Ebp Perioperative Retinoblastoma [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

RETINOBLASTOMA



I. Pendahuluan Retinoblastoma adalah tumor ganas intraokular tersering pada anak. Insidensi retinoblastoma bervariasi dari 1 dalam 14.000 hingga 1 dalam 20.000 kelahiran hidup. Jumlah kasus baru di Amerika Serikat diperkirakan 250 hingga 300 kasus per tahun. Jumlah pasien retinoblastoma di Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung pada Januari 2009 hingga Desember 2017 adalah 215 pasien. 1-3 Tingkat kelangsungan hidup pasien retinoblastoma bergantung kepada diagnosis dini dan tatalaksana adekuat. Pasien retinoblastoma pada negara berkembang memiliki prognosis lebih buruk dibandingkan negara maju karena terlambat terdiagnosis. Penelitian di RS Sanglah Denpasar menyatakan sebanyak 68% pasien retinoblastoma meninggal, 27% bertahan hidup dan 5% hilang dari pengamatan. Tujuan tatalaksana retinoblastoma pada negara maju telah bergeser dari mempertahankan bola mata kepada mempertahankan penglihatan, sementara pada negara berkembang tujuan tatalaksana adalah mempertahankan kehidupan karena sebagian besar pasien datang dalam keadaan penyakit yang lebih berat. 4-6 Sari kepustakaan ini bertujuan untuk membahas tatalaksana terbaru pada pasien retinoblastoma. II. Patogenesis Retinoblastoma merupakan neoplasma yang berasal dari sel retina embrionik yang berhubungan dengan mutasi gen RB1. Gen RB1 terletak pada kromosom 13q14. Gen ini berperan dalam mengkode protein retinoblastoma yang berfungsi sebagai supresor tumor yang akan mengontrol siklus sel. Retinoblastoma dapat bersifat herediter atau sporadik. Istilah herediter atau germinal digunakan pada pasien mutasi gen RB 1 pada sel diluar mata. Kasus herediter terdiagnosis pada anak dengan usia yang lebih muda dan retinoblastoma bilateral. Istilah sporadik digunakan pada pasien tanpa riwayat keluarga retinoblastoma sehingga mutasi sel germinal yang terjadi merupakan kasus baru, dan tidak ada mutasi gen RB1 pada sel diluar mata. Kasus sporadik terdiagnosis pada anak dengan usia lebih tua dan retinoblastoma unilateral. Mutasi gen RB1 pada retinoblastoma sporadik dapat diwariskan.2,7-9



1



2



III. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Retinoblastoma berawal sebagai tumor translusen berwarna putih abu-abu pada intraretina dan diperdarahi oleh pembuluh darah retina yang berdilatasi dan berbelok-belok. Tumor akan tumbuh membentuk kalsifikasi sehingga akan berwarna putih seperti kapur (chalky white). Retinoblastoma dapat berkembang membentuk tumor endofitik, eksofitik dan diffuse infiltrating retinoblastoma.2,7,8



Gambar 1. Tumor eksiofitik grup D dengan ablasio retina Dikutip dari : Labert7 Tumor eksofitik tumbuh di bawah lapisan retina dan dapat menyebabkan ablasio retina. Pembuluh darah retina tampak menutupi tumor sehingga menghalangi visualisasi tumor saat pemeriksaan. Tumor endofitik tumbuh pada permukaan retina dan pembuluh darah retina tidak tampak pada permuaakn tumor. Tumor endofitik seringkali mengakibatkan timbulnya vitreous seeds. Vitreous seeds dapat menyebar hingga ke bilik mata depan, berkumpul pada iris hingga membentuk nodul iris atau menetap pada bilik mata depan hingga membentuk pseudohypopyon. Retinoblastoma orbital memiliki manifestasi klinis berupa proptosis.2,8,9



Gambar 2. Tumor endofitik dengan vitreous seeding Dikutip dari : Cantor2



Diffuse infiltrating retinoblastoma merupakan manifestasi klinis dari retinoblastoma yang jarang ditemukan, biasanya terjadi unilateral pada anak usia diatas 5 tahun. Tumor tumbuh meliputi retina secara menyebar membentuk plak tebal dan bukan berbentuk massa. Retinoblastoma jenis ini sulit didiagnosis karena memiliki tampilan klinis yang mirip dengan uveitis intermediate dengan vitreous cell yang padat sehingga sulit untuk menilai segmen posterior.2,7,10



Gambar 3. Massa intraokular dengan kalsifikasi dan shadowing pada USG B-Scan Dikutip dari : Schachat9 Diagnosis retinoblastoma dapat ditegakkan dengan pemeriksaan rutin di poliklinik melalui anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi menggunakan lampu celah dan oftalmoskopi indirek. Gejala-gejala yang sering menjadi keluhan utama adalah leukokoria, strabismus dan inflamasi okular. Gejala lainnya dapat berupa heterokromia iris, hifema spontan dan inflamasi orbita. Keluhan gangguan penglihatan jarang dikeluhkan karena sebagian besar pasien adalah anak usia pra sekolah. 2,7,8



Gambar 4. MRI menunjukkan enhancement diffuse dengan kista multipel Dikutip dari : Cantor2



Pemeriksaan lebih detail dapat dilakukan dengan anestesi (examination under anesthesia/EUA) dan dokumentasi dengan retinal camera (Retcam). USG B-Scan menunjukkan massa intraokular berbentuk bulat atau irregular dengan reflektivitas internal



yang tinggi, menandakan kalsifikasi



di dalam lesi. CT-Scan



menggambarkan perluasan ekstraokular dan mendeteksi pinealoblastoma. Pemeriksaan MRI dilakukan jika dicurigai adanya penyebaran tumor. Tumor di daerah pineal dapat ditemukan pada hasil pencitraan pasien dengan retinoblastoma bilateral, yang disebut dengan retinoblastoma trilateral.2,7,8,10 Tabel 1. Klasifikasi internasional retinoblastoma intraokular



