Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

FIRMAN NUGRAHA



IHWAL PENGAJARAN SASTRA



1



IHWAL



PENGAJARAN SASTRA Penyusun:



Firman Nugraha



[



Bandung, 2008 2



Ihwal Pengajaran Sastra © 2008 oleh Firman Nugraha Cetakan I, Maret 2008 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang All right reserved Pertama kali diterbitkan oleh Titik Kulminasi Jl. Negla Tengah No.11 Bandung 40154 E-mail: [email protected] Penyelia Akhir: Hasan Fanmian Tata Letak: Egra Fikta H. Gambar Sampul: 85118_digital_creation by ANOnim Bandung: Titik Kulminasi, 2008 110 hlm.; 14.8 cm x 21 cm ISBN: 978-979-16005-0-X 3



Pengantar KETIKA PENGAJARAN SASTRA DIPERBINCANGKAN



S



ebentuk peluh, adalah sebuah dilema yang tak pernah selesai jika kita membicarakan perihal pengajaran, terlebih pengajaran sastra. Beribu nafas mencatatkan berjuta dedah, cita-cita dan harapan agar pengajaran sastra bisa menjadi ‗sesuatu’ yang benar-benar tak hanya dipertimbangkan tapi juga diejawantahkan keberadaannya secara ideal di wilayah formal. Selama ini, pengajaran sastra di Indonesia masih menjadi suatu permasalahan yang dilematis. Bukan tanpa sebab: kebanyakan dari kita menganggap jika puisi dan prosa– untuk membilang genre sastra— sebagai ―mahkluk‖ alienus, sedang kita tahu bahwa sastra adalah implementasi konkret bahasa yang sejatinya merupakan bahan bakunya. Tidak hanya itu. Keterasingan tersebut ternyata juga dimunculkan dari adanya gap dimana pengajaran sastra yang selama ini diajarkan di dalam kelas tak jauh dari sekadar hafalan, baik menyoroti karya maupun pengarangnya –sebuah metode yang teramat konvensional selain sebagai akibat kurangnya kapabilitas pengajar dalam menghantarkan sastra dalam wilayah pembelajaran. Selama lebih dari setengah abad penyakit ini mendekam di muara pendidikan kita yang mau tidak mau tentunya harus diobati. Sastra harus diusung ke hadapan publik. Ketertarikan padanya mesti dipupuk sejak dini agar 4



sastra dapat menjadi sebuah entitas yang secara global membentuk karakter bangsa melalui pribadi yang memiliki nilai-nilai universal yang humanis. Buku yang Anda pegang ini adalah suatu bentuk usaha yang dimaksudkan untuk mengubah keadaan yang sudah sangat akut dalam memandang fenomena ihwal pengajaran sastra. Di dalamnya ada perasaan nyinyir, miris, bahkan harapan agar sastra dan pengajarannya bisa dengan terbuka mendapatkan tempat di hati setiap insan. Ada tiga belas esei yang sengaja penyusun pilih untuk memperbincangkan isu utama buku ini. Kesemuanya itu dimaksudkan sebagai refleksi dalam itikad yang baik dengan harapan, semoga pengajaran sastra di negeri ini menemukan jalannya ke arah kondisi yang lebih baik lagi dari hari ke hari. Selamat membaca! Penyusun Firman Nugraha



5



DAFTAR ISI Pengantar Ketika Pengajaran Sastra Diperbincangkan ......................... 4 Daftar Isi ................................................................................. 6  “Horison” dan Gerakan Sastra di Sekolah Oleh Ken Zuraida ............................................................ 8  Mereka Kian Percaya Diri Oleh Ken Zuraida ............................................................ 17  Pelajaran Sastra di Sekolah Terpaku Pada Teori Artikel Kompas ............................................................... 23  Pelajaran Sastra Semu: Selalu Tertinggal dari Realitas Oleh Iam/Ken Zuraida .................................................. 25  CDA Sebagai Model Pembelajaran Sastra Oleh Dharmojo ................................................................ 28  Memisahkan Pengajaran Sastra dari Bahasa Oleh Aris Kurniawan ..................................................... 44  Pentingnya Pelajaran Sastra (Puisi) Untuk Anak Oleh Herry Nurdi ............................................................ 51  Memisah Pengajaran Sastra dari Bahasa Oleh Ahmadun Yosi Herfanda ...................................... 56  Kondisi Pembelajaran Apresiasi Sastra Indonesia Dengan Kurikulum 1994 di SLTPN Kota Padang Oleh Ermanto ................................................................... 63  Pemuda dan Sastra Oleh Ridwan Pinat .......................................................... 85



6



 Sastra Koran Alternatif Bahan Pengajaran Sastra Oleh Arif Ardiansyah ...................................................... 91  Analisis Kritis Pengajaran Sastra di Jurusan Bahasa Asing Oleh Firman Nugraha ..................................................... 96  Pengajaran Sastra Tumbuhkan Kreativitas Siswa Oleh Novan (Galamedia) ............................................... 108 Tentang Penyusun ............................................................... 110



7



"HORISON" DAN GERAKAN SASTRA DI SEKOLAH Oleh: Ken Zuraida



P



ada mulanya adalah sederet keluhan, lalu dijawab dengan sebuah tantangan. Tidak tanggung-tanggung, tantangan itu datang dari seorang menteri, yang notabene adalah penanggung jawab persoalan yang dikeluhkan. Adalah sastrawan Taufiq Ismail yang mengusung segerobak masalah berkaitan dengan kegiatan bimbingan mengarang dan pengajaran sastra di sekolah. Dalam berbagai forum yang dia hadiri, Taufiq memang selalu melontarkan isu mengenai betapa kian merosotnya kegiatan mengarang dan apresiasi sastra di Tanah Air selama kurun 50 tahun terakhir. Berkali-kali, berulang-ulang! Apalagi sebelumnya dia mendapat berita yang diakuinya tidak sedap dicerna: bahwa sebagai bangsa kita kabarnya termasuk bangsa yang rabun membaca dan pincang mengarang. Belakangan bahkan terbetik pula berita yang lebih tidak enak, yaitu konstatasi bahwa kita sebagai bangsa malah sudah buta membaca dan lumpuh mengarang. Berangkat dari rasa "tersinggung" karena dicap sebagai bangsa yang rabun dan pincang-malah disindir sudah buta dan lumpuh-dalam dunia baca-tulis, Taufiq tentu saja geram. Sudah separah itukah? "Saya sangsi pada berita kedua tadi, tapi agak percaya pada berita pertama yang menyebutkan 8



bahwa kita sudah menjadi bangsa yang rabun membaca dan pincang mengarang," kata Taufiq Ismail. Lalu, bersama rekan-rekan sekerjanya di majalah sastra Horison, Taufiq mendiskusikan masalah ini guna menemukan akar persoalan yang sesungguhnya. Forum urun rembuk pun digelar. Hasilnya, sebagaimana ia sampaikan dalam berbagai kesempatan ketika tampil sebagai pembicara di berbagai diskusi atau berceramah tentang sastra Indonesia, terhimpun sekitar 35 butir masalah yang diduga sebagai penyebab mengapa bangsa ini menjadi rabun dan pincang dalam hal baca-tulis. Setelah dikompilasi, di antara sederet panjang butir-butir masalah itu diperkirakan penyebab utama dari itu semua adalah merosotnya kegiatan wajib buku sastra, bimbingan mengarang, dan pengajaran sastra di sekolah. Keluhan bahwa pengajaran sastra kurang mendapat tempat-karena digusur oleh pengajaran bahasa; lebih spesifik lagi pengajaran tata bahasa-dalam sistem persekolahan kita sudah menjadi masalah klasik. Dengan begitu, kewajiban peserta didik membaca buku-buku sastra pun ikut terpinggirkan. Sementara pengajaran bahasa yang terlalu berkutat pada soal ketatabahasaan dirasakan sudah kehilangan fungsinya sebagai sarana untuk melatih siswa mengekspresikan diri lewat bahasa tulis. Kalaupun pengajaran sastra (Indonesia) yang dicantelkan dalam mata pelajaran berlabel Bahasa dan Sastra itu dilaksanakan, strategi pengajarannya pun tak jauh berbeda ketika guru-guru mentransfer pengetahuan tentang bahasa dan bukan keterampilan berbahasa. Sudah bukan rahasia lagi bila yang diajarkan adalah definisi-definisi dalam ilmu sastra, tahun kelahiran pengarang, nama-nama tokoh dalam suatu karya, atau paling banter sinopsis isi cerita. 9



"Padahal, fungsi guru bahasa dan sastra yang paling utama adalah bagaimana membuat siswa asyik membaca, lalu membicarakan karya sastra itu bersama-sama. Tentu saja, pertama-tama, anak harus berkenalan langsung dengan karya sastra secara utuh dan bukan cuma membaca sinopsis ceritanya," kata Taufiq mengingatkan. Begitulah ketika Taufiq Ismail mengeluhkan masalah ini kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) saat itu, Wardiman Djojonegoro, dia malah diminta membuktikannya dengan angka-angka. Tentu saja Taufiq sempat terperangah. Jujur diakuinya, ketika masalah itu disampaikan kepada Wardiman –pada satu senja menjelang acara berbuka puasa di ruang kerja sang menteri; setelah pagi harinya Wardiman dilantik sebagai Mendikbud oleh Presiden (kala itu) Soeharto—dia tidak memiliki data kuantitatif sebagai pendukung. Benarkah pengajaran sastra di Indonesia, terutama di sekolah menengah umum (SMU), sejak 50 tahun terakhir memang jauh merosot dibandingkan dengan pada masa kolonial? Lebih spesifik lagi: benarkah selama ini pengajaran sastra di sekolah lebih terfokus pada penyampaian pengetahuan tentang sastra dan bukan berkaitan dengan apresiasi terhadap karya-karya sastra? Benarkan siswa-siswa kita tidak lagi membaca buku-buku sastra? Benarkah fungsi guru bahasa dan sastra dalam kegiatan karang-mengarang untuk melatih nalar dan ekspresi estetika anak didiknya tidak berjalan sebagaimana seharusnya? Kalau memang kenyataannya begitu, apakah secara kuantitatif bisa dibuktikan? Tantangan inilah yang direspons Taufiq Ismail dengan melakukan semacam survei sederhana, yakni dengan mewawancarai tamatan SMU dari 13 negara. Jangan 10



membayangkan model pembuktiannya sama seperti kalangan akademikus melakukan penelitian yang kompleks dan rumit dengan metode yang secara ilmiah bisa dipertanggungjawabkan. Apa yang dilakukan Taufiq hanya semacam snapshot, potret sesaat, untuk menangkap gejala yang muncul ke permukaan. Pertanyaan diarahkan pada persoalan seputar kewajiban membaca buku sastra, bimbingan menulis, dan pengajaran sastra di SMU tempat mereka belajar. Hasilnya? Jika siswa SMU di Amerika Serikat menghabiskan 32 judul buku selama tiga tahun, sementara di Jepang dan Swiss 15 buku, serta siswa SMU di negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam menamatkan membaca 5-7 judul buku sastra, siswa SMU di Indonesiasetelah era AMS Hindia Belanda-adalah nol buku. Padahal, pada era Algemeene Middelbare School (AMS) Hindia Belanda, selama belajar di sana siswa diwajibkan membaca 15-25 judul buku sastra. Mengejutkan? Memang! Angka nol buku ini diperoleh apabila buku sastra tidak secara spesifik disebut di kurikulum, siswa hanya membaca ringkasannya dan siswa tidak menulis mengenai buku tersebut, juga tidak ada di perpustakaan sekolah, serta tidak diujikan di sekolah bersangkutan. "Oleh karena itu, kalau ada pertanyaan: Adakah kini buku sastra dibaca sampai habis dan dianalisis, lalu dibicarakan di kelas? Jawabnya: Ttidak ada. Nol buku! Kalaupun ada kekecualian pada beberapa SMU, itu merupakan suatu kekecualian yang luar biasa langka," kata Taufiq. 11



Bagi Taufiq Ismail, hasil snapshot ini semakin memperteguh asumsi selama ini bahwa pengajaran sastra dan bimbingan mengarang di sekolah-sekolah kita kian memprihatinkan. Dihadapkan pada kenyataan ini, pekerjaan besar pertama adalah bagaimana meyakinkan berbagai pihakterutama para pengambil kebijakan—bahwa usaha perbaikan harus dilakukan. Pemahaman bahwa kegiatan membaca dan mengarang bagaikan dua saudara yang terpisahkan harus mulai ditanamkan. Bahwa, semakin siswa banyak membaca maka makin bagus karangannya. Dan, kegemaran membaca harus mulai dipupuk melalui buku-buku sastra, yang pada gilirannya akan melebar ke jenis bacaan lain. Begitu pun bimbingan mengarang (baca: menulis) bisa dimulai di kelas bahasa, lalu diperluas ke kelas dan bidang lain. (Membaca alfabet itu/bagaikan berkecimpung di kolam yang kecil ukurannya/sedangkan membaca buku ibarat berenang di lautan ilmu/yang sangat luasnya/...//Menulis alfabet adalah ibarat anak kecil main layang-layang/tapi pandai mengarang/adalah ibarat pilot pesawat terbang/yang mampu melesat ke langit luas karena tangkasnya...//) Menghadapi kenyataan ini, persoalan berikutnya adalah bagaimana membuat semacam gerakan untuk mendekatkan karya sastra (kalau perlu juga pengarangnya) ke lingkungan sekolah. Jika pintu sudah terbuka, dan pihak sekolah menyambutnya dengan penuh antusias, tujuan-tujuan ideal untuk menjadikan sekolah sebagai basis gerakan sastra akan menjadi lebih mudah diselipkan. Di bawah bendera Yayasan Indonesia dan majalah sastra Horison, Taufiq Ismail bersama penyair Hamid Jabbar, Agus R Sarjono, dan Jamal D Rahman lalu menyusun konsep: Gerakan seperti apa yang memungkinkan digelar agar 12



budaya membaca buku, kemampuan mengarang, serta apresiasi sastra di kalangan siswa bisa ditumbuhkan? Disadari sepenuhnya bahwa membaca karya sastra dan pelajaran mengarang hanya batu loncatan untuk menumbuhkan budaya baca dalam pengertian luas. Latihan menulis lewat pelajaran mengarang juga bukan untuk menjadikan anak didik sebagai sastrawan, tetapi lebih dimaksudkan untuk melatih bagaimana siswa didik mengekspresikan diri lewat tulisan. Oleh karena itu, kelas harus dibuat menyenangkan, dan sastra harus dihadirkan sebagai sesuatu yang mengasyikkan. Belajar tentang sastra tanpa membaca karya sastra secara utuh adalah sebuah keniscayaan. Kebiasaan lama yang hanya mengajarkan pengetahuan tentang sastra harus diubah. Buku-buku yang disebut dalam kurikulum harus dihadirkan di kelas sehingga anak bisa menikmati karya sastra tidak sepotong-sepotong seperti selama ini ketika mereka hanya mengenal isi buku sastra lewat ringkasan atau sinopsisnya. Kelas sastra juga perlu dibuat sedemikian rupa menjadi semacam laboratorium mini pendidikan demokrasi, yakni dengan memberikan kebebasan kepada siswa untuk memberi tafsir seluas-luasnya terhadap isi suatu karya sastra. Tidak ada tafsir tunggal dalam sastra. Karena itu, perbedaan pendapat dan belajar menghargai perbedaan itu harus dipupuk. Dengan kata lain, paradigma pengajaran sastra yang selama puluhan tahun memberi penekanan pada pengetahuan tentang sastra harus dirombak. Tentu saja guru menjadi salah satu pilar utama yang bisa diharapkan untuk membawa perubahan yang diinginkan tersebut. Sementara itu, kehadiran pihak luar lebih sebatas memberi dorongan dengan 13



menciptakan ruang-ruang kreatif yang memungkinkan para guru bisa mengaksesnya. Dalam konteks inilah pentingnya dibuat semacam program pelatihan bagi guru agar (kelak) ia mampu membimbing anak didiknya dalam menikmati karya sastra dan bimbingan mengarang. "Karena itu, dalam serangkaian gerakan sastra yang akhirnya dilakukan oleh majalah Horison, program pelatihan bagi guru ini kami anggap sebagai titik berangkat untuk menyelamatkan bangsa ini dari kebutaan dan kelumpuhan dalam dunia baca-tulis. Program pelatihan yang diberi label Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra (MMAS) ini menjadi semacam terapi jangka pendek untuk mengobati penyakit kronis tersebut," kata Taufiq, salah satu tokoh penanda tangan Manifes Kebudayaan di era pergolakan tahun 1960-an. Didukung pembiayaan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sejak Februari 1999 hingga Oktober 2002, program MMAS sudah berlangsung sebanyak 30 angkatan. Materi pelatihan yang disusun Horison dan dilaksanakan di pusat pendidikan dan pelatihan guru (PPPG) di 11 kota itu melibatkan sekitar 1.500 guru dari berbagai daerah di Tanah Air, kecuali guru-guru dari daerah konflik (Aceh, Papua, dan Maluku). Para guru dilatih oleh tenaga yang kompeten di bidangnya selama 6-7 hari, terutama tentang bagaimana meningkatkan minat siswa membaca dan kemampuan mengarang. Dalam forum itu mereka juga berkesempatan berdiskusi langsung dengan sejumlah sastrawan seputar karya-karya mereka. Interaksi langsung dengan sastrawan dan tenaga pelatihan yang kompeten, sedikit banyak ternyata 14



membuahkan hasil. Sepulang dari mengikuti program pelatihan, para guru mulai membenahi metode dan strategi pengajaran sastranya. Kelas bimbingan mengarang sudah dibuka. Dampaknya, seperti pengakuan sejumlah guru yang memberikan masukan sehabis pelatihan, pelajaran mengarang kini mulai disukai peserta didik. Apalagi Depdiknas-melalui Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah-secara berangsur-angsur mengedrop buku-buku sastra ke sekolahsekolah. "Masalahnya, program semacam ini hanya mampu menjangkau guru dalam jumlah terbatas. Sekarang kami sedang memikirkan bagaimana cara mengembangkan model pelatihan MMAS yang dapat mempercepat coverage jumlah guru bahasa dan sastra secara keseluruhan," kata Taufiq. Program pelatihan MMAS adalah satu dari enam gerakan yang dirintis oleh Horison. Sebelumnya, lewat sisipan Kakilangit di majalah bulanan Horison, dibuka ruang khusus untuk siswa SMU dan sederajat. Sisipan Kakilangit berisi karya terpilih seorang sastrawan Indonesia terkemuka, ulasannya, proses kreatifnya, riwayat hidup, dan anekdot tentang sang sastrawan. Tujuannya adalah untuk membantu guru mengajarkan sastra di kelas. Selain itu, Kakilangit juga memuat puisi dan cerpen karya siswa, lalu diulas oleh salah satu anggota redaksi Horison. Bagian ini selain dimaksudkan mendekatkan siswa dengan karya sastra, juga untuk merangsang dan melatih siswa dalam kegiatan karangmengarang. Di luar itu, masih ada empat gerakan lain, mulai dari Lomba Mengulas Karya Sastra (LMKS), bengkel kerja yang dinamakan Sanggar Sastra Siswa Indonesia (SSSI), Sastrawan 15



Bicara, Mahasiswa Membaca (SBMM), hingga program Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB). Serangkaian gerakan sastra Horison, yang menempatkan komunitas sekolah sebagai basis kegiatan itu, diakui oleh sang penggagasnya ibarat menanam bibit pohon jati. Tidak seperti menanam benih sayur-mayur yang hasilnya dapat dipanen dalam dua atau tiga bulan, menanam pohon jati butuh waktu panjang; bertahun-tahun. Apa pun istilahnya, kerja besar itu sudah dimulai. Bibit telah disemai dan ditanamkan. Akan tetapi, seperti kata Chairil Anwar, "Kerja belum selesai. Belum apa-apa...."



