Etnopedagogik Dan Kearifan Lokal [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ETNOPEDAGOGIK DAN KEARIFAN LOKAL



DISUSUN OLEH :



MORISON YOSEP MOA BOLONG



2018 28 01 69



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIFERSITAS FLORES 2019



KATA PENGANTAR



Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan berkat-Nya, sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Maklah ini dibuat dengan maksud untuk membantu pembaca, khususnya mahasiswa fakultas pendidikan Biologi dalam memahami dan melaksanakan tugasnya kelak sebagai tenaga pendidik di sekolah-sekolah. Selain itu makalah ini juga merupakan tugas pokok dalam mata kuliah Pendidikan Budaya Lokal. Ucapan terimakasih kepada dosen pengampuh mata kuliah ini atas tugas yang telah diberikan sehingga penulispun dapat belajar dan memahami tentang etnopedagogik dan pengaruhnya dalam dunia pendidikan. Akhir kata, demi penyempurnaan makalah ini, penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca dan juga dosen pengampuh mata kuliah Pendidikan Budaya Lokal.



DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL



….…………………………



i



KATA PENGANTAR



….…………………………



ii



DAFTAR ISI



….…………………………



iii



A. Latar Belakang Masalah



….…………………………



1



B. Rumusan Masalah



….…………………………



1



C. Tujuan Penulisan



….…………………………



1



BAB I PENDAHULUAN



BAB II PEMBAHASAN 1. Etnopedagogi



….…………………………



2



2. Tujuan Pendidikan



….…………………………



3



3. Strategi Pencapaian Tujuan Pendidikan



….…………………………



5



A. Kesimpulan



….…………………………



11



B. Saran



….…………………………



11



….…………………………



12



BAB III PENUTUP



DAFTAR PUSTAKA



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Etnopedagogi merupakan praktik pendidikan berbasis kearifan lokal dan bersumber dari nilai-nilai kultural suatu etnis dan menjadi standar perilaku. Etnopedagogi merupakan landasan dalam pendidikan sebagaimana sejalan dengan salah satu landasan filosofi pengembangan kurikulum 2013 yaitu pendidikan berakar pada budaya bangsa masa kini dan masa yang akan datang (Permen No. 69 tahun 2013). Sejalan dengan hal tersebut, Alwasilah et al. (2009) memandang etnopedagogi sebagai praktik pendidikan berbasis kearifan lokal dalam berbagai ranah serta menekankan pengetahuan atau kearifan lokal sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat. Kearifan lokal tersebut terkait dengan bagaimana pengetahuan dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola dan diwariskan.



B. Rumusan masalah 1.



Apa itu etnopedagogi?



2.



Apa tujuan pendidikan?



3.



Bagaimana strategi pencapaian tujuan pendidikan?



C. Tujuan 1.



Mengetahui tentang etnopedagogi.



2.



Mengetahui tujuan dari pendidikan.



3.



Mengetahui strategi pencapaian tujuan pendidikan.



BAB II PEMBAHASAN



1.



Etnopedagogi



1.1 Hakekat etnopedagogi Fenomena etnopedagogi setara dengan munculnya varian dari istilah-istilah yang melekatkan pada kata etno, misalnya etnoûlosoûs, etnopsikologi, dan etnomusikologi, etnopolitik (Alwasilah et al., 2009). Dalam bidang eksakta dikenal pula istilah etnomatematika, yaitu kajian yang melibatkan nilai-nilai matematika yang dikaitkan dengan budaya (etnik). Sebagaimana dinyatakan sebelumnya bahwa etnopedagogi adalah sebuah pendekatan dalam pendidikan yang berbasis budaya. Etnopedagogi bertujuan untuk menguji dimensi pedagogi melalui perspektif sosiologi pedagogi (Lingard, 2010), sehingga etnopedagogi dapat ditempatkan sebagai bagian dari disiplin pedagogi. Bernstein (2004) memandang pedagogi sebagai ‗a uniquely human device for both production and reproduction of culture‘.Dalam bukunya, ‗Culture and Pedagogy‘, Alexander (2000) menemukan hubungan yang erat antara pedagogi dan kehidupan sosial budaya masyarakat. Apa yang dikemukakan oleh Alexander merepresentasikan deûnisi pedagogi secara lebih luas berdasarkan pada aspek budaya



melampaui konteks pembelajaran di dalam kelas (beyond the classrooms). Di dalam konteks inilah etnopedagogi mengambil posisinya. Etnopedagogi adalah praksis pendidikan berbasis kearifan lokal yang melibatkan berbagai ranah. Etnopedagogi memandang kearifan lokal sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan demi kemaslahatan masyarakat.Kearifan lokal yang berisi koleksi fakta, konsep kepercayaan, dan persepsi masyarakat yang berkaitan dengan dunia sekitar diharapkan dapat menjadi alternatif penyelesaian masalah sehari-hari. Dengan demikian, kearifan lokal terkait dengan bagaimana pengetahuan (dan keterampilan) dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola, dan diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya.



