Wakaf, Hibah, Dan Wasiat [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara sederhana wasiat diartikan dengan “Penyerahan harta kepada pihak lain yang secara efektif berlaku setelah mati pemiliknya”. Dari kata “penyerahan harta kepada pihak lain”, wasiat itu termasuk dalam lingkup hibah. Namun karena harta yang diserahkan itu baru dimiliki oleh yang menerima setelah matinya pemilik, dia merupakan pemberian dalam bentuk khusus. Perbedaannya dengan warisan – meskipun sama-sama dimiliki setelah matinya pemilik – ialah bahwa dalam wasiat peralihan harta atas kehendak si pemilik yang diucapkannya semasih hidup, pada warisan tidak ada kehendak dari pemilik harta selama dia masih hidup. Adapun hikmah dan tujuan hukum dari wasiat ini adalah manfaat bagi sesama hamba Allah dan tidak ada pihak yang dirugikan. Dengan cara ini umat akan mendapatkan kemudahan dari tindakan ini. Di samping itu, wakaf dalam arti kata ialah menahan dan menghentikan. Secara terminology diartikan dengan “menghentikan pengalihan hak atas suatu harta dan menggunakan hasilnya bagi kepentingan umum sebagai pendekatan diri kepada Allah”. Walaupun bentuk nyatanya wakaf itu menyerahkan harta kepada orang lain dan oleh karenanya dapat disebut pemberian, namun ia mempunyai bentuk tersendiri dengan nama sendiri. Menghentikan pengalihan hak mengandung arti tidak dapat lagi dijual, dihibahkan dan diwariskan oleh orang yang punya. Dengan demikian dia berarti sudah lepas dari yang punya; namun dia tidak lagi dimiliki oleh siapa-siapa. Karena itu barang yang diwakafkan itu telah menjadi milik Allah sebagai pemilik mutlak dari harta. Karena hasilnya digunakan untuk kepentingan umum sebagai pendekatan diri kepada Allah, dia menyerupai shadaqah. Dia berbeda dengan shadaqah dalam beberapa hal, pertama yang dimiliki oleh yang menerima waqaf hanyalah manfaatnya dan bukan bendanya. Kedua: pahala yang didapat dari yang memberi shadaqah hanyalah sekali waktu memberikannya, sedangkan pahala yang diterima oleh yang berwakaf adalah berkepanjangan selama barang tersebut



1



2



dimanfaatkan oleh orang lain. Oleh karena itu, wakaf itu disebut juga “shadaqah yang mengalir terus”. B. Rumusan Masalah 1. Apa itu wakaf ? dan bagaimana dasar hukum dan rukun serta syarat-syaratnya? 2. Apa itu hibah ? dan bagaimana dasar hukumnya? 3. Apa itu wasiat ? dan bagaimana dasar hukum dan rukun serta syarat-syaratnya? C. Tujuan penulisan 1. Untuk mengetahui Apa itu wakaf, dan dasar hukum dan rukun serta syarat-syaratnya. 2. Untuk mengetahui Apa itu hibah, dan dasar hukumnya . 3. Untuk mengetahui Apa itu wasiat, dan dasar hukum dan rukun serta syarat-syaratnya.



BAB II PEMBAHASAN A. Wakaf Secara etimologi, wakaf berasal dari “Waqf” yang berarti “al-Habs”. Merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu. Dalam pengertian hukum Islam wakaf adalah melepas kepemilikan atas harta yang dapat bermanfaat dengan tanpa mengurangi bendanya untuk



diserahkan



kepada



perorangan



atau



kelompok



(organisasi)



agar



dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang tidak bertentangan dengan syari’at. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut: Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan. Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya. Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif. Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja. Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah. Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan.



