Erupsi Obat Alergik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ERUPSI OBAT ALERGIK



2.1. Definisi Erupsi Obat Alergik Erupsi obat alergik (allergic drug eruption) ialah reaksi alergik pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat secara sistemik yaitu obat tersebut masuk melalui mulut, hidung, rektum, vagina, dan dengan suntikan atau infus.1



2.2. Etiologi Erupsi Obat Alergik Erupsi Obat Alergik merupakan manifestasi reaksi obat pada kulit. Tidak semua obat dapat mengakibatkan reaksi alergi ini. Hanya beberapa golongan obat yang umumnya mengakibatkan erupsi obat alergik. Obat-obatan tersebut yaitu, antibiotik (terutama penisilin, penisilin semisintetik, dan sulfonamid), obat anti inflamasi non steroid (OAINS), dan obat-obatan antikonvulsan.3 2.3. Faktor Resiko Erupsi Obat Alergik2,4,5 Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat alergik adalah: 1. Jenis kelamin Wanita mempunyai resiko lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Walaupun demikian, belum ada satupun ahli yang mampu menjelaskan mekanisme ini. 2. Sistem imunitas Erupsi obat alergik lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami penurunan sistem



imun.



Pada



penderita



AIDS



misalnya,



penggunaan



obat



sulfametoksazol justru meningkatkan risiko timbulnya erupsi eksantematosa 10 sampai 50 kali dibandingkan dengan populasi normal 3. Genetik atau herediter Faktor genetik atau herediter dapat meningkatkan resiko terjadinya erupsi obat alergik jika ada sifat hipersensitivitas. 4. Usia



Alergi obat dapat terjadi pada semua umur. Pada anak-anak mungkin disebabkan oleh perkembangan sistim immunologi yang belum sempurna.



Sebaliknya, pada orang



dewasa disebabkan karena lebih seringnya orang dewasa berkontak dengan bahan antigenik. Umur yang lebih tua akan memperlambat munculnya onset erupsi obat tetapi menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi bila terkena reaksi yang berat. 5. Dosis dan cara pemberian obat Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan timbulnya sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase induksi, dosis yang sangat kecil sekalipun sudah dapat menimbulkan reaksi alergi. Semakin sering obat digunakan, maka semakin besar kemungkinan timbulnya reaksi alergi pada penderita yang peka. Pemberian obat secara topikal, intramuskular dan intravena lebih cenderung menyebabkan reaksi dibandingkan pemberian oral. 6. Infeksi dan keganasan Mortalitas tinggi juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat yang disertai keganasan. Reaktivasi infeksi virus laten dengan human herpes virus (HHV) umumnya ditemukan pada penderita sindrom hipersensitifitas obat.



2.4. Patogenesis Erupsi Obat Alergik Secara alami, kulit merupakan organ immunologis yang mengandung seluruh elemen immunitas seluler, kecuali sel B limfosit. Dengan adanya suplai dari darah dan limfatik memungkinkan sel immun melakukan migrasi dan menuju kulit. Beberapa sel yang memegang peranan penting yaitu : sel langerhans, sel T limfosit, sel Mast, dan keratinosit. Sel langerhans mampu melakukan fagositosis, sekresi sitokin, dan sebagai pengenalan antigen. Sel T merupakan sel yang bertanggun jawab dalam respon seluler. Dan di lapisan kulit juga terdapat sel mast yang berperan dalam proses inflamasi dan sel keratinosit yang juga mampu melepaskan sitokin proinflamasi.



