11 0 268 KB
ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) PASIEN DENGAN SPONDILITIS
DI SUSUN OLEH:
Nama: Apriyani Nahrawi Nirm:1801025 Kelas: V-B KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI:ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN(STIKES)MUHAMMADIYAH MANADO T.A 2019/2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah mengenai penyakit SPONDILITISN. Makalah ini disusun dalam rangka pendokumentasian dari aplikasi pembelajaran mata kuliah KMB III. Penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagi pihak, Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini di masa mendatang. Pada akhirnya, penyusun mengharapkan semoga makalah ini bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Manado, 20 november,2020
Penyusun
DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang................................................................................................ B. Rumusan maslah............................................................................................ C. Tujuan............................................................................................................ BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi........................................................................................................... B. Etiologi .......................................................................................................... C. Patofisiologi ................................................................................................... D. Manifestasi klinis............................................................................................ E. Penatalaksanaan ............................................................................................. F. Pemeriksaan penunjang ................................................................................. G. Komplikasi .................................................................................................... BAB III ASUHAN KEPERAWATAN(ASKEP) TEORITIS A. Pengkajian .................................................................................................... B. Diagnosa ...................................................................................................... C. Intervensi ..................................................................................................... D. Pathway ....................................................................................................... BAB IV KASUS ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) BAB V PEMBAHASAN BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan.................................................................................................... B. Saran.............................................................................................................. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN JURNAL
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif yang disebabkan oleh mikrobakterium tuberkulosa.Spondilitis tuberkulosa dikenal juga sebagai penyakit Pott atau paraplegi Poot.Penyakit ini merupakan penyebab paraplegia terbanyak setelah trauma, dan banyak dijumpai di Negara berkembang. Tuberkulosis tulang dan sendi 50% merupakan spondilitis tuberkulosa. Pada negara yang sedang berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada usia dibawah usia 20 tahun. Sedangkan pada negara maju, lebih sering mengenai pada usia yang lebih tua. Meskipun perbandingan antara pria dan wanita hampir sama, namun biasanya pria lebih sering terkena dibanding wanita yaitu 1,5:2,1. Di Indonesia tercatat 70% spondilitis tuberkulosis dari seluruh tuberkulosis tulang yang terbanyak di daerah Ujung Pandang.Umumnya penyakit ini menyerang orang-orang yang berada dalam keadaan sosial ekonomi rendah. Mekanisme infeksi terutama oleh penyebaran melalui hematogen. 1 Secara epidemiologi tuberkulosis merupakan penyakit infeksi pembunuh nomor satu di dunia, 95% kasus berada di negara berkembang. Organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2000 memperkirakan 2 juta penduduk terserang dan 3 juta penduduk di seluruh dunia meninggal oleh karena yuberkulosa. 2,3 Insiden spondilitis TB masih sulit ditetapkan, sekitar 10% dari kasus TB ekstrapulmonar merupakan spondilitis TB dan 1,8% dari total kasus TB. 2 Komplikasi spondilitis TB dapat mengakibatkan morbiditas yang cukup tinggi yang dapat timbul secara cepat ataupun lambat. Paralisis dapat timbul secara cepat disebabkan oleh abses, sedangkan secara lambat oleh karena perkembangan dari kiposis, kolap vertebra dengan retropulsi dari tulang dan debris Di waktu yang lampau, spondilitis TB merupakan istilah yang dipergunakan untuk penyakit pada masa anak-anak, yang terutama berusia 3-5 tahun. Saat ini dengan adanya perbaikan pelayanan kesehatan, maka insidensi usia ini mengalami perubahan sehingga golongan umur dewasa menjadi lebih sering terkena dibandingkan anak-anak.
Seseorang yang menderita spondilitis akan mengalami kelemahan bahkan kelumpuhan atau paling kurang mengalami kelemahan tulang, dimana dampak tersebut akan mempengaruhi aktifitas klien, baik sebagai individu maupun masyarakat.. Perawat berperan penting dalam mengidentifikasikan masalah-masalah dan mampu mengambil keputusan secara kritis menangani masalah tersebut serta mampu berkolaborasi dengan tim kesehatan yang lain untuk dapat memberikan asuhan keperawatan yang optimal B. Rumusan Masalah 1. Apa definisi penyakit spondilitis ? 2. Apa etiologi penyakit spondilitis ? 3. Bagaimana prognosis spondilitis ? 4. Bagaimana patofisiologi spondilitis ? 5. Apa saja klasifikasi penyakit spondilitis ? 6. Apa saja manifestasi klinis penyakit spondilitis ? 7. Apa saja komplikasi spondilitis ? 8. Bagaimana penatalaksanaan penyakit spondilitis ? 9. Bagaimana asuhan keperawatan klien dengan spondilitis? C.Tujuan 1. mengetahui dan memahami definisi spondilitis 2. mengetahui dan memahami etiologi spondilitis 3. mengetahui dan memahami prognosis spondilitis 4. mengetahui dan memahami patofisiologi spondilitis 5. mengetahui dan memahami klasifikasi spondilitis 6. mengetahui dan memahami manifestasi klinis spondilitis 7. mengetahui dan memahami komplikasi spondilitis 8. mengetahui dan memahami penatalaksanaan spondilitis 9. mengetahui dan memahami asuhan keperawatan klien dengan spondilitis
BAB II TINJAUAN TEORI A. Defenisi Spondilitis
tuberkulosa
atau
tuberkulosis
tulang
belakang
adalah
peradangan
granulomatosa yang bersifat kronis destruktif oleh Mycobacterium tuberculosis. Dikenal pula dengan nama Pott’s disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 - L3 dan paling jarang pada vertebra C1 – 2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi jarang menyerang arkus vertebrae. Spondilitis tuberkulosa atau dikenal dengan nama Pott’s disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang mengenai tulang belakang. Spondilitis tuberkulosa merupakan bentuk paling berbahaya dari tuberculosis muskuloskeletal karena dapat menyebabkan destruksi tulang, deformitas dan paraplegia. Kondisi umumnya melibatkan vertebra thorakal dan lumbosakral. Vertebra thorakal bawah merupakan daerah paling banyak terlibat (40-50%), dengan vertebra lumbal merupakan tempat kedua terbanyak (35-45%). Sekitar 10% kasus melibatkan vertebra servikal. B. Etiologi Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yg bersifat acidfastnon-motile (tahan terhadap asam pada pewarnaan, sehingga sering disebut juga sebagai Basil/bakteri Tahan Asam [BTA]) dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara
yang
konvensional.
