HIPERBILIRUBINEMIA Revisi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN HIPERBILIRUBINEMIA Disusun untuk memenuhi tugas laporan individu praktek profesi ners departemen keperawatan anak di Ruang NICU RSUD Sidoarjo



Oeh : Nama : Shella Ayu Wandira NIM



: 2108.14901.341



PROGRAM STUDI PROFESI NERS STIKES WIDYAGAMA HUSADA MALANG 2021



LAPORAN PENDAHULUAN A. Definisi Hiperbilirubinemia Hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar serum bilirubin dalam darah sehingga melebihi nilai normal. Pada bayi baru lahir biasanya dapat mengalami hiperbilirubinemia pada minggu pertama setelah kelahiran. Keadaan



hiperbilirubinemia



pada



bayi



baru



lahir



disebabkan



oleh



meningkatnya produksi bilirubin atau mengalami hemolisis, kurangnya albumin sebagai alat pengangkut, penurunan uptake oleh hati, penurunan konjugasi bilirubin oleh hati, penurunan ekskresi bilirubin, dan peningkatan sirkulasi enterohepatic (Rohsiswatmo & Amandito, 2018). Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana meningkatnya kadar bilirubin dalam darah secara berlebihan sehingga dapat menimbulkan perubahan pada bayi baru lahir yaitu warna kuning pada mata, kulit, dan mata atau biasa disebut dengan jaundice. Hiperbilirubinemia merupakan peningkatan kadar bilirubin serum yang disebabkan oleh salah satunya yaitu kelainan bawaan sehingga menyebabkan ikterus. Hiperbilirubinemia atau penyakit kuning adalah penyakit yang disebabkan karena tingginya kadar bilirubin pada darah sehingga menyebabkan bayi baru lahir berwarna kuning pada kulit dan pada bagian putih mata. Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan kadar bilirubin serum total yang lebih dari 10 mg/dl pada 24 jam pertama yang ditandai dengan tampaknya ikterik pada kulit, sklera, dan organ lain. Hyperbilirubinemia adalah suatu keadaan pada bayi baru lahir dimana kadar bilirubin serum total lebih dari 10 mg/dl pada 24 jam pertama kehidupan dengan ditandai adanya ikterik, keadaan ini terjadi pada bayi baru lahir yang disebut ikterik neonatus yang bersifat patologis atau yang lebih dikenal dengan hyperbilirubinemia yang merupakan suatu keadaan meningkatnya kadar bilirubindi dalam jaringan ekstra vaskuler sehingga konjungtiva, kulit, dan mukosa akan berwarna kuning. Keadaan tersebut juga berpotensi besar terjadi kern ikterus yang merupakan kerusakan otak akibat perlekatan bilirubin indirek pada otak.



B. Faktor Risiko Hiperbilirubinemia 1. faktor Bayi Faktor yang bisa memicu terjadinya ikterus neonatorum yaitu berat badan lahir < 2500 gram karena belum matangnya fungsi hati pada bayi untuk memproses eritrosit (sel darah merah). Metabolisme bilirubin pada neonatus berada dalam bentuk peralihan dari tingkat janin dimana plasma sebagai jalan utama pembuang bilirubin yang sudah larut dalam lipid, menjadi tingkat dewasa, dimana bentuk terkonjugasi dan larut didalam air dikelurkan oleh sel-sel hati kedalam sistem empedu untuk selanjutnya kedalam saluran pencernaan. Penyebab yang sering ditemukan disini yaitu hemolisis yang timbul akibat inkompatibilitas golongan darah AB-O atau difensi G6PD. Hemolisis



tersebut



dapat



timbul



akibat



perarahan



tertutup



(hematomcepal,perdarahan subaponeurotik) atau bisa juga disebut inkompabilitas darah RH (Wijaya & Suryawan, 2019). Bayi yang lahir dengan riwayat asfiksia, hal ini terjadi karena kurangnya asupan oksigen pada organ-organ tubuh neonatus, sehingga fungsi kerja organ tidak optimal. Asfiksia juga dapat mengakibatkan perubahan fungsi hati karena kurangnya oksigen. Glikogen yang dihasilkan tubuh di dalam hati berkurang, sehingga hal tersebut mengakibatkan terjadinya ikterus dalam jangka panjang. 2. Faktor ASI Hipotesis terbaru menunjukkan bahawa ikterus ASI yang terjadi sebenarnya akibat peningkatan jumlah glukronidase yang terkandung di dalam ASI, yang akan memicu peningkatan absorpsi bilirubin oleh usus, ikterus yang berhubungan dengan pemberian ASI suatu kejadian yang berbeda, tampak berhubungan dengan berhasil atau tidaknya proses menyusui pada bayi baru lahir. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa bayi baru lahir yang tidak menyusu dengan baik lebih cenderung memiliki kadar bilirubin yang lebih dari rata-rata dari pada yang menyusu dengan baik. Peningkatan kadar bilirubin yang berhubungan dengan ikterus ASI memerlukan terapi sinar dan penghentian pemberian ASI sementara. Ikterus yang berhubungan dengan ASI biasanya bersifat sementara.



