Full Text DD Dermatitis Kontak Alergi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFARAT DERMATITIS KONTAK ALERGI



Referat ini dibuat untuk melengkapi persyaratan mengikuti kepaniteraan klinik senior (KKS) di bagian ilmu kedokteran kulit dan kelamin di RSUD Dr.RM. Djoelham Binjai



Disusun oleh : ADEK AYU TUTI ALAWIYAH 102119019



Pembimbing : dr. Hj. Hervina, Sp.KK, FINSDV, MKM



DEPARTEMEN / SMF ILMU PENYAKIT KULIT & KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM RSUD DR R.M DJOELHAM BINJAI 2020



KATA PENGANTAR



Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan bimbingannya sehingga Refarat ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Refarat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dalam Kepanitraan Klinik Departemen Kulit dan Kelamin di RSUD DR.RM Djoelham Binjai . Pada kesempatan ini penulis juga hendak mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya atas bantuan dari pembimbing kami yaitu dr. Hj. Hervina, Sp.KK, FINSDV, MKM berupa bimbingannya yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan Referat ini yang berjudul Dermatitits Kontak Alergi. Penulis berharap Refarat ini dapat bermanfaat dalam menambah pengetahuan tentang Dermatitis Kontak Alergi. Dengan menyadari masih banyaknya kekurangan dalam penyusunan ini. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun.



Binjai, November 2020



Penulis



ii



DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...............................................................................................i KATA PENGANTAR............................................................................................ii DAFTAR ISI.........................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1 1.1



Latar Belakang.........................................................................................1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................2 DERMATITIS KONTAK ALERGI 2.1



Definisi....................................................................................................2



2.2



Etiologi ...................................................................................................2



2.3



Epidemiologi...........................................................................................3



2.4



Faktor resiko............................................................................................3



2.5



Diagnosis.................................................................................................3 2.5.1



Anamnesis...............................................................................3



2.5.2



Pemeriksaan Fisik...................................................................4



2.5.3



Pemeriksaan Penunjang..........................................................4



2.6



Patogenesis..............................................................................................7



2.7



Patofisiologi.............................................................................................9



2.8



Diagnosis banding.................................................................................11



2.9



Penatalaksanaan.....................................................................................13 2.9.1



Non Farmakologi .................................................................13



2.9.2



Farmakologi..........................................................................13



2.10 Komunikasi dan Edukasi.......................................................................14 2.11 Komplikasi.............................................................................................14 2.12 Prognosis...............................................................................................14 2.13 Profesionalisme.....................................................................................14 BAB III KESIMPULAN......................................................................................15 DAFTAR PUSTAKA



iii



BAB I PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang Dermatitis kontak merupakan kelainan yang sering ditemui. Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi yang menempel pada kulit (Menaldi, 2017). Ada dua jenis dermatitis kontak. Pertama, dermatitis kontak iritan (DKI) disebabkan oleh iritasi kimia, dermatitis kontak alergi (DKA) disebabkan oleh antigen (alergen) dimana memunculkan reaksi hipersensitivitas tipe IV (cell-mediated atau tipe lambat) (Tersinanda and Rusyati, 2013). Etiologi dari dermatitis dapat dipilah menjadi tiga, yakni eksogen (dari luar tubuh), seperti : zat-zat kimia, suhu, mikroorganisme, dan endogen (dari dalam tubuh), seperti pada dermatitis atopik, sedangkan sisanya idiopatik (Prabowo et al., 2017). Berdasarkan ulasan Thyssen, dkk. mengenai prevalensi dermatitis kontak alergi pada seluruh kelompok umur di beberapa negara bagian Amerika Utara dan Eropa Barat tahun 1966 hingga 2007, median prevalensi dermatitis kontak alergi terhadap paling sedikit alergen adalah 21,2% (12,5% - 40,6%,) dengan rata – rata prevalensi sebesar 19,5%.2 Secara umum alergen spesifik penyebab alergi kontak berbeda pada tiap negara. Namun secara umum alergen yang paling sering menyebabkan terjadinya alergi kontak dermatitis ini adalah nikel, thimerosal, dan parfum campuran (Prabowo et al., 2017). Gejala klinis DKA pada umumnya gatal. Kelainan kulit bergantung pada tingkat keparahan dan lokasi dermatitisnya. Pada stadium akut didapatkan bercak eritematosa, edema, papul vesikel, bula, erosi, eksudasi. Pada dermatitis kontak alergi kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin juga fisur, berbatas tidak tegas. Berbagai lokasi kejadian dermatitis kontak alergi yaitu tangan, lengan, wajah, telinga, leher, badan, genitalia, tungkai atas dan bawah (Batasina, Pandaleke and Suling, 2017).