Dipergunakan
teknik
Ziehl-Nielson
untuk
memvisualisasikannya. Bakteri tumbuh secara lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain Spondilitis tuberkulosa merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 10% oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra torakal bawah dan
lumbal atas, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu tuberkulosa traktus urinarius, yg penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena paravertebralis. Meskipun menular, tetapi orang tertular tuberculosis tidak semudah tertular flu. Penularan penyakit ini memerlukan waktu pemaparan yg cukup lama dan intensif dengan sumber penyakit (penular). Menurut Mayoclinic, seseorang yg kesehatan fisiknya baik, memerlukan kontak dengan penderita TB aktif setidaknya 8 jam sehari selama 6 bulan, untuk dapat terinfeksi. Sementara masa inkubasi TB sendiri, yaitu waktu yg diperlukan dari mula terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. Bakteri TB akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung. Tetapi dalam tempat yg lembab, gelap, dan pada suhu kamar, kuman dapat bertahan hidup selama beberapa jam. Dalam tubuh, kuman ini dapat tertidur lama (dorman) selama beberapa tahun. C. Patofisologi Spondilitis tuberkulosa merupakan suatu tuberkulosis tulang yang sifatnya sekunder dari TBC tempat lain di dalam tubuh. Penyebarannya secara hematogen, diduga terjadinya penyakit ini sering karena penyebaran hematogen dari infeksi traktus urinarius melalui pleksus Batson. Infeksi TBC vertebra ditandai dengan proses destruksi tulang progresif tetapi lambat di bagian depan (anterior vertebral body). Penyebaran dari jaringan yang mengalami perkejuan akan menghalangi proses pembentukan tulang sehingga berbentuk tuberculos squestra. Sedang jaringan granulasi TBC akan penetrasi ke korteks dan terbentuk abses paravertebral yang dapat menjalar ke atas atau bawah lewat ligamentum longitudinal anterior dan posterior. Sedangkan diskus intervertebralis karena avaskular lebih resisten tetapi akan mengalami dehidrasi dan penyempitan karena dirusak oleh jaringan granulasi TBC. Kerusakan progresif bagian anterior vertebra akan menimbulkan kifosis (Savant, 2007) Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa terdiri dari lima stadium yaitu: 1. Stadium implantasi Setelah bakteri berada dalam tulang, apabila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus. 2. Stadium destruksi awal
Selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra dan penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu. 3. Stadium destruksi lanjut Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra, dan terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses, yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum dan kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra sehingga menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus. 4. Stadium gangguan neurologis Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi tetapi ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi di daerah ini. Apabila terjadi gangguan neurologis, perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia yaitu: a. Derajat I Kelemahan pada anggota gerak bawah setelah beraktivitas atau berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris. b. Derajat II Kelemahan pada anggota gerak bawah tetapi penderita masih dapat melakukan pekerjaannya. c. Derajat III Kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak atau aktivitas penderita disertai dengan hipoestesia atau anestesia. d. Derajat IV Gangguan saraf sensoris dan motoris disertai dengan gangguan defekasi dan miksi. TBC paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang tidak aktif atau sembuh terjadi karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau pembentukan jaringan fibrosis
yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. TBC paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai dengan angulasi dan gangguan vaskuler vertebra. 5. Stadium deformitas residual Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah stadium implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen karena kerusakan vertebra yang massif di depan. Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang. Pada penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius. Pada orang dewasa penyebaran terjadi dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil). Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar yang memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batson’s yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra. Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk spondilitis: 1. Peridiskal / paradiskal Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak ditemukan di regio lumbal. 2. Sentral Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalahartikan sebagai tumor. Keadaan ini sering menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio torakal. 3. Anterior Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik
yang ditransmisikan melalui abses prevertebral dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral. 4. Bentuk atipikal Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%. D. Manifestasi klinis Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa yaitu: a. Badan lemah, lesu, nafsu makan berkurang, dan berat badan menurun. b. Suhu subfebril terutama pada malam hari dan sakit (kaku) pada punggung. c. Pada awal dijumpai nyeri interkostal, nyeri yang menjalar dari tulang belakang ke garis tengah atas dada melalui ruang interkostal. Hal ini disebabkan oleh tertekannya radiks dorsalis di tingkat torakal. d. Nyeri spinal menetap dan terbatasnya pergerakan spinal e. Deformitas pada punggung (gibbus) f. Pembengkakan setempat (abses) g. Adanya proses tbc. Kelainan neurologis yang terjadi pada 50 % kasus spondilitis tuberkulosa karena proses destruksi lanjut berupa: a.
Paraplegia, paraparesis, atau nyeri radix saraf akibat penekanan medula spinalis yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri.
b.
Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai yang bersifat UMN dan adanya batas defisit sensorik setinggi tempat gibbus atau lokalisasi nyeri interkostal (Tachdjian, 2005). E. Penatalaksaan Pada prinsipnya pengobatan spondilitis tuberkulosa harus dilakukan segera untuk
menghentikan progresivitas penyakit dan mencegah atau mengkoreksi paraplegia atau defisit neurologis. Prinsip pengobatan Pott’s paraplegia yaitu:
1. Pemberian obat antituberkulosis. 2. Dekompresi medula spinalis. 3. Menghilangkan atau menyingkirkan produk infeksi. 4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft) (Graham, 2007). Pengobatan pada spondilitis tuberkulosa terdiri dari: 1.
Terapi konservatif a. Tirah baring (bed rest). b. Memberi korset yang mencegah atau membatasi gerak vertebra. c. Memperbaiki keadaan umum penderita. d. Pengobatan antituberkulosa. Standar pengobatan berdasarkan program P2TB paru yaitu: a. Kategori I untuk penderita baru BTA (+/-) atau rontgen (+). 1) Tahap 1 diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg, dan Pirazinamid 1.500 mg setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali). 2) Tahap 2 diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg 3 kali seminggu selama 4 bulan (54 kali). b. Kategori II untuk penderita BTA (+) yang sudah pernah minum obat selama sebulan, termasuk penderita yang kambuh. 1) Tahap 1 diberikan Streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1500 mg, dan Etambutol 750 mg setiap hari. Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali). 2) Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg, dan Etambutol 1250 mg 3 kali seminggu selama 5 bulan (66 kali). Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita bertambah baik, LED menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang, serta gambaran radiologis ditemukan adanya union pada vertebra.
2.
Terapi operatif a.
Apabila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya 3 minggu sebelum operasi, penderita diberikan obat tuberkulostatik.
b.
Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka, debrideman, dan bone graft.
c.
Pada pemeriksaan radiologis baik foto polos, mielografi, CT, atau MRI ditemukan adanya penekanan pada medula spinalis (Ombregt, 2005).
