Makalah ITP Fortifikasi Pangan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH ILMU TEKNOLOGI PANGAN “FORTIFIKASI PANGAN”



Disusun oleh : Pricillia Grenata Sambeka 71134001120015



POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN MANADO PROGRAM STUDI D-III GIZI TINGKAT 2 SEMESTER 3 2021



1



KATA PENGANTAR



Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “FORTIFIKASI PANGAN” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Ilmu Teknologi Pangan. Dan kami berterima kasih kepada Bapak Phembriah Saither Kereh, SPd, SST, M.Si, selaku dosen mata kuliah Ilmu Teknologi Pangan yang telah memberikan tugas makalah ini kepada kami. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu mohon maaf bila ada salah kata dalam pengetikan yang tidak di sengaja. Dan kami juga menerima kritik dan saran yang akan membangun kami untuk jauh lebih baik kedepannya.



2



DAFTAR ISI COVER……………………………………………………………………………………1 KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….2 DAFTAR ISI……..………………………………………………………………………..3 BAB I……………………………………………………………………………………...4 PENDAHULUAN…...........................................................................................................4 1. Latar Belakang…………………………………………………………………....4 2. Rumusan Masalah……………............................................................……...........5 3. Tujuan Pembahasan................................................................................................5



BAB II.......................................................................................................................6 PEMBAHASAN.......................................................................................................6 A. B. C. D. E. F.



Pengertian Fortifikasi Pangan.......................................................................6 Spesifikasi Dan Pengawasan Mutu (Quality Control)..................................6 Tujuan Fortifikasi Pangan di Indonesia........................................................7 Klasifikasi Fortifikasi Pangan…………………….………………………..7 Jenis-jenis Fortifikasi Pangan……………………………...……………….8 Teknik dan Syarat Fortifikasi Pangan……….……………………………...11 a. Teknik-teknik Fortifikasi Pangan…...................................................11 b. Syarat-syarat Fortifikasi Pangan….....................................................14 G. Peran Fortifikasi Pangan dalam Permasalahan Gizi di Indoensia..................16 H. Contoh Makanan Fortifikasi Pangan..............................................................19 I. Kelebihan dan Keterbatasan Fortifikasi Pangan.............................................20 BAB III……………………………………………………………............................23 PENUTUP……….......................................................................................................23 A. KESIMPULAN…...........................................................................................23 DAFTAR PUSTAKA…….........................................................................................24 SOAL JAWABAN PILIHAN GANDA.....................................................................25



3



BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki beban masalah gizi ganda, yaitu masalah gizi kkurang dan gizi lebih. Masalah gizi kurang yang sedang kita hadapi diantaranya Anemia Defisiensi Besi (ADB), Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), Kurang Vitamin A (KVA), dan Kurang Energi Protein (KEP). Sementara itu, masalah gizi lebih yang mulai mengalami peningkatan prevalensi yaitu obesitas. Melihat permasalahan tersebut, pemerintah, industry dan masyarakat harus bersama-sama bahu membahu untuk mengatasi masalah ini. Salah satu usaha untuk mengatasinya ialah dengan jalan fortifikasi mikronutrien pada produk pangan. Perbaikan pangan berupa modifikasi dan diversifikasi pangan merupakan metoda yang paling ideal. Namun, seringkali dalam prakteknya memiliki berbagai keterbatasan, antara lain sulitnya merubah kebiasaan kesukaan seseorang akan jenis makanan serta mahalnya bahan pangan yang kaya akan zat gizi mikro, contohnya zat besi dengan bioavailabilitas tinggi seperti daging-dagingan. Atas dasar itulah maka perlu dilakukan terobosan teknologi yang murah, memberikan dampak yang nyata, diterima oleh masyarakat dan berkelanjutan. Diantara berbagai solusi perbaikan gizi, fortifikasi merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan. Fortifikasi sendiri merupakan penambahan satu atau lebih zat gizi ke dalam pangan. Dengan demikian dengan fortifikasi ini akan mencegah defisiensi zat gizi tertentu, memperbaiki kekurangan zat gizi, mengembalikan zat yang pada awalnya terdapat dalam jumlah yang signifikan akan tetapi mengalami kehilangan dalam pengolahan, meningkatkan kualitas gizi produk pangan olahan yang digunakan sebagai sumber pangan, menajamin ekuifalensi gizi dari produk pangan olahan yang menggantikan pangan lain seperti margarin menggantikan mentega. Makalah ini akan membahas lebih lanjut mengenai fortifikasi, diantaranya pengertian fortifikasi, tujuan fortifikasi, sejarah fortifikasi pangan di Indonesia, klasifikasi fortifikasi, jenisjenis fortifikasi, peran fortifikasi pangan dalam mengatasi masalah defisiensi zat gizi mikro di Indonesia, syarat-syarat fortifikasi pangan, contoh makanan yang difortifikasi, serta kelebihan dan keterbatasan fortifikasi.