16



MEREKA KIAN PERCAYA DIRI Oleh: Ken Zuraida



I



smur, guru yang mengasuh mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMU Negeri 2 Banjarmasin, Kalimantan Selatan, kini bisa bernapas lega. Begitu pun Atik Sri Rahayu dari SMU Negeri 10 Samarinda, Kalimantan Timur. Setelah mengikuti program pelatihan "Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra" yang diselenggarakan oleh majalah sastra Horison, keduanya merasa kini jendela sastra terbuka lebar dan materinya terbentang luas bagai tanpa batas. Padahal, kedua guru ini tadinya mengaku kerap dihantui perasaan waswas, penuh keraguan, terhadap kemampuan mereka setiap kali akan masuk kelas untuk mengasuh pelajaran sastra. Sastra dengan segala atributnya menjadi momok menakutkan. Keluhan banyak pihak menyangkut minimnya alokasi waktu yang disediakan oleh kurikulum untuk pelajaran sastra bagi mereka justru sebaliknya. Namun, berbekal pemahaman baru-sepulang dari mengikuti pelatihan Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra (MMAS) di Banjarmasin-terhadap 17



sastra dan bagaimana seharusnya pelajaran sastra diberikan, keragu-raguan itu berangsur-angsur hilang dan kini pupus sudah. Dengan pendekatan dan metode yang menyenangkan, pelajaran sastra yang tadinya kering, tidak diminati siswa, dianggap sekadar pelengkap dari mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, ternyata bisa menjadi sangat menarik dan mengasyikkan. "Kini saya merasa ‘lebih berani‘, lebih percaya diri dalam mengajarkan materi sastra. Ini betul-betul saya rasakan dan alami, bukan basa-basi karena sebelum mengikuti pelatihan MMAS kadang-kadang (perasaan) saya ragu atas ‘kesahihan‘ atau penguasaan saya terhadap materi sastra," kata Atik dalam satu suratnya yang dikirim ke redaksi Horison. Simak juga pengakuan Ismur. Katanya, "Sebelumnya aku merasa tidak mampu untuk memberikan pelajaran sastra. Aku lebih banyak mengalihkan materi ke tata bahasa. Pelajaran sastra yang kuberikan hanyalah bersifat teoretis. Praktiknya paling-palig baca puisi dan mengartikan maksud puisi yang dibacakan tersebut, atau mengadakan lomba baca puisi antarkelas. Hanya itu yang dapat aku lakukan." Rekan Ismur, Dra Hj Masdiana, dari SMU Negeri 7 Banjarmasin, juga tak kalah waswas ketika 18



akan memasuki kelas bahasa. Ia mengaku sering kali mengeluhkan, "Bahan apa lagi, ya, yang akan saya berikan. Karena, seperti yang kita ketahui, untuk jurusan bahasa di SMU ada 11 jam per minggu. Jadi, tidak mustahil bagi pengajar seperti saya ini akan kekurangan bahan." Ismur, Atik, dan Masdiana hanyalah sedikit di antara guru bahasa dan sastra Indonesia yang menyandang beban serupa. Jangankan menghadirkan sastra di kelas dalam suasana menyenangkan, untuk menentukan materi apa yang harus diajarkan pun mereka kesulitan. Jangankan membimbing dan mengembangkan imajinasi anak lewat tulisan, untuk memulainya pun terkadang mereka bingung harus masuk dari "pintu" yang mana. Alhasil, pengajaran sastra kembali terjebak pada penyampaian pengetahuan tentang sastra. Namanama pengarang dan karyanya, pengelompokan pengarang berdasarkan periodisasi kepengarangannya, atau definisi dan istilah-istilah yang dalam teori sastra. Terkadang ada juga penugasan mengarang, lengkap dengan bagan-bagan teoretis tentang komposisi dan struktur baku sebuah karangan. Semua itu dilakukan secara terstruktur, bahkan terkadang judul atau tema karangan pun sudah ditentukan sehingga peluang anak untuk mengembangkan imajinasinya menjadi terkungkung. 19



Tidak aneh bila pelajaran sastra menjadi terasa kering, tidak diminati, bahkan cenderung dijauhi. Beruntung bagi sekitar 1.500 guru bahasa dan sastra Indonesia yang sempat mengikuti program pelatihan MMAS. Kehadiran para tokoh yang kompeten di bidang penulisan dan sejumlah sastrawan dalam kelas pelatihan, dengan memperkenalkan metode dan teknik yang bisa mencairkan suasana-sebutlah seperti bagaimana memancing anak membuat puisi dengan cara sumbang saran kata-kata, atau membawa mereka ke suatu tempat dan anak diminta menuangkan apa yang ia lihat dan rasakan itu dalam bentuk tulisanmenjadi obat penawar dari kemonotonan yang berlarut-larut. Kini, bagi mereka yang telah mengikuti program pelatihan MMAS, sejumlah hambatan itu sedikit demi sedikit berhasil diatasi. Metode pengajaran sastra mulai bervariasi. "Teknik-teknik yang diperkenalkan dalam MMAS itu bersifat praktis dan bisa langsung diterapkan pada anak didik di kelas," kata Dra Luh Gede Ardhani, guru SMU Negeri 1 Amlapura, Bali. Lebih dari itu, diperoleh laporan bahwa anak didik pun mulai menyukai pelajaran sastra. Pengajaran sastra lebih hidup dan menyenangkan. Siswa yang tadinya tidak tertarik membaca, menulis, dan hal-hal yang berkaitan dengan apresiasi, begitu pengakuan Drs Andi Taris dari SMU Negeri 3 Takalar, kini 20



malah menagih agar selalu menyelipkan materi pelajaran sastra setiap kali ia mengajar bahasa Indonesia. Dari Singaraja, Bali, Drs I Nyoman Yonta Yudi Ady juga mengungkapkan perasaan serupa. Guru SMU Negeri 5 Singaraja ini lalu melayangkan secarik kertas ke redaksi majalah sastra Horison di Jakarta. Dalam surat itu ia menulis, "Diklat MMAS di Lombok betul-betul membuat perasaan berubah. Saya tidak tahu apakah perasaan atau pikiran saya yang berubah, yang penting saya merasa bergairah dan bersemangat menjadi guru. Percaya diri untuk tampil di kelas. Saya tidak tahu apakah perubahan itu diketahui oleh orang lain, oleh anak istri saya, oleh teman-teman sejawat saya di kantor? Mudahmudahan tidak, supaya jangan dicurigai yang bukanbukan." Itu semua bisa terwujud karena pelajaran sastra dikemas dengan cara yang mengasyikkan, tidak memberondong anak dengan pengetahuan yang bersifat hafalan. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya bukan tanpa kendala. Tantangan terbesar justru datang dari sistem pendidikan kita yang lebih mengutamakan hasil dibandingkan proses. Kurikulum menjadi acuan utama, terutama bagi siswa kelas III, yang sebagian besar waktunya praktis 21



habis untuk apa yang disebut ujian akhir nasional dan persiapan masuk perguruan tinggi negeri. Kata seorang guru, "Fenomena ini tidak bisa diabaikan. Karena itu, kita harus berkorban perasaan dan membiarkan waktu yang tersedia untuk anak-anak itu direnggut dari tangan kita untuk kegiatan pengajaran dan pendrilan soal-soal yang berkedok bimbingan belajar. " Jika sudah sedemikian, haruskah semangat baru yang mulai tumbuh itu redup kembali dikalahkan oleh kepentingan sesaat.



22



PELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH TERPAKU PADA TEORI Esei Kompas (Rabu, 05 Maret 2003)



L



amongan, Kompas - Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap karya sastra disebabkan minimnya pengetahuan mereka pada pelajaran sastra. Metode pelajaran sastra yang diajarkan di sekolah masih terpaku pada teori semata. Demikian kesimpulan yang mengemuka dari seminar Sastra dan Bedah Antologi Puisi "Imajinasi Nama" di Lamongan, Minggu (2/3). Seminar ini diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Universitas Darul Ulum (Unisda) Lamongan. Hadir dalam pembicara seminar tersebut di antaranya, Ketua Dewan Kesenian Jawa Timur (DK-Jatim), Prof Dr Setya Yuwana Sudikan. Selain tentu dari dosen sastra Unisda Drs Musthofa, MPd dan sejumlah seniman sastra dari berbagai wilayah Jawa Timur. "Untuk memahami karya sastra, seseorang tentunya harus mempelajari pelajaran sastra secara keseluruhan. Sayangnya, di hampir sebagian besar sekolah. Pelajaran sastra hanya disampaikan guru sebagai teori pengantar semata. Padahal, para siswa seharusnya dihadapkan langsung dengan karya sastra," ujar Setya Yuwana. 23



Dikatakan, hal tersebut tidak hanya berdampak pada para penikmat karya sastra. Bagi para pemula pun akan mengalami kesulitan dalam mengembangkan karya sastranya. "Hasilnya, karya sastra mereka banyak yang belum memenuhi kriteria karya sastra yang laik," tambah Setya. Hal senada juga diungkapkan Musthofa, menurut dia, selain sebagai penunjang mata pelajaran yang lain, pengajaran sastra juga mempunyai fungsi ideologis, fungsi kultural, dan fungsi praktis. "Oleh karena itu, dalam pelaksanaan pengajaran sastra perlu digunakan beberapa pendekatan yang dianggap sesuai dengan tujuan yang diinginkan," ujarnya. Setiap pendekatan mengajar, pelaksanaan model pengajaran langsung memerlukan tindakan-tindakan dan keputusan yang jelas dari guru. "Kondisi belajar-mengajar sejak kurikulum tahun 1984 sampai 1994 sistem pengajarannya berupa instruksional. Guru tidak mengajarkan secara langsung, tapi berdasarkan pemahaman instruksi atasannya. Padahal, untuk pelajaran sastra harus diajarkan secara totalitas, sehingga pemahaman karya sastra dapat dilakukan dengan mudah," tuturnya. Jadi, pada hakikatnya, pembinaan apresiasi sastra haruslah dilakukan secara langsung, yang artinya siswa secara langsung menghayati karya sastra. "Dalam usaha pembinaan ini, siswa harus dibimbing untuk mengetahui dan menikmati keindahan karya sastra. Sebab, keindahan itu bukan hanya terletak pada kemerduan bahasanya, bukan pula pada kehebatan cerita, tapi pada dasar pengalaman jiwa," ungkap Musthofa. (OTW) 24



PENGAJARAN SASTRA SEMU: SELALU TERTINGGAL DARI REALITAS Oleh: Ken Zuraida



P



alembang, Kompas - Dunia pengajaran sastra sesungguhnya semu, dalam arti ia selalu mengejar realita namun justru selalu tertinggal. Sebab, dalam realitasnya terdapat begitu banyak kategori sastra, tetapi pengajaran hanya sanggup mengakomodasi beberapa kategori saja. ‖Karena itu, tidak ada pilihan lain. Perlu sikap selektif terhadap sastra. Baik sastra masa lampau maupun masa kini,‖ kata sastrawan Budi Darma di sela-sela Konferensi Internasional Kesusastraan XVI Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (Hiski) di Palembang, Jumat (19/8). Dari begitu banyak kategori dalam sastra, sejauh ini pengajaran sastra hanya sanggup mengakomodasi tiga kategori, yaitu apa yang disebut sastra kanon, sastra mainstream, dan sastra pop. Kenyataan ini diakui oleh Budi Darma sebagai sesuatu yang alamiah. Itu antara lain karena sastra di masyarakat tumbuh tanpa bisa dibendung, sementara pengajaran (sastra) mau tidak mau terikat alokasi waktu, tempat, dan seperangkat peraturan dalam kurikulum. ‖Karena itu pula, pengajaran sastra tidak lain adalah sebuah paket miniatur dari realitas sastra yang tidak lengkap,‖ 25



ujar guru besar sastra di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini. Kecuali tuntutan untuk bersikap selektif, kenyataan semacam juga menuntut kesadaran bahwa pengajaran sastra harus bisa membuka wawasan lebih luas. Sebab, hanya dengan model pengajaran yang memberi wawasan sastra dan kehidupan yang luas, pengajaran sastra bisa mengikuti perkembangan sastra sekaligus perkembangan zaman. ‖Harus juga diingat, pengajaran sastra bukan hanya untuk menjadikan siswa paham dan cinta sastra, namun juga—dan inilah yang terpenting—paham dan cinta kehidupan, bila kita ingin menumbuhkan dan menjadikan siswa arif menghadapi berbagai persoalan,‖ jelasnya. Menuai kritik Konferensi Hiski yang berlangsung hingga Minggu— membahas 67 makalah—dibuka Kamis sore oleh Wakil Gubernur Sumatera Selatan Mahyuddin MS. Sepuluh pemakalah tampil dalam sidang pleno, 57 lainnya berbicara di sidang-sidang panel. Ketua Umum Hiski Pusat Riris K Toha-Sarumpaet, dalam pembukaan konferensi, Kamis (18/8), berharap pertemuan kali ini dapat mengevaluasi kurikulum pendidikan sastra di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, sekaligus memunculkan alternatif pendekatan yang bisa memacu siswa untuk lebih kreatif. Pendidikan sastra juga hendaknya mengajarkan siswa untuk mengapresiasi kekayaan lokal sebagai sumber inspirasi yang tidak habis-habisnya, serta mengajak mereka menjadi pembaca sastra yang cerdas. 26



‖Semua itu penting untuk mengantisipasi perubahan zaman yang semakin cepat yang dipengaruhi industri, teknologi, dan pasar,‖ kata Riris. Dalam salah satu sesi, Jos Daniel Parera—penulis dan konsultan buku pelajaran—sempat menyampaikan kritik pedas terhadap Hiski yang dari waktu ke waktu cenderung hanya bergulat pada tataran teoretis. Padahal, aspek yang juga tak kalah penting bagi dunia sastra di Tanah Air adalah kajian-kajian terhadap karya yang ada. Oleh karena itu, Daniel Parera berharap agar ke depan para sarjana sastra justru lebih terlibat dalam kaitan apresiasi. ‖Jangan bicara teori-teori terus,‖ ujarnya. Sebelum itu, dalam sidang pleno peserta sempat disuguhi pertunjukan ‖senjang‖, sebuah tradisi bersastra secara lisan dari Musi Banyuasin (Sumatera Selatan) yang berangkat dari tradisi berpantun.



27



CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS (CDA) SEBAGAI MODEL PEMBELAJARAN SASTRA Oleh: Dharmojo (Dosen Universitas Cenderawasih Jayapura)



Pengantar



K



ondisi pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal sejauh ini dapat dikatakan mengecewakan. Kekecewaan terhadap pembelajaran sastra itu dilontarkan oleh berbagai pihak, antara lain, Rusyana (1977/1978); Nasution dkk. (1981); Rahman dkk. (1981); Rusyana (1992); Sarjono (2000); Sudaryono (2000); Sayuti (2000); dan Kuswinarto (2001). Lontaran-lontaran tentang pembelajaran sastra tersebut meneguhkan kenyataan tentang buruknya kondisi pembelajaran sastra di Indonesia. Simpulan umum tentang kondisi pembelajaran sastra berdasarkan hasil penelitian dan para pemerhati pembelajaran sastra tersebut adalah (1) pada dasarnya pembelajaran sastra berpengaruh pada minat murid terhadap sastra, namun, ternyata tidak terdapat hubungan antara teori yang diajarkan dan kemampuan apresiasi murid; (2) pengajar tidak memiliki waktu serta tidak tahu bagaimana caranya mengikuti perkembangan sastra di luar buku wacana; dan (3) murid tidak mampu mengaitkan nilai sastrawi dengan nilai-nilai etis/moral budaya dalam kehidupan. Keberhasilan dan kegagalan pembelajaran sastra di lembaga pendidikan sudah barang tentu disebabkan oleh 28



banyak faktor, di antaranya, karena pembelajaran sastra merupakan sebuah sistem yang meliputi kurikulum, sarana dan prasarana, minat baca murid, dan iklim bersastra pada umumnya. Dikaitkan dengan kurikulum, Depdikbud menyusun Kerangka Acuan Pemasyarakatan Kebijaksanaan Pendidikan dan Kebudayaan (1993) yang secara tegas menyatakan bahwa ―tujuan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia antara lain dimaksudkan untuk mendidik murid sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani.‖ Pendidikan dengan tujuan seperti itu pada dasarnya merupakan pendidikan yang diorientasikan pada pembentukan keberwacanaan, baik keberwacanaan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, maupun dalam kehidupan sosial masyarakat (Aminuddin, 2000:46). Untuk mencapai tujuan itu, selanjutnya Aminuddin menyatakan ―pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia mesti diorientasikan pada model literacy-based instruction‖. Dengan orientasi yang demikian itu, maka pendidikan bahasa dan sastra Indonesia selain ditujukan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa Indonesia dalam berbagai aspeknya serta kemampuan apresiasi sastra dalam berbagai bentuknya juga diorientasikan pada pengembangan keberwacanaan dalam bidang budaya. Implikasi dari hal itu ialah pembelajaran sastra tidak terpisahkan dari pembelajaran menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dalam hal demikian, materi pembelajaran sastra mestilah memanfaatkan 29



wacana yang secara potensial memiliki area isi kehidupan sosial budaya. Pengajaran sastra memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi ideologis, fungsi kultural, dan fungsi praktis (Jabrohim, Ed., 1994). Fungsi ideologis, yang merupakan fungsi utama pengajaran sastra ialah sebagai salah satu sarana untuk pembinaan jiwa Pancasila. Fungsi kultural pengajaran sastra ialah memindahkan kebudayaan dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Fungsi praktis pengajaran sastra memiliki pengertian bahwa pengajaran sastra membekali bahan-bahan yang mungkin berguna bagi siswa untuk melanjutkan studi atau bekal terjun di tengah kancah masyarakat. Jauh sebelumnya, Rahmanto (1988:12) menyatakan bahwa pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu (1) membantu keterampilan berbahasa, (2) meningkatkan pengetahuan budaya, (3) mengembangkan cipta, rasa, dan karsa, serta (4) menunjang pembentukan watak. Pencapaian tujuan pembelajaran sastra perlu diupayakan dengan berbagai alternatif model pembelajaran. Dalam hubungan itu, tulisan ini mencoba memperkenalkan model Critical Discourse Analysis (CDA) untuk pembelajaran sastra. Dengan CDA, atau analisis wacana kritis, murid pada akhirnya diharapkan terbiasa bersikap kritis dan kreatif dalam menanggapi berbagai fenomena dan makna yang terdapat di dalam karya sastra sebagai produk budaya bangsa. Pemahaman murid atas berbagai makna dan nilai yang terdapat di dalam wacana sastra merupakan prioritas pertama dan utama model CDA ini. 30



CDA Sebagai Model Dalam CDA, pembelajaran sastra dapat dilakukan dengan tata cara sebagai berikut. 1. Pemahaman untaian kata dan kalimat dalam wacana secara analitis. Sebagaimana proses membaca pada umumnya, dalam kegiatan membaca wacana sastra, pembaca mesti berusaha memahami gambaran makna dan satuan-satuan pengertian dalam wacana sehingga membuahkan pemahaman tertentu. Pemahamannya dinyatakan bersifat analitis karena nilai kebenarannya tidak harus diujikan pada kenyataan-kenyataan kongkret secara langsung. 2. Penguntaian asosiasi semantis dalam wacana dengan konteks, wacana lain secara intertertekstual, maupun polapola paraanggapan yang terkait dengan praanggapan logis, semantis, maupun pragmatis. Dalam proses memahami karya sastra, penafsiran dan pengambilan kesimpulannya perlu memperhatikan hubungan kata dan kalimat dalam keseluruhan wacananya. Dalam proses penafsiran dan penyimpulan itu pembaca juga perlu mengerahkan khazanah pengetahuan yang dimiliki, apakah itu terkait dengan wacana filsafat, sejarah, agama maupun informasi dari majalah serta koran sebagai informasi yang dapat dimanfaatkan sebagai dasar penafsiran. 3. Asumsi implisit yang melatarbelakangi, ciri koherensinya dengan makna dalam wacana, dan inferensi. Ketika membaca wacana, pembaca perlu membentuk asumsi sebagai anggapan dasar yang mengarahkan proses pemaknaan yang dilakukannya. Asumsi tersebut misalnya, karya sastra merupakan bayang-bayang realitas yang dapat menghadirkan gambaran dan refleksi berbagai permasalahan dalam 31



kehidupan. Berdasarkan asumsi demikian, maka kegiatan membaca yang dilakukan mestilah diarahkan untuk berusaha mengeksplisitkan bayang-bayang dengan disertasi upaya menggambarkan berbagai permasalahan kehidupan yang termuat di dalamnya. Proses pemaknaannya juga perlu memperhatikan kesatuan hubungan isi dan pengambilan kesimpulan yang dapat dipertanggung-jawabkan secara logis. 4. Rekonstruksi pemahaman secara hermeneutis. Dalam pembentukan ulang pemahaman, pembaca seyogyanya bukan semata-mata melakukan rekonstruksi makna dalam wacana. Gambaran makna dan pengertian dalam wacana tersebut oleh pembaca perlu dihubungkan dan diperbandingkan dengan kenyataan yang ada pada masa sekarang, dengan kenyataan masa lalu, maupun kemungkinan pertaliannya dengan yang akan datang (bandingkan Aminuddin, 2000:52—53). Dikaitkan dengan karakteristik kelas mata pelajaran bahasa dan sastra, model CDA hendaknya dipandang sebagai bentuk relasi sosial. Artinya, melalui interaksi belajarmengajar terjadi hubungan yang dinamis antara wacana sastra dengan murid, wacana sastra dengan pengajar, pengajar dengan murid, atau murid dengan murid dengan refleksi kehidupan sosial sesuai dengan nuansa pembelajaran dan tujuan yang hendak dicapai. Dalam hal ini pembelajaran tidak lagi bernuansa hafalan, sekadar penjelasan dan tanya jawab, namun lebih dari itu pembelajaran yang berlangsung hendaknya ditandai ciri responsif dan kolaboratif. Dalam pembelajaran yang demikian itu, murid dan pengajar bersama-sama memberikan tanggapan terhadap fakta yang dipelajarinya—termasuk dalam hal penentuan materi yang dipelajari. Dengan model pembelajaran seperti itu diharapkan insteraksi belajar-mengajar dapat mengarah pada terciptanya 32



