Ilmu Kebidanan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ILMU KEBIDANAN SAR\TONO PRA\TIROHARDJO



ILMU KEBIDANAN SAR\TONO PRA\trIROHARDJO



Edisi Keempat Cetakan ketiga



Editor Ketua Prof. dr. ABDUL BnnI SnmuDDIN, MPH, SpOG(K) Editor dr. TnryerMo I{ACHTMHADHT, SpOG(K) Prof. Dr. dr. GulenDr H. 1X/lr I-



cangkang sitotrofoblas



-J



endovaskular trofoblas G



p=



interstisial trofoblas



o (l)



E'



Sel raksasa placental bed E



=6'



o



E



C (l,



8-5. Jenis-jenis sel trofoblas terkait dengan lokasinya. Berdasarkan lokasinya, sel-sel trofoblas dapat memiliki ekspresi HLA kelas I yang berbeda meski umumnya didominasi oleh ekspresi HLA kelas I nonklasik (Loke Y$(, King A. 1995)



Gambar



HLA-G tampaknya berinteraksi



dengan



KIR seperti layaknya jenis-jenis HLA yang



lain dan akan menekan aktivitas sitotoksisitas dari sel NK. Diperkirakan inhibisi ter-



NK tersebut akan memicu toleransi sistem imun maternal pada embrio. HLA-G yang bersifat monomorfik tampaknya menunjukkan bahwa inhibisi terhadap sel NK berlaku secara umum tidak terkait dengan genom paternalnya. HLA-G dapat ditemukan dalam 2 bentuk, yaitu yang ada pada permukaan sel dan yang bersifat solubel GHLA-G). hadap aktivitas sel



DASAR-DASAR IMTINOLOGI DAIAM BIDANG KEBIDANAN



106



SEI NK



sel NK



o



sel sehat dengan HLA (+;



sel abnormal dengan HLA (-)



Gambar 8-6. Sel-sel sehat yang memiliki HLA akan terhindar dari aktivitas pembunuhan oleh sel NK, karena HLA akan mengaktifkan KIR yang akan mencegah aktivasi sel NK. (KAR : KillingActiviry Receptor; KIR = Killing Inhibiory Receptor).



Hipotesis mengenai Leukemia Inbibitory Factor (LIF) dan reseptornya



lapisan endometrium uterus rampaknya menghasilkan suatu molekul yang bersifat hidrosolubel, yang disebut sebagai Leuleemia Inbibitory Factor (LIF) selama siklus haid terkait dengan kadar progesteron. Sementara di sisi lainnya blastokism juga akan meng-



Gambar 8-7. Interaksi antara LIF yang ada di permukaan lapisan desidua dan yang dilepaskan oleh lapisan desidua dengan reseptor LrF (LrF-R) yang ada pada permukaan blastokista.



DASAR-DASAR IMUNOLOGI DA[-{M BIDANG KEBIDANAN



t07



hasilkan LlF-reseptor. Selama periode implantasi lapisan desidua bersama dengan limfositJimfosir Th2 akan menghasilkan LIF, dan sel-sel sinsisiotrofoblas akan menghasilkan reseptor LIF. Diperkirakan ekspresi LIF pada desidua dan reseptor LIF pada blastokista akan memfasilitasi proses implantasi. Selain itu, interaksi antara LIF dan reseptornya juga terbukti dapat memicu pertumbuhan dan diferensiasi sel-sel trofoblas.



Hipotesis mengenai Indoleamine 2,3-dioksigenase (IDO)



IDO



adalah suatu protein enzimatik yang berfungsi untuk katabolisme triptofan. Enzim tersebut telah dibuktikan dapat dihasilkan oleh sel-sel sinsisiotrofoblas. Diperkirakan IDO yang dihasilkan oleh sel-sel sinsisiotrofoblas akan merusak triptofan pada iapisan desidua yang dibutuhkan untuk proliferasi sel-sel imun di lapisan desidua sehingga dapat memicu toleransi dari sel-sel imun maternal terhadap embrio.



sel imun



lnaktif



Gambar



8-8. IDO yang dihasilkan oleh



sel-sel sinsisiotrofoblas akan mengatabolisme



triptofan yang dibutuhkan oleh sel-sel imun di lapisan desidua untuk berproliferasi sehingga akan memicu inaktivasi sel-sel imun tersebut.



Hipotesis Mengenai Keseimbangan Tb 1-Tb2 Sel T helper (CD4+) naiae [hO) saat mengenali antigen yang dipresentasikan oleh APC dapat berdiferensiasi menjadi Th1 apabila mendapat sinyal berupa IL-12 dan IFN-y, atau menjadi Th2 apabila mendapat sinyai berupa IL-4. Sel-selThl akan menghasilkan sitokin-sitokin seperti IL-2 dan IFN-1, sementara Th2 akan menghasilkan iL-4, IL-5, IL-6, IL-9,IL-10, dan IL-13. Meski demikian, Th1 dan Th2 juga samasama menghasilkan IL-3, TNF, dan GM-CSF. Pada penelitian-penelitian sebelumnya



ditunjukkan bah'ila dominasi sitokin-sitokin proinflamasi yang dihasilkan oieh Th1 akan



108



DASAR-DASAR IMUNOLOGI DALAM BiDANG KEBIDANAN



berkorelasi dengan peningkatan kejadian keguguran. Oleh karena itu, yang dianggap sebagai sitokin yang akan mempertahankan kehamilan adalah sitokin-sitokin yang dihasilkan oleh Th2. Meski demikian, ternyara sitokin-sitokin tersebut tidak hanya dihasilkan oleh sel-sel imun saja, tetapi juga oleh sel-sel trofoblas.



Hipotesis Mengenai Makrofag Supresor Tampaknya ada jenis makrofag lain selain makrofag yang telah dikenal secara klasik akan teraktivasi setelah terstimulasi oleh IFN-y atau lipopolisakarida (LPS), dan kemudian akan menghasilkan sitokin-sitokin proinflamasi. Makrofag supresor ini diperkirakan akan menjaga rahim tetap sebagai tempat yang bersifat immuno-priaileged, dengan cara menghasilkan sitokin-sitokin yang bersifat non-inflamasi seperti IL-10 atau antagonis reseptor IL-1 dan juga menghasilkan turunan oksigen bebas yang minimal atau tidak sama sekali.



Hipotesis Mengenai Hormon Beberapa jenis sitokin dan hormon telah terbukti dapat dihasilkan oleh plasenta. Hormon yang cukup penting yang dihasilkan oleh plasenta adalah progesteron, di mana pada beberapa penelitian menunjukkan progesteron terbukti akan memicu produksi LIF



pada endometrium, dan juga akan memodulasi sistem imun maternal sehingga keseimbangan Th1 dan Th2 akan bergerak ke arah dominasi Th2. Selain progesteron tampaknya hormon pertumbuhan juga akan memegang peranan dalam memodulasi



DESIDUA



Progesteron PGH



Sitokin



Gambar



8-9.



Peran hormon progesteron, pkcenal Grouth Hormone, serta sitokin yang diproduksi oleh sel-sel trofoblas akan memodulasi respons imun sistem imun maternal.



DASAR.DASAR IMUNOLOGI DAIAM BIDANG KEBIDANAN



109



sistem imun, meski saat ini baru terbukti pada spesies Roden. Dalam masa kehamilan plasenta akan menghasilkan placenal Growtb Hormone (pGH) yang memiiiki perbedaan 13 asam amino dibandingkan dengan Growth Hortnone (GH) yang diha-



GH dalam sirkulasi maternal pada trimester kedua dan diperkirakan dapat pula memodulasi sistem imun maternal. silkan oleh hipofisis. pGH akan menggantikan



Hipotesis mengenai CD95 dan ligannya (CD95L)



Interaksi antara CD95 dan ligannya, yaitu CD95L, telah lama dikenal dalam bidang imunologi yang berperan untuk memicu reaksi apoptosis. Mekanisme interaksi CD95CD95L umumnya digunakan untuk menjelaskan pengaturan pergantian sel (cell tumooer), pemusnahan sel-sel tumor, respons antiviral, dan yang terpenting adalah untuk melindungi organ-organ tertentu dari aktivitas sel-sel imun, contohnya pada organ-organ yang harus dilindungi seperti mata dan testis (organ-organ yang bersifat immunoprivileged). Mekanismenya adalah sel-sel imun memiliki ekspresi CD95L sementara organ-organ yang perlu dilindungi memiliki ekspresi CD95, sehingga apabila sel-sel imun mengadakan kontak akan terjadi interaksi CD95-CD95L yang akan memicu apoptosis sel-sel imun tersebut sehingga organ-organ tersebut akan terlindungi. Dalam penelitian-penelitian yang telah dilakukan terbukti bahwa sel-sel trofoblas mam-



pu menghasilkan CD95 dan dalam medium kultur mampu memicu apoptosis pada sel-sel limfosit T yang mengekspresikan CD95L. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan bahwa sel-sel trofoblas mampu memicu apoptosis sel-sel imun maternal apabila sel-sel imun mencoba untuk melakukan kontak dengan sel-sel trofoblas.



So/uble CD95



O



'



Sel T aktif



+



\Jv4" Snpoptorir?



Gambar 8-10. Interaksi antara CD95 baik yang bersifat solubel, maupun yang ada di permukaan se1-sel sinsisiotrofoblas akan memicu apoptosis pada sel-sel imun maternal yang aktif.



DASAR-DASAR IMUNOLOGI DALAM BIDANG KI,BIDANAN



110



Hipotesis Mengenai Aneksin Aneksin



II



II



adalah anggota keluarga dari glikoprotein yang dapat berikatan dengan fos-



folipid bermuatan negatif. Aneksin adalah membrane associated protein yang umumnya dihasilkan baik oleh sel-sei normal maupun sel-sel tumor. Namun, telah dibuktikan plasenta juga mampu untuk menghasilkan aneksin. Dalam suatu penelitian telah dibuktikan bahwa aneksin II dapat menghambat proliferasi sel-sel limfosit dan juga menghambat produksi antibodi IgG ataupun IgM oleh sel-sel imun maternal. Oleh karena itu, molekul ini ditengarai juga memiliki peran dalam hal memicu toleransi sistem imun maternal kepada embrio.



Hipotesis Mengenai Rendahnya Aktiaitas Komplemen Dalam sistem rmun innate, komplemen memegang peranan yang cukup penting dalam menghancurkan sel-sel tumor atau asing, dengan cara bekerja sama dengan antibodi. Antibodi akan mengenali antigen asing pada permukaan sel tersebut dan selanjutnya antibodi akan bergabung dengan komplemen untuk menghasilkan Membrane Atucb Complex (MAC) yang mampu melubangi permukaan sel yang memiliki antigen asing



Kom,emenw



I



3:



fl*W



o



*ffi



DAF



MCP



i"a'.ii1 t



Antibodi



:



.'--jl



Sinsisiotrofoblas



Antigen Paternal



Tidak terbentuk MAC Tidak terbentuk MAC Terbentuk MAC



Gambar 8-11. Interaksi antara komplemen dan antibodi yang mengenali antigen asing dapat memicu terbentuknya MAC yang mengakibatkan kerusakan pada sel. Namun, hal itu dapat dicegah dengan meningkatnya MCP yang mencegah ikatan antara komplemen dan antibodi atau meningkatnya DAF yang akan meningkatkan laju kerusakan kompiemen



DASAR-DASAR IMTINOLOGI DAI-A,M BIDANG KEBIDANAN



1,1,1



tersebut sehingga sel tersebut akan mengalami kehancuran. Namun, terdapat beberapa faktor yang dapat menghambat mekanisme penghancuran tersebut, di antaranya adalah Membrane Complement Protein (MCP) yang akan menduduki tempat berikatannya antibodi dengan komplemen sehingga tidak dapat terjadi interaksi antara antibodi dan komplemen; atau terdapatnya peningkatan Decay Accelerating Factor (DAF), di mana faktor tersebut dapat meningkatkan tingkat penghancuran komplemen. Terjadinya hambatan pada kerja komplemen dapat melindungi sel-sel trofoblas yang memiliki antigen paternal untuk dapat dihancurkan oleh sistem imun maternal. Hipotesis Mengenai Penyembunyian Antigen Trofoblas



Hipotesis ini masih bersifat spekulatif. Diperkirakan antigen-antigen paternal pada permukaan sel trofoblas dikamuflase oleh suatu blocking antibody dan materi-materi fibrin atau lapisan sialornusin. Selain itu, ada pula teori mengenai terbentuknya antiidiotipik antibodi terhadap antibodi yang mengenali antigen paternal pada sel-sel trofoblas, sehingga antibodi tersebut tidak dapat mengaktivasi sistem imun lainnya. Hal-hal tersebut di atas akan menyembunyikan ekspresi antigen paternal pada janin sehingga dapat memicu reaksi toleransi dari sistem imun maternal.



Antibodi Anti-idiotipik Lapisan sialomusin Antibodi blok



Sinsisiotrofoblas



Antibodi Anti-paternal



Antigen Paternal



8-12. Beberapa mekanisme penyembunyian ekspresi antigen paternal pada sel-sel trofoblas, yaitu dengan cara ditutup oleh suatu blocbing antibody, lapisan sialomusin, atau penutupan suatu antibodi antipaternal dengan suatu antibodi antiidiotipik.



Gambar



Kesimpulan Bagaimana suatu kehamilan dapat bertahan di dalam rahim seorang ibu masih menjadi suatu tanda :anyayangbesar dan masih menjadi suatu paradoks dalam bidang imunologi. Diperkirakan toleransi sistem imun maternal terhadap antigen paternal janin disebabkan oleh kerja sama berbagai sistem dan mekanisme baik dari sisi janin maupun sisi maternal.



Meski demikian, mungkin hanya sebagian kecil sajalah yang benar-benar memiliki peranan penting dalam mempertahankan suatu kehamilan.



t12



DASAR-DASAR IMUNOLOGI DAIAM BIDANG KEBIDANAN



RUTUKAN 1. Aluvihare VR, Kallikourdis M, Betz AG. Tolerance, suppresion and the fetal allograft. J Mol Med 2005;



83:88-96 2. Billington



DV. The immunologi problem of pregnancy: 50 years with the hope of progress. A tribute to Peter Medawar. J Reprod Lnmunol. 2003; 60: 1-11 3. Brodsky FM. Antigen presenration and the Major Hisrocompatibility Complex. Dalam Parslow TG, Stites DP, Terr AI, Imboden JB (Eds). Lange Medical Lnmunology IO'h ed. McGraw-Hill, Boston;



2003:82-94 4. Bulmer JN. Cellular constiruents of human endornetrium in the menstrual cycle and early pregnancy. Dalam Bronson RA, Alexander NJ, Anderson DJ, Branch D\fl, Kutteh \(H. (Eds). Reproductive Imn.runology. Blackwell Science, Massachusetts; 1996: 212-39 5. Chaouat G. Fetal-Maternal immunological relationships. Encyclopedia of Life Sciences. 2001: 1-7 6. Delves PJ, Roitt IM. The Immune system. N Engl J Med. 20a0;343: 37-49 Z. Janeway CA, Travers P, Walport M, Shlaomchik MJ @ds). Innate immunity, dalam Immunobiology 5'h ed. The irnmune system in health and disease. Garland Publishing, New York; 2001': 35-92 8. Janeway CA, Travers P, Walport M, Shlaomchik MJ @ds). Antigei recognition by B-cell and T-cell i"."pto.r, dalam Immunobiology 5'h ed. The immune system in health and disease. Garland Publishing, New York; 20A1:93-122 9. Janeway CA, Travers P, Walporr M, Shlaomchik MJ (Eds). Antigen presentation to T lymphocytes, dalam Immunobiology 5'h ed. The immune system in health and disease. Garland Publishing, NewYork; 2001:155-86 10. KleinJ, Sato A. The HLA system. N EnglJ Med. 2A00;343:702-9 11. Loke Y\fl, King A. Imrnunology of human placental implantation: clinical implications of our current understanding. Mol Med Today;1997: 153-9 12. Medzhitov R, Charles AJ. Innate immunity: impact on the adaptive immune response. Cur Opin Inrmunol. 1997;9: 4-9 13. Medzhitov R, Charles J. Innate immune recognition: mechanism and pathways. Immunol rev. 2000; 173: 89-97 14. Moffet A, Loke Y\fl. The immunological paradox of pregnancy: a reappraisal. Placenta. 2a04;25: l-8 15^ Thellin O, Coumans B,Zorzi W', Igout A, Heinen E. Tolerance to the foeto-placental'graft': ten ways to support a child for nine months. Curr Opin Immunol. 2000;12:731-7



BAGIAN KEDUA



FISIOLOGI KEHAMILAN, PERSALINAN, NIFAS, DAN BAYI BARU LAHIR



9- ANATOMI ALAT REPRODUKSI 10. ENDOMETRIUM DAN DESIDUA 11. PEMBUAHAN, NIDASI, DAN PLASENTASI 1.2. PIASENTA DAN CAIRAN AMNION 1,3. FTSTOLOGT JANrN 1,4. HORMON PLASENTA



15. PERUBAHAN ANATOMI DAN FiSIOLOGI PADA PEREMPUAN HAMIL 16. ANATOMI JALAN LAHIR 1,7. KEDUDUKAN JANIN INTRAUTERIN 18. DIAGNOSIS KEHAMILAN 1.9. KARDIOTOKOGRAFi JANIN DAN VELOSIIvIETRI DOPPLER 20. ULTRASONOGRAFI DALAM OBSTETRI 21.. ASUHAN ANTENATAL



22. HIS DAN TENAGA LAIN DALAM PERSALINAN 23, FISIOLOGI DAN MEKANISME PERSALINAN NORMAL 24. PARTOGRAF 25. ASUHAN PERSALINAN NORMAL 26. RESUSITASI NEONATUS 27. ASUHAN NIFAS NORMAL 28. MANAJEMEN BAYI BARU LAHIR 29, PENGGUNAAN AIR SUSU IBU DAN RAWAT GABUNG



9



ANATOMI ALAT REPRODUKSI Trijatmo Rachimhadhi Tujwan Instrwksional Umwm Mernabami susunan anatomi organ reproduksi perempuan dan fungsinya.



Tujuan Instruksional Khusus



1. Mengidentifi.kasi bagian-bagian organ genitalia perempuan dan fungsinya. 2. Mengidentifikasi sistern aliran darab, persarafan, dan aliran getah bening



organ genialia pe-



remPuLn.



3.



Mengtdentifikasi ligamentum-ligamentum organ genitalia perempuan.



Ilmu Kebidanan ialah bagian Ilmu Kedokteran yang khusus mempelaiari semua hal lzng bersangkutan dengan lahirnya anak. Mereka yang berkecimpung dalam bidang ini harus memahami pengetahuan tentang anatomi, fisiologi, dan patologi alat reproduksi. Selain itu, perubahan-perubahan pada alat kandungan yang terjadi dalam masa kehamilan harus pula dipahami. Organ reproduksi perempuan terbagi atas organ genitalia eksterna dan organ genitalia interna. Organ genitalia eksterna dan vagina adalah bagian untuk sanggama, sedangkan organ genitalia interna adalah bagian untuk ourlasi, tempat pembuahan sel telur, transportasi blastokis, implantasi, dan tumbuh kembang janin.



Organ Genitalia Eksterna Vulva (pukas)



arau pudenda, meliputi seluruh struktur eksternal yang dapat dilihat mulai pubis sampai perineum, yairu mons veneris, labia mayora dan labia minora, klitoris, selaput dara (rymen), vestibulum, muara uretr4 berbagai kelenjar, dan struktur vaskularl.



&ri



t16



ANATOMI ALAT REPRODUKSI



Mons veneris atau mons pubis adalah bagian yang menonjol di atas simfisis dan pada perempuan setelah pubenas ditutup oleh rambut kemaluan. Pada perempuan umumnya batas atas rambut melintang sampai pinggir atas simfisis, sedangkan ke bawah sampai ke sekitar anus dan paha.



Iabia mayora (bibir-bibir besar) terdiri atas bagian kanan dan kiri, lonjong mengecil ke bawah, terisi oleh jaringan lemak yang sempa dengan yangada di mons veneris. Ke bawah dan ke belakang kedua labia mayora bertemu dan membentuk kommisura posterior. Labia mayora analog dengan skrotum pada pria. Ligamentum rotundum berakhir di batas aus labia mayora. Setelah perempuan melahirkan beberapa kali, labia mayora menjadi kurang menonjol dan pada usia lanjut mulai mengeriput. Di bawah kulit terdapat massa lemak dan mendapat pasokan pleksus vena yang pada cedera dapat pecah dan menimbulkan hematoma1,2.



Iabia minora (bibir-bibir kecii atau nympbae) adalah suatu lipatan tipis dari kulit sebelah dalam bibir besar. Ke depan kedua bibir kecil bertemu yang di atas klitoris membentuk preputium klitoridis dan yang di bawah klitoris membentuk frenulum klitoridis. Ke belakang kedua bibir kecil juga bersatu dan membentuk fossa navikulare. Fossa navikulare ini pada perempuan yang belum pernah bersalin tampak utuh, cekung seperti perahu; pada perempuan yang pernah melahirkan kelihatan tebal dan tidak rata. Kulit yang meliputi bibir kecil mengandung banyak glandula sebasea (kelenjar-kelenjar lemak) dan juga ujung-ujung saraf yang menyebabkan bibir kecil sangat sensitif. Jaringan ikatnya mengandung banyak pembuluh darah dan beberapa otot polos yang menyebabkan bibir kecil ini dapat mengembang.



Klitoris kira-kira sebesar kacang ijo, tertutup oleh preputium klitoridis dan terdiri atas glans klitoridis, korpus klitoridis, dan dua krura yang menggantungkan klitoris ke os pubis. Glans klitoridis terdiri atas jaringan yang dapat mengembang, penuh dengan urat saraf, sehingga sangat sensitif. Vestibulum berbentuk lonjong dengan ukuran panjang dari depan ke belakang dan dibatasi di depan oleh klitoris, kanan dan kiri oleh kedua bibir kecil dan di belakang oleh perineum (fowrchette). Embriologik sesuai dengan sinus urogenitalisl. Kurang lebih 1 - 1,5 cm di bawah klitoris ditemukan orifisium uretra eksternum (lubang kemih) berbentuk membujur 4 - 5 mm dan tidak jarang sukar ditemukan oleh karena tertutup oleh lipatan-lipatan selaput vagina. Tidak jauh dari lubang kemih, di kiri dan di kanan bawahnya, dapat dilihat dua ostia Skene. Saluran Skene (duktus parauretral) analog dengan kelenjar prostat pada laki-laki. Di kiri dan kanan bawah di dekat fossa navikulare, terdapat kelenjar Bartolin. Kelenjar ini berukuran diameter lebih kurang 1 cm, terletak di bawah otot konstriktor kunni dan mempunyai saluran kecil panjang 1.,5 - 2 cm yang bermuara di vestibulum, tidak jauh dari fossa navikulare. Pada koitus kelenjar Bartholin mengeluarkan getah. Bulbus Vestibuli sinistra et deh,stra merupakan pengumpulan vena terletak di bawah selaput lendir vestibulum, dekat ramus ossis pubis. Panjangnya 3 - 4 cm, lebarnya 1 2 cm dan tebalnya 0,5 - 1 cm. Bulbus vestibuli mengandung banyak pembuluh darah, sebagian tertutup oleh muskulus iskio kavernosus dan muskulus konstriktor vagina.



t17



ANATOMI ALAT REPRODUKSI



Embriologik sesuai dengan korpus kavernosum penis. Pada waktu persalinan biasanya kedua bulbus tertarik ke arah atas ke bawah arkus pubis, akan tetapi bagian bawahnya yang melingkari vagina sering mengalami cedera dan sekali-sekali timbul hematoma vulva atau perdarahan. Introitus Vagina mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda-beda. Pada seorang virgo selalu dilindungi oleh labia minora yang baru dapat dilihat jika bibir kecii ini dibuka. Introitus vagina ditutupi oleh selaput dara (himen). Himen ini mempunyai bentuk berbeda-beda, dariyang semilunar (bulan sabit) sampai yang berlubang-lubang atau yang bersekat (septum). Konsistensinya pun berbeda-beda, dari yang kaku sampai yang lunak sekali. Hiatus himenalis (lubang selaput dara) berukuran dari yang seujung jari sampai yang mudah dilalui oleh dua jari. Umumnya himen robek pada koitus dan robekan ini terjadi pada tempat jam 5 atau jam 7 dan robekan sampai mencapai dasar selaput dara itu. Pada beberapa kasus himen tidak mengalami laserasi walaupun sanggama berulang telah dilakukan. Sesudah persalinan himen robek di beberapa tempat dan yang dapat dilihat adalah sisa-sisanya (karunkula himenalis)3,4. Perineum terletak antara wlva dan anus, panjangnya rata-rata 4 cm. Jaringan yang mendukung perineum terutama ialah diafragma pelvis dan diafragma urogenitalis. Diafragma pelvis terdiri atas otot levator ani dan otot koksigis posterior serta fasia yang menutupi kedua otot ini. Diafragma urogenitalis terletak eksternal dari diafragma pelvis, yaitu di daerah segitiga antara tuber isiadika dan simfisis pubis. Diafragma urogenitalis meliputi muskulus transversus perinei profunda, otot konstriktor uretra dan fasia internal maupun eksternal yang menutupinya. Perineum mendapat pasokan darah terutama dari arteriapudenda interna dan cabang-cabangnya. Persarafan perineum terutama oleh nemrs pudendus dan cabang-cabangnya. Oleh sebab itu, dalam menjahit robekan perineum dapat dilakukan anestesi blok pudendusl-3's,6. Otot levator ani kiri dan kanan ostia skene pubis



mons venens klitoris



labium mayus



vestibulum



orifisium urelra ekstemum himen



hiatus himenalis



labium minus



fossa navikulare penneum anus



Gambar



9-1.



