Vivi Nurchalina Z - Makalah Kebutuhan Khusus Pada Permasalahan Psikologis Pada Perempuan Dengan Kondisi Rentan [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Di La
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH ASUHAN KEBIDANAN PEREMPUAN DAN ANAK DENGAN KONDISI RENTAN KEBUTUHAN KHUSUS PADA PERMASALAHAN PSIKOLOGIS PADA PEREMPUAN DENGAN KONDISI RENTAN



Oleh : Vivi Nurchalina



Dosen Pengampu: Uli Rosita Hutagaol, SST.M.Biomed



PROGRAM STUDI ALIH JENJANG KEBIDANAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MERANGIN BANGKO 2022



KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur peneliti ucapkan atas kehadirat ALLAH SWT, yang selalu memberikan rahmat dan karunianya sehingga saya dapat menyelesaikan Makalah Asuhan Kebidanan Pada Perempuan dan Anak Dengan Kondisi Rentan denga judul “Kebutuhan Khusus Pada Permasalahan Psikologis pada Perempuan dengan Kondisi Rentan”. Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang sudah memberikan semangat dan doa kepada peneliti dalam menghadapi setiap tantangan, sehingga pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada Ibu Uli Rosita Hutagaol, SST.M.Biomed selaku dosen pengampu dalam matakuliah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, dan untuk itu, kritik dan saran dari pembaca sangat peneliti nantikan. Mudah-mudahan makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca. Bangko, 22 April 2022 Penulis



Vivi Nurchalina. Z



ii



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR............................................................................................ii DAFTAR ISI..........................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4 A. Latar Belakang................................................................................................4 B. Tujuan.............................................................................................................4 C. Manfaat...........................................................................................................5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................6 A. Kehamilan Akibat Pemerkosaan.....................................................................6 B. Kebutuhan Khusus Ibu dengan Kondisi Kehamilan Akibat Pemerkosaan.....8 C. KDRT..............................................................................................................9 D. Kebutuhan Khusus Ibu dengan Kondisi KDRT............................................10 E. Trauma Persalinan Sebelumnya....................................................................11 F. Kebutuhan Khusus Ibu dengan Kondisi Trauma Persalinan Sebelumnya....12 G. Kelainan Mental atau Jiwa............................................................................14 H. Kebutuhan Khusus Ibu dengan Kondisi Kelainan Mental atau Jiwa............14 I.



Riwayat Kehilangan dan Kematian (Grive And Breaviemnt........................16



J.



Kebutuhan Khusus Ibu dengan Kondisi Riwayat Kehilangan dan Kematian (Grive And Breaviemnt)...............................................................17



BAB III PENUTUP..............................................................................................20 A. Kesimpulan...................................................................................................20 B. Saran..............................................................................................................20 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................21



3



BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Asuhan kebidanan berkelanjutan (Continuity Of Care) yaitu pemberian asuhan kebidanan sejak kehamilan, bersalin, nifas dan neonatus hingga memutuskan menggunakan alat kontrasepsi dengan tujuan sebagai upaya untuk membantu memantau dan mendeteksi adanya kemungkinan timbulnya komplikasi yang menyertai ibu dan bayi dari masa kehamilan sampai ibu menggunakan alat kontrasepsi. Asuhan Continuity of Care (COC) merupakan asuhan secara berkesinambungan dari hamil sampai dengan Keluarga Berencana sebagai upaya penurunan AKI & AKB. Kematian ibu dan bayi merupakan ukuran terpenting dalam menilai indikator keberhasilan pelayananan kesehatan di Indonesia, namun pada kenyataannya ada juga persalinan yang mengalami komplikasi sehingga mengakibatkan kematian ibu dan bayi. Angka kematian ibu (AKI) adalah jumlah kematian selama kehamilan atau dalam periode 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, akibat semua sebab yang terkait dengan atau diperberat oleh kehamilan atau penanganannya, tetapi bukan disebabkan oleh kecelakaan atau cedera. Angka kematian Bayi (AKB) adalah angka probabilitas untuk meninggal di umur antara lahir dan 1 tahun dalam 1000 kelahiran hidup. Menurut World Health Organization (WHO) di dunia pada tahun 2016 Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar 527.000 jiwa. Sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB) di dunia sebesar 10.000.000 jiwa (WHO,2016). Di Indonesia pada bulan Januari sampai September 2016 Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar 401 per 100.000 jiwa. berdasarkan hasil Sementara Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2016 Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia mencapai 26 per 1000 kelahiran hidup. B. Tujuan 1.



Tujuan umum Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui kebutuhan khusus dan psikologis ibu dengan kondisi: Kehamilan akibat pemerkosaan, KDRT, Trauma Persalinan sebelumnya, Kelainan Mental atau jiwa, dan Riwayat kehilangan dan kematian (grive and breaviemnt)



4



2.



Tujuan khusus Tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah untuk memahami pentingnya penampingan ibu dengan kondisi: Kehamilan akibat pemerkosaan, KDRT, Trauma Persalinan sebelumnya, Kelainan Mental atau jiwa, dan Riwayat kehilangan dan kematian (grive and breaviemnt).



