Tugas 3 Adpu4230 Manajemen Pelayanan Umum Yati Sapitri 041172781 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS III Manajemen Pelayanan Umum



“Etika dan Profesionalisme dalam Pelayanan Publik”



Yati Sapitri NIM



041172781



[email protected]



S1- ILMU ADMINISTRASI NEGARA UNIVERSITAS TERBUKA 2021 1



KATA PENGATAR Etika merupakan suatu prilaku yang penting dalam setiap hubungan social antar manusia, termasuk dalam pelayanan public. Seperti ketika kita bertemu dengan orang lain atau bertemu dengan saudara dan berbincang-bincang dengannya, maka secara tidak langsung kita memiliki sikap yang sudah di atur untuk berkomunikasi dengan nyaman dan baik. Seperti contohnya dalam berbicara, tutur kata yang digunakan, sikap ketika berbicara dan lain sebagainya. Pelayanan publik adalah kegiatan yang berisi pola interaksi hubungan sosial. Oleh karenanya, pelayanan publik juga memerlukan penerapan etika dan moral sehingga memungkinkan terjadinya hubungan yang serasi dan harmonis diantara penyedia dan pengguna jasa. Sayangnya, selama Ini persoalan etika dalam pelayanan publik di Indonesia belum banyak dibahas secara luas dan tuntas sebagaimana terdapat di negara maju. Padahal, dalam berbagai literatur tentang pelayanan publik dan administrasi publik, etika merupakan salah satu unsur yang sangat menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus keberhasilan organisasi pelayanan publik itu sendiri. Maka dari itu di dalam makalah Manajemen Pelayanan Publik ini akan di bahas mengenai “Etika dan Profesionalisme” dalam melayani masyarakat (public) yang ada di Indonesia untuk bisa memenuhi tujuan yang sudah di tentukan dalam melayani manajemen public.



Penulis, 11 Desember 2021



Yati Sapitri ( 041172781 ) 2



DAFTAR ISI



COVER...................................................................................................................... KATA PENGANTAR............................................................................................... DAFTAR ISI ............................................................................................................. PENDAHULUAN...................................................................................................... PEMBAHASAN........................................................................................................ A. ETIKA SEBAGAI STANDAR PROFESIONALISME................................... A.A. PENGERTIAN ETIKA............................................................................ A.B. ETIKA DAN PROFESIONALISME PELAYANAN.............................. A.C. PENERAPAN ETIKA SEBAGAI AKUNTABILITAS........................... B. ETIKA DALAM PELAYANAN PUBLIK....................................................... B.A. PERKEMBANGAN ETIKA DALAM PELAYANAN PUBLIK............ B.B. PRINSIP-PRINSIP ETIKA....................................................................... B.C. KONESP PAKTA INTEGRITAS............................................................ C. PROFESIONALISME PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA................... C.A. PROFESIONALISME APARATUR PUBLIK....................................... C.B. STRATEGI PENGEMBANGAN PROFESIONALISME PEGAWAI... KESIMPULAN.......................................................................................................... SARAN...................................................................................................................... PENUTUP.................................................................................................................. DAFTAR PUSTAKA................................................................................................



3



PENDAHULUAN Pelayanan publik adalah kegiatan yang berisi pola interaksi hubungan sosial. Oleh karenanya, pelayanan publik juga memerlukan penerapan etika dan moral sehingga memungkinkan terjadinya hubungan yang serasi dan harmonis diantara penyedia dan pengguna jasa. Sayangnya, selama ini persoalan etika dalam pelayanan publik di Indonesia belum banyak dibahas secara luas dan tuntas sebagaimana terdapat di negara maju. Padahal, dalam berbagai literatur tentang pelayanan publik dan administrasi publik, etika merupakan salah satu unsur yang sangat menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus keberhasilan organisasi pelayanan publik itu sendiri. Dalam literatur akademik, etika sektor publik biasanya dianggap sebagai cabang etika politik. Di sektor publik, etika membahas premis dasar tugas administrator publik sebagai "pelayan" kepada publik. Dengan kata Iain, itu adalah pembenaran moral dan pertimbangan untuk membuat keputusan dan tindakan yang dilakukan selama penyelesaian tugas sehari-hari ketika bekerja untuk menyediakan layanan umum pemerintah. Nilai-nilai etika harus diterapkan dalam setiap aktivitas pelayanan publik. Bahkan, etika juga harus menjadi pedoman dalam menyusun kebijakan pelayanan, desain struktur organisasi pelayanan, sampai pada manajemen pelayanan untuk mencapai tujuan akhir dari pelayanan tersebut. Etika sendiri adalah standar akuntabilitas, melalui mana masyarakat akan melihat dan mengevaluasi kinerja yang dilakukan oleh pegawai suatu institusi. Keputusan institusi publik perlu didasarkan pada prinsip-prinsip etika, yang merupakan persepsi dari apa yang masyarakat umum melihatnya sebagai kebenaran. Di Indonesia sendiri memerlukan sekali banyak pengetahuan tentang bagaimana bersikap dan mengembangkan etika untuk bisa mengikuti jaman yang



