Hukum Memakai Cadar Dalam 4 Mazhab, Dalil Wajib, Dalil Tidak, Pandangan Ulama, Dan Menggunakkan Cadar Ketika Shalat [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Hukum Memakai Cadar Dalam Pandangan 4 Mazhab Wanita bercadar seringkali diidentikkan dengan orang arab atau timur-tengah. Padahal memakai cadar atau menutup wajah bagi wanita adalah ajaran Islam yang didasari dalil-dalil Al Qur’an, hadits-hadits shahih serta penerapan para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam serta para ulama yang mengikuti mereka. Sehingga tidak benar anggapan bahwa hal tersebut merupakan sekedar budaya timur-tengah. Berikut ini sengaja kami bawakan pendapat-pendapat para ulama madzhab, tanpa menyebutkan pendalilan mereka, untuk membuktikan bahwa pembahasan ini tertera dan dibahas secara gamblang dalam kitab-kitab fiqih 4 madzhab. Lebih lagi, ulama 4 madzhab semuanya menganjurkan wanita muslimah untuk memakai cadar, bahkan sebagiannya sampai kepada anjuran wajib. Beberapa penukilan yang disebutkan di sini hanya secuil saja, karena masih banyak lagi penjelasan-penjelasan serupa dari para ulama madzhab. 1. Madzhab Hanafi Pendapat madzhab Hanafi, wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah. * Asy Syaranbalali berkata: ‫ وهو المختار‬، ‫وجميع بدن الحرة عورة إال وجهها وكفيها باطنهما وظاهرهما في األصح‬ “Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam serta telapak tangan luar, ini pendapat yang lebih shahih dan merupakan pilihan madzhab kami“ (Matan Nuurul Iidhah) * Al Imam Muhammad ‘Alaa-uddin berkata:



‫ وإنما يؤدي‬، ‫ وليس بعورة على األشبه‬،‫ وكذا صوتها‬، ‫ وقدميها في رواية‬، ‫وجميع بدن الحرة عورة إال وجهها وكفيها‬ ‫ ولذا تمنع من كشف وجهها بين الرجال للفتنة‬، ‫إلى الفتنة‬ “Seluruh badan wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam. Dalam suatu riwayat, juga telapak tangan luar. Demikian juga suaranya. Namun bukan aurat jika dihadapan sesama wanita. Jika cenderung menimbulkan fitnah, dilarang menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki” (Ad Durr Al Muntaqa, 81) * Al Allamah Al Hashkafi berkata: ‫ بل يندب‬، ‫سدَلَت شيئًا عليه َو َجافَتهُ جاز‬ َ ‫ ولو‬، ‫ لكنها تكشف وجهها ال رأسها‬، ‫والمرأة كالرجل‬ “Aurat wanita dalam shalat itu seperti aurat lelaki. Namun wajah wanita itu dibuka sedangkan kepalanya tidak. Andai seorang wanita memakai sesuatu di wajahnya atau menutupnya, boleh, bahkan dianjurkan” (Ad Durr Al Mukhtar, 2/189) * Al Allamah Ibnu Abidin berkata: ‫ ألنه مع الكشف قد يقع النظر إليها بشهوة‬، ‫تُمنَ ُع من الكشف لخوف أن يرى الرجال وجهها فتقع الفتنة‬ “Terlarang bagi wanita menampakan wajahnya karena khawatir akan dilihat oleh para lelaki, kemudian timbullah fitnah. Karena jika wajah dinampakkan, terkadang lelaki melihatnya dengan syahwat” (Hasyiah ‘Alad Durr Al Mukhtaar, 3/188-189) * Al Allamah Ibnu Najiim berkata: ‫ تمنع المرأة الشابة من كشف وجهها بين الرجال في زماننا للفتنة‬: ‫قال مشايخنا‬ “Para ulama madzhab kami berkata bahwa terlarang bagi wanita muda untuk menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki di zaman kita ini, karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah” (Al Bahr Ar Raaiq, 284)



Beliau berkata demikian di zaman beliau, yaitu beliau wafat pada tahun 970 H, bagaimana dengan zaman kita sekarang? 2. Madzhab Maliki Mazhab Maliki berpendapat bahwa wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Bahkan sebagian ulama Maliki berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat. * Az Zarqaani berkata: ‫ وأما الوجه والكفان‬. ‫ص تها‬ َّ ‫ حتى دالليها وق‬، ‫وعورة الحرة مع رجل أجنبي مسلم غير الوجه والكفين من جميع جسدها‬ ، ‫ إال لخوف فتنة أو قصد لذة فيحرم‬، ‫ فله رؤيتهما مكشوفين ولو شابة بال عذر من شهادة أو طب‬، ‫ظاهرهما وباطنهما‬ ‫ كما للفاكهاني والقلشاني‬، ‫كنظر ألمرد‬ “Aurat wanita di depan lelaki muslim ajnabi adalah seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan. Bahkan suara indahnya juga aurat. Sedangkan wajah, telapak tangan luar dan dalam, boleh dinampakkan dan dilihat oleh laki-laki walaupun wanita tersebut masih muda baik sekedar melihat ataupun untuk tujuan pengobatan. Kecuali jika khawatir timbul fitnah atau lelaki melihat wanita untuk berlezat-lezat, maka hukumnya haram, sebagaimana haramnya melihat amraad. Hal ini juga diungkapkan oleh Al Faakihaani dan Al Qalsyaani” (Syarh Mukhtashar Khalil, 176) * Ibnul Arabi berkata: ‫ أو داء يكون‬، ‫ كالشهادة عليها‬، ‫ أ و لحاجة‬، ‫ فال يجوز كشف ذلك إال لضرورة‬، ‫ وصوتها‬، ‫ بدنها‬، ‫والمرأة كلها عورة‬ ُّ َ‫ أو سؤالها عما ي‬، ‫ببدنها‬ ‫عن ويعرض عندها‬ “Wanita itu seluruhnya adalah aurat. Baik badannya maupun suaranya. Tidak boleh menampakkan wajahnya kecuali darurat atau ada kebutuhan mendesak seperti persaksian atau pengobatan pada badannya, atau kita dipertanyakan apakah ia adalah orang yang dimaksud (dalam sebuah persoalan)” (Ahkaamul Qur’an, 3/1579)



* Al Qurthubi berkata: ، ‫ إن المرأة اذا كانت جميلة وخيف من وجهها وكفيها الفتنة‬: ‫قال ابن ُخويز منداد ــ وهو من كبار علماء المالكية ـ‬ ً ‫عجوزا أو مقبحة جاز أن تكشف وجهها وكفيها‬ ‫فعليها ستر ذلك ؛ وإن كانت‬ “Ibnu Juwaiz Mandad – ia adalah ulama besar Maliki – berkata: Jika seorang wanita itu cantik dan khawatir wajahnya dan telapak tangannya menimbulkan fitnah, hendaknya ia menutup wajahnya. Jika ia wanita tua atau wajahnya jelek, boleh baginya menampakkan wajahnya” (Tafsir Al Qurthubi, 12/229) * Al Hathab berkata: ‫ ونقله عنه الشيخ أحمد‬، ‫ قاله القاضي عبد الوهاب‬. ‫واعلم أنه إن ُخشي من المرأة الفتنة يجب عليها ستر الوجه والكفين‬ ‫ وهو ظاهر التوضيح‬، ‫زروق في شر ح الرسالة‬ ّ “Ketahuilah, jika dikhawatirkan terjadi fitnah maka wanita wajib menutup wajah dan telapak tangannya. Ini dikatakan oleh Al Qadhi Abdul Wahhab, juga dinukil oleh Syaikh Ahmad Zarruq dalam Syarhur Risaalah. Dan inilah pendapat yang lebih tepat” (Mawahib Jaliil, 499) * Al Allamah Al Banaani, menjelaskan pendapat Az Zarqani di atas: ً ‫وهو الذي البن مرزوق في اغتنام الفرصة‬ ‫ ونقل الحطاب أيضًا الوجوب عن القاضي عبد‬، ‫ إنه مشهور المذهب‬: ‫قائال‬ ‫صل الشيخ‬ َّ ‫ وف‬. ‫ وهو مقتضى نقل َم َّواق عن عياض‬، ‫ وإنما على الرجل غض بصره‬، ‫ أو ال يجب عليها ذلك‬، ‫الوهاب‬ ‫ وغيرها فيُستحب‬، ‫زروق في شرح الوغليسية بين الجميلة فيجب عليها‬ “Pendapat tersebut juga dikatakan oleh Ibnu Marzuuq dalam kitab Ightimamul Furshah, ia berkata: ‘Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Maliki’. Al Hathab juga menukil perkataan Al Qadhi Abdul Wahhab bahwa hukumnya wajib. Sebagian ulama Maliki menyebutkan pendapat bahwa hukumnya tidak wajib namun laki-laki wajib menundukkan pandangannya. Pendapat ini dinukil Mawwaq dari Iyadh. Syaikh Zarruq dalam



kitab Syarhul Waghlisiyyah merinci, jika cantik maka wajib, jika tidak cantik maka sunnah” (Hasyiyah ‘Ala Syarh Az Zarqaani, 176) 3. Madzhab Syafi’i Pendapat madzhab Syafi’i, aurat wanita di depan lelaki ajnabi (bukan mahram) adalah seluruh tubuh. Sehingga mereka mewajibkan wanita memakai cadar di hadapan lelaki ajnabi. Inilah pendapat mu’tamad madzhab Syafi’i. * Asy Syarwani berkata: ‫ وعورة بالنسبة لنظر‬. ‫ وهو ما تقدم ـ أي كل بدنه ا ما سوى الوجه والكفين‬، ‫ عورة في الصالة‬: ‫إن لها ثالث عورات‬ ‫ كعورة الرجل »اهـ ـ‬: ‫ جميع بدنها حتى الوجه والكفين على المعتمد وعورة في الخلوة وعند المحارم‬: ‫األجانب إليها‬ ‫أي ما بين السرة والركبة ـ‬ “Wanita memiliki tiga jenis aurat, (1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah dijelaskanyaitu seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, (2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad, (3) aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti laki-laki, yaitu antara pusar dan paha” (Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112) * Syaikh Sulaiman Al Jamal berkata: ‫ فما بين‬، ‫ وأما عورتها عند النساء المسلمات مطلقًا وعند الرجال المحارم‬. ‫ وهذه عورتها في الصالة‬: ‫غير وجه وكفين‬ ‫ وأما ع ند الرجال األجانب فجميع البدن‬. ‫السرة والركبة‬ “Maksud perkataan An Nawawi ‘aurat wanita adalah selain wajah dan telapak tangan’, ini adalah aurat di dalam shalat. Adapun aurat wanita muslimah secara mutlak di hadapan lelaki yang masih mahram adalah antara pusar hingga paha. Sedangkan di hadapan lelaki yang bukan mahram adalah seluruh badan” (Hasyiatul Jamal Ala’ Syarh Al Minhaj, 411) * Syaikh Muhammad bin Qaasim Al Ghazzi, penulis Fathul Qaarib, berkata:



‫ أما خارج الصالة فعورتها جميع بدنها‬، ‫ وهذه عورتها في الصالة‬، ‫وجميع بدن المرأة الحرة عورة إال وجهها وكفيها‬ “Seluruh badan wanita selain wajah dan telapak tangan adalah aurat. Ini aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, aurat wanita adalah seluruh badan” (Fathul Qaarib, 19) * Ibnu Qaasim Al Abadi berkata: ‫ بل لخوف‬، ‫ ووجوب سترهما في الحياة ليس لكونهما عورة‬. ‫فيجب ما ستر من األنثى ولو رقيقة ما عدا الوجه والكفين‬ ‫الفتنة غالبًا‬ “Wajib bagi wanita menutup seluruh tubuh selain wajah telapak tangan, walaupun penutupnya tipis. Dan wajib pula menutup wajah dan telapak tangan, bukan karena keduanya adalah aurat, namun karena secara umum keduanya cenderung menimbulkan fitnah” (Hasyiah Ibnu Qaasim ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 3/115) * Taqiyuddin Al Hushni, penulis Kifaayatul Akhyaar, berkata: ‫ والمرأة متنقّبة إال أن تكون في مسجد وهناك أجانب ال يحترزون عن‬، ‫وي ُكره أن يصلي في ثوب فيه صورة وتمثيل‬ ‫ فإن خيف من النظر إليها ما يجر إلى الفساد حرم عليها رفع النقاب‬، ‫النظر‬ “Makruh hukumnya shalat dengan memakai pakaian yang bergambar atau lukisan. Makruh pula wanita memakai niqab (cadar) ketika shalat. Kecuali jika di masjid kondisinya sulit terjaga dari pandnagan lelaki ajnabi. Jika wanita khawatir dipandang oleh lelaki ajnabi sehingga menimbulkan kerusakan, haram hukumnya melepaskan niqab (cadar)” (Kifaayatul Akhyaar, 181) 4. Madzhab Hambali * Imam Ahmad bin Hambal berkata: ‫كل شيء منها ــ أي من المرأة الحرة ــ عورة حتى الظفر‬



“Setiap bagian tubuh wanita adalah aurat, termasuk pula kukunya” (Dinukil dalam Zaadul Masiir, 6/31) * Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz Al ‘Anqaari, penulis Raudhul Murbi’, berkata: » ‫ وأما خارجها‬. ‫ اهـ إال وجهها فليس عورة في الصالة‬. ‫ صرح به في الرعاية‬، ‫وكل الحرة البالغة عورة حتى ذوائبها‬ ‫فكلها عورة حتى وجهها بالنسبة إلى الرجل والخنثى وبالنسبة إلى مثلها عورتها ما بين السرة إلى الركبة‬ “Setiap bagian tubuh wanita yang baligh adalah aurat, termasuk pula sudut kepalanya. Pendapat ini telah dijelaskan dalam kitab Ar Ri’ayah… kecuali wajah, karena wajah bukanlah aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, semua bagian tubuh adalah aurat, termasuk pula wajahnya jika di hadapan lelaki atau di hadapan banci. Jika di hadapan sesama wanita, auratnya antara pusar hingga paha” (Raudhul Murbi’, 140) * Ibnu Muflih berkata: » ، ‫ وال ُخفَّها‬، ‫ فإذا خرجت فال تبين شيئ ًا‬، ‫ظفرها عورة‬: ‫ وال تبدي زينتها إال لمن في اآلية ونقل أبو طالب‬: ‫قال أحمد‬ ‫زرا عند يدها‬ ً ‫ي أن تجعل لكـ ّمها‬ َّ ‫ وأحبُّ إل‬، ‫فإنه يصف القدم‬ “Imam Ahmad berkata: ‘Maksud ayat tersebut adalah, janganlah mereka (wanita) menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada orang yang disebutkan di dalam ayat ‘. Abu Thalib menukil penjelasan dari beliau (Imam Ahmad): ‘Kuku wanita termasuk aurat. Jika mereka keluar, tidak boleh menampakkan apapun bahkan khuf (semacam kaus kaki), karena khuf itu masih menampakkan lekuk kaki. Dan aku lebih suka jika mereka membuat semacam kancing tekan di bagian tangan’” (Al Furu’, 601-602) * Syaikh Manshur bin Yunus bin Idris Al Bahuti, ketika menjelaskan matan Al Iqna’ , ia berkata: » ‫ « والوجه » من الحرة البالغة « عورة خارجها » أي الصالة « باعتبار النظر كبقية بدنها‬. ‫ الكفان‬: ‫« وهما » أي‬



“’Keduanya, yaitu dua telapak tangan dan wajah adalah aurat di luar shalat karena adanya pandangan, sama seperti anggota badan lainnya” (Kasyful Qanaa’, 309) * Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: ‫القول الراجح في هذه المسألة وجوب ستر الوجه عن الرجال األجانب‬ “Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah wajib hukumnya bagi wanita untuk menutup



wajah



dari



pada



lelaki ajnabi”



(Fatawa



Nurun



‘Alad



Darb, http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_4913.shtml) Cadar Adalah Budaya Islam Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa memakai cadar (dan juga jilbab) bukanlah sekedar budaya timur-tengah, namun budaya Islam dan ajaran Islam yang sudah diajarkan oleh para ulama Islam sebagai pewaris para Nabi yang memberikan pengajaran kepada seluruh umat Islam, bukan kepada masyarakat timur-tengah saja. Jika memang budaya Islam ini sudah dianggap sebagai budaya lokal oleh masyarakat timur-tengah, maka tentu ini adalah perkara yang baik. Karena memang demikian sepatutnya, seorang muslim berbudaya Islam. Diantara bukti lain bahwa cadar (dan juga jilbab) adalah budaya Islam : 1. Sebelum turun ayat yang memerintahkan berhijab atau berjilbab, budaya masyarakat arab Jahiliyah adalah menampakkan aurat, bersolek jika keluar rumah, berpakaian



seronok



atau



disebut



dengan tabarruj.



