Etika Hedonisme [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Etika Hedonisme "+" STUDI ETIKA HEDONISME:



Sejarah, Tokoh Dan Karekteristiknya



A. Pendahuluan Hidup ini singkat, bahkan ketika kita membaca tulisan ini, waktu yang tak pernah mau bersabar terus saja berjalan. “Carpe Diem. Seize the day”, bisik professor John Keating kepada murid-muridnya yang sedang mencoba menafsirkan puisi Herrick, “To the virgins, to make much of time.” Carpe diem; bisikan para arwah agar orang tidak terlambat menyadari kesempatan yang dapat diraih selagi hidup. Kita mungkin masih ingat, itulah adegan awal film Dead Poets Society karya Thomas Schulman yang dibintangi oleh Robin Williams. Petikan kata tersebut semula dikemukakan oleh Quintus Horatius Flaccus, penyair Romawi yang lahir tahun 65 SM. Ia menulis sebuah syair pujipujian yang ditutup dengan kalimat berbunyi, “Carpe diem, quam minimum credula postero.” Raihlah hari ini, jangan terlalu percaya pada esok. Carpe diem menjadi slogan yang gampang diingat untuk pandangan hidup yang mengagungkan jangka pendek, sekaligus merengkuh kesenangan sebanyakbanyaknya.[1] Kita tentu saja bisa menafsirkan ungkapan itu menurut dua makna yang berlawanan. Pertama, orang hidup dalam kepunahan eksistensinya sebagai manusia selagi ada kesempatan. Artinya ia mengembangkan diri sepenuhnya, dan merasa tidak cukup jika hanya mencapai yang minimal. Kedua, orang mencari kesenangan sebanyak-banyaknya selagi bisa. Jika pengertian yang kedua ini kita hamparkan di atas permadani modernitas, maka carpe diem ini ibarat untuk masuk ke gerbang gaya-hidup, life style sebagai dampak dari sikap hedonisme. Bagi para hedonis, yang sungguh baik bagi manusia adalah yang memberi kesenangan. Bukankah sudah sejak kecil manusia selalu merasa tertarik terhadap kesenangan? Bila kesenangan sudah tercapai, ia tidak akan mencari sesuatu yang lain lagi. Prolog di atas menggambarkan pengaruh hedonisme yang begitu luas dalam kehidupan manusia dari abad ke abad selalu kita temukan kembali. Banyak orang yang belum pernah dengan sadar merumuskan filsafat hidup untuk diri mereka sendiri, hidup mengikuti prinsip aliran ini. Bagi aliran ini kesenangan (kenikmatan) adalah tujuan akhir hidup dan yang baik yang tertinggi. [2] Masalahnya adalah, bagaimana hedonisme menjadi teori etika dan bagaimana kemunculan paham tersebut? Inilah yang dibahas dalam makalah ini. Ada beberapa sub pembahasan, yaitu 1) pengertian etika hedonisme, 2) sejarah dan tokoh etika hedonisme, 3) karekteristik etika hedonisme, 4) analisis terhadap etika hedonisme. B. Pengertian Etika Hedonisme Etika hedonisme dalam buku-buku etika masuk dalam telologis, (dari kata Yunani telos, tujuan dan logos, kata atau fikiran), terarah pada tujuan. Etika hedonisme, biasanya dimasukkan ke kelompok teori-teori egoisme etis, karena mengusahakan kebahagiaan bagi orang yang bertindak itu sendiri (individualistik). Karena berbicara tentang tindakan baik dan buruk, etika hedonisme juga masuk dalam teori etika normative.[3]