Grup A



Grup B



Grup C



Grup D



Grup E



Tumor intraretina kecil jauh dari foveola dan diskus optikus  Semua tumor berukuran 3 mm atau lebih kecil dalam dimensi terbesar, terbatas pada retina  Semua tumor terletak lebih dari 3 mm dari foveola dan 1,5 mm dari diskus optikus Semua tumor diskrit yang terbatas pada retina  Semua tumor lainnya yang terbatas pada retina dan tidak dapat masuk dalam grup A  Tumor dengan keterlibatan cairan subretinal kurang dari 3 mm dari tumor tanpa subretinal seeding Tumor diskrit lokal dengan subretinal seeding atau vitreous seeding minimal  Tumor diskrit  Terdapat cairan subretina, sekarang atau sebelumnya, tanpa seeding, melibatkan hingga seperempat retina  Vitreous seeding lokal terletak dekat dengan tumor diskrit  Subretinal seeding lokal dengan jarak kurang dari 3 mm (2 disc diameter) dari tumor Tumor difus dengan vitreous seeding atau subretinal seeding yang signifikan,  Tumor masif atau menyebar  Terdapat cairan subretina, sekarang atau sebelumnya,tanpa seeding, menyebabkan ablasio retina total  Keterlibatan vitreus secara difus atau masif dengan gambaran “greasy” atau gambaran massa tumor avascular  Penyebaran subretinal yang difus termasuk plak atau nodul tumor subretina Terdapat satu atau lebih dari tanda-tanda prognosis yang buruk  Tumor menyentuh lensa  Tumor berada di anterior dari permukaan anterior vitreus, melibatkan badan siliar atau segmen anterior  Diffuse infiltrating retinoblastoma  Glaukoma neovaskular  Kekeruhan media karena perdarahan  Tumor nekrosis dengan selulitis orbita aseptik



 Ptisis bulbi Dikutip dari : Murphree11



IV. Klasifikasi Sistem klasifikasi yang ideal untuk retinoblastoma harus mancakup dua komponen yaitu pengelompokan dan staging. Pengelompokan bertujuan untuk mengetahui prognosis terhadap keselamatan organ. Klasifikasi yang digunakan untuk retinoblastoma adalah klasifikasi internasional retinoblastoma intraokular (International Classification of Retinoblastoma/ICRB).1,7,10 Tabel 2. Klasifikasi internasional retinoblastoma (Shields) Tumor kecil Grup A  Retinoblastoma dengan ketebalan ≤ 3 mm Tumor besar  Retinoblastoma dengan ketebalan > 3 mm  Lokasi di makula (≤ 3 mm dari foveola) Grup B  Lokasi di jukstapapilari (≤ 1,5 mm dari diskus optikus)  Cairan subretina jernih ≤ 3 mm dari margin Focal seed  C1 : Subretinal seed ≤ 3 mm dari retinoblastoma Grup C  C2 : Vitreus seed ≤ 3 mm dari retinoblastoma  C3 : Kedua subretina dan vitreus seed ≤ 3 mm dari retinoblastoma Diffuse seed  D1 : Subretinal seed > 3 mm dari retinoblastoma Grup D  D2 : Vitreus seed > 3 mm dari retinoblastoma  D3 : Kedua subretina dan vitreus seed > 3 mm dari retinoblastoma Retinoblastoma ekstensif  Melibatkan > 50% bola mata  Glaukoma neovaskular Grup E  Media keruh karena perdarahan di bilik mata depan, vitreus atau ruang subretina  Invasi nervus optikus poslaminar, koroid (>2 mm), sklera, orbita, bilik mata depan Dikutip dari : Shields12 Staging bertujuan untuk menentukan tingkat prognosis keberlangsungan hidup.Sistem



staging



internasional



yang



saat



ini



digunakan



membagi



retinoblastoma dalam lima stages. Staging dilakukan bedasarkan informasi yang didapatkan saat pemeriksaan klinis, pencitraan dan histopatologi.1,7,10



Table 3. Staging internasional retinoblastoma Stage 0 Stage I Stage II



Tanpa enukleasi (satu atau kedua mata memiliki tumor intraokular) Enukleasi, tumor telah terangkat sepenuhnya Enukleasi dengan sisa tumor mikroskopik Ekstensi regional Stage III A. Tumor orbita terbuka B. Kelenjar getah bening preaurikular atau cervical Metastasis A. Metastasis hematogen 1. Lesi single 2. Lesi multipel Stage IV B. Keterlibatan sistem saraf pusat 1. Lesi prekiasma 2. Massa di sistem saraf pusat 3. Penyakit leptomeningeal Dikutip dari : Chantada13 V. Tatalaksana Tujuan utama dalam tatalaksana retinoblastoma adalah untuk menyelamatkan kehidupan. Mempertahankan organ dan fungsi penglihatan merupakan tujuan sekunder dan tersier. Penatalaksanaan retinoblastoma bergantung pada stadium penyakit. Terdapat beberapa metode dalam tatalaksana retinoblastoma intraokular, yaitu terapi fokal, kemoterapi, radioterapi, dan pembedahan.1,10,14 5.1 Terapi Fokal Terapi fokal merupakan modalitas terapi bekerja lokal pada area tumor tanpa efek regional atau sistemik. Terapi fokal terdiri dari krioterapi, fotokoagulasi laser dan termoterapi. Terapi fokal digunakan pada tumor berukuran kecil atau kombinasi dengan kemoterapi pada tumor berukuran besar.7,9,15 5.1.1 Krioterapi Krioterapi merupakan modalitas terapi lokal retinoblastoma yang bekerja merusak membran sel tumor secara mekanik dengan kristal es melalui siklus beku cair (freeze-thaw cycle). Krioterapi digunakan untuk tumor yang berada di anterior, media refraksi jernih dan tumor tanpa vitreous seeding. Tumor yang berada di posterior ekuator dapat dilakukan krioterapi dengan membuat insisi kecil pada konjungtiva forniks diantara otot rektus untuk memasukkan probe (cutdown cryotherapy).2,9,10