Oleh



karena



itu



Allah Ta’ala berfirman: ‫َوقَ ْر َن فِي بُي ُوتِ ُك َّن َو َال تَبَ َّرجْ َن تَبَ ُّر َج ْال َج ا ِه ِليَّ ِة ْاأل ُولَى‬ “Hendaknya kalian (wanita muslimah), berada di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian ber-tabarruj sebagaimana yang dilakukan wanita jahiliyah



(QS.



terdahulu” Sedangkan,



yang



disebut



Al dengan



Ahzab: jahiliyah



adalah



33) masa



ketika



Rasulullah Shallalahu’alihi Wasallam belum di utus. Ketika Islam datang, Islam mengubah budaya buruk ini dengan memerintahkan para wanita untuk berhijab. Ini membuktikan bahwa hijab atau jilbab adalah budaya yang berasal dari Islam. 2. Ketika turun ayat



hijab, para wanita muslimah



yang beriman kepada



Rasulullah Shallalahu’alaihi Wasallam seketika itu mereka mencari kain apa saja yang bisa menutupi aurat mereka. ‘Aisyah Radhiallahu’anha berkata: ْ َ‫َّما نَزَ ل‬ َ َ‫علَى ُجي ُوبِ ِه َّن ( أ َ َخ ذْنَ أ ُ ْز َره َُّن ف‬ َ‫شقَّقْنَ َها ِم ْن قِبَ ِل ْال َح َوا ِشي فَا ْخت َ َم ْرن‬ َ ‫ت َه ِذ ِه ْاآليَة ُ ) َو ْليَض ِْر ْب َن بِ ُخ ُم ِر ِه َّن‬ ‫بِ َه ا‬ “(Wanita-wanita Muhajirin), ketika turun ayat ini: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. An Nuur: 31), mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya.” (HR. Bukhari 4759) Menunjukkan bahwa sebelumnya mereka tidak berpakaian yang menutupi aurataurat mereka sehingga mereka menggunakan kain yang ada dalam rangka untuk mentaati ayat tersebut. Singkat kata, para ulama sejak dahulu telah membahas hukum memakai cadar bagi wanita. Sebagian mewajibkan, dan sebagian lagi berpendapat hukumnya sunnah. Tidak ada diantara mereka yang mengatakan bahwa pembahasan ini hanya berlaku bagi wanita muslimah arab atau timur-tengah saja. Sehingga tidak benar bahwa memakai cadar itu aneh, ekstrim, berlebihan dalam beragama, atau ikut-ikutan budaya negeri arab. Penukilan pendapat-pendapat para ulama di atas merupakan kesungguhan dari akhi Ahmad Syabib dalam forum Fursanul Haq(http://www.forsanelhaq.com/showthread.php?t=83503) Penerjemah: Yulian Purnama Artikel www.muslim.or.id



Hukum Cadar (Dalil Yang Mewajibkan) HUKUM CADAR (1) Soal: Apakah hukum cadar (menutup wajah) bagi wanita, wajib atau tidak? Jawab: Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan wajib, yang lain menyatakan tidak wajib, namun merupakan keutamaan. DALIL YANG MEWAJIBKAN Inilah secara ringkas dalil-dalil para ulama yang mewajibkan cadar bagi wanita. 1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: َّ‫َار ِّهنَّ َويَحْ فَ ْظنَ فُ ُروجَ ُهن‬ ُ ‫ت يَ ْغ‬ ِّ ‫َوقُل ِّل ْل ُمؤْ ِّمنَا‬ ِّ ‫ضضْنَ ِّم ْن أَ ْبص‬ Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka. [An Nur/24: 31] Allah Ta’ala memerintahkan kaum mukminat untuk memelihara kemaluan mereka, hal itu juga mencakup perintah melakukan sarana-sarana untuk memelihara kemaluan. Karena menutup wajah termasuk sarana untuk memelihara kemaluan, maka juga diperintahkan, karena sarana memiliki hukum tujuan [1]. 2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. ‫َوالَ يُ ْب ِّدينَ ِّزينَت َ ُهنَّ إِّالَّ َما َظه ََر ِّم ْنهَا‬ Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. [An Nur/24: 31] Ibnu Mas’ud berkata tentang perhiasan yang (biasa) nampak dari wanita: “(yaitu) pakaian” [2]. Dengan demikian yang boleh nampak dari wanita hanyalah pakaian, karena memang tidak mungkin disembunyikan.



3. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:



ْ َ‫َو ْلي‬ َّ‫علَى ُجيُو ِّب ِّهن‬ َ َّ‫ض ِّر ْبنَ ِّب ُخ ُم ِّر ِّهن‬ Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka. [An Nur/24: 31] Berdasarkan ayat ini wanita wajib menutupi dada dan lehernya. Kalau menutupi dada dan lehernya saja wajibmaka menutup wajah lebih wajib! Karena wajah adalah tempat kecantikan dan godaan. Bagaimana mungkin agama yang bijaksana ini memerintahkan wanita menutupi dada dan lehernya, tetapi membolehkan membuka wajah? 4. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: ْ َ‫َوالَ ي‬ َّ‫ض ِّر ْبنَ ِّبأ َ ْر ُج ِّل ِّهنَّ ِّليُ ْعلَ َم َمايُ ْخ ِّفينَ ِّمن ِّزينَتِّ ِّهن‬ “Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” [An Nur/24: 31] Allah melarang wanita menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasannya yang dia sembunyikan, seperti gelang kaki dan sebagainya. Hal ini karena dikhawatirkan laki-laki akan tergoda gara-gara mendengar suara gelang kakinya atau semacamnya. Maka godaan yang ditimbulkan karena memandang wajah wanita cantik, apalagi yang dirias, lebih besar dari pada sekedar mendengar suara gelang kaki wanita. Sehingga wajah wanita lebih pantas untuk ditutup untuk menghindarkan kemaksiatan. [4] 5. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: َ َّ‫ض ْعنَ ثِّيَابَ ُهن‬ َ َ‫ح أَن ي‬ ٍ ‫غي َْر ُمتَبَ ِّرجَا‬ ‫ستَ ْع ِّف ْفنَ َخي ٌْر‬ َ ‫ْس‬ ٌ ‫علَي ِّْهنَّ ُج َنا‬ ِّ ‫س‬ ْ َ‫ت ِّب ِّزينَ ٍة َوأَن ي‬ َ ِّ‫َوا ْلقَ َوا ِّع ُد ِّمنَ الن‬ َ ‫آء االَّتِّي الَيَ ْر ُجونَ نِّكَا ًحا َفلَي‬ َّ ‫ع ِّلي ٌم‬ َ ‫س ِّمي ٌع‬ َ ُ‫ل ُهنَّ َوهللا‬ “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [An Nur/24: 60] Wanita-wanita tua dan tidak ingin kawin lagi ini diperbolehkan menanggalkan pakaian mereka. Ini bukan berarti mereka kemudian telanjang. Tetapi yang dimaksud dengan pakaian di sini adalah pakaian yang menutupi seluruh badan, pakaian yang dipakai di atas baju (seperti mukena), yang baju wanita umumnya tidak menutupi wajah dan telapak tangan. Ini berarti wanita-wanita muda dan berkeinginan untuk kawin harus menutupi wajah mereka. [5] Abdullah bin Mas’ud dan Ibnu Abbas berkata tentang firman Allah “Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka.” (An Nur:60): “(Yaitu) jilbab”. [6]



Dari ‘Ashim Al-Ahwal, dia berkata: “Kami menemui Hafshah binti Sirin, dan dia telah mengenakan jilbab seperti ini, yaitu dia menutupi wajah dengannya. Maka kami mengatakan kepadanya: “Semoga Allah merahmati Anda, Allah telah berfirman, َ َّ‫ض ْعنَ ثِّيَابَ ُهن‬ َ َ‫ح أَن ي‬ ٍ ‫غي َْر ُمتَبَ ِّرجَا‬ ‫ت بِّ ِّزينَ ٍة‬ َ ‫ْس‬ ٌ ‫علَي ِّْهنَّ ُج َنا‬ ِّ ‫س‬ َ ِّ‫َوا ْلقَ َوا ِّع ُد ِّمنَ الن‬ َ ‫آء االَّتِّي الَيَ ْر ُجونَ نِّكَا ًحا َفلَي‬ “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan.” [An-Nur/24: 60] Yang dimaksud adalah jilbab. Dia berkata kepada kami: “Apa firman Allah setelah itu?” Kami menjawab: ‫ع ِّلي ٌم‬ َ ‫س ِّمي ٌع‬ ْ َ‫َوأَن ي‬ َ ُ‫ستَ ْع ِّف ْفنَ َخي ٌْر لَّ ُهنَّ َوهللا‬ “Dan jika mereka berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [An-Nur/24: 60] Dia mengatakan, “Ini menetapkan jilbab.” [7] 6. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: َ ٍ ‫غي َْر ُمتَ َب ِّرجَا‬ ‫ت ِّب ِّزينَ ٍة‬ “Dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan.” [An-Nur/24: 60] Ini berarti wanita muda wajib menutup wajahnya, karena kebanyakan wanita muda yang membuka wajahnya, berkehendak menampakkan perhiasan dan kecantikan, agar dilihat dan dipuji oleh laki-laki. Wanita yang tidak berkehendak seperti itu jarang, sedang perkara yang jarang tidak dapat dijadikan sandaran hukum. [8] 7. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: َ َ‫آء ا ْل ُمؤْ ِّمنِّينَ يُ ْدنِّين‬ ِّ ‫س‬ َ ِّ‫اجكَ َوبَ َناتِّكَ َون‬ ُ‫ع َلي ِّْهنَّ ِّمن َجالَبِّيبِّ ِّهنَّ ذَ ِّلكَ أ َ ْد َنى أَن يُ ْع َر ْفنَ فَالَ يُؤْ ذَ ْينَ َوكَانَ هللا‬ ِّ ‫يَآأَيُّهَا النَّبِّ ُّي قُل أل َ ْز َو‬ َ ‫ورا َّر ِّحي ًما‬ ً ُ‫غف‬ “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Al Ahzab/33: 59]



Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Allah memerintahkan kepada istri-istri kaum mukminin, jika mereka keluar rumah karena suatu keperluan, hendaklah mereka menutupi wajah mereka dengan jilbab (pakaian semacam mukena) dari kepala mereka. Mereka dapat menampakkan satu mata saja.” [9] Qatadah berkata tentang firman Allah ini (Al Ahzab/33: 59), “Allah memerintahkan para wanita, jika mereka keluar (rumah) agar menutupi alis mereka, sehingga mereka mudah dikenali dan tidak diganggu.” [10] Diriwayatkan Ibnu Abbas berkata, “Wanita itu mengulurkan jilbabnya ke wajahnya, tetapi tidak menutupinya.” [11] Abu ‘Ubaidah As-Salmani dan lainnya mempraktekkan cara mengulurkan jilbab itu dengan selendangnya, yaitu menjadikannya sebagai kerudung, lalu dia menutupi hidung dan matanya sebelah kiri, dan menampakkan matanya sebelah kanan. Lalu dia mengulurkan selendangnya dari atas (kepala) sehingga dekat ke alisnya, atau di atas alis. [12]. As-Suyuthi berkata, “Ayat hijab ini berlaku bagi seluruh wanita, di dalam ayat ini terdapat dalil kewajiban menutup kepala dan wajah bagi wanita.” [13] Perintah mengulurkan jilbab ini meliputi menutup wajah berdasarkan beberapa dalil: [14] a). Makna jilbab dalam bahasa Arab adalah: Pakaian yang luas yang menutupi seluruh badan. Sehingga seorang wanita wajib memakai jilbab itu pada pakaian luarnya dari ujung kepalanya turun sampai menutupi wajahnya, segala perhiasannya dan seluruh badannya sampai menutupi kedua ujung kakinya. b). Yang biasa nampak pada sebagian wanita jahiliah adalah wajah mereka, lalu Allah perintahkan istri-istri dan anak-anak perempuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta istriistri orang mukmin untuk mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka. Kata idna’ (pada ayat tersebut َ‫ يُ ْدنِّين‬-ed) yang ditambahkan huruf (‫علَي‬ َ ) mengandung makna mengulurkan dari atas. Maka jilbab itu diulurkan dari atas kepala menutupi wajah dan badan. c). Menutupi wajah, baju, dan perhiasan dengan jilbab itulah yang dipahami oleh wanitawanita sahabat. d). Dalam firman Allah: “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu”, merupakan dalil kewajiban hijab dan menutup wajah bagi istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada perselisihan dalam hal ini di antara kaum muslimin. Sedangkan dalam ayat ini istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bersama-sama dengan anak-anak perempuan beliau serta istri-istri orang mukmin. Ini berarti hukumnya mengenai seluruh wanita mukmin. e). Dalam firman Allah: “Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” Menutup wajah wanita merupakan tanda wanita baikbaik, dengan demikian tidak akan diganggu. Demikian juga jika wanita menutupi wajahnya,