Genitalia eksterna



ANATOMI AI"\T RIPRODUKSI



118



bertemu di tengah-tengah di antara anus dan vagina yang diperkuat oleh tendon sentral perineum. Di tempat ini bertemu otot-otot bulbokavernosus, muskulus transversus perinei superfisialis, dan sfingter ani eksternal. Struktur ini membenttk perineal body yang memberikan dukungan bagi perineum. Dalam persalinan sering mengalami laserasi, kecuali dilakukan episiotomi yang adekuat.



ostia skene



m. lskiokavemosus bulbus vestibuli orifisium uretra ekstemum



m. bulbus kavemosus



flt



m. transversus perinei superfisialis



m. sflngter ani



Gambar



9-2.



Genitalia eksterna, kulit dan subkutis kiri diangkat



Organ Genitalia Interna Vagina (Liang Kemalwan/Liang Sanggama) Setelah melewati introitus vagina, terdapat liang kemaluan (vagina) yang merupakan suatu penghubung antara introitus vagina dan uterus. Arahnya sejajar dengan arah dari pinggir atas simfisis ke promontorium. Arah ini penting diketahui pada waktu memasukkan jari ke dalam vagina saat melakukan pemeriksaan ginekologik. Dinding depan dan belakang vagina berdekatan satu sama lain, masing-masing panjangnya berkisar antara 6 - 8 cm danT - 10 cm. Bentuk vagina sebelah dalam yang berlipatJipat disebut rugae. Di tengah-tengahnya ada bagian yang lebih keras, disebut kolumna rugarum.



ANATOMI AIAT REPRODUKSI



lt9



ovanum



Gambar



9-3.



Potongan sagital melalui genitalia interna



Lipatan-lipatan ini memungkinkan vagina dalam persalinan melebar sesuai dengan fungsinya sebagai bagian lunak jalan-iahir2,r,5-8. Di vagina tidak didapatkan kelenjar-kelenjar bersekresi. Pada perempuan yang pernah melahirkan, kepingan epitel vagina kadang-kadang tertanam dalam jaringan ikat vagina pada saat penjahitan robekan vagina dan membentuk kista, disebut kista inklusi vagina (oaginal inclussion cyst), Wng sebenarnya bukan kelenjarl. Epitel vagina terdiri atas epitel gepeng tidak bertanduk, di bawahnya terdapat jaringan ikat yang mengandung banyak pembuluh darah. Pada kehamilan terdapat hipervaskularisasi lapisan jaringan tersebut, sehingga dinding vagina kelihatan kebiru-biruan, yang disebut lbide. Di bawah jaringan ikat terdapat otot-otot dengan susunan yang sesuai dengan susunan otot-otot usus. Bagian dalamnya terdiri atas muskuius sirkularis dan bagian luarnya muskulus longi tudinalis. Di sebelah luar otot-otot ini terdapat fasia (jaringan ikaQ yang akan berkurang elastisitasnya pada perempuan yang lanjut usianya. Bagian atas vagina berasal dari Dukrus Mulleri, sedangkan bagian bawahnya dibentuk oleh sinus urogenitalise.



Di sebelah depan, dinding vagina berhubungan dengan uretra dan kandung kemih yang dipisahkan oleh jaringan ikat biasa disebut septum vesikovaginalis. Di sebelah belakang, di antara dinding vagina bagian bawah dan rektum terdapat jaringan ikat disebut septum rektovaginalis. Seperempat bagian atas dinding vagina belakang teqpisah dari



ANATOMI A1AT REPRODUKSI



120



rektum oleh kantong rektouterina yang biasa disebut kamm Douglasi. Dinding kanan



kiri vagina berhubungan dengan muskulus levator ani. Di puncak vagina dipisahkan oleh serviks, terbentuk fomiks anterior, posterior dan lateralis kiri dan kanan. Oleh karena puncak vagina belakang terletak lebih tinggi daripada bagian depan, maka fomiks posterior lebih dalam daripada anterior. Forniks mempunyai ani klinik karena organ internal pelvis dapat dipalpasi melalui dinding forniks yang tipis. Selain itu, forniks posterior dapat digunakan sebagai akses bedah untuk masuk ke dalam rongga peritoneuml. Kurang lebih t,S cm di atas forniks lateralis terletak ureter yang terdapat di dalam parametrium. Di tempat itu ureter melintasi arteria uterina tepat di bawahnya. Hal ini penting diketahui jika harus menjahit robekan serviks uteri yang lebar dan dekat dengan tempat arteria uterina dan ureter agar kedua pembuluh itu tidak terjahit. Dalam kehamilan, spesies Laaobacillus lebih sering terdapat dalam vagina dalam konsentrasi tinggi. Demikian pula dengan mikro-organisme anaerobik. Malahan dalam masa nifas, jumlah bakteri anaerobik meningkat dengan dramatis dan yang paling sering menimbulkan infeksi nifasl. Oleh sebab itu, pilihan pertama antibiotika untuk infeksi nifas adalah antibiotika untuk bakteri anaerobik. Vagina mendapat darah dari (1) arteria uterina, yang melalui cabangnya ke serviks dan vagina memberikan darah ke vagina bagian 1A atas: (2) arteria vesikalis inferior, yang melalui cabangnya memberikan darah ke vagina bagian 1/s tengah; (3) arteria hemodan



roidalis mediana dan arteria pudendus interna, yang memberikan darah ke vagina bagian



ureter



cabang a. uterina



Gambar



9-4.



Persilangan ureter dan arteria uterina



t21



ANATOMI ALAT REPRODUKSI



l/s bawah. Darah kembali melalui pleksus vena yang ada, antara lain pleksus pampiniformis ke vena hipogastrika dan vena iliaka ke ataslo. Getah bening (limfe) yang berasal dari 2/s bagian atas vagina akan melalui kelenjar getah bening di daerah vasa iliaka, sedangkan getah bening yang berasal dari'/e bagian bawah akan melalui kelenjar getah bening di regio inguinalis. Uterus



lJterus berbentuk sepeni buah avokad atau buah pir yang sedikit gepeng ke arah depan belakang. Ukurannya sebesar telur ayam dan mempunyai rongga. Dindingnya terdiri aras orot-otot polos. Ukuran panjang uterus adalah 7 - 7,5 cm, lebar di atas 5,25 cm, tebal 2,5 cm, dan tebal dinding 1,25 cm. Letak uterus dalam keadaan fisiologis adalah anteversiofleksio (serviks ke depan dan membentuk sudut dengan vagina, sedangkan korpus uteri ke depan dan membentuk sudut dengan serviks uteri)3,6. IJterus terdiri atas (1) fundus uteri; (2) korpus uteri; dan (3) serviks uteri. Fundus uteri adalah bagian uterus proksimal; di situ kedua tuba Falloppii rnasuk ke uterus. Di dalam klinik penting untuk dikemhui sampai di mana fundus uteri berada, oleh karena tuanya kehamilan dapat diperkirakan dengan perabaan pada fundus uteri. Korpus uteri adalah bagian uterus yang terbesar. Pada kehamiian bagian ini mempunyai fungsi utama



interstisialis tuba



ampulla tuba



mesovaflum



ismus tuba mesosalping



kavum uteri endometriurh



ostium uteri internum peritoneum viserale



porsro



infudibulum



appendiks vesikulosa (morgagnii)



ostium uteri eksternum



miometrium



rugae vagina



kolumna rugarum anterior



Gambar



9-5.



LJterus, tuba Falloppii, dan ovarium



t22



ANATOMI AIAT REPRODUKSI



sebagai tempat janin berkembang. Ronggayang terdapat



di korpus uteri disebut kavum



uteri (rongga rahim). Serviks uteri terdiri atas (1) pars vaginalis servisis uteri yang dinamakan porsio; (2) pars supravaginalis servisis uteri yaitu bagian serviks yang berada



di atas



vagina2's'2.



Saluran yang terdapat dalam serviks disebut kanalis servikalis, berbentuk seperti saluran lonjong dengan panjang2,5 cm. Saluran ini dilapisi oleh kelenjar-kelenjar serviks, berbentuk sel-sel torak bersilia dan berfungsi sebagai reseptakulum seminis. Pintu saluran serviks sebelah dalam disebut ostium uteri internum dan pintu di vagina disebut ostium uteri eksternum. Kedua pintu penting dalam klinik, misalnya dalam penilaian jalannya persalinan, dan abortus. Secara histologik dari dalam ke luar, urerus terdiri atas (1) endometrium di korpus uteri dan endoserviks di serviks uteri; (2) otot-otot polos; dan (3) lapisan serosa, yakni peritoneum viserale. Endometrium terdiri atas epitel kubik, kelenjar-kelenjar dan jaringan dengan banyak pembuluh darah yang berkeluk-keluk. Endometrium melapisi seluruh kal'um uteri dan mempunyai arti penting dalam siklus haid perempuan dalam masa reproduksi. Dalam masa haid, endometrium sebagian besar dilepaskan, untuk kemudian tumbuh lagi dalam masa proliferasi yang selanjutnya diikuti dengan masa sekretorik (kelenjar-kelenjar telah berkeluk-keluk dan terisi dengan getah). Masa-masa ini dapat diperiksa dengan melakukan biopsi endometrium2's,7,8. Lapisan otot polos uterus di sebeiah dalam berbentuk sirkular dan di sebelah luar berbentuk longitudinal. Di antara kedua lapisan itu terdapar lapisan otot oblik, berbentuk anyam n. Lapisan ini paling penting dalam persalinan oleh karena sesudah plasenta lahir, otot lapisan ini berkontraksi kuat dan menjepit pembuluh-pembuluh darah yang terbuka di tempat itu, sehingga perdarahan berhenti2.



lJterus sebenarnya terapung-apung dalam rongga pelvis, tetapi terfiksasi dengan baik oleh jaringan ikat dan ligamenta yang menyokongnya. Ligamenta yang memfiksasi uterus adalah sebagai berikut.



1)



2) 3)



Ligamentum kardinal (Mackenrodt) kiri dan kanan, yakni ligamentum yang terpenting yang mencegah uterus tidak turun. Terdiri atas jaringan ikat tebal yang berjalan dari serviks dan puncak vagina ke arah lateral dinding pelvis. Di dalamnya ditemukan banyak pembuluh darah, anrara lain vena dan arteria uterina. Ligamentum sakro-uterina kiri dan kanan, yakni ligamenrum yang menahan uterus supaya tidak banyak bergerak. Berjalan dari serviks bagian belakang kiri dan kanan, ke arah os sakrum kiri dan kanan. Ligamentum rotundum kiri dan kanan, yakni ligamentum yang menahan uterus dalam antefleksi. Berjalan dari sudut fundus uteri kiri dan kanan, ke daerah inguinal



kiri dan kanan. Pada kehamilan kadang-kadang terasa sakit di daerah inguinal waktu berdiri cepat, karena uterus berkontraksi kuat dan ligamentum rotundum menjadi kencang serta mengadakan tarikan pada daerah inguinal. Pada persalinan pun teraba kencang dan terasa sakit bila dipegang.



4)



Ligamentum latum kiri dan kanan, yakni ligamenrum yang meliputi tuba. Berjalan



dari uterus ke arah lateral. Tidak banyak mengandung jaringan ikat. Sebenarnya ligamentum ini adalah bagian peritoneum viserale yang meliputi uterus dan kedua



ANATOMI AI-\T RIPRODUKSI



5)



1,23



tuba dan terbentuk sebagai lipatan. Di bagian dorsal ligamentum ini ditemukan indung telur (ovarium sinistrum et dekstrum). Untuk menfiksasi uterus, ligamentum latum ini tidak banyak ardnya. Ligamentum infundibulo-pelvikum kiri dan kanan, yakni ligamentum yang menahan tuba Falloppii. Berjalan dari arah infundibulum ke dinding pelvis. Di dalamnya ditemukan urat-urat saraf, saluran-saluran limfe, arteria dan vena ovarika.



Di



samping ligamenta tersebut di atas ditemukan pada sudut



kiri dan kanan belakang



fundus uteri ligamentum ovarii proprium kiri dan kanan yang menahan ovarium. Ligamentum ovarii proprium ini embriologis berasal dari gubernakulum. Jadi, sebenarnya berasal sepefti ligamentum rotundum yang juga embriologis berasal dari gubernakulume. Ismus adalah bagian uterus antara serviks dan kolpus uteri, diliputi oleh peritoneum viserale yang mudah sekali digeser dari dasarnya atau digerakkan di daerah plika vesiko-



uterina.



Di



tempat yang longgar inilah dinding uterus dibuka jika melakukan seksio



sesarea transperitonealis profunda. Dinding belakang uterus seluruhnya



diliputi oleh



peritoneum viserale yang di bagian bawah membentuk suatu kantong yang disebut kavum Douglasi. Dalam klinik rongga ini mempunyai arti penting. Kavum Douglasi akan menonjol jika terdapat cairan (darah atau asites) atau tumor di situ. Uterus diberi darah oleh arteria Uterina kiri dan kanan yang terdiri atas ramus asendens dan ramus desendens. Pembuluh darah ini berasal dari arteria Iliaka Interna (disebut juga arteria Hipogastrika) y^ng melalui dasar ligamentum latum masuk ke dalam uterus di daerah serviks kira-kira 1,5 cm di atas forniks lateralis vagin210,1t.



Gambar



9-6.



Vaskularisasi dinding uterus



t24



ANATOMI ALAT REPRODUKSI



Kadang-kadang dalam persalinan terjadi perdarahan banyak oleh karena robekan serviks ke lateral sampai mengenai cabang-cabang arteria Uterina. Robekan ini disebabkan anrara



lain oleh pimpinan persalinan yang salah, persalinan dengan alat misalnya ekstraksi dengan cunam yang dilakukan kurang cermat dan sebagainya. Dalam hal ini penjahiran robekan serviks harus dilakukan dengan hati-hati. Kadang-kadang disangka robekan sudah dijahit dengan baik oleh karena tidak tampak adanya perdarahan lagi, padahal, perdarahan tetap berlangsung terus ke dalam parametrium. Timbullah hematoma di parametrium yang sukar didiagnosis dan dapat mengakibatkan ibu yang baru bersalin jatuh dalam syok. Jika hematoma dalam parametrium tidak dipikirkan, perempuan itu mungkin tidak tertolong lagi. Kita harus berhati-hati pula jangan sampai ureter yang dekat di daerah tersebut ikut terjahit, sehingga terjadi anuria disusul oleh uremia dan berakhir dengan kematian penderita. Pembuluh darah lain yang memberi pula darah ke uterus adalah aneria Ovarika kiri



dan kanan. Arteria



ini



berjalan dari lateral dinding pelvis, melalui ligamentum



infundibulo-pelvikum mengikuti tuba Falloppii, beranastomosis dengan ramus asendens arteria uterina di sebelah lateral, kanan dan kiri uterus. Bersama-sama dengan arteriarteri tersebut di atas terdapat vena-vena yang kembali melalui pleksus vena ke vena Hipogastrikalo.



Getah bening yaog berasal dari serviks akan mengalir ke daerah obturatorial dan inguinal, selanjutnya ke daerah vasa iliaka. Dari korpus uteri saluran getah bening akan menuju ke daerah paraaorta atau paravertebra dalam. Kelenjar-kelenjar getah bening penting artinya dalam operasi karsinoma2.



a. hipogastrika tuba falloppii



ovaflum uterus



a. uterina a. vesikalis superior vesika urinaria



a. hemoroidalis inferior



Gambar



9-7.



Vaskularisasi alat-alat genitalia interna dan alat-alat sekitarnya



r25



ANATOMI ALAT REPRODUKSI



a. iliaka kommunis



tuba falloppii



Gambar



9-8.



Inervasr uterus



Inervasi utenrs terutama terdiri atas sistem saraf simpatetik dan untuk sebagian terdiri atas sistem parasimpatetik dan serebrospinal. Sistem parasimpatetik berada di dalam panggul di sebelah kiri dan kanan os sakrum, berasal dari saraf sakral 2, 3, dan 4, yang selanjutnya memasuki pleksus Frankenheuser3,6. Sistem simpatetik masuk ke rongga panggul sebagai pleksus hipogastrikus melalui bifurkasio aorta dan promontorium terus ke bawah menuju ke pleksus Frankenhduser. Pleksus ini terdiri ams gangiion-ganglion berukuran besar dan kecil yang terletak terutama pada dasar ligamentum sakrouterina. Serabut-serabut saraf tersebut di atas memberi inervasi pada miometrium dan endometrium. Kedua sistem simpatetik dan parasimpatetik mengandung unsur motorik dan sensorik. Kedua sistem bekerja antagonistik. Saraf simpatetik menimbulkan kontraksi dan vasokonstriksi, sedangkan yang parasimpatetik sebaliknya, yaitu mencegah kontraksi dan menimbulkan vasodilatasi. Saraf yang berasal dari torakal 11 dan 12 mengandung saraf sensorik dari uterus dan meneruskan perasaan sakit dari uterus ke pusat saraf (serebrum). Saraf sensorik dari serviks dan bagian atas vagina melalui saraf sakral 2,3, dan 4, sedangkan yang dari bagian bawah vagina melalui nervus pudendus dan nervus ileoinguinalisl,6.



126



ANATOMI AIAT REPRODUKSI



Twba Falloppii



Tuba Falloppii terdiri atas (1) pars interstisialis, yaitu bagian yang terdapat di dinding utems; (2) pars ismika, merupakan bagian medial tuba yang sempit seluruhnya; (3) pars ampullaris, yaitu bagian yang berbentuk sebagai saluran agak lebar, tempar konsepsi terjadi; dan (4) infundibulum, yaitu bagian ujung tuba yang terbuka ke arah abdomen dan mempunyai fimbria2'3,5. Fimbria penting artinya bagi tuba untuk menangkap telur dan selanjutnya menyalurkan telur ke dalam tuba. Bentuk infundibulum sepert; dnemon (seienis binatang laut).



Bagian luar tuba diliputi oleh peritoneum viserale yang merupakan bagian dari Iigamentum latum. Otot dinding tuba terdiri atas (dari luar ke dalam) otot longitudinal dan otot sirkular. Lebih ke dalam lagi didapatkan selaput yang berlipat-lipat dengan sel-sel yang bersekresi dan bersilia yang khas, berfungsi untuk menyalurkan telur atau hasil konsepsi ke arah kavum uteri dengan arus yang ditimbulkan oleh getaran rambut getar tersebut2'l'6.



Ouarium (Indwng Telwr) Perempuan pada umumnya mempunyai 2 indung telur kanan dan kiri. Mesovarium menggantung ovarium di bagian belakang ligamentum latum kiri dan kanan. Ovarium berukuran kurang lebih sebesar ibu jari tangan dengan ukuran panjang kira-kira 4 cm, lebar dan tebal kira-kira 1,5 cm. Pinggir atasnya atau hilusnya berhubungan dengan mesovarium tempat ditemukannya pembuluh-pembuluh darah dan serabut-serabut saraf untuk ovarium. Pinggir bawahnya bebas. Permukaan belakangnya menuju ke atas dan belakang, sedangkan permukaan depannya ke bawah dan depan. Ujung yang dekat dengan tuba terletak lebih tinggi daripada ujung yang dekat dengan uterus dan tidak jarang diselubungi oleh beberapa fimbria dari infundibulum. Ujung ovarium yang lebih rendah berhubungan dengan uterus melalui ligamentum ovarii proprium tempat ditemukannya jaringan otot yang menjadi satu dengan jaringan otor di ligamentum rotundum. Embriologik kedua ligamentum berasai dari gubernakulum2,3'6,8'e.



Struktur ovarium terdiri atas (1) korteks, bagian luar yang diliputi oleh epitelium germinatiwm berbentuk kubik dan di dalamnya terdiri atas stroma sena folikel-folikel primordial; dan (2) medulla, bagian di sebelah dalam korteks tempat terdapatnya stroma dengan pembuluh-pembuluh darah, serabut-serabut saraf, dan sedikit otot polos. Diperkirakan pada perempuan terdapat kira-kira 100.000 folikei primer. Tiap bulan satu folikel akan keluar, kadang-kadang dua folikel, yang dalam perkembangannya akan menjadi folikel de Graaf. Folikel-folikel ini merupakan bagian terpenting dari ovarium yang dapat dilihat di korteks ovarii dalam letak yang beraneka-ragam dan pula dalam



tingkat-tingkat perkembangan yang berbeda, yaitu dari satu sel telur yang dikelilingi oleh satu lapisan sel-sel saja sampai menjadi folikel de Graaf yaog matang terisi dengan likuor follikuli, mengandung estrogen dan siap untuk berovulasi. Folikel de Graaf yang matang terdiri atas (1) orum, yakni suatu sel besar dengan diameter 0,1 mm yang mempunyai nukleus dengan anyaman kromatin yang jelas



ANATOMI AI"\T REPRODUKSI



1,27



medulla



korpus luteum



pembuluh darah



ovulasi



tunika albuginea



korpus albikans



epitelium germinativum folikel de Graaf



Gambar



9-9.



folikel primer



Ovarium dan folikel-folikel dalam berbagai tingkat perkerabangan



sekali dan satu nukleolus pula; (2) stratum granulosum, yang terdiri atas sel-sel granulosa, yakni sel-sel bulat kecil dengan inti yang jelas pada pewarnaan dan mengelilingi ovum; pada perkembangan lebih lanjut di tengahnya terdapat suatu rongga terisi likuor follikuli; (3) teka interna, suatu lapisan yang melingkari stratum granulosum dengan sel-sel lebih kecil daripada sel granulosa; dan (4) teka eksterna, yang terbentuk oleh stroma ovarium yang terdesak.



di luar teka interna



Pada owlasi folikel yang matang yang mendekati permukaan ovarium pecah dan melepaskan or.um ke rongga perut. Sel-sel granuiosa yang melekat pada ovum dan yang membentuk korona radiata bersama-sama ovum ikut dilepas. Sebelum dilepas, ovum mulai mengalami pematangan dalam 2 tahap sebagai persiapan untuk dapat dibuahi. Setelah ol'ulasi, sel-sel stratum granulosum di ovarium mulai berproliferasi dan masuk



ke ruangan bekas tempat ol'um dan likuor follikuli. Demikian pula jaringan ikat dan pembuluh-pembuluh darah kecil yang ada di situ. Biasanya timbul perdarahan sedikit, yang menyebabkan bekas folikel berwarna merah dan diberi nama korpus rubrum. Umur korpus rubrum ini hanya sebenrar. Di dalam sel-selnya timbul pigmen kuning dan korpus rubrum menjadi korpus luteum. Sel-selnya membesar dan mengandung lutein dengan banyak kapilar dan jaringan ikat di antararrya. Di tengah-tengah masih terdapat bekas perdarahan. Jika tidak ada pembuahan ovum, sel-sel yang besar serta mengandung lutein mengecil dan menjadi atrofik, sedangkan jaringan ikatnya bertam-



ANATOMI ALAT REPRODUKSI



128



kumulus ooforus



likuor follikuli



9;:€+=G



"i.- :.:-; . :,.- d' - za. ..V



zr /.