Hedon (diikuti dengan -isme; Hedonisme) berasal dari bahasa Yunani: hēdonē, yang berarti nikmat, kegembiraan, kesenangan, kepuasan (pleasure). Hedonisme menggambarkan berbagai macam pemikiran yang menjadikan “kesenangan” sebagai pusat kendali. Hedonisme secara umum bisa menyimpulkan bahwa “kesenangan adalah kebaikan tertinggi” atau — di dalam perumusan lain — “apapun yang membawa kesenangan atau kenikmatan adalah benar.” Lebih jauh lagi, Hedonisme bisa didefinisikan sebagai sebuah doktrin yang berpegang pada anggapan bahwasanya kebiasaan manusia itu dimotivasi oleh hasrat akan kesenangan atau kenikmatan dan menghindar dari penderitaan.[4] Hedonisme berangkat dari pendirian bahwa menurut kodratnya manusia mengusahakan kenikmatan atau kesenangan.[5] Contoh dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu menghindari rasa sakit, penderitaan, hal-hal yang menyakitkan lainnya dan sebaliknya mengejar apa saja yang dapat menimbulkan kesenangan atau kenikmatan. Seseorang dikatakan baik baginya apabila mengusahakan kenikmatan. Seseorang dikatakan baik bila perilakunya dibiarkan ditentukan oleh pertanyaan bagaimana caranya agar dirinya memperoleh kenikmatan yang sebesar-besarnya; dengan bersikap seperti itu ia bukan hanya hidup sesuai dengan kodratnya, melainkan juga memenuhi tujuan hidupnya. Etika hedonisme dalam kehidupan sehari-hari seperti anggapan bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari perasaan-perasaan menyenangkan sebanyak mungkin dan sebisa mungkin menghindari perasaan-perasaan yang tidak enak. Secara pendek, carilah nikmat dan hindarilah perasaan-perasaan menyakitkan. Karena kenikmatan merupakan kenyataan hidup, dengan frekuensi, kadar, dan bentuk yang berbeda. Hedonisme sering muncul sebagai teori yang mau menentang etika-etika tradisional yang kaku dan kadang-kadang munafik, yang hanya menekankan peraturan saja, tanpa dapat menjelaskan manfaat peraturan-peraturan itu. Melawan mereka kaum hedonis bertanya secara provokatif: apa ada yang lebih masuk akal sebagai pedoman hidup daripada mencari kebahagiaan, dan apakah kebahagiaan kecuali bahwa kita bebas dari penderitaan dan memperoleh nikmat sebanyak mungkin? Hedonisme atau falsafah cari nikmat sampai sekarang masih cukup popular di masyarakat bahkan berkembang luas menjadi gaya hidup. Sesuatu yang barangkali agak mengherankan ialah mengapa teori ini pernah diberi status sebagai teori etika. Dalam masyarakat kita, di mana juga banyak orang hidup bagaikan murid setia hedonisme, hedonisme mempunyai nama buruk dan biasanya dianggap amoral. Tidak tanpa alasan, sebagaimana kita akan lihat. Kemudian, untuk menilai hedonisme dengan tepat, perlu kita perhatikan bahwa kebanyakan filosof hedonisme tidak menganjurkan agar kita mengikuti segala dorongan nafsu begitu saja, melainkan agar kita dalam memenuhi keinginan-keinginan yang menghasilkan nikmat bersikap bijaksana dan seimbang dan selalu dapat menguasai diri. Seperti yang akan dipaparkan berikut ini, karena hedonisme sebagai teori etika tidak terlepas dari tokoh atau filosof pencetusnya. C. Sejarah dan Tokoh Etika Hedonisme Etika hedonisme merupakan teori etika yang paling kuno. Munculnya filsafat etika hedonisme sudah ditemukan pada Aristippos dari Kyrene (sekitar 433-355 S.M.), seorang murid Socrates. Ketika Socrates bertanya tentang apa tujuan akhir manusia, ia tidak memberikan jawaban. Ia hanya mengkritik jawaban-jawaban dari pertanyaannya tersebut. Pertanyaannya dijawab Aristippos, bahwa yang sungguh baik bagi manusia adalah kesenangan. Ia menyamakan kebahagiaan dengan kesenangan. Ia menekankan lagi bahwa kesenangan harus dimengerti sebagai kesenangan aktual, bukan kesenangan dari masa lampau dan kesenangan di masa mendatang. Kebahagiaan atau



kenikmatan yang baik dalam arti yang sebenarnya adalah kenikmatan kini dan di sini (sekarang). Menurut Aristippos kenikmatan hanya bersifat badani, aktual dan individual. Kesenangan juga perlu dibatasi pada kesenangan yang mudah diraih, bukan yang diupayakan dengan kerja keras. [6] Aristippos mengajarkan bahwa kesenangan merupakan satu-satunya yang ingin dicari manusia. Kesenangan atau kenikmatan sebanyak-banyaknya, sebab kesakitan adalah suatu pengalaman yang tidak mengenakkan. Aristippos mengajarkan “kenikmatan ada di tanganku, bukannya aku yang ada di tangan kenikmatan”. Selanjutnya jangan sampai terpaku pada persitiwa sekejap, melainkan hendaknya memandang kehidupan secara menyeluruh, karena yang utama adalah hasil akhir dari kenikmatan. Mazhab Aristippos juga menampilkan kaum hedonis yang mengajarkan bahwa tidaklah mungkin manusia selamanya terbebas dari rasa sakit. Salah seorang dari pengikut Aristippos, Hegesias bahkan mengatakan bahwa tujuan tersebut baru akan tercapai setelah mati.[7] Paham tersebut di atas kemudian muncul kembali setelah Aristoteles pada masa Hellenism. Ketika itu Yunani dipimpin oleh pemerintahan Alexander Agung. Kekuasaannya melampaui seluruh wilayah Yunani bahkan sampai di kerajaan timur. Sesudah kematian Alexander pada tahun 323 S.M. kesatuan politik kerajaan Yunani tidak terbatas lagi pada kota-kota Yunani, tetapi mencakup juga seluruh wilayah yang ditaklukkan Alexander.[8] Helenism, yang berasal dari kata hellenizein = berbahasa Yunani, adalah roh dan kebudayaan Yunani, yang sepanjang roh dan kebudayaan itu memberikan ciri-cirinya kepada para bangsa yang bukan Yunani di sekitar Lautan Tengah, mengadakan perubahan-perubahan di bidang kesusasteraan, agama dan keadaan bangsa-bangsa itu. Pada zaman ini ada perpindahan pemikiran filsafat, yaitu dari filsafat yang teoritis menjadi filsafat praktis. Dimana aliran-aliran filsafat yang berkembang pada masa ini antara lain: Epikurean, Staosisme, dan Skeptisisme.[9] Athena tetap merupakan suatu pusat yang penting dalam bidang filsafat, namun selain Athena, juga berkembang pula pusat-pusat intelektual lain, terutama kota Alexandria. Pada masa hellenis, justru tidak banyak muncul filosof-filosof besar, tetapi pengaruh filsafat sebagai salah satu unsure pendidikan, jauh lebih luas dari masa sebelumnya. Sekolah-sekolah filsafat di Athena, seperti Akademia dan Lykeion tetap meneruskan aktivitasnya. Tetapi juga didirikan beberapa sekolah baru.[10] Filsafat terus berkembang semakin luas menjadi suatu seni hidup. Orang bijak adalah orang yang mengatur hidupnya menurut akal dan rasionya. Ada banyak aliran, semuanya berusaha menentukan cita-cita hidup manusia. Ada aliran-aliran yang bersifat etis, yang menekankan kepada persoalan-persoalan tentang kebijaksanaan hidup yang praktis, ada aliran-aliran yang diwarnai oleh agama. Namun yang ditekankan pada zaman ini umumnya persoalan etika: bagaimana manusia harus mengatur tingkah lakunya untuk hidup bahagia. Epikuros dan Stoa termasuk dalam aliranaliran yang bersifat etis ini.[11] Epikuros (341-270 S.M) dilahirkan di Samos, tetapi mendapatkan pendidikan di Athena. Sebagai tokoh masa Hellenisme ia lebih memilih argumen rinci tentang Hedonisme, melanjutkan dan mengembangkan filsafat etika Aristippos, meskipun untuk sampai pada teori etikanya ia banyak dipengaruhi oleh teori fisika Demokritos tentang teori atom. Baginya kesenangan tetap menjadi sumber norma, tetapi tidak sekedar meliputi kesenangan jasmaniah semata-mata, sebab kesenangan ini akhirnya akan menimbulkan rasa sakit pula. Misalnya, terlalu banyak makan yang enak akan membuat sakit perut atau penyakit lainnya. Bagi Epikuros, senang bermakna tidak adanya rasa sakit dalam badan dan tidak adanya kesulitan kejiwaan. Artinya, lebih mencari argumen yang menghilangkan segala kerisauan jiwa. Terlampau mengejar nilai kesenangan seperti uang, kehormatan, kekuasaan tidak akan menimbulkan kepuasan jiwa. Sehingga puncak hedone bagi