C. Manfaat 1.



Bagi institusi pendidikan Penulisan makalah ini dapat membekali mahasiswa kemampuan melakukan penelitian mengenai pentingnya penampingan ibu dengan kondisi: Kehamilan akibat pemerkosaan, KDRT, Trauma Persalinan sebelumnya, Kelainan Mental atau jiwa, dan Riwayat kehilangan dan kematian (grive and breaviemnt).



2.



Bagi penulis



a.



Menambah pengetahuan bagi peneliti tentang jenis dan kondisi ibu dengan kondisi rentan.



b.



Memperoleh pengalaman dalam melakukan penelitian.



5



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kehamilan Akibat Pemerkosaan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa kata pemerkosaan berasal dari kata dasar perkosa yang berarti paksa, kekerasan, gagah, kuat, perkasa. Memperkosa berarti menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, meggagahi. Dalam kamus lain kata perkosaan diartikan dengan gagah, kuat, paksa, kekerasan, dengan paksa, dengan kekerasan, menggagahi, memaksa dengan kekerasan. Sedang kata perkosaan berarti perbuatan memperkosa, penggagahan, paksaan, pelanggaran dengan kekerasan. unsur-unsur dalam pemerkosaan antara lain: 1. Perbuatannya memaksa 2. Caranya dengan kekerasan/ancaman kekerasan; 3. Objeknya seorang perempuan bukan istrinya; 4. Bersetubuh dengan dia. Berdasarkan rumusan Pasal 248 UUD 1945, dapat diambil kesimpulan antara lain: 1. Korban perkosaan harus seorang wanita bukan istrinya, tanpa batasan umur. 2. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Hal ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan pelaku. Persetubuhan di luar perkawinan adalah tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap wanita tersebut. Cara-cara memaksa di sini terbatas dengan dua cara, yaitu kekerasan (geweld) dan ancaman kekerasan (bedreiging met geweld). Ada dua fungsi kekerasan dalam hubungannya dengan tindak pidana yang bersangkutan, yaitu sebagai berikut: 1. Kekerasan yang berupa cara melakukan suatu suatu perbuatan. Kekerasan disini memerlukan syarat akibat ketidakberdayaan korban. Ada causal verband antara kekerasan dengan ketidakberdayaan korban. Dalam kasus perkosaan, kekerasan yang digunakan sebagai cara dari memaksa bersetubuh.



6



2. Kekerasan yang berupa perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana, bukan merupakan upaya awal dari terwujudnya perbuatan tindak pidana. Perkosaan dapat digolongkan dalam berbagai jenis, yaitu : a. Sadistic Rape Perkosaan sadistis, artinya pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban. b. Anger Rape Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas yangmenjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan rasageram dan marah yang tertahan. Tubuh korban disini seakan akan merupakan obyek terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas frustasi-frustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya. c. Domination Rape Yaitu suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencobauntuk gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban.Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan berhubungan seksual. d. Seductive Rape Suatu perkosaan yang terjadi pada situasisituasi yang merangsang yang tercipta oleh kedua belah pihak. Padamulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh persenggamaan. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tidak mempunyai perasaan bersalah yangmenyangkut seks. e. Victim Precipitated Rape Yaitu perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya. f. Exploitation Rape Perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleholeh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi perempuan yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial. 7



Misalnya istri yang diperkosa oleh suaminya atau pembantu rumah tangga yang diperkosa oleh majikannya, sedangkan pembantunya tidak mempersoalkan atau mengadukan kasusnya ini kepada pihak yang berwajib B. Kebutuhan Khusus Ibu dengan Kondisi Kehamilan Akibat Pemerkosaan Hal terpenting dalam mengidentifikasi bahwa seuatu tindakan seksual adalah perkosaan yaitu apabila terdapat unsur kekerasan terhadap korban (perempuan) berupa kekerasan fisik, kekerasan fisik yang dimanipulasi oleh pelaku (dianggap sebagai pengungkapan cinta kasih). Tindak perkosaan selalu menginginkan bukti, meskipun peristiwanya berlangsung dalam rumah dan tidak ada saksi kecuali korban itu sendiri. Visum et Repertum (VER) adalah laporan hasil pemeriksaan dokter terhadap seorang korban. VER pada kasus perkosaan merupakan alat bukti untuk membuktikan ada tidaknya persetubuhan dan kekerasan yang dilakukan (pelaku) terhadap korban. Secara fisik, perkosaan dapat menimbulkan rasa sakit pada perempuan korban perkosaan apalagi kalau perkosaan itu dilakukan secara berulang-ulang dan dalam jangka waktu yang lama. Selain kekerasan fisik, perempuan korban dari perkosaan dapat pula mengalami komplikasi lain dari perkosaan berupa penyakit kelamin atau kehamilan yang tidak dikehendakinya Dampak yang paling merugikan korban perkosaan adalah terjadinya kehamilan yang tidak dikehendaki. Kehamilan yang dialami korban sangatlah bertentangan dengan hakhak reproduksi. Kehamilan tersebut akan membawa dampak negatif yakni mengalami penderitaan secara fisik, mental dan sosial. Korban mengalami trauma psikologis dan merasa tidak berharga lagi dimata masyarakat. Hal ini dapat mendorong korban untuk melakukan aborsi ilegal yang bisa membahayakan nyawa korban itu sendiri, yakni melalui cara-cara diluar medis, oleh tenaga non-medis yang tidak kompeten dan pada usia kandungan yang tidak memenuhi syarat medis. Burgess/Holmstrom membagi sindrom pasca perkosaan dalam 2 (dua) tahap: fase akut, dimana korban secara terbuka memperlihatkan emosinya yang terganggu atau menyembunyikan penderitaannya dengan tabah dan tenang. Gejala-gejala dalam periode awal adalah rasa sakit, mual, kurang nafsu makandan gangguan tidur. Jika untuk mencegah kehamilan dia harus menelan“morning-after pill”, dia juga harus menanggung sakit karena akibat itu. Kalau ternyata dia ketularan penyakit kelamin, maka perawatannya akanselalu mengingatkan dia akan musibah yang telah 8