1.2 Etnopedagogi dan pendidikan Etnopedagogi dalam praksis pendidikan menekankan pada pentingnya hubungan kemanusiaan, terutama hubungan emosional di antara pendidik dan peserta didik. Hubungan emosional tersebut seyogianya terjalin secara alamiah, tidak dibuat-buat dan direkayasa. Hal inilah yang menyebabkan konteks pedagogi mempengaruhi budaya atau sebaliknya budaya mempengaruhi pedagogi, sehingga etnopedagogi mencapai momentumnya, yaitu membangun peradaban manusia yang berbudaya melalui pembudayaan. Dalam konteks yang lebih khusus, etnopedagogi menekankan pada pendidikan yang senantiasa memperhatikan nilai-nilai budaya lokal dengan mempertimbangkan aspek-aspek pada budaya global. Melalui cara ini, etnopedagogi diharapkan menemukan ruhnya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Oleh karena itu, etnopedagogi dapat berperan dalam pendidikan berbasis nilai budaya pembelajaran, dalam konteks teaching as cultural activity (Stigler & Hiebert, 1999). Di sisi lain, etnopedagogi dapat pula berperan dalam mendorong peserta didik yang memiliki potensi, khususnya kecerdasan kultural, untuk mencapai tujuan belajarnya. Kekhasan etnopedagogi yang berfokus pada nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) dan mencakup elaborasi unsur, ciri, dan sifat dari nilai-nilai kearifan lokal diharapkan menjadi medium bagi tercapainya tujuan pendidikan sehingga dapat digunakan sebagai landasan sosial budaya bagi kepentingan pendidikan nasional. Pada dasarnya etnopedagogi mempunyai tujuan: (1) menggali nilai dan pengalaman terbaik dalam penyelenggaraan pendidikan berbasis budaya lokal; (2) menggali



nilai-nilai inti sebagai landasan sosial budaya untuk pendidikan nasional; dan (3) mengelaborasi sistem prilaku berpola sebagai konteks sosial budaya bagi pendidikan nasional.



Dengan



demikian,



pengembangan



pendidikan



dalam



perspektif



etnopedagogi sesungguhnya tidak mengubah struktur dan program yang telah ada, namun lebih pada pembaharuan praktik pendidikan yang selama ini kurang optimal dalam implementasinya. Oleh karena itu, sifat dari pembaharuan dalam etnopedagogi lebih menekankan pada budaya pendidikan dan pendidikan yang berbudaya.



2. Tujuan Pendidikan Secara historis tujuan pendidikan selalu berkembang seiring dengan situasi dan kebutuhan masyarakat pada zamannya. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas), Pasal 3 menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.



2.1 Pengembangan karakter Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa orientasi tujuan pendidikan bukan sekadar transfer of knowledge dari pendidik ke peserta didik, namun lebih jauh dari hal itu, yakni dalam proses pendidikan terkandung pengembangan karakter (character building) peserta didik. Dalam pengembangan karakter tersebut seyogianya terlibat aspek-aspek sosial dan budaya yang berkembang di masyarakat. Karena pada dasarnya, pendidikan bersifat deliberatif, dalam arti masyarakat mentransmisikan dan mengabadikan gagasan kehidupan yang baik yang berasal dari kepercayaan masyarakat yang fundamental mengenai hakikat dunia, pengetahuan dan tata nilai (Alwasilah et al., 2009). Namun sayangnya, dalam tataran praksis pendidikan saat ini, sebagian praktisi pendidikan dan penentu kebijakan dalam dunia pendidikan melupakan gagasan pendidikan sebagai pengembangan karakter. Bagi sebagian dari mereka, pendidikan dianggap sebagai pengembangan (aspek koginitif) yang hasilnya