komunikasi dalam konteks konstruksi sosial. Komunikasi dalam kelas itu didasarkan pada konstruksi sosial melalui kegiatan membaca, menyimak, berbicara, dan menulis secara terpadu. Pembelajaran apresiasi sastra di kelas dengan menggunakan model CDA, menurut Aminuddin (2000:50— 51) hendaknya memperhatikan dan memenuni persyaratan sebagai berikut. (1) Pembelajaran sastra di kelas ditandai oleh terdapatnya aktivitas membaca karya sastra, baik itu dilakukan oleh pengajar maupun murid. (2) Pengajar menciptakan kelas pembelajaran sastra sebagai sebuah bentuk hubungan sosial kemanusiaan sehingga dalam pembelajaran terjadi dialog antara murid dengan murid maupun pengajar dengan murid. (3) Pengajar tidak lagi ―menggurui‖ tetapi memberi kesempatan kepada murid untuk menyampaikan pendapatnya secara variatif, baik secara lisan maupun tertulis. (4) Pembelajaran sastra di kelas sungguh-sungguh tampil sebagai sosok pembelajaran yang diisi aktivitas tukar pendapat, refleksi pemahaman, proses penyusunan pengertian, mengkomunikasikan fakta, pendapat dan pemahaman secara lisan maupun tertulis. Dengan aktivitas seperti itu, lanjut Aminuddin, diharapkan akan mendorong munculnya aktivitas murid yang satu dengan yang lain untuk (1) saling menceritakan pengalaman dan pemahamannya setelah membaca karya sastra; (2) bekerja sama membentuk pemahaman dan membuat kesimpulan tentang pesan ataupun makna tersirat dalam karya sastra tertentu; (3) bertukar pendapat dalam memberikan penilaian terhadap makna dalam wacana sastra tertentu; dan (4) bekerja sama dalam menuliskan pemahaman dan komentar terhadap suatu karya sastra, baik pada tahap 33



perencanaan, penulisan naskah awal (draft), maupun sewaktu revisi dan penyuntingan. Dengan model CDA, meminjam pernyataan Sayuti (2000:60) ―Hakikat penyelenggaraan pendidikan harus dikembalikan kepada khitah-nya, yakni mengkondisikan manusia-didik mencapai kepribadiannya‖. Dengan cara demikian, pendidikan merupakan proses pembudayaan dan karenanya, harus berorientasi pada tumbuh-kembangnya kesadaran budaya. Pendidikan sebagai proses pembudayaan untuk mencapai perkembangan kepribadian murid mengandaikan adanya visi dan misi pengajar untuk mengubah dan memperbarui keadaan, sekaligus menyadarkan dan membebaskan siswa dan pengajar dari berbagai ―keterpaksaan‖ di dalam proses belajar-mengajar. Pada satu sisi upaya pengembangan itu mengandung tindakan-tindakan kongkret, dan pada sisi lainnya, secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran terhadap realitas yang menumbuhkan hasrat untuk mengubahnya. Pembelajaran sastra dengan model CDA mengisyaratkan adanya hak-hak para murid untuk memperhitungkan latar belakang pengalaman dan pengetahuannya masing-masing dalam menyusun makna wacana sastra. Caranya, meminjam pendapat Sayuti (2000:62—63), ―para murid tersebut ‗memanggil kembali‘ skema internal yang telah mereka miliki dan mengoperasikannya tatkala berhadapan dengan wacana tertentu dalam rangka pemahamannya‖. Melalui ‗transaksitransaksi‘-nya dengan wacana sastra, para murid menyusun makna dalam rentangan kemungkinan yang disediakan oleh wacana sastra tersebut. Terdapat ―konstruk baru‖, makna baru yang disusun berdasarkan atas serpihan wacana sastra 34



yang digelutinya. Transaksi itu pada hakikatnya merupakan konversasi atau dialog terus-menerus antara wacana sastra dan siswa yang belajar, atau menurut Sayuti (2000:63): ―sebuah negosiasi antara apa yang diketahui pembaca dan apa yang disajikan teks‖. Akan tetapi, harus diwaspadai, bahwa membangun negosiasi antara pembaca dan wacana sastra tidak pernah bisa dikerjakan dalam satu situasi yang terisolasi dari lingkungan sosial tempat pembacaan dan pembelajaran sastra berlangsung. Itulah sebabnya, menurut Sayuti (2000:63) ―membangun negosiasi juga meniscayakan adanya perubahan yang sinambung mengenai hal yang sebelumnya telah dihipotesiskan‖. Makna dalam sastra adalah sebuah opini dan opini hanya dapat diperoleh melalui negosiasi yang dikembangkan dalam strategi transaksional. Implikasinya, selama pembelajaran sastra belangsung, para pengajar memberi kesempatan kepada murid untuk ―menduga-duga‖ (dengan hipotesis atau asumsi-asumsi) makna sastra yang mereka baca, merefleksikan dan membuat proses berpikir mereka eksplisit. Untuk itu, para murid dapat dibantu untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan ―kritisnya‖ secara aktif dan—jika diperlukan menyanggah makna wacana sastra yang mereka baca: murid-murid dibawa masuk ke dalam situasi ―perseteruan‖ dengan wacana sastra yang dibacanya. Implikasi seperti itu, menurut Sayuti (2000:64) dapat dilakukan melalui cara (1) Memformulasikan teka-teki mereka sendiri dan bukannya menjawab pertanyaan pengajarnya; (2) Melakukan spekulasi dan merumuskan hipotesis. Cara ini merupakan aktivitas yang diarahkan melalui metode-metode pembelajaran tertentu, yakni metode yang menghindarkan diri dari sifat memberikan hukuman jika siswa melakukan 35



kesalahan (menurut versi pengajarnya); dan (3) Mencocokkan ideologi-ideologi tekstual dengan ideologi yang dimiliki oleh para siswa, misalnya saja dengan mengajukan pertanyaan ―Siapa yang berbicara kepada siapa, kapan, di mana, mengapa?‖, ―Desain apa yang dimiliki teks ini menurut pendapat saya, seharusnyakah saya menentang dan berseteru dengannya?‖. Semua itu harus diarahkan pada pemenuhan fungsi utamanya, yakni edukatif dan kultural. Untuk itu pembelajaran yang memandang wacana sastra sebagai sesuatu yang problematik dapat dirancang, yakni dengan model ―Analisis Wacana Kritis‖ (CDA). Dengan cara demikian, ―dominasi‖ pengajar yang selama ini ―berkuasa‖ dalam proses pembelajaran apresiasi sastra dapat dihindari. Ruang kelas dapat dijadikan tempat perbedaan atau ―perseteruan‖ gagasan, makna, dan nilai-nilai dalam konteks dialektika budaya. Dalam praktik pembelajaran di kelas, wacana sastra dapat didekonstruksi dan kemudian direkonstruksi, karena wacana sastra dan pembacanya dipandang sebagai sesuatu yang problematik. Implementasi Model CDA Sebagai sebuah model, CDA dapat diimplementasikan (diaplikasikan) pada pembelajaran sastra Indonesia dan daerah. Oleh karena pembelajaran sastra Indonesia telah lazim dibahas, dalam kesempatan ini akan dikemukakan implementasi model CDA dalam pembelajaran sastra daerah—khususnya pembelajaran sastra daerah dengan materi utama ―Sastra Lisan Ekagi‖. Untuk studi kasus, akan diangkat cerita rakyat kategori mite yang berasal dari daerah 36



Paniai-Papua, yakni berjudul ―Peu Mana Meinegaka Sawai‖ atau ―Kabut Pembawa Petaka‖. Cerita rakyat berkategori mite ini diambil dari Dharmojo dkk. (1998:13). Berikut ini disajikan ceritanya.



P



Kabut Pembawa Petaka



ada zaman dahulu di daerah Bilai, kabupaten Paniai terdapat sebuah gunung yang bernama Zega. Puncak gunung itu selalu tertutup kabut. Penduduk mempercayai bahwa gunung itu ada penghuninya. Sebagai penghubung antara penduduk dan penghuni gunung tersebut adalah para-pawang. Apabila para penduduk mendapat wabah atau petaka, maka mereka meminta bantuan kepada penghuni gunung untuk menghilangkan wabah tersebut. Pada suatu hari, penduduk mempunyai keinginan untuk mengetahui siapa yang sebenarnya menunggu gunung tersebut. Kemudian mereka berangkat ke puncak gunung itu malalui hutan yang lebat dan tebing yang terjal. Sesampainya di puncak, mereka mendapatkan seekor biawak besar yang berkepala manusia, berkaki cecak, dan bersisik kulit bia. Mereka kemudian menangkap dan membawanya ke kampung itu lalu dibuatkan kandang. Biawak itu ternyata dapat berbicara seperti manusia. Ia berkata bahwa ia dapat memenuhi segala keinginan penduduk asal dibuatkan kurban yang berupa satu orang kepala suku atau kepala perang. Setiap penduduk menginginkan harta. Oleh karena itu, mereka menyerahkan kurban berupa satu orang kepala perang. Tetapi, mereka berpikir, lama-kelamaan laki-laki di daerah itu akan habis untuk kurban. Mereka berniat untuk membunuh biawak itu. Mereka lalu menombak 37



biawak itu. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, biawak itu berkata bahwa setiap kabut yang muncul di puncak gunung itu menandakan akan terjadi perang. (―Kabut Pembawa Petaka”, terjemahan Dharmojo, dkk. 1998: 113) Dalam praktik pembelajaran dengan model CDA, wacana cerita rakyat tersebut ―dihadirkan‖ di dalam kelas. Murid atau pengajar dapat membacanya dan murid lain menyimak dengan sebaik-baiknya. Pengajar dalam mengantarkan kegiatan pembelajaran, tidak perlu berceramah panjang-lebar, melainkan informasi yang diberikan oleh pengajar menyangkut hal-hal yang penting saja. Misalnya, (1) aktivitas apa yang akan dikerjakan murid saat itu, (2) tujuan aktivitas pembelajaran, dan (3) bentuk-bentuk aktivitas yang harus dilakukan oleh murid sehubungan dengan pembelajaran model CDA. Wacana cerita rakyat ―Kabut Pembawa Petaka‖, sebagai teks sastra yang tergolong mite, tentulah di dalamnya terdapat kepercayaan-kepercayaan masyarakat pendukung cerita tersebut. Selain itu, di dalam cerita berkategori mite tersebut tentulah menggunakan simbol-simbol budaya yang berfungsi mengintensifkan dan mengestetiskan cerita. Di dalam cerita tersebut tentunya terdapat berbagai anasir sastrawi, seperti tema dan amanat berupa pesan-pesan yang secara tersurat atau tersirat. Hal-hal itulah yang seyogianya dijadikan ―bahan‖ aktivitas membaca, menyimak, berbicara, dan menulis bagi siswa. Pendeknya, dalam pembelajaran model CDA siswa dimungkinkan mendapatkan makna ―rekreasi‖ (mendapatkan ―kenikmatan‖ dan berkesempatan melakukan ―re-kreasi‖ (melakukan penciptaan kembali sesuai dengan makna dan pesan yang berhasil diapresiasi oleh murid-murid) (bandingkan Sudaryono, 2000:57—76). Jadi, 38



alur kegiatan pembelajaran model CDA adalah: (1) membaca (wacana cerita ―Kabut Pembawa Petaka‖); (2) menyimak (secara intensif); (3) berbicara (berdiskusi sesama murid lain dan pengajar); dan (4) menulis (kreatif, yang mengarah pada penciptaan kembali makna-makna yang berhasil dipahaminya). Pada tahap pertama, pengajar dapat memberi kesempatan kepada salah seorang siswa, misalnya yang berasal dari daerah Paniai, untuk membacakan wacana cerita rakyat versi bahasa Ekagi, yaitu ―Peu Mana Meinegaka Sawai‖ dan para siswa lainya menyimaknya. Sebagai variasi, pengajar dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk ―menerjemahkan‖ cerita rakyat tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Tujuan ―penerjemahan‖ ini ialah agar siswa lain yang berasal dan berlatar belakang budaya selain Paniai dapat mengikuti proses pembelajaran. Selain itu, dengan ―terjemahan‖ itu dimungkinkan proses komunikasi diharapkan dapat berjalan dengan lancar. Tahap pertama itu diikuti tahap kedua, yakni seluruh siswa melakukan penyimakan pembacaan cerita rakyat. Halhal yang perlu disimak ialah tema dan pesan (makna) yang ada di dalam wacana, karakteristik cerita berbentuk mite beserta keyakinan atau kepercayaan yang dianut oleh masyarakat setempat—sesuai dengan latar wacana cerita rakyat yang dijadikan bahan pembelajaran, dan berbagai hal yang dipandang penting oleh pengajar. Sebaiknya, sebelum atau setelah pembacaan wacana cerita yang dipilih, pengajar memberikan informasi yang secukupnya tentang latar belakang sosial budaya wacana cerita yang dipilih. Informasi yang diberikan oleh pengajar ini penting agar ―makna‖ yang 39



diperoleh siswa benar-benar tepat sesuai dengan konteks sosial-budayanya. Tahap ketiga, pengajar memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan diskusi, yakni mendiskusikan hasil pemaknaan masing-masing siswa terhadap cerita rakyat yang dibaca. Dalam berdiskusi, prinsip ―kebebasan berpendapat‖ hendaknya menjadi perhatian pengajar. Dalam konteks ini, tidak ada pendapat yang ―salah‖ atau pendapat yang ―benar‖—lebih-lebih benar atau salah menurut versi pengajar. Pengajar sejauh mungkin memberikan kebebasan bagi siswa untuk berpendapat mengemukakan hasil pemaknaannya masing-masing. Kedudukan pengajar dalam hal ini ialah sebagai dinamisator, motor, dan motivator agar pembicaraan tidak sampai kendor. Dengan kegiatan ini siswa diharapkan memiliki keterampilan berbicara. Tahap terakhir, pengajar memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan ―re-kreasi‖, yakni penciptaan kembali sebuah cerita, atau hasil pemaknaan, dalam bentuk tulisan kreatif. Sekali lagi, dalam hal ini pengajar berkedudukan sebagai dinamisator, motor, dan motivator bagi siswa. Dengan kegiatan ini, siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengkomunikasikan segala sesuatu yang dipandang berharga dan bernilai sebagai manifestasi hasil pemaknaan terhadap wacana cerita yang diangkat sebagai bahan pembelajaran. Dengan kegiatan ini diharapkan siswa dapat menguasai keterampilan menulis. Dengan langkah-langkah kegiatan seperti itu siswa dapat diharapkan mencapai tingkat (1) menggemari karya sastra, (2) tingkat menikmati karya sastra, (3) tingkat mereaksi karya sastra, dan (4) tingkat menghasilkan karya sastra. Dalam 40



tingkat menggemari ditunjukkan oleh adanya indikator bahwa siswa mulai gemar terhadap karya sastra. Dalam tingkat menikmati karya sastra, seseorang siswa mulai dapat menikmati karya sastra karena pengertian sudah mulai tumbuh. Tingkat mereaksi ditandai oleh adanya keinginan siswa untuk menyatakan pendapatnya tentang wacana sastra yang telah dinikmati (diapresiasi). Tingkatan menghasilkan ditandai oleh adanya keinginan siswa untuk menghasilkan (menulis) wacana sastra. Dalam penerapan model CDA pada pembelajaran sastra, pengajar berkewajiban menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif. Situasi dan kondisi yang kondusif adalah situasi dan kondisi yang memungkinkan siswa dapat bersikap reseptif, responsif, reaktif, dan atraktif di dalam kegiatan belajar-mengajar. Selain itu, pengajar berkewajiban menciptakan situasi dan kondisi pembelajaran yang apresiatif, yakni situasi dan kondisi pembelajaran sastra yang tidak bersifat indoktrinatif. Pengajar juga berkewajiban menciptakan kegiatan belajar-mengajar yang kreatif dan produktif, yaitu kegiatan belajar-mengajar yang memungkinkan siswa menjadi kreatif dan mampu menghasilkan wacana sastra. Penerapan model CDA dalam pembelajaran sastra, dapat ditempuh tiga tahapan penyajian yang meliputi (1) tahap penjelajahan, (2) tahap interpretasi, dan (3) tahap rekreasi. Pada tahap pertama, pengajar dapat mengarahkan siswa untuk menjelajahi wacana ―Kabut Pembawa Petaka‖. Penjelajahan itu dilaksanakan dengan cara membaca cerita rakyat tersebut secara berulang-ulang untuk mendapatkan gambaran umum, kesan-kesan, dan gagasan-gagasan yang terdapat di dalam wacana cerita. Pada tahap ini siswa 41



diarahkan untuk menandai bermacam-macam hal yang penting dan mencatatnya. Pada tahap kedua, tahap interpretasi, pengajar dapat meminta siswanya untuk melaporkan hasil interpretasi berkenaan dengan wacana cerita yang dibaca dan telah dicatat pada tahap pertama. Pada tahap ini pengajar seyogyanya memberikan keleluasaan kepada siswanya untuk mengungkapkan hasil interpretasinya secara lisan atau secara tertulis. Pengajar dapat menugasi salah seorang siswa untuk merangkum bermacam-macam hasil interpretasi yang dilaporkan oleh siswa lainnya. Pada tahap ketiga, tahap rekreasi, pengajar dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk meresepsi dan merespon nilai-nilai (makna) yang dapat menimbulkan citra estetis pada diri siswa. Pada tahap ketiga ini, siswa bersamasama dengan pengajar berusaha mendapatkan hiburan mental-spiritual (rekreasi). Hiburan mental-spiritual ini berupa hasil pencerapan makna atas wacana sastra, bermacam-macam nilai yang terungkap dari penjelajahan, interpretasi, dan pemaknaan oleh siswa serta bermacammacam pengalaman batiniah dan pengamalannya di dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. Akhirnya, perlu dicatat bahwa bahan pembelajaran sastra dengan model CDA perlu diusahakan oleh siswa atau pengajar. Pengadaan bahan itu pada prinsipnya dapat dinegosiasikan antara siswa dengan pengajar. Jika terpaksa, pengajar dapat mengusahakan bahan pengajaran secara bervariasi, baik dalam bentuk puisi, prosa, maupun drama dengan mempertimbangkan (1) bahasa, (2) psikologi, dan (3) latar belakang budaya yang sesuai dengan tingkatan siswa. 42



Penutup Pembelajaran sastra berkaitan dengan kegiatan mempertajam perasaan, penalaran, daya bayang, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal tidak cukup dibekali dengan pengetahuan dan sejarah sastra, tetapi lebih jauh perlu dibelaki pengalaman kreatif mencipta wacana sastra. Pendeknya, dalam penerapan model CDA, para siswa harus ―diperhadapkan‖ langsung dengan aneka karya sastra. Model pembelajaran sastra yang dapat dipergunakan adalah model CDA. Dengan model ini kegiatan pembelajaran sastra tidak lagi berhenti pada pemberian teori-teori semata, lebih dari itu, dalam model ini memungkinkan dikembangkan situasi dan kondisi belajar-mengajar yang kontekstual, aktual, dan sesuai dengan latar sosial-budaya yang diinginkan. Artinya, model ini pada hakikatnya merupakan salah satu strategi dalam proses belajar-mengajar. Sebagai salah satu strategi, model CDA dapat digunakan untuk pembelajaran prosa, puisi, atau drama di lembaga pendidikan formal. Dalam implementasi model CDA, secara garis besar, pengajar dapat menyiapkan tiga tahap, yakni (1) tahap penjelajahan, (2) tahap interpretasi, dan (3) tahap re-kreasi (penciptaan kembali). Dalam mengimplementasikan model CDA di lembaga pendidikan formal, pengajar hendaknya mempertimbangkan bahan pengajaran berdasarkan bahasa, psikologi siswa, dan latar belakang budaya siswa.



43



MEMISAHKAN PENGAJARAN SASTRA DARI BAHASA Oleh: Aris Kurniawan



pakah yang kini terjadi dengan pengajaran sastra di sekolah, sehingga pelajar dan lulusan SMU kita masih rendah apresiasi sastranya dan buruk minat bacanya? Apakah masih seperti yang disinyalir Taufiq Ismail, minim apresiasi dan nol buku? Atau, bahkan masih seperti tahun 1970-an, seperti disinyalir HB Jassin, hanya mengandalkan hafalan nama-nama angkatan, pengarang, dan judul buku.



