi kerusakan otak pada TBI dan injury otak anoksik. Patofisiologi stroke dijelaskan pada Bab 50. Detil-detil mengenai terminologi dan patofisiologi penyebab injury otak yang lainnya dibahas di bagian-bagian lain.9,24 Traumatic Brain Injury Patofisiologi TBI berbeda antara cedera kepala terbuka dan cedera kepala tertutup, di lain sisi, dan cedera otak penetrating di lain sisi. Berbagai macam mekanisme yang menyebabkan kerusakan otak traumatik dapat dikategorikan kepada mekanismemekanisme primer dan sekunder. Mekanisme primer terjadi pada saat tabrakan;



meknisme sekunder dipacu oleh mekanisme primer dan, sebaliknya menyebabkan kerusakan otak. TABEL 49-1 Terminologi Traumatic Brain Injury Istilah



Definisi



Cedera kepala



Traumatic brain injury yang disebabkan oleh kontak



akibat benda



antara kepala dan benda tumpul; sinonim dengan



tumpul



nonpenetrating traumatic brain injury. Sinonim dengan traumatic brain injury



Trauma otak



Sinonim dengan closed head injury, khususnya, closed



Gegar otak



head injury ringan.



(commotio cerebri)



Sinonim dengan traumatic brain injury



Craniocerebral injury



Traumatic brain injury dimana dura tetap utuh.



Closed Head Injury Cedera kepala (trauma capitis) Trauma kepala Cedera kepala traumatis



Traumatic brain injury dimana dura terbuka (misalnya.,



Cedera kepala



tercedera



terbuka



bergerak, bertabrakan)



karena



senjata



tajam,



terbentur



benda



Tipe penetratic traumatic brain injury (misalnya., Cedera tembak



tembakan, pecahan bom dari suatu ledakan, senapan angin) Traumatic brain injury yang disebabkan oleh benda



Penetrating head



asing yang berpenetrasi ke dura memasuki otak



injury



(misalnya., cedera tembak, cedera tusukan, laserasi oleh



Penetrating brain



suatu bend yng bergerak)



injury



Tipe penetrating traumatic brain injury (misalnya.,



Cedera tikaman



tercedera dengan pisau)



Cedera Kepala Terbuka atau Tertutup Pada cedera kepala tertutup atau terbuka, otak dapat menjadi rusak karena kontak antara kepala dengan benda lain, dan/atau oleh akselerasi atau deselerasi otak dengan tengkorak kepala.146 Pada kasus yang dikarenakan pasien terjatuh, misalnya, otak dengan cepat berdeselerasi ketika kepala membentur tanah, dan dalam keadaancedera otak dengan cepat berakselerasi ketika senjata tersebut membentur kepala. Kecelakaan-kecelakaan motorik biasanya melibatkan baik akselerasi dan deselerasi. Sebagian besar meknisme-mekanisme primer kerusakan otak pada cedera kepala terbuka maupun tertutup disebabkan oleh akselerasi-deselerasi. Mekanismemekanisme utama kerusakan otak dihasilkan oleh akselerasi-deselerasi antara lain diffuse axonal injury (cedera aksonal yang menyebar), multiple petechial hemorrhages, cedera memar, dan cedera saraf kranial. Diffuse axonal injury133 mengacu kepada peregangan akson-akson yang tersebar meluas yang disebabkan oleh rotasi otak mengelilingi aksisnya. Distribusi kerusakan aksonal bersifat konsisten dengan model sentripetal cedera kepala tertutup,268 yang mempostulasikan bahwa tekanan yang terdesak oleh karena rotasi otak mencapai nilai terbesar di permukaan otak dan melemah pada struktur-struktur otak yang lebih dalam. Model tersebut dengan



tepat



memprediksikan



bahwa



neuroimaging



(penginderaan



saraf)



abnormalitas-abnormalitas pada TBI yang lebih ringan cenderung ditemui di dekat korteks, namun pada TBI yang lebih parah ditemui di bagian dalam seperti halnya daerah-daerah permukaan otak.222 Pada TBI yang parah, kerusakan aksonal cenderung lebih besar pada saluran-saluran fiber yang lebih panjang (misalnya., corpus



callosum).146 Tanpa mempedulikan poin yang menyebutkan kontak kepala dengan suatu objek eksternal, cedera-cedera memar paling sering terjadi di lobus-lobus inferior frontal dan anterior temporal, dimana tempurung kepala berdekatan dengan permukaan-permukaan bersifat irregular.146 Mekanisme-mekanisme



sekunder



kerusakan



otak



traumatis



termasuk



pendarahan intrakranial (epidural, subdural, dan hematoma-hematoma intraserebral), pembengkakan otak (edema vasogenik atau sitogenik), eksitotoksitas, cedera oksidan, dan hipoksia yang dikarenakan menurunnya tekanan perfusion serebral. Baik kerusakan otak primer maupun sekunder dapat menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial (increased intracranial pressure (ICP)), yang sebaliknya dapat memacu mekanisme-mekanisme kerusakan otak sekunder dalam suatu simpul feedback positif.146 Perubahan dan herniasi otak dapat dihasilkan oleh efek massa pembengkakan otak atau pendarahan intrakranial.hidrosefalus merupakan suatu sebab utama kerusakan otak sekunder yang dapat terjadi jauh setelah cedera tersebut dialami. (Perhatikan gambar 49-1 sebagai contoh kasus beberapa mekanisme cedera.) Excitotoxicity mengacu kepada kerusakan neuronal yang diakibatkan oleh pengeluaran neurotransmitter excitatory di atas normal oleh neuron-neuron yang mengalami cedera.146 Kerusakan otak excitotoxic dapat dikurangi dengan hipotermia sedang.



80, 81, 234, 235



Dalam penelitian terhadap 82 orang pasien dengan cedera kepala



tertutup yang parah, Marion et al235 menunjukkan bahwa perawatan awal (rata-rata 10 jam pasca-cedera) dengan hipotermia memacu penyembuhan neurologis dan meningkatkan outcome pada pasien dengan skor GCS antara 5 hingga 7. para pasien ditempatkan pada suhu 32 hingga 33°C selama 24 jam, dan kemudian dihangatkan kembali. Kerusakan otak dalam TBI oleh karenanya merupakan suatu hasil akhir dari berbagai efek mekanisme-mekanisme primer dan sekunder ganda yang terjadi berkali-kali yang pada umumnya menimbulkan pola-pola kerusakan yang cenderung bersifat menyebar daripada bersifat fokal, terutama pada para pasien penderita cedera kepala tertutup. Pola kerusakan otak yang menyebar konsisten dengan gambar kronis



atrofi serebral dan pembesaran ventrikular yang biasanya didapati pada neuroimaging para mantan penderita cedera kepala tertutup.18 Selain komonalitas-komonalitas tersebut,



perbedaan-perbedaan



individual



dalam



pola-pola



kerusakan



otak



menghasilkan pola-pola campuran kerusakan-kerusakan neurologis dan neuropsikologi14 pada individu-individu mantan penderita TBI. Menyadari pentingnya penundaan, atau penderitaan-penderitaan sekunder pada otak yang tercedera, the American Academy of Neurological Surgery (AANS) menerbitkan the Guidelines for the Management of Severre Head Injury16 untuk mempromosikan perawatan yang lebih baik dengan menggunakan panduan berdasarkan fakta-fakta yang telah dikembangkan setelah diadakan suatu kajian yang teliti terhadap literatur. Dokumen ini terdiri dari rekomendasi-rekomendasi untuk resusitasi tekanan darah dan oksigenasi, tekanan perfusi serebral, indikasi-indikasi monitoring ICP dan ambang batas perawatan, dan teknologi monitoring ICP. Juga dibahas tentang penggunaan hiperventilasi pada manajemen akut, penggunaan mannitol dan barbiturat-barbiturat, peranan glukokortikoid-glukokortikoid, perawatan hipertensi intrakranial terelevasi, dukungan nutrisi, dan peranan profilaksis antiserangan. Cedera Tembak di Otak Pada cedera-cedera tembak, sebagian besar kerusakan otak terletak sepanjang jejak peluru dan fragmen-fragmen tulang yang terkena.333 implikasi rehabilitasi utama adalah bahwa cedera tembak pada otak pada umumnya menyebabkan sindromsindrom kerusakan otak fokal (misalnya., hemiplegia, hemianopsia), dengan secara relatif menghemat pemfungsian bagian-bagian otak yang terletak jauh dari lintasan misil. (lihat gambar 49-2 untuk suatu contoh kasus cedera tembak pada otak.)



Cedera Otak Anoksik



Mekanisme kerusakan otak pada cedera otak anoksik adalah iskhemi yang disebabkan oleh hipoksia atau penurunan perfusi serebral.145 Meskipun cedera otak anoksik biasanya menyebabkakan kematian dan cedera neuronal yang menyebar, terdapat



kerentanan



selektif



neuron-neuron



pada



bagian-bagian



di



dalam



hippocampus, cerebellum, dan basal ganglia, dan di dalam zona-zona batas arterial (misal., area-area yang tertutup cairan) pada serebrum.145 neuron-neuron pada bagian hippocampus adalah bagian yang paling rentan, yang berkorelasi dengan tingginya frekuensi amnesia yang menyertai cedera otak anoksik.170 Lebih lanjut, frekuensi gangguan-gangguan gerak pada populasi ini berkorelasi dengan kerentanan yang bersifat selektif terhadap hipoksia neron-neuron di dalam bangsal ganglia dan serebellum. (lihat gambar 49-3 untuk suatu contoh kasus cedera otak anoksik.) EPIDEMIOLOGI CEDERA OTAK TRAUMATIK (TBI) Bagian ini membahas mengenai epidemiologi TBI. Epidemiologi stroke dibahas di Bab 50. Epidemiologi tumor-tumor otak dan cedera-cedera otak nontraumatis lainnya dibahas pada bab lain.9, 224 Secara relatif lebih sedikit hal yang diketahui mengenai epidemiologi cedera otak anoksik. TBI merupakan satu dari gangguan-gangguan neurologis yang paling sering mengakibatkan kematian dan kecacatan. Kajian-kajian mutakhir 30,



196,



197-199,



315



meringkas bahwa penelitian-penelitian epidemiologis besar di Amerika Serikat memperkirakan bahwa angka insidensi tahunan penderita TBI yang dirawat di rumah sakit mendekati 200 orang per 100,000 orang. Hampir 80% kasus TBI yang baru dirawat di rumah sakit digolongkan dari kasus TBI ringan hingga memiliki angka survival hingga mendekati 100%. Angka insidensi TBI ringan yang sesungguhnya dapat dua kali lebih besar dari yang diperkirakan berdasarkan karcis masuk rumah sakit karena banyak pasien TBI ringan gagal untuk mendapatkan perhatian medis atau dikirim pulang dari instalasi gawat darurat.87, 316 Sisanya sejumlah 20% kasus-kasus



TBI yang baru dirawat di rumah sakit dapat dikelompokkan secara merata sebagai kasus TBI



sedang dan parah. Akan tetapi, kasus TBI parah memiliki angka



kelangsungan hidup kira-kira 40%, sebagai perbandingan, angka kelangsungan hidup untuk kasus TBI sedang berkisar antara 90%-95%. Perhatikan Tabel 49-2 untuk angka-angka penderita TBI baru yang terproyeksikan di Amerika Serikat pada tahun 2000.335 Resiko TBI sangat dapat diperkirakan melalui faktor-faktor demografis. Kaum pria pada semua kelompok usia beresiko lebih tinggi. Puncak resiko adalah sepanjang masa dewasa muda dan khususnya antara usia 18-25 tahun. 315 Angka insidensi tahunan pria dalam kelompok usia tersebut diperkirakan antara 350-700 orang per 100,000 orang.198 Hal ini menjelaskan predominansi laki-laki dewasa muda dalam rehabilitasi TBI.144 Terdapat juga puncak yang lebih kecil pada angka insidensi TBI di kelompok umur pediatrik dan geriatrik. Satu-satunya penyebab tidak langsung TBI mungkin adalah penyalahgunaan alkohol.92,



94



Satu-satunya penyebab eksternal TBI adalah kecelakaan kendaraan



bermotorik, diikuti dengan frekuensi kecelakaan pejalan kaki-pengguna jalan, jatuh, dan tercedera (termasuk juga cedera tembakan).197,



199



Tingkat pentingnya masing-



masing penyebab eksternal ini berbeda-beda di antara kelompok-kelompok demografis. Kecelakaan kendaraan bermotorik menempati proporsi terbesar dalam kasus-kasus penderita TBI dewasa muda. Kecelakaan kendaraa bermotorik dengan pejalan kaki atau pengguna sepeda biasanya lebih sering terjadi di antara kelompok anak-anak daripada di kelompok-kelompok umur lainnya. Jatuh secara relatif lebih sering terjadi pada kelompok umur anak-anak dan orang-orang tua jika dibandingkan kelompok usia muda atau paruh baya. 197,199 Ciri-ciri epidemiologis bahwa TBI mendukung pandangan bahwa TBI mewakili sebuah jalur umum final permasalahanpermasalahan sosial seperti penyelahgunaan substansi, kejahatan, bahaya-bahaya lingkungan dan tempat kerjacara mengemudikan yang tidak aman, penyalahgunaan anak-anak, dan supervisi anak-anak dan kaum orang tua yang tidak memadai. TEKNIK-TEKNIK PENILAIAN DAN PROGNOSIS



Bagian ini membahas penilaian dan perkiraan outcome TBI dan cedera otak anoksik. Detil-detil penilaian dan prognostikasi stroke dibahas pada Bab 50. Referensireferensi lain membahas topik-topik ini dalam kaitannya dengan nontraumatic brain injuries (cedera-cedera otak nontraumatis).9, 224 MENGUKUR TINGKAT KEPARAHAN BRAIN INJURY: (GLASGOW KOMA SCALE) SKALA KOMA GLASGOW Glasgow Koma Scale. Kurangnya cara untuk mengukur tingkat keparahan brain injury secara langsung, sebagian besar pusat-pusat menggunakan Glasgow Koma Scale (GCS)324 untuk mengukur keparahan brain injury, khususnya selama tahap-tahap awal penyembuhan. Meskipun GCS pada mulanya didesain untuk TBI, GCS juga digunakan dengan anoxic brain injury dan nontraumatic brain injuries lainnya yang menjadi penyebab kerusakan kesadaran. Dasar pemikiran menggunakan GCS sebagai suatu ukuran keparahan adalah hubungan antara tingkat keparahan brain injury, yang tidak dapat diukur secara langsung, dan tingkat kesadaran, yang dapat diamati dan diperingkat. GCS, yang nampak pada Tabel 49-3, terdiri dari pemeringkatan repon-respon motorik dan bicara pasien yang terbaik serta stimulus terlemah yang dipercederan untuk membuka mata. Pemeringkatan tiga respon tersebut diringkas untuk mendapatkan suatu skor GCS yang berkisar dari nilai minimum 3 hingga nilai maksimum 15. Skor-skor GCS yang lebih rendah mengindikasikan tingkatan kesadaran yang lebih rendah dan oleh karenanya mengimplikasikan tingkat keparahan brain injury yang lebih besar. Sebaliknya, skorskor GCS yang lebih tinggi mengindikasikan tingkatan kesadaran yang lebih mendekati normal, yang mengimplikasikan brain injury yang tidak terlalu parah. Telah ditunjukkan berulang kali bahwa kedalaman dan durasi ketidaksadaran, seperti yang terukur melalui skor GCS, merupakan satu-satunya prediktor terbaik outcome TBI.78, 337 Sebuah modifikasi GCS juga tersedia untuk anak-anak.339



Skor GCS post-resusitasi yang terendah, diperoleh kapanpun setelah melalui resusitasi, merupakan indeks keparahan yang terpilih. Keuntungan utama menggunakan skor GCS post-resusitasi yang terendah adalah bahwa skor tersebut bisa merefleksikan perusakan lebih lanjut yang tidak akan direfleksikan oleh suatu skor GCS yang diperoleh pada saat itu juga atau segera setelah tiba di rumah sakit. 110 Kerugian yang paling utama menggunakan skor GCS post-resusitasi yang terendah adalah bahwa skor tersebut bisa jadi ditekan karena adanya intracranial injuries (cedera-cedera intrakranial)(misalnya., terguncang). Apolipoprotein E4 dan Prognosis TBI. Perhatian terhadap adanya apolipoprotein E4 (APOE-4), sebelumnya dikaitkan dengan penyakit Alzheimer, begitu banyak laporan yang menyatakan bahwa hal tersebut bisa jadi merupakan suatu penanda kerentanan outcome yang tidak diinginkan setelah mengalami TBI. 325



187,



APOE, yang merupakan satu-satunya transporter lipid yang signifikan di dalam



otak dan cairan serebrospinal,85 dipercayai memainkan peran penting pada regenerasi neural.72 Penelitian-penelitian menyatakan bahwa kehadiran apolipoprotein ε4 allele (yang memproduksi APOE-4) meningkatkan resiko penyakit Alzheimer 116,



307



dan



tingkat keparahan defisit neurologis kronis pada populasi-populasi TBI tertentu.187, 325 Gambar 49-1. Traumatic Brain Injury parah yang terkomplikasi oleh Hidrosefalus. Pencitraan CT Scan otak seorang wanita berusia 47 tahun yang menderita traumatic brain injury yang parah karena jatuh dari kuda. Skor Glasgow Koma Scale 14 pada saat itu juga namun kemudian turun menjadi 8. A. Scan hari pertama menunjukkan cedera memar hemorrhagic pada lobus kiri frontal dan membengkak pada hemisphere serebral kiri, dengan cedera memar yang kurang ekstensif pada bagian kanan frontal dan lobus temporal anterior kiri. B. Scan follow-up 14 hari setelah tercedera menunjukkan peningkatan cedera memar pada hemisphere serebral kiri yang mengakibatkan herniasi dini dan efek massa. Lobectomy sebagian di bagian lobus frontal kiri kemudian dilaksanakan. Ia mendapatkan kembali kemandiriannya dalam ambulasi dan perawatan diri sendiri, namun tetap dalam keadaan amnesia



posttraumatis (PTA/Posttraumatic Amnesia). C. Scan follow-up 2 bulan setelah mengalami cedera, diperoleh karena masa stabil awal penyembuhan fungsional, menunjukkan pembesaran sistem ventrikular tergeneralisasi yang konsisten dengan keterkaitannya dengan hidrosefalus. Setelah peletakkan sebuah ventrikuloperitoneal (VP) shunt, ia jelas terbebas dari PTA. D. Scan follow-up 7 bulan setelah tercedera, diperoleh karena munculnya permasalahan-permaslahan kognitif dan perilaku yang semakin memburuk, menunjukkan hematoma subdural frontal-parietal kanan kronis. Setelah pengeringan hematoma, penyembuhan fungsional mengalami kemajuan hingga beberapa bulan ke depan. Setelah 15 bulan pasca cedera, ia lolos evaluasi uji mengemudi dan mandiri untuk berbelanja dan memasak, namun tidak lagi bekerja. Evaluasi neuropsikologis menunjukkan defisit memori saat ini yang bersifat selektif, sedang dan koordinasi tangan kanan. Gambar 49-2. Penetrating Traumatic Brain Injury yang disebabkan oleh Tembakan. Hasil CT scan awal atas seorang anak lelaki berusia 14 tahun ditembak dalam jarak dekat ketika tercedera melibatkan pergulatan di tanah dengan seorang remaja lainnya. A. cedera entry di area frontal kanan superior dengan jejak peluru melintasi garis tengah. Fragmen-fragmen tulang indriven mendasari cedera entry. B. cedera Exit di area temporal-parietal kiri. Perusakan jaringan otak dapat terlihat sepanjang jalur peluru. Cedera-cedera fokal ke area frontal superior bilateral dan ke area parietalfrontal kiri berkorelasi dengan paresis kronis ekstrimitas bawah bilateral dan defisit bahasa-tulisan. Setelah terapi fisik dan okupasional secara menyeluruh, pasien memperoleh kemandirian dalam memprogram setup dan mobilitas dengan menggunakan kursi roda bermotorik. Gambar 49-3. Anoxic Brain Injury. Hasil CT menunjukkan anoxic brain injury pada seorang pria berusia 32 tahun yang terus-menerus mengalami traumatic brain injury dan facial injury (zygomatic arch dan fraktur) karena jatuh dari tangga, dan kemudian mengalami gagal jantung selama 10 menit ketika mengalami operasi facial. Gambar-



gambar tersebut dalam posisi horisontal melalui lapisan ventrikel-ventrikel lateral, yang ditunjukkan sebelum dan sesudah brain injury. A. scan pada hari tersebut, dilakukan untuk membersihkan pria tersebut guna keperluan operasi, menunjukkan tidak adanya abnormalitas intrakaranial. B. Scan follow-up yang dilakukan 20 hari kemudian, menunjukkan perubahan-perubahan atrofik predominan di bagian lobus frontal dan temporal. Selama bulan pertama pasca tercedera, ia merasa gelisah dan bingung, namun perlahan-lahan ia pulih kemandiriannya dalam ambulasi dan perawatan pribadi. Follow –up setelah 4 bulan pasca tercedera mengindikasikan anesia parah dimana ia emnerima supervisi sepanjang waktu. Setelah 1 tahun pasca tercedera, tingkat kemampuan fungsinya telah meningkat hingga hanya perlu supervisi paruh waktu. Pasien tidak pernah lagi bekerja, mengemudi, atau pergi tanpa pengawasan selama 24 jam. TABEL 49-2 Angka Insidensi Tahunan Traumatic Brain Injury Yang Terestimasi Di Amerika Serikat pada Tahun 2000 Populasi A.S. Total insidensi Total kematian pre-rumah sakit



(kira-kira 274,634,000) 549,628



per 1 juta 2000



54,927



200



TBI ringan



395,473



1440



TBI sedang



49,434



180



TBI parah



49,434



180



TBI ringan



395,473



1440



TBI sedang



45,864



167



TBI parah



20,872



76



Hidup



Dipulangkan (hidup)