1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1



Definisi Dermatitis Kontak Alergi (DKA) adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi. Dermatitis kontak alergi (DKA) ialah dermatitis yang terjadi akibat pajanan dengan bahan alergen di luar tubuh, diperantai reaksi hipersensitivitas tipe 4 (Coombs dan Gel) (PERDOSKI, 2017).



Gambar: Dermatitis Kontak Alergi A.



Klasifikasi Klasifikasi Dermatitis Kontak Alergi: 1. Dermatitis kontak alergi lokalisata 2. Dermatitis kontak alergi sistemik (PERDOSKI, 2017).



2.2



Etiologi Penyebab DKA ialah bahan kimia sederhana dengan berat molekul rendah (< 1000 dalton), disebut sebagai hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dan dapat menembus stratum komeum sehingga mencapai sel epidermis bagian dalam yang hidup. Berbagai faktor berpengaruh terhadap kejadian DKA, misalnya potensi sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum dan pH. Juga faktor individu, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum komeum, ketebalan epidermis), status imun (misalnya sedang mengalami sakit, atau terpajan sinar matahari secara intens) (Menaldi, 2017).



2



2.3



Epidemiologi Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah pasien DKA lebih sedikit, karena hanya mengenai orang dengan keadaan kulit sangat peka (hipersensitif). Diperkirakan jumlah DKA maupun DKI makin bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah produk yang mengandung bahan kimia yang dipakai oleh masyarakat. Namun, informasi mengenai prevalensi dan insidens DKA di masyarakat sangat sedikit, sehingga angka yang mendekati kebenaran belum didapat (Menaldi, 2017). DKA dapat pada semua umur dengan frekuensi jenis kelamin wanita dan pria sama (Perdana, 2018). Dahulu diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak 80% dan DKA 20%, tetapi data baru dari lnggris dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa dermatitis kontak alergik akibat kerja karena temyata cukup tinggi yaitu berkisar antara 50 dan 60 persen. Sedangkan, dari satu penelitian ditemukan frekuensi OKA bukan akibat kerja tiga kali lebih sering dibandingkan dengan OKA akibat kerja (Menaldi, 2017).



2.4



Faktor Resiko Faktor Risiko Dermatitis Kontak Alergi : 1. Ditemukan pada orang-orang yang terpajan oleh bahan alergen. 2. Riwayat kontak dengan bahan alergen pada waktu tertentu. 3. Riwayat dermatitis atopic atau riwayat atopi diri dan keluarga (Permenkes, 2014).



2.5



Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penderita, keluhan dan gejala klinis serta pemeriksaan penunjang untuk menemukan agen penyebabnya. 2.5.1



Anamnesis Pasien umumnya mengeluh gatal dan kemerahan pada daerah kontak, kemudian timbul eritema, papula, vesikel dan erosi (Perdana, 2018). Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai berdasarkan pada kelainan kulit yang ditemukan. Misalnya, pada kelainan kulit berukuran numular di sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, perlu ditanyakan apakah pasien memakai kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel}. Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah



3



digunakan, obat sistemik, kosmetika, berbagai bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, riwayat atopi, baik dari yang bersangkutan maupun keluarganya (Menaldi, 2017). 2.5.2



Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisis sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola kelainan kulit sering kali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Misalnya, di ketiak oleh deodoran; di pergelangan tangan oleh jam tangan; di kedua kaki oleh sepatu/ sandal. Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang cukup terang, pada seluruh permukaan kulit untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena berbagai sebab endogen (Menaldi, 2017). Gambaran klinisnya polimorfik, sangat bervariasi bergantung stadiumnya: 1. Akut: eritema, edema, dan vesikel 2. Subakut: eritema, eksudatif (madidans), krusta 3. Kronik: likenifikasi, fisura, skuama (PERDOSKI, 2017)