maka laki-laki yang rakus tidak akan berkeinginan untuk membuka anggota tubuhnya yang lain. Maka membuka wajah bagi wanita merupakan sasaran gangguan dari laki-laki nakal/jahat. Maka dengan menutupi wajahnya, seorang wanita tidak akan memikat dan menggoda laki-laki sehingga dia tidak akan diganggu. 8. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: َ‫سآئِّ ِّهنَّ َوال‬ َ ‫الَّ ُجنَا َح‬ ِّ َ‫آء إِّ ْخ َوانِّ ِّهنَّ َوآل أَ ْبن‬ ِّ َ‫علَي ِّْهنَّ فِّي َءابَآئِّ ِّهنَّ َوآل أَ ْبنَآئِّ ِّهنَّ َوآل إِّ ْخ َوانِّ ِّهنَّ َوآل أ َ ْبن‬ َ ِّ‫آء أَ َخ َواتِّ ِّهنَّ َوالَ ن‬ ‫ع َلى ك ُِّل ش َْىءٍ ش َِّهيدًا‬ َ َ‫َما َملَكَتْ أ َ ْي َمانُ ُهنَّ َوات َّ ِّقينَ هللاَ إِّنَّ هللاَ كَان‬ “Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan, perempuan-perempuan yang beriman dan hamba sahaya yang mereka miliki, dan bertakwalah kamu (hai istri-istri Nabi) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” [Al Ahzab/33: 55] Ibnu Katsir berkata, “Ketika Allah memerintahkan wanita-wanita berhijab dari lakilaki asing (bukan mahram), Dia menjelaskan bahwa (para wanita) tidak wajib berhijab dari karib kerabat ini.” Kewajiban wanita berhijab dari laki-laki asing adalah termasuk menutupi wajahnya. 9. Firman Allah. َّ‫ب ذَ ِّل ُك ْم أَ ْطه َُر ِّلقُلُو ِّب ُك ْم َوقُلُو ِّب ِّهن‬ ِّ ‫سئَلُوهُنَّ ِّمن َو َر‬ ْ َ‫سأ َ ْلت ُ ُموهُنَّ َمتَاعًا ف‬ َ ‫َوإِّذَا‬ ٍ ‫آء ِّحجَا‬ “Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” [Al Ahzab/33: 53] Ayat ini jelas menunjukkan wanita wajib menutupi diri dari laki-laki, termasuk menutup wajah, yang hikmahnya adalah lebih menjaga kesucian hati wanita dan hati lakilaki. Sedangkan menjaga kesucian hati merupakan kebutuhan setiap manusia, yaitu tidak khusus bagi istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat saja, maka ayat ini umum, berlaku bagi para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan semua wanita mukmin. Setelah turunnya ayat ini maka Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam menutupi istri-istri beliau, demikian para sahabat menutupi istri-istri mereka, dengan menutupi wajah, badan, dan perhiasan [15]. 10. Firman Allah: َ ‫آء ِّإ ِّن اتَّقَ ْيت ُنَّ فَالَ تَ ْخ‬ }32{ ‫ض ْعنَ ِّبا ْلقَ ْو ِّل فَيَ ْط َم َع الَّذِّي فِّي قَ ْل ِّب ِّه َم َرضٌ َو ُق ْلنَ قَ ْوالً َّم ْع ُرو ًفا‬ ِّ ‫س‬ ْ َ‫سآ َء النَّ ِّبي ِّ ل‬ َ ِّ‫ست ُنَّ َكأ َ َح ٍد ِّمنَ الن‬ َ ِّ‫يَان‬ َ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ َّ ْ َ َ َّ َ‫صالة َو َءاتِّين‬ ‫ب‬ َّ ‫َوقَ ْرنَ فِّي بُيُوتِّكُنَّ َوالتَبَ َّرجْ نَ تَبَ ُّر َج الجَا ِّه ِّليَّ ِّة األ ْولى َوأقِّ ْمنَ ال‬ َ ‫سولهُ إِّن َما يُ ِّري ُد هللاُ ِّليُذ ِّه‬ ُ ‫الزكَاة َوأ ِّط ْعنَ هللاَ َو َر‬ ‫يرا‬ ِّ ‫س أ َ ْه َل ا ْلبَ ْي‬ َ ْ‫الرج‬ ً ‫ت َويُ َط ِّه َر ُك ْم تَ ْط ِّه‬ ِّ ‫عَن ُك ُم‬



“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan RasulNya.Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” [Al Ahzab/33 : 32-33] Ayat ini ditujukan kepada para istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi hukumnya mencakup wanita mukmin, karena sebab hikmah ini, yaitu untuk menghilangkan dosa dan membersihkan jiwa sebersih-bersihnya, juga mengenai wanita mukmin. Dari kedua ayat ini didapatkan kewajiban hijab (termasuk menutup wajah) bagi wanita dari beberapa sisi: [16] a). Firman Allah: “Janganlah kamu tunduk dalam berbicara” adalah larangan Allah terhadap wanita untuk berbicara secara lembut dan merdu kepada laki-laki. Karena hal itu akan membangkitkan syahwat zina laki-laki yang diajak bicara. Tetapi seorang wanita haruslah berbicara sesuai kebutuhan dengan tanpa memerdukan suaranya. Larangan ini merupakan sebab-sebab untuk menjaga kemaluan, dan hal itu tidak akan sempurna kecuali dengan hijab. b). Firman Allah: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu” merupakan perintah bagi wanita untuk selalu berada di dalam rumah, menetap dan merasa tenang di dalamnya. Maka hal ini sebagai perintah untuk menutupi badan wanita di dalam rumah dari laki-laki asing. c). Firman Allah: “Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” adalah larangan terhadap wanita dari banyak keluar dengan berhias, memakai minyak wangi dan menampakkan perhiasan dan keindahan, termasuk menampakkan wajah. 11. Ummu ‘Athiyah berkata: ْ َ‫ُور فَي‬ ‫ض ع َْن‬ ِّ ‫ض يَ ْو َم ا ْل ِّعي َدي ِّْن َوذَ َوا‬ َ َّ‫أ ُ ِّم ْرنَا أ َ ْن نُ ْخ ِّر َج ا ْل ُحي‬ ُ َّ‫س ِّل ِّمينَ َو َدع َْوتَ ُه ْم َويَ ْعت َ ِّز ُل ا ْل ُحي‬ ْ ‫ش َهدْنَ َج َماعَةَ ا ْل ُم‬ ِّ ‫ت ا ْل ُخد‬ ‫َاحبَتُهَا ِّم ْن ِّج ْلبَا ِّبهَا‬ ِّ َ‫ُمص ََّالهُنَّ قَال‬ ِّ ‫سهَا ص‬ ْ ‫اب َقا َل ِّلت ُ ْل ِّب‬ ٌ ‫ْس لَهَا ِّج ْل َب‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ت ا ْم َرأَةٌ يَا َر‬ َ ‫َّللاِّ إِّحْ دَانَا لَي‬ “Pada dua hari raya, kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haidh dan gadisgadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum muslimin dan doa mereka. Tetapi wanitawanita haidh menjauhi tempat shalat mereka. Seorang wanita bertanya: “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar)?” Beliau menjawab: “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.”” [HR. Bukhari dan Muslim] Hadits ini menunjukkan kebiasaan wanita sahabat keluar rumah memakai jilbab. Dan Rasulullah tidak mengizinkan wanita keluar rumah tanpa jilbab, walaupun dalam perkara yang diperintahkan agama. Maka hal ini menjadi dalil untuk menutupi diri. [17]



12. ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha berkata: ٍ ‫سلَّ َم ص ََالةَ ا ْلفَجْ ِّر ُمتَلَ ِّف َعا‬ ْ َ‫ت ي‬ ‫وط ِّهنَّ ث ُ َّم يَ ْنقَ ِّل ْبنَ ِّإلَى‬ َ ُ‫َّللا‬ ِّ ‫سا ُء ا ْل ُمؤْ ِّمنَا‬ َ ِّ‫َّللا‬ ِّ ‫ت بِّ ُم ُر‬ َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ َ ِّ‫كُنَّ ن‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫سو ِّل‬ ُ ‫ش َهدْنَ َم َع َر‬ ‫بُيُوتِّ ِّهنَّ ِّحينَ يَ ْق ِّضينَ الص ََّالةَ َال َي ْع ِّرفُ ُهنَّ أ َ َح ٌد ِّمنَ ا ْل َغلَ ِّس‬ “Dahulu wanita-wanita mukmin biasa menghadiri shalat subuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menutupi tubuh mereka dengan selimut. Kemudian mereka kembali ke rumah-rumah mereka ketika telah menyelesaikan shalat. Tidak ada seorang pun mengenal mereka karena gelap.” [HR. Bukhari dan Muslim] Menutupi diri merupakan kebiasaan wanita sahabat yang merupakan teladan terbaik. Maka kita tidak boleh menyimpang dari jalan mereka itu. [18] 13. Perkataan ‘Aisyah: “Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat wanitawanita (di zaman ini) apa yang kita lihat, niscaya beliau melarang para wanita ke masjid, sebagaimana Bani Israil dahulu melarang para wanita mereka.” Diriwayatkan juga seperti ini dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘anhu. Dari riwayat ini diketahui bahwa setiap perkara yang mengakibatkan sesuatu yang berbahaya maka hal itu dilarang. Karena membuka wajah bagi wanita akan mengakibatkan bahaya, maka terlarang. [19] 14. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ُ ‫َم ْن ج ََّر ث َ ْوبَهُ ُخيَ َال َء لَ ْم يَ ْن‬ ‫شب ًْرا‬ ْ َ‫ْف ي‬ ِّ َ‫سا ُء بِّذُيُو ِّل ِّهنَّ قَا َل يُ ْر ِّخين‬ َ ِّ‫صنَ ْعنَ الن‬ َ ‫َّللاُ ِّإلَ ْي ِّه يَ ْو َم ا ْل ِّق َيا َم ِّة فَقَالَتْ أ ُ ُّم‬ َ ‫سلَ َمةَ َف َكي‬ َّ ‫ظ ِّر‬ َ ‫علَ ْي ِّه‬ َ َ‫ِّف أ ْقدَا ُم ُهنَّ قَا َل فَيُ ْر ِّخينَهُ ذ َِّراعًا َال يَ ِّزدْن‬ ُ ‫فَقَالَتْ إِّذًا ت َ ْن َكش‬ “Barang siapa menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” Kemudian Ummu Salamah bertanya: “Bagaimana para wanita membuat ujung pakaian mereka?” Beliau menjawab: “Hendaklah mereka menjulurkan sejengka.l” Ummu Salamah berkata lagi: “Kalau begitu telapak kaki mereka akan tersingkap?” Beliau menjawab: “Hendaklah mereka menjulurkan sehasta, mereka tidak boleh melebihkannya.” (HR. Tirmidzi, dan lainnya) Hadits ini menunjukkan kewajiban menutupi telapak kaki wanita, dan hal ini sudah dikenal di kalangan wanita sahabat. Sedangkan terbukanya telapak kaki wanita tidak lebih berbahaya dari pada terbukanya wajah dan tangan mereka, maka ini menunjukkan wajibnya menutupi wajah dan tangan wanita. [20] 15. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ُ‫ب إِّحْ دَاكُنَّ َما يُؤَدِّي َف ْلتَحْ تَ ِّج ْب ِّم ْنه‬ ِّ َ ‫إِّذَا كَانَ ِّع ْن َد ُمكَات‬



“Jika budak mukatab [21] salah seorang di antara kamu (wanita) memiliki apa yang akan dia tunaikan, maka hendaklah wanita itu berhijab (menutupi diri) darinya.” [HR. Tirmidzi dan lainnya] Hadits ini menunjukkan kewajiban wanita berhijab (menutupi dirinya) dari laki-laki asing (bukan mahram). [22] 16. ‘Aisyah berkata: ‫س َد َلتْ ِّإحْ دَانَا ِّج ْلبَا َبهَا ِّم ْن‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ِّ‫َّللا‬ َ ‫س َّل َم ُمحْ ِّر َماتٌ َف ِّإذَا حَاذَ ْوا ِّب َنا‬ َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫سو ِّل‬ ُ ‫الر ْك َبانُ يَ ُم ُّرونَ ِّب َنا َونَحْ نُ َم َع َر‬ ُّ َ‫كَان‬ ْ َ َ ْ َ َ َ ‫شفنا ُه‬ َ ‫َاو ُزونا َك‬ َ ‫سهَا‬ ِّ ‫َرأ‬ َ ‫على َوجْ ِّههَا ف ِّإذا ج‬ “Para pengendara kendaraan biasa melewati kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka jika mereka mendekati kami, salah seorang di antara kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya pada wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, kami membuka wajah.” [HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain] Wanita yang ihram dilarang memakai penutup wajah dan kaos tangan sebagaimana disebutkan di dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim). Sehingga kebanyakan ulama berpendapat, wanita yang ihram wajib membuka wajah dan tangannya. Sedangkan yang wajib tidaklah dapat dilawan kecuali dengan yang wajib pula. Maka kalau bukan karena kewajiban menutup wajah bagi wanita, niscaya tidak boleh meninggalkan kewajiban ini (yakni membuka wajah bagi wanita yang ihram). [23]. 17. Asma’ binti Abi Bakar berkata: “Kami menutupi wajah kami dari laki-laki, dan kami menyisiri rambut sebelum itu di saat ihram.” [HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim”, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi] Ini menunjukkan bahwa menutup wajah wanita sudah merupakan kebiasaan para wanita sahabat. [24] 18. ‘Aisyah berkata: ْ َ‫شي ف‬ ْ َ‫لَ َّما نَ َزلَتْ َه ِّذ ِّه ْاآليَةُ ( َو ْلي‬ ‫اختَ َم ْرنَ ِّبهَا‬ َ َ‫علَى ُجيُوبِّ ِّهنَّ ) أ َ َخ ْذنَ أ ُ ْز َرهُنَّ ف‬ َ َّ‫ض ِّر ْبنَ ِّب ُخ ُم ِّر ِّهن‬ ِّ ‫شقَّ ْقنَهَا ِّم ْن قِّبَ ِّل ا ْلح ََوا‬ “Mudah-mudahan Allah merahmati wanita-wanita Muhajirin yang pertama-tama, ketika turun ayat ini: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (Al Ahzab/33 : 31), mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Jarir, dan lainnya)