Tabel 4. Tatalaksana Retinoblastoma A



Tumor intraokular, grup A hingga C, unilateral atau bilateral 1. Terapi fokal (krioterapi atau termoterapi traspupil) untuk tumor kecil (diameter dan ketebalan ≤3 mm), lokasi tidak berada di area krusial. 2. Kemoreduksi 6 siklus dan terapi agresif fokal sekuensial untuk tumor yang lebih besar dan berada di area krusial 3. Menunda terapi fokal hingga 6 siklus untuk tumor yang berada di makula dan > 6 siklus untuk area juxtapapillary 4. Terapi fokal untuk residu tumor kecil dan plaque brachytherapy/external beam radiotherapy (usia > 12 bulan) untuk residu tumor bilateral yang besar, dan enukleasi untuk unilateral B Tumor intraokular, grup D, unilateral atau bilateral 1. Kemoterapi dosis tinggi dan terapi fokal gresif sekuensial 2. Carboplatin periokular untuk vitreous seeds 3. Enukleasi primer jika unilateral, khususnya pada mata dengan prognosis visual buruk C Tumor intraokular, Grup E, unilateral atau bilateral 1. Enukleasi primer 2. Evaluasi histopatologi untuk faktor risiko tinggi D Faktor risiko tinggi pada histopatologi, Stage 2 1. Evaluasi sistemik untuk menilai metastasis 2. Kemoterapi adjuvant 6 siklus standar 3. Kemoterapi adjuvant dosis tinggi dan orbital external beam radiotherapy pada pasien dengan infiltrasi sklera, perluasan ekstraokular dan perluasan ke batas potongan nervus optikus E Tumor ekstraokular, Stage 3A 1. Evaluasi sistemik untuk menilai metastasis 2. Kemoterapi dosis tinggi 3-6 siklus, dilanjutkan dengan enukleasi atau enukleasi luas, external beam radiotherapy dan dilajutkan kemoterapi dosis tinggi 12 siklus F Metastasis kelenjar getah bening regional, Stage 3B 1. Evaluasi sistemik untuk menilai metastasis 2. Diseksi leher, kemoterapi dosis tinggi 6 siklus, diikuti external beam radiotherapy, dan dilanjutkan kemoterapi dosis tinggi 12 siklus G Hematogen atau metastasis sistem saraf pusat, Stage 4 1. Diskusikan terapi paliatif dengan keluarga 2. Kemoterapi dosis tinggi dengan penyelamatan sumsum tulang belakang untuk metastasis hematogen 3. Kemoterapi intratekal dosis tinggi untuk metastasis sistem saraf pusat Sumber : Honafar10 Krioterapi dimulai dengan memposiskan prob tepat pada sklera dibawa tumor, posisinya dievaluasi menggunakan oftalmoskop indirek. Prob krioterapi digunanakan untuk melokalisir dan elevasi tumor dengan melakukan indentasi sklera. Ketika probe sudah berada dibawah tumor, pembekuan dimulai dan bola es dipertahankan hingga menutupi seluruh masa tumor. Setelah es menutupi apeks



tumor setinggi 2 mm, bola es kemudian dicairkan dan siklus beku cair diulang 2 hingga 3 kali. Penting untuk menjaga probe tetap pada tempatnya hingga es benar benar mencair untuk mencegah cedera pada bola mata. Komplikasi yang dapat



terjadi adalah perdarahan vitreous, terbentuk cairan subretina, robekan retina, lubang pada retina, ablasio retina, dan atropi sklera.1,9,15 5.1.2 Fotokoagulasi Laser Prinsip kerja fotokoagulasi laser adalah menghasilkan skar akibat energi panas yang bersumber dari sinar laser. Tumor dilapisi dengan skar berlapis untuk membatasi aliran darahnya. Indikasi fotokoagulasi laser adalah tumor besar yang telah dilakukan kemoterapi sistemik (kemoreduksi), modalitas tunggal pada tumor perifer kecil atau tumor posterior dan mengurangi rekurensi tumor kecil pada skar atau sekitar skar setelah kemoterapi atau radioterapi. Laser fotokoagulasi efektif digunakan pada tumor yang terletak di posterior, media refraksi jernih, diameter tumor kurang dari 3 mm dan ketebalan tumor kurang dari 2 mm tanpa seeding ke vitreous sekitarnya. Kontraidikasi fotokoagulasi laser adalah pada pasien yang sedang dilakukan protokol kemoreduksi karena akan menghambat asupan pembuluh darah ke tumor dan mengurangi konsentrasi obat kemoterapi yang berada pada tumor tersebut.9,10,15 Penggunaan energi yang berlebih dapat mengakibatkan perdarahan vitreus dan perdarahan subhyaloid. Jika dilakukan fotokoagulasi laser pada tumor berada di area juxtapapil, dapat terjadi komplikasi berupa defek lapang pandang yang besar. Komplikasi lain pada terapi laser adalah ablasio retina serosa, oklusi pembuluh darah retina, traksi retina, lubang retina, fibrosis preretina, luka bakar iris pada margin pupil dan kekeruhan lensa. Tumor yang aktif dan menunjukkan pertumbuhan setelah satu sesi terapi laser akan membutuhkan energi yang lebih besar pada terapi kedua. Pertumbuhan tumor yang terus terjadi setelah terapi kedua, mengindikasikan bahwa dibutuhkan modalitas lain untuk menekan pertumbuhan tumor.9,10,15 5.1.3 Termoterapi Prinsip kerja termoterapi adalah menghasilkan panas dari sinar infra merah sehingga memicu apoptosis sel tumor. Termoterapi menggunakan panas dengan suhu 400C hingga 600. Termoterapi diaplikasikan melewati pupil, menggunakan



radiasi infra merah yang dipancarkan dari diode laser pada oftalmoskop indirek. Termoterapi juga dapat diaplikasikan transsklera menggunakan mikroskop operasi. Tumor dipanaskan hingga berubah warna menjadi abu-abu. Regresi tumor sebesar 85% didapatkan setelah 3 hingga 4 sesi termoterapi. Komplikasi yang sering terjadi adalah atrofi iris, kekeruhan lensa paraksial, traksi retina, ablasio retina serosa.7,10 5.2 Radioterapi Radioterapi merupakan salah satu modalitas penting dalam tatalaksana retinoblastoma. Radioterapi terdiri dari plaque brachytherapy dan external beam radiotherapy (EBRT). Radioterapi digunakan pada tumor yang telah regresi oleh kemoterapi sistemik atau muncul kembali setelah kemoterapi.7,9



5.2.1 Plaque Brachytherapy Plaque Brachytherapy merupakan terapi menggunakan implant radioaktif yang diletakkan pada sklera yang melapisi tumor untuk meradiasi tumor secara transsklera. Bahan radio aktif yang sering digunakan adalah Ruthenium 106 dan Iodine 125. Sumber radioaktif ini ditanamkan ke dalam bentuk plak yang dibuat sesuai dengan bentuk dan ukuran tumor. Lokasi tumor ditentukan, kemudian plak difiksasi pada sklera dengan penjahitan. Plak akan disimpan pada posisi tersebut selama durasi paparan terapi yaitu 36 hingga 72 jam.7,9,10 Plaque Brachytherapy digunakan sebagai terapi sekunder pada mata yang tidak respon terhadap kemoterapi dan EBRT atau tumor rekuren dan tumor fokal yang terlalu besar untuk dilakukan krioterapi atau laser. Paparan radiasi yang digunakan pada brachytherapy terbatas pada struktur okular sehingga tidak meningkatkan risiko terjadinya keganasan sekunder okular ataupun non okular. Komplikasi brachytherapy adalah retinopati, papilopati, katarak, glaukoma, perdarahan intraokular.10,15