4



2. Rumusan Masalah 1) Apa itu fortifikasi dan apa tujuan dari fortifikasi ? 2) Bagaimana sejarah fortifikasi pangan di Indonesia ? 3) Apa saja klasifikasi fortifikasi pangan ? 4) Apa saja jenis-jenis fortifikasi pangan ? 5) Bagaimana syarat-syarat pangan agar dapat dilakukan fortifikasi ? 6) Bagaimana teknik fortifikasi pangan ? 7) Bagaimana peran fortifikasi pangan dalam mengatasi permasalahan gizi di Indonesia ? 8) Apa saja contoh-contoh makanan yang dapat di fortifikasi ? 9) Apa saja kelebihan dan keterbatasan dalam fortifikasi pangan 3. Tujuan Pembahasan 1) Untuk mengetahui pengertian fortifikasi dan tujuan dari fortifikasi 2) Untuk mengetahui bagaimana sejarah fortifikasi pangan di Indonesia 3) Untuk mengetahui klasifikasi dari fortifikasi pangan 4) Untuk mengetahui jenis-jenis fortifikasi pangan 5) Untuk mengetahui bagaimana syarat-syarat pangan agar dapat dilakukan fortifikasi 6) Untuk mengetahui teknik-teknik fortifikasi pangan 7) Untuk mengetahui bagaimana peran fortifikasi pangan dalam mengatasi permasalahan gizi di Indonesia 8) Untuk mengetahui contoh-contoh makanan yang dapat di fortifikasi 9) Untuk mengetahui kelebihan dan keterbatasan dalam fortifikasi pangan



5



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Fortifikasi Fortifikasi adalah sebuah upaya yang sengaja dilakukan untuk menambahkan mikronutrien yang penting, yaitu vitamin dan mineral ke dalam makanan, sehingga dapat meningkatkan kualitas nutrisi dari pasokan makanan dan bermanfaat bagi kesehatan masyarakat dengan risiko yang minimal untuk kesehatan (WHO, 2006). Menurut Codex Alimentarius (1983) fortifikasi atau enrichment adalah penambahan sejumlah zat-zat gizi tertentu ke dalam bahan pangan, baik dalam kondisi normal terdapat di dalam bahan pangan dengan tujuan mencegah atau mengatasi defisiensi sejumlah zat gizi di dalam suatu populasi atau kelompok masyarakat tertentu. The Joint Food and Agricultural Organization World Health Organization (FAO/WHO) Expert Commitee on Nutrition menganggap istilah fortification paling tepat menggambarkan proses dimana zat gizi makro dan zat gizi mikro ditambahkan pada pangan yang dikonsumsi secara umum. Istilah double fortification dan multiple fortification digunakan apabila dua atau lebih zat gizi, masing-masing ditambahkan kepada pangan atau campuran pangan. Pangan pembawa zat gizi yang ditambahkan disebut ‘Vehicle', sementara zat gizi yang ditambahkan disebut 'Fortificant' (FAO/WHO 1971). Diperkirakan 70 persen penduduk Indonesia masih kekurangan zat gizi makro maupun mikro. Kekurangan energi protein berat menyebabkan marasmus dan kwashiorkor, sedangkan kekurangan zat gizi mikro secara umum menyebabkan gangguan tumbuh kembang dan kecerdasan, daya tahan tubuh rendah, anemia, serta meningkatkan risiko kebutaan. Fortifikasi bahan pangan dinilai mampu mengurangi defisiensi zat gizi mikro. Dari analisa hasil survei konsumsi pangan nasional, diidentifikasi bahan pangan yang banyak digunakan sehingga sesuai untuk difortifikasi, yaitu minyak goreng, gula, dan tepung terigu.



B. Tujuan Fortifikasi Fortifikasi pangan diterapkan dengan tujuan: 1) Memperbaiki kekurangan zat-zat dari pangan (untuk memperbaiki defisiensi akan zat gizi yang ditambahkan); 2) Mengembalikan zat-zat yang awalnya terdapat dalam jumlah yang signifikan dalam pangan akan tetapi mengalami kehilangan selama pengolahan;



6



3) Meningkatkan kualitas gizi dari produk pangan olahan (pabrik) yang digunakan sebagai sumber pangan, bergizi misal: susu formula bayi; 4) Menjamin ekuivalensi gizi dari produk pangan olahan yang menggantikan pangan lain, misalnya margarin yang difortifikasi sebagai pengganti mentega (Siagian A, 2003).



C. Sejarah Fortifikasi Pangan di Indonesia Negara pertama yang melakukan fortifikasi adalah Amerika Serikat dan Switzerland pada tahun 1920 dengan dikeluarkannya peraturan mengenai fortifikasi garam dengan zat iodium. Fortifikasi pangan terbukti sebagai strategi yang paling efektif untuk mengatasi masalah kekurangan zat gizi mikro di Eropa, Amerika Utara dan Amerika Latin serta beberapa negara maju lainnya. Sebagai contoh, program fortifikasi margarin dengan vitamin A berhasil menghilangkan riketsia di Inggris, Kanada, dan Eropa Utara. Pada tahun 1924 tidak lama setelah program tersebut dilaksanakan di luar negeri, pemerintah Belanda di Indonesia mengeluarkan peraturan mengenai yodisasi gram. Satusatunya penghasil garam adalah PN Garam di Madura sehingga memudahkan proses kontrol kualitas. Akan tetapi setelah masa kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, produsen garam tidak lagi hanya PN Garam, tetapi ada produsen lainnya dan peraturan tersebut tidak lagi dilaksanakan. Sejak dikeluarkannya inpres wajib yodiumisasi garam pada tahun 1994, kemudian dilanjutkan dengan penelitian fortifikasi zat besi pada tepung terigu di tahun 1997. Pada tahun 2001/2002 terbitlah SNI wajib fortifikasi tepung terigu, Komisi fortifikasi Indonesia (KFI), UNICEF, Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi IPB dan Forum Komunikasi Pangan di Indonesia bekerjasama melakukan studi fortifikasi di beberapa wilayah Indonesia. Hasil yang didapat dalam studi tersebut yakni fortifikasi pada beberapa jenis bahan pangan dapat berperan untuk mengatasi masalah kekurangan zat gizi mikro di Indonesia.



