Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta'dil (Teori, Penerapan Dan Urgensinya) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ILMU AL-JARH WA AL-TA’DIL (TEORI DAN URGENSINYA) Imam Fauzan (20200011121)



A. Pendahuluan Sebagai sumber ajaran Islam kedua, hadis berbeda dengan al-Qur’an yang semua ayatnya diterima secara mutawatir, sedangkan hadis sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi secara ahad. Kodifikasi hadis yang resmi pun baru dirintis pada masa khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz (w. 110 H/720 M) melalui usaha keras ulama Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri (w. 124 H/ 742 M). Kedudukan hadis sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an sudah tidak diperselisihkan lagi oleh para ulama. Namun demikian, tidak semua hadis dapat diterima. Ada hadis yang harus dibuang, karena setelah diselidiki ternyata terbukti itu bukan berasal dari Nabi. Masyarakat biasa mengenal ada hadis dhaif atau lemah, ada pula hadis palsu. Kedua jenis ini tidak memiliki posisi penting sebagaimana diatas. Hanya hadis kerkualitas sahih (atau minimal hasan/baik) yang dapat diterima. Permasalahnya adalah, bagaimana cara untuk mengetahui sebuah hadis itu shahih atau tidaknya. Jawabanya adalah, yakni dengan meneliti sanad dan matan hadis tersebut. penelitian sanad merupakan gerbang awal yang harus dilalui seseorang sebelum lebih jauh membahas matan sebuah hadis. Sanad adalah rangkaian nama-nama orang yang terlibat periwatayan sebuah hadis, mulai dari generasai sahabat (murid Nabi Saw) hingga generasi ulama penulis kitab hadis, yang disebut ulama mukharrij, seperti al-Bukhari, Tirmidzi, dan lain sebagainya. Mereka adalah orang- orang yang tidak bisa kita jumpai secara fisik karena telah meninggal dunia. Untuk mengetahui keadaan mereka, maka diperlukanlah informasi dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik periwayat hadis. Kritkan para periwayat hadis itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja tetapi juga mengenai hal-hal yang tercela. Hal-hal yang dapat dikemukakan untuk dijadikan pertimbangan dalam hubungannya dengan dapat atau tidak diterimanya riwayat hadis yang mereka riwayatkan. Untuk itulah lebih jelasnya disini penulis akan membahas tentang Ilmu al-Jarh wa Ta’dil. Ilmu al-jarh wa al-ta'dil merupaka salah satu ilmu yang sangat penting. Melalui kajian ilmu ini, Hadis yang ditransmisikan melalui jaringan sanad mampu diverifikasi dengan baik.



Munculnya ilmu ini juga berdampak pada diterima maupun ditolaknya periwayatan seseorang. Sejak awal kemunculannya ilmu al-jarh wa al-ta'dil ini melahirkan banyak gugatan di kalangan ulama terutama menyangkut aspek metodologisnya hingga aspek etika moral, termasuk dasar legalitas kritik. Untuk itu para ulama menyusun kaidah-kaidah dalam mendukung teori-teori yang dipraktekkan agar tidak terjadi pertentangan bila menemui permasalahan. Ilmu al-jarh wa al-ta'dil mengkaji bagaimana seorang perawi secara pribadi mampu mempengaruhi kualitas Hadis apakah diterima atau ditolak, kuat atau lemah. B. Pengertian Ilmu al-Jarh, yang secara bahasa berarti luka, cela, atau cacat, adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitannya. Para ahli hadis mendefinisikan al-jarh dengan: "kecacatan pada perawi hadis disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keaiban atau kedhabitan perawi".1 Sedangkan menurut istilah ahli hadis, adalah: "Nampak suatu sifat pada rawi yang merusakan keadilannya, atau mencedarakan hafadahnya, karenanya gugurah riwayatnya atau dipandang lemah".2 Adapun al-ta'dil secara bahasa berarti At-Taswiyah (menyamakan),dan menurut istilah adalah: lawan dari al-jarh, yang berarti pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan bahwa ia adil atau dhabit". Ahli hadis mendefinisikan al-ta'dil sebagi berikut: "mengakui keadilan seseorang, kedhabitan, dan kepercayaan". Lebih jelasnya, ilmu al-jarh wa al-ta'dil adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang kritikan adanya 'aib atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi. Ajjaj Khatib mendefinisikannya sebagai berikut: "Ialah suatu ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya".3 Ulama lain mendefinisikan al-jarh wa al-ta'dil dengan: "Ilmu yang membahas tentang para perawi hadis dari segi yang dapat menunjukan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau mebersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafadz tertentu". 4 Dari definisi di atas dapat dismpulkan bahwa ilmu al-jarh wa al-ta'dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya



1 2



204



3 4



Munzier Suparta,"Ilmu Hadis", (Jakarta: PT Raja Grafindo, Persada, 2001), hal: 31 TM. Hasbi Ash Shidieqy, "Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis", jil. II ( Jakarta: Bulan Bintang,1998) hal: Ibid, hal: 268 Ibid, hal: 32



(memandang lurus perangai para perawi) dengan menggunakan kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka. C. Sejarah Perkembangan Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil Sejarah pertumbuhan Ilmu Jarh wa at-Ta’dil seiring dan sejalan dengan dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangan periwayatan hadis, karena bagaimana pun juga untuk memilah dan memilih hadis-hadis shahih melewati penelitian terhadap rawi-rawi dalam sanadnya yang pada akhirnya memungkinkan untuk membedakan antara hadis yang maqbul dan yang mardud. Embrio praktek men-Jarh dan men-Ta’dil ini sudah tampak pada masa Rasulullah Saw. yang beliau contohkan sendiri secara langsung dengan mencela dan memuji seperti yang dicontohkan pada tulisan didepan.5 Meski hal ini pada zaman Nabi Saw. dan para sahabatnya tampaknya belum begitu semarak, namun tidak dkatakan bahwa hal itu tidak ada. Beberapa riwayat dengan jelas menyebutkan bahwa Umar bin al-Khathab meminta kesaksian pihak lain sebelum beliau menerima riwayat tentang Nabi dari seseorang. Demikian pula Ali bin Abi Thalib. Hal ini terus berlanjut pada masa tabi’in, tabi’it tabi’in, dan seterusnya. 6 Salah satu bukti kongkrit penjagaan (pemurnian) hadis pada masa sahabat adalah riwayat dari Qaradhah ibn Ka’b. Suatu ketika ia pernah diperintah sahabat Umar ibn Khatthab untuk pergi ke Kuffah. Sahabat Umar berjalan bersama dia, lalu Umar berkata, “apakah kamu tau kenapa aku berjalan bersama kalian?”, Qaradhah menjawan, “karena kami para sahabat Nabi Saw. dan kami sahabat ansar” lalu Umar berkata,, “tetapi, aku berjalan bersamamu karena aku ingin kalian menceritakan hadis kepadaku”7 Syu’bah bin Hajjaj (w. 160 H), seorang generasi yang sedikit lebih senior daripada Imam Syafi’i, ketika ditanta tentang hadis-hadis yang diriwayatkan Hakim bin Jabir, maka ia menjawab “aku takut neraka.” Syu’bah ini memang dalam sejarah terkenal sebagai ulama keras terhadap para pendusta hadis. Karena itu Imam Syafi’i berkata, “jika tidak ada Syu’bah, niscaya aku tidak tahu hadis di Irak.”8 Para ulama hadis dalam melakukan Jarh ta at-Ta’dil tidak pandang bulu. Bisa dikatakan, motif mereka untuk menjaga orisinalitas atau keaslian agama 5



Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadis, (Yogyakarta: TH Pres, 2012), hlm. 26 Ali Imron, “Dasar-Dasar Ilmu Jarh wa Ta’dil,” dalam Jurnal Studi Islam, Vol. 2, No.2, Desember 2017,



