Experiential Learning Kel. 7 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

NAMA



: Eka Andriyanti



B93216079



Fina Nur Laili Mufidah



B93216082



Umnia EXPERIENTAL LEARNING MODEL FOR INTERVENSI INKLUSI Experiential learning theory (ELT), yang kemudian menjadi dasar pendekatan pembelajaran experiential learning, dikembangkan oleh David Kolb sekitar awal 1980-an. Pendekatan ini menekankan pada sebuah pendekatan pembelajaran yang holistik dalam proses belajar. Menurut konsep ini belajar adalah proses bagaimana pengetahuan diciptakan melalui perubahan bentuk pengalaman. Pengetahuan diakibatkan oleh kombinasi pemahaman dan mentransformasikan pengalaman. Gagasan tersebut akhirnya berdampak sangat luas pada perancangan dan pengembangan pendekatan pembelajaran seumur hidup (lifelong learning ). Experiential learning merupakan pendekatan belajar dari pengalaman yang konkrit, dengan cara bermain, bermain peran, simulasi, dan diskusi kelompok. Dimana terjadi kombinasi antara mendengar, melihat dan mengalami.Dalam experiential learning, pengalaman mempunyai peran sentral dalam proses belajar. Penekanan inilah yang membedakan experiential learning dari teoriteori belajar lainnya. Istilah “experiential” di sini untuk membedakan antara teori belajar kognitif yang cenderung menekankan kognisi lebih daripada afektif. Pendekatan experiential learning adalah suatu pendekatan proses belajar mengajar yang mengaktifkan



pembelajar



untuk



membangun



pengetahuan



dan



keterampilan



melalui



pengalamannya secara langsung. Dalam hal ini, experiential learning menggunakan pengalaman sebagai katalisator untuk menolong pembelajar mengembangkan kapasitas dan kemampuannya dalam proses pembelajaran. Experiential learning adalah tindakan untuk mencapai sesuatu berdasarkan pengalaman yang secara terus menerus mengalami perubahan guna meningkatkan keefektifan dari hasil belajar itu sendiri. Pendekatan ini bertujuan mempengaruhi siswa dengan tiga cara, yaitu: a. mengubah struktur kognitif siswa; b. mengubah sikap siswa c. memperluas keterampilan keterampilan siswa yang telah ada. Ketiga elemen tersebut saling berhubungan dan memengaruhi secara keseluruhan, tidak terpisah-pisah, karena



apabila salah satu elemen tidak ada, maka kedua elemen lainnya tidak akan efektif. Experiential learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiential learning mencakup: keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri dan adanya efek yang membekas pada siswa.Dalam konteks pelayanan bimbingan dan konseling pendekatan experiential learning memberi kesempatan kepada siswa untuk memutuskan pengalaman apa yang menjadi fokus mereka, keterampilan-keterampilan apa yang mereka ingin kembangkan, dan bagaimana cara mereka membuat konsep dari pengalaman yang mereka alami tersebut. Hal ini berbeda dengan pendekatan bimbingan dan konseling yang bersifat tradisional di mana siswa menjadi pendengar pasif dan hanya konselor yang mengendalikan proses bimbingan tanpa melibatkan siswa seutuhnya. Experiential learning hakikatnya adalah suatu proses siswa mengkonstuksi atau menyusun pengetahuan keterampilan dan nilai dari pengalaman langsung. Prosedur pembelajaran experiential learning menurut Kolb (1984:42) terdiri dari 4 tahapan, yaitu: a. tahapan pengalaman nyata b. tahap observasi refleksi c. tahap konseptualisasi d. tahap implementasi. Prosedur Pembelajaran Experiential Learning Model pembelajaran semacam ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan belajar secara aktif. Lebih lanjut, Hamalik menyatakan bahwa pembelajaran berdasarkan pengalaman memberi seperangkat atau serangkaian situasi belajar dalam bentuk keterlibatan pengalaman sesungguhnya yang dirancang oleh guru (Hamalik, 2001) Cara ini mengarahkan para siswa untuk mendapatkan pengalaman lebih banyak melalui keterlibatan secara aktif dan personal, dibandingan bila mereka hanya membaca suatu materi atau konsep. Dengan demikian, belajar berdasarkan pengalaman lebih terpusat pada pengalaman belajar siswa yang bersifat terbuka dan siswa mampu membimbing dirinya sendiri. Berdasarkan pendapat di atas dapat dipahami bahwa penerapan model experiential learning dapat membantu siswa dalam membangun pengetahuannya sendiri (Depdiknas, 2002). Seperti halnya model pembelajaran lainnya, dalam menerapakan model experiental learning guru harus memperbaiki prosedur agar pembelajarannya berjalan dengan baik. Hamalik (2001),