A



Pada sebuah talk show sastra dalam rangkaian Tangerang Arts Festival 2005, belum lama ini, novelis Gola Gong (Hery Hendrayana) dan redaktur sastra Republika Ahmadun Yosi Herfanda mengungkap realitas terkini pengajaran sastra di sekolah yang masih belum ideal, sehingga keduanya mengusulkan agar pengajaran sastra dipisahkan saja dari pengajaran bahasa. Menurut Ahmadun, sebagaimana juga pernah diusulkan Taufiq Ismail, pemisahan tersebut merupakan cara terbaik agar pengajaran sastra di SMU dapat berlangsung secara efektif dan maksimal. Pengajaran sastra di sekolah saat ini -- seperti diakui kedua pembicara di hadapan para guru bahasa dan sastra, serta 200-an siswa SMP dan SMU, yang memadati aula Pemkot Tangerang -- memang sudah tidak seburuk sinyalemen Taufiq maupun Jassin. Banyak sekolah maupun 44



guru sastra yang sudah memberikan perhatian lebih bagi peningkatan apresiasi sastra para siswanya. Mereka tidak hanya diberi pengatahuan dan sejarah sastra, juga tidak hanya diajak mengapresiasi karya-karya sastra, tapi juga diajak untuk menulis karya sastra. Setidaknya, melalui kegiatan ekstra kurikuler dan sanggar-sanggar sastra di sekolah. Karya-karya para siswa yang dimuat di suplemen Kaki Langit Majalah Horison merupakan bukti banyaknya siswa SMU yang kini gemar dan mahir menulis karya sastra. Upaya yang sungguh-sungguh untuk memaksimalkan pengajaran sastra guna meningkatkan apresiasi sastra para siswa juga terlihat pada buku-buku pegangan pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang disusun berdasarkan prinsip Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Misalnya saja, adalah buku-buku yang disusun oleh Diyan Kurniawati dkk, yakni Bahasa Indonesia (Intan Pariwara), serta yang disusun oleh Tika Hatikah dan Mulyanis, Membina Komptensi Berbahasa dan Sastra Indonesia (Grafindo Media Pratama). Aspek apresiasi sastra, menurut Ahmadun, menempati porsi yang sama dengan aspek kebahasaan. Aspek-aspek lainnya adalah mendengarkan, berbicara, dan menulis. Jadi, semua aspek penguasaan bahasa Indonesia mendapatkan porsi yang seimbang. Selain itu, contoh-contoh karya sastra yang menjadi obyek pelajaran juga karya-karya sastra terkini, tanpa meninggalkan karya-karya sastra lama. Peristiwa-peristiwa kesenian yang diambil sebagai bahan bacaan juga peristiwaperistiwa terkini. Pada buku Bahasa Indonesia 1A, misalnya, siswa dikenalkan pada karya-karya Kirjomulyo, Ahmadun Yosi Herfanda, Leon Agusta, Ramadhan KH, Rendra, Slamet Sukirnanto, Asrul Sani, Toto Sudarto Bachtiar, Abdul Hadi 45



WM, Dali S Naga, Taufiq Ismail, Hartoyo Andangjaya, Popi Sopiati, Marianne Katoppo, YB Mangunwijaya, NH Dini, Marga T, Wildan Yatim, Bakdi Sumanto, A Rumadi, Sugiarta Sriwibawa, Ahmad Tohari, Pandir Kelana, Amal Hamzah, Prijo Basuki, Ajib Hamzah, Motinggo Boesye, Iman Budhi Santosa, Hidayat Muhammad, dan Amir Hamzah. Pada buku yang sama, jilid 1B, siswa dikenalkan pada karya-karya Arisel Ba, Emha Ainun Najib, Djisno Zero, Bejo, Nugroho Notosusanto, JE Siahaan, Seno Gumira Ajidarma, Sanusi Pane, Max Arifin, Putu Wijaya, A Rumadi, Sopocles, Rendra, Bakdi Soemanto, Iwan Simatupang, Har, Sutan Takdir Alisyahbana, YB Mangunwijaya, Mochtar Lubis, Gerson Poyk, Budi Darma, Ayu Utami, NH Dini, Ahmad Tohari, Hamka, Amijn Pane, Idrus, Adjib Hamzah, YB Sudarmanto, dan Marah Rusli. Sementara, pada buku Membina Kompetensi Berbahasa dan Sastra Indonesia jilid 2A (kelas II SMU semester 1) siswa dikenalkan pada karya Sena Gumira Ajidarma, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Chairil Anwar, Putu Wijaya, Bakdi Sumanto, Puntung CM Pudjadi, Rendra, sampai Hikayat Sri Rama. Pada buku yang sama, jilid 2B (untuk kelas II SMU semester 2), siswa dikenalkan pada karya-karya Motinggo Boesye, Harris Effendi Tahar, Robert Fontaine, Ernest Hemingway, dan Abdul Muis. Dan, pada jilid 3B (untuk kelas III SMU Semester 2), siswa dikenalkan sejak pada karya-karya Umar Kayam, Jamil Suherman, Budi Darma, Gregorio Lopez Y Fuentes, Muhammad Ali, Motinggo Boesye, B Sularto, Mochtar Lubis, Suwarsih Djojopuspito, sampai Raja Ali Haji. Melihat nama-nama sastrawan yang karya-karyanya dikutip pada buku-buku tersebut, sebenarnya sudah tidak pas 46



lagi tudingan sementara pengamat bahwa pengajaran sastra di SMU berhenti hanya sampai Angkatan 66. Sebab, banyak nama-nama sastrawan kontemporer, bahkan terkini, yang karya-karyanya diperkenalkan kepada siswa melalui bukubuku tersebut. Tulisan-tulisan non-sastra yang dikutip juga diambil dari surat-surat kabar dan majalah yang berisi peristiwa-peristiwa terkini. Dengan begitu, menurut Ahmadun, materi (buku) yang tersedia untuk pengajaran sastra di SMU sebenarnya sudah sedemikian maju dan sesuai dengan perkembangan sastra dan zaman terkini. Guru tinggal mendorong siswa untuk membaca karya-karya lain dari pengarang-pengarang pilihan yang karya-karyanya dikutip tersebut. Jika mau dicari kekurangannya, barangkali adalah minimnya kesempatan bagi siswa untuk diajak berlatih menulis karya sastra. Berdasarkan buku-buku di atas, pada aspek ketrampilan menulis, siswa hanya diajak menulis karya sastra pada kelas I semester 2 (jilid 1B), yakni menulis cerpen, puisi dan naskah drama. Inipun, barangkali, hanya diberikan pada satu dua kali pertemuan saja. Pada kenyataannya, di banyak SMU, pelajaran kesenian memang hanya diberikan pada siswa kelas I saja. Karena itu, masih diperlukan kegiatan ekstra kurikuler kesenian, termasuk seni sastra, untuk menyalurkan dan mengembangkan bakat-bakat seni (sastra) siswa. Jadi, sebenarnya ada peluang besar bagi guru bahasa/sastra untuk meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra. Tetapi, karena pengajaran sastra masih hanya bagian dari pengajaran bahasa, pelaksanaan pengajaran sastra untuk mencapai tujuan tersebut masih sulit untuk berlangsung maksimal. Apalagi, jika upaya guru untuk 47



itu terhalang oleh minimnya buku sastra di perpustakaan sekolah. Prestasi siswa dalam pengajaran sastra yang tidak muncul sebagai nilai (rapor) tersendiri, menurut Ahmadun, juga tidak dapat mendorong mereka untuk bersungguhsungguh dalam pelajaran sastra. Cukup logis jika siswa merasa tidak perlu bersungguh-sungguh dalam menguasai pelajaran apresiasi sastra, karena prestasi mereka dalam pelajaran ini hanya akan menyumbang tidak lebih dari 20% nilai bahasa Indonesia pada rapornya -- persentase nilai lainnya disumbang oleh aspek mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan kebahasaan. Apalagi, jika minat mereka pada bidang sastra memang rendah. Pada akhirnya, efektif tidaknya pengajaran sastra untuk meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra, tergantung pada guru bahasanya. Jika sang guru bahasa tidak memiliki minat terhadap sastra, serta apresiasi dan pengetahuan sastranya rendah, maka sulit diharap akan melaksanakan pengajaran sastra secara maksimal, kreatif dan efektif. Dan, jika kebanyakan guru bahasa Indonesia berkarakter demikian, maka pengajaran sastra akan tetap menuai kegagalan. Karena itu, seperti berkali-kali dikemukakan oleh Taufiq Ismail, sangat penting untuk mengusulkan kembali agar pelajaran sastra dipisahkan saja dari pelajaran bahasa Indonesia. Menurut Ahmadun, inilah cara paling tepat agar pengajaran sastra di SMU dapat berlangsung secara efektif dan maksimal. Gola Gong pun sepakat dengan usulan Ahmadun. Karena, meskipun pemerintah mengeluarkan kebijakan KBK, 48



pada prakteknya pengajaran sastra di sekolah tetap tidak mengajari bagaimana siswa terdorong mencintai, membaca dan menulis karya sastra seperti yang ingin dicapai dari sistem tersebut. Kecuali itu, Gola juga menambahkan, perlunya pelajaran sastra menjadi kegaitan ekstrakurikuler bila sistem KBK masih kurang memadai. Dengan menguraikan anganangannya tentang kegiatan ekstrakurikuler sastra, Gola mengilustrasikan bagaimana metoda serupa itu sudah ditempuh di komunitas yang dinakhodainya: Rumah Dunia, Serang. Apakah pengajaran sastra di sekolah bertujuan supaya siswa menjadi pengarang? Demikian seorang pelajar mengajukan pertanyaan. Pertanyaan inilah barangkali yang menghantui sebagian besar guru bahasa Indonesia dan para orang tua. Seakan ada kekekhawatiran menjadi sastrawan adalah sesuatu yang tidak menjanjikan masa depan. Kekhawatiran ini tumbuh dari kenyataan yang sering digambarkan bahwa seniman/sastrawan adalah orang yang hidupnya urakan, tidak menentu, dan pintar berdusta. Maka cukuplah sastra sekadar pelajaran yang melengkapi pelajaran Bahasa Indonesia. Harus ditanamkan kesadaran pada mereka, bahwa mengarahkan siswa untuk menjadi sastrawan adalah salah satu saja dari tujuan pengajaran sastra di sekolah. Kemampuan menulis, menganalisa dan menyimpulkan persoalan serta meningkatnya kepekaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan adalah penting bagi siapa saja. Dan berhasilnya pengajaran sastra memungkinkan untuk mengasah siswa ke arah sana. 49



Di luar itu, fakta bahwa keberingasan masyarakat kita dewasa ini salah satu pemicunya adalah keringnya mereka dari sentuhan kebijaksanaan-kebijaksaaan yang terkandung dalam sastra dan seni pada umumnya. Tumbuhnya kesadaran siswa akan pentingnya mengapresiasi sastra akan mendorong mereka pada kemampuan melihat persoalan secara objektif, membentuk karakter, merumuskan watak dan kerpibadian. Pendeknya, bila salah satu tujuan pendidikan adalah meningkatkan kualitas kemanusiaan seseorang, maka tidak bisa tidak, pengajaran sastra mesti diletakkan sama pentingnya dengan pelajaran lain.



50



PENTINGNYA PELAJARAN SASTRA (PUISI) UNTUK ANAK Oleh: Herry Nurdi



S



ebuah sore, seorang anak usia 12 tahun datang menemui saya di rumah. Saya tahu, anak ini adalah salah satu dari sekian banyak anak yang suka datang ke rumah saya untuk membaca. Saya tak ingat betul namanya, tapi saya tak ingin ia tahu bahwa saya tidak tahu namanya. Maka saya menyebutnya sebagai kamu, dan anak itu memanggil saya sebagai bapak. Di rumah, selain buku-buku tentang banyak hal seperti politik, filsafat, novel, dan beberapa tentang kedokteran, saya dan istri mempunyai buku anak-anak yang cukup beragam untuk anak-anak kampung tempat kami tinggal. Ada dongeng Handersen, ada cerita kumpulan cerita anak-anak asia, ada kumpulan haiku yang sudah diterjemahkan, ada majalah, ada komik, ada juga puisi-puisi yang meski karangan Sutardjie, Rendra, Subagio, Tagore, bahkan Pablo Neruda saya suguhkan pula untuk mereka. ―Yang suka silahkan baca, yang nggak jangan merusak,‖ pesan saya setiap kali akan meningalkan mereka, anak-anak ini untuk membaca di rumah saya setiap hari libur mereka. Anak tadi, yang berusia 12 tahun itu, yang saya sebut dengan kamu, datang sore hari ke rumah saya. Hari itu bukan jadwal,taman bacaan rumah saya buka. Tapi saya ijinkan dia 51



masuk, tak ternyata dia memang datang untuk tidak membaca. Dia datang untuk bertanya. ―Pak, disekolah saya, tadi pak guru bahasa Indonesia mengatakan bahwa puisi besar artinya.‖ Anak ini berhenti bicara. Matanya menatap saya yang duduk bertentangan di sebuah tikar rotan. ―Terus...‖ ujar saya, merasa kalimat anak ini belum selesai seutuhnya. ―Emang puisi penting pak?‖ Sejenak saya terdiam. Saya tidak tahu persis, apakah puisi penting atau tidak. Tapi saya juga tidak ingin mengatakan bahwa puisi juga tidak penting. Saya tak menguasai benar ilmu tentang puisi atau yang semacamnya. Tapi saya juga tak ingin mengatakan pada anak ini saya tidak tahu apa-apa tentang puisi. Takut ia patah semangat dan tak ingin baca puisi lagi. ―Kamu senang baca puisi?‖ untuk mengulur waktu saya lontarkan pertanyaan, sambil mencambuk sel-sel kecil kelabu dalam otak saya bekerja mencari semua kata yang berhubungan dengan puisi. Anak 12 tahun itu menjawab dirinya suka membaca, tapi belum bisa membuat puisi. ―Ah kamu bisa membuat dan menulis puisi,‖ ujar saya, sambil memacu percepatan nueron-nueron dalam otak saya untuk lebih cepat lagi bekerja. BINGO! Saya menemukan sebuah hadits nabi Muhammad dalam laci ingatan saya yang entah sudah berapa lama mengendap. ―Jika ingin anakmu berani, maka ajarilah menulis dan membaca puisi,‖ demikian petikan hadits yang saya yakin sangat tidak lengkap itu. Dengan cepat kukorek-korek isi otak, khususnya tentang hadits ini. 52



―Begini ya,‖ kata saya memulai percakapan sambil berusaha menjaga intonasi suara agar tetap terdengar wibawa. ―Puisi itu penting, paling tidak untuk kita sendiri.‖ Saya memutar kembali otak, mencari cara yang paling mudah menjelaskan pentingnya arti puisi, sementara saya sendiri belum sadar betul tentang pentingnya puisi. Lalu, singkatnya saya ajak ngobrol si kamu ini tentang puisi. Obrolan kami ngalor ngidul. Saya bilang puisi itu membuat penulisnya menjadi berani. Pertama tentu saja saya katakan, menumpahkan isi hati dalam bentuk puisi perlu keberanian sendiri. Lalu, keberanian juga diperlukan saat membaca, baik membaca sendiri maupun membacanya di depan teman-teman. Keberanian lain adalah, berani menyatakan pendapat. Kepentingan yang lain, ujar saya lagi, kamu jadi tahu bahwa kata-kata itu banyak. Bukan untuk melatih pandai berbicara dengan penguasaan banyak kata, tapi pandai mengidentifikasikan kata mana yang tepat untuk sebuah fenomena. Tentu saja dalam kalimat saya pada si kamu ini tidak saya gunakan identifikasi dan fenomena. Sekali lagi saya membuat penekanan tentang hal ini pada si kamu, bahwa penguasaan kata-kata sama artinya mempunyai cakrawala baru yang lebih luas, dunia yang lebih tua dari umurnya, kekuatan yang lebih besar dari tenagannya. ―Bukan untuk keburukan dan mempermainkan arti dalam kata-kata, tapi untuk kebajikan dan menjernihkan semua,‖ kata saya sambil mengawasi mimiknya yang saya terjemahkan, si kamu sedang bingung. Tapi ketika saya tanya mengerti, dia mengangguk tanda paham. 53



Lalu saya bilang lagi pada anak umur 12 tahun yang duduk di kelas VI ini. ―Kalau nanti puisi-puisimu jadi terkenal, kamu bisa seperti Rendra yang keliling dunia.‖ Saya juga bercerita tentang Sapardi Djoko Damono yang sekarang menjadi guru besar fakultas sastra UI, juga karena kepiawaiannya mengolah kata. Tak ketinggalan saya tuturkan pula tentang Goenawan Mohammad yang ketika itu, dalam usia belia sudah menjadi pemimpin majalah Ekspres, cikal bakal perusahaan media Tempo. Obrolan kami terhenti. Adzan maghrib berkumandang, dan kami shalat berjamaah di ruang tengah rumah saya. Usai shalat, saya sudah berharap, ia akan segera meninggalkan rumah saya. Tapi ternyata tidak, si kamu masih berminat melanjutkan obrolan. Saya terheran, dia mempunyai daya tahan yang luar biasa untuk ngobrol dengan orang yang lebih tua dengan tema yang tak lazim untuk anak seusianya. Setelah jeda, istri saya memberi segelas air putih pada anak ini. Lalu saya bercerita tentang Widji Tukul yang hilang sampai sekarang juga karena puisi. Saya juga bercerita tentang guru besar penyair Maliboro, Umbu Landu Paranggi yang juga tak jelas rimbanya. Saya juga menceritakan beberapa kisah hidup para penyair yang tak pernah hidup mewah karena jalan kepenyairaan yang telah dipilihnya. Tentu saja saya bercerita dengan mengubah sisi-sisi sedih menjadi cerita heroik. Sebelum adzan isya berkumandang, si kamu sudah menengok jam dinding yang saya tempel di dinding utara rumah saya. ―Pak saya pulang dulu, takut dicari ibu,‖ katanya usai melirik jam. Saya mengantarnya sampai di pintu pagar. Memandanginya sampai ditelah sebuah gang dalam kegelapan 54



kampung saya. Diam-diam saya berdoa, benar-benar berdoa, agar tuhan membetulkan pemahaman anak ini jika salah tentang puisi, karena aku tak yakin benar. Seminggu lebih aku tak mendengar kabar lagi tentang anak ini. Sampai suatu malam, sepulang aku kerja dari kantor yang tak kenal jam kerja, istri saya bercerita. Si kamu, sore tadi ketika jadwal membaca di taman baca kami, meminta dengan sopan teman-temannya untuk berhenti sejenak membaca. Lalu ia membacakan sebuah puisi. Istri saya menyodorkan secarik kertas, berisi salinan puisi anak berumur duabelas tahun yang duduk di kelas VI itu. malam ini di luar kamar turun hujan aku belum bisa terpejam bapak sudah seminggu hilang pekerjaan adik sakit, dari hidungnya ingus berleleran kakak, kemarin ketahuan merokok sepulang sekolahan ibu, tadi sore menghitung uang aku, aku sedih bukan mainan



55



MEMISAH PENGAJARAN SASTRA DARI BAHASA Oleh: Ahmadun Yosi Herfanda



M



eskipun buku-buku fiksi Islami, chicklit, teenlit, dan fiksi seksual sangat laris di pasaran, tingkat apresiasi sastra masyarakat masih bisa dianggap rendah. Buktinya, karya-karya sastra serius, baik novel, kumpulan cerpen maupun puisi, masih kurang laku dan hanya berdebu di toko-toko buku atau menumpuk di gudang penerbit. Rendahnya apresiasi sastra masyarakat itu, terutama disebabkan oleh kegagalan pengajaran sastra di sekolah menengah (SMP dan SMU). Persoalan yang sudah dilansir oleh almarhum HB Jassin sejak 1970-an itu hingga kini agaknya belum bisa diatasi secara tuntas oleh pihak-pihak terkait, seperti penyusun kurikulum sekolah menengah dan guru sastra. Pasca-Jassin pun tidak kurang sastrawan dan pakar pengajaran sastra yang mencoba mengungkitnya. Dalam tahun 1980-an, misalnya, berkali-kali Suminto A Sayuti membahasnya dalam beberapa artikel di media cetak dan berbagai forum diskusi. Dalam tahun 1990-an dan 2000-an, penyair Taufiq Ismail juga berkali-kali mempersoalkannya. Terakhir, saya bersama Gola Gong membahasnya pada talk show Pendidikan Seni di Sekolah dalam rangka Tengerang Art Festival 2005. 56



Ketika menyampaikan orasi sastra pada Pertemuan Sastrawan Nusantara XIII di Surabaya, 27 September 2004, Taufiq Ismail masih mengatakan bahwa pengajaran sastra di sekolah miskin apresiasi dan 0 buku. Sehingga, hasilnya adalah para lulusan SMU yang rendah apresiasi sastranya dan rendah pula minat bacanya. Benarkah pengajaran sastra masih seburuk sinyalemen Taufiq Ismail? Menurut pengamatan saya, pelaksanaan pengajaran sastra di SMU saat ini sebenarnya sudah tidak seburuk yang diduga. Setidaknya, sudah banyak upaya keras dari kalangan pendidikan sekolah menengah untuk memperbaikinya. Persoalan utama yang hingga kini masih menghambat pengembangan pengajaran sastra di sekolah menengah adalah masih melekatnya pengajaran sastra pada pengajarah bahasa (Indonesia). Artinya, pengajaran sastra hanya ditempatkan sebagai salah satu aspek pengajaran bahasa. Saat ini sebenarnya sudah banyak sekolah maupun guru sastra yang memberikan perhatian lebih bagi peningkatan apresiasi sastra para siswanya. Mereka tidak hanya diberi pengatahuan dan sejarah sastra, juga tidak hanya diajak mengapresiasi karya-karya sastra, tapi juga diajak untuk menulis karya sastra. Setidaknya, melalui kegiatan ekstra kurikuler dan sanggar-sanggar sastra di sekolah. Karya-karya para siswa yang dimuat di suplemen Kaki Langit Majalah Horison merupakan bukti banyaknya siswa SMU yang kini gemar dan mahir menulis karya sastra. Begitu juga sikap wellcome hampir semua SMU di Tanah Air untuk menjadi ajang kegiatan 'sastra masuk sekolah' yang dimotori Horison dan didukung Ford Foundation. 57



