Fix RSJ  [PDF]

  • Author / Uploaded
  • bona
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI JAWA BARAT (JANUARI-FEBRUARI 2020)



Disusunoleh: Hendrik Bona Togi 191FF05059



PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG 2020



i



ii



KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena penulis pada akhirnya dapat menyelesaikan laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker yang bertempat di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat. Penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu baik secara moral maupun material, saran-saran, bimbingan dan dukungan dalam Praktik Kerja Profesi Apoteker. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Entris Sutrisno, MH.Kes., Apt. selaku Rektor Universitas Bhakti Kencana. 2. Ibu Herni Kusriani,M.Si.,Apt. selaku Ketua Program Studi Profesi Apoteker Universitas Bhakti Kencana. 3. Ibu Widhya Aligata, M.Si., Apt selaku pembimbing Praktik Kerja Profesi Apoteker dari Universitas Bhakti Kencana. 4. Ibu Eka Prasetiawati, S.Si., Apt selaku pembimbing Praktik Kerja Profesi Apoteker dari Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat. 5. Seluruh staf dan karyawan Instalasi Farmasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat. 6. Kedua orang tua, kakak, adik dan seluruh keluarga penulis atas segala doa dan dukungannya baik moril maupun material. 7. Teman-teman Profesi Apoteker serta semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker.



Harapan Penulis, semoga ilmu, pengalaman, dan pengetahuan yang telah didapatkan selama Praktik Kerja Profesi Apoteker di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat dapat bermanfaat di masa yang akan datang.



Bandung,



Maret 2020



Penulis



iii



DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv DAFTAR TABEL ................................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... vi SUMPAH APOTEKER ........................................................................................ vii KODE ETIK APOTEKER ................................................................................... viii PEDOMAN DISIPLIN APOTEKER INDONESIA.............................................. xi BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 1. 1 Latar Belakang Praktik Kerja Profesi Apoteker di Rumah Sakit ............. 1 1. 2 Tujuan Praktik kerja Profesi Apoteker di Rumah Sakit ........................... 2 1. 3 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker ........... 3 BAB II TINJAUAN UMUM .................................................................................. 4 2. 1 Gambaran Umum Rumah Sakit................................................................ 4 2. 2 Gambaran Umum Instalasi Farmasi Rumah Sakit ................................. 15 2. 3 Pengelolaan Perbekalan Farmasi ............................................................ 24 2. 4 Pelayanan Farmasi Klinis ....................................................................... 31 2. 5 Formularium Rumah Sakit ..................................................................... 38 2. 6 Tenaga Kefarmasian ............................................................................... 39 2. 7 Peran Apoteker ....................................................................................... 41 BAB III TINJAUAN KHUSUS RSJ PROVINSI JAWA BARAT ...................... 51 3. 1 Lokasi ..................................................................................................... 51 3. 2 Struktur Organisasi ................................................................................. 54 3. 3 Tugas dan Tanggung Jawab Apoteker ................................................... 56 3. 4 Pengelolaan Perbekalan Farmasi ............................................................ 56 3. 5 Pelayanan Farmasi Klinik....................................................................... 60 3. 6 Administrasi Keuangan .......................................................................... 64 BAB IV TUGAS KHUSUS .................................................................................. 68 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 74 5. 1 Kesimpulan ............................................................................................. 74 5. 2 Saran ....................................................................................................... 74 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 75 LAMPIRAN ......................................................................................................... 76



iv



DAFTAR TABEL Tabel 4. 1 Daftar Temuan Perbekalan Farmasi di Ruang Perawatan RS Jiwa Provinsi Jawa Barat ............................................................................................. 698



v



DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Denah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat ................................ 695 Lampiran 2 Struktur Organisasi Rumah Sakit Jiwa Jawa Barat ........................... 76 Lampiran 3 Struktur IFRS Rumah Sakit Jiwa Jawa Barat .................................... 77 Lampiran 4 Alur Pelayanan Kefarmasian ............................................................. 78 Lampiran 5 BON Permintaan Obat ...................................................................... 79 Lampiran 6 Kartu Stok Obat ................................................................................. 80 Lampiran 7 Nota Penjualan................................................................................... 81 Lampiran 8 Etiket Dan Pengemas ......................................................................... 82 Lampiran 9 Salinan Resep .................................................................................... 83 Lampiran 10 Form Konseling ............................................................................... 84 Lampiran 11 Box Obat Unit Doses Dispensing .................................................... 85 Lampiran 12 Lemari Obat Unit Doses Di Ruang Inap ......................................... 86 Lampiran 13 Lembar E-Purchasing...................................................................... 87 Lampiran 14 Form Serah Terima Obat Dan Alkes ............................................... 88 Lampiran 15 Form Rekonsiliasi Obat ................................................................... 89 Lampiran 16 Contoh Standar Operasional (SOP) ................................................. 90 Lampiran 17 Form Laporan Visite ........................................................................ 91 Lampiran 16 Form Monitoring Efek Samping Obat (MESO) .............................. 92



vi



SUMPAH APOTEKER SAYA BERSUMPAH / BERJANJI AKAN MEMBAKTIKAN HIDUP SAYA GUNA KEPENTINGAN PERIKEMANUASIAAN TERUTAMA DALAM BIDANG KESEHATAN.



SAYA AKAN MERAHASIAKAN SEGALA SESUATU YANG SAYA KETAHUI KARENA PEKERJAAN SAYA DAN KEILMUAN SAYA SEBAGAI APOTEKER.



SEKALIPUN DIANCAM, SAYA TIDAK AKAN MEMPERGUNAKAN PENGETAHUAN KEFARMASIAN SAYA UNTUK SESUATU YANG BERTENTANGAN DENGAN HUKUM PERIKEMANUSIAAN. SAYA AKAN MENJALANKAN TUGAS SAYA DENGAN SEBAIK BAIKNYA SESUAI DENGAN MARTABAT DAN TRADISI LUHUR JABATAN KEFARMASIAN.



DALAM MENUNAIKAN KEWAJIBAN SAYA, SAYA AKAN BERIKHTIAR DENGAN SUNGGUH - SUNGGUH SUPAYA TIDAK TERPENGARUH OLEH PERTIMBANGAN KEAGAMAAN, KEBANGSAAN, KESUKUAN, KEPARTAIAN, ATAU KEDUDUKAN SOSIAL.



SAYA IKRAR SUMPAH / JANJI INI DENGAN SUNGGUH-SUNGGUH DENGAN PENUH KEINSYAFAN.



vii



KODE ETIK APOTEKER MUKADIMAH



Bahwasanya seorang Apoteker di dalam menjalankan tugas kewajibannya serta dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan Tuhan Yang Maha Esa.



Apoteker di dalam pengabdiannya serta dalam mengamalkan keahliannya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji Apoteker. Menyadari akan hal tersebut Apoteker di dalam pengabdian profesinya berpedoman pada satu ikatan moral yaitu:



KODE ETIK APOTEKER INDONESIA BAB I KEWAJIBAN UMUM Pasal 1 Seorang Apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah/Janji Apoteker. Pasal 2 Seorang Apoteker harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati danmengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia. Pasal 3 Seorang Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya. Pasal 4 Seorang Apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang kesehatanpada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya. Pasal 5 Di dalam menjalankan tugasnya Seorang Apoteker harus menjauhkan diri dariusaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dantradisi luhur jabatan kefarmasian.



viii



Pasal 6 Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi oranglain. Pasal 7 Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya. Pasal 8 Seorang Apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perundangundangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi padakhususnya.



BAB II KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP PASIEN Pasal 9 Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat, menghormati hak azasi pasien dan melindungi makhluk hidup insani.



BAB III KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP TEMAN SEJAWAT Pasal 10 Seorang Apoteker harus memperlakukan teman Sejawatnya sebagaimana iasendiri ingin diperlakukan. Pasal 11 Sesama Apoteker harus selalu saling mengingatkan dan saling menasehati untukmematuhi ketentuan-ketentuan Kode Etik. Pasal 12 Seorang Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan kerjasama yang baik sesama Apoteker di dalam memelihara keluhuran martabat jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa saling mempercayai di dalam menunaikan tugasnya.



ix



BAB IV KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP SEJAWAT PETUGAS KESEHATAN LAIN Pasal 13 Seorang Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan menghormati sejawat petugas kesehatan lain. Pasal 14 Seorang Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yangdapat



mengakibatkan



berkurangnya



atau



hilangnya



kepercayaan



masyarakatkepada sejawat petugas kesehatan lain.



BAB V PENUTUP Pasal 15 Seorang Apoteker bersungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan kode etikApoteker Indonesia dalam menjalankan tugas kefarmasiannya sehari-hari.



Jika seorang Apoteker baik dengan sengaja maupun tak sengaja melanggar atau tidak mematuhi kode etik Apoteker Indonesia, maka dia wajib mengakui dan menerima sanksi dari pemerintah, ikatan/organisasi profesi farmasi yang menanganinya (IAI) dan mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.



Ditetapkan di: Jakarta Pada tanggal: 08 Desember 2009



x



PEDOMAN DISIPLIN APOTEKER INDONESIA BAB I PENDAHULUAN Apoteker Indonesia merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang dianugerahi bekal ilmu pengetahuan dan teknologi serta keahlian di bidang kefarmasian, yang dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembangan pribadi warga negara Republik Indonesia, untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, berazaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.



Disiplin Apoteker merupakan tampilan kesanggupan Apoteker untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan sesuai dengan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan praktik yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dapat dijatuhi hukuman disiplin.



Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan, yang pada hakikatnya dapat dikelompokkan dalam tiga hal, yaitu: 1. Melaksanakan praktik Apoteker dengan tidak kompeten. 2. Tugas dan tanggungjawab profesional pada pasien tidak dilaksanakan dengan baik. 3. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan Apoteker. Pelanggaran disiplin berupa setiap ucapan, tulisan, atau perbuatan Apoteker yang tidak menaati kewajiban dan/atau melanggar larangan ketentuan disiplin Apoteker.



BAB II KETENTUAN UMUM 1. Disiplin Apoteker adalah kesanggupan Apoteker untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan praktik yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin.



xi



2. Penegakan Disiplin adalah penegakan aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh Apoteker. 3. Majelis Etik dan Disiplin Apoteker Indonesia yang disingkat MEDAI, adalah organ organisasi profesi Ikatan Apoteker Indonesia yang bertugas membina, mengawasi dan menilai pelaksanaan Kode Etik Apoteker Indonesia oleh Anggota



maupun oleh Pengurus, dan menjaga, meningkatkan dan



menegakkan disiplin apoteker Indonesia. 4. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. 5. Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional, harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 6. Tenaga kefarmasian adalah tenaga kesehatan yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian. 7. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga kesehatan yang membantu Apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian, terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker. 8. Standar Pendidikan Apoteker Indonesia, yang selanjutnya disingkat SPAI adalah pendidikan akademik dan pendidikan profesional yang diarahkan guna mencapai kriteria minimal sistem pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. 9. Kode Etik adalah Kode Etik Apoteker Indonesia yang menjadi landasan etik Apoteker Indonesia. 10. Kompetensi adalah seperangkat kemampuan profesional yang meliputi penguasaan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai (knowledge, skill dan attitude), dalam melaksanakan tugas profesionalnya.



xii



11. Standar



Kompetensi



adalah



seperangkat



tindakan



cerdas



dan



bertanggungjawab yang dimiliki oleh seorang Apoteker sebagai syaratuntuk dinyatakan mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan profesinya. 12. Sertifikat kompetensi profesi adalah surat tanda pengakuan terhadap kompetensi seorang Apoteker untuk dapat menjalankan pekerjaan/praktik profesinya di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi. 13. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap tenaga kefarmasian yang telah memiliki sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu serta diakui secara hukum untuk menjalankan pekerjaan/praktik profesinya. 14. Surat Tanda Registrasi Apoteker, yang selanjutnya disingkat STRA adalah buktitertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Apoteker yang telah diregistrasi. 15. Praktik Apoteker adalah upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. 16. Standar Praktik Apoteker adalah pedoman bagi Apoteker dalam menjalankan praktiknya yang berisi prosedur-prosedur yang dilaksanakan apoteker dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. 17. Surat Izin Praktik Apoteker, yang selanjutnya disingkat SIPA adalah surat izin yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan praktik kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian. 18. Standar Prosedur Operasional, yang selanjutnya disingkat SPO adalah serangkaian instruksi tertulis yang dibakukan mengenai berbagai proses penyelenggaraan aktivitas organisasi, bagaimana dan kapan harus dilakukan, dimana dan oleh siapa dilakukan. 19. Surat Izin Kerja Apoteker, yang selanjutnya disebut SIKA adalah surat izin praktik yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas produksi atau fasilitas distribusi atau penyaluran. 20. Organisasi profesi adalah organisasi tempat berhimpun para Apoteker di Indonesia.



xiii



BAB III LANDASAN FORMAL 1. Undang-Undang Nomor 419 Tahun 1949 tentang Obat Keras. 2. Undang-Undang tentang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. 3. Undang-Undang tentang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 5. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. 6. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1962 tentang Sumpah Apoteker. 7. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan. 8. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. 9. Peraturan Menteri Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan, dan peraturan turunannya. 10. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Apoteker Indonesia (IAI),Kode Etik Apoteker Indonesia, serta peraturan-peraturan organisasi lainnya yang dikeluarkan oleh IAI.



BAB IV BENTUK PELANGGARAN DISIPLIN APOTEKER 1. Melakukan praktik kefarmasian dengan tidak kompeten. 2. Penjelasan: Melakukan Praktik kefarmasian tidak dengan standar praktik Profesi/standar



kompetensi



yang



benar,



sehingga



berpotensi



menimbulkan/mengakibatkan kerusakan, kerugian pasien atau masyarakat. 3. Membiarkan berlangsungnya praktek kefarmasian yang menjadi tanggung jawabnya, tanpa kehadirannya, ataupun tanpa Apoteker pengganti dan/atau Apoteker pendamping yang sah. 4. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu dan/atau tenagatenaga lainnya yang tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. 5. Membuat keputusan profesional yang tidak berpihak kepada kepentingan pasien/masyarakat.



xiv



6. Tidak memberikan informasi yang sesuai, relevan dan “up to date” dengan cara yang mudah dimengerti oleh pasien/masyarakat, sehingga berpotensi menimbulkan kerusakan dan/ atau kerugian pasien. 7. Tidak membuat dan/atau tidak melaksanakan Standar Prosedur Operasional sebagai Pedoman Kerja bagi seluruh personil di sarana pekerjaan/pelayanan kefarmasian, sesuai dengan kewenangannya. 8. Memberikan sediaan farmasi yang tidak terjamin “mutu”, “keamanan”, dan “khasiat/manfaat” kepada pasien. 9. Melakukan pengadaan (termasuk produksi dan distribusi) obat dan/atau bahan baku obat, tanpa prosedur yang berlaku, sehingga berpotensi menimbulkan tidak terjaminnya mutu, khasiat obat. 10. Tidak menghitung dengan benar dosis obat, sehingga dapat menimbulkan kerusakan atau kerugian kepada pasien. 11. Melakukan penataan, penyimpanan obat tidak sesuai standar, sehingga berpotensi menimbulkan penurunan kualitas obat. 12. Menjalankan praktik kefarmasian dalam kondisi tingkat kesehatan fisik ataupun mental yang sedang terganggu sehingga merugikan kualitas pelayanan profesi. 13. Dalam penatalaksanaan praktik kefarmasian, melakukan yang seharusnya tidakdilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa alasan pembenar yang sah, sehingga dapat membahayakan pasien. 14. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan dalam pelaksanaan praktik swamedikasi (self medication) yang tidak sesuai dengan kaidah pelayanan kefarmasian. 15. Memberikan penjelasan yang tidak jujur, dan/atau tidak etis, dan/atau tidak objektif kepada yang membutuhkan. 16. Menolak atau menghentikan pelayanan kefarmasian terhadap pasien tanpa alasan yang layak dan sah. 17. Membuka rahasia kefarmasian kepada yang tidak berhak. 18. Menyalahgunakan kompetensi Apotekernya.



xv



19. Membuat catatan dan/atau pelaporan sediaan farmasi yang tidak baik dan tidak benar. 20. Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) atau Surat Izin Praktik Apoteker/Surat Izin kerja Apoteker (SIPA/SIKA) dan/atau sertifikat kompetensi yang tidak sah. 21. Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat bukti lainnya yang diperlukan MEDAI untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan pelanggaran disiplin. 22. Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan/pelayanan yang dimiliki, baik lisan ataupun tulisan, yang tidak benar atau menyesatkan. 23. Membuat keterangan farmasi yang tidak didasarkan kepada hasil pekerjaan yang diketahuinya secara benar dan patut.



BAB V SANKSI DISIPLIN Sanksi disiplin yang dapat dikenakan oleh MEDAI berdasarkan Peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah: 1. Pemberian peringatan tertulis; 2. Rekomendasi pembekuan dan/atau pencabutan Surat Tanda Registrasi Apoteker, atau Surat Izin Praktik Apoteker, atau Surat Izin Kerja Apoteker; dan/atau 3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan apoteker.



Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik yang dimaksud dapat berupa: 1. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik sementara selama-lamanya 1 (satu) tahun; atau 2. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik tetap atau selamanya.



Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan apoteker yang dimaksud dapat berupa:



xvi



a. Pendidikan formal; atau b. Pelatihan dalam pengetahuan dan atau ketrampilan, magang di institusi pendidikan atau sarana pelayanan kesehatan jejaringnya atau sarana pelayanankesehatan yang ditunjuk, sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.



BAB VI PENUTUP Pedoman disiplin apoteker indonesia ini disusun untuk menjadi pedoman bagi Majelis Etik dan Disiplin Apoteker Indonesia (MEDAI) dalam menetapkan ada/atau tidak adanya pelanggaran disiplin oleh para praktisi dibidang farmasi, serta menjadi rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar oleh para praktisi tersebut agar dapatmenjalankan praktik kefarmasian secara profesional.



Dengan



ditegakkannya



disiplin



kefarmasian



diharapkan



pasien



akan



terlindungidari pelayanan kefarmasian yang kurang bermutu; dan meningkatnya mutupelayanan apoteker; serta terpeliharanya



martabat



dan kehormatan



profesikefarmasian.



Standar



Kompetensi



Apoteker



Indonesia



terdiri



dari



10



(sepuluh)



standarkompetensi. Kompetensi dalam sepuluh standar tersebut merupakan persyaratanuntuk memasuki dunia kerjadan menjalani praktik profesi.



xvii



STANDAR KOMPETENSI APOTEKER INDONESIA



1. Praktik kefarmasian secara profesional dan etik 2. Optimalisasi penggunaan sediaan farmasi 3. Dispensing sediaan farmasi dan alat kesehatan 4. Pemberian informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan 5. Formulasi dan produksi sediaan farmasi 6. Upaya preventif dan promotif kesehatan masyarakat 7. Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan 8. Komunikasi efektif 9. Keterampilan organisasi dan hubungan interpersonal 10. Peningkatan kompetensi diri



xviii



BAB I PENDAHULUAN



1. 1



Latar Belakang Praktik Kerja Profesi Apoteker di Rumah Sakit



Kesehatan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Secara umum kesehatan merupakan hal yang paling utama yang sangat diperlukan dalam diri setiap orang. Rumah Sakit adalah institusi pelayanan dan pembangunan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah sakit ditunjang oleh segala fasilitas dan kegiatan untuk penghantaran pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Pelayanan farmasi rumah sakit berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat dan alat kesehatan yang bermutu serta Bahan Medis Habis Pakai, termasuk pelayanan farmasi klinik, yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.



Menurut WHO (World Health Organization) masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh dunia sudah menjadi masalah yang sangat serius. World Health Organization menyatakan paling tidak ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental, diperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Hal tersebut didukung oleh data WHO bahwa 26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa. Gejala paling ringan dari gangguan jiwa adalah panik dan cemas. Kira-kira 12-16 % atau 26 juta dari total populasi mengalami gejala-gejala gangguan jiwa. The Indonesian Psychiatric Epidemiologic Network menyatakan bahwa di 11 kota di Indonesia ditemukan 18,5 % dari penduduk dewasa menderita gangguan jiwa.



Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa. Upaya kesehatan jiwa teridiri atas preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif pasien gangguan jiwa dan masalah



1



2



psikososial. Upaya kesehatan jiwa menjadi tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.



Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu dari sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan jiwa. Rumah sakit ini merupakan unit pelayanan kesehatan jiwa yang paling kompleks serta difungsikan oleh berbagai kesatuan personel terlatih, terdidik dan tenaga ahli dalam menghadapi dan menangani masalah medik modern yang semuanya terikat bersama-sama dengan maksud yang sama yaitu untuk pemulihan serta pemeliharaan kesehatan yang baik terutama masalah kesehatan jiwa.



Untuk mempersiapkan sumber daya manusia, khususnya menciptakan apoteker yang handal dan mampu menghadapi tantangan dalam mengikuti perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan di bidang farmasi, maka dilaksanakan program Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di rumah sakit sebagai sarana pelatihan, pengalaman, dan pendidikan guna menambah wawasan pengetahuan di bidang pekerjaan farmasi, pelayanan kesehatan, pengalaman serta keprofesionalan dalam melakukan suatu bidang pekerjaan dan secara langsung dapat melihat dan mengetahui masalah kesehatan yang ada pada masyarakat dengan menerapkan keterampilan dan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh Dengan program ini diharapkan mahasiswa profesi apoteker mendapatkan bekal untuk memasuki dunia kerja suatu hari nanti.



1. 2



Tujuan Praktik kerja Profesi Apoteker di Rumah Sakit



Tujuan dari Praktik Kerja Profesi Apotek bagi mahasiswa Profesi Apoteker adalah: 1. Meningkatkan pemahaman calon apoteker tentang peran, fungsi, posisi, dan tanggung jawab apoteker dan meningkatkan wawasan, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman praktis untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di rumah sakit.



3



2. Memberi kesempatan kepada calon apoteker untuk melihat langsung dan mempelajari strategi dan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka pengembangan praktik farmasi komunitas di rumah sakit. 3. Meningkatkan pemahaman calon apoteker mengenai manajemen rumah sakit dalam mengelola perbekalan farmasi di rumah sakit.



1. 3



Waktudan Tempat Pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker



Praktek Kerja Profesi Apoteker ini dilaksanakan selama 2 bulan, yakni dari tanggal 2 Januari hingga 28 Februari 2020 di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat Jl. Kolonel Masturi Km 7, Cisarua, Kab. Bandung Barat.



BAB IITINJAUAN UMUM



2. 1 Gambaran Umum Rumah Sakit Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 tahun 2016, Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dinyatakan bahwa Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya manusia, kefarmasian, dan peralatan. Persyaratan kefarmasian harus menjamin ketersediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang bermutu, bermanfaat, aman, dan terjangkau. Selanjutnya dinyatakan bahwa pelayanan Sediaan Farmasi di Rumah Sakit harus mengikuti Standar Pelayanan Kefarmasian yang selanjutnya diamanahkan untuk diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan. Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan: 1.



Mempermudah



akses



masyarakat



untuk mendapatkan pelayanan



kesehatan 2.



Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit



3.



Meningkatkan



mutu



dan



mempertahankan



standar



pelayanan rumah



sakit; dan 4.



Memberikan



kepastian



hukum



kepada



pasien, masyarakat, sumber



dayamanusia rumahsakit, dan Rumah Sakit.



2.1.1 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna.Pelayanan kesehatan paripurna adalah pelayanan kesehatan



yang



meliputi promotif, preventif, kuratif,danrehabilitative. Adapun fungsi Rumah Sakit antara lain:



4



5



1.



Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.



2.



Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.



3.



Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan



4.



Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.



2.1.2 Klasifikasi Rumah Sakit Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan Rumah Sakit dikategorikan: 1.



Rumah Sakit Umum



Rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. Klasifikasinya adalah : a.



Rumah Sakit Umum Kelas A Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 Rumah Sakit umum kelas A merupakan Rumah Sakit Umum yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 250 (dua ratus lima puluh) buah. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, Rumah Sakit kelas A harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 5 (lima) pelayanan medik spesialis dasar (penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, obstetri dan ginekologi), 5



(lima) pelayanan



spesialis



penunjang medik (anestesiologi, radiologi, patologi klinik, patologi anatomi, dan rehabilitasi medik), 12 (dua belas) pelayanan medic spesialis lain (mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf,jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru,orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah plastik, dan kedokteran forensic), 13 (tiga belas) pelayanan medik sub spesialis (subspesialis di bidang spesialisasi bedah, penyakit dalam, kesehatan



6



anak, obstetric dan ginekologi, mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah plastik, dan gigi mulut), dan 7 (tujuh) pelayanan medik spesialis gigi dan mulut (pelayanan bedah mulut, konservasi/endodonsi, periodonti, orthodonti, prosthodonti, pedodonsi dan penyakit mulut). Kriteria berdasarkan pelayanannya tenaga medis terdiri dari: 1) 18 (delapan belas) dokter umum untuk pelayanan medik dasar 2) 4 (empat) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut 3) 6 (enam) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis dasar 4) 3 (tiga) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis penunjang 5) 3 (tiga) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis lain 6) 2 (dua) dokter subspesialis untuk setiap jenis pelayanan medik subspesialis 7) 1 (satu) dokter gigi spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis gigi mulut. Kriteria berdasarkan pelayanannya tenaga kefarmasian terdiri dari: 1) 1 (satu) apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit 2) 5 (lima) apoteker yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling sedikit 10 (sepuluh) tenaga teknis kefarmasian 3) 5 (lima) apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 10 (sepuluh) tenaga teknis kefarmasian 4) 1 (satu) apoteker di instalasi gawat darurat yang dibantu oleh minimal 2 (dua) tenaga teknis kefarmasian 5) 1 (satu) apoteker di ruang ICU yang dibantu oleh paling sedikit 2 (dua) tenaga teknis kefarmasian 6) 1 (satu) apoteker sebagai koordinator penerimaan dan distribusi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit



7



7) 1 (satu) apoteker sebagai koordinator produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit. b.



Rumah Sakit Umum Kelas B Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 Rumah Sakit umum kelas B merupakan Rumah Sakit Umum yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 200 (dua ratus lima puluh) buah.Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, Rumah Sakit kelas B harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) pelayanan medik spesialis dasar (penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi), 4 (empat) pelayanan spesialis penunjang medik (anestesiologi, radiologi, patologi klinik, patologi anatomi, dan rehabilitasi medik), 8 (delapan) pelayanan medik spesialis lain (pelayanan mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah plastik, dan kedokteran forensik ), dan 2 (dua) pelayanan medik sub spesialis dasar dari 4 (empat) subspesialis dasar yang meliputi pelayanan subspesialis di bidang (spesialisasi bedah, penyakit dalam, kesehatan anak, dan obstetri dan ginekologi), Pelayanan medik spesialis gigi dan mulut paling sedikit berjumlah 3 (tiga) pelayanan yang meliputi pelayanan bedah mulut, konservasi/endodonsi, dan orthodonti. Kriteria berdasarkan pelayanannya tenaga medis terdiri dari: 1) 12 (dua belas) dokter umum untuk pelayanan medik dasar 2) 3 (tiga) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut 3) 3 (tiga) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis dasar; 4) 2 (dua) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis penunjang; 5) 1 (satu) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis lain; 6) 1 (satu) dokter subspesialis untuk setiap jenis pelayanan medik subspesialis; dan



8



7) 1 (satu) dokter gigi spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis gigi mulut. Kriteria berdasarkan pelayanannya tenaga kefarmasian terdiri dari: 1) 1 (satu) orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit 2) 4 (empat) apoteker yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling sedikit 8 (delapan) orang tenaga teknis kefarmasian 3) 4 (empat) orang apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 8 (delapan) orang tenaga teknis kefarmasian 4) 1 (satu) orang apoteker di instalasi gawat darurat yang dibantu oleh minimal 2 (dua) orang tenaga teknis kefarmasian 5) 1 (satu) orang apoteker di ruang ICU yang dibantu oleh paling sedikit 2 (dua) orang tenaga teknis kefarmasian 6) 1 (satu) orang apoteker sebagai koordinator penerimaan dan distribusi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit; dan 7) 1 (satu) orang apoteker sebagai koordinator produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit. c.



Rumah Sakit Umum Kelas C Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 Rumah Sakit umum kelas C merupakan Rumah Sakit Umum yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 100 (dua ratus lima puluh) buah.Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, Rumah Sakit kelas C harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) pelayanan medik spesialis dasar (penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi), dan 4(empat) pelayanan spesialis penunjang medik (pelayanan anestesiologi, radiologi, dan patologi klinik) dan



9



pelayanan medik spesialis gigi dan mulut, paling sedikit berjumlah 1 (satu) pelayanan. Kriteria berdasarkan pelayanannya tenaga medis terdiri dari : 1) 9 (sembilan) dokter umum untuk pelayanan medik dasar 2) 2 (dua) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut 3) 2 (dua) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis dasar 4) 1 (satu) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis penunjang; dan 5) 1 (satu) dokter gigi spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis gigi mulut. Kriteria berdasarkan pelayanan tenaga kefarmasian terdiri dari : 1) 1 (satu) orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit; 2) 2 (dua) apoteker yang bertugas di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 4 (empat) orang tenaga teknis kefarmasian; 3) 4 (empat) orang apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 8 (delapan) orang tenaga teknis kefarmasian; 4) 1 (satu) orang apoteker sebagai koordinator penerimaan, distribusi dan produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit. d.



Rumah Sakit Umum Kelas D Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020Rumah Sakit umum kelas D merupakan Rumah Sakit Umum yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 50 (dua ratus lima puluh) buah. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, Rumah Sakit kelas D harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) pelayanan medik spesialis dasar. Kriteria berdasarkan pelayanannya terdiri dari: 1) 4(empat) orangdokter umum untuk pelayanan medik dasar



10



2) 1 (satu) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut 3) 1 (satu)orang dokterspesialisuntuk setiapjenispelayanan medik spesialis dasar. Kriteria berdasarkan pelayanan tenaga kefarmasian terdiri dari: 1) 1 (satu) orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit; 2) 1 (satu) apoteker yang bertugas di rawat inap dan rawat jalan yang dibantu oleh paling sedikit 2 (dua) orang tenaga teknis kefarmasian; 3) 1 (satu) orang apoteker sebagai koordinator penerimaan, distribusi dan produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.



2.



Rumah Sakit Khusus



Rumah Sakit khusus terdiri dari rumah sakit ibu dan anak, rumah sakit mata, rumah sakit otak, rumah sakit gigi dan mulut, rumah sakit kanker, rumah sakit jantung dan pembuluh darah, rumah sakit jiwa, rumah sakit infeksi, rumah sakit paru, rumah sakit Telinga-Hidung-Tenggorokan, rumah sakit bedah, rumah sakit ketergantungan obat dan rumah sakit ginjal. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2014 Rumah sakit khusus harus mempunyai fasilitas dan kemampuan terdiri dari: a. Pelayanan, yang diselengarakan meliputi: 1) Pelayanan gawat darurat, tersedia 24 jam sehari terus menerus 2) Pelayanan medik umum 3) Pelayanan medik spesialis dasar sesuai dengan kekhususan 4) Pelayanan medik spesialis dan/atau subspesialis sesuai kekhususan 5) Pelayanan medik spesialis penunjang b. Pelayanan kefarmasian c. Pelayanan keperawatan d. Pelayanan penunjang klinik e. Pelayanan penunjang nonklinik



11



2.1.3 Struktur Organisasi Rumah Sakit Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 setiap Rumah Sakit harus memiliki organisasi yang efektif, efisien dan akuntabel. Organisasi Rumah Sakit paling sedikit terdiri atas kepala Rumah Sakit atau Direktur Rumah Sakit, unsur pelayanan medik, unsur keperawatan, unsur penunjang medis, komite medis, satuan pemeriksaan internal, serta administrasi umum dan keuangan. Kepala Rumah Sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan. Tenaga struktural yang menduduki jabatan sebagai pimpinan harus berkewarganegaraan Indonesia. Pemilik Rumah Sakit tidak boleh merangkap menjadi kepala Rumah Sakit.



2.1.4 Akreditasi Rumah Sakit Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 12 tahun 2012 tentang Akreditasi Rumah Sakit, akreditasi adalah pengakuan terhadap rumah sakit yang diberikan oleh lembaga independen penyelenggara akreditasi yang ditetapkan oleh menteri, setelah dinilai bahwa rumah sakit itu memenuhi standar pelayanan rumah sakit yang berlaku untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit secara berkesinambungan.Instrumen Akreditasi adalah alat ukur yang dipakai oleh lembaga independen penyelenggara Akreditasi untuk menilai rumah sakit dalam memenuhi standar pelayanan rumah sakit. Akreditasi bertujuan untuk: 1.



Meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit;



2.



Meningkatkan keselamatan pasien rumah sakit;



3.



Meningkatkan perlindungan bagi pasien, masyarakat, sumber daya manusia Rumah sakit dan rumah sakit sebagai institusi; dan



4.



Mendukung program pemerintah di bidang kesehatan.



Persiapan survei akreditasi dimulai setelah Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) menerima surat permohonan untuk dilakukan survei akreditasi Rumah Sakit dan lengkap berkas permohonan survei akreditasi rumah sakit. Berkas permohonan survei akreditasi rumah sakit dapat diunduh dari situs KARS (www.kars.or.id). Dimana kedua belah pihak (rumah sakit dan KARS) membuat persiapan



untuk



pelaksanaan



survei.



