Formulasi Dan Fortifikasi Pangan [PDF]

  • Author / Uploaded
  • anisa
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

FORMULASI DAN FORTIFIKASI PANGAN



OLEH :



NAMA NIM KELAS



: : :



IKHTIANA ANNISA Q1A119041 ITP A 2019



JURUSAN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2020



A. Pengertian Fortifikasi Fortifikasi pangan (pangan yang lazim dikonsumsi) dengan zat gizi mikro adalah salah satu strategi utama yang dapat digunakan untuk meningkatkan status mikronutrien pangan. Fortifikasi harus dipandang sebagai upaya (bagian dari upaya) untuk memperbaiki kualitas pangan selain dari perbaikan praktek-praktek pertanian yang baik (good agricultural practices ), perbaikan pengolahan dan penyimpangan pangan ( good manufacturing practices ), dan memperbaiki pendidikan konsumen untuk mengadopsi praktek-praktek penyediaan pangan yang baik. B. Jenis-Jenis Fortifikasi Industri pangan/makanan memegang peranan kunci dalam setiap program fortifikasi di setiap negara Kekurangan zat gizimikro adalah problem kesehatan masyarakat. Beberapa aspek program fortifikasi pangan, bagaimanapun, seperti penentuan prevalensi kekurangan, pemilihan intervensi yang tepat, penghitungan taraf asupan makanan (zat gizi), konsumsi pangan pembawa sehari-hari dan fortifikan yang akan ditambahkan, dan juga teknologinya (pengembangan teknologi), harus dievaluasi oleh otoritas ilmu pengetahuan di bidang kesehatan masyarakat dan pertanian, dan yang lainnya. 1) Fortifikasi Yodium Defisiensi Yodium dihasilkan dari kondisi geologis yang irreversiber itu sebabnya, penganekaragaman makanan dengan menggunakan pangan yang tumbuh di daerah dengan tipe tanah dengan menggunakan pangan yang sama tidak dapat meningkatkan asupan Yodium oleh individu ataupun komunitas. Diantara strategi-strategi untuk penghampusan GAKI, pendekatan jangka panjang adalah fortifikasi pangan dengan Yodium. Sampai tahun 60an, beberapa cara suplementasi yodium dalam dies yang telah diusulkan berbagai jenis pangan pembawa seperti garam, roti, susu, gula, dan air tela dicoba Iodisasi garam menjadi metode yang paling umum yang diterima di kebanyakan negara di dunia sebab garam digunakan secara luas dan serangan oleh seluruh lapisan masyarakat. Prosesnya adalah sederhana dan tidak mahal. Fortifikasi yang biasa digunakan adalah Kalium Yodida (KI) dan Kalium Iodat (KID3). Iodat lebih stabil dalam  ‘impure salt ‘ pada penyerapan dan kondisi lingkungan (kelembaban) yang buruk penambahan tidak menambah warna, penambahan dan rasa garam. Negara-negara yang dengan program iodisasi garam yang efektif memperlihatkan pengurangan yang berkesinambungan akan prevalensi GAKI. (Siagian, 2003) Contoh : Beras Fortifikasi Iodium Kebutuhan iodium untuk setiap kelompok umur berbeda-beda. Kebutuhan iodium untuk anakanak adalah 40-120 μg/hari, orang dewasa 150 μg/hari, sedangkan untuk ibu hamil dan menyusui ditambah masing-masing 25 μg/hari dan



