High Tech High Touch [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Teknologi selalu membawa sejumlah konsekuensi ke tengah masyarakat penggunanya. Ada konsekuensi yang memang diperkirakan (atau bahkan memang menjadi tujuan), ada yang tidak diduga, dan ada juga yang malah tidak diinginkan. Di Indonesia, masyarakat mungkin belum begitu akrab dengan wacana mengenai konsekuensi teknologi. Sebab, sebagai negara yang sering disebut-sebut ‘under developed’, kita sendiri belum seberapa akrab dengan teknologi. Berbeda halnya dengan Amerika Serikat, negeri asal John Naisbitt, penulis buku High Tech High Touch ini. Di negeri itu misalnya, pengguna internet pada bulan Desember 2005 saja, telah mencapai 225.801.428 orang (lebih banyak dari penduduk Indonesia?). Padahal di Indonesia, pada bulan Desember 2006 pengguna internet baru mencapai l.k. 20 juta orang. Namun, dalam ‘ketenggelaman’ di lautan teknologi, masyarakat Amerika rupanya mulai merasakan konsekuensi-konsekuensi yang tak terduga. Buku High Tech High Touch adalah salah satu refleksi terhadap ‘ketenggelaman’ tersebut. Teknologi, khususnya high tech, bukan saja menerobos ruang-ruang pabrik dalam bentuk otomatisasi. High tech juga menyusup ke dalam ruang keluarga lewat video game, TV, PC, dan aneka perkakas rumah tangga. High tech pun mengintip ruang pribadi lewat handycam, digital camera, pager, ponsel, CCTV (Close Circuit Television). High tech bahkan merasuk sampai ke dalam materi dasar kehidupan: gen, mengutak-atiknya, melabrak kategori-kategori tradisional seperti lahir, sakit, sehat, dan mati. Masyarakat Amerika kemudian mulai bertanya-tanya, adakah dengan semua itu mereka puas? Sepertinya tidak. Sejarah membuktikan, manusia tidak pernah puas dengan kemudahan dan kenyamanan yang diperolehnya. Selalu saja ada cara untuk membuat hidup lebih mudah dan lebih nyaman. Lepas dari itu, dalam pencarian kenyamanan tersebut, rupanya ada sesuatu yang hilang. Naisbitt menyebutnya high touch. Apa itu High Tech? Apa itu High Touch? Apa itu teknologi? Menurut salah satu definisi dalam laman web kamus Merriam-Wesbter, teknologi adalah aplikasi praktis dari pengetahuan dalam lingkup tertentu, atau, sebuah kemampuan yang diperoleh dari aplikasi praktis pengetahuan. Kemampuan, aplikasi, pengetahuan, itulah teknologi.



Mungkin ketika manusia purba mengetahui batu yang tajam dapat melukai, dan karenanya mulai mengasah batu menjadi kapak dan tombak, sejarah teknologi dimulai. Lantas apa itu high tech? Manusia tidak pernah puas. Kapak batu diganti kapak perunggu, diganti lagi dengan pisau dan gunting baja, kini ada laser dan water jet untuk memotong. Awalnya hanya ada geraman-geraman dan gerakan-gerakan tak jelas untuk menyampaikan pesan sambil berhadaphadapan. Kini, lewat teknologi SMS, bnyk trcpta sngktan2x tdk jls u bbcara dgn org di sbrg lautan. Selalu ada teknologi yang lebih tepat, lebih cepat, lebih mudah dalam melayani manusia. CDMA (Code Division Multiple Access), FLIR (Forward Looking Infra Red), Wi-Fi (Wireless Fidelity), ELBA (Emergency Locator Beacon Aircraft), HAWK (Homing All the Way to the Kill), adalah beberapa di antara instrumen rumit yang membuat hidup kita kini begitu sederhana.  