4



semakin berkembang. Hal ini perlu adanya perhatian yang lebih serius untuk meminimalisir kesalahan dalam prilaku para administrator pelayanan Publik.



PEMBAHASAN ETIKA SEBAGAI STANDAR PROFESIONALISME A.A. Pengertian Etika Secara literal, istilah etika berasal dari kata Yunani “ethos”, yang berarti “karakter”, “kebiasaan”, atau “kesusilaan”. Etika merupakan bagian dari kajian Estetika dalam bidang filsafat Aksiologi, yakni sebuah studi yang mempelajari filosofi tentang nilai. Etika menyelidiki tentang konsep “benar” dan “baik” dalam perilaku individu dan social, sedangkan Estetika mempelajari konsep “keindahan” dan “harmoni” social. Etika adalah aturan, norma, kaidah, ataupun tata cara yang biasa digunakan sebagai pedoman atau asas suatu individu dalam melakukan perbuatan dan tingkah laku. Pengertian tersebut menerangkan apakah suatu perbuatan boleh atau tidak boleh dilakukan, misalnya menipu atau mencuri adalah suatu hal yang tidak pernah diperbolehkan oleh suku bangsa apapun. Sedangkan estetika lebih menggambarkan cara suatu perbuatan itu dilakukan manusia, dan berlaku terbatas hanya dalam pergaulan atau berinteraksi dalam lingkungan tertentu, dan cenderung berlaku dalam kelompok budaya tertentu saja, misalnya memberi ucapan selamat harus dengan membungkuk atau makan sambil berdiri dianggap cara yang kurang sopan menurut kebudayaan tertentu, tapi tidak menjadi persoalan bagi kebudayaan lain. Karena itu estetika cenderung bersifat relatif, dan berbentuk simbol lahiriah, sedangkan etika cenderung berlaku universal dan menggambarkan sungguh-sungguh sikap batin.



5



Ada beberapa Fungsi dalam malakukan sebuah etika yakni: 1) Sebagai tempat untuk mendapatkan pandangan atau perspektif kritis yang berhadapan langsung dengan berbagai suatu moral yang membingungkan. 2) berfungsi sebagai pembeda mana yang boleh diubah dan mana yang tidak boleh di ubah. 3) berfungsi untuk membantu sebuah konsistensi. A.B. Etika Dan Profesionalisme Pelayanan Profesionalisme merupakan sebutan mengacu kepada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota suatu profesi  mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionalnya. Maka Etika dalam profesionalisme adalah bagaikan dua Sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Standard etika dipakai sebagai acuan moral untuk membentuk karakter para pegawai dalam menjalankan profesi dan melayani pelanggan. Dalam kajian teoretis, etika (dalam) pelayanan adalah merupakan bahasan dari etika bisnis. Kajian ini merupakan bentuk etika terapan atau etika profesi yang melihat penerapan prinsip etika dan masalah moral yang timbul dalam lingkungan bisnis. Hal ini berlaku untuk semua aspek perilaku bisnis, dan relevan dalam hal yang berkaitan dengan perilaku Individu, maupun organisasi secara keseluruhan. Etika bisnis meliputi dimensi normatif dan deskriptif. Dalam praktik perusahaan, bidang ini merupakan normatif, sedangkan bagi dunia akademik, bidang ini merupakan deskriptif untuk memahami perilaku bisnis. Cakupan/rentang masalah dalam bahasan etika bisnis biasanya berkaitan dengan menentukan keseimbangan interaksi Perilaku antara keinginan memaksimalkan laba pada satu sisi, dengan masalah non-ekonomi (seperti kemanusiaan) pada sisi lain. Perusahaan pada satu SISi dituntut untuk mencari laba sebanyak-banyaknya, sehingga sering mendorong mereka berbuat apa saja termasuk memberi upah buruh yang rendah, membuang limbah/polusi sembarangan, dan mengelabuhi konsumen. Pada sisi lain, perusahaan juga dituntut untuk memperhatikan nilai keadilan dan kepatutan bagi karyawan, pemeliharaan lingkungan dan Kepuasan Pelanggan.



