Eating Disorder and Sleep Disorder-1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

EATING DISORDER AND SLEEP DISORDER (GANGGUAN MAKAN DAN GANGGUAN TIDUR)



MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH Psikologi Abnormal yang dibina oleh Bapak Yudi Tri Harsono, S.Psi., M.Psi.



oleh Nabilah Maghfirah Maulani / D



160811601005



Nadia Az Zahro / B



160811615633



Pertiwi Wijayanti / D



1608116



Rahma Azmi Mustari / D



1608116



UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS PENDIDIKAN PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI September 2017



EATING DISORDER AND SLEEP DISORDER (GANGGUAN MAKAN DAN GANGGUAN TIDUR)



1.



EATING DISORDER (GANGGUAN MAKAN) Berat badan yang ideal merupakan dambaan bagi setiap orang, khususnya



para wanita yang sangat peduli dan sensitif terhadap penampilan mereka. Berat badan yang ideal selain menambah kepercayaan diri, juga dianggap rentan akan penyakit. Hal tersebut dapat tercapai diantaranya dengan olahraga teratur, mental yang sehat, dan pola makan yang sehat. Namun, pada kasus di beberapa negara terdapat orang-orang yang terobsesi dengan berat badan dan justru menempuh jalan yang salah. Contohnya seperti mengurangi makan yang berlebihan, mengkonsumsi obat-obatan penurun atau penambah berat badan, bahkan sampai memuntahkan setiap makanan yang ia makan. Hal tersebut lama kelamaan akan mengakibatkan sebuah pola disfungsional, yakni gangguan makan. Gangguan makan atau eating disorder adalah istilah yang mengacu pada gangguan psikologis yang memiliki karakteristik terganggunya pola makan dan cara untuk mengontrol berat badan. Gangguan makan (eating disorder) terdapat dua tipe, yakni anoreksia nervosa (anorexia nervosa) dan bulimia nervosa. Meskipun gangguan ini biasanya berkembang di masa dewasa ataupun dewasa akhir, gangguan ini umumnya mulai muncul pada masa remaja dan remaja awal ketika tuntutan untuk menjadi kurus sangat kuat (Beck, Casper, & Andersen, 1996). Seiring dengan meningkatnya tekanan-tekanan sosial ini, makin meningkat pula tingkat gangguan makan. Kira-kira 0,5% (1:200) wanita di lingkungan kita mengidap anoreksia nervosa (APA, 2000). Tingkat prevalensi penderita bulimia nervosa di kalangan wanita diperkirakan berkisar antara 1% dan 3% (APA, 2000). Sedangkan, jumlah penderita anoreksia dan bulimia pada pria sekitar sepersepuluh jumlah wanitanya (APA, 2000).



1.1



Anoreksia Nervosa Anoreksia (Anorexia) berasal dari bahasa Yunani an-, yang artinya “tanpa,”



dan orexis, artinya “hasrat untuk”. Anoreksia memiliki arti “tidak memiliki hasrat untuk (makanan)”, yang sesungguhnya keliru, karena kehilangan nafsu makan di