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita spondilitis tuberkulosa tetapi operasi masih memegang peranan penting dalam beberapa hal seperti apabila terdapat cold absces (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia, dan kifosis. a. Cold absces Cold absces yang kecil tidak memerlukan operasi karena dapat terjadi resorbsi spontan dengan pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah. b. Lesi tuberkulosa 1) Debrideman fokal. 2) Kosto-transveresektomi. 3) Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan. c. Kifosis 1) Pengobatan dengan kemoterapi. 2) Laminektomi. 3) Kosto-transveresektomi. 4) Operasi radikal. 5) Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang. F. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang pada spondilitis tuberkulosa yaitu: 1. Pemeriksaan laboratorium a. Pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis dan LED meningkat. b. Uji mantoux positif tuberkulosis. c. Uji kultur biakan bakteri dan BTA ditemukan Mycobacterium. d. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional. e. Pemeriksaan hispatologis ditemukan tuberkel. f. Pungsi lumbal didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah. g. Peningkatan CRP (C-Reaktif Protein). h. Pemeriksaan serologi dengan deteksi antibodi spesifik dalam sirkulasi.
i. Pemeriksaan ELISA (Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay) tetapi menghasilkan negatif palsu pada penderita dengan alergi. j. Identifikasi PCR (Polymerase Chain Reaction) meliputi denaturasi DNA kuman tuberkulosis melekatkan nukleotida tertentu pada fragmen DNA dan amplifikasi menggunakan DNA polimerase sampai terbentuk rantai DNA utuh yang diidentifikasi dengan gel. 2. Pemeriksaan radiologis a. Foto toraks atau X-ray untuk melihat adanya tuberculosis pada paru. Abses dingin tampak sebagai suatu bayangan yang berbentuk spindle. b. Pemeriksaan foto dengan zat kontras. c. Foto polos vertebra ditemukan osteoporosis, osteolitik, destruksi korpus vertebra, penyempitan diskus intervertebralis, dan mungkin ditemukan adanya massa abses paravertebral. d. Pemeriksaan mielografi. e. CT
Scan
memberi
gambaran
tulang
secara
lebih
detail
dari
lesi
irreguler, skelerosis, kolaps diskus, dan gangguan sirkumferensi tulang. f. MRI mengevaluasi infeksi diskus intervertebralis dan osteomielitis tulang belakang serta menunjukkan adanya penekanan saraf. G. Komplikasi Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh spondilitis tuberkulosa yaitu: 1. Pott’s paraplegia a. Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun sequester atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis. Paraplegia ini membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medula spinalis dan saraf. b. Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis. 2. Ruptur abses paravertebra a. Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura sehingga menyebabkan empiema tuberkulosis. b. Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk psoas abses yang merupakan cold absces.
3. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia – prognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis – prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis.
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) TEORITIS A.Pengkajian Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan. Pengkajian di lakukan dengan cermat untuk mengenal masalah klien, agar dapat memeri arah kepada tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat tergantung pada kecermatan dan ketelitian
dalam tahap pengkajian. Tahap pengkajian terdiri dari tiga kegiatan yaitu : pengumpulan data, pengelompokan data, perumusan diagnosa keperawatan.
Pengumpulan data. Secara tehnis pengumpulan data di lakukan melalui anamnesa baik pada klien, keluarga
maupun orang terdekat dengan klien. Pemeriksaan fisik di lakukan dengan cara: inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. 1.
Identitas klien Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, status perkawinan, agama, suku bangsa, pendidikan, alamat, tanggal/jam MRS dan diagnosa medis.
2.
Riwayat penyakit sekarang. Keluhan utama pada klien Spodilitis TB terdapat nyeri pada punggung bagian bawah, sehingga mendorong klien berobat kerumah sakit. Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut. Nyeri dirasakan meningkat pada malam hari dan bertambah berat terutama pada saat pergerakan tulang belakang. Selain adanya keluhan utama tersebut klien bisa mengeluh, nafsu makan menurun, badan terasa lemah, sumer-sumer (Jawa) , keringat dingin dan penurunan berat badan.
3.
Riwayat penyakit dahulu Tentang terjadinya penyakit Spondilitis TB biasany pada klien di dahului dengan adanya riwayat pernah menderita penyakit tuberkulosis paru,HIV,leprosis,dan bagaimana riwayat pengobatan TB
4.
Riwayat kesehatan keluarga. Pada klien dengan penyakit Spondilitis TB salah satu penyebab timbulnya adalah klien pernah atau masih kontak dengan penderita lain yang menderita penyakit tuberkulosis atau pada lingkungan keluarga ada yang menderita penyakit menular tersebut.
5.
Riwayat psikososial Klien akan merasa cemas terhadap penyakit yang di derita, sehingga kan kelihatan sedih, dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit, pengobatan dan perawatan terhadapnya maka penderita akan merasa takut dan bertambah cemas sehingga emosinya akan tidak stabil dan mempengaruhi sosialisai penderita.
6.
Pola - pola fungsi kesehatan
Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.
Adanya tindakan medis serta perawatan di rumah sakit akan mempengaruhi persepsi klien tentang kebiasaan merawat diri , yang dikarenakan tidak semua klien mengerti benar perjalanan penyakitnya.Sehingga menimbulkan salah persepsi dalam pemeliharaan kesehatan. Dan juga kemungkinan terdapatnya riwayat tentang keadaan perumahan, gizi dan tingkat ekonomi klien yang mempengaruhi keadaan kesehatan klien.
Pola nutrisi dan metabolisme. Akibat dari proses penyakitnya klien merasakan tubuhnya menjadi lemah dan amnesia. Sedangkan kebutuhan metabolisme tubuh semakin meningkat, sehingga klien akan mengalami gangguan pada status nutrisinya dan juga kaji bagaimana riwayat nutrisi pasien sebelum sakit.
Pola eliminasi. Klien akan mengalami perubahan dalam cara eliminasi yang semula bisa ke kamar mandi, karena lemah dan nyeri pada punggung serta proses penyakitnya sehingga kalau mau BAB dan BAK harus ditempat tidur dengan suatu alat. Dengan adanya perubahan tersebut klien tidak terbiasa sehingga akan mengganggu proses eliminasi.
Pola aktivitas. Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik dan nyeri pada punggung serta penatalaksanaan perawatan imobilisasi akan menyebabkan klien membatasi aktivitas fisik dan berkurangnya kemampuan dalam melaksanakan aktivitas fisik tersebut.
Pola tidur dan istirahat. Adanya nyeri pada punggung dan perubahan lingkungan atau dampak hospitalisasi akan menyebabkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan tidur dan istirahat.
Pola hubungan dan peran. Sejak sakit dan masuk rumah sakit klien mengalami perubahan peran atau tidak mampu menjalani peran sebagai mana mestinya, baik itu peran dalam keluarga ataupun masyarakat. Hal tersebut berdampak terganggunya hubungan interpersonal.
Pola persepsi dan konsep diri. Klien dengan Spondilitis TB seringkali merasa malu terhadap bentuk tubuhnya dan kadang - kadang mengisolasi diri.
Pola sensori dan kognitif.
Fungsi panca indera klien tidak mengalami gangguan terkecuali bila terjadi komplikasi paraplegi.
Pola reproduksi seksual. Kebutuhan seksual klien dalam hal melakukan hubungan badan akan terganggu untuk sementara waktu, karena di rumah sakit. Tetapi dalam hal curahan kasih sayang dan perhatian dari pasangan hidupnya melalui cara merawat sehari - hari tidak terganggu atau dapat dilaksanakan.