Epikuros ialah ketenangan jiwa. Jiwa dapat meninjau kembali peristiwa-peristiwa yang menyenangkan. Jiwa dapat mengatasi keterbatasan jasmani manusia. Epikurisme merupakan bentuk hedonisme yang bercorak eudaimonistik.[12] Pandangan bahwa tercapainya kebahagiaan mesti menjadi tujuan kehidupan manusia dan bahwa oleh karena itu manusia hendaknya hidup dengan suatu cara yang mendekatkannya pada kebahagiaan tersebut. Etika yang membuat pencaharian kebahagiaan menjadi prinsip yang paling dasariah disebut eudemonisme (dari kata Yunani eudaimonia, kebahagiaan).[13] Pertimbangan yang mendasari etika kebahagiaan itu mudah dimengerti: kebahagiaan adalah tujuan pada dirinya sendiri. Tidak ada yang mengatasinya. Orang yang sudah bahagia, tidak memerlukan apa-apa lagi. Tampaknya masuk akal kalau kehidupan diarahkan pada usaha untuk mencapai kebahagiaan. Berbeda seperti yang maksudkan oleh Aristoteles, bapak peletak dasar filsafat etika. Baginya eudaimonia merupakan suatu keadaan obyektif. Eudaimonia berarti mempunyai jiwa (daimon) dalam keadaan baik (eu).[14] Epikuros, dalam konsep etikanya, bermaksud memberikan ketenangan batin (ataraxia) kepada manusia. Hal ini disebabkan karena ketenangan batin itu diancam oleh ketakutan, yaitu ketakutan terhadap murka para dewa, terhadap maut, dan terhadap nasib. Bukankah para dewa tidak ikut campur dalam urusan dunia?[15] Para dewa tidak menjadikan jagat raya dan tidak mengurusinya. Inilah pengaruh filsafat Demokritos terhadap Epikuros, yaitu tentang gerak atom-atom, satu-satunya etika yang sesuai dengan materialisme mekanistis. Kaum Epikurean (murid, dan aliran-aliran Epikuros) adalah penganut kebebasan kehendak. Mereka mau menyelamatkan kebebasan manusia. Manusia bukan budak takdir, manusia dapat menentukan kehidupannya sendiri. Mereka juga melawan mitos-mitos keagamaan, ingin mencerahkan manusia, membebaskannya dari ketakutan-ketakutan terhadap dewa-dewa kematian, pengadilan sesudah mati, serta neraka. Kaum Epikurean adalah penganut deisme.[16] Karena itu, manusia hendaknya mengatur hidupnya menurut kebijaksanaanya sendiri. Manusia yang bebas dari ancaman takhayul dan agama dituntun untuk mencari kebahagiaan. Bagi Epikuros, yang baik adalah yang menghasilkan nikmat, dan yang buruk adalah yang menghasilkan perasaan tidak enak. Karena itu, Epikuros sangat menegaskan kebijaksanaan (phronesis). Orang bijaksana adalah seniman hidup. Ia pandai mempertimbangkan apakah ia memilih nikmat atau rasa sakit. Dapat saja terjadi bahwa memilih nikmat sesaat menghasilkan penderitaan kemudian, dan memilih perasaan sakit sesaat meningkatkan kenikmatan jangka panjang. Bukan perasaan-perasaan nikmat yang hanya sebentar saja yang menentukan apakah kita bahagia, melainkan nikmat yang bertahan selama seluruh kehidupan. Karena itu, Epikuros menganjurkan manusia selalu menguasai diri. Orang yang bijaksana tidak akan memperbanyak kebutuhan, melainkan sebaliknya membatasi kebutuhankebutuhannya, agar dengan membatasi diri dapat menikmati kepuasan. Ia akan menghindari tindakan yang berlebihan. Untuk itu, perlu seni perhitungan (symmetresis) dapat mempertimbangkan segi-segi positif dan negative sehingga ia dapat memilih apa yang dalam jangka panjang lebih mendekatkan kita pada ataraxia.[17] Persamaan dan perbedaan pandangan etika hedonisme antara Aristippos dan Epikuros adalah keduanya mengajarkan teori tentang kenikmatan (hedone). Adapun perbedaannya bahwa menurut Aristippos kenikmatan badaniah lebih berbobot dibanding kenikmatan rohani, akan tetapi sebaliknya bagi Epikuros. Aliran hedonisme dari Yunani kuno timbul kembali pada abad 18 M di Inggris dengan ungkapannya, bahwa kesenangan yang dianggap penting sebagai hasil dari setiap keputusan tindakan manusia. Tokoh yang terkenal ialah Jeremy Bentham (1748-1832). Namun Bentham lebih



