Gender Dalam Kebidanan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KAJIAN GENDER DALAM PELAYANAN KEBIDANAN DAN KESEHATAN MAKALAH ASUHAN KEBIDANAN DOSEN : JULI PURNAMA HAMUDI, SST.,M.Keb



KELOMPOK 1 1. ANNA ALFIA



NIM. Pbd21.199



2. ANNISA FAREMI



NIM. Pbd21.200



3. ARIDZKA



NIM. Pbd21.201



4. ARNI ASTUTI



NIM. Pbd21.202



SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PELITA IBU PROGRAM STUDI PROFESI BIDAN TAHUN 2021



KATA PENGANTAR Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kami panjatkan puji dan syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya kepada kami sehingga kami bisa menyeselsaikan



makalah



yang



berjudul



“KAJIAN



GENDER



DALAM



PELAYANAN KEBIDANAN DAN KESEHATA” Kami sadar sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karenanya kami dengan lapang dada menerima segara saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.



Kendari, 21 September 2021



KELOMPOK 1



i



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR....................................................................................i DAFTAR ISI...................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1 1.1 Latar Belakang............................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................2 1.3 Tujuan.........................................................................................................2 BAB II PEMBAHASAN.................................................................................3 2.1 Istilah Gender..............................................................................................3 2.2 Peran Gender..............................................................................................3 2.3 Kajian Gender Dalam Pelayanan Kebidanan..............................................4 2.4 Gender Dalam Kesehatan...........................................................................7 2.5 Isu Gender Dalam Bidang Kesehatan.........................................................10 2.6 Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Kesehatan..................................13 BAB III PENUTUP.........................................................................................15 3.1 Kesimpulan.................................................................................................15 3.2 Saran...........................................................................................................15 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................16 LAMPIRAN JURNAL



ii



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan termasuk salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tertera pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ke empat. Pemerintah perlu berkerja keras menghadapi kesehatan salah satunya dengan melakukan pemerataan tenaga kesehatan di setiap wilayah agar seluruh penduduk Indonesia mendapat pelayanan kesehatan yang optimal. Bidan adalah tenaga kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat yang secara khusus memberi pelayanan kebidanan kepada ibu dan sebagai pengambil keputusan terhadap seseorang yang telah mempercayakan dirinya berada dalam asuhan dan penangan bidan. Dalam praktek kebidanan, pemberian asuhan kebidanan yang berkualitas juga sangan dibutuhkan. Kualitas kebidanan ditentukan dengan cara bidan membina hubungan, baik sesame rekan sejawat ataupun juga ditentukan oleh ketrampilan bidan untuk berkomunikasi secara efektif dan melakukan konseling yang baik pada klien. Berbicara mengenai isu gender, adanya diskriminasi terhadap perempuan dan ketidaksetaraan gender menjadi masalah penting bagi hampir seluruh Negara di dunia. Dominasi laki-laki di setiap bidang public manupun privat masih terus terjadi dan bahkan semakin menonjol. Tidak terkecuali perempuan yang dianggap harus selalu tunduk pada laki-laki, karena perempuan tersebut sangat rentan menjadi korban system patriarkal dan mengalami diskriminasi di semua tingkatan.



1



Kesehatan perempuan bergantung pada peningkatan ekonomi dan social dalam bidang pendidikan, kondisi kerja dan standar hidup. Terdapat kesalahan presepsi yang meluas bahwa kesehatan secara otomatis memasukkan upaya pemberdayaan perempuan. Masyarakat sering tidak diakui, sehingga mereka sering tidak mendapatkan dukungan social, psikologis dan ekonomis yang sangat diperlukan. 1.2 Rumusan Masalah A. Apa itu istilah gender ? B. Apa itu peran gender ? C. Apa itu kajian gender dalam kebidanan ? D. Apa itu gender dalam kesehatan ? E. Apa itu isu gender dalam bidang kesehatan ? F. Apa itu kesetaraan dan keadilan gender dalam kesehatan ? 1.3 Tujuan A. Untuk mengetahui apa itu istilah gender. B. Untuk mengetahui apa itu peran gender. C. Untuk mengetahui apa itu kajian gender dalam kebidanan. D. Untuk mengetahui apa itu gender dalam kesehatan. E. Untuk mengetahui apa itu isu Gender dalam bidang kesehatan. F. Untuk mengetahui apa itu kesetaraan dan keadilan gender dalam kesehatan.



2



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Istilah Gender Istilah gender diambil dari dalam bahasa Arab “Jinsiyyun” yang kemudian diadopsi dalam bahasa Perancis dan Inggris menjadi “gender” (Faqih, 1999). Gender diartikan sebagai perbedaan peran dan taggung jawab perempuan dan laki-laki yang ditentukan secara social. Gender merupakan perbedaan yang Nampak antara laki-laki dan perempuan apabila di nilai dari tingkah laku. Laki-laki dan perempuan ditentukan perbedaan fungsi, perbedaan tanggung jawab dan perempuan sebagai hasil konstruksi social yang dapat berubah atau diubah sesuai perubahan zaman peran dan kedudukan seseorang yang dikonstruksikan oleh masyarakat. Gender berhubungan dengan bagaimana presepsi dan pemikiran serta tindakan yang diharapkan sebagai perempuan dan laki-laki yang dibentuk masyarakat, bukan karena perbedaan biologis. Peran gender dibentuk secara



social,



institusi



social



memainkan



peran



penting



dalam



pembentukan peran gender dan hubungan. 2.2 Peran Gender Peran gender adalah peran social yang tidak ditentukan oleh perbedaan kelamin seperti perbedaan kodrat. Oleh karena itu, pembagian peran antara pria dan wanita dapat berbeda diantara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya sesuai dengan lingkungan. Peran gender juga dapat berubah dari masa ke masa, karena pengaruh kemajuan pendidikan, teknologi, ekonomi dan lain-lainnya. Dalam kenyataannya, ada pria yang mengambil pekerjaan urusan rumah tangga dan ada pula wanita yang mencari nafkah. 1. Peran reproduksi, yaitu peran-peran yang dijalankan dan tidak menghasilkan uang, serta dilakukan di dalam rumah. Contoh peran reproduktif antara lain : pengasuhan atau pemeliharaan anak,



3



pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, menjamin seluruh anggota keluarga sehat, menjamin seluruh anggota keluarga kecukupan makan, menjamin seluruh anggota keluarga tidak lelah. 2. Peran produktif, yaitu peran-peran yang jika dijalankan mendapatkan uang langsung atau upah-upah yang lain. Contoh peran produktif yang dijalankan di luar rumah : sebagai guru disuatu sekolah, buruh perusahaan, pedagang di pasar. Contoh peran produktif yang dijalankan di dalam rumah : usaha salon dirumah, usaha menjahit dirumah dan lain sebagainnya. 3. Peran kemasyarakatan (social) terdiri dari aktivitas yang dilakukan di tingkat masyarakat. Peran kemasyarakatan yang dijalankan oleh perempuan adalah melakukan aktivasi yang digunakan bersama. Contohnya : pelayanan posyandu, pengelolaan sampah rumah tangga, pekerjaan seperti itu (pekerjaan social di masyarakat) dan tidak dibayar. 2.3 Kajian Gender Dalam Pelayanan Kebidanan Kesetaraan gender adalah tidak adanya diskriminasi berdasarkan jenis kelamin seseorang dalam memperoleh kesempatan dan sumber daya, manfaat atau dalam mengakses pelayanan. Berbeda halnya dengan keadilan gender merupakan keadilan perdistribusian manfaat dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki. Konsep yang mengenali adanya perbedaan kebutuhan dan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki, yang harus



diidentifikasi



dan



diatasi



dengan



cara



memperbaiki



ketidakseimbangan antara jenis kelamin. Masalah gender muncul bila ditemukan perbedaan hak. Peran dan tanggung jawab karena adanya nilainilai social budaya yang tidak menguntungkan salah satu jenis kelamin (lazimnya perempuan). Untuk itu perlu dilakukan rekontruksi social sehingga nilai-nilai social budaya yang tidak menguntungkan tersebut dapat dihilangkan. Sehingga masalah kesehatan reproduksi yang erat kaitannya dengan



4



ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender dapat dihindari, khususnya kematian ibu dan anak yang masih tinggi di Indonesia. Pembahasan dalam topik isu gender ini dimaksudkan untuk memberikan informasi sehingga dapat mengembangkan ide-ide kreatif dan inovatif yang disesuaikan dengan social, budaya, kondisi dan situasi di wilayah setempat untuk mengatasi masalah kesehatan reproduksi remaja. Mengingat masih tingginya 4 Terlalu (Terlalu muda, Terlalu tua, Terlalu banyak, dan Terlalu sering untuk hamil dan bersalin) yang berhubungan degan penyebab kematian ibu dan anak kondisi ini sesunggungnya dapat dicegah, dan tidak terjadi kematian yang sia-sia. Selain itu masalah kesehatan lainnya penularan dan penyebaran HIV/AIDS. Dengan upaya pemberian informasi kesehatan diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan remaja yang pada akhirnya remaja mempunyai pandangan dan sikap yang baik untuk dapat membantu pencegahan



penularan



HIV/AIDS,



pencegahan



kehamilan



tidak



diharapkan. Penyuluhan di berbagai tingkatan tentang peran ibu, keluarga dan suami dalam menunjang kesehatan ibu: 1. Pemberian informasi/KlP/konseling tentang tanda bahaya obstetri diberikan kepada ibu hamil,ibu bersalin,ibu nifas, PUS/Pasutri/ keluarga di tingkat pelayanan dasar dan rujukan (Desa, Kecamatan' Kabupaten/Kota). 2. Pendataan yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan perempuan yang responsif gender (dari sisi supply dan demand) di berbagai tingkat administrasi. 3. Penyempurnaan protokol pelayanan yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan nifas dalam memenuhi hak reproduksi perempuan termasuk melibatkan keluarga./suami dan masyarakat yang belum mempunyai wawasan yang benar tentang kesehatan perempuan termasuk pencegahan Hepatitis C, pencegahan dan pengobatan



5



IMS/HIV-AIDS, TB, Malaria pada sasaran kesehatan ibu yang terintegrasi dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA). 4. Pemberian informasi tentang hak-hak ibu untuk ber-KB, hamil, bersalin, nifas dalam pengambilan keputusan bagi kesehatan dan keselamatan diri di tingkat pelayanan dasar dan rujukan (Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota). Masalah kesehatan reproduksi remaja selain berdampak secara fisik, juga dapat berpengaruh terhadap kesehatan mental dan emosi, keadaan ekonimi dan kesejahteraan social dalam jangka panjang. Dampak jangka panjang tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap keluarga, masyarakat dan bangsa akhirnya. Permasalahan prioritas kesehatan reproduksi pada remaja dapat dikelompokan sebagai berikut : 1. Kehamilan tidak dikehendaki, yang seringkali menjurus kepada aborsi yang tidak aman dan komplikasinya. 2. Risiko baby blues yang cukup tinggi pada ibu postpartum muda 3. Kehamilan dan persalinan usia muda yang menambah risiko kesakitan dan kematian ibu dan bayi. 4. Masalah penyakit menular seksual termasuk infeksi HIV/AIDS 5. Tindak kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, pelecehan seksual dan transaksi seks komersial. Kehamilan remaja kurang dari 20 tahun menyumbangkan risiko kematian ibu dan bayi 2 hingga 4 kali lebih tinggi disbanding kehamilan pada ibu berusia 20-35 tahun. Pusat penelitian



Kesehatan UI



mengadapakan penelitian di Manado dan Bitung, menunjukan bahwa 6% dari 400 pelajar SMU puteri dan 20% dari 400 pelajar SMU putra pernah melakukan hubungan seksual. Di Yogyakarta, menurut data sekunder dari 10.981 penunjang klinik KB ditemukan 19% yang dating dengan kehamilan yang tidak dikehendaki dan telah melakukan tindakan pengguguran yang disengaja sendiri secara tidak aman.