Untuk



membantu



rumah



sakit



12



mempersiapkan diri, KARS menyediakan beberapa jenis kegiatan seminar, lokakarya (workshop), bimbingan dan survei simulasi akreditasi. Persiapan rumah sakit untuk akreditasi rumah sakit sebagai berikut: a. Pimpinan rumah sakit mengisi berkas permohonan survei akreditasi dan hasil self asesmen (minimal capaian 80% untuk setiap BAB) dan mengirimkan ke KARS paling lambat 1 (satu) bulan sebelum jadwal survei yang diinginkan. Untuk akreditasi ulang, surat permohonan survei yang dilengkapi dengan isian berkas permohonan survei harus diterima KARS 3 (tiga) bulan sebelum habis masa berlaku sertifikat. b. Survei akreditasi dapat dilaksanakan apabila pimpinan tertinggi dirumah sakit (Direktur Utama/Kepala) sudah memenuhi ketentuan pasal 34 undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit yaitu: 1) Kepala rumah sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian dibidang perumahsakitan. 2) Tenaga struktural yang menduduki jabatan sebagai pimpinan harus berkewarganegaraan Indonesia. 3) Pemilik rumah sakit tidak boleh merangkap menjadi kepala rumah sakit. c. Pemimpin rumah sakit menandatangani perjanjian kontrak survei dan mengirimkan ke KARS selambat-lambatnya 10 hari kerja sebelum pelaksanaan kerja. d. Pimpinan rumah sakit menandatangani surat pernyatan tentang kesediaan pemimpin tertinggi rumah sakit untuk berada di rumah sakit selam proses survei dan mengirimkan kembali ke KARS paling lambat 10 hari kerja sebelum pelaksanaan survei. e. Setelah pemberitahuan jadwal survei dari KARS makan rumah sakit harus: 1) Segera melunasi biaya survei akreditasi paling lambat 10 (Sepuluh) hari kerja sebelum pelaksanaan survei. Bukti transfer di kirimkan dengan faksimil atau e-mail ke KARS. 2) Menghubungi sekretariat Komisi Akredistasi rumah sakit, untuk melakukan koordinasi dan membahas rencana pelaksanaan survei di rumah sakit tersebut.



13



3) Bila diperlukan rumah sakit mengirimkan e-file (digital) kebijakan, pedoman dan SPO yang terlampir ke KARS untuk di telaah terlebih dahulu oleh surveior. 4) Mempersiapkan dokumen yang diperlukan pada waktu survei ditempat, antara lain sebagai berikut: a) Struktur Organisasi Rumah Sakit. b) Daftar akurat dari pasien yang menerima pelayanan pada saat pelaksanaan survei, termasuk diagnosa, umur, unit pelayanan, dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) dan tanggal dirawat. c) Program peningkatan mutu dan keselamatan pasien, monitoring dan data indikator yang harus ada d) Panduan praktek klinis, alur klinis ( clinical pathwya). e) Proaktif kajian resiko, seperti Failure Mode And Effect Analysis (FMEA), Hazard Vulnerubility Analysis (HVA) dan Infection Control Risk Assessment (ICRA). f) Rencana rumah sakit (misalnya facility management and safety plan) g) Kebijakan dan prosedur yang dipersyaratkan, dokumen tertulis atau bylaws. h) Daftar operasi dan tindakan invasif yang dicarakan pada waktu survei, termasuk operasi dikamar operasi, day surgery, kateterisasi jantung, endoskopi/kolonoskopi dan fertilisasi in vitro. i) Contoh formulir semua rekam medis j) Daftar kebijakan, prosedur, pedoman dan program yang dibutuhkan. 5) Memberitahu dinas kesehatan provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota tanggal pelaksanaan survei akreditasi rumah sakit. Persiapan komisi akreditasi rumah sakit sebagai berikut: a.



KARS menerima aplikasi permohonan survei dari rumah sakit dan hasil self asesmen rumah sakit serta perjanjian kontrak dan surat pernyataan Direktur rumah sakit.



b.



KARS memberitahu tanggal pelaksanaan survei, biaya survei yang dilampiri jadwal acara kegiatan survei, yang dikirimkan ke rumah sakit paling lambat 10 hari sebelum tanggal pelaksanaan survei.



14



c.



KARS menetapkan tim surveior akreditasi rumah sakit dengan jumlah tim 3-7 orang surveior, masa survei 2-4 hari, tergantung besar dan kompleksitas rumah sakit.



d.



KARS menetapkan Ketua Tim Surveior Akreditasi Rumah Sakit



e.



KARS memberitahu nama dan nomor HP kontak person dari rumah sakit ke ketua tim survei.



f.



Ketua tim survei mempunyai tugas sebagai berikut: 1) Menghubungi rumah sakit paling lambat 3 hari sebelum survei untuk koordinasi dan membahas rencana pelaksanaan survei akreditasi di rumah sakit tersebut. 2) Menetapkan area dan jenis pelayanan yang dicakup dalam telaahan dan mengharuskan keberadaan staf yang terlibat di setiap kegiatan survei.



2.1.5 Tim Farmasi dan Terapi (TFT) Dalam pengorganisasian Rumah Sakit dibentuk Tim Farmasi dan Terapi (TFT) yang merupakan unit kerja dalam memberikan rekomendasi kepada pimpinan Rumah Sakit mengenai kebijakan penggunaan obat di Rumah Sakit yang anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili semua spesialisasi yang ada di Rumah Sakit, Apoteker Instalasi Farmasi, serta tenaga kesehatan lainnya apabila diperlukan. TFT harus dapat membina hubungan kerja dengan komite lain di dalam Rumah Sakit yang berhubungan/berkaitan dengan penggunaan obat.Ketua TFT dapat diketuai oleh seorang dokter atau seorang apoteker. Apabila diketuai oleh dokter maka sekretarisnya adalah apoteker namun apabila diketuai oleh Apoteker sekretarisnya adalah dokter. TFT harus mengadakan rapat secara teratur sedikitnya 2 bulan sekali dan untuk rumah sakit besar rapat diadakan sekali dalam satu bulan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014 TFT mempunyai tugas: 1.



Mengembangkan kebijakan tentang penggunaan obat di Rumah Sakit;



2.



Melakukan seleksi dan evaluasi obat yang akan masuk dalam FRS;



3.



Mengembangkan standar terapi;



4.



Mengidentifikasi permasalahan dalam penggunaan obat;



5.



Melakukan intervensi dalam meningkatkan penggunaan obat yang rasional;



15



6.



Mengkoordinir penatalaksanaan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki;



7.



Mengkoordinir penatalaksanaan medication error;



8.



Menyebarluaskan informasi terkait kebijakan penggunaan obat di Rumah Sakit.



2.1.6 Tim Terkait Penggunaan Obat di Rumah Sakit Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014 Tim lain yang terkait dengan tugas Instalasi Farmasi Rumah Sakit dapat di bentuk sesuai dengan peran dan kebutuhan. Adapun peran Apoteker dalam Tim lain yang terkait penggunaan obat di Rumah Sakit antara lain: 1.



Tim Pengendalian Infeksi Rumah Sakit;



2.



Tim Keselamatan Pasien rumah Sakit;



3.



Tim Mutu Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit;



4.



Tim Perawatan paliatif dan bebas nyeri;



5.



Tim Penanggulangan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndromes);



6.



Tim Direct Observed Treatment Shortcourse (DOTS);



7.



Tim Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA);



8.



Tim Transplantasi;



9.



Tim PKMRS; atau



10. Tim Rumatan Metadon.



2. 2 Gambaran Umum Instalasi Farmasi Rumah Sakit Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah suatu departemen atau unit atau bagian di suatu rumah sakit di bawah pimpinan seorang Apoteker dan dibantu oleh beberapa orang apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan perundangundangan yang berlaku dan kompeten secara profesional, tempat atau fasilitas penyelenggaraan yang bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan serta pelayanan kefarmasian, yang ditujukan untuk keperluan rumah sakit itu sendiri. 2.2.1 Tugas dan Fungsi Instalasi Farmasi Sakit



16



Pengorganisasian Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus mencakup penyelenggaraan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai, pelayanan farmasi klinik dan manajemen mutu, dan bersifat dinamis dapat direvisi sesuai kebutuhan dengan tetap menjaga mutu.Tugas Instalasi Farmasi Rumah Sakit, meliputi: 1.



Menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan Pelayanan Kefarmasian yang optimal dan profesional serta sesuai prosedur dan etik profesi;



2.



Melaksanakan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang efektif, aman, bermutu dan efisien;



3.



Melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai guna memaksimalkan efek terapi dan keamanan serta meminimalkan risiko;



4.



Melaksanakan Komunikasi, Edukasi dan Informasi (KIE) serta memberikan rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien;



5.



Berperan aktif dalam Tim Farmasi dan Terapi;



6.



Melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan Pelayanan Kefarmasian;



7.



Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan FRS.



Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit, meliputi: 1.



Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai; a. Memilih Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai kebutuhan pelayanan Rumah Sakit; b. Merencanakan kebutuhan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai secara efektif, efisien dan optimal; c. Mengadakan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan yang berlaku; d. Memproduksi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit; e. Menerima Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai



17



sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku; f. Menyimpan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian; g. Mendistribusikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai ke unit-unit pelayanan di Rumah Sakit; h. Melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu; i. Melaksanakan pelayanan obat “unit dose”/dosis sehari; j. Melaksanakan komputerisasi pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai (apabila sudah memungkinkan); k. Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai; l. Melakukan pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang sudah tidak dapat digunakan; m. Mengendalikan persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai; n. Melakukan administrasi pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai. 2. Pelayanan farmasi klinik a. Mengkaji dan melaksanakan pelayanan Resep atau permintaan Obat; b. melaksanakan penelusuran riwayat penggunaan Obat; c. melaksanakan rekonsiliasi Obat; d. memberikan informasi dan edukasi penggunaan Obat baik berdasarkan Resep maupun Obat non Resep kepada pasien/keluarga pasien; e. mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai; f. melaksanakan visite mandiri maupun bersama tenaga kesehatan lain; g. memberikan konseling pada pasien dan/atau keluarganya; h. melaksanakan Pemantauan Terapi Obat (PTO) 1) Pemantauan efek terapi Obat; 2) Pemantauan efek samping Obat; 3) Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD). i. melaksanakan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);



18



j. melaksanakan dispensing sediaan steril 1) Melakukan pencampuran Obat suntik 2) Menyiapkan nutrisi parenteral 3) Melaksanakan penanganan sediaan sitotoksik 4) Melaksanakan pengemasan ulang sediaan steril yang tidak stabil k. melaksanakan Pelayanan Informasi Obat (PIO) kepada tenaga kesehatan lain, pasien/keluarga, masyarakat dan institusi di luar Rumah Sakit; l. melaksanakan Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS).



2.2.2 Struktur Organisasi IFRS Instalasi farmasi menetapkan struktur organisasi sesuai dengan ruang lingkup pelayanan farmasi dan sumber yang ada. Terutama sumber daya manusia. Struktur organisasi tersebut harus menggambarkan garis tanggung jawab dan wewenang, koordinasi serta alur komunikasi. Struktur organisasi umumnya terdiri atas berbagai unit fungsional yaitu: -



Pengadaan/pembeliaan/penyimpanan;



-



Produksi dan pengemasan;



-



Sentra sterilisasi;



-



Penyediaan dan pelayanan obat PRT;



-



Penyediaan dan pelayanan obat PRJ;



-



Pelayanan klinik untuk penderita dan program rumah sakit;



-



Sentra informasi obat/keracunan;



-



Jaminan mutu dan dokumentasi sistem mutu;



-



Pendidikan/pelatihan;



-



Penelitian; dan



-



Laboratorium pengujian mutu serta laboratorium farmakokinetika.



Uraian fungsi dari tiap unit fungsional tersebut harus terdokumentasi dalam panduan mutu, demikian juga uraian tugas seluruh staf pengelola. Tiap unit fungsional dalam struktur organisasi tersebut dikelola oleh seorang apoteker penanggung jawab yang di sebut dengan manajer teknis, dibantu oleh beberapa penyedia. Manajer teknis adalah seorang apoteker yang telah berpengalaman



19



dalam seluruh tugas dan fungsi IFRS terutama dalam unit fungsional yang di pimpinnya.



Perwakilan manajemen untuk jaminan mutu yang disebut dengan manajer mutu, adalah seorang apoteker tertentu yang dipilih dan diberikan wewenang untuk mengelola dan memantau, mengevaluasi, dan mengkoordinasikan proses sistem manajemen mutu. Manajer mutu harus melapor kepada kepala IFRS dan mengkomunikasikan kepada konsumen serta pihak lainnya tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan sistem manajemen mutu. Manajer mutu bertanggung jawab untuk mendesain dan mengembangkan sistem mutu yang sesuai dengan kebijakan mutu IFRS. Memfasilitasi penerapan sistem, mengkoordinasikan seluruh kegiatan menuju pencapaian tujuan mutu, memantau keefektifan dari sistem mutu melalui audit terorganisasi tentang unjuk kerja mutu dan melaporkan kepada kepala IFRS, serta merupakan penghubung dengan pihak eksternal seperti badan sertifikasi.



2.2.3 Sumber Daya Manusia Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2016 Instalasi farmasi harus memiliki Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian yang sesuai dengan beban kerja dan petugas penunjang lain agar tercapai sasaran dan tujuan instalasi farmasi rumah sakit. Kualifikasi Sumber Daya Manusia (SDM) berdasarkan pekerjaan yang dilakukan. 1. Kualifikais SDM instalasi farmasi diklasifikasikan sebagai berikut: a) Untuk pekerjaan kefarmasian terdiri dari: 1) Apoteker 2) Tenaga Teknis Kefarmasian b) Untuk pekerjaan penunjang terdiri dari: 1) Operator Komputer/ teknisi yang memahami kefarmasian 2) Tenaga Administrasi 3) Pekarya/pembantu pelaksana 2. Persyaratan SDM Pelayanan kefarmasian harus dilakukan oleh Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian. Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan pelayanan



20



Kefarmasian harus dibawah supervisi Apoteker. Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus dikepalai oleh seorang Apoteker yang merupakan Apoteker penanggung jawab seluruh pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit. Kepala Instalasi Farmasi Rumamh Sakit diutamakan telah memiliki pengalaman bekerja di instalasi farmasi rumah sakit minimal 3 (tiga) tahun. 3. Beban Kerja dan Kebutuhan a.



Beban Kerja Dalam perhitungan beban kerja perlu diperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh pada kegiatan yang dilakukan yaitu: 1) Kapasitas tempat tidur dan Bad Occupancy Rate (BOR) 2) Jumlah dan jenis kegitan farmasi yang dilakukan (manajemen, klinik dan produksi); 3) Jumlah resep atau formulir permintaan obat (floor stock) perhari; dan 4) Volume sediaan farmasi, alat kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.



b.



Perhitungan Beban Kerja Perhitungan kebutuhan Apoteker berdasarkan beban kerja pada pelayanan kefarmasian dirawat inap yang meliputi pelayanan farmasi manajerial dan pelayanan farmais klinik dengan aktifitas pengkajian resep, penelurusan riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat, pematauan terapi obat, pemberian informasi obat, konseling, edukasi dan visite, idealnya dibutuhkan tenaga Apoteker dengan rasio 1 Apoteker untuk 30 pasien. Perhitungan kebutuhan Apoteker berdasarkan beban kerja pada pelayanan kefarmasian di rawat jalan yang meliputi pelayanan farmasi manajerial dan pelayanan farmasi klinik dengan aktifitas pengkajian resep, penyerahan obat, Pencatatan Penggunaan Obat (PPP) dan konseling, idealnya dibutuhkan tenaga Apoteker dengan rasio 1 Apoteker untuk 50 pasien. Kebutuhan tenaga Apoteker juga diperlukan untuk pelayanan farmasi yang lain seperti di unit logistik medik/distribusi, unit produksi steril/aseptic dispensing, unit pelayanan informasi obat dan lain-lain tergantung pada jenis aktifitas dan tingkat cakupan pelayanan yang dilakukan oleh instalasi



21



farmasi. Diperlukan juga masing-masing 1 (satu) orang Apoteker untuk kegiatan pelayanan kefarmasian di ruang tertentu yaitu: 1) Unit Gawat Darurat; 2) Intensive Care Unit (ICU)/ Intensive Cardiac Care Unit (ICCU)/ Neonatus Intensive Care Unit (NICU)/ Pediatric Intensive Care Unit (PICU); 3) Pelayanan Informasi Obat. c.