3



4



Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan. Itu menurut para ulama ahli fiqih. Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, bantuan kepada fakir miskin. B. Dasar Hukum Wakaf Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (Q.S al-Baqarah:267). Artinya : "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa



saja



yang



kamu



nafkahkan



Maka



Sesungguhnya



Allah



mengetahuinya." (Q.S ali Imran:92). Adapun Hadis yang menjadi dasar dari wakaf yaitu Hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika menerima tanah di Khaibar. Bahwa sahabat Umar ra. memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra. menghadap Rasulullah saw. untuk meminta petunjuk. Umar berkata:



5



"Hai Rasulullah saw., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?" Rasulullah saw. bersabda: "Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya). "kemudian Umar mensedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak di hibahkan dan tidak di wariskan. Ibnu Umar berkata: "Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (Nadhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta" (HR. Muslim). Dalil Ijma' :Imam Al-Qurthuby berkata: Sesungguhnya permasalahan wakaf adalah ijma (sudah disepakati) diantara para sahabat Nabi; yang demikian karena Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Aisyah, Fathimah, Amr ibn AlAsh, Ibnu Zubair, dan Jabir, seluruhnya mengamalkan syariat wakaf, dan wakafwakaf mereka, baik di Makkah maupun Madinah, sudah dikenal masyhur oleh khalayak ramai. (Lihat: Tafsir Al-Qurthuby: 6/339, Al-Mustadrah 4/200, Sunan Al-Daraquthny 4/200, Sunan Al-Baihaqy 6/160, Al-Muhalla 9/180).1 C. Rukun dan Syarat-Syarat Wakaf Rukun wakaf ada empat, yaitu: pertama, orang yang berwakaf (al - wakif). Kedua, benda yang diwakafkan (al - mauquf). Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (al – mauquf ‘alaihi). Keempat, lafaz atau ikrar wakaf (sighah). 1. Syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif) Syarat-syarat al-waqif ada empat, pertama orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki. Kedua dia mestilah orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk. Ketiga dia mestilah baligh. Dan keempat dia mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya. 1 Abdul gani abdullah, wakaf produktif (bandung: simbiosa rekatama media, 2008) hlm.2



6



2. Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf) Harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh ah; pertama barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga Kedua, harta yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah. Ketiga, harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).2 3.



Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf



alaih) Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, pertama tertentu (mu’ayyan) dan tidak tertentu (ghaira mu’ayyan). Yang dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja. 4.



Syarat-syarat Shigah Berkaitan dengan isi ucapan (sighah)



2 Didin hafidhuddin, hukum wakaf (jakarta: iiman dan dompet duafa republika, 2004) hlm. 148



7



perlu ada beberapa syarat. Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukan kekalnya (ta’bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah. D. Hibah Pada mulanya kata hibah itu diambil dari kata “hubuuburr riih” artinya “nuruuruhaa” yang berarti perjalanan angin. Dalam perkembangan lebih lanjut dipakai kata hibah dengan maksud memberikan kepada orang lain baik berupa harta atau selainnya. Di dalam syariat islam, hibah berarti akad yang pokoknya adalah pemberian harta milik seseorang kepafa orang lain di waktu ia masih hidup tanpa imbalan apapun. Secara umum hibah mempunyai pengertian hal-hal yang meliputi : 1. 2.



Ibraa, yakni menghibahlan utang kepada yang berhutang; Sedekah, yakni menghibahkan sesuatu dengan



mengharapkan pahala di akhirat; 3. Hadiah yakni pemberian yang menurut orang yang diberi itu untuk memberi imbalan. Menurut pengertian bahasa, hibah berarti mutlak “pemberian” baik berupa harta benda maupun yang lainnya. Menurut istilah syara’ ialah: 1.