TABEL 49-3 Glasgow Koma Scale



Respon-respon Pasien Membuka mata



Skor



Mata terbuka secara spontan



4



Mata terbuka ketika diajak berbicara



3



Mata terbuka jika merasakan stimulus menyakitkan



2



Mata tidak membuka



1



Motorik Mengikuti perintah



6



Membuat gerakan melokalisasi jika terasa sakit



5



Membuat gerakan menarik jika terasa sakit



4



Flexor (decorticate) posturing jika terasa sakit



3



Extensor (decerebrate) posturing jika terasa sakit



2



Tidak ada respon motorik terhadap rasa sakit



1



Verbal Terorientasi tempat dan tanggal



5



Terbalik-balik namun tetap terdisorientasi



4



Mengucapkan kata-kata tidak jelas, tidak terbalik-balik



3



Mengucapkan suara nonverbal yang tidak dapat dimengerti



2



Tidak dapat bersuara 1 Instruksi: Angka merespon paling baik kategori verbal dan motorik dan stimulus yang dipercederan untuk membuka mata. Jumlahkan ketiga angka untuk mendapatkan nilainya. Pengklasifikasian Tingkat Keparahan TBI Saat ini dapat diterima bahwa tingkat keparahan TBI sebaiknya diperingkat ke dalam tiga kategori—ringan, sedang, dan parah—berdasarkan skor GCS pasien (Tabel 494). TBI parah, didefinisikan sebagai skor GCS terendah ≤ 8, mengimplikasikan bahwa pasien dalam keadaankoma. Koma didefinisikan sebagai suatu keadaan



dimana pasien tidak membuka mata dan tidak menunjukkan fakta-fakta kognisi, seperti mengikuti perintah-perintah atau berkomunikasi. 180,



279



Dalam beberapa



penelitian, kriteria durasi koma > 6 jam telah ditambahkan guna mengantisipasi kemungkinan skor GCS yang ditekan karena extracranial injury atau sedasi. TBI parah bertanggung jawab atas mayoritas pasien rawat inap pada unit-unit rehabilitasi yang mengalami brain injury akut.144 Dalam istilah prognosis, mayoritas bekas penderita TBI parah memiliki kerusakan-kerusakan neurologis dan neuropsikologis yang berakibat pada kecacatan-kecacatan fungsional.218,



229,



299



Waktu yang



dipercederan untuk memperoleh penyembuhan neurologis maksimum dari TBI parah sekitar satu tahun pada kasus-kasus besar,79 namun bisa jadi lebih lama dalam sebagian besar cedera yang lebih parah. TBI sedang, yang berkaitan dengan skor GCS terendah pada kisaran 9 hingga 12, mengimplikasikan bahwa tingkat kesadaran pasien bersifat kombatif atau letargis. Pada skor GCS 9 hingga 12, bisa jadi pasien mengikuti perintah-perintah, namun tida dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan tepat. TBI sedang bertanggung jawab atas minoritas pasien rawat inap pada rehabilitasi TBI akut. 144 Dengan mempertimbangkan prognosis, mayoritas pasien dengan TBI sedang dan dengan tanpa komplikasi cedera intrakranial mampu untuk memulai lagi aktifitas-aktifitasnya seperti sebelum mengalami cedera, selain defisit kognitif permanen, ringan dengan proporsi yang tidak dapat ditentukan pada populasi ini. 106,



229, 290, 320



Waktu yang



diperlukan untuk mencapai penyembuhan neurologis maksimal pada TBI sedang lebih pendek daripada TBI parah. TBI ringan, didefinisikan oleh skor GCS yang rendah ≥ 13, mengindikasikan bahwa pasien mungkin mengalami kebingungan atau disorientasi, namun tetap sadar (atau sadar ketika diajak berbicara), mengikuti perintah-perintah, dan berbicara dengan koheren. Istilah concussion (gegar otak) yang sering digunakan sebanding dengan TBI ringan. Diagnosis TBI ringan dapat dibuat meskipun skor GCS-nya adalah 15 jika terdapat bukti hasil neuroimaging trauma otak atau jika cedera tersebut diakibatkan status mental yang berubah seperti kehilangan kesadaran, mengalami



suatu peride kebingungan atau disorientasi, atau amnesia karena cedera itu sendiri. Berdasarkan penelitian-penelitian yang menunjukkan bahwa temuan-temuan hasil neuroimaging merupakan satu-satunya indikator prognostik yang terbaik untuk TBI ringan, direkomendasikan bahwa pasien dengan GCS berkisar antara 13 hingga 15 dapat dikategorikan berdasarkan computed tomography (CT) scanning kepala yang menunjukkan trauma otak apapun. Secara spesifik, direkomendasikan bahwa pasien TBI ringan dengan bukti-bukti trauma otak pada CT scanning sebaiknya diklasifikasikan sebagai complicated mild TBI atau high risk mild TBI (TBI ringan beresiko tinggi).173, 350 Sebaliknya, pasien-pasien TBI tanpa bukti-bukti trauma otak pada CT scanning sebaiknya diklasifikasikan sebagai uncomplicated mild TBI atau low risk TBI (TBI beresiko rendah). Meskipun TBI ringan itu sendiri bukan merupakan suatu indikasi untuk rehabilitasi pasien rawat inap, TBI ringan seringkali terjadi kembali dengan cedera sumsum tulang belakang dan cedera muskuloskeletal yang benar-benar membutuhkan rehabilitasi rawat inap.103 Prognosis TBI ringan jangka panjang bersifat kontroversial, sepertiyang akan didiskusikan kemudian pada Bab ini. Akan tetapi, telah didemonstrasikan bahwa outcome suatu uncomplicated mild TBI yang terjadi pada seorang anak atau dewasa muda biasanya dapat kembali ke aktifitas-aktifitas sebelum mengalami cedera, tanpa terdeteksi adanya kerusakankerusakan.210,



229, 306



Lebih lanjut, waktu yang diperlukan untuk penyembuhan



neurologis dari TBI ringan pada kasus demikian paling lama 3 bulan, 212 dan mungkin kurang dari satu bulan pada sebagian besar kasus. Sebagai suatu indeks keparahan, GCS memiliki kekurangan-kekurangan yang signifikan yang penting dipertimbangkan. Pertama, semua atau sebagian dari GCS bisa jadi tidak dapat diskor selama fase perawatan akut awal karena paralisis kimiawi atau sedasi, cedera sumsum tulang belakang, cedera wajah, atau intubasi. 110,



233



sensitifitas GCS terhadap sedasi dapat menjadi permasalahan utama dalam pengelompokan tingkat keparahan cedera otak. Meskipun skor GCS pada seorang pasien dalam keadaan koma bisa jadi tidak terpengaruh oleh intubasi endotrakeal (yang menghalangi pasien untuk melakukan respon verbal), intubasi dapat



mengaburkan perbedaan antara TBI sedang dan TBI ringan. Skor GCS dapat terpengaruh oleh intoksikasi. Skor GCS juga tidak dapat diketahui padapasien-pasien yang tidak memahami bahasa penguji.180 Meskipun skor GCS kadang kala tidak tercatat selama periode perawatan akut, biasanya memungkinkan untuk memberikan skor GCS secara retrospektif berdasarkan catatan-catatan status mental dan neurologis pasien. TABEL 49-4. Pengklasifikasian Tingkat Keparahan Cedera Otak Traumatis (TBI) Berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS) TBI ringan—skor GCS 13-15 pada poin terendah setelah resusitasi dan tidak ada abnormalitas-abnormalitas yang terkait dengan TBI pada pemeriksaan neurologis 



Uncomplicated mild TBI—CT scan normal otak







Complicated mild TBI—CT scan otak menunjukkan trauma otak



TBI sedang—skor GCS 9-12 pada poin terendah setelah resusitasi. TBI parah— skor GCS 3-8 pada poin terendah setelah resusitasi. Neuroimaging Cedera Otak CT scanning dan magnetic resonance imaging (MRI) merupakan modalitas-moda;itas neuroimaging yang utama yang diaplikasikan pada cedera otak dan khususnya pada TBI.131, 134, 174 Pada TBI, CT merupakan teknik alternatif selama tahap perawatan akut karena sensitifitasnya terhadap adanya darah, fraktur-fraktur tengkorak atau wajah, dan sebagian besar cedera intrakranial lainnya yang membutuhkan perawatan kegawatdaruratan. CT scan kepala bisa didapatkan dengan cepat dan tidak bersifat kontraindikasi dengan adanya material logam di dalam tubuh atau peralatan penunjang hidup. Keterkaitan-keterkaitan antara hasil-hasil awal CT scanning otak dan outcome total di kemudian hari (kemampuan untuk tetap bertahan sadar vs. kematian atau vegetatif) dapat dipahami dengan baik. Temuan-temuan CT normal menunjukkan prognosis yang terbaik, dan temuan-temuan CT pada hematoma



subdural akut, pendarahan intraserebral, dan pembengkakan hemisphere bilateral besar-besaran menunjukkan prognosis yang lebih buruk.110, 337 Nilai temuan CT scan dalam memprediksi outcome mantan penderita TBI selama rehabilitasi masih perlu didefinisikan.90 MRI otak pada umumnya lebih sensitif daripada CT lesi-lesi otak traumatis karena resolusinya yang lebih besar. MRI secara selektif lebih sensitif daripada CT terhadap cedera-cedera sayatan nonpendarahan dan terhadap luka-luka memar di beberapa area tertentu, seperti area frontal inferior dan batang otak, yang terletak di dekat permukaan-permukaan yang tulang-tulangnya menonjol yang menghasilkan artefak pada CT scanning.131 Kekurangan-kekurangan MRI adalah waktu yang diperlukan untuk scanning cukup lama, ketidakmampuan terakses pasien selama masa tersebut, dan kontraindikasinya dengan material-material logam di dalam tubuh pasien atau peralatan medis. (Lihat Gambar 49-4 untuk suatu kasus contoh scan otak MRI pada pasien penderita TBI). Usaha-usaha untuk memperluas peran CT dan MRI sebagai indikator prognostik telah dilakukan, namun kemampuan mereka untuk memprediksi outcome bervariasi. Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan outcome yang buruk pada pasien-pasien dengan abnormalitas-abnormalitas CT seperti kompresi sisternal dan herniasi.257,



332



Penelitian-penelitian lain327,



365



tidak menemukan CT scan memiliki



nilai prediktif dalam menentukan outcome fungsional. Nilai MRI dalam memprediksikan outcome rehabilitasi TBI nampaknya menjanjikan jika dipandang katerkaitan antara abnormalitas-abnormalitas MRI dan defisit-defisit neuropsikologis pada pasien-pasien TBI ringan dan sedang.223 MRI lebih bermanfaat daripada CT scanning dalam perencanaan rehabilitasi karena MRI lebih membantu dalam menjelaskan defisit-defisit neurologis dan neuropsikologis pasien. Akhirnya, hasil-hasil penelitian yang menjanjikan yang diperoleh dengan CT scanning emisi proton tunggal (SPECT) pada otak pasien TBI 143,



226



menyatakan



kemungkinan bahwa SPECT scanning dapat memiliki peran penting dalam pengevaluasian ketidasadaran atau cedera otak ringan para pasien di masa mendatang.



Penelitian lain mendemonstrasikan kegunaan SPECT dalam pengidentifikasian pesien-pasien dengan hasil yag tidak baik.6 Kegunaan potensial SPECT scanning dalam cedera otak telah dikaji akhir-akhir ini.70, 166, 328, 367 GAMBAR 49-4. Scan MRI dengan bobot T-2 terhadap cedera otak traumatis yang parah. Scan MRI dengan bobot T-2 terhadap seorang wanita berusia 32 tahun yang terluka dalam suatu kecelakaan antara pejalan kaki dengan pengendara mobil 1 bulan sebelumnya. CT scan awal menunjukkan hematoma subdural frontal kanan. Gambar ini menunjukkan kumpulan-kumpulan cairan subdural bifrontal dan luka sayatan pada splenium corpus callosum. Lesi corpus callosum, yang merupakan tanda klasik cedera aksonal menyebar, tidak nampak pada hasil CT scan. Pada umumnya, MRI dapat memvisualisasikan jumlah lesi-lesi traumatis yang lebih banyak daripada CT, terutama lesi-lesi nonpendarahan atau terletak di area-area yang tulang-tulangnya menonjol. Pasien, yang telah lebih dulu memiliki Glasgow koma scale dengan skor 7, menjalani rawat inap dan rehabilitasi post-akut. Ia kembali bekerja sebagai seorang sekretaris dan hidup secara mandiri. Penelitian-penelitian Neurofisiologis Apabila CT dan MRI menyediakan informasi struktural, electroencephalography (EEG) dan alat-alat penilaian elektrofisiologis lainnya, seperti potensial-potensial yang ditimbulkan, memberikan informasi mengenai fungsi-fungsi neurofisiologis. EEG lebih umum digunakan dalam penilaian suatu penyakit yang bersifat serangan. Akan tetapi, kegunaannya sebagai suatu prediktor serangan-serangan posttraumatis sangat terbatas karena abnormalitas-abnormalitas EEG interiktal semata-mata dapat merefleksikan tingkat keparahan cedera otak.



101,



176,



311



Perlambatan fokal,



abnormalitas EEG yang sering terjadi, dapat tetap bertahan dalam jangka waktu lama tanpa adanya serangan-serangan klinis.95



Dalam setting akut, EEG merupakan prediktor yang handal akan kemampuan seseorang sembuh dari cedera otak traumatis.322 Sebagai prediktor outcome fungsional, bagaimanapun juga, peran EEG konvensional dan EEG kuantitatif masih tetap digambarkan.331 Pola-pola tertentu EEG, seperti spindle (kumparan-kumparan) tidur yang abnormal dan predominansi gelombang-gelombang alfa, menunjukkan prognosis yang buruk.60,341 Suatu kajian mengenai topik242 ini menyatakan bahwa pasien-pasien komatose, EEG kuantitatif mungkin memiliki suatu peran dalam memprediksikan outcome kelangsungan hidup dan fungsional serta secara kontinyu memonitor status neurologis. Suatu kajian penelitian-penelitian yang menggunakan potensial-potensial yang dibangkitkan untuk memprediksi outcome TBI275 menyimpulkan bahwa absensi bilateral gelombang-gelombang N20 hingga P22 pada potensial-potensial somatosensori yang dibangkitkan pada pasien-pasien TBI komatose



dulunya



merupakan



prediktor



kuat



kegagalan



penyembuhan



kesadaran.ulasan yang sama275 menyimpulkan bahwa ketiadaan gelombang V atau komponen-komponen lain potensial-potensial auditori batang otak yang dibangkitkan dulunya juga prediktif akan suatu outcome yang buruk; akan tetapi, kehadiran potensial-potensial auditori batang otak yang dibangkitkan bukan merupakan prediktor yang valid akan outcome yang baik. Potensial-potensial somatosensori yang dibangkitkan (SEP) juga telah digambarkan untuk memprediksikan outcome jangka panjang cedera otak parah. 99 Penilaian elektrofisiologis pada cedera otak dibahas secara lebih mendetit di bagian lain.284, 331



Penilaian Neuropsikologis



Uji-uji neuropsikologis merupakank alat-alat utama yang digunakan untuk mengevaluasi fungsi-fungsi kognitif pada pasien-pasien penderitacedera otak.34, 209, 329 Tabel 49-5 menyajikan defisit-defisit kognitif yang seringkali diakibatkan oleh cedera otak, beserta dengan uji-uji neuropsikologis yang pada umumnya digunakan (yang dideskripsikan oleh Lezak227), beberapa diantaranya digunakan pada proyek Sistemsistem Model TBI. Beberapa kelebihan penilaian neuropsikologis pada rehabilitasi cedera otak anatara lain: 1. Memberikan suatu pemahaman tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahankelemahan kognitif pasien yang dapat digunakan untuk menentukan tujuantujuan rehabilitasi; menilai kompetensi (kesesuaian) consent prosedurprosedur medis dan membuat keputusan-keputusan lainnya, menilai kesiapan untuk



memulai



mengemudi);



lagi



aktifitas-aktifitas



merekomendasikan



(misalnya,



bekerja,



modifikasi-modifikasi



dalam



sekolah, rangka



meningkatkan keselamatan dan efisiensi; serta memprediksikan outcome. 2. Menyediakan ukuran-ukuran terstandarisasi yang dapat diulang dalam rangka untuk memonitor perubahan seiring dengan penyembuhan, intervensiintervensi, atau komplikasi-komplikasi medis. 3. Menyediakan suatu dasar pemikiran untuk diagnosis gangguan-gangguan kognitif dan perilaku diferensial dimana terdapat gangguan yang muncul sebelum atau sesudahnya (misalnya, ketidakmampuan untuk belajar, demensia). 4. Mendeteksi performa-performa tugas yang invalid (misalnya, malingering). Kekurangan-kekurangan penilaian neuropsikologis termasuk waktu yang diperlukan dalam menilai, kesulitan dalam menghadapi pasien-pasien nonkooperatif, serta ketersediaan uji-uji untuk level rendah dan pasien-pasien yang tidak dapat berbahasa Inggris yang terbatas. Ringkasan Indikator-indikator Prognostik Akut



Tabel 49-6 menyajikan indikator-indikator prognostik utama TBI yang tersedia berdasarkan daftar pasien rehabilitasi akut.78, 189, 274 Prediktor-prediktor outcome TBI yang terbaik adalah skor GCS dan indikator-indikator lain dari semua tingkat keparahan cedera otak.78, 225 Skor GCS juga merupakan prediktor kuat outcome TBI penetrating.13 Perlu untuk dicatat bahwa validitas banyak dari indikator-indikator tersebut sebagai perediktor outcome kasar tahap akut telah didemonstrasikan dalam penelitian-penelitian neurosurgical multi-center.110, 337 Karena secara relatif hanya ada lebih sedikit penelitian mengenai rehabilitasi pasien, beberapa indikator-indikator ini bisa jadi kurang valid dalam memprediksikan outcome fungsional manatan penderita TBI daripada indikator-indikator yang memprediksikan angka kelangsungan hidup itu sendiri.366 Karena durasi ketidaksadaran merefleksikan tingkat keparahan cedera otak, hal ini merupakan indikator prognostik yang dapat digunakan secara kombinasi dengan skor-skor GCS, atau tanpa adanya skor-skor GCS, untuk memprediksikan outcome. Sebagai contoh, seorang pasien dengan skor GCS terendahnya 7 yang mengalami ketidaksadaran hanya selama 1 hari bisa jadi memiliki tingkat keparahan cedera otak yang jauh lebih rendah daripada jika pasien mengalami ketidaksadaran selama seminggu. Durasi amnesia posttraumatis merupakan indikator prognostik yang kuat, namun tidak muncul dalam sebagian besar pasien-pasien TBI pada saat admisi rehabilitasi.perlu adanya suatu prosedur untuk mengkombinasikan indikator-indikator yang tersedia untuk menghasilkan kategori atau skor outcome yang terprediksi. Meskipun Choi



78



telah menciptakan prosedur-prosedur tersebut, mereka perlu untuk



dievaluasi di dalam setting rehabilitasi. Prognosis pada cedera otak anoksik dibahas berikut ini, pada bagian manajemen koma. Prediksi outcome stroke dibahas pada bab 50 dan prognosis tumor-tumor otak dibahas pada bab-bab lainnya.225 Sayangnya, jauh lebih sedikit informasi yang tersedia mengenai prognosis rehabilitasi cedera otak nontraumatis dan hal ini tetap menjadi target penelitian di masa mendatang.153, 264



Pengukuran-pengukuran Outcome Cedera Otak Karena cedera otak dapat berdampak pada aspek-aspek yang berbeda-beda dalam kehidupan



seseorang,



ukuran-ukuran



cedera



otak



sebaiknya



bersifat



multidimensional. Bagaimanapun juga, untuk menghindari kebutuhan akan pengukuran-pengukuran outcome multiple, para peneliti cedera otak telah dengan sangat hati-hati memeringkatkan skala-skala yang mengurangi berbagai outcome yang berbeda-beda hingga hanya menjadi satu peringkat outcome global.185 Skala Outcome Glasgow (GOS),178 seperti yang tampak pada Tabel 49-&, adalah pengukuran outcome yang paling umum digunakan dalam penelitian cedera otak. Meskipun GOS telah dikritik di dalam literatur rehabilitasi mengenai insensitifitas terhadap perubahan dan kekurangan-kekurangan lainnya, 185 GOS masih tetap menjadi pengukuran outcome primer dalam percobaan-percobaan klinis perawatan-akut. Kefamilieran dalam menggunakan skala ini penting untuk membaca literatur outcome cedera otak. The Diasability Rating Scale (DRS)286,



287



didesain untuk memberikan



pengukuran yang lebih sensitif dan komprehensif daripada GOS. Tabel 49-8 membandingkan pengukuran-pengukuran outcome utama yang digunakan di dalam rehabilitasi cedera otak. KESINAMBUNGAN PELAYANAN-PELAYANAN REHABILITASI CEDERA OTAK Rehabilitasi pasien penderita cedera otak biasanya dibagi ke dalam rehabilitasi akut dan rehabilitasi pot-akut. Jalur pelayanan-pelayanan rehabilitasi pasien-pasien penderita cedera otak nampak pada Gambar 49-5. Rehabilitasi akut mengacu pada perawatan yang diberikan kepada pasien rawat inap pada suatu unit rumah sakit, selama tahap-tahap awal penyembuhan. Rehabilitasi post-akut mengacu kepada perawatan setelah rumah sakit memulangkan pasien selama tahap-tahap kelanjutan penyembuhan.230