6



hlm. 293 7



hlm. 9



Abd. Al-Mu’thi Amin Qal’aji, Muqaddimat Dhu’afa’ al-Kabir (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1984),



semata, bukan yang lain. Ali Ibnu Madini (w. 34 H), salah seorang guru al-Bukhari, satu ketika ditanya seseorang tentanh ayahnya, maka beliau menjawab, “bertanyalah pada orang lain.” Orang tersebut kembali mengulangi pertanyaan yang sama, maka beliau pun menjawab, “ini masalah agama, Dia (ayahku) itu lemah.”9 Demikianlah para ulama telah memberikan atensi (perhatian) yang cukup besar terhadap keberadaan Ilmu al-Jarhu ea at-Ta’dil. Disamping mengiprahkan diri, para ulama juga memotifasi para para muridnya untuk turut andil mencari tau keadaan para rawi tertentu dan menjelaskan kepada yang lainya. Ringkasnya, aktivitas mencari, merekam dan menyebarkan informasi keadaan rawi sangatlah digalakkan.10 D. Landasan Teologis-Rasional Ilmu al-Jarh wa Ta’dil Ilmu jarh wa at-ta’dil adalah cabang ilmu yang mengupas kebaikan maupun keburukan orang-orang yang namanya tercantum dalam sanad hadis. Penilaian positif disebut dengan ta’dil, sedangkan penilaian negatif disebut dengan jarh (mencela, atau melukai nama baiknya). Pada dasarnya, ajaran Islam melarang seseorang mebicarakan apalagi menyebarkan aib orang lain, yang dalam bahasa agama disebut dengan istilah ghibah. Namun demikian, sebagaimana dikatakan Hasbi Ash Shiddiqy ketika mengutip al-Ghazali dan al-Nawawi, ada 6 macam ghibah yang diperbolehkan.11 a. Karena teraniaya; orang yang teraniaya boleh membicarakan penganiayaan yang dilakukan pelakunya. b. Meminta pertolongan untuk membasmi kemungkaran. c. Untuk meminta fatwa. d. Untuk menghindarkan manusia dari kejahatan. e. Orang yang dicela merupakan orang yang terang-terangan melakukan bid’ah dan kemunkaran. f.



Untuk memberikan informasi yang sebenarnya.



Bahkan menurut ‘Ajjaj al-Khatib, memelihara tradisi jarh wa ta’dil bagi kalangan muslimin adalah wajib, demi menjaga orisinalitas teks agama. Allah berfirman, “Hai orang8



Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, ‘Ushulul Hadits, hlm. 261 Ibid, 262 10 Ibid 263 11 Ali Imron, “Dasar-Dasar Ilmu Jarh wa Ta’dil,” dalam Jurnal Studi Islam, Vol. 2, No. 2, Desember 2017, hlm. 291-292 9



orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musabah kepada suatu kaum tampa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (al-Hujurat: 6). Nabi sendiri juga memberikan kritik dan pujian terhadap sahabatnya, dan inilah bentuk paling sederhana dari Jarh wa Ta’dil. Perkataan rasulullah meskipun konteksnya sebagai saran dalam kasus pribadi seseorang, namun menunjukkan dibolehkannya mencela kepada orang- orang yang lemah guna menjelaskan keadaan mereka dalam konteks memberi saran tertentu. Dan oleh karena itu, para ulama membolehkan Al-Jarh wa at-Ta’dil guna menjaga syariat/agama ini, bukan untuk mencela manusia. Dan sebagaimana dibolehkanya Jarh dalam persaksian, maka pada perawi pun juga dibolehkan, bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan harta.12 E. Sebab-Sebab Perawi Dikenakan Jarh Dan Ta’dil Menurut Ibn Hajar al-Asqolani, sebagaimana dikutip Hasbi, bahwa sebab- sebab yang menjadikan aibnya seoarang perawi itu banyak, tetapi semuanya berkisar disekitar lima macam saja: bid’ah, mukhlafah, ghalath, jahalah al-hal, da’wa al-inqitha.13 a. Bid’ah yaitu melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syara. Orang yang disifati dengan bid’ah adakalanya tergolong orang yang dikafirkan dan adakalanya orang yang difasikan. Mereka yang dianggap kafir adalah golongan rafidhah dan mereka yang dianggap fasik adalah golongan yang mempunyai keyakinan (itikad) yang berlawanan dengan dasar syari’at. b. Mukhalafah ialah menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqat. Mukhalafah ini dapat menimbulkan haditsnya syadz atau munkar. c. Yang dimaksud dengan ghalath ialah banyak kekeliruan dalam meriwayatkan. d. Jahalah al-hal ialah tidak dikenal identitasnya, maksud perawi yang belum dikenal identitasnya ialah haditsnya tidak dapat diterima. 12