Pola penaggulangan stres. Dalam penanggulangan stres bagi klien yang belum mengerti penyakitnya, akan mengalami stres. Untuk mengatasi rasa cemas yang menimbulkan rasa stres, klien akan bertanya-tanya tentang penyakitnya untuk mengurangi stres.
Pola tata nilai dan kepercayaan. Pada klien yang dalam kehidupan sehari - hari selalu taat menjalankan ibadah, maka semasa dia sakit ia akan menjalankan ibadah pula sesuai dengan kemampuannya. Dalam hal ini ibadah bagi mereka di jalankan pula sebagai penaggulangan stres dengan percaya pada tuhannya.
7.
Pemeriksaan fisik
Inspeksi. Pada klien dengan Spondilitis TB kelihatan lemah, pucat, dan pada tulang belakang terlihat bentuk kiposis.
Palpasi. Sesuai dengan yang terlihat pada inspeksi keadaan tulang belakang terdapat adanya gibus pada area tulang yang mengalami infeksi.
Perkusi. Pada tulang belakang yang mengalami infeksi terdapat nyeri ketok.
Auskultasi Pada pemeriksaan auskultasi keadaan paru tidak di temukan kelainan.
1.
Hasil pemeriksaan medik dan laboratorium.
Radiologi
Terlihat gambaran distruksi vertebra terutama bagian anterior, sangat jarang menyerang area posterior.
Terdapat penyempitan diskus.
Gambaran abses para vertebral (fusi form).
Laboratorium
Laju endap darah meningkat
Tes tuberkulin.
Reaksi tuberkulin biasanya positif
B. Diagnosa 1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan perusakan/pelemahan muskulo-skeletal kelelahan otot pernafasan, disfungsi neuromuskuler. 2. Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan (pembesaran abses/tulang yg bergeser) 3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan hipertermia, faktor mekanik (tekanan) immobilitas fisik 4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan membrane mukosa mulut. 5. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal dan neuromuskuler (parapelgia) 6. Risiko infeksi berhubungan prosedur infasif, kerusakan jaringan dan peningkatan paparan lingkungan, pertahan primer tidak adekuat (kerusakan kulit, trauma jaringan)
C. Intervensi Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
Pola Nafas tidak efektif berhubungan dengan : a. Hiperventilasi b. Penurunan energi/kelelahan c. Perusakan/pelemahan muskuloskeletal d. Kelelahan otot pernafasan e. Hipoventilasi sindrom f. Nyeri g. Kecemasan h. Disfungsi Neuromuskuler i. Obesitas j. Injuri tulang belakang DS: a. Dyspnea b. Nafas pendek DO: a. Penurunan tekanan inspirasi/ekspirasi b. Penurunan pertukaran udara per menit c. Menggunakan otot pernafasan tambahan d. Orthopnea e. Pernafasan pursed-lip f. Tahap ekspirasi berlangsung sangat lama g. Penurunan kapasitas vital h. Respirasi: < 11 – 24 x /mnt
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 15menit pasien menunjukkan keefektifan pola nafas, dibuktikan dengan kriteria hasil: a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dg mudah, tidakada pursed lips) b. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal) c. Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan)
NIC: 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi 2. Pasang mayo bila perlu 3. Lakukan fisioterapi dada jika perlu 4. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction 5. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan 6. Berikan bronkodilator : 7. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab 8. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan. 9. Monitor respirasi dan status O2 10. Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea 11. Pertahankan jalan nafas yang paten 12. Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi 13. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi 14. Monitor vital sign 15. Informasikan pada pasien dan keluarga tentang tehnik relaksasi untuk memperbaiki pola nafas. 16. Ajarkan bagaimana batuk efektif 17. Monitor pola nafas
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi Nyeri berhubungan dengan: Agen injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis), kerusakan jaringan DS: a. Laporan secara verbal DO: a. Posisi untuk menahan nyeri b. Tingkah laku berhati-hati c. Gangguan tidur (mata sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai) d. Terfokus pada diri sendiri e. Fokus menyempit (penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan) f. Tingkah laku distraksi, contoh : jalan-jalan, menemui orang lain dan/atau aktivitas, aktivitas berulang-ulang) g. Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan dilatasi pupil) h. Perubahan autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku) i. Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah) j. Perubahan dalam nafsu makan dan minum
Rencana keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Setelah dilakukan tinfakan keperawatan selama 2 x 24 Pasien tidak mengalami nyeri, dengan kriteria hasil: a. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri c. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) d. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang e. Tanda vital dalam rentang normal f. Tidak mengalami gangguan tidur
Intervensi NIC : 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi 2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan 3. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan 4. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan 5. Kurangi faktor presipitasi nyeri 6. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi 7. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala, relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin 8. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: ……... 9. Tingkatkan istirahat 10. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur 11. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan : Eksternal : a. Hipertermia atau hipotermia b. Substansi kimia c. Kelembaban d. Faktor mekanik (misalnya : alat yang dapat menimbulkan luka, tekanan, restraint) e. Immobilitas fisik f. Radiasi g. Usia yang ekstrim h. Kelembaban kulit i. Obat-obatan Internal : a. Perubahan status metabolik b. Tonjolan tulang c. Defisit imunologi d. Berhubungan dengan dengan perkembangan e. Perubahan sensasi f. Perubahan status nutrisi (obesitas, kekurusan) g. Perubahan status cairan h. Perubahan pigmentasi i. Perubahan sirkulasi j. Perubahan turgor (elastisitas kulit)
Rencana keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil NOC : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama….. kerusakan integritas kulit pasien teratasi dengan kriteria hasil: a. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur, hidrasi, pigmentasi) b. Tidak ada luka/lesi pada kulit c. Perfusi jaringan baik d. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya sedera berulang e. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami f. Menunjukkan terjadinya proses penyembuhan luka
DO: Gangguan pada bagian tubuh Kerusakan lapisa kulit (dermis) Gangguan permukaan kulit (epidermis)
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan untuk memasukkan atau mencerna nutrisi oleh karena faktor biologis, psikologis atau ekonomi. DS: a. Nyeri abdomen b. Muntah c. Kejang perut d. Rasa penuh tiba-tiba setelah makan
Rencana keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil NOC: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. nutrisi kurang teratasi dengan indikator: a. Albumin serum b. Pre albumin serum c. Hematokrit d. Hemoglobin e. Total iron binding capacity f. Jumlah limfosit
Intervensi NIC : Pressure Management 1. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar 2. Hindari kerutan pada tempat tidur 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering 4. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali 5. Monitor kulit akan adanya kemerahan 6. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan 7. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien 8. Monitor status nutrisi pasien 9. Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat 10. Kaji lingkungan dan peralatan yang menyebabkan tekanan 11. Observasi luka : lokasi, dimensi, kedalaman luka, karakteristik,warna cairan, granulasi, jaringan nekrotik, tanda-tanda infeksi lokal, formasi traktus 12. Ajarkan pada keluarga tentang luka dan perawatan luka 13. Kolaburasi ahli gizi pemberian diae TKTP, vitamin 14. Cegah kontaminasi feses dan urin 15. Lakukan tehnik perawatan luka dengan steril 16. Berikan posisi yang mengurangi tekanan pada luka
Intervensi 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4.