6



2.4 Gender Dalam Kesehatan Masalah gender dalam bidang kesehatan tidak semata-mata hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan, karena masalah ini terkait dengan sektor-sektor lainnya, seperti sosialekonomi, budaya, politik, pendidikan, peftanian dan sebagainya. Sehingga masalah gender, yang berupa ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender, dalam sektor kesehatan terkait pula dengan masalah-masalah di luar sektor kesehatan. Menurut WHO, masalah ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender dalam sektor kesehatan dapat dijumpai pada banyak kebijakan dan program pembangunan kesehatan. Namun, hal ini oleh banyak penentu kebijakan, perencana program dan penyedia pelayanan (health provider) tidak dianggap/dikenali sebagai masalah yang serius. Ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender ini dijumpai dalam beberapa bentuk gender inequality, yaitu perbedaan akses pada pelayanan kesehatan antara penduduk laki-laki dan perempuan, perbedaan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan kepada penduduk laki-laki dan perempuan, dan bias gender dalam riset medis. Dalam perspektif gender, beberapa masalah pokok kesehatan yang mendapat prioritas dalam penanganannya, seperti Angka Kematian Ibu (AKI) yang tinggi, pemberantasan tuberkulosis paru, malaria, HIV/AIDS, masalah gizi masyarakat dan masalah lingkungan yang tidak sehat sangat terkait dengan isu gender. Hal penting inilah yang belum mendapat perhatian dan pemahaman yang mendalam dan konsisten dari para pembuat kebijakan kesehatan. Rendahnya status kesehatan perempuan dibandingkan dengan laki-laki, sebagai akibat faktor sosial budaya, misalnya, telah berdampak pada tingginya angka kematian ibu dan besarnya berbagai masalah kesehatan perempuan lainnya. Selama ini kebijakan dan program pembangunan kesehatan pada umumnya sudah dilaksanakan untuk seluruh penduduk, dengan tidak membedakan sasaran lakilaki dan perempuan, kecuali program yang dirancang khusus untuk laki-laki atau perempuan. Ternyata dengan



7



kebijakan dan program yang bersifat "netral gender atau buta gender" ini, sering dijumpai adanya kesenjangan dalam pelaksanaan serta dampak yang terjadi pada penduduk laki-laki dan perempuan. Beberapa contoh. antara lain: 1. Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Selama ini urusan kehamilan dan melahirkan dianggap hanya urusan perempuan, sementara kedudukan perempuan pada umumnya masih rendah dibandingkan lakilaki, sehingga perempuan sulit memutuskan apa yang menjadi kebutuhan dan haknya. 2. Program Lingkungan Sehat, Penyehatan Air dan Sanitasi Perempuan lebih banyak menerima beban keda untuk kesehatan lingkungan dan sanitasi di rumah tangga, sementara sosialisasi program lingkungan sehat, perryehatan air dan sanitasi lebih banyak ditujukan pada laki-laki. 3. Program Pemberantasan Penyakit Malaria Kejadian penyakit malaria lebih banyak pada laki-laki, tetapi dampaknya jauh lebih berbahaya pada perempuan, khususnya saat hamil, karena dapat berakibat buruk pada janin/bayi (dapat mengakibatkan keguguran, lahir mati, lahir prematur dan lahir dengan berat badan lahir rendalVBBLR), maupun pada ibu (malaria serebral, anemia), sefta resiko kematian pada perempuan meningkat 2-10 kali dibandingkan laki-laki. 4. Program Penanggulangan HIV/AIDS Laki-laki pada umumnya tidak dianggap sebagai sumber penularan HIV/AIDS, sedangkan perempuan baik-baik sering dianggap tidak akan rertlrlar HIV/AIDS. 5. Program Perbaikan Gizi Masyarakat Penyediaan makanan yang bergizi lebih diutamakan kepada bapak dan anak laki-lakr dalipada ibu dan anak perempuan.



8



Di Depaltemen Kesehatan upaya dalam peningkatan kesehatan pefempuall diawali oleh Proyek Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan Kesehatan (Proyek P2WPK) pada pertengahan tahun 80an. Pada akhif tahun 1999, dari kegiatan proyek terseburt telah dihasilkan buku Pengarusutamaan Gender dalam Bidang Kesehatan. Dalam buku pedoman ini baru disebutkan bahwa upaya PUG harus mengikutsertakan analisis gender pada setiap langkah awal suatu program. Selain itu disebutkan pula bahwa untuk dapat melakukan analisis gender diperlukan pengetahuan dan ketefampilan yang spesifik yang dapat dipelajari sendili atau didapat dalam suatu pelatihan khusus tentang PUG Kesehatan reproduksi mencakup proses reproduksi, fungsi-fungsi dan system reproduksi dan semua tahap kehidupan. Kesehatan reproduksi berimplikasi bahwa orang akan mendapat kehidupan seksual yang bertanggung jawab, memuaskan serta aman dan mereka mendapatkan kemampuan untuk reprosuksi dan kebebasan untuk menentukan kapan dan bagaimana bereproduksi. Secara implisit berarti laki-laki dan perempuan mempunyai hak untuk diberitahu dan mendapatkan akses untuk metode fertilitas yang aman, efektif, dapat dijangkau dan dapat diterima sesuai dengan pilihan mereka. Mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan memungkinkan wanita mendapatkan keamanan ketika hamil dan melahirkan dan menyediakan layanan agar pasangan mendapatkan kesempatan yang baik untuk melahirkan bayi yang sehat. Pelayanan untuk HIV/AIDS,cancer, infertilitas, kelahiran dan aborsi harus tersedia dalam pelayanan kesehatan reproduksi. Akses untuk kesehatan reproduksi dan pelayanan kesehatan seksual termasuk keluarga berencana antara lain : 1. Konseling KB 2. Pelayanan pre-natal 3. Kelahiran yang aman 4. Pelayanan Post-natal 5. Pencegahan dan penanganan yang layak untuk infertilitas



9



6. Pencegahan aborsi dan manajemen konsekuensi aborsi 7. Pengobatan “reproductive tract infection” penyakit menular seksual (PMS) 8. Kondisi kesehatan reproduksi yang lain 2.5 Isu Gender Dalam Bidang Kesehatan Isu gender merupakan situasi, kondisi yang membandingkan posisi perempuan dan laki-laki termasuk hubungan sosial antar keduanya di berbagai aspek kehidupan. Isu gender ini tidak terlepas dari konsep keluarga secara konvensional, di mana suami memiliki peran utama sebagai pencari nafkah dalam keluarga dan pelindung keluarga sehingga menempatkan laki-laki dalam posisi utama serta strategis dalam keluarga sehingga menyebabkan perempuan tergantung kepada laki-laki. Pada era modern saat ini keluarga tetap menjadi institusi sosial yang terpenting dalam perubahan peran sosial suami dan istri dalam rumah tangga. Seiring kemajuan teknologi peran suami dan istri mengalami pergeseran, era tradisonal istri hanya bertugas mengurus rumah tangga namun saat ini istri ikut dalam melaksanakan peran mencari nafkah untuk menambah penghasilan keluarga. Isu gender pada aspek kesehatan Perkembangan kemajuan teknologi di bidang kedokteran yang semakin canggih dan semakin tingginya komitmen pemerintah untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, Namun posisi Indonesia yang masih menunjukkan tingginya angka kematian ibu melahirkan adalah masalah besar dan penting bagi bidang kesehatan. Kondisi ini menunjukkan situasi penanganan kesehatan reproduksi perempuan di Indonesia masih kurang berjalan dengan baik, sehingga upaya penurunan angka kematian ibu melahirkan belum tercapai.



10



Kondisi tingginya angka kematian ibu di Indonesia disebabkan: 1. Rendahnya informasi mengenai kesehatan reproduksi perempuan. Sosialisasi



tentang



pentingnya



memperhatikan



kesehatan



reproduksi perempuan telah dilakukan, namun sosialisasi ini belum berjalan dengan efektif. Disamping jangkauan sosialisasi ini masih sangat terbatas, bagi sejumlah masyarakat masalah kesehatan reproduksi perempuan ini masih dianggap sebagai suatu hal yang belum penting dibandingkan masalah lainnya seperti ekonomi. Ketidakefektifan sosialisasi kesehatan reproduksi ini juga dipengaruhi karena menganggap masalah ini hanya menjadi bagian perempuan, padahal jauh penting dari itu masalah ini juga perlu melibatkan pihak laki-laki. Peran serta dan kesadaran laki-laki tentang kesehatan reproduksi perempuan sangat diperlukan. Bentuk ketidakpedulian suami terhadap kesehatan reproduksi istri misalnya dalam pengaturan kehamilan dimana suami tidak peduli terhadap pengaturan kelahiran sehingga perempuan harus tetap mengandung dan melahirkan meskipun dari aspek kesehatan perempuan beresiko tinggi, yang bisa menyebabkan kecacatan dan kematian. 2. Unsafe abortion Unsafe abortion merupakan tindakan menghentikan kehamilan dengan cara tidak aman karena tidak menginginkan kehamilan tersebut. 75% AKI di dunia disebabkan oleh Unsafe abortion, perdarahan, infeksi, preeklamsia-eklamsia, dan komolikasi persalinan. Kematian ibu di Indonesia kurang lebih 30–50% disebabkan unsafe abortion. Unsafe abortion secara legal di Indonesia merupakan tindakan yang dilarang dan tindakan kejahatan pembunuhan serta melanggar norma agama/moralitas. Beberapa alasan perempuan melakukan unsafe abortion : a. Kesehatan Ibu memilih untuk menghentikan kehamilan karena kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan untuk kehamilan dan bersalin



11



seperti faktor usia, gizi, ibu dengan penyakit jantung, kanker, riwayat stroke dan sebagainya yang beresiko besar sampa dengan kematian. b. Ekonomi Kejadian aborsi dilihat dari penyebab segi ekonomi karena kemampuan keluarga dari ibu yang tidak mungkin menanggung biaya hidup apabila harus bertambah anak lagi karena kondisi pendapatan keluarga yang rendah dan jumlah anak banyak. c. Perkosaan atau incest Perempuan korban perkosaan tidak ada satupun yang menghendaki kehamilannya karena dari segi psikologis tidak siap menghadapi kehamilan, selain itu harus juga harus menanggung kehamilan sendiri. Hal ini menjadi alasan logis bagi perempuan korban perkosaan untuk melakukan unsafe abortion. Aborsi selalu dihubungkan dengan degradasi moral, seks bebas akibat maraknya pornografi.



Asumsi



ini



menimbulkan



ketidakadilan



bagi



perempuan, karena yang mendapatkan pandangan negative masyarakat adalah perempuan yang melakukan aborsi, namun lakilaki aman dari opini negative tersebut. Akibat pandangan ini, penanganan aborsi di Indonesia selalu menjadi salah sasaran. Permasalahan pada kasus abortus lebih menekankan pada segi mortalitas bukan kebijakan penanggulangan kasus aborsi sehingga menyebabkan kematian ibu tetap tinggi karena antara masalah dan penanganannya tidak pernah sesuai. Selain masalah kematian ibu melahirkan, tingginya penularan penyakit menular seksual (PMS) pada perempuan juga menjadi masalah pada keseharan perempuan. Sebagian besar ibu rumah tangga tertular PMS dari suami yang memiliki kebiasaan hubungan seksual secara berganti-ganti diluar pasangan yang sah karena peran suami untuk mencari nafkah sehingga harus sering meninggalkan rumah.



