Hkum4307 Hukum Persaingan Usaha [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Bolce
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Sesi 1 MenurutAndaapakah Indonesia perlumempunyaisuatuaturanhukumkhusus yang mengaturtentangpersainganusaha (UU no 5 tahun 1999), lalumengapa?Diskusikan Jawab : UU No. 5 Tahun 1999 sebagaimanadiaturpadaPasal 2 bahwa "Pelakuusaha di Indonesia dalammenjalankankegiatanusahanyaberasaskandemokrasiekonomidenganmemperhatikankeseimbanganantarkepen tinganpelakuusahadankepentinganumum". Adapuntujuandari UU No.5 Tahun 1999 sebagaimanadiaturpadaPasal 3 adalahuntuk: 1. Menjagakepentinganumumdanmeningkatkanefisiensiekonominasionalsebagaisalahsatuupayauntukmeningk atkankesejahteraanrakyat. 2. Mewujudkaniklimusaha yang kondusifmelaluipengaturanpersainganusaha yang samabagipelakuusahbesar, pelakuusahamenengahdanpelakuusahakecil. 3. Mencegahpraktikmonopolidan/ataupersainganusahatidaksehat yang ditimbulkanolehpelakuusaha, dan 4. Terciptanyaefektivitasdanefisiensidalamkegiatanusaha Jaditerkaitdiskusidiatas, sangatdiperlukansuatuaturanhukumkhusus yang mengaturtentangpersainganusaha, Meskipuntelahbanyakkemajuan yang dicapaiselama Pembangunan JangkaPanjangPertama, yang ditunjukkanolehpertumbuhanekonomi yang tinggi, tetapimasihbanyak pula tantanganataupersoalan, khususnyadalampembangunanekonomi yang belumterpecahkan, SUMBER : HKUM4307/ MODUL 1



Sesi 2 Apakahsemuabentukpraktekmonopoliitumerugikanmasyarakatdankonsumen, apakahadaperusahanmonopoli yang tidakmerugikankonsumendanmasyarakat? Diskusikandanberikancontohnya



Jawab : Secaraumum, latarbelakanglahirnya UU No. 5 Tahun 1999 tentangLaranganPraktikMonopolidanPersaingan Usaha tidaksehatdibagidalatntigabagian, yaitu: a) LandasanYuridis DalampembukaanUndang-UndangDasar 1945, jelastermaktubbahwatujuanpembangunannasionaladalah "melindungisegenapbangsadanseluruhtumpahdarah Indonesia, memajukankesejahteraanumum, mencerdaskankehidupanbangsa, sertaikutmelaksanakanketertibandunia yang berdasarkankemerdakaan, perdamaianabadi, dankeadilan sosial."47 b) LandasanSosio-Ekonomi Secarasosio- ekonomi, lahirnya UU No. 5 Tahun 1999 tentangLaranganPraktikMonopolidanPersaingan Usaha TidakSehatadalahdalamrangkanuntukmenciptakanlandasanekonomi yang kuatuntuktneniptakanperekonomian yang efisienddan "bebas" daridistorsipasar. c) LandasanPolitisdanInternasional SecarahubunganInternasional, lahirdanberlakunya UU No. 5 Tahun 1999 jugamerupakankonsekuensiatasdiratifikasinyaperjanjian Marrakesh oleh DPR denganUndang-Undang No. 7 Tahun 1974 yang mengharuskan Indonesia membukadiridantidakbolehmemberikanperlakuandiskriminatif, sepertipemberianproteksiterhadap entry harrier suatuperusahaandanadanyatekanan IMF yang telahmenjadikreditorbagi Indonesia dalamrangkamembatasikrisismoneter yang telahdahsyatmelandadanmenjadikanterpuruknyaekonomi Indonesia secaraluas. PraktikmonopoliMenurut UU No. 5 Tahun 1999, pengertianmonopoliadalah "penguasaanatasproduksidan/ataupemasaranbarangdan/atauataspenggunaanjasatertentuolehsuatupelakuusahaata usatukelompokpelakuusaha."Adapunpraktikmonopolidijelaskan "pemusatankekuatanekonomiolehsatuataulebihpelakuusaha yang mengakibatkandikuasainyaproduksidan/ataupemasaranatasbarangdan/ataujasatertentusehinggamenimbulkanpersai nganusahatidaksehatdandapatmerugikankepentinganumum.. Perusahaan yang melakukanmonopoliyang berasaldariBUMN, pemberiannegaraseperti yang termaktubdalamPasal 33 UUD 1945 yang selanjutnya di lindungioleh UU danperaturan di bawahnya. Contohnya, pada Perusahaan listriknegara, Pertamina, Pelni, dansebagainya Jadi,semuabentukpraktekmonopolidapatmerugikanmasyarakatdankonsumen. Karenamonopolidapatdilakukandengancaramenimbunbarangdanterjadikelangkaandipasardengantujuanuntukmenaik kanhargabarang. sehinggaPemerintahmembuatUndang-Undang No.5 Tahun 1999 tentangLaranganPraktekMonopolidanPersaingan Usaha Tidaksehat SUMBER : HKUM4307 .