Pemberian ASI awal yang tidak sesuai dikaitkan dengan pengurangan asupan kalori, penurunan berat badan yang drastis dan peningkatan bilirubin serum yang tinggi dalam hari pertama kehidupan. Kurangnya asupan kalori dapat meningkatkan sirkulasi enterohepatik dan mekanisme menyusui yang sesuai diperkirakan mengurangi intensitas kenaikan bilirubin didalam kehidupan awal yaitu karena pengeluaran mekonium awal dari saluran pencernaan sehingga dapat mencegah sirkulasi bilirubin dari saluran pencernaan melalui portal sistem ke sirkulasi sistemik. Komposisi yang terkandung di dalam ASI akan mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan bayi pada setiap saat yaitu kolostrum (ASI awal) pada hari ke empat hingga ketujuh dilanjutkan dengan ASI peralihan dari munggu ketiga sampai minggu keempat, selanjutnya ASI matur, ASI yang keluar dari permulaan menyusui (foremilk = susu awal) bereda dengan ASI yang keluar pada akhir menyusui (bindmilk/susu akhir). ASI yang diproduksi ibu yang melahirkan premature/kurang bulan komposisi yang terkandung di dalam ASI tersebut berbeda dengan ASI yang dihasilkan oleh ibu melahirkan cukup bulan. Selain itu ASI juga mengandung zat pelindung yang bisa melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi. 3. Faktor Ibu Neonatus yang mengalami ikterik, sebagaian besar lahir pada umur kehamilan aterm, ibu dengan multipara, ibu melahirkan dengan usia



29-35



tahun,



jarak



persalinan



≥2



tahun,



lahir



secara



normal/spontan. 4. Faktor Lain Faktor lain yang bisa memicu yaitu hipoksia atau anoksia, dehidrasi, hipoglikemia, polisitemia, usia sel darah merah yang sedikit akibat imaturitas, dapat memicu peningkatan sirkulasi hepatik infeksi. Setiap faktor yang dapat menurunkan jumlah enzim atau yang mengakibatkan penurunan kadar bilirubin oleh sel-sel hati (cacat genetic dan prematuritas) dapat meningkatkan ikterus. Peningkatan kadar bilirubin bisa juga disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu infeksi, kelainan sel darah merah, dan toksin dari luar tubuh, serta dari tubuh itu sendiri.



C. Etiologi Hiperbilirubinemia Hiperbilirubinemia disebabkan oleh peningkatan produksi bilirubin karena tingginya jumlah sel darah merah, dimana sel darah merah mengalami pemecahan sel yang lebih cepat. Selain itu, hiperbilirubinemia juga dapat disebabkan karena penurunan uptake dalam hati, penurunan konjugasi oleh hati, dan peningkatan sirkulasi enterohepatik (Astarian, 2021). Kejadian ikterik atau hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir disebabkan oleh disfungsi hati pada bayi baru lahir sehingga organ hati pada bayi tidak dapat berfungsi maksimal dalam melarutkan bilirubin ke dalam air yang selanjutkan disalurkan ke empedu dan diekskresikan ke dalam usus menjadi urobilinogen. Hal tersebut meyebabkan kadar bilirubin meningkat dalam plasma sehingga terjadi ikterus pada bayi baru lahir. Menurut (Augurius et al., 2021) secara garis besar etiologi ikterus atau hiperbilirubinemia pada neonatus dapat dibagi menjadi : 1. Produksi bilirubin yang berlebihan. Hal ini melebihi kemampuan neonatus untuk mengeluarkan zat tersebut. Misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis 2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini dapat disebabkan oleh asidosis, hipoksia, dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom crigglerNajjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar. 3. Gangguan transportasi bilirubin. Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak. 4. Gangguan dalam ekskresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar. Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.



