Hadis Riwayah Dan Dirayah Satria Wiguna [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Rita
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB 1 PENDAHULUAN



Hadis merupakan sumber hukum bagi umat muslim, berperan sebagai pedoman yang ke dua setelah al-quran. Untuk Memahami hadis harus didukung oleh dengan pengetahuan atau ilmu yang berkaitan yang disebut dengan “ulum alHadits atau ilmu-ilmu hadis. Secara mendasar menurut bahasa indonesia "hadis" artinya khabar, berita, dan baharu. Hadits bisa juga disebut dengan "sunah" artinya kelakuan, perjalanan, pekerjaan atau cara. Sedangkan menurut istilah Islam, hadits dan sunah kepada :Qaul nabi (perkataan nabi), fi'Il nabi (perbuatan nabi), taqrir nabi (segala ucapan atau perbuatan para sahabat oleh nabi tidak ditegur). Hadits berarti segala ucapan, perbuatan, dan taqrir nabi, sedangkan sunah yaitu suatu yang dikerjakan dan lazim diulang oleh nabi.1 Ilmu hadis secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu ilmu riwayah dan dirayah, pentingnya mempelajari ilmu hadis ini. Karena manfaat ilmu hadis riwayah adalah untuk menjaga keaslian hadis-hadis rasul dan menghindarkan dari kekeliruan, sedangkan manfaat ilmu dirayah adalah untuk membedakan hadis sahih dan dhoif, dengan kata lain hadis dirayah dapat dipahami ilmu mengenai aturan



dan permasalahan untuk mengetahui perawi, dari segi



diterima



atau



terloknya hadis.Begitu juga penting mempelajari sejarah hadis dan perkembangan hadis dari masa rasulullah, masa sahabat rasul, dimasa tabi’in, dan masa pembukuan dan pengumpulan hadis (tadwin), hingga masa seleksi dan penyempuran serta sistem penyusuna kitab hadis. Maka penulis mencoba memaparkan materi yang berkaitan pengertian dan sejarah ilmu hadis, dari pengertian ilmu hadis riwayah dan dirayah, objek kajian, tujuan serta urgensi ilmu hadis riwayah dan dirayah, dan sejarah dan perkembangan Ulmul hadis atau ilmu hadis untuk memperoleh pengetahuan yang radikal, sistematis sebagai ilmuan muslim. Diharapkan materi ini tidak hanya sebatas pengetahuan saja,terlebih lagi untuk implementasi ilmu hadis sebagai sumber hukum Islam. 1



Abu Jamin Roham, Hadits Teladan Amal, ( Jakarta : Media Da’wah, 1992), h.17



1



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Ilmu Hadis Ilmu hadis adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadis sampai kepada rasulullah saw. Ilmu hadis disebut dengan ‘Ulum al-Hadits yang terdiri dari dua kata, yaitu ulum dan al-hadits. Kata ‘ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, yang artinya ilmu-ilmu.Sedangkan alhadits di kalangan ulama hadis artinya



‫علم يعر ف به ا قو ال ر سو ل ا هلل صلى ا هلل عليه وسلم وافعا له و احو ا له‬ Artinya :“segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat”.2 Jadi para ulama menggunakan lafaz jamak ‘Ulum al-Hadits namanya diantaranya imam al-hakim al-naisaburi (405 H/1014 M),3ulama kontemporer seperti zharafar ahmad ibn lathif al-‘utsmani al-tahanawi (1394 H/1974M),4 Al-‘Iraqi (806H/1403M) dan Al-Suyuthi (911H/1505M) di dalam berbagai karya mereka. 5 Demikian juga‘Ulum al-Hadits istilah nama lain Mushthalah al-Hadits, Qawa‘id alHadits



dan



Ushulal-Hadits.6Menurut



mudasuir



mengutip



pendapat



ulama



Mutaqaddimin,Ilmu Hadits adalah Ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasulullah SAW. dari segi hal ihwal para perawinya, yang menyangkutkedabitan dan keadilannya dan dari segi bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya.7 2



Yusuf al- Qaradhawi, Pengantar Studi Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h.20 Karya Ma’rifat ‘Ulum al-Hadits, ed. Al-Sayyid Mu’azzam Husain. Madinah : Al-Maktabat al-‘Ilmiyah, cet. II, tahun 1397 H/1997 M. 4 Karyanya ‘Ulum AL-Hadits, ed. Nur al-Din ‘Atr. Madinah: Al-Maktabat al-‘ilmiyyah, cet ke II, 19972 5 Nur al-Din ‘Atr, Al-Madkhal ila ‘Ulum al-hadits 6 ‘Ulum al-Hadits, karena di dalamnya terkumpul berbagai ilmu yang berhubungan dengan hadis. Disebut Musthalah al-Hadits, karena dalam ilmu ini sangat banyak istilah dalam pembahasannya. Disebut Ushul al-Hadits karena di dalamnya dibicarakan tentang dasar-dasar atau pokok-pokok ilmu hadis. Disebut Qawa’id al-Hadits karena di dalamnya terdapat banyak kaedahkaedah yang berhubungan dengan hadis. 7 Mudasuir, Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka Setia.1999), h. 41 3