antara penderita anoreksia nervosa jarang terjadi. Namun demikian, penderita mungkin menolak makan lebih dari yang dibutuhkan untuk mempertahankan berat badan minimal mereka. (Jeffrey dkk., 2005) Penderita anoreksia sesungguhnya diasumsikan sebagai orang yang sengaja melaparkan diri sampai pada tahap tertentu bahkan membahayakan diri mereka sendiri. Ketakutan akan obesitas menjadi alasan utama mengapa hal ini terjadi. Salah satu pola anoreksia yang umum terjadi, bermula setelah menarche atau setelah mendapatkan haid pertama. Pada saat itu, wanita mulai sadar akan penambahan berat badan dan bersikeras untuk menghilangkannya. Tambahan lemak tubuh adalah hal yang normal pada remaja wanita: dalam kacamata evolusioner, lemak bertambah sebagai persiapan untuk masa melahirkan dan menyusui (Angier, 1999). Wanita anoreksia tak jarang melakukan diet berlebih dan melakukan olahraga maupun latihan fisik yang berlebihan pula. Namun, ketika berat badan yang diinginkan terpenuhi mereka seakan menjadi serakah dan menjadi lebih giat lagi dalam menurunkan berat badan, walau ia telah mendapat teguran dari lingkungan maupun keluarganya. Mereka selalu menilai dirinya sebagai orang gemuk karena citra tubuh telah terdistorsi dan mengingkari bahwa mereka telah kehilangan berat badan berlebih. Sama seperti pada wanita, pria yang menunjukkan anoreksia juga menekuni kegiatan olahraga seperti gulat, dan mengalami tekanan untuk menjaga berat badan yang lebih rendah. Untuk lebih jelasnya, berikut tabel karakteristik klinis yang digunakan untuk mendiagnosis anoreksia nervosa. Tabel 1.1 Karakteristik diagnostik untuk Anoreksia Nervosa 1. Menolak untuk mempertahankan berat badan pada atau diatas berat badan minimal yang normal sesuai usia dan tinggi seseorang; misalnya, berat badan 15% di bawah normal. 2. Ketakutan yang kuat terhadap penambahan berat badan atau menjadi gemuk, meskipun tubuhnya kurus. 3. Citra tubuh yang terdistorsi di mana tubuh seseorang-atau bagian tubuh seseorang-dipandang sebagai gemuk, walaupun orang lain memandang orang tersebut kurus.



4. Dalam kasus wanita yang telah mengalami menstruasi, terjadi ketidakhadiran tiga atau lebih periode menstruasi. Sumber: Diadaptasi dari DSM IV-TR (APA-2000)



Ada



dua



tipe



umum



dari



anoreksia,



yaitu



tipe



makan



berlebihan/membersihkan dan tipe menahan. Tipe pertama ditandai oleh episode yang sering dari makan berlebihan dan memuntahkannya; tipe kedua menahan untuk makan. Meskipun siklus berulang dari makan banyak dan memuntahkannya juga terjadi pada bulimia, individu penderita bulimia tidak mengurangi berat badan mereka sampai tingkat anoreksik. Perbedaan anatara subtipe anoreksia di dukung perbedaan dalam pola kepribadian. Individu dengan tipe makan/muntah cenderung memiliki masalah yang berhubungan dengan kontrol impuls, di mana peningkatan episode makan berlebih mungkin melibatkan penyalahgunaan zat atau mencuri (Garner, 1993). Sementara mereka yang memiliki tipe menahan cenderung secara kaku bahkan secara obsesif mengontrol diet dan penampilan mereka. (Jeffrey dkk., 2005)



1.1.1 Komplikasi Medis dari Anoreksia Berikut beberapa komplikasi medis yang disebabkan oleh anoreksia: 1. Anemia 2. Masalah kulit (kulit kering, kulit pecah, perubahan warna kulit) 3. Komplikasi kardiovaskuler (gangguan hati, hipotensi) 4. Masalah gastrointestinal (konstipasi, sakit perut, obstruksi, kelumpuhan pada bowel atau intestines) 5. Siklus menstruasi tidak teratur 6. Otot yang melemah 7. Pertumbuan tidak normal 8. Osteoporosis



1.2



Bulimia Nervosa Bulimia berasal dari bahasa Yunani bous, yang artinya “sapi” atau “kerbau”



dan limos, yang artinya “rasa lapar.” Gambaran yang terinspirasi dari arti istilah