Gambar 49-5. Jalur Rehabilitasi untuk Cedera Otak. Bagan alur menunjukkan jalurjalur yang biasanya diikuti oleh pasien-pasien cedera melewati rehabilitasi fase-fase akut dan post-akut. Evaluasi oleh seorang dokter spesialis rehabilitasi merupakan langkah awal, yang penting sebelum para pasien dipindahkan dari perawatan akut ke program-program rehabilitasi. Para pasien bisa jadi ditransfer antara programprogram rehabilitasi akut dan subakut tergantung kepada kebutuhan-kebutuhan individu. Pilihan program post-akut bisa jadi tergantung pada ketersediaannya di tempat tersebut. Rehabilitasi Cedera Otak Akut Rehabilitasi pasien-pasien penderita cedera otak sebaiknya dimulai selama perawatan kritis. Pada tahap ini dokter spesialis rehabilitasi dapat mengintervensi untuk mencegah komplikasi yang dapat memperbesar ketidakmampuan yang akan datang. Sebagai contoh, pasien yang tidak sadar tanpa berbagai kontraindikasi sebaiknya menjalani rangkai gerak pasif dua kali sehari untuk mencegah kontraktur-kontraktur dan abnormalitas-abnormalitas persendian lainnya, serta sebaiknya diposisikan untuk mencegah adanya tekanan bisul-bisul, edema dan kontraktur-kontraktur. Intervensiintervensi tambahan dapat direkomendasikan untuk spastisitas, nutrisi dan incontinence. Meskipun manajemen ortopedik definitif fraktur-fraktur pada pasienpasien penderita TBI seringkali dapat ditunda, perawatan surgical dini cedera-cedera ortopedik dapat meminimalisasi kecacatan.161 Evaluasi dini rehabilitasi dapat menentukan apakah pasien sesuai untuk rehabilitasi akut (entah pada unit rehabilitasi umum atau unit khusus cedera otak), untuk program subakut, atau untuk perawatan dalam suatu program post-akut. Transfer ke program rehabilitasi akut sebaiknya dilakukan dengan dasar pertimbangan apabila pasien secara medis dinyatakan stabil dan apabila perawatan medis yang sedang berlangsung secara substansial tidak mengganggu kemajuan



rehabilitasi.250 Kriteria perintah-perintah yang menyertai sebelum admisi hingga rehabilitasi tidak dapat ditentukan karena, seperti tampak pada Tabel 49-9, mayoritas mantan pasien-pasien TBI yang mengalami ketidaksadaran akhirnya medapatkan kembali kesadarannya. Malah, dokter spesialis rehabilitasi dapat menggunakan indikator-indikator prognostik untuk menyeleksi pasien-pasien yang mengalami ketidaksadaran dengan probabilitas penyembuhan tertinggi. Pemindahan secara langsung pasien yang mengalami ketidaksadaran dari perawatan akut ke bangsal, tanpa adanya evaluasi terlebih dahulu oleh dokter spesialis rehabilitasi, sebaiknya dihindari. Hal ini dikarenakan resiko mengabaikan pembentukan komplikasikomplikasi atau tanda-tanda perkembangan, dan dikarenakan resiko penundaan atau bahkan pencegahan akses rehabilitasi. Indikasi-indikasi admisi ke unit khusus rehabilitasi cedera otak, daripada ke unit rehabilitasi umum, termasuk (1) ketidaksadaran atau bukti-bukti kesadaran yang tidak konsisten, (2) agitasi yang memerlukan modifikasi-modifikasi lingkungan, (3) resiko komplikasi-komplikasi (misalnya, spastisitas, yang memerlukan manajemen khusus, dan (4) kerusakan kognitif parah yang membutuhkan modifikasi-modifikasi terapi dan prosedur-prosedur keperawatan. Unit-unit yang dikhususkan untuk rehabilitasi cedera otak memiliki kelebihan-kelebihan yaitu staf yang berpengalaman, jaringan konsultan-konsultan dengan keahlian-keahlian khusus dalam hal cedera otak, program-program untuk pendidikan keluarga dan masyarakat, dan protokol-protokol untuk permasalahan-permasalahan rehabilitasi cedera otak pada umumnya. Tim terapi unit rehabilitasi akut cedera otak biasanya melibatkan disiplin-disiplin rehabilitasi tradisional, seorang dokter spesialis rehabilitasi dengan keahlian dalam bidang cedera otak, dan seorang neuropsikolog. Tim tersebut juga membutuhkan akses ke para spesialis di optometri dan orthotic. Deskripsi-deskripsi detil terapi-terapi rehabilitasi untuk pasien-pasien penderita cedera otak sudah tersedia.43, 152, 206, 245, 355, 363 Penelitian lebih lanjut diperlukan utnuk mengevaluasi kemanfaatan unit-unit rehabilitasi akut yang dikhususkan untuk cedera otak, jika diperbandingkan dengan perawatan yang diberikan kepada pasien-pasien penderita cedera otak di unit-unit



rehabilitasi umum.289 Berbagai ulasan penelitian-penelitian kemanfaatan rehabilitasi TBI akut74,



167



telah menemukan bahwa, ketika pasien-pasien penderita TBI dalam



penelitian-penelitian ini biasanya membuat perkembangan-perkembangan besar selama rehabilitasi rawat inap, kemajuan-kemajuan tersebut tidak dapat secara unik diatribusikan



terhadap



rehabilitasi



karena



penelitian-penelitian



gagal



untuk



mengontrol penyembuhan spontan atau perbedaan-perbedaan yang sudah ada sebelumnya antara kelompok perawatan dan perbandingan. Lebih lanjut, pengukuranpengukuran outcome yang digunakan dalam penelitian-penelitian ini bisa jadi tidak sesuai atau tidak cukup sensitif atau komprehensif untuk mendeteksi perbedaanperbedaan dalam perkembangan.160 Mayoritas perkembangan fungsional pada pasienpasien cedera otak selama rehabilitasi akut bisa jadi dikarenakan penyembuhan neurologis secara spontan, dengan terapi memainkan peran pencegahan berbagai komplikasi



(misalnya,



kontraktur-kontraktur), mengkondisikan



ulang setelah



ketidakaktifan selama perawatan akut, menyediakan lingkungan yang telah diberi pengetahuan, strategi-strategi imbangan pengajaran (termasuk modifikasi-modifikasi lingkungan), dan kemungkinan pemfasilitasan reorganisasi neurologis.56, 263, 342 Tahap-tahap Penyembuhan Neurobehavioral dari Cedera Otak Dibandingkan dengan gangguan-gangguan neurologis lainnya yang dirawat dalam rehabilitasi, cedera otak memiliki jangka waktu penyembuhan yang lama. Sebagai contoh, pasien-pasien penderita TBI pada umumnya membuat kemajuan fungsional yang lebih besar selama rehabilitasi rawat inap daripada para pasien pada kelompokkelompok diagnostik lainnya.69 Jangka waktu penyembuhan dari cedera otak yang parah meliputi tahap-tahap yang berbeda-beda, seperti tampak pada Gambar 49-6. Tahap-tahap penyembuhan neurobehavioral dari cedera otak anoksik, putusnya arteri anurisme komunikasi anterior, dan banyak cedera otak nontraumatis lainnya menyerupai TBI. Level-level skala Pemfungsian Kognitif (The Levels of Cognitive Fungtioning scale), tampak pada Tabel 49-10, tercipta di Rancho Los Amigos



Medical Center231 untuk mendeskripsikan rangkaian penyembuhan neurobehavioral dari TBI dan untuk memberikan suatu dasar pemikiran bagi rehabilitasi kognitif pada masing-masing tahap penyembuhan. Meskipun Level-level skala Pemfungsian Kognitif telah dikritik karena penyembuhan dari TBI lebih bervariasi daripada yang diimplikasikan oleh skala, skala tersebut memiliki keuntungan yaitu membedakan tahap-tahap utama penyembuhan dan memberikan suatu dasar komunikasi antar anggota tim. Strategi-strategi rehabilitasi selama rehabilitasi akut sebagian besar ditentukan oleh tahap-tahap penyembuhan pasien, seperti yang dijelaskan pada bagian-bagian berikut. Koma dan Ketidaksadaran Riwayat alamiah penyembuhan cedera-cedera otak traumatis dimulai dengan koma, suatu keadaan dimana pasien menunjukkan tidak adanya bukti-bukti kognisi dan tidak membuka matanya, meskipun diberi stimulus yang menyakitkan. 180 Pada cedera otak yang diakibatkan oleh trauma, koma dan ketidaksadaran disebabkan oleh gangguan input terhadap struktur-struktur permukaan otak dari struktur-struktur yang lebih dalam yang mensyarafi gerakan dan keadaan terjaga seseorang. 279 Gangguan ini dapat, sebaliknya, dihasilkan oleh diskoneksi jalur-jalur fiber yang arahnya naik yang dikarenakan cedera aksonal yang menyebar, atau oleh kompresi batang otak atau struktur-struktur diensefalik sebagai akibat dari efek massa lesi-lesi supratentorial. Pada pasien-pasien mantan penderita, terdapat rangkaian penyembuhan fungsi tubuh yang cukup konsisten dari keadaan koma yang dimulai dengan pembukaan matadan siklus-siklus tidur-bangun, dan kemudian kemajuan-kemajuan untuk mengikuti perintah-perintah



dan,



pada



akhirnya,



untuk



berbicara. 59



rangkain



proses



penyembuhan ini konsisten dengan model TBI sentripetal, yang memperkirakan bahwa fungsi-fungsi yang disyarafi oleh struktur-struktur otak yang lebih dalam, seperti siklus-siklus bangun-tidur, seharusnya sembuh terlebih dahulu daripada fungsi-fungsi yang disyarafi oleh struktur-struktur otak di bagian permukaan, seperti



memori.268 Kognisi biasanya didemonstrasikan pertama kalinya oleh kemampuan pasien untuk berkomunikasi, seperti mengikuti perintah-perintah atau melakukan gerakan bahasa isyarat. Pada pasien-pasien yang sembuh dengan cepat, uji tandatanda kognisi awal ini biasanya bersifat langsung dan tidak memerlukan teknik-teknik tertentu. Pada pasien-pasien yang sembuh dengan lambat, bagaiamanpun juga, teknik-teknik khusus mungkin diperlukan untuk mendeteksi kemajuan-kemajuan, atau bahkan bukti-bukti adanya kesadaran.343 Pada penelitian-penelitian terdahulu mengenai TBI parah, 10% hingga 15% dari para pasien yang bertahan hidup masih tetap dalam keadaantidak sadar pada saat dipulangkan dari ruang perawatan akut.221 Sebagian besar para pasien yang masih tetap tidak sadar hingga setelah satu bulan telah mendapatkan kembali siklus-siklus bangun-tidur, dan oleh karenanya mereka membuka mata secara spontan pada sebagian waktu. Mereka biasanya juga menunjukkan reaktifitas pupilari dan refleksrefleks okulosefalik, perilaku-perilaku primitif seperti mengunyah dan menggerakkan mata berputar-putar, dan fungsi –fungsi vegetatif seperti respirasi spontan, yang kesemuanya itu merefleksikan batang otak yang masih berfungsi dan fungsi-fungsi hipotalamik. Ketika terdapat kesepakatan umum akan kriteria diagnostik keadaan koma, ketidakakuratan diagnostik dan kebingungan menyertai usaha-usaha untuk membedakan vegetatif dari kesadaran minimal atau keadaan-keadaan responsif minimal. Istilah persistent vegetative state (PVS) telah digunakan untuk menjelaskan suatu keadaan dimana pasien dengan keadaan koma sebelumnya telah pulih kembali siklus-siklus tidur-bangunnya dan membuat kemajuan-kemajuan hingga mencapai keadaan suatu keadaan terjaga tanpa adanya kesadaran.



180, 279



Pasien-pasien dengan



PVS tidak memiliki respon behavioral yang bersifat dapat bereproduksi, bermakna, atau dengan kesadaran terhadap stimulus-stimulus, dan tidak ada bukti-bukti komprehensi



atau



ekspresi



bahasa.



Selama



bertahun-bertahun,



PVS



telah



dipergunakan secara tidak tepat sebagai suatu istilah prognostik, yang mengakibatkan diagnosis yang tidak akurat, rekomendasi-rekomendasi perawatan yang tidak tepat, keterbatasan-keterbatasan pelayanan-pelayanan medis dan rehabilitasi, dan buruknya



pemanfaatan dan penganggaran sumber-sumber daya.The Multi-society Task Force on PVS menyatakan bahwa, karena PVS semata-mata mengacu pada “suatu keadaankecacatan di masa lampau dan berlanjut di masa mendatang dengan tanpa adanya suatu kepastian,” PVS lebih merupakan suatu diagnosis daripada suatu prognosis.255,



256



Suatu



keadaanyang



terkait,



permanent



vegetative



state,



mengungkapkan irreversibilitas dan oleh karenanya merupakan suatu prognosis. The Task Force mendefinisikan secara operasional PVS sebagai suatu keadaan vegetatif yang muncul satu bulan setelah cedera otak traumatis atau nontraumatis yang akut. Keadaan vegetatif sebaiknya tidak dilabel permanen hingga terdapat suatu prognosis irreversibilitas yang dapat ditetapkan dengan kepastian klinis yang berderajat tinggi, setelah 12 bulan bertahan dalam keadaanvegetatif post-TBI dan 3 bulan mengikuti cedera-cedera nontraumatis. Tabel 49-11 menyajikan terminologi yang digunakan untuk pasien-pasien dalam keadaantidak sadar atau kesadarannya berada dalam level yang rendah.139 Gambar 49-6. Proses Pemulihan Memori setelah Cedera Otak. Garis waktu menunjukkan tahapan-tahapan pemulihan kognitif yang berlangsung pada sebagian besar penderita cedera otak parah yang masih bertahan hidup. TBI ringan dan sedang akan mendemonstrasikan tahapan-tahapan yang sama seperti yang digambarkan, kecuali untuk datang. Beberapa pasien yang mampu bertahan hidup tidak sembuh dari keadaantidak sadar atau dari amnesia posttraumatis/Post-traumatic Amnesia (PTA). Mayoritas pasien-pasien yang puluh dari PTA dan memiliki suatu kesenjangan memori permanen tentang pengalaman-pengalaman yang terjadi selama keadaantidak sadar, PTA, dan suatu periode pra-cedera yang lebih pendek (amnesia retrograde). Rehabilitasi Pasien-pasien dengan Gangguan Kesadaran



Pasien-pasien yang tetap saja tidak sadar meskipu dipindahkan dari ruang perawatan akut menunjukkan permasalahan-permasalahan uji dan perawatan yang sulit, dan sebaiknya dirujuk ke program rehabilitasi cedera otak. Dengan ketiadaan perawatan yang telah terbukti kemanjurannya untuk memfasilitasi penyembuhan ketidaksadaran, tujuan-tujuan rehabilitasi para pasien penderita TBI adalah (1) untuk memindahkan



penghambat-penghambat



penyembuhan,



dengan



demikian



memungkinkan para pasien yang memiliki potensial untuk mendapatkan kembali kesadarannya untuk memindahkan penghambat-penghambat tersebut; (2) untuk merawat komplikasi-komplikasi medis yang dapat meningkatkan kecacatan pada pasien-pasien yang telah sembuh; dan (3) untuk memberikan edukasi, konseling, dan dukungan bagi para anggota keluarga. Ulasan yang lebih detil mengenai manajemen pasien-pasien tersebut tersedia.38, 51, 138, 265, 304, 346 Langkah pertama dalam menguji pasien dengan kerusakan kesadaran yang parah adalah dengan mengendalikan kemungkinan bahwa kegagalan untuk membangkitkan kesadaran merupakan artifak dari teknik-teknik pemeriksaan atau dikarenakan faktor-faktor medis reversibel. Pasien-pasien yang gagal untuk mengikuti perintah-perintah karena ketidakpahaman akan bahasa yang digunakan penguji atau karena afasia atau apraksia 217 mungkin saja berhasil jika teknik-teknik pemeriksaan yang digunakan dimodifikasi dengan tepat. Yang paling penting, timbulnya gerakan pasien dan munculnya responsifitas pasien dapat dirusak oleh obat-obat pensedasi, penyakit-penyakit sistemik, malnutrisi, dan permasalahanpermasalahan medis lain yang bisa dikoreksi. Khususnya, permasalahan obat sedasi terindusi pada pasien-pasien yang tidak sadar lebih serius daripada yang terapresiasi pada umumnya dan perlu untuk diperhatikan. Perlu untuk diketahui bahwa efek-efek samping sedatif dapat memperparah keadaanotak yang cedera, dan bahkan meski perubahan kecil sekalipun dalam hal melakukan gerakan dapat berdampak pada kemampuan pasien dalam merespon. Pengobatan yang diberikan kepada pasien-pasien yang tidak sadar sebaiknya diperiksa dengan teliti guna mengurangi efek-efek yang tidak penting dan,



jika memungkinkan, untuk menggantikan obat-obat yang penting dengan obat-obatan yang bersifat kurang sedatif. Pengobatan-pengobatan yang potensial berefek sedasi yang seringkali diberikan kepada para pasien yang tidak sadar tercantum pada Tabel 49-12. Profilaksis antikonsulvan seperti carbamazepine (Tegretol) atau valproic acid. Perawatan hipertensi dengan clonidine, inhibitor-inhibitor angiotensin-converting enzyme,



penghalang-penghalang



channel



calcium,



atau



diuretik



bisa



jadi



memungkinkan untuk digunakan daripada menggunakan antihipersensitif dengan efek-efek samping mensedasi, seperti propranolol, metoprolol, dan methyldopa. Penggunaan metoclopramide



(Reglan) sebaiknya



dihindari pada perawatan



pengosongan lambung yang tertunda karena efek-efek samping pensedasinya. Benzodiazepine seperti diazepam (Valium), yang sering digunakan untuk kontrol spastisitas, sebaiknya juga dihindari. Antidepressant seperti amitriptyline (Elavil), yang kadang kala digunakan untuk meningkatkan level kesadaran, dapat secara paradoks menurunkan timbulnya gerakan karena efek-efek anticholinergic yang mereka miliki. Tidak ada aturan untuk neuroleptic seperti haloperidol (Haldol), chloropromazine (Thorazine), dan thioridazine (Mellaril) dalam manajemen medik pasien-pasien yang tidak sadar. Prediktor-prediktor apakah pasien-pasien yang tidak sadar akan mendapatkan kembali kesadarannya adalah etiologi, umur, dan durasi ketidaksadaran itu sendiri. 255, 256



Penelitian-penelitian outcome pada pasien-pasien TBI yang tidak sadar selama



kira-kira satu bulan post-cedera (seperti yang diringkas pada Tabel 49-9) menunjukkan bahwa 40% hingga 50% mendapatkan kembali kesadarannya dalam waktu satu tahun post-cedera. Temuan-temuan ini juga mendukung rekomendasi bahwa pasien-pasien TBI yang tidak sadar selama dipindahkan dari ruang perawatan akut sebaiknya dirujuk ke program-program rehabilitasi cedera otak daripada ditransfer ke fasilitas-fasilitas keperawatan, dimana terdapat suatu resiko tidak akan pernah mendapatkan perawatan khusus bahkan hingga setelah pulih kesadarannya. Ulasan tentang semua kasus-kasus keadaan vegetatif yang diperpanjang yang terverifikasi yang mengikuti TBI menyimpulkan bahwa, pada pasien-pasien yang



tidak sadar selama 3 bulan post-cedera, probabilitas mendapatkan kembali kesadarannya dalam waktu satu tahun post-cedera adalah 36%; akan tetapi, pada pasien-pasien yang tetap tidak sadar selama 6 bulan post-cedera, probabilitasnya menurun hingga 21%.255, 256 Pada pasien-pasien dengan cedera otak nontraumatis yang tetap tidak sadar selama 3 bulan post-cedera, probabilitas mendapatkan kembali kesadarannya dalam waktu satu tahun post-cedera hanya 7% dan, pada pasien-pasien nontraumatis yang tetap tidak sadar selama 6 bulan post-cedera, probabilitasnya bahkan lebih rendah.255,



256



Kajian yang sama yang melaporkan lebih sedikit dari



duapuluh kasus yang terverifikasi tentang pasien-pasien TBI yang pulih kesadarannya setelah menetap dengan status vegetatif yang lebih lama dari satu tahun, dan menyimpulkan bahwa pemulihan kesadaran setelah satu tahun benar-benar “sangat jarang.”255,256 Umur merupakan prediktor kesembuhan dari ketidaksadaran traumatis, dengan tingkat kesembuhan terbaik dapat ditemukan pada anak-anak, yang diikuti oleh usia dewasa di bawah 40 tahun.255, 256 Akan tetapi, umur tidak memprediksikan secara kuat kesembuhan dari ketidaksadaran nontraumatis.226 Terdapat juga bukti-bukti bahwa kesembuhan dari ketidaksadaran traumatis lebih sedikit ditemui pada pasien-pasien dengan bukti-bukti hasil neuroimaging atrofi serebral parah atau ketiadaan bilateral potensial-potensial somatosensori yang terbangkitkan.255,



256, 275



Banyak prediktor-



prediktor potensial lain menyangkut kesembuhan dari ketidaksadaran traumatis yang telah dipelajari,221 namun tidak satupun yang telah divalidasi untuk digunakan dalam prediksi klinis. Pada pasien-pasien yang tidak sadar atau yang tidak secara konsisten merespon dengan selektif, terdapat tuntutan yang kuat untuk suatu teknik uji yang dapat merunut proses penyembuhan. GCS dan Rancho Los Amigos Levels of Cognitive Fungtioning Scale dianggap kurang sensitif untuk diaplikasikan pada pasien-pasien yang tidak sadar yang telah mendapatkan kembali kemampuan membuka matanya secara spontan.51 Beberapa skala peringkat telah ditetapkan untuk menguji responsifitas pasien-pasien yang tidak sadar atau dengan level kesadaran rendah. 172



Contoh-contoh skala-skala tersebut antara lain Skala Koma/Mendekati Koma, 285 Skala Penyembuhan Koma,140 Western Neuro Sensory Stimulation Profile,24 dan Sensory Stimulation Assessment Measure.282 Meski tidak satupun dari skala-skala ini dapat memprediksikan kesembuhan pasien-pasien yang masih tetap tidak sadar, mereka dapat berguna dalam memonitor apakah seorang pasien yang sadar kehilangan responsifitasnya dari waktu ke waktu, yang dapat menjadi pertanda adanya suatu sedasi atau suatu komplikasi yang dapat diobati. Sebagai pilihan alternatif dari skala-skala ini, teknik-teknik saat ini telah diciptakan untuk mendeteksi bukti-bukti kesadaran pada para pasien dengan respon-respon yang tidak frekuentif atau ambigu.343 Rehabilitasi pasien-pasien yang tidak sadar masih saja menjadi suatu hal yang kontroversial.54,



244, 354, 372



Khususnya, kemanjuran stimulasi sensori (juga disebut



stimulasi koma), dimana pasien-pasien diberi stimulasi terarah pada modalitasmodalitas ganda,51 tidak didukung oleh percobaan-percobaan klinis. Kajian mengenai penelitian-penelitian yang telah diterbitkan354 tidak menemukan adanya bukti-bukti bahwa stimulasi sensori meningkatkan kesembuhan dari ketidaksadaran traumatis kronis, meskipun terdapat beberapa bukti efek perawatan pada pasien-pasien penderita TBI akut yang masih dalam keadaan koma. Pengobatan farmakologis masih menjadi intervensi yang paling menjanjikan untuk secara langsung meningkatkan timbulnya gerakan dan memfasilitasi penyembuhan kesadaran pasien-pasien tersebut. Tabel 49-13 meringkas beberapa pengobatan yang digunakan untuk stimulasi neuro. Terdapat banyak laporan yang bersifat anekdot mengenai pasien-pasien penderita TBI yang tidak sadar yang mendapatkan kembali kesadarannya ketika dirawat dengan stimulan-stimulan (misalnya, methylphenidate, dextroamphetamine) atau agen-agen anti parkinsonian (misalnya, bromocriptine, amantadine).50, 51, 118, 119, 201, 358, 369 Meski percobaan-percobaan yang terkontrol terhadap obat-obatan tersebut belum pernah dilakukan, berdasarkan pengalaman kami mereka digunakan secara meluas pada perawatan neurotrauma dan rehabilitasi cedera otak akut.



