Guillain-Barré Syndrome [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PAPER Guillain–Barré syndrome (GBS)



Disusun Sebagai Tugas Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Ilmu Neurologi Di Rumah Sakit Haji Medan Sumatra Utara



Disusun Oleh : Ayu Sabrina Susilo 20360125 Pembimbing : dr. Sumarnita Tarigan, Sp.S



KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ILMU NEUROLOGI RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN SUMATRA UTARA TAHUN 2020



KATA PENGANTAR



Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh



Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas paper ini guna memenuhi persyaratan kapaniteraan klinik senior di bagian ilmu Syaraf Rumah Sakit Haji Medan dengan judul “Guillain– Barré syndrome” Shalawat dan salam tetap terlafatkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membawa kita ke zaman yang penuh ilmu pengetahuan, beliau adalah figur yang senantiasa menjadi contoh suri tauladan yang baik bagi penulis untuk menuju ridho Allah SWT. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing KKS dibagian ilmu Syaraf. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Paper masih terdapat banyak kekurangan baik dalam cara penulisan maupun penyajian materi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sehingga bermanfaat dalam penulisan Paper selanjutnya. Semoga Paper ini bermanfaat bagi pembaca dan terutama bagi penulis.



Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh



Medan, Agustus 2020



Penulis



1



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Guillain–Barré syndrome (GBS) adalah penyakit pada sistem saraf tepi yang insidensinya langka. Berdasarkan ringkasan dari American Academy of Neurology (AAN) GBS terjadi pada 1 sampai 4 penderita per 100.000 populasi di seluruh dunia per tahunnya, menyebabkan 25% penderita gagal napas sehingga membutuhkan ventilator, 4%-15% menyebabkan kematian, 20% menyebabkan kecacatan, dan kelemahan persisten pada 67% penderita. GBS dapat diderita baik pria maupun wanita, berbagai usia, dan tidak dipengaruhi oleh ras. Tetapi, kejadian GBS sebelumnya menunjukkan bahwa penderita pria lebih banyak 1,5 kali dibanding wanita, lebih sering terjadi pada pria berwarna kulit putih, dan angka insiden tertinggi pada usia sekitar 30-50 tahun (usia produktif). Guillain–Barré syndrome (GBS) terjadi karena adanya rangsangan pada sistem imun, meskipun patogenesis yang pasti masih belum diketahui. Faktor risiko yang diduga berkaitan dengan penyakit ini yaitu adanya riwayat infeksi bakteri atau virus. Infeksi bakteri Campylobacter jejuni dilaporkan paling sering yang menjadi penyebab GBS. Infeksi yang disebabkan oleh virus lain yaitu Cytomegalovirus, virus Epstein-Barr, atau virus influenza. Selain faktor risiko infeksi, pemberian vaksin juga dilaporkan menjadi salah satu faktor. Guillain–Barré syndrome (GBS) menyebabkan paralisis akut yang dimulai dengan rasa baal, parestesia pada bagian distal dan secara cepat menyebabkan paralisis pada ke empat ekstremitas yang bersifat ascendens. Parestesia ini biasanya bersifat bilateral. Refleks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali. Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai terutama pada anak anak. Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal pada lebih dari 50% anak – anak.



3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Guillain–Barré



syndrome



(GBS)



adalah



penyakit



autoimun



yang



menimbulkan peradangan dan kerusakan mielin yang terjadi secara akut dan targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Gejala dari penyakit ini yaitu mulamula kelemahan dan mati rasa di kaki yang dengan cepat menjalar sampai ke lengan dan tubuh bagian atas, biasanya simetris dan meningkat menjadi kelumpuhan. 2.2 Patofisiologi Terjadi infeksi atau stimulasi sistem imun yang menyebabkan penyimpangan respon autoimun pada saraf perifer dan cabang-cabang saraf kranial. Sistem imun tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang paling sering adalah adanya organisme (misalnya virus atau bakteri) mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Pada GBS terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh seperti bakteri maupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin dan merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan yang seharusnya menghasilkan materi lemak penghasil myelin. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun seperti limfosit dan makrofag menyerang myelin. Limfosit T akan tersensitisasi bersamaan dengan limfosit B yang akan memproduksi antibodi melawan komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu yang bersamaan, myelin yang ada dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang berlanjut jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Malfungsi sistem imunitas yang terjadi pada GBS menyebabkan kerusakan sementara pada saraf perifer dan timbulah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat progresisf ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer.