tersebut adalah makan yang terus-menerus, seperti sapi yang memamah biak. Bulimia nervosa adalah gangguan makan yang memiliki karakteristik untuk menelan makanan dalam jumlah besar secara berulang, diikuti dengan penggunaan cara-cara yang tidak tepat untuk mencegah pertambahan berat badan. (Jeffrey dkk., 2005) Penderita anoreksia dan bulimia pada mulanya sama-sama terlalu peduli dengan bentuk tubuh dan berat badan mereka, perbedaannya pada penderita bulimia ia tidak mengejar bentuk tubuh yang sangat kurus seperti penderita anoreksia yang sampai tidak menyadari betapa kurusnya dia. Penderita bulimia kebanyakan bertubuh normal dan ia tidak ingin bertambah gemuk dengan pola makannya yang berlebihan itu. Jadi penderita bulimia biasa memasukkan tangan atau benda ke tenggorokannya sendiri untuk memuntahkan makanan yang baru saja ia makan, atau menggunakan obat diet dan pencahar. Karakteristik diagnostik bulimia nervosa dipaparkan pada tabel berikut: Tabel 1.2 Karakteristik Diagnostik Bulimia Nervosa 1. Episode berulang dari makan berlebihan seperti yang ditunjukkan oleh kedua hal berikut ini: a. Memakan makanan dalam jumlah yang sangat luar biasa selama periode 2 jam, dan b. Merasa kehilangan kontrol terhadap pemasukan makanan pada saat episode tersebut. 2. Perilaku tidak sesuai yang sering terjadi untuk menjaga agar berat tubuh tidak bertambah seperti membangkitkan rasa ingin muntah, penyalahgunaan obat pencahar, diuretik atau enema, dengan berpuasa atau latihan berlebihan. 3. Rata-rata minimal dalam seminggu terjadi dua episode makan berlebih dan perilaku kompensasi yang tidak sesuai untuk menghindari bertambahnya berat badan, dan hal ini terjadi minimal selama 3 bulan. 4. Perhatian berlebihan yang terus-menerus pada bentuk dan berat badan. Sumber. Adaptasi dari DSM-IV (APA 2000)



1.2.1 Komplikasi Medis dari Bulimia Berikut beberapa komplikasi medis yang disebabkan oleh bulimia:



1.



Iritasi kulit sekitar mulut, terhambatnya air liur, peluruhan enamel gigi, dan karang gigi akibat asam lambung



2.



Merusak reseptor rasa pada lidah



3.



Sakit pada perut



4.



Hiatal hernia (bagian atas perut menonjol ke bagian diagfragma)



5.



Pankreatitis (rasa panas pada pankreas)



6.



Gangguan fungsi menstruasi



7.



Ketergantungan obat diet maupun pencahar



8.



Diare berdarah



9.



Kekurangan potasium



10. Otot melemah 11. Fungsi jantung tidak normal, dll.



1.3



Penyebab Anoreksia dan Bulimia



1.3.1 Faktor Sosiokultural Tekanan untuk menjadi kurus terutama tertuju pada wanita. Teoritikus sosiokultural menitikberatkan pada tekanan sosial dan harapan dari masyarakat pada wanita muda sebagai kontributor teradap perkembangan gangguan makan (Bemporad, 1996; Stice, 1994). Tekanan untuk mencapai standar kurus yang tidak realistis, dikombinasikan dengan pentingnya faktor penampilan sehubungan dengan peran wanita dalam masyarakat kita, dapat menyebabkan wanita muda menjadi tidak puas dengan tubuh mereka sendiri (Stice, 2001) bahkan pada anakanak usia 8 tahun, wanita lebih menunjukkan ketidakpuasan akan tubuh mereka daripada laki-laki (Ricciardelli & McCabe, 2001) Tekanan dialami oleh hampir semua wanita sehingga melakukan diet menjadi pola makan yang normatif diantara wanita muda Amerika. Empat dari lima wanita muda di Amerika telah melakukan diet pada saat mereka mencapai usia 18 tahun. Pada kenyataannya, perbedaan gender pada obesitas cukup kecil27% wanita dan 24% pria. Lebih jauh lagi, perbedaan gender pada obesitas tidak muncul sampai usia paruh baya.



1.3.2 Faktor Psikososial Sejumlah teoritikus belajar memandang anoreksia sebagai suatu tipe fobia berat badan. Ketakutan berlebihan dan tidak rasional terhadap pertambahan berat badan dapat merefleksikan kecenderungan dalam budaya kita untuk mengidealkan bentuk badan wanita yang ramping. Sementara dalam kasus bulimia, kasus yang sering terjadi biasanya berawal dari konteks diet yang kaku dan ekstrim yang melapisi faktor-faktor interpersonal, emosional, dan kognitif.