Amnesia Posttraumatis dan Agitasi Mengikuti pulihnya kesadaran, para pasien cedera otak biasanya melalui suatu periode kebingungan dan disorientasi yang disebut amnesia posttraumatis (PTA).214, 300



PTA didefinisikan sebagai peride dimana kemamppuan pasien untuk belajar



informasi-informasi baru sangat minim atau bahakan tidak ada. Sebagai contoh, pada PTA tahap awal, para pasien bisa saja tidak sadar bahwa ia berada di rumah sakit dan justru merasa bahwa mereka di rumah atau di tempat kerja. Ingatan akan kejadiankejadian fiksisius yang salah ini, disebut konfabulasi, yang lebih bersifat organis daripada suatu gejala fungsional. Menuju periode akhir PTA, para pasien menjadi tidak terlalu konfabulatori namun masih saja gagal untuk mengingat kembali episodeepisode yang spesifik (misalnya, pengunjung yang menjenguk kemarin). Setelah pulih dari PTA, pasien-pasien tersebut memiliki kesenjangan memori permanen untuk kejadian-kejadian yang terjadi selama periode PTA. Mereka biasanya juga memiliki suatu kesenjangan memori untuk kejadian-kejadian yang terjadi beberapa waktu sebelum waktu cedera (disebut amnesia retrogade). Walaupun istilah PTA mengimplikasikan bahwa cedera otak disertai itrauma, para pasien cedera otak anoksik dan cedera otak nontraumatis tertentu lainnya (misalnya, putusnya arteri anurisme komunikasi anterior) melalui tahap-tahap penyembuhan yang sama. Oleh karenanya, suatu istilah alternatif diperlukan untuk menjelaskan amnesia tanpa menspesifikasikan suatu etiologi traumatis. Ukuran-ukuran yang berbeda tersedia untuk menguji apakah seorang pasien dalam keadaan PTA atau sedang dalam masa penyembuhan dari PTA. Ukuran yang paling banyak digunakan adalah orientasi terhadap tempat dan waktu, namun hal ini dapat kurang tepat diaplikasikan pada unit-unit rehabilitasi dimana para pasien sering diberi latihan-latihan “orientasi realitas”.93 Teknik standar yang digunakan untuk menguji PTA adalah Galveston Orientation and Amnesia Test (GOAT), 214 suatu interview singkat yang mengkuantifikasikan orientasi dan ingatan akan kejadian-



kejadian tertentu. Skor GOAT dapat berkisar dari 0 hingga 100, dengan skor >75 didefinisikan sebagai normal. Akhir PTA dapat didefinisikan sebagai tanggal setelah skor GOAT yang didapat konsisten >75. Keuntungan menggunakan GOAT adalah bahwa hasil-hasil dapat langsung dibandingkan dengan penelitian-penelitian outcome yang juga menggunakan skala ini.112 Durasi PTA merupakan suatu indikator tingkat keparahan cedera otak dan sebaiknya digunakan sebagai suplemen skor GCS, durasi ketidaksadaran, dan temuan-temuan neuroimaging. Kenyataannya, durasi PTA indikator tingkat keparahan pertama yang diterima secara meluas.123 Perlu dicatat bahwa durasi PTA, seperti durasi ketidaksadaran, dapat merefleksikan faktor-faktor selain tingkat keparahan cedera otak itu sendiri. Kegagalan untuk pulih dari PTA dapat mengindikasikan suatu gangguan amnesik permanen, seperti yang dihasilkan oleh cedera otak anoksik, atau dapat menjadi sinyal adanya komplikasi-komplikasi yang dapat dicegah misalnya hidrosefalus. Selama PTA banyak pasien-pasien menampakkan sindrom neurobehavioral, yang disebut agitasi, yang meliputi kebingungan kognitif, kelabilan emosi yang ekstrim, aktifitas motorik yang berlebihan, dan agresi fisik atau verbal. Pasien yang mengalami agitasi biasanya tidak mampu untuk mempertahankan atensi dan usaha dalam jangka waktu yang cukup lama untuk melakukan tugas-tugas sederhana, seperti berpakaian, dan dapat bereaksi berlebihan hingga perasaan frustasi dengan menangis atau berteriak. Pasien dapat dengan mudah merasa frustasi dan tersinggung, dan pada umumnya menunjukkan perilaku yang tidak semestinya terhadap staf atau anggota keluarga. Terhadap tanggal, tidak ada konsensus mengenai definisi agitasi. Sandel dan Mysiw,303 berdasarkan kajian mereka terhadap berbagai literatur, mendefinisikan agitasi posttraumatis sebagai “suatu subtipe delirium, yang terjadi selama periode amnesia posttraumatis, yang dicirikan oleh perilaku yang berlebihan, termasuk beberapa kombinasi agresi, akathisia, disinhibisi, dan kelabilan emosi.” Lebih lanjut, mereka mengingatkan bahwa gangguan mood dan pikiran harus didiagnosa secara terpisah. Pada suatu survey para anggota Brain Injury Special



Interest Group of The American Academy of Physical Medicine and Rehabilitation, Fugate et al126 menemukan bahwa mayoritas tidak menggunakan teknik-teknik yang standar untuk mengukur agitasi. Hanya 6% yang menggunakan Agitated Behaviour Scale/Skala Perilaku Teragitasi (ABS), ukuran yang paling sering digunakan. ABS adalah skala yang meliputi 14 item yang memeringkat perilaku ke dalam tiga bidang yang saling terkait: disinhibisi, agresi, dan labilitas. 91 Mudah untuk mengkategorikan dan telah terbukti memiliki realibilitas antar ukuran pemeringkat yang baik. Agitasi menjadi sangat penting jika pasien membahayakan bagi diri sendiri maupun orang lain (misalnya, merenggut botol-botol, menjatuhkan diri, atau berusahamelarikan diri dari ruang perawatan). Sebelumnya diyakini bahwa sebagian besar pasien-pasien TBI yang menunjukkan tanda-tanda agitasi selama PTA, seperti yang diimplikasikan oleh skala Rancho Los Amigos. 231 Akan tetapi, riset menunjukkan bahwa agitasi disertai agresi terjadi hanya pada sebagian kecil pasienpasien penderita penyakit tersebut, sedangkan yang lainnya hanya menunjukkan tanda-tanda agitasi disertai kegelisahan motorikik,63,



288



dan yang lainnya lagi tidak



menunjukkan tanda-tanda agitasi. Faktor-faktor resiko agitasi masih perlu diidentifikasi namun para pakar menyatakan bahwa defisit-defisit kognitif parah dankerusakan lobus frontal mungkin prediktif. Rehabilitasi Pasien Penderita Agitasi Meski agitasi seringkali ditemui pada cedera otak, namun sebaiknya didiagnosis secara terpisah. Permasalahan-permasalahan neurologis atau medis konkuren dapat menyebabkan atau memperburuk delirium (kekacauan pikiran) dan perilaku teragitasi. Jelas, kondisi-keadaanini perlu diperlakukan secara berbeda dengan perlakuan yang diberikan terhadap agitasi. Kekacauan metabolik, hipertiroidisme, infeksi dan sepsis, hipoglikemia, hipoksemia, pengobatan-pengobatan (misalnya, anticholinergics), dan obat penenang (misalnya, baclofen, sedatif-sedatif, hipnotishipnotis) termasuk beberapa obat penyebab kekacauan pikiran dan agitasi. Di antara



komplikasi-komplikasi neurologis yang menunjukkan kekacauan pikiran atau agitasi antara lain serangan-serangan, hidrosefalus, lesi-lesi massa intrakranial (misalnya, hematoma,higroma), dan migrain. Rasa sakit, khususnya pada seorang pasien yang mengalami kebingungan dan tidak mampu berkomunikasi, merupakakn penyebab agitasi yang seringkali teramati. Merupakan hal yang masuk akal untuk melakukan berbagai uji dalam evaluasi pasien yang mengalami kebingungan dan agitasi (Tabel 49-14). Hanya setelah kondisi-keadaanmedis dan neurologis dapat dikendalikan sebaiknya diagnosis suatu agitasi segeera ditentukan. Perawatan agitasi meliputi pengobatan-pengobatan, strategi-strategi behavioral, dan manajemen lingkungan. Pengekangan fisik yang berlebihan tidak berhasil. Atas dasar keprihatinan publik, the Joint Comission on the Accreditation of Health Care Institution (JCAHO) dan the Health Care Financing Agency (HCFA) akhir-akhir ini memperketat peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penggunaan model-model pengekangan. Cedera-cedera yang terkait dengan penggunaan rompi pengekang telah dicatat.62 Jika diperlukan, pengekang sebaiknya diaplikasikan pada tingkatan yang paling rendah, contohnya sarung tangan dengan bantalan dan sabuk kecil yang lunak demi keamanan kursi roda. Penggunaan kasur lantai (Gambar 49-7) memberikan lingkungan yang aman dan terkontrol dan dapat mengeliminasi kebutuhan akan pengekang. Teknik-teknik modifikasi perilaku tradisional, seperti menggunakan penghargaan untuk perilaku yang diharapkan, dianggap tidak efektif untuk agitasi karena pasien biasanya bingung dan amnestik. Usaha-usaha nonfarmakologis diarahkan ke manajemen lingkungan dan restrukturisasi terapi-terapi (Tabel 49-15). Tujuan manajemen lingkungan adalah untuk menurunkan level stimulasi dan kompleksitas kognitif pada lingkungan terdekat pasien. Lebih lanjut untuk edukasi staf dan perencanaan strategi, keluarga perlu untuk memahami teknik-teknik manajemen yang digunakan dan dilibatkan dalam implementasi sebagaimana mestinya. Perilaku teragitasi yang ditunjukkan oleh seseorang yang kita cintai seringkali membuat keluarga sangat tertekan, dan ini dapat dimaklumi. Penting untuk meyakinkan ulang keluarga bahwa agitasi merupakan suatu tahap penyembuhan yang



dapat diprediksi dan bahwa usaha-usaha terus dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab-penybab



perilaku



tersebutyang



dapat



disembuhkan.



Pembahasan-



pembahasan yang lebih detil mengenai manajemen lingkungan agitasi tersedia pada publikasi-publikasi lain. Gambar 49-7. Craig Bed. Pasien-pasien penderita agitasi nonambulatori seringkali diuntungkan dengan penggunaan kasur lantai (Craig Bed). Matras-matras dapat diletakkan di lantai dan dinding dengan bantala setinggi 3-4 kaki pada keempat sisi memungkinkan pasien untuk berguling-guling. Penggunaan kasur lantai dengan pengawasan ketat serta penggunaan sarung tangan dan helm (jika perlu) seringkali mengeliminasi kebutuhan untuk pengekang. Tidak ada satupun aturan mengenai penggunaan obat-obatan bagi penderita agitasi. Sedasi sebaiknya digunakan hanya ketika strategi-strategi lingkungan tidak berhasil dan pada situasi-situasi darurat. Pada survey yang sama yang dilakukan oleh Fugate at al.125,



126



ditemukan bahwa obat yang paling sering diresepkan oleh para



“ahli TBI” adalah carbamazepine, tricyclic antidepressants (TCAs), trazodone, amantadine, dan beta-blockers. Para “ahli” ini juga sepertinya lebih jarang menggunakan obat dengan efek sedasi daripada “non-ahli”, seperti haloperidol dan benzidiaspines. Tabel 49-16 menyebutkan beberapa macam obat-obatan yang umum digunakan. Hanya sedikit dari obat-obatan tersebut yang telah dievaluasi kemanjurannya melalui uji-uji klinis.64 Dalam situasi-situasi dimana agitasi tidak dapat dikontrol dan berkembang ke arah kekerasan, intramuscular lorazepam (Ativan), 1 hingga 2 mg, bisa jadi diperlukan. Obat ini direkomendasikan hanya untuk situasi-situasi darurat dimana muncul bahaya dadakan yang mengancam pasien atau orang lain, dan bukan sebagai substitusi untuk intervensi-intervensi lingkungan dan obat-obat yang lebih aman. Dokter sebaiknya juga harus berhati-hati terhadap peningkatan paradoksikal dalam agitasi, yang dapat terjadi dengan penggunaan lorazepam.



Rehabilitasi Selama dan Setelah Amnesia Posttraumatis Program rehabilitasi selama PTA sebaiknya dimodifikasi untuk pasien-pasien dengan kerusakan-kerusakan memori parah. Unit rehabilitasi sebaiknya memiliki suatu sistem (misalnya, pita tangan yang berwarna-warni) untuk mengidentifikasi seberapa ketat pengawasan yang diperlukan oleh pasien. Pasien yang beresiko tinggi menyerang atau menyakiti dirinya sendiri atau orang lain mungkin membutuhkan suatu area terkunci atau pengawasan langsung oleh staf perawat. Untuk mengorientasi ulang pasien dengan lingkungannya, tempat dan tanggal dan suatu jadwal harian sebaiknya ditempelkan pada kamar-kamar pasien, dan informasi orientasi dapat diulang sepanjang hari.93 mungkin sangat membantu pasien-pasien untuk menerima makanan dan terapi-terapi mereka di ruang rehabilitasi saja, guna menghindari stimulasi yang berlebihan. Tim sebaiknya menghindari menstimulasi pasien secara berlebihan dengan jadwal terapi yang terlalu banyak persyaratan, ekspektasiekspektasi terapetik yang tidak realistis, dan interaksi-interaksi emosional yang tidak menyenangkan dengan keluarga atau staf. Pasien-pasien yang masih mampu berjalan dapat mungkin saja membutuhkan pengawasan ketat karena pertimbanganpertimbangan keamanan dan mungkin akan lebih aman dengan menggunakan kursi roda apabila tidak sedang menjalani terapi-terapi. Seiring dengan meningkatnya ketahanan dan kesadaran pasien akan keamanan mendekati waktu akhir PTA, tim dapat membiarkan pasien berjalan, berkegiatan kamar mandi, dan aktifitas-aktifitas lainnya sendiri dengan tingkat pengawasan yang dikurangi. Setelah pasien lepas dari PTA, suatu evaluasi neuropsikologis seharusnya dilaksanakan untuk merencanakan rehabilitasi dan merekomendasikan batasanbatasan aktifitas. Latihan-latihan yang lebih realistis dan banyakpersyaratan dapat dilakukan di dalam terapi, seperti membaur dengan masyarakat. Permasalahanpermasalahan behavioral sebaiknya segera diobati apabila mereka mengganggu kemajuan-kemajuan rehabilitasi.175 Ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan dalam



terpi dapat ditanggulangi dengan teknik-teknik manajemen behavioral.228,



313



Gangguan-gangguan mood, yang kadang muncul dalam bentuk kurangnya kemauan atau motivasi untuk berpartisipasi dalam terapi, dapat ditanggulangi dengan antidepressant.359 Keluarga membutuhkan edukasi mengenai gejala-gejala cedera otak dan training mengenai teknik-teknik manajemen behavioral dan fisik yang perlu untuk dilakukan di rumah. Untuk memfasilitasi training keluarga, sebaiknya ada waktu untuk menginap satu hari satu malam (atau setidaknya satu hari) sebelum pasien dipulangkan ke rumah guna memverifikasi bahwa keluarga telah menerima training yang mencukupi, untuk mengecek apakah level pengawasan di rumah akan mencukupi, dan untuk mengevaluasi peralatan dan modifikasi-modifikasi rumah. Pertimbangan-pertimbangan untuk memulangkan pasien rawat inap dari rehabilitasi



meliputi



ketersediaan



terapiyang



penting



dan



layanan-layanan



keperawatan dalam lingkungan yang kurang ketat dan probabilitas yang rendah bahwa rehabilitasi pasien rawat inap yang berkesinambungan akan menghasilkan atau berpengaruh terhadap kemajuan fungsional. Untuk pasien-pasien yang dapat dirawat di rumah sepanjang malam namun masih membutuhkan terapi intensif, program rehabilitasi akut dapat memberikakn program rumah sakit siang hari dimana para pasien melanjutkan level



intensitas terapetik yang sama dan menerima asuhan



keperawatan seperti yang dibutuhkan. Rehabilitasi Cedera Otak Post-Akut Rehabilitasi post-akut meliputi intervensi-intervensi yang didesain untuk membantu pasien-pasien memasuki kembali masyarakat.230 Sebagian besar intervensi-intervensi post-akut didasarkan pada training para pasien untuk menggunakan strategi-strategi ibangan untuk mengatasi defisit-defisit mereka yang bersifat permanen (misalnya, agenda-agenda memori), atau mengubah lingkungan sedemikian rupa sehingga pasien bisa lebih fungsional meskipun dengan defisit-defisit ini (misalnya, mengikuti jadwal rutin). Terdapat kontroversi dalam rehabilitasi post-akut yang berkaitan dengan



kemanjuran trainig ulang koginitif, grup-grup terapidiarahkan untuk meremediasi defisit-defisit memori, atensi, dan fungsi-fungsi kognitif lainnya. 7, 37, 163, 211, 238, 281, 314, 338, 352



Dokter spesialis rehabilitasi sebaiknya familier dengan program-program post-akut



lokal dalam rangka membuat referal-referal yang sesuai dan memonitor kemajuan (lihat Tabel 49-17). Perlu untuk diketahui bahwa anggota keluarga pasien penderita cedera otak diposisikan pada stres emosional dan finansial jangka panjang.243,



351



Dokter spesialis rehabilitasi harus sensitif terhadap kemungkinan tekanan emosional dan permasalahan-permasalahan hubungan,66,



280



dan siap untuk memberikan



dukungan emosional dan membantu dalam pengadvokasian pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan. KOMPLIKASI-KOMPLIKASI CEDERA OTAK Pada akhir-akhir ini terdapat tren lama tinggal yang lebih pendek di ruang perawatan akut dan, oleh karenanya, admisi rehabilitasi yang lebih dini. Lebih lanjut, penelitianpenelitian terhadap para pasien penderita TBI pada tahun 1980-an menunjukkan bahwa sejumlah signifikan penderita komplikasi-komplikasi medik tidak didiagnosa sebelum rujukan rehabilitasi.128, 138 Pemeriksaan medik para pasien penderita cedera otak biasanya menjadi sulit karena ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan bekerjasama dengan prosedur-prosedur. Untuk alasan-alasan ini, suatu evaluasi yang menyeluruh oleh dokter spesialis rehabilitasi diperlukan ketika pasien telah dirujuk ke unit rehabilitasi. Bagian-bagian berikut ini membahas komplikasi-komplikasi medik utama yang dihadapi dalam masa rehabilitasi cedera otak dan mengulas intervensiintervensi terkait yang tersedia bagi dokter spesialis rehabilitasi. Beberapa komplikasi medik cedera otak tidak umum, seperti abnormalitas-abnormalitas endokrin dan dermatologis, dan tidak akan dibahas. Informasi yang lebih detil tersedia pada referensi-referensi khusus.158, 293 Spastisitas



Spastisitas yang diakibatkan oleh cedera otak memiliki banyak kesamaan dengan spastisitas yang menyertai stroke. Lebih lanjut, response of cerebral origin spasticity (COS) terhadap intervensi-intervensi sering kali berbeda dari spastisitas SCI, dalam hal penampakkannya. Sebagai contoh, COS secara karakteristik menunjukkan keadaankesehatan ekstensor yang lebih besar pada ekstremitas bawah dan tendensi “spasme” yang lebih kecil. Meskipun



spastisitas



bisa



jadi



menguntungkan,



penurunan



resiko



thrombophlebitis dan pada beberapa kasus membantu dalam hal fungsi, ia juga dapat menciptakan deformitas impresif, rasa sakit, dan komplikasi-komplikasi medik lainnya. Spastisitas yang mengganggu tujuan-tujuan fungsional memerlukan perawatan. Contoh-contoh tujuan-tujuan fungsional nampak pada Tabel 49-18. Tujuan-tujuan fungsional perawatan spastisitas sebaiknya didefinisikan secara jelas, dengan mempertimbangkan baik tujuan-tujuan pasien maupun keluarga. Lebih lanjut, komplikasi-komplikasi spastisitas yang potensial muncul (osifikasi heterotopik, borok akibat tekanan, infeksi-infeksi pernafasan, dll) sebaiknya dipertimbangkan. Perawatan-perawatan dasar untuk tujuan-tujuan tertentu menjamin bahwa intervensiintervensi yang tepat bersifat terencana dan terinstitusi. Evaluasi terhadap pasien penderita spastisitas harus meliputi tidak hanya pemeriksaan neurologis biasa, namun juga pertimbangan terhadap faktor-faktor seperti kecepatan berjalan, keseimbangan, pola-polasinergi, kecepatan gerak, distribusi keadaankesehatan, skor Ashworth yang telah dimodifikasi (Tabel 49-19), 48 evaluasi goniometris, dan uji-uji fungsional. Di masa lampau, suatu pendekatan piramida tentang perawatan spastisitas dianjurkan untuk diterapkan. Piramida tersebut dimulai dengan pencegahan stimuli nosiseptif serta pendidikan dan kemajuan-kemajuan terapi (ROM, peregangan, casting, orthoses, modalitas-modalitas), dan kemudian berlanjut ke opsi-opsi yang lebih invasif seperti motorik point blocks. Intervensi-intervensi orthopedik dan neurosurgical merupakan opsi terakhir yang harus dipertimbangkan. Dengan perubahan-perubahan dalam pelayanan kesehatan dan kemjuan-kemajuan opsi-opsi



terapetik, pendekatan ini telah kehilangan popularitasnya dan menjadi kurang praktis. Suatu



“pendekatan



komplementer,”



diamana



berbagai



strategi



perawatan



diaplikasikan secara konkuren berdasarkan tujuan-tujuan terapetik, saat ini lebih disukai (lihat Gambar 49-8). Gambar 49-8. Pendekatan komplementer terhadap manajemen spastisitas yang bersumber pada serebral. Pengobatan-pengobatan oral yang digunakan untuk merawat spastisitas seiring dengan etiologi-etiologi lainnya pada umumnya tidak direkomendasikan untuk para penderita yang bertahan hidup dari cedera otak, karena mereka mungkin mengganggu tujuan untuk memaksimalkan fungsi kognitif. Diazepam dan baclofen oral dapat bersifat



merusak



kemampuan



kognitif



tertentu.