Kaji adanya alergi makanan Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian. Monitor adanya penurunan BB dan gula darah Monitor lingkungan selama makan Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan Monitor turgor kulit
DO: a. Diare b. Rontok rambut yang berlebih c. Kurang nafsu makan d. Bising usus berlebih e. Konjungtiva pucat f. Denyut nadi lemah
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan : a. Gangguan metabolisme sel b. Keterlembatan perkembangan c. Pengobatan d. Kurang support lingkungan e. Keterbatasan ketahan kardiovaskuler f. Kehilangan integritas struktur tulang g. Terapi pembatasan gerak h. Kurang pengetahuan tentang kegunaan pergerakan fisik i. Indeks massa tubuh diatas 75 tahun percentil sesuai dengan usia j. Kerusakan persepsi sensori k. Tidak nyaman, nyeri l. Kerusakan muskuloskeletal dan neuromuskuler m. Intoleransi aktivitas/penurunan kekuatan dan stamina n. Depresi mood atau cemas o. Kerusakan kognitif p. Penurunan kekuatan otot, kontrol dan atau masa q. Keengganan untuk memulai gerak
Rencana keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil NOC : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama….gangguan mobilitas fisik teratasi dengan kriteria hasil: a. Klien meningkat dalam aktivitas fisik b. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas c. Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah d. Memperagakan penggunaan alat Bantu untuk mobilisasi (walker)
Monitor kekeringan, rambut kusam, total protein, Hb dan kadar Ht Monitor mual dan muntah Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva Monitor intake nuntrisi Informasikan pada klien dan keluarga tentang manfaat nutrisi Kolaborasi dengan dokter tentang kebutuhan suplemen makanan seperti NGT/ TPN sehingga intake cairan yang adekuat dapat dipertahankan. Atur posisi semi fowler atau fowler tinggi selama makan Kelola pemberan anti emetik:..... Anjurkan banyak minum Pertahankan terapi IV line Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oval
Intervensi NIC : Exercise therapy : ambulation 1. Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan 2. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan 3. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera 4. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi 5. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi 6. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan 7. Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs ps. 8. Berikan alat Bantu jika klien memerlukan. 9. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan
r. Gaya hidup yang menetap, tidak digunakan, deconditioning s. Malnutrisi selektif atau umum DO: a. Penurunan waktu reaksi b. Kesulitan merubah posisi c. Perubahan gerakan (penurunan untuk berjalan, kecepatan, kesulitan memulai langkah pendek) d. Keterbatasan motorik kasar dan halus e. Keterbatasan ROM f. Gerakan disertai nafas pendek atau tremor g. Ketidak stabilan posisi selama melakukan ADL h. Gerakan sangat lambat dan tidak terkoordinasi
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi Risiko infeksi Berhubunngan dengan : a. Prosedur Infasif b. Kerusakan jaringan dan peningkatan paparan lingkungan c. Malnutrisi d. Peningkatan paparan lingkungan patogen e. Imonusupresi f. Tidak adekuat pertahanan sekunder (penurunan Hb, Leukopenia, penekanan respon inflamasi) g. Penyakit kronik h. Imunosupresi i. Malnutrisi j. Pertahan primer tidak adekuat (kerusakan kulit, trauma jaringan, gangguan peristaltik)
Rencana keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil NOC : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama…… pasien tidak mengalami infeksi dengan kriteria hasil: a. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi b. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi c. Jumlah leukosit dalam batas normal d. Menunjukkan perilaku hidup sehat e. Status imun, gastrointestinal, genitourinaria dalam batas normal
Intervensi NIC : 1. Pertahankan teknik aseptif 2. Batasi pengunjung bila perlu 3. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan 4. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung 5. Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai dengan petunjuk umum 6. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing 7. Tingkatkan intake nutrisi 8. Berikan terapi antibiotik:................................. 9. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal 10. Pertahankan teknik isolasi k/p 11. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase 12. Monitor adanya luka 13. Dorong masukan cairan 14. Dorong istirahat 15. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
16. Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4 jam
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi Gangguan body image berhubungan dengan biofisika (penyakit kronis), kognitif/persepsi (nyeri kronis), kultural/spiritual, penyakit, krisis situasional, trauma/injury, pengobatan (pembedahan, kemoterapi, radiasi) DS: a. Depersonalisasi bagian tubuh b. Perasaan negatif tentang tubuh c. Secara verbal menyatakan perubahan gaya hidup DO : a. Perubahan aktual struktur dan fungsi tubuh b. Kehilangan bagian tubuh c. Bagian tubuh tidak berfungsi
Rencana keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil NOC: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. gangguan body image pasien teratasi dengan kriteria hasil: a. Body image positif b. Mampu mengidentifikasi kekuatan personal c. Mendiskripsikan secara faktual perubahan fungsi tubuh d. Mempertahankan interaksi sosial
Intervensi NIC : Body image enhancement 1. Kaji secara verbal dan nonverbal respon klien terhadap tubuhnya 2. Monitor frekuensi mengkritik dirinya 3. Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan dan prognosis penyakit 4. Dorong klien mengungkapkan perasaannya 5. Identifikasi arti pengurangan melalui pemakaian alat bantu 6. Fasilitasi kontak dengan individu lain dalam kelompok kecil
D. Emplementasi mplementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Gordon, 1994, dalam Potter & Perry, 1997). Ukuran intervensi keperawatan yang diberikan kepada klien terkait dengan dukungan, pengobatan, tindakan untuk memperbaiki kondisi, pendidikan untuk klien-keluarga, atau tindakan untuk mencegah masalah kesehatan yang muncul dikemudian hari. Untuk kesuksesan pelaksanaan implementasi keperawatan agar sesuai dengan rencana keperawatan, perawat harus mempunyai kemampuan kognitif (intelektual), kemampuan dalam hubungan interpersonal, dan keterampilan dalam melakukan tindakan. Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada kebutuhan klien, faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi implementasi keperawatan, dan kegiatan komunikasi. (Kozier et al., 1995). E. Evaluasi
Evaluasi, yaitu penilaian hasil dan proses. Penilaian hasil menentukan seberapa jauh keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran dari tindakan. Penilaian proses menentukan apakah ada kekeliruan dari setiap tahapan proses mulai dari pengkajian, diagnosa, perencanaan,
tindakan,
dan
evaluasi
itu
sendiri.