D. Klasifikasi Fortifikasi Pangan Fortifikasi terbagi menjadi dua: 1) Fortifikasi sukarela (voluntary) Fortifikasi sukarela merupakan program fortifikasi yang dilakukan atas inisiatif pengusaha atau produsen pangan tanpa diwajibkan oleh undang-undang atau peraturan



7



pemerintah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan nilai jual serta menarik konsumen lebih banyak dan bukan untuk memperbaiki gizi masyarakat. 2) Fortifikasi wajib (mandatory) Fortifikasi yang diatur oleh undang-undang dan peraturan pemerintah dengan tujuan utama mengatasi masalah KGM (Kekurangan Zat Gizi Mikro). Sasaran utama program ini adalah masyarakat miskin serta masyarakat secara umum. Program ini merupakan tanggung jawab pemerintah bekerja sama dengan beberapa industri pangan yang terkait dengan jenis pangan yang difortifikasi. E. Jenis-jenis Fortifikasi Pangan  Berdasarkan Target Sasaran a. Fortifikasi Massal (Mass Fortification) Fortifikasi massal merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut penambahan satu atau lebih zat gizi mikro pada pangan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat umum, seperti sereal, bumbu, dan susu. Biasanya, fortifikasi jenis ini dilakukan jika mayoritas masyarakat memiliki risiko terkena defisiensi zat gizi tertentu, sedangkan masyarakat yang tidak memiliki tanda-tanda kekurangan zat gizi tertentu dapat memperoleh manfaat dari fortifikasi yang dilakukan. Contoh dari fortifikasi jenis ini adalah penambahan asam folat pada tepung terigu. Fortifikasi ini pertama kali dilakukan di Kanada, Amerika Serikat, dan beberapa negara di Amerika Latin untuk menurunkan risiko bayi lahir cacat. b. Fortifikasi untuk Populasi tertentu (Targeted Fortification) Fortifikasi ini ditujukan untuk kelompok tertentu sehingga asupan zat gizinya meningkat. Misalnya, fortifikasi pada makanan tambahan untuk bayi dan balita, makanan yang dikembangkan untuk program makanan tambahan pada anak sekolah, biscuit khusus untuk anak-anak dan wanita hamil, dan makanan untuk kondisi darurat seperti pengungsi. Makanan untuk pengungsi telah diatur oleh World Food Programme (WFP) yang pedomannya meliputi fortifikasi (termasuk campuran gandum dan kedelai serta jagung dan kedelai) dan telah memenuhi semua atau hampir keseluruhan kebutuhan energi dan protein pengungsi. Namun, pada kenyataannya, beberapa makanan tidak mampu memenuhi kebutuhan zat gizi mikro. Oleh 8



karena itu, pemberian zat gizi mikro tertentu pun perlu dilakukan. Misalnya, tambahan kebutuhan garam beryodium, tablet tambah darah untuk ibu hamil, dan vitamin A dosis tinggi untuk anak-anak dan wanita pasca melahirkan. Selain itu, jika memungkinkan, tambahkan buah dan sayuran segar pada makanan para pengungsi. Makanan fortifikasi untuk pengungsi lebih sering diprioritaskan untuk anak-anak dan wanita hamil/menyusui.  Berdasarkan Pertimbangan Hukum a. Mandatory Fortification Mandatory fortification terjadi ketika pemerintah mewajibkan secara legal produsen makanan untuk menambahkan zat gizi mikro pada makanan dalam kategori tertentu. Penentuan dan pengaturan fortifikasi jenis ini diatur dan sepenuhnya dipertanggungjawabkan oleh pemerintah. Pemerintah bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kombinasi makanan pembawa dan zat fortifikan berkhasiat dan efektif untuk kelompok sasaran, serta aman dan baik untuk kelompok sasaran maupun kelompok bukan sasaran. Makanan pembawa berasal dari komoditas daerah tersebut (lokal), seperti beberapa jenis tepung, gula, dan garam yang tersedia di took atau pasar yang bisa langsung diperoleh konsumen sebagai bahan dari bahan makanan olahan atau makanan olahan yang ditambahkan fortifikan pada titik tertentu proses pembuatannya. Dengan alasan bahwa komoditas lokal dikonsumsi secara luas dan rutin, maka komoditas ini lebih cocok untuk fortifikasi massal (mass fortification), yakni mencapai seluruh populasi, sedangkan makanan yang dibuat atau diformulasikan secara khusus biasanya merupakan pembawa yang lebih baik untuk fortifikasi pada kelompok tertentu (targeted fortification). Secara umum, mandatory fortification lebih sering dilakukan untuk fortifikasi makanan dengan zat gizi mikro seperti yodium, zat besi, vitamin A, dan asam folat. Dari semua itu, program garam beryodium merupakan program paling banyak dilakukan sebagai fortifikasi massal yang diatur oleh pemerintah. Contoh lain adalah penambahan vitamin A pada gula dan margarin serta penambahan zat besi pada tepung (biasanya bersama vitamin B12, B2, dan niasin). 9