12



Penanganan resiko kesehatan terhadap perempuan juga masih kurang diperhatikan, khususnya bagi perempuan yang menjadi pekerja seks. Kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah lebih banyak menyoroti masalah prostitusi ini sebagai persoalan moralitas, hampir jarang penanganan masalah ini dikaitkan dengan upaya pencegahan penyakit seksual yang terkait dengan reproduksi perempuan. Akibatnya perempuan yang menjadi pekerja seks tidak pernah menyadari bahwa masalah berganti-ganti pasangan beresiko akan masalah kesehatan reproduksinya. 2.6 Kesetaraan Dan Keadilan Gender Dalam Kesehatan 1. Ketidak-Setaraan Gender Ketidak-setaraan gender merupakan keadaan diskriminatif (sebagai akibat dari perbedaan jenis kelamin) dalam memperoleh kesempatan, pembagian sumber-sumber dan hasil pembangunan, serta akses terhadap pelayanan. Beberapa contoh ketidaksetaraan gender dalam bidang kesehatan sebagai berikut : a. Bias gender dalam penelitian kesehatan Ada indikasi bahwa penelitian kesehatan mempunyai tingkat bias gender yang nyata, baik dalam pemilihan topic, metode yang digunakan, maupun dalam analisis data. Gangguan kesehatan yang mengakibatkan gangguan berarti pada perempuan tidak mendapat perhatian bila tidak mempengaruhi fungsi reproduksinya, misalnya dismenore dan osteoporosis. b. Perbedaan gender dalam akses terhadap pelayanan kesehatan Berbeda dengan Negara maju, kaum perempuan di Negara berkembang



pada



umumnya



belum



dalam



memanfaatkan



pelayanan kesehatan sesuai kebutuhannya. Proses persalinan yang nirmal



sering



dijadikan



peritiwa



medis



yang



tidak



mempertimbangkan kebutuhan perempuan, misalnya kebutuhan



13



untuk didampingi oleh orang yang terdekat atau mengambil posisi yang dirasakan paling nyaman. 2. ;;Ketidakadilan Gender Dalam berbagai aspek ketidaksetaraan gender tersebut sering ditemukan pula ketidakadilan gender, yaitu ketidakadilan berdasarkan norma dan standar yang berlaku, dalam hal distribusi manfaat dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan (dengan pemahaman bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan kebutuhan dan kekuasaan). Definisi keadilan gender dalam kesehatan menurut WHO mengandung 2 aspek : a. Keadilan dalam (status) kesehatan, yaitu terciptanya derajat kesehatan yang setinggi mungkin (fisik, psikologi dan social bagi setiap warga Negara). b. Keadilan dalam pelayanan kesehatan, yaitu berarti bahwa pelayanan diberikan sesuai dengan kebutuhan tanpa tergantung pada kedudukan social sesorang dan diberikan sebagai respon terhadap harapan yang pantas dari masyarakat dengan penarikan biaya pelayanan yang sesuai dengan kemampuan bayar seseorang.



14



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Persoalan gender bukanlah persoalan baru dalam kajian social, hokum, kesehatan, maupun lainnya. Kajian tentang gender masih tetap actual dan menarik, mengingat masih banyaknya masyarakat yang belum memahami persoalan ini. Masih banyak terjadi berbagai ketimpangan dalam penerapan gender, sehingga memunculkan terjadinya ketidakadilan gender, termasuk dalam kesehatan atau reproduksi. Kesetaraan gender merupakansuatu keadaan setara antara laki-laki dan perempuan dalam hak secara hokum dan kondisi atau kualitas hidupnya sama. Kesetaraan gender merupakan salah satu hak asasi setiap manusia. Gender itulah yang pembedaan peran, atribut, sifat, sikap dan perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. 3.2 Saran 1. Diperlukan upaya penyadaran masyarakat tentang kesetaraan gender agar tidak terjadi ketimpangan peran yaitu dengan cara mengikut sertakan laki-laki dalam ber-KB 2. Lalu mengikut sertaka laki-laki dalam kegiatan reproduktif rumah tangga dan menyeimbangkan peran dalam pekerjaan



15



DAFTAR PUSTAKA Annur



Rafiq,



Kajian



Gender



dalam



Pelayanan



Kebidanan.



https://id.scribd.com/presentation/482963800/KAJIANGENDER/ Diakses tgl 19 September 2021 Miratunnisa



Nisa.



Materi



Gender.



http://www.academia.edu/15619904/Materi Gender/ Diakses 19 tgl september 2021 Dwi Syalfina, Agustin dkk. 2019. Kualitas Gender Dalam Kehamilan. Mojokerto : STIKes Majapahit Mojokerto N. Rosalin, Lenny. 2002. Analis Gender dalam Pembangunan Kesehatan.



Jakarta



:



BAPPENAS



bekerjasama



denga



Development Planning Assistance (DPA) Project II – Canadian International Developmen Agency (CIDA)



16



Pusat Studi Gender dan Anak UIN Alauddin Makassar



Sipakalebbi Vol 4 /No.1 /2020



PERAN GENDER DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN METODE KONTRASEPSI DI PUSKESMAS PATTALLASSANG KABUPATEN GOWA TAHUN 2016 1



Fatmawaty Mallapiang 1*, Azriful2, Rini Jusriani3



Bagian Kesehatan dan Keselamatan Kerja Kesehatan Masyarakat UIN Alauddin Makassar 1 Bagian Epidemiologi Kesehatan Masyarakat UIN Alauddin Makassar 2 Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat UIN Alauddin Makassar 3 *E-mail : [email protected]



2



Abstrak



Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran gender dalam pengambilan keputusan pemilihan metode kontrasepsi di Puskesmas Pattallassang Kabupaten Gowa. Penelitian ini adalah survey deskriptif untuk mengetahui peran gender dalam pengambilan keputusan pemilihan jenis kontrasepsi pada pasangan usia subur. Sampel sebanyak 86 responden merupakan isteri dari pasangan usia subur yang merupakan akseptor KB di wilayah kerja Puskesmas Pattallassang Gowa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suami mendominansi pengambilan keputusan menggunakan kontrasepsi (89,5%), dan pemilihan metode kontrasepsi (57,0%) di wilayah kerja Puskesmas Pattallassang Kabupaten Gowa. Sementara isteri masih lebih banyak yang mempercayakan pengambilan keputusan pemilihan metode kontrasepsi kepada suami (57,0%), namun perannya lebih terlihat dalam mempertahankan pilihan ketika telah merasa nyaman pada metode kontrasepsi tertentu (72,1%). Keputusan suami menjadi penentu dalam pengambilan keputusan metode kontrasepsi yang akan digunakan oleh pihak isteri. Disarankan adanya diseminasi kepada masyarakat setempat tentang kesetaraan gender dalam pengambilan keputusan khususnya dalam pemilihan kontrasepsi. Kata Kunci : Peran Gender, Pengambilan Keputusan, Kontrasepsi



Abstract This study aims to determine the role of gender in decision making in the selection of contraceptive methods in Puskesmas Pattallassang, Gowa Regency. This research is a descriptive survey to find out the role of gender in decision making for the choice of contraception among fertile age couples. A sample of 86 respondents were wives of fertile age couples who were family planning acceptors in the primary health care of Pattallassang Gowa working area.



The results showed that the husband dominated decision making using contraception (89.5%), and the selection of contraceptive methods (57.0%) in the primary health care of Pattallassang working area of Gowa Regency. While more wives were entrusted with making decisions on the choice of contraception to their husbands (57.0%), their role was more visible in maintaining choices when they felt comfortable with certain methods of contraception (72.1%). The husband's decision becomes a determining factor in making the contraceptive method that will be used by the wife. It is recommended to disseminate to the local community about gender equality in decision making, especially in the selection of contraception. Keywords: Gender Role, Decision Making, Contraception 3



PENDAHULUAN Pengambilan keputusan dalam keluarga seharusnya dilakukan dengan jalan musyawarah antara suami dan istri secara setara untuk persoalan-persoalan penting dan skala besar bagi ukuran keluarga. Perubahan zaman membawa perubahan sosial, ekonomi dan teknologi yang berakibat pada perubahan pandangan terhadap keluarga termasuk dalam hal pengambilan keputusan (Puspitawati, 2013). Salah satu faktor yang memengaruhi hal tersebut adalah adanya emansipasi wanita yang memengaruhi persamaan hak-hak kaum wanita terhadap hak-hak kaum pria di segala bidang kehidupan. Emansipasi wanita bertujuan memberi wanita kesempatan bekerja, belajar, dan berkarya seperti halnya para pria, seimbang dengan kemampuannya. Hal-hal ini memengaruhi wawasan dan cara berfikir perempuan dalam berbagai segi kehidupannya, salah satunya dalam kehidupan berkeluarga. Kesetaraan dan keadilan gender dalam keluarga akan memperlancar kerjasama antar individu dan menurunkan tingkat



kesalahpaahaman dan konflik dalam keluarga (Puspitawati, 2013), terutama dalam hal pengambilan keputusan. Peran gender dalam keluarga dapat terlihat dalam bentuk pengambilan keputusan di tingkat keluarga, seperti pemilihan program Keluarga Berencana (KB). Program Keluarga Berencana merupakan usaha langsung yang bertujuan mengurangi tingkat kelahiran melalui penggunaan alat kontrasepsi yang lestari. Program KB mempunyai posisi yang strategis dalam upaya penanggulangan laju pertumbuhan penduduk melalui kelahiran, pendewasaan usia perkawinan, dan pembinaan ketahanan serta peningkatan kesejahteraan keluarga (Musu, 2012; Rahma, 2016). Secara umum, konstruksi gender yang melembaga dalam dinamika sosial serta



kultur di masyarakat saat ini telah memberikan beban ganda pada pihak isteri dalam rumah tangga, tidak terkecuali dalam hal kesehatan reproduksi berupa perencanaan anak, KB dan kontrasepsi (Fadhilah, 2014) . Indonesia merupakan negara keempat dengan jumlah penduduk tertinggi di dunia dengan jumlah penduduk sekitar 235 juta, dan juga merupakan Negara berkembang. Peningkatan jumlah penduduk Indonesia cukup tinggi, berdasarkan data BPS terkait peningkatan jumlah penduduk pada tahun 2010 menunjukkan bahwa penduduk Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yakni 11.208.229 jiwa di tahun 1971, 147.490.298 juta jiwa di tahun 1980, 179.378.946 jiwa di tahun 1990, 206.246.595 jiwa tahun 2000, dan tahun 2010 menjadi 237.641.326 jiwa (BPS, 2010). Program KB ini menjadi salah satu kebijakan pemerintah yang memiliki fungsi strategis dalam upaya pengendalian laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan ekonomi. Menurut teori Green and Kreuter (2005), perilaku seseorang dalam menetapkan pilihan kontrasepsi dipengaruhi oleh faktor faktor predisposisi (pengetahuan, sikap, karakteristik sosio-demografi), dan faktor pemungkin (lingkungan fisik, ketersediaan sarana dan prasarana). Berbagai faktor memengaruhi tingkat penggunaan kontrasepsi. Suami masih memiliki peran yang kuat pengaruhnya untuk menentukan penggunaan metode KB oleh istri (Anggraeni, Hartati, & Permana, 2007). Dukungan suami kepada isteri untuk menggunakan kontrasepsi jenis tertentu mencapai 100% (Aryanti, 2014), dalam penggunaan kontrasepsi Metode Operasi Wanita (MOW) berupa tubektomi bagi isterinya lebih banyak suami tidak memberi dukungan sehingga isteri tidak memilih kontrasepsi MOW tersebut (Pasricha & Biggs, 2010). Budaya patrilineal yang masih kental dalam masyarakat, dan adanya anggapan bahwa Keluarga Berencana adalah urusan perempuan merupakan faktor yang memengaruhi pengambilan keputusan dalam Keluarga Berencana dan kesehatan reproduksi. Perempuan yang berperan sebagai isteri seringkali terabaikan haknya dalam sebuah rumah tangga, padahal hal tersebut merupakan hak yang paling hakiki, termasuk dalam keputusan menjadi akseptor (Balogun et al., 2016).



Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik dalam meneliti peran gender dalam pengambilan keputusan pemilihan metode kontrasepsi di Puskesmas Pattallassang Kabupaten Gowa Tahun 2016.



