Etnografi Komunikasi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Desember 2017



Makalah



ETNOGRAFI KOMUNIKASI



OLEH: Nama



: Dewi Amor



Stambuk



: C1D316096



Program Studi : Ilmu Komunikasi Jurusan



: Jurnalistik



FAKULTAS SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI 2017



BAB I PENDAHULUAN



Latar Belakang Etnografi komunikasi adalah suatu kajian mengenai pola-pola komunikasi sebuah komunitas budaya. Secara makro kajian ini adalah bagian dari etnografi. Etnografi komunikasi (Ethnography of communication) merupakan pengembangan dari Etnografi Berbahasa (Ethnography of sepaking), yang dikemukakan oleh Dell Hymes pada tahun 1962 (Ibrahim, 1994:v). Pengkajian etnografi komunikasi ditujukan pada kajian peranan bahasa dalam perilaku komunikatif suatu masyarakat, yaitu mengenai cara-cara bagaimana bahasa dipergunakan dalam masyarakat yang berbeda-beda kebudayaannya Pada perkembanggannya, Hymes mengubahnya dari ethnography of speaking menjadi ethnography of communication karena kerangka acuan yang digunakan bukan pada bahasa melainkan pada komu– nikasinya. Bahasa tidak akan punya makna tanpa dikomunikasikan. Dalam artikel pertamanya, Hymes (1962) menjelaskan bahwa etnografi berbahasa menyangkut tentang situasi-situasi dan penggunaan pola dan fungsi berbicara sebagai suatu aktivitas tersendiri (Hymes 1962/1968:101, dalam Ibrahim, 1994:260). Etnografi komunikasi menjadi kontroversial sejak semula. Salah satu kontroversi adalah tentang hubungannya dengan bidang linguistik sebagai suatu keseluruhan. Dell Hymes sebagai pencetus teori etnografi komunikasi, memberikan batasan tegas antara linguistik dan komunikasi. Kajian etnografi komunikasi bukanlah kajian linguistik namun merupakan kajian etnografi, serta bukan pula mengenai bahasa, tetapi mengenai komunikasi. “… it is not linguistics, but ethnography, not language, but communication, which must provide the frame of reference within which the place of language in culutre and society is to be assessed” (…ini bukan linguistik, tapi etnografi, bukan bahasa, tapi komunikasi, yang harus melengkapi kerangka pikir secara mendalam tempat bahasa dalam kebudayaan dan masyarakat ditetapkan) (Hymes, 1971 : 4, dalam Alwasilah, 2003 :61)



11



BAB II PEMBAHASAN



A. Pengertian Etnografi berasal dari bahasa Yunani Ethnos, bermakna orang, ras atau kelompok budaya (A.D Smith, 1989:13-18). Kata etno digabung dengan grafis membentuk terma etnografis, maknanya mengacu pada sub-disiplin yang dikenal sebagai antropologi deskriptif – dalam pengertian yang paling luas, ilmu pengetahuan yang memfokuskan diri pada upaya untuk menggambarkan cara-cara hidup umat manusia. Dengan demikian, etnografis mengacu pada deskripsi ilmiah sosial tentang manusia dan landasan budaya kemanusiaan (Denzin,2009:30). Denzin (2009:316) memaparkan bahwa pengertian etnografi sangat beragam, ada yang menyebutnya sebagai sebuah paradigma filsafat yang menuntun peneliti pada komitmen total. Adapun pakar lain menjelaskan bahwa istilah etnografi sebagai seb1uah metode yang hanya digunakan jika memiliki relevansi dengan objek yang diteliti sebagaimana tujuan yang dimaksudkan peneliti. Adapun secara praktis, etnografi biasanya mengacu pada bentuk-bentuk penelitian sosial dengan sejumlah ciri khas yang dimilikinya, seperti; a) Lebih menekankan upaya eksplorasi dan bukan sebaliknya melakukan pengujian hipotesis atas fenomena sosial b) Lebih suka bekerja dengan data tak terstruktur atau belum dirumuskan dalam bentuk kode, menelaah sejumlah kecil kasus mungkin hanya satu kasus secara detil, dan c) Menganalisis data yang meliputi interpretasi makna dan fungsi berbagai tindakan manusia secara eksplisit dengan penjelasan secara deskripsi dan verbal. Jika dalam etnografi, peneliti berusaha mengkaji tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, dan bahasa, maka dalam etnografi komunikasi lebih terfokus lagi, yakni berupaya melihat pola-pola komunikasi kelompok. Kelompok dalam kerangka ini memiliki pengertian sebagai kelompok sosiologis (sociological group). Oleh karena itu, etnografi komunikasi dapat dikemukakan sebagai penerapan metode etnografi untuk melihat polapola komunikasi.