Sementara itu, karakteristik makanan pembawa yang dipilih untuk fortifikasi jenis ini biasanya harus bisa dijelaskan, baik secara fisik, sifat intrinsik, maupun tujuan spesifiknya. Sebagai contoh adalah tepung, dapat dijelaskan sebagai tepung yang warnanya putih atau tepung yang berasal dari biji-bijian tertentu, atau tepung khusus sebagai bahan roti. Penentuan syarat fortifikasi mungkin hanya berlaku untuk bahan makanan yang telah diidentifikasi dengan cara tertentu. Sebagai contoh, di Amerika Serikat hanya tepung terigu dan produk lain dari biji-bijian yang diidentifikasi dan diberi label ‘diperkaya’ dan diwajibkan oleh hukum untuk diberi tambahan asam folat (dan beberapa zat gizi mikro esensial). Hal yang sama juga dilakukan di Australia dan New Zealand yang mewajibkan penambahan yodium hanya pada garam. Meskipun masalah kesehatan bervariasi, tetapi fortifikasi massal dapat dilakukan pada kondisi ini, terutama jika makanan fortifikasi berlabel merupakan sebagian besar makanan yang berada di pasaran dan ketersediaannya stabil untuk semua kelas makanan. Mandatory fortification biasanya didukung oleh sejumlah bukti bahwa populasi sasaran mengalami kekurangan atau asupan yang tidak adekuat. Hal ini ditunjukkan oleh tanda klinis atau biokimia dari kekurangan tersebut dan/atau asupan yang terlalu rendah dari zat gizi mikro yang dimaksud. b. Voluntary Fortification Fortifikasi disebut sebagai voluntary fortification ketika pembuat makanan dengan bebas memilih makanan khusus sebagai tanggapan atas izin yang diberikan pada hukum makanan atau keadaan khusus yang mendorong pemerintah mengizinkan fortifikasi dilakukan. Dorongan untuk melakukan voluntary fortification biasanya muncul dari industri dan konsumen yang mencari keuntungan kesehatan yang mungkin diperoleh melalui peningkatan asupan zat gizi mikro. Ketika membuat peraturan mengenai voluntary fortification, pemerintah wajib memastikan bahwa konsumen tidak disesatkan atau ditipu oleh praktik fortifikasi. Selain itu, pemerintah juga harus yakin bahwa promosi makanan 10



terfortifikasi tidak bertentangan dengan kebijakan yang menyangkut pangan nasional dan makanan sehat. Hal ini dapat dicapai melalui peraturan tentang berbagai makanan yang memenuhi syarat untuk voluntary fortification dan kombinasi yang diizinkan dari zat gizi mikro tertentu dan makanan. Saat ini banyak negara telah mengizinkan voluntary fortification dengan keragaman makanan yang difortifikasi di tiap negara. Beberapa negara di Skandinavia hanya mengizinkan sedikit makanan yang bisa difortifikasi, sedangkan di Amerika Serikat produk yang dapat difortifikasi jauh lebih banyak. Begitu juga untuk zat fortifikan yang diizinkan adalah beberapa zat gizi mikro yang terpilih dan dianggap penting.



F. Teknik dan Syarat Fortifikasi Pangan  Teknik-teknik Fortifikasi Pangan a. Dry Mixing Teknik dry mixing atau pencampuran kering adalah salah satu teknik fortifikasi seluruh bahan, baik fortifikan maupun bahan makanan yang difortifikasi dicampur seluruhnya dalam keadaan kering. Teknik ini digunakan untuk fortifikasi bahan makanan berbentuk bubuk seperti tepung-tepungan, serealia, susu bubuk, dan minuman bubuk. b. Hot Extrusion Prinsip kerja metode hot extrusion adalah menggunakan suhu dan tekanan tinggi pada bahan makanan yang difortifikasi. Suhu yang digunakan berkisar antara 70-100 derajat celcius dengan tekanan 120 derajat celcius dan kelembapan rendah (95 – 97 derajat Brix). Karena kemudahan dalam prosesnya, teknik ini memiliki peluang untuk digunakan secara lebih luas di masa mendatang.