4



TINJAUAN PUSTAKA Istilah gender diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial dalam menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan bersifat bentukan budaya yang dipelajari dan melekat sejak kecil hingga dewasa (Puspitawati, 2013). Perbedaan peran gender ini membantu dalam penelaahan mengenai pembagian peran yang dianggap telah melekat pada perempuan dan laki-laki untuk membangun gambaran relasi gender yang dinamis dan tepat serta cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Perbedaan konsep gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakatnya. Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang atau tempat dimana manusia beraktivitas. Perbedaan gender ini melekat pada cara pandang masyarakat, sehingga menganggap hal tersebut merupakan sesuatu yang permanen dan abadi sebagaimana permanen dan abadinya ciri biologis yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki (Puspitawati, 2013) Dalam satu dekade terakhir, keberhasilan pelayanan Keluarga Berencana di Indonesia mengalami suatu keadaan stagnan yang ditandai dengan kurangnya perbaikan beberapa indikator KB yaitu CPR, unmet need dan Total Fertility Rate



(TFR). Pemerintah Indonesia sangat mendukung program KB, bahkan sampai diatur dalam undang-undang. Sesuai dengan UU RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada pasal 78 disebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab dan menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat dalam memberikan pelayanan keluarga berencana yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat. Masalah



utama



bidang



kependudukan



yang



dihadapi



Indonesia



adalah



pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi, sehingga menimbulkan ancaman terjadinya ledakan jumlah penduduk di Indonesia. Kurun waktu 10 tahun terakhir jumlah penduduk Indonesia senantiasa mengalami peningkatan, yaitu sebesar 32,5 juta dari jumlah tahun 2000 sebanyak 205,1 juta jiwa meningkat menjadi 237,6 juta jiwa pada tahun 2010. Banyak hal yang memengaruhi akseptor dalam memilih alat kontrasepsi antara lain adalah pertimbangan medis, latar belakang sosial budaya, sosial ekonomi, pengetahun, pendidikan, dan jumlah anak yang di inginkan. Disamping itu adanya efek samping yang merugikan dari suatu alat kontrasepsi juga berpengaruh dalam menyebabkan bertambah atau berkurangnya akseptor suatu alat kontrasepsi. 5



METODE PENELITIAN



Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey deskriptif untuk mengetahui peran gender dalam pengambilan keputusan pemilihan jenis kontrasepsi pada pasangan usia subur. Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Pattallassang Desa Sunggu Manai Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa. Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2016. Populasi dalam penelitian ini adalah semua akseptor KB yang terdaftar di Puskesmas Pattalassang yang berasal dari Desa Sunggu Manai Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa. Besarnya populasi yakni sebanyak 974 orang (PUS). Sementara sampel dalam penelitian ini sebanyak 86 orang, yang dipilih berdasarkan kriteria inklusi, yaitu: 1). Pasangan Usia Subur yang menjadi akseptor KB, 2). Bersedia menjadi responden. Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kuesioner yang memuat pertanyaan-pertanyaan terkait permasalahan yang diteliti, dan mampu memberikan kesimpulan yang representatif dari variabel-variabel yang diteliti. Adapun variabel independen dalam penelitian ini adalah: pendidikan, pengetahuan, sikap, nilai-nilai budaya, paritas, dan umur. Data diolah dan dianalisis menggunakan SPSS untuk mengetahui peran gender dalam pengambilan keputusan pemilihan metode kontrasepsi. Data yang telah dianalisis disajikan dalam bentuk tabel, dan grafik disertai penjelasan dalam bentuk narasi.



6



HASIL DAN DISKUSI Karakteristik Responden Karakteristik responden dalam penelitian ini terdiri dari umur, pendidikan, pekerjaan, dan paritas dari responden (akseptor KB). Distribusi karakteristik responden di wilayah kerja Puskesmas Pattallassang Kabupaten Gowa tahun 2016 disajikan pada tabel 1.



7



Karakteristik Umur



Pendidikan



Tabel 1. Karakteristik Responden



Kategori < 20 Tahun 20-35 Tahun > 35 Tahun SD SMP SMA



n (86) 5 60 21 46 17 23



% 5,8 69,8 24,4 53,5 19,8 26,7



IRT Petani Wiraswasta 1 Kali 2 – 3 Kali > 3 Kali



Pekerjaan



Paritas



81 4 1 23 51 12



94,2 4,7 1,2 26,7 59,3 14,0



Sumber : Dara Primer, 2016. Tabel 1 menunjukkan bahwa mayoritas responden berada pada kelompok umur 20-35 tahun yakni sebanyak 60 orang (69,8%), dan responden lebih banyak memiliki pendidikan terakhir SD sebanyak 46 orang (53,5%). Adapun jenis pekerjaan responden mayoritas merupakan IRT (ibu rumah tangga), yakni sebanyak 81 orang (94,2%). Sementara paritas responden lebih dominan pada kelompok 2-3 kali sebanyak 51 orang (59,3%).



8



Pengetahuan & Sikap Wanita Pasangan Usia Subur (PUS) tentang Kontrasepsi Berdasarkan dari hasil pengisian kuesioner, diketahui bahwa seluruh responden memiliki tingkat pengetahuan yang cukup terkait wawasan mengenai penggunaan dan pemilihan jenis kontrasepsi (100%). Begitu pula dengan sikap wanita PUS tentang kontrasepsi yang menunjukkan bahwa keseluruhan responden memiliki sikap yang mendukung dalam penggunaan dan pemilihan jenis kontrasepsi (100%).



9



Pilihan & Alasan Pemilihan Metode Kontrasepsi Hasil pengisian kuensioner menunjukkan pilihan metode kontrasepsi responden yang dapat dilihat pada tabel berikut ini.



10 Tabel 2. Pilihan Metode Kontrasepsi



Metode Kontrasepsi Suntik Implant Sumber : Dara Primer, 2016.



n (86)



%



76



88,4



10



11,6



11 Tabel 3. Alasan Pemilihan Jenis Kontrasepsi



Alasan Pemilihan Tersedia di Puskesmas Murah Ajakan keluarga/Tetangga Nyaman Tidak Mau Hamil Lagi Sumber : Dara Primer, 2016.



n (86)



%



44



51,2



12



14,0



9



10,5



17



19,8



4



4,7



Tabel 2 menunjukkan bahwa mayoritas responden memilih metode kontrasepsi suntik sebanyak 76 orang (88,4%), dan tabel 3 menunjukkan bahwa alasan responden memilih metode kontrasepsi tertentu karena kontrasepsi tersebut tersedia di Puskesmas sebanyak 44 orang (51,2%), dan hanya 4 orang (4,7%) responden yang beralasan memilih metode kontrasepsi karena sudah tidak mau hamil lagi. Adapun peran gender dalam pengambilan keputusan pemilihan metode kontrasepsi responden dapat dilihat pada tabel 4 berikut:



12



Tabel 4. Peran Gender dalam Pengambilan Keputusan Pemilihan Metode Kontrasepsi Peran Gender



Kategori



n (86)



%



Butuh Persetujuan Suami Untuk Menggunakan Kontrasepsi



Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Akan Mengganti Tetap pada Pilihan Sekarang



77 9 49 37 17 69 24



89,5 10,5 57,0 43,0 19,8 80,2 27,9



62



72,1



Butuh Persetujuan Suami Dalam Pemilihan Jenis Kontrasepsi Pengambilan Keputusan Oleh Pihak Isteri Tindakan Bila Suami Menyuruh Mengganti Sumber : Dara Primer, 2016.



Tabel 4 menunjukkan bahwa mayoritas responden membutuhkan persetujuan



suami untuk menggunakan kontrasepsi, yakni sebanyak 77 orang (89,5%). Demikian halnya dalam pemilihan jenis kontrasepsi, mayoritas pihak isteri membutuhkan persetujuan suami yakni sebanyak 49 orang (57,0%), dan hanya 17 responden (19,8%) pengambilan keputusan dilakukan pihak isteri dalam memilih metode konrasepsi yang digunakan, dan ketika isteri diminta oleh suaminya untuk mengganti metode kontrasepsi yang digunakan maka pihak isteri sebanyak 62 orang (72,1%) tetap mempertahankan metode kontrasepsi tersebut. Nilai Anak Dalam Keluarga



Berdasarkan dari hasil pengisian kuesioner, maka nilai anak dalam sebuah keluarga dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini. 13 Tabel 5. Nilai Anak Dalam Keluarga Nilai Anak



Kategori



n (86)



%



Banyaknya Anak



Dua Anak Cukup Banyak Anak



40 46



46,5 53,5



Biaya Terbatas Banyak Rejeki Ikut Program Pemerintah



33 30 5



38,4 34,9 5,8



Terlalu Sedikit Bila Hanya Dua



18



20,9



Alasan



Sumber : Dara Primer, 2016. Adapun nilai anak lelaki dalam sebuah keluarga dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini.



14 Tabel 6. Nilai Anak Lelaki Dalam Keluarga Nilai Anak Harus Memiliki Anak Lelaki Alasan



Kategori Ya Tidak Menjaga Kehormatan Keluarga dan Pencari Nafkah Terasa Lengkap Tidak Harus Ada Anak Laki-Laki



n (86) 79 7



% 91,9 8,1



52



60,5



27 7



31,4 8,1



Sumber : Dara Primer, 2016. Adapun nilai anak perempuan dalam sebuah keluarga dapat dilihat pada tabel 7 berikut ini.



15 Tabel 7. Nilai Anak Perempuan Dalam Keluarga Nilai Anak Kategori n (86)



%



Harus Memiliki Anak Perempuan Alasan



Ya Tidak Membantu Kegiatan Rumah Tangga dan Memelihara di Hari Tua Terasa Lengkap



76 10



88,4 11,6



49



57,0



27



31,4



Tidak Harus Ada Anak Perempuan



10



11,6



Sumber : Dara Primer, 2016.



Tabel 7 menunjukkan bahwa mayoritas responden merasa harus memiliki anak perempuan dalam keluarganya (88,4%) dengan alasan tertinggi yakni peran anak perempuan diharapkan dapat membantu kegiatan rumah tangga dan memelihara di hari tua kelak (60,5%). 16 Diskusi Peran Suami Dalam Pengambilan Keputusan Pemilihan Metode Kontrasepsi Gender secara umum mencerminkan perbedaan yang tampak antara laki - laki dan perempuan yang dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa gender merupakan suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distriction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di masyarakat (Nurlisis & Angraini, 2016). Dalam penelitian ini, mayoritas responden membutuhkan persetujuan suami untuk menggunakan kontrasepsi, yakni sebanyak 77 orang (89,5%). Begitu pula dengan pemilihan metode kontrasepsi mayoritas membutuhkan persetujuan suami, yakni sebanyak 49 orang (57,0%), dan hanya 17 responden (19,8%) pihak isteri yang memutuskan metode kontrasepsi yang akan digunakan. Ini membuktikan bahwa besarnya peranan suami dalam penentuan metode kontrasepsi yang akan digunakan oleh pihak isteri. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilaporkan oleh Mboane and Bhatta (2015) yang menyatakan bahwa peran laki-laki begitu besar dalam pemilihan alat kontrasepsi dibandingkan pihak isteri di Mozambik. Salah satu ketimpangan dalam konsep gender adalah subordinasi, yakni adanya aggapan bahwa perempuan lemah, tidak mampu memimpin, cengeng dan lain sebagainya, mengakibatkan perempuan menjadi nomor dua setelah laki- laki. Terlebih lagi pada daerah sarat akan budaya yang berpengaruh terhadap gender. Harapan masyarakat bahwa perempuan dan laki-laki harus berpikir, berperasaan dan betindak dengan pola-