Upaya untuk memperbanyak porsi pengajaran sastra guna meningkatkan apresiasi sastra para siswa juga terlihat pada buku-buku pegangan pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang disusun berdasarkan prinsip Kurikulum Berbasis Kompetensi. Misalnya saja, adalah buku-buku yang disusun oleh Diyan Kurniawati dkk, yakni Bahasa Indonesia (Intan Pariwara), serta yang disusun oleh Tika Hatikah dan Mulyanis, Membina Komptensi Berbahasa dan Sastra Indonesia (Grafindo Media Pratama). Aspek kebahasaan menempati porsi yang sama dengan aspek apresiasi sastra. Aspek-aspek lainnya adalah mendengarkan, berbicara, dan menulis. Jadi, semua aspek penguasaan bahasa Indonesia mendapatkan porsi yang seimbang. Selain itu, contoh-contoh karya sastra yang menjadi obyek pelajaran juga karya-karya sastra terkini, tanpa meninggalkan karya-karya sastra lama. Peristiwa-peristiwa kesenian yang diambil sebagai bahan bacaan juga peristiwaperistiwa terkini. Pada buku Bahasa Indonesia 1A, misalnya, siswa dikenalkan pada karya-karya Kirjomulyo, Ahmadun Yosi Herfanda, Leon Agusta, Ramadhan KH, Rendra, Slamet Sukirnanto, Asrul Sani, Toto Sudarto Bachtiar, Abdul Hadi WM, Dali S Naga, Taufiq Ismail, Hartoyo Andangjaya, Popi Sopiati, Marianne Katoppo, YB Mangunwijaya, NH Dini, Marga T, Wildan Yatim, Bakdi Sumanto, A Rumadi, Sugiarta Sriwibawa, Ahmad Tohari, Pandir Kelana, Amal Hamzah, Prijo Basuki, Ajib Hamzah, Motinggo Boesye, Iman Budhi Santosa, Hidayat Muhammad, dan Amir Hamzah. Pada buku yang sama, jilid 1B, siswa dikenalkan pada karya-karya Arisel Ba, Emha Ainun Najib, Djisno Zero, Bejo, Nugroho Notosusanto, JE Siahaan, Seno Gumira Ajidarma, Sanusi Pane, Max Arifin, Putu Wijaya, A Rumadi, Sopocles, 58



Rendra, Bakdi Soemanto, Iwan Simatupang, Har, Sutan Takdir Alisyahbana, YB Mangunwijaya, Mochtar Lubis, Gerson Poyk, Budi Darma, Ayu Utami, NH Dini, Ahmad Tohari, Hamka, Amijn Pane, Idrus, Adjib Hamzah, YB Sudarmanto, dan Marah Rusli. Sementara, pada buku Membina Kompetensi Berbahasa dan Sastra Indonesia jilid 2A (kelas II SMU semester 1) siswa dikenalkan pada karya Sena Gumira Ajidarma, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Chairil Anwar, Putu Wijaya, Bakdi Sumanto, Puntung CM Pudjadi, Rendra, sampai Hikayat Sri Rama. Pada buku yang sama, jilid 2B (untuk kelas II SMU semester 2), siswa dikenalkan pada karya-karya Motinggo Boesye, Harris Effendi Tahar, Robert Fontaine, Ernest Hemingway, dan Abdul Muis. Dan, pada jilid 3B (untuk kelas III SMU Semester 2), siswa dikenalkan sejak pada karya-karya Umar Kayam, Jamil Suherman, Budi Darma, Gregorio Lopez Y Fuentes, Muhammad Ali, Motinggo Boesye, B Sularto, Mochtar Lubis, Suwarsih Djojopuspito, sampai Raja Ali Haji. Melihat nama-nama sastrawan yang karya-karyanya dikutip pada buku-buku tersebut, sebenarnya sudah tidak pas lagi tudingan sementara pengamat bahwa pengajaran sastra di SMU berhenti hanya sampai Angkatan 66. Sebab, banyak nama-nama sastrawan kontemporer, bahkan terkini, yang karya-karyanya diperkenalkan kepada siswa melalui bukubuku tersebut. Tulisan-tulisan non-sastra yang dikutip juga diambil dari surat-surat kabar dan majalah yang berisi peristiwa-peristiwa terkini. Bahkan, mungkin karena terlalu inginnya menyesuaikan materi pengajaran sastra dengan perkembangan (sastra) terkini, ada nama-nama yang belum dikenal yang karyanya ikut dikutip, seperti Bejo (cerita lucu), 59



Har (legenda Banyuwangi), Ariesel Ba (puisi), Popi Supiati (puisi) dan Djisno Zero (cerpen). Dengan begitu, materi (buku) yang tersedia untuk pengajaran sastra di SMU sebenarnya sudah sedemikian maju dan sesuai dengan perkembangan sastra dan zaman terkini. Guru tinggal mendorong siswa untuk membaca karya-karya lain dari pengarang-pengarang pilihan yang karya-karyanya dikutip tersebut. Jika mau dicari kekurangannya, barangkali adalah minimnya kesempatan bagi siswa untuk diajak berlatih menulis karya sastra. Berdasarkan buku-buku di atas, pada aspek ketrampilan menulis, siswa hanya diajak menulis karya sastra pada kelas I semester 2 (jilid 1B), yakni menulis cerpen, puisi dan naskah drama. Inipun, barangkali, hanya diberikan pada satu dua kali pertemuan saja. Pada kenyataannya, di banyak SMU, pelajaran kesenian memang hanya diberikan pada siswa kelas I saja. Karena itu, masih diperlukan kegiatan ekstra kurikuler kesenian, termasuk seni sastra, untuk menyalurkan dan mengembangkan bakat-bakat seni (sastra) siswa. Melihat materi dan porsi pengajaran sastra yang saat ini sudah cukup bagus, dan sesuai dengan perkembangan sastra terkini, sebenarnya ada peluang besar bagi guru bahasa/sastra untuk meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra. Tetapi, karena pengajaran sastra masih hanya bagian dari pengajaran bahasa, pelaksanaan pengajaran sastra untuk mencapai tujuan tersebut masih sulit untuk berlangsung maksimal. Apalagi, jika upaya guru untuk itu terhalang oleh minimnya buku sastra di perpustakaan sekolah. 60



Dengan posisi melekat pada pengajaran bahasa, pelaksanaan pengajaran sastra akhirnya akan sangat tergantung pada guru-guru bahasa. Jika sang guru bahasa memiliki apresiasi sastra yang tinggi, maka pengajaran sastra juga akan mendapatkan perhatian yang lebih. Tetapi, jika gurunya tidak memiliki minat terhadap sastra, atau memiliki apresiasi sastra yang rendah, maka pengajaran sastra cenderung akan dilaksanakan apa adanya saja sesuai materi yang ada di buku pegangan. Guru tidak akan tertarik untuk bersungguh-sungguh meningkatkan apresiasi, wawasan dan minat baca siswa terhadap karya sastra. Prestasi siswa dalam pengajaran sastra yang tidak muncul sebagai nilai (rapor) tersendiri tapi hanya menjadi bagian dari nilai bahasa, juga tidak dapat mendorong mereka untuk bersungguh-sungguh dalam pelajaran sastra. Cukup logis jika para siswa merasa tidak perlu bersungguh-sungguh dalam menguasai pelajaran apresiasi sastra, karena prestasi mereka dalam pelajaran ini hanya akan menyumbang tidak lebih dari 20 persen nilai bahasa Indonesia pada rapornya -persentase nilai lainnya disumbang oleh aspek mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan kebahasaan. Apalagi, jika minat mereka pada bidang sastra memang rendah. Pada akhirnya, efektif tidaknya pengajaran sastra untuk meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra, tergantung pada guru bahasanya. Jika sang guru bahasa tidak memiliki minat terhadap sastra, serta apresiasi dan pengetahuan sastranya rendah, maka sulit diharap akan melaksanakan pengajaran sastra secara maksimal, kreatif dan efektif. Dan, jika kebanyakan guru bahasa Indonesia berkarakter demikian, maka pengajaran sastra akan tetap menuai kegagalan. 61



Karena itu, seperti berkali-kali dikemukakan oleh Taufiq Ismail, sangat penting untuk mengusulkan kembali agar pelajaran sastra dipisahkan saja dari pelajaran bahasa Indonesia. Rasanya, inilah cara paling tepat agar pengajaran sastra di SMU dapat berlangsung secara efektif dan maksimal.



62



KONDISI PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA INDONESIA DENGAN KURIKULUM 1994 DI SLTPN KOTA PADANG Oleh: Oleh: Ermanto, S.Pd., M.Hum (Dosen FBSS Universitas Negeri Padang)



Abstrak:



P



enelitian ini mengkaji kondisi pembelajaran apresiasi sastra Indonesia di SLTPN Kota Padang. Tujuan penelitian adalah untuk mengungkapkan: bentuk persiapan dan pelaksanaan, model evaluasi, ketersediaan buku sastra, strategi mengajar guru, pandangan dan minat siswa dalam pembelajaran apresiasi sastra Indonesia di SLTPN Kota Padang tersebut. Data dikumpulkan dengan angket yang diisi oleh 164 siswa dari 821 populasi siswa. Data ini dilengkapi dengan hasil wawancara dengan guru bahasa Indonesia kelas III. Temuan penelitian yakni secara keseluruhan pembelajaran apresiasi sastra Indonesia di SLTPN Kota Padang telah menunjukkan nilai sedang (2,43) dari skala empat dengan persentase pencapaian 63,6 persen dari pencapaian ideal. Secara khusus bentuk persiapan dan pelaksanaan bernilai baik (2,75 atau 68,9%), model evaluasi bernilai baik (2,64 atau 66,2%), ketersediaan karya sastra bernilai sedang (1,97 atau 49,38%) strategi mengajar bernilai baik (3,03 atau 75,78%), minat siswa bernilai sedang (2,27 atau 56,84%) dari pencapaian ideal. 63



Kata Kunci: Pembelajaran, Apresiasi sastra Indonesia, Kurikulum 1994. 1. Pendahuluan Program pengajaran apresiasi sastra Indonesia yang dipadukan dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dilaksanakan di sekolah-sekolah sesuai dengan Kurikulum 1994. Program pengajaran apresiasi sastra Indonesia ditujukan untuk meningkatkan apresiasi siswa terhadap sastra agar siswa memiliki kepekaan terhadap sastra yang baik dan bermutu yang akhirnya berkeinginan membacanya. Dengan kebiasaan membaca, memahami dan mengapresiasi sastra Indonesia diharapkan siswa mempunyai pengertian tentang manusia dan kemanusiaan, mengenal nilai-nilai, mendapatkan ide-ide baru, meningkatkan pengetahuan sosial budaya, berkembangnya rasa karsa, terbinanya watak dan kepribadian (Atar Semi dalam Muhardi (Ed.), 1992:22). Pemberlakuannya kurikulum mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia tahun 1994 (suplemen 1999) di sekolahsekolah diharapkan lebih meningkatkan aparesiasi sastra para siswa. Diharapkan juga dengan kurikulum 1994 ini persoalan-persoalan yang timbul selama ini dalam pembelajaran apresiasi sastra dapat diminimalkan bahkan dihindarkan. Singkatnya, dengan kurikulum mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia tahun 1994 itu diharapkan dapat menjawab kekurangan yang ada pada kurikulum 1984 dan dapat meningkatkan apresiasi sastra para siswa. Tujuan pengajaran apresiasi sastra Indonesia adalah meningkatkan apresiasi siswa terhadap sastra agar siswa memiliki kepekaan terhadap sastra yang baik dan bermutu yang akhirnya berkeinginan membacanya. Tujuan pengajaran 64



apresiasi sastra Indonesia dapat dilihat pada tujuan umum (nomor empat) kurikulum mata pelajaran Bahasa dan sastra Indonesia tahun 1994 yakni siswa mampu menikmati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Program pengajaran apresiasi sastra Indonesia yang dipadukan dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sesuai dengan kurikulum 1994 (suplemen 1999) masih kurang menarik bagi para pelajar. Penyebab kurang menariknya pelajaran apresiasi sastra Indonesia diantaranya, cara guru mengajar yang tidak memotivasi siswa, kurang akrabnya siswa dengan karya sastra. Hal itu disebabkan kurang terbinanya pengajaran apresiasi sastra Indonesia dengan baik. Ketidakberhasilan pengajaran apresiasi sastra Indonesia juga disebabkan belum ditetapkannya alokasi waktu, untuk pengajaran apresiasi satra Indonesia sebagai mata ajar yang mandiri. Sampai kini, sastra diajarkan sebagai sambilan dalam mengajarkan Bahasa Indonesia. Dengan demikan, secara tidak langsung bentuk evaluasi pengajaran bahasa akan mempengaruhi bentuk evaluasi pengajaran sastra. Atau bisa jadi evaluasi pengajaran sastra ditumpangkan ke dalam evaluasi pengajaran bahasa. Oemarjati (dalam Puar, 1989:110) menegaskan berikut ini. Sastra ―diomprengkan‖ pada pengajaran bahasa. Kalau dalam kehidupan sehari-hari pekerjaan omprengan dapat memberikan keuntungan yang lebih besar daripada pekerjaan yang sesungguhnya, tidaklah demikian halnya dengan pengajaran yang dipraktikkan dengan cara mengompreng. Pengajaran merupakan kegiatan dan proses 65



pembinaan dan pengembangan; jika dilaksanakan menurut sistem omprengan, maka proses tersebut mengalami distorsi. Dalam pembelajaran bahasa atau sastra pada khususnya, siswa bukan hanya dituntut untuk memahami teori-teori sastra tetapi siswa lebih dituntut untuk memiliki kemampuan dalam mengapresiasi karya sastra. Untuk mewujudkan tujuan pembelajaran apresiasi sastra Indonesia ini, maka kehadiran buku-buku sastra mutlak harus dipenuhi, agar siswa memiliki kesempatan untuk berakrab dengan karya sastra. Mustahil pengajaran apresiasi sastra Indonesia itu akan berhasil sesuai harapan jika siswa tidak berhadapan langsung dengan karya sastra tersebut. Pengalaman membaca sastra merupakan penentu dalam mengapresiasi karya sastra. Aminuddin dalam Atmazaki (1994:66) menyatakan untuk mampu mengapresiasi karya sastra, seseorang itu harus mampu mengapresiasi karya sastra seseorang itu secara terus menerus menggauli karya sastra tersebut. Oleh sebab itu, penyediaan sarana (buku-buku/bahan ajar) mutlak harus dipenuhi suatu lembaga pendidikan terutama di perpustakaan. Karena itulah penelitian ini sangat penting dilakukan untuk melihat kesesuaian pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra Indonesia berdasarkan kurikulum 1994 di sekolahsekolah dengan pembelajaran apresiasi sastra yang diharapkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan: bentuk persiapan dan pelaksanaan, model evaluasi, ketersediaan buku sastra, strategi mengajar guru, pandangan dan minat siswa dalam pembelajaran apresiasi sastra Indonesia di SLTPN Kota Padang.



66



2. Kajian Literatur Pada hakikatnya pembelajaran apresiasi sastra Indonesia ialah memperkenalkan kepada siswa nilai-nilai yang dikandung karya sastra dan mengajak siswa ikut menghayati pengalamanpengalaman yang disajikan. Pembelajaran apresiasi sastra Indonesia bertujuan mengembangkan kepekaan siswa terhadap nilai-nilai indrawi, nilai akali, nilai afektif, nilai keagamaan, dan nilai sosial, secara sendiri-sendiri, atau gabungan keseluruhan, seperti yang tercermin di dalam karya sastra (Purwo, 1991:61). Pada hakikatnya pengajaran sastra adalah menciptakan situasi siswa membaca dan merespon karya sastra serta membicarakan secara bersama dalam kelas. Di dalam mengapresiasikan sastra kita mengenal nilainilai yang terdapat di dalam karya sastra. Dengan kegairahan dan empati akhirnya kita dapat merasakan kenikmatan. Supriyadi (1997:310) menyatakan kenikmatan itu dapat timbul karena : (1) merasa berhasil dalam menerima pengalaman orang lain, (2) bertambah pengalaman sehingga dapat menghadapi kehidupan dengan lebih baik, (3) kekaguman akan kemampuan sastrawan dalam mengarahkan segala alat yang ada pada medium seninya sehingga berhasil memperjelas, memadukan dan memberikan makna terhadap pengalaman yang diolahnya, (4) menikmati sesuatu demi sesuatu itu sendiri yaitu kenikmatan estetik. 2.1 Perencanaan dan Pelaksanaan Pembelajaran Apresiasi Sastra Gani (1988:3) menegaskan pengajaran mestilah direncanakan untuk melibatkan siswa dalam proses penampilan kebermaknaan.Untuk melaksanakan pembelajaran apresiasi sastra, guru harus membuat persiapan 67



dengan penuh pertimbangan Soemanto (dalam Suryosubroto, 1997:28) menegaskan bahwa selain berguna sebagai atal kontrol, maka persiapan mengajar juga berguna sebagai pegangan bagi guru sendiri. Mendukung pendapat tersebut Tim Pembina Mata Kuliah Dikdaktik/ Kurikulum IKIP Surabaya (Suryosubroto, 1997:28) menyatakan bahwa dengan perencanaan maka pelaksanaan pengajaran menjadi baik dan efektif yaitu murid harus dijadikan pedoman setiap kali membuat pengajaran. Persiapan untuk pembelajaran apresiasi sastra merupakan usaha mempersiapkan diri guru dan persiapan segala hal yang berhubungan dengan pembelajaran (Abdurrahman dan Ermanto 1998:15). Untuk itulah materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, buku sumber, sarana, evaluasi, haruslah dipersiapkan sebaiknya oleh guru sesuai dengan tuntutan tujuan dan keadaan siswa. Lebih jauh lagi, pembelajaran apresiasi sastra harus dipersiapkan untuk selama satu semester sehingga masalah waktu, buku sumber dapat ditanggulangi dan dipersiapkan secara matang. Keberhasilan pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra paling utama terletak pada guru sastra. Dalam pembelajaran apresiasi sastra, guru harus berusaha agar kegiatan belajar mengajar tetap hidup, menghindari kemonotonan, menimbulkan unsur kejutan, ketakjuban dan kesenangan dari karya sastra yang diajarkan. 2.2 Evaluasi Pembelajaran Apresiasi Sastra Evaluasi adalah rangkaian kegiatan yang sangat menetukan untuk melihat keberhasilan pembelajaran. Evaluasi mempunyai kaitan erat dengan tujuan yang 68



ditetapkan. Tujuan yang ingin dicapai sangat menentukan pemilihan bentuk evaluasinya. Mansur, dkk (1987:12) menegaskan evaluasi bertujuan untuk mengetahui keberhasilan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Sedangkan Prayitno (1989:123) mengungkapkan pula bahwa evaluasi yang dilakukan guru mempengaruhi motivasi siswa. Banyak siswa yang meningkat gairah belajarnya karena ia tahu bahwa akan ada penilaian dan ingin mendapatkan hasil yang baik. Sudijono (1998: 2) mengemukakan ―evaluasi pendidikan merupakan proses atau kegiatan untuk menentukan kemajuan pendidikan, dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan‖. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa evaluasi sangat penting diadakan karena melalui evaluasi dapat diketahui keberhasilan seseorang dalam pembelajaran dan dari hasil yang diperoleh akan dapat membuat seseorang lebih termotivasi untuk belajar. Evaluasi pembelajaran apresiasi sastra tentu harus dapat mengukur tujuan pembelajaran apresiasi sastra yakni apresiasi siswa terhadap sastra bukan pengetahuan siswa tentang sastra. Untuk itu perlu dilihat bentuk evaluasi apresiasi sastra. Cooper (dalam Gani, 1988:83) mengemukakan lima bentuk evaluasi pembelajaran apresiasi sastra. 2.3 Ketersediaan Karya Sastra Pengadaan buku sastra bagi siswa adalah amat penting sebagai buku sumber pengajaran sastra, tetapi yang selalu menjadi kendala dalam pengajaran sastra selama ini di sekolah adalah karena kurang tersedianya buku-buku sastra di perpustakaan sekolah. Sementara itu, guru juga kurang tahu 69