12



Pemolaan (patterning) umumnya terjadi pada semua tingkat komunikasi: masyarakat, kelompok, dan individu. Pada tingkat masyarakat, komunikasi biasanya berpola dalam bentuk-bentuk fungsi, kategori ujaran (categories of talk), dan sikap serta konsepsi tentang bahasa dan penutur (Ibrahim, 1994:13). Komunikasi juga berpola menurut peran dan kelompok tertentu dalam suatu masyarakat, misalnya jenis kelamin, usia, status sosial, dan jabatan. Misalnya, seorang guru memiliki cara-cara berbicara yang berbeda dibandingkan dengan pengacara, dokter atau ekonom. Cara berbicara juga berpola menurut tingkat pendidikan, tempat tinggal perkotaan atau pedesaan, wilayah geografis, dan ciri-ciri organisasi sosial yang lain. Komunikasi berpola juga terjadi pada individual, seperti pada tingkat ekspresi dan interpretasi kepribadian. Misalnya ekspresi individu dalam menyampaikan perasaan atau emosi, seperti marah, kecewa, sedih, dan sebagainya. Perasaan sedih dinyatakan dengan: ‘Aduh…’, ‘Ya Tuhan’, ‘Malangnya nasibku’, ‘Oh..nasib’, ‘Hidupku tak berarti’, ‘Ya ampun’, dan sebagainya. B. Asumsi Dasar Etnometodologi Etnografi komunikasi pada awalnya disebut sebagai etnografi wicara atau etnografi pertuturan (ethnography of speaking). Kalau etnografi dipandang sebagai kajian yang memerikan suatu masyarakat atau etnik, maka dalam etnografi komunikasi difokuskan kepada bahasa masyarakat atau kelompok masyarakat (Sumarsono, 2002:309). Istilah Ethnography of speaking pada awalnya dimunculkan oleh Dell Hymes (1972), seorang antropologi dan sekaligus pakar linguistik Amerika. Menurut Hymes (1974), dalam mengkaji



penggunanan



bahasa



dalam



masyarakat



memperhatikan



dan



mempertimbangkan konteks situasi sehingga bahasa tidak berdiri sendiri sebagaimana kajian tentang gramatika (seperti dilakukan oleh linguis), tentang kepribadian (seperti psikologi), tentang struktur sosial (seperti sosiologi), tentang religi (seperti etnologi), dan sebagainya., Etnografi Komunikasi menjelaskan kompetensi komunikatif seperti kaidah untuk berkomunikasi, kaidah yang diketahui bersama untuk interaksi, kaidah budaya dan pengetahuan sebagai basis interaksi, konteks dan isi peristiwa komunikasi; serta proses interaksi (Hymes dalam Saville-Troike,1982;2-3) Menurut Dr. Amri Marzali, ditinjau secara harfiah etnografi berarti tulisan atau laporan tentang suku bangsa, yang ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitian lapangan selama sekian bulan atau sekian tahun (Spradley,1997:xv).



13



Menurut Bronislaw Malinowski (dalam Spradley,1997:3), tujuan etnografi adalah memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya. Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cara yang berbeda-beda. Tidak hanya mempelajari masyarakat. Lebih dari itu etnografi berarti belajar dari masyarakat. Sri Rejeki (2004) mengemukakan bahwa etnografi selain dapat dipandang sebagai sebuah tipe penelitian juga dapat diperlakukan sebagai metode penelitian. Jika dilihat dalam konteks yang lebih besar, maka etnografi adalah sebuah metode penelitian yang berpayung dibawah paradigm konstruktivisme dan didalam perspektif teoritik interpretivisme. Koentjaraningrat (2008), etnografi komunikasi adalah “kajian bahasa dalam perilaku komunikasi dan sosial dalam masyarakat (yang kemudian disebut masyarakat tutur), meliputi cara dan bagaimana bahasa digunakan dalam masyarakat dan budaya yang berbeda-beda.” Berdasarkan pengertian tersebut, ada dua hal yang menjadi garis besar dalam kajian metode penelitian etnografi komunikasi, yaitu bahasa (linguistik) dan budaya (antropologi). Untuk memahami etnografi komunikasi, Hymes menyarankan perlunya mengubah orientasi terhadap bahasa, yang mencakup 7 macam, yaitu ; (1) Struktur atau sistem (la parole), (2) Fungsi yang lebih daripada struktur, (3) Bahasa sebagai tatanan dalam arti banyak mengandung fungsi, dan fungsi yang berbeda menunjukkan perspektif dan tatanan yang berbeda, (4) Ketepatan pesan yang hendak disampaikan, (5) Keanekaragaman fungsi dari berbagai bahasa dan alat-alat komunikasi lainnya, (6) Guyup (komunikasi) atau konteks sosial lainnya sebagai titiktolak pemahaman, dan (7) fungsi-fungsi itu sendiri dikuatkan dalam konteks