D. Manifestasi Klinis Hiperbilirubinemia Menurut (Iswanti1 et al., 2021) bayi baru lahir dikatakan mengalami hiperbilirubinemia apabila tampak tanda-tanda sebagai berikut : 1. Sklera, selaput lendir, kulit atau organ lain tampak kuning akibat penumpukan bilirubin 2. Terjadi pada 24 jam pertama kehidupan 3. Peningkatan konsentasi bilirubin 5mg/dL atau lebih setelah 24 jam 4. Konsentrasi bilirubin serum 10 mg/dL pada neonatus cukup bulan dan 12,5 mg/dL pada neonatus kurang bulan 5. Ikterik yang disertai proses hemolisis 6. Ikterik yang disertai berat badan lahir kurang dari 2000 gram, masa gestasi



kurang dari 36



minggu,



hipoksia,



sindrom



gangguan



pernafasan, infeksi trauma lahir kepala, hipoglikemia, hiperkarbia. E. Klasifikasi Hiperbilirubinemia Uji Kramer Menurut Kramer, ikterus dimulai dari kepala, leher dan seterusnya. Untuk penilaian icterus, Kramer membagi tubuh bayi baru lahir dalam lima bagiam yang dimulai dari kepala dan leher, dada sampai pusat, pusat bagian bawah sampai tumit, tumit pergelangan kaki dan bahu pergelangan tangan dan kaki serta tangan termasuk telapak kaki dan telapak tangan. Cara pemeriksaannya ialah dengan menekan jari telunjuk di tempat yang tulangnua menonjol seperti tulang hidung, tulang dada, lutut dan lainlain. Kemudian penilaian kadar bilirubin dari tiap-tiap nomor disesuaikan dengan angka rata-rata dalam gambar. Cara ini juga tidak menunjukkan intensitas icterus yang tepat didalam plasma bayi baru lahir. Nomor urut menunjukkan arah meluasnya icterus



Derajat ikterus



Daerah ikterus



Perkiraan kadar bilirubun



I



Kepala dan leher



5,0 mg%



II



Sampai badan atas (di atas



9,0 mg%



sumbilikus) III



Sampai



badan



bawah



11,4 mg/dl



(dibawah umbilicus) hingga tungkai atas (diatas lutut) IV



Sampai



lengan,



tungkai



12,4 mg/dl



Sampai telapak tangan dan



16,0 mg/dl



bawah lutut V



kaki



Bilirubin Ensefalopati dan Kernikterus Istilah bilirubin ensefalopati lebih menunjukkan kepada manifestasi klinis yang mungkin timbul akibat efek toksis bilirubin pada system syaraf pusat yaitu basal ganglia dan pada berbagai nuclei batang otak. Sedangkan istilah kern icterus adalah perubahan neuropatologi yang ditandai oleh deposisi pigmen bilirubin pada beberapa daerah diotal terutama di ganglia basalis, pons dan serebelum 1. Fisiologis Pada bayi baru lahir kadar bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke-3 sampai 5 kehidupan dengan kadar bilirubin 5-6 mg/dL, dan akan menurun kembali pada minggu pertama setelah lahir. Pada ikterus fisiologis tersebut bervariasi sesuai dengan prematuritas, ras, dan faktor – faktor lain. Sebagai contoh misalnya bayi ras cina lebih cenderung memiliki kadar puncak bilirubin maksimal pada hari ke 4 dan ke 5 setelah kelahiran bayi tersebut, faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir meliputi



peningkatan



kadar



bilirubin



karena



polisitemia



relatif,



pemendekan masa hidup eritrosit, peningkatan sirkulasi enterohepatik. Menurut Maulida (2014), klasifikasi fisiologis adalah : a. Warna kuning pada kulit dan sclera akan timbul pada hari ke-2 atau ke-3, dan terlihat jelas pada hari ke 5-6, dan menghilang pada hari ke-10



b. Bayi terlihat biasa, bisa minum/menyusu dengan baik, dan berat badan bisa mengalami peningkatan/baik c. Kadar bilirubin serum pada bayi cukup bulantidak lebih dari 1 mg/dL. Dan pada BBLR 10 mg/dL, dan akan hilang pada hari ke14 setelah kelahiran Ikterus normal yang terjadi pada bayi baru lahir, dan tidak mempunyai dasar patologis sehingga tidak berpotensi menjadi kern ikterus. Kadar bilirubin direk tidak lebih dari 1 mg%, dan tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis. 2. Patologis Hiperbilirubinemia patologis atau biasa disebut dengan ikterus pada bayi baru lahir akan muncul dalam 24 jam pertama setelah bayi dilahirkan. Pada hiperbilirubinemia patologis kadar serum bilirubin total akan meningkat lebih dari 5 mg/dL per hari. Pada bayi cukup bulan, kadar serum bilirubin akan meningkat sebanyak 12 mg/dL sedangkan pada bayi kurang bulan (premature) kadar serum bilirubin total akan meningkat hingga 15 mg/dL. Ikterus biasanya berlangsung kurang lebih satu minggu pada bayi cukup bulan dan lebih dari dua minggu pada bayi kurang bulan. Menurut Maulida (2014) klasifikasi patologis yaitu : a. Ikterus akan muncul dalam 24 jam pertama kehidupan, serum bilirubin total lebih dari 12 mg/dl b. Peningkatan kadar bilirubin 5 mg/dl atau lebih dari 24 jam c. Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg/dl pada bayi ≤ 37 minggu (BBLR) dan 12,5 mg/dl pada bayi yang sudah cukup bulan d. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD), dan sepsis). Ikterus yang disertai berat bayi lahir kurang 2500 gram, masa gestasi kurang dari 36 minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom, gangguan



