Fatwa Dewan Hisbah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

FATWA DEWAN HISBAH (6): BOLEHKAH WAKAF DIUBAH STATUS DAN FUNGSINYA? Pada hari kedua, Kamis 27 Agustus 2015, sidang Dewan Hisbah PP Persis akan membedah enam masalah tersisa, sebagai berikut:      



Alih Fungsi dan Alih Status Wakaf Hukum Istri Mewakafkan Harta Miliknya tanpa Sepengetahuan Suami Menggugat Wakaf karena tidak Sesuai Akad Mengulangi Ihrom dari Tan’im karena Ragu Sah dan Tidaknya Umroh Hukum Zakat Diinvestasikan Baca Al-Quran dengan Langgam selain Arab



Dalam gelar perkara pertama: “Alih Fungsi dan Alih Status Wakaf” yang dimulai sekitar pukul 08.00 WIB itu, menghadirkan KH.Aceng Zakaria, sebagai pemakalah, dengan moderator KH. Zae Nandang. KH.Aceng Zakaria,  memaparkan pokok-pokok pikirannya sebagai berikut: Pertama, Definisi Wakaf Dengan merujuk penjelasan Sayyid Sabiq, dalam kitab Fiqhus Sunnah, dan Abdullah Ali Bassam, dalam kitab Tawdhih al-Ahkam,  menurut KH.Aceng, “Waqaf menurut bahasa berarti menahan.” Sementara menurut syara’ ialah menahan ashalnya (harta pokoknya) dan mendermakan hasilnya, atau menahan harta asalnya dan menyalurkan manfaatnya untuk fi sabilillah.” ‫ب اِ ْبتَغَا َء َوجْ ِه‬ ٍ ِ‫َوقِ ْي َل؛ َحبْسُ َمال‬ َ َّ‫ك َمالَهُ ْال ُم ْنتَفَ ُع بِ ِه َم َع بَقَا ِء َع ْينِ ِه ع َِن الت‬ ِ ‫اع ْالقُ َر‬ ِ ‫صرُّ فَا‬ ِ ‫ت بِ َرقَبَتِ ِه َوتَ ْسبِ ْي ُل َم ْنفَ َعتِ ِه َعلَى َش ْيٍئ ِم ْن َأ ْن َو‬ ِ‫هللا‬. Dikatakan, waqaf ialah seorang pemilik harta menahan hartanya yang bermanfaat dengan tetap dzatnya (harta asalnya) dari memberdayakan statusnya dan mendermakan manfaatnya atas sesuatu dari pelbagai macam qurbah demi mengharap ridha Allah.” (Lihat, Taudhîh alAhkâm, 5: 97)