Menurut mazhab hanafi adalah enda dengan tanpa ada



syarat harus mendapat imbalan ganti, pemberian mana dilakukan pada saat si pemberi masih hidup. Benda yang dimilik yang akan diberika itu adalah syah milik si pemberi 2. Menurut mazhab Maaliki, adalah memberikan suatu zat materi tanpa mengharap imbalan, dan hanya ingin menyenangkan orang yang diberinya tanpa mengharap imbalan daro Allah. Hibah menurut



8



Maliki ini sama drngan dengan hadiah. Dan apabila pemberian itu sematamata untuk meminta ridha Allah dan mengharapkan pahala maka ini dinamakan sedekah. 3. Menurut Madzhab Hanbali, adalah memberika hak memiliki sesuatu oleh seseorang yang dibenarkan tasarrufnya atas suatu harta baik yang dapat diketahui atau, karena susah untuk mengetahuinya. Harta itu ada wujudnya untuk diserahkan. Pemberian yang mana tidak bersifat wajib, dan dilakukan pada waktu sdi pemberi masih hidup dengan tanpa syarat ada imbalan. 4. Menurut Madzhab Syafii, pengertian: a.



hibah mengandung dua



Pengertian khusus, yaitu pemberian hanya sifatnya sunnah



yang dilakukan dengan ijab qabul pada waktu si pemberi masih hidup. Pemberian yang mana tidak dimaksudkan untuk menghormati atau memuliakan seseorang dan tidak dimaksudkan untuk mendapatkan pahala dari Allah atau karena menutup kebutuhan orang yang diberikannya b. Pengertian umum, yaitu hibah dalam arti umum mencakup hadiah dan sedekah Walaupun rumusan definisi yang dikemukakan oleh keempat madzhab tersebut berlainan redaksinya namun intinya tetaplah sama, yaitu; “hibah adalah memberikan hak memilik sesuatu benda kepada orang lain yang dilandasi oleh ketulusan hati atas dasar saling membantu kepada sesame manusia dalam hal kebaikan”.3 E. Dasar Hukum Hibah 1. Surat Al-Baqarah:195



Artinya: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan



janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah 3 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam di PA dan Kewarisan menurut Undang-Undang HUkum Perdata di PN.(Pedoman ILmu Jaya, Jakarta. 1992). hal.150-152



9



menyukai orang-orang yang berbuat baik.“



Maka untuk itulah, dengan ayat tersebut Allah memerintahkan kita untuk berbuat sunnah dalam arti berbuat kebaikan yaitu berinfak, seperti: sodaqoh, wakaf, hibah, dan lain-lain Hibah adalah pemberian ketika yang punya harta masih hidup, sedangkan warisan diberikan ketika yang punya harta telah meninggal dunia. Walaupun saat pemberiannya berbeda namun keduanya memiliki hubungan yang sangat erat, terutama hibah itu diberikan kepada anak atau ahli waris karena akan menentukan terhadap bagian warisan apabila hibah tersebut tidak ada persetujuan ahli waris atau setidak-tidaknya ada ahli waris yang keberatan dengan adanya hibah tersebut, oleh karenanya sering terjadi sengketa antara ahli waris. Sedangakan hibah yang di berikan kepada non ahli waris, meskipun dalam kitab-kitab fiqh tak ada batasan berapapun jumlahnya namun tak menutup kemungkinan seseorang akan menghibahkan



seluruh



hartanya,



yang



nantinya



akan



berakibat



membahayakan ahli waris. 2.



Hadis Nabi



‫ي قنثثاَنل أنيخبْنثنرنثدثيِ نعثثاَدمحر بيثحن‬ ‫ي نح ثددثَّنثنناَ حس ثيفنياَحن نح ثددثَّنثنناَ اليزيه ثدر ي‬ ‫نح ثددثَّنثنناَ اليححنميي ثدد ي‬ ‫ضثثاَ فنأنيش ثنفي ح د‬ ‫نس ثيعدد بيثدن أنبثدثيِ نوقثدثاَ ص‬ ‫ص نع ثين أنبدي ثده قنثثاَنل نمدر ي‬ ‫ت بدنمدك ثةن نمنر ض‬ ‫ضث ح‬ ‫ت مين ثهح‬ ‫ي‬ ‫د د‬ ‫ت نياَ نرحسونل‬ ‫صدلىَ اللدهح نعلنييده نونسلدنم ينثحعوحددنيِ فنثحقيل ح‬ ‫نعنلىَ الينميوت فنأننتاَنيِ الندبْدييِ ن‬ ‫دد د د د‬ ‫د‬ ‫د‬ ‫د‬ ‫صثددحق دبثحثلحثنثييِ نمثثاَدليِ قثنثاَنل‬ ‫س يندرثَّحنثثيِ إددل ابيثننتثثيِ أنفنأنتن ن‬ ‫الله إن ليِ نماَضل نكثيضرا نولنيي ن‬ ‫ت نفاَل د‬ ‫ك إدين‬ ‫ث قنثثاَنل الثيثلحث ح‬ ‫ت الثيثلحث ح‬ ‫ث نكبْدي ثرر إدندث ن‬ ‫ش ثطيحر قنثثاَنل نل قحثيل ث ح‬ ‫نل قنثثاَنل قحثيل ث ح‬



