Etnografi Kejahatan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

HOMOSEKSUAL DALAM TRADISI KESENIAN REOG UJIAN AKHIR SEMESTER ETNOGRAFI KEJAHATAN



Oleh: Egitya Firdausyah (3620) Kelas Teknik Pemasyarakatan A



POLITEKNIK ILMU PEMASYARAKATAN PRODI TEKNIK PEMASYARAKATAN 2020



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Budaya merupakan suatu hasil cipta oleh para manusia terdahulu diteruskan dan dilestarikan hingga sekarang. Budaya disetiap daerah di Indonesia memiliki perbedaan antara satu dengan lainnya. Sebagai hasil cipta dari kelompok masyarakat disuatu daerah sehingga budaya dapat dijadikan sebagai identitas suatu daerah. Budaya tersebut dapat mentradisi karena kepercayaan pada masyarakatnya. salah satu budaya yang banyak tercipta di Indonesia adalah tradisi kesenian tari. Kesenian tari tersebut memiliki pola dan tujuan yang berbeda pula antar daerah. Kesenian tersebut diciptakan dengan kaidah dan fungsi tertentu, baik dilihat dari segi gerakan badan maupun alunan lagu yang mengiringinya. Tujuan dari kesenian tari tiap daerah tidak bisa dipersepsikan sama. Mengingat hal tersebut merupakan penjelewantaraan dari masing-masing pencipta yang dipengaruhi oleh latar belakang sosial dan lingkungan adat. Namun, tidak dipungkiri bahwa dari beberapa kesenian di Indonesia memiliki suatu perspektif negatif yang bertentangan dengan norma perilaku yakni homoseksual. Homosesual sendiri telah lama ada di Indonesia. Banyak orang berpendapat bahwa homoseksual merupakan budaya barat yang terbawa ke Indonesia. Namun, menilik dari sejarah serat Centhini, disitu diceritakan mengenai priyayi yang juga berhubungan sesama jenis. Tidak hanya itu, pandangan mengenai homoseksual sebagai budaya juga terdapat pada daerah lainnya yang kemudian dianggap wajar dan dilakukan secara terang-terangan karena telah menjadi keyakinan. Seperti halnya orang Bugis di Sulawesi Selatan, menganggap bahwa gender merupakan sebuah flesibilitas. Sebelum islam masuk, mereka mengakui bahwa masyarakat memiliki lima jenis kelamin, yakni pria (oroane), wanita (makkunrai), wanita transgender (calabai), pria transgender (calalai) dan pendeta androgini (bissu). Di tanah Toraja, orang-orang membagi jenis kelamin menjadi tiga, to burake tambolang. Menurut Hetty Nooy-Palm, bahwa orang Toraja mempercayai bahwa dalam kebudayaan mereka maka pemimpin agama yang paling penting merupakan seorang wanita (burake tattiku) dan seorang pria yang berpakaian seperti wanita (burake tambolang). Pemimpin agama transgender di suku Toraja dan Bugis berperan penting



dalam kelompok mereka. Seperti Bissu dan to burake yang berperan dalam memimpin upacara spiritual atau ritual panen di setiap desa. Masyarakat pun akan mengagumi dan menghormati desa yang memiliki to burake. Tradisi yang mungkin juga ekstrem dilakukan adalah oleh suku di tenggara Papua di dataran tinggi timur Papua Nugini. Mereka mempraktikkan salah satu ritual yang disebut ritual homoseksualitas. Dalam praktik, seorang pria muda yang akan menuju kedewasaan maka akan melakukan seks oral kepada pria yang lebih tua. Mereka meyakini bahwa air mani sebagai sumber kehidupan dan esensi maskulinitas yang penting bagi anak laki-laki untuk menjadi pria sejati. Hal serupa juga terjadi di Jawa Timur, dalam pertujukan yang semula hanya seni tari juga digandrungi oleh aktivitas homoseksual dibelakangnya. kesenian tersebut dilakukan oleh warok dan gemblak. Dimana seorang warok tidak boleh menikah dengan seorang perempuan, sehingga dalam kehidupannya ia didampingi oleh seorang gemblak. Yang dapat dikatakan sebagai seorang istri namun berjenis kelamin laki-laki. Dikatakan seorang warok melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis. Meskipun warok dan gemblak terlibat dalam hubungan seksual sesama jenis, mereka tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai homoseksual. Saat ini, para wanita telah mulai memainkan karakter gemblak. Dalam pertunjukan drama tradisional Jawa lainnya seperti ludruk dan wayang orang, seorang pria yang memainkan karakter wanita, atau sebaliknya, bukanlah hal yang tidak biasa. Homoseksual yang melatar belakangi beberapa tradisi kesenian di daerahdaerah Indonesia saat ini mengalami beberapa pergeseran makna. Dikhawatirkan dalam menafsirkan maksud dari tradisi tersebut akan berbeda. Maka diperlukan beberapa perubahan dan literasi yang mumpuni. Saat ini, mengenai norma kesusilaan dalam masyarakat Indonesia telah menjadi sorotan. Homoseksualitas yang dilarang oleh hukum atau norma-norma lain akan berkembang menjadi kejahatan atau masalah sosial maupun masalah pribadi. Maka untuk itu, dalam pembahasan penulis kali ini adalah mengenai homoseksual dalam tradisi kesenian reog. Dimana akan dijelakan mengenai budaya homosesual serta hukum nasional mengenai hal tersebut. Diharapkan agar pembaca sekalian dapat memahami maksud dan makna dari tradisi kesenian reog sehingga tidak disalah artikan dan kesenian tersebut dapat kita jumpai sebagai kesenian tari yang menghibur dan beradab.