Sesi 3 Menurut Anda, apakah pendekatan ‘Rule of Reason’ yang digunakan dalam pasal 26 UU no 5 tahun 1999 tentang Jabatan Rangkap sudah tepat? Jelaskan dan diskusikan. Jawab : Pendekatan Rule Of Reason adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan kegiatan yang dianggap sebagai



per se illegal biasanya meliputi penetapan harga secara kolusif atas produk tertentu, serta pengaturan harga penjualan kembali. Pendekatan per se illegal harus memenuhi dua syarat, yakni pertama, harus ditujukan lebih kepada " perilaku bisnis " daripada situasi pasar, karena keputusan melawan hukum dijatuhkan tanpa disertai pemeriksaan lebih lanjut, misalnya mengenai akibat dan hal-hal melingkupinya. Hal ini adalah adil jika perbuatan ilegal tersebut merupakan tindakan sengaja oleh perusahaan, yang seharusnya dapat dihindari. Kedua, adanya identifikasi secara cepat dan mudah mengenai praktik atau batasan perilaku yang terlarang. Dengan perkataan lain, penilaian atas tindakan dari perilaku baik di pasar maupun dalam proses pengadilan harus dapat ditentukan dengan mudah. Meskipun demikian diakui bahwa terdapat perilaku yang terletak dalam batas-batas yang tidak jelas antara perilaku terlarang dan perilaku yang sah. Sebab penerapan per se illegal yang berlebih dapat menjangkau perbuatan yang sebenarnya tidak merugikan bahkan mendorong persaingan. Dalam UU No. 5 Tahun 1999, pendekatan per se biasanya digunakan pada pasal yang menyatakan dengan kalimat " dilarang " tanpa kalimat tambahan " yang dapat mengakibatkan " atau dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, sebagaimana yang disyaratkan dalam pendekatan Rule of Reason. . Pada Pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999 tidak melarang secara mutlak suatu perusahaan untuk merangkap suatu jabatan baik sebagai direksi atau komisaris di perusahaan lain. Jabatan rangkap dilarang apabila terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat baik secara horizontal ataupun vertikal. Berdasarkan pendekatan rule of reason, apabila terdapat alasan yang dapat membenarkan, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu pelanggaran, tetapi terdapat hukum persaingan usaha. Salah satu alasan yang dapat membenarkan yaitu rangkap jabatan adalah sebagai alat untuk mengakses dan bertukar informasi dengan tujuan terciptanya efisiensi dalam kegiatan usaha perusahaan. Jadi, sebaiknya pendekatan Rule Of Reason tetap diterapkan pada Pasal 26. Kelebihan pendekatan Rule Of Reason, menggunakan analisis ekonomi untuk mencapai efisiensi guna mengetahui dengan pasti apakah suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi kepada persaingan. Sehingga dengan akurat menetapkan suatu tindakan pelaku usaha efisien atau tidak. Namun ini membutuhkan waktu yang panjang dalam membuktikan perjanjian, kegiatan, dan posisi tidak sehat dan menghambat persaingan usaha. Pendekatan ini menjadikan kepastian hukum lama didapat, dan terkadang hasil yang di dapatkan berbeda dengan aslinya SUMBER : BMP HKUM4307/ HUKUM PERSAINGAN USAHA/ Pedoman Jabatan Rangkap sesuai ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999