2



Ilmu hadits memiliki banyak cabang, ada yang berpangkal pada sanad hadis, pada matan hadis, dan pada kedua aspek tersebut. 8 Dalam tataran sanad, tidak banyak studi yang dikembangkan ulama modern, kecuali beberapa penelitian yang berusaha menolak teori-teori orientalis tentang keberadaan hadis. Salah seorang ulama modern yang sangat terkenal dalam meruntuhkan pendapat para orientalis adalah Muhammad Musthafa al- ‘Azami. Hal ini seperti dikatakan oleh Ali Mustafa Yakub dalam karyanya KritikHadis. Menurut al-‘Azami, tidak ada bukti-bukti historis yang memperkuatpendapat para orientalis, bahkan justeru sebaliknya. Hal ini berkaitan dengan tuduhan mereka bahwa al-Zuhri adalah pemalsu hadis. Para ahli sejarah Islam berbeda pendapat tentang kelahiran al-Zuhri, antara 50 sampai 58 H. Al-Zuhri juga belum pernah bertemu dengan Abdul Malik bin Marwan sebelum tahun 81 H. Pada tahun 68 H orang-orang dari Dinasti Umayyah berada di Makkah pada musim haji. Dari sini al-‘Azami berkesimpulan bahwa Marwan baru berpikir untuk membangun Qubbah Sakhra yang konon akan dijadikan pengganti Ka’bah itu pada tahun 68 H. Al-‘Azami menyimpulkan jika demikian halnya, maka al- Zuhri pada saat itu baru berumur 10-18 tahun. Karenanya tidak logis seorang anak belasan tahun sudah populer sebagai seorang intelektual dan memiliki reputasi ilmiah di luar daerahnya sendiri.9 Secara garis besar ilmu hadits terbagi menjadi dua yaitu ilmu hadis riwayah dan dirayah. 1. Pengertian Ilmu Hadis Riwayah Secara bahasa, riwayah berarti menceritakan, mengambarkan, cerita, atau kabar. Dalam ilmu hadis, riwayah adalah suatu pemberitaan yang disandarkan kepada nabi muhammad saw.10



Yusuf al- Qaradhawi, Pengantar Studi Hadits, 117 Ali Mustafa Yakub, Kritik Hadits, cet. IV (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004) ,h. 16 10 Ramli Abdul Wahid dan Husnel Anwar Matondang, Kamus Lengkap : Ilmu Hadis, ( Medan :Perdana Publishing, 2011), h. 207 8 9



3



Maksudnya ilmu riwayah adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hadishadis yang disandarkan kepada nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabi’at, maupun tingkah lakunya.11 Adapun lafal pengertian riwayah lebih spesifik, antara lain :a. Riwayah Aqran artinya orang-orang yang sebanding atau orang yang setara, b. Riwayah Mukhtalith artinya sesuatu yang rusak akalnya, pikirannya, atau hafalannya, c.Riwayah tawaqquf artinya terhenti atau tertahan, d. Riwayah ahli bidah artinya sesuatu yang diada-adakan atau diciptakan, atau sesuatu yang baru kenal, e.Riwayah al-akabir an ash-shaqhir. Menurut bahasa, kanir artinya yang lebih besar, lafal ‘an artinya dari shaqir artinya kecil, d. Riwayah sabiq wa lahiq. Menurut bahasa, sabiq artinya yang mendahului, terdahulu, atau telah lewat, e. Riwayah hadis bi al-makna. Menurut istilah hadis yang diriwayatkan secara maknawi, f. Riwayah Tsiqah. Menurut bahasa, bermakna riwayat dari orang kepercayaan.12 Contoh hadits dengan riwayat yang baik, yaitu :



‫ما ا نز ل ا هلل د ا ء ا ال ا نز له شفاء‬ Artinya :”Allah tidak menurunkan penyakit, melainkan dia menurunkan pula obat penawarnya”. Sabda Rasulullah saw---Abu Hurairah---‘Atha ‘bin Abi Rabih----Umar bin Sa’id---Abu Ahmad---Muhammad bin Al Mutsna---Bukhari. Imam bukhari sendiri mengumpulkan 600.000 hadis secara keseluruhan, sementara yang beliau pilih bukukan sebanyak 9.082,13 berbeda dengan AlMuwathta karangan imam malik adalah kitab tertua, berisi 1820 hadits.14 Upaya penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan pembukuan Hadits secara besar-besaran terjadi pada abad ke-3 H yang dilakukan oleh para ulama, seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam al-Tarmidzi, dan Daniel Juned, Ilmu Hadis : Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis (Medan : Erlangga, 2010), h. 97, lihat juga kutipan Ajja Al-Khatib, Ushul Al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, (Beirut : Dar Al-fIkr, 1981), h.7 12 Ramli Abdul Wahid & Husnel Anwar Matondang, Kamus Lengkap: Ilmu Hadis, h.208-210 13 Nawir Yuslem, Sembilan Kitab Induk Hadis, ( Jakarta : Hijri Pustaka Utama,2006), h.53 14 Ibid,h. 24 11



4



lain-lain. Dengan telah dibukukannya Hadits-Hadits Nabi SAW oleh para Ulama di atas, dan buku-buku mereka pada masa selanjutnya telah menjadi rujukan bagi para Ulama yang datang kemudian, maka dengan sendirinya Ilmu Hadits Riwayah tidak banyak lagi berkembang.15 2. Pengertian Ilmu Hadis Dirayah Dirayah bermakna ilmu atau ma’rifah yang diperoleh dari usaha manusia (pengetahuan).16Maksudnya ilmu dirayah adalah ilmu untuk mengetahui hakikat riwayat,



syarat-syaratnya,



macam-macamnya,



dan



hukum-hukumanya,



mengetahui perawi, syarat-syarat, dan jenis-jenis yang diriwayatkan, serta hal-hal lain yang bertalian.17 Menurut Subhi al-Shalih memiliki definisi ‘Ilmu Hadits Dirayah sebagai suatu pembahasan masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan yang diriwayatkan,untuk mengetahui apakah bisa diterima atau ditolak.18 Fatchur Rahman, mendefinisikan ‘Ilmu Hadits Dirayah sebagai berikut:



‫ا لقا نو ن يد ر ى به ا حو ا ل ا لسند و ا لمتن و كيفبة ا لتحمل و ا ال داء و صفة ا لر‬ ‫جا ل وغير ز لك‬ “kaedah-kaedah atau aturan untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan hadits, sifat-sifat rawi dan lain sebagainya”. 19 Yang dimaksud dengan: a. Hakikat periwayatan adalah penukilan hadits dan penyandarannya kepada sumber hadits atau sumber berita. b. Syarat-syarat periwayatan adalah penerimaan perawi terhadap hadits yang akan diriwayatkan dengan bermacam-macam cara penerimaan, seperti melalui Al-Sima (pendengaran), Al-Qiro’ah (pembacaan), Al-Washiyah (berwasiyat), Al-Ijazah (pemberian izin dari perawi). c. Macam-macam periwayatan adalah memicarakan sekitar bersambung dan terputusnya periwayatan, dan lainya. Nawir Yuslem,Ulumul Hadits, (Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya. 2001), h. 3 Al-Munawiy, At-Tauqif Muhammad al-Ta’arif, cet 1 (Dar al-Fikr. Beina, 1416), h.335 17 Ramli Abdul Wahid dan Husnel Anwar Matondang, Kamus Lengkap : Ilmu Hadis, h. 38 18 Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), 101 19 Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits (Bandung: al-Ma’arif, t. t), h. 74 15 16



5



d. Hukum-hukum periwayatan adalah pembicaraan sekitar diterima atau ditolaknya suatu hadits. e. Keadaan para perawi adalah pembicaraan sekitar keadilan, kecacatan para perawi dan syarat-syarat mereka dalam menerima dan meriwayatkan hadits. f. Macam-macam hadits yang diriwayatkan meliputi hadits-hadits yang dapat dihimpun pada kitab-kitab tashnif, kitab tasnid, dan kitab mu’jam.20 Penjelasan selanjut diatas, mengenai keadaan rawi (hal ar-rawi) memberikan defenisi hal-hal berkaitan dengan perawi, sifat-sifatnya seperti baik dan jelek, cara menerima dan menyampaikan hadis, kekuatan hafalan dan menyakung pribadinya. Seorang rawi dapat diterima riwayatnya apabila ia memenuhi syaratsyarat tertentu, seperti ‘adil dan dhabith. Sebaliknya, riwayatnya akan ditolak bila ternyata ia tidak memenuhi syarat-syarat yang diperlukan, seperti buruk hafalanya, fasiq, dan riwayatnya menyalahi atau menyelisihi riwayat perawi lain yang lebih tsiqah darinya.Begitu juga dengan maksud dari keadaan yang diriwayatkan (hal al-Marwiyah) ialah mengetahui segala sesuatu yang menyakut dengan sanad, ‘illah yang tersembunyi, dengan kata-kata yang gharib (aneh) yang kesumanya dapat mempengaruhi kualitas hadis. Dengan demikian jelas bahwa pokok objek kajian ilmu hadis dirayah adalah sanad dan matanhadis. Pengkajian sanad itu sudut keadaan masing-masing perawi dan pertalian antara satu dengan yang lain. Kajian mantan berarti peninjauan dari sudut cacat atau ‘illah yang mempengaruhi nilai hadis tersebut dari sudut redaksinya. Untuk meneliti kebenaran dan kesahihan hadis serta persyaratannya, maka para ulama ahli hadis telah mentapkan lima persyaratan untuk menerima hadis nabi muhammad saw dengan baik, tiga point a-b berkenaan dengan sanad ( mata rantai para perawi), dan c-d berkenaan dengan mantn(materi hadis), anatara lain :a. Setiap perawi dalam sanad suatu hadis haruslah seorang yang dikenal sebagai penghafal yang cerdas dan teliti dan benar-benar memahami apa yang didengarnya. Kemudian ia meriwayatkan setelah itu, tepat sepertinya, b. Di samping kecerdasan yang dimilikinya, ia juga harus seorang yang baik dari 20



Munzier Suparta, Ilmu Hadis. (Jakarta :Raja Grafindo Persada. 2002), h.76-77



6



kepribadiannya dan bertakwa kepada allah swt, serta menolak dengan tegas setiap pemalsuan atau penyimpangan, c. Kedua sifat tesebut dari butiran 1 dan 2 harus dimilki oleh masing-masing perawi dalam seluruh rangkaian para perawi suatu hadis. Jika hal itu tak terpenuhi pada diri seorang saja dari mereka, maka hadis tersebut tidak anggap mencapai derajat shahih, d. Mengenai matan (materi) hadis itu sendiri, ia harus tidak bersifat syadz (yakni salah seorang perawinya bertentangan dalam periwayatan dengan perawi lainnya dianggap lebih akurat dan lebih dapat dipercaya), e. Hadis tersebut harus bersih dari ‘illah qadihah (yakni cacat yang diketahui oeleh para ahli hadis, sedemikian mereka menolaknya).21 Hal ini di atas menjukkan metode dalam memahami hadis-hadis, menurut muhammad al-Ghazali untuk mempraktikkan kriteria-kriteria tersebut, maka perlu kerja sama antara muhaddits dengan berbagai ahli bidangnya termasuk fuqarah, ahli ushul fiqih, ahli kalam, dan lain-lain, mengingat matan materi hadis ada yang berkenaan dengan akidah, ibadah, dan mu’amalah sehingga memerlukan pengetahuan dari berbagai ahli.22 B. Objek Kajian Ilmu Hadis Riwayah dan Dirayah 1. Objek Kajian Ilmu Hadis Riwayah Menurut Al-Suyuthi atau Imam Jalal Al-Din Abd Al-Rahman ibn Abi Bakar Al-Suyuthimengenai objek Kajian Ilmu hadis riwayah adalah bagaimana cara menerima, menyampaikan hadis kepada orang lain yang mempelajari.23Hadis nabi saw dari segi periwayatan dan pemeliharanya, hal tersebut mencakup cara periwayatan hadis baik segi cara penerimaan dan demikian juga cara penyampainnya dari seorang perawi kepada perawi lainnya, serta cara pemeliharaan hadis dalam bentuk penghafalan, penulisan, dan pembekuannya. Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Studi kritik Atas Hadis Nabi Saw : Antara pemahaman tekstual dan kontekstual, diterjemahkan dari buku As-Sunnah An-Nabawiyah : Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, ( Dar Asy-Syuruq : Kairo, 1998), h. 26 22 Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi : Persepektif muhammad al-ghazali dan Yusuf Al-Qaradhawi (Yogjayakarta :Teras, 2008), h. 78 lihat juga kutipan Muhammad AlGhazali, al-Sunnah al-Nabawiyah, h. 19-21 23 Al-Suyuthi, Tadrib Al-Rawy Fi Syarh Taqrib Al-Nawawi , ( Beirut : Dar Al-Fikr, 1988), h. 7 21