B. Tujuan Penulisan Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberikan gambaran umum mengenai konsepsi homoseksual yang terkandung dalam tradisi kesenian Reog di Jawa Timur. C. Rumusan Masalah Mengenai latar belakang tersebut, maka penulis akan membahas perihal bagaimana konsepsi homoseksual kaitannya dengan kesenian Warok-Gemblak di Ponorogo, Jawa Timur? Serta bagaimana hukum nasional mengkaji mengenai homoseksual atau kesusilaan tersebut?.



BAB II PEMBAHASAN 1. Konsepsi Budaya Tentang Homoseksual Homoseksual merupakan perilaku seks yang dilakukan oleh sesama jenis. Dikatakan sebagai seorang gay apabila homoseksual tersebut dilakukan oleh sesama laki-laki. Sedangkan lesbian apabila homoseksula tersebut dilakukan oleh sesama perempuan. Pandangan mengenai keduanya tersebut dianggap sebagai penyimpangan baik dari segi sosial maupun agama. Bagi pelaku homoseksual tentu dapat dikenakan sanki dari hukum sampai dengan sanksi sosial berupa cemoohan dan agama berupa dosa. Keanekaragaman budaya Indonesia yang berkaitan dengan homoseksualitas tentu ada. Seperti kesenian reog di Ponorogo yang dilakukan oleh warok dan gemblak, ada rateb sadati di Aceh, kebiasan mairil di pesantren Jawa, pentas seni seperti ludruk dan gandrung di Jawa, bissu di Sulawesi, kebiasaan tidur di surau pada masyarakat Minangkabau, suku Dayak Ngaju yang mengenal pendeta perantara di Kalimantan, serta proses inisiasi yang dilakukan sebagai tanda anak-anak telah menjadi lelaki baligh atau dewasa di Irian. Homoseksual dalam beberapa dimensi diantaranya ialah sikap untuk mengekspresikan hubungan seksual atau kecenderungan erotis, kesadaran akan konsep diri homoseksual, atau kenyataan hubungan seks dengan sesama jenisnya baik laki-laki maupun perempuan. Dalam kebudayaan tentu dimensi dari homoseksual dikonotasikann sebagai suatu syarat memperoleh kekuatan atau sejenisnya. Sehingga sebenarnya mereka memiliki sesadaran tentang homoseksual yang dilakukan tanpa kecenderungan erotis. Dibuktikan bahwa beberapa kesenian tersebut tetap berkembang tanpa adanya syarat homoseksual didalamnya yang semula diagungkan. Terdapat tiga konsep mengenai homoseksual, antara lain: 1) Pengambilalihan peran seks. Hal ini lebih pada adopsi aktif terhadap ciri-ciri perilaku seks seseorang terhadap orang lain, bukan hanya keinginan untuk mengadopsi sejumlah perilaku. Pengambilalihan peran seks ini biasanya disebut penolakan peran seks atau peran gender. 2) Kecenderungan peran seks, yaitu keinginan untuk mengadopsi perilaku yang berhubungan dengan jenis kelamin yang sama atau berbeda.