150 μg/hari. Pembuatan beras beriodium sangat sederhana karena tidak perlu menggunakan peralatan khusus. Dengan penambahan alat pengkabut fortifikan iodium pada komponen alat penyosoh akan diperoleh hasil beras giling yang mengandung iodium. Fortifikan yang digunakan adalah iodat 1 ppm. Larutan fortifikan dikabutkan dengan bantuan tekanan udara 40 psi yang berasal dari kompresor, sehingga terjadi kabut fortifikan iodium. Debet fortifikan yang digunakan 4-5 l/jam tergantung pada kekeringan beras yang di fortifikasi(DEPTAN,2008) . 2) Fortifikasi Besi Dibandingkan dengan strategi lain yang digunakan untuk perbaikan anemi gizi besi, fortifikasi zat gizi besi dipandang oleh beberapa peneliti merupakan strategi termurah untuk memulai, mempertahankan, mencapai/mencakup jumlah populasi yang terbesar, dan menjamin pendekatanjangka panjang (Cook and Reuser, 1983). Fortifikasi Zat besi tidak menyebabkan efek samping pada saluran pencernaan. Inilah keuntungan pokok dalam hal keterterimaannya oleh konsumen dan pemasaran produk-produk yang diperkaya dengan besi. Penetapan target penerima fortifikasi zat besi, yaitu mereka yang rentan defisie zat besi, merupakan strategi yang aman dan efektif untuk mengatasi masalah anemi besi (Ballot, 1989). Pilihan pendekatan ditentukan oleh prevalensi dan beratnya kekurangan zat besi (INAAG, 1977). Tahapan kritis dalam perencanaan program fortifikasi besi adalah pemilihan senyawa besi yang dapat diterima dan dapat diserap (Cook and Reuser, 1983). Harus diperhatikan bahwa wanita hamil membutuhkan zat besi sangat besar selama akhir trimester kedua kehamilan. Terdapat beberapa iortifikan yang umum digunakan untuk fortifikasi besi seperti  besi sulfat besi glukonat, besi laktat, besi ammonium sulfat, dan lain-lain. (Siagian, 2003) CONTOH : Fortifikasi zat besi pada mie kering yang dibuat dari formulasi tepung terigu dan tepung singkong 3) Fortifikasi Vitamin A Fortifikasi pangan dengan vitamin A memegang peranan penting untuk mengatasi problem kekurangan vitamin A dengan menjembatani jurang antara asupan vitamin A dengan kebutuhannya. Fortifikasi dengan vitamin A adalah strategi jangka panjang untuk mempertahankan kecukupan vitamin A. Kebanyakan vitamin yang diproduksi secara komersial (secara kimia) identik dengan vitamin yang terdapat secara alami dalam bahan makanan. Vitamin yang larut dalam lemak (seperti vitamin A) biasanya tersedia dalam bentuk larutan minyak (oil solution), emulsi atau kering, keadaan yang stabil yang dapat disatukan/digabungkan dengan campuran multivitamin-mineral atau secara langsung ditambahkan ke pangan. Bentuk komersial yang paling penting dari vitamin A adalah vitamin A asetat dan vitamin A palmitat. Vitamin A dalam bentuk retionol  atau karoten (sebagai beta-karoten dan beta-apo-8’ karotenal) dapat dibuat secara komersial untuk ditambahkan ke pangan.



Contoh : Pangan pembawa seperti gula, lemak, dan minyak, garam, the, sereal, dan monosodium glutamat (MSG) telah (dapat) difortifikasi  oleh vitamin A. (Siagian, 2003) 4) Fortifikasi Pada Susu Penambahan fortifikan protein pada susu bubuk biasanya menggunakan kasein dan whei, namun keduanya sangat mahal dan belum diproduksi di dalam negeri, maka diperlukan sumber protein yang lebih murah. Penggalian potensi sumber daya alam yang diberi sentuhan teknologi diharapkan mampu meningkatkan nilai tambah produk turunan susu dan menjawab kebutuhan akan pangan tinggi protein. Hasil penelitian Hera (2012) ini mengindikasikan bahwa IPPUS berpotensi untuk dikembangkan sebagai fotifikan untuk menghasilkan susu bubuk tinggi protein. Prosedur yang dilakukan melalui enam tahap yakni pembuatan tepung pupa, penghilangan lemak (delipidasi), isolasi protein, pengeringan isolat, fortifikasi isolat ke dalam susu bubuk dan analisis kualitas susu bubuk yang telah difortifikasi. Delipidasi menjadi tahapan yang sangat penting karena lemak merupakan komponen terbesar kedua setelah protein dalam bahan kering tepung pupa. Fortifikasi IPPUS pada taraf 20% menghasilkan susu bubuk dengan kadar protein yang berbeda nyata yakni 40,44% dan kecernaan protein secara in vitro sebesar 95,15%. Kadar protein ini mencukupi 32,15%-40,44% kebutuhan protein harian manusia. Namun dengan menggunakan formula terpilih ini, menurunkan kesukaan panelis. Hera bersama rekannya melakukan riset dengan menambahkan flavor sebanyak 15%. 5) Fortifikasi Keju Keju cottage  yang beredar di pasaran hampir memiliki semua kebaikan susu, namun kandungan vitamin C nya sangat rendah. Selama proses pengolahan,  akibat adanya panas dan sinar,  kandunga n vitamin C dalam susu hampir sebagian besar telah teroksidasi. Padahal vitamin C yang secara kimia berguna sebagai antioksidan bagi beberapa jenis maka nan termasuk produk olahan susu (deMan, 1997). Menurut Sweeney dan Ashoor (1988), banyak penelitian yang menyangkut tentang fortifikasi vitamin pada  susu, tetapi tidak pada keju cottage. Lemon merupakan salah satu jenis je ruk yang cocok untuk ditanam di daerah tropis seperti Indonesia. Lem on mengandung vitamin C sebesar 53 mg/100 gram, jumlah yang cukup banyak dibandingkan dengan jeruk jenis lain. Cairan buahnya yang asam sering digunakan dalam pembuatan berbagai jenis makanan juga obat, dan karena kandungan asam sitratnya yang tinggi, lemon juga bersifat bakterisida. Besarnya manfaat vitamin C baik untuk tubuh maupun untuk makanan itu sendiri membuat pentingnya fortifikasi vitamin tersebut pada keju cottage . Diharapkan dengan fortifikasi lemon ke dalam keju cottage , maka akan meningkatkan kandungan vitamin C dalam keju.  Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Egrina (2009), menggunakan susu skim sebagai bahan dasar pembuatan keju  cottage  dengan menggunakan kultur bakteri starter campuran