High tech adalah apa-apa yang kini paling cepat, tepat, dan mudah digunakan. Lalu apa itu high touch? Ini dia. Pernah menangis ketika orang yang Anda curigai justru berkorban untuk Anda? Pernah merasa begitu lapang mendengar gemerisik dedaunan yang diterpa hembusan angin? Pernah merasakan harapan merasuk dalam diri Anda lewat hangatnya mentari pagi? Terisap ke dalam buku yang Anda baca, lagu yang Anda dengar, film yang Anda tonton? Apa yang Anda rasakan ketika berpelukan dengan mereka yang Anda cintai? Merasa, membaur, menyatu. High touch adalah mengakui adanya sesuatu yang lebih besar di luar diri kita, entah kemanusiaan atau ketuhanan. Apa yang high tech bisa menjadi high touch seiring perjalanan waktu dan keterbiasaan masyarakat menghadapinya. Semua teknologi yang kini telah usang senantiasa membawa sekeping kenangan di dalamnya. Dahulu, jarum sulam adalah teknologi yang sangat tepat, cepat dan mudah untuk merajut dibandingkan jarum jahit (atau jarum kasur), tidak ada yang romantis tentangnya. Kini, hati ibu kita mungkin berbunga-bunga saat kita menghadiahkan sweater rajutan sendiri, atau sekedar saputangan yang disulam dengan namanya. Kenangan menggugah emosi, mengingatkan bahwa kita pernah berada di suatu tempat, pada suatu waktu, bersama sejumlah orang, melakukan



sesuatu. Merasa, membaur dan menyatu selalu memerlukan konteks: ruang, waktu, manusia, tujuan. Konteks itu tidak pernah hilang, ia abadi dalam kenangan. Zona Mabuk Teknologi: Sebuah Konsekuensi High Tech Obsesi masyarakat Amerika untuk menyelesaikan masalahnya dengan lebih tepat, lebih cepat, dan lebih mudah, ternyata membuat mereka mulai kehilangan makna diri, sesama manusia, alam, dan waktu yang melingkupinya. Mereka mengejar kenikmatan, kemudahan, dan kenyamanan yang dipercaya mengekor high tech yang berlari kencang, sementara makna senantiasa terasa tertinggal di belakang, dalam teknologi dan cara hidup yang mulai usang. Masyarakat Amerika telah terperosok ke dalam zona dimana teknologi yang mereka kembangkan bergerak ke arah yang bertentangan dengan makna yang mereka cari. Naisbitt menyebutnya: Zona Mabuk Teknologi. Naisbitt mendiagnosis enam gejala yang muncul dalam masyarakat yang hidup dalam zona ini. Gejala pertama, yang langsung berakar dari karakter high tech, adalah menyukai penyelesaian masalah secara kilat. Ingin langsing? Konsumsilah pil XYZ secara berkala. Ingin kaya? MLM ABC akan membuat Anda menjadi miliarder, paling lama dalam lima tahun. Ingin menguasai ilmu ini dan itu? Ikutilah training quantum PQR. Takut ditolak kecengan baru? Tenang, ada tujuh langkah untuk mengantisipasinya, cari saja bukunya di Gramedia. Ingin masuk surga? Lilitkan C4 di tubuh Anda dan ledakkan di Hard Rock Cafe mana saja. Nah, Anda telah berjihad melawan Amerika! Gejala kedua, takut sekaligus memuja teknologi. Menjelang milenium baru, dunia gemetar membayangkan Y2K akan menggoncangkan sektor perbankan dan moneter, memandulkan sistem pertahanan, memutuskan hubungan komunikasi dan transportasi. Padahal sebelum dan sesudahnya, teknologi informasi dipercaya akan membuat jarak menjadi lebih dekat, pengetahuan lebih merata, dan hidup menjadi lebih sejahtera (ingat iklan layanan masyarakat PT Telkom tentang internet masuk desa). Dalam kasus lain, teknologi genetika membawa harapan akan musnahnya penyakit dan cacat bawaan. Di sisi lain, ia menghantui masyarakat dengan