Sesi 4 Boikot adalah tindakan mengorganisasi suatu kelompok untuk menolak hubungan usaha dengan pihak tertentu atau tidak berhubungan dengan Pesaing yang lain, seperti para supplier ataupun juga konsumen-konsumen tertentu. Mengapa menurut Anda boikot ini perlu diatur dalam hukum persaingan usaha dan apakah boikot ini selalu mengakibatkan persaingan tidak sehat? Jawab : Boikot adalah tindakan mengorganisasi suatu kelompok untuk menolak hubungan usaha dengan pihak tertentu atau tidak berhubungan dengan pesaing-pesaing yang lain seperti kepada para suplier ataupun konsumen-konsumen tertentu. Dengan kata lain, boikot adalah suatu tindakan bersama yang dilakukan oleh sekelompok pengecer yang menolak membeli produk usaha tertentu karena alasan yang mereka tidak sukai. Pemboikotan secara kolektif dianggap hambatan yang sangat serius karena menghalangi pesaing atau pembeli untuk membeli atau menjual barang dan jasa. Halangan penjualan secara kolektif mengancam kebebasan pembeli saat itu dan pembeli potensial untuk memilih bagi pemasok. Dan selanjutnya mengancam kebebasan pemasok sekarang dan pemasok potensial untuk memilih diantara pembeli-pembeli. Sehubungan dengan Pemboikotan tersebut, ada dua macam Perjanjian yang dilarang oleh Pasal 10 Undang – Undang No. 5 Tahun 1999, yaitu: 1. Perjanjian yang dapat menghalangi pelaku usaha lain (pihak ketiga) untuk melakukan usaha yang sama; dan 2. Perjanjian untuk menolak menjual setiap barang dan/atau jasa dari pelaku usaha lain (pihak ketiga) Sejak diundangkan dan berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat hingga saat ini, ketentuan pemboikotan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 belum pernah digunakan untuk menjatuhkan sanksi kepada pelaku usaha. Fenomena ini terkesan ironis, mengingat bahwa pemboikotan termasuk salah satu bentuk pelanggaran atas suatu syarat paling penting dalam persaingan usaha sehat yaitu terdapat tindakan yang mengurangi kebebasan pelaku usaha untuk masuk ke dalam suatu pasar . Oleh karena itu, perlu disusun Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat. Undang-undang ini memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umum, serta sebagai implementasi dari semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945. serta peraturan pelaksananya dapat berjalan efektif sesuai asas dan tujuannya, maka perlu dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha, yaitu Lembaga Independen yang terlepas dari pengaruh Pemerintah dan pihak lain, yang berwenang melakukan pengawasan persaingan usaha dan menjatuhkan sanksi. Sanksi tersebut berupa tindakan administratif, sedangkan sanksi pidana adalah wewenang pengadilan.



Sumber ; HKUM4307, Modul 4/ Buku Pedoman Kepatuhan Persaingan Usaha



Sesi 5 Perilaku/Praktek jual rugi (Predatory Pricing) dalam jangka pendek akan menguntungkan Konsumen karena mendapatkan harga murah, namun dalam jangka Panjang akan merugikan konsumen. Setujukah Anda, jelaskan pendapat Anda dan Diskusikan. Jawab : Sangat Setuju, Karena Dalam jangka pendek, jual rugi sangat menguntungkan konsumen. Praktik ini adalah upaya untuk memaksimalkan keuntungan dan menutup kerugian yang ditimbulkan ketika melakukan jual rugi atau harga rendah. penetapan harga yang sangat rendah, yang termasuk limit pricing strategy diidentifikasikan dengan keinginan pelaku usaha monopolis atau dominan untuk melindungi posisinya dengan cara melakukan pemotongan harga secara substansial atau melakukan peningkatan produksi secara signifikan. Perilaku ini dimaksud agar tidak memberi kesempatan atau daya tarik pada pelaku usaha baru untuk masuk ke dalam industri sehingga pelaku usaha monopolis mempertahankan posisi dominannya. Perilaku/ Praktik jual rugi (Predatory Pricing), pada uraian diatas diatur dalam Pasal 20, dengan pendekatan Rule of Reason Berdasarkan pendekatan Rule Of Reason, adalah meskipun suatu perbuatan telah memenuhi ketentuan Dalam Peraturan Perundang - Undangan, namun jika ada alasan - alasan yang wajar, maka perbuatan tersebut bukan merupakan pelanggaran hukum. Penerapan hukumnya bergantung pada akibat yang ditimbulkan, apakah perbuatan tersebut telah menimbulkan praktek monopoli atau tidak. Pendekatan Rule Of Reason ini digunakan dalam pengaturan Predatory Pricing ini, karena dapat mengakomodir kegiatan Predatory Pricing yang sebetulnya berada dalam “ grey area ‟ ( wilayah abu-abu ) antara legalitas dan illegalitas. Hal ini karena disisi lain terdapat juga bentuk kegiatan Predatory Pricing yang mendukung perekonomian Negara dan berpengaruh positif terhadap Praktek Persaingan Usaha, sehingga kegiatan tersebut berpeluang untuk diperbolehkan.