5.2.2 External Beam Radiotherapy (EBRT) Prinsip kerja EBRT adalah menggunakan Cobalt 60 (sinar gamma) dan akselerator linear (X-Ray). EBRT digunakan pada mata yang mengalami kegagalan pada kemoterapi primer atau terapi lokal. EBRT jarang digunakan sejak protokol kemoterapi terbaru telah ditemukan. Komplikasi yang dapat timbul akibat terapi ini adalah hambatan pertumbuhan orbita, mata kering, katarak, retinopati radiasi dan neuropati optik. EBRT juga dapat mengakibatkan keganasan sekunder khususnya pada pasien dengan retinoblastoma herediter.7,10 5.3 Enukleasi Enukleasi merupakan metode yang paling sering digunakan untuk tatalaksana retinoblastoma tahap lanjut. Pasien yang dipertimbangkan untuk enukleasi adalah pasien dengan retinoblastoma grup D unilateral, grup E unilateral atau bilateral, dan pasien dengan tumor aktif pada mata dengan fungsi penglihatan buruk yang telah menyelesaikan terapi primer. Enukleasi juga dapat dipertimbangkan pada pasien dengan kecurigaan tumor aktif dan tidak dapat dilakukan pemeriksaan funduskopi karena media keruh.1,2,15



Gambar 5. Pembesaran nervus optikus dan tumor ekstrasklera Sumber : Honafar10 Hal penting yang harus diperhatikan saat melakukan enukleasi adalah mencegah terjadinya perforasi bola mata dan mendapatkan potongan nervus optikus dengan panjang minimal 15 mm. Inspeksi secara makrokopis dilakukan pada bola mata yang telah dienukleasi untuk mengidentifikasi adanya perluasan tumor ke ekstraokular dan keterlibatan nervus optikus. Adanya area yang mencurigakan seperti sklera yang tipis, indurasi, perubahan warna, perubahan



vaksular, nodul dan pelebaran vena vortex merupakan penanda untuk menilai perluasan tumor ke sklera atau ektrasklera secara histopatologis.7,9,10 Penggunaan implan orbital mendukung perkembangan rongga orbita, menghasilkan tampilan yang lebih baik secara kosmetik dan menunjang pergerakan protesa. Penggunaan teknik operasi dan protesa yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien akan mengoptimalkan mobilitas protesa dan memberikan tampilan yang lebih baik. Pemasangan protesa dilakukan pada 4 minggu pasca operasi. Pemantauan berkala dilakukan setelah operasi untuk mengevaluasi rekurensi tumor orbita pada soket.7,9,15



Gambar 6. Retinoblastoma yang telah dienukleasi dan terpasang protesa mata Sumber : Honafar10 5.4 Kemoterapi Kemoterapi merupakan terapi standar utama pada retinoblastoma. Kemoterapi kemudian dikembangkan untuk meningkatkan efektivitas dan mengurangi efek samping yang ditimbulkan. Kemoterapi terdiri dari kemoterapi intravena, intraarteri, dan periokular. Kemoterapi digunakan sebagai terapi pada tumor yang terlalu besar atau luas untuk dilakukan terapi fokal.1,7,8 5.4.1 Kemoterapi Sistemik Kemoterapi mulai banyak digunakan sejak awal tahun 1990an bersama dengan terapi fokal menggantikan EBRT. Kemoterapi intravena kemudian berkembang menjadi terapi terpenting untuk menyelamatkan bola mata pasien dengan retinoblastoma. Sebagian besar institusi menggunakan carboplatine, vincristine dan etoposide dalam 3 hingga 6 siklus sebagai regimen terapi. Kombinasi kemoterapi dan terapi fokal menghasilkan luaran yang lebih baik dalam



mengontrol pertumbuhan tumor. Komplikasi kemoterapi intravena yang dapat mengancam jiwa adalah munculnya keganasan sekunder non okular seperti leukemia. 7,9,15 Terdapat beberapa istilah dalam kemoterapi sistemik, yaitu kemoreduksi, kemoterapi adjuvan dan kemoterapi neoadjuvan. Kemoreduksi adalah proses reduksi volume tumor dengan kemoterapi. Kemoterapi sendiri tidak dapat menyembuhkan, sehingga harus dikombinasikan dengan terapi fokal lainnya. Kemoreduksi yang dikombinasi dengan terapi fokal dapat meminimalkan kebutuhan enukleasi atau EBRT tanpa mengakibatkan efek toksis sistemik yang berlebihan. Hal ini memungkinkan terapi dengan mempertahankan bola mata dan memaksimalkan sisa penglihatan yang ada. Kemoreduksi sangat baik dilakukan pada tumor tanpa caira subretina atau vireous seeding.1,9,10 Kemoterapi adjuvan adalah kemoterapi yang berperan sebagai terapi profilaksis pada pasien tanpa metastasis. Terapi adjuvan bertujuan untuk mengurangi risiko metastasis. Regimen kemoterapi adjuvan berupa 6 sikluas kemoterapi Carboplatine, Etoposide dan Vincristine, sama seperti regimen yang digunakan pada kemoreduksi. Kemoterapi neoadjuvan adalah kemoterai yang diberikan kepada pasien yang telah direncanakan enukleasi.1,9,10 Tabel 5. Dosis dan Regimen Kemoreduksi Retinoblastoma Intraokular Hari 1 Vinsristine + Etoposide + Carboplatin Hari 2 Etoposide 2 1.5 mg/m (0.05 mg/kg untuk anak usia ≤ 36 bulan Vincristine and dosis Dosis standar (3 maksimum ≤ 2mg) Etoposide 150 mg/m2 (5 mg/kg untuk anak usia ≤ 36 minggu, 6 bulan) siklus) Carboplatin 560 mg/m2 (18.6 mg/kg untuk anak usia ≤ 36 bulan) Vincristine 0.025 mg/Kg Dosis Etoposide 12 tinggi (3 mg/Kg minggu, 6-12 Carboplatin 28 siklus) mg/Kg Sumber : Honafar10 5.4.2 Kemoterapi Periokular Kemoterapi periokular ditemukan atas dasar kebutuhkan akan level terapetik obat kemoterapi yang adekuat dengan toksisitas sistemik yang minimal. Kemoterapi periokular menggunakan Carboplatin yang dimasukkan ke subtenon posterior. Kemoterapi jenis ini digunakan pada retinoblastoma dengan vitreous