 Lokalisasi: Semua bagian tubuh dapat terkena.  Efloresensi/sifa-sifatnya: Eritema berbatas tegas diikuti edema, papula dan vesikel berkelompok disertai erosi. Terkadang hanya berupa makula hiperpigmentasi dengan skuama halus.  Ukuran: Numular sampai dengan plakat (Perdana, 2018)



2.5.3 Lesi asimptomatik, papul poligonal, atau plak berwarna kekuningan , 2.5.4 simetris pada kelopak mata superior 4



dan inferior sekitar kantus media. 2.5.5 Pada inspeksi dan palpasi memperlihatkan tekstur yang lunak, semisolid. 2.5.6 Pembesaran lambat, dimulai dari papul kecil. Mulai dari beberapa bulan 2.5.7 sampai beberapa tahun 2.5.8 Lesi asimptomatik, papul poligonal, atau plak berwarna kekuningan , 5



2.5.9 simetris pada kelopak mata superior dan inferior sekitar kantus media. 2.5.10 Pada inspeksi dan palpasi memperlihatkan tekstur yang lunak, semisolid. 2.5.11 Pembesaran lambat, dimulai dari papul kecil. Mulai dari beberapa bulan 2.5.12 sampai beberapa tahun 2.5.13 Lesi asimptomatik, papul 6



poligonal, atau plak berwarna kekuningan , 2.5.14 simetris pada kelopak mata superior dan inferior sekitar kantus media. 2.5.15 Pada inspeksi dan palpasi memperlihatkan tekstur yang lunak, semisolid. 2.5.16 Pembesaran lambat, dimulai dari papul kecil. Mulai dari beberapa bulan 2.5.17 sampai beberapa tahun 7



2.5.18 2.5.3



Pemeriksaan Penunjang 1.



Pemeriksaan Histopatologi Pada gambaran histopatologi ditemukan : Gambaran histologis pada DKA mengungkapkan bahwa dermis diinfiltrasi oleh sel inflamasi mononuklear, terutama pada pembuluh darah dan kelenjar keringat. Epidermisnya hiperplastik dengan invasi sel mononuklear. Sering vesikel intraepidermal terbentuk, yang bisa bergabung menjadi lepuh yang besar. Vesikula dipenuhi dengan granulosit yang mengandung serosa dan sel mononuklear. Dalam sensitivitas kontak Jones-Mote, selain akumulasi fagosit mononuklear dan limfosit, basofil ditemukan. Ini merupakan perbedaan penting dari reaksi hipersensitivitas tipe TH1, di mana basofil benar-benar tidak ada (Tersinanda and Rusyati, 2013).



Gambar. Histopatologi Dermatitis Kontak 2. Uji Tempel (Patch Test) Tempat melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk melakukan uji tempel diperlukan antigen, biasanya antigen standar, misalnya Allergan Patch Test Kit dan T.R.U.E. Test. Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian kortikosteroid sistemik dihentikan, sebab dapat menghasilkan reaksi negatif palsu. Pemberian kortikosteroid topikal di punggung



dihentikan



sekurang-kurangnya



satu



minggu



sebelum



tes



dilaksanakan. Luka bakar sinar matahari (sun burn) yang terjadi 1-2 minggu sebelum tes dilakukan juga dapat memberi hasil negatif palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak mempengaruhi hasil tes, kecuali diduga karena urtikaria kontak. Uji tempel dibuka setelah 48 jam (dua hari penempelan),



8



kemudian dibaca; pembacaan kedua dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7. Pasien dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel menjadi longgar/ terlepas (tidak menempel dengan baik), karena dapat memberikan hasil negatif palsu. Pasien juga dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam waktu 48 jam, dan menjaga agar punggung selalu kering sampai pembacaan terakhir selesai (Menaldi, 2017). Setelah 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan menghilang atau minimal. Hasilnya dicatat seperti berikut (Menaldi, 2017): +1 = reaksi lemah (non-vesikular) : eritema, infiltrat, papul (+) +2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++) +3 = reaksi sangat kuat (ekstrim): bula atau ulkus (+++) ± = meragukan: hanya makula eritematosa (?) IR = iritasi: seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR) (-) = reaksi negatif (-) NT= tidak dites (NT=not tested)



Gambar: Pemeriksaan Uji Tempel



Gambar: Penilaian hasil uji tempel 3.