7



Dalam menyampaikan atau membukukan hadits hanya disebutkan apa adanya, baik yang berkaitan dengan matan maupun sanadnya, ilmu ini tidak membicarakan tentang syadz (kejanggalan) atau ‘ilat (kecacatan) matan hadits, dan juga tidak membahas kualitas perawi baik dalam keadilan, maupu kefasikan nya. Adapun faedah mempelajari ilmu Hadits Riwayah adalah untuk menghindari adanya penukilan yang salah dari sumbernya yang pertama yaitu nabi muhammad saw.24 Analisis tentang tata cara penerimaan riwayat hadis, dan mengeluarkan riwayat hadis di anggap penting karena ahli hadis atau ulama sebagai para periwayat dan penghimpunan hadis mengenai ucapan, perbuatan, taqrir, atau hal ihwal nabi muhammad saw yang biasanya disebut dengan sanad. a. Tata cara penerima riwayat hadis Ulama hadis menetapkan istilah harf atau term tertentu untuk menghubungkan periwayatan dengan periwayat lain yang dekat dengan sanad. Istilah itu menggambarkan cara yang ditempuh oleh periwayat hadis yang bersangkutan dalam menerima hadis.Fungsi harf sebagai pentunjuk mengenai cara riwayatan yang telah ditempuh oleh periwayatan.25Kalangan ulama menyatakan pengertian huruf harf dengan ‫ن‬



‫ ا‬,‫ عن‬,‫قل‬.26



b. Periwayat Hadis Untuk membuktikan keterputusan periwayat atau tidaknya, haruslah diteliti dengan kualitas pribadi riwayat yang memakai harf. Adapun sebagian nama periwayat hadis sebagai berikut: Anas bin Malik, ‘Abdullah bin ‘amr, Abu Hurairah, Mu’awiyah bin abu sufyan (kalangan sahabat nabi muhammad saw), Malik, Al-Bukhari, Muslim, At-Turmizi, Abu Dawud , Ibn Majah dan Ahmad bin Hambal (Periwayat mukharjji/ periwayat yang tercatat terhimpun bersumber dari sahabat nabi).27 Munzier Suparta, Ilmu Hadis. h. 25 Sa’dullah Assa’idi, Hadis-Hadis Sekte, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1996), h. 42 26 Ibid 27 Ibid, h.44 24 25



8



2. Objek Kajian Ilmu Hadis Dirayah Objek pembahasan Ilmu Hadits Dirayah adalah keadaan para perawi dan



marwinya (sanad dan mantanya), Keadaan para perawi, yaitu penyangkut pribadinya, seperti akhlak, tabiat, dan keadaan pahalannya sanad. Adapun keadaan marwi, yaitu dari sudut kesasihan dan kedaifannya, maupun dari sudut lain yang berkaitan dengan keadaan matan. objek kajian atau pokok bahasan Ilmu Hadits Dirayah ini berdasarkan definisi di atas, adalah sanad dan matan hadits.28 C. Tujuan Ilmu Hadis Riwayah dan Dirayah 1. Ilmu Hadis Riwayah Tujuan ilmu hadis Riwayah ni adalah pemeliharaan terhadap Hadits Nabi SAW agar tidak lenyap dan sia-sia, serta terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam proses periwayatannya atau dalam penulisan dan pembukuannya. Dengan demikian, hadits-hadits nabi saw dapat terpelihara kemurniannya dan dapat di amalkan hukum-hukum dan tuntunan yang terkandung didalamnya, yang hal ini sejalan dengan perintah Allah SWT agar menjadikan Nabi SAW sebagai ikutan dan suri teladan dalam kehidupan ini.29



                  Terjemahanya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah (Q.S Al-Hazab:21)30 Ilmu hadits Riwayah ini sudah ada sejak Nabi SAW masih hidup, yaitu bersamaan dengan mulainya periwayatan Hadits itu sendiri. Para Sahabat Nabi SAW menaruh perhatian yang tinggi terhadap Hadits Nabi SAW. Mereka berupaya untuk memperoleh Hadits-Hadits Nabi SAW dengan cara mendatangi majelis Rasul SAW serta mendengar dan menyimak pesan atau nasehat yang Mudasuir, Ilmu Hadis, h. 45 Nawir Yuslem Ulumul Hadits, h. 5 Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan terjemahnya (Bandung: J-ART, 2004), h. 420