memperluas lagi filsafat etika hedonisme sebelumnya. Bentham, dalam bukunya An Introduction to the Principles of Moral Legislation (1780) menulis, “Nature has mankind place under governance of two sovereign matter, pain and pleasure. It’s for them alone to point out what we ought to do, as well as to determine what we shall do. On the other hand the standard of right and wrong, on the other chain of causes and effects, are fastened to their throne. They govern us in all we do, in all we say, in all we think”.[18] Sikap etis bagi Bentham adalah kemampuan menghitung dengan cermat rasa senang dan rasa sakit, sebagai hasil perbuatan untuk kemudian sebanyak mungkin rasa sakit menuju sebanyakbanyaknya rasa senang. Bahkan Bentham menawarkan konsep hedonistic calculusatau rumus menghitung rasa senang dan sakit. Ukurannya meliputi tujuh unsure: 1) Intensity, kuat atau lemahnya rasa sakit dan senang, 2) Duration, panjang atau pendeknya waktu berlakunya rasa sakit atau senang, 3) Certainty, kepastian akan timbulnya rasa tersebut, 4) Propincuity, dekat atau jauhnya waktu terjadinya perasaan sakit dan senang, 5) Facundity, kemungkinan rasa sakit dan senang diikuti oleh perasaan yang sama, 6) Purity, kemurnian dalam arti tidak tercampurnya dengan perasaan yang berlawanan, 7) Extent, jumlah orang yang terkena perasaan itu. Enam unsur pertama tentang perbuatan yang menimbulkan rasa senang individual.[19] Unsur ketujuh menjadikan etik individual menjadi etik sosial. Bentham, dengan hedonistic calculus-nya, memberikan dasar matematis pada bidang etika yang dapat memberikan arah bagi perbuatan manusia. Bentham selanjutnya melahirkan etika utilitarianisme sebagai pengembangan dari hedonisme. Ia merumuskan prinsip utilitarianisme sebagai “kebahagiaan yang sebesar mungkin bagi jumlah yang sebesar mungkin” (the greatest happiness for the greatest number). Apa yang dimaksud dengan kebahagiaan? Menurutnya, kehidupan manusia ditentukan oleh dua tetapan dasar: nikmat (pleasure) dan perasaan sakit (pain). Karena itu, tujuan moral tindakan manusia adalah memaksimalkan perasaan nikmat dan meminimalkan perasaan sakit. [20] Ia mengatakan bahwa kesenangan dan kesedihan seseorang bergantung kepada kebahagiaan dan kemakmuran pada umumnya dari seluruh masyarakat. Kebaikan moral suatu perbuatan ditentukan oleh kegunaannya atau kemanfaatannya dalam memajukan kesejahteraan bersama dari banyak orang. Tujuan dari hidup adalah kebahagiaan yang paling besar bagi jumlah banyak orang. Aliran utilitarianisme mencapai perkembangan sepenuhnya dalam diri John Stuart Mill (18091873), namun masih dalam pengaruh hedonisme Bentham. Beberapa tuduhan yang ditolak Mill, antara lain bahwa utilitarianisme memandang kesenangan jasmani sebagai tujuan hidup manusia dan etika yang egois. Ia menegaskan bahwa yang dituntut oleh utilitarianisme bukan mengusahakan kebahagiaannya sendiri, melainkan agar manusia mengusahakan kebahagiaan sebesar-besarnya dari semua orang yang terkena dampak tindakannya. Meskipun etika utilitarianisme Mill bersifat hedonistic—di mana nikmat diakui sebagai nilai akhir—, ia mempertahankan dan membenarkan kemungkinan untuk bertindak bukan egois, bahkan untuk berkorban demi orang lain. Mill menyadari bahwa dua hal itu tidak mudah dipertahankan bersama. Mill menjelaskan kemungkinan yang tampaknya kontradiktif itu dengan bantuan teori Asosiasi Psikologis. Teori itu sendiri berdasarkan pengandaian bahwa manusia secara kodrati bersifat social. Ia merasa nikmat jika orang lain nikmat.[21] D. Karekteristik Etika Hedonisme Untuk membedakan etika hedonisme perlu kiranya membedakan dengan sistem etika yang lain, karena setiap teori etika memiliki titik tekan masing-masing. Ada lima tipe umum teori etika. Pertama, teori etika yang tertua hedonisme, teori yang berusaha untuk memandang upaya moral manusia dalam term prinsip-prinsip dasar bahwa kesenangan merupakan satu-satunya



