Eosinofil Granuloma Kompleks KLP D1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



LAPORAN KEGIATAN PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER HEWAN BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FELINE EOSINOPHILIC GRANULOMA PADA KUCING BONI



Disusun oleh: Kelompok D1 PPDH Semester Ganjil Tahun 2019/2020 Periode 9 September – 5 Oktober 2019



S.M, Leluala, SKH M. Aulia Bagaskara, SKH Resti Indana, SKH Ahmad Munawar Rangkuti , SKH Shabrina Zakira Zafarina, SKH Annisa Yohanes, SKH Nike Choo Lee Ann, SKH Fadhilah Amaliyah Haq, SKH Aswan Amiruddin, SKH Naufal Haddam Maulana, SKH



B94191003 B94191007 B94191011 B94191027 B94191032 B94191033 B94191038 B94191045 B94191057 B94191058



Dosen pembimbing: Dr. Drh. Sus Derthi Widhyari, MSi



PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI KEDOKTERAN HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2019



1



PENDAHULUAN Latar Belakang Ada banyak penyakit yang dapat menyerang kucing baik infeksius maupun non infeksius. Salah satu jenis gangguan yang dapat terjadi adalah pada kucing adalah feline eosinophilic granuloma complex (EGC). Eosinophilic granuloma complex merupakan pola reaksi dermatologis pada kucing yang timbul karena adanya reaksi seperti alergi hipersensitivitas dan sering diikuti dengan infeksi sekunder. Plaque eosinofilik, granuloma eosinofilik, dan ulser eosinofilik dapat dikelompokkan bersama menjadi eosinophilic granuloma complex (EGC). Penyakit ini dianggap sebagai pola reaksi kulit yang dapat menjadi manifestasi dari sejumlah infeksi yang mendasari, alergi atau infestasi ektoparasit. Hal ini juga dapat idiopatik, yang tidak memiliki pemicu yang tidak diketahui. Reaksi eosinophilic merupakan hal yang umum pada penyakit inflamantori pada kucing. Granuloma eosinofilik bisa menjadi pola reaksi turun-temurun di beberapa ras kucing domestik (Goljan 2011). Eosinofilik adalah jenis sel darah putih yang umumnya terkait dengan respon alergi atau dengan parasitisme. Jumlah eosinofil akan naik pada tes darah ketika hewan peliharaan memiliki kutu atau cacing atau ketika mengalami alergi, dan dapat menyebabkan sensasi gatal, bengkak, kemerahan dan gejala lain dari alergi. Granuloma eosinofilik terbagi atas tiga kelas yang memiliki kondisi berbeda, tidak semua berbentuk granuloma dan tidak semua mempunyai eosinofil. Selain itu, munculnya lesi granuloma eosinophilik tidak menyiratkan penyebab spesifik. Granuloma eosinofilik bisa muncul dari sejumlah kondisi kulit primer, meskipun alergi adalah penyebab yang paling umum (Brooks 2013). Berdasarkan hal tersebut, granuloma eosinofilik akan menjadi granuloma yang dibentuk eosinofil dengan mekanisme yang lebih kompleks sehingga penting untuk dipelajari dna diketahui lebih lanjut. Makalah ini akan menjelaskan mengenai studi kasus penyakit feline eosinophilic granuloma complex (EGC) pada kucing Boni.



Tujuan Tujuan dari makalah ini adalah mengetahui pemeriksaan, anamnesis, gejala klinis, cara diagnosis, dan terapi yang dapat digunakan pada kasus feline eosinophilic granuloma complex (EGC).