dialaminya. Dalam fase selanjutnya, korban sering mimpi buruk dan menderita depresi yang dalam Pertimbangan sosial dan psikologis bahkan medis,dari terjadinya perkosaan itu, tidak terlepas dari kewajiban memberikan perlindungan kepada para korban perkosaan dari masyarakat, karena bagaimanapun juga, akibat medis-sosial psikologis perbuatan yang kejiitu akan harus ditanggung oleh korban perkosaan itu (bahkan juga olehkeluarganya) kadangkadang sampai akhir hayatnya. Berikut ini beberapa akibat perkosaan yang timbul pada korban: a. Perempuan korban dapat menjadi hamil. Akibatnya, ia akan melahirkan seorang anak yang mungkin sekali sangat dibencinya; bukan karena anak itu melakukan sesuatu terhadapnya, tetapi karena ayahnya selain merusaktubuhnya juga merusak masa depannya. Dengan demikian perkosaan itu bahkan dapat merusak dua generasi, yaitu korban perkosaan dan anaknya yang tidak berdosa, karena status hukumnya ialah anak yang tidak sah dan ibu yang tidak sah. b. Apabila korban tidak sampai hamil, korban pasti kehilangan keperawanannya atau secara moril, kehilangan martabatnya sebagai seorang perempuan. c. Bagaimanapun juga korban tindak pidana perkosaan selalu akan mengalami gangguan traumatis dan psikologis, yang kalau tidak dirawat dengan tepat dan penuh kasih sayang, akan menjadi proses yang berkepanjangan dan dapat merusak seluruh hidupnya. Korban merasa rendah diri dan ternoda, benci terhadap semua pria, dan takut memasuki jenjang perkawinan yang sangat mempengaruhi jalan hidupnya sehingga ia jauh dari kebahagiaan. d. korban tindak pidana perkosaanmungkin pula menjadi penderita penyakit kelamin dan bahkan terjangkit penyakit AIDS yang tentu saja sangat membahayakan kelangsungan hidupnya. C. KDRT Kekerasan adalah sesorang atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologi sesorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender. Kekerasan yang disebabkan bias gender ini di sebuat genderrelated violence.



9



Pada dasarnya kekerasan gender di sebabkan oleh ketidak setaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat.1 Undang-undang RI No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT Bab I pasal I mengenai ketentuan umum, KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Ada empat jenis kekerasan yaitu: kekerasan terbuka, kekerasan yang di lihat seperti perkelahian, kekerasan tertutup, kekerasan yang tersembunyi atau tidak dilakukan, seperti mengancam, kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu, seperti penjabalan dan kekerasan definisi, kekerasan yang dilakukan untuk perlindungan diri. D. Kebutuhan Khusus Ibu dengan Kondisi KDRT Kerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara fisik, beberapa faktor penyebab terjadinya KDRT adalah: 1) Faktor Ekonomi, 2) Faktor Perselingkuhan, 3) Faktor perbedaan pendapat yang tidak satu visi dan misi lagi dalam membangun rumah tangga yang pada akhirnya menimbulkan konflik di antara mereka sehingga terjadi pertengkaran yang berakibat pemukulan dari suami kepada isteri. Sementara itu, dampak psikologis KDRT diantaranya: merasa cemas, ketakutan, depresi, selalu waspada, terus terbayang bila melihat kasus yang mirip, sering melamun, murung, mudah menangis, sulit tidur mimpi buruk, hilangnya rasa percaya diri, untuk bertindak merasa tidak berdaya, hilangnya minat untuk merawat diri, tidak teratur pola hidup yang dijalani, menurun konsentrasi seseorang, sering melakukan perbuatan ceroboh, rendah diri dan tidak yakin dengan kemampuan yang ada, pendiam, enggan untuk ngobrol, sering mengurung diri di kamar, hilangnya keberanian dalam berpendapat dan bertindak, selalu merasa kebinggungan dan mudah lupa, sering menyakiti diri sendiri dan melakukan percobaan bunuh diri, berperilakuk berlebihan dan tidak lazim cenderung sulit mengendalikan diri, agresif, menjadi karakter yang tempramen dan emosi kasar dalam berbicara maupun bertindak Adapun secara khusus pada anak menyebabkan mundurnya fase perekembangan kembali kesebelumnya seperti tidak ada keberanian, seperti tidak mau tidur sendiri harus 10