Kedua, Hadîts-hadîts tentang Waqaf Dengan merujuk kepada sejumlah hadis, antara lain: َ َ‫ي صلى هللا عليه وسلم يَ ْستَْأ ِم ُرهُ فِيهَا فَق‬ َ ‫ص‬ َ ‫ض َي هَّللَا ُ َع ْنهُ َما قَا َل َأ‬ ِ ‫ال يَا َرسُو َل هَّللَا‬ َّ ِ‫اب ُع َم ُر َأرْ ضًا بِخَ ْيبَ َر فََأتَى اَلنَّب‬ ِ ‫ع َْن اِ ْب ِن ُع َم َر َر‬ ‫ُأ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬ ُّ ْ ‫ْئ‬ ْ ْ ْ ‫اًل‬ َ َ ُ ‫صب‬ َ َ َ َ َ ْ َّ َّ ُ ‫ق بِهَا‬ َ ‫صد‬ َ َ‫ال فت‬ َ ‫صدقتَ بِهَا ق‬ َ َ‫صبْ َما قط ه َو نفسُ ِعن ِدي ِمنه ُ قا َل ِإن ِش تَ َحبَسْتَ صْ لهَا َوت‬ َ ‫ِإنِّي َأ‬ ِ ‫ْت َأرْ ضًا بِ َخ ْيبَ َر ل ْم‬ ْ ْ ‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫هَّللَا‬ ُ ‫ع صْ لُهَا َواَل يُو َر‬ ُ ‫ُع َم ُر َغ ْي َر نَّهُ اَل يُبَا‬ ‫ب َوفِي َسبِي ِل ِ َواب ِْن‬ َ ‫ص َّد‬ َ َ‫ث َواَل يُوهَبُ فَت‬ ِ ‫ق بِهَا فِي اَلفُقَ َرا ِء َوفِي اَلقُرْ بَى َوفِي اَلرِّ قَا‬ ‫ْأ‬ ْ ْ ‫َأ‬ َّ ُ ْ ً ْ َّ ‫اًل‬ ُ َ َ َ ْ ْ ٌ َ َ ْ ْ ْ ْ َّ ‫يل َوال‬ ‫ص ِديقا غي َر ُمت َم ِّو ٍل َما ُمتفق َعلي ِه َواللفظ لِ ُمسلِ ٍم‬ َ ‫ُوف َويُط ِع َم‬ ِ ‫ْف اَل ُجنَا َح َعلى َمن َولِيَهَا ن يَ ك َل ِمنهَا بِال َمعر‬ ِ ‫ضي‬ ِ ِ‫اَل َّسب‬ Dari Ibnu ‘Umar Ra, ia berkata, “Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, kemudian ia datang kepada Nabi untuk meminta nasihat darinya tentang tanah itu. Maka Umar berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar yang tidak pernah aku mendapatkan tanah sebaik itu menurutku.’ Maka Nabi saw. Bersabda, ‘Jika engkau mau, waqafkanlah pokoknya dan sedekahkanlah hasilnya.’ Ibnu Umar berkata, ‘Maka Umar mewaqafkan tanah itu dengan syarat-syarat; tidak boleh diwariskan dan dihibahkan.’ Lalu Umar waqafkan tanah itu dan hasilnya untuk kepentingan orang yang fakir, kerabat dekat, hamba sahaya, sabilillâh, ibnu sabil dan tamu-tamu, tidak berdosa orang yang mengurusnya memakan darinya dengan cara yang baik dan memberi makan shahabat dengan syarat tidak menjualnya’.” HR. al-Bukhâri dan Muslim, dan hadîts ini lafadz atau redaksi Muslim. KH.Aceng menyatakan bahwa pada hadîts tersebut di atas terdapat beberapa kandungan, di antaranya: 1. Umar mendapatkan tanah yang baik di Khaibar, kemudian Umar meminta saran kepada Nabi saw. tentang tanah itu. 2. Nabi saw. menyarankan untuk mewaqafkan tanah itu dengan catatan; tidak dijual pokoknya, tidak diwariskan dan tidak dihibahkan tetapi disedekahkan hasilnya. 3. Penyaluran hasil waqaf bisa untuk kebutuhan orang yang faqir, kerabat dekat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan para tamu. 4. Pengelola waqaf boleh memakan hasil waqaf atau memberi makan shahabat dengan catatan tidak untuk memperkaya diri. Ketiga, Ketentuan-ketentuan Waqaf Menurut KH. Aceng, ada beberapa ketentuan tentang waqaf, di antaranya:      



Hukum waqaf tidak wajib tetapi berupa anjuran saja, berarti sunnat. Waqaf hendaklah berupa benda atau barang yang dapat dimanfaatkan dan tidak akan hilang barang pokoknya. Barang waqaf tidak boleh dijual, diwariskan dan dihibahkan karena dengan itu akan hilang harta pokoknya dan akan berpindah tangan kepemilikan. Hasil waqaf dapat disalurkan untuk kepentingan umum atau fi sabilillah. Pengelola waqaf boleh memakan hasil waqaf dengan cara yang ma’ruf, dengan catatan tidak untuk memperkaya diri. Waqif boleh mencabut waqafnya jika ternyata waqaf itu tidak digunakan sebagaimana kehendak si waqif.