pola tertentu dengan alasan karena mereka dilahirkan sebagai perempuan/laki-laki. Gender dan kegiatan yang dihubungkan dengan jenis kelamin tersebut, semuanya adalah hasil rekayasa masyarakat. Bahkan, pada beberapa wilayah tertentu, peran jenis kelamin dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, suku dan umurnya. Akhirnya, anutan gender yang seperti ini diajarkan secara turun temurun dari orang tua ke anaknya. Sejak anak berusia muda, orang tua telah memperlakukan anak perempuan dan lelaki berbeda, meskipun terkadang tanpa disadari. Dalam konsep gender yang dikenal adalah peran gender individu di masyarakat, sehingga kelompok masyarakat mengenal maskulinitas dan feminimitas. Sebagai gambaran, sesuatu yang dianggap maskulin dalam satu kebudayaan bisa dianggap sebagai hal yang feminim dalam budaya lain. Dengan kata lain, ciri maskulin ataupun feminim itu tergantung dari konteks sosial-budaya, bukan hanya pada perbedaan jenis kelamin, karena Gender merupakan perilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat tertentu dalam waktu tertentu (Tahar, 2012). Ada berbagai faktor yang memengaruhi wanita PUS menjadi akseptor kontrasepsi, antara lain faktor pendidikan, faktor pengetahuan, faktor paritas dan faktor budaya (kepercayaan). Selain faktor-faktor di atas, ternyata pemilihan jenis kontrasepsiyang akan digunakan juga tergantung dari kebutuhan masing-masing akseptor. Kebanyakan akseptor menjatuhkan pilihannya berdasarkan tujuan berkontrasepsi, seperti untuk menunda atau menjarangkan kehamilan yang kerap dipilih oleh PUS reproduksi sehat (20-35 tahun), atau bahkan untuk mengakhiri kehamilan yang biasanya dipilih oleh yang berusia 36-45 tahun (BKKBN, 2003). Faktor pendidikan seseorang sangat menentukan dalam pola pengambilan keputusan dan penerimaan informasi daripada seseorang yang berpendidikan rendah. Pendidikan juga akan memengaruhi pengetahuandan persepsi seseorang tentang pentingnya suatu hal, termasuk perannyadalam pemilihan metode kontrasepsi. Pada akseptor kontrasepsi dengan tingkat pendidikan rendah, keikutsertaannya dalam program kontrasepsi hanya ditujukan untuk mengatur kelahiran. Sementara itu pada akseptor dengan tingkat pendidikan tinggi, keikutsertannya bukan hanya mengatur kelahiran, tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Hal ini disebabkan seseorang dengan tingkat pendidikan lebih tinggi memiliki pandangan yang lebih luas tentang suatu hal dan lebih mudah untuk menerima ide atau cara kehidupan baru. Dengan demikian, tingkat



pendidikan juga memiliki hubungan dengan pemilihan jenis kontrasepsi yang akan digunakan (BAPPENAS, 2009). Dalam penelitian ini, mayoritas responden memiliki tingkat pendidikan SD (53,5%), dan hanya 26,7% yang mencapai tingkat SMA. Hal ini memberikan gambaran bahwa seorang isteri lebih menyerahkan posisi pembuat keputusan kepada suaminya, khususnya dalam pemilihan metode kontrasepsi yang digunakan. Pendidikan seorang isteri dapat membantu meningkatkan pengetahuan tentang metode kontrasepsi yang tersedia, memungkinkan individu untuk membuat keputusan berdasarkan informasi dan menggunakan kontrasepsi secara lebih efektif (Pazol. etc, 2015). Terlebih lagi 94,2% diantaranya bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT), yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan aktivitas rumah tangga dan menjaga anak, serta menggantungkan masalah perekonomian kepada pihak suami. Perilaku inilah yang menyebabkan tingkat sisi “penurut” dan tidak berani mengambil keputusan sendiri semakin besar. Pihak suami dianggap lebih mampu mengambil keputusan, terlebih pada situasi budaya yang senantiasa menomorsatukan pihak suami. Pelayanan kontrasepsi akan berhasil dengan baik bila masyarakat mengenal berbagai jenis kontrasepsi yang tersedia. Akan tetapi, pengenalan berbagai jenis kontrasepsi ini cukup sulit karena hal ini menyangkut pola pengambilan keputusan dalam masyarakat itu sendiri. Proses pengambilan keputusan untuk menerima suatu inovasi ditentukan oleh tahap pengetahuan (knowledge)



dan tahap konfirmasi



(confirmation). Suatu inovasi dapat diterima maupun ditolak setelah melalui tahap-tahap tersebut. Inovasi ditolak bila inovasi tersebut dipaksakan oleh pihak lain, atau inovasi tersebut tidak dipahami, sehingga inovasi tersebut dinilai sebagai ancaman terhadap nilainilai masyarakat setempat. Sementara itu, inovasi yang diterima tidak akan diterima secara menyeluruh tetapi bersifat selektif dengan berbagai macam pertimbangan, karena tingkat pengetahuan masyarakat akan memengaruhi penerimaan program KB terkhusus pemilihan Metode Kontrasepsi yang akan digunakan oleh pihak isteri.



17 Peran Isteri Dalam Pengambilan Keputusan Pemilihan Metode Kontrasepsi Wujud kesetaraan gender dalam keluarga dapat terwujud pada akses yang dapat diartikan sebagai kapasitas untuk menggunakan sumberdaya yang sepenuhnya berpartisipasi secara aktif dan produktif. Selain itu, partisipasi wanita juga merupakan salah satu wujud kesetaraan gender dalam keluarga, yakni wujud sebagai



siapa melakukan apa. Suami dan isteri mampu memberikan partisipasi yang sama dalam proses pengambilan keputusan atas penggunaan sumberdaya keluarga secara demokratis dan bila



perlu melibatkan anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan.



Salah satu dari wujud kesetaraan gender dalam partisipasi keluarga adalah dalam pengambilan keputusan pemilihan metode kontrasepsi yang akan digunakan pada tubuh sosok isteri. Dalam



kesetaraan menggunakan kontrasepsi meliputi kasus



kematian ibu dan



infertilitas, kesetaraan dan keadilan gender yang dapat diupayakan antara lain meliputi:



a. Suami dan istri secara bersama merencanakan jumlah dan jarak kelahiran anak dengan mempertimbangkan faktor usia, kesehatan, kesiapan mental dan ekonomi keluarga. Dengan pembahasan dan upaya bersama ini istri tidak diabaikan dalam menentukan kesehatan reproduksinya.



b. Suami dan istri berupaya memperoleh informasi yang seimbang dan akurat tentang kontrasepsi sehingga keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama, bukan salah satu pihak saja. Keputusan bersama untuk menjadi akseptor kontrasepsi sebaiknya didasari oleh pengetahuan yang tepat (well-informed) sehingga dapat memberikan pilihan yang tepat atas obat/alat/metode kontrasepsi yang dipilih (informed choice).



c. Suami dan istri secara bersama menentukan siapa yang sebaiknya menjadi akseptor kontrasepsi, obat/metode kontrasepsi yang dipilih. Dengan kebersamaan ini tidak terjadi pemaksaan terhadap suami atau istri melalui pertimbangan yang matang dilihat dari berbagai aspek.



d. Suami



dan



istri



menanggulangi



bersama



permasalahan



apabila terjadi



kegagalan atau komplikasi dengan cara mengunjungi tempat pelayanan yang tersedia di lingkungan tempat tinggal mereka. Hal ini penting artinya karena keputusan metode/alat/obat kontrasepsi serta



tempat dan tenaga pelayanan yang dipilih telah diputuskan bersama, tanpa ada lagi sikap saling menyalahkan atau saling berkecil hati. Selain itu paritas turut berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Adapun paritas yang dimaksud di sini adalah berapa kali ibu melahirkan di dalam satu keluarga sampai pada saat wawancara diilakukan (BPS,2010). Setiap anak memiliki nilai, karena setiap anak merupakan cerminan harapan serta keinginan orang tua yang menjadi pedoman dari pola pikir, sikap maupun perilaku dari orang tua tersebut. Dengan demikian, setiap anak yang dimiliki oleh pasangan suami istri akan memberi pertimbangan tentang apakah mereka ingin memiliki anak dan jika ingin,berapa jumlah yang diinginkan. Jumlah anak berkaitan erat dengan tingkat kesejahteraan keluarga. Perbedaan gender tidak hanya terjadi ketika PUS menentukan pilihan metode kontrasepsi, bahkan hingga anak yang diinginkan dalam rumah tangga. Pada keluarga dengan tingkat kesejahteraan tinggi mumnya lebih mementingkan kualitas anak dari pada kuantitas anak. Sementara itu pada keluarga ekonomi ke bawah, anak dianggap memiliki nilai ekonomi. Umumnya keluarga ekonomi bawah memiliki banyak anak dengan harapan anak-anak tersebut dapat membantu orang tuanya bekerja. Dalam penelitian ini, mayoritas responden lebih memilih memiliki banyak anak (53,5%) dibandingkan dengan hanya memiliki dua anak saja 946,5%). Alasan tertinggi yang dikemukakan adalah biaya yang terbatas dari keluarga (38,4%). Hal ini membuktikan bahwa kuantitas anak yang diharapkan dalam keluarga bukan hanya ditentukan oleh keinginan untuk melengkapi keluarga dengan anak lelaki dan perempuan, tetapi juga memikirkan aspek ekonominya. Jumlah anak juga dapat dipengaruhi oleh faktor kebudayaan setempat yang menganggap anaklaki-laki lebih bernilai dari anak perempuan.Hal ini mengakibatkan pasangan suami istri berusaha untuk menambah jumlah anak mereka jika belum mendapatkan anak laki-laki.Hal ini sejalan dengan penelitian ini yang menunjukkan bahwa responden yang menyatakan harus memiliki anak lelaki sebanyak 91,9%, sementara pernyataan harus memiliki anak perempuan sebanyak 88,4%. Begitu pula dengan hasil yang menyatakan bahwa ketidakharusan dalam memiliki anak lelaki lebih rendah (8,1%) dibandingkn dengan anak perempuan (11,6%). Jumlah anak berkaitan erat dengan program kontrasepsi (Keluarga Berencana) karena salah satu misi dari program Keluarga Berencana adalah terciptanya keluarga dengan jumlah anak yang ideal dan terencana, dengan penilaian anak lelaki maupun perempuan sama saja atau memiliki kedudukan yang sama pentingnya dalam satu keluarga. Para wanita umumnyalebih menyadari bahwa beberapa jenis kelamin anak tidak



penting sehinggabila jumlah anak sudah dianggap ideal maka para wanita cenderung untukmengikuti program kontrasepsi, baik yang berlaku jangka pendek maupun yang bersifat jangka panjang (BKKBN, 2010). 18 SIMPULAN DAN IMPLIKASI Adapun kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.



1. Suami menunjukkan dominansi dalam pengambilan keputusan menggunakan kontrasepsi (89,5%), dan pemilihan metode kontrasepsi (57,0%) di wilayah kerja Puskesmas Pattallassang Kabupaten Gowa.



2. Isteri masih lebih banyak yang mempercayakan pengambilan keputusan pemilihan metode kontrasepsi kepada suami (57,0%), namun perannya lebih terlihat dalam mempertahankan pilihan ketika telah merasa nyaman pada metode kontrasepsi tertentu (72,1%)di wilayah kerja Puskesmas Pattallassang Kabupaten Gowa.