3) Identifikasi peran seks. Identifikasi peran seks merupakan persatuan yang nyata antara takdir peran seks dan reaksi tak sadar bahwa takdir itu merupakan ciri-ciri dari peran seks. Dengan kata lain, seseorang menghayati peran seks tertentu, mengembangkan konsep dirinya dengan jenis



kelamin



lain,



dan mengadopsi sebagian besar



karakteristik perilaku jenis kelamin lain tersebut (Siahaan, 2009 ; 44). Homoseksual diekspresikan dalam beberapa bentuk, seperti aktif bertindak sebagai pria dan tidak bergantung pada seksnya. Pasif bertindak sebagai wanita, serta mixed, kadang-kadang bertindak sebagai pria, kadang-kadang bertindak sebagai wanita. Berbagai cara dilakukan untuk memperoleh kepuasan seksualnya yakni dengan cara oral erotisme, anal erotisme bahkan interfemoral atau hubungan seksual melalui sela-sela paha. Adapun beberapa penyebab seseorang mengalami homoseksual yaitu pertama, herediter dimana terdapat kelaian pada kromosom dalam tubuh seseorang sehingga ia akan cenderung ke sifat laki-laki maupun perempuan yang berlawanan dengan jenis kelaminnya. Kedua, faktor lingkungan dimana seseorang kemungkinan mendapat pemahaman mengenai homoseksual dari lingkungan sekitarnya. Ketiga faktor hormone imbalance dimana terdapat kelainan pada hormon yang menyebabkan seseorang tertarik pada sesama jenis. Secara umum, identitas homoseksual yang kemudian berlanjut pada keterlibatannya dalam aktivitas dan lingkungan seks sejenis maka dapat dikatakan seseorang tersebut menjadi seorang homoseksual. Menurut Troiden (1979), terdapat tiga tahapan untuk menggambarkan identitas homoseksual untuk mendapatkan pengakuan, antara lain: 1) Sensitization. Pada tahap ini seseorang menyadari bahwa dia berbeda dengan laki-laki lain; 2) Dissociation and Signification. Tahapan ini menggambarkan terpisahnya perasaan seksual seseorang dan menyadari orientasi dan perilaku seksualya. Di sinilah seseorang mendapatkan pengalaman hiburan seksualnya dari lakilaki lain, tetapi mungkin gagal menunjukkan perasaannya atau mencoba untuk mengingkarinya; 3) Coming



Out



(Pengakuan).



Tahap



ini



merupakan



tahap



dimana



homoseksualitas diambil sebagai jalan hidup. Tahap ini mungkin dapat diartikan bahwa telah terjadi kombinasi antara seksualitas dan emosi dan mempunyai hubungan dengan pasangan tetap.



Secara garis besar, seorang homoseksual bukanlah kehendak sendiri, mereka cenderung tidak menyadari dan mengetahui mengapa mereka bisa menjadi demikian. Meskipun, terdapat seseorang yang egosintonik, yakni menerima keadaan dirinya dan hidup dengan senang sebagai homoseksual. Sebaliknya, terdapat ego-distonik dimana mereka tidak bisa menerima keadaan dirinya atau merasa dirinya tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, sehingga mereka berada dalam keadaan konflik batin. Homoseksual bukan merupakan kelainan tetapi penyakit, secara psikodinamik dikenal 3 macam, yaitu: 1) Yang mutlak menginginkan obyek seksualnya sejenis kelamin dengan dirinya. 2) Yang bukan mutlak tetapi bersifat ambiguous merasa tertarik kepada dua seks. 3) Yang karena situasi tertarik kepada seks yang sama. Bila situasi berubah maka dia berubah pula dari keadaan homoseksual ke keadaan heteroseksual. Hal ini terdapat pada situasi yang sulit untuk bertemu dengan lawan jenis (Simandjuntak dan Pasaribu, 1984: 196) Menurut Clinard & Quinney (1973,h.87), terdapat dua tipe bagi mereka yang berpartisipasi dalam aktifitas homoseksual secara sederhana, antara lain: pertama, perilaku homoseksual situasional, tipe dimana mereka memilih aktivitas heteroseksual tapi berpartisipasi dalam aktivitas homoseksual sebagai cara pengganti atau temporer terhadap gratifikasi erosi atau cara untuk mendapatkan uang. Kedua, homoseksual preferensial yakni mencari gratifikasi seksual secara dominan dan terus menerus dari jenis kelamin yang sama. sehingga mereka cenderung membangun konsep diri homoseksual dan selanjutnya bergabung dengan subkultur gay atau lesbian. Ragam peran seseorang dalam homoseksual dapat dibedakan, dari mereka yang melakukannya secara terbuka atau tersembunyi, mereka yang mengidap homoseksual ada yang bisa menyesuaikan diri dan tidak bisa menyesuaikan diri, sebagai seorang homoseksual sejati ataupun hanya sebagai homoseksual situasional, dan homoseksual primer ataupun sekunder. Berkembangnya zaman juga berpengaruh pada modernisasi homoseksual. Homoseksual yang smeula hanya sebatas pemahaman yang bersifat teologi seiring waktu merubah menjadi pemahaman rasional. Pada masyarakat tradisional, perilaku homoseksual yang semula