Ibnu Hajar berkata (Fathul Bari 8/490): “Perkataan: lalu mereka berkerudung dengannya” maksudnya mereka menutupi wajah mereka.” [25]. 19. Dari Urwah bin Zubair: ُ‫اب فَأَبَيْتُ أَ ْن آذَنَ لَه‬ َ ‫الرضَا‬ َ ‫علَ ْيهَا َوه َُو‬ َ ُ‫ستَأ ْ ِّذن‬ ْ َ‫ْس جَا َء ي‬ ِّ ‫ع َْن عَائِّشَةَ أَنَّ أ َ ْفلَ َح أ َ َخا أَبِّي ا ْلقُعَي‬ ُ َ‫ع ِّة بَ ْع َد أ َ ْن نَ َز َل ا ْل ِّحج‬ َّ َ‫ع ُّمهَا ِّمن‬ ُ‫صنَ ْعتُ فَأ َ َم َرنِّي أَ ْن آذَنَ لَه‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ‫سلَّ َم أ َ ْخبَ ْرتُهُ ِّبالَّذِّي‬ َ ِّ‫َّللا‬ َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫فَلَ َّما جَا َء َر‬ Dari ‘Aisyah bahwa Aflah saudara Abul Qu’eis, paman Aisyah dari penyusuan, datang minta izin untuk menemuinya setelah turun ayat hijab. ‘Aisyah berkata: “Maka aku tidak mau memberinya izin kepadanya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang maka aku memberitahukan apa yang telah aku lakukan, maka beliau memerintahkanku agar memberi izin kepadanya.” [HR. Bukhari dan lainnya] Ibnu Hajar berkata (Fathul Bari 9/152): “Dalam hadits ini terdapat dalil kewajiban wanita menutupi diri dari laki-laki asing.” 20. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ُ‫ش ْي َطان‬ َّ ‫ستَش َْرفَهَا ال‬ ِّ ‫ا ْل َم ْرأَةُ ع َْو َرةٌ َف ِّإذَا َخ َر َج‬ ْ ‫تا‬ “Wanita adalah aurat, jika dia keluar, setan akan menjadikannya indah pada pandangan lakilaki.” [HR. Tirmidzi dan lainnya] Kalau wanita adalah aurat, maka semuanya harus ditutupi. [26]. 21. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: َ ‫ِّإ َّيا ُك ْم َوال ُّد ُخو َل‬ ُ‫َّللاِّ أَ َف َرأَيْتَ ا ْلح َْم َو قَا َل ا ْلح َْم ُو ا ْل َم ْوت‬ ِّ ‫س‬ ِّ ‫علَى‬ َ ‫الن‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫َار َيا َر‬ ِّ ‫اء َفقَا َل َر ُج ٌل ِّمنَ ْاأل َ ْنص‬ “Janganlah kamu masuk menemui wanita-wanita.” Seorang laki-laki Anshar bertanya: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana pendapat Anda tentang saudara suami (bolehkah dia masuk menemui wanita, istri saudaranya)? Beliau menjawab: “Saudara suami adalah kematian. (Yakni: lebih berbahaya dari orang lain).” [HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya] Jika masuk menemui wanita-wanita bukan mahram tidak boleh, maka menemui mereka harus di balik tabir. Sehingga wanita wajib menutupi tubuh mereka, termasuk wajah. [27]. 22. Perkataan ‘Aisyah dalam peristiwa Haditsul Ifki: ْ ُ‫ يَ َرانِّي قَ ْب َل أ َ ْن ي‬-‫سلَ ِّم ُّي ث ُ َّم الذَّك َْوانِّ ُّي‬ َ‫ستِّ ْرجَا ِّع ِّه ِّحين‬ َ ‫َاب‬ َ - َ‫َوقَ ْد كَان‬ ْ ‫ستَ ْي َق ْظتُ ِّبا‬ ْ ‫علَ َّي َفا‬ ُّ ‫ص ْف َوانُ ْبنُ ا ْل ُمعَ َّط ِّل ال‬ َ ‫ض َر‬ ُ ‫ب ا ْل ِّحج‬ ‫ع ََرفَنِّي َف َخ َّم ْرتُ َوجْ ِّهي ِّب ِّج ْلبَا ِّبي‬



“Dia (Shawfan bin Al-Mu’athal) dahulu pernah melihatku sebelum diwajibkan hijab atasku, lalu aku terbangun karena perkataannya: “Inna lillaahi…” ketika dia mengenaliku. Maka aku menutupi wajahku dengan jilbabku.” [HR. Muslim] Inilah kebiasaan Ummahatul mukminin, yaitu menutupi wajah, maka hukumnya meliputi wanita mukmin secara umum sebagaimana dalam masalah hijab. [28] 23. Aisyah berkata: ‫ع َلى َم ْن‬ َ ‫س ًما َال تَ ْخفَى‬ َ ‫ب‬ ُ ‫ت ا ْم َرأَةً َجسِّي َمةً ت َ ْف َر‬ ِّ َ‫َاب ِّلتَ ْق ِّض َي حَا َجتَهَا َوكَان‬ ْ ‫سا َء ِّج‬ َ ِّ‫ع الن‬ َ ْ‫َخ َر َجت‬ َ ‫س ْو َدةُ بَ ْع َد َما ض ُِّر‬ ُ ‫علَ ْيهَا ا ْل ِّحج‬ َ َ َ ُ َّ ُ ْ َ َ ُ َ ْ ْ َ ْ َ َ‫ْف تَخ ُر ِّجين‬ َ َ‫َّللاِّ َما تَخف ْين‬ ُ ‫يَ ْع ِّرفهَا ف َرآ َها‬ َ ‫ب فقا َل يَا‬ َ ‫عل ْينا فانظ ِّري َكي‬ َّ ‫س ْو َدة َو‬ ِّ ‫ع َم ُر ْبنُ الخطا‬ “Setelah diwajibkan hijab pada Saudah, dia keluar (rumah) untuk menunaikan hajatnya, dia adalah seorang wanita yang besar (dalam riwayat lain: tinggi), tubuhnya melebihi wanitawanita lainnya, tidak samar bagi orang yang mengenalnya. Lalu Umar melihatnya, kemudian berkata: “Hai Saudah, demi Allah engkau tidaklah tersembunyi bagi kami, perhatikanlah bagaimana engkau keluar!” [HR. Muslim] Karena Umar mengetahui Saudah dengan tinggi dan besarnya, maka ini menunjukkan wajahnya tertutup. [29] 24. Terjadinya ijma’ tentang kewajiban wanita untuk selalu menetap di rumah dan tidak keluar kecuali jika ada keperluan, dan tentang wanita tidak keluar rumah dan lewat di hadapan laki-laki kecuali dengan berhijab (menutupi diri) dan menutup wajah. Ijma’ ini dinukilkan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Imam Nawawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan lainnya. [30] 25. Banyaknya kerusakan yang ditimbulkan oleh terbukanya wajah wanita. Seperti wanita akan menghiasi wajahnya sehingga mengundang berbagai kerusakan; hilangnya rasa malu dari wanita; tergodanya laki-laki; percampuran laki-laki dengan wanita; dan lain-lainnya. [31] 26. Bantahan terhadap dalil-dalil yang membolehkan wanita membuka wajah secara ringkas:[32] a). Dalil-dalilnya shahih dan jelas penunjukan dalilnya. Tetapi dalil-dalil itu telah mansukh (dihapus hukumnya) dengan ayat yang mewajibkan hijab yang turun pada tahun 5 H, atau itu dilakukan oleh wanita tua yang tidak wajib berhijab, atau di hadapan anak kecil yang belum tahu aurat wanita. b). Dalil-dalilnya shahih tetapi tidak jelas penunjukan dalilnya. Sehingga tidak kuat melawan dalil-dalil yang mewajibkan wanita menutup wajahnya. Sedangkan yang wajib adalah mengembalikan dalil-dalil mutasyabih (maknanya tidak pasti) kepada yang muhkam (maknanya pasti). c). Dalil-dalilnya jelas penunjukan dalilnya tetapi tidak shahih, sehingga tidak dapat diterima.



Ringkasan Dalil-Dalil di Atas Inilah ringkasan dalil-dalil para ulama yang mewajibkan hijab. Jika disimpulkan dalil-dalil itu, maka dapat dikelompokkan pada beberapa point: 1. Menjaga kemaluan hukumnya wajib, sedangkan menutup wajah termasuk sarana untuk menjaga kemaluan, sehingga hukumnya juga wajib. 2. Perintah Allah dan Rasul-Nya kepada wanita untuk berhijab (menutupi diri) dari laki-laki selain mahramnya. Perintah hijab ini meliputi menutup wajah. 3. Perintah Allah dan Rasul-Nya kepada wanita untuk memakai jilbab. Jilbab ini meliputi menutup wajah. 4. Perintah Allah kepada wanita untuk menutupi perhiasannya, ini mencakup menutupi wajah. 5. Ijma yang mereka nukilkan. 6. Qiyas. Yaitu kalau wanita wajib menutupi telapak kakinya, lehernya, dan lainnya karena dikhawatirkan akan menimbulkan godaan, maka menutup wajah wanita lebih wajib. 7. Kebiasaan para wanita sahabat, termasuk Ummahatul mukminin, menutupi wajah mereka. Di Antara Ulama Zaman Ini Yang Mewajibkan Cadar Di antara para ulama zaman ini yang menguatkan pendapat ini adalah: Syaikh Muhammad As-Sinqithi, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih AlUtsaimin, Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Al-Jarullah, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Mushthafa AlAdawi dan para ulama lainnya. Inilah sedikit penjelasan tentang dalil-dalil para ulama yang mewajibkan. [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun VI/1423H/2002. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016] _______ Footnote [1]. Risalah Al-Hijab, hal 7, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Darul Qasim. [2]. Riwayat Ibnu Jarir, dishahihkan oleh Syaikh Mushthafa Al Adawi, Jami’ Ahkamin Nisa’ IV/486 [3]. Risalah Al-Hijab, hal 7-8, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Darul Qasim. [4]. Risalah Al-Hijab, hal 9, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Darul Qasim [5]. Risalah Al-Hijab, hal 10, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Darul Qasim. [6]. Kedua riwayat ini dishahihkan oleh Syaikh Mushthafa Al-Adawi di dalam Jami’ Ahkamin Nisa IV/523 [7]. Riwayat Al-Baihaqi. Lihat Jami’ Ahkamin Nisa IV/524 [8]. Risalah Al-Hijab, hal 11, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al- ‘Utsaimin, Darul Qasim [9]. Syaikh Mushthafa Al-Adawi menyatakan bahwa perawi riwayat ini dari Ibnu Abbas adalah Ali bin Abi Thalhah yang tidak mendengar dari ibnu Abbas. Lihat Jami’ Ahkamin Nisa IV/513 [10]. Riwayat Ibnu Jarir, dihasankan oleh Syaikh Mushthafa Al-Adawi di dalam Jami’ Ahkamin Nisa IV/514 [11]. Riwayat Abu Dawud, Syaikh Mushthafa Al-Adawi menyatakan: Hasan Shahih. Lihat Jami’ Ahkamin Nisa IV/514 [12]. Riwayat Ibnu Jarir, dishahihkan oleh Syaikh Mushthafa Al-Adawi di dalam Jami’ Ahkamin Nisa IV/513 [13]. Hirasah Al-Fadhilah, hal 51, Syaikh Bakar bin Abu Zaid, Darul ‘Ashimah [14]. Hirasah Al-Fadhilah, hal 52-56, Syaikh Bakar bin Abu Zaid, Darul ‘Ashimah [15]. Hirasah Al-Fadhilah, hal: 46-49, Syaikh Bakar bin Abu Zaid, Darul ‘Ashimah [16]. Hirasah Al-Fadhilah, hal 39-44, Syaikh Bakar bin Abu Zaid, Darul ‘Ashimah [17]. Risalah Al Hijab, hal 15, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Darul Qasim [18]. Risalah Al Hijab, hal 16-17, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Darul Qasim [19]. Risalah Al Hijab, hal 17, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, pDarul Qasim [20]. Risalah Al Hijab, hal 17-18, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Darul Qasim. [21]. Budak yang ada perjanjian dengan tuannya bahwa dia akan merdeka jika telah membayar sejumlah uang tertentu -pen [22]. Risalah Al Hijab, hal 18, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Darul Qasim [23]. Risalah Al Hijab, hal 18-19, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Darul Qasim [24]. Hirasah Al-Fadhilah, hal 68-69, Syaikh Bakar bin Abu Zaid, Darul ‘Ashimah [25]. Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 69, Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah). [26]. Hirasah Al-Fadhilah, hal 74-75, Syaikh Bakar bin Abu Zaid, Darul ‘Ashimah. [27]. Hirasah Al-Fadhilah, hal 75, Syaikh Bakar bin Abu Zaid, Darul ‘Ashimah [28]. Hirasah Al-Fadhilah, hal 72, Syaikh Bakar bin Abu Zaid, Darul ‘Ashimah [29]. Jami Ahkamin Nisa’ IV/486, Syaikh Mushthafa Al-Adawi [30]. Hirasah Al-Fadhilah, hal 38, Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah [31]. Risalah Al Hijab, hal 20-24, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Darul Qasim. [32]. Hirasah Al-Fadhilah, hal 82-83, Syaikh Bakar bin Abu Zaid, Darul ‘Ashimah.



Hukum Cadar (Dalil Yang Tidak Mewajibkan) HUKUM CADAR (2) Inilah secara ringkas dalil-dalil para ulama yang tidak mewajibkan cadar bagi wanita. 1. Firman Allah ‫َوالَ يُ ْب ِّدينَ ِّزينَت َ ُهنَّ ِّإالَّ َما َظه ََر ِّم ْنهَا‬ Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. [An Nur/24 :31] Tentang perhiasan yang biasa nampak ini, Ibnu Abbas berkata, “Wajah dan telapak tangan.” [1] Perkataan serupa juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Umar. [2]. Berdasarkan penafsiran kedua sahabat ini jelas bahwa wajah dan telapak tangan wanita boleh kelihatan, sehingga bukan merupakan aurat yang wajib ditutup. 2. Firman Allah. ْ َ‫َو ْلي‬ َّ‫ع َلى ُجيُو ِّب ِّهن‬ َ َّ‫ض ِّر ْبنَ بِّ ُخ ُم ِّر ِّهن‬ Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka. [An Nur/24 : 31] Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala memerintahkan para wanita menutupkan khimar (kerudung) pada belahan-belahan baju (dada dan lehernya), maka ini merupakan nash menutupi aurat, leher dan dada. Dalam firman Allah ini juga terdapat nash bolehnya membuka wajah, tidak mungkin selain itu.” [3] Karena memang makna khimar (kerudung) adalah penutup kepala. Demikian diterangkan oleh para ulama, seperti tersebut dalam An Nihayah karya Imam Ibnul Atsir, tafsir Al Qur’anil ‘Azhim karya Al Hafizh Ibnu Katsir, tafsir Fathul Qadir karya Asy Syaukani, dan lainnya. [4] 3. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. ُ ‫َار ِّه ْم َويَحْ َف‬ ‫ت‬ ِّ ‫} َوقُل ِّل ْل ُمؤْ ِّمنَا‬30{ َ‫ص َنعُون‬ ْ َ‫ير بِّ َماي‬ ٌ ِّ‫ظوا فُ ُرو َج ُه ْم ذَ ِّلكَ أَ ْزكَى لَ ُه ْم إِّنَّ هللاَ َخب‬ ِّ ‫قُ ْل ِّل ْل ُمؤْ ِّمنِّينَ يَغُضُّوا ِّم ْن أ َ ْبص‬ َّ‫فُ ُرو َج ُهن‬ َ‫َويَحْ فَ ْظن‬ َّ‫َار ِّهن‬ َ‫ضضْن‬ ُ ‫يَ ْغ‬ ‫ِّم ْن‬ ِّ ‫أ َ ْبص‬ [An-Nur/24 : 30-31]