4



2.3 Etiologi dan Faktor Risiko Penyebab GBS belum diketahui secara lengap. Ada bukti bahwa dipengaruhi oleh sel imun, infeksi seperti campylobacter jejuni, cytomegalovirus, eipstein-barr virus, mycoplasma pneumonia, dan haemophilus influenza, dan vaksinasi, vaksinasi yang berpotensi menyebabkan GBS yaitu, rabies vaccine, oral polio vaccine, diphtheria and tetanus vaccine, measles and mumps vaccine, hepatitis vaccine, samallpox vaccine. 2.4 Klasifikasi Guillain–Barré syndrome 1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) dengan patologi klinis demielinisasi perifer multifaktoral yang dapat dipengaruhi baik oleh mekanisme humoral ataupun imun seluler. Gejalanya bersifat progresif dengan kelemahan tubuh yang simetris dan terdapat hiporefleksia atau arefleksia. 2. Acute motor axonal neuropathy (AMAN) disebabkan oleh adanya antibodi yang terbentuk dalam tubuh yang melawan gangliosida GM1, GD1a, GalNAc-GD1a, dan GD1b pada akson saraf motorik perifer tanpa disertai adanya proses demielinisasi. Berhubungan dengan infeksi Campylobacte jejuni yang biasanya terjadi pada musim panas dan pada pasien muda. 3. Acute motor-sensory axonal neuropathy (AMSAN) memiliki mekanisme yang sama dengan AMAN tetapi terdapat proses degenerasi aksonal sensoris, sehingga pada kasus ini sering ditemukan gangguan pada sensoris. 4. Miller Fisher syndrome (MFS) terjadi proses demielinisasi, dimana antibodi imunoglobulin G merusak gangliosida GQ1b, GD3, dan GT1a. Miller Fisher syndrome merupakan kasus yang jarang terjadi, yang memiliki gejala yang khas berupa oftalmoplegi bilateral, ataksia dan arefleksia. Selain itu juga terdapat kelemahan pada wajah, bulbar, badan, dan ekstremitas yang terjadi pada 50% kasus. 5. Acute autonomic neuropathy, mekanisme terjadinya belum jelas dimana kasus ini sangat jarang terjadi. Gejalanya berupa gejala otonom khususnya pada kardiovaskuler dan visual, kehilangan sensoris juga terjadi pada kasus ini. 2.5 Manifestasi Klinis Gejala klinis dari GBS umumnya terjadi kelemahan bilateral yang progresif dan didahului baal selama 2-3 minggu setelah mengalami demam. Baal dan kelemahan terjadi dari ekstremitas bawah bagian distal kemudian menjalar ke bagian proksimal ke ekstremitas atas. Arefleksia atau menurunnya refleks tendon di ekstremitas juga 5



sering dijumpai. Selain itu, gejala-gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS antara lain gangguan pada N. Fasialis sisi bilateral, facial flushing, kesulitan memulai BAK, kelainan dalam berkeringat, dan penglihatan kabur (blurred visions). 2.6 Diagnosis Diagnosis GBS dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik dibantu dengan pemeriksaan penunjang penunjang. 2.6.1



Anamnesa dilihat berdasarkan riwayat penyakit, obat-obatan, riwayat konsumsi alkohol, infeksi-infeksi yang pernah diderita sebelumnya, riwayat vaksinasi dan pembedahan.



2.6.2



Pemeriksaan Fisik yang dapat dilakukan, yaitu,



pemeriksaan neurologis



meliputi sensibilitas, reflek fisiologis, refleks patologis dan derajat kelumpuhan motoris. 2.6.3



Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan laju endap darah (LED) hasil umumnya normal atau sedikit meningkat, leukosit umumnya dalam batas normal, haemoglobin dalam batas normal, pada darah tepi didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demielinasi saraf pada kultur jaringan. 2. Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) Pada pemeriksaan cairan serebrospinal paling khas ditemukan adanya kenaikan kadar protein (1-1,5 g/dl) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain, 1961, disebut sebagai disosiasi sitoalbumik. Disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein tanpa disertai adanya pleositosis. Pada kebanyakan kasus, pada hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih lanjut saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah mulainya gejala klinis. 6



3. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG) Pemeriksaan



ini



menggunakan



Electromyogram



(EMG)



dan



Nerve



Conduction Velocity (NCV). NCV akan menganalisa kecepatan impuls dan EMG akan merekam aktivitas otot sehingga mampu mendeteksi kelemahan reflek dan respon saraf. Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ketiga mulai menunjukkan adanya perbaikan.



Pada



minggu



pertama



serangan



gejala,



didapatkan



perpanjangan respon (88%), perpanjangan distal latensi (75%), konduksi blok (58%) dan penurunan kecepatan konduksi motor (50%). Pada minggu kedua, potensi penurunan tindakan berbagai otot (CMAP, 100%), perpanjangan distal latensi (92%) dan penurunan kecepatan konduksi motor (84%). Manifestasi elektrofisiologis yang khas tersebut, yakni, prolongasi masa laten motorik distal yang menandai blok konduksi distal dan prolongasi atau absennya respon gelombang F yang menandakan keterlibatan bagian proksimal saraf, blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. 4. Pemeriksaan patologi anatomi Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demielinasi multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demielinasi ini akan muncul bersama dengan demielinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat. 5. Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI lumbosacral akan memperlihatkan penebalan pada radiks kauda equina dengan peningkatan pada gadolinium. Adanya penebalan radiks kauda equina mengindikasikan kerusakan pada barier darahsaraf. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus GBS dan hasil sensitif sampai 83% untuk GBS akut.



