Model EXPERIENTIAL LEARNING [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah Belajar merupakan istilah kunci yang paling vital dalam usaha pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tidak pernah ada pendidikan. Sebagai suatu proses, belajar hampir selalu mendapat tempat yang luas dalam berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan pendidikan. Disitulah letak pentingnya manusia sebagai makhluk yang berpikir untuk terus belajar, baik itu belajar secara kelembagaan formal maupun belajar dari pengalaman yang pernah dan akan dialami. Tujuan dari belajar bukan semata-mata berorientasi pada penguasaan materi dengan menghapal fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informai atau materi pelajaran. Lebih jauh daripada itu, orientasi sesungguhnya dari proses belajar adalah memberikan pengalaman untuk jangka panjang. Dengan konsep ini, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung secara alamiah dalam bentuk kagiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan tansfer pengetahuan dari guru ke siswa. Proses pembelajaran seperti apa yang dapat menciptakan suatu proses belajar yang dapat mengeksplorasi wawasan pengetahuan siswa dan dapat mengembangkan makna sehingga akan memberikan kesan yang mendalam terhadap apa yang telah dipelajarinya? Alternatif model pembelajaran yang dapat digunakan untuk menjawab permasalahan



diatas



salah



satunya



adalah



dengan



menggunakan



EXPERIENTIAL LEARNING. B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian pembelajaran Experiential Learning? 2. Apa konsep model pembelajaran Experiential Learning? 3. Apa saja aspek yang ada dalam pembelajaran Experiential Learning? 4. Bagaimana prosedur pembelajaran Experiential Learning?



model



BAB II PEMBAHASAN



A. Pengertian Experiential Learning Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia model adalah “contoh, pola, acuan dan cara”.1 Model pembelajaran dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar.2 Banyak sekali model-model pembelajaran yang digunakan guru dalam proses pembelajaran diantaranya adalah model experiential learning. Experiential Learning Theory (ELT)



yang kemudian menjadi



dasar



model pembelajaran experiential



learning



dikembengkan oleh David Kolb sekitar awal 1980-an. Metode ini menekankan pada sebuah pembelajaran yang holistik dalam proses belajar. Dalam experiential learning, pengalaman memmpunyai peran sentral dalam proses belajar. Sebagaimana yang didefinisikan Association for Experiential Education (AEE) mendefinisikan ”experiential education is a process through which a learner construct knowledge, skill, and value from direct experiences.3 ”Pendidikan berbasis pengalaman merupakan sebuah proses dimana para pelajar membangun pengetahuan, keterampilan dan nilai dari pengalaman langsung. Istilah learning by experience atau belajar melalui pengalaman juga sering diidentikkan dengan istilah learning by doing atau belajar sambil melakukan. experiencing means living throught actual situation. All product of learning are achieved by the learner throught his own activity.4 Mengalami berarti menghayati situasisituasi sebenarnya. Semua hasil belajar diperoleh melalui kegiatan sendiri. Dengan begitu peserta didik akan memperoleh pengalamannya untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Bagaimanapun pengalaman merupakan seluruh kegiatan dan hasil yang komplek dari interaksi aktif manusia. Sebagai makhluk hidup yang sadar yang tumbuh dengan lingkungan di sekitarnya 1



W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2006), hlm. 773 Agus Suprijono, Cooperative Learning, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013) hal. 46 3 Song Lin Xiong Huang, Advances In Computer Science, Environment, Ecoinformatics, And Education, Part IV, (Wuhan, China: International Conference, CSEE, 2011), hlm. 419. 4 Nasution, Dikdaktik Asas-Asas Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 90 2