10



‫ت ولنندنك أنيغندياَء ن د‬ ‫ك لنثين‬ ‫س نوإدندث ن‬ ‫نن ي‬ ‫تنثنريك ن ن‬ ‫خيثرر مين أنين تن يثتثحرنكحهيم نعاَلنةض ينثتننكدفحفونن النثدثاَ ن‬ ‫ت‬ ‫تحثيندفنق نثنفنقةض إددل أحدجير ن‬ ‫ت نع نيليثنهاَ نحدتىَ اللييقنمةن تنثيرفنثعحنهاَ إدلنثىَ دفثيِ ايمنرأنتدث ن‬ ‫ك فنثحقيلث ح‬ ‫د‬ ‫ف بنثيعثددي فنثتنثيعنمثنل نعنمضل‬ ‫ف نعين دهيجنرتيِ فنثنقاَنل لنين تحنخلد ن‬ ‫نياَ نرحسونل اللدده آأحنخلد ح‬ ‫ف بنثيع ثددي‬ ‫ت بدثده درفيثنع ثةض نوندنرنج ثةض نولننع ثدل أنين تحنخلدث ن‬ ‫تحدري ثحد بدثده نويج ثهن اللدثده إددل ايزنديد ن‬ ‫د‬ ‫د‬ ‫س نسثيعحد بيثحن نخيولنثةن‬ ‫ضثدر بدث ن‬ ‫ك أنقي ثنوارم نويح ن‬ ‫نحتثدثىَ ينثينتندفثنع بدث ن‬ ‫ك آنخثحرونن لنكثين اليبْثنثاَئ ح‬ ‫د‬ ‫د‬ ‫ت بدنمدكثةن قثنثاَنل حسثيفنياَحن‬ ‫صثدلىَ اللدثهح نعلنييثده نونسثلدنم أنين نمثثاَ ن‬ ‫ينثيرثَّثثيِ لنثهح نرحسثثوحل اللدثه ن‬ ‫ي‬ ‫نونسيعحد بيحن نخيولنةن نرحجرل دمين بندنيِ نعاَدمدر بيدن لحنؤ ي‬ Artinya: diriwayatkandari Sa’ad bin Abi Waqosh ra: pada tahun Haji Penghabisan



(wada’)Nabi



Muhammad



SAW



mengunjungiku



seraya



mendoakan kesehatanku. Aku berkata kepada nabi Muhammad SAW, “aku lemah karena sakitku yang parahpadahal aku kaya dan aku tidak punya ahli wariskecuali seorang anak perempuan. Haruskah aku menyedekahkan 2/3 kekayaanku? Nabi Muhammad SAW bersabda, “tidak” kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda bahkan 1/3 telah cukup banyak. Lebih baik kamu meninggalkan



ahli



warismudalam



keadaan



berkecukupan



daripada



meninggalkan merekadalam keadaan miskin, mengemis kepada orang lain. Kau akan memperoleh pahala dari sedekah yang dikeluarkan dengan niat karena Allah, bahkam untuk yang kau suapkan dalam mulut isteriu”. Aku berkata,”ya rasulullah, apakah aku akan sendirian ketika para sahabatku pergi?”. Nabi Muhammad SAW bersabda, “jika kamu ditinggalkan, apapun yang kau kerjakan akan mengangkat mu ke tempat yang tinggi. Dan mungkin saja kau akan berumur panjang hingga(dating suatu saat ketika) sebagian



