Etika Dalam Pendidikan: Krisis Moral Dan Dampaknya Bagi Pendidikan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ETIKA DALAM PENDIDIKAN: KRISIS MORAL DAN DAMPAKNYA BAGI PENDIDIKAN Dody Setiawan; 8105161678 Pendidikan Ekonomi Koperasi; Fakultas Ekonomi; Universitas Negeri Jakarta [email protected]



ABSTRAK Ada kesenjangan yang terjadi antara harapan dari pendidikan karakter yang dilakukan di sekolah dengan kenyataan di masyarakat sebagai tempat praktik pendidikan. Hal ini dapat terlihat dari munculnya krisis moral di kalangan remaja. Sejatinya, pendidikan karakter berupaya menghasilkan peserta didik yang menerapkan etika yang berlaku di masyarakat. Pendidikan karakter di sekolah harus mengintegrasikan tiga (3) wilayah,yaitu proses pembelajaran, kegiatan ekstrakurikuler, dan budaya sekolah. Kata Kunci: Pendidikan karakter; pembelajaran; ekstrakurikuler; budaya sekolah ABSTRACT There are considerations that occur between the expectations of character education carried out in schools with the reality in the community as a place of educational practice. This can be seen from moral negotiations among teenagers. Indeed, character education approves students who apply ethics that apply in society. Character education in schools must integrate three regions, namely the learning process, extracurricular activities, and school culture. Keywords: Character building; learning; extracurricular; school culture



PENDAHULUAN Ada kesenjangan yang terjadi sekarang bahwa antara penanaman nilai-nilai yang baik dan benar di sekolah pada proses pendidikan, namun di masyarakat sebagai lapangan tempat mempraktikkan pendidikan tidak memberikan nilai-nilai etika yang benar sebagai dasar yang mendidik. Kondisi ini akan terus terjadi dari generasi ke generasi dan pengaruhnya terus berlangsung dan menghasilkan kerusakan moral bagi generasi selanjutnya, termasuk juga di dalamnya pendidik (Tanyid, 2014). Seperti kita pahami bersama, pendidikan bukanlah sekedar proses transfer ilmu dari guru ke siswa, namun lebih jauh pendidikan merupakan proses pembentukan karakter siswa. Hampir separuh waktunya, siswa menghabiskan waktunya di sekolah. Hal inilah yang membuat karakter siswa pada umumnya terbentuk dan dipengaruhi oleh lingkungan sekolahnya, seperti teman satu sekolah, guru, dan masyarakat sekitar. Guru sebagai seorang pendidik, memiliki tugas yang cukup berat. Guru selain harus mengajarkan peserta didik bidang studi yang dituntut, juga memiliki tugas untuk mendidik karakter peserta didik. Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilainilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Sejatinya, seorang guru akan berusaha untuk mendidik peserta didiknya dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Namun guru tidak bebas dalam bertindak, karena ada kode etik yang mengatur kinerja seorang guru. Kinerja guru merupakan luaran perilaku dari yang bersangkutan. Kinerja guru ini akan terlihat ketika ia melaksanakan tugas, dan cara pelaksanaan tugas tersebut (Wibowo & Saptono, 2017). Dalam proses pembelajaranlah kinerja guru yang paling utama terlihat. Namun, seringkali sifat kepribadian guru dalam proses pembelajaran kurang membangun motivasi belajar peserta didik (Rosmiati, Juraid, & Hasan, 2006). Banyak kita lihat generasi sekarang sudah kurang memperhatikan bagaimana mengimplementasikan akhlak yang mulia dalam pergaulan sehari-hari (Habibah, 2015). Hal ini bisa disebabkan oleh kinerja guru yang kurang memotivasi peserta didik. Guru belum sepenuhnya menjadi teladan bagi peserta didiknya. Padahal, guru memiliki kode etik yang arahnya adalah bagaimana membentuk karakter peserta didik, dimana dalam membentuk karakter ini diperlukan contoh, yaitu guru sendiri. Pendidikan kita saat ini memiliki kekurangan, yaitu teladan di lingkungan peserta didik. Sebagai contoh, ketika di rumah ia mendapat contoh yang baik dari orang tuanya dalam berperilaku, namun ketika di sekolah ia disuguhi oleh tindakan-tindakan yang tidak beretika, baik yang dilakukan guru, teman sekelas, teman sekolah, maupun masyarakat sekitar. Ki Hajar Dewantara mengemukakan beberapa konsep, seperti konsep Triwahyu, Trisakti Jiwa, Trilogi Kepemimpinan, dan Tripantangan. Konsep-konsep tersebut membangun profil etika yang cukup komprehensif (Ibrahim & Hendriani,