Manna al-Qaththan, pengantar Studi Ilmu Hadis trj. Mifdhol Abdurrahman, (jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2020), hlm. 85 13 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka riski Putra, 1997) hal: 279



e. Sedangkan Da’wa al-‘inqitha’ ialah diduga keras sanadnya terputus, misalnya menda’wa perawi atau mengirsalkan suatu hadits. F. Kaedah-kaedah al-Jarh wa at-Ta’dil Suatu realitas yang perlu mendapat catatan ialah seringnya terjadi perdebatan pandangan antara satu kritikus dengan kritikus lain dalam menilai rawi yang sama dan adanya perbedaan kaedah yang dipegangi kritikus dalam men-jarh atau men-ta’dil. Adakalanya pula seorang kritikus menilai seorang rawi yang sama dengan dua kualitas yang berbeda, dalam spatio temporal tertentu menilai dengan Laisa bihi ba’s sedang pada tempo yang lain menilai periwayat tersebur dengan dla’if. Padahal dua lafadz tersebut memiliki pengertian dan peringkat yang berbeda. Melihat betapa urgenya Ilmu ini, para pakar ‘Ulumul Hadis menyusun kaedaah-kaedah jarh wa ta’dil. Diantaranya adalah sebagai berikut. 1. Penilaian ta’dil didahulukan atas penilaian jarh Argumentasi yang dikemukakan adalah sifat terpuji merupakan sifat dasar yang ada pada periwayat hadis, sedang sifat tercela merupakan sifat yang muncul belakangan. Oleh karenanya, apabila terjadi pertentangan antara sifat dasar dan sifat berikutnya, maka harus dimenangkan sifat dasarnya. Kaedah ini tidaklah diterima oleh sebagian ahli hadis, karena kritikus yang memuji hanya mengetahui sifat terpuji rawi dan dianggap tidak mengetahui sifat tercela yang dimiliki oleh rawi yang dinilainya. 2. Penilaian jarh didahulukan atas penilaian ta’dil Kaedah yang dikemukakan oleh para Ulama Hadis, Ulama Fiqh, dan Ulama Ushul Fiqh atas dasar argumentasi bahwa kritikus yang menyatakan jarh dianggap lebih mengetahui pribadi periwayat yang dicelanya. Husn adh-dhan atau prasangka baik yang menjadi dasar kritikus men-ta’dil rawi, meski didukung jumhur harus dikalahkan bila dikemukakan bukti kecacatan rawi tersebut. 3. Apabila terjadi pertentangan antara kritikus yang memuji dan mencela, maka dimenangkan kritikan yang memuji, kecuali jika kritikan yang mencela disertai alasan yang jelas. Argumentasi Jumhur Ulama Hadis didasarkan kepada keyakinan bahwa kritikus yang