Ayat ini menunjukkan bahwa pada diri wanita ada sesuatu yang terbuka dan mungkin untuk dilihat. Sehingga Allah memerintahkan untuk menahan pandangan dari wanita. Dan yang biasa nampak itu yaitu wajah dan kedua telapak tangan. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 76,77] Semakna dengan ayat tersebut ialah hadits-hadits yang memerintahkan menahan pandangan dari wanita dan larangan mengulangi pandangan jika telah terlanjur memandang dengan tidak sengaja. Di antaranya. ‫سو َل هللاِّ َما بُ َّد لَ َنا ِّم ْن‬ َ ُ‫َّللا‬ ِّ ‫وس بِّال ُّط ُرقَا‬ َ ِّ‫سو َل هللا‬ َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ َ ‫ع َْن أَبِّي‬ ُ ‫ت قَالُوا يَا َر‬ َّ ‫صلَّى‬ ُ ‫س ِّعي ٍد ا ْل ُخد ِّْري ِّ أَنَّ َر‬ َ ُ‫سلَّ َم َقا َل ِّإيَّا ُك ْم َوا ْل ُجل‬ َ َ َ َ ُ ‫سنَا نَتَحَ د‬ ‫يق َيا‬ َ ُ‫َّللا‬ ِّ ‫َمجَا ِّل‬ َ ‫سلَّ َم إِّ ْن أبَ ْيت ُ ْم فأ ْع ُطوا ال َّط ِّري‬ َ ِّ‫سو ُل هللا‬ َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ َّ ‫صلَّى‬ ُ ‫َّث ِّفيهَا ف َقا َل َر‬ ِّ ‫ق َحقَّهُ َقالُوا َو َما حَقُّ ال َّط ِّر‬ َ َ َ َ ْ ْ َ ْ َ َ‫وف َوالنَّ ْه ُي ع َِّن ا ْل ُم ْنك ِّر‬ ُّ ‫سو َل هللاِّ قا َل غ‬ ِّ ‫سال ِّم َواأل ْم ُر بِّال َم ْع ُر‬ َّ ‫َف األذى َو َر ُّد ال‬ ُّ ‫ض البَص َِّر َوك‬ ُ ‫َر‬ Dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Janganlah kamu duduk-duduk di jalan.” Maka para Sahabat berkata, ”Kami tidak dapat meninggalkannya, karena merupakan tempat kami untuk bercakap-cakap.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jika kalian enggan (meninggalkan bermajeleis di jalan), maka berilah hak jalan.” Sahabat bertanya, “Apakah hak jalan itu?” Beliau menjawab, “Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintakan kebaikan dan mencegah kemungkaran.” [5] Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali Radhiyallahu ‘anhu. ُ‫ستْ لَكَ ْاآل ِّخ َرة‬ َ ‫يَا‬ َ ‫ع ِّل ُّي َال تُتْبِّ ِّع النَّ ْظ َرةَ ال َّن ْظ َرةَ فَ ِّإنَّ لَكَ ْاألُولَى َولَ ْي‬ Wahai Ali, janganlah engkau turutkan pandangan (pertama) dengan pandangan (kedua), karena engkau berhak (yakni, tidak berdosa) pada pandangan (pertama), tetapi tidak berhak pada pandangan (kedua). [HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Dihasankan oleh Syeikh Al-Albani dalam Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 77] Jarir bin Abdullah berkata. َ‫ف بَص ََرك‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ِّ‫َّللا‬ ْ ‫سلَّ َم ع َْن نَ ْظ َر ِّة ا ْل َفجْ أ َ ِّة فَ َقا َل اص ِّْر‬ َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ َ َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫سأ َ ْلتُ َر‬ Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan tiba-tiba (tidak sengaja), maka beliau bersabda, “Palingkan pandanganmu.” [HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 78] Al Qadhi ‘Iyadh berkata, “Para ulama berkata, di sini terdapat hujjah (argumen) bahwa wanita tidak wajib menutupi wajahnya di jalan, tetapi hal itu adalah sunnah yang disukai. Dan yang wajib bagi laki-laki ialah menahan pandangan dari wanita dalam segala keadaan, kecuali untuk tujuan yang syar’i (dibenarkan agama). Hal itu disebutkan oleh Muhyiddin An Nawawi, dan beliau tidak menambahinya.” [Adabusy Syar’iyyah I/187, karya Ibnu Muflih. Lihat: Jilbab Al-Mar’atil Muslimah, hal. 77]



4. Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata. ‫ص َّلى‬ َ َ‫ق فَأَع َْرض‬ َ ‫سلَّ َم َو‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ْ‫س َما َء بِّ ْنتَ أَبِّي بَك ٍْر َد َخلَت‬ ٌ ‫اب ِّرقَا‬ َ ِّ‫َّللا‬ َ ِّ‫َّللا‬ ْ َ ‫أَنَّ أ‬ َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ع ْنهَا َر‬ ٌ َ‫علَ ْيهَا ثِّي‬ َّ ‫ص َّلى‬ َّ ‫سو ِّل‬ ُ ‫علَى َر‬ ‫َار ِّإلَى َوجْ ِّه ِّه‬ َ ُ‫َّللا‬ ِّ َ‫س َما ُء ِّإنَّ ا ْل َم ْرأَةَ ِّإذَا بَلَغ‬ ْ َ ‫ت ا ْل َم ِّحيضَ لَ ْم ت‬ ْ َ ‫سلَّ َم َوقَا َل َيا أ‬ َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ َّ َ ‫صلُحْ أَ ْن يُ َرى ِّم ْنهَا ِّإ َّال َهذَا َو َهذَا َوأَش‬ َ َ َ َ َ َّ ْ َ ‫عنهَا‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ‫َاود َهذا ُم ْر‬ َّ ‫س ٌل خا ِّل ُد ْبنُ د َُريْكٍ ل ْم يُد ِّْركْ عَائِّشَة َر ِّضي‬ ُ ‫َو َكف ْي ِّه قا َل أبُو د‬ Bahwa Asma’ bintu Abi Bakar menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya dan berkata, “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu, jika telah mendapatkan haidh, tidak pantas terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya.[6] Hadits ini sesungguhnya lemah, tetapi Syeikh Al Albani menyatakan bahwa hadits ini dikuatkan dengan beberapa penguat :[7] a). Riwayat mursal shahih dari Qatadah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Jika seorang gadis kecil telah haidh, maka tidak pantas terlihat sesuatu darinya kecuali wajahnya dan tangannya sampai pergelangan.” [8] b). Diriwayatkan oleh Thabarani dan Al Baihaqi dari jalan Ibnu Luhai’ah, dari ‘Iyadh bin Abdullah, bahwa dia mendengar Ibrahim bin ‘Ubaid bin Rifa’ah Al Anshari menceritakan dari bapaknya, aku menyangka dari Asma’ binti ‘Umais yang berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui ‘Aisyah, dan di dekat ‘Aisyah ada saudarinya, yaitu Asma bintu Abi Bakar. Asma memakai pakaian buatan Syam yang longgar lengan bajunya. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau bangkit lalu keluar. Maka ‘Aisyah berkata kepada Asma, “Menyingkirlah engkau, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihat perkara yang tidak beliau sukai. Maka Asma menyingkir. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk, lalu Aisyah bertanya kenapa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit (dan keluar). Maka beliau menjawab, “Tidakkah engkau melihat keadaan Asma, sesungguhnya seorang wanita muslimah itu tidak boleh tampak darinya kecuali ini dan ini”, lalu beliau memegangi kedua lengan bajunya dan menutupkan pada kedua telapak tangannya, sehingga yang nampak hanyalah jari-jarinya, kemudian meletakkan kedua telapak tangannya pada kedua pelipisnya sehingga yang nampak hanyalah wajahnya.” Al-Baihaqi menyatakan, “Sanadnya dha’if”. Kelemahan hadits ini karena perawi yang bernama Ibnu Luhai’ah sering keliru setelah menceritakan dengan hafalannya, yang sebelumnya dia seorang yang utama dan terpercaya ketika menceritakan dengan bukunya. Syeikh Al Albani menyatakan bahwa haditsnya ini dapat dijadikan penguat. [9] c). Pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar) yang menjelaskan perhiasan yang biasa nampak yang boleh tidak ditutup, yaitu wajah dan telapak tangan. [10]



5. Jabir bin Abdullah berkata: ‫ان َو َال إِّقَا َم ٍة ث ُ َّم َقا َم‬ ٍ َ‫فَبَ َدأ َ ِّبالص ََّال ِّة َق ْب َل ا ْل ُخ ْطبَ ِّة بِّغَي ِّْر أَذ‬ َّ‫ع َظ ُهن‬ َ ‫سا َء فَ َو‬ َ ِّ‫اس َوذَك ََّر ُه ْم ث ُ َّم َمضَى َحتَّى أَتَى الن‬ َ َّ‫الن‬ َ َ ْ َ ْ َ َ ‫َّللاِّ قا َل‬ ِّ ‫س‬ ِّ َ ‫اء‬ َ ِّ‫س َط ِّة الن‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫سفعَا ُء الخ َّدي ِّْن فقالتْ ِّل َم يَا َر‬ َ ْ ْ َّ‫ب ِّب َال ٍل ِّم ْن أ َ ْق ِّر َطتِّ ِّهنَّ َو َخ َواتِّ ِّم ِّهن‬ َ‫ين‬ َّ‫ن‬ ‫و‬ ‫ث‬ ‫ي‬ ‫ف‬ ‫ق‬ ‫ل‬ ‫ي‬ ‫ه‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫ح‬ ‫ن‬ ‫ِّم‬ ِّ ِّ ِّ ُ ُ ْ ِّ ِّ ِّ



‫سلَّ َم الص ََّالةَ يَ ْو َم ا ْل ِّعي ِّد‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ‫َّللا‬ َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ ِّ َّ ‫سو ِّل‬ َّ ‫ص َّلى‬ ُ ‫ش َِّهدْتُ َم َع َر‬ َ َ ْ َّ ‫َّللاِّ َوح‬ َ َ ‫ع َظ‬ َ ‫عتِّ ِّه َو َو‬ َ ‫علَى َطا‬ َ ‫َث‬ ‫ى‬ ‫و‬ ‫ق‬ ‫ت‬ ‫ب‬ ‫ر‬ ‫م‬ ‫أ‬ ‫ف‬ ‫ل‬ ‫ال‬ َ ‫ُمت َ َو ِّكئ ًا‬ َّ َ ِّ َ َ ٍ ‫ع َلى ِّب‬ َ َ َ َ ْ َ َ َ ٌ َ َ َّ ‫ت ا ْم َرأة ِّم ْن‬ ِّ ‫ب َج َهن َم فقا َم‬ َ َ ‫َوذَك ََّرهُنَّ فقا َل ت‬ ُ ‫ص َّدقنَ ف ِّإنَّ أ ْكث َركُنَّ َحط‬ َ‫ص َّد ْقن‬ َّ ‫ِّألَنَّكُنَّ ت ُ ْكثِّ ْرنَ ال‬ َ َ ‫ِّير قَا َل فَ َج َع ْلنَ يَت‬ َ ‫شكَاةَ َوت َ ْكفُ ْرنَ ا ْل َعش‬



Aku menghadiri shalat hari ‘ied bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memulai dengan shalat sebelum khutbah, dengan tanpa adzan dan tanpa iqamat. Kemudian beliau bersandar pada Bilal, memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah dan mendorong untuk mentaatiNya. Beliau menasehati dan mengingatkan orang banyak. Kemudian beliau berlalu sampai mendatangi para wanita, lalu beliau menasehati dan mengingatkan mereka. Beliau bersabda, “Hendaklah kamu bersedekah, karena mayoritas kamu adalah bahan bakar neraka Jahannam! Maka berdirilah seorang wanita dari tengah-tengah mereka, yang pipinya merah kehitam-hitaman, lalu bertanya, “Kenapa wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Beliau bersabda, “Karena kamu banyak mengeluh dan mengingkari (kebaikan) suami.” Maka para wanita itu mulai bersedekah dengan perhiasan mereka, yang berupa giwang dan cincin, mereka melemparkan pada kain Bilal. [HSR Muslim, dan lainnya] Hadits ini jelas menunjukkan wajah wanita bukan aurat, yakni bolehnya wanita membuka wajah. Sebab jika tidak, pastilah Jabir tidak dapat menyebutkan bahwa wanita itu pipinya merah kehitam-hitaman. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 59] [11] 6. Ibnu Abbas berkata. ٌ‫ام َرأَة‬ ْ ‫سلَّ َم ا ْل َف‬ َ ُ‫َّللا‬ َ َ‫ض َل ْبن‬ َ ُ‫َّللا‬ ِّ َ‫يه ْم َوأَ ْقبَل‬ َ ‫ف النَّبِّ ُّي‬ َ ‫َّللا‬ ٍ َّ‫عب‬ َ ‫ع َل ْي ِّه َو‬ َ ‫ع َل ْي ِّه َو‬ ِّ َّ ‫سو ُل‬ ِّ ‫سلَّ َم ِّلل َّن‬ َّ ‫ص َّلى‬ َ ‫اس … فَ َو َق‬ َّ ‫ص َّلى‬ ُ ‫َف َر‬ َ ‫أ َ ْرد‬ ْ ‫ت‬ ِّ ِّ‫اس يُ ْفت‬ ُ ‫ض ُل يَ ْن‬ ْ َ‫ق ا ْلف‬ ‫صلَّى‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ‫سلَّ َم فَ َط ِّف‬ َ ‫سنُهَا َفا ْلتَفَتَ النَّ ِّب ُّي‬ َ ِّ‫َّللا‬ ْ ‫ظ ُر ِّإلَ ْيهَا َوأ َ ْع َجبَهُ ُح‬ ْ َ ‫ِّم ْن َخثْعَ َم َو ِّضيئ َةٌ ت‬ َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ َّ ‫ص َّلى‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ستَ ْفتِّي َر‬ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ْ ُ ْ َ َ َ َّ َ َ َ ْ َّ ْ َ ْ ‫ف بِّ َي ِّد ِّه فأخذ بِّذق ِّن الف‬ ْ ‫سل َم َوالف‬ ‫ع ِّن النظ ِّر إِّل ْيهَا‬ َ ُ‫ض ِّل فعَ َد َل َوجْ َهه‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ‫عل ْي ِّه َو‬ َ ‫ض ُل يَنظ ُر إِّل ْيهَا فأخل‬ َّ … Rasulullah n memboncengkan Al Fadhl bin Abbas……kemudian beliau berhenti untuk memberi fatwa kepada orang banyak. Datanglah seorang wanita yang cantik dari suku Khats’am meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mulailah Al Fadhl melihat wanita tersebut, dan kecantikannya mengagumkannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpaling, tetapi Al Fadhl tetap melihatnya. Maka nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memundurkan tangannya dan memegang dagu Al Fadhl, kemudian memalingkan wajah Al Fadhl dari melihatnya……[HR Bukhari, Muslim, dan lainnya] Kisah ini juga diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, dan dia menyebutkan bahwa permintaan fatwa itu terjadi di tempat penyembelihan kurban, setelah Rasulullah melemparkan jumrah, lalu dia menambahkan, “Maka Abbas berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kenapa anda memalingkan leher anak pamanmu?” Beliau menjawab, “Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, sehingga aku tidak merasa aman dari syaithan (menggoda) keduanya.” [HR Tirmidzi, Ahmad, dan lainnya. Syeikh Al Albani menyatakan, “Sanadnya bagus”]