1.3.3 Faktor Keluarga Gangguan makan sering kali berkembang dari adanya konflik dalam keluarga (Fairburn dkk., 1997; Wonderlich dkk., 1997) beberapa teoritikus berfokus pada efek brutal self-starvation terhadap orang tua. Mereka mengatakan bahwa beberapa remaja menggunakan penolakan untuk makan sebagai cara menghukum orang tua mereka karena perasaan kesepian dan keterasingan yang mereka rasakan di rumah.



1.3.4 Faktor Biologis Para ilmuwan menduga bahwa terdapat ketidaknormalan dalam mekanisme otak yang mengatur rasa lapar dan kenyang pada penderita bulimia, kemungkinan terbesar berkaitan dengan serotonin kimiawi otak (Goode, 2000a) serotonin memainkan peran penting dalam pengaturan mood dan nafsu makan, terutama selera terhadap karbohidrat. Rendahnya seratonin, atau kurangnya sensitivitas dari reseptor seratonin otak, dapat menyebabkan munculnya episode makan berlebihan, terutama karbohidrat (Levitan dkk., 1997) terdapat pula beberapa petunjuk adanya faktor genetis pada gangguan makan (Wade dkk., 2000)



1.4



Penanganan Anoreksia dan Bulimia



Beberapa penanganan gangguan makan diantaranya adalah: 1. Perawatan Rumah Sakit. Orang orang pengidap anoreksia dapat dirawat di rumah sakit terutama saat penurunan berat badan berlangsung parah dan menurun drastis. Dokter akan terus memantau pasien dan akan mengatur jadwal makan untuk pemulihan. Terapi perilaku juga biasa digunakan,



dengan sasaran membuat penderita mematuhi aturan dari jadwal makan (Rock & Curran-Celentano, 1997) 2. Terapi Psikodinamika. Menggali konflik yang ada dalam diri penderita dan berusaha menanganinya. 3. Terapi Kognitif-behavioral (CBT). Membantu penderita bulimia untuk membatasi pikiran dan keyakinan self-defeating, seperti pemikiran yang tidak realistis dan perfektionis mengenai diet dan berat badan. 4. Obat Antidepresan. Memberi manfaat terapiutik pada penderita bulimia dan terbukti efektif untuk menurunkan keinginan makan berlebihan dengan menormalkan serotonin dan membantu mengatasi depresi yang mendasari anoreksia.



2.



SLEEP DISORDER (GANGGUAN TIDUR) Tidur adalah suatu proses perubahan kesadaran yang terjadi berulang. Tidur



memiliki fungsi restoratif. Namun sulit untuk mengindentifikasi perubahan biokimiawi spesifik yang terjadi selama tidur yang berkontribusi dalam fungsi restoratif. Seperti yang diketahui bahwa banyak manusia yang terganggu oleh masalah tidur. Masalah tidur dapat menyebabkan stress pribadi yang signifikan atau masalah diri secara fungsi sosial, seperti pekerjaan, atau peran lain. Masalah ini diklasifikasikan dalam sistem DSM sebagai sleep disorder. Pencatatan polisomnoografik (PSG) yaitu bentuk evaluasi dari respons fisiologis selama tidur atau berusaha tidur, dengan cara dihubungkan dengan kabel khusus yang dapat memperlihatkan respon gelombang otak, tingkat jantung, gerakan otot, dan pernafasan. DSM megelompokkan gangguan tidur ke dalam 2 kategori utama : dissomnia dan parasomnia.



2.1



Dissomnia Dissomnia adalah gangguan tidur yang memiliki karakteristik terganggunya



jumlah, kualitas, atau waktu tidur. Ada 5 tipe khusus dissomnia:



2.1.1 Insomnia



Berasal dari bahasa latin in artinya “tidak” dan sommus artinya “tidur”. Insomnia yang muncul sewaktu-waktu terutama ketika stress bukanlah sesuatu yang abnormal, namun insomnia dikatakan abnormal jika perilaku tersebut terus berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama. Insomnia kronis terjadi dalam jangka waktu sebulan atau lebih dan menjadi pertanda ganggaun depresi. Insomnia kronis yang tidak di sebabkan oleh gangguan psikologis atau oleh efek obat dan pengobatan adalah insomnia primer. Insomnia primer menyebabkan rasa lelah dan kesulitan dalam melaksanakan fungsi peran sosial.