kemungkinan munculnya diskriminasi genetik, tercerabutnya privasi, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Gejala ketiga, mengaburkan perbedaan antara yang nyata dan yang semu. Saat Anda mengajak bicara orang yang bermain game, mana yang lebih nyata baginya: Anda, atau cipratan darah, desingan peluru, dan ledakan bom dalam game-nya? Baginya, saat itu Anda tidak ada! Apakah Anda sedih saat peliharaan di tamagochi Anda mati? Mungkin Anda pernah tertipu dengan buah kayu dan bunga plastik. Tak lama lagi mungkin Anda akan jatuh cinta dengan gadis berlengan dan kaki plastik, berpayudara dan pinggul silikon, bermata fiberglass, berkulit polimer, berhidung, bertelinga dan berbibir karet, yang kecupannya sulit dibedakan dengan yang asli. Satu-satunya yang asli mungkin jiwanya. Gejala keempat, menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wajar. Karena sulitnya membedakan mana yang nyata dan semu, kekerasan hiperbolis dalam media dianggap sebagai realitas.Ksatria Baja Hitam versus Gorgom, Power Rangers versus Rita Repulsa, pegulat-pegulat dalam Smackdown, benar-benar dianggap (terutama oleh) anak-anak sebagai pertaruhan hidup dan mati, sesuatu yang heroik, kebenaran versus kejahatan. Anak yang menonton menjadi the good guy, masalahnya harus ada the bad guy bukan? Dan itu tidak mungkin orang yang lebih dewasa dari dia. Gejala kelima, mencintai teknologi dalam wujud mainan. Apa bedanya mainan dan gadget sehari-hari yang kita bawa? Anak perempuan minta dibelikan barbie model terbaru, yang segera dibuang begitu muncul model berikutnya. Pelajar, mahasiswa dan karyawan menabung untuk membeli ponsel model terbaru, yang segera dijual (untungnya bukan dibuang!) untuk membeli versi dengan fitur yang lebih baru. Kita mencintai aneka perkakas elektronik ketika ia masih baru dan penuh kejutan. Kita membenci dan membuangnya begitu ia rusak, atau mulai membosankan. Persis seperti mainan. Gejala keenam, menjalani kehidupan yang berjarak dan terenggut.  Dengan ponsel, kini kita bisa terhubung dengan siapa saja, pada setiap saat, di hampir setiap tempat.  Pertanyaannya, apa beda antara terhubung dan terganggu? Mengapa Anda mematikan ponsel pada saat-saat tertentu? Anda tidak ingin terganggu bukan? Akan tetapi bukankah dengan memiliki ponsel, Anda



diharapkan dapat dihubungi setiap saat oleh siapa pun? Pernah naksir dengan seseorang setelah melihat fotonya? Foto saat ia membaca, berpikir, tertawa, serius, tersenyum? Ingatlah, itu bukan dirinya. Itu hanya dirinya saat difoto. Orang hanya mau dipotret dari sisi yang mereka inginkan, dan ini seringkali membuat kita terhalang, berjarak dari menyelami pribadinya. Antara High Tech dan High Touch “Apa saja yang banyaknya memabukkan, maka yang sedikitnya adalah haram.” Demikian kurang lebih bunyi sebuah hadits tentang khamr. Tapi teknologi bukan khamr, meski bisa memabukkan. Mungkin teknologi itu lebih mirip air, yang bila diminum dua ember sekaligus memang akan memabukkan. Tanpa air tidak ada kehidupan yang bisa bertahan. Tanpa teknologi, masalah-masalah manusia tidak akan terselesaikan. Satu hal yang mendasar yang mungkin perlu terus diingat, adalah bahwa pencarian hidup yang nyaman tidak boleh membuat kita abai terhadap pencarian makna. Pertanyaannya, bagaimana agar idealita ini tercapai? Berdasarkan