Gambar 2.1. Struktur Kulit Normal



Sumber : Graham-Brown R. Lecture Notes on Dermatology. 8th ed. Zakaria A, alih bahasa. Safitri A, editors. Jakarta: Erlangga; 2005. p. 154. Ada dua macam mekanisme reaksi obat pada kulit yaitu mekanisme imunologis dan mekanisme non imunologis. Umumnya erupsi obat timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis. Obat dan metabolit obat berfungsi sebagai hapten, yang menginduksi antibodi humoral. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat dan perubahan dalam metabolisme. Terjadinya reaksi hipersensitivitas karena obat harus dimetabolisme terlebih dahulu menjadi produk yang secara kimia sifatnya reaktif melalui proses detoksifikasi, yaitu obat yang larut dalam lemak dan nonpolar menjadi obat yang hidrofilik dan polar yang mudah diekskresi.1 2.4.1. Mekanisme Imunologis Sensitisasi imunologik memerlukan pajanan awal dan tenggang waktu (masa laten) sebelum



timbul



reaksi



hipersensitivitas.



Alergi



obat



merupakan



reaksi



hipersensitivitas yang dapat digolongkan menjadi 4 tipe menurut Coombs dan Gell.2 Tipe reaksi hipersensitivitas tersebut adalah : 1. Tipe I (Reaksi anafilaksis) Mekanisme ini paling banyak ditemukan. Antibodi yang berperan ialah Ig E yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama dari obat umumnya tidak menimbulkan reaksi.



Obat (seperti ; penisilin) yang masuk ke dalam tubuh akan mengaktifkan respon imun yang diawali dengan presentasi Antigen oleh APC (Antigen Presenting Cell) sehingga oleh sel B akan terbentuk memori dan sel plasma yang akan membentuk antibodi (IgE). Oleh pemaparan kembali dengan obat akan terjadi degranulasi sel mast yang mengakibatkan keluarnya mediator-mediator seperti histamin,



serotonin,



bradikinin, heparin dan SRSA (Slow Reacting



Substance of Anaphylaxis). Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-macam efek misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah syok. Gambar 2.2. Reaksi Hipersensitifitas Tipe I



Sumber : Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5st ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Indonesia ; 2007. p. 155. 2. Tipe II (Reaksi Autotoksis) Reaksi ini terjadi sebagai respon terhadap obat (seperti; penisilin, sefalosporin, isoniazid, streptomisin, dan sulfonida) yang mengubah membran permukaan sel. Terdapat ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada sel. Aktivasi sistem komplemen akan memacu sejumlah reaksi, seperti terjadi reaksi obat-antibodi-komplemen yang akan terfiksasi dan akhirnya lisis. Sel sasaran pada reaksi ini adalah eritrosit, leukosit, trombosit, dll. Bila sel sasarannya trombosit, maka akan timbul keluhan kulit berupa purpura.



Gambar 2.3. Reaksi Hipersensitifitas Tipe II



Sumber : Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5st ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Indonesia ; 2007. p. 155. 3. Tipe III (Reaksi Kompleks Imun) Antibodi yang berikatan dengan obat (seperti; penisilin, eritromisin, sulfonamid, isoniazid, salisilat) akan membentuk kompleks antigen antibodi (Ig-G dan IgM) dalam sirkulasi darah atau jaringan akan mengaktifkan komplemen. Aktivasi sistem



komplemen merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit



diantaranya enzim-enzim yang dapat merusak jaringan. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh sehingga terjadi reaksi radang dan mengakibatkan kerusakan jaringan. Gambar 2.4. Reaksi Hipersensitifitas Tipe III



Sumber : Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5st ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Indonesia ; 2007. p. 155. 4. Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat) Reaksi ini melibatkan limfosit, APC, dan sel Langerhans. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen yang menyebabkan pelepasan serangkaian limfokin. Contoh reaksi type ini adalah dermatitis kontak alergik. Gambar 2.5. Reaksi Hipersensitifitas Tipe IV



Sumber : Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5st ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Indonesia ; 2007. p. 155. Gambar 2.6. Reaksi Hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell



Sumber : Graham-Brown R. Lecture Notes on Dermatology. 8th ed. Zakaria A, alih bahasa. Safitri A, editors. Jakarta: Erlangga; 2005. p. 154. 2.4.2. Mekanisme Non Imunologis6 Reaksi "Pseudo-allergic" menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibodydependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin dan kontras media. Teori yang ada menyatakan bahwa mekanisme yang terjadi merupakan akibat dari : 1. Pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme



enzim asam



arachidonat sel. 2. Proses farmakologis obat terhadap tubuh, seperti;  Alopesia yang timbul karena penggunaan kemoterapi anti kanker  Penggunaan obat-obatan tertentu secara progresif ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan gangguan lain seperti hiperpigmentasi generalisata diffuse. Tabel 2.1. Reaksi Imunologis dan Non Imunologis