Dantrolene



sodium



telah



dipertimbangkan sebagai pilihan pengobatan oral bagi populasi penderita TBI karena cara kerjanya yang secara perifer, pada otot. Dantrolene menurunkan depolarisasiefflux kalsium yang terindusi ke dalam retikulum sakroplasmik. Bagaimanapun juga Dantrolen bersifat mensedasi, dan mengakibatkan kelemahan yang tergeneralisasi. Enzim-enzim liver juga perlu untuk dimonitor apabila kita menggunakan dantrolene sodium. Tizanidine, yang merupakan agonist 2 alfa seperti clonidine, telah menampakkan efek-efeknya dalam populasi-populasi penderita multiple sklerosis dan cedera sumsum sumsum tulang belakang.32, 33, 39, 204, 318 Hal ini rupanya meningkatkan inhibisi presynaptic neuron-neuron motorik dan mungkin mengurangi pelepasan asam amino eksitatori. Efek-efeknya menyerupai efek-efek baclofen oral.39 Casting yang berurutan mengacu kepada praktek pengaplikasian dan pemindahan pembalut (cast) ke anggota badan seiring dengan meningkatnya ruang gerak persendian. Modalitas-modalitas seperti pemanasan dan pendinginan juga dapat sangat membantu untuk meningkatkan gerak dalam waktu singkat, dan dapat digunakan dalam konjungsi-konjungsi dengan casting untuk memungkinkan peregangan yang lebih besar. Para pasien mungkin diuntungkan oleh analgesik untuk



meningkatkan level kenyamanan mereka ketika pembalut-pembalut dipasang. Lebih dari satu anggota tubuh yang dapat dibalut pada saat yang bersamaan, namun klinisi harus mempertimbangkan tingkat agitasi yang mungkin ditimbulkan pada tiap kasus masing-masing orang. Kulit sebaiknya juga dimonitor karena pasien mungkin tidak dapat mengkomunikasikan kebutuhan mereka. Bantalan yang mencukupi di dalam pembalut merupakan hal yang sangat penting. Pada contoh-contoh kasus yang sangat jarang, keadaankesehatan pasien tidak memungkinkan untuk casting terutama karena terlukanya kulit yang potensial terjadi dan isu-isu behavioral. Pada kasus-kasus ini, injeksi-injeksi toksin botulinum dan/atau phenol harus dipertimbangkan untuk menurunkan spastisitas dan oleh karenanya menurunkan resiko. Peran teknik-teknik pengaturan posisipada manajemen spastisitas seringkali tidak diperhatikan. Pengaturan posisi yang tepat akan memaksimalkan relaksasi otak seperti halnya peningkatan kesejajaran/kelurusan, simetris, dan fungsi. Pengaturan posisi juga dapat digunakan untuk menurunkan refleks-refleks primitif yang dapat terjadi kembali pada para pasien setelah cedera otak. Sebagai contoh, meletakkan supine dapat meningkatkan tonic labyrinthine supine reflex (TLSR), dengan demikian meningkatkan keadaanekstensor. Salah satu tujuan dari berbagai tujuan yang dapat diterima mengenai rehabilitasi yaitu dapat memberikan resep-resep alat yang memungkinkan pengaturan posisi secara optimal. Pindai antispastisitas yang berbentuk bola untuk tangan yang spastis umum digunakan. Abduksi ibu jari dari telapak tangan dan menyebar ke digit-digit dapat mengurangi keadaan fleksor pada tangan. Seperti halnya casting, teknik-teknik pemindaian juga dapat digunakan baik untuk mengurangi keadaan dan meregangkan jaringan-jaringan lunak. Teknik-teknik ini juga dapat dokimbinasikan. Sebagai contoh, piringan kaki inhibitory difabrikasikan ke dalam pembalut ekstrimitas bawah yang meningkatkan dukungan dan kelurusan kaki bagian depan. Konsep-konsep ini dapat juga disertakan dalam orthoses. Peningkatan kelurusan kaki dan tungkai seringkali mengakibatkan pengurangan pola penampakan spastisitas.



Opsi-opsi perawatan lain meliputi injeksi-injeksi seperti prosedur-prosedur neurolitik dan kemodenervasi dengan toksin botulinum. Prosedur-prosedur neurolitik memerlukan ketrampilan teknis tertentu untuk melakukannya. Pheno, alkohol, atau agen-agen anestetik diinjeksikan untuk merusak konduksi impuls-impuls. 130 Neurolisis kimia mengacu kepada destruksi sebagian syaraf dengan alkohol atau phenol.130 Pada saat injeksi dilakukan pada syaraf-syaraf yang utamanya syaraf motorikik, mereka mengacu sebagai motorik point blocks atau motorik branch blocks. Toleransi keseluruhan dari prosedur baik, meskipun dapat menjadi hal yang menantang untuk mencobanya pada anak-anak dan pada pasien-pasien yang lebih teragitasi dan aktif, seiring dengan mereka membutuhkan untuk tetap beristirahat selama injeksi-injeksi. Sedasi mungkin penting dalam kasus-kasus ini. Efek samping neurolisis yang terlaporkan meliputi pembengkakan, rasa sakit, pendarahan, dysesthesia, dan trombosis vena bagian dalam. Setelah prosedur, para pasien sebaiknya beristirahat dan mengelevasi ekstremitas yang diinjeksi. Analgesikanalgesik ringan, penting dan dapat diberikan secara profilaktik, khususnya untuk pasien-pasien yang tidak mampu untuk mengkomunikasikan kebutuhan-kebutuhan mereka. Toksin botulinum A juga efektif dalam perawatan spastisitas, meskipun ia bukan merupakan obat yang disetujui oleh FDA untuk indikasi ini.273 Ia mengikat secara irreversibel pada percabangan neuromuskular, menghalangi kontraksi otot. Jarang didapati efek samping, namun meliputi atrofi, rasa sakit, dan infeksi. Tidak seperti motorik point blocks, tidak ada aturan-aturan khusus mengenai aktifitas setelah injeksi. Untuk meminimalisasi potensi produksi antibodi terhadap pengobatan, direkomendasikan bahwa injeksi-injeksi tidak diulang lebih dari setiap 3 bulan dan bahwa dosis total toksin harus dibatasi hingga 400 unit per sesi. 318 bagaimanapun juga, stipulasi-stipulasi ini berubah-ubah seiring dengan pengalaman yang didapatkan dengan pengobatan dan jenis-jenis lain menjadi tersedia untuk pemakaian di masa mendatang. Prosedur injeksi siap untuk dipelajari. Banyak dokter memilih untuk menginjeksi dengan panduan EMG atau stimulasi elektrik. 318 hasil-hasilnya bervariasi



dengan



tingkat



spastisitas,



keakuratan



injeksi-injeksi,



unit-unit



obat



yang



diinjeksikan, dan uji-uji klinis biomekanik yang memiliki kontribusi bagi munculnya posisi yang tidak diinginkan.76 FDA menyetujui terapi baclofen intrathecal (ITB) untuk pengobatan cerebral origin spasticity pada tahun 1996. obat tersebut secara efektif mengurangi spastisitas pada



persendian-persendian



dengan



jumlah



yang



terbesar



dan



seringkali



menghasilkan perubahan dramatis pada keadaankesehatan.360 administrasi baclofen secaralangsung ke dalam ruang intrathecal menciptakan konsentrasi cairan serebrospinal yang efektif dengan konsentrasi plasma 100 kali lebih kecil jika dibandingkan dengan administrasi oral.12 efek-efek samping sistemik berkurang atau bahkan tida ada sama sekali dan respon klinik lebih besar apabila digunakan secara intrathecal. Efek-efek pengobatan inipaling besar didapati pada anggota badan bagian bawah, karena konsentrasi baclofen empat kali lebih besar pada area lumbar daripada pada area servikal. Perubahan-perubahan pada spastisitas ekstremitas atas juga dapat diamati, namun ini tidak dianggap sebagai suatu indikasi primer untuk pengobatan ini pada saat ini.135, 247 Repon terhadap interensi-intervensi yang dilakukan sebelumnya juga harus dipertimbangkan. Para pasien sebaiknya diuji dengan teliti dan diberikan edukasi terlebih dahulu sebelum menjalani uji coba terapi ITB. Pasien dan keluarga yang memiliki informasi yang lebih baik merupakan keuntungan-keuntungan pengobatan, semakin baik outcome maka kepuasan pasien akan didapatkan. Sebelum menjalani suatu uji coba baclofen intrathecal, pasien diuji seperti di bawah ini. Isu-isu psikososial harus dipertimbangkan: Dapatkah pasien mengakses terapi-terapi yang tepat apabila diindikasikan demikian? Akankah ia mampu untuk melakukan isi ulang pompa tepat waktu? Apakah pasien dan keluarganya tinggal dalam lingkup pelayanan perawatan kesehatan yang mampu melakukan terapi ITB? Jika seseorang diisyaratkan sebagai seorang kandidat yang memenuhi persyaratan, uji coba dilaksanakan. Baclofen diinjeksikan secara intrathecal dan responnya dimonitor selama kira-kira 8 jam atau hingga efek-efeknya hilang. 33 Uji



coba dilaksanakan pada hari-hari yang berurutan dengan 50, 75, dan 100 mikrogram (atau 25, 50, dan 75 mikrogram pada anak-anak).12, 246 jika pasien merespon pada hari pertama, tidak ada alasan untuk melaksanakan uji coba labih lanjut. Pada institusi kami, para terapis menguji ulang pasien-pasien 4 dan 6 jam setelah injeksi. Uji-uji dapat direkam dengan video dan dibandingkan dengan uji sebelum uji coba. Penting untuk mengingat bahwa tujuan dari uji coba adalah untuk menguji apakah pasien merespon terapi yang diberikan atau tidak; bukannya untuk menentukan dosis akhir dan outcome pasien. Hal tersebut akan ditentukan selama 1 tahun atau menyesuaikan implan. Jika didapati respon yang baik, pompa diimplankan (ditanamkan). Pada pusat perawatan kami, seorang ahli bedah syaraf mengimplankan pompa dan kemudian pasien dirawat oleh fisiatris. Hal ini memungkinkan kesinambungan perawatan dan merupakan suatu pendekatan fungsional terhadap titrasi dosis dan resep-resep terapi yang dianjurkan. Seringkali, akan muncul kebutuhan terhadap pelayanan rehabilitasi seiring dengan kemampuan gerakan laten, kontrol motorikik, dan potensial fungsional nampak yang sesungguhnya. Prosedur-prosedur surgical lainnya yang menyatakan mengenai manajemen spastisitas meliputi pemanjangan dan transfer-transfer tendon. Apabila operasi dapat melemahkan otot yang spastik, spastisitas residual dapat berakibat pada deformitas rekuren.136 Lebih banyak klinisi sekarang mengetahui niali inheren dalam mengkombinasikan teknik-teknik pengurangan spastisitas. Manajemen spastisitas yang memenuhi dengan terapi ITB dapat menurunkan kebutuhan tindakan operasi. 135, 136



Dalam pengalaman klinis kami, Achilles tendon lengthening/pemanjangan tendon



achilles (TAL) secara relatif dapat dikerjakan dengan lebih mudah untuk mengkoreksi kontraktur-kontraktur plantarfleksi. The split lateral anterior tibialis tendon transfer (SPLATT) dapat mengkoreksi inversi kaki bagian depan selama masa ambulasi. Rhizotomi-rhizotomi pada umumnya tidak dilakukan pada pasien-pasien dewasa dan hasilnya pada anak-anak bervariasi secara regional. Ini merupakan prosedur destruktif secara permanen. Rhizotomi-rhizotomi anterior memberikan denervasi otot



sedangkan rhizotomi-rhizotomi posterior menginterupsi afferent-afferent IA dan IB dari kumparan-kumparan otot. Epilepsi Post-traumatris Diperkirakan bahwa sekitar 5% dari semua orang yang dirawat di rumah sakit karena TBI akan mengembangkan serangan sisa, yang didefinisikan sebagai serangan yang terjadi satu minggu atau lebih setelah cedera. Akan tetapi, hadirnya faktor-faktor resiko tertentu dapat meningkatkan probabilitas pembentukan serangan sisa atau epilepsi posttraumatis/posttraumatic epilepsy (PTE). Khususnya, cedera-cedera penetrating biasanya secara signifikan meningkatkan resiko seseorang. Faktor-faktor lain yang telah diidentifikasikan meliputi serangan-serangan selama minggu pertama (seranganawal), fraktur-fraktur tengkorak yang tertekan, hematoma intrakranial akut, dura yang menjadi basah, kehadiran benda-benda asing, tanda-tanda fokal seperti apnasia dan hemiplegia, usia 65 tahun atau lebih, hilang kesadaran selama lebih dari satu hari, dan amnesia posttraumatis dalam jangka waktu lebih dari 24 jam.22, 177 Meskipun dengan pengetahuan kita akan faktor-faktor resiko tersebut, penentuan resiko serangan seorang pasien merupakan hal yang sulit. Pada tahun 1979, Feeney dan Walker,118 menemukan model matematis untuk memperkirakan resiko berdasarkan suatu kombinasi faktor-faktor resiko. Akan tetapi, model tersebut belum terbukti membantu dalam sebagian besar situasi-situasi klinis. Hal ini telah menentukan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan profilaksis pengembangan serangan sisa yang lebih sulit. Dimasa lalu para pasien dikategorikan pada profilaksis akut serangan dalam jangka waktu yang lama. Namun, penelitian baru-baru ini telah menunjukkan bahwa penggunaan phenytoin selama satu minggu mengikuti cedera otak tidak mencegah pengembangan PTE sisa.326 Lebih lanjut, efek-efek samping neurobehavioral phenytoin dan antikonvulsan pensedasi lainnya, seperti phenobarbital, dapat bersifat merusak bagi pasien yang sudah lamban dalam berpikir dan kehilangan memori.



Obat-obatan ini sepertinya menghambat keseluruhan program rehabilitasi pasien. 20, 108, 117, 237



Oleh karenanya, profilaksis serangan pada para pasien dengan cedera-cedera nonpenetrating yang tidak menunjukkan aktifitas serangan apapun tidak lagi diindikasikan. Jika seorang pasien menderita cedera penetrating atau jika ia menderita serangan selama minggu pertama (serangan awal), maka keputusan mengenai pengobatan-pengobatan profilaktik perlu untuk didasarkan pada situasi klinis individu. Gambar 49-9 meringkas pernyataan-pernyataan tersebut, yang sebagian didasarkan pada parameter-parameter praktek klinis yang diterbitkan baru-baru ini.58 Jika serangan sisa muncul, maka pasien disebut menderita TPE dan permasalahannya menjadi lebih cenderung ke perawatan daripada profilaksis. Dalam kasus-kasus ini, carbamazepine nampaknya menjadi obat yang dipilih.147, 283 Sebagian besar serangan sisa merupakan varietas parsial, entah parsial sederhana atau parsial kompleks, yang secara sekunder dapat digeneralisasi. Carbamazepine telah terbukti seefektif phenytoin dan phenobarbital yang diberikan untuk serangan-serangan tonikklonik tergeneralisasi, dan lebih efektif dalam mengontrol serangan-serangan parsial.177, 239 Carbamazepine dapat ditolerir dengan baik dan memiliki efek-efek samping yang lebih sedikit (misalnya, menderita gastrointestinal, sakit kepala, pusing-pusing, diplopia), yang biasanya dapat diperbaiki dengan mulai memberikan dosis rendah dan secara bertahap bertambah hingga kisaran terapetik. Efek samping carbamazepine yang paling menjadi kelemahannya adalah suppresi sumsum tulang. Akan tetapi, leukopenia transient, yang sesungguhnya merupakan suatu neutropenia relatif, biasanya dapat dimonitor sepanjang jumlah sel darah putih di atas 3000 sel/mm 3 (dengan 50% sel-sel darah putih menjadi neutrofil).277 Kelemahan carbamazepine telah secara relatif menjadi separuh waktu hidupnya, yang membuat pemberian dosis tiga kali sehari diwajibkan.1 Namun, persiapan-persiapan yang dapat bekerja lebih lama sekarang tersedia, sehingga memungkinkan pemberian dosis dua kali sehari dan kemungkinan level-level yang lebih konsisten.



Valproic acid (Depakote, Depakene), meskipun pada awalnya mensedasi, juga dapat bermanfaat, karena ia dapat memiliki efek-efek samping kognitif dan behavioral yang lebih sedikit daripada carbamazepine. Gabapentin (Neurontin), pengobatan antiepileptik lain yang masih baru, bisa jadi membuktikan dirinya dapat membantu untuk para pasien dengan PTE. Ia disetujui sebagai obat terapi yang membantu, tidak memiliki efek samping yang signifikan, dan tidak memerlukan pemonitoran level-level darah. Antiepileptik yang lebih baru, yang keuntungankeuntungannya bagi PTE tidak diketahui, termasuk lamotrigine (Lamictal) dan topiramate (Topamax). Hidrosefalus Posttraumatis Hidrosefalus merupakan komplikasi dari cedera otak traumatis yang dikenal dengan baik perbedaan-perbedaan dalam hal kriteria diagnosis dan populasi-populasi pasien yang diteliti mungkin mencatat berbagai macam insidensi yang terukur (dimanapun dari 9 hingga 72%).164, 220 Abnormalitas fundamental dalam hidrosefalus adalah suatu keadaan yang tidak seimbang dalam produksi dan absorpsi cairan serebrospinal (CSF). Secara keseluruhan, kerusakan absorbsi didapati pada sebagian besar kasus hidrosefalus. Secara tradisional, hidrosefalus dikategorikan entah sebagai communicating atau noncommunicating. Pada bagian terdahulu, terdapat adanya aliran bebas CSF dalam berbagai porsi sistem ventrikular, ruang-ruang cisterna dan subarachnoid. Namun, aliran CSF dari cisterna ke vili arachnoid terhalangi atau absorpsi CSF oleh vili rusak. Yang kemudian terjadi dengan inflamasi atau pendarahan subarachnoid. Istilah-istilah umum lain yang digunakan untuk mengkategorikan hidrosefalus termasuk hidrosefalus obstruktif, yang mendeskripsikan patomekanisme, normal pressure hydrocephalus (NPH), dan hidrosefalus exvacuo. NPH didefinisikan sebagai suatu triad klinis gangguan kecepatan jalan, kerusakan mental, dan urinary incontinence yang disertai dengan pembesaran ventrikular dan tekanan CSF



normal.348 Selain bukti hasil radiografi pmbesaran ventrikular, hidrosefalus exvacuo bukanlah merupakan hidrosefalus yang “sesungguhnya”. Sebaliknya, hal tersebut merepresentasikan perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh atrofi otak. Fitur-fitur computerized tomography (CT) tertentu yang membedakan exvacuo dari hidrosefalus yang sesungguhnya tercantum pada Tabel 49-20.192 Diagnosis dan perawatan tepat waktu merupakan hal yang penting selama proses rehabilitasi, karena kegagalan untuk melakukan hal tersebut mungkin akan menghambat



penyembuhan



dan



meminimalisasi



kemungkinan-kemungkinan



mendapatkan keuntungan dari terapi-terapi yang diberikan. Diagnosis pada individuindividu dengan cedera-cedera otak parah sulit dilakukan, karena triad klasik NPH sudah nampak sebagai hasil langsung trauma otak. Para klinisi seringkali harus mengandalkan gejala-gejala atipikal atau yang hampir tidak kentara (misalnya, penurunan kemampuan fungsional, kegagalan untuk maju, serangan-serangan, permasalahan-permasalahan



emosional,



postur



abnormal,



atau



peningkatan



spastisitas) dan mengkonfirmasi kecurigaan melalui CT. Jika kecurigaan pembentukan PTH tinggi, CT scan bulanan yang berurutan untuk membuat perbandingan dapat membantu menentukan diagnosis.90, 192 Dalam situasi-situasi dimana temuan-temuan radiografi bersifat equivokal, penentuan pasien-pasien yang mana yang akan mendapatkan keuntungan dari shunting biasanya didasarkan pada suatu kumpulan temuan-temuan. Suntikan lumbar untuk tekanan aksis-kraniospinal dapat dipertimbangkan. Shunting biasanya berhasil jika tekanan dinaikkan di atas 180 mm air atau jika ventrikel-ventrikel telah secara progresif bertambah ukuran. Pasien juga sepertinya akan diuntungkan dari penempatan shunt jika terdapat gambar klinis yang menunjukkan hidrosefalus tekanan normal. 259 CT cisternography dan radionuclide cisternography dapat sangat membantu, namun reliabilitas uji-uji ini tidak dapat diterima secara universal. Penggunaan suatu versi uji tap cairan cerebrospinal yang telah diadptasikan 348 sangat membantu dalam beberapa kasus. Uji ini meliputi penggunaan ukuran-ukuran psikometris dan observasi pola-pola kecepatan berjalan (gait) sebelum dan sesudah