Pengembangan staf dan program pendidikan Peran Kepala Instalasi Farmasi dalam pengembangan staf dan program pendidikan meliputi: 1) Menyusun program orientasi staf baru, pendidikan dan pelatihan berdasarkan kebutuhan pengembangan kompetensi SDM. 2) Menentukan dan mengirim staf sesuai dengan spesifikasi pekerjaan (tugas dan tanggung jawabnya) untuk meningkatkan kopetensi yang diperlukan. 3) Menentukan staf sebagai narasumber/pelatih/fasilitator sesuai dengan kopetensinya.



d. Penelitian dan Pengembangan Apoteker harus didorong untuk melakukan penelitian mandiri atau berkontribusi dalam tim penelitian mengembangkan praktik Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Instalasi Farmasi harus melakukan pengembangan



Pelayanan



Kefarmasian



sesuai



dengan



situasi



perkembangan kefarmasian terkini. Apoteker juga dapat berperan dalam Uji Klinik Obat yang dilakukan di Rumah Sakit dengan mengelola ObatObat yang diteliti



sampai



dipergunakan oleh subyek penelitian dan



mencatat Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD) yang terjadi selama penelitian.



2.2.4 Sarana dan Peralatan a. Sarana Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2016, Fasilitas ruang harus memadai dalam hal kualitas dan kuantitas agar dapat menunjang fungsi dan



22



proses pelayanan kefarmasian, menjamin lingkungan kerja yang aman untuk petugas, dan memudahksn sistem komunikasi Rumah Sakit. a. Fasilitas utama dalam kegiatan pelayanan di instalasi farmasi, terdiri dari: 1) Ruang kantor/Administrasi, terdiri dari: a) Ruang pimpinan b) Ruang staf c) Ruang kerja/ Administrasi Tata Usaha d) Ruang pertemuan 2) Ruang penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan Medis Habis Pakai. Rumah Sakit harus mempunyai ruang penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan serta harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur, sinar/cahaya, kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan keamanan petugas terdiri dari: a) Kondisi umum untuk ruang penyimpanan: (1)Obat jadi (2) Obat produksi (3) Bahan baku obat (4) Alat kesehatan b) Kondisi khusus untuk ruang penyimpanan: (1)Obat termolabil (2)Bahan laboratorium dan reagensia (3)Sediaan farmasi yang mudah terbakar (4)Obat/ bahan obat berbahaya (narkotik/psikotropik) 3) Ruang distribusi sedian farmasi alat kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai terdiri dari distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai rawat jalan (apotek rawat jalan) dan rawat inap (satelit farmasi). Ruang distribusi terdiri dari: a) Ruang distribusi untuk pelayanan rawat jalan. Dimana ada ruang khusus/ terpisah untuk penerimaan resep dan peracikan.



23



b) Ruang distribusi untuk pelayanan rawat inap, dapat secara sentralisasi maupun desentralisasi dimasing-masing ruang rawat inap. 4) Ruang konsultasi/konseling obat Harus ada sebagai sarana untuk Apoteker memberikan konseling pada pasien dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan pasien. 5) Ruang pelayanan informasi obat PIO dilakukan diruang tersendiri dengan dilengkapi sumber informasi dan teknologi, komunikasi berupa bahan pustaka dan telepon. 6) Ruang produksi 7) Ruang aseptic dispensing 8) Laboratorium farmasi b. Prasarana Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2016, peralatan yang paling sedikit harus tersedia: a.



Peralatan untuk penyimpanan, peracikan dan pembuatan obat baik steril, dan nonsteril maupun aseptic/steril;



b.



Peralatan kantor untuk administrasi dan arsip;



c.



Kepustakaan yang memadai untuk melaksanakan PIO;



d.



Lemari penyimpanan khusus untuk narkotika;



e.



Lemari pendingin dan pendingin ruangan untuk obat yang termolabil;



f.



Penerangan, sarana air, ventilasi dan sistem pembuangan limbah yang baik;



g.



Alarm.



Macam-macam peralatan: 1) Peralatan kantor 2) Peralatan sistem komputerisasi 3) Peralatan produksi 4) Peralatan aseptic dispensing 5) Peralatan penyimpanan a.



Peralatan penyimpanan kondisi umum;



b.



Peralatan penyimpanan kondisi khusus;



c.



Peralatan pendistribusian/pelayanan;



d.



Peralatan konsultasi;



24



e.



Peralatan PIO;



f.



Peralatan Ruang Arsip



2.2.5 Cakupan Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2016 Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik. Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah terkait. Apoteker khususnya bekerja di Rumah Sakit dituntut untuk merealisasikan perluasan paradigma pelayanan kefarmasian dari orientasi produk menjadi orientasi pasien.Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dan kegiatan farmasi klinik. Kegiaatan tersebut harus didukung oleh sumber daya manusia, sarana dan peralatan.



2. 3 Pengelolaan Perbekalan Farmasi Apoteker bertanggung jawab terhadap pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di Rumah Sakit yang menjamin seluruh rangkaian kegiatan perbekalan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta memastikan kualitas, manfaat, dan keamanannya. Pengelolaan Alat Kesehatan, Sediaan Farmasi, dan Bahan Medis Habis Pakai di Rumah Sakit harus dilakukan oleh Instalasi Farmasi sistem satu pintu. Alat Kesehatan yang dikelola oleh Instalasi Farmasi sistem satu pintu berupa alat medis habis pakai/peralatan non elektromedik, antara lain alat kontrasepsi (IUD), alat pacu jantung, implan, dan stent. an formularium, pengadaan, dan pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang bertujuan untuk mengutamakan



25



kepentingan pasien melalui Instalasi Farmasi Rumah Sakit.Kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi : 2.3.1 Pemilihan Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan kebutuhan. Pemilihan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai ini berdasarkan: a.



Formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi



b.



Standar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP yang telah ditetapkan



c.



Pola penyakit



d.



Efektifitas dan keamanan



e.



Pengobatan berbasis bukti



f.



Mutu



g.



Harga



h.



Ketersediaan di pasaran.



2.3.2 Perencanaan Kebutuhan Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah dan periode pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien. Perencanaan dilakukan untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi dan disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. mempertimbangkan: a.



Anggaran yang tersedia;



b.



Penetapan prioritas;



c.



Sisa persediaan;



d.



Data pemakaian periode yang lalu;



e.



Waktu tunggu pemesanan; dan



f.



Rencana pengembangan.



Pedoman perencanaan harus



26



2.3.3 Pengadaan Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan, jumlah, dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu. Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari pemilihan, penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan dana, pemilihan metode pengadaan, pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi kontrak, pemantauan proses pengadaan, dan pembayaran. Untuk memastikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan mutu dan spesifikasi yang dipersyaratkan maka jika proses pengadaan dilaksanakan oleh bagian lain di luar Instalasi Farmasi harus melibatkan tenaga kefarmasian.



2.3.4 Penerimaan Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis, spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam kontrak atau surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima. Semua dokumen terkait penerimaan barang harus tersimpan dengan baik.



2.3.5 Penyimpanan Setelah barang diterima di Instalasi Farmasi perlu dilakukan penyimpanan sebelum dilakukan pendistribusian. Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan keamanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan persyaratan kefarmasian. Persyaratan kefarmasian yang dimaksud meliputi persyaratan stabilitas dan keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan penggolongan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai. Komponen yang harus diperhatikan antara lain: a. Obat dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan obat diberi label yang secara jelas terbaca memuat nama, tanggal pertama kemasan dibuka, tanggal kadaluarsa dan peringatan khusus;



27



b. Elektrolit konsentrasi tinggi tidak disimpan di unit perawatan kecuali untuk kebutuhan klinis yang penting; c. Elektrolit konsentrasi tinggi yang disimpan pada unit perawatan pasien dilengkapi dengan pengaman, harus diberi label yang jelas dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted) untuk mencegah penatalaksanaan yang kurang hati-hati; dan d. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang dibawa oleh pasien harus disimpan secara khusus dan dapat diidentifikasi.



Instalasi Farmasi harus dapat memastikan bahwa obat disimpan secara benar dan diinspeksi secara periodik. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang harus disimpan terpisah yaitu: a. Bahan yang mudah terbakar, disimpan dalam ruang tahan api dan diberi tanda khusus bahan berbahaya; b. Gas medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat, dan diberi penandaaan untuk menghindari kesalahan pengambilan jenis gas medis. Penyimpanan tabung gas medis kosong terpisah dari tabung gas medis yang ada isinya. Penyimpanan tabung gas medis di ruangan harus menggunakan tutup demi keselamatan.



Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, bentuk sediaan, dan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan disusun secara alfabetis dengan menerapkan prinsip First Expired First Out (FEFO) dan First In First Out (FIFO) disertai sistem informasi manajemen. Penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang penampilan dan penamaan yang mirip (LASA, Look Alike Sound Alike) tidak ditempatkan berdekatan dan harus diberi penandaan khusus untuk mencegah terjadinya kesalahan pengambilan obat. Rumah Sakit harus dapat menyediakan lokasi penyimpanan obat emergensi untuk kondisi kegawatdaruratan. Tempat penyimpanan harus mudah diakses dan terhindar dari penyalahgunaan dan pencurian.



2.3.6 Pendistribusian



28



Distribusi



merupakan



suatu



rangkaian



kegiatan



dalam



rangka



menyalurkan/menyerahkan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan ketepatan waktu. Rumah Sakit harus menentukan sistem distribusi yang dapat menjamin terlaksananya pengawasan dan pengendalian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di unit pelayanan. Sistem distribusi di unit pelayanan dapat dilakukan dengan cara: a. Sistem Persediaan Lengkap di Ruangan (floor stock) 1) Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai untuk persediaan di ruang rawat disiapkan dan dikelola oleh Instalasi Farmasi. 2) Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang disimpan di ruang rawat harus dalam jenis dan jumlah yang sangat dibutuhkan. 3) Dalam kondisi sementara dimana tidak ada petugas farmasi yang mengelola (di atas jam kerja) maka pendistribusiannya didelegasikan kepada penanggung jawab ruangan. 4) Setiap hari dilakukan serah terima kembali pengelolaan obat floor stock kepada petugas farmasi dari penanggung jawab ruangan. 5) Apoteker harus menyediakan informasi, peringatan dan kemungkinan interaksi obat pada setiap jenis obat yang disediakan di floor stock. b. Sistem Resep Perorangan Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai berdasarkan resep perorangan/pasien rawat jalan dan rawat inap melalui Instalasi Farmasi. c. Sistem Unit Dosis Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai berdasarkan resep perorangan yang disiapkan dalam unit dosis tunggal atau ganda, untuk penggunaan satu kali dosis/pasien. Sistem unit dose ini digunakan untuk pasien rawat inap. d. Sistem Kombinasi



29



Sistem pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai bagi pasien rawat inap dengan menggunakan kombinasi a + b atau b + c atau a + c. Sistem distribusi Unit Dose Dispensing (UDD) sangat dianjurkan untuk pasien rawat inap mengingat dengan sistem ini tingkat kesalahan pemberian obat dapat diminimalkan sampai kurang dari 5% dibandingkan dengan sistem floor stock atau resep individu yang mencapai 18%. Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk dijangkau oleh pasien dengan mempertimbangkan: a. Efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada; dan b. Metode sentralisasi atau desentralisasi.



2.3.7 Pemusnahan dan Penarikan Perbekalan Farmasi Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai



dengan



ketentuan



peraturan



perundang-undangan



yang



berlaku.



Pemusnahan dilakukan untuk Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai bila: a.



Produk tidak memenuhi persyaratan mutu;



b.



Telah kadaluarsa;



c.



Tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan; dan



d.



Dicabut izin edarnya.



2.3.8 Pengendalian dan Administrasi a.



Pengendalian Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan dan penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai. Pengendalian penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dapat dilakukan oleh Instalasi Farmasi harus bersama dengan Tim Farmasi dan Terapi (TFT) di Rumah Sakit. Tujuan pengendalian



30



persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai adalah untuk: a. Penggunaan obat sesuai dengan Formularium Rumah Sakit; b. Penggunaan obat sesuai dengan diagnosis dan terapi; Memastikan persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi kelebihan dan kekurangan/kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, dan kehilangan serta pengembalian pesanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai. b.



Administrasi Administrasi harus dilakukan secara tertib dan berkesinambungan untuk memudahkan penelusuran kegiatan yang sudah berlalu. Kegiatan administrasi terdiri dari:



1. Pencatatan dan Pelaporan Pencatatan dan pelaporan terhadap kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang meliputi perencanaan



kebutuhan,



pengadaan,



penerimaan,



pendistribusian,



pengendalian persediaan, pengembalian, pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai. Pelaporan dibuat secara periodik yang dilakukan Instalasi Farmasi dalam periode waktu tertentu (bulanan, triwulanan, semester atau pertahun). Jenis-jenis pelaporan yang dibuat menyesuaikan dengan peraturan yang berlaku. 2. Administrasi Keuangan Apabila Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus mengelola keuangan maka perlu menyelenggarakan administrasi keuangan. Administrasi keuangan merupakan pengaturan anggaran, pengendalian dan analisa biaya, pengumpulan informasi keuangan, penyiapan laporan, penggunaan laporan yang berkaitan dengan semua kegiatan Pelayanan Kefarmasian secara rutin atau tidak rutin dalam periode bulanan, triwulanan, semesteran atau tahunan.



31



3. Administrasi Penghapusan Administrasi penghapusan merupakan kegiatan penyelesaian terhadap Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak terpakai karena kadaluwarsa, rusak, mutu tidak memenuhi standar dengan cara membuat usulan penghapusan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai kepada pihak terkait sesuai dengan prosedur yang berlaku (Permenkes 72Tahun 2016).



2. 4 Pelayanan Farmasi Klinis Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2016, Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin. 2.4.1



Pengkajian dan Pelayanan Resep



Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, pengkajian Resep, penyiapan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai termasuk peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian obat (medication error).Kegiatan ini untuk menganalisa adanya masalah terkait obat, bila ditemukan masalah terkait obat harus dikonsultasikan kepada dokter penulis resep. Apoteker harus melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan. Persyaratan administrasi meliputi: a. Nama, umur, jenis kelamin, Berat Badan dan tinggi badan pasien. b. Nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter c. Tanggal resep d. Ruangan/unit asal resep Persyaratan farmasetik: a. Nama obat, bentuk dan kekuatan sediaan



32



b. Dosis dan jumlah obat c. Stabilitas; dan d. Aturan dan cara penggunaan; Persyaratan klinis meliputi a. Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat; b. Duplikasi pengobatan; c. Kontraindikasi dan d. Interaksi obat



2.4.2



Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat



Penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan proses untuk mendapatkan informasi mengenai seluruh obat/Sediaan Farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam medik/pencatatan penggunaan obat pasien.Tahapan penelusuran riwayat penggunaan obat : a. Membandingkan riwayat penggunaan obat dengan data rekam medik/pencatatan penggunaan obat untuk mengetahui perbedaan informasi penggunaan obat; b. Melakukan verifikasi riwayat penggunaan obat yang diberikan oleh tenaga kesehatan lain dan memberikan informasi tambahan jika diperlukan; c. Mendokumentasikan adanya alergi dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD); d. Mengidentifikasi potensi terjadinya interaksi obat; e. Melakukan penilaian terhadap kepatuhan pasien dalam menggunakan obat; f. Melakukan penilaian rasionalitas obat yang diresepkan; g. Melakukan penilaian terhadap pemahaman pasien terhadap obat yang digunakan; h. Melakukan penilaian adanya bukti penyalahgunaan obat; i. Melakukan penilaian terhadap teknik penggunaan obat; j. Memeriksa adanya kebutuhan pasien terhadap obat dan alat bantu kepatuhan minum obat (concordance aids) k. Mendokumentasikan obat yang digunakan pasien sendiri tanpa sepengetahuan dokter; dan



33



l. Mengidentifikasi terapi lain, misalnya suplemen dan pengobatan alternatif yang mungkin digunakan oleh pasien.



2.4.3



Rekonsiliasi Obat



Rekonsiliasi obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan dengan obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan obat (medication error) seperti obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi obat. Kesalahan Obat (medication error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu Rumah Sakit ke Rumah Sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari Rumah Sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya.Tujuan dilakukannya rekonsiliasi obat adalah: a.



Memastikan informasi yang akurat tentang obat yang digunakan pasien;



b.



Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya instruksi dokter; dan



c.



mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi dokter.



2.4.4



Pelayanan Informasi Obat (PIO)



Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh Apoteker kepada dokter, Apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar Rumah Sakit. PIO bertujuan untuk: a. Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan di lingkungan Rumah Sakit dan pihak lain di luar Rumah Sakit; b. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan Obat/Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai, terutama bagi Tim Farmasi dan Terapi; c. Menunjang penggunaan obat yang rasional.



2.4.5



Konseling



Konseling obat adalah suatu aktifitas pemberian nasihat atau saran terkait terapi obat dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya. Konseling



34



untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif Apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap Apoteker. Pemberian konseling obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan risiko Reaksi Obat Yang Tidak Dikehendaki (ROTD), dan meningkatkan Cost-effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan keamanan penggunaan obat bagi pasien (patient safety).Secara khusus konseling obat ditujukan untuk : a. Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien;Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obat; b. Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan obat dengan penyakitnya; c. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan; d. Mencegah atau meminimalkan masalah terkait obat; e. Meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya dalam hal terapi; f. Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan; dan g. Membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan obat sehingga dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan pasien. Faktor yang perlu diperhatikan dalam konseling obat: 1.