Sumber : Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In: American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Access on: June 3, 2007. Available at: www.aafp.org/afp 2.5. Gambaran Klinis Erupsi Obat Alergik 2.5.1. Morfologi dan Distribusi Erupsi alergi obat yang timbul mempunyai kemiripan dengan gangguan kulit lain pada umumnya, gangguan itu diantaranya; 1. Urtikaria dan angioedema1,7 Urtikaria menunjukkan kelainan kulit berbatas tegas yang timbul secara cepat dalam beberapa menit dan dapat hilang secara perlahan-lahan dalam beberapa menit sampai 24 jam. Kelainan kulit ini terdiri atas urtika yang tampak eritem akibat vasodilatasi disertai edema akibat tertimbunnya serum dan disertai rasa gatal. Kadang-kadang dapat disertai dengan demam dan juga angioedema. Angioedema merupakan edema berbatas difus di dermis bagian dalam dan jaringan subkutan yang umumnya disertai rasa panas yang timbul dalam beberapa jam. Biasanya unilateral dan terjadi di daerah bibir, kelopak mata, genitalia eksterna, tangan, dan kaki.



Urtikaria dan angioedema sangat berhubungan dengan Ig-E sebagai suatu respon cepat terhadap penisilin maupun antibiotik lainnya. Obat lain misalnya angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dalam waktu satu jam juga dapat menimbulkan urtikaria. Gambar 2.7. Urtikaria yang disebabkan oleh Penggunaan Penisilin



Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352.



2. Eritema multiforme1,3 Eritema bulat atau oval dengan pusat berwarna ungu kehitaman pada kulit yang berbentuk seperti sasaran tembak. Obat-obat yang menjadi penyebab, yaitu barbiturat (long-acting sulfonamide), kotrimoksazol, rifampisin. Gambaran klinis mirip dengan morbili, tetapi pada morbili tidak ada rasa gatal dan selalu disertai demam tinggi. Terdapat dua jenis eritema multiforme, yaitu eritema multiforme minor tanpa gangguan sistemik dan eritema multiforme mayor dengan gangguan sistemik (sindrom stevens johnson). Gambar 2.8. Eritema Multiforme



Sumber : Graham-Brown R, Burns T. Lecture Notes on Dermatology. 8th ed. Zakaria A, alih bahasa. Safitri A, editors. Jakarta: Erlangga; 2005. p. 154. 3. Fixed Drug Eruption (FDE)1 FDE terlihat sebagai vesikula dan eritema berbentuk bulat atau lonjong, biasanya numular, dan meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang susah hilang bahkan menetap. Lesi baru akan timbul satu sampai dua minggu setelah paparan pertama kali dan akan diikuti lesi berikutnya dalam waktu 24 jam. Lesi biasanya muncul di daerah bibir, wajah, tangan, kaki, dan genitalia. Apabila penderita memakan obat yang sama, maka FDE akan muncul kembali ditempat yang sama. Secara histologis, FDE ditandai dengan adanya limfosit di dermalepidermal junction dan perubahan degeneratif dari



epitel



yang



disertai



diskeratosis. FDE kronis memberikan gambaran acanthosis, hiperkeratosis, dan hipergranulosis dan dapat ditemukan eosinofil dan neutrofil. Terdapat peningkatan jumlah sel T helper dan sel T supresor pada tempat lesi. Gambar 2.9. Fixed Drug Eruption (FDE)



Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352



4. Erupsi eksantematosa3,7 Lebih dari 90% erupsi obat yang ditemukan berbentuk erupsi eksantematosa. Erupsi yang muncul dapat berbentuk



makulopapuler. Awalnya terjadi



perubahan yang bersifat eksantematosa pada kulit tanpa didahului pustulasi di daerah leher dan menyebar ke bagian perifer tubuh secara simetris dan hampir selalu disertai pruritus.