seeding karena memiliki penetrasi yang baik ke sklera dan mencapai konsentrasi yang efektif pada kavum vitreus. Injeksi carboplatin peribulbar dan episklera dapat menghasilkan konsentrasi carboplatin yang lebih tinggi pada vitreous daripada injeksi intravena. Metode ini masih jarang digunakan karena penelitian mengenai efikasi dan efek sampingnya masih terbatas.7,9,10,15 Metode lain yang digunakan untuk memasukkan obat melewati sklera adalah menggunakan reservoir silikon yang dipasang di episklera dengan pembedahan minimal pada konjungtiva. Reservoir ini dapat melepaskan agen kemoterapi dosis tinggi ke vitreous dan retina posterior. Komplikasi yang dapat terjadi pada kemoterapi periokular adalah atropi nervus optikus, keterbatasan gerak bola mata dan fibrosis jaringan lunak orbital. Hal ini menyebabkan enukleasi lebih sulit dilakukan. 7,15 VI. Terapi Terbaru Pendekatan terapi retinoblastoma intraokular semakin berkembang dari hari ke hari karena keinginan untuk menyelamatkan lebih banyak mata dan mengurangi komplikasi. Terapi lokal dan regional berupa pemberian agen komoterapi langsung ke bola mata atau melalui arteri regional banyak dikembangkan sejak 10 tahun terakhir. Modalitas lain seperti radioterapi juga dikembangkan untuk mencapai hasil maksimal.9,14,15 6. 1 Selective Intra Arterial Kemotherapy (SIAC) Teknik kemoterapi intraarterial bertujuan untuk memfokuskan konsentrasi obat kemoterapi ke mata sehingga mengurangi konsentrasi obat sistemik. Obat kemoterapi ditujukan ke tumor pada mata melalui arteri oftalmika. Pilihan obat yang digunakan adalah Melphalan. Obat kemoterapi diinjeksikan melalui kateter kecil yang dimasukkan melalui arteri femoralis. Komplikasi yang dapat terjadi adalah toksisitas okular seperti edema periokular, hilangnya bulu mata sementara, hiperemis pada dahi. Komplikasi vascular yang mungkin terjadi adalah iskemia, spasme, stenosis atau oklusi. 10,14,15



6.2 Kemoterapi Intravitreal Kemoterapi intravitreal digunakan pada retinoblastoma intraokular dengan vitreous seeding. Retinoblastoma dengan vitreous seeding memiliki respon yang buruk terhadap kemoterapi intravena karena penetrasi yang buruk pada kavum vitreus yang avaskular. Injeksi dilakukan pada 3 hingga 3,5 mm dari limbus. Injeksi intravitreal dilanjutkan dengan melakukan krioterapi triple freeze-thaw pada lokasi injeksi untuk mencegah penyebaran tumor melalui area injeksi. Injeksi ini dapat diulang setiap 7 hingga 10 hari sekali hingga tercapai respon yang baik. Kontraindikasi pada kemoterapi intravitreal adalah retinoblastoma grup E, invasi tumor ke segmen anterior dan badan siliar, posterior vistreous detachment, vitreous seeding yang menyebar diseluruh kuadran dan ablasio retina total. Regimen yang digunakan adalah melphalan, topotecan, dan kombinasi keduanya. Melphalan merupakan pilihan obat yang digunakan dengan dosis 20–30 µg/0.1 ml. Topotecan memiliki waktu paruh yang lebih panjang. Efek samping kemoterapi intravitral terhadap fungsi retina yang dilihat berdasarkan hasil elektroretinogram (ERG) masih menjadi perdebatan.9,14 6.3 Radioterapi EBRT banyak digunakan pada masa sebelum era kemoterapi. EBRT kemudian mulai ditinggalkan karena banyaknya komplikasi yang ditimbulkan seperti keganasan sekunder dan komplikasi yang diakibatkan radiasi. Saat ini terdapat kebaruan dalam radioterapi yaitu teknik radiasi yang lebih baik sehingga mengurangi tingkat kerusakan pada jaringan normal disekitar. Stereotactic conformal radiotherapy (SCR) menggunakan pemancar lebih kecil dengan posisi yang lebih akurat. Proton beam therapy menghasilkan dosis yang seragam pada setiap target.9,14 6.4 Modalitas Terapi Lain Terdapat beberapa modalitas terapi baru dalam tatalaksana retinoblastoma. Vitrektomi pars plana (VPP) dan endoreseksi untuk terapi penyakit retina atau vitreus yang refrakter pertama kali diperkenalkan pada tahun 2018. Teknik ini



meliputi VPP, lalu endoreseksi untuk mengangkat rekurensi retina, pemasangan minyak silikon, penggunaan melphalan melalui jalur infus, dan injeksi melphalan subkonjungtiva dan intravena untuk mengurangi penyebaran tumor.9,14 VII. Orbital Retinoblastoma Perluasan retinoblastoma yang terdeteksi secara klinis, radiologis, atau histopatologis di luar batas bola mata disebut sebagai retinoblastoma orbital. Retinoblastoma orbital primer mengacu pada perluasan retinoblastoma intraokular yang terdeteksi secara klinis atau radiologi ke area orbital, nervus optikus, seluruh ketebalan sklera atau ekstraokular, dengan atau tanpa proptosis atau massa fungating. Protokol terapi orbital retinoblastoma primer terdiri dari kemoterapi dengan kombinasi 3 obat utama yaitu vincristine, etoposide dan carboplatin dosis tinggi dalam 3 hingga 6 siklus, dilanjutkan dengan operasi (enukleasi, enukleasi luas atau eksenterasi), radioterapi orbital, dan tambahan kemoterapi 12 siklus.7,9,16



Gambar 7. Orbital retinoblastoma primer dengan perluasan ke nervus optikus Dikutip dari : Hanovar16 Kekambuhan pada orbital setelah dilakukan enukleasi pada retinoblastoma intraokular



disebut



retinoblastoma



orbital



sekunder.



Rekurensi



orbital



retinoblastoma dapat muncul sebagai massa orbital beberapa minggu hingga tahun setelah operasi primer. Tatalaksana retinoblastoma orbital sekunder diawali dengan kemoterapi dosis tinggi sebanyak 3 hingga 6 siklus. Intervensi bedah seperti eksisi tumor atau eksenterasi kemudian dilakukan sesuai dengan residu tumor yang ada. Terapi kemudian dilanjutkan dengan EBRT dan kemoterapi 12 siklus.1,16



VIII. Penapisan dan Pencegahan Kurangnya



pengetahuan



dan



kewapadaan



mengenai



retinoblastoma



mengakibatkan pasien terlambat didiagnosis. Hal ini merupakan hambatan terbesar dalam meningkatkan angka kesembuhan pasien retinoblastoma. Anak dengan riwayat keluarga retinoblastoma memiliki risiko lebih tinggi mengalami retinoblastoma dan membutuhkan pengawasan yang lebih ketat. Evaluasi berkala dibutuhkan untuk menemukan tumor lebih awal, sehingga terapi juga dapat dilakukan lebih awal. Risiko terjadinya retinoblastoma dapat diperkirakan dengan melihat



hubungan



pasien



dengan



anggota



keluarga



yang



mengidap



retinoblastoma.1,17



Gambar 8. Retinoblastoma orbital sekunder pada pasien yang telah dienukleasi Dikutip dari : Hanovar16 Anak yang memiliki risiko retinoblastoma membutuhkan pemeriksaan fundus pupil lebar serial oleh oftalmologis yang berpengalaman dalam menangani retinoblastoma. EUA dibutuhkan pada pasien yang tidak kooperatif pada pemeriksaan di poliklinik. Bayi membutuhkan skrining yang lebih sering dan periode skrining dapat diatur secara berkala seiring dengan peningkatan usianya. Skrining retinoblastoma dilakukan pada anak hingga usia 7 tahun, setelah usia 7 tahun anak tanpa gejala tidak membutuhkan skrining lanjutan kecuali mereka terbukti memiliki mutasi gen RB1. Anak dengan mutasi gen RB1 membutuhkan skrining berkala setiap 1 hingga 2 tahun sekali setelah usia 7 tahun. Skrining genetic prenatal juga dapat dilakukan melalui amniocentesis pada pasien dengan riwayat keluarga retinoblastoma.1,17