(Ali,
2009)
Evaluasi dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya dalam perencanaan, membandingkan hasil tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dan menilai efektivitas proses keperawatan mulai dari tahap pengkajian, perencanaan dan pelaksanaan. (Mubarak, dkk., 2011)
F. Pathway Kuman tubercolosa
Infeksi pada bagian pusat atau depan atau pada daerah epifisial korpus vertebralis
Hiperem
Osteoporosis atau perlunakan
Eksudat
Kerusakan pada korteks epifisis diskus intervertebralis dan vertebra
Menyebar di permukaan longitudinal anterior
Infeksi Eksudat
MK: Resiko infeksi luka operasi MK: Resiko gangguan integritas kulit
Operasi
Imobilisasi
MK: Gangguan rasa nyaman/nyeri
Menembus ligamentum dan berekperasi ke ligament yang lemah
Abses lumbal
MK: Kurang pengetahuan tentang perawatan diri MK: Gangguan mobilitas fisik MK: Gangguan body image/citra diri
Debridement
Kerusakan muskuloskeletal
Kerusakan pada struktur tubuh: Muskulus psoas dan muncul dibawah ligamentum inguinal Krista iliaka Vaskuler femoralis pada trigunus skarpe atau regior glutea
BAB IV KASUS ASUHAN KEPERAWATAN(ASKEP) 1.Pengkajian Nama
: Tn. JN
No Rm
: 01091227
Jenis Kelamin
: Laki - Laki
Umur
: 34 Tahun
Alamat
: Sikumana, Maulafa-Kupang Kodya
Agama
: Kristen Protestan
Pendidikan
: Sekolah Dasar
Pekerjaan
: Swasta
Status
: Belum Menikah
MRS
: 07 Mei 2013
Dikasuskan
: 09 Mei 2013
Dirawat Menggunakan: JAMKESMAS B. Daftar Riwayat Kesehatan RKD: Klien memiliki riwayat tuberculosis paru pada tahun 2007 dan menjalani pengobatan dengan OAT 9 bulan namun tidak tuntas (putus obat sekitar 7 atau 8 bulan). 3 tahun lalu sudah muncul pembengkakkan kelenjar getah bening hingga mengeluarkan nanah (disekitar leher). Sejak itu klien sakit-sakitan namun tidak pernah berobat ke RS sekitar 3 tahun lalu klien jatuh disekolah, dan langsung tidak dapat berjalan selama 1 tahun. Selama itu klien hanya beraktivitas dirumah dengan bantuan keluarga. Setelah itu lama kelamaan terjadi pembesaran skrotum/orchitis. Pembesaran sempat pecah dan mengeluarkan darah, namun kembali membesar dan lama kelamaan terasa nyeri. Jarak kurang lebih 3 bulan kemudian mulai muncul benjolan di tulang belakang. Pada mulanya kecil dan tidak terlalu mengganggu sehingga klien dan keluarga tidak melakukan apa-apa. berangsur-angsur tonjolan semakin besar hingga membuat tubuh klien melengkung. Meski begitu klien dan keluarga belum memeriksakannya ke dokter/RS, namun hanya meminum obat ramuan cina. RKS : klien mengatakan
kadang merasa sangat nyeri dibagian tonjolan tersebut saat digerakkan
maupun hanya disentuh, sakit bertambah ketika dibawa berjalan. Klien mengatakan rasa nyeri hampir dirasakan setiap waktu dengan skala 2-4 dan masih bisa ditahan. Pergerakan tulang belakang sangat terbatas karena terdapat gibbus di tulang belakang sekitar torakolumbar
Klien mengatakan mengalami pembesaran skrotum/orchitis Berat badan klien 47 kg dengan tinggi badan 167 cm (Klien mengalami kekurangan berat badan) RKK : Tidak terkaji C. Pengkajian Pola Gordon a. persepsi kesehatan dan manajemen kesehatan Klien memiliki riwayat tuberculosis paru pada tahun 2007 dan menjalani pengobatan dengan OAT 9 bulan namun tidak tuntas (putus obat sekitar 7 atau 8 bulan). sekitar 3 tahun lalu sudah muncul pembengkakkan kelenjar getah bening hingga mengeluarkan nanah (disekitar leher). Sejak itu klien sakit-sakitan namun tidak pernah berobat ke RS. sekitar 3 tahun lalu klien jatuh disekolah, dan langsung tidak dapat berjalan selama 1 tahun. Selama itu klien hanya beraktivitas dirumah dengan bantuan keluarga. Setelah itu lama kelamaan terjadi pembesaran skrotum/orchitis. Pembesaran sempat pecah dan mengeluarkan darah, namun kembali membesar dan lama kelamaan terasa nyeri. Jarak kurang lebih 3 bulan kemudian mulai muncul benjolan di tulang belakang. Pada mulanya kecil dan tidak terlalu mengganggu sehingga klien dan keluarga tidak melakukan apa-apa. berangsur-angsur tonjolan semakin besar hingga membuat tubuh klien melengkung. Meski begitu klien dan keluarga belum memeriksakannya ke dokter/RS, namun hanya meminum obat ramuan cina. Hingga akhirnya klien merasa sangat nyeri dibagian tonjolan tersebut saat digerakkan maupun hanya disentuh, sakit bertambah ketika dibawa berjalan. Rasa nyeri hampir dirasakn setiap waktu. Klien memiliki riwayat merokok sejak kelas 2 SMP hingga 2 SMA. b. Nutrisi dan Metabolic Klien mampu makan sendiri sesuai dengan porsi yang diberikan diruangan klien tidak ada gangguan muntah dan mual serta tidak memiliki alergi terhadap makanan tertentu klien makan 3x per hari
berat badan klien 47 kg dengan tinggi badan 167 cm. (termasuk golongan berat badan kurang) c. Eliminasi Klien mengatakan defekasi 1x sehari Klien mengatakan tidak sakit, tidak berdarah saat defekasi. klien hanya sesekali mengeluhkan nyeri saat buang air kecil karena klien mengalami pembesaran testis akibat infeksi sekunder dari TB. klien mengatakan biasanya BAK >5x sehari d. Aktivitas dan latihan klien cukup mandiri dalam beraktivitas dengan keadaan tulang yang mengalami skoliosis dan kifosis, namun aktivitas klien lebih banyak dihabiskan dengan duduk di kursi atau tempat tidur karena klien tidak terlalu kuat untuk berdiri lama klien sering merasa kesemutaan pada kedua ekstremitas bawah Pergerakan tulang belakang sangat terbatas karena terdapat gibbus di tulang belakang sekitar torakolumbar Berdasarkan pemeriksaan langsung, kekuatan otot klien normal dan mampu bergerak maksimal klien mampu berjalan-jalan dan tidak menggunakan alat bantu klien mengatakan merasakan nyeri hampir setiap waktu dengan skala 2-4 dan masih bisa ditahan. e. Istirahat dan tidur Klien tidak mengalami masalah kesulitan tidur posisi tidur tidak mampu telentang sepenuhnya, biasanya punggung harus disangga oleh bantal klien tidur dengan posisi miring atau duduk. f. Kognitif dan Perceptual klien menunjukkan status mental/tingkat kesadaran composmentis (CM). reaksi pupil baik klien tidak memakai alat bantu pendengaran ataupun penglihatan g. Persepsi diri dan Konsep diri klien mampu dalam beradaptasi dan sangat menerima kondisinya Klien mengatakan memikirkan penyakit yang dideritanya namun cukup mampu mengatasi emosinya