Kriteria Pasien: a.



Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi ginjal, ibu hamil dan menyusui);



b.



Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (TB, DM, epilepsi, dan lain-lain);



c.



Pasien yang menggunakan obat-obatan dengan instruksi khusus (penggunaan kortiksteroid dengan tappering down/off);



d.



Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, phenytoin);



e.



Pasien yang menggunakan banyak obat (polifarmasi); dan



f.



Pasien yang mempunyai riwayat kepatuhan rendah.



35



2.



Sarana dan Peralatan:



2.4.6



a.



Ruangan atau tempat konseling; dan



b.



Alat bantu konseling (kartu pasien/catatan konseling).



Visite



Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan Apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi obat dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya.Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar Rumah Sakit baik atas permintaan pasien maupun sesuai dengan program Rumah Sakit yang biasa disebut dengan Pelayanan Kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care).



2.4.7



Pemantauan Terapi Obat (PTO)



Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD). Kegiatan dalam PTO meliputi: a. Pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD); b. Pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat; dan c. Pemantauan efektivitas dan efek samping terapi obat.



2.4.8



Monitoring Efek Samping Obat (MESO)



Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek Samping obat adalah reaksi obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi.Monitoring Efek Samping Obat bertujuan untuk : a.



Menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin terutama yang berat, tidak dikenal, frekuensinya jarang;



36



b.



Menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan yang baru saja ditemukan;



c.



Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan / mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya ESO;



d.



Meminimalkan risiko kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki; dan



e.



Mencegah terulangnya kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki



2.4.9



Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)



Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif.Tujuan EPO yaitu: a.



Mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat;



b.



Membandingkan pola penggunaan obat pada periode waktu tertentu;



c.



Memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan obat; dan



d.



Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat.



Pelaksanaan EPO: a.



Membentuk tim EPO



b.



Mengkaji data pola penggunaan obat 1. Menetapkan obat yang akan dilakukan EPO 2. Menetapkan penyebab 3. Menetapkan lingkup kerjanya 4. Evaluasi data a)



Kajian masalah kekurangan pelayanan



b) Siapa yang bertanggung jawab c.



Identifikasi obat 1. Standar penetapan atau kategori obat 2. Mekanisme SMF 3. Mekanisme matriks 4. Ringkasan dasar pemilihan obat a)



Obat diketahui atau dicurigai menyebabkan ROM



b)



Obat dipakai pengobatan ROM



c)



Obat sering digunakan mahal



37



d)



Obat toksik



e)



Obat paling efektif



f)



Obat evaluasi formularium



g)



Obat berbahaya bagi pasien misalnya antikoagulan



h)



Obat yang dipilih oleh RS



d.



Mengembangkan kriteria penggunaan obat



e.



Mengumpulkan dan mengorganisir data 1.



Rekam medik



2.



Sumber data: a)



Permintaan non formularium



b)



Obat khusus



c)



Obat tertentu



d)



Laporan laboratorium



e)



Rekaman pemberian obat



f)



Laporan ROM



g)



Laporan peristiwa kejadian



f.



Mengevaluasi data



g.



Mengambil tindakan untuk solusi masalah 1. Tindak lanjut dari PFT 2. Tindakan edukasi



h.



Mengkaji keefektifan tindakan yang diambil



i.



Mengkomunikasikan informasi kepada individu atau kelompok yang tepat dirumah sakit.



2.4.10 Dispensing Sediaan Steril Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat. Dispensing sediaan steril bertujuan: a.



Menjamin agar pasien menerima obat sesuai dengan dosis yang dibutuhkan;



b.



Menjamin sterilitas dan stabilitas produk;



c.



Melindungi petugas dari paparan zat berbahaya; dan



38



d.



Menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat



2.4.11 Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil pemeriksaan kadar obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari Apoteker kepada dokter. PKOD bertujuan: a.



Mengetahui Kadar Obat dalam Darah; dan



b.



Memberikan rekomendasi kepada dokter yang merawat.



Kegiatan PKOD meliputi: a. Melakukan penilaian kebutuhan pasien yang membutuhkan Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD); b. Mendiskusikan kepada dokter untuk persetujuan melakukan Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD); dan c. Menganalisis hasil Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) dan memberikan rekomendasi.



2. 5 Formularium Rumah Sakit Formularium Rumah Sakit merupakan daftar Obat yang disepakati staf medis, disusun oleh Tim Farmasi dan Terapi (TFT) yang ditetapkan oleh Pimpinan Rumah Sakit. Formularium Rumah Sakit harus tersedia untuk semua penulis Resep, pemberi Obat,



dan



penyedia



Obat



di Rumah Sakit. Evaluasi



terhadap



Formularium Rumah Sakit harus secara rutin dan dilakukan revisi sesuai kebijakan dan kebutuhan Rumah Sakit.



Penyusunan dan revisi Formularium Rumah Sakit dikembangkan berdasarkan pertimbangan terapetik dan ekonomi dari penggunaan Obat agar dihasilkan Formularium Rumah Sakit yang selalu mutakhir dan dapat memenuhi kebutuhan pengobatan yang rasional. Tahapan proses penyusunan Formularium Rumah Sakit: a.



membuat rekapitulasi usulan Obat dari masing-masing Staf Medik Fungsional (SMF) berdasarkan standar terapi atau standar pelayanan medik;



39



b.



mengelompokkan usulan Obat berdasarkan kelas terapi;



c.



membahas usulan tersebut dalam rapat Tim Farmasi dan Terapi (TFT), jika diperlukan dapat meminta masukan dari pakar;



d. mengembalikan rancangan hasil pembahasan Tim Farmasi dan Terapi (TFT), dikembalikan ke masing-masing SMF untuk mendapatkan umpan balik; e. membahas hasil umpan balik dari masing-masing SMF; f. menetapkan daftar Obat yang masuk ke dalam Formularium Rumah Sakit; g. menyusun kebijakan dan pedoman untuk implementasi; dan h. melakukan edukasi mengenai Formularium Rumah Sakit kepada staf dan melakukan monitoring.



Kriteria pemilihan Obat untuk masuk Formularium Rumah Sakit: a. mengutamakan penggunaan Obat generik; b. memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan penderita; c. mutu terjamin, termasuk stabilitas dan bioavailabilitas; d. praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan; e. praktis dalam penggunaan dan penyerahan; f. menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh pasien; g. memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi berdasarkan biaya langsung dan tidak langsung; dan h. Obat lain yang terbukti paling efektif secara ilmiah dan aman (evidence based medicines) yang paling dibutuhkan untuk pelayanan dengan harga yang terjangkau.



2. 6 Tenaga Kefarmasian Tenaga kefarmasian terdiri atas: a. Apoteker b. Tenaga Teknis Kefarmasian Tenaga kefarmasian melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada:



40



a. Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi berupa industri farmasi obat, industri bahan baku obat, industri obat tradisional, pabrik kosmetika dan pabrik lain yang memerlukan Tenaga Kefarmasian untuk menjalankan tugas dan fungsi produksi dan pengawasan mutu; b. Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi dan alat kesehatan melalui Pedagang Besar Farmasi, penyalur alat kesehatan, instalasi Sediaan Farmasi dan alat kesehatan milik Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota; dan/atau c. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian melalui praktik di Apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama. Surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperuntukkan bagi: a. Apoteker berupa STRA; dan b. Tenaga Teknis Kefarmasian berupa STRTTK. Untuk memperoleh STRA, Apoteker harus memenuhi persyaratan: a.



memiliki ijazah Apoteker;



b.



memiliki sertifikat kompetensi profesi;



c.



mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker;



d.



mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktik; dan



e.



membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.



Untuk memperoleh STRTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian wajib memenuhi persyaratan: a. memiliki ijazah sesuai dengan pendidikannya; b. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktek; c. memiliki rekomendasi tentang kemampuan dari Apoteker yang telah memiliki STRA di tempat Tenaga Teknis Kefarmasian bekerja; dan d. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika kefarmasian. STRA, STRA Khusus, dan STRTTK tidak berlaku karena:



41



a.



habis masa berlakunya dan tidak diperpanjang oleh yang bersangkutan atau tidak memenuhi persyaratan untuk diperpanjang;



b.



dicabut atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan;



c.



permohonan yang bersangkutan;



d.



yang bersangkutan meninggal dunia; atau



e.



dicabut oleh Menteri atau pejabat kesehatan yang berwenang.



2. 7 Peran Apoteker Peran farmasis yang di gariskan oleh WHO yang dikenal dengan istilah “seven stars pharmacist” meliputi : 1. Pemberi Pelayanan Dalam memberikan pelayanan mereka harus dengan mutu yang tinggi serta memandang pekerjaan mereka sebagai bagian dan terintegrasi dengan sistem pelayanan kesehatan dan profesi lainnya. 2. Pembuat Keputusan Penggunaan sumber daya yang tepat , bermanfaat , aman dan tepat guna seperti SDM, obat-obatan, bahan kimia, perlengkapan, prosedur dan pelayanan harus merupakan dasar kerja dari Apoteker. Pada tingkat lokal dan nasional apoteker memainkan peran dalam penyusunan kebijaksanaan obat-obatan. Pencapaian tujuan ini memerlukan kemampuan untuk mengevaluasi, menyintesa informasi dan data serta memutuskan kegiatan yang paling tepat. 3. Komunikator Apoteker merupakan posisi ideal untuk mendukung hubungan antara dokter dan pasien dan untuk memberikan informasi kesehatan dan obat-obatan pada masyarakat. Dia harus memiliki ilmu pengetahuan dan rasa percaya diri dalam berintegrasi dengan profesi lain dan masyarakat. Komunikasi itu dapat dilakukan secara verbal ( langsung ) non verbal , mendengarkan dan kemampuan menulis. 4. Manager Apoteker harus dapat mengelola sumber daya ( SDM, fisik dan keuangan), dan informasi secara efektif . Mereka juga harus senang dipimpin oleh orang lainnya, apakah pegawai atau pimpinan tim kesehatan. Lebih-lebih lagi teknologi



42



informasi akan merupakan tantangan ketika apoteker melaksanakan tanggung jawab yang lebih besar untuk bertukar informasi tentang obat dan produk yang berhubungan dengan obat serta kualitasnya. 5. Belajar Seumur Hidup Adalah tak mungkin memperoleh semua ilmu pengetahuan di sekolah farmasi dan masih dibutuhkan pengalaman seorang apoteker dalam karir yang lama. Konsep-konsep, prinsip-prinsip , komitmen untuk pembelajaran jangka panjang harus dimulai disamping yang diperoleh di sekolah dan selama bekerja. Apoteker harus belajar bagaimana menjaga ilmu pengetahuan dan ketrampilan mereka tetapup to date. 6. Pengajar Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk membantu pendidikan dan pelatihan generasi berikutnya dan masyarakat. Sumbangan sebagai guru tidak hanya membagi ilmu pengetahuan pada yang lainnya, tapi juga memberi peluang pada praktisi lainnya untuk memperoleh pengetahuan dan menyesuaikan ketrampilan yang telah dimilikinya. 7. Pemimpin Dalam situasi pelayanan multi disiplin atau dalam wilayah dimana pemberi pelayanan kesehatan lainnya ada dalam jumlah yang sedikit, apoteker diberi tanggung jawab untuk menjadi pemimpin dalan semua hal yang menyangkut kesejahteraan pasien dan masyarakat. Kepemimpinan apoteker melibatkan rasa empati dan kemampuan membuat keputusan , berkomunikasi dan memimpin secara efektif. Seseorang apoteker yang memegang peranan sebagai pemimpin harus mempunyai visi dan kemampuan memimpin.



2. 8 Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi Narkotik adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Psikotropika adalah zat/bahan atau obat, baik alamiah



43



maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Prekursor farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi industri farmasi atau produk antara, produk ruahan, dan produk jadi yang mengandung



ephedrine,



pseudoephedrine,



norepherine/phenylpropanolamine,



ergotamin, ergometrine, atau potasium permanganat.



Peredaran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi terdiri dari Penyaluran dan Penyerahan. 1. Penyaluran Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib memenuhi Cara Distribusi Obat yang Baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. a.



Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dilakukan berdasarkan:



1) Surat pesanan, atau 2) Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) untuk Pesanan dari Puskesmas. b. Surat pesanan hanya dapat berlaku untuk masing-masing Narkoita, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi c. Surat pesanan Narkotika hanya dapat digunakan untuk (satu) jenis Narkotika. d. Surat pesanan Psikotropika atau Prekursor Farmasi hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) atau beberapa jenis Psikotropika atau Prekursor Farmasi. e. Surat pesanan harus terpisah dari pesanan barang lain. f. Penyaluran Narkotika Golongan 1 hanya dapat dilakukan oleh perusahaan PBF milik Negara yang memiliki Izin Khusus Impor Narkotika Kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk untuk kebutuhan laboratorium. 2. Penyaluran Narkotika, Psikotropika , dan Prekursor dalam Bentuk Bahan Baku a. Narkotika dalam Bentuk Bahan Baku



44



1) Penyaluran Narkotika dalam bentuk bahan baku hanya dapat dilakukan olrh perusahaan PBF milik Negara yang memiliki Izin Khusus Impor Narkotika kepada Industri Farmasi dan/atau Lembaga Ilmu Pengetahuan 2) Penyaluran Narkotika hanya dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Apoteker penanggung jawab produksi dan/atau Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan. b. Psikotropika dalam Bentuk Bahan Baku 1) Penyaluran Psikotropika dalam bentuk bahan baku hanya dapat dilakukan oleh PBF yang memiliki izin sebagai IT Psikotropika kepada Industri Farmasi dan/atau Lembaga Ilmu Pengetahuan. 2) Penyaluran Psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Apoteker Penanggung Jawab produksi dan/atau kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan. c. Prekursor Farmasi dalam Bentuk Bahan Baku 1) Penyaluran Prekursor Farmasi berupa zat/bahan pemula/bahan kimia atau produk antara/produk ruahan hanya dapat dilakukan oleh PBF yang memiliki izin IT Prekursor Farmasi Kepala Industri Farmasi dan/atau Lembaga Ilmu Pengetahuan. 2) Penyaluran Prekursor Farmasi hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Apoteker Penanggung Jawab produksi dan/atau Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan. 3. Penyaluran Narkotika, Psikotropika , dan Prekursor dalam Bentuk Obat Jadi Penyaluran Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi hanya dapat dilakukan oleh : a. Industri Farmasi kepada PFB dan Instalasi Farmasi Pemerintah b. PBF kepada PBF lainnya, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Instalasi Pemerintah dan Lembaga Ilmu Pengetahuan c. PBF milik Negara yang memiliki Izin Khusus Impor Narkotika kepada Industri Farmasi, untuk penyaluran narkotika d. Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat kepada Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah, Instalasi Farmasi Rumah Sakit milik Pemerintah, dan Instalasi Farmasi Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian



45



e. Instalasi farmasi Pemerintah Daerah kepada Instalasi Farmasi Rumah Sakit milik Pemerintah Daerah, Instalasi Farmasi Klinik milik Pemerintah Daerah dan Puskesmas f. Selain kepada PBF lainnya, Apotek, Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Pemerintah dan Lembaga Ilmu Pengetahuan, PBF dapat menyalurkan Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas kepada Toko Obat. 4. Pengiriman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi Pengiriman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang dilakukan oleh Industri Farmasi, PBF, atau Instalasi Farmasi Pemerintah harus dilengkapi dengan : a. Surat pesanan b. Faktur dan/atau surat pengantar barang, paling sedikit memuat : 1) Nama Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi 2) Bentuk sediaan 3) Kekuatan 4) Kemasan 5) Jumlah 6) Tanggal kadaluarsa 7) Nomor batch Pengiriman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang dilakukan melalui jasa pengangkutan hanya dapat membawa Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi sesuai dengan jumlah yang tercantum dalam surat pesanan, faktur, dan/atau surat pengantar barang yang dibawa pada saat pengiriman 5. Penyerahan a. Penyerahan Narkotia, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dapat dilakukan dalam bentuk obat jadi b. Dalam hal penyerahan dilakukan kepada pasien, harus dilaksanakan oleh Apoteker di fasilitas pelayanan kefarmasian c. Penyerahan dilakukan secara langsung sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian



46



d. Dikecualikan dari ketentuan, penyerahan Prekursor Farmasi yang termasuk golongan obat bebas terbatas di Toko Obat dilakukan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian. Penyerahan Narkotika dan Psikotropika oleh Apoteker kepada Dokter hanya dapat dilakukan dalam hal : a. Dokter menjalankan praktik perorangan dengan memberikan Narkotika dan Psikotropika melalui suntikan; dan/atau b. Dokter menjalankan tugas atau praktik di daerah terpencil yang tidak ada apotek atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang. Penyerahan Narkotika dan Psikotropika oleh Dokter kepada pasien hanya dapat dilakukan dalam hal : a. Dokter menjalankan praktik perorangan dengan memberikan Narkotika dan Psikotropika melalui suntikan b. Dokter menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika melalui suntikan c. Dokter menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Psikotropika melalui suntikan d. Dokter menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada Apotek berdasarkan surat penugasan dari pejabat yang berwenang. 6. Penyimpanan Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di fasilitas produksi, fasilitas distribusi, dan fasilitas pelayanan kefarmasian harus mampu menjaga keamanan, khasiat, dan mutu Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi : a. Gudang Khusus harus memenuhi persyaratan : 1) Dinding dibuat dari tembok dan hanya mempunyai pintu yang dilengkapi dengan pintu jeruji dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda 2) Langit-langit dapat terbuat dari tembok beton atau jeruji besi 3) Jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi 4) Gudang tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker penanggungjawab



47



5) Kunci gudang dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab dan pegawai lain yang dikuasakan. b. Ruang Khusus harus memenuhi persyaratan : 1) Dinding dan langit-langit terbuat dari bahan yang kuat 2) Jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi 3) Mempunyai satu pintu dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda 4) Kunci ruang khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab/ Apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan 5) Tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker penganggung jawab/Apoteker yang ditunjuk c. Lemari Khusus harus memenuhi persyaratan : 1) Terbuat dari bahan yang kuat 2) Tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah kunci yang berbeda 3) Harus diletakkan dalam ruang khusus di sudut gudang, untuk Instalasi Farmasi Pemerintah 4) Diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum, untuk apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Instalasi Farmasi Klinik, dan Lembaga Ilmu pengetahuan 5) Kunci lemari khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab / Apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan. 7. Pemusnahan Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dilakukan dalam hal : a. Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat diolah kembali; b. Telah kadaluarsa; c. Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa penggunaan. d. Dibatalkan izin edarnya; atau e. Berhubungan dengan tindak pidana.