28 29 30



9



disampaikan beliau. Sedemikian besar perhatian mereka, sehingga kadangkadang mereka berjanji satu sama lainnya untuk secara bergantian menghadiri majelis Nabi SAW tersebut, manakala diantara mereka ada yang sedang berhalangan. Hal tersebut seperti yang dilakukan oleh ‘Umar r.a., yang menceritakan, “Aku beserta seorang tetanggaku dari kaum Ansar, yaitu Bani Umayyah Ibnu Zaid, secara bergantian menghadiri majelis Rasul SAW. Apabila giliranku yang hadir, maka aku akan menceritakan kepadanya apa yang aku dapatkan dari Rasul SAW pada hari itu; dan sebaliknya, apabila giliran dia yang hadir, ma ka dia pun akan melakukan hal yang sama.”31 2. Ilmu Hadis Dirayah ilmu hadits dirayah bertujuan ini adalah untuk mengetahui hadis-hadis yang maqbul (dapat diterima), dan yang mardud (tertolak). Ilmu hadis dirayah inilah yang pada masa selanjutnya secara umum dikenal dengan Ulumul hadits, Mushthalah al-Hadits, Qawa‘id al-Hadits,dan Ushul al-hadits. Yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui perawi (sanad) dan marwi (matan) dari segi diterima atau tertolak. Para ulama hadis membagi ilmu hadis dirayah atau ulumul hadis menjadi beberapa macam berdasarkan permasalahan yang di bahas, di antaranya” a. Pembahasan tentang pembagian hadis sahahih, hasan, dan dha’if. b. Pembahsan tentang tata cara penemerimaan (tahammul) dan periwayatan hadis. c. Pembahasan al-jarh dan at-ta’dil serta tingkatan-tingkatanya. d. Pembahasa tentang perawi, latar belakang kehidupannya, dan klasifikasinnya antara tsiqat dan dha’if 32 Dari beberapa faedah atau ketentuan diatas dapat disimpulkan faedah yang mempelajari ilmu hadits dirayah adalah untuk mengetahui kualitas sebuah hadits, apakah ia maqbul (diterima) dan mardud( ditolak), baik dilihat dari sudut sanad maupu matannya. 31 32



Ibid, H. 6 Munzier Suparta, Ilmu Hadis. h. 26-27



10



D. Urgensi atau pentingnya Ilmu Hadis Riwayah dan Dirayah Realita hadis sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah al-quran menjadi persoalan yang sangat urgen untuk diangkat dalam memahami hadis. Persoalan internal dari figur sentral yaitu nabi muhammad saw yang berlaku bagi umat Islam, sementara hadis turun dalam kondisi sosial-kultural masa rasulullah, di mana tidak semua hadis memiliki asbab al-wurud yang bersifat umum atau khusus, terkadang hadis dipahami secara tekstual dan kontekstual.33 Ditinjau pada masa rasul terhadap penulisan hadis, sahabat dan khulafa alrasyidin dilarang untuk menuliskan hadis,disisi lain rasul memperbolehkan untuk menuliskan hadis. Adapun alasan nabi rasulmelarangan penulisan hadits sebagai berikut: 1. Dikhawatirkan akan terjadi pencampuradukan antara ayat-ayat Al-Qur‟an dan hadits, karena turunnya Al-Qur‟an dan keluarnya hadits itu sendiri dalam masa bersamaan, sehingga dapat mengakibatkan perubahan (tahrif) terhadap ayat-ayat Al-Qur‟an, karena hal ini merupakan suatu kesalahan fatal. Alasan ini tidak disetujui oleh Abu Riyyah, menurutnya alasan itu seakan keindahan ayat-ayat Al-Qur‟an (mukjizat) keindahannya menyamai bahasa hadits. Padahal menurutnya sudah dijamin keasliannya oleh Allah sebagai firman Allah dalam Al-Qur‟an (Surah al-Hijri: 9). 2. Nabi bermaksud menjaga perintah-perintah (hukum-hukum) syariah dalam batas-batas yang ketat, sehingga Nabi tidak menyukai berbagai pertanyaan yang diajukan kepada dirinya, tentunya jawaban yang diberikan akan menimbulkan hadits. Hal ini dapat mengalihkan perhatian sahabat yang hadir yang semula sibuk menghafal Al-Qur’an beralih menjadi memelihara hadits. Alasan ini juga dipandang lemah, karena nabi saw tidak mungkin menghendaki kebekuan hadisnya sendiri.34 Beranjak dari pemaham di atas jelas bahwa penting ilmu hadis, maka pada ilmu hadis riwayah dan dirayah ini, pada perkembangan munculah cabang-cabang ilmu hadis lainnya, seperti ilmu rijal al-hadits, ilmu al-jarh wa al-ta’dil, ilmu tarikh al ruwah, ilmu ‘ilal al-hadits, ilmu al-nasikh wa al-mansukh, ilmu asbab wurud alhadits, dan ilmu mukhtalif al-hadits.35 Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi : Persepektif muhammad al-ghazali dan Yusuf Al-Qaradhawi, h. 4 34 Damanhuri, “Penelusuran Akar Hadits” Peuradeun : Media Kajian Ilmiah Sosial, Politik, Hukum, Agama Dan Budaya, vol. II, h. 99 35 Munzier Suparta, Ilmu Hadis. h 30 33



11



E. Sejarah dan Perkembangan Ulumul Hadis Mempelajari sejarah dan perkemabangan ilmu hadis merupakan upaya pembinaan dan pemeliharaan pada tiap periodenya sampai akhirnya terwujud kitakitab tadwin secara sempurna. Di antara ulama tidak seragam dalam menyusun periodesasi pertumbuhan dan perkembangan hadis. Ada yang membagikan kepada tiga periode saja yaitu masa rasul, masa sahabat dan tabi’in, dan masa pentadwinaan, dan dimasa setelah tadwinan. 1. Hadis pada Masa Rasulullah Masa rasul ini dikenal dengan masa wahyu dan pembentukan hukum, dimulai pada permulaan nabi diangkat menjadi rasul hingga wafat nabi Muhammad yaitu 12 rabiul awal tahun 11 Hijrah atau tanggal 6 Juni 632 Masehi dengan usia 63 tahun. Wahyu yang diturunkan allah swt kepadanya dijelaskan melalui perkataan (aqwal), perbuatan (af’al), dan penetapan (taqrir). Sehingga apa yang didengar, dilihat, dan disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliyah dan ubudiah. Oleh karena itu, tempat-tempat pertemuan di antara kedua belah pihak sangatlah terbuka dalam banyak kesempatan. Tempat yang biasa digunakan rasul bervariasi, seperti di masjid, rumahnya sendiri, pasar, ketika dalam perjalanan, dan berada dikemukinan.36 Ada beberapa cara rasul saw menyampaikan hadis kepada para sahabat, yaitu : pertama, melalui para jamaah yang berada di pusat pembinaan atau majelis alilmi. Melalui majelis ini, para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadis sehingga mereka berusaha untuk selalu mengonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan tersebut. Para sahabat begitu antusias untuk dapat mengikuti kegiatan di majelis ini. Kadang-kadang di antara mereka bergantian hadir, seperti yang dilakukan oleh umar bin khattab yang bergantian hadir dengan zaid dari umayah untuk menghadiri majelis ini. Ia berkata, kalau hari ini aku yang pergi, pada hari lainnya ia yang pergi, “kalau hari ini aku yang pergi, pada hari lainnya ia ang pergi”. Terkadang para kepala suku yang jauh dari madinah mengirim utusannya ke majelis ini untuk kemudian mengajarkan kepada suku mereka sekembalinya dari majelis tersebut. Mushthafa Al-Siba’I, Al- Sunnah wa Makanatuha fi al-tasyri’ Al-Islami, (Kairo : Dar Al – Salam, 1998), h 64-65 36