0



Ron-=,B:



i".:*'=-q?: teka eksterna



teka



Gambar



interna



sel granulosa



9-10. Folikel de Graaf



bah. Korpus luteum lambat laun menjadi korpus albikans. Jika pembuahan terjadi, korpus luteum rc:ap ada, malahan menjadi lebih besar, sehingga mempunyai diameter 2,5 cm pada kehamilan 4 bulanl.



RUTUKAN 1. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant Prentice-Hall International; 1993: 57 -79



NF, Leveno KJ, Gilstrap LC. \(illiams Obstetrics.



19th ed.



ML, Van Dongen L. Clinical gynaecology-integration of structure and function. London: Villiam Heinemann Medical Books; 1972 3. Anson BJ. Adas of Human Anatomy, 2nd Ed. \fB Saunders Co. Philadelphia, i963 2. Bloorn



4. Wiknjosastro la.karta: 1976



H.



Kelainan bawaan pada alat genital wanita. Pembahasan beberapa aspek Seksologi,



ANATOMI AI-{T REPRODUKSI



129



5. Pernkopf E, Pichler A. Systematische und lopographische Anatomie des weiblichen Beckens. In: Seirz - Amreich: Biologie und Pathologie des Sileibes. Band I, Verlag Urban und Schwarzenberg. Berlin, Innsbruck, Munchen, lVien, 1953 6. Spalteholz V. Hand Atlas of Human Anaromy 7'h Ed. JB Lippincott Co, Philadelphia, 1973 7. Macleod DH, Read CD. The anatomy and development of the female genital organs. In: Gynecology, 5'h Ed. London: 1955 8. \(eibel \W. Lehrbuch der Frauenheilkunde. Band



I: Geburtshilfe Vienna, 1937 9. Boyd JD, Hamilton VJ. The development of the ovaries and the female genital tract. In: British obsterric and gynaecological practice. 2"d Ed, London 10. Curtis AH, Anson BJ, Ashley FL, Jones T. Blood vessels of female pelvis in relation to gynecological surgery. Surg Gynec Obster, 1942;75: 421 11. Burchell RC. Internal tltac arrery ligation: hemodynamics. Obstet Gynec 1964;24: 737



10



ENDOMETRIUM DAN DESIDUA M. Sulchan Sofoewan Tujwan Instrwksional Umum Memahami apa yang disebut endometrium, lapisanJapisannya, perubahan-perubaban yang terjadi selama siklus haid, siklus ooarium, hormon-hormon yang tnengontrol siklus haid, perubaban pada mukus serviks, dan perubaban-perubahan siklas hinnya.



Twjwan Instrwksional Khusus



1. Mendefinisikan apa yang disebut endometrium 2. Menjehskan perubahan-perubahan pada endometrium selama siklus haid 3. Menjehskan bormon-hormon yang mengontrol siklus baid 4. Menjelaskan apa yang disebut siklus oztariurn 5. Menjelaskan perubahan-perubaban mukus seruiks selama siblus haid. Endometrium Endometrium adalah lapisan epitel yang melapisi rongga rahim. Permukaannya terdiri aas selapis sel kolumnar yang bersilia dengan kelenjar sekresi mukosa rahim yang berbentuk invaginasi ke dalam stroma selular. Kelenjar dan stroma mengalami perubahan yang siklik, bergantian antara pengelupasan dan penumbuhan baru setiap sekitar 28 hari.



Ada dua lapisan; yaitu lapisan fungsional letaknya superfisial yang akan mengelupas seriap bulan dan lapisan basal ren-rpat lapisan fungsional berasal yang ddak ikut mengelupas, Epitel lapisan fungsional menun;'ukkan perubahan proliferasi yang aktif setelah periode haid sampai terjadi ovulasi, kemudian kelenjar endometrium mengalami fase



E,NDOMETRIUM DAN DESIDUA



t31



sekresi. Kerusakan yang permanen lapisan basal akan menyebabkan amenore. Kejadian



ini dipakai sebagai dasar teknik ablasi endometrium unruk pengobatan menorragi. Perubahan normai dalam histologi endometrium selama siklus haid ditandai dengan perubahan sekresi dari hormon steroid ovarium. Jika endometrium terus teqpapar oleh stimulasi estrogen, endogen, atau eksogen akan menyebabkan hiperplasi. Hiperplasi yang benigna bisa berubah menjadi maligna.



Aspek Evolusi Manusia merupakan salah satu spesies yang mempunyai siklus reproduksi bulanan, atau setiap 28 hari. Siklus haid terjadi sebagai akibat pertumbuhan dan pengelupasan lapisan endometrium uterus. Pada akhir fase haid endometrium menebal lagi atau fase proliferasi. Setelah orulasi pertumbuhan endometrium berhenti, kelenjar atau glandula menjadi lebih aktif atau fase sekresi. Perubahan endometrium dikontrol oleh siklus ovarium. Rata-rata siklus 28 hari dan terdiri atas: (1) fase folikular, (2) owlasi, dan (3) pascaowlasi atau fase luteal. Jika siklusnya memanjang, fase folikularnya memanjang, sedangkan fase lutealnya retap 14 hari. Siklus haid normal karena (1) adanya lrypotbahmus-pituitary-ovdrian endooine axis, (2) adanya respons folikel dalam ovarium, dan (3) fungsi uterusl.



Hormon yang Mengontrol Siklus Haid



folikel dan ovulasi dikontrol oleh lrypotbakmus-pituiury-oaarian axis. Hipotalamus mengontrol siklus, tetapi ia sendiri dapat dipengaruhi oleh senter yang lebih tinggi di otak, misalnya kecemasan dan stres dapat mempengaruhi siklus. Hipotalamus memacu kelenjar hipofisis dengan menyekresi gonadotropin-releasing bormone (GnRH) suatu deka-peptide yang disekresi secara pulsatil oleh hipotalamus. Pulsasi sekitar setiap 90 menit, menyekresi GnRH melalui pembuluh darah kecil di sistem portal kelenjar hipofisis ke hipofisis anterior, gonadotropin hipofisis memacu sintesis dan pelepasa n follicle-stimwlating hormon e (FSH) dan lwteinizing-bormone (LH) . Meskipun ada dua gonadotropin, ada satu releasing hormon untuk keduanya. FSH adaiah hormon glikoprotein yang memacu pematangan folikel selama fase folikular dari siklus. FSH juga membantu LH memacu sekresi hormon steroid, temtama estrogen oleh sel granulosa dari folikel matangl. LH juga termasuk glikoprotein. LH ikut dalam steroidogenesis dalam folikel dan berperan penting dalam or,rrlasi yang tergantung pada mid-cycle swrge dari LH. Produksi progesteron oleh korpus luteum juga dipengaruhi oleh LH. FSH dan LH, dan dua hormon glikoprotein lainnya yaiu tlryroid-stimuktingborwone (TSH) dan bwman cborionic gonadotropin (hCG), dibentuk oleh dua subunit protein, Pematangan



rantai alfa dan beta. Aktivitas siklik dalam ovarium atau siklus ovarium dipertahankan oleh mekanisme umpan balik yang bekerja antara ovarium, hipotalamus dan hipofisisl.



ENDOMETRIUM DAN DESIDUA



132



hipotalamus



ovanum



estrogen



0ro0eltero1



r



uterus



Gambar



10-1. Aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium-uterus



Siklus Ovarium Fase



folikwlar



Hari ke-l



- 8:



Pada awal siklus, kadar FSH dan



LH relatif tinggi dan memacu perkembangan



folikel dengan satu folikel dominan. Folikel'dominan tersebut tampak pada



10



-



20



fase mid-



follicwlar, sisa folikel mengalami atresia. Relatif tingginya kadar FSH dan LH merupakan triger turunnya estrogen dan progesteron pada akhir siklus. Selama dan segera setelah haid kadar estrogen relatif rendah tapi mulai meningkat karena terjadi perkembangan foiikel.



Hari ke-9



-



14:



Pada saat ukuran folikel meningkat lokalisasi akumulasi cairan tampak sekitar sei granulosa dan menjadi konfluen, memberikan peningkatan pengisian cairan di mang sentral



yang disebut antmm yang merupakan transformasi folikel primer menjadi sebuah Graafian folikel di mana oosit menempati posisi eksentrik, dikelilingi oleh 2 sampai 3 lapis sel granulosa yang disebut kumulus ooforus.



ENDOMETRIUM DAN DESIDUA



133



Perubahan hormon: hubungannya dengan pematangan folikel adalah ada kenaikan



yang progresif dalam produksi estrogen (terutama estradiol) oleh sel granulosa dari foiikel yang berkembang. Mencapai puncak 18 jam sebelum ovulasi. Karena kadar estrogen meningkat, pelepasan kedua gonadotropin ditekan (umpan balik negatif) yang berguna untuk mencegah hiperstimulasi dari ovarium dan pematangan banyak folikel. Sel granulosa juga menghasilkan inhibin dan mempunyai implikasi sebagai faktor dalam mencegah jumlah folikel yang matangl.



Gambar 1O-2. Folikel antral dini dan folikel antral lanjut



t34



ENDOMETRIUM DAN DESIDUA



Oowlasi



Hari ke-14 Ovulasi adalah pembesaran folikel secara cepat yang diikuti dengan protrusi dari permukaan korteks ovarium dan pecahnya folikel dengan ekstrusinya oosit yang ditempeli oleh kumulus ooforus. Pada beberapa perempuan saat ovulasi dapat dirasakan dengan adanya nyeri di fosa iliaka. Pemeriksaan USG menunjukkan adanya rasa sakit yang terjadi sebelum folikel pecah. Perubahan hormon: estrogen meningkatkan sekresi LH (melalui hipotalamus) mengakibatkan meningkatnya produksi androgen dan estrogen (umpan balik positif). Segera sebelum ovulasi terjadi penurunan kadar estradiol yang cepat dan peningkatan produksi progesteron. Orulasi terjadi dalam 8 jam dari mid-qtcle surge LH1'2'3. Fase



Luteal



Hari ke-15 - 28 Sisa folikel tertahan dalam ovarium dipenitrasi oleh kapilar dan fibroblas dari teka. Sel granulosa mengalami luteinisasi menjadi korpus luteum. Korpus luteum merupakan sumber utama hormon steroid seks, estrogen dan progesteron disekresi oleh ovarium pada fase pasca-owlasi.



Korpus luteum meningkatkan produksi progesteron dan estradiol. Kedua hormon tersebut diproduksi dari prekursor yang sama. Selama fase luteal kadar gonadotropin mencapai nadir dan tetap rendah sampai terjadi regresi korpus luteum yang terjadi pada hari ke-26 - 28. Jika terjadi konsepsi dan implantasi, korpus luteum tidak mengalami regresi karena dipertahankan oleh gonadotrofin yang dihasilkan oleh trofoblas. Jika konsepsi dan implantasi tidak terjadi korpus luteum akan mengalami regresi dan terjadilah haid. Setelah kadar hormon steroid turun akan diikuti peningkatan kadar gonadotropin untuk inisiasi siklus berikutnyal. Siklus Uterus Dengan diproduksinya hormon steroid oleh ovarium secara siklik akan menginduksi perubahan penting pada uterus, yang melibatkan endometrium dan mukosa serviks. Endometrium Endometrium terdiri atas 2 lapis, yaitu lapisan superfisial yang akan mengelupas saat haid dan lapisan basal yang tidak ikut dalam proses haid, tetapi ikut dalam proses regenerasi lapisan superfisial untuk siklus berikutnya. Batas antara 2 lapis tersebut ditandai dengan perubahan dalam karakteristik arteriola yang memasok endometrium. Basal endometrium kuat, tapi karena pengaruh hormon menjadi berkeluk dan memberikan kesempatan a. spiralis berkembang. Susunan anatomi tersebut sangar penting dalam fisiologi pengelupasan lapisan superfisial endometrium.



ENDOMETRIUM DAN DESIDUA



Gambar



10-3.



135



Sintesis hormon steroid



Fase Proliferasi Selama fase folikular di ovarium, endometrium di bawah pengaruh estrogen. Pada akhir haid proses regenerasi berjalan dengan cepat. Saat ini disebut fase proliferasi, kelenjar tubular yang tersusun rapi sejajar dengan sedikit sekresi.



Fase Sekretoris



Setelah owlasi, produksi progesteron menginduksi perubahan sekresi endometrium. Tampak sekretori dari vakuole dalam epitel kelenjar di bawah nukleus, sekresi maternal ke dalam lumen kelenjar dan menjadi berkelok-kelokl.



Gambar



10-4. Endometrium fase proliferasi (A) Endometrium



fase sekresi (B)



ENDOMETRITIA,{



1,36



Fase



DAN DESIDUA



Haid



Normal



fase luteal berlangsung selama 14 hari. Pada akhir fase ini terjadi regresi korpus Iuteum yangada hubungannya dengan menurunnya produksi esrrogen dan progesteron ovarium. Penurunan ini diikuti oleh kontraksi spasmodik yang intens dari bagian arteri spiralis kemudian endometrium menjadi iskemik dan nekrosis, terjadi pengelupasan lapisan superfisial endometrium dan terjadilah perdarahan. Vasospasmus terjadi karena adanya produksi lokal prostaglandin. Prostaglandin juga meningkatkan kontraksi uterus bersamaan dengan aliran darah haid yang tidak membeku karena adanya aktivitas fibrinolitik lokal dalam pembuluh darah endometrium



yang mencapai puncaknya saat haid.



Mwkws Seruiks Pada perempuan ada kontinuitas yang langsungantara alat genital bagian bawah dengan kal,um peritonei. Kontinuitas ini sangat penting untuk akses spermatozoon menuju ke ovum, fertilisasi terjadi dalam tuba falopii. Ada risiko infeksi yang asendens, tetapi secara alami risiko tersebut dicegah dengan adanya mukus serviks sebagai barier yang permeabilitasnya bervariasi selama siklus haid. 1.



2.



Awal fase folikular mukus serviks viskus dan impermeabel. Akhir fase folikular kadar estrogen meningkat memacu perubahan dan komposisi mukus, kadar airnya meningkat secara progresif, sebelum ol,ulasi terjadi mukus serviks banyak mengandung air dan mudah dipenetrasi oleh spermatozoon. Per-



ubahan ini dikenal dengan istilah " spinnbarklteit". 3. Setelah orulasi progesteron diproduksi oleh koqpus'luteum yang efeknya berlawanan dengan estrogen, dan mukus serviks menjadi impermeabel lagi, orifisium uteri eksternum kontraksi.



ini dapat dimonitor oleh perempuan sendiri jika ingin terjadi konsepsi atau dia ingin menggunakan "rbthm method" kontrasepsi. Dalam klinik perubahan ini dapat dimonitor dengan memeriksa mukus serviks di bawah mikroskop Perubahan-perubahan



tampak gambaran seperti daun pakis ata,a fem-lihe pattern yang paralel dengan kadar estrogen sirkulasi, maksimum pada saat sebelum olulasi, setelah itu perlahan-lahan hilangl.



Perubahan-perubahan Siklik Lain Meskipun tujuan perubahan siklik pada hormon ovarium belpengaruh pada alat genital, hormon tersebut ikut sirkulasi ke seluruh tubuh dan beryengaruh pada organ-organ lain.



ENDOMETRIUM DAN DESIDUA



137



Hormon hipoflsis



Hormon ovarium



Aktivitas ovarium Pe&mbuhd lofkel



Mukus



serviks



Endometrium ,:-



'



i-



r.i..l



Korp6 luteut



Agak tebal



'



..



i.r- 'i- :' i: .--i..":' .",



.



Fase proliferasi



Fase seketods



r8



1e 20 21 22 2x 24 25 ?8



2t



28



skrus r'aia'ln'lriJ7



Gambar



10-5.



Perubahan hormon, siklus ovarium dan siklus endometrium



Swbw Badan Basal



Kenaikan suhu badan basal sekitar 1 derajat F atau 0,5 dera;'at C terjadi pada saar ovulasi dan terus bertahan sampai terjadi haid. Hal ini disebabkan oleh efek rermogenik progesteron pada tingkat hipotalamus. Bila terjadi konsepsi kenaikan suhu badan basal akan dipertahankan selama kehamilan. Efek yang sama jika diinduksi dengan pemberian progestogen.



Perwbahan pada Mama



Kelenjar mama manusia sangat sensirif terhadap pengaruh esrrogen dan progesteron. Pembesaran mama merupakan tanda pertama puberras, merupakan respons peningkaran estrogen ovarium. Estrogen dan progesteron berefek sinergis pada mama selama siklus pembesaran mama pada fase luteal sebagai respons kenaikan progesteron. Pembesaran mama disebabkan oleh perubahan vaskular, bukan karena perubahan kelenjar.



ENDOMETRIUM DAN DESIDUA



138



Efek Psikologi Pada beberapa perempuan ada perubahan rnood selama siklus haid, pada fase luteal akhir ada peningkatan labilitas emosi. Perubahan ini langsung karena penunrnan progesteron.



Meskipun demikian, perubahan mood idak sinkron dengan fluktuasi hormonl.



Beberapa



1.



2. 3.



Hal Penting



Pada saat permulaan siklus, kadar FSH dan LH relatif tinggi dan merangsang perkembangan 10 - 20 folikel. Sebuah folikel dominan yang masak memproduksi estrogen, sisanya mengalami atresia. Pada saat kadar estrogen naik, terjadi penekanan pelepasan kedua gonadotropin (umpan balik negatif) sehingga mencegah teriadinya hiperstimulasi ovarium dan pemasakan banyak folikel. Estradiol praovulasi yang tinggi memacu umpan balik positif mid-qtcle surge LH dan FSH yang dalam gilirannya memacu omlasi. Sisa folikel matang membentuk korpus luteum sumber utama progesteron. Jika konsepsi dan implantasi terjadi, korpus iuteum dipertahankan oleh gonadotropin yang dihasilkan oleh trofoblas. Jika konsepsi dan implantasi tidak terjadi, koqpus luteum mengalami regresi, kadar hormon steroid turun, kadar gonadotropin naik dan terjadi haid1.



RUIUKAN 1. Dr.ife J, Magowan B. The normal menstrual cycle. Dalam: Clinical Obstetrics and Gynecology. 1" ed. Saunders. 2004: 121-6 2. Johnson MH, Everit BJ. Adult ovarian function. Dalam: Essential reproduction. 5th ed. Blackwell science.200O: 69-87 3. Despopoulos A. Oogenesis and the menstrual cycle. Dalam: Color atlas of physiology. 5th ed. Thieme Stutgart-New York. 2005: 298-302



11



PEMBUAHAN, NIDASI, DAN PLASENTASI Trijatmo Rachimhadhi



Tujwan Instrwksional Umum Memabami proses pembwahan, nidasi, dan plasentasi



Twjuan Instruksional Kbusws



1. Menjekskan spermatogenesis dan oogenesis 2. Menjelaskan fertilisasi 3. Menjelaskan nidasi 4. Menjelaskan plasentasi Untuk terjadi kehamilan harus ada spermatozoa, olnm, pembuahan or,um (konsepsi), dan nidasi (implantasi) hasil konsepsi. Setiap spermatozoa terdiri atas tiga bagian yaitu kaput atau kepala yang berbentuk lonjong agak gepeng dan mengandung bahan nukleus, ekor, dan bagian yang silindrik (leher) menghubungkan kepala dengan ekor. Dengan getaran ekornya spermatozoa dapat bergerak cepat. Dalam pertumbuhan embrional spermarogonium berasal dari sel-sel primitif tubulustubulus testis. Setelah janin dilahirkan, jumlah spermatogonium yang ada tidak mengalami perubahan sampai masa pubenas tiba. Pada masa pubertas sel-sel spermatogonium tersebut dalam pengaruh sel-sel interstisial Leydig rnulai aktif mengadakan mitosis, dan terjadilah proses spermatogenesis yang sangat kompleks. Setiap sPermatogonium membelah dua dan menghasilkan spermatosit primer. Spermatosit primer ini membelah dua dan menjadi dua spermatosit sekunder; kemudian spermatosit sekunder membelah dua lagi dengan hasil dua spermatid yang masing-masing memiliki jumlah



140



PEMBUAHAN, NIDASI, DAN PI.A,SENTAS]



kromosom setengah dari jumlah yang khas untuk jenis itu. Dari spermatid ini kemudian tumbuh spermatozoal,2. Pertumbuhan embrional oogonium yang kelak menjadi ovum terjadi di genial ridge janin, dan di dalam janin jumlah oogoniurn bertambah terus sampai pada usia kehamilan enam bulan. Pada waktu dilahirkan, bayi mempunyai sekurang-kur^ngnya 75O.O0O oogonium. Jumlah ini berkurang akibat pertumbuhan dan degenerasi folikel-folikel. Pada anak berumur 6 - 15 mhun ditemukan 439.000 oogonium dan pada umur 16 - 25 tahun hanya 34.000 oogonium. Pada masa menopause semua oogonium menghilangl,2. Sebelum janin dilahirkan, sebagian besar oogonium mengalami perubahan-perubahan pada nukleusnya. Terjadi pula migrasi dari oogonium ke arah korteks ovarium sehingga pada waktu dilahirkan korteks ovarium terisi dengan folikel ovarium primordial. Padanya dapat dilihat bahwa kromosomnya telah berpasangan, DNA-nya berduplikasi, yang berarti bahwa sel menjadi tetraploid. Pertumbuhan selanjutnya terhenti oleh sebab yang belum diketahui sampai folikel itu terangsang dan berkembang- lagi ke arah kematangan. Sel yang -terhenti dalam profase meiosis dinamakan oosit primer. Oleh rangsangan FSH meiosis berlangsung tems. Benda kutub (pokr body) pertama disisihkan dengan hanya sedikit sitoplasma, sedangkan oosit sekunder ini berada di dalam sitoplasma yang cukup banyak. Proses pembelahan ini terjadi sebelum orulasi. Proses ini disebut pematangan pertama ovum; pemarangan kedua ovum terjadi pada waktu spermatozoa membuahi ol,uml,2.



Pembuahan



Orum yang dilepas oleh ovarium disapu oleh mikrofilamen-mikrofilamen fimbria infundibulum tuba ke arah ostium tuba abdominaiis, dan disalurkan terus ke arah medial. Orum ini mempunyai diameter 100 p (0,1 mm). Di tengah-tengahnya dijumpai nukleus yang berada dalam metafase pada pembelahan pemarangan kedua, rerapung-apung dalam sitoplasma yang kekuning-kuningan yakni vitelus. Vitelus ini mengandung banyak zat karbohidrat dan asam amino. Ovum dilingkari oleh zona pelusida. Di luar zona pelusida ini ditemukan sel-sel korona radiata, dan di dalamnya terdapat ruang perivitelina, tempat benda-benda kutub. Bahan-bahan dari sel-sel korona radiata dapat disalurkan ke on:m melalui saluransaluran halus di zona pelusida. Jumlah sel-sei koronaradiata di dalam perl'alanan orum di ampula tuba makin berkurang, sehingga owm hanya dilingkari oleh zona pelusida pada waktu berada dekat pada perbatasan ampula dan ismus tuba, rempat pembuahan



umumnya terjadi. Jutaan spermatozoa ditumpahkan di forniks vagina dan di sekitar porsio pada waktu koitus. Hanya beberapa ratus ribu spermatozoa dapat terus ke kal'um uteri dan tuba, dan hanya beberapa ratus dapat sampai ke bagian ampula tuba di mana spermarozoa dapat memasuki ovum yang telah siap untuk dibuahi. Hanya saru spermarozoalrang mempunyai kemampuan (kapasitasi) untuk membuahi. Pada spermatozoa ditemukan peningkatan konsentrasi DNA di nukleusnya, dan kaputnya lebih mudah menembus dinding ovum oleh karena diduga dapat melepaskan hialuronidase3'4'5,5.