harus nyata dan terukur secara kuantitatif. Pendek kata, fenomena ini dapat dipandang sebagai disorientasi dari tujuan luhur pendidikan yang sesungguhnya. Oleh karena itu, perlu adanya upaya reorientasi filosofi, landasan, dan pelaksanaan kegiatan pendidikan. Pendidikan tidak boleh menihilkan aspek-aspek budaya, baik lokal maupun global, dan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan seperti etika, moral, kepedulian, dan hal-hal relevan lainnya, karena sekali lagi, pendidikan bukan sekadar transfer of knowledge; pendidikan harus menjadi bagian dari character buildingatau pengembangan karakter peserta didik. Tidak dapat dipungkiri bahwa pelaksanaan praksis pendidikan di lapangan selama ini belum sepenuhnya seperti yang diharapkan. Masih ada sebagian dari pelakunya yang lebih berorientasi pada ranah kognitif dan melupakan keberadaan ranah-ranah lainnya, ranah afektif dan ranah psikomotor. Ukuran keberhasilan proses pendidikan cenderung hanya diukur secara kuantitatif dengan berlandaskan sisi pengetahuan saja. Padahal dalam implementasi kegiatan pendidikan, ranah kognitif, afektif, dan psikomotor seyogianya satu paket dan tidak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Praksis pendidikan tidak boleh tereduksi sehingga sekadar menyasar aspek-aspek edukatif yang hanya bersifat permukaan dan melupakan esensi dari pendidikan itu sendiri. Proses pendidikan tidak boleh abai terhadap hakikat pendidikan yang sesungguhnya,



yaitu



berbudaya



dan



membudayakan



dengan



senantiasa



memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Segenap proses pendidikan harus mengakomodasi ketiga ranah, yaitu ranah pengetahuan, sikap, dan keterampilan, secara proporsional dan terintegrasi sehingga di antara ketiganya saling mendukung dan saling melengkapi demi tercapainya hasil pendidikan yang humanis.



2.2 Pengembangan karakter dan etnopedagogi Berdasarkan analisis terhadap dimensi budaya pada pendidikan, Alwasilah et al. (2009) memandang etnopedagogi, yang memberi perhatian khusus pada local genius dan local wisdom melalui pengungkapan nilai-nilai budaya, sebagai praktik pendidikan dalam berbagai ranah yang menekankan pada kearifan lokal sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat. Kearifan lokal yang dimaksud terkait dengan bagaimana pengetahuan



dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola, dan diwariskan pada generasi berikutnya. Lebih lanjut, nilai-nilai budaya yang ada pada etnopedagogi bersamaan dengan penerapan berbagai ranah yang berbasis pada kearifan lokal tersebut saling mengisi dalam keseluruhan proses pendidikan dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan. Menurut Shimahara dan Sakai (1998) menyatakan bahwa etnopedagogi menekankan adanya hubungan harmonis dan saling pengertian di antara pendidik dan peserta didik, sehingga kegiatan pembelajaran menjadi hubungan intra personal di dalam kelas yang menyentuh hati dengan penuh empati. Hal tersebut dapat menjadi perekat hubungan antara pendidik dan peserta didik dalam rangka mencapai pengelolaan kelas yang efektif, sehingga terbangun iklim saling percaya dan komitmen emosional yang pada gilirannya menjadikan proses pendidikan sebagai sebuah situasi inklusif yang menyenangkan dan inspiratif bagi peserta didik dalam mencapai tujuan belajarnya.



3.



Strategi Pencapaian Tujuan Pendidikan



3.1 Pendidikan dan etnopedagogi Dalam UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas, pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk membangun lingkungan belajar yang memadai dan menyediakan proses belajar yang sesuai untuk mengoptimalkan hasil belajar (learning outcomes). Lebih lanjut, undang-undang tersebut menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman danbertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan pesan yang terkandung dalam undang-undang tersebut, Kartadinata (2010) menekankan pada pentingnya pemikiran mengenai konstruksi sistem pendidikan nasional yang diharapkan dapat memperkuat daya banding (comparative advantages) dan daya saing (competitive advantages) bangsa Indonesia melalui keterpaduan antara adaptabilitas dan inovasi yang berkaitan dengan kebudayaan. Sebagai sebuah pendekatan, etnopedagogi menawarkan sebuah rekonstruksi (sosial dan) budaya melalui pendidikan, khususnya dalam kegiatan pembelajaran