IX. Prognosis Prognosis retinoblastoma tergantung pada derajat keparahan saat pasien pertama kali datang. Beberapa faktor yang menjadi penentu prognosis adalah ukuran, lokasi, terdapat cairan subretina atau vitreous seeding dan gambaran histopatologis. Metode diagnosis dan terapi yang lebih modern membuat prognosis retinoblastoma menjadi lebih baik.`Angka harapan hidup pasien retinoblastoma dalam 3 tahun mencapai 96%. Mortalitas pada sebagian besar pasein dengan mutasi RB1 sel germinal terjadi saat adanya keganasan sekunder.1,7 X. Kesimpulan Penatalaksanaan



retinoblastoma



bergantung



pada



stadium



penyakit.



Pendekatan terapi retinoblastoma intraokular semakin berkembang dari hari ke hari karena keinginan untuk menyelamatkan lebih banyak mata dan mengurangi komplikasi. Evaluasi berkala dibutuhkan untuk menemukan tumor lebih awal, memulai terapi lebih awal, dan menhasilkan luaran terapi yang lebih baik.



DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.



Ali AA, Kletke S, Gallie B, Lam W-C. Retinoblastoma for Pediatric Ophthalmologists. Asia Pac J Ophthalmol 2018;7(3):160-8. Cantor LB, Rapuano CJ, McCannel CA. Ophthlamic Pathology and Intraocular Tumors. San Francisco: American Academy of Ophthalmology; 2019-2020. Siahaan A, Wahyu MS. Gambaran Pasien Retinoblastoma di Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Periode Januari 2009 – Desember 2017: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; 2018. Jain M, Rojanaporn D, Chawla B, Sundar G, Gopal L, Khetan V. Retinoblastoma in Asia. Eye. 2018;33:87-96. Global Retinoblastoma Study Group. Global Retinoblastoma Presentation and Analysis by National Income Level. JAMA Oncol. 2020;6(5):685-95. Lastariana KAY, Ariawati K, Widnyana P. Prevalens dan karakteristik penderita retinoblastoma di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2008- 2016. Medicina. 2018;49(2):179-83. Lambert SR, Lyons CJ. Taylor & Hoyt's Pediatric Ophthlamology and Strabismus. Philadelphia: Elsevier; 2017. Tarek N, Herzog CE. Nelson Textbook of Pediatrics. Philadelphia: Elsevier; 2020. Kim JW, Mansfield NC, Murphree AL. Retinoblastoma. Ryan's retina. Edisi ke-6. Philadelpia: Elsevier; 2018. Honavar SG, Manjavida FP, Ali MJ, Vemuganti GK, Reddy VAP. Retinoblastoma They Live and See. India: All India Ophthalmological Society; 2012. Murphree AL. Intraocular Retinoblastoma : The case for a new group classification. Ophthalmol Clin of North Am. 2005;18:41-53. Shields CL, Shields JA. Basic understanding of current classification and management of retinoblastoma. Current Opinion in Ophthalmology. 2006;17:228-34. Chantada G, et al. A Proposal for an International Retinoblastoma Staging System. Pediatr Blood Cancer. 2006;47:801-5. Chawla B, Singh R. Recent advances and challenges in the management of retinoblastoma. Indian J Ophthalmo. 2017;65(2):133-9. Berry JL, Kim JW, Damanto BE, Singh AD. Clinical Ophthalmic Oncology Retinoblastoma. Edisi ke-3. Switzerland: Springer; 2019. Honavar SG, Manjandavida FP, Reddy VAP. Orbital Retinoblastoma: An update. Indian J Ophthalmol. 2017;65(6):435-42. Skalet AH, et al. Screening Children at Risk for Retinoblastoma. American Academy of Ophthlamology. 2018;125(3):453-8.



TINDAKAN PERIOPERATIVE CARE BERDASARKAN EVIDANCE BASED 1



Judul Penulis



Tahun Jurnal Tujuan Metode Hasil



Kesimpulan



2



Judul



Penulis



Implementation of Enhanced Recovery After Surgery in a Community Hospital: An Evidence-Based Approach Michele Persico, MSN, RN-BC, CCRN-CSC, David Miller, MD, Cassandra Way, BSN, RN, CEN, CPAN, Marsha Williamson, MSN, RN-BC, ANP-BC, CCRN-K, Kate O’Keefe, MSN, RN, FNP, CPHQ, Dennis Strnatko, BS, Fay Wright, PhD, RN, APRN-BC 2018 Journal of Perianesthesia Nursing Peningkatan pemulihan setelah operasi (ERAS) adalah protokol praktik berbasis bukti yang telah terbukti mengurangi biaya, mengurangi lamanya tinggal (LOS), dan meningkatkan hasil bedah Tes kecil perubahan menggunakan metodologi Plan-Act-Study-Do digunakan untuk mengevaluasi proses pelaksanaan satu layanan bedah pada satu waktu untuk memastikan hasil yang efektif Setelah proses ditentukan menjadi efektif, hasil pasien (misalnya, LOS) diukur. Temuan: Rata-rata, LOS menurun dari 3,2 menjadi 1,7 hari. Tingkat pendaftaran kembali bedah menurun dari 3% menjadi 1%. Ada umpan balik positif dan beban kerja keperawatan telah menurun dengan proses yang konsisten Set pesanan ERAS terus dimodifikasi berdasarkan pada bukti dan umpan balik dari anestesi dan perawat terdaftar. Laporan bulanan memastikan konsistensi.