PEMBUAFIAN, NIDASI, DAN PIASENTASI



141



Fertilisasi (pembuahan) adalah penyatuan ovum (oosit sekunder) dan spermarozoa yang biasanya berlangsung di ampula tuba. Fertilisasi meliputi penetrasi spermarozoa ke dalam orum, fusi spermatozoa dan ovum, diakhiri dengan fusi materi genetik. Harrya satu spermaf ozoayang telah mengalami proses kapasitasi mampu melakukan penetrasi membran sel ol'um. Untuk mencapai ovum, spermatozoa harus melewati korona radiata (lapisan sel di luar ovum) dan zona pelusida (suatu bentuk glikoprotein ekstraselular), yaitu dua lapisan yang menutupi dan mencegah ovum mengalami fertilisasi lebih dari satu spermatozoa. Suatu molekul komplemen khusus di permukaan kepala spermatozoa kemudian mengikat ZP3 glikoprotein di zona pelusida. Pengikatan ini memicu akrosom melepaskan enzim yang membantu spermarozoa menembus zona pelusidaT. Pada saat spermatozoa menembus zona pelusida terjadi reaksi korteks ol,um. Granula korteks di dalam or.um (oosit sekunder) berfusi dengan membran plasma sel, sehingga enzim di dalam granula-granula dikeluarkan secara eksositosis ke zona peIusida. Hal ini menyebabkan glikoprotein di zona pelusida berkaitan satu sama lain membentuk suatu materi yang keras dan tidak dapat ditembus oleh spermatozoa.



ini mencegah ovum dibuahi lebih dari satu spermaT. Spermatozoa yang telah masuk ke vitelus kehilangan membran nukleusnya; yang tinggal hanya pronukleusnya, sedangkan ekor spermatozoa dan mitokondrianya berdegenerasi. Itulah sebabnya seluruh mitokondria pada manusia berasal dari ibu (maternal). Masuknya spermatozoa ke dalam vitelus membangkitkan nukleus ovum yang masih dalam metafase untuk proses pembelahan selanjutnya (pembelahan meiosis kedua). Sesudah anafase kemudian timbul telofase, dan benda kuttb (pokr body) kedua menuju ke ruang perivitelina. Ollm sekarang hanya mempunyai pronukleus yang haploid. Pronukleus spermatozoa juga telah mengandung jumlah kromosom yang Proses



haploid. Kedua pronukleus dekat mendekati dan bersatu membentuk zigot yang terdiri atas bahan genetik dari perempuan dan laki-laki. Pada manusia terdapat 46 kromosom, ialah 44 kromosom otosom dan 2 kromosom kelamin; pada seorang laki-laki satu X dan satu Y. Sesudah pembelahan kematangan, maka olum matang mempunyai 22 kromosom otosom serta 1 kromosom X, dan suatu spermatozoa mempunyai 22 kromosom otosom



serta 1 kromosom X atau 22 kromosom otosom sena 1 kromosom Y.Zigot sebagai hasil pembuahan yang memiliki 44 kromosom otosom serta 2 kromosom X akan umbuh sebagai janin perempuan, sedang yang memiliki 44 kromosom otosom serta 1 kromosom X dan 1 kromosom Y akan tumbuh sebagai janin laki-laki1'2.



Dalam beberapa jam setelah pembuahan terjadi, mulailah pembelahan zigot. Hal ini dapat berlangsung oleh karena sitoplasma olrrm mengandung banyak zat asam amino dan enzim. Segera setelah pembelahan ini terjadi, pembelahan-pembelahan selanjutnya berjalan dengan lancar, dan dalam 3 hari terbentuk suatu kelompok sel yang sama besarnya. Hasil konsepsi berada dalam stadium morula. Energi untuk pembelahan ini diperoleh dari vitelus, hingga volume vitelus makin berkurang dan terisi seluruhnya oleh morula. Dengan demikian, zona pelusida rc:ap uruh, atau dengan perkataan lain, besarnya hasil konsepsi tetap sama. Dalam ukuran yang sama ini hasil konsepsi disalur-



PEMBUAHAN, NIDASI, DAN PLASENTASI



t42



kan terus ke pars ismika dan pars interstisialis tuba (bagian-bagian tuba yang sempit) dan terus disalurkan ke arah kavum uteri oleh arus serta getaran silia pada permukaan sel-sel tuba dan kontraksi tuba.



Gambar 11-1. Pembuahan ovum



(A, B, C, dan D) onrm dengan korona radiata; (E) ovum dimasuki spermatozoa; (F dan G) pembentukan bendj kutub II dan akan bersatunya kedua pronukleus yang haploid untuk menjadi zigot



lapisan vitelina reseptor protein



membran plasma ovum SITOPLASMA OVUM



kepala sperma materi mitokondria



\&$ U\* r-q \'



Nt: s--granula



korteks



eb



N.s*



reaksi akrosom''n



zona pelusida



fusi membran plasma



Gambar



11-2. Diagram



reaksi akrosom (Dikutip dari Ensiklopedi wikipedia, 2008)



PEMBUAHAN, NIDASI, DAN PLASENTASI



143



Nidasi Selanjutnya pada hari keempat hasil konsepsi mencapai stadium blastula disebut blastokista (blastoqst), suatu bentuk yang di bagian luarnya adalah trofoblas dan di bagian dalamnya disebut massa inner cell. Massa inner cell ini berkembang menjadi janin dan trofoblas akan berkembang menjadi plasenta. Dengan demikian, blastokista diselubungi oleh suatu simpai yang disebut trofoblas. Trofoblas ini sangat kritis untuk keberhasilan kehamilan terkait dengan keberhasilan nidasi (implantasi), produksi hormon kehamilan, proteksi imunitas bagi janin, peningkatan aliran darah maternal ke dalam plasenta, dan kelairiran bayi. Sejak trofoblas terbentuk, produksi hormon human chorionic gonadotropin (hCG) dimulai, suatu hormon yang memastikan bahwa endometrium akan menerirna (reseptif) dalam proses implantasi en-rbrio.



o@@@ PEMBUAHAN Gambar



ZIGOT



11-3.



MORULA



Pembelahan sel mulai dari hasil konsepsi sampai stadium morula



Trofoblas yang mempunyai kemampuan menghancurkan dan mencairkan .iaringan menemukan endometrium dalam masa sekresi, dengan sel-sel desidua. Sel-sel desidua ini besar-besar dan mengandung lebih banyak glikogen serta mudah dihancurkan oleh trofoblas. Nidasi diatur oleh suatu proses yang kompleks antara trofoblas dan endometrium. Di satu sisi trofoblas mempunyai kemampuan invasif yang kuat, di sisi lain endometrium mengontrol invasi trofoblas dengan menyekresikan faktor-faktor yang aktif setempat (lokal) yaitu inhibitor cytohines dan protease. Keberhasilan nidasi dan plasentasi yang normal adalah hasil keseimbangan proses antara trofoblas dan endometriums. Dalam perkembangan diferensiasi trofoblas, sitotrofoblas yang belum berdiferensiasi dapat berkembang dan berdiferensiasi menjadi 3 jenis, yaitu (1) sinsisiotrofoblas yang aktif menghasilkan hormon, (2) trofoblas jangkar ekstravili yang akan menempel pada endometrium, dan (3) trofoblas yang invasif8.



Invasi trofoblas diatur oleh pengaturan kadar hCG. Sinsisiotrofoblas menghasilkan



hCG yang akan mengubah sitotrofoblas menyekresikan hormon yang noninvasif. Trofobias yang semakin dekat dengan endometrium menghasilkan kadar hCG yang semakin rendah, dan membuat trofoblas berdiferensiasi dalam sel-sel jangkar yang menghasilkan protein perekat plasenta yaitu tropbouteronectin. Trofoblas-trofoblas



144



PEMBUAI-IAN, NIDASI, DAN PT-A,SENTASI



invasif lain yang lepas dan bermigrasi ke dalam endometrium dan miometrium akan menghasilkan protease dan inhibitor protease yang diduga memfasilitasi proses invasi ke dalam jaringan maternale. Kelainan dalam optimalisasi aktivitas trofoblas dalam proses nidasi akan berlanjut dengan berbagai penyakit dalam kehamilan. Apabila invasi trofoblas ke arteri spiralis maternal lemah atau tidak terjadi, maka arus darah uteroplasenta rendah dan menimbulkan sindrom preeklampsia. Kondisi ini juga akan menginduksi plasenta menyekresikan substansi vasoaktif yang memicu hipertensi maternal. Kenaikan tekanan darah sehingga terjadi infark plasenta. Sebaliknya, invasi trofoblas yang tidak terkontrol akan menimbulkan penyakit trofoblas gestasional seperti mola hidatidosa dan koriokarsinomal0.



ibu dapat merusak arteri spiralis dan tersumbat,



Dalam tingkat nidasi, trofoblas antara lain menghasilkan hormon human chorionic gonadotropin Produksi human cborionic gonadotropin meningkat sampai kurang lebih hari ke-60 kehamilan untuk kemudian turun lagi. Diduga bahwa fungsinya ialah mempengaruhi korpus luteum untuk tumbuh terus, dan menghasilkan terus progesteron, sampai plasenta dapat membuat cukup progesteron sendiri. Hormon korionik gonadotropin inilah yang khas untr.fk menentukan ada tidaknya kehamilan. Hormon tersebut dapat ditemukan di dalam air kemih ibu hamil. Blastokista dengan bagian yang mengandung massa inner-cell aktif mudah masuk ke dalam lapisan desidua, dan luka pada desidua kemudian menutup kembali. Kadangkadang pada saat nidasi yakni masuknya orum ke dalam endometrium terjadi perdarahan pada luka desidua (tanda Hartman). Pada umumnya blastokista masuk di endometrium dengan bagian di mana massa inner-cell berlokasi. Dikemukakan bahwa hal inilah yang menyebabkan tali pusat berpangkal sentral atau parasentral. Bila sebaliknya dengan bagian lain blastokista memasuki



B



Gambar 11-4. Masa tumbuhnya mudigah (embrio) (A) blastokista dengan massa inner-cell (B dan C) blastokista dalam tingkat lebih jauh



PEMBUAHAN, NIDASI, DAN PLASENTASI



145



endometrium, maka terdapatlah tali pusat dengan insersio velamentosa. IJmumnya nidasi terjadi di dinding depan atau belakang uterus, dekat pada fundus uteri. Jika nidasi ini terjadi, barulah dapat disebut adanya kehamilan. Setelah nidasi berhasil, selanjutnya hasil konsepsi akan bertumbuh dan berkembang di dalam endometrium. Embrio ini selalu terpisahkan dari darah dan jaringan ibu oleh suatu lapisan sitotrofoblas (mononuclear trophobkst) di sisi bagian dalam dan sinsisiotrofoblas (mwltinuclear trophoblast) di sisi bagian luar. Kondisi ini kritis tidak hanya untuk pertukaran nutrisi, tetapi juga untuk melindungi.janin yang bertumbuh dan berkembang dari serangan imunologik maternals. Bila nidasi telah terjadi, mulailah diferensiasi sel-sel blastokista. Sel-sel yang lebih kecil, yang dekat pada ruang eksoselom, membentuk entoderm dan yolk sac, sedangkan sel-sel yang lebih besar menjadi ektoderm dan membentuk ruang amnion. Dengan ini di dalam blastokista terdapat suatu embr),onal pkte yang dibentuk antara dua mangan, yakni ruang amnion danyolk. sacl'2. Pertumbuhan embrio terjadi dari embryonal pkte yang selanjutnya terdiri atas tiga unsur lapisan, yakni sel-sel ektoderm, mesoderm, dan entoderm. Sementara itu, ruang amnion tumbuh dengan cepat dan mendesak eksoselom; akhirnya dinding mang amnion mendekati korion. Mesoblas antara ruang amnion dan embrio menjadi padat, dinamakan body stalk, dan merupakan hubungan antara embrio dan dinding trofoblas. Body stalh, menjadi tali pusat. Yolk. sac dan alantois pada manusia tidak tumbuh terus, dan sisa-sisanya dapat ditemukan dalam tali pusatl,2. Dalam tali pusat sendiri yang berasal dari body sulh, rcrdapat pembuluh-pembuluh darah sehingga ada yang menamakannya aascular salb. Dari perkembangan mang amnion dapat dilihat bahwa bagian luar tali pusat berasal dari lapisan amnion. Di dalamnya terdapat jaringan lembek, selei \flharton, yang berfungsi melindungi 2 arteria umbilikalis dan 1 vena umbilikalis yang berada di dalam tali pusat. Kedua arteri dan satu vena tersebut menghubungkan satu sistem kardiovaskular janin dengan plasentall. Sistem kardiovaskular janin dibentuk pada kira-kira minggu ke-10. Organogenesis diperkirakan selesai pada minggu ke-12, dan disusul oleh massa fetal dan perinatal. Ciri-ciri tersebut di atas perlu diketahui jika pada abortus ingin diketahui tuanya kehamilanl2.



Plasentasi Plasentasi adalah proses pembentukan struktur dan jenis plasenta. Setelah nidasi embrio ke dalam endometrium, plasentasi dimulai. Pada manusia plasentasi berlangsung sampai 1.2 - 1,8 minggu setelah fertilisasi. Dalam 2 minggu pertama perkembangan hasil konsepsi, trofoblas invasif telah melakukan penetrasi ke pembuluh darah endometrium. Terbentuklah sinus intertrofoblastik yaitu ruangan-nrangan yang berisi darah maternal dari pembuluh-pembuluh darah yang dihancurkan. Pertumbuhan ini berjalan terus, sehingga timbul ruanganruangan interviler di mana vili korialis seolah-olah terapung-apung di antara ruangan-



ruangan tersebut sampai terbentuknya plasen1x13,14,ts. Tiga minggu pascafertilisasi sirkulasi darah janin dini dapat diidentifikasi dan dimulai pembentukan vili korialis. Sirkulasi darah janin ini berakhir di iengkung kapilar



PEMBUAHAN, NIDASI, DAN PIASENTASI



146



ruang amnlon



ektoderm entoderm



Gambar



11-5. Hasil



konsepsi di tengah-tengah endometrium. Sudah muiai dibentuk



ernbryonal plate, ruang amnion,



dan



yolh sac. Pada trofoblas mulai tampak vili korialis



(capillary loops) di dalam vili korialis yang ruang intervilinya dipenuhi dengan darah ,rri.rri yang dipasok oleh arteri spiralis dan dikeluarkan melalui vena uterina. Vili korialis ini akan bertumbuh menjadi suatu massa jaringan yaitu plasenta. Lapisan desidua yang meliputi hasil konsepsi ke arah kar,um uteri disebut desidua kapsularis; yang terletak antari hasil konsepsi dan dinding uterus disebut desidua basalis; di situ pl"senra akan dibentuk. Desidua yang meliputi dinding uterus yang lain_ adalah desidua parietalis. Hasil konsepsi sendiri diselubungi oleh jonjot-joniot yang dinama.kan vili iorialis dan berpangkal pada korion. Sel-sel fibrolas mesodermal tumbuh di sekitar embrio dan melapisi pula iebelah dalam trofoblas. Dengan demikian, terbentuk chorionic membrane y"ng k.lrk rnenjadi korion. Selain itu, vili korialis yang berhubungan dengan desidua basalis tumbuh dan bercabang-cabang dengan baik, di sini korion disebuikorion frondosum. Yang berhubungan dengan desidua kapsularis kurang mendapat makanan, karena hasil konsepsi bertumbuh ke arah kavum uteri sehingga lambat-laun menghilang; korion yang gundul ini disebut korion laevell. Darah ibu dan darah janin dipisahkan oleh dinding pembuluh darah janin dan lapisan korion. Plasenta yang demikian dinamakan plasenta jenis hemokorial. Di sini jelas tidak ada percampu.a.t d.rrh antara darah janin dan darah ibu1a. Ada juga sel-sel desidua yrng ,idrk dapat dihancurkan oleh trofoblas dan sel-sel ini akhirnya membentuk i*pi.a" fibrinoid yang disebut lapisan Nitabuch. Ketika proses melahirkan, plasenta terlepas dari endometrium pada lapisan Nitabuch ini11.



PEMBUAHAN, NIDASI, DAN PLASENTASI



147



RUTUKAN \Williams



and Wilkins VJ, Boyd JD, Mosslnan H\W. Hunran Embryology, Baltimore: The Co, 1952 2. Patten BM. Human Embryology, 2nd Ed, Blackiston Co Inc, New York. 1953 3. Harvey C. An experimental study of the penetration of human seruical mucus by spermatozoa. J Obstet 1. Hamilton



Gynaec Brit Emp, 1954;41: 480 4. Sobrero A, Macleod J. The immediate post-coital test. Fertil Steril, 1962; 13: 184 5. Bickers \W. Sperm migration and uterine contractions. Fertil Steril, 1960; 11: 286 6. Harman CG. How do sperms get into the uterus? Fertil Steril, 1957;8: 4a3 7. Moore KL, Persaud TVN. The developing human, 7'h Ed, \(B Saunders Cornpany, Philadelphia, 2003 8. Kliman H. Trophoblast infiltration. Reproductive Medicine Review, 1994; 3:137-57 9. Feinberg RF, Kliman HJ, Lockwood C. Oncofetal fibronectin: A trophoblast "glue" for l.ruman in.rplantation? Amer J Path, 1991; 138: 537-43 10. Feinberg RF, Kliman HJ, Cohen AlW. Preeclarnpsia, trisomy 13, and the placental bed. Obstet Gynec, 1991;78:505-8 11. Novak ER, Woodruff JD. Novak's Gynecologic and Obstetric Pathology, 6th Ed, \fB Saunders Company, Philadelphia, 1967 12. JirasekJE. Prenatal Development: Growth and Differentiation. In SciarralJ et all. Gyn Obst. 1986; (2) 14. Happers Ec Row Publishers Philadelphia 13. Ramsey EM. Circulation in the intervillous space of the prirnate placenta. Am J Obstet Gynecol, 1962r 84: 1164 14. Ramsey EM, Corner GW Jr, Donner MW. Serial and cineradioangiographic visualizatior.r of maternal circulation in the primate (hemochorial) placenta. Am J Obstet Gynecol, 1963; 83: 213 15. Reynolds SRM, Freese UE, Bieniarz J,-'Caldeyro-Barcia R, Mendez-Bauer C, Escarcena L. Multiple simultaneous intervillous space pressures recorded in several regions of the her.r.rochorial placenta in relation to functional anatomy of the fetal cotyledon. Am J Obstet Gynecol, 1968; 102: 1 128



12



PLASENTA DAN CAIRAN AMNION Gulardi H. lViknjosastro Tujwan Instrwksional Umwm Menjelaskan perleembangan plasena, transfer zat, fwngsi plasena, dan fwngsi cairan amnion.



Twj uan Instruksional Kbusus



hsenu.



1.



M enyebutkan abapan



2.



Menyebutkan struktwr desidua oera, ?Lasenta., korion frondosum, oili korialis. Menjelaskan mekanisme transfer zat (glukosa, oksigen) pada plasenta. Menjelaskan perbedaan hemctglobin janin dan deaasa dalam mengikat olesigen. Menjelas/ean pembentukan cairan amnion dan risiko pada oligobidramnion dan polihidramnion.



3. 4. 5



p erleembangan p



Setelah nidasi, trofoblas terdiri atas 2 lapis, yaitu bagian dalam disebut sitotrofoblas dan



bagian luar disebut sinsisiotrofoblas. Endometrium atau sel desidua di mana terjadi nidasi menjadi pucat dan besar disebut sebagai reaksi desidua. Sebagian lapisan desidua mengalami fagositosis oleh sel trofoblas. Reaksi desidua agaknya merupakan proses untuk menghambat invasi, tetapi berfungsi sebagai sumber pasokan makananl. Sebagian sel trofoblas terus menembus bagian dalam lapisan endometrium mendekati lapisan basal endometrium di mana terdapat pembuluh spiralis, kemudian terbentuk lakuna yang berisi plasma ibu. Proses pelebaran darah arteri spiralis sangat penting sebagai bentuk fisiologik yaitu model mangkuk. Hai ini dimungkinkan karena penipisan lapisan endotel arteri akibat invasi trofoblas yang menumpuk lapisan fibrin di sana. Proses invasi trofoblas tahap kedua mencapai bagian miometrium arteri spiralis terjadi pada kehamilan 14 - 15 minggu dan saat ini perkembangan plasenta telah lengkap. Apabila model mangkuk tersebut kurang sempurna, akan timbul kekurangan pasokan



PLASENTA DAN CAIRAN AMNION



1,49



!)ti\i , '7'1'r1-slzrfuq; b: d7-8



t



l A



el d: d12-15



c: d8-9



e: d15-21



f: d1B-term



12-1. Trofoblas yang akan menjadi piasenta melakukan invasi ke arah desidua. Pada perkembangan selanjutnya akan terbentuk semacam akar dan lakuna



Gambar



darah ibu yang berakibat iskemia plasenta dan terjadi preekiampsia. Lakuna yang kemudian terbentuk akan menjadi ruang intervili. Sel trofoblas awal kehamilan disebut sebagai vili primer, kemudian akan berkembang menjadi sekunder dan tersier pada trimester akhir.



9-13hari_13-21 hari+ pa,tang vili primer primitit I



tunas vili



sinsisiotrofoflas



..r



primitif



kulitr.trofoblas



desidua sinslsio luar



Gambar 72-2. Perkembangan dari lakuna menjadi ruang intervili plasenta. Bagian luar adalah lapisan sel sinsisiotrofoblas dan bagian dalam adalah sitotrofoblas Bagian dasar sel trofoblas (Gambar 1.2-5) akan menebal yang disebut korion frondosum dan berkembang menjadi plasenta. Sementara itu, bagian luar yang menghadap ke kavum uteri disebut korion laeoe yang diliputi oleh desidua kapsularis. Desidua yang menjadi tempat implantasi plasenta disebut desidua basalis.



PLASENTA DAN CAIRAN AMNION



150



batang vili utama ---:-{) sirkulasi fetal dalam batano vrlr



vena desidua septum --l* arteri desidua



plasenta



Gambar 12-3. Potongan plasenta yang telah lengkap, perhatikan semburan-sirkulasi darah ibu, yang terpisah dari vili (hemokorialis)



tali pusat



allantois body stalk



yolk sac ruang amnion



Gambar 1.2-4. Embrio dengan body stalk (A) amnion belum mendekati korion (B) amnion sudah mendekati korion



PI-A,SENTA



DAN CAIRAN AMNION



desidua vera



151



kavum uteri



yolk sac korion frodosum amnion



desidua basalis korion laeve



Gambar



12-5. Embrio



berusia seputar 6 minggu



Pada usia kehamilan 8 minggu (6 minggu dari nidasi) zigot telah melakukan invasi terhadap 40 - 60 arteri spiralis di daerah desidua basalis. Vili sekunder akan mengapung di kolam darah ibu, di tempat sebagian vili melekatkan diri melalui integrin kepada desidua.



Struktur Plasenta



Vili akan berkembang seperti akar pohon di mana di bagian tengah akan mengandung pembuluh darah janin. Pokok vili (stem oilli) akan berjumlah lebih kurang 200, tetapi sebagian besar yang di perifer akan men;'adi atrofik, sehingga tinggal 40 - 50 berkelompok sebagai kotiledon. Luas kodledon pada plasenta aterm diperkirakan 11 m2. Bagian tengah vili adalah stroma yang terdiri atas fibroblas, beberapa sel besar (sel Hoffbauer), dan cabang kapilar janin. Bagian luar vili ada 2 lapis, yaitu sinsisiotrofoblas dan sitotrofoblas, yang pada kehamilan akhir lapisan sitotrofoblas akan menipis. Ada beberapa bagian sinsisiotrofoblas yang menebal dan melipat yang disebut sebagai simpul (syncitial knots). Blla sitotrofoblas mengalami hipertrofi, maka itu petanda hipoksia.