dipahami sebagai bentuk etika, tradisi untuk tujuan



tertentu, ataupun hanya kepuasan. Sedangkan sekarang, homoseksual sudah berlandaskan pada Hak Asasi Manusia.



2. Homoseksualitas Di Kalangan Warok dan Gemblak di Ponorogo, Jawa Timur Warok berasal dari kata arab waroi artinya pimpinan, atau memimpin. Sedangkan menurut istilah Jawa wirangi artinya sudah waskito, yakni paham tentang kasar halusnya lahir batin dan kegiatan hidupnya hanya untuk memberi pertolongan kepada masyarakat, negara, karena Allah atau tanpa pamrih. Warok berasal dari kata wewarah, yakni wong kang sugih wewarah, artinya seseorang yang mampu memberi petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang hidup baik. Warok digambarkan sebagai orang yang sempurna laku hidupnya. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, warok merupakan pemimpin atau panutan bagi masyarakat Ponorogo yang menjunjung tinggi nilai kebaikan. Karena wawasannya yang luas, sakti, mengajarkan tentang kehidupan kepada masyarakat sehingga warok dijadikan sebagai panutan. Warok dalam pengabdiannya untuk negara serta memberikan pertolongan terhadap masyarakat dengan ikhlas tanpa adanya sebuah harapan untuk diberikan balasan. Beberapa sifat yang dimiliki warok antara lain: a) Berwatak satria: jujur, dan suka memberi pertolongan, selalu berdarma bhakti kepada negara dan bangsa. b) Berwatak belas kasih kepada sesama, tetapi juga berwatak kejam kepada musuh, seperti pepatah jika lentur atau lemas dapat digunakan untuk tali, jika kaku dapat digunakan untuk pikulan. c) Banyak ilmu dan mempunyai kesaktian. Jika di waktu aman tentram seperti tak ada gunanya. Tetapi jika terjebak marabahaya dapat menyelesaikan perkara. “Nama rawe-rawe malang-malang putung” (pepatah jawa). d) Menjadi suri tauladan dan pelindung masyarakat di desa itu dan sekitarnya. Kadang-kadang lurah saja kalah wibawa. e) Warok sejati, jika ditantang musuh tidak bernafsu, terlebih dahulu diberi peringatan. Jika sudah tidak dapat diperingatkan baru musuh itu dilawan semuanya mengajak bagaimana dituruti. Peranan warok dalam reog umumnya menjabat sebagai demang atau pimpinan reog sekaligus menjadi pemain barongan. Gambaran umum mengenai penjiwaan dari warok tersebut ialah berpawakan tinggi besar, berkumis, berjanggut panjang, pipi dan dada tumbuh bulu hitam yang lebat, memakai pakaian yang serba hitam diikat usususus putih dipinggang. Sehingga seorang warok dihormati dan disegani masyarakat.