pembacaan saya, John Naisbitt lewat buku ini menceritakan tiga model interaksi dengan teknologi, sebagai usaha masyarakat Amerika menyeimbangkan high tech dan high touch. Tiga model ini adalah reaksi, antisipasi, dan ekspresi. Reaksi Model interaksi ini terkait dengan teknologi konsumen, yaitu teknologi yang digunakan dalam kegiatan konsumsi sehari-hari: alat komunikasi, peralatan rumah tangga, kendaraan, hiburan, mainan, makanan, minuman dan obatobatan. Teknologi-teknologi tersebut satu sisi menjanjikan kemudahan, kenyamanan, kesenangan, dan keterhubungan. Namun di  sisi lain, mereka juga menimbulkan ketergantungan (bisakah kini kita hidup tanpa listrik?),  kecanduan (betapa sulitnya meninggalkan acara TV dan game kesayangan),   keterasingan (bayangkan sebuah keluarga dengan pesawat televisi, PC, telepon dan internet di setiap kamar), pemborosan (begitu banyak perkakas yang perlu terus di-upgrade), dan kekerasan (ingat kasus Smackdown). Mereka yang sadar mencoba melepaskan teknologi-teknologi tersebut satu persatu. Saat buku ini ditulis, sekitar 10-12% penduduk Amerika mencoba menurunkan derap kehidupan mereka dengan tidak menggunakan kulkas,



ledeng, listrik, TV dan banyak lagi.  Sebagian melarikan diri ke alam dengan wisata petualangan, mulai dari yang paling aman (di bawah pengawasan guide berpengalaman), sampai yang paling ekstrem (seperti memanjat tebing tanpa alat bantu). Untuk menangkal pengaruh kekerasan dari media, anggota masyarakat yang tergerak mulai melakukan proses edukasi mengenai bahaya mainan dan tayangan yang sarat kekerasan. Di samping itu, mereka aktif melobi lembaga legislatif untuk memperketat pengawasan terhadap media, dan memejahijaukan sejumlah industri hiburan. Mengapa model interaksi ini dipakai? Karena teknologi konsumen berkembang perlahan-lahan selama bertahun-tahun, tanpa disadari apalagi diawasi. Karena teknologi konsumen amat tidak kontroversial. Karena itu semua, tindakan baru diambil setelah dampak teknologi ini menyengat banyak orang. Antisipasi Berbeda halnya dengan teknologi konsumen, teknologi genetika amatlah kontroversial. Kontroversi di seputar penggunaan teknologi genetika sangat luas. Kalangan ilmiah mempermasalahkan kemungkinan hilangnya keanekaragaman hayati, perubahan pada kolam gen umat manusia yang tidak dapat dibalikkan, di samping keraguan akan  keefektifan teknologi ini. Kalangan sosiolog mempermasalahkan peluang munculnya diskriminasi manusia berdasarkan adanya tidaknya gen penyebab penyakit, kesenjangan akses terapi gen antara yang kaya dan miskin, pemujaan manusia pada penampilan fisik, dan ide pemurnian ras manusia lewat eugenika (ilmu dan teknik untuk memperbaiki kualitas fisik dengan modifikasi gen). Dari sudut pandang teologis, terjadi perdebatan sengit seputar determinisme genetika: apakah karakter baik dan jahat itu ditentukan secara genetik atau tidak? Di samping itu, muncul pertanyaan-pertanyaan seputar apa efek reproduksi tanpa hubungan seksual bagi anak yang dilahirkan, dan apakah dengan mengutak-atik gen manusia mulai ‘menggantikan’ Tuhan? Dalam upaya merumuskan kesepakatan dan menyelesaikan perdebatanperdebatan ini, para ilmuwan biologi, agamawan, sosiolog dan filosof mulai tergerak untuk duduk di satu meja, berbagi pandangan dan asumsi. Salah satu bentuk kajian yang paling serius untuk menyelesaikan dilema-dilema