152



PI"TSENTA



DAN CAIRAN AMNION



Arus Darah Utero-plasenta Janin dan plasenta dihubungkan dengan tali pusat yang berisi 2 arteri dan satu vena; vena berisi darah penuh oksigen, sedangkan arteriyang kembali dari janin berisi darah kotor. Bila terdapat hanya satu aneriada risiko 15 % kelainan kardiovaskular; ini dapat terjadi pada 1 : 200 kehamilan. Tali pusat berisi massa mukopolisakaridayang disebut .ieli \Tharton dan bagian luar adalah epitel amnion. Panjang tali pusat bervariasi, yaitu 30 - 90 cm. Pembuluh darah tali pusat berkembang dan berbentuk seperti heliks, maksudnya agar terdapat fleksibilitas dan terhindar dari torsi. Tekanan darah arteri pada akhir kehamilan diperkirakan 70/60 mmHg, sedangkan tekanan vena diperkirakan 25 mmHg. Tekanan darah yang relatif tinggi pada kapilar, termasuk pada viii maksudnya ialah seandainya terjadi kebocoran, darah ibu tidak masuk ke janin. Pada kehamiian aterm arus darah pada tali pusat berkisar 350 ml/menit. Pada bagian ibu di mana aneri spiralis menyemburkan darah, tekanan relatif rendah yaitu 10 mmHg. Arus darah uteroplasenta pada kehamilan aterm diperkirakan 500 - 750 ml/menita. Patologi pada berkurangnya arus darah uteroplasenta, misalnya pada preeklampsia, mengakibatkan perkembangan janin terhambat (PJT). Konsep yang diterima saat ini ialah implantasi plasenta yang memang tidak normal sejak awal menyebabkan model arteri spiralis tidak sempurna (relatif kaku). Hal ini menyebabkan sirkulasi uteroplasenta abnormal dan berakibat risiko preeklampsia. Ada beberapa kondisi akut yang juga mempengaruhi fungsi plasenta, yaitu solusio plasenta, plasenta previa, kontraksi hipertonik, dan obat epinefrin. Angiotensin II pada kadar faali merupakan zat yang mempertahankan arus darah uteroplasenta karena pengaruh pada produksi prostasiklin. Namun, bila kadar tinggi, akan terjadi vasokonstriksi. Obat penghambat angiotensin, misalnya ACE inhibitor, merupakan kontraindikasi pada kehamilan.



Posisi tidur ibu terlentang pada kehamilan aterm dapat mengurangi arus darah aortokaval yang disebabkan himpitan uterus sehingga ams darah ke uterus berkurang.



Transfer Plasenta Plasenta merupakan organ yang berfungsi respirasi, nutrisi, ekskresi, dan produksi hormon. Transfer zat melalui vili terjadi melalui mekanisme difusi sederhana, difusi terfasilitasi, aktif, dan pinositosis (Gambar 12-3). Faktor-faktor yang mempengaruhi transfer tersebut ialah berat molekul, solubilitas, dan muatan ion. Difusi sederhana juga diatur oleh epitel trofoblas, tetapi dapat terjadi seperti pada membran semipermeabel, misalnya oksigen, akan terjadi pertukaran akibat perbedaan kadar pada janin dengan ibu. Difusi terfasilitasi (faciliated d.iffusion) terjadi akibat perbedaan (gradien) kadar zat dan juga dapat terjadi akselerasi akibat peran enzim dan reseptor, misalnya perbedaan kadar glukosa antara ibu dan janin.



PLASENTA DAN CAIRAN AMNION



1s3



Transpor aktif terjadi dengan melibatkan Penggunaan energi, misalnya pada asam amino dan vitamin. Pinositosis terjadi pada transfer zat bermolekui besar, yaitu molekul ditelan ke dalam sel da'n kemudian diteruskan ke dalam sirkulasi ianin, misalnya zatIgG, fosfolipid, dan lipoprotein. Sel janin seperti eritrosit dan limfosit dalam jumlah sangat sedikit mungkin dapat ditemukan pada sirkulasi perifer ibu. Ini menandakan bahwa tidak sepenuhnya terisolasi. Hal ini memungkinkan deteksi kelainan bawaan janin setelah seleksi sel darah dari ibu.



660



.9') U'



*50 ,6 S+o (o .,30



;



o Gambar



10



'o oo,ilr*g



oo 50



60



12-6. Saturasi oksigen janin lebih tinggi daripada ibu pada tekanan oksigen yang sama (efek Bohr).



Fungsi Plasenta Pertukaran gas yang terpenting ialah transfer oksigen dan karbondioksida. Saturasi oksigen pada ruang-intervili piasenta ialah 90 7o, sedangkan tekanan parsial ialah 90 .rl.nHg. sekalipun tekanan po2 janin hanya 25 mmHg, tingginya hemoglobin F janin memungkinkr., p..ty.trp"n oksigen dari plasenta. Di samping itu, perbedaan kadar ion H+ dan tingginya kadar karbondioksida dari sirkulasi janin memungkinkan pertukarlihat Gambar 1,2-6. an dengan oksigen (efek Bohr) Perbedaan tekanan 5 mmHg antara ibu dan ianin memungkinkan pertukaran COz (dalam bentuk asam kabonat, karbamino Hb, atau bikarbonat) pada plasenta. Ikatan



co,



d..,g"., Hb bergantung pada faktor yang mempengaruhi pelepasan oksigen. Jadi



karbamino Hb meningkat bila oksigen dilepas



-



disebut sebagai efek Haldane.



1s4



PIASENTA DAN CAIRAN AMNION



Keseimbangan asam basa bergantung pada kadar H+, asam laktat, dan bikarbonat pada sirkulasi janin-plasenta.Pada umumnya asidosis terjadi akibat kekurangan oksigen. Metabolisme karbohidrat tenrtama ditentukan oleh kadar glukosa yang dipasok oleh ibu. Sebanyakg0 % dari kebutuhan energi berasal dari glukosa. Kelebihan glukosa akan disimpan sebagai glikogen dan lemak. Glikogen disimpan di hati, otot, dan plasenta; sedangkan lemak di sekitar jantung dan belakang skapula. Glukosa dan monosakarida dapar langsung melewati plasenta, tetapi disakarida tidak dapat. Kadar glukosa janin berkaitan dengan kadar ibu dan tidak dipengaruhi oleh hormon karena mereka tidak melewati plasenta. Plasenta mengatur utilisasi glukosa dan mampu membuat cadangan separuh dari kebutuhan. Pada penengahan kehamilan, T0 % glukosa akan mengalami metabolisme dengan cara glikolisis, 10 % melalui jalur pentosafosfat, dan sisanya disimpan dalam bentuk glikogen dan lemak. Pada kehamilan aterm utilisasi glukosa menurun 30 "/o. Cadangan glikogen janin amat diperlukan sebagai sumber energi, misalnya pada keadaan asfikisa di mana terjadi glikolisis anerobik. Janin membutuhkan asam lemak untuk pembentukan membran sel dan cadangan yang berguna untuk sumber energi pada periode neonatus dini. Asam lemak bebas yang berikatan dengan albumin atau lipoprotein seperti trigliserida akan dipasok melalui sirkulasi darah dalam bentuk silomikra. Asam lemak bebas dapat melalui plasenta, dan ternyata janin mampu mengubah asam linoleat menjadi arakidonat. Biia ibu puasa, janin akan menggunakan cadangan trigliserida. Janin mampu menyintesis protein dari asam amino yang dipasok lewat plasenta. Asam amino masuk melalui plasenta, dan ternyata kadarnya lebih tinggi daripada ibunya. Piasenta tidak belperan dalam sintesis protein; ia memang membentuk protein yang diekskresi ke sirkulasi ibu, sepeni korionik gonadotropin dan buman placenul kctogen. Pada aterm, janin menumpuk 500 g protein. Globulin imun iuga diproduksi janin seperti IgM yang terbentuk pada kehamilan 20 minggu, di samping IgA dan IgG. Konsentrasi ureum lebih tinggi pada janin dibandingkan ibu sebanyak 0,5 mmol/l dan bersihan diperkirakan 0,54 mg/menit/kg.



Hormon dan Protein Plasenta Plasenta dan janin merupakan suatu kesatuan organ endokrin yang berperan memproduksi hormon (lihat bab hormon plasenta).



Selaput dan Cairan Amnion Selaput amnion merupakan jaringan avaskular yang lentur tetapi kuat. Bagian dalam selaput yang berhubungan dengan cairan merupakan jaringan sel kuboid yang asalnya ektoderm. Jaringan ini berhubungan dengan lapisan interstisial mengandung kolagen I, III, dan IV. Bagian luar dari selaput ialah jaringan mesenkim yang berasal dari mesoderm. Lapisan amnion ini berhubungan dengan korion laeoe.



PI-C.SENTA



DAN CAIRAN AMNION



155



Lapisan dalam amnion merupakan mikrovili yang berfungsi mentransfer cairan dan metabolik. Lapisan ini menghasilkan zat penghambat metalloproteinase-l6. Sel mesenkim berfungsi menghasilkan kolagen sehingga selaput menjadi lentur dan kuat7. Di samping itu, jaringan tersebut menghasilkan sitokin IL-6, IL-8, MCP-1 (monosit cbernoattractant ?rotein-l); zat iru bermanfaat untuk melawan bakteri.



Di



sam-



ping itu, selaput amnion menghasilkan zat vasoaktif: endotelin-1 (vasokonstriktor), dan PHRP (paratlryroid bormone rekted protein), suatu vasorelaksans,T. Dengan demikian, selaput amnion mengatur peredaran darah dan tonus pembuluh lokal. Selaput amnion juga meliputi tali pusat. Sebagian cairan akan berasal pula dari difusi pada tali pusat. Pada kehamilan kembar dikorionik-diamniotik terdapat selaput amnion dari masing-masing yang bersatu. Namun, ada jaringan korion laeue di tengahnya (pada USG tampak sebagai huruf Y, pada awal kehamilan); sedangkan pada kehamilan kembar dikorion monoamniotik (kembar satu telur) tidak akan ada jaringan korion di antara kedua amnion (pada USG tampak gambaran huruf T). Masalah pada



klinik ialah pecahnya ketuban berkaimn dengan kekuatan selaput.



perokok dan infeksi terjadi pelemahan pada ketahanan selaput sehingga pecah.



Pada Pada



kehamilan normal hanya ada sedikit makrofag. Pada saat kelahiran leukosit akan masuk



ke dalam cairan amnion sebagai reaksi terhadap peradangan. Pada kehamilan normal tidak ada IL-IB, tetapi pada persalinan preterm IL-IB akan ditemukan. Hal ini berkaitan dengan terjadinya infeksiT. Sejak awal kehamilan cairan amnion telah dibentuk. Cairan amnion merupakan pelindung dan bantalan untuk proteksi sekaiigus menunjang pertumbuhan. Osmolalitas, kadar natrium, ureum, kreatinin tidak berbeda dengan kadar pada serum ibu, artinya kadar di cairan amnion merupakan hasil difusi dari ibunya. Cairan amnion mengandung banyak sel janin (lanugo, verniks kaseosa). Fungsi cairan amnion yang juga penting ialah menghambat bakteri karena mengandung zat seperti fosfat dan seng. Pembentukan Cairan Selaput amnion yang meliputi permukaan plasenta akan mendapatkan difusi dari pembuluh darah korion di permukaan. Volume cairan amnion pada kehamilan aterm tata-rata ialah 800 ml, cairan amnion mempunyai pH 7,2 dan massa jenis 1,008s. Setelah 20 minggu produksi cairan berasal dari urin janin. Sebelumnya cairan amnion juga banyak berasal dari rembesan kulit, selaput amnion, dan plasenta. Janin juga meminum cairan amnion (diperkirakan 500 ml/hari). Selain itu, cairan ada yang masuk ke paru sehingga penting untuk perkembangannya.



Makna Klinik Secara klinik cairan amnion akan dapat bermanfaat untuk deteksi dini kelainan kromosom dan kelainan DNA dari 12 minggu sampai 20 minggu. Cairan amnion yang terlalu banyak disebut polihidramnion (> 2 liter) yang mungkin berkaitan dengan diabetes atau trisomi 18. Sebaliknya, cairan yang kurang disebut



1s6



PLASENTA



DAN CAIRAN AMNION



oligohidramnion yang berkaitan dengan kelainan ginjal janin, trisomi 21, atat 13, atau hipoksia janin. Oligohidramnion dapat dicurigai bila terdapat kantong amnion yang kurang dari2x2 cm,atau indeks cairan pada 4 kuadran kurang dari 5 cm. Setelah 38 minggu volume akan berkurang, tetapi pada postterm oligohidramnion merupakan penanda serius apalagi bila bercampur mekonium. Pada cairan amnion juga terdapat alfa feto protein (AFP) yang berasal dari janin, sehingga dapat dipakai untuk menentukan defek tabung saraf. Mengingat AFP cukup spesifik, pemeriksaan serum ibu dapat dilakukan pada kehamilan trimester 2. Namun, sangat disayangkan kelainan tersebut terlambat diketahui.



Sebaliknya, kadar AFP yang rendah, estriol, dan kadar tinggi hCG merupakan penanda sindrom Down. Gabungan penanda tersebut dengan usia ibu > 35 tahun akan mampu meningkatkan likelibood ratio menjadi 60 % untuk deteksi sindrom Downs. Gabungan dengan penanda PAPP-A dan pemeriksaan nucbal translucency (NT) yaitu pembengkakan kulit leher janin > 3 mm pada usia kehamilan 10 - 14 minggu me-



mungkinkan deteksi sindrom Down lebih dini. Pada akhir kehamilan dan persalinan terjadi peningkatan corticotropin-releasingbormone (CRH), sehingga diduga hormon ini (dihasilkan di hipotalamus, adrenal, plasenta, korion, selaput amnion) berperan pada persalinan8.



RUIUKAN 1. Symonds EM, Symonds Livingstone; 2005: 45-60



IM. Essential obstetrics and gynecology. Fourth edition. London: Churchill



2. Knuppel RA. Maternal-placental-fetal unit; fetal & early neonatal physiology. In: de Cherney A, Goodwin TM, Nathan L, Laufe N. editors. Current diagnosis 8a treatment Obstetrics & Gynecology. A Lange medical book. New York: McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2007: 158-86 3. Rowe TF, King LA, MacDonald PC, Casey ML. Tissue inhibitor of metalloproteinase-1 and tissue inhibitor of metalloproteinase-2 expression in human amnion mesenchymal and epithelial cells. Am J Obstet Gynecol 1997; U6t 915 4. Casey ML, MacDonald PC. Mysyl oxidase (ras recision gene) expression in human amnion: ontogeny and cellular localization. J Clin Endocrinol Metab 1997; 82: "167 5. Casey ML, Mibe M, Erk A, MacDonald PC. Transforming growth factor-B stimulation of parathyroid hormone related protein expression in human uterine cells in culture mRNA levels and protein secretion. J Clin Endocrinol Metab 1992;74:950 6. Germain AM, Attaroglu H, MacDonald PC, Casey ML. Parathyroid horn.rone-related protein mRNA in vascular human amnion. J Clin Endocrinol Metab 1992;6: 88 7. Romero R, Kadar N, Hobbins JC, Duff GW. Infection and labor: The detection of endotoxin in arnniotic fluid. Am J Obstet Gynecol L987;'1.57: 815 8. Petragl.ia F, Giardino L, Coukos G, Ca\za L, Vale W et al. Corticotropin-releasing factor and parturition: plasma and amniotic fluid levels and placental binding sites. Obstet Gynecol 1990;75: 784



13



FISIOLOGI IANIN Gulardi H. Viknjosastro



Twjwan Instrwksional Umwm Menjelaskan perkembangan organ



janin



dan fwngsinya



T ujwan Instruksional Khwsus



1. Menjekshan perkembangan fungsi organ janin sesuai 2. Menjekskan sirkulasi darab janin



dengan usia gestnsi



Perkembangan Konseptus Sejak konsepsi perkembangan konseptus terjadi sangat cepat yaitu zrgot. mengalami pembelahan menjadi morula (terdiri atas 16 sel blastomer), kemudian menjadi blastokis (terdapat cairan di tengah) yang mencapai uterus, dan kemudian sel-sel mengelompok, berkembang menjadi embrio (sampai minggu ke-7). Setelah minggu ke-10 hasil konsepsi disebut janin. Konseptus ialah semua jaringan konsepsi yang membagi diri menjadi berbagai jaringan embrio, korion, amnion, dan plasenta.



Embrio dan Janin Dalam beberapa ;'am setelah or,ulasi akan terjadi fertilisasi di ampula tuba. OIeh karena itu, sperma harus sudah ada di sana sebelumnya. Berkat kekuasaan A1lah SWT, terjadilah fertilisasi olum oleh sperma. Namun, konseptus tersebut mungkin sempurna, mungkin



FISIOLOGI JANIN



158



tidak sempurna. Kebesaran dan penciptaanNyalah yang memungkinkan diferensiasi jaringan yang mengagumkan di mana terbentuk organ. Embrio akan berkembang sejak usia 3 minggu hasil konsepsi. Secara klinik pada usia gestasi 4 minggu dengan USG akan tampak sebagai kantong gestasi berdiameter 1 cm, tetapi embrio belum tampak. Pada minggu ke-6 dari haid terakhir - usia konsepsi 4 minggu - embrio berukuran 5 mm, kantong gestasi berukuran 2 - 3 cm. Pada saat itu akan tampak denyut ;'antung secara USG. Pada akhir minggu ke-8 usia gestasi - 6 minggu usia embrio - embrio berukuran 22 - 24 mm, di mana akan tampak kepala yang relatif besar dan tonjolan jari. Gangguan atau teratogen akan mempunyai dampak berat apabila terjadi pada gestasi kurang dari 12 minggu, terlebih pada minggu ke-3. Berikut ini akan diungkapkan secara singkat hal-hal yang utama dalam perkembangan organ dan fisiologi janin. Tabel Usia gestasi



13-1.



Perkembangan fungsi organ janin Organ



7



Pembentukan hidung, dagu, palarum, dan tonjolan paru. lari-iari telah berbentuk, namun misih tergeirggam. Jantung telah terbentuk penuh. Mata ampak pada muka. Pembentukan alis dan lidah.



8



Mirip bentuk manusia, mulai pembentukan qenitalia eksterna.



Sirkulasi



melalui tali pusat dimulai. Tulan! mulai terbentuk. Kepala meliputi separuh besar janin, terbentuk 'muka' janin; kelopak mata terbentuk nimun iak akan membuka sampai 28 minggu.



13-16



,iirtiiJi,o,ir,, ,li .r,',.'I,i -.rrork^n awal dari ,Jr.r,., ke-2. Kulit ianin masih rransparan, telah mu]ai tumluh lanugo (rambut janin). Janin bergerak aktif, yaitu henghisap dan menelan air ketuban. Telah terbentuk mekonium (faesei) dalam u"sus. janrung berdenyut 120 - 15O/menit



-24



Komponen mata terbentuk penuh, juga sidik jari. Seluruh tubuh diliputi oleh verniks kaseosa (lemak). Jairin mempunyai refleks. Saat ini disebur permulaan trimester ke-3, di mana terdapat perkembangan otak vans cepat. Sistem saraf mensendalikan gerakan dan funssi tubuh, mata



17



2s-28



sudrli -e"-b'rka. Kelangsungan htup pada pEriode ini sangat"sulit bila lahir.



Frsrol-ocr



29



-32



33-36



JANrN



159



Bila bavi dilahirkan. ada kemunskinan untuk hiduo /50 - 70 "/.\. Tul.rnc relah tJrbentuk sempurnr. gerakin napas telah r.gu1..l suhu relatif stabil. " Berat janin 1500 - 2500 gram. Bulu kulit j:rnin (hnugo) muhi berkureng, padr sart 35 minggu prru tel.rh matur. Jenin akan dapat hidup tanpa kesu-trtan.



38-40



Sejak 38 minggu kehamilan disebut aterm. di m.rn.r bayi .rkan meliputi seluruh uterus. Air ketuban mulai berkurrng. tetapi mrsih d"rhm batrs normal.



Sistem Kardiovaskular Mengingat semua kebutuhan janin disalurkan meialui vena umbilikal, maka sirkulasi menjadi khusus. Tali pusat berisi satu vena dan 2 aneri. Vena ini menyalurkan oksigen dan makanan dari plasenta ke janin. Sebaliknya, kedua arteri menjadi pembuluh baiik yang menyalurkan darah ke arah plasenta untuk dibersihkan dari sisa metabolisme (Gambar 13-1).



Gambar i3-1 Sirkulasi darah janina Perbatikan darab dari plasenLa melalui aena umbilikal (UV) masuk ke janin mclalui duktus uenosus (DV), bergabinp denpan oena kaoa, masuk ke atrium kanan (M), menyeberang ke atrium kiri (IA), ilelalul fora"men ouale (FO) seldniutnya mclalui aentrikel kiri (LV) ke iorta (AO). Sebagian besar darib dari t,entrikel kanan (RV) ahan melalui afieri pulmonalis (PA) dan duktus aneriosus



(DA)



masuk ke aona (AO).



160



FISIOLOGI JANIN



Perjalanan darah dari plasenta melalui vena umbilikal adalah sebagai berikut. Setelah melewati dinding abdomen, pembuluh vena umbilikal mengarah ke atas menu;'u hati, membagi menjadi 2, yaitr sinus porta ke kanan - memasok darah ke hati - dan duktus venosus yang berdiameter lebih besar, akan bergabung dengan vena kava inferior masuk ke atrium kanan. Darah yang masuk ke jantung kanan ini mempunyai kadar oksigen seperti arteri - meski bercampur sedikit dengan darah dari vena kava. Darah ini akan langsung menyemprot melalui foramen ovale pada septum, masuk



ke atrium kiri dan selanjutnya melaiui ventrikel kiri akan menuju aorta dan seluruh tubuh. Darah yang berisi banyak oksigen itu terutama akan memperdarahi organ vital jantung dan otak. Adanya krista dividens sebagai pembatas pada vena kava memungkinkan sebagian besar darah bersih dari duktus venosus langsung akan mengalir ke arah foramen ovale. Sebaliknya, sebagian kecil akan mengalir ke arah ventrikel kananl. Darah dari ventrikel kanan akan mengalir ke arah paru. Karena paru belum berkembang, sebagian besar darah dari jantung kanan melalui arterr pulmonalis akan dialirkan ke aorta melaiui suatu pembuluh duktus arteriosus. Darah itu akan bergabung di aorta desending, bercampur dengan darah bersih yang akan dialirkan ke seluruh tubuh. Curah jantung pada trimester akhir, sebagaimana eksperimen pada domba, ditujukan ke plasenta 40 oh, karkas 35 o/", otak 5 "h, jantung 5 7r, gastro intestinal 5 o/o, paru 4 "/", ginjal 2 "/", lain lain 4 "/o2. Darah balik akan melalui arteri hipogastrika, keluar melalui dinding abdomen sebagai arteri umbilikal. Setelah bayi lahir, semua pembuluh umbilikal, duktus venosus, dan duktus ,.t..iosus akan mengerut. Pada saat lahir akan terjadi perubahan sirkulasi, di mana terjadi pengembangan paru dan penyempitan tali pusat3. Akibat peningkatan kadar oksigen pada sirkulasi paru dan vena pulmonalis, duktus arteriosus akan menutup dalam 3 hari dan total pada minggu ke-2. Pada situasi di mana kadar oksigen kurang yaitu pada gagal napas, duktus akan relatif membuka (paten).