Seragam hitam yang dikenakan mengandung makna keteguhan. Sedangkan koloran dan usus-usus yang berwarna putih panjang dan terurai ujungnya merupakan lambang kesucian budi, ilmu dan tingkah laku. Dari simbol-simbol ini akhirnya didapat pengertian bahwa manusia perlu sekali dikuatkan denga kesucian budi, ilmu dan tingkah laku. Sedangkan dalam pentas pertunjukan, sosok warok lebih terlihat sebagai pengawal atau punggawa raja Klana Sewandana (bagi warok muda) atau sesepuh dan guru (bagi warok tua). Warok muda berlatih mengolah ilmu kanuragan yang digambarkan berbadan gempal dengan bulu dada, kumis dan jambang lebat serta mata yang tajam. Sementara warok tua sebagai pelatih atau pengawas warok muda yang digambarkan berbadan kurus, berjanggut putih panjang, dan berjalan dengan bantuan tongkat. Warok merupakan seorang pemimpin suatu grup kesenian Reog Ponorogo. Kesaktian yang dimiliki oleh seorang warok dapat menghadirkan keterampilan menari yang menakjubkan diluar akal manusia. Untuk mencapai kesaktiannya, seorang warok harus memiliki gemblak sebagai ritulanya. Gemblak ialah anak laki-laki remaja tampan usia 10-15 tahun. Warok membeli anak remaja ini dari orang tuanya dengan harga tertentu. Sesuai kesepakatan berikut dengan jangka waktu atau kontrak untuk melayani warok, termasuk didalamnya untuk melakukan aktifitas seksual sesama jenis. Gemblak merupakan kebanggaan dari warok. Semakin banyak gemblak maka semakin tinggi status seorang warok dan dianggap paling sakti dan digjaya. Mejadi seorang warok sudah barang lumrah untuk melakukan ritual tidak berhubungan seks dengan perempuan meskipun seorang warok telah beristeri. Sehingga warok melakukan hubungan seks dengan gemblaknya. Dari hal tersebut, timbullah homoseksual yang terjadi antara warok dengan gamblak di kesenian reog Ponorogo. Meskipun berkembangnya zaman juga membawa perubahan bagi kesenian reog tersebut bahwa warok hanya sebatas pemimpin grup reog dan tidak identik dengan kesaktian. Sedangkan gemblak hanya sebatas penari jathilan yang berperan sebagai penari saja. Homoseksual yang dilakukan oleh warok dan gemblaknya tidaks erta merat sebagai hasrat pribadi emlainkan sebagai tuntutan eksternal yang disebut sebgaai tradisi untuk mencapai kesaktiannya. Alasan seorang



warok tidak melakukan



hubungan seksual dengan lawan jenis karena alasan kesaktian dan kedigjayaan. Ritual yang dilakukannya merupakan ritual semacam sihir yang memaksanya untuk



meninggalkan dunia hetero menuju dunia homo. Hal yang sama juga dialami oleh seorang gemlak, keuntungan materi menjadikan gelmbla yang telah dibeli oleh warok mau melayani bahkan dalam hal berhubungan seksual. Karena mereka dibeli dengan ahrga yang tinggi padahal hal ini merupakan suatu bentuk perbudakan. Pada awal abad ke-20, budaya perbudakan masih populer dikalangan masayarakat Ponorogo. Warok umumnya akan merasa bangga ketika memiliki gemlak yang banyak apalagi jika gemlak itu hanya dimiliki olehnya sendiri. Ada kemungkinan bahwa seorang gemlak tidak hanya melayani satu orang waroksaja tetapi bisa lebih. Terdapat acara khusus seperti acara perkawinan sebagia bentuk pembelian dan pengangkatan seorang gemlak, bahkan pesta stersebut dilaksanakan dengan meriah. Ketika nilai-nilai feodalisme masih menjadi suatu kebanggaan sehingga sebagian orang mengejarnya. Salah satunya dengan menjadi warok yang memiliki banyak gemblak meskipun konsekwensinya mereka harus menjadi pelaku homoseksual. Antusiasme dari masyarakat terhadap seni reog atau kesenian warok-gemblak ini memang cukup tinggi. Akan tetapi, perilaku seksnya tetap bukan merupakan sesuatu yang dianggap wajar. Masyarakat tetap menilainya sebagai penyimpangan. Bahkan, nasib anak-anak yang menjadi gemblak seringkali menjadi bahan cemoohan. Meski menjadi warok yang sakti adalah kebanggaan, namun menjadi gemblak bukanlah pilihan yang menyenangkan. Bila merupakan pilihan yang menyenangkan dan membanggakan tentu tidak perlu ada transaksi jual-beli antara warok dengan orang tua calon gemblak. Setelah berkembang nilai-nilai anti-feodalisme dan berkembangnya agama (Islam). Nilai-nilai tersbeut semakin bertumbuh seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat dan perlawanan terhadap kolonialisme tidak memberikan ruang pada semua praktik perbudakan termasuk transaksi pembelian gemblak. Transaksi ini dalam nilai-nilai baru anti-feodal terkategori sebagai tarficking (jual-beli manusia) yang tentu sangat bertentangan dengan semangat kesamaan manusia dan HAM. Oleh sebab itu, kian kemari praktik per-gemblak-an sebagai “budak” seperti pada masa lalu semakin berkurang atas kesadaran masyarakat sendiri. Seiring dengan berkembangnya ajaran Islam di Ponorogo berimplikasi pada perilaku warok dan gemblak ini yang semakin dianggap masyarakat sebagai perilaku yang menyimpang. Ajaran Islam yang dianut masyarakat jelas tidak menoleransi sihir