kebaikan bagi manusia. Kedua, teori utilitarian, yang menekankan “salah” dan “benar” dari perbuatan manusia dilihat dari dampaknya terhadap banyak orang, yang dipandang baik atau buruk. Ketiga, teori yang menyebutkan bahwa sumber bagi perbuatan etis adalah rasa kewajiban ide. Kewajiban merupakan hal yang mendasar. Teori ini yang disebut dengan deontologi yang berasal dari bahasa Yunani (deon), yang bermakna “kewajiban”. Keempat, teori idealis, yang mencari dasar perbuatan yang benar dan akhir yang baik dalam konteks relasinya dengan seluruh rangkaian kehidupan. Kelima, teori subyektifisme yang mencoba untuk menjelaskan pertimbanganpertimbangan moral sebagai ekspresi subyektif dari perasaan atau emosi.[22] Secara umum, dari kelima tipe tersebut, pandangan-pandangan mengenai etika yang berkembang di belahan dunia ini dikelompokkan menjadi tiga: etika hedonistic, utilitarian, dan deontologist. Hedonisme mengarahkan etika kepada keperluan untuk menghasilkan sebanyakbanyaknya kesenangan bagi manusia. Kesenangan dalam term hedonisme ini tidak sembarang kesenangan, tetapi kesenangan yang secara instrinsik diinginkan (intrinsically desirable). Pandangan ini berangkat dari argumentasi bahwa sesuatu yang diinginkan (desirable), baik (good), atau bermanfaat (worthwhile), adalah ketika hal itu datang dengan sendirinya dan tanpa pertimbangan-pertimbangan tertentu. Banyak hal (misalnya, orang yang pergi ke dokter) termasuk dalam bermanfaat jika dilihat dari dampaknya, akan tetapi tidak akan ada seorangpun yang mengatakan bahwa pergi ke dokter itu adalah sesuatu yang secara intrinsik diinginkan.[23] Kaum hedonist tidak menyangkal bahwa terdapat sesuatu yang diinginkan, tetapi mereka menyangkal bahwa sesuatu itu secara intrinsik memang diinginkan. Kaum hedonist juga sepakat bahwa ada sesuatu yang bisa diinginkan secara instrumental, sekalipun tidak diinginkan secara intrinsik. Menurut mereka, memang tidak menutup kemungkinan bahwa terdapat sesuatu yang samasama diinginkan, baik secara instrumental maupun secara intrinsik. Sebuah pengalaman yang menyenangkan bisa menjadi baik dalam dirinya sendiri dan juga baik secara instrumental, jika, misalnya, ia menjadi relax dan mampu bekerja lebih baik pada hari berikutnya”. Singkatnya, batasan kesenangan menurut hedonisme adalah ketika kesenangan itu secara intrinsik diinginkan, bukan secara instrumental ataupun lainnya.[24] Pertanyaannya kemudian, apakah kesenangan indrawi hedonisme tersebut, tidak berseberangan dengan kesadaran moral? dan bagaimana jika kesenangan itu dikontraskan dengan kemauan akal? Berpijak kepada batasan kesenangan di atas, dapat dikemukakan bahwa kesenangan indrawi dalam konteks hedonisme tidak berseberangan dengan kesadaran moral, kecuali kesadaran moral ini dikaitkan dengan dogma agama. Contohnya, jika sepasang laki-laki dan perempuan sepakat untuk berhubungan seksual tanpa melalui proses pernikahan sebagaimana lazimnya, dan mereka menyepakati bahwa apapun yang terjadi merupakan tanggung jawab mereka berdua, serta berkomitmen untuk tidak melibatkan pihak manapun, maka perbuatan mereka tidak melanggar kesadaran moral, sebab perbuatan itu dilakukan atas dasar suka sama suka dan juga tidak mengganggu orang lain. Akal manusia pun tidak akan menyalahkan perbuatan itu. Alasannya, hubungan seksual merupakan kesenangan yang diinginkan secara instrinsik dan mungkin juga diinginkan secara instrumental, jika, misalnya, dengan berhubungan seksual itu seseorang bisa menjadi lebih konsentrasi dalam belajarnya. Perbuatan mereka akan berbeda jika dilihat dari kacamata agama, yang umumnya melarang hubungan seksual pra nikah; dan berbeda juga jika dilihat dari perspektif undang-undang negara yang menganggapnya sebagai perbuatan yang melanggar konstitusi. Pendek kata, kesenangan moral tidak akan berseberangan dengan kesadaran moral, dan juga tidak akan menyalahi kemauan akal.