 Syarat-syarat Fortifikasi Pangan Menurut (Prihananto, 2004 dalam Darlan, 2012) pangan yang akan difortifikasi memiliki syarat-syarat tertentu, yaitu sebagai berikut: 1. Pangan merupakan makanan yang sering dan banyak dikonsumsi penduduk termasuk penduduk miskin 2. Pangan hasil fortifikasi, sifat organoleptiknya tidak berubah dari sifat aslinya 3. Pangan yang difortifikasi aman untuk dikonsumsi dan ada jaminan terhadap kemungjinan efek samping negatif



14



4. Pangan yang difortifikasi, diproduksi dan diolah oleh produsen yang terbatas jumlahnya 5. Tersedia teknologi fortifikasi sesuai dengan pangan pembawa dan fortifikan yang digunakan 6. Harus ada sistem monitoring yang tegas terhadap pabrik-pabrik fortifikasi 7. Ada kerjasama yang nyata antara pihak pemerintah, non pemerintah, dan swasta 8. Perlu mekanisme untuk melakukan evaluasi perkembangan fortifikasi 9. Pangan hasil fortifikasi, harganya tetap terjangkau oleh kelompok target 10. Dari sisi konsumen diyakini tidak akan terjadi konsumsi berlebihan Sedangkan menurut (Soekirman, 2008 dalam Gustian, 2013) terdapat dua macam fortifikasi yaitu fortifikasi sukarela oleh industri pangan kemasaan untuk meningkatkan nilai tambah dan fortifikasi wajib yang bertujuan untuk mengatasi masalah kekurangan gizi masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Syarat untuk fortifikasi wajib: 1. Makanan yang umumnya selalu ada disetiap rumah tangga dan dimakan secara teratur dan terus menerus oleh masyarakat termasuk masyarakat miskin 2. Makanan diproduksi dan diolah oleh produsen yang terbatas jumlahnya, agar mudah diawasi proses fortifikasinya 3. Tersedianya teknologi fortifikasi untuk makanan yang dipilih 4. Makanan tidak berubah rasa, warna dan konsistensi setelah difortifikasi 5. Tetap aman dalam arti tidak membahayakan kesehatan. Oleh karena itu, program fortifikasi harus diatur oleh undang-undang atau peraturan pemerintah, diawasi dan dimonitor, serta dievaluasi secara teratur dan terus menerus. 6. Harga makanan setelah difortifikasi tetap terjangkau daya beli konsumen yang menjadi sasaran Berdasarkan persyaratan tersebut, makanan yang umumnya dapat difortifikasi wajib terbatas hanya pada jenis makanan pokok yaitu terigu, jagung, beras serta makanan penyedap atau bumbu seperti garam, minyak goreng, gula, kecap kedelai, kecap ikan, dan Mono Sodium Glutamat (MSG). Pilihan zat gizi yang ditambahkan ke dalam makanan untuk difortifikasi (fortifikan) ditentukan oleh masalah kekurangan 15



gizi yang ada dengan pertimbangan teknis kimiawi, daya serap dalam sistem pencernaan, manfaat biologis (bioavailability), dan pengaruhnya terhadap rasa, penampilan, keamanan makanan, dan harga. Setiap negara menentukan jenis makanan yang akan difortifikasi yang disebut sebagai makanan pembawa (vehicles), sesuai dengan pola makan setempat serta memenuhi syarat untuk fortifikasi wajib. Penentuan jenis dan dosis fortifikan yang dipakai disesuaikan dengan makanan pembawa, peraturan pemerintah dan internasional (WHO/FAO), kebutuhan tubuh, serta masalah kekurangan gizi setempat. G. Peran Fortifikasi Pangan dalam Permasalahan Gizi di Indonesia 1.



Anemia Defisiensi Besi Salah satu upaya yang sudah dilakukan untuk mengatasi anemia adalah dengan



meningkatkan asupan besi melalui suplementasi besi, teutama pada wanita hamil dan anak-anak. Selain itu, solusi berbasis makanan untuk meningkatkan asupan besi melalui fortifikasi makanan dan diversifikasi pangan juga merupakan langkah yang potensial dan diharapkan dapat berlangsung secara berkesinambungan di dalam masyarakat Fortifikasi besi lebih sulit dibandingkan fortifikasi dengan mikronutrien lain seperti yodium atau vitamin A di dalam minyak. Sebagian besar besi larut dalam air atau asam, dan sering kali bereaksi dengan komponen pangan lain sehingga menyebabkan rasa yang tidak enak (off-flavour), perubahan warna dan oksidasi lemak. Besi yang kurang larut meskipun sedikit diabsorpsi sering dipilih untuk fortifikasi dan untuk mengurangi perubahan sensoris yang tidak diinginkan. Fortifikasi dengan besi dosis rendah dimungkinkan merupakan jenis intervensi yang paling aman.



16



Gambar 1. Dampak Fortifikasi Besi di Beberapa Negara



Sumber: Prihananto, 2004.



2.



Stunted Akibat Defisiensi Zink Beberapa pilihan program yang dapat dilakukan untuk memerangi masalah



defisiensi zink, yakni suplementasi dan fortifikasi zink, serta modifikasi pola makan. Cara fortifikasi dianggap sebagai pilihan yang paling efektif di samping biayanya lebih rendah dibandingkan dengan suplementasi. Salah satu fortifikasi zink yang pernah dilakukan adalah pada susu fermentasi. Susu dapat menjadi pangan potensial untuk fortifikasi mineral karena saat ini hampir semua siswa mengonsumsi susu. Suatu penelitian menyatakan bahwa kelompok yang diberikan susu fortifikasi menunjukkan peningkatan berat dan tinggi badan yang lebih dibandingkan kelompok yang menerima susu biasa. Pemberian susu fortifikasi zat besi dan zink pada anak sekolah usia 7-9 tahun yang underweight juga dapat mendukung pertumbuhan dan 17



kecepatan berfikir. Zink terlibat dalam proses metabolism, dan dari beberapa penelitian terlihat bahwa zink sangat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan imunitas tubuh. Pada kelompok anak yang diberikan susu fortifikasi zink dan zat besi, terdapat peningkatan berat badan yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang diberikan susu tanpa fortifikasi. Terdapat penurunan prevalensi anemia 3,3% lebih tinggi pada kelompok susu fortifikasi dibandingkan yang tidak difortifikasi setelah 6 bulan intervensi. Demikian juga dengan peningkatan berat dan tinggi badan serta penurunan underweight, stunted, dan wasted lebih tinggi pada kelompok yang diberikan susu fortifikasi. 3.