dan perbuatan seks sejenis. Karena baginya, sihir diciptakan oleh setan sehingga yang melakukannya maka dianggap mengikuti jalan setan. Ditambah lagi sihir tersebut dilakukan dengan mempersyaratkan berhubungan badan antar lelaki sejenisnya dalam wujud gemblak. Seni reog sampai sekarang masih tetap eksis, karena sejatinya tarian dalam kesenian reog tidak berlawanan dengan nilai-nilai agama. Hanya saja antisipasi bahwa menjadi warok dan gemblak hanya ada di pementasan reog saja dan tidak dibawa kekehidupan nyata seperti yang terjadi di masa lalu sehingga menimbulkan penyimpangan berupa homoseksual. Mengenai kasus warok dan gemblak dapat diambil kesimpulan bahwa perilaku tersebut sama sekali tidak bissa dijadikan alasan untuk meligitimasi perilaku seks sejenis. Berkembangnya suatu budaya menjadikan syarat homoseksual antara warok dan gemblak tidak bisa dipertahankan lagi. Sekarang ini, kesenian reog tetap ada dan digandrungi oleh masyarakat tanpa adanya warok dan gemblak sebagai lakon utama yang melakukan homoseksual. Warok dan gemlak juga hidup normal. Daipastikan pula bahwa kasus-kasus serupa telah mengalami perbedaan syarat yang lebih fleksibel. Karena sejatinya kesenian tersebut digunakan untuk hiburan. Masyarakat tetap berpandangan bahwa perilaku seksual tetap tidak bisa dibenarkan meskipun dalam bentuk kesenian sekalipun. Karena pemikiran masyarakat yang menganggap bahwa perilaku seks yang terdapat di Indonesia dana dapat diterima secara luas ialah seks normal. 3. Hukum Nasional: Kesusilaan Tindak pidana kesusilaan merupakan tindak pidana yang berhubungan dengan masalah kesusilaan atau etika. Penentuan mengenai batasan kesusilaan cukup luas karena kesusilaan bergantung pada nilai yang berlaku di suatu masyarakat. R. Soesilo berpendapat bahwa perbuatan susila kadang-kadang amat tergantung pada pendapat umum pada waktu dan tempat itu. Bisa dikatakan bahwa kesusilaan merupakan sesuatu yang bersifakt fleksibel. Selaras dengan kebudayaan reog yang memandang lumrah homoseksual yang dilakukan warok dengan gemblaknya. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) mengatur tentang tindak pidana kesusilaan yang terdapat dalam Buku Kedua Bab XIV dan Buku Ketiga Bab VI KUHP. Namun, konsepsi mengenai delik kesusilaan umumnya masih mewarisi dari hukum pidana masa kolonial. Dimana sekarang ini terlah terjadi banyak



pergeseran makna homoseksual yang semula sebagai teologi menjadi rasional. Artinya diperlukan Undang-undang baru yang mumpuni. Tindak pidana kesusilaan dalam KUHP meliputi perbuatan atau tulisan yang melanggar kesusilaan (Pasal 281-283, 532-535); hubungan seksual dan perbuatan cabul (Pasal 284-296), perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur (Pasal 297); perbuatan yang berhubungan dengan pengguguran kehamilan (Pasal 299); yang berhubungan



dengan



minuman



keras/memabukkan



(Pasal



300,



536-539);