2



HASIL DAN PEMBAHASAN Anamnesis Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan pemiliki kucing, diperoleh beberapa anamnesis. Sebelumnya kucing Boni sudah pernah mengalami penyakit gagal ginjal, hati, dan empedu dikarenakan salah diagnosa dan kesalahan pemberian obat. Kondisi Boni sekarang sudah membaik setelah hasil tes pengecekan darah pada awal bulan September yang menunjukkan fungsi ginjal dan hati sudah membaik. EGC mulai terlihat pada bulan Juli-Agustus 2019. EGC timbul di bagian punggung sebanyak tiga benjolan (bagian belakang, tengah dan depan tubuh Boni). Benjolan di bagian belakang dan tengah sudah pernah mengempis, namun tumbuh kembali pada bulan akhir bulan Agustus. Pengobatan yang sudah diberikan selama ini berupa vitamin, imunomodulator dan obat fufang. Nafsu makan Boni sedikit tapi sering (7 kali setiap harinya) yang diberikan dengan pakan ayam rebus. Vaksin pertama kali telah diberikan pada bulan Juni 2019. Boni belum pernah diberikan obat cacing dan kutu. Pada umur 3 bulan Boni pernah mengalami benturan, sehingga diduga terkena gangguan saraf yang meyebabkan inkoordinasi pada saat jalan. Penanganan yang diberikan pada kasus EGC selama ini yaitu, diberikan tindakan pengeluaran isi bagian benjolan tersebut. Gejala Klinis Gejala Klinis yang ditunjukkan pada kasus Boni, yaitu adanya tiga benjolan yang muncul pada bagian tubuhnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Scott et al. (2001). EGC dapat ditandai dengan adanya peradangan, konsistensi keras, dan ulcerasi pada bagian yang mengalami pembesaran. Berdasarkan White (2013), EGC dapat berkonsistensi yang keras, eritematosa dan kadang kekuningan, mempunyai batas yang baik dan distribusi linear. Kelainan berada pada daerah kaudal dari paha, atau jarang di leher, dada, atau kaki depan. Setelah dibuat preparat ulas dari bagian yang mengalami EGC, dapat terlihat eosinofil dengan menggunakan mikroskop. Berdasarkan Scott et al. (2001), secara histologis, sering terjadi epidermal yang parah dan folikel canthosis, eosinophilic eksositosis, spongiosis, dan epidermis dan folikel mukinosis. Dermis mengalami infiltrasi densely dengan eosinofil berhubungan dengan sel mast dan sebagian kecil limfosit radang plasmasitik. Sinyalemen Hewan Nama Jenis hewan Ras Warna bulu & kulit Jenis kelamin



: Boni : Kucing : Persia mix : Hitam : Jantan



3



Umur Bobot badan Tanda khusus



: 1 Tahun 9 Bulan : 3.5 Tahun : Mata kiri lebih kecil dari mata kanan



Gambar 1 Kucing Boni Pemeriksaan Fisik 1. Status Present 1.1 Keadaan Umum Perawatan Habitus Tingkah laku Gizi Pertumbuhan badan Sikap berdiri Suhu tubuh Frekuensi nadi Frekuensi napas



: Baik : Tulang punggung lurus : Jinak : Baik : Baik : Tegak pada 4 kaki : 38,4 °C : 180 x/ menit : 40 x/ menit



1.2 Adaptasi Lingkungan : Takut 1.3 Kepala dan Leher Inspeksi - Ekspresi wajah - Pertulangan kepala - Posisi tegak telinga - Posisi kepala Palpasi - Turgor kulit - Kondisi kulit



: Takut, cemas : Simetris, tegas : Tegak keduanya : Miring ke kiri



: Baik (< 3 detik) : Ada 3 benjolan berdiameter ± 3 cm



4



Mata dan Orbita Kiri - Palpebrae - Cilia - Conjuctiva - Membran nictitans Mata dan Orbita Kanan - Palpebrae - Cilia - Conjunctiva - Membran nictitans Bola Mata Kiri - Sclera - Cornea - Iris - Limbus - Pupil - Reflex pupil - Vasa injectio Bola Mata Kanan - Sclera - Cornea - Iris - Limbus - Pupil - Reflex pupil - Vasa injectio Hidung dan sinus-sinus



: Membuka dan menutup sempurna : Keluar sempurna : Rose, licin, basah : Tersembunyi : Membuka sempurna : Keluar sempurna : Rose, licin, basah : Tersembunyi