Gangguan Akibat Kekurangan Yodium Fortifikasi yodium sudah menunjukkan kemampuannya dalam mengatasi masalah



kekurangan yodium sehingga strategi ini diadopsi oleh banyak negara. WHO merekomendasikan fortifikasi yodium pada garam dengan dosis sekitar 150 µg/hari atau dengan menambahkan 20-40 mg yodium/kg garam. Garam merupakan bahan makanan yang potensial untuk difortifikasi karena murah, mudah didapat, dan dikonsumsi setiap hari oleh seluruh lapisan masyarakat di segala tingkat ekonomi. Garam merupakan pangan pembawa yang baik untuk yodium, besi, ataupun keduanya. Namun, terkait dengan kestabilan dan warnanya, diperlukan penambahan stabilitator seperti SHMP (Sodium hexametaphosphate) atau enkapsulasi. Penggunaan garam yang difortifikasi besi mampu menurunkan prevalensi anemia dan meningkatkan kadar hemoglobinnya. Namun pengaruh fortifikasi ganda yodium dan besi pada hemoglobin pada berbagai penelitian menunjukkan hasil yang inkonsisten. Pemberian garam yang telah difortifikasi dengan yodium, vitamin A, dan zat besi selama 10 bulan mampu meningkatkan kadar hemoglobin sebesar 15 g/l. Selain itu, prevalensi kekurangan vitamin A dan anemia defisiensi besi juga secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang mendapatkan garam beryodium saja. 4.



Kekurangan Vitamin A 18



Fortifikasi pangan pada margarin dan susu dengan vitamin A sudah banyak dilakukan di negara barat. Di negara berkembang, biasanya menggunakan gula, tepung terigu, beras, dan produk serealia lain, teh, produk susu, margarin dan sebagainya. Teknologi fortifikasi juga sudah berkembang pesat, seperti yang dilakukan pada tepung terigu dengan vitamin A kering, dengan retensi lebih dari 95% sampai 1 tahun pada suhu ≥40 derajat celcius. Sekitar 70% aktivitas vitamin A masih bertahan setelah pemanggangan. H. Contoh Makanan Yang Difortifikasi Tabel 1. Makanan Yang Difortifikasi di Beberapa Negara Asia Negara Makanan yang difortifikasi Fortifikan Cina - Kecap kedelai dan ikan - Zat besi - Tepung terigu - Zat besi, asam folat dan vitamin A India - Tepung terigu - Zat besi, asam folat dan - Gula vitamin B - Minyak - Vitamin A - Teh - Vitamin A - Susu - Vitamin A Philipina - Tepung terigu - Zat besi, asam folat dan vitamin A Thailand - Mie - Zat besi, iodium dan - Beras vitamin A - Zat besi, vitamin B1, B3, B6 dan niacin Vietnam - Kecap ikan - Zat besi - Gula - Vitamin A Indonesia - Garam - Iodium - Tepung terigu - Zat besi, seng, asam folat, vitamin B1 dan B2 Sumber: Soekirman 2008 dalam Gustian (2013).







Fortifikasi Pada Produk Pengolahan Hasil Ternak (Maria et al, 2016):



1) Fortifikasi Pada Susu Penambahan fortifikan protein pada susu bubuk biasanya menggunakan kasein dan whei, namun keduanya sangat mahal dan belum diproduksi di dalam negeri maka diperlukan sumber protein yang lebih murah. Hasil penelitan Hera (2012) ini mengindikasikan bahwa IPPUS berpotensi untuk dikembangkan sebagai fortifikan untuk menghasilkan susu bubuk tinggi protein. Prosedur yang dilakukan melalui enam 19



tahap yakni pembuatan tepung pupa, penghilangan lemak (delipidasi), isolasi protein, pengeringan isolate, fortifikasi isolate ke dalam susu bubuk dan analisis kualitas susu bubuk yang telah difortifikasi. Delipidasi menjadi tahapan yang sangat penting karena lemak merupakan komponen terbesar kedua setelah protein dalam bahan kering tepung pupa. Fortifikasi IPPUS pada taraf 20% menghasilkan susu bubuk dengan kadar protein yang berbeda nyata yakni 40,44% dan kecernaan protein secara in vitro sebesar 95,15%. Kadar protein ini mencukupi 32,15%-40,44% kebutuhan protein harian manusia. 2) Fortifikasi Pada Keju Keju cottage yang beredar di pasaran hampir memiliki semua kebaikan susu, namun kandungan vitamin C nya sangat rendah. Selama proses pengolahan, akibat adanya panas dan sinar maka kandungan vitamin C dalam susu hampir sebagian besar telah teroksidasi. Padahal vitamin C yang secara kimia berguna sebagai antioksidan bagi beberapa jenis makanan termasuk produk olahan susu (deMan, 1997). Sweeney dan Ashoor (1998) telah melakukan fortifikasi vitamin A dan C sintetik pada keju cottage, diperoleh hasil bahwa fortifikasi tidak mempengaruhi pH dan sifat sensori keju secara signifikan. Beberapa penelitian lebih lanjut menjelaskan tentang pembuatan keju cottage terfortifikasi vitamin C. Penelitian yang dilakukan yaitu pembuatan keju cottage berbahan dasar susu skim dengan bakteri starter Streptococcus thermophilus, Lactococcus lactis, dan Leuconostoc mesenteroides dan papain sebagai koagulan serta fortifikasi sari buah lemon sebagai sumber vitamin C alami dalam berbagai perbandingan untuk meningkatkan vitamin C keju yang dihasilkan.