2.1.2 Hipersomnia Berasal dari kata yunani hyper ‘lebih” dan sommus ”tidur”. Hipersomnia merupakan rasa kantuk yang berlebihan sepanjang hari yang berlangsung hingga sebulan atau lebih.Bisa dalam bentuk bangun terlalu siang atau tidur siang yang lama dan terus berulang namun tidak menyebabkan rasa segar setelah bangun.



2.1.3 Narkolepsi Berasal dari kata yunani narke “tidak sadar atau pingsan” dan lepis “serangan”. Narkolepsi merupakan serangan tidur tanpa adanya pertanda pada waktu yang berbeda sepanjang hari. Rata-rata mereka tertidur dalam jangka waktu 15 menit. Orang tersebut dapat berada dalam perbincangan orang lain pada suatu saat dan terjatuh ke lantai pada saat berikutnya. Diagnosis diberikan ketika serangan tidur muncul setiap hari selama periode 3 bulan atau lebih dan dikombinasikan dengan kehadiran salah satu atau kedua kondisi ; (APA, 2000) a. Cataplexy (kehilangan kontrol otot secara mendadak) b. Gangguan tidur REM (Rapid Eye Movement) dalam tahap antara sadar dan tidur Orang dengan narkolepsi juga sering mengalami sleep paralys (kelumpuhan tidur), tahap sesaat yang tidak mampu untuk bergerak/berbicara dalam kondisi terjaga. Penderita juga berhalusinasi hypnagogic hallucinatios, muncul sesaat sebelum tidur dan melibatkan sensai visual, auditori, taktil, dan kinestetik. Narkolepsi mempengaruhi 0,02% - 0,16% orang dari populasi dewasa umum (APA,1994). Gangguan ini diasosiasikan dengan kualitas hidup yang kurang baik



serta kesehatan dan fungsi sehari-hari yang kurangbaik. Penyebab dari narkolepsi berfokus pada hilangnya sel otak dalam hipotalamus yang menghasilkan suatu zat kimia pengatur tidur (bazell,2000)



2.1.4 Gangguan Tidur Terkait dengan Pernapasan (breathing-related sleep disorder) Gangguan tidur terkait dengan pernapasan (breathing-related sleep disorder) adalah orang yang mengalami gangguan tidur secara berulang-ulang yang disebabkan oleh pernapasan (APA,2000). Gangguan ini mengakibatkan insomnia atau rasa kantuk yang berlebihan di sianghari. Tipe yang paling umum dari masalah pernapasan adalah Obstructive sleep apnea, yang melibatkan gangguan berulang dari organ pernapasan secara menyeluruh atau sebagian selama tidur (Zwilich,2000). Berasal dari kata yunani a “tanpa” dan pneuma “napas”.



Kesulitan



tersumbat,



seperti



bernapasdiakibatkanolehaliranudarapernapasan pembesaran



tonsil/adenoids.



Dalam



kasus



yang



gangguan



menyeluruh, seseorang dapat saja berhenti bernapas 15-90 detik sebanyak 500 kali sepanjang malam (tidur). Gangguan ini diderita sekitar 1-10% dari populasi dewasa umum, dan mungkin lebih besar prosentasenya untuk dewasa lanjut (APA, 2000). Gangguan ini lebih banyak dialami oleh laki-laki dibanding wanita dan juga dialami oleh orang yang obesitas. Tidur apnea berhubungan dengan peningkatan risiko hipertensi, faktor utama untuk serangan jantung dan stroke (Nieto dkk, 2000).