bagaimana mendapatkan buku-buku sastra tersebut. Rosidi (1997:19-25) menyatakan‖ selama ini yang menjadi persoalan ialah tidak semua sekolah memiliki perpustakaan, padahal penyediaan bahan bacaan yang praktis dan efisien adalah berupa perpustakaan‖. Karena itu, perlu kiranya usaha guru untuk menghimpun buku-buku sastra yang diperlukannya. 2.4 Strategi Mengajar Dalam konteks belajar mengajar, strategi berarti pola umum perbuatan guru – murid dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar (Joni, 1980:1). Dengan demikian, suatu strategi belajar mengajar terdiri atas semua komponen materi atau paket pengajaran dan prosedur yang akan digunakan untuk membantu siswa dalam mencapai tujuan pengajaran (Ahmadi, 1990:1). Pada bagian lain, Joni (1984:24) menegaskan lagi bahwa wawasan guru tentang strategi mengajar, memegang peranan penting dalam menetapkan kegiatan belajar. Hal ini akan berpengaruh sekali pada hasil belajar. Dalam artian lain dapat dikatakan, dengan memilih strategi belajar mengajar yang baik, siswa dapat belajar secara efektif dan efisien, agar mengena pada tujuan yang telah digariskan. Minat Siswa Belajar Apresiasi Sastra Indonesia Istilah minat sering didengar dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam dunia pendidikan. Seseorang dikatakan berminat terhadap sesuatu bila ia tertarik atau menyenangi sesuatu tersebut. Setiap individu mempunyai kecenderungan yang asasi untuk menghubungkan diri dengan lingkungan melalui cara-cara tertentu. Jika seseorang individu 70



menemukan suatu objek dan menyenangi objek tersebut maka dikatakan individu tersebut menaruh minat terhadap objek tersebut. Minat itu dapat diekspresikan dengan per-nyataan yang menunjukkan bahwa seseorang itu menyukai sesuatu. Atau dengan kata lain seseorang akan memberikan perhatian lebih terhadap suatu objek yang diminatinya. Sehubungan dengan minat baca, maka yang menjadi objek dari minat tersebut adalah bacaan yang berarti melakukan kegiatan mambaca. Minat siswa terhadap pembelajaran apresiasi sastra akan tumbuh subur jika setiap sekolah memiliki guru yang mempunyai kemampuan mendorong dan membimbing yang disertai dengan kiat-kiat mengajar yang baik. Jika minat siswa membaca dan mengapre-siasi karya sastra telah tumbuh maka minat siswa belajar apresiasi sastra Indonesia dapat dimunculkan dengan baik pula. 3. Metodologi Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif secara deskriptif. Populasi penelitian ini adalah pembelajaran apresiasi sastra Indonesia di seluruh SLTPN Kota Padang. Sampel penelitian ditetapkan tiga SLTPN yakni SLTPN 2 Jln. Bundo Kanduang (pusat kota), SLTPN 22 Siteba (antara pusat dan pinggir kota), SLTPN 32 Sungai Lareh (pinggir kota). Informasi tentang profil pembelajaran apresiasi sastra Indonesia di sekolah sampel diperoleh melalui angket kepada siswa pada semester Juli-Desember 2002. Setiap sekolah sampel diwakili oleh 20 persen siswa kelas III yakni 164 dari 821 populasi siswa. Selain itu, dilakukan pula wawancara tertulis dengan guru. Wawancara tertulis dilakukan dengan 71



guru sastra di sekolah sampel. Untuk aspek ketersediaan karya sastra dilakukan pula observasi ke pustaka sekolah yang ada. Untuk aspek evaluasi apresiasi sastra Indonesia dilakukan pula analisis terhadap soal-soal EBTANAS Bahasa Indonesia dari tahun 1998/1999 hingga tahun 2001/2002. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket berskala yang berpedoman pada skala likert dengan pilihan: selalu/banyak sekali, sering/banyak, biasanya/sedang, jarang/kurang, tidak pernah/ tidak ada. Butir-butir angket dikembangkan berpatokan pada indikator-indikator yang berhubungan dengan kegiatan pembelajaran apresiasi sastra yakni: (1) bentuk persiapan dan pelaksanaan; (2) bentuk evaluasi; (3) ketersediaan karya sastra; (4) strategi mengajar guru; (5) minat siswa terhadap pembelajaran apresiasi sastra Indonesia. Angket dalam penelitian ini terdiri atas 96 butir dengan distribusi butir yakni: (1) aspek perencanaan dan persiapan pembelajaran sebanyak 18 butir, (2) aspek bentuk evaluasi sebanyak 19 butir, (3) aspek ketersediaan karya sastra sebanyak 20 butir, (4) aspek bentuk strategi mengajar sebanyak 20 butir dan (5) aspek minat siswa terhadap pembelajaran apresiasi sastra Indonesia sebanyak 19 butir. Untuk pelaksanaan wawancara dengan guru dibuat pedoman wawancara tertulis yang diarahkan pada perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, kendala dan pengembangan pembelajaran apresiasi sastra Indonesia di sekolah. Untuk observasi di pustaka sekolah dibuat pedoman observasi dan untuk analisis atau pengamatan soal EBTANAS dibuat pedoman pengamatan. 72



Hasil berupa data kuantitatif yang diperoleh dikaitkan secara kualitatif dengan hasil wawancara atau observasi atau pengamatan. Hasil angket dan hasil wawancara atau hasil observasi dibahas berdasarkan teori-teori yang ada dalam tinjauan kepustakaan sehingga diperoleh kesimpulan. 4. Hasil dan Pembahasan Hasil Penelitian Secara keseluruhan gambaran pembelajaran apresiasi sastra Indonesia dan keseluruhan gambaran tiap aspek serta keseluruhan gambaran tiap sekolah dapat dilihat dalam tabel berikut ini.



Pencapaian nilai dan presentase pencapaian tiap aspek profil pembelajaran apresiasi sastra di SLTPN Kota Padang dapat pula dilihat dala tabel berikut.



73



Pencapaian nilai tiap sekolah dan presentase pencapaian tiap sekolah dan secara keseluruhan profil pembelajaran apresiasi sastra Indonesia di SLTPN Kota Padang dapat pula dilihat dala tabel berikut.



Demikianlah deskripsi data kuantitatif dan tiap butir soal maupun secara keseluruhan nilai pencapaian dan presentase pencapaian secara keseluruhan profil pembelajaran apresiasi sastra Indonesia di SLTPN Kota Padang. Soal EBTANAS yang diamati adalah soal EBTANA Bahasa Indonesia tahun ajaran 1998/1999, 1999/2000. 2000/2001. 2001/2002. Jumlah soal apresiasi sastra Indonesiatiap tahun dapat dilihat dalam table berikut ini



Dalam soal EBTANAS tahun ajaran 1998/1999 terdapat 8 soal apresiasi sastra Indonesia (nomor 29, 49, 50, 74



51, 52, 53, 54, 55) dari 60 butir soal atau sekitar 13,33%, tahun ajaran 1999/2000 terdapat 7 soal apresiasi sastra Indonesia (nomor 10,18,28,31,50,53,56) dari 60 butir soal atau sekitar 11,67 %, tahun ajaran 2000/2001 terdapat 9 soal apresiasi sastra Indonesia (nomor 10,15,18,28,31,48,50, 56,58) dari 60 butir soal atau sekitar 15 %, tahun ajaran 2001/2002 terdapat 6 soal apresiasi sastra Indonesia (nomor 1,16,22,46,47,59) dari 60 butir soal atau sekitar 10 %. Pembahasan Guru-guru telah menyadari pentingnya persiapan pembelajaran apresiasi sastra Indonesia. Guru-guru telah membuat persiapan berbentuk program tahunan, semester, mingguan, dan satuan pelajaran bahkan dalam pelaksanaan, siswa sebelum pembelajaran di kelas telah ditugaskan untuk membaca terlebih dahulu. Hal ini berarti pembelajaran telah dipersiapkan dengan baik. Pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra Indonesia dari analisis data sudah dapat dilaksanakan dengan baik walaupun belum dapat dikatakan sangat baik. Namun dalam pelaksanaannya siswa belum sepenuhnya bergairah. Hal ini terlihat dari salah nilai butir soal yang terendah nomor 15 aspek pelaksanaan pembelajaran mengenai kegairahan siswa membahas karya sastra. Hal ini terjadi karena variasi dalam pembelajaran belum terlaksana sebaiknya, belum adanya pemanfaatan media rekaman sastra sehingga guru kesulitan menampilkan model apresiasi sastra. Guru yang tidak bisa sebagai pembaca puisi seharusnya menggunakan rekaman. Kegiatan pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan tugas membaca sebelumnya. Namun masih 75



banyak siswa yang tidak melakukan. Penyebabnya adalah siswa yang bersikap menerima dari guru dan terbatasnya buku sumber yang tersedia. Untuk itulah diperlukan kesadaran guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan memvariasikan dengan karya sastra yang baru atau karya sastra dipilih dari surat kabar sehingga kemonotonan dapat dihindari. Jika hal tersebut dilakukan tentu pembelajaran sastra akan diminati siswa dan siswa dapat mencari sendiri bahan bacaannya yang sesuai dari surat kabar, kerbatasan buku sumber atau karya sastra dapat teratasi. Kebiasaan guru yang masih terfokus pada karya sastra yang tercantum dalam buku paket dan GBPP perlu dikurangi. Dengan keterbatasan mencari bahan bacaan yang sesuai bisa menghilangkan kebiasaan buruk siswa yang hanya menerima dari guru. Untuk meningkatkan evaluasi sastra, peran guru sangat penting. Guru harus profesional menggugah dan memancing imajinasi apresiasi, dan interpensi siswa melalui evaluasi sastra. Guru diharapkan dapat membedakan soal pengajaran bahasa dengan pengajaran sastra, kalau soal pengajaran bahasa menuntut pengetahuan, maka pengajaran sastra menuntut apresiasi. Soal-soal apresiasi sastra sebaiknya berbentuk tes uraian (esai). Melalui tes uraian, siswa lebih leluasa mengembangkan apresiasinya. Siswa secara gamblang menafsirkan dan menganalisis karya sastra dengan mempergunakan bahasanya sendiri. Jenis tes yang dipergunakan sebaiknya tes yang menuntut pengapresiasian yang lebih tinggi. 76



Usaha lain untuk meningkatkan evaluasi pembelajaran apresiasi sastra adalah memotivasi siswa untuk lebih mengenal karya sastra. Kalau siswa sudah akrab dengan karya sastra, maka siswa akan mudah mengapresiasikan sastra. Jika siswa sudah merasakan kemudahan dalam mengapresiasikan sastra, maka dengan sendirinya mutu evaluasi pembelajaran apresiasi sastra akan membaik. Penanaman minat baca sastra siswa merupakan tanggung jawab guru untuk menumbuhkan minat dan kecintaan siswa terhadap sastra yang kemudian membantunya agar mampu memahami, menggauli dan mengetahui tentang ini dan nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra. Apresiasi sastra siswa akan tumbuh bersamaan tumbuhnya dengan minat baca ini. Karena itu, siswa harus berhadapan langsung dengan karya sastra tersebut. Tanpa berhadapan langsung dengan karya sastra maka mustahil pengajaran sastra itu akan berhasil sesuai dengan harapan. Penyediaan sarana (buku-buku sastra) mutlak harus dipenuhi di sekolah-sekolah terutama di perpustakaan. Betapa pentingnya pengadaan karya sastra sebagai buku sumber pengajaran sastra baik bagi siswa maupun bagi guru. Pembenahan kurikulum dari 1984 menjadi kurikulum 1994 dan sekarang akan disempurnakan lagi dengan kurikulum nasional yang berbasis kompetensi tentu lebih menuntut siswa ataupun guru untuk memiliki kemampuan apresiasi sastra yang tinggi. Dan hal ini tentu lebih menuntut ketersediaan buku-buku sastra yang bermutu dan sesuai dengan perkembangan siswa. Untuk selanjutnya, sebaiknya pemerintah mengusahakan pula program penyediaan sumber pembelajaran apresiasi sastra Indonesia terutama penyediaan karya sastra berupa kumpulan novel, cerpen, kumpulan puisi 77



bagi siswa di sekolah-sekolah (perpustakaan sekolah). Dengan tersedianya sumber belajar/karya sastra yang lengkap yang sesuai dengan masa perkembangan dan kebutuhan para siswa di setiap sekolah maka hal itu tentu sangat mempengaruhi dalam penyusunan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran serta evaluasi pembelajaran di sekolah. Hasil yang dicapai tentu akan lebih baik lain. Bagaimanapun, keprofesionalan guru bahasa dan sastra Indonesia sangat dipengaruhi pula oleh ketersediaan sumber belajar/karya sastra bagi siswa di sekolah. Hal ini sangat diperlukan dalam proses pembelajaran sastra, karena tanpa karya sastra atau tanpa ada siswa membaca karya sastra itu secara langsung maka pembelajaran apresiasi sastra Indonesia pada dasarnya adalah bohong belaka dan yang ada sebenarnya adalah pembelajaran (pengetahuan) sastra Indonesia saja. Ketersediaan sumber belajar/karya sastra di perpustakaan sekolah sangat mempengaruhi dan menentukan keberhasilan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di masa yang akan datang disamping adanya faktor lain, tentunya. Jadi dapat dikatakan bahwa faktor ketersediaan sumber belajar/karya bagi siswa dalam pembelajaran apresiasi sastra Indonesia termasuk faktor yang penting dan mutlak harus tersedia. Oleh karena ketersediaan sumber pembelajaran/karya sastra terutama bagi siswa terlihat sangat kurang seperti terlihat dari hasil angket penelitian, penelitian, wawancara dengan guru, serta hasil observasi maka guru-guru harus lebih dituntut untuk mencari sendiri sumber-sumber yang relevan dengan perkembangan siswa. Guru-guru di sekolah sebaiknya juga harus membiasakan menugaskan siswa-siswa menyusun kliping karya sastra dari majalah atau surat kabar secara berkala untuk menambah dan melengkapi koleksi 78



perpustakaan sekolah. Kliping karya sastra tentu akan dapat dipergunakan kembali sebagai bahan ajar dalam pembelajaran apresiasi sastra berikutnya. Dari hasil angket ditemukan bahwa kesenangan siswa terhadap karya sastra termasuk menonjol di antara indikatorindikator lainnya. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kesenangan siswa terhadap pembelajaran apresiasi sastra ? tidak dipengaruhi oleh cara guru dalam memotivasi siswa. Karena pada dasarnya siswa senang dan menyukai pembelajaran terhadap apresiasi sastra. Jadi untuk itu sudah menjadi tanggung jawab guru untuk menumbuhkan dan mengembangkan minat dan kecintaan siswa terhadap apresiasi sastra. Kesadaran akan penting dan perlunya meningkatkan minat siswa terhadap pembelajaran apresiasi sastra Indonesia dalam usaha mengenalkan nilai-nilai kemanusiaan, nilai kehidupan, peningkatan pengetahuan sosial budaya, berkembangnya rasa karsa, terbinanya watak dan kepribadian siswa sebagai generasi penerus bangsa nantinya, telah dilaksanakan secara terus menerus oleh semua pihak, terutama oleh pemerintah. Dengan akan dibenahi lagi kurikulum 1994 ( suplemen 1999 ) yang menurut rencananya akan diberlakukan lagi kurikulum baru pada 2004 nanti diharapkan akan dapat meningkatkan minat siswa terhadap pembelajaran apresiasi sastra. Disamping itu juga diharapkan kedepan peningkatan kualitas juga dilakukan. Selanjutnya untuk lebih meningkatkan minat siswa terhadap pembelajaran apresiasi sastra hal yang harus diusahakan oleh pemerintah untuk mengadakan penyediaan sumber pembelajaran apresiasi sastra Indonesia terutama 79



penyediaan karya sastra berupa kumpulan-kumpulan cerpen, kumpulan-kumpulan puisi, novel-novel sastra yang bermutu dan terbaru serta naskah-naskah drama dan teater bagi siswa di sekolah-sekolah atau perpuskaan sekolah. Apabila ketersediaan sumber belajar atau karya sastra bagi siswa diharapkan nantinya tingkat keminatan siswa terhadap apresiasi sastra akan lebih baik lagi, karena sumber belajar merupakan salah satu faktor yang penting dan perlu disediakan dalam proses pembelajaran. Cara lain yang perlu dilakukan untuk meningkatkan minat siswa terhadap apresiasi sastra untuk meningkatkan kegiatan-kegiatan apresiasi di luar jam pelajaran. Hal seperti ini perlu dilakukan yang mana siswa yang memiliki keinginan atau minat yang kurang dapat tersalurkan secara penuh pada jam pelajaran maka ia dapat menyalurkannya pada kegiatan ekstra kurikuler yang membahas mengenai sastra. Dalam kegiatan ekstra kurikuler ini siswa dapat mengembangkan ketrampilan bersastra atau melaksanakan kegiatan perlombaan mengenai sastra yang bisa memotivasi dan membangkitkan atau untuk menggairahkan semangat siswasiswa. Perlombaan bisa dilakukan diakhir semester atau akhir tahun ajaran atau memperingati hari besar tertentu seperti pada bulan bahasa misalnya. Perlombaan membuat karya sastra seperti puisi, cerpen, atau pembacaan puisi dan cerpen juga bisa dilakukan. Dari kegiatan-kegiatan ini nantinya memungkinkan siswa-siswa untuk terus menekuni bidang sastra yang mungkin saja menjadi pilihan profesi mereka kelak. Berdasarkan uraian di atas dapat ditegaskan beberapa hal yang berkaitan dengan profil pembelajaran apresiasi sastra Indonesia di SLTPN Kota Padang. Hal tersebut sangat 80



sangat penting pula artinya untuk pengembangan pembelajaran apresiasi sastra Indonesia itu untuk masa datang. Pertama, minat siswa terhadap pembelajaran sastra yang kurang merupakan tanggung jawab guru untuk menumbuhkan minat, gairah, dan kecintaan terhadap sastra agar siswa mampu memahami, menggauli karya sastra. Untuk bisa memahami dan menggauli karya sastra siswa lebih dahulu harus didekatkan pada karya sastra tersebut, sehingga benar-benar terjadi keakraban antara karya sastra dengan siswa sebagai penikmat sastra. Kedua, perluasan materi dan pemanfaatan waktu diperlukan keprofesionalan guru. Materi yang hangat dan baru merupakan pelajaran yang menantang dan memacu semangat sehingga menumbuhkan minat siswa. Seorang guru sastra perlu berbenah diri, tidak hanya terpaku pada buku paket dalam penyajian materi tapi memperkaya diri dengan informasi-informasi yang baru. Di samping itu dituntut keterampilan guru seperti menjadi modal pertama dalam penampilan karya sastra. Ketiga, kreatifitas guru sastra dalam menata dan menyajikan bahan pelajaran sering terbentur oleh waktu yang tersedia. Untuk itu diperlukan keprofesionalan guru untuk mengatasi kekurangan waktu dalam penyajian sastra agar mencapai tujuan pembelajaran. Keprofesionalan ini harus diikuti pengadaaan buku-buku penuntun kearah tingkat apresiasi dan memuat tentang hasil cipta sastra. Keempat, keterbatasan waktu dalam pelajaran apresiasi sastra Indonesia perlu dikembangkan dengan kegiatankegiatan peningkatan apresiasi sastra itu di luar jam pelajaran. 81



Penambahan waktu yang dirasa perlu oleh guru terlihat dari hasil wawancara dan angket untuk siswa dapat dilakukan dengan membentuk kegiatan ekstra kurikuler yang membahas masalah sasta atau mengembangkan keterampilan bersastra siswa. Motivasi dan semangat siswa dapat dibangkitkan melalui perlombaan membuat karya sastra atau penampilan karya sastra. Perlombaan bisa dilakukan diakhir semester atau diakhir tahun ajaran atau dalam memperingati hari besar tertentu yang diselenggarakan siswa atau OSIS dengan bimbingan guru bahasa dan sastra Indonesia. 5. Simpulan dan Saran Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya dapat dikemukakan beberapa kesimpulan berikut ini. 1. Bentuk persiapan dan pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra Indonesia di SLTPN Kota Padang telah menunjukkan nilai baik (2,75) dari skala empat dengan persentase pencapaian 68,9 persen dari pencapaian ideal. 2. Model evaluasi pembelajaran apresiasi sastra Indonesia di SLTPN Kota Padang telah menunjukkan nilai baik (2,64) dari skala empat dengan persentase pencapaian 66,2 persen dari pencapaian ideal. 3. Ketersediaan karya sastra dalam pembelajaran apresiasi sastra Indonesia di SLTPN Kota Padang telah menunjukkan nilai sedang (1,97) dari skala empat dengan persentase pencapaian 49,38 persen dari pencapaian ideal. 82



4. Strategi mengajar guru dalam pembelajaran apresiasi sastra Indonesia di SLTPN Kota Padang telah menunjukkan nilai baik (3,03) dari skala empat dengan persentase pencapaian 75,78 persen dari pencapaian ideal. 5. Minat siswa terhadap pembelajaran apresiasi sastra Indonesia di SLTPN Kota Padang telah menunjukkan nilai sedang (2,27) dari skala empat dengan persentase pencapaian 56,84 persen dari pencapaian ideal. Secara keseluruhan, pembelajaran apresiasi sastra Indonesia di SLTPN Kota Padang telah menunjukkan nilai sedang (2,43) dari skala empat dengan persentase pencapaian 63,6 persen dari pencapaian ideal. Berdasarkan kesimpulan di atas dikemukakan beberapa saran untuk pemgembangan pembelajaran apresiasi sastra Indonesia di SLTPN Kota Padang berikut ini. 1. Bentuk persiapan dan pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra Indonesia di SLTPN Kota Padang perlu ditingkatkan oleh guru-guru agar menjadi sanagt baik atau mencapai yang ideal. 2. Model evaluasi pembelajaran apresiasi sastra Indonesia di SLTPN Kota Padang perlu dipertahankan dan dikembangkan lagi oleh guru-guru. 3. Ketersediaan karya sastra dalam pembelajaran apresiasi sastra Indonesia di SLTPN Kota Padang, semua pihak baik guru, pihak kepala sekolah dan masyarakat hendaknya terus berusaha menambahnya. 4. Strategi mengajar guru dalam pembelajaran apresiasi sastra Indonesia di SLTPN Kota Padang, guru-guru 83



sebaiknya terus mengembangkan lagi ke hal yang maksimal dan ideal. 5. Minat siswa terhadap pembelajaran apresiasi sastra Indonesia di SLTPN Kota Padang, guru bidang studi lain dan pimpinan sekolah serta orang tua diharapkan mendorong siswa untuk berminat terhadap pembelajaran apresiasi sastra dan berminat terhadap karya sastra.