(pedagogi), dengan menekankan pada aspek-aspek budaya lokal (local culture). Sejalan dengan hal tersebut, Alwasilah et al. (2009) menyatakan bahwa pencapaian bentuk social imaginary berdasarkan rekonstruksi (sosial) dan budaya dapat diwujudkan melalui pendidikan yang berfokus pada nilai-nilai budaya bangsa. Gagasan tersebut merepresentasikan tatanan kehidupan ideal sebuah masyarakat melalui pembentukan karakter anak bangsa yang secara keseluruhan merupakan tujuan hidup berbangsa dan bernegara yang sesungguhnya. Oleh karena itu, Kartadinata (2010) menekankan tentang pentingnya tiga ranah untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu: (1) eksistensial; (2) kolektif; dan (3) individual. Ketiga ranah tersebut secara terintegrasi berpadu menjadi landasan bagi pencapaian tujuan pendidikan. Berkaitan dengan hal ini, kedudukan pendidik menjadi sangat strategis dalam mengimplementasikan ketiga ranah tersebut, khususnya dalam hal pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan budaya. Shimahara dan Sakai (1998) menyatakan bahwa: ―Teachers‘ cultural knowledge, identiûed as ethnopedagogy, is a widely accepted principle of schooling. The strength of ethnopedagogy suggests that the actual content of internship, if any, in the school setting was informed by the cultural knowledge of teaching‖. Dengan demikian, pengembangan kerangka etnopedagogi adalah membangun hubungan yang harmonis antara pendidik dan peserta didik dalam rangka membangun pengetahuan, keterampilan, dan budaya untuk mencapai tujuan pendidikan. Terkait dengan tujuan pendidikan yang dimaksud, para pendidik dituntut paling tidak menguasai tiga pengetahuan dasar mengajar, yaitu: (1) pengetahuan tentang siswa dan bagaimana mereka belajar dan berkembang dalam konteks sosial dan budaya tertentu; (2) pengetahuan tentang isi dan tujuan kurikulum dan bagaimana mengajarkannya; dan (3) pengetahuan tentang mengajar yang mempertimbangkan aspek konten dan siswa, serta bagaimana mengembangkan situasi kelas yang produktif dan bagaimana melakukan penilaiannya (DarlingHammond, 2006). Pendek kata, etnopedagogi dikembangkan dari pengetahuan nilai budaya yang dimiliki oleh pendidik (juga nilai budaya yang dimiliki oleh peserta didik) dalam proses belajar mengajar yang ia kelola. Dengan demikian, selain dapat dilihat sebagai sebuah pendekatan, etnopedagogi dapat pula dipandang sebagai seni mengajar (the art of teaching). Sebagaimana dinyatakan oleh Lingard (2010), ―Pedagogy is the art of teaching plus its associated



discourse to do with learning, teaching, curriculum and much else‖. Sementara, DunbarHall (2009) mengungkapkan bahwa: ―The definition of ethnopedagogy relies on acceptance of the theory of the cultural aesthetics of learning and teaching‖. Dengan demikian, menjadi penting untuk diperhatikan bahwa kegiatan pembelajaran seyogianya berdasarkan hubungan saling percaya di antara pendidik dan peserta didik. Tanpa kepercayaan timbal balik di antara kedua belah pihak niscaya proses pendidikan tidak akan tercapai secara optimal. Dengan kata lain, etnopedagogi mencakup hubungan komplementer antara budaya (culture), kebijakan (policy), praktik (practice), pendidik (teacher), dan peserta didik (learner), baik yang bersifat kolektif maupun yang bersifat individual.



3.2 Peserta didik dan etnopedagogi Menurut Von Glasersfeld (1995), ―Learning requires the building of conceptual structures through learner reflection and abstraction; both of which are active processes involving the interaction between the learners‘ existing conceptual frameworks and the new knowledge and experience.‖ Dengan demikian, kewajiban pendidik adalah menciptakan situasi yang kondusif untuk peserta didik sehingga mereka dapat membangun struktur konseptual melalui refleksi dan abstraksi yang melibatkan interaksi konstruktif di antara pengetahuan dan pengalaman belajar yang telah dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan (dan keterampilan) yang sedang dipelajari.Sebagai sebuah teori belajar, konstruktivisme menegaskan bahwa manusia belajar melalui pengkonstruksian pengetahuan yang dilakukan secara aktif daripada sekadar



menerima



informasi



(Hoban,



1997).