I. Kelebihan dan Kekurangan Fortifikasi Pangan Dalam program fortifikasi pangan tentu terdapat kelebihan dan kekurangan seperti yang disebutkan dalam Hadianti (2015), yaitu sebagai berikut: 1. Kelebihan a) Makanan fortifikasi yang dikonsumsi secara teratur dan sering, dapat menjaga gizi pada tubuh lebih efisien dan efektif dari pada suplemen dan dapat menurunkan risiko beberapa kekurangan yang mungkin timbul dari defisit musiman dalam penyediaan makanan atau diet berkualitas rendah. b) Makanan yang difortifikasi mungkin mengandung zat gizi mikro yang dapat mencapai diet seimbang dengan baik.



20



c) Fortifikasi didistribusikan secara luas pada makanan yang banyak dikonsumsi, sehingga memiliki potensi untuk meningkatkan status gizi sebagian besar populasi umum. d) Fortifikasi tidak memerlukan perubahan dalam pola makanan yang ada atau kepatuhan individu. e) Sistem pembawa untuk makanan yang difortifikasi biasanya sudah ada, umumnya melalui sektor swasta. f) Dimungkinkan untuk memfortifikasikan makanan dengan beberapa mikronutrien secara bersamaan. Total biaya makanan tidak sebagian besar dipengaruhi oleh penambahan lebih mikronutrien. g) Dengan peraturan yang tepat di tempat tinggal, maka fortifikasi dapat meminimalkan risiko toksisitas kronis dengan fortifikasi. h) Dengan sistem pangan yang tepat dan teknologi yang ada, fortifikasi makanan lebih hemat biayanya daripada strategi lain (Allen et al., 2006). 2. Kelemahan Fortifikasi merupakan pendekatan yang lebih disukai daripada strategi lain berdasarkan kelebihan di atas. Namun, ada kelemahan atau lebih tepatnya keterbatasan fortifikasi makanan yang meliputi (Allen et al., 2006): a) Mengkonsumsi makanan yang difortifikasi bukanlah pengganti yang baik untuk kualitas diet seimbang dalam menghasilkan energi, protein, lemak esensial-yang diperlukan untuk kesehatan yang optimal. b) Mengoreksi masalah kekurangan mikronutrien melalui fortifikasi pangan bisa menjadi sulit karena mikronutrien yang lengkap bahkan beranekaragam pada makanan yang tersedia, tidak mungkin dapat dikonsumsi dalam jumlah yang cukup. Semua kelompok sasaran dalam populasi umum mungkin tidak mengkonsumsi makanan yang difortifikasi, seperti: 1) Bayi dan anak kecil mengkonsumsi sejumlah kecil makanan dan karena itu cenderung untuk dapat memperoleh asupan yang direkomendasikan dari semua mikronutrien dari makanan yang dfortifikasi saja; makanan pembawa zat gizi



21



mungkin tidak mudah diakses atau tidak tersedia untuk kelompok-kelompok penduduk yang tinggal di daerah terpencil. 2) Kelompok berpenghasilan-rendah, khususnya di negara berkembang sering mengandalkan makanan pembawa zat gizi dari sistem yang diproduksi secara lokal. Oleh karena itu lebih berisiko kekurangan zat gizi mikro, dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya yang mengkonsumsi makanan olahan. 3) Kelompok miskin atau penduduk berpenghasilan rendah sering menderita karena kekurangan beberapa mikronutrien sebagai akibat dari kurangnya asupan dalam diet secara keseluruhan. kelompok-kelompok ini tidak mungkin untuk mendapatkan asupan yang disarankan dari semua mikronutrien pada makanan yang difortifikasi. c) Masalah teknologi yang berkaitan dengan fortifikasi makanan pembawa, terutama kadar gizi yang ditambahkan, stabilitas penambah, interaksi hara, karakteristik sifat fisik, dan kemampuan konsumen dalam menerima, termasuk sifat memasak dan rasa. d) Sifat alami makanan pembawa, penambah, atau keduanya, mungkin membatasi jumlah fortifikan agar dapat berhasil ditambahkan. Kualitas sensorik makanan seperti warna dan rasa, dan stabilitas micronutrient mungkin akan terpengaruh. Dan juga, interaksi antara gizi dalam makanan dapat terjadi (misalnya, kehadiran sejumlah besar kalsium dapat menghambat penyerapan zat besi dari makanan yang difortifikasi, kehadiran vitamin memiliki efek berlawanan pada besi, dan dengan demikian meningkatkan penyerapan zat besi). e) Seluruh makanan fortifikasi ini terbukti lebih hemat biaya dari strategi lain, tetapi ada biaya lebih yang mendasari terkait dengan proses fortifikasi yang dapat membatasi pelaksanaan dan efektivitas program fortifikasi makanan (misalnya, biaya permulaan, percobaan, percontohan dan pengujian, biaya pengawasan yang efektif, dan sistem evaluasi untuk memastikan makanan yang difortifikasi efektif dan aman).