11



orang mengambil keuntungan darimu, dan sebagian yang lain mengambil kemudharatandarimu.” Ya Allah, lengkapkan hijrah sahabatku dan jangan biarkan mereka berpaling “. Dan rasullah SAW merasa sedih dengan meninggalnya Sa’ad bin khaulah yang miskin di Makkah. (sedangkan sepeninggal nabi Muhammad SAW, Sa’ad bin Abi Waqash hidup dengan umur yang panjang).{HR.Bukhari} Dimana hadist tersebut seolah menggambarkan bahwa bersedekah yang lebih dari sepertiga merupakan tindakan yang berakibat merusak esensi dan kepentingan dari ahli waris F.



Wasiat



Dalam definisi wasiat secara lughawi, wasiat berasal dari bahasa arab yang berarti



"pesan,



menyambung,



menaruh



belas



kasihan,



menjadikan,



memerintahkan, dan mewajibkan". Makna wasiat (‫صييِةة‬ ‫ )وو ص‬menurut istilah syar’i ialah, pemberian kepemilikan yang dilakukan seseorang untuk orang lain, sehingga ia berhak memilikinya ketika si pemberi meninggal dunia. Secara umum pemberian wasiat dikaitkan dengan kondisi seseorang (yang memberi wasiat) dalam keadaan sakit menjelang kematian. Sementara wasiat meliputi atas sesuatu pekerjaan, jasa, maupun harta peninggalan. Dengan demikian, lingkup wasiat dalam pembahasan fiqih meliputi pesan atas sesuatu harta dari seseorang menjelang kematian. Menurut



Amir



Syarifuddin



secara



sederhana



wasiat



diartikan



dengan:penyerahan harta kepada pihak lain yang secara efektif berlaku setelah mati pemiliknya. Menurut para fuqaha, wasiat adalah pemberian hak milik secara sukarela yang dilaksanakan setelah pemberinya meninggal dunia. Pemberianhak milik ini bisa berupa barang, piutang atau manfaat. Menurut Madzhab Syafi’i, wasiat adalah pemberian suatu hak yang berkuatkuasa selepas berlakunya kematian orang yang membuat wasiat samaada dengan menggunakan perkataan atau sebaliknya.Menurut Madzhab Hanbali, wasiat adalah pemberian harta yang terjadi setelah berlakunya kematian sama ada dalam bentuk harta (‘ain) atau manfaat. Menurut madzhab Hanafi, wasiat adalah



12



pemilikan yang berlakusetelah kematian dengan cara sumbangan.Menurut madzhab Maliki, wasiat adalah suatu akad yang menetapkan kadar 1/3 sahaja bagi tujuan wasiat dan wasiat tersebut akan terlaksanasetelah berlakunya kematian pewasiat. Berdasarkan kepada definisi di atas, dapat dirumuskan bahwa wasiat ialah pemberian harta, hak atau manfaat oleh seseorang kepada seseorang yang lain semasa hayatnya tanpa adanya balasan dan berkuatkuasa selepas kematiannya. Harta yang hendak diwasiatkan mestilah tidak melebihi 1/3 dari keseluruhan harta si mati. G. Dasar Hukum Wasiat Setiap hukum Islam mestilah didasari oleh dalil naqli atau juga dalil akli. Hukum berwasiat adalah dibolehkan. Di antara sumber-sumber hukum wasiat adalah melalui dalil Al-Quran, Sunnah, amal para sahabat dan ijmak ulama. 1.



Nas-nas al-Quran



Wasiat didasari dari firman Allah di dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 180. Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnyasecara ma´ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah 2:180)



Selain itu, sumber hukum wasiat juga terdapat didalam al-Quran surat al-Maidah ayat 106 yang berbunyi :



13



Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa" 2.



