Hukum Ghusalah 1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Jika di depan air ada tempat tinggi yang menahannya dari mengalir, maka hukumnya adalah sama seperti air yang tidak mengalir. Kesimpulannya adalah apabila ada najis mengenai air, maka air itu dihukumi sebagai air mutanajjis ini menurut ijma ulama. Apabila ada air mengenai najis, maka air itu juga menjadi mutanajjis. 4. hukum ghusalah Ghusalah ialah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadast atau menghilangkan kotoran najis, baik najis hukmi ataupun najis haqiqi. Menurut pendapat jumhur selain ulama madzhab hanafi, hukum ghusalah adalah bersih jika epat yang dibasuh itu bersih. Adapun menurut para fugaha, maka ada tiga uraian terperinci sebgaai berikut. Ulama madzhab hanafi berpendapat bahwa ghusalah (air basuhan najis) terbagi kepada dua jenis: ghusalah najis haqiqi dan ghusalah najis hukmi, yaitu hadast. Ghusalah najis hukmi ialah air musta’mal, dan menurut zhahir ar-riwayat ia di hukumi bersih, tetapi tidak menyucikan. Artinya, ia tidak boleh digunakan untuk berwudhu. Akan tetapi menurut pendapat yang rajah, ia boleh digunakan untuk menghilangkna najis haqiqi. Air musta’mal ialah air yang telah terpisah dari badan dan berkumpul di suatu empat. Namun apabila air itu masih berada pada anggota yang menggunakannya, maka ia tidak dinamakan sebagai musta’mal. Suatu air hanya akan menjadi musta’mal apabila digunakan untuk mengangkat hadast ataupun sebab niat untuk mengerjakan ibadah mendekatkan diri kepada allah swt seperti shalat biasa, sahalat jenazah, memasuki masjid, menyentuh mushaf al-quran, membaca, dan lain-lain. Oleh sebab itu, jika seseorang itu berhadast, maka air itu akan menjadi air musta’mal tanpa khilaf.karena terdapat dua sebab, yaitu terangkatnya hadast dan mengerjakan ibadah. Tetapi jika seorang itu belum berhadast, maka menurut pendapat ulama madzhab hanafi selain zufar, ia juga akan menjadi musta’mal karena wudhu dianggap sebagai suatu cahaya di atas satu cahaya yang lain. Menurut pendapat zufar, ia tidak akan menjadi air musta’mal karena tidak terdapat sebab yang mengangkat hadast. Tetapi jika wudhu ataupun mandi itu semata-mata bertujuan untuk mendinginkan badan dan orang tersebut belum berhadast, maka ia tidak kan menjadi air musta’mal. Ghusalah najis haqiqi ialah air basuh najis yang berubah keadaanya apabila berpisah dari tempat basuhan,yaitu berubah rasa,warna, ataupun baunya. Atau air basuhan najis apabila tempat basuhan itu belum bersih, umpamanya air itu berpisah dari tempat basuhan sesudah basuhan tiga kali berturut-turut yang dugunakan untuk membasuh najis yang tidak



dapat dilihat wujudnya. Karena semua najis itu berpindah kepada air itu, dan tidak ada bagioan air yang bersih dari najis. Tidak boleh menggunakan ghusalah kecuali untuk air minum, membersihkan tanah yang basah, memberi minum, binatang, dan seumpamanya.tetapi jika air itu telah berubah rasa, warna, ataupun bau,, maka perubahan ini menunjukkan bahwa najis tersebut mendominasi air itu. Dalam hal ini ia sama dengan hokum air kencing. Jika belum berubah maka boleh digunakan karena apabila air tidak berubah, maka hal ini menunjukkan bahwa najis itu belum mendominasi kebersihan air. Hukum mengunakan sesuatu yang bukan termasuk najis ‘ain pada keseluruhan bagiannya adalah boleh. Ulama madzhab maliki berpendapat jika ghuslah itu berubah rasa, warna, bau, maka ia dihukum mutanajis jika tempat (yang di basuh) masih ada najis. Tetapi jika tempat (ynag di basuh itu) bersih, maka ghusalah itu dihukumi bersih. Tidak boleh menggunakan air mutanajis dalam semua urusan. Menurut pendapat yang azhar di kalangan ulama m,adzhab syafi’I ghusalah yang sedikit dihukumi bersih apabila berpisah dari tempat yang di absuh itu juga telah menjadi bersih, kar5ena air yang masih ada di tempat yamg di basuh adalah sebagian yang tertinggal. Tetapi jika ghusalah yang berpisah dari tempat yang dibasuh itu terkena najis, maka sudah tentu tempat yang telah dibasuh itu turut terkena najis. Adapaun ghuslah yang banyak, maka ia dihukumi bersih selagi ia tidak berubah meskipun tempat yang di basuh bersih.artinya ghusalah yang sedikit yang sudah terpisah dari tempat yang dibasuh dihukumi bersih, tetapi tidak menyucikan apabila tidak berubah rasa, warna, ataupun baunya, di samping tidak bertambah beratnya sesudah dikira kadar air yang diserap oleh baju dan kadar kotoran yang keluar dari kain itu, dan juga tempat yang dibasuh sudah menjadi bersih. Namun sekiranya ia berubah, bertambah beratnya, belum bersih tempat yang dibasuh, maka ia dihukumi mutanajis sama seperti hukum tempat yang bersih. Dengan ini, maka jelas



bahwa hukum



ghusalah adalah sama seprti hukum tempat yang di basuh secara mutlak. Oleh sebab itu, apabila tempat yang di basuh itu dihukumi bersih, maka ghusalah juga dihukumi bersih. Dan jika tidak, maka ia juga di hukumi tidak bersih. Ulamam madzhab hambali dan ulama madzhab syafi’i berpendapat bahwa air yang digunakan untuk membersihkan najis, apabila ia berpisah dari tempat basuhan dalam keadaan berubah karena najis itu ataupun ia berpisah sebelum tempat yang dibasuh itu menjadi bersih, maka iar itu ataupun ghusalah itu menjadi mutanajis. Karena ia telah berubah karean najis itu. Kondisi ini sama seperti apabila ada air sedikit bersentuhan dengan tempat yang terkena najis



dan ia tidak mampu memebersihkannya, maka ia dihukumi mutanajis, sama seperti apabila air itu yang di datangi najis. Namun apabila air itu berpisah dalam keadaan tidak berubah dari basuhan yang telah memebersihkan tempat berkenaan, maka jika tempat yang hendak dibasuh itu adalah tanha, ia dihukumi suci. Karena tanah yang telah di kencingi oleh orang arab pada masa rasul dapat dibersihkan dengan curahan setimba air ke atasnya berdasarkan kepada perintah nabi muhammad saw. Jika tempat itu bukan tanah, maka terdapat dua pendapat mengenai masalah ini. Menurut pendapat yang ashah, ia dihukumi bersih.



C. ISTINJAK 1. Pengertian Istinjak Dan Perbedaanya Dengan Istibra Serta Istijmar Perkataan istinjak menurut bahasa adalah perbuatan yang dilakukan untuk menghilangkan najis yaitu tahi. Adapun menurut istilah syara’ istinja’ adalah perbuatan yang dilakukan untuk menghilangkan najis dengan menggunakan benda seperti air atau batu. Jadi, istinjak berarti menggunakan batu atau air. Istinjak dapat diartikan juga sebagai tindakan menghilangnkan najis yang kotor meskipun najis tersebut jarang keluar sepertidarah,air madzi,dan air wadi. Pembersihan itu juga bukan dilakukan ketika ada keperluan saja, melainkan dilakukan ketika ada keperluan saja, yaitu dengan menggunakan air ataupun batu. Istinajk juaga dapat diartikan pembuatan membersihkan najis yang keluar drai qubul ataupun dubur. Oelh sebab itu, ia bukanlah untuk menghilangkan najis akibat angin (kentut), karena bangun tidur,atau karena berbekam. Benda yang digunakan untuk istinjak ataupun istithabah adalah air atau pun bahan lain yang dapat digunakan untuk menghilangkan najis. Adapun istijmar adalah membersihkan najis menggunakan batu dan yang semacamnya. Perkataan istijmar berasal dari kata al-jamarat yangberarti bebatuan. Sedangkan istibra adalah membersihkan dari sesuatu yang keluar baik dari kemaluan depan ataupun belakang. Sehingga, ia yakin bahwa sisa-sisa yang keluar itu sudah hilang. Ia dapat diartikan juga sebagai membersihkan tempat keluar najis sisa-sisa percikan air kencing. Istinzah adalah menjauhkan diri dari kotoran, dan ia mempunyai arti yang sama dengnan istibra’ Istinqa adalah emmebrsihkan, yaitu dengan cara menekan bagian belakang tubuh yang biasanya digunkaan untuk duduk dengan menggunakan batu ataupun dengan jari ketika beristinja’dengan air.



Semua cara ini adalah untuk membersihkan najis, dan sesorang tidak boleh mengambil wudhu melainkan sesudah dia yakin bahwa sisaair kencingnya sudah tidak ada lagi. 2. HUKUM ISTINJA’ ISTIJMAR, DAN ISTIBRA’ Menurut ulama madzhab hanafi istinjak adalah sunnah mu’akad bagi lelaki dan perempuan dalam kondisi normal, selagi najis itu tidak melampaui tempat keluarnya.karena nabi muhammad saw melakukan cara itu dan juga karena beliau bersabda --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------“ siapa yang beristijmar hendaklah dilakukan dengan bilangan yang ganjil.siapa yang melakukannya, maka adalah lebih baik. Dan siapa yang tidak melakukannya, maka tidaklah berdosa.” Jika najis itu melampaui saluran keluarnya meskipun sebesar uang koin dirham, maka wajib membersihkannya dengan air. Jika limpahan itu sampai melebihi kadar koin dirham, maka wajib dibasuh dengan air ataupun benda cair lainnya. Jumhur ulama selain ulama madzhab hanafi berkata bahwa istinjak ataupun beristijmar atas sesuatu ynag keluar dari dua kemaluan seperti air kencing, air madzi ataupun tahi adalah wajib.hal ini berdasarkan firman Allah SWT. “dan segala kotoran hendaklah engkau jauhi” Perintah dalam ayat ini adalah umum meliputi setiap tempat, baik pada pakaian ataupun badan. Lagi pula, beristinjak dengan iar merupakan cara yang mendasar dalam menghhilangkan najis. Juga berdasarkan sabda Rasulullah saw. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------“jika salah seorang di antara kamu hendaklah pergi ke tempat buang air besar, hendaklah membawa tiga batu. Karena sesungguhnya batu itu sudah cukup untuk membersihkannya.” Juga berdasarkan sabda Rasul, “hendaklah seseorang di antara kamu tidak beristinjak dengan bilangan batu yang kurang dari tiga” Dalam lafaz lain, imam muslim menyatakan “sesungguhnya kami dilarang beristinjak dengan bilangan yang kurang dari tig abatu” Kesemuanya ini adalah perintah, dan setiap perintah menunjukkan kewajiban. Istinjak tidak diwajibkan kepada siapa saja yang bangun dari tidur ataupun yang keluar angin dari duburnya. Ini disetujui oleh selruh ulama berdaarkan sabda Rasulullah saw.



“ siapa yang beristinjak karena kentut, maka dia bukanlah termausk golongan kami”. Ketika menafsiri surah al-Maa’idah ayat 6, zaid bin aslam berkata, “apabila kamu hendak melaksanakan sholat (padahal kamu berhadat kecil), maka (berwudhulah) yaitu basuhlah wajahmu”. Ayat ini hanya menyuruh memnbasuh miuka. Ini emmbuktikan bahwa selain muka tidaklah wajib. Lagi pula istinjak di syariatkan dengan tujuan membersihkan najis, padahal ketika kentut tidak ada najis. Menurut pandapat azhar dari kalangan ulama madzhab syafi’i istinjak tidak di syariatkan karena keluar ulat dan juga tahi keras yang tidak mengotori bagian dubur, karena terdapat najis. Namun menurut pendapat ulama madzhab syafi’i dan hambali, dalam keadaan seprti itu istinjak, tetap disunnahkan. Menurut ulama madzhab hanafi dan maliki istinjak diwajibkan jika memang ulat dan tahi yang keras itu kelaur selepas membuang air besar dan sebelum beristinjak. Istibra’ boleh dilakukan baik dengan berjalan, berdehem, ataupun memiringkan badan ke sebelah kiri dengan cara lainnya, seprti mengangkat dan menghentakkan kakinya. Yang dimaksud dengan istibra’ adalah membersihkan bagian zakar yang menjadi tempat keluar air kencing, dengan cara mengurut batang zakarnya dengan tangan kiri, dimulai dari bibir duburnya hingga ke kepala zakar sebanyak tiga kali, agar tidak ada lagi sisa basah air kencing di tempat itu. Boleh juag dilakukan dnegna meletakkan jari tengah tangan kirinya di bawah zakarnya kemudian mengurutnya turun ke arah kepala zakar, dan disunnahkan juga menariknya dengan perlahan sebanyak tiga kali agar keluar sisa air kencingnya, jika ada. Menurut ulaam madzhab maliki,hambali, dan juga syafi’i istibra’ itu dilakukan dengan cara menarik dan mengurut zakar dengan perlahan lahan sebanyak tiga kali.yaitu, dengan meletakkan jari telunjuk tangan kirinya si bawah pangkal zakarnya, sedangkan ibu jarinya di atas zakar, kemudian mengurutnya dengan perlahan lahan hingga kleuarlah sisa air kenicing yang masih ada. Ketika menarik dan mengurut zakar, disunnahkan dengan cara perlaha, sehingga yakin bahwa tempat itu sudah bersih dari iar kencing. Janganlah sesorang mengukuti perasaan ragu-ragu (wahm), karena sikap itu dapat menyebabkan timbulnya penyakit waswas yang merusak keberagamaan. Imam ahmad meriwayatkan sebuah hadist, “apabila seseorang di antara kamu kencing, maka hendaklah ia menarik zakarnyasebanyak tiga kali.” Adapun cara istibra’i perempuan adalah dengan menekan bagian ari ari kemaluannya dengan ujung jari tangan kirinya.



Pada umumnya, istibra’ itu mempunyai cara yang berlainan menurut keadaan masing masing. Tujuannya adalah agar seseorang itu yakin bahwa tidak ada lagi kencing yang tertinggal pada saluran air kencing, sehingga dikhawatirkan akan keluar. Ada orang yang cukup dengan sekali urutan saja dan ada orang yang tidak perlu melakukan apa-apa. Menyumbat lubang kencing zakar dengan sesuatu seperti kapas adalah makruh. Makruh jug aduduk berlama-lama dlama wc, karena dapat menyebabkan sakit limpa hati atau hati. Dalil yang menunjukkan bahwa istibra’ dituntut adalah hadist riwayat ibnu abbas, bahwa Nabi Muhammad saw. Melintasi bagian yang dekat dengan buah kubur, lalu beliau bersabda,



----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------“ kedua-dua orang yang berada dalam kubur ini sedang diazab,tetapi bukan diazab karena melakukan disa besar. Salah seorang diantara kedunaya (diazab karena) apabila kencing tidak melakukan istibra’ dan yang lainnya karena sering mengadu domba.” Apabila dalil bagi ulama yang mengatakan bahwa istbra’ adalah sunnah bukannya wajib adalah sabda Rasulullah saw, ---------------------------------------------------------“ bersucilah dari air kencing, karena azab kubur pada umumnya disebabkan darinya” Yang dimaksud dengan berhentinya air kencing adalah ketika ia tidak akan keluar lagi. Adapun hadist di atas adalah berkenaan dengan orang yang tidak melakukan istibra’, padahal biasanya kalau dia tidak istibra’ maka air kencing nya akan keluar lagi. 3. ALAT-ALAT, SIFAT,DAN CARA BER ISTINJA’ Istinjak hendaklah dilakukan dengan menggunakan air, batu, atau yang semacamnya, yaitu benda-benda yang keras, suci dan mampu menghilangkan kotoran, dna juga barang yang berharga (terhormat) menurut syara; diantara alat yang bisa digunakan untuk beristinjak adalah kertas, potongan kain, kayu,dan kulit kayu. Dengnan menggunakan alat-alat ini, maka tujuan istinjak akan tercapai sama seperti ketika menggunakan batu. Cara yang paling baik adalah dengan menggunakan bahan yang keras dan juga air sekaligus. Yaitu, dengan mendahulukan menggunkaan keras dan yang semacamnya, kemudian diikuti dengan menggunakan air, karena benda najis itu akan hilang dengan kertas ataupun batu, dan bekasnya akan hilang dengan menggunakan air.



Menggunakan air saja adalah lebih baik drai pada menggunakan batu saja atau yang seumpamanya. Karena, air mampu menghilanngkan zat najis dan juga bekasnya. Berbeda dengan batu,benda keras,dan yang seumpamanya. Diriwayatkan dari sahabat anas bin malik, bahwa ketika ayat ke -108 surah at-taubah turun yaitu, -----------------------------------------“ di dalamnya ada orang –orang yang ingin membersihkan diri”. Rasulullah saw bersabda, “---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------“wahai kaum ansahr! Sesungguhnya Allah SWT telah memuji kalian berkaitan dengan masalah bersuci. Apakah jenis-jenis bersuci yang telah kamu lakukan? Mereka menjawab, “kami berwudhu unutk shalat, mandi karena jinabah,dan beristinjak dengan air. Rasul berkata, pahalanya adalah untuk kalian, maka hendaklah kalian mengamalkannya.” Syarat beristinjak dengan batu ataupun kertas dan yang seumpamanya adalah sebagai berikut. 1. Hendaklah najis yang keluar itu belum kering. Jika ia sudah kering, maka wajib menggunakan air ketika membersihkannya. 2. Jangan sampai najis itu berpindah tempat drai tempat keluarnya dan melekat pada tempat yang lain itu. Dan jangan sampai najis itu melewati tempat keluarnya. Jika ia melewati dna berada di tempat lain, maka untuk membersihkannya wajib menggunkana air. Ini merupakan kesepakatan ulama. 3. Janganlah najis itu bercampur dengan benda lain yang basah, naik benda itu najis ataupun suci. Jika ia bercampur dengan benda lain yang kering, aka tidaklah mengapa. 4. Hendaklah najis yang keluar itu melewati saluran yang biasa. Oleh sebab itu, penggunaan batu atau seumpamanya tidak cukup apabila najis yang keluar itu tidak melewati jalur bekam, ataupun melewati satu lubang yang terbuka dibawah usus meskipun saluran yang asal tersumbat secara kebetulan. Juga, tidak memadai beristinjak dengan kertas dan yang seumpamanya untuk menyucikan air kencing seorang khunsa musykil, meskipun yang keluar itu melewati salah satu dari dua kemaluannya. Karena, kemungkinan ia adalah kemaluannyayang lebih. Begitu juga



kertas tidak memadai untuk menyucikan air kencing yang keluar dari zakar yang tertutup kulup apabila air kencingnya telah mengenai kulit kulupnya. Menurut pendapat ulama selain ulama madzhab ,maliki, menggunakan kertas dan yang seumpamanya untuk mengusap darah haid ataupun nifas adalah mencukupi. Begitu juga menurut pendapat yang azhar dikalangan ulama madzhab syafi’i dan di kalangan ulama madzhab dan hanafi sudah cukup apabila seeorang menggunakan batu untuk mengusap apa saja yangkeluarnya jarnag seperti darah, wadi, dan juga madzi. Ataupun, untuk membersihkan najis yang sudah bercecaran tidak seperti kebiasaan kebanyakan orang, tetapi tidak sampai melewati bagian pantatnya (yaitu pantat sebelah dalam ynag terlindung ketika seseorang itu berdiri), dan juga tidak melewati bagian kepala zakarnya (yaitu bagain ujung dari tempat khitan atau kadar tempat tersebut apabila memang zakarnya terpotong). Menurut pendapat ulama madzhab maliki, seseorang tidak boleh ber istijmar dengan menggunakan batu untuk membersihkan air mani, air madzi, dan dara haid, melainkan ia wajib menggunakan air unutk menghilangkan air mani, darah haid, dan nifas, dan juga darah istihadhah jika memang istihadhah tersebut tidak datang setiap hari, meskipun hanya sekali. Jika ia datang setiap hari, maka ia dimaafkan sama seprti lelaki ataupun perempuan yang senantiasa keluar air kencin. Jika keadaanya demikian, maka tidak wajib menghilangkannya. Begitu juga menurut pandapat ulama madzhab maliki, untuk menghilangkan air kencing perempuan, baik perawna ataupun janda, maka harus menggunakan air. Karena, ia seringmelewati tempat keluarnya hingga ke bagian anggota yang biasanya digunakan untuk duduk. Apakah Tiga Buah Merupakan Syarat Bagi Istinja’ Dengan Batu? Ulaam madzhab hanafi dan maliki berkata, sunnah menggukan tiga batu, tetapi tidaklah wajib. Dna apabila menggunakan kurang dari tiga, maka sudah cukup, jika bilangan itu memang sudah dapat membersihkannya. Maksud bersih di sini adalah hilangnya zat najis dan juga basahnya najis, hingga batu yang telah digunakan itu tidak terdapat bekas najis apapun lagi kecualidlaam kadar yang paling minimal. Oleh sebab itu, apa yang wajib menurut pendapat ulama madzhab maliki dna sunnah menurut pendapat ulama madzhab hanafi adalah bersihnya tempat istinjak bukannya jumlah batu yang digunakan. Ini berdasarkan hadist rasulullah saw.yang lalu,



“siapa yang beristijmar, maka hendaklah ia mengganjilkan bilangannya. Siapa yang melakukan demikian, maka itulah adalah baik, dan siap yang tidak melakukannya, maka tidaklah berdosa.” Ulama madzhab syafi’i dan hambali berpendapat bahwa yangdiwajibkan adalah bersihnya tempat istinjak dan juga sempurnanya tiga buah batu, ataupun dengan tiga kali usapan meskipun hanya dengan meggunakan tiga sudut dari sebiji batu. Jika tempat istinjak belum juga bersih dengan menggunakan tiga buah batu, maka wajib dibersihkan dengan batu yang keempat dan seterusnya, hingga tidak bekas najisnya hilang kecuali yang memang hany abisa dihilangkan dengan menggunakan air atau pun batu yang kecil. Karena itulah (suci) yang menjadi istinjak. Dalil mereka beberapa hadist yang telah lalu. Di antaranya adalah. “hendaklah kamu beristinjak dengan menggunakan tig abuah batu” Juga hadist riwayat muslim dari salman, “rasulullah saw melarang maki beristinjak dengan bilangan batu yang kurnag dari tiga biji” Dalam redaksi lain disebutkan dengan tiga sudut drai sebuah batu. Apabila seseorang menggunakan lebih dari tiga buah batu, maka dia mengganjilkan bilangannya.karena berdasarkan riwayat asy-syaikhan dari abu hurairah, bahwa nabi muhammad saw bersabda, ---------------------------------------------“ apabila salah seorang di antara kamu beristijmar, maka beristijmarlah dengan bilagan yang ganjil”.



Hukum wajib yang di tunjukkan oleh haist ini telah di hapus oleh hadist lain riwayat abu dawud, -----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------“ barang siapa beristijmar, hendaklah ia menggajilkan bilangannya. Siapa yang melakukan (demikian) maka itulah yang baik dan siapa yang tidak (melakukan demikian), maka tidaklah berdosa. Adapun bilangan basuhan ketika beristinjak dengan air, maka menurut pendapat yang ashah, adalah mengikut kepada perasaan hingga hati merasa puas dan yakin bahwa tempat itu sudah bersih, ataupun dengan munculnya dugaan kuat bahwa tempat itu sudah bersih. Inilah pendapat yang ashah dari imam ahmad. Abu dawud berkata, imam ahmad ditanya tentang sejauh mana batasan beristinjka dengan air,lalu di menjawab (hingga) bersih.



Tidak ada riwayat dari nabi muhammad saw,berkenaan dengan masalah ini yang menetapkan jumlah tertentu (ketika istinja’) dan rasul juga tidak menyuruh menggunakan jumlah tertentu. Ada juga riwayat yang bersumber dari imam ahmad bahwa dia berpendapat, bilangannya adalah tujuh kali basuhan istinjak adalah adanya zhan (dugaan kuat) bahwa najis tersebut telah hilang.