teknologi genetika, adalah disiplin baru dalam biologi: bioetika. Namun, ke depan dialog ini masih akan menemui hambatan-hambatan serius yang bersifat inheren, seperti asumsi tersembunyi mengenai ilmu yang dipegang kukuh kaum ilmuwan (materialisme ilmiah), dan perilaku kaum agamawan yang cenderung dogmatis (iman yang berakar pada penerimaan, bukan pembuktian) dan apologis (berusaha membela diri dengan mencoba menunjukkan bahwa keyakinan mereka mampu menjawab semua pertanyaan). Saya berpendapat, perdebatan etis dan teologis seputar teknologi genetika harus diselesaikan lewat dialog yang lebih besar: dialog sains dan agama. Sebab, agama adalah juga sistem etik (hubungan antara sesama manusia dan manusia dengan alam), bukan hanya teologis (hubungan Tuhan dengan manusia dan alam). Sementara itu, para seniman mengambil langkah yang berbeda dalam merespon teknologi genetika. Ekspresi Para seniman dunia Barat (khususnya Amerika), mencoba menangkap isu-isu yang berkembang di seputar perdebatan teknologi genetika dan mengekspresikan pendapat mereka lewat karya-karya seni. Karya-karya tersebut digolongkan Naisbitt ke dalam genre baru: specimen art. Karyakarya seni para seniman tersebut bercerita tentang tubuh atau bagian tubuh, seringkali dengan menghadirkannya secara langsung. Umumnya, hal ini dilakukan sebagai bentuk protes. Sebagai contoh, dalam rangka protes terhadap ide manusia ideal yang diusung oleh eugenika, Marc Quinn dan Damien Hirst, dua pematung asal Inggris, membuat cetakan tubuh Peter Hull, seorang atlet lempar lembing yang kehilangan kedua lengannya, dalam pose patung-patung Yunani klasik yang lazimnya memang dibuat tanpa lengan. Nancy Burson, fotografer wanita asal New York memotret anak-anak yang wajahnya terkena luka bakar atau cacat bawaan pada tengkorak wajahnya, dalam suasana bermain petak umpet, dan tertawa riang. Ketiga orang ini mencoba membawa pesan yang sama: bagaimanapun kondisi tubuhnya, manusia tetaplah manusia.



Masih banyak contoh karya lain, yang bila ditelaah mungkin agak absurd dan memuakkan, yang pada intinya mencoba mengajak masyarakat kembali bertanya apa arti menjadi manusia di tengah zaman high tech ini. Penutup Buku ini berbicara banyak tentang orang Amerika, namun saya sengaja menyisipkan banyak pertanyaan dan ilustrasi yang terjadi di negeri kita, Indonesia, yang sering dituding ‘under developed’. Tujuannya tidak lain agar kita semua melakukan refleksi, apakah kondisi di Amerika sana telah juga terjadi di sini? Apakah kita, setidaknya, tertarik untuk mendiskusikannya? Apakah kita siap menghadapi dampak teknologi? Diskusi ini mungkin masih akan terus berlanjut. Saya yakin ada yang memang tidak tertarik, capek, atau bosan mengikutinya. Tidak mengapa. Saya yakin, teknologi adalah sesuatu yang amat lekat dengan diri kita, dulu, sekarang dan masa depan, apapun latar belakang pendidikan kita. Di ITB terutama kita dididik untuk mendorong perkembangan teknologi tanpa diajari bagaimana mengendalikannya. Jikalau memang kekhawatiran-kekhawatiran mengenai dampak teknologi adalah ilusi semata, mungkin diskusi-diskusi tentang teknologi hanya buang-buang waktu. Namun, bila kekhawatiran-kekhawatiran tersebut terbukti, seberapa besar penyesalan kita kelak?