Konsep kesenangan atau kebahagiaan etika hedonisme di atas cenderung bersifat individual. Karena itu, etika utilitarianistik kemudian mengoreksinya dengan menambahkan bahwa kesenangan atau kebahagiaan yang dihasilkan oleh suatu etika yang baik adalah kebahagiaan bagi banyak orang, dan bukan kesenangan atau kebahagiaan individual – yang di sisi lain, mungkin justru mengakibatkan kesengsaraan bagi banyak orang. Sementara itu, etika deontologis memandang bahwa sumber bagi perbuatan etis adalah rasa kewajiban. Sejalan dengan itu, aliran ini mempercayai bahwa sikap etis bersifat fitri, dan pada saat yang sama, tidak (murni) rasional. Pada kenyataannya, hasil pemikiran para filosof Barat mengenai etika sering merupakan irisan dari ketiga aliran besar itu. Dengan kata lain, pemikiran masing-masing mereka bisa mengandung prinsip-prinsip lebih dari satu aliran besar tersebut di atas.[25] Uraian di atas menggambarkan bahwa etika hedonisme dan utilitarianisme sejatinya saling berkaitan, karena dipengaruhi oleh latar belakang kemunculannya. Jeremy Bentham yang pertama kali melahirkan teori utilitarianisme didasari atas paham hedonisme. Menurut utilitarianisme, manusia harus bertindak sedemikian rupa sehingga menghasilkan akibat baik yang sebanyak mungkin dan sedapat mungkin mengelak dari akibat-akibat buruk. Kekhasan utilitarianisme adalah bahwa akibat baik itu tidak hanya dilihat dari sisi kepentingan si pelaku sendiri, melainkan dari sisi kepentingan banyak orang yang terkena akibat tindakan pelaku tersebut. Dengan kata lain, utilitarianisme tidak lagi termasuk kelompok etika egois. Utilitarianisme bersifat universal, artinya ia mengaku adanya suatu kewajiban terhadap semua orang. Untuk menegaskan bahwa dalam segala tindakan kita harus selalu memperhatikan akibat-akibatnya bagi semua orang yang secara langsung atau tidak langsung terkena olehnya. Berbeda dengan egoisme etis, utilitarianisme membenarkan bahwa pengorbanan kepentingan atau nikmatnya sendiri demi orang lain dapat merupakan tindakan yang secara moral bernilai tinggi. Karena perspektifnya tidak egois, melainkan universal, wawasan utilitarianisme secara hakiki bersifat sosial. Jadi, utilitarianisme mempunyai unsur yang cocok bagi suatu moralitas manusia sebagai makhluk sosial.[26] Paparan di atas memperjelas bahwa etika hedonisme lebih bercorak individual. Ia hanya mencari kebahagiaan pribadi, bukan kebahagiaan orang banyak. [27] Hedonisme sendiri muncul dengan beragam bentuk. Pertama, hedonisme etis, yang memandang bahwa manusia akan menjadi bahagia asal saja ia mengejar nikmat dan menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. Garis pokok argumentasinya adalah bahwa manusia akan bahagia apabila ia mencapai perasaan nikmat sebanyak mungkin dan menghindari perasaan-perasaan yang tidak enak. Hedonisme ini secara paling jelas menyingkapkan sifatnya ketika mengajarkan bahwa kenikmatan itu sendiri adalah berharga, sehingga yang penting bukanlah sifat kenikmatannya, melainkan semata-mata jumlah kenikmatannya. Semakin banyak kenikmatan yang diperoleh, semakin baik bagi manusia yang bersangkutan; mengenai apakah yang dinikmatinya tidak dipersoalkan. Karena pemenuhan hasrat jasmani biasanya memberikan kepuasan yang paling menggairahkan, maka bentuk hedonisme semacam ini mengajarkan orang mengusahakan kenikmatan jasmani, yang mengingat sifatnya senantiasa merupakan kenikmatan sekejap. Ciri khas nikmat ialah bahwa ia berkaitan langsung dengan sebuah pengalaman, yaitu pengalaman terpenuhinya sebuah kecondongan; begitu pengalaman itu selesai, nikmat pun habis. Kedua, hedonisme psikologis, yang mendasarkan diri pada suatu teori yang mengatakan bahwa manusia, bagaimanapun juga, selalu toh hanya mencari nikmat dan mau menghindari perasaan-perasaan yang tidak enak saja. Menurut hedonisme ini, selain tujuan-tujuan yang luhur (misalnya memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan) dan motivasi suci (misalnya menyebarkan agama, berdakwah), motivasi manusia yang sebenarnya adalah mencari nikmat saja. Jadi teori hedonisme psikologis adalah sebuah teori yang sinis, yang tidak percaya bahwa manusia dapat



betul-betul tergerak oleh cita-cita yang luhur, misalnya dorongan untuk membantu orang lain dan sebagainya. Menurut teori ini, manusia pada hakekatnya seorang egois yang hanya mencari nikmat saja, tetapi menyembunyikannya di balik suatu tirai cita-cita suci.[28] Selain itu, memang harus diakui bahwa rasa nikmat serta kebalikannya, yaitu rasa sakit, merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia. Menurut kodratnya manusia cenderung mengingkari rasa sakit dan memandang rasa nikmat sebagai sesuatu yang berharga. Itulah sebabnya mengapa hedonisme teoritik dan terutama hedonisme praktik begitu tersebar luas. Kenikmatan merupakan kenyataan hidup, dengan frekuensi, kadar, dan bentuk yang berbeda orang suka merasakan kenikmatan. Misalnya yang satu lebih cenderung pada kenikmatan dalam kadar yang berbeda, yang lainnya lebih pada kenikmatan yang mewah. Ada yang lebih suka kepada kesenangan jasmani, atau mungkin kenikmatan religius. Namun, apakah kenikmatan dapat dijadikan prinsip dan pegangan untuk menilai hal, perkara, dan perbuatan secara etis, sebagaimana yang dianut oleh hedonisme? Bila mengacu kepada pandangan para tokohnya maka etika hedonisme tidak menganjurkan agar kita mengikuti segala dorongan nafsu begitu saja, melainkan agar kita dalam memenuhi keinginan-keinginan yang menghasilkan nikmat bersikap bijaksana dan seimbang dan selalu dapat menguasai diri.[29] E. Analisis terhadap Etika Hedonisme Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam hedonisme terkandung kebenaran yang mendalam, yaitu manusia menurut kodratnya mencari kenikmatan dan berupaya agar terhindar dari hal-hal yang menyakitkan. Karena sejak kecil manusia pasti menginginkan kesenangan hidup. [30] Memang harus diakui, bahwa banyak tindakan manusia terdorong oleh cenderung untuk mencapai kepuasan. Bahkan ada ahli psikologi yang berpendapat bahwa semua tindakan itu berdasarkan atas cenderung yang tak terdasari, ialah cenderung untuk mencapai kepuasan semata, yang disebutnya libido seksual (Sigmun Freud), atau cenderung untuk mencapai kepuasan dalam kekuasaan (adler). Walaupun teori ini sekarang tidak diterima oleh psikologi lain, akan tetapi tetaplah benar, bahwa cenderung mencari kepuasan itu masih merupakan suatu (bukan satu-satunya) factor yang mendorong manusai untuk bertindak.[31] Dengan beberapa gambaran di atas kritik atau keberatan yang dilontarkan kepada hedonisme; pertama, keberatan atau kritik psikologis, benarkah manusia secara kodrati mencari kesenangan? Bagi penganut hedonisme rasa puas dan bahagia disamakan. Adapun bahagia itu menenangkan manusia dan mau apa lagi manusia, jika ia sudah tenang hidupnya? Tetapi betulkah tiap kepuasan rasa selalu mengakibatkan ketenangan? Maka timbul kemungkinan harus dibedakan macam dan sifat kepuasan itu. Ada kepuasan yang merupakan kebahagiaan dan menenangkan, tetapi ada juga kepuasan rasa belaka yang kemudian menimbulkan kehausan dan kegelisahan. Kepuasan manakah yang benar membahagiakan? Kalau sebenarnya sifat dan macam kepuasan itu yang membahagiakan maka apakah ukuran sifat itu. Kedua, kritik yang bersifat praktik. Maksudnya adalah perilaku manusia yang timbul dari paham tersebut. Nampaknya pengaruh hedonisme sebagai sebuah praktek atau perilaku hidup yang paling berpengaruh pada manusia, ditunjukkan dengan fenomena gaya hidup hedonis manusia. Akibat atau dampak dari paham tersebut adalah untuk mencapai tingkat kenikmatan yang dicita-citakan manusia dituntut bagaimana supaya hidupnya ‘survive’ (berkecukupan, berkelimpahan). Maka, falsafah yang dianut manusia hedonis adalah ‘Struggle for life’ (Hidup ini perjuangan). Artinya, tidak boleh menyerah kepada keadaan, sebesar apapun gelombang dan tantangan harus mampu