19 DAFTAR PUSTAKA Anggraeni, M. D., Hartati, & Permana, R. H. (2007). Peran suami dalam penggunaan alat kontrasepsi yang berwawasan gender. Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), 2. Aryanti, H. (2014). Faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi pada wanita kawin usia dini di kecamatan aikmel kabupaten Lombok Timur. Tesis. Universitas Udayana Denpasar. Denpasar. Balogun, O., Adeniran, A., Fawole, A., Adesina, K., Aboyeji, A., & Adeniran, P. (2016). Effect of Male Partner's Support on Spousal Modern Contraception in a Low Resource Setting. Ethiopian journal of health sciences, 26(5), 439-448. doi: 10.4314/ejhs.v26i5.5 BAPPENAS. (2009). Kependudukan dan Keluarga Berencana. Jakarta: Bappenas. BKKBN. (2010). Profil KB dan Kependudukan Tahun 2010. Jakarta: BKKBN. BPS. (2010). Proyeksi Penduduk Indonesia (Indonesia Population Projection). Jakarta: BPS. Fadhilah, N. A. (2014). Implementasi Konsep Kesetaraan Gender (Studi Peran Suami dalam Kesehatan Reproduksi Istri di Dusun Badegan Kabupaten Bantul). Skripsi. Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam. UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta. Green, L., & Kreuter, M. (2005). Health Program Planning : An Educational and Ecological Approach. Fourth Edition. New York: McGraw-Hill. Mboane, R., & Bhatta, M. (2015). Influence of a husband’s healthcare decision making role



on a woman’s intention to use contraceptives among Mozambican women. Reproductive health, 12, 36. doi: 10.1186/s12978- 015-0010-2 Musu, A. B. (2012). Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Pemakaian Kontrasepsi Implan pada Akseptor KB Di Puskesmas Ciomas Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor Tahun 2012. Skripsi. Fakuktas Kesehatan Masyarakat; Kebidanan Komunitas. Universitas Indonesia. Jakarta. Nurlisis, & Angraini, W. (2016). Hubungan Pengetahuan Ibu Dan Dukungan Suami Dengan Pemakaian Kontrasepsi Jangka Panjang Di Wilayah Kerja Puskesmas Rumbai Pesisir. Jurnal Photon, 6(2). Pasricha, S. R., & Biggs, B. A. (2010). Undernutrition among children in South and SouthEast Asia. J Paediatr Child Health, 46(9), 497-503. doi: 10.1111/j.14401754.2010.01839.x Pazol, K., Zapata, L. B., Tregear, S. J., Mautone-Smith, N., & Gavin, L. E. (2015). Impact of Contraceptive Education on Contraceptive Knowledge and Decision Making: A Systematic Review. American journal of preventive medicine, 49(2 Suppl 1), S46S56. doi: 10.1016/j.amepre.2015.03.031



Puspitawati, H. (2013). Interaksi suami istri dalam mewujudkan harmonisasi keluarga responsif gender. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Rahma, M. (2016). Univertas Lampung. Lampung. Tahar.



(2012). Pengaruh Diskriminasi Gender Dan Profesionalitas Auditor. Univeritas hasanuddin. Makassa



Pengalaman



Terhadap



20 KETIMPANGAN JENDER DALAM AKSES PELAYANAN KESEHATAN RUMAH TANGGA PETANI PEDESAAN: KASUS DUA DESA DI KABUPATEN TEGAL, JAWA TENGAH JOKO MARIYONO1), APRI KUNTARININGSIH2), ENNY SUSWATI3) 1) Research Associate for Socio-economics, ACIAR-AVRDC IDM Chilli Project, Tegal Jalan Slamet 51, Tegal, Jawa Tengah Email: [email protected] 2) Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Pancasakti-Tegal Email: [email protected] 3) Fakultas Kedokteran, Universitas Jember Email: [email protected]



21



ABSTRACT



The role of woman in rural and agricultural development is very important because more than a half of work in agriculture and rural areas is carried out by woman labors. Consequently, the women ought to have equity in right with men to get health services. But, there is a strong hypothesis that women have less access to health services than men because of social and cultural factors in rural areas. This study aims to examine the gender disparity and discrimination of health. The disparity is measured using concentration curve and concentration index, whereas the discrimination is approached using microeconomic theory of consumption. The results of indicate that there is a small difference in health disparity between women and men; even women get more portion than men. This is because women have specific characteristics in terms of health problem, in which men do not have. Key Words: Health Disparity, Health Discrimination, Concentration Index



22



ABSTRAK



Peran kaum wanita dalam pembangunan pertanian dan pedesaan sangat penting karena lebih dari separuh pekerjaan di bidang pertanian dan daerah pedesaan dikerjakan oleh tenaga kerja wanita. Konsekuensinya kaum wanita seharusnya mempunyai hak yang sama dengan kaum pria dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Tetapi, ada dugaan kuat bahwa kaum wanita mempunyai akses pelayanan kesehatan yang lebih rendah daripada kaum pria, karena faktor- faktor sosial budaya pedesaan. Kajian ini bertujuan menguji ketimpangan jender dan diskriminasi kesehatan. Ketimpangan diukur dengan menggunakan kurva konsentrasi dan indeks konsentrasi, sedangkan diskriminasi didekati dengan teori konsumsi mikroekonomi. Hasilnya menunjukkan ketimpangan akses pelayanan kesehatan antara kaum wanita dan pria cukup kecil, bahkan kaum wanita mendapatkan proporsi yang lebih



besar. Hal ini karena kaum wanita mempunyai karakteristik yang spesifik dalam hal kesehatan, sedangkan kaum pria tidak punya. Kata Kunci: Ketimpangan Kesehatan, Diskriminasi Kesehatan, Indeks Konsentrasi



23



PENDAHULUAN Sektor pedesaan dan pertanian mempunyai peranan yang penting dalam



mendukung perekonomian, baik di tingkat regional maupun nasional. Hal ini terlihat dari peran pedesaan dan pertanian sebagai penyedia bahan pangan. Besar kecilnya peranan suatu kawasan pedesaan sangat ditentukan oleh produktivitas dari penduduk desa itu sendiri. Hukum ekonomi mendalilkan bahwa semakin tinggi produktivitas tenaga kerja di suatu tempat mengindikasikan semakin makmur tempat tersebut (Bendavid, 1974). Salah satu faktor penting yang mempengaruhi produktivitas adalah kondisi kesehatan di pedesaan tersebut. Seperti diungkapkan oleh Antle dan Capalbo (1994) bahwa produktivitas sumberdaya manusia di bidang pertanian sangat dipengaruhi oleh keadaan kesehatan para petani, yaitu produktivitas petani akan tinggi jika keadaan kesehatannya sangat baik. Peran pedesaan dan pertanian sebagai penyangga perokonomian tidak lepas dari sumbangan kerja wanita. Hasil survai yang dilakukan oleh Kingsley (1998) menyebutkan bahwa lebih dari 50% tenaga kerja dalam bidang pertanian di Indonesia dikerjakan oleh tenaga wanita. Tentunya sumbangan tenaga kerja ini sudah lebih dari cukup. Kodrat sebagai wanita yaitu mulai dari hamil, melahirkan, menyusui dan merawat anak, seharusnya tidak cukup adil jika mendapat porsi pekerjaan yang melebihi porsi pekerjaan pria. Menurut Lilja et al. (1998), isu jender terjadi karena kondisi sosial budaya setempat yang memposisikan wanita ke dalam kondisi yang tidak menguntungkan.



Dengan



posisi



yang



tidak



menguntungkan



tersebut



produktivitas wanita menjadi lebih rendah dibandingkan dengan pria. Atas dasar perbedaan ini maka hak-hak wanita menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan pria. Sebagai contoh, Mariyono (1998) menyebutkan bahwa hak wanita dalam memperoleh pendidikan dan latihan pertanian yang lebih rendah



dibandingkan pria. Jika dilihat dari produktivitasnya Lilja et al. (1998) menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja wanita tidak berbeda jika mereka dibebaskan dari mengurus anak dan rumah tangga. Tetapi karena sosial budaya setempat mengharuskan wanita untuk mengurus rumah tangga dan merawat anak, maka waktu yang tersedia untuk bekerja menjadi lebih sedikit sehingga produktivitasnya menjadi lebih rendah.



24



PERUMUSAN MASALAH DAN TUJUAN Mengingat kondisi sosial budaya setempat masih memposisikan wanita



ke dalam kondisi yang tidak menguntungkan, maka terjadi diskriminasi dalam memperoleh hak-hak wanita termasuk hak dalam memperoleh kesehatan. Dalam budaya Jawa, masih melekat anggapan yang kuat bahwa wanita sebagai “kanca wingking” (Jawa: teman yang bekerja di dapur), yang mempunyai implikasi bahwa wanita diperankan di belakang atau hanya bekerja di dapur. Dugaan kuat yang terjadi sehubungan dengan anggapan tersebut adalah wanita menjadi dinomer-duakan dalam memperoleh hak yang seharusnya sama dengan pria, termasuk hak dalam mendapat kesehatan yang layak. Selanjutnya, mengingat keterlibatan wanita dalam pekerjaan hampir sama dengan pria, diduga keadaan ini juga telah mengabaikan pentingnya kesehatan. Hal ini terjadi karena kesadaran masyarakat desa yang masih rendah terhadap kesehatan, serta sudah menjadi kodratnya bahwa wanita harus mengalami hamil-melahirkanmenyusui dan merawat anak, sehingga tidak perlu mendapat perhatian yang istimewa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui determinan distribusi kesehatan umum dan kesehatan wanita, mengidentifikasi kesamarataan antara wanita dan pria dalam memperoleh akses kesehatan di pedesaan dan mengidentifikasi distribusi kesehatan wanita berdasarkan tingkat pendapatan keluarga.



Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah daerah sebagai dasar kebijakan dalam rangka usaha peningkatan kesehatan masyarakat pada umumnya dan kesehatan wanita pada khususnya. Seperti diketahui bahwa kualitas generasi yang akan datang sangat ditentukan oleh keadaan kesehatan anak sejak berada dalam kandungan.



25



METODA PENELITIAN



Dasar Teori



Kerangka teori yang mendasari penelitian ini adalah teori konsumsi dan ekonomi kesejahteraan merurut Pindyck dan Rubinfeld (1998). Untuk mecapai kesejahteraan tertentu individu akan mengkonsumsi sejumlah barang dan jasa, yang dalam hal ini konsumsi jasa ditekankan dalam bentuk pelayanan kesehatan. Secara grafis kerangka teori konsumsi diperlihatkan pada Gambar 1.



Barang







B



U Garis pendapatan (Y)



O



K



Kesehatan



Gambar 1. Kurva kepuasan konsumsi barang dan kesehatan



tersebut. Jadi dalam hal ini konsumsi kesehatan ditentukan oleh besarnya tingkat pendapatan. Oleh karena itu faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan juga akan mempengaruhi konsumsi kesehatan. Faktor tersebut antara lain biaya jasa kesehatan dan jarak tempat tinggal dengan tempat pelayanan kesehatan serta jumlah tanggungan keluarga. Faktor lainnya yang mempengaruhi



konsumsi



kesehatan



sangat



banyak,



terutama



yang



berhubungan dengan keadaan sosial ekonomi, dan budaya seperti tingkat pendidikan, pengetahuan, pengalaman dan kebiasaan. Besar kecilnya kekayaan dapat mempengaruhi konsumsi kesehatan. Misalnya pada masyarakat yang berpendapatan rendah, akan mencukupi kebutuhan barang lebih dulu, Gambar 1 menjelaskan bahwa kepuasan seseorang (U) ditentukan oleh konsumsi kesehatan (K) dan konsumsi barang (B) yang dibatasi oleh garis pendapatan (Y). Dalam hal ini U merupakan fungsi yang cembung terhadap titik O, kontinyu dan dapat di-deferensial-kan dua kali. Menurut Silberberg dan Suen (2000) penjelasan tersebut secara matematis dapat di tulis sebagai berikut: MaxU B, K  dengan kendala Y  H  B  C  K



(1)



yang dengan metoda Lagrang dapat diformulasikan sebagai: MaxL  U B, K   Y  H  B  C  K 



(2)



di mana H adalah harga komposit barang, C biaya pelayanan kesehatan, dan  disebut pengali Lagrang. Syarat yang diperlukan untuk maksimisasi adalah turunan pertama terhadap B, K dan  harus sama dengan nol, yaitu: L







B L B L 



U (B, K )



 H  0



B 



U (B, K )



 C  0



K Y HBCK 0



(2A )



(2B )



(2C )