yang berubah dalam perjalanan waktu. To “learn from experience” is to make a backward and forward connection between that we do things and what we enjoy for suffer from things in consequence.5 Untuk “belajar dari pengalaman” adalah membuat hubungan antara peristiwa yang lalu dan kemudian (yang akan datang) dari apa kita melakukan sesuatu dan apakah kita senang atau menderita dari suatu pengaruh. Sebagian besar penemuan tentang hubungan pengalaman konkret dan pembelajaran abstrak dianggap bersumber dari John Dewey (1938), penulis Experience and Education. John Dewey mengatakan dalam bukunya Mel Silberman yang berjudul Handbook Experiential Learning bahwa: hanya sekadar memiliki pengalaman itu tidaklah berarti sama dengan belajar darinya. Tindakan dan pikiran harus dihubungkan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Colin Beard dan John Wilson (2002), penulis The Power Of Experiential Learning dalam bukunya Mel Silberman yang berjudul Handbook Experiential Learning bahwa pengalaman bisa jadi melandasi semua pembelajaran tetapi ia tidak selalu membuahkan pembelajaran.6 Dengan kata lain kita harus terlibat dengan pengalaman dan merenungkan apa yang terjadi, bagaimana, dan mengapa itu terjadi. Ini berarti bahwa seseorang perlu memproses lebih dari fakta-fakta dan konsep untuk bisa termotivas. Istilah “experiential” disini untuk membedakan antara belajar kognitif yang cenderung menekankan kognisi lebih dari pada afektif, dan teori belajar behavior yang menghilangkan peran pengalaman subjektif dalam proses belajar. David Kolb (1983), pengarang Experiential Learning mendefinisikan pembelajaran sebagai proses dimana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman (experience).7 Pengetahuan merupakan hasil dari memahami dan mentransformasi pengalaman. Tujuan dari model ini adalah untuk mempengaruhi peserta didik dengan tiga cara, yaitu mengubah struktur kognitif peserta didik, mengubah sikap peserta didik, dan memperluas keterampilanketerampilan peserta didik yang ada.8 Ketiga element tersebut saling John Dewey, Experience And Education :pendidikan berbasis pengalaman, Terj. Hani’ah, (Jakarta: Teraju, 2004), hlm. 134. 6 Mel Silberman, Handbook Experiential Learning, terj. M. Khozim, hlm. 3. 7 Ibid , hlm. 4 8 Baharudin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, hlm. 165. 5



berhubungan antara satu dengan yang lain dan mempengaruhi secara keseluruhan, tidak terpisahpisah, karena apabila salah satu dari element tersebut tidak ada maka elemen lainnya tidak akan efektif. Model experiental learning memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengalami keberhasilan dengan memberikan kebebasan peserta didik untuk memutuskan pengalaman apa yang menjadi fokus mereka, keterampilan-keterampilan apa yang ingin mereka kembangkan, dan bagaimana mereka membuat konsep dari pengalaman yang mereka alami tersebut. Hal ini berbeda dengan pendekatan belajar tradisional dimana peserta didik menjadi pendengar pasif dan hanya guru yang mengendalikan proses belajar tanpa melibatkan peserta didik.9 Perbedaan ini dapat dilihat dalam tabel dibawah ini : Experiental Learning



Pembelajaran tradisional



Aktif



Pasif



Partisipatif, berbagai arah



Otokratis, satu arah



Dinamis,



belajar



dengan Terstruktur,



belajar



melakukan



dengan mendengar



Bersifat terbuka



Cakupan terbatas dengan sesuatu yang baku



Mendorong untuk menemukan Terfokus sesuatu Bersandar individu



pada



tujuan



belajar yang khusus pada



penemuan Bersandar pada keahlian mengajar



Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa experiential learning tidak hanya memberikan wawasan pengetahuan konsep-konsep saja, namun juga memberikan pengalaman yang nyata yang akan membangun keterampilan melalui penugasanpenugasan nyata. Selanjutnya, model ini akan mengakomodasi dan memberikan proses umpan balik serta evaluasi antara hasil penerapan dengan apa yang seharusnya dilakukan.