12



Kedua, melalui para sahabat tertentu, kemudian mereka menyampaikannya kepada orang lain. Hal ini terjadi ketika beliau menyampaikan hadis, hanya beberapa sahabat yang hadir, baik karena disengaja oleh rasulullah saw atau memang kebetulan para sahabat yang hadir, baik karena disengaja oleh rasulullah atau memang kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang, bahkan hanya satu orang, seperti hadis-hadis yang ditulis oleh Abdullah bin amr bin al-ash. Untuk hal-hal tertentu, seperti yang berkaitan dengan masalah keluarga dan kebutuhan biologis (terutama menyangkut hubungan suami istri), beliau menyampaikannya melalui istri-istrinya. Begitu juga dengan para sahabat, jika segan bertanya kepada rasulullah mengenai halhal tersebut, mereka sering bertanya kepada istri-istri beliau. Ketiga, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh Mekah (Penaklukan kota mekah).37 Rasul menginstruksikan kepada sahabat agar menulis dan menghafal setelah rasul menyampaikan hadisnya kepada sahabat, untuk memelihara dan kemaslahatan al-quran dan hadis, sebagai dua sumber ajaran Islam. Adapun dorongan kuat yang cakup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan menghafal hadis : pertama, kegiatan menghafal merupakan kebudayaan bangsa arab yang telah diwarisi sejak praIslam dan mereka terkenal kuat hafalanya, kedua rasul saw banyak memberikan spririt melalui do’a-do’anya, ketiga, seringkali ia menjanjikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadis dan menyampaikan kepada orang lain.38 Mengenai penulisan hadis terdapat sejumlah sahabat dan sahabat yang lain untuk memiliki catatan-catatan terhadap hadis, yaitu Abdullah ibn amr al-ash, ia memilki catatan hadis yang menurut pengakuannya dibenarkan oleh rasul saw, sehingga diberi nama al-sahifah al-sahadiqah. Hadis-hadis yang terhimpun dalam catatatanya ini 1.000 hadis yang menurut pengakuannya diterima langsung dari rasul saw ketika mereka berdua tanpa ada orang lain yang menemainya.39



37 38 39



Mustofa Hasan, Ilmu Hadis, (Bandung : Pustaka Setia Bandung, 2012), h.117 Munzier Suparta, Ilmu Hadis,h. 76 Ajjaj al-Khatib, Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin,cet ke VI (Beirut : Dar Al Fikr, 1999), h.349



13



2. Hadis pada Masa Sahabat Rasul Periode kedua sejarah perkembangan hadis adalah masa sahabat khususnya khulafa al-rasyidin yang berlangsung (11 H – 40 H), pada masa ini sahabat terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-quran, periwayatan hadis belum berkembang dan masih dibatasi. Oleh karena itu, para ulama menggap masa ini sebagai masa yang menujjukkan pembatasan periwayatan (at-tasabbut wa al-iqlal min ar-riwayah). 40 Menaati Pesan Rasullulah yaitu pada masa menjelang akhir kerasulannya, rasulullah berpesan kepada sahabat, agar berpegang teguh pada al-quran dan alhadits serta mengajarkan kepada orang lain sebagaimana rasulullah bersabda:



‫تر كت فيكم ا مرين لن تضلو ا بد ما ا ن تمسكم بها كت ب ا هلل و سنه ر سو له‬ Artinya : “Telah aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka. Jika kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya tidak tidak akan tersesat, yaitu kitab allah (al-quran) dan sunnah ku” (H.R. Hakim).41 Dalam memelihara hadis seperti halnya hadis-hadis yang diterimanya dari rasulullah. Akan tetapi, dalam meriwayatkannya mereka sangat berhati-hati karena pada masa ini belum ada usaha untuk menghimpun hadis dalam suatu kitab, seperti halnya al-quran. Hal ini dilakukan agar umat Islam tidak mengalihkan perhatian atau kekhususaan mereka dalam mempelajari al-quran. Selain itu, para sahabat yang banyak menerima hadis rasullulah saw. Sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam dengan kesibukannya masing-masing sebagai Pembina masyarakat. 3. Hadis pada masa Tab’in Pada masa tab’in , al-quran sudah dikumpulkan dalam satu mushaf dan para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam sehingga para tabi’in dapat mempelajari hadis dari mereka. Ketika kepemerintahan dipegang oleh bani umayyah, wilayah kekuasaan Islam telah meliputi mesir, Persia, irak, afrika selatan, amarkand, dan spanyol, madinah, mekah, basrah, syam, dan khurasan. Pesatnya perluasaan wilayah kekuasaan Islam dan meningkatkan penyebaran para Mustofa Hasan, Ilmu Hadis,h. 125 Ibid, h. 126 lihat juga kitab Al-Jami (hadits nomor 1.395) dalam imam malik al muwaththa, urut-urutannya sanad, diterima dari zaid ibn Unaisah dari abd Al-Hamid ibn Abdurahman , zaid ibn Al-khaththab dari muslim ibn yasar al-juhany. 40 41