Jika tiga persamaaan (2A) (2B) dan (2C) diselesaikan, akan diperoleh fungsi permintaan pelayanan kesehatan, yang dapat diformulasikan sebagai: K  f Y , C, H 



(3)



Persamaan (3) diartikan bahwa banyaknya jumlah pelayanan kesehatan dalam satu keluarga dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, harga barang konsumsi dan biaya pelayanan kesehatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan dan biaya pelayanan kesehatan akan juga berpengaruh terhadap jumlah pelayanan kesehatan yang diminta. Jika pendapatan meningkat, maka garis pendapatan akan bergeser ke kanan sehingga jumlah barang dan kesehatan meningkat. Meningkatnya konsumsi barang dan kesehatan berimplikasi pada meningkatnya kesejahteraan individu



setelah kebutuhan akan barang tercukupi akan mengkonsumsi kesehatan. Faktor yang berpengaruh langsung terhadap pendapatan, misalnya biaya yang terkait dengan jasa pelayanan kesehatan, menjadikan biaya jasa pelayanan kesehatan naik. Keadaan ini menurunkan konsumsi kesehatan, karena dengan naiknya



biaya



kesehatan



akan



menurukan



pendapatan



relatif,



yaitu



pendapatan tetap sementara biaya kesehatan naik. Faktor sosial dan budaya akan mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap pentingnya kesehatan. Sebagai contoh faktor tingkat pendidikan dan pengetahuan mempengaruhi nilai pentingnya kesehatan. Masyarakat yang berpendidikan lebih tinggi menganggap penting nilai kesehatan, sehingga akan mengkonsumsi jasa kesehatan lebih banyak dibandingkan masyarakat yang pendidikan dan pengetahuannya lebih rendah. Faktor budaya setempat juga sangat menentukan konsumsi kesehatan. Sebagai contoh perbedaan tingkat konsumsi berdasarkan perbedaan jenis kelamin (gender). Budaya masyarakat yang memposisikan perbedaan gender ke dalam stratifikasi yang berbeda akan berpengaruh terhadap hak, termasuk hak dalam memperoleh jasa kesehatan. Berdasarkan penjelasan di atas, maka fungsi permintaan pelayanan kesehatan menjadi: K  f Y , C, H , 



(4)



di mana  mewakili faktor-faktor sosial dan karakteristik keluarga.



26 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan selama tiga bulan, pada bulan Bulan November 2004 sampai dengan Februari 2005. Penelitian dilakukan di Desa Bojong dan Desa Buniwah Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal. Lokasi ini dipilih atas dasar pertimbangan bahwa desa tersebut merupakan desa yang mempunyai perekonomian berbasis usaha tani yang dilakukan sangat intensif yang banyak melibatkan wanita tani. Pertanian yang sangat intensif seperti ini telah terbukti menimbulkan masalah kesehatan yang serius (Kishi et al., 1993; Pawukir dan Mariyono, 2002). Di Afrika, hal yang sama telah dikemukakan oleh Nachi (1999) dan Gerken et al. (2001), bahwa telah terjadi gangguan kesehatan di daerah pertanian yang intensif.



27 Subyek dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan rumah tangga petani sebagai subyek. Disebut subyek karena petani yang mengungkapkan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan kehidupan sosial-ekonomi dan kesehatan yang dialami sehari-hari. Peneliti tidak pernah memberi masukan, atau perlakuan (treatments) yang dapat mempengaruhi kehidupan sosial-ekonomi mereka. Data dikumpulkan dari responden secara langsung melalui wawancara. Wawancara dilakukan secara informal dengan mendatangi petani yang sedang bekerja di sawah. Jumlah responden sebanyak 60 orang, dengan komposisi 30 petani pria, dan 30 petani wanita yang tersebar di dua desa. Jumlah ini secara statistik dianggap dapat mewakili keadaan, mengingat dalam analisis statistik sampel sebanyak lebih dari 30 sudah dianggap besar (Wooldridge, 2000). Hasil wawancara di catat dalam buku. Setiap responden dicatat dalam buku yang terpisah. Untuk mendukung hasil wawancara dilakukan diskusi kelompok terarah (focus group discussion=FGD) untuk memperoleh gambaran kualitatif; dan dilakukan chek ulang di tempat pelayanan kesehatan yaitu Puskesmas dan Bidan Praktek.



Penelitian ini termasuk tipe explanatory research, yaitu penelitian yang menyoroti hubungan antara variabel penelitian dan menguji hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya. Uraian dalam penelitian ini mengandung deskripsi, sehingga sebagai penelitian relasional, titik beratnya terletak pada penjelasan hubungan antar variabel yang diteliti (Singarimbun, 1983). Explanatory



research



dapat



dilakukan



karena



pengetahuan



tentang



permasalahan yang dihadapi sudah cukup tersedia. Oleh karena itu penelitian jenis ini akan menentukan sifat dan hubungan antara satu atau lebih gejala atau variabel terikat dengan satu atau lebih variabel bebas (Tan, 1994).



28 Model Analisis Analisis data dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan deskriptif dan pendekatan statistik-ekonometrik. Analisis secara deskriptif menggunakan kurva konsentrasi dan penghitungan indeks konsentrasi yang digunakan oleh Wagstaff, et al. (1999). Kurva konsentrasi ini menggambarkan distribusi pelayanan kesehatan pada berbagai tingkat kekayaan yang berbeda. Jika jumlah kumulatif kekayaan dinyatakan dengan X, dan pelayanan kesehatan dinyatakan dengan Z, maka kurva konsentrasi dapat dilihat pada Gambar 2. Daerah yang diarsir menunjukkan besarnya disparitas kesehatan. Semakin luas daerah yang diarsir, disparitas kesehatan semakin tinggi, demikian juga sebaliknya. Jika kurva konsentrasi berimpit dengan diagonal, maka telah terjadi kesamarataan antara pria dan wanita dalam memperoleh akses kesehatan.



Z



A



B



0



X Gambar 2. Kurva konsentrasi



Analisis dilanjutkan dengan mengitung indeks konsentrasi yaitu ratio luas daerah yang diarsir (A) terhadap luas di bawah kurva konsentrasi (A+B). Dengan demikian indek konsentrasi akan berada pada nilai antara 1 dan 2. Jika indeks konsentrasi mendekati 2, maka terjadi disparitas yang sangat tinggi. Indeks konsentrasi dapat dihitung dengan menggunakan rumus: n



IK 



(



X i  X i1 )(Zi  Zi1



(5)



) i1 di manaIK: indeks konsentrasi Xi: proporsi kumulatif jumlah populasi, dengan i = 0,...,n, dan X0 = 0, Xn = 1 Zi: proporsi kumulatif besarnya pengeluaran untuk kesehatan, dengan i = 0,...,n, dan Z0 = 0, Zn = 1



Sedangkan secara statistik-ekonometrik analisis dilakukan dengan membangun model regresi berganda untuk mengetahui hubungan antara variabel-variabel yang diteliti (Gujarati, 2003). Model regresi berganda menggambar proporsi pendapatan yang keluarkan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang dirumuskan sebagai berikut:



K   0  1 KY   2 JAR   3 JAK   4US   5 PY   6 SEK   7WNT  



di mana K: porsi kekayaan yang dikeluarkan untuk memperoleh pelayan kesehatan KY: tingkat kekayaan SEK: tingkat pendidikan JAR: jarak tempat tinggal dengan tempat pelayanan kesehatan JAK: jumlah anggota keluarga US: usia yang diwawancarai PY: penyakit yang diderita WNT: jenis kelamin wanita i untuk i=0, 1, 2, … 6 koefisien yang diestimasi  error terms, yang mewakili faktor-faktor yang tidak dimasukkan dalam analisis Jarak antara tempat tinggal dengan tempat pelayanan kesehatan digunakan sebagai pendekatan biaya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan karena ongkos untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di desa relatif sama. Metoda pendekatan ini disebut pendekatan biaya perjalanan (Grafton, 2004).



29 Definisi dan Pengukuran Variabel Ada dua jenis variabel dalam penelitian ini, yaitu variabel terikat dan variabel bebas. Variabel terikat berupa akses dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Variabel ini diukur dengan proporsi jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pelayanan kesehatan kepala keluarga dan istrinya, baik di PUSKESMAS,



Bidan



praktek,



Mantri



Kesehatan



maupun



pengobatan



tradisional, dalam satu bulan terakhir saat diwawancarai. Variabel bebas terdiri atas: tingkat kekayaan yang diukur dengan luas lahan pertanian yang dimiliki dan digarap; jarak rumah dengan tempat pelayanan kesehatan yang diukur dengan kilometer; tingkat pendidikan yang diukur dengan lamanya memperoleh pendidikan formal; jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan; usia kepala keluarga dan istrinya; penyakit yang diderita pada saat mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibedakan atas penyakit umum (flu dan gejalanya) dan penyakit yang berhubungan dengan kewanitaan; dan jenis kelamin yang memperoleh pelayanan kesehatan.



Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini ada dua. Pertama, terdapat ketimpangan yang dalam mendapatkan pelayanan kesehatan antara pria dan wanita. Dalam hal ini, indeks konsentrasi kelompok sampel wanita lebih besar daripada indeks konsentrasi pria, yang ditulis: KW  K P



di mana KW indeks konsentrasi untuk wanita dan KP indeks konsentrasi untuk pria. Kedua,



faktor-faktor



sosial-ekonomi



berpengaruh



terhadap



proporsi



pengeluaran kesehatan. Secara formal, hipotesis tersebut ditulis: H0:



i = 0, untuk i=1, 2, …, 6



H1:



salah satu i tidak sama dengan nol



H0 ditolak jika nilai t-hitung lebih besar dari pada nilai t-kritis pada tingkat kepercayaan 10%. Nilai t-hitung dirumuskan sebagai: ˆ i 



t



hit



di mana



se( i )



ˆi : hasil estimasi dari sampel se ( ˆi ): kesalahan standar



30



HASIL DAN PEMBAHASAN Kurva konsentrasi pria dan wanita dapat dilihat pada Gambar



3, dan fungsi permintaan pelayanan kesehatan dapat dilihat pada Tabel 1.



1



0.9



p ro p o rsi ku m u la tif kes eh a tan



0.8



0.7



0.6 wanita pria kesetaraan



0.5



0.4



0.3



0.2



0.1



0 0



0.2



0.4



0.6



0.8



1



proporsi kumulatif kekayaan



Gambar 3. Hasil estimasi kurva konsentrasi Terlihat pada Gambar 3 bahwa tidak terdapat perbedaan yang besar antara disparitas pria dan wanita dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Bahkan, kurva konsentrasi untuk



wanita lebih dekat dengan garis kesetaraan. Ini berarti bahwa wanita lebih memperoleh pelayanan kesehatan yang lebih adil dibandingkan dengan pria. Artinya, dengan tingkat pendapatan/kekayaan yang berbeda, wanita lebih mendapat perhatian. Hal ini didukung dengan indeks konsentrasi pelayanan kesehatan untuk wanita sebesar 1,22; sedangkan untuk pria sebesar 1,28. Keadaan ini merupakan gejala yang penting, mengingat kesehatan merupakan faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja. Karena sekitar 50% kegiatan sosial ekonomi pertanian di pedesaan dikerjakan oleh tenaga kerja wanita, maka diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan. Dikatakan bahwa kualitas hidup dan kebahagian masyarakat di suatu wilayah dapat ditingkatkan dengan memperbaiki kesetaraan jender (Mookerjee dan Beron, 2005) dan kesehatan masyarakat (Gerdtham dan Johannesson, 2001). Lebih lanjut, pembangunan ekonomi pedesaan dapat dipacu melalui peningkatan kondisi kesehatan masyarakat (Webber, 2002; Bloom et al., 2004) dan meningkatkan kesetaraan jender (Mutume, 2001). Meningkatnya kesetaraan jender juga dapat membantu mengentaskan kemiskinan.