pernafasan,



infeksi,



hipoglikemia,



hipokapnia,



hiperosmolatitas darah. 3. Kern Ikterus Kern Ikterus adalah ensefalopati bilirubin yang biasanya sering ditemukan pada neonatus cukup bulan dengan ikterus berat (bilirubin indirek tidak lebih dari 20 mg%) dan disertai penyakit hemolitik berat



pada autopsy diketahui bercak bilirubin pada otak. Kern ikterus secara klinis berbentuk kelainan saraf spatis yang terjadi secara kronik. Pada kern icterus adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum, thalamus, nucleus subtalamus, hipokampus, nucleus merah dan nucleus pada dasar ventriculus IV. 4. Ikterus Hemolitik Hal ini bisa muncul karena disebabkan oleh inkompatibilitas rhesus, golongan darah AB-O golongan darah lain, kelainan eritrosit kengenital, atau defisiensi enzim G6PD 5. Ikterus Obstruktif Obstruktif dalam penyaluran empedu dapat terjadi didalam hepar dan luar hepar. Akibat obstruktif ini terjadi penumpukan bilirubin tak terkonjugasi. Bila kadar bilirubin terkonjugasi melebihi 1 mg% maka kita harus curiga adanya hal-hal yang bisa menyebabkan obstruksi saluran empedu. Dalam menghadapi hal seperti ini sangat penting untuk diperiksa kadar bilirubin serum, tak terkonjugasi dan terkonjugasi selanjutnya apakah terdapat bilirubin air kencing dan tinja. F. Patofisiologi Hiperbilirubinemia Bilirubin di produksi sebagian besar (70-80%) dari eritrosit yang telah rusak. Kemudian bilirubin indirek (tak terkonjugasi) dibawa ke hepar dengan cara berikatan dengan albumin. Bilirubin direk (terkonjugasi) kemudian diekskresikan melalui traktus gastrointestinal. Bayi memiliki usus yang belum sempurna, karna belum terdapat bakteri pemecah, sehingga pemecahan bilirubin tidak berhasil dan menjadi bilirubin indirek yang kemudian ikut masuk dalam aliran darah, sehingga bilirubin terus bersirkulasi. Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Neonatus mempunyai kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan syaraf pusat dan bersifat toksik. Pigmen kuning ditemukan di dalam empedu yang terbentuk dari pemecahan hemoglobin oleh kerja heme oksigenase, biliverdin, reduktase, dan agen pereduksi non enzimatik dalam sistem retikuloendotelial. Setelah



pemecahan hemoglobin, bilirubin tak terkonjugasi diambil oleh protein intraseluler “Y protein” dalam hati. Pengambilan tergantung pada aliran darah hepatik dan adanya ikatan protein. Bilirubin tak terkonjugasi dalam hati diubah atau terkonjugasi oleh enzim asam uridin disfoglukuronat (uridine disphoglucuronid acid) glukurinil transferase menjadi bilirubin mono dan diglucuronida yang polar, larut dalam air (bereaksi direk). Bilirubin yang terkonjugasi yang larut dalam air dapat dieliminasi melaui ginjal. Dengan konjugasi, bilirubin masuk dalam empedu melaui membran kanalikular. Kemudian ke sistem gastrointestinal dengan diaktifkan oleh bakteri menjadi urobilinogen dalam tinja dan urine. Beberapa bilirubin diabsorbsi kembali menjadi sirkulasi enterohepatik. Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi kemampuan hati untuk mengekskresikan bilirubin yang telah diekskresikan dalam jumlah normal. Selain itu, hiperbilirubinemia juga dapat disebabkan oleh obstruksi saluran ekskresi hati. Apabila konsentrasi bilirubin mencapai 2 – 2,5 mg/dL maka bilirubin akan tertimbun di dalam darah. Selanjutnya bilirubin akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian akan menyebabkan kuning atau ikterus. Warna kuning dalam kulit akibat dari akumulasi pigmen bilirubin yang larut lemak, tak terkonjugasi, non polar (bereaksi indirek). Pada bayi dengan hiperbilirubinemia kemungkinan merupakan hasil dari defisiensi atau tidak aktifnya glukoronil transferase. Rendahnya pengambilan dalam hepatik kemungkinan karena penurunan protein hepatik sejalan dengan penurunan darah hepatik.