 



Waqif tidak boleh mengambil waqafnya dan dijadikan lagi milik pribadi, karena hal itu sama dengan “anjing yang muntah dan memakan lagi mun-tahannya”. Barang-barang waqaf tidak harus dikeluarkan zakatnya, merujuk kepada kasus Khalid bin Walid, sebagai dijelaskan dalam hadis Abu Hurairah Ra, bahwa “Rasulullah saw. telah mengutus Umar untuk mengambil zakat. Adapun Khalid, maka ia telah mewaqafkan baju-baju besinya dan perabot-perabot perangnya di jalan Allah.” HR. al-Bukhâri dan Muslim



Keempat, alih Status dan alih fungsi waqaf Mengacu kepada hadis ُ ‫ع َأصْ لُهَا َواَل يُوْ َر‬ ُ ‫َأنَّهُ اَل يُبَا‬‫متفق عليه‬- ُ‫ث َواَل يُوْ هَب‬ “Bahwa tidak boleh dijual pokoknya, tidak diwariskan dan tidak dihibahkan.” HR. alBukhâri dan Muslim KH. Aceng menyatakan bahwa pada dasarnya waqaf itu tidak boleh dijual, dihibahkan dan diwariskan. Meski demikian, menurut beliau, para ulama berpendapat, jika fungsi satu mesjid sudah kurang manfaat dan lebih baik dipindahkan ke tempat yang lebih strategis untuk lebih memakmurkan mesjid, maka tidak apa-apa mesjid dan tanahnya yang pertama dijual untuk membangun mesjid yang baru yang lebih baik dan lebih strategis, karena pada dasarnya nilai waqafnya tidak hilang. Kebolehan ini, menurut KH.Aceng, merujuk kepada amal Umar, di mana Umar telah memindahkan mesjid Kuffah yang lama ke tempat yang lain, sedang bekas mesjid yang pertama dijadikan pasar kurma, dan perbuatan ‘Umar itu tidak mendapatkan kritikan dari shahâbat yang lain. Demikian juga jika mesjid itu dialihfungsikan menjadi madrasah atau asrama santri, tentu saja tidak terlarang, kemudian mesjid dipindahkan ke tempat yang lebih strategis, itupun kalau disetujui oleh orang yang mewaqafkannya. Untuk mempertajam pandangan KH.Aceng Zakaria, moderator tema pertama di hari kedua ini, KH.Zae Nandang, memberikan kesempatan kepada para anggota Dewan Hisbah untuk menyampaikan pandangannya. Setelah dilakukan diskusi dan penilaian dari para anggota Dewan Hisbah tentang masalah ini: “Alih Fungsi dan Alih Status Wakaf” akhirnya Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam menetapkan hukum (beristinbath) sebagai berikut: 1. Mengubah status wakaf hukumnya haram 2. Alih fungsi wakaf selama tidak mengurangi aslinya dan dapat memperbesar manfaat fi sabilillah dan kemashlahatan umum hukumnya mubah 3. wakaf muqayad boleh dialihfungsikan berdasarkan kesepakatan dengan wakif Demikian keputusan sidang Dewan Hisbah mengenai masalah tersebut.



FATWA DEWAN HISBAH (3): TALAQ MELALUI SMS DAN RUJU’ BAGI KHULU’ by Siaga Bencana · 27 Agustus 2015 Dalam gelar perkara ketiga di hari Rabu 26 Agustus 2015 itu, sidang Dewan Hisbah PP Persis mengangkat tema: “Talaq Melalui SMS dan Ruju’ Bagi Khulu’. Pembahasan masalah ini dipandu oleh KH.Taufik Rahman Azhar, sebagai moderator, dengan pemakalah KH. Ahmad Daeroby, M.Ag. 1. Ahmad Daeroby, M.Ag, setelah menyampaikan mukadimah, beliau memaparkan pokok-pokok pikiran sebagai berikut: Pertama, pengertian Thalaq Dengan merujuk kepada pendapat Sayyid Sabiq, KH.Daeroby, mengajukan definisi thalaq sebagai “Pelepasan ikatan  suami isteri, dan penghentian  hubungan suami isteri.”