suntikan lumbar dimana 50 cc CSF dipindahkan. Perkembangan hasil-hasil tes setelah pemindahan cairan mengimplikasikan bahwa hasil-hasil yang sukses akan tercapai jika pasien diberi shunt. Diversi CSF, seperti ventriculoperitoneal shunting, merupakan perawatan hidrosefalus definitif. Metode-metode shunting alternatif termasuk ventrikulo-atrial, ventrikulo-jugular, dan lumboperitoneal. Komplikasi-komplikasi mungkin muncul dari kegagalan mekanik shunt, kegagalan fungsional berasal dari ketidakcukupan kecepatan aliran sebuah shunt yang dipergunakan, dan infeksi. Detil-detil mengenai shunting ditemukan pada berbagai buku teks neurosurgical. Kerusakan Syaraf Kranial Kerusakan syaraf kranial merupakakn konsekuensi wajar cedera otak. Kerusakan yang dihasilkan, seperti segala sesuatu yang berkaitan dengan sensasi (penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa) dan menelan, dapat berakibat pada kerusakan lanjut fungsi pada pasien yang sudah dalam keadaan bingung.190 Pasien-pasien yang terluka dalam kecelakaan-kecelakaan pejalan kaki dengan kendaraan bermotor dan mobil memiliki angka insidensi cedera syaraf kranial yang lebih tinggi daripada mereka yang cedera karena sebab-sebab lainnya. Sembilan belas persen pasien yang diperiksa akhir-akhir ini pada suatu penelitian multicenter memiliki kerusakan pada satu atau lebih syaraf-syaraf kranial. Syaraf kranial VII (9% dari pasien) mengalami cedera paling sering, diikuti oleh syaraf kranial III (6% dari pasien), yang paling jarang mengalami cedera adalah syaraf kranial IX dan XI. 49, 50, 55 Angka insidensi kerusakan syaraf kranial yang sesungguhnya terkait dengan cdera otak traumatis tidak dapat ditentukan, akan tetapi, karena banyak penelitian dan praktek klinis pada umumnya cenderung untuk mengabaikan pengujian syaraf-syaraf kranial tertentu seperti syaraf I (olfaktori). Syaraf kranial I dapat rusak secara langsung apabila syaraf tersebut memasuki lempeng cribiform dengan suatu tiupan frontal atau via cedera contra-coupe. Olfaksi



yang rusak, atau dysosmia, dapat sepenuhnya (anosmia) atau sebagian (hiposmia). Dysosmia seringkali berakibat pada perubahan indera perasa dan dapat menyebabkan para pasien memiliki pilihan menu makanan yang aneh atau baru. Para pasien dengan indera penciuman yang rusak mungkin memerlukan pemberian isyarat dalam hal higiene, memasak, penyimpanan makanan, dan penggunaan parfum. Mereka mungkin perlu memasang detektor asap dan detektor-detektor gas natural untuk mengkompensasikakn ketidakmampuan mereka. Para pasien yang bekerja pada industri petrokimia dapat memiliki permasalahan-permasalahan signifikan dalam proses kembali bekerja secara aman, karena mereka tidak lagi mampu untuk mendeteksi kebocoran-kebocoran bahan kimia.105 Kerusakan pada syaraf kranial II berakibat pada neuropati optik yang nampak sebagai ketidakmampuan/kehilangan visual pada berbagai tingkatan. Cedera pada sistem motor mata (misalnya, syaraf kranial III, IV dan VI) dapat terjadi pada beberapa level, baik secara sentral dan perifer. Gangguan sekunder dapat terjadi setelah dampak, seiring dengan herniasi temporal yang diakibatkan edema (herniasi uncaldengan cedera syaraf kranial III). Hasil strabismus dapat disebabkan oleh cedera syaraf kranial, namun beberapa deviasi pandangan pada tahap-tahap awal setelah cedera otak bisa jadi tidak disebabkan oleh cedera syaraf kranial. Pengujian yang objektif untuk menentukan kesejajaran okular dapat langsung dilakukan dengan memperhatikan letak simetris refleksi korneal dengan sinar pena pada masing-masing posisi mata kardinal (refleks Hirschberg). Jika kesan-kesan pada kedua kornea terpusat, maka aksis visualnya biasanya sejajar. Suatu tes tertutup/terbuka pada umumnya dapat menentukan adanya ketidaksejajaran aksis visual ketika kedua mata digunakan untuk melihat, kedua kebutruhan akan fiksasi mungkin membatasi kegunaannya dan mengagitasi para pasien yang tidak kooperatif. Uji konvergensi dan akomodasi sebaiknya dilakukan secara hati-hati. Efek samping obat-obatan, yang palingumum phenytoin dan phenobarbitol, juga dapat merusak refleks-refleks tersebut. Diplopia yang terjadi hanya pada penglihatan jarak dekat dapat dihasilkan oleh suatu sistem vergensi yang rusak.28



Evaluasi neuro-opthalmologic awal atau neuro-optometric dapat sangat berguna dalam



pendiagnosaan



abnormalitas-abnormalitas



yang



tidak



kentara,



merekomendasikan ukuran-ukuran korektif untuk abnormalitas-abnormalitas, dan mencegah komplikasi-komplikasi sekunder, seperti eksposure keratitis terhadap kornea. Pada pusat penelitian kami, “Low Vision Rounds” mingguan diselenggarakan oleh ahli neuro-optometri untuk mencapai tujuan ini. Kurang begitu jelas apakah latihan-latihan okulomotor yang digunakan oleh spesialis neuro-optometri memiliki kegunaan bagi populasi ini, karena tidak adanya penelitian yang komprehensif. Akan tetapi, pengalaman kami mengindikasikan bahwa prosedur-prosedur demikian bisa jadi membantu dalam meningkatkan penglihatan selama fase rehabilitasi. Tentunya penggunaan prisma-prisma korektif, apabila kesejajaran pasien tidak berfungsi pada beberapa diopter, sangat membantu bagi pasien yang dapat menggunakannya. Cedera pada syaraf wajah paling umum terjadi di dalam jalan lintasannya menuju tulang temporal. Efek yang paling membahayakan adalah ketidakcukupan kemampuan pelupuk mata untuk menutup dan pasien bisa jadi mudah terkena exposure keratitis pada kornea. Jika syaraf kranial V juga mengalami cedera, mengakibatkan hilangnya sensasi kornea, maka masalahnya menjadi semakin sulit. Hal berikut bersifat imperatif adalah bahwa mata dilindingi oleh penggunaan lubrikan dan menepuk pelupuk mata yang tertutup dengan bantalan mata. Sayangnya, teknik ini tidak aman dan, jika tidak dilakukan dengan tepat, dapat menyebabkan kerusakan lebih parah. Sebagai alternatif, film transparan oklusif (yang menutupi area okular dan menciptakan suatu “kamar basah”) telah digunakan untuk menjaga kornea tetap terkubrikasi dengan beberapa keberhasilan. Tarsorraphy mata bisa jadi penting untuk mencegah kerusakan lebih parah, khususnya pada pasien dengan level-ringan. Evaluasi syaraf kranial VIII (syaraf vestibulo-koklear) biasanya terjadi selama fase neurosurgical akut. Pemeriksaan langsung dapat mengungkapkan tanda-tanda Nattle, fraktur mastoid, otorrhea, pendarahan dari telinga, hemotympanum, dan laserasi-laserasi membran timpanik. Pendarahan dari telinga dan laserasi-laserasi membran timpanik mungkin mengindikasikan fraktur longitudinal tulang temporal.



Seiring dengan stabilnya kondisi pasien, uji audiometri dan garpu tala dapat dilakukan. Auditori batang otak membangkitkan potensial-potensial yang dapat memberikan informasi lebih lanjut mengenai integritas sistem auditory. Jika kehilangan pendengaran cukup signifikan, alat bantu dengan tipe CROS[Contralateral Routing of Signal], yang mentransfer suara ke telinga secara utuh, dapat membantu kompensasi pasien. Gangguan-gangguan vestibular dapat berakibat pada rasa pusing, kerusakan keseimbangan, ataksia, dan nystagmus. Uji barany, suatu uji provokatif dengan menggunakan rotasi kepala, berguna dalam mengevaluasi nystagmus. Para pasien akan seringkali melakukan kompensasi dengan memiringkan kepalanya untuk mengurangi nystagmus. Pada pasien-pasien dengan keluhan rasa pusing, masuk akal untuk mengimplikasi etiologi vestibular. Akan tetapi, etiologi-etiologi lain yang memungkinkan perlu untuk dikendalikan.120 (lihat Tabel 49-21) Pengobatan-pengobatan yang umum digunakan untuk problem-problem vestibular, seperti meclizine atau dimenhydrinate, merupakan antihistamin dan dapat menyebabkan sedasi pada para pasien dengan cedera otak. Terapi vestibular, penggunaan habituasi, dapat dipilih.312 Pasien-pasien menggunakan latihan-latihan provokatif, yang meningkatkan gejala-gejala, untuk mengurangi sensitifitas respon vestibular. Syaraf kranial yang lebih rendah biasanya hanya kadang-kadang terpengaruh oleh cedera-cedera otak. Mereka lebih sering rusak oleh trauma langsung.190



Hipertermia Posttraumatis Hipertermia merupakan kejadian wajar selama masa penyembuhan dari trauma. Merupakan hal yang menarik untuk mengatribusikan demam pada seorang penderita cedera otak dengan disfungsi sentral, khususnya jika hasil uji awal tidak menyatakan



adanya proses infeksius atau proses inflamasi. Akan tetapi, hipertermia posttraumatis pada pangkal sentral secara relatif tidak wajar, terjadi hanya pada 4% pada satu seri. 75 Suatu evaluasi yang menyeluruh biasanya diperlukan untuk menginvestigasi yang lain, etiologi-etiologi yang lebih umum. Meskipun terdapat sejumlah kejadiankejadian yang potensial menghasut, masuk akal untuk mempertimbangkan infeksi sebagai suatu penyebab yang paling mungkin, karena seorang penderita cedera otak mudah terkena berbagai komplikasi seperti infeksi saluran kencing, pneumonia aspirasi, dan atelectasis. Cedera-cedera yang menyertai cedera utama menjadikan pasien sebagai subjek prosedur-prosedur dan instrumentasi-instrumentasi ganda, seperti intrakranial, abdominal, dan operasi-operasi orthopedik, ventrikulostomi, intubasi, kateterisasi vena sentral, dan kateterisasi kandung kemih. Immobilitas menambah resiko infeksi. Yang lain, merupakan penyebab demam yang kurang umum75, 148 termasuk pengobatan-pengobatan (yang disebut “demam obat”), infeksi intrakranial, trombosis vena bagian dalam, sinusitis paranasal, osifikasi heterotopik, endokarditis, abses okkult, spastisitas, hidrosefalus, dan peningkatan tekanan intrakranial. Gambar 49-1075 menyajikan suatu algoritma yang disarankan untuk menanggulangi hipertermia pada seorang penderita cedera otak. Ketika suatu sistem penanggulangan demam gagal untuk mengidentifikasi suatu etiologi, klinisi diminta untuk memberi label kondisi tersebut”demam karena etiologi yang tidak diketahui” ata mengatribusikan demam ke pangkal sentral. Demam sentral biasanaya berakibat pada elevasi temperatur sedang. Pada beberapa kasus, bagaimanapun juga, hal tersebut dapat muncul sebagai kelabilan temperatur. Tujuan perawatan adalah untuk mencegah komplikasi-komplikasi lebih lanjut, karena elevasi temperatur tubuh disertai dengan meningkatnya kebutuhan-kebutuhan metabolik, exacerbation eksitotoksisitas neuronal, gangguan halangan aliran darah ke otak.200 Manajemen meliputi penggunaan selimut pendingin dan antipiretik, seperti aspirin, asetaminofen, dan obat-obatan anti inflamasi nonsteroid.35 Pengobatanpengobatan lain yang telah digunakan termasuk dopaminergics (bromocriptine, amantadine), dantrolene sodium, chlorpromazine, clonidine, dan propranolol.248



Gangguan-gangguan Tidur Meskipun gangguan tidur merupakan observasi yang wajar pada penderita cedera otak yang bertahan hidup, insidensinya yang pasti tidak diketahui. Sebuah penelitian melaporkan suatu angka insidensi 73 % dan 52% pada setting pasien rawat inap dan rawat jalan, secara respektif. Gangguan tidur dapat dikategorikan sebagai masalah awal ataupun saat perawatan, atau kedua-duanya. Rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari mungkin hampir pasti karena kurangnya waktu tidur malam, narcolepsy, atau sleep apnea, satu dengan lainnya. Terlalu banyak atau terlalu sedikit tidur dapat merusak waktu bangun, kesadaran, perilaku, dan kemampuan seorang individu untuk ikut terapi.



Profil kimia Rata-rata pengendapan Penjagaan dahak Penjagaan Intravascular cathether Kerja Veneous thromboemlism, jika terindikasi Peninggian temperature Bone scan, indium scan POSITIVE NEGATIVE Paranasal sinus radiograph CT scan otak Tindakan klinis Penangan CSF Pengobatan dengan antibiotic yang CBC dengan nilai yang berbeda Peninjauan pengobatan (Obat demam?) sesuai Pemeliharaan temperature darah 101derajat F Mempertimbangkan konsultasi penyakit-penyakit yang Tindakan diagnosa lain, seperti menularyang ditunjukkan pada tindakan klinis. Mempertimbangkan pengobatan antibiotic empiris sementara menunggu hasil test. NEGATIVE



POSITIVE YA



Pengobatan yang tepat



TIDAK Mempertimbangkan percobaan bromocriptine, dantrolene,indomethachiri Post-traumatic Konsultsasi penyakit-penyakit menular hyperthermia Pemecahan demam secara cepat



Gambar 49-10. Saran terhadap penanganan alghorithm demam untuk pasien dengan cedera otak. Berbagai macam neurochemical/proses pengobatan telah di libatkan dalam siklus sleep-wake. Gangguan kimiawi



yang mengikuti cedera pada otak secara



teoristis menjadikan dasar postraumatik ganguan tidur. Namun demikian, penyebab yang lainnya perlu diketahui untuk memberikan perawatan yang tepat. Situasi yang mengganggu ini termasuk pengobatan, nyeri, hypoxia, sleep apnea, stress, sejarah



tidur sebelumnya, keadaan lingkungan jelek, pengkonsumsian kafein yang berlebihan, dan penggunaan nikotin. Berbagai macam skala penilaian, seperti Epworth Sleepness Scale dan Pittsburgh Sleep Quality Index dapat digunakan. Pada situasi pasien rawat jalan , catatan tidurnya mungkin cukup. Namun demikian, data laporannya tidak dapat dipercaya karena cognitive dysfunction (tidak berfungsinya kognitif). Pada keadaan pasien rawat inap siklus observational sleep-wake dapat dipakai oleh staf perawat. Pernah etiology yang bisa dibenarkan telah di ketahui, pengukuran yang sesuai perlu untuk diadakan. Strategi non-pharmakology termasuk pengaturan lingkungan ( tenang dan sedikit cahaya lampu, tempartur ruangan yang nyaman), tak berkelanjutan atau penggantian administrasi waktu untuk persediaan obata-obatan, dan menhindari kafein serta nikotin, Table 49-22 menggambarkan daftar beberapa hypnotis yang sering dipakai. Komplikasi Paru-Paru Komplikasi paru-paru berkaitan dengan cedera otak secara langsung dapat berasal dari trauma itu sendiri ( contoh. Intubation) atau berkaitan dengan kekurangan neurologis. Bahkan ketika benar-benar diterapkan, masalah ini memperpanjang kebutuhan akan acute intensive management, mencegah mobilisasi dini, dan menghalangi keterlibatan rehabilitasi secara keseluruhan. Komplikasi paru-paru akut akibat dari trauma termasuk pneumothorax, hemothorax, atelectasis, bacterial dan chemical pneumonia, mekanik ventilasi yang



Gunakan peringatan untuk hal itu dengan pulmonary kronis



Dosis yang lebih tinggi (15-20mg) berkaitan dengan kejadian yang lebih merugikan . Penyesuaian dosis untuk itu dengan hephatic impairement. Efek cns



Monitor tingkat serum nortriptyline jika dosisnya melebihi 100mg/hari



Lebih sedikit anthicholinergic dan cardiotoxik dabanding dengan tricyclic antidepresant



Keterangan



Efek Rasa sakit saat bangun: malas, dam mengantuk. Tidak ada efek terhadap kesadaran, daya ingat, dan pembelajaran hal baru. Gangguan naik motor.



CNS depresi, amnesia, mengantuk, bingung, agitasi, pusing, vertigo, ataxia, lelah, lemah, sakit kepala, muak, gejala GL lainnya.



Iritasi lambung, muak, muntah diarhe, efek sedasi atau sakit saat bangun



Mengantuk, pusing, Dearhe, efek swdasi dan rasa sakit waktu bangun



Gejala anticholinergik, mengantuk, postural hypothensi, berbagai cardiac yang tabnormal, anorksia, muak, lesu, gejala extrapyramidal, berdebar, sakit kepala,



Sama seperti nortriptyline



Rasa sakit musculoskeletalHipotensiMuak, muntahTanda-tanda anticholinergic Mengantuk



Effek Samping



Mengurangi jumalh bangunMemperpendek Menekan REM tidur



Mengurangi REM tidur dini dimalam hariMeningkatkan waktu tidur scr keseluruhanMenurunkan gangguan phases



Tidur yang belum tampak berkurangMeningkatkan jumlah tidur keseluruhan



Pada dosis rendah mencegah tingkat tidur; pada dosis tinggi meningkatkan slow wave tidur dan menurunkan REM awal



Penurunan jumlah bangunPeningkatan kualitas tidurWaktu tidur keseluruhan meningkatPerpanjangan tidur belum tampakPenurunan persentasi REM tidurPeningkatan tidur tingkat 4



Peningkatan slow-wave Peningkatan tidur REM tidur belum kelihatan



Efek terhadap tidur



25-50 mg hs



5-10 mg hs zolpidem



DiphenhydramineAntihistamines



25-150 mg hs Nortriptyline



15-30 mg hs



25-100 mg hs AmytriptilineTricylic antidepressant



TemazepamBenzodiazepines



25-150 mg hs Trazodone



Chicral hydrate 500-1000 mg hs (seharusnya tidak melebihi 2000 mg/hari



Dosis Obat



Diperpanjang dan neurogenic pulmonary edema (NPE). selain itu untuk recovery medis yang complikatif, keadaan ini juga meningkatkan resiko cedera hypoxic kedua (secondary hypoxic injury). Neurogenic pulmonary edema, dikaitkan dengan cedera otak yang diisolasi atau hemorrhage, mungkin berkaitan dengan adult respiratory distress syndrome (ARDS) yaitu sindrom pernapafasan dewasa yang sukar. Tekanan organ-organ dalam tengkorak yang meningkat,



aktivitas-aktivitas simpatik, dan



aktivitas-aktivitas pada pembuluh kapiler paru-paru terlibat menjadi penyebabnya. Saran temuan klinis dari NPE termasuk dyspnea, hypoxia, penurunan pemenuhan pe,buluh darah paru-paru, dan munculnya ‘fluffy’ (seperti benang halus) masuk ke radiograf dada. Biasanya seseorang yang membatasi komplikasi dirawat dengan tindakan yang suportif. Agen sympatholitik dan inotropik mungkin juga berperan dalam perawatan. Pneumonia merupakan komplikasi yang umum dari TBI. Lebih dari 80% pasien TBI bertambah serangan pneumonia selama 7 hari pertama setelah cedera. Pneumonia awal biasanya nosocomial. Pasien TBI yang terintubasi beresiko khusus karena alat-alat, mekanis fentilasi, dan kompromi terhadap system kekebalan. Organisme-organisme umumnya termasuk Staphylococcus aureus, Haemophiius



influenza, dan Pseudomonas aeruginosa. Faktor-faktor resiko yang penting termasuk intubasi pada saat terjadi cedera, dan system penelanan yang tidak berfungsi. Pada situasi rehabilitasi, aspirasi merupakan perhatian yang signifikan karena ini merupakan penyebab yang potensial akan pneumonia. Seseorang dengan TBI beresiko terhadap aspirasi isi perut karena gangguan refleks batuk yang normal, tingkat kesadaran yang berkurang, sensasi oropharyngeal yang berkurang, dan kesehatan esophapharyngeal sphincter yang lebih rendah. Untuk menurunkan komplikasi, Nowak et al merekomendasikan menjaga pipa tracheostomy pada seseorang pada tingkat III pada Rancho Los Amigos Cognitive Scale. Tracheostomy plus percutaneous



endoscopic gastrosmy telah diperlihatkan untuk menurunkan



resiko aspirasi segifikan secara klinis. Penting bagi ahli klinik untuk mengenal bahwa kehadiran tube trachaeostomy yang mengembung tidak benar-benar melindungi aspirasi. Dengan melepaskan pipa rute mulut melalui gastrotomy atau jejunostomy juga tidak memberi garansi perlindungan dari aspirasi.