Dengan ini berarti, bahwa peristiwa tersebut terjadi setelah tahallul (selesai) dari ihram, sehingga wanita tersebut bukanlah muhrimah (wanita yang sedang berihram, dengan hajji atau umrah). Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Seandainya wajah wanita merupakan aurat yang wajib ditutupi, tidaklah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan wanita tersebut membuka wajahnya di hadapan orang banyak. Pastilah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan wanita itu untuk menurunkan (jilbabnya) dari atas (kepala untuk menutupi wajah). Dan seandainya wajahnya tertutup, tentulah Ibnu Abbas tidak mengetahui wanita itu cantik atau buruk.” Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat perintah untuk menahan pandangan karena khawatir fitnah. Konsekwensinya jika aman dari fitnah, maka tidak terlarang. Hal itu dikuatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memalingkan wajah Al Fadhl sampai dia menajamkan pandangan, karena kekagumannya terhadap wanita tersebut, sehinga beliau khawatir fitnah menimpanya. Di dalam hadits ini juga terdapat (dalil) pertarungan watak dasar manusia terhadapnya serta kelemahan manusia dari kecenderungan dan kekaguman terhadap wanita. Juga terdapat (dalil) bahwa istri-istri kaum mukminin tidak wajib berhijab sebagaimana istriistri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena (kalau memang hal itu) wajib bagi seluruh wanita, pastilah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada wanita dari suku Khats’am tersebut untuk menutupi (dirinya) dan tidak memalingkan wajah Al Fadhl. Di dalamnya juga terdapat (dalil) bahwa menutup wajah wanita tidak wajib, Para ulama berijma’ bahwa wanita boleh menampakkan wajahnya ketika shalat, walaupun dilihat oleh laki-laki asing.” [Fathul Bari XI/8] Perkataan Ibnu Baththal rahimahullah tersebut dibantah oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, dengan alasan bahwa wanita dari suku Khats’am tersebut muhrimah (wanita yang sedang berihram). Tetapi Syeikh Al Albani menyatakan, bahwa yang benar wanita itu bukan muhrimah (wanita yang sedang berihram), sebagaimana penjelasan di atas. Seandainya wanita itu muhrimah (wanita yang sedang berihram), maka pendapat Ibnu Baththal itu tetap kuat. Karena wanita muhrimah itu boleh melabuhkan jilbabnya ke wajahnya di hadapan laki-laki asing, sebagaimana hadits tentang hal ini. [12] Maka hadits ini menunjukkan bahwa cadar tidaklah wajib bagi wanita, walaupun dia memiliki wajah yang cantik, tetapi hukumnya adalah disukai (sunnah). Peristiwa ini terjadi di akhir kehidupan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga hukumnya muhkam (tetap; tidak dihapus). [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 61-64]



7. Sahl bin Sa’d berkata. ‫ص َّلى‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ِّ‫َّللا‬ َ ِّ‫َّللا‬ َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ب لَكَ َن ْفسِّي فَ َن َظ َر إِّلَ ْيهَا َر‬ َ ‫َّللاِّ ِّجئْتُ ِّألَ َه‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫سلَّ َم فَقَالَتْ يَا َر‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫أَنَّ ا ْم َرأَةً جَا َءتْ َر‬ ُ ‫سه‬ َ ُ‫…َّللا‬ َ َ‫سلَّ َم ف‬ َ ْ‫ص َّع َد النَّ َظ َر ِّإلَ ْيهَا َوص ََّوبَهُ ث ُ َّم َطأ ْ َطأ َ َرأ‬ َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ َّ Bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya datang untuk menghibahkan diriku kepada anda.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau menaikkan dan menurunkan pandangan kepadanya. Lalu beliau menundukkan kepalanya…….” [HR Bukhari, Muslim, dan lainnya]. Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, “Di dalam hadits ini juga terdapat (dalil) bolehnya memperhatikan kecantikan seorang wanita karena berkehendak menikahinya…tetapi (pemahaman) ini terbantah dengan anggapan bahwa hal itu khusus bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau ma’shum, dan yang telah menjadi kesimpulan kami, bahwa tidak haram bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat wanita mukminat yang bukan mahram, ini berbeda dengan selain beliau. Sedangkan Ibnul ‘Arabi menempuh cara lain dalam menjawab hal tersebut, dia mengatakan, “Kemungkinan hal itu sebelum (kewajiban) hijab, atau setelahnya tetapi dia menyelubungi dirinya.” Tetapi rangkaian hadits ini jauh dari apa yang dia katakan.” [Fathul Bari IX/210] 8. ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata. ٍ ‫سلَّ َم ص ََالةَ ا ْل َفجْ ِّر ُمتَلَ ِّف َعا‬ ْ ‫ت َي‬ ‫وط ِّهنَّ ث ُ َّم َي ْنقَ ِّل ْبنَ ِّإ َلى‬ َ ُ‫َّللا‬ ِّ ‫سا ُء ا ْل ُمؤْ ِّمنَا‬ َ ِّ‫َّللا‬ ِّ ‫ت ِّب ُم ُر‬ َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ َ ‫كُنَّ ِّن‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫سو ِّل‬ ُ ‫ش َهدْنَ َم َع َر‬ َ ُ ْ َ َ ْ ‫بُيُوتِّ ِّهنَّ ِّحينَ يَق ِّضينَ الص ََّالة َال َي ْع ِّرف ُهنَّ أ َح ٌد ِّمنَ ال َغل ِّس‬ Dahulu wanita-wanita mukminat biasa menghadiri shalat subuh bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menutupi tubuh (mereka) dengan selimut. Kemudian (mereka) kembali ke rumah-rumah mereka ketika telah menyelesaikan shalat. Tidak ada seorangpun mengenal mereka karena gelap. [HR Bukhari dan Muslim]. Dalam riwayat lain, ُ ‫ف بَ ْع‬ ‫ض‬ ٍ ‫ضنَا ُو ُج ْو َه بَ ْع‬ ُ ‫َو َما يَ ْع ِّر‬ Dan sebagian kami tidak mengenal wajah yang lain. [13] Dari perkataan ‘Aisyah, “tidak ada seorangpun mengenal mereka karena gelap” dapat difahami, jika tidak gelap niscaya dikenali, sedangkan mereka dikenali -menurut kebiasaandari wajahnya yang terbuka. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 65] 7. Ketika Fathimah binti Qais dicerai thalaq tiga oleh suaminya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepadanya memerintahkan agar dia ber’iddah di rumah Ummu Syuraik. Tetapi kemudian beliau mengutus seseorang kepadanya lagi dengan menyatakan,



َ ‫ُوم ْاأل َ ْع َمى فَ ِّإ َّن ِّك ِّإذَا َو‬ ‫ار ِّك لَ ْم يَ َر ِّك فَا ْن َطلَقَتْ ِّإلَ ْي ِّه‬ ِّ ‫ض ْع‬ ٍ ‫َاج ُرونَ ْاأل َ َّولُونَ فَا ْن َط ِّل ِّقي ِّإلَى اب ِّْن أ ُ ِّم َم ْكت‬ َ ‫ت ِّخ َم‬ ِّ ‫أَنَّ أ ُ َّم ش َِّريكٍ يَأْتِّيهَا ا ْل ُمه‬ … Bahwa Ummu Syuraik biasa didatangi oleh orang-orang Muhajirin yang pertama. Maka hendaklah engkau pergi ke (rumah) Ibnu Ummi Maktum yang buta, karena jika engkau melepaskan khimar (kerudung, penutup kepala) dia tidak akan melihatmu. Fathimah binti Qais pergi kepadanya…[HR Muslim]. Hadits ini menunjukkan bahwa wajah bukan aurat, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan Fathimah binti Qais dengan memakai khimar dilihat oleh laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa wajahnya tidak wajib ditutup, sebagaimana kewajiban menutup kepalanya. Tetapi karena beliau n khawatir dia melepaskan khimarnya (kerudung), sehingga akan nampak apa yang harus ditutupi, maka beliau memerintahkannya dengan yang lebih selamat untuknya; yaitu berpindah ke rumah Ibnu Ummi Maktum yang buta. Kartena dia tidak akan melihatnya jika Fathimah binti Qais melepaskan khimar. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 65] Peristiwa ini terjadi di akhir kehidupan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Fathimah binti Qais menyebutkan bahwa setelah habis ‘iddahnya dia mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan kisah tentang Dajjal dari Tamim Ad Dari yang baru masuk Islam dari Nashrani. Sedangkan Tamim masuk Islam tahun 9H. Adapun ayat jilbab turun tahun 3 H atau 5 H, sehingga kejadian ini setelah adanya kewajiban berjilbab. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 66-67]. 9. Abdurrahman bin ‘Abis, ‫الصغَ ِّر َما ش َِّه ْدتُهُ َحتَّى‬ َ ُ‫َّللا‬ َ َ‫س ِّم ْعتُ ا ْبن‬ َ ِّ ‫اس قِّي َل لَهُ أَش َِّهدْتَ ا ْل ِّعي َد َم َع النَّ ِّبي‬ ٍ َّ‫عب‬ َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ َ َّ ‫صلَّى‬ ِّ َ‫سلَّ َم َقا َل َنعَ ْم َو َل ْو َال َمكَانِّي ِّمن‬ َ َ َ َ َ‫ص َدق ِّة‬ َ ُ ُ َ َ ْ ْ َّ َّ َ ْ َ َ َ ‫سا َء َو َمعَهُ بِّال ٌل ف َو‬ ِّ ‫صل‬ َّ ‫عظ ُهنَّ َوذك ََّرهُنَّ َوأ َم َرهُنَّ بِّال‬ َ ‫تف‬ َّ ‫ير ب ِّْن ال‬ َ ِّ‫ب ث َّم أتَى الن‬ َ ‫صلى ث َّم خط‬ ِّ ِّ‫أَتَى العَل َم الذِّي ِّعن َد د َِّار َكث‬ ‫ب ِّب َال ٍل ث ُ َّم ا ْن َطلَقَ ه َُو َو ِّب َال ٌل إِّلَى بَ ْيتِّ ِّه‬ ِّ ‫ِّيهنَّ َي ْق ِّذ ْفنَهُ ِّفي ث َ ْو‬ ِّ ‫فَ َرأ َ ْيت ُ ُهنَّ يَ ْه ِّوينَ ِّبأ َ ْيد‬ Saya mendegar Ibnu Abbas ditanya, “Apakah anda (pernah) menghadiri (shalat) ‘ied bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Dia menjawab, “Ya, dan jika bukan karena posisiku (umurku) yang masih kecil, niscaya saya tidak menyaksikannya. (Rasulullah keluar) sampai mendatangi tanda yang ada di dekat rumah Katsir bin Ash Shalt, lalu beliau shalat, kemudian berkhutbah. Lalu beliau bersama Bilal mendatangi para wanita, kemudian menasehati mereka, mengingatkan mereka, dan memerintahkan mereka untuk bershadaqah. Maka aku lihat para wanita mengulurkan tangan mereka melemparkannya (cincin, dan lainnya sebagai shadaqah) ke kain Bilal. Kemudian Beliau dan Bilal pulang ke rumahnya. [HR Bukhari, Abu Dawud, Nasai, dan lainnya. Lafazh hadits ini riwayat Bukhari dalam kitab Jum’ah] Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Inilah Ibnu Abbas –di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam– melihat tangan para wanita, maka benarlah bahwa tangan dan wajah wanita bukan aurat, adapun selainnya wajib ditutup.” Pengambilan dalil ini tidak dapat dibantah dengan perkataan, kemungkinan kejadian ini sebelum turunnya ayat jilbab, karena peristiwa ini terjadi setelah turunnya ayat jilbab.



Dengan dalil, Imam Ahmad meriwayatkan (dengan tambahan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat bai’atun nisa’ (surat Al Mumtahanah : 12), padahal ayat ini turun pada Fathu Makkah, tahun 8 H, sebagaimana perkataan Muqatil. Sedangkan perintah jilbab (hijab) turun tahun 3 H atau 5 H ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab binti Jahsy. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 67, 75] 10. Dari Subai’ah binti Al-Harits, َ ‫ع ْنهَا فِّي َح َّج ِّة ا ْل َودَاعِّ َوكَانَ بَد ِّْر ًّيا فَ َو‬ ْ َ‫ضعَتْ ح َْملَهَا قَ ْب َل أ َ ْن يَ ْنقَ ِّض َي أَ ْربَعَةُ أ‬ ‫ش ُه ٍر‬ َ ‫س ْع ِّد اب ِّْن َخ ْولَةَ فَت ُُوفِّ َي‬ َ َ‫أَنَّهَا كَانَتْ تَحْ ت‬ َ َ َ َ َ َّ َ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ‫ين‬ َ‫ن‬ ) ْ‫(واحْ تضبَتْ َو ت َهيَّأت‬ َ ‫َو‬ ِّ ‫سنابِّ ِّل يَ ْعنِّي ا ْب بَ ْعكَكٍ ِّح تعَلتْ ِّمن نِّفا‬ َّ ‫عش ٌْر ِّم ْن َوفَاتِّ ِّه فل ِّقيَهَا أبُو ال‬ َ ْ‫سهَا َوق ِّد ا ْكت َحلت‬ َ َ ‫علَى َن ْفس ِِّّك أ ْو نَحْ َو َهذَا لَعَلَّ ِّك ت ُِّري ِّدينَ النِّكَا َح‬ َ ‫اربَ ِّعي‬ ْ ‫فقَا َل لَهَا‬ Bahwa dia menjadi istri Sa’d bin Khaulah, lalu Sa’d wafat pada haji wada’, dan dia seorang Badari (sahabat yang ikut perang Badar). Lalu Subai’ah binti Al Harits melahirkan kandungannya sebelum selesai 4 bulan 10 hari dari wafat suaminya. Kemudian Abu As Sanabil (yakni Ibnu Ba’kak) menemuinya ketika nifasnya telah selesai, dan dia telah memakai celak mata (dan memakai inai pada kuku tangan, dan bersip-siap). Lalu Abu As Sanabil berkata kepadanya, “Jangan terburu-buru (atau kalimat semacamnya) mungkin engkau menghendaki nikah…” [HR Ahmad. Dishahihkan Al Albani dalam Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 69. Asal kisah riwayat Bukhari dan Muslim]. Hadits ini nyata menunjukkan, bahwa kedua telapak tangan dan wajah atau mata bukanlah aurat pada kebiasaan para wanita sahabat. Karena jika merupakan aurat yang harus ditutup, tentulah Subai’ah tidak boleh menampakkannya di hadapan Abu As Sanabil. Peristiwa ini nyata terjadi setelah kewajiban jilbab (hijab), yaitu setelah haji wada’, tahun 10 H. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 69] 11. Atha bin Abi Rabah berkata, ْ‫سلَّ َم فَقَالَت‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ُ‫قَا َل ِّلي ا ْبن‬ ِّ َ ‫س ْودَا ُء أ َت‬ َ ‫ت النَّ ِّب َّي‬ ٍ َّ‫عب‬ َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ َّ ‫اس أ َ َال أ ُ ِّريكَ ا ْم َرأَةً ِّم ْن أ َ ْه ِّل ا ْل َجنَّ ِّة قُ ْلتُ بَ َلى َقا َل َه ِّذ ِّه ا ْل َم ْرأَةُ ال‬ َّ ‫صلَّى‬ ُ َ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ َّ ‫صبِّ ُر‬ ِّ ْ‫شئ‬ ِّ ‫صبَ ْر‬ ِّ ْ‫شئ‬ ُ ‫َّف فا ْد‬ ُ ‫إِّنِّي أُص َْر‬ ْ ‫َّللاَ أ ْن يُعَافِّيَ ِّك فقالتْ أ‬ َ ‫ت‬ ِّ ‫ت َول ِّك ال َجنة َوإِّ ْن‬ ِّ ‫َّللاَ ِّلي قا َل إِّ ْن‬ َّ ُ‫ت َدع َْوت‬ َّ ‫ع‬ ُ ‫ع َوإِّنِّي أت َ َكش‬ ‫َّف فَ َدعَا لَهَا‬ ُ ‫َّف فَا ْد‬ َ ‫َّللاَ ِّلي أَ ْن َال أَتَ َكش‬ َّ ‫ع‬ ُ ‫فَقَالَتْ إِّنِّي أَت َ َكش‬ Ibnu Abbas berkata kepadaku, “Maukah kutunjukkan kepadamu seorang wanita dari penghuni sorga?” Aku menjawab, “Ya.” Dia berkata, “Itu wanita yang hitam, dia dahulu mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Sesungguhnya aku berpenyakit ayan (epilepsi), dan (jika kambuh, auratku) terbuka. Berdoalah kepada Allah untuk (kesembuhan) ku!”Beliau menjawab, “Jika engkau mau bersabar (terhadap penyakit ini), engkau mendapatkan sorga. Tetapi jika engkau mau, aku akan berdo’a kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Wanita tadi berkata, “Aku akan bersabar. Tetapi (jika kambuh penyakitku, auratku) terbuka, maka berdoalah kepada Allah untukku agar (jika kambuh, auratku) tidak terbuka.” Maka beliau mendoakannya. [HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad]