Management of Postoperative Pain: A Clinical Practice Guideline From the American Pain Society, the American Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine, and the American Society of Anesthesiologists’ Committee on Regional Anesthesia, Executive Committee, and Administrative Council Roger Chou, Debra B. Gordon,y Oscar A. de Leon-Casasola,z Jack M. Rosenberg, Stephen Bickler, Tim Brennan,k Todd Carter, Carla L. Cassidy, Eva Hall Chittenden,zz Ernest Degenhardt, Scott Griffith, Renee Manworren, Bill McCarberg, Robert Montgomery, Jamie Murphy, Melissa F. Perkal, Santhanam Suresh, Kathleen Sluka, Scott Strassels, Richard Thirlby, Eugene Viscusi, Gary A. Walco, Lisa



Tahun Jurnal Tujuan Metode



Warner, Steven J. Weisman, and Christopher L. Wuzz 2016 Journal of Pain Ekpert panel untuk pedoman klinis berdasarkan evidence based, kefektifan dan pemulihan post operasi pada anak dan dewasa. The American Pain Society (APS) menghadirkan panel dari 23 member meliputi expert dari anastesi, ahli berdah, perawat, ahli



Hasil



Kesimpulan



III.



kandungan, ahli perawatan anak, farmasi rumah sakit, dan psikologi untuk meriview penelitian merumuskan panduan managemen nyeri. Metode yang digunakan dalam membuat pedoman ini berdasarkan systematical review yang dilihat dari beberapa aspek yang berhubungan dengan intervensi dan managemen sebagai strategi dalam menangani nyeri. Setelah melakukan review kemudian expert panel membuat rekomendasi terhadap berbagai aspek managemen nyeri post operasi meliputi: edukasi pre operasi, perencanaan peri operasi managemen nyeri menggunakan farmakologi dan non farmakologi, peraturan organisasi, dan peningkatan pelayanan. Panel mennunjukkan penggunaan menggabungkan farmakologi dan non farmakologi . dari 32 rekomendasi terdapat 4 sebagai penelitian dengan kualitas tinggi. Dan 11 penelitian meliputi: area edukasi, perencanaan perioperative, pemeriksaan pasien, struktur organisasi dan kebijakan dan hasil perawatan pasien. Panduan ini berbasis systematical review dari penelitian pada nyeri post operasi, menghasilkan rekomendasi dari multidiciplin expert panel.



PEMBAHASAN Penelitian dari (Persico et al., 2018) menyebutkan Komponen kunci protokol Eras adalah intervensi yang dirancang untuk mengurangi respons stres pasien bedah. Stres bedah adalah aktivasi sistem saraf simpatetik sebagai respons terhadap cedera yang disebabkan oleh pembedahan. Meskipun stres bedah merupakan respon adaptif, jika pasien tidak menerima dukungan fisiologis yang optimal, pemulihan dapat tertunda karena keadaan katabolik. Protokol ERAS membatasi respon stres bedah melalui pendekatan multimodal untuk pra operasi, intraoperatif, dan pasca operasi pengelolaan a. Komponen pra operasi dari ERAS proto- col melibatkan evaluasi dan optimalisasi nutrisi pasien. Komponen kunci dari optimisasi ini termasuk meminimalkan puasa pra operasi dan pasien dan pendidikan keluarga tentang protokol. Pemberian karbohidrat dikaitkan dengan kembalinya fungsi usus yang sedikit lebih awal dan penurunan status katabolik. Pasien harus mengkonsumsi karbohidrat, pada malam sebelum operasi dan 2 hingga 3 jam sebelum anestesi dengan nutrisi tambahan karbohidrat



kompleks.



Tinjauan



sistematis



mengidentifikasi



bahwa



memungkinkan pasien untuk minum cairan 2 sampai 3 jam sebelum operasi tidak meningkatkan risiko regurgitasi atau aspirasi dibandingkan dengan praktik



tradisional dari malam.



tidak mengkonsumsi apa-apa melalui mulut setelah tengah



Waktu puasa menurun juga muncul untuk mencegah komplikasi,



penurunan kemungkinan infeksi pasca operasi, dan meningkatkan pemulihan. Pendidikan pasien dan keluarga sangat penting untuk mengoptimalkan gizi dan mendukung kepatuhan terhadap protokol ERAS. Tanpa penjelasan yang jelas tentang mengapa hal itu dapat dilakukan sebelum operasi mungkin akan ada kebingungan antara pengetahuan saat ini dan sebelumnya. Pendidikan pra operasi termasuk penjelasan mengapa mengkonsumsi karbohidrat, cairan hingga 2 jam sebelum operasi adalah kunci untuk menjaga keseimbangan hidrasi pasien. Seluruh tim perlu memberikan pesan yang konsisten tentang jenis cairan apa yang dapat dicerna dan waktu dari cairan yang ditentukan. Latihan untuk beberapa minggu sebelum operasi adalah penting untuk mempersiapkan mereka untuk memperbaiki pemulihan pasca operasi mereka. Merokok dan konsumsi alkohol harus dihentikan 4 minggu sebelum operasi untuk meningkatkan hasil. Hasil yang diharapkan pasien yang sehat, terhidrasi dengan baik, dan dengan informasi yang baik adalah tujuannya. b. Manajemen Intraoperatif Komponen intraoperatif dari protokol ERAS berfokus pada manajemen perioperatif anestesi, analgesia, terapi cairan, dan teknik invasif yang minimal. Agen anestesi intrakoperasi terdiri dari inhalasi pendek dan cairan intravena (IV) untuk meminimalkan waktu pemulihan pasca operasi. Sebuah blok neuromuskular dilakukan di daerah perut dengan tujuan mengontrol rasa sakit pasca operasi. Keputusan dibuat oleh Kepala Anestesiologi untuk menambahkan ke ERAS proto-col dengan mengairi luka bedah dengan bupiva-caine liposome pada akhir kasus untuk memberikan anestesi lokal selama 24-96 jam pereda nyeri. Secara tradisional, cairan IV telah digunakan tanpa parameter klinis khusus untuk menentukan jumlah yang tepat dari cairan yang dibutuhkan, yang menghasilkan variasi yang luas dalam pemberian cairan. Protokol ERAS menstandardisasi administrasi dengan bolus tujuan-diarahkan larutan IV untuk mempertahankan keseimbangan cairan hampir. Cairan diberikan menggunakan perubahan volume untuk mengoptimalkan pasien pada kurva Frank-Starling Salah satu metode untuk menentukan jumlah cairan yang dibutuhkan untuk secara optimal mengelola perawatan intraoperatif adalah monitor cairan noninvasif. Monitor cairan non-invasif memberikan parameter hemodinamik untuk membuat



keputusan tentang administrasi volume. Hal ini memungkinkan pemberian cairan lebih sedikit selama prosedur sambil mempertahankan keadaan euvole-mic. Data klinis obyektif (misalnya, volume stroke, variasi volume stroke, curah jantung, resistensi pembuluh darah sistemik, dan tekanan darah berkelanjutan) disediakan monitor cairan non-invasif c. Manajemen Pascaoperasi Elemen pasca operasi dari protokol ERAS dibangun di atas perawatan pra operasi dan intraoperatif yang dioptimalkan. Keberhasilan penerapan unsur-unsur pra-operatif dan intraoperatif dari protokol ERAS memungkinkan pasien untuk memobilisasi dan makan pada hari operasi,



dapat meningkatkan pemulihan.