Pada kenyataannya,



keberadaan pipa makanan dapat mengurangi kesehatan esopahageal sphinter. Selain itu, muncul tidak ada perbedaan yang signifikan pada kejadian aspirasi pneumonia individu dengan pipa-pipa pemberi makanan intragastric atau transpyloric. Pada kebanyakan unit-unit rehabilitasi cedera otak, pasien baru diakui ditaksir dari fungsi penelanan oleh ahli pathologi. Cairan dan



konsistensi died lalu di



tentukan penjadwallnya. Prosedur ini ditampilkan tanpa menganggap adanya rekomendasi diet dari perpindahan rumah sakit, karena kemampuan pasien dalam menelan



dapat berubah dengan cepat dalam rangkaian pemulihan. Evaluasi



koordinasi dan kekuatan gerakan mulut, pembuangan, kemampuan menelan cairan yang berbeda serta konsistensi diet, dan perkiraan kanaikan bagian pangkal tenggorokan dapat membantu dalam mengidentifikasi hal itu semua dari resiko aspirasi. Kami belum menemukan “gag reflex” / refleks sumbatan. yang membantu untuk tujuan ini. Adanya kebocoran cuping pada radiograf dada sebelah tengah bagian dalam atau bawah seharusnya meningkatkan kecurigaan pneumonia. Karena beberapa individu adalah “silent aspirator” aspirator yang pendiam (contoh. Penetrasi



trakhom atau aspirasi makanan tanpa gejala-gejala klinis seperti batuk atau sumbatan), terjadi akibat penelanan barium atau penyelidikan videofluoroscopic merupakan pembantu diagnosa yang penting . Awal rekoveri/pemulihan, jalan udara buatan umumnya penting untuk mencegah hypoxia dan meningkatkan pembuangan paru-paru. Ketika pemulihan mengalami peningkatan, kebutuhan jalan udara berkurang; satu langkah tercapai, dokter/ahli klinis seharusnya mempertimbangkan dekanulasi (pelepaxan pipa tracheostomy). Selain itu pneumonia dan infeksi paru-paru, penggunaan pipa trcheostomy yang lama meningkatkan resiko komplikasi lainnya. Sebuah peyelidikan yang prospektif akan endoskpi dekanulasi sebelumnya secala langsung menunjukkan bahwa 35% pasien dengan temuan larinygeal dan tracheal yang signifikan, termasuk paralysis pita suara, tracheal stenosis, subglottic stenosis, glottic stenosis, dan tracheal malacia. Tidak jelas apakah komplikasi-komplikasi seperti ini diakibatkann oleh intubasi (pemasangan pipa) atau polytrauma, atau keduanya. Formasi granuloma telah diobservasikan kepada lebih dari 56% individu dengan TBI yang memercederan tracheostomy lebih dari satu bulan. Lebih dari 23% dapat mengembangkan tracheal malacia, atau menjadi kurus dan tidak kompeten terhadap trachea / ujung tenggorokan, dan lebih dari 12% dapat komplikasi, termasuk



menderita tracheal stenosis. Selain itu,



paralysis pita suara dan glottic dan subglottic stenosis



umumnya tidak terjadi. Dekanulasi yang tepat pada waktunya mungkin mencegah komplikasi-komplikasi seperti ini , dan tipikalnya begitu ketika pasien tidak membutuhkan bantuan oksigen. Mampu dengan baik pengeluaran, dan resiko aspirasi kecil. Dekanulasi umumnya diselesaikan dengan mengurangi ukuran pipa, lalu memasang pipa tracheostomy selama 24 jam secara terus menerus, dan setelah itu dilepas. Di tempat kami kami mengurangi ukuran pipa variasi cuffless sebelumnya untuk dipasang untuk mencegah kekurangan napas yang secara kebetulan. Kami memulai memasang pipa tracheotomy selama sekitar 2 jam. Jika pasien mampu bertahan, hal itu berarti mampu menjaga oksigenasi yang baik (karena diukur dari



gejala dan denyut oxymetry) dan mampu menangani pembuangannya, pemasangan ditingkatkan interval 2-6 jam setiap hari (tergantung terhadap ketahanan pasien) Hal ini berlangsung terus menerus sampai pipa terpasang tanpa henti selama 24 jam. Lalu pipa dilepas. Beberapa penulis menganjurkan pengkajian endoscopic terhadap larynx /pangkal tenggorokan dan trachea pada semua pasien, untuk mendeteksi jaringan granulasi yang dapat mengganggu pernafasanketika pipa tracheostomy dilepas. Yang lain menganjurkan larynxboscopy hanya pada pasien yang menunjukkan gejala hambatan jalan udara atau yang tidak ada respon . Laryngoscopy dapat juga dipertimbangkan pada pasien yang mendapat tracheostomy lebih dari satu bulan. Dekanulasi merupakan kejadian penting terhadap pemulihan individu dari TBI. Pipa dapat memperburuk agitasi dalam pemulihan pasien, menyebabkan keprihatinan anggota keluarga, dan meningkatkan perlunya perhatian pernafasan dan perawatan. Pada situasi tertentu, kehadiran traceostomy dapat mempengaruhi kecondongan watak, karena fasilitas post acute dan perwatan dalam waktu lama tidak menerima pasien dengan tracheostomy. Komplikasi Gastrointestinal dan Nutritional Nutrisi Awal Respon meningkatnya



metabolis metabolisme



terhadap



cedera



kepala



dan katabolisme.



mempunyai



Diperkirakan



karakteristik



mengistirahatkan



pengeluaran energy pada pasien yang terkena TBI berat meningkat rata-rata 40%. Pada pasien TBI yang diisolasi, hilangnya nitrogen khusus karena meningkatnya ratarata proteolysis untuk memproduksi energi. Sebaliknya, hyperglycemia dengan jumlah penggantian glukosa yang meningkat dan melawan insulin yang didapatkan pada TBI, bahkan tidak ada trauma fisik. Kebanyakan bagian-bagian yang menagani trauma saat ini melibatkan kebutuhan akan nutrisi bagi pasien yang akut dan dengan cepat berinisiatif pemberian pipa enteral. Pasien yang telah menderita trauma visceral



serius dapat meminta suppleme dengan hyperlimentasi. Meskipun total enteral nutrition (TEN) lebih dipilih setelah total parenteal nutrition (TPN), TPN harus benar-benar diberikan terlebih dahulu sementara meningkatkan TEN sampai pada 2 sampai 2.5 g protein/kg/hari dan 25 sampai 35 nonprotein kcal/kg/hari. Parenteal nutrion permulaan telah diperlihatkan untuk mempengaruhi fungsi kekebalan dengan meningkatkan respon T-lymphocite, meningkatkan sel-sel CD4 dan menjaga rasio CD4:CD8. selain itu usaha agrsif pada support awal nutrisi, dapat diterapkan 3 minggu untuk mencapai keseimbangan nitrogeb pisitif, bahkan jika kesimbangan kalori positif sudah tercapai. Banyak pasien TBI masih memercederan perawatan nutrisional yang agresif pada administrasi sampai rehabilitasi. Psikiater dan ahli diet seharusnya juga memberi perhatian pada makanan berserat, vitamin, mineral, dan isotonic untuk enteral feeding/ pemberian enteral makanan., sebagai tambahan kalori dan protein. Berat mingguan, juga tindakan bulanan akan serum prealbumin, adalah cara yang tepat untuk memonitor status nutrisi selama fase rehabilitasi. Dysphagia Insiden dyspaghia pada pasien TBI pada saat pemindahan ke rehabilitasi sekitar 27%. Pada suatu penelitian dimana para pasien dievaluasi melalui videofluorocopy, 81% tidak ada respon penelanan, 50% menunjukkan control lidah berkurang, sekitar 33% telah berkurang transit pharyngeal, dan 14% menunjukkan penutupan, kenaikan, atau kejang laryngeal



berkurang. Kebanyakan pasien



menunjukkan dua aspek disfungsi penelanan, seperti control lidah yang terganggu dan tidak terjadinya mekanisme pergerakan. Pastinya, cairan yang encer harus dihindari, karena mereka tipikalnya paling sulit untuk mengatasi prospektif penelanan dan, sebgai akibatnya, dapat memicu aspirasi pneumonia. Videofluoroscopy telah menjadi standat mas untuk evaluasi dysphagia. Thenik ini membolehkan dokter atau ahli klinis meneliti anatomi dan psikologi mekanisme pergerakan penelanan sebagai suatu bolus ( cairan atau cooki yang diresapi barium) dari mulut melalui pharynx kedalam esophagus. Berbagai disfungsi termasuk aspirasi



dapat didokumentasikan pada evaluasi video. Strategi kompensatori dapat juga dicoba dan dites selama evaluasi. Pasien dengan kesulitan penelanan secara bersamaan mengalami gangguan kognitif. Mereka typikalnya perlu untuk diperingatkan dan dimonitor untuk diterapkan strategi kompensatory. Dietnya perlu diganti dengan cara sequensial (contohnya dari pureed, menggiling, mencincang, melunakkan, teratur) karena digunakannya mekanisme kompensatory meningkatkan perkembangan penelanan. Usaha pengobatan khusus terfokus pada mekanisme kompensatory. Kebanyakan pasien meningkat secara spontanitas, meskipun hal ini dapat terjadi pada beberapa minggu. Selama waktu itu, pasien beresiko tinggi akan meningkatnya aspirasi pneumonia. Pasien yang gagal mengalami kemajuan secara kognitif, tidak dapat mengikuti perintah, mengalami kesulitan penelanan, dan beresiko tinggi terhadap aspirasi , perlu diberi makan melalui pipa internal. Jika enteral feeding dipercederan lebih dari tiga atau empat minggu, pipa gastrostomy atau jejunostomy lebih disukai pipa nasogastrik. Pipa dapat ditempatkan melalui prosedur operasi terbuka atau menggunakan teknik endoscopik. Penggunaan pipa nasogastrik dalam waktu lama mungkin memicu akselerasi nasal, , iritasi nasoparyngeal, infeksi sinus, dan ketidaknyamanan. Pipa nasogastrik juga memperburuk agitasi dan menyebabkan pasien harus melepas pipa tersebut. Ketika hal ini terjadi, pemasangan kembali pipa harus dilakukan, meningkatkan resiko trauma nasopharyngeal. Komplikasi Gastrointestinal Lainnya TBI berikut, stress gastritis dapat benar-benar terjadi pada pasien TBI. Erosi superfisial mucosal dapat meluas sampai pada muscularis mucosa dab berkembang menjadi borok. Sebalioknya, digambarkan oleh Cushing (borok Cushing) lebih dalam dan berhubungan dengan tingkat gastrin yang tinggi dan pengeluaran asam meningkat prophylaxis dengan penghalang H2



dan seperti agen mungkin bisa membantu



menurunkan mmagnet dari komplikasi. Satu penelitian menunjukkan bahwa meskipun cimetidine tidak menurunkan insiden pengkikisan gastric superficial, itu mengurangi berbagai macam cedera. Hampir semua pasien masih terkena ulcer prophylaxis pada saat admisi sampai rehabilitasi. Ahli klinis seharusnya tidak melanjutkan pengobatan ketika masih mungkin, untuk meminimalisir efek obat yang tidak cocok dan interaksi obat-obat, menyederhanakan aturan obat, dan menghemat pengeluaran yang tidak perlu. Nausea dan muntah sering dialami pada komplikasi trointestinal pada TBI. Meskipun hal ini muncul sebagai gejala yang relative minor, mereka dapat meningkatkan resiko aspirasi pneumonia, menghalangi therapy, dan menyebabkan distress bagi pasien dan keluarga. Etiologi dari nuesea dan muntah dalam TBI adalah multi factor. (lihat gambar 49-23). Diantara ketidak normalan gastrointestinal yang spesifik yang bertanggung jawab untuk gejala-gejala seperti itu merupakan sphincter esophageal lebih rendah yang tidak berkompeten. ( Yang dapat terganggu oleh adanya pipa/penyalur



makanan



yang



melintasi



pertigaan



gastroesopagheal)



dan



menggagalkan pengosongan gastric. Pada satu penyelidikan, sekitar 50% pasien telah telah gagal mengosongkan gastric dan mentolerir selama gastik feeding selama minggu pertama setelah cedera. Perkembangan pengosongan gastric terlihat sampai pada minggu ke-3. Etiologi eksak akan gagalnya pengosongan gastric pada TBI masih tak jelas, tetapi tekanan intracranial yang meningkat , tingkat kanaikan factorfaktor pelepas cortocotropin, dan pengobatan semuanya telah terlibat. TABEL 49-23 beberapa Penyebab Nausea dan Muntah pada TBI Intracranial Tekanan intracranial meningkat Area yang menempati luka Hydrochepalus Ophthaimologik Ketidakseimbangan urat Ocular Vestibular Respiratory Berkaitan dengan batuk dan dahak yang berlebihan Gastrointestenal Gastritis dan ulcer Gangguan kesehatan LES (lower esophageal Sphincter) Gangguan pengosongan gastric Sembelit Pancreatitis Hepatitis Infeksi Iatrogenik Pengobatan yang menyebabkan iritasi gastric Pengobatan yang langsung induce nausea dan muntah Perngobatan overdosis



Pemberian makanan mankok kecil melalui jejusnostomy merupakan perawantan pilihan.



Jejunostomy



dipikirkan



untuk



mengurangi resiko aspirasi, karena melewati pylorus. Sebuah penelitian baru-baru ini, namun



demikian,



gagal



untuk



mendemonstrasikan keuntungan jejunostomy



ayng sudah diakui daripada pipa gastrostomy. Jejunostomy dapat meningkatkan masalah nutrisi dan administrasi pengobatan, karena kapasitas penyerapan mangkok kesil lebih sedikit dibanding yang ada diperut. Karena jejunostomy juga membutuhkan pemberian makanan sera terus menerus, hal itu tidak ideal selama rehabilitasi karena membatasi mobilitas dan therapi. Kecuali jika pasien menderita reflux dan aspirasi serius, gastrostomy cara yang lebih disukai. Merupakan keuntungan menerapkan keduanya jejunostomy dan gastronomy secara bersamaan dalam situasi seperti itu dengan gangguan pengosongan gastric. Jejunostomy dapat dipakai untuk pemberian makanan dan gastronomy untuk administrasi pengobatan dan pengurangan tekanan udara untuk pencegahan aspirasi. Ketika pengosongan gastric meningkat, pemberian makanan dapat digantikan pada route gastronomy dan diberikan di bolus. Pada minggu berikutnya, aspirasi perut untuk pembersihan sisa-sisa yang ada merupakan hal yang penting untuk memonitor pengosongan gastric yang memuaskan. Jika reflux tetap ada, ujung tempat tidur perlu diangkat dan pasien seharusnya dicoba dengan berbagai formula atau pemberian makana yang lebih sedikit. Pada praktek kami, kami menggunakan “blue dye test” untuk membantu pengidentifikasian individu dengan tracheostomy yang beraspirasi pengeluaran lewat mulut. Ini muncul pada pasien yang refleks penelannya bagus dan mampu bertahan dari deflasi tracheostomi cuff . Pada test pagi hari, empat tetes blue dye melalui mulut dan tracheostomi cuff turun/berkurang. Lebih banyak lagi dye mungkin ditambahkan paling tidak setiap empat jam. Malam sebelum tes, blue dye yang ada di pipa pemberi makan tidak dilanjutkan. Adanya blue dye dalam pengeluaran tracheal diindikasikan aspirasi atau tracheo-esophageal fistula. Agen Prokinetik dapat dipakai untuk memfasilitasi pengosongan gastric. Penggunaan metroclopramide (Reglan) seharusnya dihindari. Obat semacam ini seperti phenothiazines; sementara itu dapat membantu diawal pada reflux dengan meningkatkan pengosongan gastric bagi prosentase kecil pada sejumlah pasien, hal itu secara khusus tidak bermanfaat untuk jangka panjang. Selain itu, diketahui



menyebabkan kesulitan kognitif pasien yang signifikan, khususnya bagi mereka yang mendapatkan kembali kesadarannya. Hal itu juga berpotensi mempunyai efek samping pergerakan extrapyramid dan bahkan dyskinesia tardive yang permanent. Lebih jauh lagi untuk halangan pemulihan kognitif, metroklopramid dapat juga menyebabkan kesulitan penelanan. Jika pasien harus berada pada metoclopramide dengan berbagai alasan, maka seharusnya dibatasi sampai dua minggu atau kurang. Cisapride (Propulsid) merupakan alternative yang lebih atraktif karena, tidak seperti metoclopramide, hal ini tidak menyebabkan pusat blockade dopaminergic dan pengaruh extrapyramidal jarang. The Food and Drug Administration FDA) yaitu administrasi makanan dan minuman telah mengeluarkan peringatan akan penggunaan cisapride dan antibiotik, antidepressant, antifungal, protease inhibitor tertentu secara bersama-sama, mengidikasikan



bahwa kombinasi seperti ini dapat memicu



arrhythmias cardiac yang serious dan memperlama QT. Pada situasi cisapride tidak dapat dipakai, erythromycin mungkin alternative yang berguna untuk meningkatkan pengosongan gestrik. Incontinence Fecal incontinence menyertai cedera otak sangat umum, khususnya pasien dengan gangguan kognitif yang signifikan. Cedera otak berikut ini, pasien dapat mengalami usus besar yang tidak terisi neurogenik dan tidak sadar akan kebutuhan pembuangan secara teratur. Sembelit atau diarhe juga menjadi masalah yang signifikan. Perkembangan program training usus besar sehari-hari cocok dengan mengesampingkan status kognitif pasien. Hal ini dapat dikerjakan melalui penggunaan pemberian makanan kaya akan serat atau supplement yang diminum yang berserat dan penggunaan glycerin rectal suppository sehari-hari atau setiap satu hari. Penggunaan digital stimulasi seharusnya dihindari karena dapat terjadi salah pengartian bagi siswa yang mengalami kesulitan kognitif.



Diarhe bisa sebagai akibat dari impaksi, overload osmolar, dari pipa makanan, atau radang usus besar Clostridium difficile. Keduanya baik overload osmolar dan impaksi dapat dicegah dengan penggunaan ismakanan otonic berkadar protein tinggi yang menyediakan vitamin dan minral yang esensial. (contoh: Jevity atau Enrich) Pasien dengan cedera otak resikonya meningkat akan seringnya kebutuhan perwatan dengan antibiotic selama perawatan disaat akut. Screening untuk toxin C. difficile terindikadi pada pasien dengan sejarah administrasi pengobatan dengan antibiotic sebelumnya dan diarhew yang dibutuhkan rumah sskit . pengobatan biasanya sukses dengan flagyl atau ancommycin melalui mulut. Pendarahan Gastrointestinal Seperti kebanyakan pasien polytrauma, pasien dengan cedera otak cenderung beresiko mengalami pendarahan gastrointestinal yang kedua kalinya untuk menekan akselerasi selama fase perawatan disaat akut. Umum bagi pasien ditempatkan di prophylaxis dengan H2 antagonis seperti cimetidine atau atau ranitidine. Karena gangguan kognitif dan perilaku telah diketahui pada pasien pada Hs antagonis, pengobatannya seharusnya ditarik ketika resiko pendarahan gastrointestinal sudah berlalu. Thromboplebitis Deep Venous thrombosis (DVT) diperkirakan terjadi pada 40% sampai 54%dalam berbagai kasus yang menyertai trauma utama pada kepala. Factor resiko penting bagi DVT cedera otak berikut ini termasuk immobilitas/ tidak mengalami mobilitas, lemah otot, berkaitan dengan retak tulang, trauma vascular secara langsung, dan catheterization venous. Tipe tanda klinis, seperti betis yang sakit dan bengkak di kaki, tidak muncul pada semua kasus. Hal ini terjadi karena karena potensialnya embolisme pulmonary (PE), yang merupakan paparan awal secara



kilinis mencapai 80%.pendeteksian awal penting untuk menghindari morbidity dan konsekwensi yang berpotensial fatal (insiden fatal PE diperkirakan 1%). Impedance Plethysmograph (IPG) yaitu ganguan plethysmograph, ultrasound Doppler, D-dimer assay/pengujian D-dimer, I-fibrinogen scanning, dan radionuclide dan perbedaan venography merupakan methode yang umum digunakan pada pendeteksian DVT. Sensitive dan spesifikasinya sangat besar, khususnya tidak adanya penemuan klinis. Umunya tindakan prophylactic yang digunakan



termasuk intermittent



pneumattik compression, graded compression elactic stocking dan anticoagulants (dosis rendah yang tidak dapat dibagi, dan heparin berat dengan molekuk ringan, warfarin dan aspirin). Perawatan proksimal PE atau DVT pada betis termasuk anticoangulasi. Inisiatif perwatan berikut ini dengan heparin yang tak dapat dibagi, warfarin diketahui ketika bagian thromboplastin keatipan waktunya 1.5 kali pengendaliannya terkendali. Dosis permulaan disarankan 5mg warfarin untuk menhindari efewk yang merugikan, seperti anticoangulasi yang berlebihan dan perkembangan pernyataan hypercoagulable yang potensial. Tujuan perawatan dengan warfarin adalah International Normalized Ratio (INR) : perbandingan normalisasi internasional yaitu 2 dan 3. Dala hal itu resiko komplikasi pendaharaan tinggi, inferior vena cava ( IVC ) penempatan filter ( Greenfield filter atau Modified Bird’s Nest Filter ) seharusnya dipertimbangkan.Penggunaan antikoagulans yang menyertai TBI berkaitan dengan intracranial hemorrhage controversial. Seharusnya juga digunakan petunjuk dalam agitasi atau pasien dengan resiko jatuh yang signifikan. Saat ini, tidak ada petunjuk untuk mengoptimalkan waktu awal dari antikoagulasi yang menyertai trauma yang berkaitan dengan pendarahan intracranial. Komplikasi Genitourinery Bladder Neurogenic yang menyertai TBI cukup jarang; jika itu ada , biasanya karena detrusor hyperreflexia yang terhambat yang menyebabkan pasien sering muntah dengan pengosongan Baldder. Para pasien biasanya dapat diatur secukupnya dengan alat pengumpul eksternal, seperti kondom catheter untuk laki-laki dan diaper untuk perempuan. Tindakan ini seharusnya dilanjutkan sampai pasien tersadar akan