12. Ibnu Abbas berkata, ‫ض ا ْل َق ْو ِّم يَتَقَ َّد ُم َحتَّى يَكُونَ فِّي‬ َ ُ‫َّللا‬ ِّ َ‫كَان‬ َ ِّ‫َّللا‬ ُ ‫اس فَكَانَ بَ ْع‬ ْ ‫سلَّ َم َح‬ َ ْ‫سنَا َء ِّم ْن أَح‬ َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ ِّ َّ‫س ِّن الن‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫سو ِّل‬ ُ ‫ف َر‬ َ ‫ام َرأَةٌ تُص َِّلي َخ ْل‬ ْ ‫ت‬ ْ َ َ َ َ َ َ َ ْ ْ َ َّ ْ َّ َ َ ْ َّ َ َ َ‫ُون‬ َ ُ َ ( ‫َّللاُ تَعَالَى‬ ‫ل‬ ‫ز‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫ف‬ ‫ه‬ ‫ي‬ ‫ط‬ ‫ب‬ ‫إ‬ ‫ت‬ ‫ت‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ر‬ ‫ظ‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫ك‬ ‫ر‬ ‫ا‬ ‫ذ‬ ‫إ‬ ‫ف‬ ‫ر‬ ‫خ‬ ‫ؤ‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫َّف‬ ‫ص‬ ‫ال‬ ‫ي‬ ‫ف‬ ‫ك‬ ‫ي‬ ‫ى‬ ‫ت‬ ‫ح‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ض‬ ‫ع‬ ‫ب‬ ‫ر‬ ‫خ‬ ‫أ‬ ‫ت‬ ‫س‬ ‫ي‬ ‫و‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫ا‬ ‫ر‬ ‫ي‬ ‫َال‬ ‫ئ‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫األ‬ ‫َّف‬ ‫الص‬ ِّ َ ْ‫ح‬ ْ ْ َ ِّ ِّ ِّ َ ُ َ ِّ َ َ ِّ ْ ْ َ ِّ ِّ َّ َ ِّ َ َ ِّ ِّ ُ َ ُ ْ ِّ َّ ْ ْ ْ َ ْ َ َ َ ْ َ َ َ‫ستَأ ِّخ ِّرين‬ َ ‫ستَقد ِِّّمينَ ِّمن ُك ْم َولق ْد‬ َ ‫( َولق ْد‬ ْ ‫ع ِّل ْمنا ال ُم‬ ْ ‫ع ِّل ْمنا ال ُم‬ Dahulu ada seorang wanita yang sangat cantik shalat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka sebagian orang laki-laki maju, sehingga berada di shaf pertama agar tidak melihat wanita itu. Tetapi sebagian orang mundur, sehingga berada di shaf belakang. Jika ruku’, dia dapat melihat (wanita itu) dari sela ketiaknya. Maka Allah menurunkan (ayat), ‫ع ِّل ْمنَا‬ َ ‫ست َ ْقد ِِّّمينَ ِّمن ُك ْم َو َلقَ ْد‬ َ ‫ستَأ ْ ِّخ ِّرينَ َولَقَ ْد‬ ْ ‫ع ِّل ْم َنا ا ْل ُم‬ ْ ‫[ ا ْل ُم‬HR Ash Habus Sunan, Al Hakim, dan lainnya. Dishahihkan Syeikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 2472. Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 70]. Hadits ini menunjukkan bahwa di zaman Nabi, wajah wanita biasa terbuka. 13. Ibnu Mas’ud berkata ُ‫سا ٌء فَأ َ ْخلَ ْينَهُ فَ َقضَى حَا َجتَه‬ َ ُ‫َّللا‬ ْ َ ‫س ْو َدةَ َو ِّه َي ت‬ َ ِّ‫َّللا‬ َ ِّ‫صنَ ُع ِّطيبًا َو ِّع ْن َد َها ن‬ َ ‫ام َرأَةً فَأ َ ْع َجبَتْهُ فَأَتَى‬ َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫َرأَى َر‬ ْ ‫سلَّ َم‬ َ َ َ َ ‫ث ُ َّم قَا َل أيُّ َما َر ُج ٍل َرأى ا ْم َرأةً ت ُ ْع ِّجبُهُ فَ ْليَقُ ْم إِّ َلى أ ْه ِّل ِّه فَ ِّإنَّ َمعَهَا ِّمثْ َل ا َّلذِّي َمعَهَا‬ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita sehingga wanita itu mempesona beliau, maka beliau mendatangi Saudah (istri beliau), yang sedang membuat minyak wangi dan di dekatnya ada banyak wanita. Maka wanita-wanita itu meninggalkan beliau, lalu beliau menunaikan hajatnya. Kemudian beliau bersabda: “Siapapun lelaki yang melihat seorang wanita, sehingga wanita itu mempesonanya, maka hendaklah dia pergi kepada istrinya, karena sesungguhnya pada istrinya itu ada yang semisal apa yang ada pada wanita (yang mempesonakan) itu. [HR. Muslim, Ibnu Hibban, Darimi, dan lainnya. Lafazh ini riwayat Darimi. Lihat takhrijnya di dalam Ash-Shahihah no:235] Sebagaimana hadits sebelumnya, hadits ini nyata menunjukkan bahwa di zaman Nabi, wajah wanita biasa terbuka. 14. Dari Abdullah bin Muhammad, dari seorang wanita di antara mereka yang berkata, ‫ت اللُّ ْق َمةُ فَ َقا َل َال‬ َ ً‫ش َما ِّلي َو ُك ْنتُ ا ْم َرأَة‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ‫َد َخ َل‬ ِّ ‫سقَ َط‬ ِّ ِّ‫سلَّ َم َوأَنَا آ ُك ُل ب‬ َ ِّ‫َّللا‬ ْ ‫ع‬ َ َ‫ب يَدِّي ف‬ َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ َ ‫س َرا َء فَض ََر‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫علَ َّي َر‬ ْ َ َ َ َ َ ْ َ َ ً َ ْ ْ ُ ‫َّللاُ يَ ِّمينَ ِّك‬ ‫ل‬ ‫ط‬ ‫أ‬ ‫د‬ ‫ق‬ ‫و‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ق‬ ‫و‬ ‫أ‬ ‫ا‬ ‫ن‬ ‫ي‬ ‫م‬ ‫ي‬ ‫ك‬ ‫ل‬ ‫َّللا‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ج‬ ‫د‬ ‫ق‬ ‫و‬ ‫ك‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ش‬ ‫ب‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫ك‬ ‫أ‬ ‫ت‬ ِّ َ‫ق‬ َ َ َ ِّ َ ِّ ِّ ِّ ِّ َّ ْ َ َ َ ِّ ُ َّ َ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemuiku ketika aku sedang makan dengan tangan kiriku, karena aku seorang wanita yang kidal. Maka beliau memukul tanganku sehingga sesuap makanan jatuh. Lalu beliau bersabda, “Janganlah engkau makan dengan tangan kirimu, sedangkan Allah telah menjadikan tangan kanan untukmu.” Atau bersabda, “Sedangkan Allah telah menyembuhkan tangan kananmu.” [HR Ahmad dan Thabarani. Dihasankan oleh Syeikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 72]



15. Berlakunya Perbuatan Ini Setelah Wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Hadits-hadits di atas jelas menunjukkan tentang perbuatan sebagian sahabiyat yang membuka wajah dan telapak tangan pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan hal ini terus berlangsung setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Sebagaimana ditunjukkan dengan 16 riwayat yang dibawakan Syeikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’atil Muslimah [hal. 96-103]. Ini semua menguatkan, bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukanlah aurat sehingga wajib ditutup. 16. Anggapan terjadinya ijma’ tentang wajah dan telapak tangan merupakan aurat yang wajib ditutup, tidaklah benar. Bahkan telah terjadi perselisihan diantara ulama. Pendapat tiga imam (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’I), menyatakan bukan sebagai aurat. Ini juga merupakan satu riwayat dari Imam Ahmad. Diantara ulama besar madzhab Hambali yang menguatkan pendapat ini ialah dua imam; yakni Ibnu Qudamah dan Imam Ibnu Muflih. Ibnu Qudamah t menyatakan dalam Al Mughni, “Karena kebutuhan mendorong telah dibukanya wajah untuk jual-beli, dan membuka telapak tangan untuk mengambil dan memberi.” [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 7-9]. 17.Tambahan Dalil-dalil shahih di atas dengan tegas menunjukkan bahwa pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, wajah dan telapak tangan wanita biasa terbuka. Berarti wajah dan telapak tangan wanita dikecualikan dari kewajiban untuk ditutup. Sebagian keterangan di atas juga menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa itu terjadi setelah turunnya ayat hijab (jilbab). Sehingga menunjukkan dibolehkannya membuka wajah dan telapak tangan bagi wanita tidak terhapus oleh ayat hijab. Kemudian, seandainya tidak diketahui bahwa peristiwa-peristiwa itu terjadi setelah turunnya ayat hijab/jilbab, maka hal itu menunjukkan dibolehkan membuka wajah dan telapak tangan bagi wanita. Sedangkan menurut kaedah, bahwa setiap hukum itu tetap sebagaimana sebelumnya sampai ada hukum lain yang menghapuskannya. Maka orang yang mewajibkan wanita menutup wajah wajib membawakan dalil yang menghapuskan bolehnya wanita membuka wajah dan telapak tangan. Adakah hal itu? Bahkan yang didapati ialah keterangan dan dalil yang memperkuat hukum asal tersebut.



KESIMPULAN



1. Wanita menutup wajahnya bukanlah sesuatu yang aneh di zaman kenabian. Karena hal itu dilakukan oleh ummahatul mukminin (para istri Rasulullah) dan sebagian sahabiyyat (para wanita sahabat). Sehingga merupakan sesuatu yang disyari’atkan dan keutamaan. 2. Membuka wajah juga dilakukan oleh sebagian sahabiyyat. Bahkan hingga akhir masa kehidupan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berlanjut pada perbuatan wanita-wanita pada zaman setelahnya. 3. Seorang muslim tidak boleh merendahkan wanita yang menutup wajahnya dan tidak boleh menganggapnya berlebihan. 4. Dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang mewajibkan cadar begitu kuat; menunjukkan kewajiban wanita untuk berhijab (menutupi diri dari laki-laki) dan berjilbab serta menutupi perhiasannya secara umum. Dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang tidak mewajibkan cadar begitu kuat; menunjukkan bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukan aurat yang harus ditutup. Inilah jawaban kami tentang masalah cadar bagi wanita. Mudah-mudahan kaum muslimin dapat saling memahami permasalahan ini dengan sebaik-baiknya. Wallahu a’lam bishshawwab. [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VI/1423H/2002. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016] _______ Footnote [1]. Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Isma’il Al Qadhi. Dishahihkan oleh Syeikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 59-60, Penerbit Al Maktabah Al Islamiyyah, Cet. I. Tetapi berbagai riwayat dari Ibnu Abbas tentang penafsiran ini dilemahkan oleh Syeikh Mushthafa Al Adawi dalam kitabnya Jami’ Ahkamin Nisa. Tentang hal ini terdapat riwayat-riwayat shahih dari perkataan sebagian tabi’in. Wallahu a’lam [2]. Riwayat ini dishahihkan oleh Syeikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 59-60 [3]. Al Muhalla III/216-217, Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 73 [4]. Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 72-73 [5]. HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 1150, Muslim, Abu Dawud (4816). Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah 6/11-13 [6]. HR Abu Dawud, Thabarani, Ibnu ‘Adi, dari jalan Sa’id bin Basyir dari Qatadah dari Khalid bin Duraik dari ‘Aisyah. Ibnu ‘Adi berkata, “Terkadang Khalid mengatakan dari Ummu Salamah, sebagai ganti dari ‘Aisyah.” Sanad hadits ini lemah, sebagaimana Abu Dawud berkata setelah meriwayatkannya, “Hadits ini mursal, Khalid bin Duraik tidak bertemu ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha. Demikian juga perawi bernama Sa’id bin Basyir lemah [7]. Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 58 [8]. Tetapi kemungkinan riwayat ini sama sanadnya dengan riwayat di atas, yaitu Qatadah mendapatkan hadits ini dari Khalid bin Duraik, sehingga tidak dapat menguatkan. Wallahu a’lam [9]. Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 59 [10]. Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 59 [11]. Tetapi dalil ini dibantah dengan penjelasan bahwa hadits ini yang mahfudz (shahih) dengan lafazh min safilatin nisa’ (dari wanita-wanita rendah) sebagai ganti lafazh sithatin nisa’ (dari wanita dari tengah-tengah). Yang hal itu mengisyaratkan wanita tersebut adalah budak, sedangkan budak tidak wajib menutupi wajah. Atau kejadian ini sebelum turunnya ayat hijab. Wallahu a’lam [12]. Lihat haditsnya pada edisi terdahulu, pada dalil ke 13 yang mewajibkan cadar [13]. HR Abu Ya’la di dalam Musnadnya. Dishahihkan Syeikh Al Albani dalam Jilbab Mar’atil Muslimah, hal. 66.