6



A.C. Penerapan Etika Sebagai Akuntabilitas Pada prinsipnya, pelayanan publik mencakup kegiatan penyediaan barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah, baik yang diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan dengan pihak lain, sesuai jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, pelayanan publik harus diberikan dalam suatu tata kelola yang sehat supaya dapat menyediakan produk yang terbaik bagi masyarakat. Produk tersebut harus memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian pelayanan publik haruslah prima, yakni memberikan kepuasan terhadap publik, bahkan melebihi harapan publik. Dalam konteks yang lebih luas, pelayanan publik mencakup elemen-elemen administrasi publik seperti policy making, desain organisasi, dan proses manajemen untuk melaksanakan pemberian pelayanan publik. Dalam kedua konteks tersebut, etika memiliki arti sebagai filsafat dan profesional standar (kode etik), atau moral atau aturan berperilaku yang benar (right rules of conduct) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik atau administrator publik (Denhardt 1988: 32). Dengan demikian, etika pelayanan publik adalah suatu praktik administrasi publik dan atau pemberian pelayanan publik (delivery system) yang didasarkan atas serangkaian tuntunan perilaku (rules of conduct) atau kode etik yang mengatur "apa yang harus dilakukan" dan sebaliknya "apa yang harus dihindarkan" Nilai etika dalam pelayanan publik pada prinsipnya diderivasi dari beberapa nilai-nilai moral yang berlaku umum seperti: nilai kebenaran (truth), kebaikan (goodness), kebebasan (liberty), kesetaraan (equality), dan keadilan (justice). Walaupun demikian, ada pula nilai-nilai moral yang secara khusus perlu ditambahkan untuk pelayanan publik, seperti prinsip integritas (integrity) dan kenetralan (impartiality). Kita dapat menggunakan nilai tersebut untuk mengevaluasi kinerja dan keberhasilan aktor pelayanan dalam menjalankan tugas. Misalnya apakah para aktor



7



tersebut netral atau tidak dalam menyusun kebijakan, disknminatif atau tidak dalam menilai dan menempatkan pegawai, dan jujur atau tidak dalam membuat laporan.



ETIKA DALAM PELAYANAN PUBLIK B.A. Perkembangan Etika dalam Pelayanan Publik Perkernbangan pelaksanaan etika dalam konteks pelayanan publik bersifat dinamis menyesuaikan keadaan sejarah. Menurut Kathryn G Denhardt dalam buku berjudul The Ethics of Public Service: Resolving Moral Dilemma in Public Organizations (1988), sejarah dan model etika pelayanan publik (terutama di Amerika Serikat dan Eropa) dapat dibagi dalam enam tahapan berikut ini. 1. Model I (the 1940's model). Berasal dari tulisan Wayne A.R. Leys berjudul Ethics and Social Policy (1944). 2. Model II (the 1950's model). Berasal dari pidato Hurst A. Anderson (1953) berjudul Ethical Values in Administration (nilainilai etika dalam administrasi). 3. Model III (the 1960's model). Model ini berasal dari tulisan Robert T. Golembiewski berjudul Men, Management, and Morality (1965). 4. Model IV (the 1970's model). Diderivasi dari tulisan David K. Hart (1974) Social Equity, Justice, and The Equitable Administrator dan tulisan John