: Putih : Bening : Kuning : Datar : Tidak ada kelainan : Ada : Tidak ada : Putih : Bening : Kuning : Datar : Tidak ada kelainan : Ada : Tidak ada : Simetris, basah, aliran udara bebas, tidak ada foetor ex naso



Mulut dan rongga mulut - Rusak/ luka bibir - Mukosa - Gigi geligi - Lidah



: Tidak ada : Rose, basah, licin : Lengkap : Rose, basah, tanpa perlukaan



Telinga - Posisi - Bau - Permukaan daun telinga - Krepitasi - Refleks panggilan



: Tegak keduanya : Khas cerumen : Tidak ada lesio : Tidak ada : Ada



Leher - Perototan - Trakhea - Esophagus



: Simetris : Teraba : Teraba, kosong



5



-



Ln. retrophayrngealis jelas, tidak



: Ukuran tidak berubah, kenyal, lobulasi ada perlekatan, suhu sama dengan kulit sekitarnya, simetris



1.4 Thorak 1.4.1. Sistem Pernapasan Inspeksi - Bentuk rongga thorax - Tipe pernapasan - Ritme - Intensintas - Frekuensi Palpasi - Penekanan rongga thorax - Palpasi intercostal sakit Perkusi - Lapangan paru-paru - Gema perkusi Auskultasi - Suara pernapasan - Suara ikutan antara in- dan ekspirasi



: Simetris : Costalis : Teratur : Tidak ada perubahan : 40 x/ menit : Tidak sakit : Tidak ada reaksi batuk atau



: Tidak ada perubahan : Nyaring : Suara vesicular terdengar : Tidak ada



1.4.2. Sistem Peredaran Darah Inspeksi - Ictus cordis Perkusi - Lapangan jantung Auskultasi - Frekuensi - Intensitas - Ritme - Suara sistolik dan diastolik - Ekstrasistolik - Lapangan jantung - Sinkron pulsus dan jantung



: Tidak ada : Tidak ada kelainan : 180 x/ menit : Kuat : Teratur : Jelas : Tidak ada : Tidak ada kelainan : Sinkron



1.5 Abdomen dan Organ yang Berkaitan Inspeksi - Besarnya : Tidak ada perubahan - Bentuknya : Simetris - Legok lapar : Rata - Suara peristaltik lambung : Terdengar Palpasi - Epigastrikus



: Tidak ada respon sakit



6



-



Mesogastrikus Hypogastrikus Isi usus halus Isi usus besar



: Tidak ada respon sakit : Tidak ada respon sakit : Tidak teraba : Tidak teraba



Auskultasi - Peristaltik usus



: Tidak ada hiperperistaltik



Anus - Sekitar anus : Bersih - Reflex spinchter ani : Ada - Glandula perianalis kanan/ kiri anus : Tidak ada perubahan - Kebersihan daerah perineal : Bersih Perkemihan dan Kelamin (Urogenital) Jantan - Preputium - Mukosa - Gland Penis - Besar - Bentuk - Sensitivitas - Warna - Kebersihan - Srotum - Urethra 1.6 Alat Gerak Inspeksi - Perototan kaki depan - Perototan kaki belakang - Spasmus - Tremor - Sudut persendian - Cara bergerak-berjalan - Cara bergerak-berlari Palpasi - Struktur pertulangan  Kaki kiri depan  Kaki kanan depan  Kaki kiri belakang  Kaki kanan belakang - Konsistensi pertulangan - Reaksi saat palpasi - Letak reaksi sakit - Panjang kaki depan ka/ki - Panjang kaki belakang ka/ki - Ln. popliteus



: Tidak ada : Tidak ada radang : Tidak ada perubahan : Tidak ada perubahan : Sensitif : Rose : Bersih : Tidak ada perubahan : Tidak ada perubahan



: Simetris, tidak ada kelainan : Simetris, tidak ada kelainan : Tidak ada : Tidak ada : Tidak ada kelainan : Tidak koordinatif : Tidak koordinatif