Sumber : BMP HKUM4307, Modul 5/ Materi Inisiasi 5/ Jurnal Sehat.



Sesi 6 Posisi Dominan diatur dalam UU no 5 tahun 1999 dan dalam pasal 25 ayat 2 disebutkan tentang kriteria posisi dominan, yaitu satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha yang memiliki 50% atau lebih pangsa pasar dan dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau lebih pangsa pasar. Bagaimana pendapat Anda dengan adanya kriteria pangsa pasar tersebut diatas, apakah sudah tepat atau bisa menghambat pelaku usaha untuk bisa tumbuh berkembang menjadi lebih besar karena ada nya ketakutan akan melanggar aturan hukum persaingan? Diskusikan. Jawab : Posisi dominan atau menjadi lebih unggul di pasar bersangkutan adalah menjadi salah satu tujuan pelaku usaha. Oleh karena itu, setiap pelaku usaha berusaha menjadi lebih unggul (market leader) pada pasar yang bersangkutan. Penguasaan posisi dominan di dalam hukum persaingan usaha (HPU) tidak dilarang, sepanjang pelaku usaha tersebut dalam mencapai posisi dominannya atau menjadi pelaku usaha yang lebih unggul (market leader) pada pasar yang bersangkutan atas kemampuan sendiri dengan can yang fair. UU No. 5/1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (UU No. 5/1999) tidak melarang pelaku usaha menjadi perusahaan besar. UU No. 5/1999 justru mendorong pelaku usaha untuk dapat bersaing pada pasar yang bersangkutan. Persaingan inilah yang memacu pelaku usaha untuk melakukan efisiensi dan inovasiinovasi untuk menghasilkan produk yang menghasilkan produk yang lebih berkualitas dan harga yang kompetitif dibandingkan dengan kualitas produk dan harga jual dari pesaingnya. Persaingannya yang mendorong pelaku usaha menjadi pelaku usaha yang dominan. Dalam perspektif ekonomi, posisi dominan adalah posisi yang ditempati oleh perusahaan yang memiliki pangsa pasar terbesar. Dengan pangsa pasar yang besar tersebut perusahaan memiliki market power. Dengan market power tersebut, perusahaan dominan dapat melakukan tidakan/ strategi tanpa dapat dipengaruhi oleh perusahaan pesaingnya. Dalam UU No. 5/1999, posisi dominan didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti atau suatu pelaku usaha mempunyai posisi lebih tinggi daripada pesaingnya pada pasar yang bersangkutan dalam kaitan pangsa pasarnya, kemampuan keuangan, akses pada pasokan, atau penjualan serta kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 5/1999 tersebut menetapkan syarat atau parameter posisi dominan. Dari ketentuan Pasal 1 angka 4 tersebut dapat disimpulkan terdapat 4 syarat yang dimiliki oleh suatu pelaku usaha sebagai pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan. Yaitu pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti atau pelaku usaha mempunyai posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya di pasar yang bersangkutan dalam kaitan : 1. Pangsa pasarnya 2. Kemampuan keuangan 3. Kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, dan 4. Kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Terkait pertanyaan diatas menurut saya, Penentuan ada atau tidaknya posisi dominan sepenuhnya mengacu kepada pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dengan batasan pangsa pasar pelaku usaha dominan yaitu sebesar 50% atau lebih untuk satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha dan 75% atau lebih untuk dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha. karena dimana rasio pangsa pasar pelaku usaha yang bersangkutan mencapai lebih dari 50% ( individual ) dan atau 75% (kolektif), maka dapat dikatakan bahwa kondisi posisi dominan