klien mengatakan cemas dengan tindakan operasi yang akan dilakukan karena merupakan pertama kali bagi klien h. Peran dan hubungan Klien tidak melanjutkan pendidikan semenjak sakit Klien anak pertama dari empat bersaudara. Klien berhubungan baik dengan orang tua dan saudara nya terlihat dari setiap keluarga menjaga klien dengan cara bergantian Klien cukup kooperatif dengan perawat, klien saling mengenal dan bercengkrama dengan sesama pasien satu ruangan. i. seksual dan reproduksi Klien seorang laki – laki dan belum menikah Klien mengalami pembesaran skrotum/orchitis (infeksi sekunder TB yang metastase hingga ke saluran reproduksi). j. Koping dan toleransi stress klien mampu dalam beradaptasi dan sangat menerima kondisinya Klien mengatakan memikirkan penyakit yang dideritanya namun cukup mampu mengatasi emosinya k. Nilai dan kepercayaan Klien beragama islam ibu klien mengatakan klien adalah seorang yang taat beribadah D. Pemeriksaan penunjang Berdasarkan hasil laboratorium, pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis dan LED meningkat hingga 100mm dan globulin mencapai 4,10gr/dl, albumin cenderung rendah (nilai albumin 3,30 gr/dl), klien mengalami anemia karena Hb hanya berkisar 9-10g/dl. Berdasarkan pemeriksaan hematologi klien didiagnosis mengalami anemia mikrositik hipokrom. Pada pemeriksaan MRI di tunjukkan gibbus sudah sampai menekan sumsum tulang belakang, dimana salah satu fungsi nya adalah produksi sel darah merah 2.Analisa data
No
Data DS: Klien mengatakan terasa nyeri pada pinggang sampai ke kaki bagian bawah Klien mengatakan tidak dapat berjalan jauh. DO: Wajah menyeriangai menahan nyeri Fraktur kompresi VL3 disertai penyempitan foramen intervertebralis VL2-3 menyokong gambaran spondilitis. CT scan lumbal tampak kelengkungan vertebra lumbalis melurus Lesi tuberkulosis pada apeks paru, dan lobus bawah tidak terlihat gambaran gibus di thorakal .
DS: Klien mengatakan “saya hanya diperbolehkan tidur, belum boleh duduk atau berdiri setelah operasi”
Masalah Keperawatan Nyeri
Etiologi
Fraktur kompresi VL3 adanya swelling
Nafas
Mobilitas fisik
Kerusakan muskuloskeletal
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Kurang asupan nutrisi
DO: Klien tirah baring dan miring kanan, kiri Rentang gerak: aktif-pasif sesuai toleransi Terdapat luka operasi di sepanjang vertebrae thorakal-lumbal DS: Klien mengatakan “makan dari rumah sakit habis ¼ porsi tiap kali makan, ditambah buah beberapa iris, namun sering mual dan muntah setelah makan dan minum obat” DO: Nafsu makan menurun Mual muntah setiap habis makan BB: 42 Kg; TB 157 cm Wajah tampak pucat dan klien tampak lemah.
Bibir kering Tidur Cemas DS: Klien mengatakan “saya kuatir tidak bisa kuliah dengan sakit saya karena harus memakai alat bantu”
Citra tubuh
Gangguan struktur tubuh
Kurang pengetahuan
Kurang informasi perawatan
DO: Status emosi tenang, namun terlihat cemas saat ditanya Klien banyak bertanya tentang kesembuhan penyakit dan alat bantu yang dipakai nanti. DS: Klien mengatakan “saya kuatir tidak bisa kuliah dengan sakit saya karena harus memakai alat bantu” DO: Klien sering bertanya tentang kesembuhan penyakitnya dan kuatir tentang alat bantu yang dia pakai nanti akan mengganggu aktifitasnya dan penampilannya.
3.Diagnosa Keperawatan a. Nyeri kronik b.d Ketidakmampuan fisik secara terus menerus b. Resiko cidera b.d keterbatasan gerak dan anemia c. Hambatan mobilitas Fisik 4. Asuhan Keperawatan Spondilitis TB No. NANDA NOC 1. Nyeri b.d Ketidakmampuan 1. fisik secara terus menerus Gambaran Karakteristik:
NIC Kontrol 1. Managemen nyeri
nyeri
Defenisi :
Definisi:
Pengurangan rasa nyeri
Perilaku
serta
peningkatan
Menggunakan simbol ( seperti seseorang untuk kenyamanan yang bisa menggunakan skala nyeri)
mengontrol
diterima oleh pasien
Mengubah kemampuan untuk nyeri. melanjutkan aktivitas terdahulu. Setelah Melaporkan nyeri
Aktivitas:
dilakukan
Lakukan
tindakan
nyeri
keperawatan
komprehensif
penilaian secara dimulai
selama …x 24 dari
lokasi,
jam,daya
tahan karakteristik,
durasi,
pasien
akan frekuensi,
kualitas,
meningkat
intensitas
dan
dengan
penyebab.
indikator:
Gunakan komunikasi yang terapeutik agar
Dapat pasien
dapat
mengontrol
menyatakan
nyeri.
pengalamannya Gunakan terhadap
catatan nyeri
nyeri
serta
dukungan
dalam
Melaporkan merespon nyeri
tanda/gejala nyeri
Tentukan
pada nyeri
terhadap
tenaga kesehatan kehidupan Melaporkan (tidur,
dampak
bila
sehari-hari
nafsu
nyeri aktivitas,
terkontrol
makan,
kesadaran,
mood, hubungan sosial,
Penggunaan performance kerja dan
non
analgesic melakukan
untuk mengurangi
tanggung
jawab sehari-hari) Bantu
pasien
dan
nyeri.
keluarga mencari dan
menyediakan
dukungan.
Gunakan
metoda
penilaian
yang
berkembang memonitor
untuk perubahan
nyeri
serta
mengidentifikasi faktor aktual dalam
dan
potensial
mempercepat
penyembuhan
Tentukan
tingkat
kebutuhan pasien yang dapat
memberikan
kenyamanan pasien
pada
dan
rencana
keperawatan
Menyediakan
informasi tentang nyeri, contohnya nyeri,
penyebab bagaimana
kejadiannya, mengantisipasi ketidaknyamanan terhadap prosedur
Kontrol
faktor
lingkungan yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien (suhu ruangan, pencahayaan, keributan)
Ajari
untuk
menggunakan
tehnik
non-farmakologi biofeddback, hypnosis,
(spt: TENS,
relaksasi,
terapi musik, distraksi, terapi acupressure,
bermain, apikasi
hangat/dingin, pijatan
)
sesudah
dan sebelum,
dan
jika
memungkinkan, selama puncak nyeri , sebelum nyeri
terjadi
atau
meningkat, sepanjang
dan nyeri
itu
masih terukur.