ditemani, ngompol dan lain sebagainya, menurunnya perkembangan bahasa seperti lemah dalam berbahasa dan gangguan bicara seperti gagap serta trauma yang hebat, selalu mencari perhatian dari orang-orang dengan membuat kenakalan atau kekacauan di sekitarnya dan menurunnya prestasi anak sekolah Bicara tentang penanganan KDRT sebagaimana yang telah di tetapkan dalam Undang-undang Republik Indonesia no. 23 Tahun 2004 pada bab landasan teoritis dalam penelitian ini, tentang korban pada Bab IV tentang hak-hak korban pasal 10 korban berhak mendapatkan: perlindungan dari keluarga, kepolisian, kejaksaaan, advokasi, lembaga sosial, atau pihak lainnya sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan, pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahsiaan korban, pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada



setiap



tingkat



proses



pemeriksaan



sesuai



dengan



ketentuan



peraturan



perundangundangan, Pelayanan bimbingan rohani. Bab V tentang kewajiban pemerintah dan masyarakat pasal 13 di berbunyi untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing dapat melakukan upaya: penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian, penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani, pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah di akses oleh korban. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, kelurga, dan teman korban. E. Trauma Persalinan Sebelumnya F. Trauma kelahiran adalah kelahiran pada bayi baru lahir yang terjadi karena trauma G. kelainan akibat tindakan, cara persalinan / gangguan yang diakibatkan oleh kelainan H. fisiologik persalinan Trauma kelahiran adalah kelahiran pada bayi baru lahir yang terjadi karena



traumakelainan



akibat



tindakan,



cara



persalinan



/



gangguan



yang



diakibatkan oleh kelainan fisiologik persalinan Trauma persalinan adalah kelainan bayi baru lahir yang terjadi karena trauma lahir akibattindakan, gangguan



persalinan



yang



diakibatkan



kelainan



cara



persalinan



atau



fisiologispersalinan.Trauma lahir



adalah trauma pada bayi yang diterima dalam atau karena proses kelahiran.Istilah trauma lahir digunakan untuk menunjukkan trauma mekanik dan anoksik, baik yangdapat 11



dihindarkan



maupun



yang



tidak



dapat



dihindarkan,



yang



didapat



bayi



pada



masapersalinan dan kelahiran. Trauma dapat terjadi sebagai akibat ketrampilan



atau



perhatianmedik yang tidak pantas atau yang tidak memadai sama sekali, atau dapat terjadi meskipuntelah mendapat perawatan kebidanan yang terampil dan kompeten dan sama sekali tidak adakaitannya dengan tindakan atau sikap orang tua yang acuh tak acuh. Pembatasan trauma lahirtidak meliputi trauma akibat amniosentesis, tranfusi intrauteri, pengambilan contoh darahvena kulit kepala atau resusitasi. Trauma persalinan adalah kelainan bayi baru lahir yang terjadi karena trauma lahir akibat tindakan, cara persalinan atau gangguan persalinan yang diakibatkan kelainan fisiologis persalinan. Trauma lahir adalah trauma pada bayi yang diterima dalam atau karena proses kelahiran. Istilah trauma lahir digunakan untuk menunjukkan trauma mekanik dan anoksik, baik yang dapat dihindarkan maupun yang tidak dapat dihindarkan, yang didapat bayi pada masa persalinan dan kelahiran. Trauma dapat terjadi sebagai akibat ketrampilan atau perhatian medik yang tidak pantas atau yang tidak memadai sama sekali, atau dapat terjadi meskipun telah mendapat perawatan kebidanan yang terampil dan kompeten dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan tindakan atau sikap orang tua yang acuh tak acuh. Pembatasan trauma lahir tidak meliputi trauma akibat amniosentesis, tranfusi intrauteri, pengambilan contoh darah vena kulit kepala atau resusitasi F. Kebutuhan Khusus Ibu dengan Kondisi Trauma Persalinan Sebelumnya Proses persalinan dapat menjadi pengalaman yang mengharukan, tetapi juga tak jarang menimbulkan trauma. Trauma pasca melahirkan kerap dikaitkan dengan postpartum post-traumatic stress disorder (PTSD). PTSD adalah sebuah kondisi ketika seseorang mengalami ketakutan dan stres akibat kejadian traumatis sebelumnya, dalam hal ini persalinan. Trauma setelah melahirkan dapat terjadi pada siapa saja. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa hampir 30 persen wanita mengalami beberapa gejala trauma melahirkan. Studi lainnya menunjukkan bahwa tiga hingga tujuh persen wanita mengalami PTSD pasca melahirkan. Gejala dapat timbul segera setelah melahirkan atau muncul beberapa waktu kemudian. Ibu yang mengalami trauma setelah kelahiran anak pertama, biasanya akan merasa takut untuk memiliki anak kedua atau ketiga karena terbayang akan pengalaman buruk saat persalinan sebelumnya. Faktor Penyebab Trauma Pasca Melahirkan 12



Sebagian besar kasus trauma pasca melahirkan muncul karena kejadian traumatis saat persalinan atau pengalaman dan perasaan ibu yang penuh tekanan selama persalinan. Beberapa penyebab yang dapat mencetuskan trauma melahirkan, antara lain: 1.



Operasi sectio caesarea yang tidak direncanakan, misalnya karena kondisi gawat darurat saat bayi dalam kandungan.



2.