2017). Dalam perpektif islam, pada hakikatnya pendidikan karakter itu merupakan ruh dalam pendidikan Islam. Pendidikan Islam dan pendidikan karakter mencetak anak didik menjadi makhluk yang memiliki karakter-karakter atau nilai-nilai yang lebih baik (Ainissyifa, 2014). Berdasarkan pemaparan di atas, etika dalam pendidikan merupakan hal yang mendesak. Ketika etika dalam pendidikan ini diabaikan, maka jangan heran jika nantinya krisis moral terus terjadi. Makalah ini akan membahas mengenai kajian etika dalam pendidikan yang dihubungkan dengan pendidikan karakter, sebagai solusi dari krisis moral yang berdampak negatif dalam pendidikan.



ETIKA DALAM PENDIDIKAN Kajian tentang etika dalam pendidikan telah dilakukan oleh banyak peneliti. Ibrahim dan Hendriani melakukan kajian etika guru dalam perpspektif Ki Hajar Dewantara. Ia mengemukakan pandangan Ki Hajar Dewantara mengenai etika umum. Pada dasarnya hakikat nilai etis menurut Ki Hajar Dewantara adalah nilai yang bersumber dari Tuhan dan nilai yang bersumber dari individu atau masyarakat. Nilainilai etika yang dibangun oleh individu maupun masyarakat tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang bersumber dari wahyu Tuhan. Dalam hemat Ki Hajar Dewantara nilai kebaikan tertinggi yang harus menjadi tujuan hidup manusia adalah terwujudnya kesempurnaan hidup, yaitu hidup tertib dan damai (teratur dan tenteram) sehingga tercapai selamat dan bahagia (Ibrahim & Hendriani, 2017). Sejalan dengan perspektif Ki Hajar Dewantara, Syarif Habibah mengkaji akhlak dan etika dalam islam dimana tidak ada pertentangan antara perspektif Ki Hajar Dewantara dan perspektif islam. Pada dasarnya, etika dalam islam islam menyangkut 6 bagian, yaitu 1) akhlak terhadap Allah swt.; 2) akhlak terhadap Rasulullah; 3) akhlak terhadap diri sendiri; 4) akhlak terhadap masyarakat 5) akhlak terhadap tetangga (Habibah, 2015) Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis, dan dalam kajian secara terminologi etika berarti sebuah cabang ilmu yang membicarakan perbuatan/tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan yang baik dan yang buruk. Surajiyo mengatakan, “Secara terminologi, etika adalah cabang ilmu yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan yang baik buruk. Yang dapat dinilai baik buruk adalah sikap manusia, yaitu yang menyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan, kata-kata, dan sebagainya. etika memiliki sifat kritis sebagai suatu sifat yang mendasar, karena “Etika mempersoalkan norma-norma



yang



dianggap



berlaku;



memiliki



dasar



norma-norma



itu;



mempersoalkan hak dari setiap lembaga, seperti orang tua, sekolah, negara dan agama untuk memberikan perintah atau larangan yang harus ditaati (Tanyid, 2014).



Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa pada hakikatnya etika membahas perbuatan manusia dalam hubungannya dengan tuhannya, dirinya, dan masyarakatnya yang baik dan yang buruk. Sementara, pendidikan itu sendiri



bertujuan



untuk



membantu



anak



didik



mengembangkan



potensi



kemanusiaannya yang merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia (Meilanie, 2009). Jadi, etika dalam pendidikan adalah bagaimana mengembangkan potensi peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang beretika, yaitu manusia yang memiliki perbuatan baik terhadap sesamanya.



PENDIDIKAN KARAKTER Pendidikan karakter telah menjadi perhatian berbagai negara dalam rangka mempersiapkan generasi yang berkualitas, bukan hanya untuk kepentingan individu warga negara, tetapi juga untuk warga masyarakat secara ke- seluruhan. Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai to deliberate us of all dimensions of school life to foster optimal character development (usaha kita secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan sekolah/madrasah untuk membantu pembentukan karakter secara optimal (Akhwan, 2014). Raharjo mengemukakan bahwa pendidikan yang mengembangkan karakter adalah bentuk pendidikan yang bisa membantu mengembangkan sikap etika, moral dan tanggung jawab, memberikan kasih sayang kepada anak didik dengan menunjukkan dan mengajarkan karakter yang bagus. Hal itu memberikan solusi jangka panjang yang mengarah pada isu-isu moral, etika dan akademis yang merupakan perhatian dan sekaligus kekhawatiran yang terus meningkat di dalam masyarakat. Anak didik bisa menilai mana yang benar, sangat memedulikan tentang yang benar, dan melakukan apa yang mereka yakini sebagai yang benar walaupun ada tekanan dari luar dan godaan dari dalam (Raharjo, 2010). Berdasarkan pemaparan tersebut, pada dasarnya pendidikan karakter dapat mempengaruhi akhlak mulia peserta didik apabila dilakukan secara integral dan secara simultan di keluarga, kelas, lingkungan sekolah, dan masyarakat. Pendidikan karakter yang dilakukan dengan tidak integral dan simultan akan menimbulkan konflik dari dalam diri peserta didik. Pendidikan karakter sendiri tentu memiliki landasan dalam pelaksanaannya. Landasan dan sumber pendidikan karakter bangsa yang hendak dikembangkan melalui lembaga pendidikan digali dari nilai-nilai yang selama ini menjadi karakter bangsa Indonesia, yaitu nilai-nilai agama, Pancasila, budaya bangsa, dan tujuan pendidikan nasional. Landasan tersebut antara lain: (Kosim, 2011)



1) Agama, karena masyarakat Indonesia sendiri adalah masyarakat beragama. Itu artinya kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya; 2) Pancasila, yang merupakan prinsip dari kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara; 3) Budaya, dikarenakan posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan karakter bangsa. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat itu; 4) Tujuan pendidikan nasional, yaitu sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkem- bangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab.



Pendidikan karakter, menurut Ratna Megawangi, sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. Pendidikan karakter adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk mengembangkan karakter yang baik (good character) berlandaskan kebajikan-kebajikan inti (core virtues) yang secara objektif baik bagi individu maupun masyarakat. Pendidikan karakter menurut Bahri adalah upaya yang disengaja (sadar) untuk membantu orang memahami, peduli, dan menerapkan nilai-nilai etika inti (Bahri, 2015). Berdasarkan pendapat dari peneliti dan ahli, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan sebuah upaya yang dilakukan dalam rangka mengembangkan karakter yang baik untuk peserta didik, dan untuk menerapkan nilainilai etika yang berlaku.