8



Rawls berjudul A Theory of Justice (1971) yang merupakan akumulasi penyempurnaan dari model-model sebelumnya. 5. Model V (Rohr model). Berasal dari tulisan John Rohr berjudul Ethicsfor Bureaucrats (1978). 6. Model VI -- (Cooper model). Diambil dari tulisan Terry L. Cooper berjudul The Responsible Administrator: An Approach to Ethics for the Administrative Role (1998). B.B. Prinsip-Prinsip Etika Pegawai dan pejabat pemerintah bertugas melayani rakyat, dan mengelola sumber daya dari rakyat. Seiring dengan pelayanan ini, ada harapan dari masyarakat supaya dalam melakukan kegiatan sehari-hari, para pejabat harus melaksanakan prinsip keadilan dan kesetaraan. Mereka juga diharapkan untuk menjaga keterbukaan dałam kerja mereka untuk memastikan bahwa mereka beroperasi dałam persepsi publik tentang apa yang "benar”. Harapan publik tentang "apa yang benar” itulah yang dimaksud dengan etika. Dengan demikian, etika adalah sesuatu yang penting untuk menilai profesionalitas pelayanan publik. Untuk memenuhi akuntabilitas publik, seorang aparatur birokrasi harus memenuhi standar profesionalisme, dałam arti seorang aparat bisa dikatakan bertanggung jawab apabila dia mampu bertindak profesional dałam menjalankan tugas. Dałam kaitan ini diperlukan tolok ukur yang bisa dipakai untuk menilai profesionalitas pelayanan publik. Tolok ukur (benchmark) iłu yang menjadi nilai etika sebagai dasar kita menilai. Tanpa adanya tolok ukur, maka akan sulit bagi kita untuk meminta aparatur bekerja dengan benar sesuai harapan rakyat. Seperti yang dikatakan Langford (1991 : 22):negara. Secara umum Inti dari etika pelayanan setidaknya meliputi empat hal: 1. Integritas



9



Adalah prinsip untuk menempatkan kewajiban pelayanan publik di atas kepentingan pribadi. Pegawai/pejabat harus menyadari bahwa posisi mereka adalah amanat rakyat untuk melayani, bukan semata-mata untuk berkuasa atau mencari gaji dan keuntungan materi lainnya. Dalam standar perilaku Integritas, pegawai biasanya memiliki batasan-batasan tertentu unluk bertindak yang diperbolehkan dan yang dilarang. 2. Kejujuran Adalah prinsip yang mewajibkan pegawai/pejabat berlaku jujur dan terbuka; mereka harus menyadari bahwa jabatan, pekerjaan, kewenangan, dan fasilitas kedinasan bukanlah milik pribadi yang dapat dikelola secara rahasia dan tertutup, melainkan milik publik yang pelaksanaannya boleh diketahui dan dimonitor oleh masyarakat. 3. Objektivitas Adalah prinsip untuk mendasarkan saran dan keputusan pada analisis yang bukti dan data yang ketat dan akurat, bukan karena keinginan pribadi dan kelompok tertentu saja. 4. Keadilan Adalah prinsip tindakan sesuai dengan persyaratan hukum. Dalam hal ini keadilan terdiri dari aturan umum untuk semua warga negara yang muncul dari semacam konsensus. 5. Ketidakberpihakan Adalah prinsip netralitas untuk bertindak semata-mata sesuai dengan kasus tersebut (bukan utuk kepentingan politik) dan melayani rakyat dan pemerintah yang berbeda keyakinan atau partai politik secara setara dan sama baiknya. B.C. Konsep pakta Integritas Selain itu, untuk melaksanakan prinsip-prinsip etika, beberapa negara menerapkan kewajiban sumpah "Pakta Integritas” (Integrity Pact) kepada para



10



pegawai dan pejabat pemerintah. Pakta Integritas adalah pernyataan atau janji kepada diri sendiri tentang komitmen melaksanakan seluruh tugas, fungsi, tanggung jawab, wewenang dan peran sesuai dengan peraturan perundangundangan dan kesanggupan untuk tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal itu biasanya dituangkan ke dalam sebuah Dokumen Pakta Integritas yang harus ditandatangani oleh para pegawai/pejabat sebelum mereka bekerja/menjabat. Integrity pact adalah gagasan yang dikembangkan oleh Transparency International (TI) pada 1990-an, dengan tujuan utama untuk mencegah korupsi dalam kontrak publik. Perjanjian itu pada dasarnya adalah kesepakatan antara pemerintah atau departemen (di tingkat nasional, sub-nasional atau lokal) dan semua peserta tender untuk melaksanakan kontrak pekerjaan publik. Disamping pejabat, peserta lelang diwajibkan untuk mengungkapkan semua komisi dan biaya yang dibayar oleh mereka kepada siapa pun sehubungan dengan kontrak. Jika perjanjian tertulis dilanggar maka perjanjian tersebut menjelaskan sanksi yang berlaku. Hal ini termasuk menetapkan hak dan kewajiban yang menyatakan bahwa tidak ada pihak akan: membayar, menawarkan, meminta atau menerima suap, berkolusi dengan pesaing untuk memperoleh kontrak, atau terlibat dalam pelanggaran tersebut saat melaksanakan kontrak.