Sunnah atau Hadist nabi



Hukum berwasiat tidak hanya didasari oleh Al-Quran sahaja, malahan banyak hadis yang berbicara tentang wasiat. Terdapat beberapa hadis yang menjelaskan tentang pensyari’atan wasiat. Antaranya hadisRasulullah dari Ibnu Umar : Yang Artinya : Telah menceritakan kepada kami Abu Khaitsamah Zuhair bin Harb dan Muhammad bin al-Mutsanna al-‘Anazi dan ini adalahlafaz Ibnu Mutsanna, keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya yaitu Ibnu Sa’id al -Qatthan dari Ubaidillah, telah menkhabarkan kepadaku Nafi’ dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhubahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Seorangmuslim tidak berhak mewasiatkan sesuatu yang ia miliki kurang dari dua malam (hari), kecuali jika wasiat itu tertulis disisinya." 3.



Ijma’



Dari sudut ijmak, telah berlaku ijmak para fuqaha semenjak zamansahabat lagi telah bersepakat bahwa hukum wasiat adalah mubah dan tiadaseorang pun daripada mereka yang meriwayatkan tentang larangannya.



14



4.



Amalan Para Sahabat



Para



sahabat



pula



sering



mewasiatkan



sebahagian



harta



merekakarena ingin mendekatkan diri dengan Allah s.w.t. Antara para sahabatyang melaksanakan wasiat ialah Saidina Abu Bakar dan Saidina Ali telahberwasiat sebanyak 1/5 daripada harta mereka. Saidina Umar pula telahberwasiat sebanyak ¼ daripada hartanya . Antara lainnya, Abdul Razzakmeriwayatkan dengan sanad yang sahih bahwa Anas r.a berkata: “Parasahabat menulis di awal wasiat mereka: Dengan nama Allah yang mahapemurah lagi lagi maha pengasih”. Ini adalah wasiat fulan bin fulan bahawa dia bersaksi tiada tuhan melainkan Allah dan tiada sekutu baginya. Dia juga bersaksi bahawa hari akhirat pasti akan datang dan Allah akan membangkitkan manusia dari kubur. Dia mewasiatkan ahli keluarganya yang masih tinggal agar takutkan Allah dan saling memelihara hubungan mereka. Hendaklah mereka mentaati Allah dan Rasul-Nya sekiranya mereka yang orang-orang beriman. Dia mewasiatkan mereka sebagaimana wasiat Nabi Yaakub kepada keturunan mereka. H. Rukun dan Syarat-Syarat Wasiat Rukun wasiat itu ada empat, yaitu: 1. Pemberi Wasiat (mushiy) Orang yang berwasiat itu haruslah orang yang waras (berakal), bukan orang yang gila, baligh dan mumayyiz. Wasiat anak yang berumur sepuluh tahun



penuh



diperbolehkan



(ja’iz),



sebab



Khalifah



Umar



memperbolehkannya. Tentu saja pemberi wasiat itu adalah pemilik barang yang



sah



hak



pemilikannya



terhadap



orang



lain.Sayyid



Sabiq



mengemukakan bahwa orang yang lemah akal (idiot), orang dungu dan orang yang menderita akibat sakit ayan yang kadang-kadang sadar, wasiat mereka diperbolehkan sekiranya merekamempunyai akal yang dapat mengetahui apa yang mereka wasiatkan. Menurut Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 194 dinyatakanbahwa orang yang berwasiat itu adalah orang yang telah berumur 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan, dapat mewasiatkan sebagian harta