FENOMENA KRISIS MORAL Pada era globalisasi ini, segala sesuatu dapat dengan mudah diakses, baik informasi, budaya, produk, dan sebagainya. Salah satu yang menjadi objek pembahasan dalam makalah ini adalah budaya. Budaya dari luar baik yang baik maupun yang buruk masuk ke negara Indonesia. Budaya secara otomatis mempengaruhi moral dan perilaku masyarakat dan bisa mengarah ke arah yang dapat menimbulkan dekadensi moral di kalangan umat manusia di era globalisasi ini, hingga fenomena dekadensi moral sudah menjadi hal yang umum yang ada di tengah masyarakat dunia sekarang. Seiring dengan perkembangan teknologi, moral banyak remaja justru mengalami penurunan yang cukup drastis. Remaja yang mengalami penurunan moral biasanya akan mengabaikan aturan-aturan yang berlaku dan melanggar norma-norma yang ada di dalam lingkungannya. Adapun hal-hal yang sangat mempengaruhi dengan penurunan moral remaja yang paling utama adalah lingkungan dimana remaja itu melakukan aktivitasnya. Adapun faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi penurunan moral remaja adalah keluarga si remaja, lingkungan tempat ia tinggal, lingkungan sekolah dan teman bergaul (Bahri, 2015). Ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya, dimana salah satu faktor yang mempunyai pengaruh yang besar adalah media informasi, seperti internet dan televisi. Fasilitas teknologi, informasi dan komunikasi merupakan salah satu faktor yang merubah kemuliaan perilaku generasi muda dewasa ini. Jaringan internet misalnya, merupakan sebuah terobosan baru yang bisa menghubungkan antara mereka yang di timur dengan mereka yang ada di barat atau di selatan. Sehingga penyebaran informasi merupakan hal yang tidak bisa dipungkiri sehingga seluruh informasi baik membangun maupun yang merubuhkan akhlak akan berkontaminasi dengan kepribadian kita sebagai orang timur ditambah dengan kurangnya nilai iman untuk menyaring arus perjalanan informasi tersebut. Diketahui dengan adanya kemajuan informasi di satu sisi remaja merasa diuntungkan dengan adanya media yang membahas seputar masalah dan kebutuhan mereka. Sedangkan di sisi lain media merasa kaum remajalah yang tepat menjadi konsumen dari berbagai produk yang ditawarkan. Seperti diketahui bersama bahwa media berperan besar dalam pembentukan budaya masyarakat dan proses peniruan gaya hidup, tidak megherankan pada masa sekarang adanya perubahan cepat dalam teknologi informasi menimbulkan pengaruh negatif meskipun pengaruh positifnya masih terasa. Beberapa kasus yang sering kita jumpai di kalangan remaja, yaitu seks bebas yang merupakan akibat dari mudahnya mengakses video-video porno; cara berbicara yang tidak sopan, sebagai akibat dari tontonan mereka dan idola mereka yang mencontohkan perilaku tidak sopan; pakaian yang tidak sopan sebagai akibat dari trend yang berlaku; dan masih banyak yang lainnya.



PENGINTEGRASIAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM MENGATASI KRISIS MORAL Integrasi pendidikan karakter merupakan aspek yang urgen dalam mengatasi masalah krisis moral. Maka dalam implementasi integrasi pendidikan karakter di sekolah dilakukan dalam tiga wilayah, yaitu melalui pembelajaran, melalui ekstrakurikuler dan melalui budaya sekolah. Usaha yang demikian tersebut merupakan usaha sekolah untuk mengatasi krisis moral yang terjadi pada diri peserta didik, dimana pada akhir-akhir ini cukup parah. Pada kurikulum 2013 revisi, kita mengenal adanya kompetensi inti 1 dan kompetensi inti 2, yang di dalamnya memuat pendidikan karakter yang terintegrasi dengan pembelajaran. Kompetensi inti 1 berkaitan dengan sikap spiritual, sementara kompetensi inti 2 berkaitan dengan sikap sosial. Kedua kompetensi ini seharusnya dimuat dalam setiap kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Lickona



mengemukakan strategi pembelajaran dalam pengintegrasian



pendidikan karakter dalam pembelajaran sebagai berikut: (Bahri, 2015) 



Guru peduli pada peserta didik, dengan menjadi teladan dan memberi tuntunan moral;







Menciptakan komunitas kelas yang peduli satu dengan yang lainnya;







Membantu peserta didik mengembangkan daya pkir moral, disiplin diri, dan hormat pada orang lain;