9



Baharudin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, hlm 164-166



Dalam hal ini experiential learning menggunakan katalisator untuk membantu peserta didik mengembangkan kapasitas dan kemampuannya dalam proses pembelajaran.10 B. Tahap Pembelajaran Experiential Learning Pembelajaran experiential learning terdiri 4 tahap,11 yaitu : 1. Tahap pengalaman nyata 2. Tahap observasi refleksi 3. Konseptualisasi 4. Tahap implementasi Keempat tahap tersebut oleh David Kolb sebagai berikut: 1. Tahap pengalaman konkrit (concrete) Pada tahap ini peserta didik belum memiliki kesadaran tentang hakikat dari suatu peristiwa. Peserta didik hanya dapat merasakan kejadian tersebut apa adanya dan belum dapat memahami serta menjelaskan bagaimana dan mengapa peristiwa itu terjadi. Inilah yang terjadi pada tahap pertama proses belajar. 2. Tahap pengamatan aktif dan reflektif (observation and reflection). Pada tahap ini belajar harus memberi kesempatan kepada seluruh peserta didik melakukan observasi secara aktif terhadap peristiwa yang dialaminya. Hal ini dimulai dengan mencari jawaban dan memikirkan kejadian yang ada dalam dunia sekitarnya. Peserta didik melakukan refleksi dengan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana dan mengapa hal itu bisa terjadi. 3. Tahap konseptualisasi (forming abstract concept) Setelah peserta didik diberi kebebasan melakukan pengamatan, selanjutnya diberi kebebasan merumuskan (konseptualisasi) terhadap hasil pengamatannya. Artinya peserta didik berupaya membuat abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep atau hukum dan prosedur tentang sesuatu yang menjadi objek perhatiannya. 4. Tahap eksperimentasi aktif (testing in new situations) Tahap ini didasarkan atas asumsi bahwa hasil dari proses belajar harus bersifat produk yang nyata. Pada tahap 10



Isah Cahyani , Pembelajaran Menulis Berbasis Karakter dengan Pendekatan Experiential Learning, (Bandung: Program Studi Pendidikan Dasar SPS UPI, 2012), hlm. 164 11 M. Nur Ghufron dan Rini Risnawita, S, Gaya Belajar Kajian Teoretik, (yogyakarta, :Pustaka Pelajar, 2013), hlm 93-96



ini seseorang sudah mampu mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori atau aturanaturan kedalam situasi nyata. Belajar harus memberikan ruang kebebasan untuk mempraktekkan dan menguji teori-teori serta konsep-konsep di lapangan.12 Kolb mengenalkan empat gaya belajar yang sesuai dengan tahapan-tahapan dalam siklus belajar sebagai berikut: 1. Assimilator, (AC/RO), kombinasi dari berfikir dan mengamati (thinking and watching). Anak pada tipe assimilator memiliki kelebihan dalam memahami berbagai sajian informasi serta merangkumnya ke dalam suatu format yang logis, singkat, dan jelas. Biasanya anak tipe ini kurang perhatian kepada orang lain dan lebih menyukai ide serta konsep yang abstrak. 2. Converger,(AC/AE). Kombinasi dari berpikir dan berbuat (thinking and doing). Anak dengan tipe converger unggul dalam menemukan fungsi praktis dari berbagai ide dan teori. Bisanya mereka punya kemampuan yang lebih baik dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Mereka juga cenderung lebih menyukai tugas-tugas teknis (aplikatif) dari pada masalah sosial atau hubungan antar pribadi. 3. Accommodator, (CE/AE). Kombinasi dari perasaan dan tindakan (feeling and doing). Anak dengan tipe accommodator memiliki kemampuan belajar yang baik dari hasil pengalaman nyata yang dilakukan sendiri. Mereka suka membuat rencana dan melibatkan dirinya dalam berbagai pengalaman baru dan menantang. Mereka cenderung bertindak berdasarkan analisis logis. Dalam usaha memecahkan masalah, mereka biasanya mempertimbangkan factor manusia (untuk mendapatkan masukan/informasi) dibanding analisis teknis. 4. Diverger, (CE/RO). Kombinasi dari perasaan dan pengamatan (feeling and watching). Anak dengan tipe diverger unggul dalam melihat situasi konkret dari banyak sudut pandang yang berbeda. Pendekatannya pada setiap situasi adalah “mengamati” dan bukan “bertindak”. Anak seperti ini menyukai tugas belajar yang menuntunnya untuk menghasilkan ide-ide, biasanya juga menyukai isu budaya serta suka sekali mengumpulkan berbagai informasi. 12



