Evaluasi Waktu Tunggu (Leadtime) Pengadaan Obat-Koreksi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH WAKTU TUNGGU PENGADAAN OBAT (LEAD TIME) DI GUDANG FARMASI RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO



DISUSUN OLEH : KELOMPOK III



HEMA NOVIA DEWANTARI REFFADA MAHATVA YODHYASENA



K11019R116 I4C019026



ZULFA MAZIDAH



K11019R116



PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO PERIODE DESEMBER-JANUARI 2019 BAB I PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang Rumah sakit merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan rujukan



yang berfungsi menyelenggarakan pengobatan dan pemulihan, peningkatan, serta pemeliharaan kesehatan. rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karateristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggitingginya. Salah satu kegiatan yang ada di rumah sakit untuk menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan farmasi. Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Pelayanan farmasi adalah pelayanan penunjang sekaligus merupakan salah satu revenue center rumah sakit.Karena lebih dari 90% pelayanan kesehatan di rumah sakit menggunakan perbekalan farmasi (obat-obatan, bahan kimia, bahan radiologi, bahan alat kesehatan habis pakai, alat kedokteran dan gas medik), dan 50 % dari seluruh pemasukan 2 rumah sakit berasal dari pengelolaan perbekalan farmasi (Suciati, 2006). Oleh karena itu pengelolaan perbekalan farmasi yang hati-hati dan penuh tanggung jawab diperlukan, agar pendapatan rumah sakit dapat terkontrol dengan baik. Pengelolaan obat merupakan suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut aspek pemilihan, perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat yang dikelola secara optimal untuk menjamin tercapainya ketepatan jumlah dan jenis perbekalan farmasi dengan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia. Tahap perencanaan dan pengadaan merupakan bagian dari pengelolaan obat yang sangat berpengaruh terhadap persediaan obat dan biaya yang dikeluarkan oleh rumah sakit. Oleh karena itu, untuk menjamin ketersediaan dan kualitas obat agar selalu terjaga sebagai salah satu jaminan terhadap kualitas layanan kesehatan yang diberikan, maka perencanaan dan pengadaan obat harus dikelola dengan baik.



Pelaksanaan pengadaan harus tersedia dalam jumlah yang cukup pada waktu yang tepat dan harus diganti dengan cara yang teratur, berdasarkan ketentuan yang berlaku. Dalam menentukan kebutuhan perlu diperhatikan bahwa barang yang dibutuhkan itu memerukan waktu, agar proses pengadaan tersebut dapat dilaksanakan (Athijah et al, 2010). Salah



satu



faktor



yang



dapat



mendorong keefektifan pengadaan obat yakni dengan mengoptimalkan waktu tunggu (Lead Time) pengadaan obat. Lead time dalah waktu tunggu obat mulai direncanakan hingga obat diterima. Variabilitas dapat menyebabkan terjadinya dua hal yakni kekosongan stok dan kelebihan stok yang dapat meningkatkan biaya simpan (Anand, H., et al., 2016). Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi waktu (Lead Time) pengadaan



obat



mulai



barang datang digudang farmasi Rumah Sakit.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



dari perencanaan hingga



2.1



Manajemen logistic Manajemen logistik merupakan suatu ilmu pengetahuan dan atau seni serta



proses mengenai perencanaan dan penentuan kebutuhan, pengadaan, penyimpanan penyaluran dan pemeliharaan serta penghapusan material/alat (luqman, 2017). Menurut febriawati, (2013) Prinsip dalam manajemen merupakan pegangan umum untuk dapat terselenggaranya fungsi-fungsi logistik yang baik, berikut fungsi manajemen fungsi logistik :



Skema 1. Sistem manajemen obat



2.2 Pengadaan obat di rumah sakit Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 tahun 2016 mengenai Standar Pelayanan Rumah Sakit,terdapat beberapa metode pengadaan yaitu, pembelian, produksi/ pembuatan sediaan farmasi, dan hibah/sumbangan. Secara umum pengadaan sediaan farmasi pada Permenkes RI No.72 Tahun 2016 Pengadaan mengenai Standar Pelayanan Rumah Sakit, pengadaan sediaan dapat dilakukan dengan tiga metode yaitu pembelian, produksi, dan hibah/sumbangan. Hal ini sesuai dengan sistem pengadaan yang ada di Rumah Sakit Umum Daerah Prof. dr. Pembelian Produksi Hibah/Sumbangan Margono Soekarjo Purwokerto terdapat tiga metode yaitu pembelian, produksi, dan hibah/ sumbangan yang kemudian diNon setiap metode tersebut akan dijelaskan Steril Reguler E-Katalog pada skema berikut. Non EKatalog



Kasuistik



Skema 2. Sistem Pengadaan sediaan farmasi di RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan obat perbekalan kesehatan adalah: 1.