G. Web of Caution Hiperbilirubinemia Hemoglobin



Globin



Hem Fe co Biliverdin



Peningkatan destruksi eritrosit (gangguan konjugasi bilirubin/gangguan transport bilirubin/peningkatan siklus entero haptic) Hb dan eritrosit abnormal Pemecahan berlebihan/bilirubin yang tidak diberikan dengan albumin Suplay bilirubin melebihi kemampuan hepar Hepar tidak mampu melakukan konjugasi Sebagian masuk kembali ke siklus entero hepatik Peningkatan bilirubin unconjugasi dalam darah menyebabkan pengeluaran meconium terlambat/obstruksi usus yang membuat tinja berwarna pucat Gangguan integritas kulit



Ikterus pada sklera, leher dan badan, peningkatan bilirubin indirect > 12 mg/dL Indikasi fototerapi



Risiko Cedera



Sinar dengan intensitas tinggi



Hipovolemia Ikterik neonatus



Termoregulasi tidak efektif



H. Komplikasi Hiperbilirubinemia Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir apabila tidak segera diatasi dapat mengakibatkan bilirubin encephalopathy (komplikasi serius). Pada keadaan lebih fatal, hiperbilirubinemia pada neonates dapat menyebabkan kern ikterus, yaitu kerusakan neurologis, cerebral palsy, dan dapat menyebabkan retardasi mental, hiperaktivitas, bicara lambat, tidak dapat mengoordinasikan otot dengan baik, serta tangisan yang melengking. Menurut American Academy of Pediatrics (2004) dalam (Novianti et al., 2018) manifestasi klinis kern ikterus pada tahap kronis bilirubin ensefalopati, bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa bentuk atheoid cerebral palsy yang berat, gangguan pendengaran, paralisis upward gaze, dan dysplasia dental enamel. Kern ikterus merupakan perubahan neuropatologi yang ditandai oleh deposisi pigmen bilirubin pada beberapa daerah otak terutama di ganglia basalis, pons, dan cerebellum. Bilirubin ensefalopati akut terdiri dari tiga fase, yaitu : 1. Fase inisial, ditandai dengan letargis, hipotonik, berkurangnya gerakan bayi, dan reflek hisap yang buruk 2. Fase intermediate, ditandai dengan moderate stupor, iritabilitas, dan peningkatan tonus (retrocollis dan opisthotonus) yang disertai demam 3. Fase lanjut, ditandai dengan stupor yang dalam atau koma, peningkatan tonus, tidak mampu makan, high-pitch cry, dan kadang kejang. I.



Pemeriksaan Penunjang Hiperbilirubinemia 1. Kadar bilirubin serum total Pemeriksaan bilirubin serum total pada bayi merupakan penegakan diagnose ikterus neonatorum dan juga untuk menentukan adanya intervensi lebih lanjut. Pemeriksaan serum bilirubin total perlu dipertimbangkan karena hal tersebut merupakan tindakan invasif dan dianggap bisa meningkatkan morbiditas neonatus. 2. Bilirubinometer transkutan Bilirubinometer adalah spektrofotometrik dengan prinsip kerja yang memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya (panjang gelombang 450 nm). Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang diperiksa.



3. Tranfusi pengganti Digunakan untuk mengatasi anemia akibat eritrosit yang rentan terhadap antibodi eritrosit maternal, menghilangkan eritrosit yang tersensitisasi, mengeluarakn bilirubin serum, meningkatkan albumin yang masih bebas bilirubin dan untuk meningkatkan kekbalan daya tahan tubuh. J. Penatalaksanaan Hiperbilirubinemia Tata laksana awal ikterus neonatorum (WHO) (Maternity, Anjani, Blomed, & Evrianasari, 2018): 1. Mulai dengan sinar fototerapi bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat 2. Tentukan apakah bayi memiliki faktor faktor kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis 3. Ambil contoh darah dan periksalah kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan golongan darah bayi dan lakukan tes coombs 4. Bila kadar bilirubin serum dibawah nilai yang di butuhkannya maka hentikan pemberian sinar fototerapi 5. Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya sinar fototerapi, maka lakukan sinar fototerapi 6. Bila faktor rhesus dan golongan darah AB-O bukan penyebab hemolisis atau bila memungkinkan 7. Tentukan diagnosis hyperbilirubinemia Cara mengatasi Hiperbilirubin : 1. Pemberian fenobarbital Mempercepat



proses



konjugasi,



(pemberian



fenobarbital



diberikan 1-2 hari sebelum ibu melahirkan). Fenobarbital dapat bekerja sebagai perangsang enzim sehingga konjugasi bisa dipercepat. Pengobatan dengan cara ini tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48 jam dan baru terjadi penurunan hiperbilirubin yang berarti, mungkun bermanfaat pada ≤ 2 hari sebelum kelahiran bayi (Manggiasih & Jaya, 2016 ).