M. Saechan Muchith, Pembelajaran Kontekstual, (Semarang: Rasail Media Group, 2008), hlm. 82-84.



Hamalik (2011), mengungkapkan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam model pembelajaran experiential learning adalah sebagai berikut:13 1. Guru merumuskan secara seksama suatu rencana pengalaman belajar yang bersifat terbuka (open minded) yang memiliki hasil-hasil tertentu. 2. Guru harus bias memberikan rangsangan dan motivasi. 3. Siswa dapat bekerja secara individual atau bekerja dalam kelompok-kelompok kecil/keseluruhan kelompok didalam belajar berdasarkan pengalaman. 4. Para siswa ditempatkan pada situasi-situasi nyata, maksudnya siswa mampu memcahkan masalah dan bukan dalam situsai pengganti. 5. Siswa aktif berpartisipasi di dalam pengalaman yang tersedia, membuat keputusn sendiri, menerima konsekuensi berdasarkan keputusan tersebut. 6. Keseluruhan kelas menceritakan kembali tentang apa yang dialami sehubungan dengan mata pelajaran tersebut untuk memperluas pengalaman belajar dan pemahaman siswa dalam melaksanakan pertemuan yang nantinya akan membahas bermacam-macam pengalaman. Langkah menantang bagi guru dalam experiential learning adalah memikirkan atau merancang aktivitas pengalaman belajar seperti apa yang harus. terjadi pada diri siswa baik yang individu maupun yang kelompok. Aktivitas pembelajaran harus berfokus pada peserta belajar (student-centered learning). Dengan demikian, apa yang harus kita lakukan, apa yang arus mereka lakukan, apa yang harus kita katakana atau sampaikan harus secara detail kita rancang dengan baik. Begitu pula dengan media dan alat bantu pembelajaran lain yang dibutukan juga arus benar-benar tela tersedia dan siap untuk digunakan (Roem,1986).14 Proses belajar dalam experiential learning merupakan kegiatan merumuskan sebuah tindakan, mengujinya, menilai hasil dan memperoleh feedback, merefleksikan 13 14



2



Syaiful Bahrin Djamarah, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), hlm. 13 Agus Suprijono, Cooperative Learning (Teori dan Aplikasi PAIKEM), (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009), hlm.



kembali sebuah tindakan berdasarkan prinsip-prinsip yang harus dipahami dan diikuti. Prinsip-prinsip tersebut didasarkan pada teori Kurt Lewin berikut: 1. Experiential learning yang efektif akan memengaruhi cara berpikir siswa, sikap, nilai-nilai persepsi dan perilaku siswa, misalnya, belajar tentang berbuat baik pada orang tua. Seorang pelajar harus mengembangkan sebuah konsep tentang apakah berbuat baik kepada orang tua, bagaimana sikap yang baik kepada orang tua, dan bagaimana mewujudkan sikap baik kepada orang tua dalam bentuk perilaku 2. Sikap lebih memercayai pengetahuan yang mereka temukan sendiri daripada pengetahuan yang diberikan oleh orang lain. Menurut Lewin, berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan bahwa, pendekatan belajar yang didasarkan pada pencarian (inquire) dan penemuan (discovery) dapat meningkatkan motivasi siswa untuk belajar dan komitmen mereka untuk mengimplementasikan penemuan tersebut pada masa yang akan datang. 3. Belajar akan lebih efektif bila konsep atau mempraktikkan dan mencobanya, maka siswa akan memahami lebih sempurna dan mengintegrasikannya dengan apa yang dia pelajari sebelumnya serta akan dapat mengingatnya lebih lama. Banyak dari konsepkonsep atau teori-teori yang akan dipahami sampai siswa mencoba untuk menggunakannya, misalnya pelajaran matematika, fisika dan lain sebagainya. 4. Perubahan hendaknya tidak terpisah-pisah antara kognitif, afektif dan perilaku, tetapi secara holistic. Ketiga elemen tersebut merupakan sebuah sistem dalam proses belajar yang saling berkaitan satu sama lain, teratur, dan sederhana. Mengubah salah satu dari ketiga elemen tersebut menyebabkan hasil belajar tidak efektif. 5. Experiential learning lebih dari sekedar memberi informasi untuk pengubahan koqnitif, afektif, maupun perilaku. Mengajarkan siswa untuk dapat berubah tidak berarti bahwa mereka mau berubah. Memberikan alasan mengapa harus berubah tidak cukup memotivasi siswa untuk berubah. Membaca sebuah buku atau mendengarkan penjelasan guru tidak cukup untuk menghasilkan penguasaan dan perhatian pada materi, tidak cukup mengubah sikap dan meningkatkan keterampilan sosial. Experiential learning merupakan proses belajar yang menumbuhkan minat belajar pada siswa terutama untuk melakukan perubahan yang diinginkan.