: Simetris, kompak : Simetris, kompak : Simetris, kompak : Simetris, kompak : Tidak ada kelainan : Tidak ada kelainan : Tidak ada reaksi sakit : Sama panjang : Sama panjang



7



-



-



 Ukuran  Konsistensi  Lobulasi  Perlekatan  Panas  Kesimetrisan ka/ki Kestablian pelvis  Konformasi  Kesimetrisan Tuber ischii Tuber coxae



: Tidak berubah : Kenyal : Jelas : Tidak ada : Sama dengan suhu kulit sekitarrnya : Simetris : Konformasi tegas : Simetris : Teraba : Teraba



Kucing persia mix bernama Boni datang ke RSHP FKH IPB pada hari Rabu, 18 Septermber 2019. Kucing tersebut berumur 1 tahun 9 bulan dan berjenis kelamin jantan. Pemilik boni membawa Boni ke RSHP dengan keluhan 3 benjolan pada daerah punggung. Setelah dilakukan administrasi di resepsionis, Boni dilakukan pemeriksaan. Hampir semua hasil pemeriksaan menunjukkan hasil yang baik, dan beberapa menunjukkan hasil yang tidak normal. Boni memiliki frekuensi nadi sebanyak 180 kali per menit. Frekuensi tersebut melebihi dari nilai normal. Menurut Widodo et al. (2017), frekensi nadi kucing normal berada pada kisaran 110-130 kali per menit. Takikardi yang terjadi pada Boni diduga terjadi karena Boni merasa stres saat dilakukan pemeriksaan oleh orang baru. Posisi kepala boni miring ke kiri dan adanya inkoordinasi cara bergerak, berjalan, dan berlari. Menurut anamnesis dari pemilik, Boni pernah mengalami benturan pada umur 3 bulan. Hal tersebut yang diduga menjadi penyebab inkoordinasi pada saat berjalan. Ada 3 benjolan berdiameter ± 3 cm. Benjolan tersebut mulai terlihat pada bulan juli, bagian belakang dan tengah sudah pernah kempes dan tumbuh lagi pada bulan akhir bulan agustus. Benjolan tersebut berisi cairan dan diduga sebagai eosinophilic granuloma complex (EGC). Kemudian dokter meminta untuk dilakukan pemeriksaan profil darah dan kimia darah. Diagnosa Penunjang Pemeriksaan Hematologi dan Biokimiawi Darah No Nama Hewan Warna Rambut Ras TTL/Umur



: 238/Lab RSH/IX/2019 : Boni : Kucing : Persia Mix : 1 Tahun 9 Bulan



Sex Pemilik Alamat Tangal Klinisi



: Jantan : Nefo : Griya Melati 1 Blok A3 no 6 : 18 September 2019 : Drh Danny



8



Tabel 1 Hasil pemeriksaan hematologi dan biokimiawi darah Jenis Pemeriksaan Hematologi Eritrosit (RBC) Hemoglobin (Hb) Hematokrit (HCT) MCV MCH MCHC RDW Trombosit (PLT) MPV PDV PCT Leukosit (WBC) Limfosit Monosit Granulosit Limfosit Monosit Granulosit Eosinofil Kimia Darah Alkalin Phosphatase (ALP) SGPT/ALT SGOT/AST Total Protein (TP) Glukosa Ureum (BUN) Kreatinin



Hasil



Nilai Normal Anjing



Nilai Normal Kucing



9.12 106/µ 14.3 g/dL 43.7 % 48.0 fL 15.6 Pg 32.7 14.3 % 130 103/µ* 11.3 fL* 15.4 % 0.146 % 7.0 103/µ 2.9 103/µ 0.4 103/µ 3.7 103/µ 42.1 % 5.5 %* 52.4 % 6.8%