sekitarnya dan memori yang cukup untuk bermanfaat dari ditawarkannya sebuah kamar kecil atau bad-pan secara umum. Pasien juga mengalami detrusor hyporeflexia distance akibat dari over Distansi Bladder.yang terjadi dengan iatrogenic atau outlet gangguan traumatic. Pasien ini pada umumnya perlu memperpanjang intermitten Caterisation ( ICP ) atau chatheter Voley Indwelling sampai maslahnya teratasi, yang mungkin memakan waktu berminggu – minggu bahkan berbulan – bulan.Jarang khususnya pasien yang tercedera pada otak dengan detrusor sphincter dysernergi yang membutuhkan catheterisasi intermitten atau drainase Foley yang diperpanjang dan penelitian urologic yang lengkap. Komplikasi Musculoskeletal Ossification heterotopic HO (heretoropic ossification) merupakan informasi tulang lamellar dewasa dalam jaringan yang halus dan wilayah pariarticular . incident HO yang dilaporkan berkisar antara 11% sampai 76%, yang mencerminkan perbedaan methode populasi dan methode deteksi. Namun demikian, hanya 10% sampai 20% dari berbagai kasus yang signifikan secara klinis HO. Faktor resiko yang signifikan pada TBI termasuk koma yang lama(1 bulan), imobilisasi, dan Fungsi Seksual dan Reproduksi Meskipun dikenal dengan baik, pengaruh dari TBI pada fungsi seksual sering diabaikan pada rangakain pemulihan. Selain itu gangguan fisik yang mungkin menghalangi fungsi deksual dan kepuasan, perubahan perilaku, menuruti kata hatinya dan tidak sesuai, dan nafsu yang berubah menambah masalah. Pasien dengan cedera cuping frontal tingkat fungsi seksualnya lebih tinggi dibanding degan yang tanpa cedera. Tetapi pasien yang menderita frontal lobe lesions memperlihatkan perilaku seksual yang nggak sesuai, yang mendapatkan kesulitan tidak hanya pasien, tetapi



juga hubungan pasien tersebut dengan keluarga, staf rumah sakit, dan dengan khalayak ramai. Dengan kaa lain, beberapa pasien TBI muncul hilang ketertarikannya pada sex. Ini juga bisa benar bagi partnernya, yang mungkin berpengaruh dengan adanya perubahan peranan mereka dari partner menjadi pemberi perhatian. Jelasnya, berpotensi mengganggu hubungan, karena banyak pasangan menggambarkan sex sebagai ekspresi cinta dan intimnya suatu hubungan. Penting untuk memperhatikan seksualitas selama atau setelah rehabilitasi akut jika masalah ini muncul dengan efek negative akan reintegrasi pasien degan kehidupan keluarga dan komunitasnya. Model plissit menawarkan pendekatan komprehnsif untuk mengenali masalah-masalah tentang perhatian utama kepada pasien dan pasangannya. Interfensi perawatan termasuk modifikasi dan konseling perilaku. Perawatan medis ( contoh obat untuk tikdak berfungsinya ereksi , panile prostheses, dll.) tersedia, tetapi kontribusi terhadaphilangnya peranan seksual, seperti depresi dan pengobatan, seharusnya diberikan terlebih dahulu. Tidak biasanya menstruasi berhenti setelah TBI. Dalam banyak kasus, dapat berlangsung satu tahun menstruasi kembali normal. Pada kejadian dimana kedatangan menstruasi tertunda, atau ada perubahan kharakteristik menstruasi (missal, metromenorrhagia), beralasan merujuk ke seorang obstreticitian untuk gynologic, dan memeungkinkan evaluasi endocrionologic bagi pasien yang aktif seksualnya dan pasangannya, konseling mengenai control kelahiran mungkin juga diterapkan , harus dicatat, bagaimanapun juga, penggunaan kontrasepsi yang diminum beresiko terhadap preneus thrombosis. Pada bebrapa kasus kehaliman selama TBI berpengaruh terhadap keputusan terapetik selam dan setelah rehabilitas. Pengobatan tertentu yang dipakai untuk mengobati komplikasi TBI terpotensi teratogenic,beberapa didokumentasikan ( misal phenytoin ) dan yang lainnya yang diketahui ( misal toksin spasticity botulinum). Bagi pasien yang berkeinginan memulai lagi sebagai seorang ibu setelah pemulihan, kegiatan sebagai orang tua (misal ; penggatian popok, menyusui) dapat bekerjasama



dengan berbagai terapi fisik dan pekerjaan. Lihat bab 80 untuk informasi yang lebih jauh tentang seksualitas. REHABILITASI PASIEN PEDIATRIC BRAIN INJURY Pediatric brain injury (cedera otak pada anak) berbeda dalam beberapa hal penting dengan cedera otak pada orang dewasa. Menurut pathologi, TBI bayi dan anak berfrekwensi lebih besar akan terjadinya penyebaran pembekangkan otak dan berfrekwensi lebih rendah terjadinya intracranial hemorrhage (pendarahan otak) seperti yang terlihat pada orang dewasa. Faktor komplikasi epidemiologi adalah proporsi TBI anak disebabkan penyalahgunaan anak. Teknik penilaian khusus, seperti pediatric coma scale dan the Children’s Orientation dan Amnesia Test (COAT), dipercederan untuk mengevaluasi tingkat kesadaran dan durasi PTA. TBI anak-anak yang serius muncul dengan prognosis pemulihan kesadaran dan mobilitas yang lebih baik. Keunikan dari cedera otak anak adalah cedera tertentu yang diderita pada usia dini dapa memicu fungsional hasil yang lebih buruk disbanding cedera yang sama pada masa dewasa. (missal; TBI serius selama bayi terjadi hambatan mental). Sifat mudah terserang ini ditengarai sebagai gangguan proses perkembangan secara umum, memicu kemampuan kecakapan lebih lambat. Keunikan komponen yang kedua dari rehabilitasi cedera otak pada anak adalah kebutuhan tindak lanjur dalam jangka waktu yang panjang bagi perkembangan sekolah anak, karena anak dengan cedera otak muncul dengan meningkatktnya tantangan dengan nilai yang lebih tinggi. Dokter rehabilitasi seharusnya dipersiapkan untuk menjadi advokasi bagi kebutuhan



pendidikan anak tersebut dan untuk



menyediakan rekomendasi khusus untuk modifikasi program pendidikan. Tim seharusnya juga seharusnya dipersiapkan untuk bekerja dekat dengan orang tua untuk jangaka panjang. Informasi detail tentang rehabilitasi anak tersedia pada referensi khusus.



MANAJEMEN MILD TRAUMATIC BRAIN INJURY Manajemen TBI ringan telah mengalami perubahan yang cepat sebagai akibat dari penelitian fungsional hasil kerja, rangkaian gejala postconcussional. Temuan ini ada pada referensi khusus. Criteria diagnosa untuk TBI ringan diberikan pada table 49-4 diatas. Kriteria alternative untuk TBI ringan diajukan oleh subkomite American Congress of Rehabilitation Medicine (ACRM). ACRM mendefinisikan TBI ringan sebagai gangguan traumatic fungsi otak yang ditunjukkan oleh paling tidak satu dari hal berikut: (1) hilang kesadrannya; (2) hilang daya ingat /memory untuk hal-hal yang terjadi sebelum dan sesudah tercedera; (3) alterasi status mental disaat tercedera (4) gejala fisik yang tampak pada cedera otak seperti tinnitus, perubahan daya lihat, gangguan memori/daya ingat, fatigue, dan anosmia; dan (5) gangguan kognitif posttraumatic. Karena criteria ACM tetap divalidasi oleh hasil penelitian, hasil temuan berdasarkan criteria TBI ringan pada Tabel 49-4 diatas seharusnya tidak digeneralisasikan kepada pasien yang mennemukan definision ACRM. Rasio perbandingan untuk memanaj TBI ringan berdasarkan pada kronisnya, bukti yang oobjektif dari cedera otak , dan adanya cedera-cedera extracranial. Selama masa akut yang menyertai TBI ringan, pasien seharusnya mendapat CT scan dikepala, karena ada atau tidaknya trauma otak pada CT scan (contoh, tidak adanya komplikasi TBI ringan) seharusnya menyebabkan pembatasan aktivitas selam beberapa hari atau minggu. Namun demikian, jika trauma otak ada pada CT scan (komplikasi TBI ringan), kelanjutan kegiatan sebelum tercedera ditunda saat itu, minoritas pasien, kegiatan sebelum tercedera tidak dapat diteruskan. Kemungkinan akan resiko kegagalan meneruskan kegiatan pre-injury lebih besar terjadi pada orang tua disbanding dengan mereka preexisting ketidakberesan neurologik atau psikiatrik. (contoh, TBI sebelumnya). Hampir semua pasien TBI ringan pertanyaan pronostik bukannya apakah, tetapi kapan pembatan kegiatan dapat dicabut.



Tehnik manajemen untuk TBI ringan yang akut adalah pendidikan dan pembatasan kegiatan. Komplain adanya sakit kepala dan pusing umum tejadi bebrapa bulan setelah tercedera dan seharusnya diinvestigasi. Pasien dan keluarga seharusnya diingatkan terlebih dahulu tentang perubahan kognitif dan perilaku serta tentang keadaan yang mungkin memperburuk mereka. (contoh, kurang tidur, salah zat, streaa). Kemungkinan kembali ke kediatan sebelum kejadian dengan cepat seharusnya ditekankan bagi pasien dan keluarga. Keberanian tes neoropsychologi munkin berguna untuk mengindentifikasi kekurangan kognitif pada fase ini. Jika cedera berkaitan dengan adanya kekurangan kogntif , pasien seharusnya diminta untuk tidak kembali bekerja sampai pngobatan dilakukan semua. Kembali bekerja dapat dimulai dengan part time, atau tugas yang ringan-ringan, mungkin hanya beberapa hari sebelum meneruskan dengan tugas seluruhnya. Dalam beberapa kasus mungkin perlu meneruskan kewajiban pekerjaanya melalui satu atau lebih langkah selanjutnya. Meskipun isolasi tbi ringan biasanya tidak terlihat seperti suasana rehabilitasi , sering terjadi orthopedic atau cedera sungsum tulang belakang yang butuh rehabilitasi. Pada kasus TBI ringan pasien yang menjalani rehabilitasi untuk cedera yang lainnya, strategy pembatasan kegiatan tidak mungkin terlaksana. Kecuali, mungkin perlu memodifikasi program rehabilitasi untuk mencegah maslah keadaan sekitar berkaitan degan TBI (contoh, antisipasi meminimalisir agar tidak ribur, atau obat analgesic, pengarahan langsung kepada keluarga, atau memperpanjang istirahat/ opnam. Manajemen TBI ringan pada tingkat kronis tetap kontroversi. Label postconcussional syndrome secara umum telah diterapkan untuk mengembangkan postinjury komplain akan pusing, sakit kepala, emosi yang tidak stabil, kesulitan kognitif. Kemungkinan berpura-pura sakit perlu dipertimbangkan dengan tes neoropsykologi dengan pasien kronis TBI ringan yang berpotensi secondary gain. Tehnik yang berguna dalam penentuan kevalidan dary gejala komplain termasuk tes spisialis neuropsychological (test pengenalan paksaan) MRI dari otak mendeteksi



cedera traumatic minoritas pada pasien TBI ringan dimana CT scannya normal, tetapi nilai prognostiknya



temuan MRI pada pasien TBI ringan yang mengalami



komplikasi tidak ditentukan. Imajinasi SPECT akan pasien TBI ringan sebagai prosedur diagnostic yang lebih sensitif, peranan imajinasi SPECT terhadap TBI tetap ditegaskan. SAKIT KEPALA POSTTRAUMATIK Sakit kepala merupakan komplain pasien yang biasa terjadi setelah trauma pada kepala atau leher. Packard menyebutkan rata-rata timbulnya 30% sampai 80%. Dapat sebesar 44% 6 bulan setelah cedera dan dalam hal ini yang umum tanpa cedera-cedera yang serius. Harus ditegaskan bahwa posttraumatic headache (PTH) bukan merupakan diagnosa. Itu benar-benar merupakan gejala yang bisa mengalami berbagai etiologi (Tabel 49-24). International Headache Society (HIS) criteria sakit kepala posttraumatic perlu beberapa syarat yang ditemui, seperti hilang kesadaran, amnesia posttraumatic yang berlangsung lebih dari 10 menit, dan sakit kepala yang dimulai kurang dari 14 hari setelah trauma atau mendapatkan lagi kesadarannya. Mungkin juga ada kelainan yang saling terkait paling tidak pada dua hal berikut: kajian klinis neorologik, radiograf tengkorak, neuroimaging, potensi yang timbul, pemeriksaan cairan tulang belakang, tes fungsi vestibular, atau tes neuropsychologi. Berikutnya penting, karena kesulitan kognitif seringnya berkaitan dengan posttraumatic headache. Sakit kepala posttraumatic yang akut menjadi kronis jika masih terjadi lebih dari 8 minggu. Keberadaan sakit kepala itu, khususnya terkait dengan status mental atau kelainan neurologik, mungkin membutuhkan investigasi yang lebih jauh lagi, seperti neuroimaging, dan penelitian CSF yang mengatur etilogi intracranial. Perawatan sakit kepala posttraumatic ditujukan untuk membetulkan etiologi. Pengobatan yang umum dipakai seperti daftar di tabel 49-25. Strategi perawatan yang lain, termasuk biofeedback dan training relaksasi, dikaji kembali.



Tabel 49-24 Beberapa sebab sakit



table 49-25 beberapa pengobatan



kepala posttraumatic



yang dipakai untuk mencegah dan merawat sakit kepala



Intracranial Obat-obat anti inflammatory nonsteroidal Luka pada strktur rasa sakit yang sensitive (venous sinuses, dura Antiepilptiks pada pangkal otak, pembuluh darah, syaraf cranial) Serotonin seletif agonis (contoh, sumatriptan) Serotonin reuptake penghambat secara selektif Extracranial Antidepressant tricyclic Neuroma Beta-blocker Luka pada kulit, otot, urat nadi Calcium Channel blockers Luka pada periosteum Antihistamines Senusitas Steroid Tidak berfungsinya tulang sendi temporomandibular Antiemetics Kelainan sraraf cranial (contoh, ophthalmoplegia Saki Myofascial Lain-lain Pengaruh obat yang tidak cocok dan zat-zat lainnya (contoh, cafein) Pemeliharaan Pengobatan Co-morbid 9contoh, hipertensi yang tak terkontrol). Seizure OLAH RAGA TERKAIT DENGAN TRAUMATIK CEDERA OTAK Kurang tidur Factor psikologi



Meningkatkan kesadaran terhadap TBI yang diakibatkan dari olah raga dan relasi yang berkaitan kelanjutan popularitas olah raga dan perhatian dari media. Diperkirakan lebih dari 80% petinju mengalami bukti TBI baik secara klinis ataupun radiologik.



Gangguan kognitif pada para petinju mempunyai bentuk tersendiri:



dementia pugilistica.Namun demikan popularitas tinju tidak mereda. Kira-kira 250.000pemain sepak bola mengalami gegar otak per tahun. Setiap kontak pemain, baik bola basket, sepak bola dan wrestling termasuk berpotensi terhadap TBI Hal yang sama juga terjadi pada kegiatan rekreasi seperti misalnya jet ski. Meningkatkan perhatian akan pengaruh syndrome kedua pada athlet muda meningkat menurut suatu penelitian yang menyarankan cedera kepala yang kedua ada sebelum gejala yang berkaitan dengan cedera kepala sebelumnya tampak nyata mungkin berakibat pada perkembangan cereblal dan kematian. Namun demikian, investigasi terkini membantah jika criteria diagnostic yang ketat diterapkan, syndrome mungkin tidak separah yang terpikir sebelumnya.



The American Academy of Neurology akhir-akhir ini mempublikasikan melaporkan Quality Standards Subcommittee milik mereka sebagai parameter manajemen kegegran otak dalam olah raga. Gejala yang umum dari kegegaran dikategorikan baik pada permulaan, kejadian-kejaian dalam beberapa menit sampai jam setelah kejadian, atau paling lama (hari sampai minggu) Gejala awal seperti: sakit kepala, pusing, vertigo, kurang sadar terhadap sekitar, nusea dan muntah. Gejala yang terlambat termasuk sakit kepala yang menurun, sakit kepala ringan, Kurang perhatian dan konsentrasi, tidak berfungsinya memori, mudah fatigability, iritasi, tolenrensi frustasi yang rendah, tidak tahan terhadap cahaya lampu, atau kesulitan memfokuskan visi, tidak tahan terhadap kegaduhan, gelisah, keadaan jiwa yang tertekan, dan gangguan tidurberdasarkan pada revie literature, tingkat skala dan rekomendasi pengobatan ditetapkan. Rekomendasi manajemen ini hanya suatu pilihan, untuk menentang yang standards, karena tidak ada bukti akan keberadaan literature itu. Hal yang sama terhadap suatu laporan yang mengalamatkan rekomendasi untuk kembali menerapkannya setelah kegegaran (lihat Tabel 49-26). PERMASALAHAN ETIKA Cedera otak meningkatkan permasalahan etika yang sangat besar dan sulit. Sementara hal seperti ini dapat dialatkan hanya pada tingkat koletifitas (contoh, bagaimana masyarakt menempatkan sumber bagi siapapun yang mengalami cedera otak, yang lain meningkatkan praktek sehari-hari para professional rehabilitasi.para dokter sering menkonfrontasi keputusan teika yang mempunyai konsekwensi yang signifikan terhadap perawantan mereka. Berklaitan dengan itu, kami berkonsentrasi pada beberapa kesulitan masalah etika yang mempunyai relefansi bagi para dokter: menilai kompetensi pasien, membuat keputusan untuk tetap atau menarik tindakan yang menopang kehidupan, dan memanfaatkan pengekangan. Salah satu masalah yang muncul pada rehabilitasi cedera otak adalah penilaian kompetensi. Keputusan menetukan kompetensi seorang pasien merupakan



hal krusial karena, sebagai dokter, kami mempunyai kewajiban menghargai keinginan competent pasien dewasa. Dalam waktu yang sama, kami berkomitmen untuk mencegah bahaya yang mungkin berasal dari keputusan pasien yang tidak berkompeten. Bukti menyarankan bahwa para dokter bekerja dengan orang-orang yang mengalami cedera otak cenderung mengabaikan masalah kmpetensi dan konsen. Temuan ini didokumentasikan konggres investigasi awal decade ini, dan ditegaskan oleh penelitian terkini. Para dokter seharusnya mengenali bahwa kompetensi merupakan wewenang khusus. Pasien dapat ditetapkan menjadi kompeten untuk membuat keputusan. (contoh, menyangkut perawatan medis) tetapi bukan lainnya (contoh, menyangkut manajemen financial). Selain itu, para komentator saat ini telah menekankan pada proses evaluasi dari mana keputusan dibuat. Maka dari itu, focus perhatian tertuju pada bagaimana keputusan dibuat, bukan apa yang diputuskan. Penilaian proses ini melibatkan pengamatan langsung pada kemampuan utama akan kapacitas pembuatan keputusan, termasuk kemampuan untuk memilih, memahami informasi yang relefan, menghargai signifikansi bagi orang yang berada pada situasi itu, dan untuk memberi alasan secara logis dengan informasi itu. Meskipun kegunaan model kompetenci ini, ada pembatasan dalam penerapannya terhadap orang yang mengalami cedera otak. Khususnya, bias kognitif dari model ini dapat membuatnya kurang sensitive terhadap keefektifan dan volisional squel cedera otak yang juga bisa berkompromi terhadap kompeten pada interviu dan tetapi sebenarnya gangguan yang signifikan dalam membuat keputusan akan kehidupannnya sehari-hari. Jika dijumpai orang yang tidak kompeten untuk membuat keputusan pengobatan, pengganti keputusan atau surrogate harus diketahui. Dokter seharusnya dengan dipandu hukum yang relefan dinegaranya menentukan siapa yang menjadi surrogate dan macam pembatasan (jika ada) terhadap penguasaan pembuatan keputusan. Bahkan, setelah mengetahui pembuat keputusan yang tepat (contoh, anggota keluarga) dokter etikanya bertanggungjawab untuk memastikan yang dibuat



surrogate sesuai. (contoh, mewakili keinginan pasien sebelumnya, atau kepentingan yang terbaik. Masalah diteruskan atau dihentikan pengobatan untuk menopang hidup mendominasi selama dua decade terakhir. Meskipun kontroversi berlanjut, sebuah konsesnsus bioethical dan legal menjadi prinsip yang fundamental. Tugas utama dari dokter dala situasi seperti ini memastikan apa yang diyakini dan disenangi pasien sebelumnya (ketika masih sadar). Keputusan Pengadilan Supreme U.S. menegaskan bahwa keputusan berkenaan dengan meneruskan atau menghentikan pengobatan untuk menopang hidup dari pasien yang tidak kompeten dapat di rujuk dari apa yang dinyatakan sebelumnya dan keinginan-keinginan sebelumnya. Jelasnya tidak ada konsesnsus sosial akan bagaimana cara memproses ketika keinginan pasien sebelumnya tidak diketahui. Dalam situasi seperti ini, dokter klinis yang tidak nyaman dengan pencapaian keputusan dapat dipertimbangkan seharusnya mencari petunjuk ke komite etika rumah sakit dan juga ke consulate hukum. Dokter fisik yang tidak nyaman dengan keputusan yang dicapai dapat mempertimbangkan mengalihkan perawatan ke dokter fisik lainnya. Akhirnya, seharusnya ditekankan bahwa tidak dipercederan keputusan yang gegabah. Khususnya jika pasien dinyatakan hidup yang tanpa guna, bahayanya sedikit untuk memutuskan pertimbangan ini. Juga penting untuk mengenali kerugian menahan fisik. Bukti yang ada menunjukkan bahwa penehanan seperti ini tidak efektif (contoh, pencegahan jatuh). Selain itu, penahanan itu sendiri sikap yang beresikofisik terhadap pasien (termasuk kasus



laporan



kematian).



Akhirnya,



penelitian



mendemonstrasikan



bahwa



pengurangan penggunaan penahanan seperti ini tidak perlu menambah kebutuhan staf, biaya ke institusi. Untuk alasan ini, , dank arena permasalahan etika terlibat, banyak institusi menerapkan minimal-restraint atau restrain-free policy.