2. Pemberian Substrat Memberikan



substrat



yang



kurang



untuk



transportasi



inkonjugasi pemberian albumin. Contohnya yaitu pemberian albumin untuk meningkatkan kadar bilirubin bebas. Albumin dapat diganti dengan plasma dengan dosis 30mg/kg BB. Pemberian glukosa perlu untuk konjugasi hepar sebagai sumber energi. 3. Fototerapi Fototerapi merupakan tindakan yang efektif untuk mencegah kadar total bilirubin serum (TSB) meningkat. Uji klinis pada fototerapi ini



telah



divalidasi



hiperbilirubinemia



tak



kemajuan



fototerapi



terkonjugasi



yang



dalam



mengurangi



berlebihan,



dan



implementasinya mengalami perubahan secara drastis membatasi tranfusi tukar. Penelitian menunjukkan bahwa ketika fototerapi belum dilakukan, 36% bayi dengan berat kelahiran ≤ 1500 gram memerlukan tranfusi tukar. Sinar fototerapi yang diberikan adalah sinar yang konvensional. Sumber sinar yang digunakan memiliki spesifikasi, lampu fluorescent 4 buah merk Philips dengan kekuatan masing-masing 20 watt, panjang gelombang yang digunakan 420-470 um, intensitas cahaya 10 W/cm2, jarak antara bayi dan sumber sinar 30 cm, dan dan digunakan alas linen putih pada basinet atau incubator dan tirai di sekitar daerah unit sinar fototerapi untuk memantulkan cahaya sebanyak mungkin kepada bayi, terapi sinar diberikan secara berkelanjutan dan hanya dihentikan pada saat bayi menyusus atau dimandikan. 4. Tranfusi Tukar Tranfusi tukar dilakukan akan dilakukan apabila terapai sinar tidak berhasil dalam mengendalikan kadar bilirubin. Tranfusi tukar merupakan cara yang dilakukan dengan tujuan untuk mencegah peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Pemberian tranfusi tukar dilakukan apabila kadar bilirubin 20mg/dL, kenaikan pada kadar bilirubin yang cepat yaitu 0,3-1 mg/jam, anemia berat dengan gejala gagal jantung dan kadar hemoglobin tali pusat 14 mg/dL, dan uji coombs direk menyatakan hasil yang positif.



Menurut (Maulida, 2014) inilah cara melaksanakan tranfusi tukar diantaranya yaitu : a. Dianjurkan pasien bayi puasa 3-4 jam sebelum tranfusi tukar b. Pasien bayi sebelum di lakukan tranfusi tukar disiapkan didalam kamar khusus c. Pasang lampu pemanas dan arahkan kepala bayi d. Baringkan pasien bayi dalam keadaan terlentang, buka pakaian pada daerah perut, dan tutup mata bayi dengan kain yang tidak tembus cahaya e. Lakukan tranfusi tukar dengan protap f.



Lakukan observasi keadaan umum pasien, catat jumlah darah yang keluar dan masuk



g. Atur posisi setiap 6 jam h. Lakukan pengawasan adanya perdarahan pada tali pusat i.



Periksa kadar hemoglobin dalam kadar bilirubin pada pasien setiap 12 jam.



5. Pemberian ASI ASI merupakan sumber energi makanan terbaik bagi bayi selain mengandung komposisi yang cukup sebagai nutrisi bagi bayi, pemberian ASI juga dapat meningkatkan dan lebih menambah kasih sayang antara ibu dan dengan bayi itu sendiri, serta meningkatkan daya kekebalan tubuh bagi bayi. Pemberian ASI yang sering, bilirubin yang dapat menyebabakan terjadinya ikterus akan dihancurkan dan dikeluarkan melalui urine, oleh sebab itu, pemberian ASI sangat baik dan dianjurkan untyuk mencegah terjadinya ikterus pada bayi baru lahir (BBL) (Herawati & Indriati, 2017). K. Asuhan Keperawatan Hiperbilirubinemia 1. Pengkajian Keperawatan a. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pada bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia meliputi : 1) Pemeriksaan Umum a) Keadaan umum : tingkat keparahan penyakit, kesadaran, status nutrisi, postur/aktivitas anak, dan temuan fisis sekilas



yang prominen dari organ/sistem, seperti ikterus, sianosis, anemi, dispneu, dehidrasi, dan lain-lain b) Tanda vital : suhu tubuh, laju nadi, tekanan darah, dan laju nafas c) Data antropometri : berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, tebal lapisan lemak bawah kulit, serta lingkar lengan atas. 2) Pemeriksaan Organ a) Kulit : warna, ruam kulit, lesi, petekie, pigmentasi, hiper/hipohidrolisis, dan angiektasis b) Kepala : bentuk, ubun-ubun besar, sutura, keadaan rambut, dan bentuk wajah apakah simestris kanan atau kiri c) Mata : ketajaman dan lapangan penglihatan, hipertelorisme, supersilia,