Melibatkan peserta didik dalam pembuatan keputusan;







Menggunakan Cooperative learning untuk memberi kesempatan pada peserta didik mengembangkan kompetensi moral dan sosialnya;







Membiasakan peserta didik membaca buku-buku yang mengandung nilai-nilai hidup;







Mengembangkan kesadaran atau dorongan pada peserta didik untuk melakukan hal baik;







Mengajarkan nilai yang harus diketahui peserta didik, cara mempraktekkannya hingga menjadi suatu kebiasaan, dan menekankan bahwa setiap orang punya tanggung jawab untuk mengembangkan karakternya sendiri;







Mengajarkan peserta didik menyelesaikan konflik;







Guru menghindari penggunaan kata-kata yang bernada menyalahkan, melainkan memancing peserta didik untuk berani mengakui kesalahan dan menggali makna belajar dari kesalahan yang dilakukan. Anak didik dilatih untuk menyadari bahwa tindakan yang dilakukan merupakan pilihan pribadi. Jadi kesalahan atau kegagalan yang dialami tidak boleh ditujukan pada orang lain;







Materi dalam pembelajaran karakter diambil dari hal-hal yan berlangsung di sekitar kehidupan peserta didik di lingkungan sekolah;







Hal terpenting dalam strategi di ruang kelas adalah kesempatan yang diberikan pada anak didik untuk mendiskusikan suatu masalah/ peristiwa dari sudut pandang moral. Frekuensi kegiatan diskusi yang cukup banyak di kelas akan menciptakan kesempatan pada peserta didik;







Mengembangkan daya pikir/analisa secara moral. Yang terpenting dalam proses diskusi bukanlah memberikan penilaian tentang benar atau salahnya suatu persoalan, namun untuk mencermati atau menganalisa hal-hal yang baik dan salah yang terdapat dalam persoalan tersebut;







Peserta didik dapat mencari dan menemukan sendiri nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Peserta didik akan melihat dan mengalami langsung nilai yang tumbuh di lingkungan masyarakat, yang dapat membuatnya binging. Melalui diskusi, peserta didik melakukan proses penjernihan nilai untuk menemukan makna nilai-nilai tersebut. Selain itu, peserta didik memiliki minat dan bakat yang dapat dikembangkan



melalui kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler ini merupakan kegiatan di luar jam pembelajaran, yang bertujuan mengasah skill peserta didik. Melalui kegiatan ini, peserta didik akan mengisi waktu luang mereka untuk hal-hal yang bersifat positif, dan tujuan akhirnya adalah prestasi. Budaya sekolah yang baik diperlukan peserta didik dalam keseharian mereka. Hampir sepertiga waktu peserta didik dalam sehari dihabiskan di sekolah. Budaya sekolah tentu akan mempengaruhi tingkah laku mereka. Sekolah mengupayakan setiap elemen di lingkungannya berada dalam lingkaran kebaikan, seperti mendorong peserta didik menjalankan ibadah, kegiatan keagamaan yang konsisten, dan program pembinaan karakter secara kontinyu. Pada umumnya, sekolah-sekolah di Indonesia mewajibkan peserta didiknya mengikuti kegiatan ekstrakurikuler Rohani Islam bagi umat islam, Rohani Kristen bagi umat Kristen, pramuka, dan mentoring. Penulis sendiri pernah menjadi salah satu pengisi rutin dalam program intrakurikuler di salah satu SMAN di Jakarta. Kegiatan intrakurikuler ini berupa kegiatan pembinaan akhlak mentoring, yang kedudukannya lebih tinggi dari kegiatan ekstrakurikuler wajib (pramuka), sehingga peserta didik diwajibkan mengikuti kegiatan ini. Sekolah bekerja sama dengan tokoh masyarakat dalam rangka menciptakan lingkungan yang kondusif di sekitar sekolah. Selain itu, pendidik dan tenaga kependidikan berupaya untuk menjalankan budaya sekolah yang ditetapkan, agar pendidikan karakter ini berjalan efektif.