Hukum Membuka Pasang Cadar Jadi, sebenarnya hukum dari membuka pasang cadar ada pada khilafiyah yang dipilih oleh wanita tersebut. Jika ia berada dalam sisi Imam Hanafi dan Maliki, maka tidak mengapa jika ia membuka pasang cadar. Tapi jika ia berada dalam khilafiyah Imam Syafií dan Hambali maka hendaklah ia tidak membuka pasang cadarnya karena seperti mempermainkan agama. Namun ada beberapa kegiatan dimana seorang wanita memeang dibolehkan bahkan mungkin menjadi keharusan untuk membuka cadarnya, diantaranya adalah: 1. Saat khitbah Seorang wanita diperbolehkan memperlihatkan wajah dan telapak tangannya di hadapan calon suaminaya saat khitbah atau tunangan dalam Islam. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa ia berkata: “Suatu saat saya berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu datanglah seorang lelaki mengabarkan kepada beliau bahwa ia ingin menikahi seorang wanita Anshar. Rasulullah berkata kepadanya: “Apakah engkau sudah melihatnya?”, “Belum!” katanya. Beliau berkata: “Kalau begitu temui dan lihatlah wanita Anshar itu karena pada mata mereka terdapat sesuatu.” (H.R Ahmad II/286&299, Imam Muslim IV/142 dan AnNasa’i II/73). Melihat wanita adalah salah satu cara memilih wanita dalam Islam agar mendapatkan wanita cantik dalam Islam yang menyejukkan pandangan. Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu ‘Anhu ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika salah seorang dari kamu meminang seorang wanita maka bila ia bisa melihat sesuatu daripadanya yang dapat mendorong untuk menikahinya hendaklah ia melakukannya.” (H.R Abu Dawud dan Al-Hakim dengan sanad hasan, diriwayatkan juga dari Muhammad bin Maslamah dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim yang dikeluarkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah). Dan dari hadits Abu Humeid yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Bazzar, silakan lihat Fathul Bari (IX/181) Az-Zaila’i berkata: “Namun ia tidak dibolehkan menyentuh wajah dan dua telapak tangan wanita tersebut meskipun tanpa syahwat, karena wanita itu belum menjadi istrinya dan tidak ada kebutuhan mendesak untuk itu.” 2. Saat bermuámalah Seorang wanita juga diperbolehkan melepaskan cadarnya untuk memperlihatkan wajahnya ketika transaksi jual beli agar tidak terjadi fitnah dan meyakinkan satu sama lain. Ibnu Qudamah berkata: “Jika seorang pria mengadakan transaksi jual beli atau sewa menyewa dengan seorang wanita maka ia boleh melihat wajah wanita itu untuk mengetahui identitasnya sekaligus meminta uang pembeliannya. Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau membenci hal itu terhadap para pemudi dan dibolehkan terhadap wanita lanjut usia. Dan juga makruh hukumnya terhadap orang yang khawatir tertimpa fitnah atau tidak begitu mendesak melakukan transaksi tersebut. Dan dibolehkan jika memang diperlukan dan tidak disertai dengan syahwat.” (Silakan lihat kitab Al-Mughni VII/459, Kitab Syarah Al-Kabir ‘Ala Matan Al-Muqni’ VII/348 dan Kitab AlHidayah Ma’a Takmilah Fathul Qadir X/24)



3. Saat menjadi saksi Begitu pula jika ia menjadi seorang saksi dalam sebuah persidangan, ia diperbolehkan membuka cadarnya untuk memperkuat kesaksiannya. Ad-Dasuuqi berkata: “Persaksian wanita yang mengenakan cadar tidak diterima hingga ia membuka cadarnya. Hal ini berlaku umum, baik persaksian dalam pernikahan, jual beli, hibah, utang piutang, wakalah dan sejenisnya. Itulah pendapat yang dipilih oleh syaikh kami.” (Silakan lihat Hasyiyatud Dasuuqi ‘ala Asy-Syarh Al-Kabir IV/194) “Persaksian wanita yang mengenakan cadar tidak diterima hingga ia membuka cadarnya. Supaya dapat dikenal dengan jelas identitas dan karakternya, setelah itu barulah ia boleh memberikan persaksian.” (Syarah Al-Kabir karangan Syaikh Ad-Dardiir IV/194) Ibnu Qudamah mengatakan: “Saksi boleh melihat terdakwa supaya persaksiannya tidak salah alamat. Imam Ahmad berkata: Tidak boleh memberikan persaksian terhadap seorang terdakwa wanita hingga ia mengenali indentitasnya dengan pasti. Silakan lihat kitab AlMughni VII/459, Syarah Al-Kabir ‘Alal Muqni’ VII/348 dan Al-Hidayah ma’a Takmilah Fathul Qadir X/26. 4. Saat berobat Seorang wanita juga diperbolehkan melepaskan cadarnya saat berobat jika memang bagian yang sakit terdapat di wajah. Namun perlu diingat, carilah sebisa mungkin dokter wanita, jikalau pun tidak ada, maka ia harus didampingi oleh mahramnya ketika berobat dengan dokter pria. Ibnu Qudamah berkata: “Seorang dokter dibolehkan melihat bagian tubuh wanita yang sakit bila perlu diperiksa. Sebab bagian tubuh itu memang perlu dilihat. Diriwayatkan dari Utsman bahwa dibawa ke hadapannya seorang bocah yang didapati telah mencuri, beliau berkata: “Periksalah dalam sarungnya!” yakni bulu kemaluannya yang menunjukkan apakah ia sudah baligh atau belum. Setelah diperiksa ternyata bulu kemaluannya belum tumbuh, beliaupun tidak memotong tangannya.” (Silakan lihat kitab Al-Mughni VII/459 dan kitab Ghadzaaul Albab I/97) Di antara dalil yang menunjukkan bolehnya kaum pria mengobati kaum wanita dengan batasan-batasan yang telah ditentukan adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam AlBukhari dari Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz ia berkata: “Kami pernah berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tugas kami adalah memberi minum dan membantu pasukan, dan membawa pasukan yang tewas dan terluka ke Madinah.” (H.R Al-Bukhari VI/80 & X/136, lihat Fathu Bari. Diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dari Anas V/196, Abu Dawud VII/205, lihat ‘Aunul Ma’bud, dan Imam AtTirmidzi V/301-302, ia berkata: Hadits ini hasan shahih) 5. Saat ihram Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliallahu ‘anhu berkata: Seorang laki-laki datang lalu berkata: “Wahai Rasulullah, pakaian apa yang baginda perintahkan untuk kami ketika ihram?. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:



“Janganlah kalian mengenakan baju, celana, sorban, mantel (pakaian yang menutupi kepala) kecuali seseorang yang tidak memiliki sandal, hendaklah dia mengenakan sapatu tapi dipotongnya hingga berada di bawah mata kaki dan jangan pula kalian memakai pakaian yang diberi minyak wangi atau wewangian dari daun tumbuhan. Dan wanita yang sedang ihram tidak boleh memakai cadar (penutup wajah) dan sarung tangan“(H.R.Bukhari) Demikian penjelasan bagaimana hukum lepas pasang cadar dan dalilnya.



Hukum Memakai Cadar Dalam Shalat Pengantar Seorang wanita Muslimah, terlepas pendapat fikih manapun yang dipilih terkait hukum bercadar ketika keluar rumah, kadang-kadang mengalami masalah ketika harus memutuskan apakah bercadar ataukah tidak saat shalat. Umumnya masalah tersebut terjadi ketika dia malakukan shalat di tempat umum yang bisa dilihat lelaki asing sementara dia berpendapat menutup wajah adalah wajib. Bisa juga masalah itu muncul meski di dalam rumah ketika dia menutup wajah untuk alasan-alasan non aurot. Bagaimanakah penjelasan hukum Syara terkait hal ini? Tulisan ini berusaha membahasnya. Pembahasan Talattsum/ ‫( التَّلَث ُّ ُم‬memakai cadar) dalam shalat, yang mencakup aktivitas Tanaqqub/ ُ‫( التَّنَقُّب‬menutupi wajah sekaligus mata) dan atau Tabarqu’/ ‫( التَّ َب ْرقُ ُع‬menutupi wajah saja tanpa mata) dilarang syariat dan hukumnya makruh tetapi tidak membatalkan shalat. Larangan ini berlaku bukan hanya bagi wanita tetapi juga bagi lelaki. Dalil yang menunjukkan larangan memakai cadar saat shalat adalah hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah; )230 /3( ‫سنن ابن ماجه‬ ‫َع ْن أ َ ِبي ه َُري َْرة َ قَا َل‬ ‫صلهى ه‬ ‫سو ُل ه‬ ‫ص ََل ِة‬ ُ ‫نَ َهى َر‬ ‫الر ُج ُل فَاهُ فِي ال ه‬ ‫ي ه‬ َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫َّللا‬ َ ‫سله َم أَ ْن يُغ َِط‬ Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seseorang menutup mulutnya ketika shalat. (H.R.Ibnu Majah) “ Dalam hadis di atas Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang seseorang menutup mulutnya pada saat shalat (dengan kain atau yang semakna dengannya). Mamakai cadar secara otomatis akan menutup mulut. Oleh karena itu, larangan menutup mulut saat shalat mencakup larangan bercadar saat shalat, karena memakai cadar pasti menutup mulut. Lagipula, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan agar sujud dengan tujuh anggota badan yaitu dahi (termasuk hidung), kedua telapak tangan, kedua lutut, dan kedua ujung kaki tanpa penghalang. Bukhari meriwayatkan;



)298 /3( ‫صحيح البخاري‬ ‫ي ه‬ ‫َّللاُ َع ْن ُه َما قَا َل‬ ٍ ‫َع ْن اب ِْن َعب‬ ِ ‫هاس َر‬ َ ‫ض‬ ُ ‫س ْب َع ِة أ َ ْع‬ ‫صلهى ه‬ ‫الر ْك َبتَي ِْن‬ ُّ ‫َار ِب َي ِد ِه َع َلى أ َ ْن ِف ِه َو ْال َيدَ ْي ِن َو‬ َ ‫سله َم أ ُ ِم ْرتُ أ َ ْن أ َ ْس ُجدَ َعلَى‬ َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫ظ ٍم َعلَى ْال َج ْب َه ِة َوأَش‬ َ ‫ي‬ ُّ ‫قَا َل النه ِب‬ ْ َ‫َوأ‬ ‫اب َوال ه‬ ‫شعَ َر‬ ِ َ‫اف ْالقَدَ َمي ِْن َو ََل نَ ْكفِت‬ ِ ‫ط َر‬ َ َ‫الثي‬



Dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku diperintahkan untuk melaksanakan sujud dengan tujuh tulang (anggota sujud); kening -beliau lantas memberi isyarat dengan tangannya menunjuk hidung- kedua telapak tangan, kedua lutut dan ujung jari dari kedua kaki dan tidak boleh menahan rambut atau pakaian (sehingga menghalangi anggota sujud).”H.R.Bukhari) Memakai cadar akan menghalangi pelaksanaan perintah sujud dengan menempelkan dahi dan hidung pada tempat sujud. Hal ini bermakna tidak melaksanakan perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tentang tatacara sujud. Khabbab bin Al-Aratt mengisahkan bahwa beliau dan sejumlah shahabat mengeluhkan panasnya tempat sujud saat shalat dhuhur yang mengenai dahi dan telapak tangan mereka. Namun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak menerima keluhan mereka sehingga mereka tetap bersujud di atas dahi dan telapak tangan dalam keadaaan polos tanpa penutup kain. Hal ini menunjukkan, dahi dan telapak tangan tidak boleh ditutupi kain yang menempel pada badan saat shalat. Imam Muslim meriwayatkan; )311 /3( ‫صحيح مسلم‬ ‫ب قَا َل‬ ٍ ‫َع ْن َخبها‬ ‫صلهى ه‬ ‫سو ِل ه‬ ‫اء فَلَ ْم يُ ْش ِكنَا‬ َ ِ ‫ض‬ ُ ‫شك َْونَا ِإلَى َر‬ ‫ص ََلة َ فِي ه‬ ‫سله َم ال ه‬ َ ‫الر ْم‬ َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫َّللا‬ Dari Khabbab dia berkata; “Kami berkeluh kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam perihal shalat diatas kerikil yang sangat panas, namun beliau tidak menggubris keluh kesah kami.”(H.R.Muslim) Menurut ibnu Abdil Barr, kewajiban membuka wajah tanpa cadar bagi wanita saat shalat sudah menjadi Ijma (konsensus).



)256 /2( ‫كشاف القناع عن متن اإلقناع‬ ‫اإلحْ َر ِام‬ ‫ِف َوجْ َه َها فِي ال ه‬ َ ‫ أَجْ َمعُوا َعلَى أ َ هن َعلَى ْال َم ْرأَةِ أَ ْن ت َ ْكش‬: ‫قَا َل ا ْبنُ َع ْب ِد ْال َب ِر‬ ِ ْ ‫ص ََلةِ َو‬ “Ibnu Abdil Barr berkata; Mereka telah bersepakat bahwa wanita wajib membuka wajahnya pada saat Shalat dan Ihram” (Kassyafu Al-Qina’ ‘An Matni Al-Iqna’, vol.2 hlm 256) Larangan memakai cadar bagi wanita bukan hanya pada saat shalat, tetapi juga pada saat mengerjakan haji. Bukhari meriwayatkan; )374 /6( ‫صحيح البخاري‬ ‫ي ه‬ ‫َع ْن َع ْب ِد ه‬ ‫ع ْن ُه َما قَا َل‬ ُ ‫َّللاِ ب ِْن‬ َ ُ‫َّللا‬ ِ ‫ع َم َر َر‬ َ ‫ض‬ ‫صلهى ه‬ ‫يص‬ ُ ‫س هل َم ََل ت َْل َب‬ ُ ‫ام َر ُج ٌل فَقَا َل َيا َر‬ ِ ‫س ِم ْن الثِ َيا‬ ِ ‫سو َل ه‬ َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫سوا ْالقَ ِم‬ َ ‫ي‬ َ ‫َّللا َماذَا ت َأ ْ ُم ُرنَا أ َ ْن ن َْل َب‬ ِ ْ ‫ب فِي‬ ُّ ‫اإلحْ َر ِام فَقَا َل النه ِب‬ َ َ‫ق‬ َ ‫س ْال ُخفهي ِْن َو ْليَ ْق‬ َ ‫َو ََل الس َهرا ِو‬ ْ ‫س‬ ‫ط ْع أ َ ْسفَ َل ِم ْن ْال َك ْعبَي ِْن َو ََل‬ ِ ‫يَل‬ ْ َ‫ت لَهُ نَ ْع ََل ِن فَ ْليَ ْلب‬ َ ‫س إِ هَل أ َ ْن يَ ُكونَ أَ َحد ٌ لَ ْي‬ َ ِ‫ت َو ََل ْال َع َمائِ َم َو ََل ْالبَ َران‬ ٌ ‫سهُ زَ ْعفَ َر‬ ‫س ْالقُفهازَ ْي ِن‬ َ ‫سوا‬ ‫ش ْيئًا َم ه‬ ُ ‫ت َْل َب‬ ْ ‫س َو ََل ت َ ْنتَقِبْ ْال َم ْرأَة ُ ْال ُمحْ ِر َمةُ َو ََل ت َْل َب‬ ُ ‫ان َو ََل ْال َو ْر‬ Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliallahu ‘anhu berkata: Seorang laki-laki datang lalu berkata: “Wahai Rasulullah, pakaian apa yang baginda perintahkan untuk kami ketika ihram?. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Janganlah kalian mengenakan baju, celana, sorban, mantel (pakaian yang menutupi kepala) kecuali seseorang yang tidak memiliki sandal, hendaklah dia mengenakan sapatu tapi dipotongnya hingga berada di bawah mata kaki dan jangan pula kalian memakai pakaian yang diberi minyak wangi atau wewangian dari daun tumbuhan. Dan wanita yang sedang ihram tidak boleh memakai cadar (penutup wajah) dan sarung tangan“(H.R.Bukhari) Larangan memakai cadar difahami makruh, bukan haram yang membatalkan shalat karena untuk menyimpulkan sebuah larangan dalam shalat bermakna haram yang membatalkan shalat, harus bisa dibuktikan berdasarkan Nash bahwa larangan tersebut membuat shalat dianggap tidak ada atau ada perintah lugas untuk mengulangi shalat. Para ulama yang mengambil pendapat bahwa wanita wajib memakai cadar, maka ketentuan memakai cadar dalam shalat ini diperinci. Jika shalatnya ditempat tertutup tanpa ada lelaki asing, maka hukum memakai cadar tetap makruh, sementara jika ditempat umum yang dilihat lelaki asing maka memakai cadar menjadi mubah karena dianggap pelaksanaan kewajiban menggugurkan hal yang makruh. Wallahua’lam.