Uji tusuk atau skin prick test (SPT) 9



Uji ini merupakan metode diagnosis untuk penyakit alergi yang dimediasi immunoglobulin E (Ig E). Tes tusuk merupakan pilihan utama untuk mendiagnosis alergi karena hasil tes dapat diandalkan, aman, mudah, minimal invasif, relatif murah, dapat mendeteksi multipel alergi dalam 15-20 menit tes dan reproducible jika dilakukan oleh professional kesehatan yang terlatih. Pemeriksaan ini dapat dikerjakan pada dewasa dan anak-anak. Uji tusuk cukup baik dalam mendiagnosis alergi inhalan dengan spesifisitas (70-95%) dan sensitivitas (80-97%), sedangkan untuk alergi makanan, spesifisitas berkisar (30-90%) dan sensitivitas (20-60%) tergantung tipe alergen dan tehnik yang digunakan (Aulianida, Liestyasari and Ch, 2019). Reaksi yang timbul berupa eritema/kemerahan dan edema/bentol. Apabila kurang dari 15 menit terjadi wheal yang sangat lebar, kulit sebaiknya dibersihkan dari larutan alergen untuk menghindari terjadinya reaksi sistemik/reaksi anafilaksis (Aulianida, Liestyasari and Ch, 2019).



Gambar Pemeriksaan dan hasil uji tusuk dengan kontrol positif dan negatif 2.6



Patogenesis Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi imunologik tipe IV, atau reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini terjadi melalui dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi. Hanya individu yang telah mengalami sensitisasi dapat mengalami DKA (Menaldi, 2017). a.



Fase Sensitisasi Hapten yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum komeum akan ditangkap oleh sel Langerhans dengan cara pinositosis, dan diproses secara 10



kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta dikonjugasikan pada molekul HLADR untuk menjadi antigen lengkap. Pada awalnya sel Langerhans dalam keadaan istirahat, dan hanya berfungsi sebagai makrofag dengan sedikit kemampuan menstimulasi sel T. Akan tetapi, setelah keratinosit terpajan oleh hapten yang juga mempunyai sifat iritan, keratinosit akan melepaskan sitokin (IL-1) yang akan mengaktifkan sel Langerhans dan mampu menstimulasi sel-T. Aktivasi tersebut akan mengubah fenotip sel Langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin tertentu (misalnya IL1) serta ekspresi molekul permukaan sel termasuk MHC klas I dan II, ICAM-1, LFA-3 dan 87. Sitokin proinflamasi lain yang dilepaskan oleh keratinosit yaitu TNFa, yang dapat mengaktifasi sel-T, makrofag dan granulosit, menginduksi perubahan molekul adesi sel dan pelepasan sitokin serta juga meningkatkan MHC kelas I dan II (Menaldi, 2017). TNFa menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel Langerhans pada epidermis, juga menginduksi aktivitas gelatinolisis sehingga memperlancar sel Langerhans melewati membran basalis bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat melalui saluran limfe. Di dalam kelenjar limfe, sel Langerhans mempresentasikan kompleks antigen HLA-DR kepada sel-T penolong spesifik, yaitu sel T yang mengekspresikan molekul CD4 yang dapat mengenali HLA-DR yang dipresentasikan oleh sel Langerhans, dan kompleks reseptor sel-T-CD3 yang mengenali antigen yang telah diproses. Keberadaan sel-T spesifik ini ditentukan secara genetic (Menaldi, 2017). Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel-T untuk mensekresi IL-2 dan mengekspresi reseptor-IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan menstimulasi proliferasi dan diferensiasi sel T spesifik, sehingga menjadi lebih banyak dan berubah menjadi sel-T memori (sel T-teraktivasi) yang akan meninggalkan kelenjar getah bening dan beredar ke seluruh tubuh. Pada saat tersebut individu telah tersensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu (Menaldi, 2017). b.