Darah Janin Darah janin mengalami proses pembentukan yang unik yaitu bermula diproduksi diyolh sac, kemudian di hati dan akhirnya di sumsum tulang. Eritrosit janin relatif besar dan



berinti. Hemoglobin mengalami peningkatan dari 12 g/dl pada pertengahan kehamilan menjadi 18 g/dl pada aterm. Eritrosit janin berbeda dengan eritrosit orang dewasa secara stmktur dan metabolik yaitu lebih lentur karena berada dalam viskositas tinggi, dan mempunyai banyak enzim4. Eritropoesis janin dikendalikan oleh hormon eritropoetin janin5. Terjadi peningkatan pada kondisi perdarahan, persalinan, dan anemia akibat isoimunisasi6,7. Volume darah diperkirakan 78 ml/kg berat8, sedangkan isi darah plasenta segera setelah pemotongan tali pusat ialah 45 ml/kg. Hemoglobin janin ialah suaru tetramer yang terdiri atas 2 pasang masing-masing rantai B dan alfa. Gen alfa berasal dari kromosom 16 sedangkan gen B berasal dari kromosom



FISIOLOGI JANIN



161



11. Eritropoesis yang terjadi di yolb sac menghasilkan hemoglobin awal yaitu Gower 1, 2, dan Portland; setelah eritropoesis beralih ke hati dihasilkan hemoglobin F; dan s.etelah beralih ke tulang akan dihasilkan hemoglobin A sampai janin matur. Ada perbedaan fungsi hemoglobin A dan F. Pada tekanan oksigen dan pH terten-



tu, HbF akan mengikat lebih banyak oksigen dibandingkan dengan HbA; hal ini disebabkan HbA mengikat 2,3 difosfogliserat (2,3 DPG) lebih kuat dibandingkan HbF sehingga afinitas HbA dengan oksigen lebih rendahe. Karena kadar 2,3 DPG lebih rendah, afinitas oksigen janin menjadi lebih tinggi. Pada kehamilan aterm Hb lebih rendah dibandingkan kehamilan awal, yaitu % masih berupa HbF. Namun, setelah kelahiran sampai 6 bulan HbF sangat menurun, sementara HbA mendekati kadar pada orang dewasa. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh peran glukokortikoidlo.



Sistem Respirasi Gerakan napas janin telah dapat dilihat sejak kehamilan 12 minggu dan pada 34 minggu secara regular gerak napas ialah 40 - 60/menit dan di antarajeda adalah periode apnea. Cairan ketuban akan masuk sampai bronkioli, sementara di dalam alveolus terdapat cairan alveoli. Gerak napas janin dirangsang oleh kondisi hiperkapnia dan peningkatan kadar glukosa. Sebaliknya, kondisi hipoksia akan menurunkan frekuensi napas. Pada aterm normal, gerak napas akan berkurang dan dapat apnea selama 2 jam. Alveoli terdiri atas dua lapis sel epitel yang mengandung sel tipe I dan II. Sel tipe II membuat sekresi fosfolipid suatu surfaktan yang penting untuk fungsi pengembangan napas. Surfak:.an yang utama ialah sfingomielin dan lesitin serta fosfatidil gliserol. Produksi sfingomielin dan fosfatidil gliserol akan memuncak pada 32 minggu, sekalipun sudah dihasilkan sejak 24 minggu. Pada kondisi tertentu, misalnya diabetes, produksi surfaktan ini kurang; juga pada preterm rcrnyata dapat dirangsang untuk meningkat dengan cara pemberian kortikosteroid pada ibunya. Steroid dan faktor pertumbuhan terbukti merangsang pematangan paru melalui suatu penekanan protein yang sama (HoxB5)11. Pemeriksaan kadar L/S rasio pada air ketuban merupakan cara untuk mengukur tingkat kematangan paru, di mana rasio L/S > 2 menandakan paru sudah matanS.



Tidak saja fosfolipid yang berperan pada proses pematangan selular. Ternyata gerakan napas juga merangsang gen untuk aktif mematangkan sel alveolil2.



Sistem Gastrointestinal Perkembangan dapat dilihat di atas 12 minggu di mana akan nyata pada pemeriksaan USG. Pada 26 minggu enzim sudah terbentuk meskipun amilase baru nyata pada periode neonatal. Janin meminum air ketuban dan akan tampak gerakan peristaltik usus. Protein dan cairan amnion yang ditelan akan menghasilkan mekonium di dalam usus. Mekonium ini akan tetap tersimpan sampai parrus, kecuali pada kondisi hipoksia dan stres,



akan tampak cairan amnion bercampur mekonium.



t62



FISIOLOGI JANIN



Sistem Ginjal Pada 22 minggu akan tampak pembentukan korpuskel ginjal



di zona jukstaglomerularis



yang berfungsi filtrasi. Ginjal terbentuk sempurna pada minggu ke-36. Pada janin hanya 2"/" dari curah jantung mengalir ke ginjal, mengingat sebagian besar sisa metabolisme



dialirkan ke plasenta. Sementara itu, tubuli juga mampu filtrasi sebelum glomerulus berfungsi penuh. Urin janin menlumbang cukup banyak pada volume cairan amnion. Bila terdapat kondisi oligohidramnion itu merupakan petanda penurunan fungsi ginjal atau kelainan sirkulasi.



Sistem Saraf Mielinisasi saraf spinal terbentuk pada pertengahan kehamilan dan berlanjut sampai usia bayi 1 tahun. Fungsi saraf sudah tampak pada usia 1O minggu yaitu janin bergerak, fleksi kaki; sedangkan genggaman tangan lengkap dapat dilihat pada 4 bulan. Janin sudah dapat menelan pada 10 minggu, sedangkan gerak respirasi pada 14 - 1,6 minggu13. Janin sudah mampu mendengar sejak 16 minggu atar 120 hari. Ia akan mendengar suara ibunya karena rambat suara internal lebih baik daripada suara eksternal. Kemampuan melihat cahaya agaknya baru jelas pada akhir kehamilan, sementara gerak bola mata sudah lebih awal. Gerakan ini dikaitkan dengan perilaku janin. Janin mampu membuat horrnon sendiri misalnya tiroid, ACTH. Korteks adrenal dirangsang oleh ACTH. Uniknya kelenjar adrenal ini mempunyai areayang sangat aktif selama in utero dan akan menghilang kemudian. Kelenjar adrenal ini menghasilkan steroid dan katekolamin serta akan aktif menjelang partus. Sebaliknya, pada anensefalus,



di mana adrenal atrofik, persalinan akan tertunda.



Kelenjar Endokrin Sistem endokrin janin telah bekerja sebelum sistem saraf mencapai maturitas. Kelenjar hipofisis anterior mempunyai 5 jenis sel yang mengeluarkan 6 hormon, yaitu (1) laktotrop, yang menghasilkan prolaktin; (2) somatotrop, yang menghasilkan hormon pertumbuhan (GH); (l) kortikotrop, yang menghasilkan kortikotropin (ACTH); (a) tirotrop, yang menghasilkan TSH; dan (5) gonadotrop, yang menghasilam LH, FSH. Pada kehamilan 7 minggu sudah dapat diketahui produksi ACTH, dan menjelang 17 minggu semua hormon sudah dihasilkan. Hipofisis juga menghasilkan B-endorfin. Nerohipofisis juga sudah berkembang pada usia l0 - 1,2 minggu sehingga oksitosin dan AVP (arginine vasopressin) sudah dapat dihasilkan. AVP diduga berfungsi mempertahankan air terutama di dalam paru dan plasentala,l5. Ada lobus intermediet hipofisis janin yang mengecil saat aterm dan kemudian menghilang pada dewasa; kelenjar tersebut menghasilkan alpba meknosit stimwlating hormone (o-MSH) dan B-endorfin.



FISIOLOGI JANIN



163



Kelenjar tiroid janin telah berfungsi pada usia 10 - 12 minggu. Plasenta secara aktif memasok jodium pada janin yang terus meningkat selama kehamilan, bahkan kadar TSH lebih tinggi dari kadar dewasa, tetapi T3 dan total tiroid lebih rendah. Ini menunjukkan bahwa hipofisis tidak sensitif terhadap umpan balik15. Hormon tiroid sangat penting bagi pertumbuhan terutama otak. Hipertiroid pada janin dapat terjadi pada situasi di mana antibodi stimulasi tiroid dari ibu masuk ke janin. Sebenarnya plasenta mempunyai kemampuan mencegah hormon tiroid ibu masuk ke janin dengan cara deiodinasilT. Kelenjar adrenal relatif lebih besar jika dibandingkarg dengan proporsi dewasa; ia menghasilkan 100 - 200 mg steroid per hari. Bahan estrogen berasal dari korteks adrenal ;'anin; steroid tersebut dibuat dari kolesterol. (Lihat: Bab Hormon Plasenta)



Pembentukan Kelamin Kelamin janin sudah ditentukan sejak konsepsi. Apabila terdapat kromosom Y, akan terbentuk testis. Sel benih primordial yang berasal dari yolk sac bermigrasi ke lekukan bakal gonad18. Perkembangan testis diatur oleh gen testis determining faaor (TDF) atau disebut sex determining region (SRY). Sel Sertoli pada testis mengeluarkan zat mullerian-inbibiting substance yang berfungsi represi duktus Muller. Testosteron diproduksi oleh testis akibat rangsang hCG dan LH. Sebaliknya, apabila tidak terdapat testis, akan terbentuk gonad dan fenotip perempuan. Pada kondisi janin perempuan, akibat rcrpapar androgen berlebihan, akan timbul genitalia ambiguitas; misalnya pada hiperplasia adrenal, luteoma, arenoblastoma atau



ibu memakai steroid.



RUIUKAN 1. Dawes GS. The umbilical circulation. Am J Obstet Gynecol 1962;84: 1634 2. Rudolph AM, Heymann MA. The fetal circulation. Ann Rev Med 1968; 19: 195 3. Assali NS, Bekey GA, Morrison L\V. Fetal and neonatal circulation. In: Assali NS, editor. Biology of gestation. Vol II. The fetus and neonate. New York: Academic Press, 1958 4. Smith CM II, Tukey DP, Krivits V, \flhite JG. Fetal red cells differ in elasticity, viscocity, and adh.esion from adult red cells (AC). Pediatr Res 1981; 15: 588 5. Stockman JA IiI, de Alarcon PA. Hematopoesis and granulopoesis. In: Polin RA, Fo V\0, editors: Fetal and Neonatal Physiology. Philadelphia: Saunders, 1992: 1327 6. Vidness JA, Clemons GK, Garcia JF, Oh W, Schwartz R. Increased immunoreactive erythropoetin in cord blood after labor. Am J Obstet Gynecol 1984 148t 194 7. Stangenberg M, Legarth J, Cao HL, Lingman G, Perssons B, Rahman F, \Westgren M. Erythopoetin concentrations in amniotic fluid and umbilical venous blood from Rh immunized pregnancies. J Perinat Med 7993;21: 225 8. Usher R, Sphephard M, Lind J. The blood volume of the newborn infant and placenta transfusion. Acta Paediatr 1963;52:497 9. De Verdier CH, Garby. Low binding of Z,l-diphosphoglycerate to hemoglobin F. Scand J Clin Lab Invest 1,969;23: 749



FISIOLOGI JANIN



1,64



10.



Zitnick G, Peterson K, Stamatoyannopoulos G, Papayanopoulous T. Effects of butyrate and glucocorricoids on gamma to beta globulin gene switching I somatic cell hybrids. Mol Cell Biol 1995; 15:



794 11. Chinoy RM, Volpe MV, Cilley RE, Zgleszweski SE, et al. Growth factors and dexamethasone regulate Hoxb5 protein in culture murine fetal lungs. Am J Physiol 1.998;274: L6rc-20 i2. Cilley RE, Zglesweski SE, Chinoy MR. Fetal lung development: airway pressure enhances the expression of development genes. Pediatr Surg 2000; 35: 113-8 13. Miller AJ. Deglutition. Physiol ltev 1982; 62: 192 14. Chard T, Hudson CN, Edwards CRV, Boyd NRH. Release of oxytocin and vasopressin by human foetus during labour. Nature 1971;234: 352 15. Polin RA, Husain MK, James LS, Frantz AG. High vasopressin concentration with stress. J Perinat



Med t977i 5: 114 16. Thorpe-Beeston JG, Nicolaides KH, Felton CV, Buder J, McGregor AM. Maturation of the secretion of thyroid hormone and thyroid stimulating hormone in the fetus. N EngJ Med 1991; 324:532 17. Vulsma T, Gons MH, de Vijlder JJM. Maternal-fetal transfer of thyroxine in congenital hypothyroidsm due to a total organifiation defect of thyroid agenesis. N Engl J Med 1989; 321: 13 18. SimpsonJL. Diseases of the gonads, genital tract and genitalia. In Rimoin DL, ConnorJM, Pyeritz, editors: Emery and Rimoin's Principle and Practice of Medical Genetics Vol I, I'd edition. New York: Churchill Livingstone, 1997: 1,477



14



HORMON PLASENTA Hartono Hadisaputro



Twjwan Instrwksional Umwm Mengetabui hormon-honnon yang dihasilkan oleh plasenta dan pengarubnya.



Twjwan Instrwksional Khusws



1. 2. 3.



Mengetahui hormon-hormon yang dihasilkan oleb pksena. Mengetahui bagaimana hormon-hotmon tersebut diprodwksi. Mengetahwi efek. hormon-bormon tersebwt.



Sebagai kelanjutan proses fertilisasi dan implantasi/nidasi adalah terbentuknya plasenta. Plasenta adalah organ endokrin yang unik dan merupakan organ endokrin terbesar pada



manusia yang menghasilkan berbagai macam hormon steroid, pepdda, faktor-faktor pertumbuhan, dan sitokin. Pada trimester I plasenta berkembang sangat cepat akibat multiplikasi sel-sel sitotrofoblas. Vili korialis primer tersusun oleh sel-sel sitotrofoblas yang proliferatif di lapisan dalam dan sel-sel sinsisiotrofoblas di lapisan luar. Sel-sel mesenkim yang berasal dari mesenkim ekstraembrional akan menginvasi vili korialis primer sehingga terbentuk vili korialis sekunder, sedangkan vili korialis tersier terbentuk bersamaan dengan terbentuknya pembuluh darah-pembuluh darah janin. Sinsisiotrofoblas umumnya berperanan dalam pembentukan hormon steroid, neurohormon/neuropeptida, sitokin, faktor pertumbuhan, dan"pituitaryJibe horn?one", sedangkan sitotrofoblas lebih berperanan dalam sekresi faktor-faktor pertumbuhan.



166



HORMON PIASENTA



Hormon-hormon yang Dihasilkan oleh Plasenta Plasenta menghasilkan hormon-hormon sebagai berikut. 1. Sintesis hormon polipeptide: Hwman cborionic gonadotopin (hCG), human placenul kctogen (hPL)



2.



Hormon-hormon protein: orti cotrop in (C ACTH), cb orio n i c tlry ro *op in (CT), relaks i n, p aratlryroid bormone related protein (PTHTP), gro,u)th bormone oariant (hGH-V) C h ori on i c a dren



oc



3. Hormon-hormon peptide: Neuropeptide-Y (NPY), 4. Hypotbakmus-like Releasing bormone (GnRHP)



inhibin, dan aktivin



Gonadotropin-releasing hormone (GnRH), corticotropin releasing hormone (CRH), (cTRH) dan grauth ltonnone-releasing hormone (GHRH) Hormon steroid: Progesteron, estrogen



t)ryrotropin-releasing bormone



5.



Human Chorionic Gonadotropin (hCG) Plasenta merupakan tempat utama sintesis dan sekresi hCG. Sama dengan gonadotropin yang lain, hCG adalah suatu glikoprotein yang mempunyai berat molekul 39.000 dalton, terdiri atas 2 subunit alpha dan beta yang masing-masing ddak mempunyai aktivitas biologik kecuali bila dikombinasikan. hCG-alpha hampir mirip dengan LHalpha dan FSH-alpha, sedangkan hCG-beta identik dengan LH-beta. Tiga puluh persen komponen hCG adalah karbohidrat. Lapisan luar sinsisium merupakan tempat biosintesis hCG. Di dalam sinsisium ini rcrdapat struktur untuk sintesis dan sekresi protein seperti retikulum endo plasma, kompleks Golgi, dan mitokondria. Regulasi produksi hCG plasenta melibatkan interaksi antara sistem autokrin dan parakrin. Sinsisiotrofoblas dapat diumpamakan sebagai hipofisis yang menyekresi hCG, hPL, dan ACTH, sedangkan sitotrofoblas bertindak sebagai hipotalamus yang menyekresi GnRH dan CRH (corticotropin releasingbormone). GnRH yang disintesis oleh plasenta meningkatkan pelepasan hCG pada kuitur plasenta. Efek ini lebih tampak nyata



pada kultur plasenta kehamilan trimester pertama bila dibanding dengan plasenta kehamilan aterm. Pelepasan hCG juga dipacu oleh estradiol, faktor-faktor pertumbuhan (grouttb factor) seperti: FGF (fibrobkst growtb factor), EGF (epidermal growtb factor), IGF-I (insulin-like growtb faaor-l),IGF-2, dan interleukin-l, sedangkan pelepasan hCG dihambat oieh GnRH antagonis, progesteron, serta opioid. hCG mulai dapat dideteksi t hari setelah implantasi. Sekresi hormon ini akan memperpanjang hidup koqpus luteum dan menstimulasi produksi progestetron melalui sistem adenilatsiklase. Keadaan ini terus dipertahankan sampai usia kehamilan kurang lebih 11 minggu saat plasenta sudah mampu menyintesis progesteron. Fungsi hCG yang lain adalah merangsang proses diferensiasi sitotrofoblas, stimulasi produksi testoteron testis janin dan diduga mempunyai efek imunosupresif selama kehamilan. Secara klinik, pengukuran kadar hCG umumnya digunakan untuk menunjang diagnosis kehamilan, evaluasi setelah terapi penyakit trofoblas, dan evaluasi abnormalitas kehamilan (misalnya: kehamilan ektopik). Kadar hCG yang lebih tinggi



HORMON PLASENTA



167



daripada kadar normal pada trimester kedua seringkali dihubungkan dengan trisomi 21,



trisomi 13, trisomi 20, sindroma Turner dan Klinefelter, sebaliknya kadar yang lebih rendah sering ditemukan pada janin dengan trisomi 18. Atas dasar ini pulalah hCG digunakan sebagai salah satu cara skrining adanya aneuploidi pada janin. Human Placental Lactogen (bPL)



hPL merupakan polipeptide rantai tunggal dengan berat molekul 22.300 d. Struktur kimia hPL rnirip dengan prolaktin (PRL) dan gro,(ptb bormone (GH) hipofisis. hPL disintesis di sinsitiotrofoblas dan dapat dideteksi mulai hari ke-12 setelah fertilisasi atau segera setelah implantasi. Kadar hPL dalam plasma maternal meningkat seiring dengan peningkatan berat plasenta dan berat badan janin. Peningkatan ini mulai tampak sejak usia kehamiian 5 minggu dan mencapai puncaknya pada 4 minggu terakhir kehamilan (35 minggu) yaitu dari 0,3 pglml pada trimester perrama sampai 5,4 1tg/ml pada trimester ketiga. Selama 24 jam, kurang lebih 3OO pg hPL diekskresikan lewat urin. Pada plasenta sendiri didapatkan 10 sampai 20 mg/lOO g berat plasenta. hPL juga dapat dideteksi dalam sirkulasi janin, tetapi dengan kadar yang rendah (15,5 pglml dalam darah tali pusat) dan dalam cairan amnion (0,5 pglml) pada kehamilan aterm. Efek utama hPL adalah terhadap insulin dan metabolisme glukosa, tetapi bagaimana mekanism e kerjanya sampai sekarang belum diketahui dengan jelas. Efek hPL terhadap lipolisis dan glucose-



sparing terutama pada perempuan hamil yang sedang berpuasa menunjukkan bahwa hPL mempunyai efek proteksi/melindungi janin. Keadaan puasa akan merangsang sekresi hPL sehingga penggunaan glukose oleh ibu akan menurun. Hal ini akan menjamin tercukupinya sumber energi janin. Pengukuran kadar hPL sangat jarang digunakan untuk kepentingan evaluasi abnormalitas kehamilan. IJmumnya disepakati bahwa kadar hPL < 4 1tg/ml pada usia kehamilan 30 minggu merupakan batas bahwa janin dalam keadaan bahaya (feul danger zone). Pada plasenta yang besar seperti pada kehamilan ganda dan kehamilan dengan diabetes mellitus, akan didapatkan kadar hPL yang lebih tinggi. Sebaliknya kadar hPL yang rendah ditemukan pada penumbuhan janin terhambat, preeklampsia, dan neoplasma trofoblas. Pada kasus abortus iminens, kadar hPL yang rendah menunjukkan bahwa kehamilan sulit dapat dipertahankan.



Adrenokortikotropin Korionik (CACTH) Protein yang mirip dengan ACTH berhasil diidentifikasi pada plasenta yang kemudian disebut Chorionic adrenocorticotropin (CACTH). Peranan fisiologis dari CACTH sampai sekarang belum jelas. ACTH dalam kehamilan kadarnya lebih rendah daripada laki-iaki atau perempuan tidak hamil, tetapi kadarnya meningkat seiring dengan bertambahnya usia kehamilan. Plasenta menghasilkan ACTH yang kemudian diekskresikan ke dalam sirkulasi maternal dan janin, tetapi ACTH maternal tidak masuk ke dalam sirkulasi janin.



HORMON PLASENIA



168



140



/\



i"'



,1



i 1- ncc ll



100



^



6U



(,



O



-c



hPL+ :l!



/l ,l



E



f



!lil



/



400



/



E



5E=.



300 0_



O) +



E



;l



i/



!l .i/



I



I



60



I



200



I



t



+



\



\



10



10



20



30



4



E.



t



O



J



IL e



.C



CRH



40



Usia gestasi Gambar 14-1 Gambar perubahan kadar hCG, hPL dan CRH dalam serum pada kehamilan normal (Disalin dari Cunningham)



Tirotropin Korionik (CT) Terdapat bukti bahwa plasenta menghasilkan hormone cborionic tlryrotropin (CT), tetapi sama seperti CACTH, fungsinya dalam kehamilan belum diketahui dengan jelas.



Relaksin Adanya relaksin dalam korpus luteum, desidua, dan plasenta telah lama diketahui. Relaksin mempunyai struktur kimia yang mirip dengan insulin dan nente gro@tb factor. Hormon ini bekerja pada miometrium untuk merangsang adenyl gtchse dan juga menyebabkan relaksasi uterus. Mekanisme sintesis dan kerjanya sampai sekarang belum jelas dan masih diteliti.



Parathyroid Hormone Related Protein (PTH rP) Paratlryroid hormone related protein (PTH rP) telah dapat diidentifikasi pada jaringan normal orang dewasa khususnya pada organ reproduksi laki-laki dan perempuan (uterus, korpus luteum dan pal,udara). Hal ini menunjukkan bahwa pada orang dewasa



HORMON PIASENTA



169



PTH rP tidak dihasilkan oleh kelenjar tiroid. Beberapa organ janin juga menghasilkan PTH rP di antaranya keienjar paratiroid, ginjal, dan plasenta. Sekresi hormon paratiroid pada orang dewasa dipengaruhi oleh kadar kalsium, kecuali pada plasenta.



Growth Hormone Variant (hGH-V) Grouth bormone aariant (hGH-V) disintesis oleh plasenta, kemungkinan dalam sinsisium. hGH-V dapat diukur kadarnya dalam sirkulasi maternal mulai pada usia kehamilan 21



- 26 minggu, kadarnya terus meningkat sampai usia kehamilan 36 minggu. Sekresi hGH-V oleh trofoblas dipengaruhi oleh giukose, sedangkan aktivitas biologisnya sama dengan hPL. Neuropeptide-Y (NPY) Peptide kecil yang mengandung 35 asam amino ini berdistribusi luas di otak. Peptide ini juga ditemukan di neuron-neuron simpatik yang menginervasi sistem kardiovaskular, respirasi, gastrointestinal, dan genitourinarius. NPY juga dapat ditemukan pada plasenta, khususnya sitotrofoblas. Beberapa percobaan menunjukkan bahwa pemberian NPY pada sel-sel plasenta akan menyebabkan pengeluaran corticotropin releasing hormone (CRH).