5.5 – 8.5 106/µ 11 – 19 g/dL 39 – 56 % 62 – 772 fL 19.5 – 24.5 Pg 31 – 34 g/dL 11 – 15.5 % 200 – 500 103/µ 3.9 – 11.1 fL 10 – 18 % 0.1 – 0.5 % 6 – 17 103/µ 8 – 5.1 103/µ 0.0 – 1.8 103/µ 4 – 12.6 103/µ 12 – 30 % 2–9% 60 – 83 % 0 – 8%



5 – 10 106/µ 8 – 15 g/dL 24 – 45 % 39 – 55 fL 12.5 – 17.5 Pg 30 – 36 g/dL 13 – 17 % 300 – 800 103/µ 12 – 17 fL 0 – 50 % 0.1 – 0.5 % 5.5 – 19.5 103/µ 1.5 – 7.0 103/µ 0 – 1.5 103/µ 2.5 – 14 103/µ 20 – 55 % 1 -3 % 35 – 80 % 0 – 10%



43 U/L 161 U/L* 21 U/L 6.5 g/dL* 75 mg/dL 23 mg/dL 1.0 mg/dL



20 – 150 U/L 10 – 118 U/L 8.9 – 49 U/L 5.4 – 8.2 g/dL 60 – 110 mg/dL 7 – 25 mg/dL 0.3 – 1.4 mg/dL



10 – 90 U/L 20 – 100 U/L 0.2 – 39.5 U/L 5.4 – 8.2 g/dL 70 – 150 mg/dL 10 – 30 mg/dL 0.3 – 2.1 mg/dL



* Adanya peningkatan atau penurunan dibandingkan dengan nilai normal Hasil profil darah merah (Tabel 1) dari Boni sebagian besar berada pada kisaran normal kecuali trombosit. Boni mengalami trombositopenia karena memiliki kadar trombosit sebesar 130 103/µ sedangkan nilai normal trombosit berada pada kisaran 300 – 800 103/µ. Selain itu nilai mean platelet volume (MPV) yang rendah juga menjelaskan bahwa Boni mengalami trombositopenia. Hasil darah putih yang mengalami kelainan terlihat pada jumlah monosit. Boni mengalami monositosis karena memiliki jumlah sebesar 5.5% sedangkan nilai normal monosit pada kucing hanya berkisar antara 1-3%. Tingginya Monosit pada



9



profil darah boni diduga karena ada infeksi sekunder yang terjadi pada granuloma yang berada di punggung Boni. Hasil kimia darah dari boni juga menunjukkan nilai normal kecuali nilai SGPT. Adanya peningkatan kadar SGPT dalam darah dapat menunjukkan kerusakan hati akibat senyawa toksik (Lehninger 2004). Menurut anamnesis yang bersumber dari pemilik, Boni pernah mendapatkan diagnosis dan pengobatan yang tidak sesuai. Obat yang diberikan dengan jenis dan dosis yang tidak sesuai dapat menyebabkan obat tersebut berubah menjadi zat toksik dan merusak hati. Diagnosis Tahap pertama yang dilakukan adalah menentukan diagnosis dari penyakit ini adalah inspeksi adanya lesi EGC. Lesi dapat ditemukan dengan melakukan sitologi dan histopatologi. Apabila hasil sitologi disominasi oleh eosinophil maka dipastikan bahwa terdapat lesi EGC. Selain itu lesi ECG akan terlihat membengkak, memiliki batas yang jelas, berwarna merah kekuningan, dan umumnya ditemukan di paha dan rongga mulut. Hasil histologi lesi EGC menunjukan adanya dermatitis eosinophil difus edema epidermal ekstra dan intraseluler, serta adanya vesikel yang mengandung eosinophil. Penyebab dari ECG sendiri terdapat banyak factor sehingga dapat menimbulkan tejadinya misinterpretasi yang dapat berdampak pada terapi selanjutanya (White 2013).