Erupsi baru muncul sekitar satu minggu setelah pemakaian obat dan dapat sembuh sendiri dalam jangka waktu 7 sampai 14 hari. Pemulihan ini ditandai dengan perubahan warna kulit dari merah terang ke warna coklat kemerahan yang disertai deskuamasi kulit. Dari hasil data laboratorium diketahui bahwa sel T juga ikut terlibat dalam reaksi ini karena sel T dapat menangkap jenis obat tanpa perlu memodifikasi protein dari hapten. Jika kelainan ini timbul berkali-kali ditempat yang sama maka disebut eksantema fikstum. Gambar 2.10. Erupsi Eksantematosa karena Penggunaan Obat Golongan Sefalosporin.



Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352



Obat-obat yang dapat menimbulkan erupsi eksantematosa dapat dilihat pada tabel 2.2. Tabel 2.2. Obat-Obat yang dapat menimbulkan Erupsi Eksantematosa



Sumber:



Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed. Pharmaceutical Press. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at: http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf



5. Eritroderma1 Eritroderma ialah terdapatnya eritema di seluruh tubuh atau hampir seluruh tubuh yang pada penderita alergi obat skuama baru akan timbul pada stadium penyembuhan. Obat yang biasa menimbulkan kelainan ini adalah sulfonamid, penisilin, dan fenilbutazon. Gambar 2.11. Eritroderma



Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352 6. Purpura1



Purpura ialah perdarahan di dalam kulit berupa bercak sirkumskrip berwarna merah kecoklatan yang tidak hilang bila ditekan dan disertai rasa gatal. Purpura dapat terjadi sebagai ekspresi tunggal alergi obat. Gambar 2.12. Purpura



Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352 7. Eritema nodosum1 Kelainan kulit berupa eritema dan nodus-nodus yang nyeri disertai gejala umum berupa demam, anoreksia, mialgia, dan malaise. Tempat predileksi ialah di regio ekstensor tungkai bawah. Obat yang biasanya menyebabkan kelainan ini adalah sulfonamid dan kontrasepsi oral. Gambar 2.13. Eritema Nodosum



Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352



8. Reaksi fotoalergik1 Gambaran klinis reaksi fotoalergik, yaitu eritema, papula, vesikel, erosi, dan disertai rasa gatal dengan lokalisasi pada tempat yang terpajan sinar matahari dan dapat meluas ke daerah lain yang tidak terkena sinar matahari. Obat yang dapat menyebabkan fotoalergik ialah fenotiazin, sulfonamid, NSAID, dan griseofulvin. Gambar 2.14. Reaksi Fotoalergik akibat Bramida



Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352



9. Penyakit Pustulosis Eksantema Generalisata Akut (PEGA)1 PEGA memberikan gambaran pustul miliar non folikular yang eritematosa disertai purpura dan lesi menyerupai lesi target. Kelainan kulit timbul bila seseorang mengalami demam tinggi (>380C). Pustul tersebut cepat menghilang dalam jangka waktu kurang dari 7 hari kemudian diikuti deskuamasi kulit. Penyakit ini sangat jarang terjadi. Pada pemeriksaan histopatologis didapat pustul intraepidermal atau subcorneal



yang



dapat



disertai



edema



dermis,



vaskulitis,



polimorfonuklear perivaskuler atau nekrosis fokal sel-sel keratinosit. Gambar 2.15. Pustulosis Eksantema Generalisata Akut (PEGA)



infiltrat



Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352



10. Sindrom Stevens-Johnson 4,8 Sindrom Stevens-Johnson (ektodermosis erosiva pluriorifisialis, sindrom mukokutaneaokular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema



multiforme



mayor, eritema bulosa maligna) adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, mukosa orifisium (oral, konjunctiva, dan anogenital), dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk. Gambar 2.16. Sindrom Stevens-Johnson



Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352.



11. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)8 NET adalah penyakit kulit akut dan berat dengan gejala khas berupa epidermolisis (epidermis terlepas dari dasarnya) menyeluruh, disertai kelainan selaput lendir di orifisium genitalia eksterna dan mata. Kelainan kulit dimulai dengan makula dan papul eritematosa kecil disertai bula lunak (flaccid) yang dengan cepat meluas dan bergabung, kemudian timbul banyak vesikel disertai purpura di wajah, ekstremitas, dan badan. Kelainan kulit dapat disertai kelainan pada bibir dan selaput lendir mulut berupa erosi dan ekskoriasi. Adanya epidermolisis menyebabkan tanda Nikolsky positif pada kulit yang eritematosa, yaitu jika kulit ditekan dan digeser maka kulit akan terkelupas. Epidermolisis mudah dilihat pada tempat yang sering terkena tekanan, yakni punggung, aksila, dan bokong. Pada sebagian pasien, kelainan



kulit hanya berupa epidermolisis dan purpura tanpa disertai erosi, vesikel, dan bula. Kadang-kadang kuku dapat terlepas. NET merupakan penyakit berat yang sering menyebabkan kematian. Gambar 2.17. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)



Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352



Obat-obat yang dapat memperburuk kelainan kulit tertentu, yaitu3 ; a.



Akne oleh obat-obat androgenik (danazol dan stanozolol), kontrasepsi oral, dan kortikosteroid.



b. Porfiria termasuk fotosensitivitas kulit oleh obat terutama barbiturat dan estrogen. c.



Psoriasis oleh lithium dan antimalaria



d. Lupus Eritematosus Sistemik oleh penisilin dan sulfonamid 2.6. Diagnosis Banding Erupsi Obat Alergik Diagnosis banding pada erupsi obat alergik tergantung lokalisasi, jenis, dan sifat efloresensi yang timbul.11 A. Diagnosis Dasar diagnosis erupsi ibat alergik sebagai berikut: 1. Anamnesis yanng teliti mengenai: a. Obat-obat yang didapat, jangan lupa menanyakan tentang jamu. b. Kelainan yang timbul secara akut atau dapat juga beberapa hari sesudah masuknya obat. c. Rasa gatal yang dapat disertai demam yang biasanya subfebril 2. Kelainan kulit yanng ditemukan:



a. Distribusi menyebar dan simetris, atau setempat b. Bentuk kelainan yang timbul seperti: eritema, urtikaria, purpura, eksantema, papul, eritroderma, eritema nodosum. (1) B. Pemeriksaan Penunjang 1. Tes Epikutan Ia digunakan terutama untuk reaksi tipe IV (dermatitis kontak). Tes ini (tes temple, Patch test) dilakukan dengan plester, yang diberi bahan-bahan tes. Karena tes tersebut merupakan suatu tes dengan reaksi lambat, pengambilan plester dilakukan sesudah 24 jam, tes dibaca segera sesudah itu. Sesudah 48dan 72 jam. 2. Tes Kutan Ia digunakan terutama untukreaksi tipe I (polinosis dan asma bronchiale, urtikaria, alergi terhadap racun insekta, alergi terhadap bahan makanan) Tes modifikasi adalah tes gosok (menggosokkan bahan tes bila ada dugaan akan adanya alergi kuat), prick test dan stratch test (melalui tusukan jarum atau penggarukan menimbulkan suatu tempat masuk untuk bahan test), tes intrakutan (suntikan intrakutan dengan bahan tes). Pembacaan dilakukan segera sesudah tes, karena ini merupakan reaksi cepat. Resiko dari tes kutan; meningkatnya reaksi local, reaksi umum (anafilaksis)



3. Tes provokasi Memaparkan organ tubuh dengan allergen yang dicurigai: -



Tes provokasi local (konjungtiva, nasal, bronkial) : misalnya pada polinosis dan asma bronchial



-



Tes provokasi oral (parenteral): misalnya pada urtikaria, alergi bahan makanan dan alergi obat, alergi terhadap anastetik local.