Fase Elisitasi Fase kedua (elisitasi) hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada pajanan ulang alergen (hapten) yang sama atau serupa (pada reaksi silang). Seperti pada fase sensitisasi, hapten akan ditangkap oleh sel Langerhans dan diproses secara kimiawi menjadi antigen, diikat oleh HLADR kemudian diekspresikan di permukaan sel. Selanjutnya kompleks HLA-DR-antigen akan dipresentasikan 11



kepada sel-T yang telah tersensitisasi (sel-T memori) baik di kulit maupun di kelenjar limfe sehingga terjadi proses aktivasi. Di kulit proses aktivasi lebih kompleks dengan hadirnya berbagai sel lain. Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang merangsang sel-T untuk memproduksi IL-2 dan mengekspresi IL-2R, yang akan menyebabkan proliferasi dan ekspansi populasi sel-T di kulit. Sel-T teraktivasi juga mengeluarkan IFN-y yang akan mengaktifkan keratinosit untuk mengekspresi ~CAM-1 dan HLA-DR. Adanya ICAM1 rnemungkinkan keratinosit untuk berinteraksi dengan sel-T dan leukosit lain yang mengekspresi molekul LFA-1. Sedangkan HLA-DR memungkinkan keratinosit untuk berinteraksi langsung dengan sel-T CD4+, dan juga memungkinkan presentasi antigen kepada sel tesebut. Keratinosit menghasilkan juga sejumlah sitokin antara lain IL-1, IL-6, TNF-a, dan GMCSF, semuanya dapat mengaktivasi sel-T. IL-1 dapat merangsang keratinosit untuk menghasilkan eikosanoid. Sitokin dan eikosanoid ini akan mengaktifkan sel mas dan makrofag. Sel mas yang berada di dekat pembuluh darah dermis akan melepaskan antara lain histamin, berbagai jenis faktor kemotaktik, PGE2 dan PGD2, dan leukotrien 84 (L TB4 ). Eikosanoid baik yang berasal dari sel mas (prostaglandin) maupun dari keratinosit atau leukosit akan menyebabkan dilatasi vaskular dan meningkatkan permeabilitas sehingga molekul terlarut seperti komplemen dan kinin mudah berdifusi ke dalam dermis dan epidermis. Selain itu faktor kemotaktik dan eikosanoid akan menarik neutrofil, monosit dan sel darah lain dari dalam pembuluh darah masuk ke dalam dermis. Rentetan kejaclian tersebut akan menimbulkan respons klinik DKA. Fase elisitasi umumnya berlangsung antara 24-48 jam (Menaldi, 2017). 2.7



Patofisiologi Sekitar 3000 bahan kimia didokumentasikan dengan baik sebagai penyebab spesifik dari dermatitis kontak alergi (Helm, 2020).  Senyawa harus kurang dari 500 hari untuk penetrasi yang efisien melalui penghalang stratum korneum, yang merupakan lapisan luar kulit yang kedap air. Molekul organik kecil yang reaktif secara kimiawi (pemeka kimiawi) mengikat protein sendiri untuk menghasilkan neoantigen imunogenik melalui proses yang disebut haptenisasi. Meskipun haptens dapat menembus melalui kulit utuh, pasien dengan penyakit tertentu menyatakan bahwa gangguan fungsi penghalang 12



(misalnya, ulkus tungkai, dermatitis perianal) memiliki peningkatan risiko sensitisasi terhadap obat yang dioleskan dan komponen pembawa mereka (Helm, 2020). Banyak pasien dengan dermatitis atopik atau dermatitis kontak alergi terhadap nikel memiliki bentuk cacat gen filaggrin. Filaggrin membantu mengumpulkan