14



sahabat ke daerah-daerah tersebut menjadikan masa ini dikenal dengan masa penyebaran periwayatan hadis (Intisyar ar-riwayah ila al-amshar).42 a. Pusat-pusat pembinaan hadis pusat pembinaan Ada beberapa kota yang menjadi pusat pembinaan periwayatan hadis dan sebagai tempat tujuan para tabiin dalam mencari hadis yaitu madinah al-munawarah, kufah, basrah,syam, mesir, magrib, andalus, yaman, dan khurasan. Dari sejumlah sahabat Pembina hadis di kota-kota tersebut, ada beberapa orang yang tercatat meriwayat hadis cukup banyak antara lain abu hurairah, Abdullah bin umar, anas bin malik, aisyah, Abdullah bin abbas, jabir bin abdillah, sa’id al-khudzri. Madinah merupakan pertama karena setelah hijrah rasullulah menetap di madinah. Di sini pula rasullulah saw membina kehidupan sosial kaum muhajirin dan anshar yang berasal dari berbagai ras. 43 b. Pemalsuan hadis Dengan terbenuhnya khalifah ustman bin affan, ali bin abi thalib dan muawiyah ingin memegang jabatan khalifah. Umat Islam terpecah menjadi tiga golongan yaitu syiah, khawarij, dan jumhur. Setiap kelompok mengaku berada dalam pihak yang benar dan menuduh yang salah. Untuk membela pendirian masingmasing, mereka membuat hadis palsu. Menurut imam malik, ada empat jenis orang yang tidak boleh diambil hadisnya, yaitu pertama, orang yang kurang akal, kedua, orang yang mengikuti hawa nafsunya, ketiga, orang yang berdusta dalam pembicaraanya walaupun dia tidak berdusta kepada rasul, keempat, orang yang tampak saleh dan beribadah, tetapi orang itu tidak mengetahui nilai-nilai hadis yang diriwayatkan. Dalam pemberantasan hadis palsu para ulama menyusun kitab khusus yang menerangkan hadis palsu di antaranya Tazkirah Al-Maudhu’at karya Muhammad bin Thahir al-Maqdizi (507 H), Al-Hasan bin Ibrahim Al-Hamdani, dan Al-Maudhuah Al-Kubr karya Ibnul Jauzi (597 H).44 4. Hadits pada masa Tadwin Hadis 42 43 44



Mudasir, Ilmu Hadits ( Bandung : Pustaka Setia, 2002), h. 85 Ibid. Mustofa Hasan, Ilmu Hadis,h. 139



15



Secara bahasa tadwin diartikan mengumpulkan, dalam makna tadwin mengikat yang terpisah dan mengumpulkan yang terurai (dari tulisan-tulisan) pada suatu diwaan ( menulis atau catatan).45 Ada dua hal pokok usaha Umar ibn Abd Aziz (Khalifah ke VII dari khalifah bani umayah) dalam mengambil tadwin, yaitu : a. Khawatir terhadap hilang hadis-hadis dengan meninggalnya para ulama di medan perang. b. Khawatir juga akan tercampurnya antara hadis yang sahih dengan hadis palsu. Di pihak lain bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lain tidak sama, jelas sangat memerlukan adanya usaha kondifikasi.46 Dengan melihat



berbagai persoalan yang muncul, sebagai akibat terjadi



pergolakan politik yang sudah cu kup lama, dan mendesak kebutuhan untuk segera mengambil tindakan guna menyelamatkan hadis dari kemusnahan dan pemalsuan, maka Umar ibn Abd Aziz terdorong untuk mengambil tindakan ini. Bahkan dalam riwayat



ia



turut



terlibat



dalam



mendiskusikan



hadis-hadis



yang



sedang



terhimpunnya.47 Ada Ulama ahli hadis yang berhasil menyusun kitab tadwin, yang bisa diwariskan kepada generasi sekarang, yaitu malik ibn anas ( 93-179H) di madinah , dengan kitab hasil karyanya Al-Muwaththa’. Para ulama menilai Muwaththa’ sebagai kitab tadwin yang pertama dan banyak dijadikan rujukan oleh para muhaddis selanjutnya. Para Pentadwin berikutnya yaitu Muhammad ibn Ishaq (151 H), dan Ibn Abi zi’bin (80-158H) di madinah, ibn juraij (80-150H) di mekah, Al-Rabi ibn sabih (160 H), dan hammad ibn salamah (176 H) di basrah, sufyan alTsauri (97-161 H) di kufah, al-auza’I (88-157H) di syam, ma’mar ibn rasyid (93-153 H) di yaman, ibn Al-Mubarrak (118-181 H) di khurasan, Abdullah ibn al-wahab (125-197H) di mesir, dan Jarir ibn abd al-hamid (110-188 H) di rei.48 5. Hadits Masa seleksi dan penyempuranaan dan sistem penyusunan kitab hadis.



45 46



Adib Bisri, kamus Indonesia arab-arab Indonesia, cet I ( Surabaya : t.p, 1999), h. 214 Subhi As-salih, ‘Ulum al-Hadis wa Makanatuha, ( Beirut : Dar al-Ilm li al-Malayin, 1973),



h.45 47 48



Ajjaj al-Khatib, Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin, h. 330 Ibid, h. 337-338