14



C. Mengenal Lebih Jauh Etnografi Komunikasi Menurut Hymes untuk mengaji etnografi wicara perlu memahami beberapa konsep penting yang terkait, yakni 1. Tata Cara Bertutur (Ways Of Speaking), 2. Guyup Tutur Atau Masyarakat Tutur (Speech Community), 3. Dan Situasi, Peristiwa Dan Tindak Tutur. 1.1 Tata Cara Bertutur Tata cara bertutur mengandung gagasan, peristiwa komunikasi di dalam masyarakat tutur (speech community). Di dalam masyarakat tutur terkandung pola-pola kegiatan tutur yang juga menggambarkan kompetensi komunikatif seseorang. Tata cara bertutur mengacu kepada hubungan antara peristiwa tutur, tindak tutur dan gaya. Tata cara bertutur antara budaya satu dengan budaya lain berbeda, bahkan pada aspek mendasar sekalipun. Misalnya pada keluarga Jawa, anak-anak muda yang terlibat dalam pembicaraan dengan orang tua, mereka tidak boleh begitu saja menyela tutur orang tua apabila belum diminta atau diizinkan. Kalau toh si anak mempunyai kesempatan karena ada waktu ‘senjang’, dia biasanya memulai ujarannya yang bernada minta izin, ‘nuwun sewu” (minta beribu maaf). 1.2 Masyarakat Tutur Masyarakat tutur atau guyup tutur (speech community) oleh John Lyons (1970) diartikan sebagai semua orang yang memakai suatu bahasa atau dialek tertentu. Adapun Charles Hockett (1958) menyatakan bahwa tiap bahasa menentukan guyup tutur; dan guyup tutur diartikan sebagai keseluruhan orang yang saling berkomunikasi, langsung atau tidak langsung melalui bahasa. Gumperz menjelaskan tentang guyup tutur adalah sekelompok manusia yang memiliki karakteristik khas karena melakukan interaksi yang teratur dan berkali-kali dengan tanda-tanda verbal yang sama, dan berbeda dari kelompok lain karena adanya perbedaan yang signifikan dalam penggunaan bahasa (Sumarsono, 2002:319). Beberapa definisi tersebut menyiratkan guyup tutur-guyup tutur dapat saling tumpang tindih apabila mereka dwibahasawan dan tidak perlu kesatuan sosial dan kultural untuk mengelompokkannya. Hal ini sebagaimana pandangan Saville-Troike (1982) bahwa pada hakekatnya setiap penutur bukan hanya merupakan anggota dari satu



15



masyarakat tutur saja melainkan bisa anggota dua masyarakat tutur atau anggota masyarakat tutur yang berbeda. 1.3 Situasi, Peristiwa dan Tindak Tutur Untuk mengaji perilaku komunikatif di dalam masyarakat tutur, maka perlu mengaitkan dengan satuan-satuan interaksi, yang oleh Hymes dinyatakan dalam tiga satuan berjenjang, situasi tutur (speech situation), peristiwa tutur (speech event) dan tindak tutur (speech act).



Hymes melukiskan situasi tutur dengan ‘situasi yang dikaitkan dengan



(atau ditandai dengan tiadanya) tutur’ (Ibrahim, 2004:267). Situasi tutur juga diartikan sebagai konteks terjadinya komunikasi. Konteks situasi tutur misalnya adalah upacara, perburuan, makan-makan, lelang, kelas di sekolah, dan sebagainya. Situasi tutur tidak selalu komunikatif: situasi tersebut mungkin terdiri dari peristiwa yang komunikatif dan perstiwa yang kain. Tujuan dan Ruang Lingkup Etnografi Komunikasi A. Sebagai ilmu yang relatif baru namun banyak digunakan sebagai metode penelitian, etnografi memiliki beberapa tujuan yaitu: B. Mengkaji bentuk dan fungsi bahasa yang tersedia dalam suatu budaya untuk berkomunikasi satu sama lain. C. Melihat bagaimana bentuk dan fungsi bahasa tersebut menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang berbeda-beda. D. Mendapatkan analisa dari pola komunikasi suatu budaya sosial masyarakat dari aspek bahasa yang diterapkan dan dikomunikasikan. Komponen-komponen Komunikasi Dalam upaya menganalisis etnografi komunikasi, seorang etnograf, yakni peneliti tidak cukup hanya memahami situasi, peristiwa dan tindak tutur semata, namun juga perlu memahami komponen yang membangun tuturan. Komponen tutur menurut Hymes ada 16 komponen, akan tetapi untuk memudahkan manusia mengingatnya Hymes menyederhanakan kembali dari 16 komponen tersebut menjadi 8 komponen yang disusun menjadi akronim SPEAKING dalam bahasa Inggris, yang meliputi: 1) S (setting and scene) mengacu pada waktu, tempat, dan suasana 2) P (participants) pada siapa saja yang terlibat