PROFESIONALISME PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA C.A Profesionalisme Aparatur Publik Profesionalisme birokrasi merupakan prasyaratan mutlak untuk mewujudkan good governance (Tjokowinoto, 2001 ; 3). Upaya untuk mewujudkan good governance memerlukan unsur profesionalisme dari aparatur pemerintah dalam memberikan pelayanan publik. Profesionalisme disini lebih menekan kepada kemampuan, keterampilan dan keahlian aparatur pemerintah dalam memberikan



11



pelayanan



publik



yang



responsif,



transparansi,



efektivitas



dan



efesien.



Profesionalisme merupakan cerminan keterampilan dan keahlian aparatur yang dapat berjalan efektif apabila didukung dengan kesesuaian tingkat pengetahuan atas dasar latar belakang pendidikan dengan beban kerja yang menjadi tanggung jawabnya dan juga sebagai cerminan potensi diri yang dimiliki aparatur, baik dari aspek kemampuan maupun aspek tingkah laku yang mencakup loyalitas, inovasi, produktivitas dan kreatifitas. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh aparatur pemerintah adalah usaha menampilkan profesionalitas, etos kerja tinggi, keunggulan kompetitif dan kemampuan memegang teguh etika birokrasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan aspirasi masyarakat yang bebas dari nuansa Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Agar birokrasi dapat memberikan pelayanan yang baik, maka diantara sepuluh prinsip good gevernance ada 3 (tiga) nilai administratif – manajerial mendasar yakni : efektifitas, efesiensi dan profesionalisme (Widodo, 2005 ; 315). Selanjutnya,



menurut



Islami



(1998;



14-15), Bahwa



akuntabilitas



dan



responsibilitas publik pada hakikatnya merupakan standar profesional yang harus dicapai/dilaksanakan aparat pemerintah dalam memberikan pelayanan dengan daya tanggap yang tinggi sesuai aspirasi masyarakat secara bertanggungjawab atas pelaksanaan tugas-tugasnya. Selain regulasi yang kuat sebagai fondasi dan standar pelayanan birokrasi juga profesionalitas sangat ditentukan oleh kompetensi dan kemampuan aparatur untuk bertindak secara profesional dalam mengemban pekerjaan menurut bidang tugas tingkatan masing-masing. Hasil dari pekerjaan itu lebih ditinjau dari segala segi sesuai dengan porsi, obyek, bersifat terus menerus dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun serta jangka waktu penyelesaian pekerjaan yang relatif singkat (Suit dan Almasdi, 2000; 99). Pentingnya profesionalisme aparatur ,sejalan dengan bunyi pasal 3 ayat (1) UU No. 43/1999 tentang tentang Perubahan Atas UU No. 8/1974 tentang PokokPokok Kepegawaian yang menyebutkan bahwa : “Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan



12



pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan” C.B. Strategi Pengembangan Profesionalisme Pegawai Pengembangan adalah setiap usaha untuk memperbaiki pekerjaan yang sekarang



maupun



mempengaruhi



yang



sikap



akan



atau



datang,



menambah



dengan



memberikan



kecakapan.



Dengan



informasi, kata



lain



pengembangan adalah setiap kegiatan yang dimaksudkan untuk mengubah perilaku yang terdiri dari pengetahuan , kecakapan dan sikap (Moekijat 1982 ; 8 ). Menurut Hendayat Soetopo dan Wasty Soemantio (1982 : 45), istilah pengembangan menunjukkan pada suatu kegiatan yang menghasilkan suatu alat atau cara yang baru, dimana selama kegiatan tersebut terus-menerus dilakukan. Bila setelah mengalami penyempurnaan-penyempurnaan akhirnya alat atau cara tersebut dipandang cukup mantap untuk digunakan seterusnya maka berakhirlah dengan kegiatan pengembangan. Heidjrachman Ranupandojo dan Suad Hasan (1997 : 77), menyatakan “bahwa pengembangan sering diartikan dengan usaha-usaha untuk meningkatkan keterampilan maupun pengetahuan umum bagi karyawan agar pelaksanaan pencapaian tujuan lebih efisien”. Malayu S.P. Hasibuan (2006 : 69 ), mendefinisikan “ Pengembangan adalah suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan teknis, teoritis, konseptual dan moral karyawan sesuai dengan kebutuhan pekerjaan/jabatan melalui pendidikan dan latihan ”. Pengembangan karyawan / aparatur dapat dilakukan melalui orientasi, pelatihan, dan pendidikan. Orientasi dapat hanya berupa pengenalan sederhana dengan karyawan lama, atau dapat merupakan proses panjang, yang meliputi pemberian informasi mengenai kebijaksanaan-kebijaksanaan personalia ( kondisi kerja, upah, dan jaminan social ) prosedur kerja, gambaran umum/sejarah, sifat perusahaan, dan manfaat-manfaat yang diperoleh karyawan baru. Orientasi