Penggunaan alat bantu persalinan seperti vakum atau forsep selama persalinan.



3.



Bayi yang dirawat di ruang intensif (neonatal intensive care unit/NICU) setelah lahir.



4.



Ibu yang mengalami kekerasan seksual sebelumnya.



5.



Adanya komplikasi fisik atau cedera selama kehamilan dan persalinan, misalnya perdarahan, ruptur uteri, keracunan kehamilan (preeklampsia), kejang saat kehamilan (eklampsia), robekan vagina akibat persalinan, atau gangguan jantung.



Wanita yang mengalami trauma pasca melahirkan dapat menunjukkan beberapa gejala seperti: 1.



Terbayang kejadian saat persalinan yang dianggap “mengerikan”.



2.



Menolak pergi ke rumah sakit tempat melahirkan atau menghindari bertemu dengan wanita yang baru melahirkan.



3.



Ketakutan dan kecemasan berlebihan, terutama takut akan terjadi sesuatu yang buruk pada bayi.



4.



Merasa sedih terus-menerus.



5.



Cenderung menyalahkan diri sendiri akan terjadinya kelahiran yang tidak sesuai ekspektasi.



Bila terjadi dalam jangka waktu panjang, gejala di atas dapat menjadi gangguan kesehatan mental seperti depresi, gangguan cemas, dan sebagainya. Hal tersebut tentunya dapat mengganggu kualitas hidup ibu, bahkan seluruh keluarga. gejala trauma kelahiran dapat diatasi dengan melakukan beberapa hal berikut: 1. Identifikasi Gejala Ibu dan seluruh keluarga perlu mengetahui dan mengidentifikasi gejala trauma setelah melahirkan. Informasi mengenai hal tersebut dapat diperoleh melalui konsultasi saat sebelum persalinan dan pendampingan selama persalinan hingga pasca persalinan. 2. Konsultasi dengan Dokter Ahli Kejiwaan



13



Bila ibu mengalami gejala trauma, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan ahli kejiwaan. Biasanya, dokter akan melakukan psikoterapi seperti cognitive behavioral therapy (CBT) untuk mengurangi dan mengontrol gejala trauma setelah kelahiran. 3. Rencanakan Kehamilan dengan Cermat Cara menghilangkan trauma setelah melahirkan dapat dilakukan dengan perencanaan kehamilan yang matang. Jika berencana memiliki anak kedua, ketahui risiko yang Anda miliki, komplikasi yang mungkin terjadi, dan konsultasi dengan dokter untuk mempertimbangkan banyak hal. G. Kelainan Mental atau Jiwa Kesehatan mental adalah kondisi individu yang memiliki kesadaran akan kemampuan diri, dapat menghadapi tekanan hidup, dapat hidup dengan produktif serta mampu berkontribusi dalam komunitas. Kondisi ini merupakan kondisi yang perlu dijaga di setiap siklus kehidupan, termasuk saat seorang wanita mengalami kehamilan. Masalah kesehatan mental selama kehamilan merupakan masalah kesehatan masyarakat utama yang perlu ditangani dengan serius. Word Health Organization pada tahun 2020 melaporkan bahwa berkisar 10% wanita hamil dan 15% wanita yang baru saja melahirkan mengalami masalah mental, terutama depresi. Angka kejadian di negara berkembang bahkan lebih tinggi, yaitu 15,6% selama kehamilan dan 19,8% setelah melahirkan anak. Kondisi ini melatarbelakangi pentingnya upaya untuk mencegah permasalahan mental pada saat kehamilan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan pengetahuan, pemberdayaan, self-efficacy dan self-esteem pada saat Ante Natal Care perlu dioptimalkan. Self esteem adalah penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri, menjadikan diri sendiri sebagai pusat diri dan berperan penting dalam konstruksi identitas. Studi menunjukkan bahwa self esteem pada ibu hamil menjadu predictor luaran persalinan seperti panjang badan, berat badan, skor Apgar serta kualitas hubungan antara ibu dan bayi. Self esteem yang rendah secara bermakna menjadi faktor risiko kesehatan fisik dan mental (seperti depresi). Sementara itu self efficacy yang didefinisikan sebagai keyakinan individu dalam kemampuan bawaannya untuk mencapai tujuan. H. Kebutuhan Khusus Ibu dengan Kondisi Kelainan Mental atau Jiwa