diterobos, nasib manusia bukanlah ditentukan oleh kenyataan yang harus diterima begitu saja. Bagi seorang hedonis hidup dipandang sebagai kondisional, yaitu; suatu keadaan yang dapat berubah. Percaya atau tidak, kita terjebak dalam hidup yang serba instan. Setiap orang selalu ingin menikmati kepuasan hidup, praktis tanpa susah payah. Contoh sederhana, hidangan menu sarapan pagi tak perlu lagi nasi dan lauk-pauk, cukup digantikan sereal. Toh, hasilnya perut tetap kenyang. Itu baru dari aspek makan dan minum, belum aspek life style (gaya hidup), lalu parahnya lagi sampai menyentuh tujuan hidup (way of life). Ketiga, secara umum kenikmatan tidak dapat dijadikan nilai etis yang paling tinggi dan dijadikan dasar pendirian untuk menilai baik-buruknya hal, perkara, perbuatan. Sebab kenikmatan itu bermacam-macam tingkat dan bentuknya dan bersifat subyektif, berbeda untuk masing-masing orang dan relative, menurut orang-perorangan yang merasakan. Disamping itu karena coraknya yang individualis, sehingga hedonisme mengandung suatu egoisme, karena hanya mementingkan diri sendiri. Yang dimaksud dengan egoisme di sini adalah egoisme etis atau egoisme yang menyatakan bahwa saya tidak mempunyai kewajiban moral membuat suatu yang lain selain bagi diri sendiri.[32] Keempat, kenikmatan makin tak dapat dijadikan cita-cita dan kriteria etis, karena menyetarakan kenikmatan, kesenangan atau kepuasan dengan moralitas yang baik. Agar tidak terjadi hal tersebut, maka sebaiknya etika hedonisme membatasi diri pada etika deskriptif saja dan tidak merumuskan suatu etika normative, yang baik secara moral adalah mencari kenikmatan. Kelima, etika hedonisme bersifat subyektif, karena ukuran kenikmatan tersebut tidak bisa disamaratakan bagi semua orang. Manusia dilengkapi dengan berbagai daya kemampuan (faculty). Ada daya kemampuan indrawi, inetelektual, dan spiritual. Perwujudan dan pemenuhan daya-daya kemampuan itu membawa rasa nikmat tersendiri. Kita mengenal beberapa tingkat dan macam nikmat. Ada kenikmatan indrawi karena dorongan panca indra, satu, beberapa, atau semua, terpenuhi. Kenikmatan intelektual merupakan buah pemenuhan kemampuan budi entah karena keinginan tahu kesampaian atau pemahaman baru, lebih mendalam, lebih berarti, diperoleh. [33] Kenikmatan estetis terjadi manakala hasrat akan keindahan manusia mendapatkan saluran lewat imajinasi atau karya seni. Bila dipersempit menjadi kenikmatan indrawi, kenikmatan sensual, karena manusia itu makhluk rohani, dan perbuatan etis manusia justru berpangkal pada sifat rohaninya itu. Itulah kelemahan hedonisme. Adapun kelemahan itu masih diperbesar atau diperparah karena dalam praktek hedonisme diikuti oleh konsumerisme seperti yang menggejala pada masyarakat dunia dewasa ini. Ada juga hedonisme estetik yang mengandung nikmat keindahan sebagai kebaikan tertinggi. Bahkan ada juga hedonisme keagamaan; hedonisme semacam ini terdapat bila agama berfungsi untuk membangkitkan perasaan-perasaan tertentu yang dapat memberikan keinsyafan terhadap kenikmatan. Manusia tidak ditentukan oleh satu dorongan saja, melainkan oleh beragam dorongan yang semuanya memang mempunyai fungsi khas dalam menunjang kelestarian jenis. Dorongan untuk mencari nikmat hanya salah satu di antaranya. Jadi ada nikmat jasmani, nikmat sosial, nikmat rohani, dan lainnya. Kenikmatan etis-moral dialami manakala manusia berhasil memahami, mempraktekkan dan menghayati nilai-nilai etis-moral. Kenikmatan religius mendatangi manusia jika berhasil memahami dan menghayati nilai-nilai religius, apalagi bertemu dengan “Realitas Tinggi”, Tuhan yang dipuja. Singkatnya, dalam hidup kita dapat mendapatkan berbagai pengalaman nikmat karena daya-daya kemampuan kita terwujud dan terpenuhi. F. Penutup