48



Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dilakukan dengan tahap sebagai berikut : a. Penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan kefarmasian / pimpinan lembaga / dokter praktik perorangan menyampaikan surat pemberitahuan dan permohonan saksi kepada : 1) Kementrian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan, bagi Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat 2) Dinas Kesehatan Provinsi dan/ atau Balai Besar/ Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat, bagi Importir, Industri Farmasi, PBF, Lembaga Ilmu Pengetaahuan, atau Instalasi Farmasi Pemerintah Provinsi, atau 3) Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota dan/ atau Balai Besar/ Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat, bagi Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Instalasi Farmasi PemerintahKabupaten/ Kota, Dokter, atau Toko Obat. b. Kementrian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Dinas Kesehatan Provinsi, Balai Besar/ Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat, dan Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota menetapkan petugas di lingkungannya menjadi saksi pemusnahansesuai dengan surat permohonan sebagai saksi. c. Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang telah ditetapkan. d. Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi harus dilakukan pemastian kebenaran secara organoleptis oleh saksi sebelum dilakukan pemusnahan. Penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/ fasilitas pelayanan kefarmasian/ pimpinan lembaga/ dokter praktik perorangan yang melaksanakan pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi harus membuat Berita Acara Pemusnahan. Berita Acara Pemusnahan memuat : a. Hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; b. Tempat pemusnahan; c. Nama penanggung jawab fasilitas produksi/ fasilitas distribusi/ fasilitas pelayan kefarmasian/ pimpinan lemabaga / dokter praktik perorangan;



49



d. Nama petugas kesehatan yang menjadi saksi dan saksi lain badan/ sarana tersebut; e. Nama dan jumlah Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang dimusnahkan; f. Cara pemusnahan; dan g. Tanda tangan penanggung jawab fasilitas produksi/ failitas distribusi/ fasilitas pelayanan kefarmasian/ pimpinan lembaga/ dokter praktik perorangan dan saksi. 8. Pencatatan dan Pelaporan a. Pencatatan paling sedikit terdiri atas : 1) nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi 2) jumlah persediaan 3) tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan 4) jumlah yang diterima 5) tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran / penyerahan 6) jumlah yang disalurkan / diserahkan 7) nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran / penyerahan dan 8) paraf atau identitas petugas yang ditunjuk. Seluruh dokumen pencatatan, dokumen penerimaan, dokumen penyaluran, dan/atau dokumen penyerahan termasuk surat pesanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib disimpan secara terpisah paling singkat 3 (tiga) tahun. b. Pelaporan paling sedikit terdiri atas : 1) nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi; 2) jumlah persediaan awal dam akhir bulan; 3) tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan; 4) jumlah yang diterima; 5) tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran; 6) jumlah yang disalurkan; dan



50



7) nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran dan persediaan awal dan akhir.



BAB III TINJAUAN KHUSUS RSJ PROVINSI JAWA BARAT



3. 1 Lokasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat berlokasi di Jalan Kolonel Masturi KM.7 Cisarua Kabupaten Bandung Barat.Lokasinya yang cukup strategis di lingkungan masyarakat yang tergolong menengah dengan pemandangan alam dan udara yang sejuk cocok untuk perawatan gangguan kejiwaan.



3. 1. 1 Kedudukan Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat dalam Pemerintahan Provinsi Jawa Barat Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat secara administratif bernaung di bawah pengelolaan Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebagai lembaga teknis daerah yang berbentuk Rumah Sakit Khusus milik Pemerintah Daerah. Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat ini merupakan unsur penunjang Pemerintah Daerah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat.



3. 1. 2 Sejarah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat Berdasarkan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 23 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat, maka 2 (dua) Rumah Sakit Jiwa, yakni Rumah Sakit Jiwa Bandung yang berlokasi di Jalan RE Martadinata (Riau ) No. 11 Bandung dan Rumah Sakit Jiwa Cimahi yang berlokasi di Jalan Kolonel Masturi Km 7 Cisarua Kabupaten Bandung Barat digabung menjadi satu Rumah Sakit Jiwa yang bernama Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat. Sejarah kepemimpinan (Direktur) Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut : Tahun 2009 – 2010



: dr. Hj. Baniah Ptriwati, MM.



Tahun 2010 – 2017



: dr. H. Encep Supriandi, Sp.KJ, M.Kes.



Tahun 2017 – Februari 2018 : dr. RR. Endang Noersita Daim, MPH. Maret 2018 – sekarang



: dr. H. Riza Putra, Sp.KJ



51



52



Adapun tempat pelayanan kesehatan jiwa dilakukan pada dua tempat, yaitu: a. Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat berlokasi di Jalan Kolonel Masturi KM 7 Cisarua kabupaten Bandung Barat, memberikan pelayanan IGD 24 jam, Rawat Jalan, Rawat Inap Jiwa dan NAPZA, pelayanan penunjang kesehatan, rehabilitasi pasien mental, rehabilitasi NAPZA, pelayanan pendidikan dan penelitian kesehatan jiwa. b. Satuan Pelayanan Kesehatan Jiwa Komunitas (Gedung Graha Atma) berlokasi di Jalan RE. Martadinata (Riau) 11 Bandung, yang memberikan pelayanan Rawat Jalan dan Pusat Pelayanan Konsultasi Kesehatan Jiwa Dewasa, lansia, anak remaja, psikologi dan psikometri, penyakit dalam, gigi dan mulut.



3. 1. 3 Visi, Misi, Tata Nilai dan Motto RSJ Provinsi Jawa Barat Visi Mewujudkan Rumah Sakit Jiwa unggulan di Indonesia yang nyaman, berkualitas, dan inovatif. Misi : a. Mengembangkan pelayanan unggulan kesehatan jiwa anak dan remaja, rehabilitasi NAPZA serta kampung walagris sebagai pusat pemberdayaan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dan Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) berbasis pemulihan secara komperhensif. b. Meningkatkan layanan kesehatan jiwa melalui kompetensi tenaga profesional yang inovatif dan kolaboratif. c. Mengembangkan Rumah Sakit Jiwa yang nyaman berbasis ramah lingkungan. d. Mengembangkan Rumah Sakit Pendidikan yang handal dan bermutu. Tata Nilai : a. Kebersamaan; b. Profesionalisme (empati, keterbukaan, cepat tanggap, tanggungjawab); c. Kejujuran; d. Disiplin; dan e. Inovasi Motto :



53



“Kami Peduli Kesehatan Jiwa Anda” 3. 1. 4 Tujuan dan Sasaran Tujuan : a. Menyediakan pelayanan kesehatan jiwa komprehensif; b. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan jiwa berstandar internasional; c. Meningktkan pelayanan pendidikan dan penelitian kesehatan jiwa; d. Memiliki SDM yang profesionalisme; e. Meningkatkan motivasi dan kinerja pegawai Sasaran : a. Terselenggaranya layanan administrasi dan manajemen professional; b. Meningkatnya pelayanan rujukan kasus jiwa psikotik dan non psikotik; c. Meningkatnya sarana, prasarana dan peralatan bagi pengembangan pelayanan kesehatan jiwa; d. Terselenggaranya layanan administrasi dan manajemen professional e. Meningkatnya sarana, prasarana dan peralatan bagi pengembangan pelayanan kesehatan jiwa



3. 1. 5 Tugas Pokok dan Fungsi RSJ Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 59 Tahun 2009 tentang Tugas Pokok, Fungsi, Rincian Tugas Unit dan Tata Kerja RS Jiwa Provinsi Jawa Barat, Rumah Sakit Jiwa mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagai berikut : A. Tugas Pokok Menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan khusus jiwa paripurna, meliputi preventif, promotif, kuratif dan rehabilitative serta pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan kesehatan jiwa. B. Fungsi Dalam menyelenggarakan tugas pokok Rumah Sakit Jiwa mempunyai fungsi: 1. Penyelenggaraan pengaturan, perumusan kebijakan teknis dan pengendalian kesehatan jiwa; 2. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan jiwa dan penunjang lainnya; 3. Penyelenggaraan rujukan kesehatan jiwa; 4. Penyelenggaraan kegiatan dalam kesehatan jiwa lainnya;



54



5. Penyelenggaraan tugas lain sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. 3. 2 Struktur Organisasi 3. 2. 1 Struktur Organisasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat Dalam menyelenggarakan tugas pokok dan fungsinya, Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat memiliki struktur organisasi yang terdiri atas : 1.



Direktur



2.



Wakil Direktur SDM, Keuangan dan Umum membawahkan : a. Bagian Sumber Daya Manusia dan Perencanaan, membawahkan : 1) Sub. Bagian Kepegawaian dan Pembangunan SDM 2) Sub. Bagian Perencanaan, Pelaporan dan Pemasaran b. Bagian Keuangan dan Akuntansi, membawahkan : 1) Sub. Bagian Perbendaharaan dan Mobilisasi Dana 2) Sub. Bagian Akuntansi dan Verifikasi c. Bagian Umum, membawahkan : 1) Sub. Bagian Tata Usaha 2) Sub. Bagian Rumah Tangga, Perlengkapan dan Pemeliharaan



3.



Wakil Direktur Pelayanan a. Bidang Pelayanan Medik, membawahkan : 1) Seksi Pengembangan Pelayanan Medik 2) Seksi Pendayagunaan Sarana dan Prasarana Pelayanan Medik b. Bidang Pelayanan Keperawatan, membawahkan : 1) Seksi Pengembangan Pelayanan Keperawatan 2) Seksi Pendayagunaan Sarana dan Prasarana Pelayanan Keperawatan c. Bidang Pelayanan Penunjang, membawahkan : 1) Seksi Pelayanan Penunjang Medik dan Non Medik 2) Seksi Peningkatan Mutu Pelayanan dan Kerohanian



4.



Kelompok Jabatan Fungsional, terdiri dari : a. Instalasi Diklit b. Instalasi Rekam Medik c. Instalasi Sistem Informasi Manajeman RS (SIM RS) d. Instalasi Pemasaran e. Instalasi Pemeliharaan



55



f. Instalasi Kesehatan Lingkungan g. Instalasi Laundry h. Instalasi Keswara i. Instalasi Elekro Medis j. Instalasi Rehabilitasi Mental k. Instalasi Gawat Darurat l. Instalasi Keswamas m. Instalasi Rawat Jalan n. Instalasi Rawat Jiwa Intensif o. Instlasi Rehabilitasi NAPZA p. Instalasi Radiologi q. Instalasi Laboratorium r. Instalasi Gizi s. Instalasi Farmasi



3. 2. 2 Struktur Organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Instalasi Farmasi dibantu oleh: a. Penanggungjawab Administrasi dan umum bertanggung jawab dalam pelaksanaan tertib administrasi dan kegatan umumdi Instalasi Farmasi b. Penanggungjawab Pengelolaan Perbekalan Farmasi bertanggung jawab dalam perbekalan farmasi di Instalasi Farmasi. c. Penanggungjawab Pelayanan Farmasi Klinik bertanggung jawab dalam kegiatan pelayanan farmasi klinik yang ada di RSJ Provinsi Jawa Barat d. Penanggung jawab Manajemen Mutun dan Sumber Daya Manusia bertanggung jawab dalam kegiatan peningkatan mutu pelaynan dan sumber daya manusia yang ada di Instalasi Farmasi Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat, Instalasi Farmasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat memiliki struktur organisasi sebagai berikut: a. Kepala IFRS



: Eka Prasetyawati, S.Si.,Apt



b. P.J Administrasi IFRS



: Usman dan Elly



c. P.J Pengelolaan Perbekalan Farmasi



: Saelendra, S.Si.,Apt



56



d. P.J Pelayanan Farmasi Klinik



: Dra. Timansari Barus, Apt



e. P.J Manajemen Mutu & SDM



: Ardi Yoga, A.Md.Farm



3. 3 Tugas dan Tanggung Jawab Apoteker Apoteker wajib menerapkan empat unsur utama dari pelayanan farmasi yaitu : a. Pelayanan farmasi yang baik, b. Pelayanan profesi Apoteker dalam proses penggunaan obat, c. Praktik dispensing yang baik, d. Pelayanan professional Apoteker yang proaktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan yang bertujuan untuk peningkatan mutu pelayanan kepada penderita. Sebagai seorang pemimpin IFRS, Apoteker harus: a. Mempunyai kemampuan untuk memimpin, b. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk meningkatkan kualitas pelayanan farmasi, c. Mempunyai kemampuan untuk mengembangkan diri, d. Mempunyai



kemampuan



untuk



melihat



masalah,



manganalisa,



dan



memecahkan masalah. Sebagai tenaga fungsional, seorang Apoteker bertugas: a. Memberikan pelayanan kefarmasian, b. Melakukan akuntabilitas praktek kefarmasian, c. Mengelola manajemen praktis, d. Memberikan informasi/ berkomunikasi tentang kefarmasian, e. Melaksanakan pendidikan, penelitian dan pengembangan, f. Melaksanakan penelitian dan pengembangan bidang farmasi klinik.



3. 4 Pengelolaan Perbekalan Farmasi 3. 4. 1 Pemilihan Perbekalan Farmasi Pemilihan obat di rumah sakit mengacu pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN), sesuai dengan kelas rumah sakit, Formularium Rumah Sakit,



57



Formularium Jaminan Kesehatan bagi masyarakat. Formularium yang digunakan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat disusun oleh Sub Komite Farmasi dan Terapi dan ditetapkan oleh Direktur untuk dijadikan acuan dalam pemilihan perbekalan farmasi oleh Instalasi Farmasi.



3. 4. 2 Perencanaan Perbekalan Farmasi Perencanaan perbekalan farmasi di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Jiwa disusun untuk kebutuhan satu tahun kedepan menggunakan metode konsumsi dengan mempertimbangkan penggunaan tahun sebelumnya, buffer stock, lead time dan sisa perbekalan farmasi yang masih tersedia di Gudang Farmasi. Daftar perencanaan perbekalan farmasi dibuat oleh Kepala Instalasi Farmasi dan ditetapkan oleh Direktur. Daftar perencanaan tersebut diajukan kepada Direktur melalui Kepala Bidang Penunjang Medik.



3. 4. 3 Pengadaan Perbekalan Farmasi Sebelum diberlakukan E-Purchasing: a. Pengadaan Perbakalan Farmasi Melalui Pembelian Langsung Pembelian langsung dilakukan bila terjadi kekosongan obat yang sangat diperlukan diluar prosedur rutin. b. Pengadaan Obat Melalui Penunjukan Langsung Pengadaan Perbekalan Farmasi untuk obat-obatan generik (harga ditetapkan Menteri Kesehatan) yang prosesnya mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010. c. Pengadaan Obat Melalui Lelang Pengadaan Perbekalan Farmasi mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010. d. Pengadaan Obat Melalui (Droping) Hibah Pengadaan perbekalan farmasi melalui droping dilaksanakan melalui persetujuam Direktur Rumah Sakit. Dalam prosesnya, Direktur Rumah Sakit menerima surat pengiriman perbekalan farmasi dari pihak pemberi hibah, kemudian Direktur akan memberi surat tugas kepada tim penerima/ pemeriksa barang untuk memeriksa perbekalan farmasi sesuai dengan surat



58



pengiriman untuk kemudian diserahkan ke Instalasi Farmai untuk dkelola dan disimpan. Setelah diberlakukan E-Purchasing : a.