PENUTUP Berdasarkan pembahasan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa krisis moral yang terjadi adalah karena semakin berkembangnya teknologi informasi yang tidak



diiringi dengan pemanfaatan yang baik, dan penyaringan yang benar. Pendidikan karakter berupaya untuk mengatasi krisis moral tersebut. Namun pendidikan karakter tidak akan efektif jika tidak dilakukan secara integratif. Pendidikan karakter yang dilakukan secara integratif dalam objek pembahasan penulis dilakukan di sekolah, yaitu dengan 3 strategi: 1) Melalui proses pembelajaran; 2) Melalui kegiatan ekstrakurikuler; 3) Melalui budaya sekolah. Semua pihak harus terlibat aktif dan berkomitmen menjalankan strategi tersebut. Sekolah sebagai institusi pendidikan tentu akan kesulitan dalam menjalankan pendidikan karakter jika tidak memiliki komunikasi yang baik dengan orang tua siswa. Oleh karena itu, diperlukan komunikasi yang efektif dan kerja sama yang baik agar pendidikan karakter berhasil dilakukan.



DAFTAR PUSTAKA Ainissyifa, H. (2014). Pendidikan Karakter dalam Perspektif Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Universitas Garut, 8(1), 1–26. Akhwan, M. (2014). Pendidikan Karakter : Konsep dan Implementasinya Dalam Pembelajaran di Sekolah/Madrasah. El-Tarbawi, 7(1), 61–67. Bahri, S. (2015). Implementasi Pendidikan Karakter Dalam Mengatasi Krisis Moral Di Sekolah. Ta’allum, 03(01), 57–76. Habibah, S. (2015). Akhlak Dan Etika Dalam Islam. Jurnal Pesona Dasar, 1(4), 73– 87. Ibrahim, T., & Hendriani, A. (2017). Kajian Reflektif Tentang Etika Guru Dalam Perspektif Ki Hajar Dewantara Berbalut Filsafat Moral Utilitarianism. Naturalistic: Jurnal Kajian Penelitian Pendidikan Dan Pembelajaran, 1(2), 135– 145. Kosim, M. (2011). Urgensi pendidikan karakter. Karsa, IX(1), 85–92. Meilanie, S. M. (2009). Landasan Ilmu Pendidikan. Jakarta: Tim Dosen MKDK UNJ. Parinduri, R. A. (2014). Do children spend too much time in schools? Evidence from a longer school year in Indonesia. Economics of Education Review, 41, 89–104. https://doi.org/10.1016/j.econedurev.2014.05.001 Raharjo, S. B. (2010). Pendidikan Karakter Sebagai Upaya Menciptakan Akhlak Mulia. Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan2, 16(3), 229–238. Rosmiati, Juraid, & Hasan. (2006). Hubungan Sifat Kepribadian Guru IPS Terhadap Motivasi Belajar Siswa Dalam Proses Pembelajaran Pada MTs. Negeri Di Kota



Palu. Jurnal Katalogis, 4(7), 84–94. Sudrajat, A. (2011). Mengapa Pendidikan Karakter? Pendidikan Karakter, 1(1), 47– 58. https://doi.org/10.21831/jpk.v1i1.1316 Suharjono, M. (2012). Filosofi Nilai Dalam Pendidikan Karakter. Jurnal Pelopor Pendidikan, 3(1), 1–10. Tas ’adi, R. (2014). Pentingnya Etika Dalam Pendidikan. Jurnal Ta’dib, 17(2), 189– 198. https://doi.org/10.31958/jt.v17i2.272 Tanyid, M. (2014). Etika Dalam Pendidikan: Kajian Etis Tentang Krisis Moral Berdampak Pada Pendidikan. Jurnal Jaffray, 12(2), 235–250. Wibowo, A., & Saptono, A. (2017). Kepemimpinan Intrapreneurship , Budaya Sekolah dan Kinerja. Jurnal Pendidikan Ekonomi Dan Bisnis, 5(2), 176–193.