telah terpenuhi. apabila kondisi rasio pangsa pasar bersangkutan menunjukkan angka dibawah kriteria batasan pangsa pasar tersebut, maka unsur pasal 25 ayat 2 dinyatakan tidak terpenuhi. Dalam Pasal 25 UU No 5/1999, perilaku penyalahgunaan posisi dominan telah dinyatakan secara eksplisit dalam ayat (1). Pasal 25 ayat (1) UU No.5 Tahun 1999 menyatakan bahwa terdapat 3 (tiga) jenis perilaku penyalahgunaan posisi dominan, sebagai berikut: 1. Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas atau 2. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi. 3. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan Akan tetapi di dalam praktiknya KPPU telah menerapkan ketentuan Pasal 25 ayat tersebut dengan pendekatan Rule



Of Reason. Hal ini untuk menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 4, Pasal 13, Pasal 17 dan Pasal 18 UU No. 5/1999 yang menggunakan pendekatan Rule Of Reason dalam penerapannya. Secara praktis jika Pasal 25 diterapkan dengan pendekatan per se, maka akan membatasi pertumbuhan (perkembangan) pelaku usaha yang efisien dan inovatif serta kompetitif di pasar yang bersangkutan. Penafsiran serta penerapan seperti ini memang akan memicu perdebatan diantara KPPU dengan praktisi hukum yang menginginkan ketentuan Pasal 25 diterapkan sesuai dengan ketentuan Pasal 25 tersebut tanpa perlu mengintetpretasikan lebih lanjut. Akan tetapi harus dilihat prinsip clan tujuan hukum persaingan usaha, yaitu bukan untuk menghambat persaingan tetapi untuk mendorong persaingan usaha. Jadi, pelaku usaha yang dapat bersaing dengan sehat dan melakukan efisiensi dan inovasi serta dapat menjadi lebih unggul atau mempunyai posisi dominan lebih dari pada yang ditetapkan di dalam Pasal 25 tidak seharusnya dilarang. Karena ketentuan Pasal 4, Pasal 13, pasal 17, dan Pasal 18 menetapkan diduga dapat melakukan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, apabila satu pelaku usaha atau saw kelompok pelaku usaha menguasai pangsa pasar lebih dari 50% dan apabila dua atau tiga pelaku usaha atau saw kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar. Ketentuan-ketentuan tersebut bersifat rebuttable. Ketentuan ini tidak melarang satu pelaku usaha untuk meningkatkan usahanya (pencapaian pangsa pasarnya) kalau sudah mencapai pangsa pasar lebih dari 50%, katakanlah menguasai pangsa pasar 55% dan untuk dua atau tiga pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha mencapai lebih dari 75% (katakanlah 80%), asalkan pcncapaian pangsa pasar tcrscbut dicapai dengan persaingan usaha sehat atau fair. Sumber : HKUM4307, Modul 6/ DRAFT Pedoman Pasal 25 Tentang Larangan Penyalahgunaan Posisi Dominan



Sesi 7



Menurut Anda apakah sudah tepat ‘Perjanjian Internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia’ dikecualikan dalam aturan hukum persaingan / pasal 50 (f) UU no 5 tahun 1999? Diskusikan Jawab : Hukum Persaingan adalah elemen esensial sehingga dibutuhkan adanya Undang-Undang sebagai " code of



conduct" bagi pelaku usaha untuk bersaing di pasar sesuai dengan aturan Undang-Undang. Negara berkepentingan bahwa kebijakan persaingan adalah ditujukan untuk menjaga kelangsungan proses kebebasan bersaing itu sendiri yang diselaraskan dengan freedom of trade ( kebebasan berusaha ), freedom of choice ( kebebasan untuk memilih ) dan access to market ( terobosan memasuki pasar ). Undang-Undang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ( UU No.5 Tahun 1999 ) juga bertujuan untuk meningkatkan efisiensi nasional melalui pengalokasian sumber daya dengan berlandaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Di samping tujuan tersebut, sesuai dengan Pancasila dan UUD'45 secara eksplisit UU No.5 Tahun 1999 juga menegaskan bahwa ada kebijakan persaingan yang berorientasi pada jaminan kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil. Oleh sebab itu kebijakan persaingan (competition policy) suatu negara dalam penegakan Hukum Persaingan akan sangat menentukan efektif berlakunya Undang-Undang Hukum Persaingan. Kebijakan ini diterjemahkan dengan mempertimbangkan industri manakah yang perlu diregulasi atau industri manakah yang terbuka untuk bersaing. Pada umumnya kebijakan persaingan dipengaruhi oleh berbagai pertimbangan misalnya : adanya perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), perdagangan, perlindungan terhadap usaha kecil atau menengah serta kepentingan nasional terhadap perekonomian yang dikelola oleh badan-badan usaha milik negara (BUMN). Hukum Persaingan juga mengenal adanya pengecualian (exemption) untuk menegaskan bahwa suatu aturan Hukum dinyatakan tidak berlaku bagi jenis pelaku tertentu ataupun perilaku/ kegiatan tertentu. Oleh sebab itu diperlukan adanya suatu acuan yang dipergunakan untuk pengecualian apakah suatu kegiatan, industri/ badan, pelaku usaha yang bagaimanakah yang dikecualikan dari Pengaturan Hukum Persaingan. Pemberian pengecualian dalam Hukum Persaingan umumnya didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain : 1. Adanya instruksi atau perintah dari UUD. 2. Adanya instruksi atau perintah dari UU ataupun peraturan perundangan lainnya 3. Instruksi atau pengaturan berdasarkan regulasi suatu badan administrasi Instruksi UUD'45 yang dengan jelas maka dengan diberlakukannya UU No.5 tahun 1999, pengecualian diberlakukan sebagai bagian dari Undang-Undang yang melingkupi berbagai aspek : 1. Pengaturan monopoli alamiah yang dikelola oleh Negara 2. Pengecualian terhadap perbuatan atau kegiatan 3. Pengecualian terhadap perjanjian tertentu 4. Pengecualian terhadap pelaku usaha tertentu32 KKPU berpendapat bahwa tujuan pengecualian dalam Pasal 50 huruf (a) ditunjuk untuk: 1. Menyeimbangkan kekuatan ekonomi yang tidak sama, misalnya kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha kecil dalam rangka meningkatkan kekuatan penawarannya ketika menghadapi pelaku usaha yang memiliki kekuatan ekonomi lebih kuat. Dalam kasus yang demikian terhadap pelaku usaha kecil, dapat diberikan pengecualian dalam penerapan Hukum Persaingan Usaha.



2. Menghindari terjadinya kerancuan dalam penerapan UU No.5 Tahun 1999 apabila terjadi konflik kepentingan yang sama-sama ingin di wujudkan melalui kebijakan yang diatur dalam berbagai Peraturan PerundangUndangan. 3. Mewujudkan kepastian hukum dalam penerapan Peraturan Perundang-Undangan, misalnya Pengecualian Bagi beberapa kegiatan lembaga keuangan untuk mengurangi risiko dan ketidakpastian. Sektor keuangan perlu dijaga stabilitasnya, mengingat pentingnya peran sektor keuangan dalam proses pengembangan ekonomi. 4. Melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2), (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksana atas ketentuan UU No.5 tahun 1999, berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (1) ditentukan pula pembentukan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) dengan Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawasan Persaingan Usaha. UU No.5 tahun 1999 mengatur beberapa ketentuan anima lain yang berkaitan dengan : 1. Perjanjian yang dilarang. 2. Kegiatan yang dilarang. 3. Posisi dominan 4. Sanksi terhadap pelanggar ketentuan yang diatur.



Sumber : HKUM4307, Modul 8



Sesi 8 Menurut Pendapat Anda apakah penegakan hukum persaingan/anti monopoli di Indonesia melalui UU no 5 tahun 1999 sudah efektif dalam menciptakan perekonomian Indonesia yang lebih baik, serta bagaimana peran KPPU dalam penegakan dalam perlindungan hukum persaingan di Indonesia. Jelaskan. Jawab : Penegakan Hukum Persaingan/Anti Monopoli Di Indonesia Melalui UU No 5 Tahun 1999 Undang-Undang Persaingan Usaha telah banyak memberi manfaat pada perkembangan perekonomian Indonesia. keadaan pasar Indonesia menjadi Iebih berkembang dan persaingan antar pelaku usaha menjadi Iebih sehat, karena praktek-praktek monopoli mulai berkurang. Masyarakat sebagai konsumen pun Iebih diuntungkan karena masyarkat dapat Iebih bebas memilih produk-produk mana yang sesuai dengan kebutuhan dan daya beli mereka. Sejak berlakunya UU No. 5 tahun 1999, terjadi perubahan sistem perekonomian di Indonesia yang semula banyak kegiatan ekonomi didasarkan pada kolusi, korupsi, dan nepotisme, sehingga banyak kegiatan ekonomi yang dimonopoli oleh kelompok tertentu, berubah menjadi sistem ekonomi yang didasarkan pada prinsip-prinsip persaingan yang sehat . Penegakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, tidak hanya menjadi tugas KPPU tapi juga menjadi tugas aparat penegak hukum yang lain yaitu kejaksaan, kepolisian, hakim dan pengacara. UU No. 5 tahun 1999 juga semakin dipahami baik oleh akademisi, pelaku usaha, parktisi maupun hakim. Namun demikian, terdapat juga banyak kritikan akan berbagai kekurangan yang ada dalam UU tersebut. Dimana terdapat permasalahan - permasalahan yang disebabkan karena ketidak jelasan dan ketidak lengkapan dari UU No. 5 Tahun 1999 itu sendiri. Jika ditinjau dari dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, subjek hukum di dalam perjanjian - perjanjian yang dilarang yang dalam hal ini ialah kartel “ pelaku usaha ”. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan yang dimaksudkan dengan “ pelaku usaha ” adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Berdasarkan perumusan yang diberikan Pasal 1 angka 5 tersebut, subjek hukum didalam Kartel bisa berupa orang perseorangan atau badan usaha yang berbadan hukum atau bukan badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara. Badan usaha yang dimaksud adalah badan usaha yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia. Praktek kartel yang dilakukan pelaku usaha dengan badan usaha asing, pada umumnya menghasilkan keuntungan yang besar. Keuntungan yang besar tersebut tidak sebanding dengan jumlah pidana denda yang dikenakan kepada pelaku praktek kartel. Pengenaan sanksi terhadap pelaku praktek kartel pada saat ini masih belum efektif dikarenakan meskipun banyak pengenaan sanksi baik berupa sanksi administratif, sanksi pidana pokok maupun sanksi pidana tambahan tidak juga mengurangi jumlah kasus praktek kartel di Indonesia. Sebagaimana data yang di peroleh bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam sebulan paling tidak menerima 50 laporan yang sebagian besar adalah kasus kartel. Hal ini juga dikarenakan sanksi terberat yang dikenakan yakni pidana denda, jumlahnya tidak sebanding dengan keuntungan yang diterima apabila para pelaku usaha tersebut melakukan praktek Kartel. Menurut Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H, faktor-faktor yang memengaruhi ketaatan terhadap hukum, yang juga beberapa faktor yang diakui oleh C.G. Howard dan R.S Mumners dalam bukunya yang berjudul “ Law: Its Nature and



Limits, ialah sanksi yang diancamkan oleh aturan hukum itu, harus dipadankan dengan sifat aturan hukum yang dilanggar tersebut. Suatu sanksi yang dapat dikatakan tepat untuk suatu tujuan tertentu, belum tentu tepat untuk tujuan lain. “ Berat ringannya sanksi yang diancamkan dalam aturan hukum, harus proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan. Sanksi yang terlalu ringan untuk suatu jenis kejahatan, tentunya akan berakibat, warga masyarakat tidak akan segan untuk melakukan kejahatan tersebut. Jadi menurut saya, penegakan Hukum Persaingan/anti monopoli di Indonesia melalui UU no 5 tahun 1999 dikatakan belum efektif. Dimana dalam pembatasan praktek kartel di Indonesia dikarenakan terdapat pasal - pasal yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi masyarakat saat ini, diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Mengenai pengertian “ pelaku usaha ” yang tidak mencakup badan usaha asing yang memungkinkan untuk melakukan praktek kartel dengan pelaku usaha di Indonesia sehingga tidak dapat dijerat dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini. 2. Mengenai sanksi yang dipandang relatif ringan yang jumlahnya tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh para pelaku usaha. Hal ini dapat dilihat dari banyak contoh kasus yang terjadi di lapangan. Hal ini tentu saja menyebabkan pelaku kartel tidak mengindahkan larangan praktek kartel ini yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 3. Mengenai perumusan Rule of reason dalam pasal 11 tentang kartel, menyulitkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam hal pembuktian karena banyak pelaku kartel yang bersembunyi dibalik asosiasi-asosiasi dengan nama tertentu sehingga kesulitan untuk mendapatkan data sebagai bukti adanya praktek kartel yang sebagian besar berada ditangan para pelaku usaha. Ketidak efektifnya ini disebabkan pembuatan Undang -Undang ini dilakukan secara cepat dan masih minimnya ahli Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Apabila diteliti secara mendalam, maka sebenarnya diperlukan revisi Undang -Undang, revisi terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat khususnya pasal - pasal yang sudah tidak relevan dengan perkembangan masyarakat saat ini. Hukum Persaingan Usaha Indonesia yang didasarkan pada UU No. 5 tahun 1999 yang menyatakan semua perbuatan dan kegiatan yang menyebabkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagai perbuatan yang dapat dikenakan sanksi administrative sekaligus juga dapat diperiksa berdasarkan tindak pidana oleh Kepolisian Republik Indonesia. Namun demikian kalaupun melakukan Revisi Undang –Undang tersebut, mungkin akan memakan waktu yang lama, maka mengingat pentingnya peran Undang - Undang ini. setidaknya dapat melakukan perubahan beberapa pasal yang sangat penting dan perlu segera dilakukan perubahan, diantaranya menyangkut subjek dari UU No. 5 tahun 1999, yaitu dengan memasukkan pelaku usaha di luar negeri yang menimbulkan dampak pada perekonomian Indonesia sebagai subjek Hukum Persaingan Usaha Indonesia. Persoalan lain yang juga perlu dilakukan perubahan adalah merubah post merger notifikasi menjadi premerger notifikasi untuk mencegah terjadinya kerugian bagi pelaku usaha, masyarakat maupun Negara. Perubahan juga perlu dilakukan mengenai hukum acara, baik mengenai proses beracara maupun menyangkut alat bukti dalam Hukum Acara Persaingan Usaha. Hal lain yang juga tidak kalah pentingnya adalah mengenai status KPPU dalam sistim ketatanegaraan kita, serta sekretariat sebagai pendukung pelaksanaan tugas - tugas KPPU.



Peran KPPU dalam Penegakan Perlindungan Hukum Persaingan Di Indonesia Berdasarkan Pasal 30-37 UU No. 5 Tahun 1999 dengan tegas mengamanatkan berdirinya suatu komisi yang independen yang disebut dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU berdiri berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 75 Tahun 1999. KPPU adalah lembaga yang tepat untuk menyelesaikan persoalan persaingan usaha yang mempunyai peran multifunction dan keahlian sehingga dianggap mampu menyelesaikan dan mempercepat proses penanganan perkara. Sebagaimana amanat UU No. 5 Tahun 1999, KPPU mempunyai kewenangan yang sangat luas, meliputi wilayah eksekutif, yudikatif, legislatif, serta konsultatif. Oleh karena itu, lembaga ini disebut memiliki kewenangan konsultatif, yudikatif, legislatif, dan eksekutif. Sebagai suatu lembaga independen, dapat dikatakan bahwa kewenangan yang dimiliki Komisi sangat besar yang meliputi juga kewenangan yang dimiliki oleh lembaga peradilan. Kewenangan tersebut meliputi penyidikan, penuntutan, konsultasi, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Peranan KPPU melalui komisi yang dibentuknya dalam menegakakan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah mengambil tindakan sesuai dengan wewenang komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36 Khususnya melakukan tindakan sebagai berikut: 1. Melakukan penyelidikan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh komisi sebagai hasil dari penelitiannya 2. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adnya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat 3. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan UndangUndang ini namum tidak sampai pada tindakan eksekusi mengingat KPPU bukan lembaga peradilan. 4. Eksekusi keputusan KPPU yang mempunyai kekuatan hukum tetap, KPPU harus meminta pelaksanaannya kepada Pengadilan Negeri, demikian juga untuk keputusan KPPU yang mengandung unsur pidana maka KPPU harus menyerahkan putusan itu kepada penyidik.



Sumber : Jurnal Dinamika Hukum Vol. 9 No. 1 Januari 2009/ HKUM4307, Modul 9/ Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019/ Jurnal Ilmiah Analisis Efektivitas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Pembatasan Praktek Kartel Di Indonesia