Kriteria obat dan perbekalan kesehatan



2.



Persyaratan pemasok



3.



Penilaian dokumen data dan teknis



4.



Penentuan waktu pengadaan dan kedatangan obat



5.



Penerimaan dan pemeriksaan obat dan perbekalan kesehatan



6.



Pemantauan status pesanan Penentuan waktu pengadaan dan kedatangan obat dari berbagai sumber



anggaran perlu ditetapkan berdasarkan hasil analisa dari data: 1.



Sisa stok dengan memperhatikan waktu (tingkat kecukupan obat dan perbekalan kesehatan).



2.



Jumlah obat yang akan diterima sampai dengan akhir tahun anggaran.



3.



Kapasitas sarana penyimpanan.



4.



Waktu tunggu Waktu Tunggu adalah waktu yang dihitung mulai dari permintaan obat



oleh unit pengelola obat sampai dengan penerimaan obat, umumnya waktu tunggu berkisar antara 3 s/d 6 bulan.



Secara umum pengadaan di Rumah Sakit Umum Daerah Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 tahun 2016 mengenai Standar Pelayanan Rumah Sakit. Di dalam proses pengadaan pada PMK RI No.72 tahun 2016 terdapat beberapa metode pengadaan yaitu, pembelian, produksi/ pembuatan sediaan farmasi, dan hibah/sumbangan. Pada sistem pengadaan secara pembelian terdapat beberapa tim atau pejabat yang terlibat di dalam proses pembelian. Berikut merupakan struktur Unit Layanan Pengadaan yang terdapat di RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto.



Pejabat Pembuat Komitmen (PPKOM)



Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) Unit Layanan Pengadaan Pejabat Pengadaan (PP)



Kelompok Kerja Pengadaan



Skema 3. Struktur Organisasi Unit Layanan Pengadaan di RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Unit Layanan Pengadaan yaitu PPKOM akan menerima ajuan rencana pengadaan dari gudang farmasi kemudian akan dilanjutkan ke bagian PPTK untuk dipisahkan sesuai jenis atau kategori sediaan farmasi yang diajukan serta mengkategorikan pembelian yang bernilai di bawah Rp 200.000.000 dan di atas Rp 200.000.000. PP terbagi sesuai dengan jenis pembelian, contohnya bagian obat-obatan, alat kesehatan, dsb. Kelompok kerja pengadaan merupakan sebuah tim yang juga mengambil ranah pembelian dengan biaya pembelian maksimal Rp 200.000.000.



Skema 4. Alur pembelian sediaan farmasi di RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Metode E-Katalog atau disebut katalog elektronik adalah sistem informasi elektronik yang memuat daftar, jenis, spesifikasi teknis dan harga Barang/Jasa tertentu dari berbagai Penyedia Barang/Jasa Pemerintah. Katalog Elektronik (EKatalog) dikelola oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018. Sesuai dengan skema 3 pembelian dengan metode e-katalog dapat dilakukan untuk pembelian obat dengan maksimal Rp 200.000.000 ataupun lebih dari Rp 200.000.000. Dimulai dari gudang farmasi mengirimkan ajuan sediaan farmasi yang ingin dibeli diajukan ke pihak ULP kemudian apabila disetujui pihak ULP akan mengeluarkan surat pemesanan yang melalui website ekatalog yaitu lkpp.go.id dengan pihak user yaitu rumah sakit. SP 1 atau disebut juga SP elektronik dikirimkan ke pihak principle/ industri farmasi. Apabila disetujui maka pihak ULP akan mengirimkan SP 2 atau disebut juga SP Manual dengan format RS kepada PBF yang ditunjuk oleh industri farmasi tersebut. Terkhusus untuk obat narkotika, psikotropika, dan prekursor mengirimkan SP 3 kepada PBF. Apabila terdapat sediaan farmasi yang tidak terdapat di dalam daftar e-katalog maka pihak rumah sakit dapat membuat surat bukti kekosongan obat untuk pembeliannya dipindahkan ke metode non e-katalog. Metode non e-katalog merupakan metode pembelian tidak melalui e-katalog. Metode non e-katalog dibagi menjadi dua yaitu secara pembelian langsung dan



tender. Untuk metode pembelian langsung dilakukan untuk pembelian dengan anggaran maksimal Rp 200.000.000 dan untuk pembelian secara tender dilakukan untuk pembelian dengan anggaran lebih dari Rp 200.000.000.



BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN



Manajemen logistik di rumah sakit merupakan salah satu aspek penting di rumah sakit. Ketersediaan obat menjadi tuntutan pelayanan kesehatan saat ini. Di rumah sakit manajemen logistik meliputi tahap-tahap yaitu perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, penghapusan, evaluasi dan monitoring yang saling terkait satu sama lain, sehingga terkoordinasi dengan baik agar masing-masing dapat berfungsi secara optimal. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam persediaan obat di rumah sakit adalah pengontrolan jumlah stok obat untuk memenuhi kebutuhan. Perencanaan dilakukan untuk menghindari kekosongan obat sedangkan pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan perencanaan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan, jumlah, dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu. Salah satu kegiatan pengadaan adalah pemantauan proses, yang dimaksud pemantauan proses yaitu lamanya waktu tunggu pengadaan obat (lead time) yang dibutuhkan dari tahap perencanaan sampai obat, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai sampai di gudang farmasi. Lead time adalah waktu tunggu pemesanan obat atau waktu tunggu yang dibutuhkan dari mulai perencanaan sampai obat diterima secara utuh beserta dokumennya di gudang farmasi rumah sakit. Lead time merupakan salah satu indikator penting yang berpengaruh terhadap perencanaan serta pengendalian persediaan obat. Evaluasi waktu tunggu pengadaan obat (lead time) berfungsi untuk membantu menentukan distributor mana yang memiliki waktu tunggu yang cepat maupun lambat, sehingga unit



layanan pengadaan (ULP) dapat



mempertimbangkan pemilihan distributor. Gudang farmasi RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo memiliki kebijakan tersendiri untuk pengadaan, pada tahap perencanaan dimulai dari penanggung jawab gudang yang menyusun kebutuhan sediaan farmasi kemudian mengajukan ke pada unit pelayanan pengadaan (ULP), selanjutnya unit layanan pengadaan (ULP) akan membuat surat pemesanan yang kemudian akan di kirimkan kepada industri (PRINCIPLE) atau distributor (PBF) untuk dilakukan pembelian. Berdasarkan data yang diperoleh dapat dilakukan perhitungan lead time surat Pesan (SP), lead time PBF, dan lead time keseluruhan ( lead time over all).



Grafik 1. Rata-rata Lead time Obat e-katalog



Grafik 2. Rata-rata Lead Time Alat Kesehatan e-katalog



Grafik 3. Rata-rata Lead Time Obat non e-katalog



Grafik 4. Rata-rata Lead Time Alat Kesehatan non e-katalog Rata-rata waktu tunggu dari industri (PRINCIPLE) dan distributor (PBF) untuk masing-masing jenis pengadaan yaitu untuk obat-obat e-katalog, alat kesehatan e-katalog, obat-obatan non e-katalog dan alat kesehatan non e-katalog yang terlampir pada grafik 1, grafik 2, grafik 3 dan grafik 4. Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata lead time obat e-katalog yang memiliki lead time tercepat adalah PT Fresenius Kabi yaitu selama 20 hari sedangkan lead time terlama adalah PT Rama Emerald, PT Pharma Healthcare dan PT Merck Sharp Dohme yaitu selama 89 hari. Alat kesehatan e-katalog yang memiliki lead time tercepat adalah PT Prima Alkesindo Nusantara yaitu selama 19 hari sedangkan lead time



terlama adalah PT Multi Guna Sentosa yaitu selama 57 hari. Obat non e-katalog yang memiliki lead time tercepat adalah PT Bina San Prima yaitu selama 10 hari sedangkan lead time terlama adalah Kebayoran yaitu selama 61 hari. Alat kesehatan non e-katalog yang memiliki lead time tercepat adalah PT Anugerah Pharmindo Lestari, Dos Ni Roha, Kebayoran, dan Sinar Rofa Utama yaitu selama 30-31 hari sedangkan lead time terlama adalah PT Gratiya Jaya Mulya yaitu selama 64 hari. Dalam penelitian ini juga membandingkan antara lead time dari perencanaan hingga dibuatkannya Surat Pesanan (SP) dengan lead time dari dibuatkannya Surat Pesanan hingga lead time kedatangan barang oleh distributor (PBF). Berdasarkan data untuk obat E-Katalog diketahui rata-rata lead time untuk Surat Pesanan (SP) adalah 26 hari, sedangkan rata-rata lead time untuk PBF adalah selama 17 hari. Data obat Non E-Katalog diketahui rata-rata lead time untuk Surat Pesanan (SP) selama 11 hari, sedangkan rata-rata lead time untuk PBF adalah selama 15 hari. Sedangkan untuk Alat Kesehatan (Alkes) E-Katalog diketahui dari data rata-rata lead time untuk Surat Pesanan (SP) selama 28 hari hari, sedangkan rata-rata lead time untuk PBF adalah selama 23 hari. Data Alkes Non E-Katalog diketahui rata-rata lead time untuk Surat Pesanan (SP) selama 22 hari, sedangkan rata-rata lead time untuk PBF adalah selama 15 hari Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa masih terdapat industri (PRINCIPLE) dan distributor (PBF) yang memiliki lead time lebih dari 2 bulan. Panjangnya lead time dapat dipengaruhi beberapa faktor antara lain tranportasi (jarak yang jauh), sumber daya manusia terbatas, bahan baku habis, keterlambatan dalam pengiriman dari industri/pabrik obat, administrasi dan pembuatan SP yang lama. Administrasi merupakan permasalahan yang sering terjadi pada sistem birokrasi di Indonesia. Hal tersebut terkait dengan pelaksanaan sistem dan prosedur pelayanan yang kurang efektif, berbelit-belit, lamban, tidak merespon kepentingan, sehingga harus melalui beberapa tahapan dan proses yang panjang dan lama. Kondisi seperti ini yang dapat menyebabkan terlambatnya Surat Pesanan yang berdampak pada kondisi stok kosong obat atau alkes dirumah sakit.



BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan



Lead time adalah waktu tunggu pemesanan obat atau waktu tunggu yang dibutuhkan dari mulai perencanaan sampai obat diterima secara utuh beserta dokumennya di gudang farmasi rumah sakit. Lead time merupakan salah satu indikator penting yang berpengaruh terhadap perencanaan serta pengendalian persediaan obat. Waktu tunggu (lead time) rata-rata kedatangan obat e-katalog tercepat adalah PT Fresenius Kabi yaitu selama 20 hari sedangkan alat kesehatan e-katalog yang memiliki tercepat adalah PT Prima Alkesindo Nusantara yaitu selama 19 hari. Obat non e-katalog yang memiliki lead time tercepat adalah PT Bina San Prima yaitu selama 10 hari sedangkan alat kesehatan non e-katalog yang memiliki lead time tercepat adalah PT Anugerah Pharmindo Lestari, Dos Ni Roha, Kebayoran, dan Sinar Rofa Utama yaitu selama 30-31 hari. Waktu tunggu (lead time) rata-rata kedatangan obat e-katalog terlama adalah PT Rama Emerald, PT Pharma Healthcare dan PT Merck Sharp Dohme yaitu selama 89 hari sedangkan alat kesehatan e-katalog lead time terlama adalah PT Multi Guna Sentosa yaitu selama 57 hari. Obat non e-katalog yang memiliki lead time terlama adalah Kebayoran yaitu selama 61 hari sedangkan lead time terlama adalah PT Gratiya Jaya Mulya yaitu selama 64 hari. Panjangnya lead time dapat dipengaruhi beberapa faktor antara lain tranportasi (jarak yang jauh), sumber daya manusia terbatas, bahan baku habis, keterlambatan dalam pengiriman dari industri/pabrik obat, administrasi dan pembuatan SP yang lama. 4.2 Saran Saran yang dapat diberikan dari hasil evaluasi waktu tunggu pengadaan obat ini adalah adanya koordinasi dengan pejabat layanan pengadaan mengenai hasil evaluasi waktu tunggu pengadaan obat disetiap melakukan pembelian obat, untuk item yang memiliki waktu tunggu yang paling lama perlu dilakukan perencanaan yang lebih baik dengan menambahkan jumlah obat sebanyak 50 atau 100 item per sediaan agar tidak terjadi kekosongan obat di gudang farmasi, dan melakukan koordinasi internal antara penanggungjawab gudang dengan unit pelayanan pengadaan tentang pembuatan surat pesanan. Jika ternyata waktu yang dibutuhkan tetap lama maka dapat mengganti pabrik atau distributor yang lain,



melakukan perencanaan yang lebih baik sebelum terjadi hal seperti kekosongan obat, dan terlu dilakukan evaluasi lebih spesifik terkait penyebabnya.



.



DAFTAR PUSTAKA



Athijah, U., Zairini, E., Sukorini, A.I., Rosita, E.M., Putri, A.P. 2010. Perencanaan dan Pengadaan Obat di Puskesmas Surabaya Timur dan Selatan. Jurnal Farmasi Indonesia. Vol. 5 No. 1, 15-23 Suciati, Suci dan Adisasmoto, Wiku B.B. 2006. Analisis Perencanaan Obat Berdasarkan ABC Indeks Kritis di Instalasi Farmasi. Jurnal Managemen Pelayanan Kesehatan. Vol. 1 No. 1. 1-6 Febriawati, 2003, Gambaran Sistem Perencanaan dan Pengadaan Persediaan Obat di Sub Bagian Gudang Farmasi RS Medika Permata Hijau. Progam Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Kepmenkes RI, 2008, Menteri Kesehatan RI, Jakarta, Menteri Kesehatan RI, Jakarta. Luqman, Muhammad., 2016, Gambaran Penerapan Pengadaan Obat Secara EPurchasing di Rumah Sakit Umum Kota Tanggerang Selatan Tahun 2016.