2.1.5 Gangguan Irama Tidur Sirkadia Irama tidur menjadi sangat terganggu karena ketidakcocokan antara tuntutan jadwal tidur yang ditetapkan olehsiklus internal (tidur-bangun) seseorang. Gangguan ini dapatmenyebabkan insomnia dan hypersomnia. jet lag yang biasannyadisebabkankarenaperjalananantarzonawaktutidaktermasukdalamgangua ninikarnahanyabersifatsementara.



2.2



Parasomnia (parasomnias)



Parasomnia (parasomnias) adalah perilaku abnormal atau peristiwa fisiologis yang muncul pada saat tidur atau ambang batas antara saat kondisi terjaga dan tidur. Bentuk parasomnia umumnya :



2.2.1 Gangguan Mimpi Buruk (nightmare disorder) Merupakan kondisi terjaga dari tidur secara berulang-ulang karena mimpi yang menakutkan (mimpi buruk). Biasanya dalam mimpi melibatkan cerita yang terdapat ancaman bahwa fisik seperti diserang, dikejar, dan dilukai. Mimpi buruk sering diasosiasikan dengan traumatis dan umumnya terjadi dalam kondisi stress. Prosesnya: mimpi buruk terjadi saat tidur REM, periode REM cenderung lebih panjang dan mimpi yang muncul selama REM lebih intensif pada periode setengah terakhir dari tidur, jadi mimpi buruk biasanya terjadi larut malam menjelang subuh. Meskipun mimpi buruk berisi aktivitas motorik hebat seperti melarikan diri, tetapi para penderita menunjukkan sedikit aktivitas otot sehingga gerakan tubuh terhambat, hal tersebut berfungsi untuk menghalangi penderita lompat dari tempat tidur.



2.2.2 Gangguan Teror dalamTidur. Gangguan tidur yang memiliki karakteristik episode teror yang berulang dalam tidur dan menyebabkan seseorang terjaga secara tiba-tiba dan dimulai dengan teriakan panik (APA,2000). Gangguan ini biasanya terjadi pada anak dan remaja, dan lebih besar kemungkinan pada pria dibanding wanita. Data statistik gangguan ini diperkirakan 1 - 6% pada anak-anak dan 1% pada orang dewasa (APA, 2000).



2.2.3 Gangguan tidur sambil berjalan (sleep walking disorder) Gangguan tidur yang melibatkan gangguan di mana orang sedang tidur namun bangkit dari tempat tidur lalu berjalan, dan sering berulang. Gangguan berjalan sambil tidur ini tidak melibatkan kehadiran mimpi. Gangguan berjalan sambil tidur banyak terjadi pada anak-anak, diperkirakan mempengaruhi sekitar 15% (APA,2000). 2.3



Faktor Penyebab dan Penanganan



Hingga kini, penyebab dari gangguan tidur masih tidak spesifik karena dianggap gangguan ini memiliki multifaktor. Namun, faktor yang menjadi kontributor utama adalah faktor biologis dan psikologis. Faktor biologis dari gangguan tidur diantaranya adalah adanya masalah fisik yang mendasari. Biasanya masalah fisik terdapat pada penderita insomnia, apnea, dan narkolepsi. Faktor psikologis seperti diantaranya adalah kecemasan dan depresi yang mengganggu tidur dan seringnya terjadi perubahan dalam waktu tidur. Penanganan masalah ini dapat menawarkan penyembuhan jangka pendek untuk insomnia, tetapi terapi kognitif-behavioral juga mampu merubah kebiasaan tidur yang tidak sehat. Terapi obat dapat digunakan untuk penyembuhan insomnia jangka pendek, gangguan tidur lelap (teror tidur dan berjalan sambil tidur), narkolepsi, dan apnea. Penanganan biomedis dapat membuka jalan pernapasan pada apnea. Terapi kognitif-behavioral mengubah kebiasaan tidur yang maladaptif dan pemikiran yang disfungsional mengenai tidur.



Daftar Pustaka Barlow, D. H., & Durand, V. M (2009). Abnormal Psychology. Canada: Wadsworth Cengange Learning. Jeffrey, dkk. 2005. Psikologi Abnormal Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Santrock, J. W. (2011). Life Span Development Ed. 13 Jilid 2. Jakarta: Erlangga.