silia,



esksoptalmus,



strabismus,



nitagmus,



miosis, midriasis, konjungtiva palpebra, sclera kuning, reflek cahaya



direk/indirek,



dan



pemeriksaan



retina



dngan



funduskopi d) Hidung : bentuk, nafas cuping hidung, sianosis, dan sekresi e) Mulut dan tenggorokan : warna mukosa pipi/lidah, ulkus, lidah kotor berpeta, tonsil membesar dan hyperemia, pembengkakan dan perdarahan pada gingival, trismus, pertumbuhan/ jumlah/ morfologi/ kerapatan gigi f)



Telinga : posisi telinga, sekresi, tanda otitis media, dan nyeri tekan



g) Leher : tiroid, kelenjar getah bening, skrofuloderma, retraksi, murmur,bendungan vena, refluks hepatojugular, dan kaku kuduk h) Thorax : bentuk, simetrisisitas, pembengkakan, dan nyeri tekan i)



Jantung : tonjolan prekordial, pulsasi, iktus kordis, batas jantung/kardiomegali. Getaran, bunyi jantung, murmur, irama gallop, bising gesek perikard (pericard friction rub)



j)



Paru-paru



:



Simetrsitas



static



dan



dinamik,



pekak,



hipersonor, fremitus, batas paru-hati, suara nafas, dan bising gesek pleura (pleural friction rub)



k) Abdomen : bentuk, kolteral, dan arah alirannya, smiling umbilicus, distensi, caput medusa, gerakan peristaltic, rigiditas, nyeri tekan, masa abdomen, pembesaran hati dan limpa, bising/suara peristaltik usus, dan tanda-tanda asites l)



Anogenetalia : atresia anus, vesikel, eritema, ulkus, papula, edema skrotum



m) Ekstremitas : tonus/trofi otot, jari tabuh, sianosis, bengkak dan nyeri otot/tulang/sendi, edema pretibial, akral dingin, capillary revill time, cacat bawaan. b. Pemeriksaan Diagnostik 1) Pemeriksaan bilirubin serum Pada bayi cukup bulan, kadar bilirubin mencapai puncak kirakira 6 mg/dL, antara 2 dan 4 hari kehidupan. Apabila nilainya diatas 10 mmg/dL maka dikatakan hiperbilirubinemia non fisiologis atau patologis. Pada bayi dengan kurang bulan, kadar bilirubin mencapai puncaknya pada nilai 10 – 12 mg/dL, antara lima dan tujuh hari kehidupan. Apabila nilainya diatas 14 mg/dL maka dikatakan hiperbilirubinemia non fisiologis atau patologis. 2) Ultrasonograf (USG) Pemeriksaan USG digunakan untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu. 3) Radioscope Scan Pemeriksaan



radioscope



scan



dapat



digunakan



untuk



membantu membedakan hepatitis atau atresia biliary 2. Diagnosa Keperawatan a. Ikterik Neonatus berhubungan dengan kesulitan transisi ke kehidupan ekstra uterin dibuktikan dengan profil darah abnormal (>12mg/dL), membrane mukosa kuning, kulit kuning, sklera kuning (D.0024) b. Termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan proses penyakit dibuktikan dengan kulit hangat, suhu tubuh fluktuatif, frekuensi napas meningkat (D. 0149)



3. Intervensi Keperawatan Diagnosa



Tujuan dan kriteria hasil



Intervensi Keperawatan



Keperawatan Ikterik



Neonatus Setelah



berhubungan dengan



Tindakan FISIOTERAPI



ikterik



membaik Observasi



ke dengan kriteria hasil :



kehidupan



1. Monitor



ekstra Adaptasi neonatus (L. 10095) dibuktikan



dengan profil darah



1. Membran mukosa kuning cukup menurun 2. Kulit kuning cukup menurun



(>12mg/dL),



3. Sklera mukosa



kuning, kulit kuning, sklera (D.0024)



kuning



menurun



kuning



ikterik



pada



skelera dan kulit bayi 2. Identifikasi



kebutuhan



cairan sesuai dengan usia



abnormal



membrane



NEONATUS



keperawatan selama 1×24 jam (I.03091)



kesulitan diharapkan



transisi



uterin



dilakukan



cukup



gestasi dan berat badan 3. Monitor



efek



samping



fisioterapi Terapeutik 1. Siapkan lampu fisioterapi dan incubator atau kotak bayi 2. Lepaskan



pakaian



bayi



kecuali popok 3. Berikan



penutup



mata



(eye protector/ billiband) pada bayi



Perawatan bayi (I.10338) Observasi 1. Monitor tanda tanda vital bayi Terapeutik 1. Mandikan