14



Penambahan anggota keluarga yang baru berarti akan bertambah kebutuhan ekonomi, padahal mungkin kondisi ekonomi belum mapan, selain itu adanya perasaan malu karena mempunyai anak yang banyak dan usia yang sudah tidak produktif untuk melahirkan tetapi terpaksa harus mempunyai anak bayi lagi dapat menimbulkan tekanan bagi orang tua terutama bagi seorang ibu Penyesuaian lain yang harus dilakukan dengan hadirnya anggota baru dalam keluarga adalah ritme kehidupan bayi yang berbeda dengan ibu, ibu harus siap bangun tengah malam untuk menyusui atau mengganti popoknya yang basah, penyesuaian baru ini menyebabkan ibu sangat tertekan. Pada awal pengalaman ibu sebagai orang tua, gangguan terhadap kehidupan rutin sehari-hari, seperti berkurangnya kebebasan yang disebabkan oleh ketidakberdayaan dan ketergantungan dari bayi serta tuntutan untuk selalu mengurus dan memperhatikan bayi akan mengakibatkan stres baik secara fisik maupun psikologis. Reaksi emosi dalam hubungannya dengan diri sendiri dan orang lain merupakan sumber munculnya depresi seperti: 1) munculnya kognisi negatif terhadap dirinya: individu merasa tidak berharga, keyakinan dirinya bahwa dia merasa tidak berharga, tidak mampu dan tidak diharapkan karena individu yang mengalami depresi ini akan menginterpretasikan kejadian negatif disebabkan kegagalannya dan ketidakmampuan dirinya 2) munculnya pandangan negatif terhadap lingkungan atau dunia luar: individu merasa bahwa semua yang buruk terjadi pada dirinya, menganggap dunia dan lingkungannya sebagai tidak peka, membuat frustrasi dan banyak menuntut, individu yang depresi akan melihat dunia secara pesimis dan sinis 3) munculnya pandangan negatif tentang masa depan: mengganggap tidak akan ada perubahan, menganggap masa depan sebagai sia-sia dan meyakini bahwa kejadian negatif akan terus terjadi, individu yang depresi percaya bahwa ia tidak berdaya dan tidak memiliki kekuatan untuk memperbaiki keadaan atau masa depannya Sepertiga dari perempuan yang pernah mengalami depresi setelah melahirkan, separuhnya mengalami depresi kembali setelah melahirkan bayi berikutnya. Faktor-faktor yang diduga sebagai pencetus munculnya sindrom depresi pasca melahirkan adalah faktor biologis (hormonal), faktor selama proses kelahiran dan faktor psikis selama hamil, faktor hubungan interpersonal termasuk hubungan dalam perkawinan, kondisi-kondisi yang 15



menimbulkan stres selama rentan kehidupan, adanya sejarah keluarga yang mengalami gangguan mental dan kepribadian dari perempuan tersebut, adanya masalah dalam hubungan keluarga, faktor latar belakang sosial perempuan yang bersangkutan, faktor dukungan sosial dari lingkungan selama hamil, masa persalinan dan masa pasca melahirkan Terapi kognitif perilakuan merupakan kombinasi strategi kognitif dan perilakuan. Konsep dasar terapi ini adalah bahwa pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses rangkaian stimulus-kognisi-respon, yang saling terkait dan membentuk jaringan dalam otak. Pada proses ini kognisi akan menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berfikir, merasa dan bertindak. Beberapa prinsip dasar sebagai pengarah dalam terapi ini adalah bahwa (1) kognisi merupakan proses yang memperantarai dalam proses belajar manusia, (2) pikiran, perasaan dan tingkah laku saling berhubungan secara kausal, (3) aktivitas kognitif seperti harapan, pernyataan diri dan atribusi hal yang penting dalam memahami dan memprediksi psikopatologi dan perubahan terapi, (4) kognisi dan perilaku adalah harmonis artinya proses kognitif dapat diinterpretasikan ke dalam paradigma perilaku dan tehnik kognitif dapat dikombinasikan dengan prosedur perilakuan, (5) tugas terapis kognitif perilakuan adalah berkolaborasi dengan klien untuk menilai perilaku dan proses kognisi yang terganggu dan defisien, kemudian merencanakan pengalaman belajar yang baru untuk memperbaiki kognisi yang disfungsi dan defisien, perilaku dan pola afeksinya. I. Riwayat Kehilangan dan Kematian (Grive and Breaviement) Peristiwa kematian anak akan menimbulkan perasaan kehilangan dan duka yang mendalam bagi orang tua, bahkan dapat menimbulkan trauma yang begitu lama meski anak tersebut baru saja dilahirkan ataupun masih di dalam kandungan. Hal ini disebabkan karena saat kehamilan seorang wanita akan melalui proses dimana dirinya menyerahkan (giving up) dan melepaskan (letting go) gaya hidup, citra tubuh dan hubungan sebelumnya, serta mengambil peran dan tanggung jawab baru dan mulai belajar mencintai seseorang sebelum bertemu dengan mereka, bahkan sebagai calon orang tua, dirinya telah menyusun serangkaian harapan mengenai anak yang akan dilahirkan. Teori Bowlby menjelaskan bahwa proses berduka akibat suatu kehilangan memiliki empat fase, yaitu : mati rasa dan penyangkalan terhadap kehilangan, kerinduan emosional akibat kehilangan orang yang dicintai dan memprotes kehilangan yang tetap ada, kekacauan kognitif dan keputusasaan emosional, mendapatkan dirinya sulit melakukan fungsi dalam 16