mengungkapkan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam model pembelajaran experiental learning adalah sebagai berikut. a. Guru merumuskan secara seksama suatu rencana pengalaman belajar yang bersifat terbuka (open minded) yang memiliki hasil-hasil tertentu. b. Guru harus bisa memberikan rangsangan dan motivasi. c. Siswa dapat bekerja secara individual atau bekerja dalam kelompok-kelompok kecil/keseluruhan kelompok di dalam belajar berdasarkan pengalaman. d. Para siswa ditempatkan pada situasi-situasi nyata, maksudnya siswa mampu memecahkan masalah dan bukan dalam situsi pengganti. Contohnya, Di dalam kelompok kecil, siswa membuat mobil-mobilan dengan menggunakan potonganpotongan kayu, bukan menceritakan cara membuat mobil-mobilan. e. Siswa aktif berpartisipasi di dalam pengalaman yang tersedia, membua keputusan sendiri, menerima kosekuensi berdasarkan keputusan tersebut. f. Keseluruhan kelas menceritakan kembali tentang apa yang dialam sehubungan dengan mata pelajaran tersebut untuk memperluas pengalaman belajar dan pemahaman siswa dalam melaksanakan pertemuan yang nantinya akan membahas bermacam-macam pengalaman tersebut. Gaya Belajar Experiential Learning Experiential learning memperhatikan perbedaan atau keunikan yang dimiliki siswa, karenanya model ini memiliki tujuan untuk mengakomodasi perbedaan dan keunikan yang dimiliki masingmasing individu. Dengan mengamati inventori gaya belajar (learning style inventory) yang dikembangkan masing-masing siswa, Kolb dalam Baharudin dan Wahyuni (2012:168) mengklasifikasikan gaya belajar seseorang menjadi empat kategori sebagai berikut: a. Converger. Tipe ini lebih suka belajar jika menghadapi soal yang mempunyai jawaban tertentu. Orang dengan tipe ini tidak emosional dan lebih suka menghadapi benda daripada manusia. Mereka tertarik pada ilmu pengetahuan alam dan teknik. b. Diverger. Tipe ini memandang sesuatu dari berbagai segi dan kemudian menghubungkannya menjadi suatu kesatuan yang utuh. Orang dengan tipe ini lebih suka berhubungan dengan manusia. mereka lebih suka mendalami bahasa, kesusastraan, sejarah dan ilmu-ilmu sosial lainnya.



c. Assimilation. Tipe ini lebih tertarik pada konsep-konsep yang abstrak. Orang dengan tipe ini tidak terlalu memperhatikan penerapan praksis dari ide-ide mereka. Bidang studi yang diminati adalah bidang keilmuan dan matematika. d. Accomodator. Tipe ini berminat pada penngembangan konsep-konsep. Orang dengan tipe ini berminat pada hal-hal yang konkret dan eksperimen. Bidang studi yang sesuai untuk tipe ini adalah lapangan usaha dan teknik sedangkan pekerjaan yang sesuai antara lain penjualan dan pemasaran (Baharudin dan Wahyuni, 2012:168). Pembelajaran Experiential digambarkan dalam suatu siklus pembelajaran yang terhirarki pada masing-masing fase. Terdapat empat tahapan model belajar berbasis pengalaman (Experiential Learning Model), yaitu Concrete Experience, Refective Observation, Abstract Conceptualization, Active Experimentation. Sharlanova (2004) menyampaikan kegiatan belajar dalam siklus belajar Kolb sebagai berikut. 1. Concrete Experience (CE) Pada tahap concrete experience, pebelajar baik secara individu, tim, atau organisasi hanya mengerjakan tugas. Tugas yang dimaksudkan adalah aktivitas sains yang mendorong mereka melakukan kegiatan sains atau mengalami sendiri suatu fenomena yang akan dipelajari. Siswa berperan sebagai partisipan aktif. Fenomena ini dapat berangkat dari pengalaman yang pernah dialami sebelumnya baik formal ataupun informal, atau situasi yang bersifat real problematic sehingga mampu membangkitkan interest siswa untuk menyelidiki lebih jauh. 2. Refective Observation (RO) Pada tahap refective observation, siswa mereview apa yang telah dilakukan atau dipelajari. Keterampilan mendengarkan, memberikan perhatian atau tanggapan, menemukan perbedaaan, dan menerapakan ide atau gagasan dapat membantu dalam memperoleh hasil refleksi. Siswa mengamati secara seksama dari aktivitas sains yang sedang dilakukan dengan menggunakan panca indra (sense) atau perasaan (feeling) kemudian



merefleksikan



hasil



yang



didapatkan.



Pada



tahap



ini



siswa



mengkomunikasikan satu sama lain hasil refleksi yang dilakukan 3. Abstract Conceptualization (AC) Tahap abstract conceptualization merupakan tahapan mind-on atau fase “think” di mana pebelajar mampu memberikan penjelasan mtematis terhadap suatu fenomena



dengan memikirkan, mencermati alasan hubungan timbal balik (reciprocal-causing) terhadap pengalaman (experience) yang diperoleh setelah melakukan observasi dan refleksi terhadap penglaman sains pada fase concrete experience. Pebelajar mencoba mengkonseptualisasi suatu teori atau model terhadap penglaman yang diobservasi dan mengintegrasikan pengalaman baru yang diperoleh dengan pengalaman sebelumnya (prior experience). 4. Active Experimentation (AE) Pada tahap ini, pebelajar mencoba merencanakan bagaimana menguji kemampuan suatu teori atau model untuk menjelaskan pengalaman baru yang diperoleh selanjutnya. Proses belajar bermakna akan terjadi pada tahap active experimentation (Mardana, 2006). Pengalaman yang diperoleh pebelajar sebelumnya dapat diterapkan pada pengalaman baru dan atau situasi problematik yang baru. Melalui kegiatan active experimentation ini siswa akan melatih kemampuan berpikir kritis. Siswa mengetahui sejauh mana pemahaman yang telah dimiliki dalam memecahkan permasalahanpermasalahan yang terkait dengan pengalaman sehari-hari. Terdapat tahapan penting dalam pengajaran dengan menggunakan model pembelajaran Experiential yang terangkum dalam sintak pembelajaran. Menurut Mardana (2006), model pembelajaran Experiential mampu menyediakan tahapan-tahapan pembelajaran yang menekankan pada terjadinya proses transformasi pengalaman sains berangkat dari pengalaman sehari-hari