protein



sitoskeletal



yang



membentuk



selubung



sel



yang



terkornifikasi. Jika tidak ada, penghalang itu rusak (Helm, 2020).  Prehaptens adalah bahan kimia yang tidak diaktivasi oleh protein inang, tetapi memerlukan transformasi kimia melalui derivatisasi oksidatif oleh ambien atau oksidasi udara untuk membentuk hidroperoksida. Contohnya termasuk bahan pewangi dan pewarna tertentu yang digunakan dalam pewarnaan rambut, seperti para-phenylenediamine (Helm, 2020). Haptens mengaktifkan Reseptor seperti Tol (TLR) dan mengaktifkan kekebalan bawaan. Pentingnya aktivasi imunitas bawaan yang dimediasi hapten disorot oleh pengamatan klinis bahwa iritasi bahan kimia (yaitu, kemampuan bahan kimia ini untuk menyebabkan peradangan kulit yang terlihat sangat terlihat pada paparan primer) berkorelasi dengan kemampuan mereka untuk bertindak sebagai pemeka kontak dan menginduksi dermatitis kontak akut (Helm, 2020).  Haptens atau self-protein haptenated dikenali oleh mekanisme imun bawaan di kulit, dan ini mengarah pada pengembangan sejumlah mediator proinflamasi, termasuk interleukin (IL) -1β. Akibatnya, sel dendritik penduduk kulit (DC) menjadi aktif. Ada beberapa populasi DC. Sel Langerhans adalah satu-satunya subtipe DC di epidermis. Seperti semua DC yang menetap di kulit, sel Langerhans secara efisien memperoleh antigen di perifer dan bermigrasi ke kelenjar getah bening regional di mana mereka menghadirkan antigen ke sel T naif dan memori. DC ini, yang mungkin telah mengalami haptenasi secara langsung atau dapat memperoleh protein haptenasi dari lingkungannya, bermigrasi ke kelenjar getah bening yang mengeringkan kulit di mana mereka menyajikan peptida dari protein yang terhaptenasi untuk mengaktifkan memori dan sel T naïf (Helm, 2020). Pada langkah terakhir, peradangan yang diinduksi hapten merekrut sel T efektor yang diaktifkan kembali ke tempat awal pertemuan antigen di kulit. Sel T efektor melepaskan sitokin proinflamasi, seperti interferon-γ, dan mendorong terbunuhnya sel-sel yang mengalami hapten, mengakibatkan timbulnya ruam inflamasi klasik yang terlihat pada dermatitis kontak alergi (Helm, 2020). 13



Keratinosit sangat penting untuk perkembangan dermatitis kontak alergi. Mereka merupakan sebagian besar sel di epidermis dan membentuk pelindung anatomis kulit. Keratinosit mengekspresikan sebagian besar TLR, dan ini memungkinkan mereka untuk merespons haptens pemicu TLR4, seperti nikel. Keratinosit juga merupakan sumber IL-10, sitokin imunosupresif yang membatasi tingkat hipersensitivitas kontak (Helm, 2020). Sensitisasi awal biasanya memerlukan waktu 10-14 hari sejak paparan awal terhadap alergen kontak yang kuat seperti poison ivy. Beberapa individu mengembangkan kepekaan spesifik terhadap alergen setelah bertahun-tahun terpapar kronis tingkat rendah; misalnya, kepekaan terhadap kromat dalam semen pada akhirnya dapat berkembang pada individu dengan dermatitis kontak iritan kronis akibat sifat alkali semen. Setelah seseorang peka terhadap bahan kimia, dermatitis kontak alergi berkembang dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah terpapar.CD4+ CCR10+ Sel T memori bertahan dalam dermis setelah dermatitis kontak alergi sembuh secara klinis (Helm, 2020). 2.8



Diagnosis Banding a. Dermatitits Kontak Alergi Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi. Dapat terjadi pada semua jenis umur dengan frekuensi laki-laki dan wanita sama.Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan: Kemerahan pada daerah kontak, kemudian timbul eritema, papula, vesikel dan erosi. Penderita selalu mengeluh gatal. Lokalisasi (semua bagian tubuh dapat terkena), efloresensi (eritema numular sampai dengan plakat, papula dan vesikel berkelompok disertai erosi numular hingga plakat, terkadang hanya berupa makula hiperpigmentasi dengan skuama halus) Prognosis umumnya baik (Perdana, 2018).



14



Gambar: Dermatitis Kontak Alergi b. Urtikaria Urtikaria adalah reaksi vaskular pada kulit, ditandai dengan adanya edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwama pucat atau kemerahan, umumnya dikelilingi oleh halo kemerahan (flare) dan disertai rasa gatal yang berat, rasa tersengat atau tertusuk (Menaldi, 2017). Banyak faktor yang mungkin bertanggung jawab dalam etiologi penyakit. Lokalisasi pada badan, tapi dapat juga mengenai ekstremitas, kepala dan



leher. Efloresensi:



Eritema dan edema setempat berbatas tegas, kadang-kadang bagian tengah tampak pucat. Diseertai rasa gatal atau kadang sensasi terbakar dan berakhir cepat, kulit kembali ke kondisi normal biasanya 1-24 jam Ukurannya: Dari beberapa milimeter hingga sentimeter, dapat berbentuk dari lentikular, numular, sampai plakat (PERDOSKI, 2017) prognosis baik.