Lebih



lanjut,



Fung



(2002)



menyatakan, ―Constructivism is not a teaching method but, rather, provides a framework for designing the teaching and learning processes in a real, complex, ever-changing and unpredictable classroom in which multiple factors–individual, social and cultural–are interacting.Merujuk pada pernyataan ini, kegiatan belajar adalah interaksi terpadu di antara individu, sosial, dan budaya. Dalam hal ini, konstruktivisme



mendorong individu



(peserta



didik)



untuk



mengkonstruksi



pengetahuan yang sedang dipelajari berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang telah mereka miliki sebelumnya. Dengan kata lain, proses belajar adalah sebuah aktivitas (sosial dan) budaya.



Sebagaimana dipahami bahwa setiap peserta didik itu bersifat unik. Artinya, antara seorang pembelajar dengan pembelajar lainnya itu berbeda satu sama lain. Maka, pengetahuan yang dikonstruksi oleh seorang peserta didik akan berbeda dengan pengetahuan yang dikonstruksi oleh peserta didik yang lainnya, meskipun mereka berada pada kelas yang sama dan dengan guru yang sama. Sebagaimana dinyatakan oleh Sutton, Cafarelli, Lund, dan Schurdell (1996) bahwa:‖Learning is an individual activity and, therefore, no two students will leave a class with exactly the same



understanding‖.



Sejalan



dengan



hal



ini,



Gunstone



(1995,



p.



9)



menyatakan, ―the nature of an individual‘s personally constructed meaning is strongly influenced by his or her existing ideas and beliefs‖. Dengan demikian, pengkonstruksian pengetahuan seorang peserta didik dipengaruhi oleh pandangan pribadinya terhadap apa yang ia pelajari. Oleh karena itu menjadi penting bahwa setiap pendidik mempertimbangkan pengetahuan dan pengalaman belajar yang telah dimiliki sebelumnya oleh semua peserta didik yang dikelolanya. Kedua hal tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan pemahaman peserta didik terhadap apa yang sedang mereka pelajari dalam kegiatan pembelajarannya. Lebih lanjut, menjadi penting pula untuk diperhatikan bahwa setiap pendidik seyogyanya senantiasa berupaya menyediakan lingkungan belajar yang sesuai dengan kebutuhan setiap peserta didik. Menurut Piaget (dalam McLeod, 2009) bahwa pembelajar mengembangkan konsep yang ia pelajari melalui interaksi dengan lingkungan belajar sebagai medium budaya yang didapatkan melalui kolaborasi sosial di antara pembelajar dan lingkungan belajar. Hal ini menegaskan adanya keterkaitan antara interaksi di antara aspek sosial, pembelajaran, dan budaya sebagai landasan diperolehnya pengetahuan dan keterampilan melalui proses belajar. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Crawford dan Adler (1996) berpendapat, there are connections between people and the cultural context in which they act and interact in shared experiences. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendidikan, lebih khusus kegiatan belajar, sesungguhnya adalah aktivitas budaya dimana seorang peserta didik berbagi pengalaman dan bertukar pengetahuan yang telah mereka miliki sebelumnya dengan peserta didik lainnya serta mengaitkannya dengan pengetahuan yang tengah mereka pelajari.