mampu menjelaskan sebab-sebab ketercelaan rawi yang dinilainya lebih mengetahui daripada kritikus yang memujinya. Hal ini dipertegas dengan adanya syarat-syarat pen-jarhan yang dilakukan kritikus merupakan penilaian yang ada relevansinya dengan penelitian sanad. 4. Apabila kritikus yang mencela itu lemah, maka tidak diterima penilaian jarh nya terhadap orang yang tsiqah Kaedah yang dipegangi Jumhur Ulama Hadis ini berangkat dari pandangan bahwa kritikus yang tsiqah pada ghalib-nya lebih teliti, hati- hati, dan cermat dalam melakukan penilaian daripada kritikus yang dla’if. 5. Penilaian jarh tidak diterima karena adanya kesamaran rawi yang dicela, kecuali ada kepastian Postulat ini menolak keragu-raguan karena kesamaran atau kemiripan nama antara perawi yang satu dengan yang lainya. Oleh karenanya, sebelum ada kepastian tentang nama yang dimaksud, penilaian jarh terhadap rawi yang bersangkutan yidak dapat diterima. G. Tingkatan al-Jarh wa at-Ta’dil Para perawi yang meriwayatkan hadis bukanlah semua dalam satu derajat dari segi keadilanya, kedlabithanya dan hafalan mereka. Diantara mereka ada yang hafalanya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan adapula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang ‘adil dan amanah. Seta ada juga yang dusta dalam hadis. Oleh karena itu, paraulama menetapkan tingkatan jarh wa ta’dil, dan lafadh-lafadh yang menunjukkan pada setiap tingkatan. 1. Tingkatan Ta’dil Tingkat pertama: menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dilan atau dengan menggunakan wazan “af’ala” misalnya awtsqu al-nas (manusia paling tsiqah), adhbath an-nas (manusia paling cerdas), dan lai lain. Tingkat kedua: dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ketsiqahannya, ke adilan dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh maupun dengan makna misalnya, tsiqah –tsiqah, atau tsiqah-tsabt, dan lainya.



Tingkatan ketiga: yang menunjukan ketsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu, seperti: tsiqah, tsabt, hujjah, mutqin. Tingkat keempat: yang menunjukkan adanya keadilan dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitianya seperti: shaduq (jujur), ma’mun (dipercaya) atau la ba’sa bihi (tidak mengapa denganya). Tingkat kelima: yang tidak menunjukkan pentsiqahan ataupun celaan, seperti: fulan syaikh (fulan seorang syaikh), ruwiya annahu al- hadis (orang yang meriwayatkan hadis darinya). 2. Tingkatan Jarh Tingkat pertama: tingkatan para perawi yang dikomentari para ulama dengan ungkapan-ungkapan seperti fihi maqal (ada yang diperbincangkan dalam dirinya), fihi adna maqal (apa yang diperbincangkan adalah sesuatu yang paling rendah), laisa bi alHafizd (bukan orang hafids), dan lain-lain. Tingkat kedua: tingkatang yang lrbih buruk dari tingkatan diatasnya, yakni tingkatan para perawi yang dikomentari oleh para ulama dengan ungkapan-ungkapan la yuhtaju bihi (ia tidak dinutuhkan), lahu ma yunkaru (hadisnya diingkari para ulama), haditsuhu munkar (hadisnya munkar). Tingkat ketiga: yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulid hadisnya, seperti: fulan dha’if jiddan, wahin marrah (sangat lemah), atau laisa bi sya’in (tidak ada apa-apanya). Tingkat keempat: yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsuan hadis, seperti: fulan muttaham bil kadzib (dituduh berdista), atau dituduh memalsukan hadis. Tingkat kelima: yang menunjukan sifat dusta atau pemalsuan semacamnya, seperti, kadzdzab (tukang pendusta), atau yakdzib (dia berbohong). Tingkatan keenam: yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruknya tingkatan, seperti; ilaihi muntaha al-kadzab (dialah puncak kebhohongan), manba’ al-kadzab (sumber kebohongan). H. Urgensi