kehidupan sehari-hari, dan tahap terakhir adalah reorganisasi dan reintegrasi kesadaran diri sehingga dapat mengembalikan hidupnya. World Health Organization (WHO) tahun 2013 menyatakan sebanyak 289.000 perempuan meninggal akibat komplikasi selama kehamilan dan persalinan. Di Indonesia, Angka Kematian Ibu (AKI) mencapai 190 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini menempati peringkat kedua tertinggi di Asia Tenggara setelah Myanmar dengan AKI 200 per 100.000 kelahiran hidup. Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2014 menunjukkan bahwa kematian ibu di Jawa Tengah sebanyak 711 kasus, sedangkan di Kota Semarang sendiri terdapat 33 kasus. Angka ini cenderung meningkat bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini merupakan suatu tantangan yang cukup berat bagi pemerintah mengingat target global Millenium Development Goals (MDG’s) kelima adalah menurunkan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015.3 Penyebab kematian ibu di Jawa Tengah pada tahun 2014 didominasi oleh faktor lain-lain (42,33%), hipertensi (28,10%), dan perdarahan (22,93%). Faktor lain-lain yang dimaksud adalah faktor nonkebidanan seperti tuberkulosis, radang otak, gagal jantung dan gagal ginjal yang dialami ibu saat hamil dan melahirkan, sedangkan penyebab kematian ibu di kota Semarang pada tahun 2013 justru didominasi oleh preeklampsia dan eklampsia (45,10%), kemudian disusul dengan kasus perdarahan (23,20%), dan infeksi (3,60%). J. Kebutuhan Khusus Ibu dengan Kondisi Riwayat Kehilangan dan Kematian (Grive and Breaviement) Koping merupakan upaya kognitif dan perilaku yang berubah secara konstan untuk mengelola tuntutan eksternal dan/atau internal tertentu yang dinilai berat dan melebihi sumber daya (kekuatan) seseorang. Koping bertujuan mengembalikan individu ke kondisi normal sebagaimana sebelum situasi tersebut terjadi, dengan melihat sumber yang tersedia untuk mengatasi tekanan tersebut. Pada kondisi ini peran perawat menjadi sangat penting untuk membantu klien dalam melewati masa berduka dan mengembalikan fungsi diri mereka seperti semula. Perawat harus menjadi pembimbing yang dapat dipercaya bagi klien. Perawat harus mengkaji sikapnya sendiri, mempertahankan kehadirannya yang penuh perhatian, dan menyediakan lingkungan yang aman secara psikologis sehingga klien dapat mengungkapkan perasaannya. Upaya perawat dalam mempertahankan kehadiran yang penuh perhatian dapat 17



dilakukan dengan menggunakan bahasa tubuh terbuka seperti berdiri atau duduk dengan lengan ke bawah dan berhadapan dengan klien serta mempertahankan kontak mata yang cukup, terutama ketika klien berbicara. Upaya selanjutnya adalah menciptakan lingkungan yang aman secara psikologis yaitu dengan menjamin kerahasiaan klien, berhenti memberikan nasihat tertentu, dan memberi klien kebebasan untuk mengungkapkan pikiran serta perasaannya tanpa merasa takut dihakimi Koping yang dilakukan dalam menghadapi kedukaan tidak sekedar untuk mengatasi masalah yang ada, tetapi lebih untuk bagaimana melewati masa kedukaan dan kembali ke fungsi yang lebih efektif. Tujuan yang ingin dicapai ialah agar individu yang mengalami kedukaan bisa sampai pada tahap resolusi. Ada 3 proses untuk mencapai tahap resolusi, yakni : 1) Penerimaan kognitif Proses ini merupakan usaha dari individu yang berduka untuk mengembangkan penjelasan yang memuaskan mengenai penyebab dari kehilangan mereka. Penjelasan yang memuaskan ini lebih bersifat subyektif dan tidak harus bersifat objektif. Jika penjelasan yang memuaskan belum tercapai, maka kemungkinan besar individu yang berduka akan terus merasa cemas dan penasaran untuk mencari jawabannya. 2) Penerimaan emosional Dalam proses ini, individu yang berduka berusaha untuk mencapai netralisasi dari memori dan asosiasi sehingga kemunculan ingatan mengenai individu yang meninggal atau hal apapun yang diasosiasikan dengannya tidak lagi dirasa mengganggu. Salah satu cara untuk mencapai penerimaan emosional ialah dengan mengulang serangkaian skenario yang mungkin dapat mencegah kematian secara kompulsif. Serangkaian pemikiran “Seandainya….” Ini harus sedemikian rupa diusahakan untuk menjadi netral seiring juga dengan ingatan dan asosiasi yang menyakitkan. 3) Perubahan identitas Perubahan identitas merupakan hal yang penting bagi individu untuk mengembangkan citra diri mereka yang baru, sehingga keterikatan mereka terhadap individu yang sudah meninggal dapat dilihat sebagai bagian dari masa 18