History Clinical Examination Cytology Histopatologi



Pengerokan kulit Trichography Coat Brushingh Kultur jamur Sitologi



Infestasi parasit Dermatophytosis Infeksi bakteri



Pengobatan parasit Pembatasan pakan



Alergi gigitan kutu Reaksi pakan



Atopic dermatitis Idiopathic



Gambar 2 Penentuan penyebab EGC Prognosa Prognosis dari ECG sendiri dapat dikatan baik, karena lesi akan menghilang dengan sendirinya, namun hal tersebut dapat berbahaya jika terjadi infeksi sekunder.



10



Kausa Penyakit EGC tidak menunjukkan diagnosa dermatologi spesifik, dan terdapat banyak faktor sebagai kausa dari kondisi ini. Eosinophilic granuloma merupakan pembentukan pulau Langerhans histiosit (Medleau dan Hnilica 2006). Feline Eosinophilic Granuloma Complex adalah bentuk dari pola reaksi yang terlihat di kulit kucing dan dapat disebabkan oleh berbagai macam kausa, namun pada banyak kasus gejala klinis berupa hipersensitivitas sering ditemui. Penyebab pasti Feline Eosinophilic Granuloma Complex tidak dapat diketahui. Beberapa penelitian menunjukkan gejala klinis berupa respon alergi merupakan bentuk yang sering terlihat di sebagian besar kasus (Hunter dan Ward 2019).



Gambar 3 Kondisi EGC pada Boni Lesio EGC sering muncul bersama penyakit alergi pada kulit, yang meliputi hipersensitivitas akibat gigitan kuku, atopic dermatitis, dan reaksi alergi makan (Campbell 2000). Dibandingkan invasi parasit, lesio dari kondisi ini seringkali disebabkan oleh reaksi alergi kutu, nyamuk, atau tungau (Miller 2014). Beberapa kausa yang memungkinkan untuk reaksi sistemik adalah antibiotik, pengobatan jantung, alergi makanan, dan alergi pada serbuk. Walaupun etiologi dari kondisi ini tidak diketahui, gambaran histologi dari lesi ini menunjukkan mekanisme yang melibatkan sistem imun, kemungkinan reaksi hipersensitivitas terhadap suatu antigen (Scott et al. 2001). Diferensial Diagnosa Menurut Bloom (2006), granuloma pada kulit kucing yang paling umum adalah feline military dermatitis (FMD) atau dan eosinophilic granuloma complex (EGC). Kedua jenis ganggguan kulit tersebut memiliki kausa yang sama dan yang paling umum adalah reaksi hipersensitivitas dari gigitan insekta, baik pinjal, nyamuk, alergen, atau pakan. Alergen dari lingkungan biasanya menyebabkan atopic dermatitis. EGC terdiri dari eosinophilic plaque (EP), eosinophilic granuloma (EG), dan indolent ulcer (IU). Differensial diagnosa yang dapat



11



ditemukan adalah squamous cell carcinoma (SCC) dan ulser infeksius yang bias disebabkan oleh feline herpesvirus. SCC adalah tumor malignant yang umum terjadi pada kucing. Lesio yang terbentuk diduga disebabkan oleh kerusakan sekunder akibat photo-carcinogenesis, kemudian berkembang menjadi karsinoma in-situ (Spugnini et al. 2007). SCC sangat jarang bermetastase, tetapi memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi ulserasi kanker. Kucing penderita feline herpesvirus memiliki gejala klinis mirip dengan ECG berupa ulser di oral atau korneal diikuti dengan bersin dan leleran nasal serta okuler. Selain itu, differensial diagnosa lain yang menunjukkan gejala mirip ECG adalah canine facial eosinophilic folliculitis dan furunculosis (Bloom 2006). Terapi Terapi yang diberikan pada kasus kucing Boni adalah dengan memberikan antibiotik dan vitamin B. Antibiotik berfungsi untuk mencegah adanya infeksi skunder yang dapat disebabkan oleh perlukaan yang ada pada granuloma. Vitamin B berfungsi sebagai terapi penunjang untuk tetap meningkatkan dan mempertahankan aktivitas tubuh. Pilihan terapi lain untuk EGC dapat berupa penggunaan glukokortikoid, asam lemak esensial, siklosporin, chlorambucil, aurothioglucose dan progestagen, telah direkomendasikan dalam literatur. Terapi dapat dilakukan dengan melihat reaksi hipersensitivitas kucing tersebut baik terhadap alergen, pakan, atau parasit. Penggunaan jangka panjang glukokortikoid pada kucing dengan masalah kulit kronis harus dilakukan dengan hati-hati. Asam lemak esensial (EFA) adalah asam lemak tak jenuh ganda yang merupakan fakto nutrisi penting karena tidak dapat disintesis oleh tubuh. Siklosporin menghambat proliferasi sel T dan pembentukan limfosit sitotoksik dan juga diduga menghambat sel mast dan reaksi fase segera dan lanjut yang diperantarai IgE melalui penekanan transduksi sinyal yang dimediasi kalsium (Krishnaveni 2016). Pencegahan Penyakit Gangguan hipersensitivitas (alergi terhadap kutu, atau makanan) harus diuji dengan melaksanakan kontrol kutu yang ketat, menguji alergen lingkungan (intradermal atau in vitro), dan melakukan uji coba eliminasi makanan. Hiposensitisasi, pengendalian serangga lanjutan, dan manajemen makanan harus digunakan jika sesuai (White 2013).