84



PEMUDA DAN SASTRA Oleh: Ridwan Pinat



M



ungkin ada yang belum lupa bahwa Tahun Pemuda Internasional yang ditentukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1985 lampau, mengambil tema 'Keikutsertaan Pemuda dalam Pembangunan dan Perdamaian'. Sejalan dengan itu, para pemuda di berbagai negara mencoba melibatkan diri ke dalam aneka kegiatan yang berpautan dengan tema tersebut. PBB memberikan dorongan untuk memarakkan prakarsa serta semangat para pemuda dalam perjuangan mereka menuju pembangunan dan menciptakan perdamaian. Perjuangan ini sudah barang tentu melibatkan banyak wilayah kehidupan serta disalurkan melalui berbagai lapangan kegiatan. Salah satu di antaranya, dan ini tidak kalah penting dari bidangbidang lain, adalah kesusastraan. Kendati sementara kalangan berpandangan bahwa antara kesusastraan dan pemuda merupakan dua hal yang secara tersendiri menempati dua kategori tak serupa, namun keduanya amat erat bertalian. Bila boleh berpijak pada satu pemukul-rataan, agaknya cukup aman untuk mengatakan bahwa kesusastraan pada dasarnya ditulis untuk kaum muda, atau orang-orang yang jiwa mereka masih gelisah mendambakan sentuhan pengetahuan, pengalaman, pandangan, serta gagasan-gagasan baru. Dan juga satu kenyataan yang menggembirakan bahwa sebagian besar dari orang yang membaca adalah para pemuda. Mereka 85



berasal dari berbagai suku, bangsa, golongan dan memiliki minat serta pengalaman lingkungan yang berlainan. Masa muda adalah masa di mana orang paling gemar bertualang dan belajar, masa yang ditandai oleh rasa ingin tahu yang besar. Salah satu jalur yang ditempuh untuk memuaskan hasrat belajar dan rasa ingin tahu yang menggebu-gebu ini adalah dengan membaca. Baik membaca karya-karya yang dinilai sastra maupun bukan. Para pemuda, lantaran dihinggapi oleh hasrat belajar dan rasa ingin tahu yang besar itu, berusaha menimba dari banyak sumber: dari sejarah, masyarakat serta kehidupan pada umumnya. Bahkan banyak pula di antara mereka yang berbuat lebih jauh. Sebagai reaksi atas apa yang mereka ketahui dari sejarah, masyarakat dan kehidupan, mereka berusaha menulis untuk mengungkapkan tanggapan intelektual serta reaksi emosional mereka. Dan di antaranya lagi, ada pula yang lantas berkeinginan untuk menjadi penulis yang serius. Golongan pemuda semacam ini kemudian berhadapan dengan tantangan, atau lebih tepat pertanyaan: 'Berbagai kemungkinan baik apakah yang dijanjikan oleh karir sebagai penulis? Pendidikan umum apakah yang terbaik bagi seorang calon penulis yang potensial? Dan bagaimana mendapatkan bimbingan khusus yang diperlukan termasuk keleluasaan maupun kebebasan untuk berkembang? Terutama masalah kebebasan. Kendati misalnya, satu pemerintahan secara resmi atau diam-diam tidak lagi menentukan batas-batas kebebasan intelektual, tapi apakah masyarakat di dalam negara itu sendiri pada umumnya sudah siap dan cukup dewasa untuk menerima atau men-tolerir kebebasan semacam itu? (Ingat apa yang dialami oleh Salman Rushdie dari Inggris dan Taslima Nasrin, penulis feminis 86



humanis sekuler dari Bangladesh). Mungkin soal ini penting kita jadikan bahan diskusi. Dan yang tidak kurang penting untuk dipertanyakan: kalau kebebasan itu memang sudah ada, apakah sudah benar-benar dimanfaatkan untuk memajukan wawasan intelektual dan ketajaman berpikir kritis dalam semua masalah serta wilayah.. Masalah kebebasan tentunya bukan hanya persoalan para penulis muda atau calon penulis muda yang potensial saja. Justru karena inilah para pemuda yang berhasrat untuk menulis atau bercita-cita untuk menjadi penulis harus sejak semula merumuskan tujuan dari apa yang hendak dicapainya dengan menulis. Sedang untuk memperluas pengetahuan serta wawasan pikiran maka banyak membaca karya-karya yang dinilai bermutu adalah satu syarat paling penting yang sama sekali tidak bisa dinomor-duakan, disamping kalau bisa, menerjemahkan karya-karya para penulis dari bahasa lain. Guna lebih jauh meninjau soal antara kesusastraan dengan pemuda ini, marilah sejenak kita menoleh ke salah satu negara Asia yang terbesar: Cina. Bagaimanakah keadaan kesusastaraan kaum muda di sana? Menurut keterangan, di Cina persoalan pemuda merupakan suatu masalah penting dalam dunia kesusastraan. Oleh karena itu, karya-karya sastra diusahakan sedapat mungkin akrab dengan publiknya, akrab dengan persoalan-persoalan masyarakat di mana pemuda merupakan salah satu bagian yang tidak dapat ditanggalkan. Dengan demikian, kota-kota metropolitan, desa-desa yang jauh terpencil, daerah pegunungan dan pesisir pantai, termasuk seluruh tempat di mana para pemuda hidup serta bekerja, dipantulkan melalui karya-karya kesusastraan lewat pencetusan pikiran serta perasaan yang artistik. 87



Dan melalui sebuah laporan yang pernah dimuat oleh majalah PEN, sebuah majalah yang diterbitkan oleh organisasi para penyair, esayist dan novelis di London dilaporkan bahwa sejumlah besar pengarang muda yang berbakat di Cina dewasa ini sudah tampil ke depan menunjukkan adanya satu kekuatan yang baru dalam dunia sastra kontemporer. Menurut catatan statistik yang ada, para penulis di Cina ketika negara itu mulai membuka pintunya bagi dunia luar, telah mencapai jumlah lebih dari seribu orang, yakni sekitar 15 persen dari jumlah keseluruhan penulis yang dimiliki oleh negara itu. Bahkan dikatakan pula, sejumlah penulis muda berhasil mengesankan masyarakat dengan karya-karya pertama mereka yang diterbitkan, sementara para pengarang muda lainnya bahkan berhasil menarik perhatian para pakar masalah Cina (sinologists) dari berbagai negara lain. Dalam perlombaanperlombaan nasional di bidang puisi, penulisan cerita serta reportase, sudah merupakan berita yang biasa jika hadiahhadiah digondol oleh para pemuda. Pada sebuah perlombaan penulisan cerita yanbg diselenggarakan secara nasional di tahun 1982 misalnya, dua puluh orang yang memenangkan hadiah, rata-rata berusia 30 tahun; sementara 13 orang pemenang lain berusia jauh lebih muda lagi. Yang paling muda seorang penulis wanita berumur 19 tahun. Dan yang tampaknya menarik untuk kita perhatikan dari laporan itu adalah kenyataan bahwa sekelompok wanita muda juga telah muncul sebagai para penulis cerita, puisi, sandiwara, esai dan reportase, termasuk penulis kritik. Seolaholah sebuah anak sungai baru yang penting artinya telah menyatu ke dalam sungai Yang Tse kesusastraan Cina, menambah kekayaan intelektual yang tersimpan di dalamnya. 88



Karena perhatian dunia internasional di awal tahun 1980-an sedang asyik tertuju ke Cina berkat perubahan, pembaharuan serta perkembangan-perkembangan yang tengah berlangsung di negara itu hampir di segala bidang untuk mengejar ketinggalannya akibat menutup diri dari dunia luar, maka keberhasilan negara itu dalam ikhtiar memelihara kesinambungan perkembangan kesusastraannya berkat pelibatan serta keterlibatan kaum muda tentunya hal yang sangat menarik untuk kita perhatikan dan teliti. Dunia dewasa ini dihadapkan pada dua persoalan internasional yang besar: perdamaian dan pembangunan. Para pemuda adalah bagian masyarakat yang paling dinamis, paling kreatif dan kurang atau sama sekali tidak bersifat konservatif. Untuk menangulangi kedua perosalan besar ini, maka keikutsertaan mereka yang aktif tentulah tidak dapat ditawartawar. Dengan demikian para penulis dari generasi yang lebih senior seyogyanya merasa bahwa merupakan kewajiban mereka untuk menulis sesuatu yang dapat memperkaya kehidupan sosial budaya serta memperluas wawasan para kaum muda tersebut, dengan menyumbangkan karya-karya atau tulisan-tulisan yang membumi, yang mendorong berpikir kritis namun bertanggung-jawab, yang berkaitan erat dengan pertanyaan bagaimana mengatasi tantangan kehidupan nyata seperti misalnya saja masalah pendidikan, korupsi, pengangguran, perusakkan lingkungan, kejahatan, kekerasan, kesempitan dalam beragama, dan tentu masih banyak lagi. Masalah-masalah besar yang sedang dihadapi oleh masyarakat Indonesia dewasa ini tidak semestinya justru menimbulkan pendangkalan dan penumpulan berfikir. Tidakkah ironis bila keadaan semacam itu harus terjadi ketika tidak adanya kebebasan menulis dan intelektual yang tiga dasawarsa 89



belakangan ini dipersalahkan sebagai kendala utama yang menyebabkan para seniman Indonesia tidak kreatif sekarang pada dasarnya sudah bukan persoalan lagi.



90



SASTRA KORAN ALTERNATIF BAHAN PENGAJARAN SASTRA Oleh: Arif Ardiansyah



P



engajaran bahasa dan sastra telah diberikan di tingkat SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Pengajaran bahasa dan sastra Indonesia dikenal dengan nama pelajaran bahasa Indonesia. Dalam Seminar Nasional Bahasa dan Sastra di Universitas Sriwijaya, 22 Juni 2006, seorang pemakalah, Surip Suwandi, mengatakan bahwa pengajaran bahasa dan sastra Indonesia saat ini pada umumnya mengajarkan wacana, EYD, pengetahuan umum, tata bahasa, dan terakhir sastra. Karena ditempatkan terakhir, materi sastra pun hanya pelengkap bagi pengajaran bahasa Indonesia. Sebab pada kenyataannya, soal ujian yang digunakan untuk menempuh ujian akhir nasional, lebih banyak materi kebahasaan. Lebih lanjut, Surip mengatakan bahwa banyak faktor yang menyebabkan gagalnya pengajaran sastra di sekolah. Antara lain, faktor guru, tempat, alokasi waktu dalam kurikulum, sistem mengajar, buku bacaan, siswa atau anak, serta perpustakan. Dari sekian banyak kendala itu, menurut penulis, faktor guru dan buku bacaan atau bahan pengajaran menjadi hal penting untuk diperhatikan. Apalagi dalam kondisi bangsa saat ini, saat ekonomi bangsa masih sangat terpuruk dan daya beli masyarakat masih rendah, maka tidak heran jika buku91



buku bacaan menjadi sangat mahal dan tidak terjangkau oleh siswa. Selain itu, minimnya penerbitan buku sastra karena para penerbit enggan mencetak buku sastra --sebab tidak bernilai ekonomis tinggi-- karena peminatnya sedikit. Dibandingkan dengan menerbitkan buku berbagai kisah sukses, seperti Kiat Menjadi Kaya dan 100 Tips Sukses, jauh lebih menjual. Ketersedian buku bacaan sastra tidak menjadi persoalan bagi sekolah yang berada di lingkungan kota. Buku penunjang yang berkaitan dengan sastra banyak ditemukan jika siswa mau membaca atau memiliki buku itu. Namun, itu tidak terjadi bagi siswa dan sekolah yang jauh dari kota dan berada di pingiran. Sebelumnya, Konferensi Internasional Kesusatraan dan Munas XV Himpunan Sarjana Kesusatraan Indonesia (Hiski) 2004 di Manado, menghasilkan tiga rekomendasi Munas yaitu pemberdayaan pengajaran sastra, serta dukungan terhadap penelitian-penelitian sastra dan penciptaan iklim yang menunjang kegairahan membaca, menulis, dan mengapresiasi sastra. Hiski juga mengajak pemerintah dan masyarakat bermitra memberdayakan pengajaran sastra dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi (Kompas; 2004). Dalam sambutannya, Ketua Hiski terpilih 2004-2007, Riris K Toha Sarumpaet mengatakan bahwa pemberdayaan pengajaran sastra dapat terlaksana melalui peningkatan mutu pembelajaran sastra, penyediaan bahan ajar, dan kurikulum sastra yang mampu menggerakkan minat siswa terhadap sastra. 92



Ada pun dukungan terhadap penelitian-penelitian sastra merupakan salah satu upaya untuk memahami keindonesiaan yang terekam dalam karya sastra dari latar belakang dan masa yang berbeda. Dari peryataan itu, tersirat bahwa bahan ajar menjadi hal penting dalam pengajaran satra. Bahan ajar yang berupa sastra koran pun menjadi hal mutlak untuk menyiasati sulitnya mendapatkan bahan pengajaran sastra untuk peserta didik. Kitan Perkembangan Sastra Koran adalah media yang murah dibandingkan dengan buku. Dengan harga Rp 2000, kita sudah mendapatkan koran. Secara khusus, memang tidak tersedia rubrik sastra. Biasanya diterbitkan pada hari Minggu atau akhir pekan. Dipilihnya hari-hari tersebut karena saat itu masyarakat sedang tidak melakukan aktivitas perkantoran, banyak di rumah, santai. Tidak heran jika koran terbitan hari Minggu lebih berwarna dan liputannya biasanya sesuatu yang ringan untuk mengisi luang di waktu libur. Apa itu sastra koran? Karya-karya sastra yang terbit di surat kabar itu biasanya disebut sastra koran, yaitu segala macam bentuk karya yang disiarkan melalui koran (termasuk majalah) (JJ Kusni: 2002). Mengapa sastra koran? Penyiaran atau penerbitan suatu karya tentu tidak lepas dari masalah kemampuan ekonomi. Dan secara teknis penyiaran atau penerbitan, sarana koran tentu akan jauh lebih murah dan risiko finansilnya akan lebih kurang dibandingkan jika diterbitkan khusus sebagai buku. Artinya, penerbitan dan penyiaran sebuah karya, suka atau tidak suka, mau tidak mau, bertautan erat dengan masalah tingkat kemampuan ekonomi dan tingkat 93



perkembangan ekonomi suatu komunitas atau negeri. Bagi negara-negara maju dan ekonominya kuat, baik sastra koran maupun sastra buku, sama berkembangnya. Perkembangan kesusastraan Indonesia erat kaitannya dengan keberadaan surat kabar. Sebagian besar karya para sastrawan kita terlebih dahulu dipublikasikan melalui surat kabar, baru kemudian dibukukan kumpulan puisi atau kumpulan cerpen, biasanya berasal dari puisi-puisi atau cerpen-cerpen yang dimuat di berbagai media massa. Novel biasanya berasal dari cerita bersambung. Selain karya yang bersifat rekaan pengarang, surat kabar juga menyediakan ruangan untuk karya berupa esai dan kritik sastra. Berita atau tulisan tentang sastra dan aktivitasnya. Menurut HB Jassin (1994: 86), dari ruangan sastra dan budaya yang kadang-kadang disediakan khusus di berbagai surat kabar ini, bermunculan karya sastra yang cukup bermutu. Sering karya-karya itu kurang diperhatikan oleh para pengamat sastra. Mereka cenderung meneliti karya-karya yang sudah dibukukan, padahal tidak semua karya yang baik mendapat kesempatan untuk dibukukan. Surat kabar umum yang mapan dan memiliki tiras yang cukup baik biasanya mempunyai rubrik seni dan budaya. Rubrik ini biasanya terbit setiap hari Minggu, atau akhir pekan dengan jumlah satu sampai dua halaman koran. Beragam artikel yang ditulis di rubrik tersebut. Seperti, cerita pendek, cerita bersambung, puisi, hiburan pop, esai, kritik kesastraan, dan peristiwa-peristiwa budaya lainnya. Menurut Sudarmoko (2005), hingga saat ini saat ini, pengajaran sastra belum mereproduksi pembicaraan 94



mengenai kritik sastra dalam bahasa yang bisa dikomunikasikan dengan murid atau peserta didik. Sebagai bahan ajar sastra, koran yang murah itu belumlah cukup, jika guru bahasa tidak memiliki minat terhadap sastra, serta apresiasi dan pengetahuan sastranya rendah, maka sulit diharap akan melaksanakan pengajaran sastra secara maksimal, kreatif, dan efektif. Maka itu, tidak ada cara lain, guru pun dituntut untuk kreatif dalam menghadapi bahan pengajaran sastra berupa sastra koran. Walaupun hanya menyumbang 20 persen pada nilai bahasa Indonesia, pengajaran sastra perlu diefektifkan dengan menekankan pada apresiasi. Langkah untuk mengefektifkan pengajaran sastra sederhananya, Ahmadun Yosi Herfanda, seorang wartawan dan sastrawan, menawarkan konsep dengan mendorong atau mewajibkan siswa lebih banyak membaca karya sastra, seperti memberi penugasan kepada siswa untuk membuat resensi karya sastra sebanyak mungkin.