Kedua, Ketentuan Thalaq dalam Islam Merujuk kepada surah Al-Baqarah: 230-231 dan 236-237, Surah Al-Thalaq: 1  dan AlAhzab: 49, KH. Daeroby menyatakan bahwa thalaq sebagai jalan keluar dalam perkawinan yang tidak mungkin lagi dipertahankan. Selanjutnya, beliau membagi jenis thalaq, dari segi



benar atau tidaknya talak dijatuhkan, menjadi talak  “Sunni“ dan  talak Bid’i. Talak Sunni adalah yang dilakukan sesuai dengan syari’at Islam, yaitu dilakukan secara bertahap (talak satu, dua dan tiga), dan dalam keadaan suci, belum digauli. Sementara talak Bid’i adalah talak yang dijatuhkan dengan cara-cara yang tidak diakui syari’at Islam, seperti menjatuhkan talak tiga sekaligus. Mentalak isteri yang sedang haid, dan dalam keadaan suci tetapi telah digauli.   Ketiga, Hukum Talak Tentang hal ini, menurut KH. Daeroby, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama; ada yang mewajibkan, ada yang memakruhkan, ada yang mengharamkan. Namun ada pula yang menetapkan hukum sunnah juga ibahah jika terdapat alasan yang benar.   Keempat, Hak Talak Menurut KH. Daeroby, talak adalah hak yang berada sepenuhnya di tangan  suami. Tetapi terhadap suami yang telah keluar dari tabi’atnya, Islam juga memberi hak  bagi isteri untuk menuntut cerai melalui Khulu’. Talak dianggap Sah jika dijatuhkan secara sadar  oleh suami yang berakal, dan baligh. Dalam hal ini, KH. Daeroby merujuk kepada hadis riwayat Bukhari dan Tirmidzi, dari Abu Huraerah.   Kelima, Saksi Talak Menurut KH. Daeroby, adanya hak talak pada tangan suami menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Yaitu  tentang perlu dan tidaknya saksi dalam menjatuhkan Talak. Jumhur  ulama  berpendapat, karena talak adalah hak suami, maka kapan saja talak dijatuhkan adalah sah, ada atau tidak ada saksi. Meski demikian, ada pula yang menganggap tidak sah dengan alasan surah ath-Thalaq: 2. Selain itu, ada pula yang mewajibkan adanya saksi berdasarkan pertimbangan kemaslahatan, yaitu demi menghindarkan kesewenangwenangan dari pihak suami dan untuk memperkecil  terjadinya talak itu sendiri.   Keenam, Jenis-jenis Talak Menurut KH. Daeroby, talak dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu talak  Raj’I dan talak Ba’in. Talak  Raj’I adalah talak yang masih dapat diruju’. Sementara dalam talak Ba’in  suami boleh meruju’ tetapi dengan akad  dan mahar yang baru .   Ketujuh, Mengenai cara Ruju’