16



3) E (ends) pada apa yang ingin dicapai oleh pelibat 4) A (acts sequences) pada maksud dan tujuan 5) K (Keys) pada bagaimana cara, semangat, dan imusi seperti serius, lembut, sedih dan sebagainya 6) I ( Instrumentalities) pada jalur dank ode bahasa yang digunakan 7) N (norms) pada norma-norma interaksi dan interpretasi; dan 8) G (genres) (pada macam atau jenis peristiwa tutur (Hymes dalam Sumarsono, 2002;325-335). D. Contoh Kasus Etnografi Komunikasi Penerapan etnografi komunikasi lebih terkait pada unsur komunikasi. Unsur-unsur ini mengacu pada bagaimana kompetensi komunikasi digunakan dan diterapkan oleh masyarakat tutur. Antara lain : a) Mengetahui siapa yang bisa diajak bicara. b) Mengetahui dalam setting apa seseorang bisa diajak bicara. c) Mengetahui kapan harus menggunakan bahasa tertentu atau pembicaraan khusus. d) Mengetahui kapan harus tidak berbicara apa-apa atau diam. e) Mengetahui perbedaan cara berbicara dengan orang-orang yang berbeda. f) Mengetahui cara berbicara dengan menyesuaikan peran dan status sosial. g) Mengetahui apa saja unsur non-verbal yang dapat digunakan dan apa yang tak dapat digunakan. h) Mengetahui bagaimana bertanya dan mengambil alih percakapan. Misalnya : Pengkajian etnografi komunikasi pada masyarakat tutur Jawa halus. Di dalam bahasa Jawa juga terdapat bentuk-bentuk khusus dalam sistem tingkat tuturnya. Ada tingkat tutur halus yang berfungsi menyatakan kesopanan yang tinggi (krama), ada tingkat tutur menengah yang menyatakan rasa kesopanan yang sedang-sedang saja (madya), dan ada pula tingkat tutur biasa yang berfungsi menyatakan rasa kesopanan rendah (ngoko). Dengan demikian, dalam bahasa Jawa terdapat tiga tingkat tutur yaitu ngoko, madya, dan krama (Rahardi, 2001).



17



Tingkat tutur ngoko, madya, dan krama tidak sama dengan kata ngoko, madya, dan krama. Tingkat tutur menunjukkan kepada suatu sistem kode penyampaian rasa kesopanan yang di dalamnya terdapat unsur kosa kata tertentu, aturan morfologi dan fonologi yang juga tertentu.



18



BAB III PENUTUP



Etnografi komunikasi adalah salah satu dari sekian metode penelitian bidang komunikasi yang beranjak dari paradigma interpretative atau konstruktivis. Metode ini mengkhususkan diri pada kajian mengenai pola komunikasi yang digunakan oleh manusia dalam suatu masyarakat tutur. Etnografi yang fokus pada pola-pola perilaku komunikasi sebagai salah satu bagian dari sistem budaya, yang berfungsi di dalam keseluruhan konteks budaya, dan yang berfungsi menghubungkan pola-pola bagian dari sistem budaya lainnya. Karenanya studi etnografi komunikasi ini mengkaji tiga komponen pokok: Bahasa, Komunikasi, dan Budaya. Konflik etnik juga bisa terjadi karena kegagalan komunikasi yang disebabkan etnik yang satu tidak mengenal budaya etnik yang lain sehingga terjadi kesalah pahaman dalam komunikasi. Begitu juga seringnya kekerasan yang menimpa para TKI asal Indonesia di luar negeri, mungkin juga karena minimnya pengetahuan lintas budaya negara tujuan,sehingga terjadi kesalah pahaman dalam berkomunikasi. Bahkan menurut Suparmin (2000: 57-58) pernah terjadi seorang mahasiswa Indonesia (MI) yang mendapat tugas belajar di Amerika pernah harus menanggung malu besar bukan karena masalah penguasaan bahasa, tetapi karena ketidaktahuannya akan kebiasaan pragmatik lintas budaya setempat.



19