95



ANALISIS KRITIS PENGAJARAN SASTRA DI JURUSAN BAHASA ASING Oleh: Firman Nugraha



H



ingga saat ini pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal masih tetap menjadi dilema. Sastra yang dituding layaknya kerja paruh waktu (Oemarjati dalam Puar, 1989) belum mendapatkan ruang gerak yang leluasa. Indikasi tersebut kemudian semacam dikukuhkan dengan munculnya lontaran-lontaran kekecewaan dari berbagai pihak, sebut saja Rusyana (1992), Taufiq Ismail (1997), Sayuti (2000) Kuswinarto (2001), dan masih banyak lagi. Permasalahan ini disinyalir terkait dengan berbagai faktor seperti yang diungkapkan Rahmanto (2001), yaitu: kemampuan guru, kondisi siswa atau subjek didik, sarana dan prasarana serta komponen-komponen pendukung lainnya. Secara empiris, hal tersebut dikarenakan pembelajaran sastra masih berkisar pada proses menghafal ketimbang mengapresiasi padahal minat pembelajar terhadap sastra tinggi. Melihat kondisi seperti itu sastrawan pun turun tangan. Berbagai cara dilakukan agar sastra dapat menjadi sebuah mata pelajaran yang tidak hanya mendukung pelajaran lain, tapi juga bisa mencapai hakikat penyelenggaraan pendidikan yang kembali pada khitah-nya, yaitu mengkondisikan manusia-didik mencapai kepribadiannya (Sayuti dalam Dharmojo, 2000). Penelitian-penelitian dan seminar-seminar 96



diselenggarakan semata-mata menjadi usaha untuk membumikan sastra di antara khalayak, khususnya subjek didik, dalam dunia pendidikan tentunya. Dan hal ini masih tetap berlangsung hingga detik ini Terlepas dari itu semua, tulisan ini seyogianya dimaksudkan untuk menguak pengajaran sastra di tingkat PT; sebuah wacana yang lebih kurang 10 tahun terakhir ini sempat terlupakan. Perlu diketahui bahwa lingkup pembahasan menyoroti pengajaran sastra (Inggris) di Jurusan Pendidikan dan Bahasa Sastra Inggris di mana Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Indonesia menjadi basis penelitiannya. Hal ini ditujukan untuk mengetahui efektivitas pengajaran sastra dalam proses pembelajaran mata kuliah sastra. Beberapa Fenomena Adalah Ahsin Muhammad (1997), seorang dosen bahasa Inggris, yang menyatakan bahwa selama ini pengajaran sastra, khususnya di Jurusan Bahasa Inggris FPBS IKIP (sekarang UPI) Bandung –entah di Universitas lain— memang berkesan kurang menggembirakan. Hal tersebut dilatarbelakangi dari tujuan pembelajaran yang masih terombang-ambing: Apakah untuk mendidik mahasiswanya agar menjadi kritikus-kritikus sastra ataukah untuk menyiapkan mereka sebagai guru-guru bahasa Inggris yang berkemampuan? Jika tujuan pertama yang hendak dicapai, maka kenyataan menampakan kemustahilan. Jika tujuan kedua, maka tidak ada salahnya meletakkan pengajaran sastra di dalam pengajaran bahasa yang lebih luas. Maksudnya bahwa pengajaran sastra bisa menjadi sebuah mata kuliah 97



yang mengakomodasi keterampilan kompetensi bahasa yang empat, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Pada kenyataannya, kendati ada perubahan –khususnya dari segi muatan materi—kecenderungan pengajaran secara praktis masih menggunakan cara tradisional. Mahasiswa masih dituntut untuk menghafal karya dan pengarangnya, menalar teori-teori sastra, menganalisis unsur-unsur karya sastra dan hal-hal lain yang mendominasi ranah kognitif tinimbang afektif. Sementara pembelajaran sastra sebagai sebuah disiplin ilmu –terlebih di PT—mestinya mengedepankan keterampilan pembelajarnya. Dengan kata lain, menjadikan subjek didik sebagai fokus dari proses belajar-mengajar; memosisikan mereka sebagai insan mandiri yang ―menguasai‖ kelas. Dengan demikian kegiatan belajar bukan lagi –meminjam isitilah Sudarsono—kegiatan membeo yang terkungkung dengan metode konvensional. Membilang sebuah contoh, Introduction to Literature sebagai sebuah mata kuliah yang hanya 2 sks tak ubah layaknya pengajaran sastra (Indonesia) di SMA. Mahasiswa dituntut untuk menguasai konsep-konsep, teori-teori, dan istilah-istilah sastra seperti: ―plot‖, ―karakteristik‖, ―setting‖, dan seterusnya. Pembelajaran hanya berkesiur pada kegiatan: defining literature, describing literary genre, analyizing the work of art based on the elements of literary work, describing the instrinsic value, mentioning the meaning of poetry, dan hal-hal yang sebatas menguji kemampuan nalar pembelajar. Kesemuanya itu, mautak mau, harus mereka lakukan dengan bahasa Inggris. Keberhasilan dan kegagalan subjek didik dalam menempuh perkuliahan pun hanya diukur dari penguasaan mereka atas konsep-konsep, teori, dan istilah-istilah tersebut (Muhammad, 1997). Kiranya course objective (se)macam itu tak 98



hanya ditemukan pada mata kuliah ini saja, contohnya Exploring Poetry, Exploring Prose, Drama, dan lain-lain. Kemudian dari pada itu, bilapun dihadapkan pada tujuan yang kedua kemungkinannya kecil sekali. Bagaimana mahasiswa dapat memiliki kemampuan menguasai sastra sedang alokasi untuk mengapresiasi karya sastra sendiri masih sangat minim. Dari per dua sks yang disediakan di setiap mata kuliah sastra serta objectives yang tertuang dalam silabusnya, pembelajaran lebih banyak berkutat untuk menganalisis karya (sastra Inggris). Dan kegiatan pembelajarannya harus berdasarlandaskan pada konsep-konsep dan teori-teori yang terlebih dahulu mesti dikuasai pembelajar. Kendati subjek didik diberikan tugas untuk menuliskan hasil analisis karya sastranya, bahkan untuk membuat karya sastra, entah puisi, cerpen, resensi atau naskah drama sebagai tugas akhir mata kuliah, pun menjadi tak berarti apa-apa karena tak ada evaluasi dan umpan balik yang dibangun dalam interaksi sosial kelas. Jadinya percuma! Tak ada salahnya memang mengetahui karya sastra dan pengarang-pengarang dari luar seperti, William Shakespeare, William Butler Yeats, Emily Dickinson, William Faulkner dan karya-karya mereka, hanya saja –sekali lagi— apa bedanya dengan pengajaran sastra yang sampaai saat ini masih tetap menjadi polemik di Indonesia jika begitu. Selain itu pengajar pun dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka harus merampungkan tujuan akhir pembelajaran dan memberikan penilaian atas pencapaian pembelajar sekaitan dengan mata kuliahnya itu. Tak ada kata excuse sebenarnya jika pengajar mampu mengetengahkan strategi pengajaran yang efektif yang bisa mengakomodasi kompetensi bahasa dalam sebuah 99



wadah pengajaran sastra yang berkesinambungan, sehingga belajar sastra tak hanya sekedar mengejar nilai. Perlu dicatat bahwasanya pembelajaran sastra, bagaimanapun, sangat identik dengan kegiatan membaca dan menulis, dan kesempatan inilah yang tidak didapat oleh pembelajar. Di dalam kelas, mereka harus memusatkan diri pada tuntutan pengajar untuk materi tertentu. Dengan kegiatan-kegiatan seperti yang disebutkan di atas, apresiasi menjadi terbengkalai karena pembelajar tetap pada posisi sebagai penerima informasi bukan sebagai subjek yang terlibat dalam pembentukan pengetahuan secara aktif. Di sini tampak sekali bahwa kesempatan berekspresi dan bereksplorasi tersekat pada sebuah tuntutan. Tak ada ruang yang leluasa bagi mereka untuk membaca karya sastra sebanyak-banyaknya; memberi reaksi pada sebuah karya melalui tulisan dalam rangka peragaan keterampilan berbahasa. Walhasil pengajaran pun menjadi terfragmen dan tidak alamiah. Kompetensi menyimak dan berbicara seolah berada di bagian lain kompetensi menulis dan membaca, tidak terintegrasi. Kasus lain yang ditemukan adalah ketika, ternyata, mahasiswa harus ―angkat tangan‖ ihwal sastra Inggris. Ada semacam kode etik yang digunakan dalam proses pembelajarannya, bahwa mahasiswa dituntut untuk mengetahui sastra asing yang secara filosofis bukan sesuatu yang familiar bagi mereka. Bagaimana mereka bisa mengetahui hakikat sastra Inggris jika untuk sastra Indonesia saja mereka belum mempunyai pemahaman terhadapnya. Setidaknya pembelajar dikenalkan dengan karya sastra dari negeri sendiri. Kita bisa mengambil sebuah karya; dibacakan untuk diperdengarkan dengan maksud menciptakan pemahaman 100



makna (dalam konteks interpretasi). Selanjutnya, direinterpretasi baik dalam wacana lisan (diskusi) dan –yang tak kalah penting—dalam wacana tulisan yang ini pun dipertimbangkan untuk didiskusikan kembali. Dari awal sampai akhir proses pembelajaran, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar tetap harus ditekankan. Ini dilakukan agar tujuan kedua bisa benar-benar terealiasi. Survei membuktikan bahwa sebagian besar mahasiswa bahasa Inggris memang belum mempunyai pemahaman tentang sastra Inggris. Kesulitan pun muncul ketika mereka harus berhadapan dengan wilayah sastra yang notabene bukanlah sesuatu yang mengakar dari nenek moyangnya, Indonesia. Mungkin tak ada salahnya jika kita merenungkan kembali peribahasa ‗di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung,‘ perihal ini. Frederick (1989) memaparkan dua pandangan dalam memahami karya sastra. Yang pertama, bahwa semenjak karya sastra ditujukan dan muncul dalam sebuah komunitas tertentu, maka apresiasi hanya bisa dilakukan oleh komunitas itu sendiri. Pernyataan ini kiranya menjawab kegelisahan yang disampaikan pada paragraf sebelumnya. Sedang yang kedua adalah bahwa sastra hanya dapat diapresiasi bilamana seseorang mengerti akan bahasa yang digunakan dalam sastra itu. Hal ini sepertinya membantah isu ihwal latar belakang pembelajar sebagai mahasiswa bahasa Inggris, namun ternyata tidak demikian. Perlu diingat bahwasannya hingga detik ini, mulai dari SD sampai PT, bahasa Inggris masih menjadi disiplin ilmu yang tetap dipelajari dan bukan digunakan. Terlebih, memahami bahasa, apalagi sastra, berarti secara tidak langsung mesti mempelajari pula budayanya, satu hal yang seringkali dilupakan. 101



Selanjutnya Muhammad pun menyodorkan sebuah data tentang rendahnya tingkat keberhasilan yang dicapai dalam pengajaran sastra asing (Inggris) yang tidak hanya dirasakan di Indonesia saja, melainkan juga di luar negeri. Ia memaparkan bahwa dalam Stafford House Seminar yang diadakan di London pada bulan April 1986, Ala Maley dari perwakilan The British Council Madras, India, mengemukakan keluhan senada terkait pengajaran sastra. Polemik tak berkesudahan ini sebelumnya juga muncul dalam Seminar Nasional TEFLIN (Teacher of English as a Foreign Language in Indonesia) ke-38 di Yogyakarta pada tahun 1991 dimana UGM bertindak sebagai panitia penyelenggara. Seminar yang bertemakan The Place of Literature in The Teaching of English as a Foreign Language itu membahas tentang ―nasib‖ mata kuliah sastra di Jurusan bahasa Inggris di PT. Dua pandangan muncul dalam seminar tersebut, yang implikasinya juga masih tampak sampai sekarang. Pandangan pertama menyatakan bahwa mata kuliah sastra dihilangkan saja karena toh selama ini hasilnya tidak benar-benar dapat dirasakan. Sedang yang kedua tetap pada pendirian bahwa pengajaran sastra masih tetap menjadi sesuatu yang signifikan untuk dipelajari. Permasalahannya adalah, untuk menguatkan opsi pertama, beberapa universitas –termasuk UPI—tujuan mata kuliah sastra memang terkesan tidak tegas, tak hanya di jurusan kependidikan tetapi juga di non-kependidikan-nya. Sementara opsi kedua, dimana referensi fenomena direpresentasikan oleh universitas semisal UGM, UNDIP, dan Universitas Maranatha, mata kuliah ini menjadi sebuah keharusan karena tujuan yang dicita-citakan pun jelas, yaitu membentuk kritikus-kritikus, bahkan sastrawan sekalipun, 102



yang mapan, begitu yang Alwasilah (1995) paparkan dalam salah satu artikelnya. Selanjutnya beliau pun memberikan solusi, yaitu menekankan agar pengajar (dosen) mempunyai kapabilitas perihal mata kuliah sastra dan mengapresiasi sastra. Hingga detik ini pendapat dan solusi apa pun itu, perihal mata kuliah sastra dan pengajarannya, tak lebih dari sekadar angin lalu karena realita selama 10 tahun terakhir ini menampakkan bahwa tak ada perubahan yang signifikan di lingkup wilayah yang diwacanakan. Selebihnya ketika tulisan ini dibuat, belum ada lagi penelitian serupa-terkini yang memperlihatkan progresivitas, bahkan solusi konkret, terkait masalah tersebut. Namun setidaknya hal tersebut semakin menegaskan bahwa pengajaran sastra Inggris bukanlah sesuatu yang mudah, terlebih di Indonesia. Pengajaran yang Konstruktif Seorang guru puisi di Des Moines-Iowa, Berry, mengatakan: ―Always build on what is familiar to student.” Seperti yang penulis sampaikan di atas bahwa background pembelajar menjadi sangat penting untuk mengetahui sejauh mana pemahaman mereka terhadap sebuah pengetahuan (sastra). Yang hendak disampaikan adalah bahwa setiap pembelajar, bagaimanpun, mempunya basic of knowledge, entah dari: pengetahuan yang didapat dari pendidikan sebelumnya; pengetahuan terkait yang didapat secara otodidak; maupun dari pengalaman empiriknya. Menghadirkan yang semacam itu adalah baik adanya dan merupakan sebuah awalan yang bagus dalam pengajaran sastra. Pengetahuan pembelajar sudah seharusnya dibangun dari sesuatu yang mereka kenal 103



baik secara kontekstual maupun tekstual bersinggungan satu sama lain. Selain itu pemadu-madananan atau pengakulturasian materi dengan situasi dan kondisi pembelajar pun dapat terjadi dari hal-hal demikian. Pengajaran, pada akhirnya, bisa dilakukan secara induktif dan bukan lagi deduktif –sebuah metode tradisional yang masih bisa ditemukan. Indikasi keberhasilan pengajaran pun dimungkinkan bisa tercapai karena pembelajar sebagai faktor primer dan yang menentukan pembelajaran, benar-benar diselenggarakan secara konsentris. Walau demikian, faktor-faktor lain pun tetap menentukan dan mempengaruhi hasil pendidikan, seperti strategi yang dibawakan pengajar serta sarana dan prasarana semisal kurikulum dan buku-buku penunjang. Dengan demikian pengajaran sastra menjadi sesuatu yang konstruktif, yaitu mengedepankan pengetahuan pembelajar dalam rangka membangun wawasan ihwal sastra dan menariknya ke dalam proses belajar mengajar (contextual teaching and learning). Pengajaran sastra akan mengakar dari pemahaman personal yang akhirnya bisa secara menukik pada pembelajaran yang lebih spesifik (sastra Inggris) dan luas (sastra secara umum) dalam prosesnya. Bangunan (motif) yang muncul dari metode seperti ini adalah menumbuhkan kesenangan dan ketertarikan pembelajar terlebih dahulu sebelum melangkah kepada tingkatan yang lebih jauh lagi yang memerlukan profesiensi lebih tinggi. Kendati demikian pengajar tetap menjadi faktor yang menentukan keberhasilan pembelajaran dan pembelajarnya. Ia memiliki peranan yang sangat penting sebagai fasilitator/mediator dalam mengaktifkan, memberi impuls 104



dan memotivasi pembelajar serta menjaga agar proses belajar mengajar bisa tetap ―hidup‖. Hal tersebut dapat dilihat dari sejauhmana ia menerapkan strategi pengajaran yang direpresentasikan melalui metode-metode dan model-model pengajarannya. Kritik dan Saran Untuk mencapai keidealan –walau bukan berarti kesempurnaan, pengajaran sastra harusnya mengedepankan aspek afektif selain aspek kognitif, seperti yang selalu ditekankan. Dan ini mestinya mendominasi praktek taktis pembelajaran. Dalam tatarannya, pembelajar dituntut untuk menjadi sumber karya yang dicerminkan dalam bentuk apresiator atau creator. Perlu diketahui bahwa kecakapan yang dikembangkan sastra itu bersifat: inderawi, penalaran, afektif, dan sosial. Pengajaran sastra secara deduktif hanya akan tersekat pada kecakapan kognitif dan, bagaimanapun, pengetahuan –dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat— tidak melulu didasarkan pada kemampuan kognitif saja, tapi juga afektif. ―To help students appreciate literature related to drama/plays, etc, have them to write their own play(s) as a project that can then be presented to the entire school body,” demikian seorang guru kelas empat di Florida-New York, Janet, berujar. Di sini demokrasi pembelajaran akan tampak sekali. Kreativitas pembelajar akan ter-expose dan ter-explore sedemikian rupa. Mereka akan menggali sendiri keterampilannya mengenai sastra sebelum nantinya berkenalan dengan bentuk-bentuk baku sastra (teori). 105



Penugasan membaca karya sastra sebanyak-banyaknya di luar kelas kiranya bisa menjadi solusi untuk memecahkan masalah tentang alokasi waktu yang tidak memadai. Biarkan mereka mencari ruang-ruang lain yang memungkinkan untuk bisa mengeksplorasi pengetahuan soal sastra. Intinya, buat dulu mereka menyenangi sastra. Tampilkan apa yang sudah mereka peroleh dan dinamika pembelajaran akan mengalir secara alami. Hal ini, tentunya, kembali pada bagaiman pengajar mengolahnya dengan kreatif hingga kedua elemen (pengajar dan pembelajar) ini benar-benar bisa menciptakan keharmonisan dalam proses pembelajaran di ruang kelas. Selain itu beberapa strategi atau metode pembelajaran seperti yang sudah banyak sastrawan ajukan pun bisa digunakan, semisal model Discourse Analysis (CDA) atau analisis wacana kritis, strategi belajar Cooperative Learning, strategi Respons Heuristik, atau bahkan menciptakan Laboratorium Sastra. Kesemuanya itu semata-mata dimaksudkan sebagai jalan agar pengajaran sastra dapat dengan mudah dipraktekan dan akhirnya bisa mencapai citacita yang selama ini dikehendaki. Penulis sendiri meyakini bahwa mata kuliah sastra harusnya produktif; menjadikan subjek didik sebagai pencipta untuk karyanya sendiri (memproduksi sastra), mengingat hanya dengan cara ini mereka bisa memperagakan keterampilan bahasanya. Dan dengan ini pula pembelajar sebagai individu yang tengah berada dalam arus globalisasi bisa bertahan dengan skill dan kompetensi yang dimilikinya. Sungguh, semoga kita tak sampai mendengar pernyataan bahwa pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia ini hanya bernaung pada sebuah bias dimana bahasa sekadar untuk dipelajari dan bukan dipergunakan. Karena secara tidak 106



langsung hal tersebut menjustifikasi bahwa pembelajaran sastra Inggris sebagai praktek dari sebuah bahasa hanya sampai pada kata ―sia-sia‖.



107



PENGAJARAN SASTRA TUMBUHKAN KREATIVITAS SISWA Oleh: Novan (Galamedia)



B



enarkah bahwa pengajaran sastra dapat menumbuhkan kreativitas siswa? Menurut Sekda Jabar H. Setia Hidayat pada pembukaan seminar ―Pengajaran Sastra dan Pelatihan Penulisan Sastra se-Asia Tenggara‖ di Bandung belum lama ini, sastra merupakan wahana untuk mendidik masyarakat tentang nilai-nilai sosial, perilaku yang luhur, dan estetika (keindahan). Dengan membaca sastra, menurutnya, diharapkan harkat dan martabat manusia menjadi lebih tinggi. Selain itu, kata Setia, dengan adanya pengajaran sastra di sekolah dapat menumbuhkan apresiasi dan kreativitas siswa serta dapat mengurangi perilaku siswa yang akhir-akhir ini cenderung kasar dan brutal. Sementara itu, Kepala Biro Kerja Sama Luar Negeri dan Hubungan Masyarakat Depdiknas, Prof. Dr. Suwarsih Madya mengungkapkan, pengajaran sastra dapat memberikan andil yang signifikan terhadap keberhasilan pengembangan manusia yang diinginkan, asalkan dilaksanakan dengan pendekatan yang tepat, yaitu pendekatan yang dapat merangsang terjadinya olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga. Menurut Suwarsih, pengajaran bahasa dan sastra dapat saling mendukung jika keduanya dilaksanakan dengan 108



pendekatan yang tepat. Selama ini, menurutnya, banyak kelaskelas bahasa dan sastra dinilai kurang menarik bagi peserta didik karena pendekatannya kurang tepat. ―Bahasa dan sastra selama ini diperlakukan sebagai pengetahuan sehingga kurang melibatkan peserta didik,‖ ujarnya. Ditambahkannya, para guru bahasa dan sastra tidak berupaya membuat pembelajaran menarik bagi peserta didik. Karena itu, tambahnya lagi, diperlukan upaya agar peserta didik merasa bangga terhadap bahasa nasionalnya. Sementara itu, Ketua Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara), Dendy Sugono mengatakan bahwa kehidupan sastra tidak dapat dipisahkan dari penggunaan bahasa masyarakat pendukungnya. Sastra, menurutnya, memiliki fungsi menumbuhkan rasa kenasionalan dan solidaritas kemanusiaan serta mempengaruhi proses pembentukan kepribadian dan kebangsaan masyarakat pendukungnya. ―Kemajuan sastra sering digunakan sebagai indikator kemajuan peradaban masyarakat pendukungnya,‖ ujarnya menjelaskan.



109



Tentang Penyusun Firman Nugraha, lahir di Purwakarta, 24 Maret 1984. Mengenyam pendidikan di SD Cilegong 1 JatiluhurPurwakarta, SMPN 3 dan SMAN 1 –masih di kota yang sama. Tengah menyelesaikan studinya di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni. Selain menulis esei, ia pun menulis puisi dan cerpen. Karya-karyanya sempat dimuat di Jurnal Sundih-Denpasar, Jurnalzine RajaKadal, HU Radar Bandung, majalah sastra Horison, Seputar Indonesia, dan beberapa situs nasional. Tak lama setelah menyelesaikan antologi puisinya yang berjudul Bulan di Atas Sungai (bukupop, 2007), ia lantas bekerja sebagai editor di Penerbit Angkasa di Bandung. Pada kesempatan yang lain, ia pun menjadi editor untuk beberapa buku yang membahas seputar sastra di penerbitan yang lain. Saat ini ia terdaftar sebagai tim redaktur di situs Kabar Indonesia. Selain menulis, sesekali ia pun melakukan hobinya, yaitu hiking. Saat ini ia tinggal di bilangan Setiabudhi tak jauh dari kampusnya.



110



Jl. Negla Tengah No.11 Bandung 41054 e-mail: [email protected] Telp: 0856 230 6399



111