Pastikan
pasien
mendapatkan perawatan
dengan
analgesic 2.Administrasi Analgesik. Defenisi : Penggunaan
agen
farmakologi
untuk
menghentikan
atau
mengurangi nyeri. Aktivitas :
tentukan
lokasi,
karakteristik, kualitas, dan
derajat
sebelum
nyeri
pemberian
obat cek instruksi dokter
tentang
jenis
obat,
dosis dan frekuensi cek riwayat alergi pilih analgetik yang diperlukan
atau
kombinasi
dari
analgetik
ketika
pemberian lebih dari satu monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian
analgetik
pertama kali berikan analgetik tepat waktu
terutama
saat
nyeri hebat
evaluasi
analgetik,
efektifitas tanda
dan
gejala (efek samping) mengelola analgesic sekitar
jam
untuk
mencegah puncak dan melalui
analgesia,
terutama dengan sakit parah
Mengevaluasi
efektivitas pada
analgesic
interval
yang
sering
rutin
setiap
setelah
administrasi,
tetapi terutama setelah dosis
awal,
mengamati
juga untuk
tanda-tanda dan gejala efek
tak
diinginkan
(misalnya,
depresi
pernapasan, mual dan muntah, mulut kering, dan sembelit) 2.
Resiko Cidera
Perilaku
Pencegahan
Faktor resiko:
pencegahan
Jatuh
Darah
jatuh yang Definisi:
Pasien
Definisi: Tindakan
pencegahan
abnormal
Tindakan pasien khusus untuk pasien
(leukositosis
atau
keluarga dengan
atau leukopenia, untuk perubahan faktor meminimalkan penggumpalan
faktor
darah,
jatuh
trombosiopenia,
lingkungan.
resiko
luka
karena terjatuh. Aktivitas:
resiko Identifikasi kelemahan di kognitif
sel
berbentuk Setelah bulan sabit, dilakukan
pasien
atau yang
fisik dapat
meningkatkan kemungkinan
jatuh
thalasemia,
tindakan
pada
menurunnya
keperawatan
tertentu
kadar
selama …x 24 Identifikasi perilaku
hemoglobin)
jam,daya
lingkungan
tahan dan faktor – faktor
pasien akan yang beresiko (desain, meningkat menyebabkan jatuh struktur, dan dengan Kaji pengalaman jatuh penataan indikator: bersama pasien dan komunitas, Menggunakan keluarga bangunan, dan handrail jika Identifikasi /perlengkapan) dibutuhkan karakteristik Biologis Sediakan lingkungan yang dapat ( tingkat bantuan menigkatkan imunisasi Penggunaan kemungkinan jatuh komunitas, alat bantu (seperti lantai yang mikroorganisme dengan benar licin) ) Kontrol Monitor cara berjalan, Fisik
Penyakit imun / autoimun
kelemahan
keseimbangan,
dan
tingkat kelelahan klien saat berjalan Latih pasien untuk beradaptasi
dengan
perubahan cara berjalan Kunci roda pada kursi roda atau tempat tidur saat
akan
memindahkan pasien Monitor kemampuan berpindah pasien dari tempat tidur ke kursi Gunakan
pembatas
pada sisi tempat tidur
untuk mencegah pasien jatuh dari tempat tidur, jika diperlukan
Sediakan
alat
pemanggil bagi pasien yang bantuan
memerlukan (seperti
bel
atau cahaya lampu) jika perawat sedang tidak berada di dekat pasien Bantu pasien mencari kegiatan untuk
yang
aman
menghabiskan
waktu luang
Pasang tanda untuk memberi tahu staf lain bahwa pasien beresiko tinggi terjatuh
BAB V PEMBAHSAN KASUS
Pada bab ini penulis membahas diagnosa yang tidak muncul pada Tn.H di mana asuhan keperawatan di laksanakan pada tanggal 13 januari 2014 A. Diagnosa yang muncul a. Nyeri b.d Ketidakmampuan fisik secara terus menerus b. Resiko cidera b.d keterbatasan gerak dan anemia c. Hambatan mobilitas Fisik
B.
Dagnosa yang tidak muncul
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan perusakan/pelemahan muskuloskeletal kelelahan otot pernafasan, disfungsi neuromuskuler. : Pada diagnosa pola nafas tidak efektis penulis tidak tegakan karena pada data subjektif dan objektif pasien tidak mengalami sulit bernapas 2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan hipertermia, faktor mekanik (tekanan) immobilitas fisik: pada diagnosa ini penulis tidak tegakan kerena pasien tidak mengalami hipertermi 3.Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan membrane mukosa mulut.: pada diagnosa ini pasien tidak mengalami penurunan nafsu makan.
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan Tuberculosis tulang belakang atau di kenal juga dengan Spondilitis tuberculosis merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronis destruktif oleh mycobacterium tuberculosis. Tuberculosis tulang belakang selalu merupakan infeksi sekunder dari fokus di tempat lain dalam tubuh.Spondilitis tuberculosa terutama di temukan pada kelompok usia 2-10 tahun dengan perbandingan yang hampir sama antara pria dan wanita. Lokasi spondilitis tuberculosa terutama pada daerah vertebra thorakalis bawah dan vertebra lumbalis atas. Penatalaksanaan tuberculosis tulang belakang harus di lakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresifitas penyakit serta mencegah paraplegia di mana terdiri dari therapi konservatif dan therapi operatif. B. Saran 1. Bagi penderita Tuberculosis tulang mengikuti program pengobatan sesuai dengan anjuran petugas kesehatan sehingga dapat menghindari terjadinya komplikasi yang dapat memperburuk keadaan, turut serta dalam aktivitas dan latihan yang meningkatkan atau mempertahankan mobilitas. 2. Bagi Mahasiswa/i keperawatan agar mampu memahami Konsep dasar teori dan Konsep dasar asuhan keperawatan pada klien dengan Tuberculosis tulang sehingga dalam pelayanan keperawatan di masyarakat sesuai dengan kondisi dan permasalahannya.
DAFTAR PUSTAKA
Syaifuddin.2014.Anatomi dan Fisiologi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa
Keperawatan. Jakarta:EGC.
Wijaya, Andra Saferi dan Yessie Mariza Putri.2013.KMB 2 Keperawatan
Medikal
Bedah
(Keperawatan
Dewasa).Yogyakarta:Nuha Medikal.
Nanda. (2012) Nursing Diagnoses: Definitions and Classification (NANDA) 2012-2014. Willey-Blackwell.
Bulechek,Gloria M.. (et al.).2015. Nursing Intervention Classification (NIC) 6th edition. Elsevier.