Ilmu al-jarh wa al-ta'dil sangat berguna untuk menentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya. Membahas sanad terlebih dahulu harus mempelajari kaidah-kaidah ilmu jarh wa al-ta'dil yang telah banyak dipakai para ahli, mengetahui syarat-syarat perawi yang dapat diterima, cara menetapkan keadilan dan kedhabitan perawi dan hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasan ini. Seseorang tidak akan dapat memperoleh biografi, jika mereka tidak terlebih dahulu mengetahui kaidah-kaidah jarh dan ta'dil, maksud dan derajat (tingkatan) istilah yang dipergunakan dalam ilmu ini, dari tingkatan ta'dil yang tertinggi sampai pada tingkatan jarh yang paling rendah.14 Jelasnya ilmu jarh wa ta'dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang perawi "dijarh" oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi. Adapun informasi jarh dan ta'dil nya seorang perawi hadis bisa diketahui melalui dua jalan, yaitu:15 a. Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebagai orang yang adil, atau rawi yang mempunyai 'aib. Bagi yang sudah terkenal dikalangan ahli ilmu tentang keadilannya, maka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan lagi keadilannya, begitu juga dengan perawi yang terkenal dengan kefasikan atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan. b. Berdasarkan pujian atau pen-tarjih-an dari rawi lain yang adil. Bila seorang rawi yang adil menta'dilkan seorang rawi yang lain yang belum dikenal keadilannya, maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar adil dan periwayatannya bisa di terima. Begitu juga dengan rawi yang di tarjih. Bila seorang rawi yang mentarjihnya maka periwayatannya menjadi tidak bisa diterima. Sementara orang yang melakukan tarjih dan ta'dil harus memenuhi syarat sebagai berikut: berilmu pengetahuan, taqwa, wara', jujur, menjauhi sifat fanatik terhadap golongan dan mengetahui ruang lingkup ilmu jarh dan ta'dil ini. I. Kesimpulan



hal: 100



14



Dr. Mahmud at- Thahan, “Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadits” (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995)



15



Munzier Suparta,"Ilmu Hadis", (Jakarta: PT RajaGrafindo, Persada, 2001), hal: 33



Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat- cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka. Ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan dalam Islam, karena untuk mengetahui hadis-hadis yang shahih perlu mengetahui keadaan rawinya, Karena itu para ulama menanyakan keadaan para perawi, meneliti kehidupan mereka, agar mengetahui siapa yang lebih hafal dan kuat ingatannya. Adapun kegunaan dari Ilmu Al Jarh wa Ta’dil untuk menentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya. Menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau tidak diterima sama sekali. Ilmu Al Jarh wa Ta’dil adalah ilmu yang sangat penting bagi para pelajar ilmu hadits. karena ilmu ini merupakan timbangan bagi perawi hadits. Rawi yang berat timbangannya diterima riwayatnya dan rawi



yang



ringan



timbangannya ditolak riwayatannya. Dengan



ilmu ini kita bisa mengetahui periwayat yang dapat diterima hadistnya, serta dapat membedakannya dengan periwayat yang tidak dapat diterimahaditsnya. Oleh karena itulah para ulama hadits memberi perhatian lebih kepada ilmu ini.



Daftar Pustaka Suparta , Munzier. Ilmu Hadis,Cet. Ke-6, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010 Hasbi As-shidieqy, Teungku Muhammad. Prof. Dr. "Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis", jil. II Jakarta: Bulan Bintang. At- Thahan Mahmud, "Metode Takhrij dan penelitian sanad hadis", Surabaya: PT Bina Ilmu,1995. Suparta , Munzier. Ilmu Hadis,Cet. Ke-6, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010. ‘Ajjaj al-Khathib, Muhammad, ‘Ushulul Hadits: ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, t.k: Dar al-Fikr, 1989 H Abd. Al-Mu’thi Amin Qal’aji, Muqaddimat Dhu’afa’ al-Kabir Beirut: Dar al- Kutub alIlmiyyah, 1984



Syuhudi Ismail, Muhammad, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992. al-Qaththan, Manna, pengantar Studi Ilmu Hadis trj. Mifdhol Abdurrahman, Jakarta: Pustaka alKautsar, 2020 Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadis, Yogyakarta: TH Pres, 2012 Imron, Ali, “Dasar-Dasar Ilmu Jarh wa Ta’dil,” dalam Jurnal Studi Islam, Vol. 2, No. 2, Desember 2017 Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung: pustaka Setia,1999