Mutume,



(2001)



menegaskan



bahwa



masyarakat



yang



mendiskriminasi berdasarkan jender mengindikasikan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi, pertumbuhan ekonomi yang rendah, tata-pamong yang kurang baik dan kualitas hidup yang lebih buruk dibandingkan dengan masyarakat yang mensetarakan jender. Dari segi analsis ekonomi, Tabel 1 menunjukkan hasil estimasi fungsi permintaan pelayanan kesehatan. Terlihat bahwa jarak antara tempat tinggal dengan tempat pelayanan kesehatan berpengaruh negatif terhadap jumlah pelayanan kesehatan. Hal ini dapat dipahami karena semakin jauh tempat tinggal dari tempat pelayanan kesehatan akan semakin mahal. Ini telah sesuai dengan teori permintaan yang dikemukakan oleh Nicholson (2003), yaitu jika barang yang diminta semakin mahal, maka jumlah barang yang dibeli akan semakin sedikit. Tabel 1. Fungsi permintaan pelayanan kesehatan rumah tangga Variabel bebas



Koefisien



Kesalahan baku



t



P>t



Konstanta Kekayaan Jarak Jumlah anggota Usia Penyakit Pendidikan Wanita 2



R Jumlah sampel



18.2787 0.6615 -1.8141 0.2117 0.0632 0.8276 -0.7883 1.3116 0.63 60



5.5717 2.8128 0.8936 0.5247 0.0738 2.0485 0.7345 1.2864



3.28 0.24 -2.03 0.40 0.86 0.40 -1.07 1.02



0.001 0.815 0.045 0.687 0.394 0.687 0.286 0.310



Keterangan: variabel terikat: proporsi pengeluaran untuk kesehatan



Tingkat kekayaan secara statistik tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan pelayanan kesehatan. Ini terjadi karena variasi kekayaan petani di desa sangat kecil. Namun ada kecenderungan bahwa keluarga yang lebih kaya lebih banyak melakukan akses terhadap pelayanan kesehatan. Keadaan ini menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan bukanlah barang inferior karena meningkatnya tingkat kekayaan suatu rumah tangga tidak menyebabkan permintaan



pelayanan



kesehatan



turun.



Masyarakat



pedesaan



telah



menempatkan faktor kesehatan sebagai jasa yang penting. Demikian juga faktor-faktor yang lain, secara statistik tidak berpengaruh terhadap permintaan pelayanan kesehatan di desa karena variasinya kecil. Usia dan penyakit cenderung meningkatkan pelayanan kesehatan. Gejala ini wajar karena semakin tua seseorang, kondisikesehatannya semakin menurun sehingga cenderung lebih banyak melakukan akses terhadap pelayanan kesehatan. Demikian juga semakin banyak jenis penyakit/gangguan kesehatan yang diderita oleh masyarakat, akan meningkat pula akses pelayanan kesehatan. Ada satu hal yang mungkin agak kurang masuk akal, yaitu tingkat pendidikan cenderung menurunkan akses pelayanan kesehatan. Secara normatif, semakin tinggi tingkat pendidikannya, seharusnya masyarakat lebih mengangdap penting faktor kesehatan. Salah satu alasan mengapa hal ini terjadi adalah rata-rata tingkat pendidikan di pedesaan masih rendah, sehinga dengan tingkat pendidikan tersebut masyarakat belum tergugah bahwa faktor kesehatan adalah penting. Untuk mengantisipasi gejala tersebut, diperlukan penyuluhan khusus di bidang kesehatan masyarakat.



Satu hal yang menarik untuk diperhatikan adalah wanita lebih cenderung



banyak



melakukan



akses



terhadap



pelayanan



kesehatan.



Pengamatan di lapangan memang menunjukkan bahwa yang mengunjungi tempat pelayanan kesehatan adalah kaum wanita. Ada dua hal yang menjadi penyebab. Pertama, gangguan kesehatan kaum wanita lebih banyak dari pada pria, terutama yang berhubungan dengan masalah kewanitaan. Kedua, wanita biasanya mengunjungi tempat pelayanan kesehatan karena mengantar anaknya, dan pada saat yang bersamaan mereka juga sekaligus mendapatkan pelayanan kesehatan. Keadaan ini yang menyebabkan, mengapa wanita lebih banyak mengakses tempat pelayanan kesehatan. Kondisi di atas sangatlah menggembirakan, mengingat selama ini ada dugaan bahwa wanita di pedesaan selalu dinomor-duakan karena faktor sosial budaya. Tetapi dugaan tersebut tidak terbukti untuk dua desa tempat penelitian. Seiring dengan tutunan emansipasi wanita yang diperjuangkan di Indonesia dan persamaan gender yang sedang dipropagandakan secara global, baik di perkotaan dan pedesaan, sudah selayaknya, para ibu di pedesaan mendapat hak yang sederajat dengan kaum pria dalam hal mendapatkan akses pelayanan kesehatan. Kondisi ini dapat menjadi contoh yang baik bagi desadesa lain, baik di Jawa



maupun luar Jawa, di mana terjadi ketimpangan sosial dan budaya yang cukup tinggi yang menyebabkan wanita menjadi orang nomer dua setelah pria. Masa depan bangsa, yang tergantung pada generasi mendatang akan ditentukan oleh kondisi para ibu yang melahirkan, karena ibu-ibu yang sehatlah akan menghasilkan keturunan yang sehat pula.



31



KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN



Kesimpulan



Kesetaraan derajat wanita dalam sosial-ekonomi menjadi sangat penting karena dalam pembangunan pertanian dan pedesaan wanita menyumbangkan lebih dari 50% pekerjaan yang ada. Kajian ini menolak dugaan sementara bahwa wanita dinomer-duakan, karena hasil analisis menunjukkan bahwa kaum wanita di pedesaan memperoleh hak yang sederajat dengan kaum pria dalam hal memperoleh pelayanan kesehatan. Bahkan wanita lebih banyak melakukan akses



pelayanan



kesehatan



karena



kewanitaannya.



Satu



hal



yang



menggembirakan adalah kaum wanita memperoleh keadilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kaum pria jika tingkat kekayaan keluarga berbeda. Dengan kata lain, semakin kaya suatu keluarga, wanita (ibu) lebih banyak mendapat perhatian dalam hal kesehatan. Faktor kesehatan bukan merupakan barang inferior, karena semakin tinggi tingkat kekayaan akan meningkatkan akses pelayanan kesehatan. Faktor-faktor lain yang cenderung meningkatkan akses pelayanan kesehatan adalah usia dan banyaknya gangguan kesehatan yang diderita. Faktor pendidikan cenderung menurunkan akses pelayanan kesehatan adalah hal yang harus disikapi dengan bijak melalui penyuluhan kesehatan.



32 Implikasi Kebijakan Sudah selayaknya wanita mendapat kesetaraan dalam berbagai hal, termasuk hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Tentunya sangatlah tidak adil jika kaum wanita dinomer-duakan, meskipun faktor sosial budaya di pedesaan memposisikan wanita pada kondisi yang kurang menguntungkan. Untuk desa-desa lain di mana terdapat usaha-tani yang intensif hendaknya mensuri-tauladani kondisi tersebut di mana wanita mempunyai hak yang sama atas pelayanan kesehatan. Mengingat sampel penelitian ini masih kecil dan hanya di dua desa, akan lebih bermakna jika penelitian dilakukan dengan skala yang lebih besar. Ini merupakan tantangan bagi penulis, karena penelitian yang lebih besar memerlukan waktu, biaya dan tenaga yang lebih banyak. Saran-



saran yang dapat disampaikan dari penelitian ini adalah mempertahankan kondisi sosial budaya setempat yang telah memposisikan wanita setara dengan pria.



33



DAFTAR PUSTAKA



Antle, M. J. dan Capalbo M. S., 1994. Pesticides, Produktivity, and Farmer Health: Implication of Regulatory Policy in Agricultural Research. American Journal of Agricultural Economics, 76: 598-602. Bendavid, A. 1974. Regional Economic Analysis for Practitioners. Praeger Publisher, New York.



Bloom, D., Canning, D. and Sevolla, J., 2004. ‘The effect of health on economic growth: a production function approach’. World Development, 32 (1): 1-13. Gerdtham, U-G dan Johannesson, M., 2001. ‘The relationship between happiness, health, and socioeconomic factors: results based on Swedish microdata’. Journal of Socio- Economics, 30: 553–557. Gerken, A., Suglo, J. dan Braun, M., 2001. Pesticides Use and Policies in Ghana: An Economic and Institutional Analysis of Current Practice and Factors Influencing Pesticide Use. A Publication of the Pesticide Policy Project, 10 Grafton, R.Q., Adamowicz, W., Dupont, D., Nelson, H., Hill, R.J. dan Renzetti, S., 2004. The Economics of the Environment and Natural Resources. Carlton: Blackwell Publishing. Gujarati, D., 2003. Basic Econometrics. Prentice Hall, Singapore Kingsley, M. A., 1998. Analisis Gender dalam Pertanian. Pogram Nasional PHT, Jakarta. Kishi, M.; Hirschhorn, N.; Djajadisastra., M.; Saterlle. N. L.; Strowman, S.; dan Dilts, R., 1995. Relationship of pesticide spraying to signs and symptoms in Indonesian farmers. Scand. J. Work Environ. Health, Vol 21: 124-133. Lilja, N.; Randolph, T. F.;dan Diallo, A., 1998. Estimating Gender Differences in Agricultural Productivity: Biases due to Omission of Gender Influenced Variables and Endogenity of Regressors. Selected Paper Submitted to American Agricultural Economics Association Annual Meeting, 1998, Utah. Mariyono, J., 1998. Laporan Pendataan Nasional SLPHT oleh Sekretariat PHT Pusat, Jakarta. Pogram Nasional PHT, Jakarta.



Mookerjee, R. dan Beron, K., 2005. ‘Gender, religion and happiness’. Journal of SocioEconomics, 34: 674–685. Mutume, G., 2001. Gender discrimination not good for growth. Third World Network.



http://www.twnside.org.sg/title/gender.htm (18 Feb 2007). Nhachi, C. F. B. 1999. Toxicology of Pesticides and the Occupational Hazards of Pesticide Use and Handling in Zimbabwe, In: Mudimu, G. D.; Waibel, H., Fleischer, G. (eds.): Pesticide



Policies in Zimbabwe, Status and Implications for Change. Pesticide Policy Project Publication Series, Special Issue, No. 1: 125-140 Nicholson, W., 2003. Microeconomics: Basic Principle and Extenssion. The Dryden Press, Chicago. Pawukir, E. S. dan Mariyono, J., 2002. ‘Hubungan antara Penggunaan Pestisida dan Dampak Kesehatan: Studi Kasus di Dataran Tinggi Alahan Panjang Sumatera Barat. Jurnal Manusia dan Lingkungan, IX (3):126-136. Pindyck, R. S. dan Rubinfeld, D. L., 1998. Microeconomics. Prentice Hall International, Inc. Upper Sadle River, New Jersey Silberberg, E., dan Suen, W., 2000. The Structure of Economics: a Mathematical Analysis. McGraw-Hill, Boston. Singarimbun, M., 1983. Tipe, Metode, dan Proses Penelitian. Dalam: Singarimbun, M. dan Effendi, S. (Eds). Metode Penelitian Survai. LP3ES Jakarta. 1-11 Tan, M. G., 1994. Masalah Perencanaan Penelitian. Dalam: Koentjara-ningrat (Ed), Metodemetode Penelitian Masyarakat. Ed. III. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 14-43 Wagstaff, A.; Doorslaer, E. van; dan Watanabe, N., 2000. On Decomposing the Cause of Health Sector Inequalities with an Application to Malnutrition Inequalities in Vietnam. World Bank, Washington DC.



Webber, D.J., 2002. ‘Policies to stimulate growth: should we invest in health or education?’ Applied Economics, 34: 1633-1643. Wooldridge, J.M., 2000. Intruductory Econometrics: A Modern Approach. South-Western College Publishing, Australia.