16



Masa seleksi atau penyaring hadis dilaksanakan ketika kepemerintahan dinasti bani abbas, khususnya sejak masa al-makmum sampai dengan masa al-muktadir (sekitar tahun 201-300 H), Munculnya periode seleksi ini karena pada priode sebelumnya, yakni periode tadwin, para ulama berhasil memisahkan beberapa hadis mauquf (periwayatannya berhenti pada sahabat) dan maqtu’ (terputus) dari hadis marfu’ (sanad dan matannya). Demikian pula, memisahkan beberapa hadis yang dhaif dari yang sahih. Bahkan, masih ada hadis maudu’ yang tercampur pada hadis sahih. Dengan kesungguhan para ulama dalam melakukan seleksi dan penyaringan hadis, dan melaui kaidah-kaidah tertentu, para ulama berhasil memisahkan hadishadis yang dhaif dan yang sahih, hadis-hadis yang marfu’ dan mauquf dari yang maqtu, meskipun berdasarkan penelitian berikutnya masih terdapat hadis dhaif yang terselip dalam kitab hadis sahih. Kutub Al-Sittah (kitab induk yang enam) antara lain: a. Al-Jami’ Al-Shahih susunan imam Al-Bukhari (194-252H) b. Al-Jami’ Al-Shahih susunan imam muslim (204-261H) c. Al-Sunan susunan Abu Dawud (202-275 H) d. Al-Sunan susunan Al-Tirmidzi (200-275 H) e. Al-Sunan susunan Al-Nasa’I (215-303 H), dan f. Al-Sunan susunan Ibnu Majah (207-273H).49 Setelah munculnya kutub As-sittah, Al-Muwaththa karya iman malik dan AlMusnad karya ahmad ibn hambal, para ulama mengalihkan perhatian pada upaya menyusun kitab-kitab jawami, kitab syarah mukhtasar, Tahrij, kitab Athraf, dan Jawaid, serta menyusun kitab hadis secara tematis. Ulama yang masih menyusun kitab hadis yang memuat hadis-hadis sahih antaranya ibnu Hibban Al-Bisti (354H), ibnu Huzaiman (311H), dan Al-Hakim An-Naesaburi.50



BAB III 49 50



Subhi As-salih, ‘Ulum al-Hadis wa Makanatuha,h. 48 Mustofa Hasan, Ilmu Hadis,h.189



17



KESIMPULAN



                             



 Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (Q.S. Annisa:59) 2. ilmu hadis riwayah adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hadis-hadis yang disandarkan kepada nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabi’at, maupun tingkah lakunya. 3. ilmu hadis dirayah adalah ilmu untuk mengetahui hakikat riwayat, syaratsyaratnya, macam-macamnya, dan hukum-hukumanya, mengetahui perawi, syarat-syarat, dan jenis-jenis yang diriwayatkan, serta hal-hal lain yang bertalian. 4. Objek ilmu hadits riwayah adalah ilmu pengetahuan untuk cara penerimaan dan demikian juga cara penyampainnya dari seorang perawi kepada perawi lainnya, serta cara pemeliharaan hadis dalam bentuk penghafalan, penulisan, dan pembekuannya. 5. Objek pembahasan Ilmu Hadits Dirayah adalah keadaan para perawi dan marwinya (sanad dan mantanya), Keadaan para perawi, yaitu penyangkut pribadinya, seperti akhlak, tabiat, dan keadaan pahalannya sanad. Adapun keadaan marwi, yaitu dari sudut kesasihan dan kedaifannya, maupun dari sudut lain yang berkaitan dengan keadaan matan. 6. Sejarah dan perkembangan Ulumul Quran dari masa rasulullah, masa sahabat rasul, dimasa tabi’in, dan masa pembukuan dan pengumpulan hadis (tadwin), hingga masa seleksi dan penyempuran serta sistem penyusuna kitab hadis. DAFTAR PUSTAKA



18



.1



Abu Jamin Roham, Hadits Teladan Amal, Jakarta : Media Da’wah, 1992. Yusuf al- Qaradhawi, Pengantar Studi Hadits, Bandung: Pustaka Setia, 2007. Mudasuir, Ilmu Hadis, Bandung: Pustaka Setia.1999. Ali Mustafa Yakub, Kritik Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004. Ramli Abdul Wahid dan Husnel Anwar Matondang, Kamus Lengkap : Ilmu Hadis, Medan :Perdana Publishing, 2011. Daniel Juned, Ilmu Hadis : Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis ,Medan : Erlangga, 2010. Nawir Yuslem, Sembilan Kitab Induk Hadis, Jakarta : Hijri Pustaka Utama,2006. Nawir Yuslem,Ulumul Hadits, Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya. 2001. Al-Munawiy, At-Tauqif Muhammad al-Ta’arif, Dar al-Fikr. Beina, 1416. Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits Bandung: al-Ma’arif, t. t Munzier Suparta, Ilmu Hadis. Jakarta :Raja Grafindo Persada. 2002. Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Studi kritik Atas Hadis Nabi Saw : Antara pemahaman tekstual dan kontekstual, diterjemahkan dari buku As-Sunnah An-Nabawiyah : Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, Dar Asy-Syuruq : Kairo, 1998. Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi : Persepektif muhammad alghazali dan Yusuf Al-Qaradhawi Yogjayakarta :Teras, 2008. Al-Suyuthi, Tadrib Al-Rawy Fi Syarh Taqrib Al-Nawawi , Beirut : Dar Al-Fikr, 1988. Sa’dullah Assa’idi, Hadis-Hadis Sekte, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1996. Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan terjemahnya , Bandung: J-ART, 2004. Damanhuri, “Penelusuran Akar Hadits” Peuradeun : Media Kajian Ilmiah Sosial, Politik, Hukum, Agama Dan Budaya, vol. II. Mushthafa Al-Siba’I, Al- Sunnah wa Makanatuha fi al-tasyri’ Al-Islami, Kairo : Dar Al –Salam, 1998. Mustofa Hasan, Ilmu Hadis, Bandung : Pustaka Setia Bandung, 2012. Ajjaj al-Khatib, Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin, Beirut : Dar Al Fikr, 1999. Adib Bisri, kamus Indonesia arab-arab Indonesia, Surabaya : t.p, 1999. Subhi As-salih, ‘Ulum al-Hadis wa Makanatuha, Beirut : Dar al-Ilm li al-Malayin, 1973.



19