lalu. Jika tahap ini terselesaikan, maka individu yang bersangkutan harus mulai membuat komitmen untuk menjalin relasi yang baru, namun hal ini lebih mungkin terjadi bagi mereka yang mengalami kehilangan pasangan dan hampir tidak mungkin bagi mereka yang mengalami kematian anak. Secara umum ada dua mekanisme koping yang umum digunakan dalam mengatasi kedukaan atau dapat juga dikatakan untuk mencapai penerimaan kognitif dan emosional, yaitu : 1) Avoiding Grief Individu yang mengalami kedukaan menarik diri dari lingkungan luar, lebih banyak tinggal di rumah, dan hanya berhubungan dengan orang-orang yang mereka percayai. Mereka menghindari segala bentuk situasi yang dapat mengingatkan mereka pada diskrepansi antara harapan mereka dengan kenyataan. Mereka kemungkinan mengisi hidup mereka dengan aktifitas yang membantu mereka untuk melupakan atau menghindar dari kenyataan mengenai kehilangan yang telah terjadi. Mekanisme seperti ini dapat melindungi seseorang dari rasa kehilangan yang terlalu menyakitkan dan kecemasan yang tidak terkendali, namun cara ini justru cenderung menunda proses menata ulang kehidupan mereka. 2) Getting Through Grief Mekanisme koping yang kedua ialah dengan mengingat, mengulang, dan berusaha melalui rasa duka yang dialami. Hal ini membantu individu yang sedang berduka untuk merefleksikan segala aspek yang ada yang berkaitan dengan rasa kehilangan mereka, hingga mereka mampu menggabungkannya ke dalam pandangan yang baru mengenai realitas mereka. Jika mekanisme koping ini dilakukan, maka individu yang mengalami kehilangan terbantu untuk menyelesaikan rasa duka mereka sehingga tidak menjadi manifestasi yang mempengaruhi tahap kehidupan yang berikutnya.



19



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Beberapa kondisi rentan ibu dapat disebabkan oleh: Kehamilan akibat pemerkosaan, KDRT, Trauma Persalinan sebelumnya, Kelainan Mental atau jiwa, dan Riwayat kehilangan dan kematian (grive and breaviemnt). Kecemasan pada masa kehamilannya. Persoalan mental spesifik yang dapat berpotensi mengganggu kehamilan dan proses persalinanya. Dari keluhan-keluhan umum yang disampaikan terdapat indikasi adanya masalah-masalah yang membuatnya tidak nyaman. Sebagian besar mereka cukup mampu mengatasinya dengan adanya dukungan yang cukup baik dari orang-orang di sekitarnya, namun masih ada sebagian kecil dari mereka yang kurang mendapatkan dukungan suami, keluarga, teman. Kebutuhan dukungan sosial yang masih diharapkan dari suami, keluarga dan teman berupa perhatian, tempat curhat dan bantuan lainnya. Ibu hamil juga mengaharpak dukungan dari pihak-pihak yang ahli, berupa program-program kesehatan mental yang membuat mereka dapat lebih terbantu mengatasi keluahan-keluhan yang dirasakan. B. Saran Ibu dengan kondisi rentan membutuhkan perhatian dan penanganan khusus, untuk itu tenaga kesehatan diharapkan mampu mengenali dan mengambil peran untuk mendampingi ibu dengan kondisi rentan agar kesehatan dan keberlangsungan hidp dan sosialnya dapat membaik.



20



DAFTAR PUSTAKA



1. Dimitraki, M., Tsikouras, P., Manav, B., Gioka, T., Koutlaki, N., Zervoudis, S., & Galazios,G. (2016). Evaluation of the effect of natural and emotional stress of labor on lactation and breast-feeding. Arch Gynecol Obstet (2016) 293:317–328 DOI 10.1007/s00404015-3783-1



2. Kartal, Y.A., & Oskay, U.Y. (2017). Anxiety, depression, and coping with stress style of pregnant women with preterm labor risk. International Journal of Caring Sciences, vol. 10(02), 716-725.



3. Kemenkes RI. (2014). Buku Kesehatan jiwa Ibu Hamil, Bersalin, Nifas, dan Menyusui (Pegangan Bagi Keluarga dan kader Kesehatan). Jakarta: Kementerian kesehatan RI



4. Kendall-Tackett, K. (2015). Childbirth-related posttraumatic stress disorder and breast feeding: Chalenges mothers face and how birth professionals can support them. Journal of Prenatal and Perinatal Psychology and Health,29(4), 264-275.



5. Klabbers, G.A., van den Heuvel, M.M.A., van Bakel, H.J.A., & Vingerhoets, A.J.J.M. (2016). Severe fear of childbirth: Its features, assesment, prevalence, determinants, consequences and possible treatments. Psychological Topics, 25 (2016), 1, 107-127



6. Martono,N. (2011). Metode Kuantitatif, Analisi Isi dan Analisi Data Sekunder. Cetakan ke 2: PT.Raja Grafinfo Persada



7. Lucita, M. (2015). Maternal stress and maternal and foetal outcome: A comparative study. Asian Journal of Nursing Education and Research, 5(1): Jan.-March 2015.



8. Najafi, T.F., Roudsari,R.L., & Ebrahimipour, H. (2017). The best encouraging person in labor: A content analysis of Iranian mothers’ experiences of labor support.PLOS ONE https://doi.org/10.1371/journal.pone.0179702



9. Sarafino, E.P. (2008). Health psychology: Biopsychosocial interaction. Hoboken: John Willey & Sons, Inc.



10. Takegata, M., Ohashi, Y., Lazarus, A., & Kitamura, T. (2017). Cross-national differences in psychosocial factors of perinatal depression: A systematic review of India and Japan. Healthcare 2017, 5(91). doi:10.3390/healthcare5040091



21



11. Wang, M., Song, Q., Xu, J., Hu, Zheng., Gong, Y., Lee, A.C., & Chen, Q. (2018). Continuous support during labour in childbirth: A cross-sectional studies in a university teaching



hospital



in



Shanghai



China.



https://doi.org/10.1186/s12884-018-2119-0



22



BMC



Pregnancy



and



Childbirth.