13



dibedakan menjadi dua, yaitu: a )Orientasi Formal : Orientasi ini berisi informasiinformasi tentang berbagai peraturan perundang-undangan, upah, jam kerja, cuti, tunjangan-tunjangan, evaluasi kerja, tindakan-tindakan disiplin, apa yang harus dilakukan kalau ada keluhan-keluhan (grievances), promosi dan penempatan, serikat kerja, dan yang terkait lainnya. b). Orientasi Informal:. Orientasi ini bersifat mendukung atau betentangan, tetapi selalu memperluas pengetahuan pekerja baru mengenai instansi dan orang yang yang bekerja di dalamnya. Orientasi informal bisa berbentuk nonverbal; para pekerja baru akan belajar mengenai instansi denagn melihat rekan-rekannya yang bepengalaman dalam berhubungan dengan para klien, antara satu sama lain, dan dengan para supervisornya.



KESIMPULAN Etika merupakan prilaku yang harus dimiliki oleh setiap orang, hanya saja etika tidak selamanya berprilaku positif semesial dalam sebuah pelayanan public. 14



Etika dalam profesionalisme adalah bagaikan dua Sisi mata uang yang tidak terpisahkan. 2) berfungsi sebagai pembeda mana yang boleh diubah dan mana yang tidak boleh di ubah. Hal ini berlaku untuk semua aspek perilaku bisnis, dan relevan dalam hal yang berkaitan dengan perilaku Individu, maupun organisasi secara keseluruhan. Kajian ini merupakan bentuk etika terapan atau etika profesi yang melihat penerapan prinsip etika dan masalah moral yang timbul dalam lingkungan bisnis. Pengertian tersebut menerangkan apakah suatu perbuatan boleh atau tidak boleh dilakukan, misalnya menipu atau mencuri adalah suatu hal yang tidak pernah diperbolehkan oleh suku bangsa apapun. Dalam kajian teoretis, etika (dalam) pelayanan adalah merupakan bahasan dari etika bisnis.Etika Etika adalah aturan, norma, kaidah, ataupun tata cara yang biasa digunakan sebagai pedoman atau asas suatu individu dalam melakukan perbuatan dan tingkah laku.



SARAN Menurut saya dalam sebuah keinginan untuk menciptakan sebuah ke profesionalan dalam bekerja khusunya dari segi Etika para aparatur public untuk bisa lebih professional dalam berprilaku dan tidak merugikan dari pihak masyarakat sebagai penerima layanan. Pemerintah harus bisa membuat sebuah rancangan pelatihan dan pengawasan yang ketat bagi aparatur public untuk menjaga sinergritas dan secara tidak langsung memberikan pendidikan yang lebih khusus untuk bisa menciptakan aparatur yang baik dan professional.



15



PENUTUP Sekian makalah yang bisa saya sajikan untuk memenuhi Tugas III Manajemen Pelayanan Umum, mohon maaf apabil masih jauh dalam kata sempurna, kritik dan saran dari dosen akan bisa membuat saya lebih baik dalam mebuat makalah lainnya. Terimakasih.



16



Daftar Pustaka BMP Manajemen Pelayanan Umum, IPEM4429/ Modul 8. https://www.gramedia.com/best-seller/pengertian-etika/ https://www.seputarpengetahuan.co.id/2020/04/profesionalisme-adalah.html https://media.neliti.com/media/publications/1063-ID-profesionalisme-aparaturdalam-pelayanan-publik-di-kantor-kecamatan-sario1.pdf https://tukangeetik.blogspot.com/2018/02/makalah-meningkatkanprofesionalisme.html



17