Etika hedonisme adalah sebuah doktrin yang berpegang pada anggapan bahwasanya kebiasaan manusia itu dimotivasi oleh hasrat akan kesenangan atau kenikmatan dan menghindar dari penderitaan. Hedonisme mau mencapai kebahagiaan dengan cara mencari nikmat sebanyakbanyaknya. Hedonisme pertama kali dimunculkan oleh Aristippos yang lebih menekankan pada kenikmatan jasmani, kemudian diperluas kembali oleh Epikuros. Menurut Epikuros kenikmatan tidak saja pada kenikmatan jasmani. Baginya kesenangan tetap menjadi sumber norma. Tetapi tidak sekedar meliputi kesenangan jasmaniah semata-mata. Senang bagi Epikuros bermakna tidak adanya rasa sakit dalam badan dan tidak adanya kesulitan kejiwaan. Pandangan mereka dilanjutkan kembali oleh Jeremy Bentham kemudian melahirkan etika baru yaitu, utilitarianisme. Karekteristik hedonisme lebih bersifat individualis, yang dicari adalah kebahagiaan pribadi. Karena coraknya yang privatistik cenderung hedonisme muncul dalam beragam bentuk, ada hedonisme etis dan hedonisme psikologis. Demikian makalah ini saya susun, semoga bermanfaat. Adapun masukan dan kritikan dari kawan-kawan dan Bapak Dosen merupakan perbaikan bagi makalah ini agar dapat disempurnakan kembali. Terima kasih atas segala respon dan perhatian kawan-kawan semua.



DAFTAR PUSTAKA



Abdullah, M. Amin, Filsafat Etika Islam: Antara Al-Ghazali dan Kant, Bandung: Mizan, 2002 Audi, Robert, The Cambridge Dictionary of Philosophy, New York: Cambridge University Press, 1999 Aristoteles, Nichomachean Ethics: Sebuah Kitab Suci Etika, terj. Embun Kenyowati, Jakarta: Teraju Mizan, 2004



Bertens, K. Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Usama, 2002 _______, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1976 Duncan, A.R.C., Moral Philosophy, Canada: CBC Publications, 1970 Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Yogyakarta: Kanisius, 1996 Kropotkin, Prince, Ethics Origin and Development, London: George G. Harrap & Co. LTD, tt. Mangunhardjana, Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z, Yogyakarta: Kanisius, 1997 Poespoprodjo, Wasito, Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Bandung: Remadja Karya, 1988 Poedjawiyatna, Etika: Filsafat Tingkah Laku, Jakarta: Rineka Cipta, 1990 Supelli, Karlina, “Instanisasi dan Hedonisme” dalam Pesona, Edisi November 2003 Suseno, Franz Magnis, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1997



______, 13 Tokoh Etika sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19, Yogyakarta: Kanisius, 1997 Vos, H. De, Pengantar Etika, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002 Zubair, Ahmad Charris, Tinjauan Moral dan Kultural terhadap Hedonisme di Kalangan Generasi Muda, Jakarta: Teraju Mizan, 2005



[1] Karlina Supelli, “Instanisasi dan Hedonisme” dalam Pesona, Edisi November 2003, hlm. 30 [2] Wasito Poespoprodjo, Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Remadja Karya, 1988), hlm. 45 [3] Franz Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 113 [4] Robert Audi, The Cambridge Dictionary of Philosophy, (New York: Cambridge University Press, 1999), hlm. 364-365 [5] H. De Vos, Pengantar Etika, terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 161 [6] K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 236 [7] H. De Vos, Pengantar…, op.cit, hlm 164-165 [8] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1976), hlm. 16 [9] Audi, The Cambridge …, op.cit, hlm. 373 [10] K. Bertens, Ringkasan…, op.cit, hlm. 17 [11] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm 54 [12] Prince Kropotkin, Ethics Origin and Development, (London: Goerge G. Harrap & Co. LTD,), hlm. 103 [13] Suseno, Etika…, o. cit, hlm. 113 [14] Aristoteles, Nichomachean Ethics: Sebuah Kitab Suci Etika, terj. Embun Kenyowati, (Jakarta: Teraju, 2004), hal. viii [15] Hadiwidjaya, Sari…, op.cit, hlm. 55 [16] Poespoprodjo, Filsafat…, op.cit, hlm. 46 [17] Frans Magnes Suseno, 13 Tokoh Etika sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 50 [18] Kropotkin, Ethics.., op.cit, hlm 104 [19] Ahmad Charris Zubair, Tinjuan Moral dan Kultural terhadap Hedonisme di Kalangan Generasi Muda, (Jakarta: Teraju Mizan, 2005), hlm. 45 [20] Suseno, 13 Tokoh…, op.cit, hlm. 180 [21] Suseno, 13 Tokoh…, op.cit, hlm. 183 [22] A.R.C. Duncan, Moral Philosophy, (Canada: CBC Publications, 1970), hlm. 11 [23] Richard B. Brand, “Hedonism”, in Paul Edward (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, II, Canada: Macmillan Publishing, 1967, hlm. 442 [24] Ibid, hlm. 442 [25] M. Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam: Antara Al-Ghazali dan Kant, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 16 [26] Suseno, Etika…, op.cit, hlm. 123-125 [27] Suseno, 13 Tokoh …, op.cit, hlm. 50 [28] Suseno, Etika …, op.cit, hlm. 114-115 [29] A.R.C. Duncan, Moral…, op cit, hlm. 12 [30] Prince Kropotkin, Ethics…, op cit, hlm. 104 [31] Poedjawiyatna, Etika: Filsafat Tingkah Laku, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. 44 [32] K. Bertens, Etika…, op cit, hlm. 240 [33] Mangunhardjana, Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 91