22



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Fortifikasi adalah sebuah upaya yang sengaja dilakukan untuk menambahkan mikronutrien yang penting, yaitu vitamin dan mineral ke dalam makanan, sehingga dapat meningkatkan kualitas nutrisi dari pasokan makanan dan bermanfaat bagi kesehatan masyarakat dengan risiko yang minimal untuk kesehatan (WHO, 2006). Fortifikasi diklasifikasikan menjadi dua yaitu fortifikasi sukarela (voluntary) dan fortifikasi wajib (mandatory). Fortifikasi dibagi menjadi beberapa jenis: fortifikasi massal, fortifikasi untuk populasi tertentu, mandatory fortification, voluntary fortification. Teknik fortifikasi yaitu dry mixing, hot extrusion, cold extrusion, dusting, teknik yang melibatkan proses kimiawi. Fortifikasi dapat berperan dalam mengatasi beberapa permasalahan gizi di Indonesia seperti Anemia Defisiensi Besi, Stunted Akibat Defisiensi Zink, GAKY, dan KVA. Makanan yang umumnya dapat difortifikasi wajib terbatas hanya pada jenis makanan pokok yaitu terigu, jagung, beras serta makanan penyedap atau bumbu seperti garam, minyak goreng, gula, kecap kedelai, kecap ikan, dan Mono Sodium Glutamat (MSG).



23



DAFTAR PUSTAKA Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Fortifikasi Pangan untuk Atasi Masalah Gizi. http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F6029/Fortifikasi %20Pangan%20untuk%20Atasi%20Masalah%20Gizi.htm Gustian, A. (2013). Perkembangan Program Fortifikasi Pangan dan Identifikasi Pangan yang Difortifikasi. https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/63945/1/I13agu.pdf Darlan, A. (2012). Fortifikasi dan Ketersediaan Zat Besi pada Bahan Pangan Berbasis Kedelai dengan Mengunakan Fortifikan FeSO4.7H2O Campuran FeSO4.7 H2O + Na2H2EDTA . 2H2O dan NaFeEDTA. Universitas Indonesia. Helmyati, S. et al. (2014). Fortifikasi Pangan Berbasis Sumber Daya Nusantara: Upaya Mengatasi Masalah Defisiensi Zat Gizi Mikro di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Prihananto. (2004). Fortifikasi Pangan Sebagai Upaya Penanggulangan Anemia Gizi Besi. Institut Pertanian Bogor. Gustian, A.E. (2013). Perkembangan Program Fortifikasi Pangan dan Identifikasi Pangan yang Difortifikasi. Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Maria Trisna Ayu T.K, et al. (2016). Fortifikasi Pangan. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Respati Indonesia. Jakarta. Hadianti, A.D. (2015). Program Fortifikasi Untuk Perbaikan di USA dan Indonesia. Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sebelas Maret. Solo.



24



SOAL JAWABAN PILIHAN GANDA



1. Sebuah upaya yang sengaja dilakukan untuk menambahkan mikronutrien yang penting, yaitu vitamin dan mineral ke dalam makanan, sehingga dapat meningkatkan kualitas nutrisi dari pasokan makanan dan bermanfaat bagi kesehatan masyarakat dengan risiko yang minimal untuk kesehatan. Pernyataan diatas pengertian dari ? A. Fortifikasi Pangan B. Peran Fortifikasi Pangan C. Fortifikasi Sukarela (voluntary) D. Fortifikasi Massal (mass fortivication) 2. Salah satu teknik fortifikasi seluruh bahan, baik fortifikan maupun bahan makanan yang difortifikasi dicampur seluruhnya dalam keadaan kering, adalah teknik A. Hot Extrusion B. Cold Extrusion C. Coacervation D. Dry Mixing 3. Golongan kecap kedelai , ikan dan tepung terigu merupakan Makanan Yang Difortifikasi berasal dari Negara A. Indonesia B. China C. Philipina D. India 4. Pangan hasil fortifikasi, sifat organoleptiknya tidak berubah dari sifat aslinya merupakan syarat-syarat fortifikasi pangan menurut A. Prihananto (2008) B. World Health Organization (WHO) C. UNICEF D. Soekirman (2004) 5. Coacervation merupakan A. Makanan yang sering dan banyak dikonsumsi penduduk termasuk penduduk miskin B. Salah satu teknik fortifikasi seluruh bahan, baik fortifikan maupun bahan makanan yang difortifikasi dicampur seluruhnya dalam keadaan kering C. Teknik popular untuk menggabungkan komponen aroma dengan sirop sukrosa melalui kristalisasi spontan 25



D. Proses pemisahan dua fase cair dalam sebuah koloid



26