6. Perubahan persepsi tentang diri sendiri dan lingkungan sangat diperlukan sebelum melakukan pengubahan pada koqnitif, afektif dan perilaku. Menurut Lewin, tingkah laku, sikap dan cara berpikir seseorang ditentukan oleh persepsi mereka. Persepsi seorang siswa tentang dirinya dan lingkungan di sekitarnya akan memngaruhi dalam berperilaku, berfikiran dan merasakan. 7. Perubahan perilaku tidak akan bermakna bila koqnitif, efektif, dan perilaku itu sendiri tidak berubah. Keterampilan-keterampilan baru mungkin dapat dikuasai atau dipraktikkan, tetapi tanpa melakukan perubahan atau belajar terus-menerus. Maka keterampilan-keterampilan tersebut akan menjadi luntur dan hilang. Dari prinsip-prinsip belajar berdasarkan pengalaman ini, model Experiential learning pada dasarnya merupakan model pembelajaran yang mencakup model pembelajaran lainnya seperti humanizing the classroom, active learning, the accelerated, quantum learning, quantum teaching (sutrisno:2005) dan contektual teching and learning. C. Implementasi Model Experiential Learning dalam pembelajaran. Disini penulis mencoba mengIimplementasi Model Experiential Learning dalam Pembelajaran IPA Materi Energi dan Perubahannya kelas IV, langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan guru dalam proses pebelajaran, yaitu: 1. Eksplorasi Eksplorasi yang dilakukan guru ialah dengan menanyakan pada peserta didik tentang apa yang di rasakan ketika memegang gelas yang berisi air hangat dan apa yang di rasakan ketika berada di dekat api unggun. Setelah guru mendapatkan jawaban peserta didik dengan antusias kemudian guru menjelaskan mengapa hal itu bisa terjadi. Guru selalu melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap proses pembelajaran. 2. Elaborasi Dalam proses elaborasi guru memulai memperkenalkan peserta didik dengan energi panas, sumber energi panas, cara perpindahan energi panas, bentuk-bentuk energi panas dalam kehidupan sehari. Setelah selesai menjelaskan materi, guru mengajak peserta didik untuk membentuk kelompok menjadi 4 kelompok. Setiap kelompok mendapatkan tugas yang sama yakni mempraktekkan perpindahan panas