Streptococcus thermophilus, Lactococcus lactis dan Leuconostoc mesentroides  serta menambahkan enzim papain sebagai koagulan. Monphongchai (2003) melakukan fortifikasi jus apel,  anggur, blewah dan semangka pada produksi keju cheddar.  Menurut uji organoleptik, keju yang difortifikasi dengan 10% jus apel menunjukkan keju tersebut dapat diterima namun belum diuji kandungan gizinya. Jauh sebelumnya, Sweeney dan Ashoor (1988) telah melakukan fortifikasi vitamin A dan C sintetik pada keju  cottage, diperoleh hasil bahwa fortifikasi tidak mempengaruhi pH dan sifat sensori keju secara signifikan. Kadar lemak dan ukuran wadah tidak mempengaruhi penurunan kadar vitamin pada keju yang disimpan pada lemari pendingin.  Beberapa penelitian lebih lanjut menjelaskan tentang pembuatan keju cottage  terfortifikasi vitamin C. Penelitian  yang akan dilakukan yaitu pembuatan keju  cottage  berbahan dasar susu skim  dengan bakteri starter Streptococcus thermophillus, Lactococcus lactis,  dan Leuconostoc mesenteroides  dan papain sebagai koagulan serta fortifikasi sari buah lemon sebagai sumber vitamin C alami dalam berbagai perbandingan untuk meningkatkan vitamin C keju yang dihasilkan. C. Pangan Yang Sudah Di Fortifikasi Pangan yang sudah di fortifikasi biasanya merupakan Fortifikasi wajib diharuskan oleh undang-undang dan peraturan pemerintah. Sasaran utama program fortifikasi wajib adalah masyarakat miskin, meskipun masyarakat lain yang tidak miskin juga tercakup. Oleh karena itu fortifikasi wajib lebih banyak menjadi perhatian pemerintah sebagai bagian tanggung jawabnya untuk mensejahterakan masyarakat. Sedang komoditi makanan yang difortifikasi lebih terbatas karena harus memenuhi persyaratan tertentu. makanan yang umumnya difortifikasi (wajib) terbatas pada jenis makanan pokok  (terigu, jagung, beras),  makanan penyedap atau bumbu seperti garam, minyak goreng, gula,  kecap kedele, kecap ikan, dan Mono Sodium Glutamat (MSG). Misalnya di RRC : kecap kedele dan kecap ikan difortifikasi dengan zat besi ; tepung terigu dengan zat besi, asam folat, dan vitamin A ; beras dengan zat besi dan direncanakan juga dengan vitamin A. India : tepung terigu  dengan zat besi, asam folat, dan vitamin B ; gula  dengan vitamin A ;  minyak dan lemak, teh, dan susu dengan vitamin A. Philipina : fortifikasi  tepung terigu dengan zat besi, asam folat dan vitamin A. Thailand : mie dengan zat besi, yodium dan vitamin A ; beras dengan zat besi, vitamin B1, B2, B6, dan niacin. Vietnam : kecap ikan dengan zat besi ; gula dengan vitamin A.



Amerika Latin :tepung terigu dan tepung jagung difortifikasi dengan zat besi ; gula dengan vitamin A. Indonesia : Garam dengan Yodium, tepung terigu dengan zat besi, seng, asam folat, vitamin B1 dan B2, dan minyak goreng dengan vitamin A. D. Pangan Yang Belum Di Fortifikasi Pangan yang belum di fortifikasi merupakan jenis pangan yag kandungan nutrisinya sudah memenuhi standar kebutuhan nutrisi. Pada umumnya pangan yang belum atau tidak di fortifikasi merupakn pangan alami misalnya; telur, daging, sayur, buah dll



SUMBER : Anonim. Tanpa Tahun. ”Food Fortification: Need For A More Proactive Approach” Dalam Http://Www.Mostproject.Org/PDF/4pagefortcolor.Pdf Allen L, De Benoist B, Dary O, Hurrell R (Eds) 2006. Guidelines On Food Fortification With Micronutrients. World Health Organization And Food And Agriculture Organization Of The United Nations. WHO Press, World Health Organization, Geneva, Switzerland. Siagian, Albiner. 2003. Pendekatan Fortifikasi Pangan Untuk Mengatasi Masalah Kekurangan Zat Gizimikro. Fakultas Kesehatan Masyarakat : Universitas Sumatera Utara Soekirman.2011. Perkembangan Fortikasi Di Http://Www.Kfindonesia.Org/Index.Php?Pgid=11&Contentid=12



Indonesia.



Soekirman.2011.FORTIFIKASI PANGAN:PROGRAM GIZI UTAMA MASA DEPAN. Koalisi Fortifikasi Indonesia (KFI)