Gambar: Urtikaria c. Pitriasis Rosae Erupsi papulo skuamosa akut yang agak sering dijumpai. Morfologi khas berupa makula eritematosa lonjong dengan diameter terpanjang sesuai dengan lipatan kulit serta ditutupi oleh skuama halus (Perdana, 2018). Terutama timbul pada remaja dan dewasa muda yang sehat, kelompok usia 10-35 tahun. Lebih banyak dialami oleh perempuan. Gejala subjektif biasanya tidak ditemukan, tetapi dapat disertai gatal ringan maupun sedang (PERDOSKI, 2017). Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan: Timbul bercak seluruh tubuh terutama daerah yang tertutup pakaian berbentuk buiat panjang mengikuti lipatan kulit. Diawali suatu bercak yang besar di sekitarnya terdapatbercak agak kecil. Ukuranbercak dari seujung jarum pentul sampai sebesar uang logam. Dapat didahului oleh gejala prodromal ringan seperti badan lemah, sakit kepala, dan sakit tenggorokan. Lokalisasi (dapat tersebar di seluruh tubuh, terutama pada tempat yang tertutup pakaian), efloresensi: makula eritroskuamosa anular dan 15



solitar, benfuk lonjong dengan tepi hampir tidak nyata meninggi dan bagian sentral bersisik, agak berkeringat, sumbu panjang lesi sesuai dengan garis lipatan kulit dan kadang-kadang menyerupai gambaran pohon cemara. Lesi inisial (herald patch = medallion) biasanya solitar, bentuk oval, anular, berdiameter 2-6 cm. jarang terdapat lebih dari t herald patch. Prognosis baik, dapat sembuh dalam waktu 6 minggu (Perdana, 2018).



Gambar: Pitriases Rosea 2.9



Penatalaksanaan 2.9.1 Non Farmakologi 1. Identifikasi dan penghindaran terhadap bahan alergen tersangka. 2. Anjuran penggunaan alat pelindung diri (APD), misalnya sarung tangan, apron, sepatu bot. Pada beberapa kondisi oklusif akibat penggunaan sarung tangan terlalu lama dapat memperberat gangguan sawar kulit (PERDOSKI, 2017). 2.9.2 Farmakologi 1. Sistemik: simtomatis, sesuai gejala dan sajian klinis Derajat sakit berat: dapat ditambah kortikosteroid oral setara dengan prednison 20 mg/hari dalam jangka pendek (3 hari) 2. Topikal:  Pelembab



setelah



bekerja.



disarankan



pelembab



yang



kaya



kandungan lipid misalnya vaselin (petrolatum). Sesuai dengan gambaran klinis  Basah (madidans): beri kompres terbuka (2-3 lapis kain kasa) dengan larutan NaCl 0,9%5  Kering: beri krim kortikosteroid potensi sedang sampai tinggi, misalnya mometason furoat, flutikason propionat, klobetasol butirat.  Bila dermatitis berjalan kronis dapat diberikan klobetasol propionate interiten. 16



 Pada kasus yang berat dan kronis, atau tidak respons dengan steroid bisa diberikan inhibitor kalsineurin atau fototerapi BB/NB UVB, atau obat imunosupresif sistemik misalnya azatioprin atau siklosporin.  Bila ada superinfeksi oleh bakteri: antibiotika topikal/sistemik



(PERDOSKI, 2017)



2.10



Komunikasi dan Edukasi 1. Edukasi mengenai prognosis, informasi mengenai penyakit, serta perjalanan penyakit yang akan lama walaupun dalam terapi dan sudah modifikasi lingkungan pekerjaan, perawatan kulit. 2. Edukasi mengenai penggunaan alat pelindung diri yang sesuai dengan jenis pekerjaan, bila dermatitis berhubungan dengan kerja. 3. Edukasi mengenai perawatan kulit sehari-hari dan penghindaran terhadap alergen berdasarkan hasil uji tempel (PERDOSKI, 2017).