15



bendanya kepada orang lain. Harta benda yang diwasiatkan itu harus merupakan hak dari pewasiat. Pemilikan barang yang diwasiatkan itu baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia. Dikemukakan pula batasan minimal orang yang boleh berwasiat adalah yang benar-benar telah dewasa secara undang-undang, jadi berbeda dengan batasan baligh dalam kitab-kitab fiqih tradisional. 2. Penerima Wasiat (mushan lahu) Penerima wasiat bukanlah ahli waris, kecuali jika disetujui oleh para ahli waris lainnya. Seorang dzimmi boleh berwasiat untuk sesama dzimmi, juga untuk seorang Muslim. Wasiat bagi anak yang masih dalam kandungan adalah sah dengan syarat bahwa ia lahir dalam keadaan hidup, sebab wasiat berlaku sepertimemperoleh warisan. Karena itu ia juga berhak menerima wasiat. 3. Barang yang Diwasiatkan (mushan bihi) Barang yang diwasiatkan haruslah yang bisa dimiliki, seperti hartaatau rumah dan kegunaannya. Jadi, tidak sah mewasiatkan benda yang menurut kebiasaan lazimnya tidak bisa dimiliki, seperti binatang serangga, atau tidak bisa dimiliki secara syar’i, seperti minuman keras, jika pemberi wasiat seorang Muslim, sebab wasiat identik dengan pemilikan, maka jika pemilikan tidak bisa dilakukan, berarti tidak ada wasiat. Sah juga mewasiatkan buah-buahan di kebun untuk tahun tertentu atau untuk selamanya.



4. Kalimat wasiat (lafadz) Sebanyak-banyaknya wasiat adalah sepertiga dari harta dan tidakboleh lebih dari itu kecuali apabila diizinkan oleh semua ahli warissesudah orang yag berwasiat itu meninggal. Wasiat hanya ditujukan kepada orang yang bukan ahli waris.Adapun kepada ahli waris, wasiat tidak sah kecuali mendapat persetujuan dari semua ahli waris. Sebagaimana rasulullah



16



bersabda yang artinya : Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin ‘Ammar,



telah



menceritakan



kepada



kami



Isma’il



bin



‘Ayyas,



telahmenceritakan kepada kami Syurahbil bin Muslim al-Khaulani, aku mendengar Abu Umamah Al Bahili r.a. beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda pada saat khutbah hajiwada’: “sesungguhnya Allah SWT memberikan hak kepada orang yang mempunyai hak, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” Adapun Syarat-syarat wasiat ada 4 juga, yaitu : 1. Pemberi wasiat Pemberi wasiat adalah seorang yang memberi harta warisannya kepada orang yang tidak mendapat bagian dari harta warisannya akibat dari halangan tertentu. Ada beberapa krateria bagi pemberi wasiat. Antaranya ialah : 



Berakal, Wasiat tidak sah jika dilakukan oleh orang gila



atau terencat akal, orang yang pengsan dan orang yang mabuk. Kesemua mereka dianggap orang-orang yang kehilangan akal yang meerupakan asas kepada taklif, dengan ini orang-orang ini tidaka layak memberi wasiat 



Baligh, Syarat ini juga asas kepada taklif. Dengan ini,



adalah tidak sah wasiat daripada seorang kanak-kanak walaupun telah mumaiyiz kerana ia tidak layak berwasiat. 



Merdeka, Tidak sah wasiat daripada seorang hamba sama



ada qinna, mudabbir atau mukatib kerana hamba bukan pemilik. Bahkan diri dan hartanya adalah milik tuannya. 



Kemauan sendiri, wasiat tidak sah jika dilakukan oleh



orang yang dipaksa. Ini kerana wasiat bermakna menyerahkan hak milik maka ia perlu melalui keredaan dan pilihan pemiliknya. 2. Penerima wasiat



17



Penerima wasiat adalah orang atau badan yang mendapat harta warisan dari pemberi wasiat. Penerima wasiat haruslah mempunyai kriteria untuk menerima wasiat. Antaranya ialah : 



Penerima wasiat bukan ahli waris pemberi wasiat. Perkara



ini telah ditetapkan berdasarkan hadis nabi saw yang artinya “tidak ada wasiat bagi ahli waris” hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan tirmidzi yang menurutnya hadis hasan. 



Penerima wasiat hendaklah diketahuai dan wujud ketika



wasiat dibuat. Tidak sah mewasiatkan kepada bayi yang belum lahir atau kepada badan yang belum ditubuhkan (masjid yang akan dibangunkan). 



Penerima wasiat hendaklah bukan seorang pembunuh.







Penerima wasiat hendaklah bukan kafir harbi (pendapat



fuqaha’madzhab Maliki), bukannya kafir harbi di dar (pendapat fuqaha’ madzhab Hanafi) dan tidak boleh mewasiatkan senjata kepada ahli harbi (pendapat fuqaha madzhab Syafie) 3. Barang yang diwasiatkan Adapun syarat-syarat bagi barang atau benda yang diwasiatkan adalah: 



Barang itu dikira sebagai harta dan ia boleh diwarisi.







Barang tersebut dari harta yang boleh dinilai atau



mempunyai manfaat 



Barang tersebut boleh dipindahmilik sekalipun tiada pada



waktu berwasiat. 



Barang itu dimiliki oleh pemberi wasiat ketika berwasiat



jika zatnya ditentukan. 



Barang itu bukanlah sesuatu yang maksiat seperti



mewasiatkan rumah untuk dijadikan gereja, pusat judi dan sebagainya. 



Harta atau barang tersebut hendaklah tidak melebihi kadar



1/3 harta pewasiat



18



4. Lafaz wasiat (ijab dan qabul) Ahli-ahli fiqh dari madzhab Hanafi memandang bahwa rukun wasiat adalah memadai dengan sighah sahaja, yaitu meliputi penyerahan dan penerimaan, sedangkan benda wasiat yang diberikan kepada penerima wasiat terdapat dalam aqad (perjanjian) itu. Sebagian fuqaha’ yang lain termasuk fuqaha’ madzhab Syafie berpendapat sighah merupakan rukun wasiat yang keempat.Adapun syarat-syarat bagi lafaz ijab dan qabul adalah : a.



Hendaklah wasiat tersebut dilafazkan dengan jelas ataupun



kabur. Lafaz yang jelas seperti : “Saya mewasiatkan untuknya seribu ringgit” atau “serahkanlah seribu ringgit kepadanya setelah kematian saya” atau berikan kepadanya setelah kematian saya” atau “harta itumenjadi miliknya setelah kematian saya”. Lafaz wasiat yang jelas ini diterima sebagai suatu wasiat yang sah dilaksanakan menurut lafaz tersebut. Jika orang yang berkata tersebut menafikan ia berniat wasiat, katanya itu tidak diterima. Sementara lafaz yang kabur pula perlu disertakan dengan niat. Terdapat kemungkinan lafaz itu tidak berarti wasiat. Maka ia perlu diikuti dengan niat. Contohnya : “buku saya ini untuk Zaid”. b.



Hendaklah wasiat ini diterima oleh penerima wasiat jika



wasiat ini ditujukan kepada orang yang tertentu. c.



Hendaklah persetujuan tersebut diambil setelah kematian



pewasiat. Tanpa harus memperhatikan apakah penerima wasiat setuju ataumenolak wasiat sebelum pewasiat meninggal.



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Bisa di ambilkesimpulan dari pembahasan di atas bahwa wakaf, wasiat, dan hibah adalah sama-sama memberikan sesuatu kepada orang lain, namun ada perbedaan antara ketiganya. Benda yang boleh diwakafkan adalah segala benda, baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam. Sedangkan benda atau harta hibah dapat berupa barang apa saja, baik yang hanya sekali pakai maupun tahan lama. B. Saran



19



Dalam makalah ini tentunya ada banyak sekali koreksi dari para pembaca, karena kami menyadari makalah ini jauh dari sempurna.Maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca yang dengan itu semua kami harapkan makalah ini akan menjadi lebih baik lagi.DAFTAR



PUSTAKA M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam di PA dan Kewarisan menurut Undang-Undang HUkum Perdata di PN., Jakarta: Pedoman ILmu Jaya, 1992 Didin hafidhuddin, Hukum Wakaf Jakarta: iman dan dompet duafa republika, 2004 Abdul gani abdullah, wakaf produktif Bandung: simbiosa rekatama media, 2008



20