pemanfaatan anak untuk pengemisan, pekerjaan berbahaya/merusak kesehatan (Pasal 301); penganiayaan ringan dan perlakukan tidak susila terhadap hewan (Pasal 302, 541 dan 544); perjudian (Pasal 303 dan 303 bis); meramal nasib/mimpi dan yang berhubungan dengan jimat atau benda berkekuatan gaib (Pasal 545-547). Legalitas mengenai status homoseksual memang berlum pacu. Tetapi telah dimuat dalam dalam Pasal 292 KUHP tentang hubungan sesama jenis yang berbunyi: “Orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun” Menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal” menerangkan bahwa: a. Dikatakan dewasa apabila telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun, akan tetapi sudah pernah kawin. b. Jenis kelamin sama, yakni laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan. c. Perbuatan cabul sebagai perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya. Perbuatan cabul termasuk pula onanie. d. Pasal tersebut mengatur mengenai orang dewasa yang melakukan cabul terhadap orang yang belum dewasa. Sedangkan jika sama-sama dewasa melakukan cabul maka tidak dihukum dalam pasal ini. e. Agar dapat dikenakan hukuman sesuai pasal ini maka orang dewas tersbut harus membuktikan bahwa yang melakukan pencabulan belum dewasa.



Dari Pasal 292 KUHP di atas, maka orang yang dapat dipidana sesuai pasal tersebut ialah apabila dilakukan oleh orang dewasa dengan anak di bawah umur yang berjenis kelamin sama dan disertai dnegan tindak pencabulan. Namun, apabila keduanya memiliki sifat penyuka atau ketertarikan dengan sesama jenis maka tidak dipidana. Maka dapat dikatakan bahwa pelaku homoseksual antara warok dan gemblaknya dapat dijerat dalam Pasal 292 KUHP. Dimana seorang warok yang telah dewasa melakukan hubungan seks dengan seorang gemblak yang umunya masih berusia 10-15 tahun.



BAB III PENUTUP A. Simpulan dan Saran Berkembangnya zaman juga berpengaruh pada modernisasi homoseksual. Homoseksual yang semula hanya sebatas pemahaman yang bersifat teologi seiring waktu merubah menjadi pemahaman rasional. Pada masyarakat tradisional, perilaku homoseksual yang semula



dipahami sebagai bentuk etika, tradisi untuk tujuan



tertentu, ataupun hanya kepuasan. Sedangkan sekarang, homoseksual sudah berlandaskan pada Hak Asasi Manusia. Dimana eksistensinya menuntut untuk diberikan perhatian dan suatu kewajiran bagi masyarakat umum. Homoseksual terdapat dalam kesenian reog yang dilakukan oleh warok dan gemblak. Hal tersebut dilakukan agar warok memperoleh kesaktian dan kedigdayaan. Padahal jelas hal tersebut merupakan sebuah penyimpangan, dalam hukum nasional seperti KUHP telah mengatur mengenai kesusilaan. Dimana seseorang yang melakukan hal demikian dapat dipidana penjara sebagai sanki hukum. Pelaku homoseksual antara warok dan gemblaknya dapat dijerat dalam Pasal 292 KUHP. Dimana seorang warok yang telah dewasa melakukan hubungan seks dengan seorang gemblak yang umunya masih berusia 10-15 tahun. Sebagaimna telah dijabarkan diatas mengenai homoseksual yang terdapat dalam kesenian reog di Ponorogo, Jawa Timur. Terdapat beberapa pemahaman yang mesti diluruskan seperti budaya homoseksual didalamnya yang seharusnya dihilangkan tanpa merusak kesenian reog itu sendiri. Sudah sepatutnya terdapat peraturan tegas yang mengatur tentang aksi homoseksual di Indonesia. Seperti diketahui bahwa Undnag-undang mengenai homoseksual hanya menjerat pada orang dewasa dengan anak. Padahal seharusnya perilaku hmoseksual antar orang dewasa pun diberikan sanksi karena bertentangan dengan norma kesusilaan maupun agama.



DAFTAR PUSTAKA Denda Yulia Asih Rsimawati, 2015. Homoseksual Termasuk Budaya?, Diakses pada tanggal 16



Mei



2020



https://www.kompasiana.com/dyarelba/552e09206ea8349e248b45c6/homoseksualtermasuk-budaya Tiar Anwar Bachtiar. 2018. Homoseksualitas dalam Budaya Indonesia, diakses pada tanggal 16 Mei 2020 https://jejakislam.net/homoseksualitas-dalam-budaya-indonesia/ Fadhila Eka Ratnasari. 2019. Seluk-beluk Sejarah Homoseksualitas di Indonesia, diakses pada tanggal 16 Mei 2020 https://www.matamatapolitik.com/seluk-beluk-sejarahhomoseksualitas-di-indonesia/