Menurut KH. Daeroby, ulama sepakat bahwa cara ruju’ yang  sah dan dianggap lebih baik adalah dilakukan dengan perkatan atau pernyataan suami. Namun ada pula ulama menganggap cukup dengan perbuatan saja, seperti menggauli dan mencium.  Menurut Ulama Madhab Maliki  tindakan menggauli isteri  dapat dikatakan ruju’ apabila hal tersebut disertai dengan niat. Seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi, bagaimana jika talak dan ruju’ itu  dengan  menggunakan SMS.? Untuk menjawab masalah ini, KH. Daeroby mengajukan beberapa pendapat ulama, antara lain Syeikh Ahmad Al-Haddad, Mufti Agung Emirat di Dubai, yang  membolehkan shigat talak lewat SMS. Ia menilai bahwa SMS menempati posisi tulisan, sementara dalam pandangan ulama madzhab fiqh, talak dengan tulisan dipandang sah jika memenuhi dua syarat, sebagaimana diajukan ulama Syafi’iyyah: 1. Ketika menuliskan shigatharus disertai dengan niat menceraikan isteri. 2. Ketika menuliskan shighat hendaknya suami mengucapkan dengan suara jelas dan diketahui sebagai ucapan talak. Kedelapan, Khulu’ Menurut KH. Daeroby, khulu’ adalah perceraian  atas permintaan pihak isteri dengan mengembalikan maskawin yang diterimanya.  Khulu’ disyari’atkan dalam Islam  didasarkan atas firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah ayat 229, juga hadis riwayat Bukhari dan Nasa’I dari Ibnu Abbas tentang kasus Tsabit bin Qays dan isterinya.  Meski demikian, KH.Daeroby menghayati adanya silang pendapat di antara para ulama  dalam kategorisasi khulu’ itu, apakah termasuk thalaq  atau fasakh,  juga implikasinya. Dalam hal ini, beliau tidak menyampaikan pendapatnya, namun menyampaikan beberapa pendapat ulama, antara lain Ulama Hanafiyyah menganggap  Khulu’ sebagai  talak, sementara Jumhur ulama berpendapat khulu’ adalah  Fasakh, bukan talak. Setelah menyampaikan pokok-pokok pikiran, sebagaimana tersebut di atas, KH. Daeroby, menutup makalahnya, dengan kesimpulan sebagai berikut:   1. Tentang Talak dengan melalui SMS Dapat dianggap sah apabila memenuhi  syarat-syarat: 1. Harus diyakini bahwa Yang mengirimnya betul betul suaminya, dan bukan main-main (Al-Kitaabah bimanzilatil Qaul) 2. Dibarengi dengan niat dan shigat yang sharih (jelas), bukan kinayah (kiasan). 3. Dilakukan betul-betul dalam keadaan dharurat, dan sebaiknya disaksikan dan dilaporkan kepada Pengadilan  Agama setempat (Fii Makanin Waahid), demi kemaslahatan.   2. Tentang ruju’ dalam kasus khulu’



Pemakalah cenderung mengategorikan  khulu’ sebagai fasakh  (pernikahan yang dibatalkan). Maka suami  hanya  dapat kembali kepada  isterinya dengan akad  nikah baru dan mahar baru, dan iddah  isterinya hanya satu kali haid. Selanjutnya, moderator tema ketiga ini, KH.Taufik Rahman Azhar, memberikan kesempatan kepada para anggota Dewan Hisbah untuk menyampaikan pandangannya. Setelah dilakukan diskusi dan penilaian dari para anggota Dewan Hisbah tentang masalah ini: “Talaq Melalui SMS dan Ruju’ Bagi Khulu’,” akhirnya Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam menetapkan hukum (beristinbath) sebagai berikut: Tentang Talaq Melalui SMS Talak melalui sms dapat dianggap sah apabila memenuhi syarat-syarat: 1. Dipastikan bahwa yang mengirimnya betul-betul suaminya, bukan main-main 2. Didasari dengan niat atau sighat yang jelas, tegas, dan tidak ada keraguan 3. Dilakukan atas dasar kedaruratan Tentang Ruju’ Bagi Khulu’ 1. Khulu’ membatalkan pernikahan. 2. Pernikahan yang batal karena khulu’ tidak berlaku (kembali ke massa ‘iddah). 3. Mantan suami dapat kembali kepada mantan isterinya setelah istibra dengan akad nikah yang baru. Demikian keputusan sidang Dewan Hisbah mengenai masalah tersebut, yang dapat dilaporkan dari arena sidang.