Komponen kunci dari protokol ERAS pasca operasi adalah evaluasi pra operasi untuk mencegah PONV dan ileus, mendorong nutrisi awal, dan ambulasi dini. Di institusi kami, anestesi melengkapi penilaian risiko PONV untuk menentukan profilaksis. LOS pasca operasi juga menurun dengan kepatuhan dari protokol. Pascaoperasi, cairan diberikan melalui terapi yang diarahkan pada tujuan, dengan pemantauan ketat terhadap status hidrasi pasien untuk mencapai keseimbangan cairan yang optimal. Secara umum, pasien pasca operasi hanya memerlukan cairan IV diberikan pada 40 mL / jam sampai mentoleransi 600 mL melalui mulut. Pemberian analgesia nonopioid pasca operasi memberikan kontrol nyeri yang lebih baik tanpa efek merugikan dari obat opioid. Selain itu, intervensi nonfarmakologis didorong untuk kenyamanan pasien. Intervensi yang mengurangi rasa sakit termasuk selimut hangat di perut, duduk di samping tempat tidur sebelum ambulasi, musik dengan nada rendah, dan



tanpa gangguan. Asuhan



keperawatan yang berpusat pada pasien yang sangat baik di PACU sangat penting untuk mendukung efektivitas intervensi nonfarmakologis. Metode anestesi, tap block, juga mengurangi rasa sakit pasca operasi. Blok keran biasanya memiliki efek anestesi lokal yang bertahan sekitar 96 jam. Obat analgesia lain yang terfokus untuk protokol ERAS adalah ga- bapentin, tramadol, acetaminophen, dan ketorolac tromethamine yang diberikan sepanjang waktu selama 24 jam pertama pasca operasi bersamaan dengan onsetsetron untuk pencegahan PONV. Pendekatan ini memberikan langkah-langkah kenyamanan yang komprehensif untuk meningkatkan pemulihan. Analgesik opioid (misalnya, oxycodone hydrochloride dan hydromorphone) juga tersedia untuk skor nyeri lebih dari 7



pada skala numerik 0 hingga 10, namun tidak diberikan sampai ukuran kenyamanan yang lain tidak berhasil. Implementasi melalui : PENDIDIKAN STAKEHOLDER. Langkah pertama untuk implementasi yang sukses adalah mengidentifikasi dan mendidik para pemangku kepentingan tentang pentingnya protokol ERAS. Para pemangku kepentingan kunci yang diidentifikasi untuk keberhasilan proyek termasuk staf keperawatan dari unit operasi rawat jalan (ASU), OR, PACU, dan unit rawat inap bedah, personel asisten yang tidak berlisensi, terapi fisik, hospitalists, anestesi, keperawatan kepemimpinan, farmasi, perawat pendidik, dan tim informatika. Satu ahli bedah kolorektal adalah juara untuk menerapkan protokol ERAS dan terbukti penting dalam mendidik dan berkomunikasi dengan yang lain ahli bedah dan penyedia anestesi, yang keterlibatannya sangat penting untuk sukses. Keperawatan kepemimpinan (misalnya, Manajer Unit) mendukung tidak hanya untuk pendidikan tetapi juga untuk merencanakan proses implementasi memfasilitasi pelatihan staf dan kepatuhan terhadap protokol. Pendidikan pemangku kepentingan menggunakan STC dengan pembekalan dan perbaikan secara realtime. STC memungkinkan evaluasi setiap langkah implementasi untuk efisiensi dan efektivitas maksimum, dan melibatkan umpan balik pemangku kepentingan. Ini memfasilitasi pengembangan dan keberhasilan implementasi protokol ERAS.



Penelitian yang dilakukan oleh Chou et al., (2016) mengungkapkan bahwa The American Pain Society (APS) menghadirkan panel dari 23 member meliputi expert dari anastesi, ahli berdah, perawat, ahli kandungan, ahli perawatan anak, farmasi rumah sakit, dan psikologi untuk meriview penelitian merumuskan panduan managemen nyeri. Dalam artikel ini mngungkapkan beberapa intervensi: Edukasi pre operasi dan perencanaan managemen nyeri perioperative. 1) Panel merekomendasikan tenaga klinis menghadirkan pasien center care dan keluarga center care, edukasi secara individual meliputi informasi: opsi treatment untuk managemen nyeri post operatif, document perencanaan, dan pencapaian post operasi.



2) Panel merekomendasikan pasien dewasa dan orang tua dari anak yang akan mendapatkan tindakan operasi mendapatkan konseling anastesi. 3) Panel merekomendasikan pemeriksaan skala nyeri pre operasi 4) Panel merekomendasikan tenaga klinis membuat perencanaan managemen nyeri dari dasar 5) Panel merekomendasikan menggunakan format pemeriksaan yang telah divalidasi untuk merekam respon nyeri dari awal. 6) Panel merekomendasikan menggunakan multimodal analgesic dan kombinasi intervensi farmakologi dan non farmakologi. Penggunaan modalitas fisik 7) Dan 8) 8)



Melakukan treatment : transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS), acupuncture, massage, or cold therapy as adjuncts to other postoperative pain treatments Terapi modalitas lingkungan



9) Terapi modalitas lingkungan sebagai pencapaian multimodal Penggunaan dari terapi farmakological sistemik: 10) Terapi intravena (i.v.) administration of opioids for postoperative anal- gesik 11) Menghindari penggunaan rute intramuscular dalam memberikan analgesic. 12) i.v. patient-controlled analgesia (PCA) be used for postoperative systemic analgesia when the parenteral route is needed . Dari artikel di atas semuanya bisa dijadikan sumber evidence perawat dalam memberikan intervensi non farmakologi untuk menurunkan ambang nyeri, meningkatkan kualitas hidup dan memberikan semangat dalam menjalani sakit yang harus dihadapi oleh klien Tn H.



DAFTAR PUSTAKA Chou, R., Gordon, D. B., De Leon-Casasola, O. A., Rosenberg, J. M., Bickler, S., Brennan, T., … Wu, C. L. (2016). Management of postoperative pain: A clinical practice guideline from the American pain society, the American society of regional anesthesia



and pain medicine, and the American society of anesthesiologists’ committee on regional anesthesia, executive commi. Journal of Pain, 17(2), 131–157. https://doi.org/10.1016/j.jpain.2015.12.008 Persico, M., Miller, D., Way, C., Williamson, M., O’Keefe, K., Strnatko, D., & Wright, F. (2018). Implementation of Enhanced Recovery After Surgery in a Community Hospital: An Evidence-Based Approach. Journal of Perianesthesia Nursing, 1–10. https://doi.org/10.1016/j.jopan.2018.02.005