-



Pemaparan alternatif : pemaparan dengan obat-obat pilihan Metode In Vitro



Membuktikan adanya antibody yang bersirkulasi (misalnya) antibody Ige pada sindrom atopi dengan metode radioimunologi atau enzim.Diagnostik seluler (fungsi limfosit dan basofil).(7) C. Penatalaksanaan Pengobatan dapat diberikan secara: 1. Sistemik a) Kortikosteroid Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sisteik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah tablet prednisone(1 tablet=5mg). Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodusum, eksantema fikstum, dan PEGA karena alergi obat, dosis standar untuk orang dewasa adalah 3x10 mg prednisone sehari.Pada eritroderma dosisnya adalah 3x10 mg sampai 4x 10 mg sehari. b) Antihistamin Antihistamin yang bersifat sedative dapat juga diberikan, jika terdapat rasa gatal.Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang kalau dibandingkan dengan kortikosteroid. 2. Topikal Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau basah. Kalau keadaan kering, seperti apda eritema atau urtikaria, dapat diberikan bedak, contohnya bedak salisilat 2% ditambah dengan antipruritus, misalnya menthol ½ - 1% untuk mengurangi rasa gatal. Kalau keadaan membasah seperti dermatitis medikamentosa perlu dikompres, misalnya kompres larutan asam salisilat 1%.Pada bentuk purpura dan eritema nodusum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum jika kelainan membasah dapat diberikan kompres dan jika kering dapat diberi krim kortikosteroid, misalnya krim hidrokortison 1% atau 2,5%. Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan skuamasi dapat diberi salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian-sebagian.(1) D. Pencegahan Apabila obat tersangka penyebab erupsi obat alergik telah dapat dipastikan, maka sebaiknya kepada penderita diberikan catatan berupa kartu kecil yang memuat jenis obat tersebut (serta golongannya). Kartu tersebut dapat ditunjukkan bilamana diperlukan (misalnya



apabila penderita berobat), sehinggga dapat dicegah pajanan ulang yang memungkinkan terulangnya erupsi obat alergik (4) E. Prognosis Pada dasarnya erupsi obat karena obat akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan-kelainan berupa syndrome Lyell dan syndrome Steven Jonson, prognosis dapat menjadi buruk bergantung pada luas kulit yang terkena.(1)



DAFTAR PUSTAKA



1. Hamzah M. Erupsi Obat Alergi. Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aishah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-6. Cetakan ketiga. Jakarta : FK UI ; 2013. h 154-158. 2. Riedl MA, Casillas AM. Adverse Drug Reactions: Types and Treatment Options. Am Fam Physician. 2003 (cited 2016 February 11). Available from :http://www.aafp.org/afp/2003/1101/p1781.html. 3. Dzulfikar DLH. Tata Laksana Obat Pada Anak di Unit Gawat Darurat. 2012. (cited 2016 February 11). Available from: http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2014/04/pustaka_unpad_Tatalaksana-Alergi-Obat.pdf 4. Budi Iman. Erupsi Obat Alergik. 2008 (cited 2016 February 11). Available from: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3400/1/08E00602.pdf. 5. Graham-Brown, Robin, Tony Burns. Lecture Notes Dermatology. Edisi 8. Jakarta: Erlangga. 2005. h 201-207 6. Leonard Bernstein, MD; joann Blessing-Moore, MD; Mariana C. Castles, MD, Ph.D; Louis M. Mendelson, MD; MichaelE. Weiss, MD. Drug Allergy: An Update Practice Parameter. 2010 (cited 2016 February 11). Available from: https://www.aaaai.org/aaaai/media/medialibrary/pdf%20documents/practice%20and%20para meters/drug-allergy-updated-practice-param.pdf 7. Rassner, Prof. Dr. Med, Dr. Med. U. Steinert. Buku Ajar & Atlas Dermatology. Edisi 4. Jakarta:EGC. 1995. h 105-107 8.