3.3 Lingkungan belajar dan budaya belajar Terdapat kaitan yang erat antara keberadaan lingkungan belajar yang mendukung dengan terwujudnya budaya belajar, atau lebih khususnya kegiatan pembelajaran (pedagogi) di dalam kelas. Kansanen (2003) memandang bahwa: ‗Pedagogy may have some content, takes place in some context, involves people, and has a certain purpose‘. Lebih lanjut, dimensi lingkungan belajar yang mendukung merujuk pada aspek-aspek pedadogi yang mendukung efektivitas proses pembelajaran. Menurut Education Queensland (2001), ―The optimal classroom environment considers social support as well as the quality of classroom activities. Social support is present when teachers create good relationships between them and their students through conveying high expectations for all students. Dengan demikian, lingkungan belajar yang mendukung adalah hal yang sangat penting bagi terlaksananya kegiatan pembelajaran yang optimal, karena lingkungan belajar akan mempengaruhi seberapa efektif pembelajar melakukan kegiatan belajarnya. Dinyatakan oleh Fraser (2001),lingkungan belajar sejatinya bukan sekadar berkaitan dengan wujud fisik sebuah kelas dan kelengkapan perangkat didalamnya, namun lebih jauh dari itu, merupakan atmosfir akademik yang bersahabat dan penuh kehangatan. Kondisi demikian memungkinkan semua peserta didik merasa aman dan nyaman dalam mengekspresikan segenap potensi belajarnya tanpa rasa takut melakukan kekeliruan atau kesalahan dalam kegiatan belajarnya. Hal lain yang penting untuk mendapat perhatian setiap pendidik dalam mewujudkan lingkungan belajar yang mendukung adalah dimensi pengakuan atas perbedaan (recognition of difference). Karena, sekali lagi, setiap peserta didik itu unik atau berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dimensi pengakuan atas perbedaan menjadi penting karena berkaitan dengan bagaimana meningkatkan hasil belajar peserta didik secara sistematik, terutama para peserta didik yang ―kurang beruntung secara sosial dan budaya‖ (―disadvantaged sociocultural backgrounds). Semua peserta didik, tanpa kecuali, semestinya harus merasa bahwa apapun yang mereka lakukan di dalam kelas bernilai dan dihargai oleh orang lain, sekecil dan sesederhana apapun yang mereka lakukan. Hayes, Mills, Christie, dan Lingard (2006). Berbagai pengetahuan di dalam kegiatan pembelajaran seyogyanya disajikan di dalam kelas dari berbagai sudut pandang, misalnya keyakinan, bahasa, dan budaya. Oleh



karena itu, Lee (2003) mendorong setiap guru untuk menyediakan explicit instruction about the dominant cultures rules and norms for students who do not come from the dominant culture. Untuk itu, para pendidik perlu memahami tentang kekuatan dan kebutuhan setiap peserta didik dengan berbagai latar belakang, sehingga mereka secara bijak dapat melayani setiap peserta didik yang dikelolanya sesuai dengan kebutuhan



belajarnya



dengan



memanfaatkan



kekuatan



yang dimiliki



oleh



masing-masing peserta didik. Hal di atas sejalan dengan upaya kelompok pendukung critical pedagogy yang mengarah pada upaya konstruksi identitas melalui gerakan pedagogy of difference dalam rangka membangun masyarakat kritis. Dalam hal ini pedagogi dipandang sebagai sesuatu yang dapat memberikan perbedaan, namun tetap menghargai perbedaan. Pandangan ini sejalan dengan penciptaan lingkungan belajar kondusif (supportive classroom environment) dalam pengembangan budaya belajar konstruktif (constructive learning culture). Pandangan ini tidak hanya melihat pendidikan dari prosesnya, tetapi juga memperhatikan aspek kebijakan dan kebudayaan dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan yang sesungguhnya.



BAB III PENUTUP



A. Kesimpulan Etnopedagogi adalah sebuah pendekatan dalam pendidikan yang berbasis budaya (kearifan lokal) dan menekankan pada pentingnya hubungan kemanusiaan yang bertujuan untuk menguji dimensi pedagogi melalui perspektif sosiologi pedagogi. Etnopedagogi memandang kearifan lokal sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang berisi koleksi fakta, konsep kepercayaan, dan persepsi masyarakat yang berkaitan dengan dunia sekitar yang dapat diberdayakan demi kemaslahatan masyarakat, khususnya dalam menyelesaikan masalah sehari-hari. Etnopedagogi dapat diterapkan untuk pengembangan karakter (character building) yang didukung oleh lingkungan belajar yang kondusif dalam rangka mewujudkan budaya belajar untuk tercapainya tujuan pendidikan nasional.



B. Saran Semoga para calon tenaga pendidik dan para tenaga pendidik mampu untuk memahami pentingnya penerapan etnopedagogik demi tercapainya pendidikan yang humanis sehingga para peserta didik dapat dengan mudah memahami sesuatu karena berkaitan langsung dengan kehidupannya sehari-hari.



BAB IV DAFTAR PUSTAKA



http://eprints.ulm.ac.id/1891/1/6.%20Ethnopedagogy%20%28Belum%20Edit%29.pdf https://jurnal.umk.ac.id/index.php/RE/article/view/2353 http://file.upi.edu/Direktori/PROCEEDING/UPI-UPSI/2010/Book_3/MEMAKNAI_ ETNOPEDAGOGI_SEBAGAI_LANDASAN_PENDIDIKAN_GURU_DI_UNIVER SITAS_PENDIDIKAN_INDONESIA.PDF