2.11



Komplikasi 1. Infeksi sekunder (penatalaksanaan sesuai dengan lesi, pemilihan jenis antibiotik sesuai kebijakan masing-masing rumah sakit). 2. Hipopigmentasi maupun hiperpigmentasi paska inflamasi (PERDOSKI, 2017).



2.12



Prognosis Prognosis DKA umumnya baik, sejauh dapat menghindari bahan penyebabnya. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila terjadi bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis), atau sulit menghindari alergen penyebab, misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat di lingkungan pasien (Menaldi, 2017).



17



2.13



Profesionalisme 



Membantu mengontrol kesembuhan



pasien dengan pemberian dosis yang



adekuat, dan penjelasan tata cara pengobatan dengan benar 



Kontrol ulang, bila keluhan tidak membaik bisa di rujuk ke dokter spesialis kulit dan kelamin untuk dilakukan terapi lebih lanjut.



BAB III KESIMPULAN Dermatitis Kontak Alergi (DKA) adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi. Dermatitis kontak alergi (DKA) ialah dermatitis yang terjadi akibat pajanan dengan bahan alergen di luar tubuh, diperantai reaksi hipersensitivitas tipe 4 (Coombs dan Gel). Klasifikasi Dermatitis Kontak Alergi: Dermatitis kontak alergi lokalisata dan Dermatitis kontak alergi sistemik. DKA dapat pada semua umur dengan frekuensi jenis kelamin wanita dan pria sama. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penderita, keluhan dan gejala klinis serta pemeriksaan penunjang untuk menemukan agen penyebabnya. Pasien umumnya mengeluh gatal dan kemerahan pada daerah kontak, kemudian timbul eritema, papula, vesikel dan. Lokalisasi: Semua bagian tubuh dapat terkena. Efloresensi/sifa-sifatnya: Eritema berbatas tegas diikuti edema, papula dan vesikel berkelompok disertai erosi. Terkadang hanya berupa makula hiperpigmentasi dengan skuama halus. Ukuran: Numular sampai dengan plakat. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi, uji tempel dan uji tusuk kulit. Pengobatan DKA sistemik dapat ditambah kortikosteroid oral, sedangkan topikal bisa dengan pemberian pelembab yang mengandung lipid. Edukasi mengenai prognosis, informasi mengenai penyakit, edukasi mengenai penggunaan alat 18



pelindung diri, edukasi mengenai perawatan kulit sehari-hari dan penghindaran terhadap alergen berdasarkan hasil uji tempel. DKA memiliki komplikasi infeksi sekunder dan hipopigmentasi maupun hiperpigmentasi paska inflamasi. Prognosis DKA umumnya baik, sejauh dapat menghindari bahan penyebabnya.



19



DAFTAR PUSTAKA



1. Aulianida, D., Liestyasari, S. I. and Ch, S. R. (2019) ‘Uji Tusuk dan Uji Tempel’, Journal



of Chemical Information and Modeling, 53(9), pp. 1689–1699. 2. Batasina, T., Pandaleke, H. and Suling, P. (2017) ‘Profil dermatitis kontak alergi di poliklinik rsup prof. Dr. R.D. Kandou Manado periode Januari – Desember 2013’, eCliniC, 5(1). doi: 10.35790/ecl.5.1.2017.14735. 3. Helm,



N,



Thomas.



(2020).



Allergic



Contact



Dermatitis



https://emedicine.medscape.com/article/1049216-overview#a3 4. Menaldi, S. L. S. (2017) Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin.Edisi Ketujuh.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia., Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 5. Permenkes.(2014). PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NO.5 Tahun 2014. 6. Perdana (2018) Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2, Journal of Chemical Information and Modeling. 7. PERDOSKI (2017) Panduan Praktik Klinis, Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. 8. Prabowo, P. Y. et al. (2017) ‘Karakteristik Dan Manajemen Dermatitis Kontak Alergi Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit Indera Denpasar Periode Januari-Juli 2014’, 6(8), pp. 1–6. 9. Tersinanda, T. Y. and Rusyati, L. M. M. (2013) ‘Dermatitis Kontak Alergi’, E-Jurnal Medika



Udayana,



2(8),



pp.



1446–1461.



https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/6113/4604/.



Available



at: