Hukum Kekeluargaan Adat [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH HUKUM ADAT TENTANG “HUKUM ADAT KEKELUARGAAN”



Disusun Oleh : 1. Elvira Fitra O.



(17071010051)



2. Shaenaz Fielia A.



(17071010056)



3. Nur Fika R. Z.



(17071010057)



Kelas : B



FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR 2018



1



KATA PENGANTAR



Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya, kami telah menyelesaikan makalah Hukum Adat. Dengan rahmat dan pertolongan-Nya, Alhamdulillah makalah yang berjudul “Hukum Adat Kekeluargaan” ini dapat di selesaikan dengan baik. Kami menyadari sepenuh hati bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat di dalam makalah ini. Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya.



Surabaya, 04 Juni 2018



Penulis



2



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ................................................................................... 2 DAFTAR ISI .................................................................................................. 3 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 4 1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 5 1.3 Tujuan Penulisan ....................................................................................... 5 1.4 Manfaat Penulisan ..................................................................................... 5 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Keluarga Dalam Hukum Adat ................................................ 6 2.2 Macam-macam Perkawinan Dalam Suku Adat di Indonesia ....................... 6 2.3 Hukum Kekeluargaan ................................................................................ 11 2.4 Hukum Kekeluargaan Adat ....................................................................... 18 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan ............................................................................................... 28 3.2 Penutup ..................................................................................................... 28 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 29



3



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Hukum merupakan cara untuk mengatur kehidupan manusia. Hukum merupakan alat untuk mengawasi dan menertibkan aspek-aspek dalam masayarakat. Pentingnya adanya hukum adalah agar terjalinnya kehidupan dengan aman, tentram, dan sejahtera. Berbagai macam hukum yang ada di dunia menandakan adanya berbagai keanekaragaman hukum yang ada. Di Indonesia memiliki hukum yang berbeda beda. Hukum dalam berbagai model tersebut dinamakan “hukum adat”. Hukum adat merupakan hukum yang didasarkan atas adat sehari – hari dengan kebiasaan mereka atau kepercayaan yang mereka anut baik dalam golongan atau daerah tertentu. Hukum adat sering diidentikkan dengan sifat kedaerahan masing – masing. Hukum adat yang dibentuk dan sudah diwarisi secara turun – temurun untuk mengatur setiap kehidupan suatu golongan atau di daerah tertentu. Salah satu aspek dari hukum adat adalah keluarga. Setiap manusia sudah ditakdirkan untuk berpasang-pasangan. Membentuk suatu keluarga dapat dengan cara



melaksanakan



perkawinan.



Melaksanakan



perkawinan



guna



untuk



melanjutkan keturunan. Melaksanakan perkawinan dalam hukum adat Indonesia juga berbeda-beda sesuai dengan hukum adatnya masing-masing. Setiap perkawinan pasti memiliki akhir yang dapat menyebabkan perceraian. Perceraian dapat timbul karena ketidak harmonisan keluarga. Alasanalasan yang dapat menimbulkan retaknya perkawinan atau perceraian sangatlah beragam, diantarnya adalah takutnya melakukan zinah antara para pihak.



4



1.2 Rumusan Masalah 1. Apa pengertian keluarga dalam hukum adat? 2. Apa saja macam-macam perkawinan dalam suku adat di Indonesia? 3. Bagaimana hal keturunan dalam hukum adat keluarga? 4. Bagaimana hubungan anak dengan orangtua? 5. Bagaimana hubungan anak dengan keluarga? 6. Bagaimana memelihara anak piatu dalam hukum adat keluarga? 7. Bagaimana pertunangan dalam hukum perkawinan adat? 8. Apa saja bentuk-bentuk perkawinan adat? 5



Apa saja larangan perkawinan dalam hukum perkawinan adat?



9. Bagaimana adat pelamaran dalam hukum perkawinan adat? 10. Bagaimana acara dan upacara perkawinan dalam hukum perkawinan adat? 1.3 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan dari makalah ini adalah agar mengerti pengertian dari keluarga dalam hukum adat. Agar mengerti macam-macam perkawinan dalam suku adat yang ada di Indonesia. Agar mengetahui perihal keturunana dalam hukum adat keluarga. Agar memahami hubungan anak dengan orang tua. Agar memahami hubungan anak dengan keluarga. Agar mengerti bagaimana memelihara anak piatu dalam hukum perkawinan adat. Agar mengerti bagaimana pertunangan dalam hukum perkawinan adat. Agar mengetahui bentuk-bentuk perkawinan adat di Indonesia. Agar mengetahui apa saja larangan perkawinan dalam hukum adat. Agar mengetahui bagaimana adat pelamaran dalam hukum perkawinan adat. Dan agar mengetahui bagaimana acara dan upacara perkawinan dalam hukum perkawinan adat. 1.4 Manfaat Penulisan Manfaat penulisan ini adalah agar kita menambah referensi pengertian tentang keluarga dalam hukum adat. Agar kita bisa mengetahui apa saja yang diatur dan dijelaskan dalam kekeluargaan adat yang ada di Indonesia.



5



BAB II PEMBAHASAN



2.1 Pengertian Keluarga Dalam Hukum Adat Hukum adat kekeluargaan adalah hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota keluarga, kedudukan anak dengan orang tua dan sebaliknya kedudukan anak terhadap keluarga dan sebaliknya masalah perwalian anak. Adapun istilah lain hukum adat kekeluargaan menurut beberapa ahli : 



Prof. Dr. Mr. Barend Ter Haar, Bzn menyebutnya sebagai hukum kesanak saudaraan.







Djaren Saragih, S.H menyebutnya sebagai hukum keluarga.







Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H menyebutnya sebagai hukum adat kekerabatan.



2.2 Macam-macam perkawinan dalam suku adat di Indonesia 1. Masyarakat Batak Masyarakat Batak menganggap bahwa perkawinan ideal adalah perkawinan antara orang-orang rumpal (Toba: Markariban) ialah antara seorang laki-laki dengan anak perempuan saudara laki-laki ibunya. Dengan demikian, seorang laki-laki batak, sangat pantang kawin dengan seorang wanita marganya sendiri dan juga dengan anak perempuan ayah. Disamping itu, orang Batak mengenal pula adat perkawinan Leveriaat (Karo: Lakoman, Toba: Mangabia) dan perkawinan sororaat (Karo: Gancikabu, Toba: Singkate, rere). Khususnya pada orang Karo dibedakan adanya beberapa macam adat lakoman, yaitu: lakoman tiaken (janda kawin dengan saudara almarhum suaminya), lakoman ngahliken sinina (janda kawin dengan



6



saudara tiri dari almarhum suaminya), lakoman ku nandenan (janda kawin dengan anak saudara almarhum suaminya) 2. Masyarakat Minagkabau Pada masa lalu terdapat adat bahwa seorang laki laki sedapat mungkin kawin dengan anak perempuan mamak nya, atau gadis gadis yang dapat digolongkan demikian itu. Istilah mamak itu berarti saudara laki laki ibu. Jadi, pada masyarakat Minangkabau (pada masa lalu) terdapat keharusan bahwa seorang laki laki melangsungkan perkawinan dengan seorang perempuan yang merupakan anak dari saudara kandung laki laki ibunya. Akan tetapi karena berbagai keadaan, timbul beberapa bentuk lain, misalnya kawin dengan keponakan (anak saudara perempuan) perempuan dari ayahnya. Orang juga boleh kawin dengan saudara perempuan suami, atau anak dari saudara perempuan nya sendiri (bride exchange). Dalam jaman sekarang ini pola pola ini sudah mulai menghilang bahkan adanya pengaruh dunia modern, perkawinan indo gamis local tidak lagi dipertahankan sebagai mana semula, sehingga menyebabkan pilihan semakin meluas. Perkawinan dengan anak mamak, dapat diperkirakan merupakan pola yang asli. 3. Masyarakat Lampung Khususnya pada masyarakat Abung Siwo Mego (Abung Sembilan Marga) dan Pubian Telu Suku (Pubian Tiga Suku), sama sekali tidak dikenal perkawinan antara seorang laki-laki. Akan tetapi pada masyarakat Rarem Mego pak (Rarem Empat Marga) dan Buay Lima (Sung Kay dan Way Kanan), perkawinan ini bukannlah merupakan suatu kelaziman, dan alas an yang mendorongnya agar harta menjadi tetap utuh atau karna keluarga yang bersangkutan hanya mempunyai anak tunggal. Perkawinan antara antara anak dari saudara sekandung laki-laki dan perempuan juga dapat dilangsungkan. Masyarakat di sana berpendapat bahwa adalah tidak layak apabila setiap anak dapat langsungkan perkawinan pada dua keluarga yang sama. Perkawinan yang ada di dalam ilmu antropologi disebut dengan leviraat dan soraat, pada masyarakat lampung juga dilakukan. Dengan



7



perkawinan leviraat (lampung: nyemalang-nyikok) adalah perkawinan antara seorang perempuan (janda) dengan seorang laki-laki yang merupakan adik atau kakak dari suaminya almarhum. Sedangkan perkawinan sororaat, adalah merupakan kebalikan dari pengertian perkawinan leviraat. Pada masyarakat hukum adat lampung (beradat pepadun) ditentukan pula siapa dengan siapa yang tidak dibolehkan untuk melangsungkan perkawinan, yaitu antara dua orang yang masih mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas maupun ke bawah, antara dua orang yang masih berhubungan daram dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara saudara orang tua, antara saudara nenek, antara dua orang yang masih berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu dan bapak tiri, dan antara dua orang yang masih berhubungan sesusuan. 4. Masyarakat Jawa Pada masyarakat jawa, berlaku adat yang menentukan bahwa dua orang yang tidak boleh saling kawin apabila mereka itu saudara sekandung (menurut hemat kami, ketentuan ini berlaku untuk masyarakat di Indonesia) apabila mereka itu adalah pancer lanang, yaitu anak dari dua orang bersaudara sekandung laki-laki, apabila mereka itu adalah misan, dan akhirnya apabila pihak laki-laki dan lebih muda menurut ibunya dari pada pihak wanita. Dengan demikian, perkawinan antara dua orang yang tidak terikat karena hubungan kekerabatan seperti tersebut di atas diperkenankan. Juga, perkawinan yang dibolehkan adalah ngarang walu, yaitu perkawinan seorang duda dengan seorang wanita adik dari almarhum istrinya (sororaat). 5. Masyarakat Bugis-Makassar Pada masyarakat ini, dalam hal mencari jodoh, adat menetapkan bahwa sebagai perkawinan ideal ialah (Mattulada 1974:267) 



Perkawinan yang disebut assialang marola (Makassar=passialeang baji’an) ialah perkawinan antara saudara sepupu sederajat kesatu baik dari pihak ayah maupun ibu.



8







Perkawinan yang disebut assialanna memang (Makassar: passialeanna) ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kedua baik dari pihak ayah maupun ibu







Perkawinan antara ripaddeppe’mabelae (Makassar:nipakambani bellaya) ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat ketiga juga dari kedua belah pihak. Perkawinan antara saudara-saudara sepupu tersebut di atas walaupun dianggap ideal, bukan merupakan suatu kewajiban. Dengan demikian seseorang dapat saja kawin dengan gadis yang bukan saudara sepupunya. Adapun perkawinan yang dilarang karena dianggap sumbang (salimara) adalah:



A. Perkawinan antara anak dengan ibu atau ayah B. Antara saudara-saudara sekandung C. Antara menantu dengan menantu D. Antara paman, bibi, dengan keponokannya E. Antara kakek dan nenek dengan cucu-cucunya 6. Masyarakat Minabasa Dalam hal memilih jodoh, pada umumnya oleh adat diberikan kebebasan untuk menentukannya sendiri, walaupun dahulu kala dikenal juga penentuan jodoh atas kemauan orang tua. Tetapi terdapat pembatasan, yaitu ada kewajiban bahwa seseorang harus melnagsungkan perkawinan di luar family, ialah semua keluarga batih dari sudara-saudara sekandung ibu dan ayah, baik yang laki-laki mapun perempuan, besrta keluarga batih dari anak-anak mereka (saudara ibu dan saudara ayah). 7. Masyarakat Kalimantan Tengah Khususnya pada masyarakat Dayak, perkawinan yang dianggap ideal dan amat diingini oleh umum, yaitu perkawinan di antara dua oang bersaudara sepupu yang kakeh-kakeknya adalah saudara sekandung (saudara sepupu derajat kedua. Ngaju=bajenan). Selain daripada itu juga dianggap perkawinan yang baik adalah perkawinan di antara dua orang (laki-laki dan perempuan) saudara sepupu yang inu-ibunya bersaudara sekandung, dan di antara crosscousins, yaitu anak-anak saudara laki-laki



9



dari pihak ibu atau anak-anak dari saudara perempuan dari pihak ayah. Perkawinan yang dianggap sumbang (Ngayu:salahari) adalah perkawinan diatara dua orang saudara sepupu yang ayah-ayahnya adalah bersaudara sekandung (patri-parallel cousin) dan terutama sekali adalah perkawinan di antara orang-orang dari generasi yang berebeda, terutama misalnya antara seorang anak dengan orang tuanya, atau antara sorang gadis dengan pamannya. 8. Masyarakat Timor Perkawinan yang paling disukai pada masyarakat ini adalah perkawinan yang terjadi antara seorang pemuda dengan seorang pemudi yang merupakan anak dari saudara laki-laki ibu. Walaupun demikan, seorang pemuda dapat kawin maupun, asal tidak dengan anak saudara ibu yang dianggap masih kerabat 9. Masyarakat Bali Pada masyarakat bali, menurut adat lama yang amat dipengaruhi oleh system klen-klen (dadia) dan system kasta (wangsa) maka perkawinan itu sedapat mungkin dilakukan di antara warga seklen (dadia) atau setidak-tidaknya anatara orang-orang yang dinggap sederajat dalam kasta (wangsa). Dengan demikian, adat perkawinan di Bali bersifat endogamy klen, sedangkan perkawinan yang dicita-citakan oleh masyarakat Bali yang masih kolot adalah perkawinan antara anak-anak dari dua orang saudara laki-laki dari beberapa contoh masyarakat, dapat di lihat bahwa terdapat subyek yang tidak boleh melangsungkan perkawinan dengan subyek yang lain. Pada umumnya yang tidak boleh melangsungkan perkawinan adalah mereka yang masih tergolong sebagai kerabat dekat, misalnya, antara ayah dengan anaknya, antara ibu dan anaknya, antara dua sodara kandung atau antara paman, bibi dengan keponakannya, juga antara kakek dan nenek dengan cucunya. Juga, dapat diketahui bahwa terdapat perkawinan yang pada daerah



10



(masyarakat) yang satu, merupakan perkawinan yang tidak dibolehkan, akan tetapi ada masyarakat yang lain perkawinan yang demikian itu, merupakan perkawinan yang tidak dilarang, misalnya, pada masyarakat di Kalimantan Tengah dengan masyarakat Lampung (Rarem Mego Pak dan Buay Lima). 1 2.3 Hukum Kekeluargaan Di dalam hukum kekeluargaan adat juga diperbincangkan mengenai: hal keturunan, hubungan anak dengan orang tua, hubungan anak dengan keluarga, memelihara anak piatu dan mengangkat anak (adopsi). 1. Hal Keturunan Dalam



hukum



kekeluargaan



adat,



hal



keturunan



adalah



ketunggalan leluhur artinya terdapat hubungan darah antara orang seorang dengan orang lain, dua orang atau lebih yang memiliki hubungan darah. Jadi yang tunggal leluhur adalah keturunan yang seseorang dari yang lain. Individu sebagai keturunan (anggota keluarga) mempunyai hak dan kewajiban tertentu yang berhubungan dengan kedudukannya dalam keluarga yang bersangkutan. Misalnya boleh ikut menggunakan nama keluarga, boleh ikut menggunakan dan berhak atas bagian kekayaan keluarga, wajib saling memelihara dan saling membantu, dapat saling mewakili dalam melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga dan lain sebagainya. Dalam hukum kekeluargaan adat ini keturunan dapat bersifat : 



Lurus, apabila seseorang merupakan keturunan langsung dari keturunan keluarganya. Misalnya, antara bapak dan anak, antara kakek, bapak dan anak, disebut keturunan lurus ke bawah. Antara anak ke bapak terus ke kakek disebut keturunan garis ke atas.







Menyimpang atau bercabang, apabila antara kedua orangtua atau lebih terdapat adanya ketunggalan leluhur. Misalnya, bapak ibunya sama (saudara sekandung), atau sekakek-nenek dan lain sebagainya.



1



Soerjono Soekanto, 2012. Hukum Adat Indonesia. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 217223.



11



Ada juga keturunan garis bapak (keturunan patrilineal) yaitu sistem kekerabatannya berdasarkan garis laki-laki saja. Keturunan garis ibu keturunan garis ibu (keturunan matrilineal) yaitu sistem kekerabatannya berdasarkan garis perempuan saja. Dalam suatu masyarakat yang ada hanya mengakui patrilineal atau matrilineal saja disebut unilateral, sedangkan yang mengakui keturunan dari kedua belah pihak, yang sama nilai dan sama sederajat disebut bilateral. Seperti di daerah Minangkabau dan Tapanuli yang dasar susunan keturunannya adalah genealogis (unilateral) ternyata masyarakatnya mengakui juga keturunan dari kedua belah pihak, dari pihak bapak dan dari pihak ibu. Di daerah Tapanuli pada suku Batak pun ternyata bahwa mereka mengakui juga adanya keturunan di luar nama warga nya sendiri, yang berarti mengakui keturunan pihak ibu, meskipun berlainan. Dalam masyarakat yang susunannya matrilineal dipandang sangat penting, sehingga menimbulkan hubungan pergaulan kekeluargaan yang jauh lebih rapat dan meresap diantara para warganya yang seketurunan menurut garis ibunya, hal mana menyebabkan tumbuhnya konsekuensi (misalnya dalam masalah warisan) yang jauh lebih banyak dan lebih penting daripada keturunan menurut garis bapak. Begitupun sebaliknya dalam masyarakat yang susunannya menurut garis keturunan bapak, keturunan pihak bapak dinilai lebih tinggi serta hak – haknya pun lebih banyak. Lazimnya untuk kepentingan keturunannya, dibuatkan “silsilah” yaitu suatu bagan dimana digambarkan dengan jelas garis – garis keturunan dari seseorang atau suami – istri, baik yang lurus ke atas, lurus ke bawah maupun yang menyimpang. Dari silsilah nampak dengan jelas hubungan kekeluargaan yang ada diantara para anggota kekeluargaan tersebut. Dan hubungan kekeluargaan ini merupakan faktor yang sangat penting dalam: 



Masalah perkawinan, yaitu untuk meyakinkan apakah ada hubungan kekeluargaan yang merupakan larangan untuk menjadi suami – istri (misalnya terlalu dekat, adik – kakak – sekandung, dan sebagainya).



12







Masalah warisan, hubungan kekeluargaan merupakan dasar untuk pembagian harta peninggalan.2



2. Hubungan Anak dengan Orangtua Hubungan anak dengan orangtua dalam hukum adat ini adalah sangat penting, karena anak kandung memiliki kedudukan yang sangat penting dalam setiap somah (gezin) dari suatu masyarakat adat. Oleh orangtua, anak itu dianggap sebagai penerus generasinya dan dipandang sebagai pelindung dari kedua orangtuanya apabila tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah sendiri dalam hal lain mewakili kepentingan kedua orangtua nya. Oleh karena itu tatkala anak itu masih dalam kandungan hingga dia dilahirkan, bahkan dalam pertumbuhannya, dalam masyarakat adat terdapat banyak upacara adat yang sifatnya religio-magis dan penyelenggarannya berurutan mengikuti pertumbuhan fisik anak tersebut. Misalnya dalam upacara diambil sebagai contoh, daerah Jawa Barat maka upacara – upacara demikian ini dalam masyarakat adat Priyangan secara kronologis adalah sebagai berikut: a. Anak masih dalam kandungan: pada bulan ke-3, bulan ke-5, bulan ke-7, dan bulan ke-9 diadakan upacara, khusus yang dilakukan pada bulan ke-7 disebut “tingkeb”. b. Pada saat lahir: upacara penanaman “bali” atau kalau tidak ditanam, dilakukan upacara “penghanyutan”-nya ke laut. c. Pada saat “tali ari” putus: diadakan “sesajan”; “tali ari” yang putus disimpan ibunya “gonggorekan”-nya (kantong obat) serta pada saat itu lazimnya bayi diberi nama. d. Setelah anak berumur 40 hari: upacara “cukur” yang diteruskan dengan upacara “nurunkeun” (untuk pertama kalinya kaki anak disentukan tanah). Di samping upacara – upacara adat yang berhubungan dengan pertumbuhan fisik anak, lazimnya pada hari – hari kelahiran anak (misalnya anak lahir pada hari kamis, tiap hari Kamis Manis) diadakan pula “sesajen” demi keselamatan anak tersebut. Sedangkan mengenai



2



Ibid, hlm. 37-38



13



hubungan antara anak dengan kedua orangtuanya dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Anak yang lahir di luar perkawinan Pandangan di beberapa daerah tidak sama, ada yang menganggap biasa (Mentawai, Timor, Minahasa dan Ambon), beranggapan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tetap saja ibu yang melahirkan anak itu sebagai ibunya. Ada juga yang mencela dengan keras di buang diluar persekutuan, bahkan dibunuh dipersembahkan sebagai budak (seperti di daerah kerajaan-kerajaan dahulu). Dilakukan pemaksaan kawin dengan pria yang bersangkutan oleh rapat marga di Sumatera, atau mengawinkan dengan laki-laki lain, dengan laki-laki lain dimaksudkan agar anak tetap sah seperti di Jawa disebut nikah “tambelan” dan di suku Bugis disebut “pattongkog sirig”. 2) Anak yang lahir karena zinah Anak zinah adalah anak yang lahir dari suatu hubungan antara seorang wanita dengan pria yang bukan suaminya. Menurut hukum adat suaminya akan tetap menjadi bapak anak yang dilahirkan istrinya itu, kecuali apabila sang suami menolak berdasarkan alasan-alasan yang dapat diteriama, dapat menolak menjadi bapak anak yang dilahirkan oleh istrinya karena telah melakukan zinah. 3) Anak yang lahir setelah perceraian Anak yang dilahirkan setelah perceraian, menurut hukum adat mempunyai bapak bekas suami perempuan yang melahirkan anak itu, apabila terjadi masih dalam batas-batas waktu mengandung. Hubungan anak dengan orangtua (anak dengan bapak atau anak dengan ibu) akan menimbulkan akibat hukum sebagai berikut : 



Larangan kawin antara anak dengan bapak atau anak dengan ibunya







Saling berkewajiban memelihara dan memberi nafkah.



Menurut hukum adat yang menganut sistem kekerabatan Parental seperti di masyarakat Jawa kewajiban orangtua kepada anaknya sampai dengan anak tersebut dewasa dan hidup mandiri. Pada sistem parental, tanggung 14



jawab tidak hanyadibebankan kepada bapak saja melainkan juga ibu ikut bertanggung jawab kepada anak-anaknya. 3 3. Hubungan Anak dengan Keluarga Pada umumnya hubungan anak dengan keluarganya sangat tergantung dari keadaan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan, khususnya tergantung dari sistem keturunannya. Hukum adat di masyarakat Indonesia dimana persekutuan-persekutuan berlandaskan pada tiga macam garis keturunan, yaitu garis keturunan ibu, garis keturunan bapak, dan garis keturunan bapak dan ibu. Dalam masyarakat parental, hubungan anak dengan kerabat bapak maupun ibunya adalah sama. Masyarakat dengan sistem kekerabatan parental maka masalah-masalah tentang larangan kawin, warisan, kewajiban memelihara semuanya berintensitas sama terhadap kedua belah pihak baik kerabat ayah maupun kerabat ibu. Lainnya dalam masyarakat adat matrilineal hubungan antara anak dengan keluarga dari pihak ibu adalah jauh lebih erat dan jauh dianggap lebih penting dari pada hubungan antara anak dengan keluarga pihak dari bapak. Tetapi hal tersebut juga tidak melupakan kerabat dari pihak bapak, seperti di Minangkabau keluarga pihak bapak yang disebut “bako kaki” dalam upacara-upacara selalu hadir, bahkan kadang-kadang pihak bapak ini memberi bantuan dalam memelihara anak. 4. Memelihara Anak Piatu Apabila dalam suatu keluarga, salah satu dari orang tuanya, bapak atau ibunya, tidak ada lagi, maka kalau masih ada anak – anak yang belum dewasa, dalam susunan keturunan yang parental, maka orang tua yang masih hidup yang memelihara anak – anak tersebut lebih lanjut, sampai dewasa. Jika kedua orang tuanya sudah tidak ada lagi, maka yang memelihara anak – anak yang ditinggalkan itu adalah salah satu dari



3



Ibid, hlm. 41-42



15



keluarga dari pihak bapak atau pihak ibu yang terdekat serta biasanya juga yang keadaannya paling memungkinkan untuk keperluan pemeliharaan itu. Di Minangkabau (matrilineal) jika bapaknya meninggal dunia, maka ibunya meneruskan kekuasannya terhadap anak – anaknya yang masih belum dewasa itu. Jika ibunya yang meninggal dunia, maka anak – anak dimaksud tetap berada pada kerabat ibunya serta dipelihara seterusnya oleh keluarga pihak ibunya yang bersangkutan, sedangkan hubungan antara bapak dan keluarga ibu anak – anaknya dapat terus dipelihara oleh si bapak. Di Tapanuli (patrilineal), jika bapaknya meninggal dunia, ibunya meneruskan memelihara anak – anaknya dalam lingkungan keluarga bapaknya. Jika janda itu ingin pulang ke lingkungan sendiri atau pun ingin kawin lagi, maka ia dapat meninggalkan keluarga almarhum suaminya, tetapi anak – anaknya tetap tinggal dalam kekuasaan keluarga almarhum suaminya.4 5. Mengangkat Anak (Adopsi) Mengangkat anak pada hakikatnya adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri, sehingga antara orang yang memungut anak dengan anak yang dipungut timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti antara orangtua dengan anak kandung. Dilihat dari sudut anak pungut, maka dapat dicatat adanya pengangkatan anak sebagai berikut : 1) Mengangkat anak bukan warga keluarga



Anak itu diambil dari lingkungan asalnya dan dimasukkan ke dalam keluarga orang yang mengangkatnya menjadi anak angkat. Biasanya alasan adopsi anak pada umumnya adalah takut tidak memiliki keturunan. Kedudukan anak sama dengan anak kandung biasa. Adopsi tersebut harus jelas, artinya wajib dilakukan dengan 4



Ibid, hlm 43-44



16



upacara adat serta dengan bantuan kepala adat. Adopsi ini terdapat di daerah Gayo, Lampung, Pulau Nias, dan Kalimantan. 2) Mengangkat anak dari kalangan keluarga



Di Bali perbuatan yang demikian disebut “nyentanayang”. Anak lazimnya diambil dari salah satu klan yang ada hubungannya secara tradisional yang disebut “purusa”, tetapi akhir-akhir ini dapat pula anak diambil dari luar klannya. Bahkan di beberapa desa anak dapat pula diambil dari lingkungan keluarga istri yang disebut pradana. Dapat pula terjadi jika dalam satu perkawinan si istri tidak mempunyai anak, sementara suaminya mempunyai gundik-gundik atau selir, keadaan ini terjadi pada masa dahulu, maka biasanya anak dari selirselir ini diangkat menjadi anak dari isterinya yang resmi atau sah. 3) Mengangkat anak dari kalangan keponakan Perbuatan semacam ini terdapat di Jawa, Sulawesi, dan beberapa daerah lainnya. Sebab pengangkatan keponakan sebagai anak karena : 



Tidak mempunyai anak sendiri







Belum dikaruniai anak







Terdorong oleh rasa kasihan



Sesungguhnya perbuatan ini merupakan pergeseran kekeluargaan dalam lingkungan keluarga. Lazimnya ini tidak disertai dengan pembayaran atau penyerahan barang. Tetapi di Jawa Timur sekedar sebagai tanda bahwa hubungan anak dengan orangtuanya terputus, orangtua kandung anak tersebut diberi uang sejumlah “rongwang segobang” (17,5 sen). Selain itu dikenal juga dengan istilah pemungutan anak yang maksud serta tujuannya bukan semata karena untuk memperoleh keturunan, tetapi dimaksudkan untuk memberikan kedudukan hukum yang lebih tinggi kepada anak tersebut. Misalnya mengangkat anak laki-laki dari selir (Lampung, Bali) dan mengangkat anak tiri menjadi anak sendiri. Perlu ditegaskan, bahwa anak yang diangkat itu pada umumnya mereka yang belum kawin dan belum dewasa. Sedangkan yang 17



mengangkat biasanya orang yang sudah menikah serta orang yang berumur jauh lebih tua daripada anak angkatnya. 2.4 Hukum Kekeluargaan Adat 1. Batasan Hukum Perkawinan Adat Hukum perkawinan adat ini mempunyai aturan-aturan yang mengatur tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan di Indonesia. Aturan ini di berbagai daerah Indonesia memiliki perbedaan satu sama lain dikarenakan sifat kemasyarakatan, adat istiadat, agama dan kepercayaan yang berbedabeda. Hukum adat juga mengalami beberapa perubahan atau pergeseran nilai dikarenakan adanya faktor perubahan zaman, terjadinya perkawinan antarsuku, adat istiadat dan agama serta kepercayaan yang berlainan. 2. Arti Perkawinan dalam Hukum Perkawinan Adat Dalam hukum adat diyakini bahwa perkawinan bukan saja merupakan peristiwa penting, tetapi juga merupakan peristiwa penting bagi leluhur mereka yang telah tiada. Karena begitu penting arti perkawinan ini, maka pelaksanaan perkawinan itu pun senantiasa dan seterusnya disertai dengan berbagai upacara lengkap dengan sesajennya. Ini semua seakan-akan tahayyul, tetapi pada kenyataannya sebagian besar rakyat Indonesia masih tetap melakukan itu dimana-mana. Menurut M.M Djojodigoeno hubungan suami istri setelah perkawinan bukan saja merupakan suatu hubungan perikatan yang berdasarkan perjanjian atau kontrak akan tetapi juga merupakan suatu paguyuban. Paguyuban ini adalah paguyuban hidup yang menjadi pokok ajang kehidupan suami istri selanjutnya beserta anak-anaknyayang lazim disebut “somah”, istilah Jawa yang artinya keluarga. Dalam somah ini terjadi hubungan antara suami istri sedemikian rupa rapatnya, sehingga dalam pandangan orang Jawa merekaa itu disebut “ satu ketunggalan”. Ketunggalan ini antara lain :



18



a. Menurut adat kebiasaan Jawa yang belum hilang sama sekali bahwa kedua mempelai, pada saat perkawinan dilaksanakan, melepaskan nama mereka masing-masing yang dipakai sebagai nama kecil, kemudian mereka berdua memperoleh nama baru (nama orangtua), yang selanjutnya mereka gunakan nama bersama. b. Sebutan yang digunakan untuk menggambarkan hubungan suami istri dalam



bahasa Jawa disebut “garwa”. Istilah ini berasal dari kata



“sigaraning nyawa”, artinya adalah belahan jiwa. c. Adanya ketunggalan harga benda dalam perkawinan yang dalam bahasa Jawa disebut “harga gini”.



3. Pertunangan dalam Hukum Perkawinan Adat Yang dimaksud dengan pertunangan dalam hukum adat adalah suatu stadium (keadaan) yang bersifat khusus di Indonesia, biasanya mendahului dilangsungkannya suatu perkawinan. Stadium pertunangan timbul setelah adanya persetujuan antara kedua belah pihak (pihak keluarga bakal suami dan keluarga bakal istri) untuk mengadakan perkawinan. Lamaran ataupun meminang lazimnya dilakukan oleh seorang utusan, duta yang mewakili keluarga pihak laki-laki. Pertunangan baru mengikat apabila dari pihak laki-laki sudah memberikan suatu tanda pengikat kepada pihak perempuan yang disebut “panjer” atau “paningset” (di Jawa), “panyangcang” (di daerah Pasundan), “tanda kong narit” (di Aceh), “bobo mibu” (di pulau Nias), “sesere” (di kepulauan Mentawai), “passikog” (di SulawesiSelatan), “tapu” (di Halmahera), “mas aye” (di pulau Bali). Tanda pengikat dimaksud diberikan kepada keluarga perempuan atau orangtua pihak perempuan atau kepada bakal istri. 5 Di daerah Minangkabau, suku Batak, Dayak, dan Toraja, tanda pengikat ini diberikan timbal balik oleh masing-masing pihak. Dasar alasan pertunangan ini di setiap daerah tidaklah sama, akan tetapi lazimnya adalah : 5



iIbid, hlm. 50



19



a. Karena ingin menjamin perkawinan



yang dikehendaki



dapat



dilangsungkan dalam waktu dekat. b. Khususnya di daerah-daerah yang ada pergaulan sangat bebas antara muda-mudi, sekedar untuk membatasi pergaulan kedua belah pihak yang telah diikat oleh pertunangan itu. c. Memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk lebih saling mengenal. Pertunangan ini masih dimungkinkan batal apabila dalam hal-hal berikut : a. Kalau pembatalan dikehendak kedua belah pihak yang timbul setelah pertunangan berjalan beberapa waktu lamanya. b. Kalau salah satu pihak tidak memenuhi janjinya, maka tanda itu harus dikembalikan sejumlah atau berlipat dari yang diterima, sedangkan jika pihak yang lain tidak memenuhi janjinya, maka tanda pertunangan ini tidak perlu dikembalikan. 4. Bentuk-bentuk Perkawinan Adat Di kalangan masyarakat adat yang menganut sistem kekerabatan “patrilineal”, maka hukum perkawinan adat yang berlaku adalah bentuk perkawinan “jujur”. Di daerah Batak disebut “mangoli”, “beleket” di Rejang, “nuku” di Palembang, “nagkuk, hibal” di Lampung. Sedangkan pada masyarakat adat yang menganut sistem kekerabatan “matrilineal” atau jugaa “patrilineal alternerend” (kebapakan beralih-alih) bentuk hukum perkawinan adat yang berlaku adalah bentuk perkawinan “semenda”. Pada lingkungan masyarakat adat yang menganut sistem “parental” atau “bilateral”, maka hukum perkawinan adat yang berlaku adalah bentuk perkawinan “bebas” (mandiri). Bentuk hukum perkawinan adat : 1) Perkawinan Jujur Yang



dimaksud



dengan



perkawinan jujur



adalah



bentuk



perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran “jujur”, di Gayo di sebut “onjok”, di Maluku disebut “beli, wilin”, di Timor disebut “belis”



20



di Batak disebut “tuhor”. Pembayaran demikian diberikan pihak lakilaki kepada pihak perempuan sebagaimana terdapat di daerah Gayo, Maluku, Timor, Batak, Nias, Lampung, Bali, Sumba dan Timor. Dengan diterimanya uang atau barang jujur oleh pihak perempuan berarti



setelah



perkawinan



si



perempuan



akan



mengalihkan



kedudukannya ke dalam kekerabatan suami selama ia mengikatkan dirinya dalam perkawinan itu atau sebagaimana berlaku di daerah Lampung dan Batak untuk selama hidupnya. Mengenai bentuk perkawinan jujur ini dalam hukum perkawinan adat memiliki variasi bentuk yaitu : a. Perkawinan ganti suami b. Perkawinan ganti istri c. Perkawinan mengabdi d. Perkawinan ambil beri e. Perkawinan ambil anak 2) Perkawinan Semanda Perkawinan semanda pada



umumnya



berlaku



di



lingkungan



masyarakat adat yang “matrilineal” dalam rangka mempertahankan garis keturunan pihak ibu. Bentuk perkawinan ini merupakan kebalikan dari bentuk perkawinan jujur. Dalam perkawinan semanda, calon mempelai laki-laki dan kerabtnya tidak melakukan pemberian uang jujur kepada pihak perempuan, bahkan sebaliknya berlaku adat pelamaran dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Perkawinan semacam ini terdapat di lingkungan masyarakat adat Minangkabau. Setelah terjadi perkawinan, suami berada di bawah kekuasaan kerabat isteri dan kedudukan hukumnya bergantung pada bentuk perkawinan semanda yang berlaku. Bentuk perkawinan semanda ada 6 macam, yaitu : a. Semanda Raja-raja b. Semanda Lepas c. Semanda Bebas d. Semanda Nunggu



21



e. Semanda Ngangkit f. Semanda Anak Dagang 6



3) Perkawinan Bebas (Mandiri) Bentuk perkawinan bebas atau perkawinan mandiri ini pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat yang bersifat parental, seperti berlaku di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Melayu, Kalimantan dan Sulawesi serta di kalangan masyarakat Indonesia yang modern, dimana kaum keluarga atau kerabat tidak banyak lagi campur tangan dalam keluarga atau rumah tangga.



4) Perkawinan Campuran Pengertian Perkawinan Campuran dalam arti hukum adat adalah bentuk perkawinan yang terjadi antara suami dan istri yang berbeda suku bangsa, adat budaya dan atau berbeda agama yang dianut. Terjadinya perkawinan campuran pada umumnya menimbulkan masalah hukum antara tata hukum adat dan atau hukum agama, yaitu hukum yang mana dan hukum apa yang akan diberlakukan dalam pelaksanaan perkawinan itu. Pada dasarnya hukum adat atau hukum agama tidak membenarkan terjadinya perkawinan campuran. Namun dalam perkembangannya, hukum adat ada yang memberikan jalan keluar untuk mengatasi masalah ini sehingga perkawinan campuran dapat dilaksanakan.



5) Perkawinan Lari Perkawinan Lari atau biasa di sebut kawin lari dapat terjadi di suatu lingkungan masyarakat adat, tetapi paling banyak terjadi adalah di kalangan masyarakt Batak, Lampung, Bali, Bugis, Makassar dan Maluku. Walaupun kawin lari merupakan pelanggaran adat, tetapi di daerah-daerah tersebut



terdapat



tata



tertib



guna



menyelesaikan



masalah



ini.



Sesungguhnya perkawinan lari bukanlah suatu bentuk perkawinan



6



H. Hilman Hadikusuma, 1992. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm. 185.



22



sebenarnya, melainkan merupakan suatu sistem pelamaran karena dengan terjadi perkawinan lari dapat berlaku bentuk perkawinan jujur, semanda atau bebas (mandiri), tergantung pada keadaan dan perundingan kedua belah pihak.



5



Larangan Perkawinan dalam Hukum Perkawinan Adat Larangan perkawinan dalam hukum adat adalah segala sesuatu yang dapat menyebabkan perkawinan itu tidak dapat dilaksanakan karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dikehendaki oleh hukum adat atau larangan agama yang telah masuk menjadi ketentuan hukum adat. Beberapa larangan dalam hukum perkawinan adat adalah sebagai berikut : 1) Karena hubungan kekerabatan, Larangan perkawinan karena ikatan hubungan kekerabatan dapat terlihat dalam hukum adat Batak yang bersifat asymmetrisch connubium, dilarang terjadinya perkawinan antara laki-laki dengan perempuan yang satu marga. Jika di Timor disebutkan bahwa dilarang terjadi perkawinan terhadap anak yang bersaudara dengan ibu. Pada masyarakat adat Minangkabau disebut bahwa laki-laki dan perempuan dilarang kawin apabila mereka satu suku.



2) Karena perbedaan kedudukan, Dilarangnya perkawinan karena alasan perbedaan kedudukan terjadi pada masyarakat yang masih bertradisi feodalisme. Misalnya seorang laki-laki dilarang melakukan perkawinan dengan perempuan dari golongan rendah atau sebaliknya. Pada zaman sekarang, sudah banyak terjadi perkawinan antara orang dari golongan bermartabat rendah dengan mereka yang bermartabat tinggi, atau sebaliknya. Masalah perkawinan yang timbul dari perbedaan kedudukan ini sering mengakibatkan adanya ketegangan dalam kekerabatan. Namun jika dititik hukum adat bersifat luwes, maka tidak tertutup kemungkinan berikutnya bagi penyelesaian masalah perkawinan tersebut secara adat pula. Dalam hal ini yang sulit adalah penyelesaian masalah perkawinan



23



yang menyangkut keagamaan atau kepercayaan, seperti aturan dalam agama Hindu.



3) Karena perbedaan agama, Perbedaan agama ini dapat terjadi menjadi penghalang terjadinya suatu perkawinan antara laki-laki dengan perempuan, seperti di daerah Lampung setiap warga adat harus menganut agama islam, bagi mereka yang tidak beragama islam tidak dapat diterima menjadi anggota warga adat. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan yang beragama lain yang hendak melangsungkan perkawinannya harus terlebih dahulu memasuki



agama



Islam.



Bagi



mereka



yang



melangsungkan



perkawinan tidak menganut agama islam berarti harus keluar dari pergaulan adat kekerabatan orang Lampung, karena menurut hukum adat Lampung, perkawinan yang tidak dilaksanakan menurut hukum islam adalah tidak sah. Hukum islam menentukan juga tentang larangan melakukan perkawinan dalam masa “iddah“, yaitu masa tunggu bagi seorang perempuan yang cerai dari suaminya untuk dapt melakukan perkawinan lagi, hal agar dapat diketahui apakah perempuan ini mengandung atau tdak. Jika perempuan itu mengandung, maka ia diperbolehkan kawin lagi setelah anaknya lahir; apabila ia tidak mengandung, maka ia harus menunggu selama 4 bulan 10 hari jika bercerai karena suami meninggal dunia atau selama 3 (tiga) kali suci dari haid jika dikarenakan cerai hidup. 7



6. Adat Pelamaran dalam Hukum Perkawinan Adat Yang dimaksud dengan adat pelamaran dalam hukum adat adalah tata cara melakukan pelamaran sebelum berlangsung acara perkawinan secara hukum adat. Dalam hukum adat ditentukan bahwa sebelum melangsungkan ikatan perkawinan guna membentuk suatu keluarga atau 7



Prof. Dr. C. Dewi Wulansari, SH., MH., SE., MM, 2012. Hukum Adat Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, hlm. 64-66.



24



rumah tangga bahagia, seorang harus terlebih dahulu melakukan pelamaran dari pihak yang satu kepada pihak yang lain menurut tata cara adat masing-masing masyarakat adat. Tata tertib adat acara melamar di berbagai daerah di Indonesia tidaklah sama, tetapi pada umumnya pelamaran dilakukan oleh pihak keluarga atau kerabat laki-laki kepada keluarga atau kerabat perempuan. Satu hal yang berbeda adalah adat pelamaran yang terdapat di lingkungan masyarakat adat minangkabau atau di Rejang Bengkulu yang masih di pengaruhi adat istiadat Minangkabau, pelamaran dilakukan oleh pihak perempuan. Cara melamar di berbagai daerah di Indonesia, biasanya dilakukan terlebih dahulu oleh pihak yang akan melamar dengan mengirimkan utusan atau perantara perempuan atau laki-laki berkunjung kepada pihak yang



dilamar



untuk



melakukan



“penjajakan”.



Setelah



penjajakan dilakukan, barulah pelamaran secara resmi dilakukan oleh keluarga atau kerabat orang tua pihak laki-laki dengan membawa “tanda lamaran” atau “tanda pengikat”. Tanda lamaran ini biasanya terdiri dari “sirih pinang” (tepak sirih), sejumlah uang (mas kawin, uang adat), bahan makanan matang seperti dodol, wajik, reginang dan lain-lain, bahlan pakaian dan perhiasan. Barang tanda lamaran ini disampaikan oleh juru bicara pihak pelamar kepada pihak dilamar dengan bahasa dan peribahasa adat yang indah dan sopan santun serta penuh hormat dengan memperkenalkan para anggota rombongan yang datang serta hubungan kekerabatannya satu persatu dengan mempelai laki-laki. Begitu pula juru bicara dari pihak perempuan yang dilamar akan menyatakan penerimaannya dengan bahasa dan peribahasa adat. Setelah selesai kata-kata sambutan dari kedua belah pihak, maka barang-barang tanda lamaran itu diteruskan kepada tua-tua di Minangkabau diteruskan kepada tua-tua adat keluarga atau kerabat lakilaki, kemudian kedua belah pihak melanjutkan perundingan untuk mencapai kesepakatan tentang hal-hal sebagai berikut : 1. Besarnya uang jujur (uang adat, denda adat dan sebagainya) dan atau mas kawin.



25



2. Besarnya uang permintaan (biaya perkawinan dan lain-lain) dari pihak perempuan, jika di Minangkabau dari pihak laki-laki. 3. Bentuk Perkawinan dan kedudukan suami istri setelah perkawinan. 4. Perjanjian-perjanjian perkawinan, selain taklik-talak. 5. Kedudukan harta perkawinan (harta bawaan dan lain-lain). 6. Acara dan upacara adat perkawinan. 7. Waktu dan tempat upacara serta lain sebagainya. Tidak semua acara dan upacara perkawinan dilakukan oleh para pihak yang



akan



melaksanakan



perkawinan,



tergantung



pada



keadaan



kemampuan, dan masyarakat adat yang bersangkutan.8



7. Acara dan Upacara Perkawinan dalam Hukum Perkawinan Adat Mengenai acara dan upacara perkawinan dalam hukum perkawinan adat di berbagai daerah di Indonesia dalam penyelenggaraannya tidaklah sama. Terdapat perbedaan adat istiadat atau pengaruh agama dalam pelaksanaan adat perkawinan. Pelaksanaannya juga berbeda, ada yang sederhana dan ada yang besar-besaran tergantung kondisi keuangan dan status sosial mereka. Pada umumnya acara dan upacara perkawinan dalam hukum perkawinan adat telah diresapi hukum perkawinan berdasarkan ketentuan agama; Bagi mereka melakukan “ijab kabul” antara Bapak atau Wali dari mempelai perempuan dengan mempelai laki-laki dan perempuan mengucapkan perjanjian perkawinannya di hadapan pendeta atau pastur yang memberkati mereka di Gereja. Mereka yang beragama Budha, mempelai laki-laki atau perempuan mengucapkan perjanjian mereka di Wihara di depan altar suci Sang Budha (Bodesatwa) dan diberkati oleh pendeta yang disebut “khikkuhu” atau “bhikkuni“, atau “sumanera” atau “sumantri“. Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Hindu kedua mempelai laki-laki dan perempuan melakukan upacara pemberkatan yang disebut “mejayajaya” oleh Brahmana “Sulinggih“.



8



Ibid.



26



Sedangkan bagi mereka yang akan melakukan perkawinan campuran dikarenakan perbedaan agama, hendaknya salah satu mengalah dan melepaskan agama yang dianutnya, sehingga perkawinan dilakukan menurut tata cara satu agama saja. Acara pelaksanaan perkawinan yang hanya dilakukan di Kantor Catatan Sipil atau melakukan perkawinan ganda menurut agama masing-masing adalah tidak sah. Rangkaian upacara perkawinan adat yang diselengarakan secara besarbesaran dapat meliputi berbagai kegiatan adat yang diatur dan dilaksanakan oleh suatu panitia khusus yang terdiri dari tua-tua adat, kaum ibu, kaum kerabat, muda-mudi dan sebagainya, yaitu sebagai berikut : 1) upacara membawa tanda lamaran dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan; 2) upacara perkenalan calon mempelai dan keluarga (kerabat) pihak calon besan; 3) upacara peresmian mengikat tali pertunangan kedua calon mempelai; 4) upacara melepas dan mengantar atau menjemput mempelai dan menerima dengan upacara perkawinan adat; 5) upacara pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama, dan dilanjutkan dengan upacara perkawinan adat; 6) upacara pemberian gelar-gelar mempelai laki-laki dan perempuan serta penetapan kedudukan adat keduanya serta keluarga orangtuanya; 7) upacara makan bersama antara kedua kerabat besan dan para undangan; 8) upacara kunjungan keluarga kedua mempelai ketempat orang tua kerabat dan tetangga. Di daerah Lampung, upacara ini diiringi dengan seni tabuh, seni suara dan seni tari tradisional serta pertemuan-pertemuan muda-mudi. Segala sesuatunya diatur oleh penglaku adat (panitia) menurut tata tertib adat setempat, termasuk tatatertib pakaian perhiasan adat yang dapat digunakan. Di masa sekarang upacara seperti ini sudah mulai jarang dilaksanakan lagi.9



9



Prof. Dr. C. Dewi Wulansari, SH., MH., SE., MM, 2012. Hukum Adat Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, hlm. 69-70.



27



BAB III PENUTUP



3.1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan diatas dapat kami simpulkan bahwa hukum keluarga itu tidak lepas dari yang namanya perkawinan, karena keluarga ada dikarenakan adanya perkawinan. Selain itu hukum kekeluargaan juga membahas tentang hubungan-hubungan dalam keluarga, baik hubungan antara anak dan orangtua, anak dengan kerabat, serta membahas tentang hukum pengangkatan anak dan adopsi. Dan dari hubungan anak dengan orangtua melahirkan sesuatu aturan yang disebut kekuasaan orangtua.



3.2 Saran Dengan penulisan makalah ini diharapkan pembaca dapat memperoleh pengetahuan yang lebih luas tentang hukum adat kekeluargaan, mengenai bagaimana tentang pengertian, tentang garis keturunan, hubungan-hubungan keluarga dilihat dari sisi adat di Indonesia.



28



DAFTAR PUSTAKA



-



Literatur : 1. Wulansari, Catharina Dewi. 2012. Hukum Adat Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama. 2. Soekanto, Soerjono. 2012. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.



-



Internet :



http://elisa.ugm.ac.id/user/archive/download/270570/j0jps69ptrg9rhoerc6r46tan1 http://arimardana.blog.fisip.uns.ac.id/2015/06/06/hukum-kekeluargaan-adat/



http://staffnew.uny.ac.id/upload/132314547/pendidikan/DIKTAT+HUKUM+ ADAT.pdf



29