E-Purchasing E-Purchasing adalah tata cara pembelian Barang/Jasa melalui sistem katalog elektronik. Berdasarkan Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah No.17 Tahun 2012 Tentang E-Purchasing, ECatalogue sendiri adalah sistem informasi elektronik yang memuat daftar, jenis, spesifikasi teknis dan harga barang tertentu dari berbagai Penyedia barang/Jasa Pemerintah. Untuk perbekalan farmasi yang tidak terdapat dalam E-Catalogue, pengadaannya dilakukan dengan 2 jalur:



b.



Penunjukkan langsung, bila total kebutuhannya kurang dari Rp.200.000.000,-



c.



Lelang, bila total kebutuhannya lebih dari Rp.200.000.000,-



3. 4. 4 Penerimaan Perbekalan Farmasi Penerimaan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat di serahkan ke bagian penerimaan di gudang. Bagian penerimaan gudang melakukan pemeriksaan perbekalan farmasi yang diterima dengan kriteria pemeriksaan seperti kondisi barang, jumlah, spesifikasi, mutu, waktu pengiriman, harga yang tertera pada kontrak atau surat pesanan, tanggal kadaluarsa dan nomor batch.



3. 4. 5 Penyimpanan Perbekalan Farmasi Penyimpanan perbekalan farmasi Rumah Sakit Jiwa dilakukan dengan prinsip FEFO dan FIFO dengan memperhatikan sifat dari perbekalan farmasi tersebut dan disertai dengan sistem informasi mengenai ketersediaannya. Dalam prinsipnya, penyimpanan di satelit farmasi dan di gudang farmasi adalah sama. Pada satelit farmasi rawat inap dan rawat jalan obat disimpan berdasarkan kategorinya, yaitu obat jiwa dan obat umum kemudian disusun berdasarkan bentuk sediaannya. Sedangkan di gudang farmasi obat disusun berdasarkan alfabetis dan bentuk sediaanya.



59



Obat-obat yang memiliki sifat termolabil seperti vaksin, disimpan di dalam lemari pendingin (chiller) untuk menjamin suhu penyimpanannya tetap memenuhi syarat yakni 2-8o C. Penyimpanan untuk obat golongan psikotropika di dalam lemari khusus psikotropika dan selalu terkunci. Lemari penyimpanannya berupa lemari dengan pintu ganda dengan kunci yang berbeda. Penyimpanannya dilakukan berdasarkan bentuk sediaan, alfabetis dan dengan menerapkan sistem First Expire First Out, serta dilengkapi kartu kontrol barang (kartu stok). Kunci lemari khusus dipegang oleh Apoteker / Tenaga Teknis Kefarmasian yang mendapat wewenang sesuai jadwal kerja.



3. 4. 6 Pengemasan Kembali Perbekalan Farmasi Pengemasan kembali perbekalan farmasi yang dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Jiwa diantaranya adalah pembuatan obat racikan yang dikemas kembali dalam bentuk kapsul ataupun puyer, yang dilakukan sesuai dengan resep yang diterima.



3. 4. 7 Distribusi Perbekalan Farmasi Sistem distribusi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat adalah metode desentralisasi, dimana dilakukan oleh beberapa cabang Instalasi Farmasi dirumah sakit yaitu satelit rawat jalan, satelit rawat inap dan satelit UGD. Alur pendistribusian dari permintaan bagian satelit farmasi ke bagian gudang dilakukan setiap 10 hari, namun dalam keadaan darurat dapat dilakukan permintaan diluar jadwal tersebut. Untuk distribusi perbekalan farmasi yang dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat diklasifikasikan berdasarkan distribusi ke pasien dilakukan sebagai berikut : a.



Untuk pasien rawat jalan, IFRS menggunakan sistem distribusi resep perorangan. Pasien atau keluarga pasien membawa resep langsung ke Instalasi Farmasi Rumah Sakit untuk langsung dilayani sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Satelit Farmasi Rawat Jalan di RSJ Provinsi Jawa Barat, melayani resep pasien BPJS, JPKMM, GAKINDA dan resep umum.Selain dilakukan pengkajian resep terhadap resep yang masuk, petugas satelit farmasi rawat jalan harus memeriksa kelengkapan dokumen lain untuk



60



pasien BPJS, JPKMM dan GAKINDA. Untuk resep BPJS, dokumen yang disertakan diantaranya adalah fotokopi kartu BPJS, Surat Elegibilitas Peserta BPJS dan Bukti Pelayanan oleh Tim Medis. Sedangkan untuk resep JPKMM dan GAKINDA, hanya menyertakan surat Jaminan Pelayanan dan Bukti Pelayanan saja. Setelah dilakukan telaah resep dan pemeriksaan terhadap dokumen penyerta, petugas farmasi akan memberikan nomor antrian kepada pasien atau pendamping pasien, kemudian akan dilakukan input resep pada SIM RS. b.



Untuk pasien rawat inap, IFRS menggunakan sistem distribusi dosis unit dimana obat dan BMHP dikemas dalam satu kantong/wadah untuk sekali penggunaan obat (dosis), sehingga siap untuk diberikan ke pasien (ready to administer). Obat yang sudah dikemas per dosis tersebut diantarkan setiap hari pukul 14.00 WIB dan disimpan di lemari obat pasien di ruang rawat untuk persediaan tidak lebih dari 24 jam.



Sementara itu, penyaluran perbekalan farmasi dari gudang farmasi ke bagian pelayanan IFRS Provinsi Jawa Barat dilakukan dengan: a. Penyerahan perbekalan farmasi ke instalasi pelayanan dari gudang farmasi.Penyerahan perbekalan farmasi dilakukan kepada instalasi atau satelit yang melakukan pelayanan sesuai permintaan dan sudah disetujui Kepala Bidang terkait. b.



Permintaan perbekalan farmasi bagian pelayanan IFRS (satelit farmasi) ke gudang farmasi.



Permintaan perbekalan farmasi dilakukan untuk menjamin ketersediaan perbekalan



farmasi



di



bagian



pelayanan



dan



menjamin



tertib



administrasi.Permohonan permintaan dilakukan atas dasar data persediaan akhir di setiap satelit.



3. 5 Pelayanan Farmasi Klinik Dilakukan oleh Apoteker dan diberikan kepada semua pihak yang terkait yaitupasien, dokter, perawat, dan keluarga pasien. Kegiatan pelayanan farmasi klinis yang dilakukan antara lain :



61



3.5.1



Pengkajian dan Pelayanan Resep



Pengkajian dan pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, pengkajian resep, penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai termasuk peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Dalam hal pemeriksaan harus disesuaikan antara etiket dengan resep dan obat yang telah disiapkan. Apabila pasien tidak akan mengambil obat seluruhnya atau pasien meminta untuk dibuatkan copy resepnya, maka pihak IFRS harus membuatkan copy resepnya kepada pasien. Pada setiap tahap alur pelayanan resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian obat (medication error). Kegiatan ini untuk menganalisa adanya masalah terkait obat, bila ditemukan masalah terkait, obat harus dikonsultasikan kepada dokter penulis resep. Pengkajian dan pelyanan resep dilakukan oleh Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. Apoteker harus melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis, sedangkan tenaga teknis kefarmasian terbatas hanya dalam aspek administrasi dan farmasetik baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan.



3.5.2



Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat



Bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai seluruh obat yang pernah/ sedang digunakan. Kegiatan ini dapat diperoleh melalui wawancara pasien, kelaurga/pelaku rawat atau melihat data rekam medik pasien. Penelusuran riwayat penggunaan obat dilakukan oleh Apoteker.



3.5.3



Rekonsiliasi Obat



Bertujuan untuk membandingkan instruksi pengobatan dengan obat yang telah didapat pasien agar tehindar dari kesalahan obat. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data, apabila ditemukan ketidakcocokan maka apoteker melakukan konfirmasi kepada dokter, dan kegiatan ini harus didokumentasikan, setelah itu barulah apoteker menyampaikan informasi mengenai obat yang diberikan.



3.5.4



Pelayanan Informasi Obat



62



Pelayanan informasi obat kepada pasien rawat inap di RS Jiwa Provinsi Jawa Barat berupa edukasi terhadap informasi obat yang digunakan oleh pasien rawat jalan maupun rawat inap. Pelayanan informasi obat dilakukan oleh Apoteker. Informasi yang disampaikan terkait obat yang diberikan meliputi : 1. Kegunaan obat yang sedang dikonsumsi 2. Cara pakai obat, dan memberikan informasi agar selalu meminum obat denganair putih. Serta agar meminum obat tepat waktu sesuai dengan waktu yang ditetapkan 3. Efek samping yang mungkin timbul dan cara penanganannya 4. Informasi penyimpanan obat.



3.5.5



Konseling



Konseling di RS Jiwa Provinsi Jawa Barat dilakukan untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap atas inisiatif apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau keluarganya. Konseling dilakukan untuk meingkatkan kepatuhan pasien, mengoptimalkan terapi, meminimalkan risiko reaksi obat yang tidak dikehendaki dan meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan keamanan penggunaan obat bagi pasien (patient safety). Pemberian konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap Apoteker.



3.5.6



Visite



Visite di RS Jiwa Provinsi Jawa Barat dilakukan oleh apoteker dan tim medis lainnya untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi obat dan reaksi atau efek samping obat yang tidak dikehendaki.



3.5.7



Pemantauan Terapi Obat



Pemantauan Terapi Obat (PTO) adalah kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif, dan rasional bagi pasien.PTO dilakukan oleh Apoteker. PTO dilakukan terhadap pasien dengan terapi polifarmasi, pasien geriatri, pasien pediatri, pasien dengan gangguan ginjal, dan pasien yang mendapatkan obat dengan indeks terapi sempit. Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi



63



dan meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD). Langkah-langkah yang diambil dalam melakukan PTO yaitu: 1. Tentukan kasus yang diambil 2. Tentukan metode yang akan diambil, misalnya : SOAP 3. Tentukan masalah medis 4. Tentukan tujuan terapi pasien 5. Lakukan assessment



3.5.8



Monitoring Efek Samping Obat (MESO)



Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim. Bertujuan mendeteksi adanya kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki (ESO), mengidentifikasi serta mengevaluasi laporan ESO, mendiskusikan dan mendokumentasikan ESO kepada TFT serta dilaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional. MESO dilakukan oleh Apoteker dengan kolaboratif tenaga medis lainnya dalam koordinasi TFT.



3.5.9



Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)



Program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan berkesinambungan dalam menilai kerasionalan terapi obat melalui evaluasi data penggunaan obat baik secara kualitatif dan kuantitatif.. Tujuan EPO mendapatkan gambaran saat ini atas pola penggunaan obat, kemudian dibandingkan pola periode waktu tertentu, memberikan masukan untuk perbaikan dan menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat.



3.5.10 Dispersing Sediaan Steril Kegiatan dispensing sediaan steril di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat belum dilakukan oleh IFRS, tetapi dilakukan oleh tim dokter dan perawat. Kegiatan ini bertujuan menjamin agar pasien menerima obat sesuai dosis, steril dan stabil, serta melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari kesalahan pemberian obat.



3.5.11 Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)



64



Kegiatan Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) yang dilakukan dalam Instalasi Farmasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat belum dilakukan oleh IFRS. Dengan adanya PKOD dapat mengetahui kadar obat dalam darah, dan memberikan rekomendasi terapi atas PKOD.



3. 6 Administrasi Keuangan Dalam hal administrasi, Instalasi Farmasi melakukan pengarsipan atau pendokumentasian seluruh hasil kegiatan yang dilakukan dalam bentuk laporan.Baik itu laporan harian, bulanan, dan tahunan.Seluruh laporan yang dikerjakan oleh petugas farmasi dilaporkan kepada Kepala Instalasi Farmasi untuk kemudian di laporkan kembali pada manajemen dan untuk disimpan sebagai arsip. Untuk mendukung ketertiban pengarsipan atau kokumentasi, Direktur Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat mengeluarkan Surat Keputusan mengenai Prosedur Tetap Pengarsipan dan Dokumentasi. Laporan yang dibuat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat diantaranya : a. Laporan yang dikerjakan setiap hari : 1) Laporan pengeluaran obat per hari Laporan ini bersisi item dan jumlah obat yang terpakai per hari dalam format excel. jumlah obat-obatan yang keluar setiap harinya untuk kemudian dipindahkan ke kartu stok. Kartu stok disini digunakan untuk mencatat mutasi obat (penerimaan, pengluaran, hilang, rusak atau kadaluwarsa). Data yang nanti diperoleh dari kartu stok digunakan untuk menyusun laporan, perencanaan pengadaan dan sebagai pembanding terhadap keadaan fisik obat yang tersedia. 2) Laporan harian Laporan ini berisi jumlah lembar resep masuk setiap harinya yang diklasifikasikan berdasarkan kriteria berikut ini: a) Resep Rawat Jalan BPJS b) Resep Rawat Jalan Umum c) Resep IGD BPJS d) Resep IGD Umum e) Resep Rawat Inap BPJS



65



f) Resep Rawat Inap Umum Pengerjaannya dilakukan per shift oleh petugas farmasi yang bertugas pada shift tersebut. Laporan ini merupakan acuan atau dasar untuk membuat laporan bulanan. Selain berisi jumlah lembar resep, laporan ini memuat: a) Jumlah item resep keseluruhan, b) Jumlah item resep berdasarkan klasifikasi: - Generik, - Non Generik, - Non Formularium, - AKHP (Alat Kesehatan Habis Pakai). c) Jumlah item resep yang tidak terlayani, berdasarkan klasifikasi: - Generik, - Non Generik, - Non Formularium, - AKHP (Alat Kesehatan Habis Pakai) 3) Laporan penulisan obat generik per dokter Laporan ini berfungsi sebagaialat bantu untuk membuat Laporan Bulanan Penggunaan Obat Generik Berdasarkan Dokter yang menulisnya, yang kemudian akan dilaporkan setiap bulannya ke Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota. Tujuan pembuatan laporan ini adalah untuk memantau/ menilai jumlah penulisan obat generik yang ditulis seorang dokter. Format laporan ini terdiri dari: - Nama Dokter, - Bulan dan tanggal, - Jumlah lembar resep yang dirulis dokter yang bersangkutan, - Jumlah item resep dari resep yang ditulis oleh dokter yang bersangkutan, - Jumlah item resep obat generik yang ditulis oleh dokter yang bersangkutan b. Catatan atau rekapan resep perhari : 1) Rekapan resep rawat jalan - Rawat Jalan BPJS,



66



- Rawat Jalan Umum 2) Rekapan resep UGD - IGD BPJS, - IGD Umum 3) Rekapan resep rawat inap - Rawat Inap BPJS, - Rawat Inap Umum 4) Rekapan resep karyawan Rekapan Resep ini dibuat oleh tenaga administrasi yang bertugas di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat dengan menggunakan SIM RS yang telah disediakan. Rekapan ini memuat: - Tanggal di inputnya resep/ tanggal resep, - Nama Pasien, - Nomor Rekam Medis pasien, - Nama perbekalan farmasi, - Jumlah perbekalan farmasi, - Aturan pakai perbekalan farmasi, - Total harga resep Untuk resep karyawan dibuat buku catatan obat karyawan yang ditulis secara manual. Formatnya hampir sama dengan rekapan resep yang di input menggunakan soft ware yang tersedia di IFRS, namun tidak terdapat total harga. Buku catatan ini digunakan sebagai bukti penyerahan atau tanda terima obat karyawan. c. Laporan bulanan Laporan bulanan yang dibuat IFRS Provinsi Jawa Barat diantaranya: 1) Laporan Bulanan, yang merupakan rekap per bulan dari laporan harian resep rawat jalan, rawat inap dan resep IGD yang berisi jumlah lembar resep, jumlah item resep, jumlah item resep berdasarkan klasifikasi obat (generik, non generik, non formularium, AKHP), jumlah item obat yang tidak terlayani dengan klasifikasi yang sama. 2) Laporan Sisa Stok Akhir Bulan, 3) Laporan Narkotik dan Psikotropik,



67



4) Laporan Akuntabilitas IFRS, 5) Laporan Bulanan Penulisan Obat Generik Per Dokter, 6) Laporan Penggunaan Antibiotik, 7) Laporan Penggunaan Injeksi Pengklaiman resep Jaminan Sosial dilakukan oleh bagian keuangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.Sedangkan untuk resep umum, IFRS tidak melayani pembayaran.Transaksi pembayaran hanya dilakukan di loket pembayaran. Dalam hal keuangan, seluruh pendapatan Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat di setor ke kas Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat karena saat ini Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat sudah berbentuk Badan Layanan Umum Daerah yang dapat mengelola keuangannya sendiri.