7



2.7 Penatalaksanaan Pengobatan yang diberikan lebih bersifat simptomatis. Tujuan dari terapi adalah untuk mengurangi tingkat keparahan penyakit dan untuk mempercepat proses penyembuhan penderita. 1. Kortikosteroid 2. Plasmaparesis Terapi ini melibatkan penghilangan plasma dari darah dan menggunakan centrifugal blood separators untuk menghilangkan faktor-faktor humoral, seperti autoantibody, kompleks imum, complement, sitokin, dan mediator inflamasi nonspesifik lainnya. Plasma kemudian dimasukan kembali ke tubuh pasien dengan larutan yang berisis 5% albumin untuk mengkompensasi konsentrasi protein yang hilang. Terapi ini dilakukan dengan menghilangkan 200-250 ml plasma/kgBB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis merupakan terapi pertama pada GBS yang menunjukkan efektivitasnya, berupa adanya perbaikan klinis yang lebih cepat. 3. Imunoglobulin Intravena Immunoglobulin intravena (IVIg) lebih menguntungkan dibandingkan dengan terapi plasmaparesis karena efek samping dan komplikasi yang sifatnya lebih ringan. Penggunaan IVIg dapat memodulasi respon humoral dalam menghambat autoantibody dan menekan produksi autoantibody dalam tubuh, sehingga kerusakan yang dimediasi oleh komplemen dalam diredam. IVIg juga memblok ikatan reseptor Fc dan mencegah kerusakan fagositik oleh makrofag. 4. Terapi Suportif Sebanyak 30% kasus GBS dapat mengalami gagal pernapasan, sehingga terapi suportif yang baik menjadi elemen penting dalam terapi GBS. Umumnya pasien GBS dimasukkan ke ruang intensif ataupun ruang pelayanan intermediet untuk memungkinkan monitoring pernapasan dan fungsi otonom yang lebih intensif. 2.8 Prognosis Sebagian besar pasien dengan GBS dapat sembuh total meskipun memerlukan beberapa bulan terapi intensif. Kecacatan persisten dapat terjadi pada 15% pasien, 10% tidak dapat berjalan tanpa bantuan pada satu tahun. Dan kekambuhan dapat terjadi pada 2-5% kasus. Kematian pada GBS berkisar antara 2- 12%. Penyebab kematian yang umum akibat tromboemboli vena, pneumonia, aritmia dan komplikasi yang berhubungan dengan disautonomia (Tandel, 2016).



8



BAB III KESIMPULAN 1. Guillain–Barré syndrome (GBS) adalah penyakit autoimun yang menimbulkan peradangan dan kerusakan mielin yang terjadi secara akut dan targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.



2. Infeksi yang disebabkan oleh virus lain yaitu Cytomegalovirus, virus Epstein-Barr, atau virus influenza. Selain faktor risiko infeksi, pemberian vaksin juga dilaporkan menjadi salah satu faktor.



3. GBS dapat diderita baik pria maupun wanita, berbagai usia, dan tidak dipengaruhi oleh ras



4. Gejala GBS yaitu mula-mula kelemahan dan mati rasa di kaki yang dengan cepat menjalar sampai ke lengan dan tubuh bagian atas, biasanya simetris dan meningkat menjadi kelumpuhan.



5. Klasifikasi GBS yaitu Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP), Acute motor axonal neuropathy (AMAN), Acute motor-sensory axonal neuropathy (AMSAN), Miller Fisher syndrome (MFS), dan Acute autonomic neuropathy.



6. Diagnosis GBS yaitu, anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 7. Penatalaksanaan diberikan kortikosteroid, plasmaparesis, imunoglobulin intravena dan terapi suportif.



8. Prognosis umumnya baik dan dapat pulih dengan sendirinya.



9



DAFTAR PUSTAKA Rahayu, T. Mengenal Guillain–Barré syndrome (GBS). Universitas Negeri Yogyakarta. Wahyu, F, F. 2018. Guillain-Barré Syndrome: Penyakit Langka Beronset Akut yang Mengancam Nyawa. Kedokteran Universitas Lampung. Wijayanti, S. 2016. Aspek Klinis dan Penatalaksanaan Guillain–Barré syndrome. RSUP Sanglah. Willison HJ. 2016. Guillain-Barré syndrome. Lancet. Zahrah, S. syndrome(GBS) Universitas



2017.



Penatalaksanaan Nutrisi pada Pasien Guillain–Barré dengan Gagal Napas, Sepsis, dan Kurang Gizi. Kedokteran Hasanuddin Makasar.



10