dengan cara konduksi, konveksi dan radiasi. Guru memberi arahan untuk mempraktekkan perpindahan panas dengan cara konduksi yakni setiap kelompok menghidupkan lilin yang telah disediakan lalu membakar ujung sendok selama kurang lebih 45 detik. Sebelum peserta didik mempraktekkannya guru memperingatkan agar jangan bercanda dengan menyentuhkan sendok yang dibakar disentuhkan kepada temannya. Selesai membakar sendok selama waktu yang telah ditentukan setiap peserta didik memegang ujung sendok lainnya yang tidak terbakar dan disuruh merasakan. Praktek yang selanjutnya yakni radiasi. Dalam praktek radiasi guru menyuruh semua peserta didik untuk mendekatkan tangannya pada lilin yang ada di kelompoknya dan di suruh merasakannya. Sesudah mempraktekkan perambatan energi panas secara radiasi maka dilanjutkan praktek yang selanjutnya, yakni mempraktekkan perambatan energi panas secara konveksi, sebelum mempraktekkan guru sudah mempersiapkan alat yang akan di gunakan untuk praktek, antara lain: Bunsen, kaki tiga, air, kawat kasa, gelas beaker. Setelah semua alat sudah siap air dituangkan di dalam gelas beaker lalu di bakar menggunakan api sampai mendidih, setiap kelompok di suruh maju untuk mengamati apa yang terjadi pada serbuk yakni serbuk yang mula-mula berada di bawah bergerak keatas. Selama proses mempraktekkan perpindahan panas secara konduksi, radiasi, dan konveksi guru mengunjungi setiap kelompok guna mendampingi baik secara kelompok maupun individu dan menanyakan mengapa hal itu bisa terjadi serta menjelaskan bagi kelompok yang kurang memahami Selesai mempraktekkan perpindahan panas secara konduksi, radiasi, dan konveksi peserta didik di bantu guru untuk merumuskan (konseptualisasi) dari hasil pengamatannya. Setelah itu peserta didik diberi tugas lagi untuk mempraktekkan sesuatu yang baru dan menuliskan hasil dari pengamatannya, yakni ada dua gelas, gelas yang satu terbuat dari plastik dan yang satunya lagi terbuat dari besi (kaleng susu), setiap ujung atau bibir gelas di beri margarin, lalu air panas dituangkan kedalam kedua gelas tersebut dan peserta didik di suruh mengamati apa yang terjadi pada margarin kemudian mencatat hasil dari pengamatannya.



3. Konfirmasi Dalam kegiatan konfirmasi guru melakukan tanya jawab dengan peserta didik mengenai hal-hal yang belum mereka pahami. Kemudian guru memberikan penjelasan dan pelurusan kesalahpahaman konsep peserta didik dengan memberikan penguatan materi. 4. Kegiatan Akhir Kegiatan akhir dalam pembelajaran guru isi dengan mengajak siswa untuk membuat kesimpulan dari materi yang dipelajari, melakukan penilaian terhadap kegiatan yang dilakukan peserta didik dan memberi motivasi.



BAB III KESIMPULAN Model pembelajaran experiential learning merupakan model pembelajaran yang dapat menciptakan proses belajar yang lebih bermakna, dimana siswa mengalami apa yang mereka pelajari. Melalui model ini, siswa belajar tidak hanya belajar tentang konsep materi belaka, hal ini dikarenakan siswa dilibatkan secara langsung dalam proses pembelajaran untuk dijadikan sebagai suatu pengalaman. Hasil dari proses pembelajaran experiential learning tidak hanya menekankan pada aspek kognitif saja, juga tidak seperti teori behavior yang menghilangkan peran pengalaman subjektif dalam proses belajar. Pengetahuan yang tercipta dari model ini merupakan perpaduan antara memahami dan mentransformasi pengalaman.



Seperti halnya proses pembelajaran kontekstual yang menghubungkan dan melibatkan siswa dengan dunia nyata, model ini pun lebih mengedepankan model connented knowing (menghubungkan antara pengetahuan dengan dunia nyata), dengan demikian pembelajaran dianggap sebagai bagian integral dari sebuah kehidupan.



DAFTAR PUSTAKA



Agus Suprijono, Cooperative Learning (Teori dan Aplikasi PAIKEM), Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009. Baharudin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran. Isah Cahyani , Pembelajaran Menulis Berbasis Karakter dengan Pendekatan Experiential Learning, (Bandung: Program Studi Pendidikan Dasar SPS UPI, 2012). John Dewey, Experience And Education :pendidikan berbasis pengalaman, Terj. Hani’ah, (Jakarta: Teraju, 2004). Mel Silberman, Handbook Experiential Learning, terj. M. Nur Ghufron dan Rini Risnawita, S, Gaya Belajar Kajian Teoretik, (yogyakarta, :Pustaka Pelajar, 2013). M. Saechan Muchith, Pembelajaran Kontekstual, (Semarang: Rasail Media Group, 2008 Nasution, Dikdaktik Asas-Asas Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 90 Song Lin Xiong Huang,Advances In Computer Science, Environment, Ecoinformatics, And Education, Part IV, (Wuhan, China: International Conference, CSEE, 2011) Syaiful Bahrin Djamarah, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002). W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2006)