SIMPULAN Boni mengalami eosinophilic granuloma complex (EGC) yang dapat diamati melalui pemeriksaan fisik hewan serta didukung dengan diagnosa



12



penunjang. Terapi yang diberikan kepada Boni diharapkan dapat menunjang kondisi tubuh Boni sebelum dilakukan tindakan lebih lanjut.



DAFTAR PUSTAKA Bloom PB, 2006. Canine and feline eosinophilic skin diseases. Veterinary Clinics: Small Animal Practice. 36(1): 141-160. Brooks W. 2013. Eosinophilic Granuloma Complex. Veterinary Information Network. Campbell KL. 2000. The Veterinary Clinics of North America : Small Animal Practice: Dermatology. Philadelphia (US): WB Saunders Goljan EF. 2011. Rapid Review Pathology. Philadelphia (US): Elsevier. 246. Hunter T, Ward E. 2019. Eosinophilic Granuloma Complex in Cats. [internet]. [diunduh pada tanggal 29 September 2019]. Tersedia pada: https://vcahospitals.com/know-your-pet/feline-eosinophilic-granulomacomplex-in-cats. Krishnaveni J. 2016. Case Study On Feline Eosinophilic Granuloma Complex. Skripsi. Bogor (ID): Faculty Of Veterinary Medicine Bogor Agricultural University Bogor. Lehninger AL. 2004. Dasar-dasar Biokimia. Edisi ke-2. Jakarta (ID): Erlangga. Medleau L, Hnilica KA. 2006. Small Animal Dermatology A Color Atlas and Therapeutic Guide. St. Louis, Missouri (US): Saunders Elsevier. Miller WH. 2014. Eosinophilic Granuloma Complex. New York (US): Cornell University College of Veterinary Medicine, Ithaca. Hal 200-221. Scott R, Danny W, Miller WH, Griffin JE. 2001. Muller & Kirk's Small Animal Dermatology 6th Edition. Philadelphia (US): WB Saunders Company.3538. Setiawan A. 2010. Implementasi Fuzzy Expert System untuk Analisis Penyakit Kulit pada Hewan. Seminar Nasional Teknologi Informasi 2010. Spugnini EP, Vincenzi B, Citro G, Tonini G, Dotsinsky I, Mudrov N, Baldi, A., 2009. Electrochemotherapy for the treatment of squamous cell carcinoma in cats: a preliminary report. The Veterinary Journal. 179(1): 117-120. White SD. 2013. Eosinophilic Granuloma Complex in cats. Merck Veterinary Manual. Merck & Co,Inc. New York (US). 50-53. Widodo S, Sajuthi D, Choliq C, Wijaya A, Wulansari R, Lelana RPA. 2017. Diagnostik Hewan Kecil. Bogor (ID): IPB Press.



13