BAB IV TUGAS KHUSUS TEMUAN OBAT DI RUANG PERAWATAN



Distribusi



adalah



suatu



rangkaian



kegiatan



dalam



rangka



menyalurkan/menyerahkan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien dengan tetap menjaga mutu, stabilitas, jenis, jumlah dan ketepatan waktu. Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat telah menggunakan system unit dosis dalam pendistribusiannya, dimana system unit dosis ini berdasarkan resep perseorangan yang disiapkan dalam unit dosis tunggal untuk penggunaan satu kali dosis per pasien.



System distribusi unit dosis ini sangat dianjurkan untuk pasien rawat inap mengingat dengan system ini tingkat kesalahan pemberian obat dapat diminimalkan dibandingkan dengan system floor stock. Pendistribusian system floor stock adalah persediaan perbekalan farmasi di ruang rawat. Dimana dengan system ini ada beberapa kerugian terhadap perbekalan farmasi apabila terdapat diruang perawatan yaitu : 1) Resiko kesalahan pemberian obat 2) Meningkatkan resiko terjadinya kerusakan obat karena cara penyimpanan yang tidak benar 3) Meningkatkan



persediaan



obat



diruang



perawatan



sehingga



besar



kemungkinan terjadi penumpukan stok obat diruang perawatan 4) Memperbesar kemungkinan kebocoran obat karena tidak adanya pengawasan dari pihak farmasi dan menjadi tidak terkendali. Sehingga Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat menggunakan system unit dosis dalam pendistribusiannya kepada pasien rawat inap agar tetap menjaga keamanan, efikasi dan kualitas obat. Untuk menerapkan atau mendukung system ini maka Instalasi Farmasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat melakukan pemeriksaan kesetiap ruang perawatan untuk temuan adanya obat yang terdapat atau disimpan



68



69



dalam ruang perawatan setiap tahunnya. Adapun temuan obat yang didapatkan diruang perawatan dapat dilihat pada tabel 4.1.



Adanya temuan obat yang disimpan di ruang perawatan ini dapat disebabkan karena pasien tidak ingin minum obat atau pasien telah diperbolehkan pulang dan dibawa oleh keluarga, sehingga obat tidak sempat diminum dan di biarkan berada di ruang perawatan dan tidak dikembalikan ke Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Dengan adanya obat di ruang perawatan dapat terjadi penyalahgunaan obat oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, terutama terhadap obat-obat yang masuk kedalam obat jiwa yang bersifat adiktif.



Untuk tindak lanjut yang



dilakukan oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat, obat-obat yang ditemukan ini ditarik dan direkap untuk kemudian dibuat laporannya dan diarsipkan.



Tabel 4. 1 Daftar Temuan Perbekalan Farmasi di Ruang Perawatan RS Jiwa Provinsi Jawa Barat NO



Nama Obat



Jumlah



ED



Ruangan



1



ABILIFY 15 MG



1



Apr-21



ELANG



2



ALLOPURINOL 100 MG



3



-



ELANG



3



AMITRIPTYLINE 25 MG



1



-



ELANG



4



AMLODIPINE 5 MG



1



-



ELANG



5



CARBAMAZEPINE



3



-



ELANG



6



CEFADROXIL 500



1



-



ELANG



7



CETIRIZINE 10 MG



1



-



ELANG



8



CHLORPROMAZINE



6



-



ELANG



9



CLOZAPINE 100 MG



8



-



ELANG



10



CLOZAPINE 25 MG



42



Feb-21



ELANG



11



CURCUMA TAB



1



-



ELANG



12



DEPAKOTE ER 250 MG



5



-



ELANG



13



DEPAKOTE ER 500 MG



5



-



ELANG



14



DIAZEPAM 5 MG



7



-



ELANG



15



HALOPERIDOL 5 MG



6



-



ELANG



16



LORAZEPAM 2 MG



2



-



ELANG



17



MERLOPAM 0,5



1



-



ELANG



18



METFORMIN 850 MG



1



-



ELANG



19



NEW ANTIDES



4



-



ELANG



20



OLANZAPINE 10 MG



1



-



ELANG



70



21



OLANZAPINE 10 MG



1



-



ELANG



22



ORALIT



5



Jul-23



ELANG



23



PAPAVERINE TAB



1



-



ELANG



24



PARACETAMOL 500



1



-



ELANG



25



PIROXICAM 10 MG



2



-



ELANG



26



RISPERIDONE 2 MG



91



Jun-21



ELANG



27



RISPERIDONE 3 MG



10



-



ELANG



28



SANDEPRIL 50 MG



1



-



ELANG



29



SEROQUEL XR 300



4



-



ELANG



30



SEROQUEL XR 400



4



-



ELANG



31



SERTALINE 50 MG



1



-



ELANG



32



STELOSI 5 MG



10



-



ELANG



33



THF 2 MG



7



-



ELANG



34



TRIFLUOPERAZINE



2



-



ELANG



35



VITAMIN B COMPLEX



1



-



ELANG



36



BD ALKOHOL SWAB



8



Sep-23



GELATIK



37



CARBAMAZEPINE



1



-



GELATIK



38



CLOZAPINE 100 MG



5



-



GELATIK



39



CLOZAPINE 25 MG



4



-



GELATIK



40



CURCUMA TAB



1



-



GELATIK



41



DIAZEPAM 5 MG



7



-



GELATIK



42



DIAZEPAM INJEKSI



17



Jan-20



GELATIK



43



DIAZEPAM INJEKSI



6



Nov-22



GELATIK



44



DIPHENHYDAMINE INJEKSI



17



Aug-22



GELATIK



45



GENTAMYCIN SULFAT ED



1



Nov-21



GELATIK



46



HALOPERIDOL 5 MG



6



-



GELATIK



47



LODOMER DROP



1



Apr-21



GELATIK



48



LODOMER INJEKSI



17



Aug-22



GELATIK



49



LORAZEPAM 2 MG



3



-



GELATIK



50



NEEDLE 24



8



Mar-23



GELATIK



51



OLANZAPINE 10 MG



1



-



GELATIK



52



OLANZAPINE 5 MG



1



-



GELATIK



53



ORALIT



18



Feb-23



GELATIK



54



RISPERIDONE 2 MG



15



-



GELATIK



55



RISPERIDONE 3 MG



4



-



GELATIK



56



SARUNG TANGAN NON STERIL



2



-



GELATIK



57



SEROQEL XR 400



1



-



GELATIK



58



SERTALINE 50 MG



1



-



GELATIK



59



SPUIT 3CC



29



Mar-24



GELATIK



60



STELOSI



1



-



GELATIK



61



TRIHEXYPHENIDYL 2 MG



15



-



GELATIK



62



WATER FOR INJEKSI



16



Aug-24



GELATIK



63



ZYPREXA 10 MG



4



-



GELATIK



71



64



ZYPREXA INJEKSI



1



Jan-20



GELATIK



65



ZYPREXA INJEKSI



5



Feb-20



GELATIK



66



ZYPREXA INJEKSI



4



Dec-20



GELATIK



67



ABILIFY 10 MG



1







RAJAWALI



68



ABILIFY 15 MG



1







RAJAWALI



69



ALKOHOL SWAB



2







RAJAWALI



70



AMITRIPTYLINE 25 MG



1







RAJAWALI



71



AMLODIPINE 5 MG



1







RAJAWALI



72



AMOXICILLIN



1







RAJAWALI



73



ASAM MEFENAMAT



1







RAJAWALI



74



AZITROMISIN



1







RAJAWALI



75



CEFADROXIL 500



4



Jul-20



RAJAWALI



76



CEFIXIME 200 MG



2







RAJAWALI



77



CETIRIZINE 10 MG



5







RAJAWALI



78



CHLORPROMAZINE 100 MG



20



Mei-19



RAJAWALI



79



CLINDAMYCIN



7







RAJAWALI



80



CLOZAPINE 100 MG



6







RAJAWALI



81



CLOZAPINE 25 MG



10







RAJAWALI



82



COTRIMOXAZOLE



4







RAJAWALI



83



CURCUMA TAB



18



Jan-21



RAJAWALI



84



DEPAKOTE ER 250 MG



1







RAJAWALI



85



DIAZEPAM 5 MG



9







RAJAWALI



86



DIAZEPAM INJEKSI



5



Jan-20



RAJAWALI



87



DIAZEPAM INJEKSI



7



Nov-22



RAJAWALI



88



DIFENHIDRAMINE INJEKSI



7



Sep-22



RAJAWALI



89



DOMPERIDONE



2







RAJAWALI



90



HALOPERIDOL 1,5 MG



5







RAJAWALI



91



HALOPERIDOL 5 MG



75







RAJAWALI



92



KETOPROFEN



1



May-21



RAJAWALI



93



LEVOFLOXACIN



4







RAJAWALI



94



LINCOMYCIN



3







RAJAWALI



95



LODOMER INJ



5



Aug-22



RAJAWALI



96



LODOMER INJESI



3



Aug-22



RAJAWALI



97



LORAZEPAM 2 MG



22



Sep-22



RAJAWALI



98



MECOBALAMIN



1







RAJAWALI



99



MERLOPAM 0,5 MG



3







RAJAWALI



100



METRONIDAZOLE



2







RAJAWALI



101



NEEDLE 24



41



Mar-23



RAJAWALI



102



NEUROBION



1







RAJAWALI



103



NEW ANTIDES (ATTAPULGITE)



1







RAJAWALI



104



OMEPRAZOLE



1







RAJAWALI



105



PARASETAMOL



4







RAJAWALI



106



PHENOBARBITAL 30 MG



3







RAJAWALI



72



107



PHENYTOIN 100 MG



1







RAJAWALI



108



PROLEPSI



1







RAJAWALI



109



RESPIREX SYR



1



Sep-20



RAJAWALI



110



RISPERIDONE 1 MG



1







RAJAWALI



111



RISPERIDONE 2 MG



27



Jun-21



RAJAWALI



112



RISPERIDONE 3 MG



7







RAJAWALI



113



SEROQUEL 400 MG



2







RAJAWALI



114



SERTRALINE 50 MG



5



Aug-21



RAJAWALI



115



SPUIT 3CC



79







RAJAWALI



116



STELOSI 5 MG



11



Jun-23



RAJAWALI



117



STESOLID RECTAL TUBE



2







RAJAWALI



118



TRIFLUOPERAZINE



3







RAJAWALI



119



TRIHEXYPHENIDYL 2 MG



31



Aug-20



RAJAWALI



120



VITAMIN B COMPLEX



5







RAJAWALI



121



WFI



61



Sep-23



RAJAWALI



122



ZYPREXA 10 MG



2







RAJAWALI



123



ZYPREXA 5 MG



4







RAJAWALI



124



ZYPREXA INJEKSI



11



Feb-20



RAJAWALI



125



ZYPREXA INJEKSI



6



Aug-19



RAJAWALI



126



ZYPREXA INJEKSI



55



Jan-20



RAJAWALI



127



RESPIREX SYR



1



Sep-20



MERPATI



128



ABILIFY DISCMELT 15 MG



1



129



ALCOHOL SWAB BD



2



130



AMLODIPINE 5 MG



2



MERPATI



131



AMOXICILLIN 500 MG



1



MERPATI



132



CHLORPROMAZINE HCL



2



MERPATI



133



CLOZAPIN 100 MG



1



MERPATI



134



CURCUMA



2



MERPATI



135



DEPAKOTE 500 MG



2



MERPATI



136



DEPAKOTE ER 250 MG



5



MERPATI



137



HALOPERIDOL 5 MG



3



Aug-20



MERPATI



138



KETOPROFEN 100 MG



9



May-20



MERPATI



139



LORAZEPAM 2 MG



4



MERPATI



140



MERLOPAM 0,5 MG



1



MERPATI



141



METHYL PREDNISOLONE



2



MERPATI



142



NEEDLE 24



2



143



NEUROBION



1



MERPATI



144



NEW ANTIDES



3



MERPATI



145



PARASETAMOL



4



146



RANITIDIN



2



MERPATI



147



RISPERIDONE 2 MG



3



MERPATI



148



RISPERIDONE 3 MG



13



MERPATI



149



SCABIMITE



2



MERPATI Sep-20



Mar-20



Apr-20



Aug-20



MERPATI



MERPATI



MERPATI



MERPATI



73



150



SEROQUEL 200 MG



6



MERPATI



151



SEROQUEL 400 MG



2



MERPATI



152



SERTRALINE 50 MG



1



MERPATI



153



TRIHEXYPHENIDYL 2 MG



1



154



VITAMIN B COMPLEX



1



155



VITAMMIN C



2



156



WFI



3



Feb-20



MERPATI



157



WFI



1



Aug-20



MERPATI



158



ZYPREXA INJEKSI



2



Jan-20



MERPATI



159



ZYPREXA INJEKSI



2



Des-20



MERPATI



MERPATI Apr-20



MERPATI MERPATI



BAB V KESIMPULAN DAN SARAN



5. 1 Kesimpulan Berdasarkan hasil Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang telah dilakukan diRumahSakitJiwaProvinsiJawa Barat selama bulan Januari-Februari 2020, dapat disimpulkan bahwa: 1. Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat merupakan rumah sakit Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang termasuk kategori Rumah Sakit Khusus kelas A. 2. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat dimulai dari pemilihan,



perencanaan,



pengadaan,



penerimaan,



penyimpanan,



pendistribusian, pengendalian, penghapusan dan pemusnahan, pencatatan dan pelaporan serta administrasi. 3. Pemberian obat untuk rawat jalan diberikan obatnya untuk penggunaan satu bulan sedangkan untuk pemberian obat rawat inap untuk satu minggu dan diberikan kepada pasien dengan bantuan perawat serta diterapkan dalam sistem unit dose.



5. 2 Saran Adapun saran yang dapat penulis sampaikan sebagai masukan yang kiranya dapat bermanfaat bagi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat yaitu: 1. Untukmeningkatkanmutupelayanan, terutamapelayananfarmasiklinikdiperlukanpenambahanjumlahtenagaapoteker sehinggaterapipasiendapattercapaidengantepat, efektif, danaman. 2. Perlunya peningkatansaranainformasiobatkepada pasien dan keluarga pasien, sepertipenyediaanbrosur-brosurobat,



majalahkesehatan,



dan



lain-lain



untukmeningkatkanpengetahuankesehatan. 3. Pelaksanaan



pelayanan



kliniklebihditingkatkandandilakukansecaraterjadwal terapipasiendapattercapaidengantepat, efektif, danaman.



74



farmasi agar



DAFTAR PUSTAKA Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016, tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2014 Tentang Klasifikasi Dan Perizinan Rumah Sakit, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang, Akreditasi Rumah Sakit, Departemen Kesehatan Republik Indonesia Jakarta. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2012, tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah, Jakarta. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun 2009, tentang Pekerjaan Kefarmasian, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, Presiden Republik Indonesia, Jakarta. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Daerah Provinsi Jawa Barart, Gubernur Jawa Barat, Bandung. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 59 Tahun 2009 Tentang Tugas Pokok, Fungsi, Rincian Tugas Unit dan Tata Kerja Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat, Gubernur Jawa Barat, Bandung. Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah No. 17 Tahun 2012 Tentang E-Purchasing, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Republik Indonesia, Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Departemen Kesehatan Republik Indonesia Jakarta.



75



LAMPIRAN 1



76



DENAH RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI JAWA BARAT



LAMPIRAN 2 STRUKTUR ORGANISASI RUMAH SAKIT JIWA JAWA BARAT



77



78



LAMPIRAN 3 STRUKTUR IFRS JIWA PROVINSI JAWA BARAT



Direktur Dr. Rr. Endang Noersita Daim, MPH



Wadir Pelayanan Dr. H. RizaPutra,Sp.KJ



Ka. Instalasi Farmasi EkaPrasetyawati, S.Si., Apt.



PJ Administrasi IFRS AsepHeryadi



PJ Pengelolaan Sediaan Farmasi Saelendra, S.Si.,Apt



PJ Pelayanan Farmasi Klinik Dra. Timan Sari Barus,Apt.



PJ Managemen Mutu & SDM Ardi Yoga, A.Md.Farm



Staff/TTK



79



LAMPIRAN 4 PELAYANAN KEFARMASIAN



80



LAMPIRAN 5 BON PERMINTAAN BARANG



81



LAMPIRAN 6 KARTU STOK OBAT



82



LAMPIRAN 7 NOTA PENJUALAN



83



LAMPIRAN 8 ETIKET DAN PENGEMAS



84



LAMPIRAN 9 SALINAN RESEP



85



LAMPIRAN 10 FORM KONSELING



86



LAMPIRAN 11 BOX OBAT UDD



87



LAMPIRAN 12 LEMARI UDD DI RUANG INAP



88



LAMPIRAN 13 e-PURCHASING (SISTEM PENGADAAN SECARA ELEKTRONIK)



89



LAMPIRAN 14 FORM SERAH TERIMA OBAT & ALKES



90



LAMPIRAN 15 FORM REKONSILIASI TERAPI



91



LAMPIRAN 16 CONTOH SOP



92



LAMPIRAN 17 FORM LAPORAN VISITE



93



94



LAMPIRAN 18 FORM MESO



95