Inhibin dan Aktivin Inhibin diproduksi oleh testis rnanusia dan sel-sel granulosa ovarium, termasuk korpus luteum. Inhibin merupakan heterodimer dengan subunit cr dan B yang berbeda. Subunit B inhibin tersusun oleh satu atau dua peptide rerrentu yaitu BA dan BB. Plasenta memproduksi inhibin subunit o, gA, dan $B dengan kadar tertinggi dicapai pada waktu aterm. Produksi inhibin plasenta selama kehamilan, untuk menghambat sekresi FSH dan karena itu menghilangkan onrlasi selama kehamilan. Aktivin berhubungan erat dengan inhibin dan dibentuk oleh kombinasi dua subunit B. Aktivin tidak terdeteksi dalam darah tali pusat setelah persalinan dimulai.



Gonadotropin-Releasing Hormone (GnRH) Banyak bukti yang menunjukkan GnRH juga ditemukan pada plasenta dan menariknya imunoreaktivitas terhadap GnRH ini hanya ditemukan pada sitotrofoblas. Disebutkan bahwa GnRH korionik ini berperan sebagai hCG-releasing bormone.



Corticotropin Releasing Hormone (CRH) Gen CRH yang ditemukan pada hipotalamus rcrnyata juga ditemukan pada trofoblas, amnion, korion, dan desidua, tetapi fungsi CRH yang dihasilkan oleh plasenta ini sampai sekarang belum diketahui dengan jelas. Bukti yang menunjukkan bahwahanya sedikit



174



HORMON PLASENTA



CRH plasental yang masuk ke dalam sirkulasi janin menimbulkan dugaan kurangnya peran CRH plasental terhadap steroidogenesis adrenal janin. Peran CRH plasentalyang lain diduga berhubungan dengan relaksasi otot polos (baik miometrium maupun pembuluh darah), imunosupresi dan merangsang pembentukan prostaglandin plasenta. Pada hipotalamus, glukokortikoid akan menghambat sekresi CRH, tetapi sebaliknya pada plasenta glukokortikoid justeru merangsang sekresi CRH 2 sampai 5 kali lipat sehingga kemungkinan terjadi feedbacb positif pada plasenta yaitu CRH akan merangsang sekresi ACTH, kemudian ACTH yang dihasilkan akan terangsang pula membentuk glukokortikoid yang pada akhirnya juga akan memacu sekresi CRH plasental. Thyrotropin-Releasing Hormone (cTRH) dan Growth Hormone-Releasing



Hormone (GHRH) Baik cTRH maupun GHRH juga dikenal sebagai somatokrinin, dapat dideteksi pada plasenta tetapi bagaimana sintesis dan aktivitas biologis keduanya sampai saat ini belum diketahui. Sintesis Fformon Steroid Plasenta menyintesis sejumlah besar hormon steroid selama kehamilan. Dua hormon steroid utama adalah progesteron yang berfungsi untuk mempertahankan kehamilan dan estrogen yang berguna untuk pertumbuhan organ-organ reproduksi. Keduanya juga diperlukan untuk perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama kehamilan. Dalam sintesis hormon steroid, plasenta bukanlah organ yang autonom, tetapi memerlukan perkusor-perkusor untuk sekresi estrogen ataupun progesteron. Perkusor tersebut berasal dari adrenal janin dan maternal untuk sekresi estrogen serta kolesterol maternal untuk sekresi progesteron.



Progesteron Produksi steroid selama kehamilan merupakan hasil dari ker;'a sama antara maternal, plasenta dan janin. Saat tidak terjadi konsepsi, kolpus luteum menghasilkan progesteron dalam kurun waktu kurang lebih 1+ hari sebelum akhirnya mengalami regresi. Jika terjadi konsepsi, umur korpus luteum diperpanjang akibat pengaruh hormon hCG, sehingga tetap mampu menghasilkan progesteron sampai usia 10 minggu. Pada masa awal kehamilan (6 - 7 minggu) progesteron dari korpus luteum ini sangat diperlukan untuk mempertahankan kehamilan, sehingga jika pada masa ini dilakukan ablasi korpus luteum, misalnya dengan ovarektomi, maka akan terjadi penurunan steroidogenesis dan akan berakhir dengan abortus. Setelah masa transisi (antara minggu ke-7 dan 1l), plasenta mengambil alih peran korpus luteum dalam menghasilkan progesteron. Sintesis progesteron plasenta sangat bergantung pada hubungan antara maternal dan plasenta, tetapi sama sekali tidak bergantung pada prekusor janin. Sumber utama sintesis



HORMON PIASENTA



171



progesteron adalah kolesterol LDL (low d.ensiry lipoprotein). Kolesterol LDL ini masuk ke dalam sitoplasma sel-sel trofoblas dengan cara endositosis setelah sebelumnya berikatan dengan reseptor membran sel yang spesifik. Vesikel yang mengandung kompleks kolesterol LDl-reseptor ini kemudian bergabung dengan lisosom dan mengalami hidrolisis sehingga kolesterol dilepaskan dan reseptor kembali menjalankan fungsinya lagi (recycled). Di dalam mitokondria, kolesterol dipecah dengan cara hidroksilasi oleh enzim P450 sitokrom (P450cc) menjadi pregnenolon yang kemudian dibentuk menjadi progesteron oleh 3B-hidroksisteroid dehidrogenase. Sebagian besar (90 %) progesteron yang dihasilkan akan diekskresikan ke dalam sirkulasi maternal, tetapi kadar dalam sirkulasi maternal ini lebih rendah jika dibanding dengan kadar progesteron plasma janin. Saat usia kehamilan aterm, plasenta menghasilkan progesteron t 210 mg/hari dengan meubolic clearance rate (MCR) ! 21,1,0 l/hari. Kadar progesteron plasma mater-



nal meningkat secara linear dari 40 1tg/ml (trimester I) sampai lebih dari 175 Stg/ml (trimester III). Progesteron mempunyai beberapa fungsi fisiologis selama kehamilan. Fungsi utama adalah mempersiapkan endometrium untuk implantasi dan mempertahankan kehamilan. Mekanisme kerja progesteron adalah berikatan dengan reseptor spesifik yang kemudian berinteraksi dengan



DNA



genom. Reseptor-reseptor



ini



telah



dikenali dan ditemukan pada inti dan sitoplasma sel sinsisiotrofoblas dan sitotrofoblas serta sel-sel endotel desidua pada awal kehamilan. Progesteron juga meningkatkan produksi faktor-faktor uterus yang menghambat blastogenesis iimfosit dan produksi sitokin, mengatur populasi limfosit fetoplasental, dan meningkatkan prekusor limfosit B sumsum tulang yang mengalami pengurangan akibat pengaruh estrogen. Fungsi progesteron yang lain adalah terhadap otot polos yaitu terutama mempertahankan keadaan tenang uterus dengan cara mempertahankan keadaan afinitas yang tinggi dari reseptor B2-adrenergik miometrium sehingga produksi cAMP meningkat dan menghambat fosforilase miosin. Progesteron juga berpengaruh pada muskular tuba seperti halnya berpengaruh pada motilitas gastrointestinal, di samping berpengaruh juga terhadap otot polos arteriol sehingga kapasitas vaskular meningkat dan tahanan perifer



menurun. Progesteron plasenta juga berperan selaku substrat bagi produksi glukokortikoid dan mineralokortikoid oleh adrenal janin. Pengukuran kadar progesteron untuk menilai keadaan janin secara klinik umumnya tidak begitu bermanfaat. Pada kematian janin dalam rahim, kelainan kongenital (anensefal) dan defisiensi sulfat plasenta, kadar progesteron tidak berubah sama sekaii. Meskipun demikian, pengukuran kadar progesteron tidak dapat digunakan sebagai prediktor yang reliabel untuk menentukan viabilitas kehamilan bila terjadi ancaman abortus pada usia kehamilan < 77 hari.



Estrogen Janin dan plasenta terlibat dalam sintesis estron, estradiol, dan estriol. Estrogen yang dihasilkan oleh plasenta sebagian besar berasal dari konversi prekusor androgen maternal dan adrenal janin. Di plasenta, kolesterol dikonversi menjadi pregnenolon sulfat yang kemudian dikonversi lagi menjadi dehidroepiandrosteron sulfat (DHEA-S). DHEA-S



172



HORMON PIASENTA



ini



kemudian mengalami metabolisme lebih lanjut menjadi estron (E1) dan melalui testosteron menjadi estradiol (E2), Estriol (E3), bentuk terbesar estrogen yang diproduksi oleh hepar janin dari DHEA-S adrenal. Proses dekonjugasi 16cr-hidroksiDHEA-S memerlukan enzim sulfatase. Aktivitas enzim sulfatase ini pada plasenta sangat tinggi kecuali pada keadaan defisiensi. Plasenta pada kehamilan aterm menyekresi baik estron, estradiol, maupun estriol ke dalam sirkulasi maternal dan janin. Toul blood. production rate estradiol+ 10 sampai 25 mg/hari, sedangkan estriol 40 sampai 50 mg/hari. Estron sebagian besar dalam bentuk sulfat dan mempunyai MCR yang rendah. Kadar estron dalam serum berkisar arfiara 2 sampai 30 pglml pada kehamilan aterm. Kadar estradiol meningkat sampai 6 - 40 Vg/ml pada usia kehamilan 35 minggu dan terus meningkat sampai aterm. Estriol dalam serum maternal meningkat sejak usia kehamilan 9 minggu sampai 1.000 kali lipat kadar pada perempuan tidak hamil. Peningkatan kadar estriol ini kemudian mendatar (piateau) pada usia kehamilan 31 - 35 minggu dan meningkat lagi pada usia kehamilan 35 - 36 minggu. Sembiian puluh persen ekskresi estriol berasal dari produksi DHEA-S adrenal janin. Dari semua'bentuk steroid estrogenik unconjwgated dalam serum, estradiol mempunyai konsentrasi yang paling tinggi dengan balf life dalam d3rah singkat (20 menit), sedangkan estriol sebagian besar dalam bentuk konjugasi dan hanya t l0 % dalam bentuk wnconjugated. Estrogen dimetabolisasi oleh hepar dan kemudian diekskresikan iewat urin. Berdasarkan pada konsep tersebut, dapat diketahui bahwa pada disfungsi atau tidak berfungsinya adrenal janin menyebabkan pembentukan estriol akan terganggu. Sebagai contoh pada kelainan berupa anensefal yang sering disertai dengan tidak teibentuknya korteks adrenal akan menyebabkan penumnan prekusor androgen adrenal janin, sehingga produksi estriol plasenta juga akan menurun. Pemberian glukokortikoid pada ibu, seperti yang sering dilakukan untuk akselerasi maturasi paru janin, dapat pula menurunkan kadar estriol akibat penekanan pada prekusor adrenal maternal dan janin. Dalam hubungan dengan kehamilan, estrogen berfungsi untuk meningkatkan sintesis progesteron melalui peningkatan uPtake LDL dan aktivitas P450cc sinsisiotrofoblas. Estrogen juga berpengaruh terhadap sistem kardiovaskular maternal yaitu menyebabkan vasodilatasi sirkulasi uteroplasenta, stimulasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan (kemungkinan) neovaskularisasi plasenta. Estrogen juga meningkatkan kontraktilitas



uterus dan mempunyai efek mitogenik terhadap pertumbuhan dan perkembangan glandula mammae.



Dahulu pengukuran kadar estriol umumnya digunakan untuk memonitor kesejahteraan janin, tetapi saat ini sudah jarang atau tidak dilakukan lagi dikarenakan rentang nilai normal yang lebar serta kadarnya bervariasi bergantung pada usia kehamilan, sehingga interpretasi hasil pengukuran menjadi sulir.



HORMON PI-{SENTA



173



RUJUKAN 1.



Cunningham FG, Gant F, Leveno KJ, Gilstap LC, Hauth JC Wensrom KD eds Villiams Obstetrics, 22"d ed. New York: McGraw-Hill, 2OO5t 39-90 \(ilson JD, Foster DrW, ed. \filliams Textbook of Endocrinology. 8'h ed. Philadelphia: \(B Saunders. 1.992:977-91.



Falcone T, Little AB. Placental Synthesis Maternal-fetal Endocrinology. Philadelphia:



of Steroid Hormones. In: Tulchinsky D, Little AB. VB Saunders. 1994 1-14



Eds.



T, Little AB. Placental Polypeptides. In: Tulchinsky D, Little AB, eds. Maternal Fetal Endocrinology. Phiadelphia : \WB Saunders. 1994:16-32 Yen SSC, Jafe RB. Reproductive Endocrinology. Physiology, Pathophisiology and Clinical Management. Philadelphia:'WB Saunders. 1991: 920-35 Falcone



1' PERUBAHAN ANATOMI DAN FISIOLOGI PADA PEREMPUAN HAMIL Djusar Sulin



Tujwan Instruksional Umum Memahami perubahan anatomi dan fi.siologi pada masa kehamilan sebingga dapat membantu ibu mengenal kebamiknnya dengan baik.



Tujuan Instrwksional



Kbwsws



1. Menjelaskan perubahan anatomi dan fisiologi pada organ reproduksi, 2. Mengidentifikasi perubaban yang terjadi pada kulit, payudara, sistem



3.



kardio't)askukr, sistem



respirasi, traktws urinarius, trahtws digestious, dan sistem muskulosbeleul. Memabami perubahan fisiologi yang terjadi pada sistem meabolik dan sistem endokrinologik.



Perubahan anatomi dan fisiologi pada perempuan hamil sebagian besar sudah terjadi segera setelah fertilisasi dan terus berlanjut selama kehamilan. Kebanyakan perubahan ini merupakan respons terhadap janin. Satu hal yang menakjubkan adalah bahwa hampir semua perubahan ini akan kembali seperti keadaan sebelum hamil setelah proses persalinan dan menyrsui selesai. Pemahaman rentang perubahan anatomi dan fisiologi selama kehamilan merupakan salah satu tujuan utama dari ilmu kebidanan. Hampir tidak mungkin dapat mengerti proses penyakit yangterjadi selama kehamilan dan masa nifas tanpa disertai pemahaman mengenai perubahan anatomi dan fisiologi ini.



PERUBAHAN ANATOMI DAN FISIOLOGI PADA PEREMPUAN HAMIL



175



Sistem Reproduksi Uterus Selama kehamilan uterus akan beradaptasi untuk menerima dan melindungi hasil konsepsi (janin, plasenta, amnion) sampai persalinan. Uterus mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk bertambah besar dengan cepat selama kehamilan dan pulih kembali seperti keadaan semula dalam beberapa minggu setelah persalinan. Pada perempuan tidak hamil utems mempunyai berat 70 g dan kapasitas 10 ml atau kurang. Selama kehamilan, uterus akan berubah menjadi suatu organ yang mampu menampung janin, plasenta, dan cairan amnion rata-rata pada akhir kehamilan volume totalnya mencapai 5 I bahkan dapat mencapai 20 I atau lebih dengan berat rara-rata 1100 g. Pembesaran uterus meliputi peregangan dan penebalan sel-sel



otot, sementara pro-



duksi miosit yang baru sangat terbatas. Bersamaan dengan hal itu terjadi akumulasi jaringan ikat dan elastik, terutama pada lapisan otot luar. Kerja sama tersebut akan meningkatkan kekuatan dinding uterus. Daerah kolpus pada bulan-bulan penama akan menebal, tetapi seiring dengan bertambahnya usia kehamilan akan menipis. Pada akhir kehamilan ketebalannya hanya berkisar 1,5 cm bahkan kurang. Pada awal kehamilan penebalan uterus distimulasi terutama oieh hormon estrogen dan sedikit oleh progesteron. Hal ini dapat dilihat dengan perubahan uterus pada awal kehamilan mirip dengan kehamilan ektopik. Akan tetapi, setelah kehamilan 12 minggu lebih penambahan ukuran uterus didominasi oleh desakan dari hasil konsepsi. Pada



awal kehamilan tuba fallopii, ovarium, dan ligamentum rotundum berada sedikit di bawah apeks fundus, sementara pada akhir kehamilan akan berada sedikit di atas pertengahan uterus. Posisi plasenta juga mempengaruhi penebalan sel-sel otot uterus, di mana bagian uterus yang mengelilingi tempat implantasi plasenta akan bertambah besar lebih cepat dibandingkan bagian lainnya sehingga akan menyebabkan uterus tidak rata. Fenomena ini dikenal dengan anda Piscasecb. Pada minggu-minggu pertama kehamilan uterus masih seperti bentuk aslinya seperti buah avokad. Seiring dengan perkembangan kehamilannya, daerah fundus dan korpus akan membulat dan akan menjadi bentuk sferis pada usia kehamilan 12 minggu. Panjang uterus akan benambah lebih cepat dibandingkan lebarnya sehingga akan berbentuk oval. Ismus uteri pada minggu pertama mengadakan hipertrofi seperti korpus uteri yang mengakibatkan ismus menjadi lebih panjang dan lunak yang dikenal dengan tanda Hegar. Pada akhir kehamilan 12 minggu uterus akan terlalu besar dalam rongga pelvis dan seiring perkembangannya, utems akan menyentuh dinding abdominal, mendorong usus ke samping dan ke atas, terus tumbuh hingga hampir menyentuh hati. Pada saat pertumbuhan uterus akan berotasi ke arah kanan, dekstrorotasi ini disebabkan oleh adanya rektosigmoid di daerah kiri pelvis. Pada triwulan akhir ismus akan berkembang menjadi segmen bawah uterus. Pada akhir kehamilan otot-otot uterus bagian atas akan berkontraksi sehingga segmen bawah uterus akan melebar dan menipis. Batas antara segmen atas yang tebal dan segmen bawah yang tipis disebut dengan lingkaran retraksi fisiologis.



176



PERUBAHAN ANATOMI DAN FISIOLOGI PADA PEREMPUAN HAMIL



Gambar



15-1. Tanda Hegar



Sejak trimester pertama kehamilan uterus akan mengalami kontraksi yang tidak teratur dan umumnya tidak disertai nyeri. Pada trimester kedua kontraksi ini dapat dide-



teksi dengan pemeriksaan bimanuai. Fenomena ini pertarna kali diperkenalkan oleh Braxton Hicks pada tahun 1,872 sehingga disebut dengan kontraksi Braxton Hicbs. Kontraksi ini muncul tiba-tiba dan sporadik, intensitasnya bervariasi antara 5 - 25



Gambar 15-2.



Pembesaran uterus



PERUBAHAN ANATOMI DAN FISIOLOGI PADA PEREMPUAN HAMIL



177



mmHg. Sampai bulan terakhir kehamilan biasanya kontraksi ini sangat jarang dan meningkat pada satu atau dua minggu sebelum persalinan. Hal ini erat kaitannya dengan meningkatnya jumlah reseptor oksitosin dan gap jwnction di antara sel-sel miometrium. Pada saat ini kontraksi akan terjadi setiap 10 sampai 20 menit, dan pada akhir kehamilan kontraksi ini akan menyebabkan rasa tidak nyaman dan dianggap sebagai persalinan palsu.



Seruiks Satu bulan setelah konsepsi serviks akan menjadi lebih lunak dan kebiruan. Perubahan vaskularisasi dan terjadinya edema pada seluruh serviks, bersamaan dengan terjadinya hipertrofi dan hiperplasia pada kelenjar-kelenjar serviks. Berbeda kontras dengan korpus, serviks hanya memiliki 10 - 1.5 "h otot polos. Jaringan



ini terjadi akibat penambahan



ikat ekstraselular serviks terutama kolagen tipe 1 dan 3 dan sedikit tipe 4 pada mem-



brana basalis. Di antara molekul-molekul kolagen itu, berkatalasi glikosaminoglikan dan proteoglikan, terutama dermatan sulfat, asam hialuronat, dan heparin sulfat. Juga ditemukan fibronektin dan elastin di antara serabut kolagen. Rasio tertinggi elastin terhadap kolagen terdapat di ostium interna. Baik elastin maupun otot polos semakin menurun jumlahnya mulai dari ostium interna ke ostium eksterna2. Serviks manusia merupakan organ yang kompleks dan heterogen yang mengalami perubahan yangluar biasa selama kehamilan dan persalinan. Bersifat seperti katup yang bertanggung jawab menjaga janin di dalam uterus sampai akhir kehamilan dan selama persalinan. Serviks didominasi jaringan ikat fibrosa. Komposisinya berupa jaringan matriks ekstraselular terutama mengandung kolagen dengan elastin dan proteoglikan dan bagian sel yang mengandung otot dan fibroblas, epitel, sena pembuluh darah. Rasio relatif jaringan ikat terhadap otot tidak sama sepanjang serviks yang semakin ke distai rasio ini semakin besar3. Pada perempuan yang tidak hamii berkas kolagen pada serviks terbungkus rapat dan tidak beraturan. Selama kehamilan, kolagen secara aktif disintesis dan secara terusmenerus diremodel oleh kolagenase, yang disekresi oleh sel-sel serviks dan neutrofil. Kolagen didegradasi oleh kolagenase intraselular yang menyingkirkan struktur prokolagen yang tidak sempurna untuk mencegah pembentukan kolagen yang lemah, dan kolagenase ekstraselular yang secara lambat akan melemahkan matriks kolagen agar persalinan dapat berlangsung. Pada akhir trimester pertama kehamilan, berkas kolagen menjadi kurang kuat ter-



bungkus. Hal ini terjadi akibat penurunan konsentrasi kolagen secara keseluruhan. Dengan sel-sel otot polos dan jaringan elastis, serabut kolagen bersatu dengan arah paralel terhadap sesamanya sehingga serviks menjadi lunak dibanding kondisi tidak hamil, tetapi tetap mampu mempertahankan kehamilan. Pada saat kehamilan mendekati aterm, terjadi penurunan lebih lanjut dari konsentrasi kolagen. Konsentrasinya menurun secara nyata dari keadaan yang relatif dilusi dalam keadaan menyebar (dispersi) dan rcr-remodel meniadi serat. Dispersi meningkat oleh peningkatan rasio dekorin terhadap kolagen.



L78



PERUBAHAN ANATOMI DAN FISIOLOGI PADA PEREMPUAN HAMIL



Karena serabut terdispersi, konsentasi air meningkat seperti juga halnya



asam



hialuronat dan glikosaminoglikan. Asam hialuronat disekresikan oleh fibroblas dan memiliki afinitas yang tinggi terhadap molekul air. Penurunan konsentrasi kolagen lebih lanjut ini secara klinis terbukti dengan melunaknya serviks. Beberapa perubahan ini



berhubungan dengan dispersi kolagen yang terjadi lebih awal pada kehamiian dan mengakibatkan keadaan patologis seperti serviks inkompeten. Proses remodelling sangat kompleks dan melibatkan proses kaskade biokimia, interaksi antara komponen selular dan matriks ekstraselular, sena infiltrasi stroma serviks oleh sel-sel inflamasi seperti netrofil dan makrofag. Proses remodelling ini berfungsi agar uterus dapat mempenahankan kehamilan sampai aterm dan kemudian proses destruksi serviks yang membuatnya berdilatasi memfasilitasi persalinan. Proses perbaikan serviks terjadi setelah persalinan sehingga siklus kehamilan yang berikutnya akan berulang. \(aktu yang tidak tepat bagi perubahan kompleks ini akan mengakibatkan persalinan preterm, penundaan persaiinan menjadi posttenn dan bahkan gangguan persalinan spontan.



Oaarium Proses ovulasi selama kehamilan akan terhenti dan pematangan folikel baru juga ditunda. Hanya satu korpus luteum yang dapat ditemukan di ovarium. Folikel ini akan berfungsi maksimal selama 6 - 7 minggu awal kehamilan dan setelah itu akan berperan sebagai penghasil progesteron dalam jumlah yang relatif minimal. Relaksin, suatu hormon protein yang mempunyai struktur mirip dengan insulin dan inswlin libe growtb faaor I & 11, disekresikan oleh korpus luteum, desidua, plasenta, dan hati. Aksi biologi utamanya adalah dalam proses remodelling jaringan ikat pada saluran reproduksi, yang kemudian akan mengakomodasi kehamilan dan keberhasilan proses persalinan. Perannya belum diketahui secara menyeluruh, tetapi diketahui mempunyai efek pada perubahan struktur biokimia serviks dan kontraksi miometrium yang akan berimplikasi pada kehamilan preterm.