bayi



dengan



suhu ruangan 21-24 oC 2. Mandikan



bayi



dalam



waktu 5-10 menit dan 2 kali dalam sehari 3. Rawat tali pusat secara terbuka (tali pusat tidak di



bungkus apapun) 4. Bersihkan



pangkal



tali



pusat lidi kapas yang telah diberi air matang 5. Kenakan popok bayi di bawah umbilicus jika tali pusat belum terlepas 6. Lakukan pemijatan bayi 7. Ganti



popok



bayi



jika



basah 8. Kenakan pakaian bayi dari bahan katun Edukasi 1. Anjurkan



ibu



menyusui



sesuai kebutuhan bayi 2. Ajarkan ibu cara merawat bayi dirumah Termoregulasi tidak Setelah



dilakukan



tindakan Regulasi Temperatur (I.14578)



efektif berhubungan keperawatan selama 1×24 jam Observasi dengan penyakit



proses diharapkan termoregulasi membaik



stabil (36,5OC-37,5OC)



dibuktikan dengan kriteria hasil :



dengan kulit hangat, Termoregulasi neonatus (L.14135) suhu tubuh fluktuatif,



1. Suhu tubuh cukup menurun



frekuensi



2. Suhu kulit cukup menurun



napas



meningkat (D. 0149)



3. Frekuensi menurun



nadi



1. Monitor suhu bayi sampai



cukup



2. Monitor suhu tubuh anak tiap dua jam, jika perlu 3. Monitor



tekanan



darah,



frekuensi pernapasan dan nadi 4. Monitor warna dan suhu kulit 5. Monitor dan catat tanda dan gejala hipotermia atau hipertemia Terapeutik 1. Pasang



alat



pemantau



suhu kontinu, jika perlu 2. Tingkatkan asupan cairan



dan nutrisi yang adekuat 3. Bedong



bayi



segera



setelah



lahir



untuk



mencegah



kehilangan



panas 4. Masukkan bayi BBLR ke dalam



plastic



segera



setelah lahir (mis. bahan polyethylene, polyurethane) 5. Gunakan topi bayi untuk mencegah



kehilangan



panas pada bayi baru lahir 6. Tempatkan bayi baru lahir dibawah radiant warmer 7. Pertahankan



kelembaban



incubator 50% atau lebih untuk



mengurangi



kehilangan panas karena proses evaporasi 8. Atur suhu incubator sesuai kebutuhan 9. Hangatkan terlebih dahulu bahan-bahan



yang



akan



kontak dengan bayi (mis. selimut,



kain



bedongan,



stetoskop) 10. Hindari meletakkan bayi di dekat jendela terbuka atau di area aliran pendingin ruangan atau kipas angin 11. Gunakan



matras



penghangat, selimut hangat dan penghangat ruangan untuk



menaikkan



tubuh, jika perlu



suhu



12. Sesuaikan suhu lingkungan dengan kebutuhan pasien Edukasi 1. Jelaskan



cara



pencegahan karena



hipotermi



terpapar



udara



dingin 2. Demonstrasikan perawatan kanguru



teknik metode



(PMK)



untuk



BBLR Kolaborasi 1. Kolaborasi



pemberian



antipiretik, jika perlu



4. Implementasi Keperawatan Implementasi



yang



diberikan



untuk



mengatasi



masalah



keperawatan ikterik neonatus pada bayi hiperbilirubineia adalah fototerapi, fototerapi diberikan jika kadar bilirubin dari suatu senyawa tetrapirol yang sulit larut dalam air menjadi senyawa dipirol yang mudah larut dalam air, dan dikeluarkan melalui urine, tinja, sehingga kadar bilirubin menurun. Fototerapi dapat menimbulkan dekomposisi bilirubin dari suatu senyawa tetrapirol yang sulit larut dalam air menjadi senyawa dipirol yang mudah larut dalam air dan cairan empedu duodenum dan menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu kedalam usus sehingga peristaltic usus menngkat dan bilirubin akan keluar dalam feses 5. Evaluasi Keperawatan Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Berdasarkan kriteria hasil dalam perencanaan keperawatan diatas adalah sebagai berikut : a) Kadar bilirubin tidak menyimpang dari rentang normal (35 minggu di Indonesia; pemeriksaan dan tatalaksana terkini. Sari Pediatri, 20(2), 115. https://doi.org/10.14238/sp20.2.2018.115-22 Wijaya, F. A., & Suryawan, I. W. B. (2019). Faktor risiko kejadian hiperbilirubinemia pada neonatus di ruang perinatologi RSUD Wangaya Kota



Denpasar.



Medicina,



https://doi.org/10.15562/medicina.v50i2.672



50(2),



357–364.