Vagina dan Perineum Selama kehamilan peningkatan vaskularisasi dan hiperemia terlihat jelas pada kulit dan otot-otot di perineum dan l'ulva, sehingga pada vagina akan terlihat berwarna keunguanyang dikenal dengan tanda Chadwick. Perubahan ini meliputi penipisan mukosa dan



hilangnya sejumlah jaringan ikat dan hipertrofi dari sel-sel otot polos. Dinding vagina mengalami banyak perubahan yang merupakan persiapan untuk mengalami peregangan pada waktu persalinan dengan meningkatnya ketebalan mukosa, mengendornya jaringan ikat, dan hipertrofi sel otot polos. Perubahan ini mengakibatkan bertambah paryangnya dinding vagina. Papilla mukosa juga mengalami hipertrofi dengan gambaran seperti paku sepatu.



PERUBAHAN ANATOMI DAN FISIOLOGI PADA PEREMPUAN HAMIL



179



Peningkatan volume sekresi vagina juga terjadi, di mana sekresi akan berwarna keputihan, menebal, dan pH antara 3,5 - 6 yang merupakan hasil dari peningkatan produksi asarn laktat glikogen yang dihasilkan oleh epitel vagina sebagai aksi dari laaobacillws acidophilus.



Kulit kulit dinding perut akan terjadi perubahan warna menjadi kemerahan, kusam, dan kadang-kadang juga akan mengenai daerah paSr,,tdara dan paha. Perubahan ini dikenal dengan nama stiae gravidarum. Pada multipara selain striae kemerahan itu seringkali ditemukan garis berwarna perak berkilau yang merupakan sikatrik dari striae sebelumnya.



Pada



Pada banyak perempuan kulit di garis penengahan perutnya (linea alba) akan berubah menjadi hitam kecokelatan yang disebut dengan linea nigra. Kadang-kadang akan muncul dalam ukuran yang bervariasi pada wajah dan leher yang disebut dengan chloasma atau mehsma graoidarwm. Seiain itu, pada areola dan daerah genitai juga akan terlihat pigmentasi yang berlebihan. Pigmentasi yang berlebihan itu biasanya akan hilang atau sangat jauh berkurang setelah persalinan. Kontrasepsi oral juga bisa menyebabkan terjadinya hiperpigmentasi yang sama. Perubahan ini dihasilkan dari cadangan melanin pada daerah epidermal dan dermal yang penyebab pastinya belum diketahui. Adanya peningkatan kadar serum melanoEte stirnulating bormone pada akhir bulan kedua masih sangat diragukan sebagai penyebabnya. Estrogen dan progesteron dike-tahui mempunyai peran dalam melanogenesis dan diduga bisa menjadi faktor pendorongnya.



Payudara Pada awal kehamilan perempuan akan merasakan payudaranya menjadi lebih lunak. Setelah bulan kedua payudara akan bertambah ukurannya dan vena-vena di bawah kulit akan lebih terlihat. Puting paysdara akan lebih besar, kehitaman, dan tegak. Setelah bulan pertama suatu cairan berwarna kekuningan yang disebut kolustrum dapat keluar.



Koiustrum ini berasal dari kelenjar-kelenjar asinus yang mulai bersekresi. Meskipun dapat dikeiuarkan, air susu belum dapat diproduksi karena hormon prolaktin ditekan oleh



prokain inbibiting hormone.



Setelah persaiinan kadar progesteron dan estrogen akan



menurun sehingga pengaruh inhibisi progesteron terhadap oJaktalbulmin akan hilang. Peningkatan prolaktin akan merangsang sintesis laktose dan pada akhirnya akan meningkatkan produksi air susu. Pada bulan yang sama areola akan lebih besar dan kehitaman. Kelenjar Montgomery, yaitu kelenjar sebasea dari areola, akan membesar dan cenderung untuk menonjol keluar. Jika paludara makin membesar, striae sepeni yang terlihat pada perut akan muncul. Ukuran pa,yudara sebelum kehamilan tidak mempunyai hubungan dengan banyaknya air susu yang akan dihasilkan.



180



PERUBAHAN ANATOMI DAN FISIOLOGI PADA PEREMPUAN HAMIL



Perubahan Metabolik Sebagian besar penambahan berat badan selama kehamilan berasal dari uterus dan isinya. Kemudian payrdara, volume darah, dan cairan ekstraselular. Diperkirakan selama kehamilan berat badan akan bertambah 12,5 kg.



Tabel 15-1 Rekomendasi penambahan berat badan selama kehamilan berdasarkan indeks massa tubuh



IMT



Kategori




29



Obesitas



>7 1.6 - 20,s



Gemeli D



ikutip dari Cunningbatnl



Pada trimester ke-2 dan ke-3 pada perempuan dengan gizi baik dianjurkan menambah berar badan per minggu sebesar 0,4 kg, sementara pada perempuan dengan gizi kurang atau beriebih dianjurkan menambah berat badan per minggu masing-masing sebesar 0,5 kg dan 0,3 kg.



Tabel



15-2.



Jaringan dan cairan Janin Plasenta



Cairan amnion



10 minggu



20 minggu



30 minggu



40 minggu



5



300



1500



3400



20



170



430



650



30



350



750



800



140



320



600



970



45



180



36A



405



100



600



300



1454



0



JU



80



1480



Lemak



310



2050



3480



J345



Total



650



4000



8500



D50A



Uterus Mammae Darah



Cairan ekstraselular



D



Penambahan berat badan selama kehamilan



ikutip dari



1



C unningbaml



Peningkatan jumlah cairan selama kehamilan adalah suatu hal yang fisiologis. Hal ini disebabkan oleh turunnya osmolariras dari 10 mosm/kg yang diinduksi oleh makin



PERUBAHAN ANATOMI DAN FISIOLOGI PADA PEREMPUAN HAMIL



181



rendahnya ambang rasa haus dan sekresi vasopresin. Fenomena ini mulai terjadi pada awal kehamilan. Pada saat aterm + 3,5 I cairan berasal dari janin, plasenta, dan cairan amnion, sedangkan 3 liter lainnya berasal dari akumulasi peningkatan volume darah ibu, uterus, dan pay'udara sehingga minimal tambahan cairan selama kehamilan adalah 6,5 l. Penambahan tekanan vena di bagian bawah uterus dan mengakibatkan oklusi parsial vena kava yang bermanifestasi pada adanya pixing edema di kaki dan tungkai terutama pada akhir kehamilan. Penurunan tekanan osmotik koloid di interstisial juga akan menyebabkan edema pada akhir kehamilan. Hasil konsepsi, uterus, dan darah ibu secara relatif mempunyai kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan lemak dan karbohidrat. WHO menganjurkan asupan protein per hari pada ibu hamil 51 g. Pada kehamilan normal akan terjadi hipoglikemia puasa yang disebabkan oleh kenaikan kadar insulin, hiperglikemia postprandial dan hiperinsulinemia. Konsentrasi lemak, lipoprotein, dan apolipoprotein dalam plasma akan meningkat selama kehamilan. Lemak akan disimpan sebagian besar di sentral yang kemudian akan digunakan janin sebagai nutrisi sehingga cadangan lemak itu akan berkurang. LDL akan mencapai puncaknya pada minggu ke-36, sementara HDL akan mencapai puncaknya pada minggu ke-25 berkurang sampai minggu ke-32 dan kemudian menetap. Hal ini dipengaruhi oleh kenaikan hormon progesteron dan estrogen.



Tabel 15-3 Kebutuhan nutrisi pada perempuan tidak hamil, hamil, dan menyusui



Nutrisi Makronutrisi Kalori (Kcai) Protein (g)



Perempuan Tidak Hamil (15-18 Tahun)



Hamil



Menvusui



2200



2500



2600



55



60



65



800



800



1300



10



10



8



10



t2 t2



55



65



65



Mikronutrisi Vitamin larut dalam lemak



A



(pg RE)



D



(pg)



E (mg TE)



K



(pg)



Vitamin larut dalam air



c



(*g)



Folat (pg) Niasin (mg) Riboflavin (mg) Tiamin (mg) Piridoksin 86 (mg) Kobalamin (pg)



60



70



95



180



400



270



15



17



2A



1,3



1,6



1,2



1,5



1,6



1,6



2,2



2,1



2,0



))



1,8



2,6



182



PERUBAHAN ANATOMI DAN FISIOLOGI PADA PEREMPUAN HAMIL



Mineral Kalsium (mg)



t2a0



1200



D0a



Fosforus (mg)



na0



1200



1200



150



175



240



1.5



JU



15



280



320



355



12



15



19



Iodin



(ptg)



lron (mg Fe Iron) Magnesium (mg) Zinc



(mg,)



Dikutip dari Cunningbaml



Selama kehamilan ibu akan menyimpan 30 g kalsium yang sebagian besar akan digunakan untuk pertumbuhan janin. Jumlah itu diperkirakan hanya 2,5 oh dari total kalsium ibu. Penggunaan suplemen kalsium untuk mencegah preeklampsia tidak terbukti dan tidak disarankan untuk menggunakannya secara rutin selama kehamilan. Ztnc (Zn) sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan ;'anin. Beberapa penelitian menunjukkan kekurangan zat ini dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat. Selama kehamilan kadar mineral ini akan menurun dalam plasma ibu oleh karena pengaruh dilusi. Pada perempuan hamil dianjurkan asupan mineral ini 7,3 - L1.,3 mg/hari, tetapi hanya pada perempuan-perempuan berisiko yang dianjurkan mendapat suplemen mineral ini. Asam folat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan pembelahan sel dalam sintesis DNA/ RNA. Defisiensi asam folat selama kehamilan akan menyebabkan terjadinya anemia megaloblastik dan defisiensi pada masa prakonsepsi serta awal kehamilan diduga akan menyebabkan neural tube d{ea pada janin sehingga para perempuan yang merencanakan kehamilan dianjurkan mendapat asupan asam folat a,4 mg/hari sampai usia kehamilan 12 minggu. Sementara itu, pada ibu-ibu yang mempunyai riwayat anak dengan spina bifida dianjurkan mengonsumsi asam folat sebanyak 4 mg/hari sampai usia kehamilan 12 minggu6,7.



Sistem Kardiovaskular Pada minggu ke-5 cardiac outpwt akan meningkat dan perubahan ini terjadi untuk mengurangi resistensi vaskular sistemik. Selain itu, juga terjadi peningkatan deny'ut jantung. Antara minggu ke-10 dan 20 terjadi peningkatan volume plasma sehingga juga terjadi peningkatan preload. Performa ventrikel selama kehamilan dipengaruhi oleh penurunan resistensi vaskular sistemik dan perubahan pada aliran pulsasi arterial. Kapasitas vaskular juga akan meningkat untuk memenuhi kebutuhan. Peningkatan estrogen dan progesteron juga akan menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan penurunan resistensi vaskular perifers. Ventrikel kiri akan mengalami hipertrofi dan dilatasi untuk memfasilitasi perubahan cardiac outPut, tetapi kontraktilitasnya tidak berubah. Bersamaan dengan perubahan posisi diafragma, apeks akan bergerak ke anterior dan ke kiri, sehinggapada pemerik-



PERUBAHAN ANATOMI DAN FISIOLOGI PADA PERE}{PUAN HAMIL



183



saan EKG akan terjadi deviasi aksis kiri, depresi segmen ST, dan inoerse atau pendataran gelombang T pada lead IIIe. Sejak penengahan kehamilan pembesaran uterus akan menekan vena kava inferior dan aorta bawah ketika berada dalam posisi terlentang. Penekanan vena kava inferior ini akan mengurangi darah balik vena ke jantung. Akibatnya, terjadinya p enurunanpreload dan cardiac output sehingga akan menyebabkan terjadinya hipotensi arterial yang dikenal dengan sindrom hipotensi supine dan pada keadaan yang cukup berat akan mengakibatkan ibu kehilangan kesadaran. Penekanan pada aorta ini juga akan mengurangi aliran darah uteroplasenta ke ginjal. Selama trimester terakhir posisi terlentang akan membuat fungsi ginjal menurun jika dibandingkan posisi miring. Karena alasan inilah



tidak dianjurkan ibu hamil dalam posisi terlentang



pada akhir kehamilan.



Volume darah akan meningkat secara progesif mulai minggu ke-5 - 8 kehamilan dan mencapai puncaknya pada minggu ke-32 - 34 dengan perubahan kecil setelah minggu tersebut. Volume plasma akan meningkat kira-kira 40 - 45 %. Hal ini dipengaruhi oleh aksi progesteron dan estrogen pada ginjal yang diinisiasi oleh ;'alur renin-angiotensin dan aldosteron. Penambahan volume darah ini sebagian besar berupa plasma dan eritrosit.



Gambar



15-3.



Perubahan anatomik jantung pada perempuan hamil dan tidak hamil



Eritropoetin ginjal akan meningkatkan jumlah sel darah merah sebanyak 20 - 30 "/o, tetapi tidak sebanding dengan peningkatan volume plasma sehingga akan mengakibatkan hemodilusi dan penurunan konsentrasi hemoglobin dari 15 g/dl menjadi 12,5 gldl, dan pada 6 "/o perempuan bisa mencapai di bawah 1l g/dl. Pada kehamilan lanjut kadar hemoglobin di bawah 11 g/dl itu merupakan suatu hal yang abnormal dan biasanya lebih berhubungan dengan defisiensi zat besi daripada dengan hipervolemia. Jumlah zat besi yang diabsorbsi dari makanan dan cadangan dalam tubuh biasanya tidak mencukupi kebutuhan ibu selama kehamilan sehingga penambahan asupan zatbesi dan asam folat dapat membantu mengembalikan kadar hemoglobin. Kebutuhan zat besi selama kehamilan lebih kurang 1.000 mg atau rata-rata 6 - 7 mg/hari.



PERUBAHAN ANATOMI DAN FISIOLOGI PADA PEREMPUAN HAMIL



184



Hipervolemia selama kehamilan mempunyai fungsi berikut.



. . .



Untuk menyesuaikan pembesaran uterus terhadap hipertrofi sistem vaskular. Untuk melindungi ibu dan janin terhadap efek yang merusak dari arus balik vena dalam posisi terlentang dan berdiri. Untuk menjaga ibu dari efek kehilangan darah yang banyak pada saat persalinan. Terjadi suatu "autorransfusi" dari sistem vaskularisasi dengan mengompensasi kehiIangan darah 500 - 600 ml pada persalinan pervaginam tunggal atau 1.000 ml pada persalinan dengan seksio sesarea atau persalinan pervaginam gemeli.



Volume darah ini akan kembali sepeni sediakala pada 2 -5 minggu setelah persalinan. Selama kehamilan jumlah leukosit akan meningkat yakni berkisar antara 5.000



-



12.000



/p"l dan mencapai puncaknya pada saat persalinan dan masa nifas berkisar 14.000 t0.000/pl. Penyebab peningkatan ini belum diketahui. Respons yang sama diketahui terjadi selama dan setelah melakukan latihan yang berat. Distribusi tipe sel juga akan mengalami perubahan. Pada kehamilan, terutama trimester ke-tiga, terjadi peningkatan jumlah granulosit dan limfosit CD8 T dan secara bersamaan penunrnan limfosit dan monosit CD4 T. Pada awal kehamilan aktivitas leubosit alkalin fosfaase juga meningkat. Demikian juga konsentrasi dari penanda inflamasi seperti C-reacthte protein (CRP). Suatu reaktan serum akut dan erytbrocyte sedimentation rate (ESR) juga akan meningkat karena peningkatan plasma globulin dan fibrinogen. Kehamilan juga mempengaruhi keseimbangan koagulasi intravaskular dan fibrinolisis sehingga menginduksi suatu keadaan hiperkoagulasi. Dengan pengecualian pada faktor



XI



dan XIII, semua konsentrasi plasma dari faktor-faktor pembekuan darah dan fibrinogen akan meningkat. Produksi platelet juga meningkat, tetapi karena adanya dilusi dan konsumsinya,kadarnya akan menurun.



Sistem Respirasi



ventilasi alveolar



70



s60 c



50



G'



40



ventilasi per menit volume tidal



G'



)



.ct



o



o.



30 20



rata-rata pernapasan 10 0



usia kehamilan Gambar



15-4.



Perubahan sistem respiratorik pada perempuan hamil



PERUBAHAN ANATOMI DAN FISIOLOGI PADA PEREMPUAN HAMIL



185



Selama kehamilan sirkumferensia torak akan bertambah + 6 cm, tetapi tidak mencukupi



penunrnan kapasitas residu fungsional dan volume residu paru-paru karena pengaruh diafragma yang naik * 4 cm selama kehamilan. Frekuensi pernapasan hanya mengalami sedikit perubahan selama kehamilan, tetapi volume tidal, volume ventilasi per menit dan pengambilan oksigen per menit akan bertambah secara signifikan pada kehamilan lanjut. Perubalian ini akan mencapai puncaknya pada minggu ke-37 dan akan kembali hampir seperti sedia kala dalam 24 minggu setelah persalinan.



Traktus Digestivus Seiring dengan makin besarnya uterus, lambung dan usus akan tergeser. Demikian juga dengan yang lainnya seperti apendiks yang akan bergeser ke arah atas dan lateral. Perubahan yaflg nya:a akan terjadi pada penurunan motilitas otot polos pada traktus digestivus dan penurunan sekresi asam hidroklorid dan peptin di lambung sehingga akan menimbulkan gejala berupa pyrosis (beartburn) yang disebabkan oleh refluks asam lambung ke esofagus bawah sebagai akibat perubahan posisi lambung dan menurunnya tonus sfingter esofagus bagian bawah. Mual terjadi akibat penumnan asam hidroklorid dan penurunan modlias, sena konstipasi sebagai akibat penurunan motilitas usus besar. Gusi akan menjadi lebih hiperemis dan lunak sehingga dengan trauma sedang saja bisa menyebabkan perdarahan. Epulis selama kehamilan akan muncul, tetapi setelah persalinan akan berkurang secara spontan. Hemorrhoid juga merupakan suatu hal yang sering terjadi sebagai akibat konstipasi dan peningkatan tekanan vena pada bagian bawah karena pembesaran uterus. Hati pada manusia tidak mengalami perubahan selama kehamilan baik secara anatomik maupun morfologik. Pada fungsi hati kadar alkalin fosfatase akan meningkat hampir dua kali lipat, sedangkan serum aspartat transamin, alani transamin, y-glutamil transferase, albumin, dan bilirubin akan menurun.



Traktus Urinarius Pada bulan-bulan pertama kehamilan kandung kemih akan tertekan oleh uterus yang



mulai membesar sehingga menimbulkan sering berkemih. Keadaan ini akan hilang dengan makin tuanya kehamilan biia uterus keluar dari rongga panggul. Pada akhir kehamilan, jika kepala janin sudah mulai turun ke pintu atas panggul, keluhan itu akan timbul kembali. Ginjal akan membesar, glomeruhr filtation rate, dan renal pksma flow juga akan meningkat. Pada ekskresi akan dijumpai kadar asam amino dan vitamin yang larut air dalam jumlah yang lebih banyak. Glukosuria juga merupakan suatu hal yang umum, tetapi kemungkinan adarrya diabetes mellitus juga tetap harus diperhitungkan. Sementara itu, proteinuria dan hematuria merupakan suatu hal yang abnormal. Pada fungsi renal akan dijumpai peningkatan creatinine clearance lebih tinggi 30 %.



186



PERUBAHAN ANATOMI DAN FISIOLOGI PADA PEREMPUAN HAMIL



Pada ureter akan terjadi dilatasi di mana sisi kanan akan lebih membesar dibanding-



kan ureter kiri. Hal ini diperkirakan karena ureter kiri dilindungi oleh kolon sigmoid dan adanya tekanan yrrg krrrt pada sisi kanan uterus sebagai konsekuensi dari dekstrorotasi uterus. Ovarium kanan dengan posisi melintang di atas ureter kanan juga diperkirakan sebagai faktor penyebabnya. Penyebab lainnya diduga karena pengaruh hormon progesteron.



Sistem Endokrin o/o. Akan tetapi, Selama kehamilan normal kelenjar hipofisis akan membesar + 135 peremPuan Pada kelenjar ini tidak begitu mempunyai arti Penting dalam kehamilan' proHormon lancar. yang mengalami hipofisektomi persalinan dapat berjalan dengan persetelah i"ktl" ,kri meningkat 10 x lipat pada saat kehamilan aterm. Sebaliknya, juga ibu-ibu pada ditemukan salinan korrr.nt.r.i-rrya padaplasma akan menurun. Hal ini yang menJusui. Kelenjar tiroid akan mengalami pembesaran hingga 15,0 ml pada saat persalinan akibat dari hiperplasia kelenjar dan peningkatan vaskularisasi. Pengaturan konsentrasi kalsium sangat berhubungan erat dengan magnesium, fosfat, hor-o"r, paratiroid, vitamin D, dan kaliitonin. Adanya gangguan pada salah satu faktor itu akan menyebabkan perubahan pada yang lainnya. Konsentrasi plasma hormon paratiroid akan menurun pada trimester pertama dan kemudian akan meningkat secara progresif. Aksi yang penting dari hormon Paratiroid ini adalah untuk memasok ianin i."!rn kalsium-yang d.k rt. Selain itu, juga diketahui mempunyai peran.dalam produkii peptida pada janin, plasenta, dan ibu. Pada saat hamil dan menlusui dianiurkan untuk mendapat asupan vitamin D 10 pg atau 400 IU10. KelenjaruJr.rrd pada kehamilan normal akan mengecil, sedangkan hormon androstenedion, tesroste;n, dioksikortikosteron, aldosteron, dan kortisol akan meningkat. Sementara itu, dehidroepiandrosteron sulfat akan menurun.



Sistem Muskuloskeletal Lordosis yang progresif akan menjadi bentuk yang umum pada kehamilan. Akibat kompensasi daii pe.nbesaran uterus ke posisi anterior, lordosis menggeser pusat daya berat ke belakang ke arah dua tungkai. Sendi sakroilliaka, sakrokoksigis dan puti, ,k"., meningkat mobilitasnya, yan[ diperkirakan karena pengaruh.hormonal. ivlobilitas tersebut lrpr, -.ngakibatkan perubahan sikap ibu dan pada akhirnya mepada bagian bawah punggung terutama pada akhir nyebabkan perasaan iidrt kehamilan.



"rrt



PERUBAHAN ANATOMI DAN FISIOLOGI PADA PEREMPUAN HAMIL



187



RUJUKAN NF, Laveno JK, Gauth JC, Gilstrap LC,'Wenstron KD. Maternal Physiology. \flilliami Obstetrics. 22nd Edition. McGraw-Hill Medical Publishing Division. New York 20A5: 121,-50 2. Bernhard H, John M. changes in maternal physiology during pregnancy. GEACCP, 2003; 3: 65-8 1. Cunningham FG, Gant



3. Christopher FC, G"rtie FM. Physiological Changes Associated with Pregnancy. Up date in anesthesia. 1998;9: l-3 4. Camann VR, Ostheimer G\(. Physiological adaptations during pregnancy. Intern Anesthes Clin. 1990; 28:2-74 5. Abadi A. Nutrisi dalam kehamilan. Dalam: Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Edisi perdana. Surabaya. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI' 2004: 137-40 5. Economides DL, Ferguson J, Mackenzie lZ,Ddey J, Ware II, Siedle MH. Folate and vitamin B12 concenrrarions in matirnal and fetal blood, and amniotic fluid in second trimester pregnancies complicated by neural tube defects' Br J Obstet Gynaecol, 1992;99:23-5 Z. Daly S; MiUs JL, Molloy AM, Conley M, Lee YJ, Kirke PM, \(eir DJ, Scott JM. Minimum effective dose of folic acid for food fortification to prevent neural tubedefect. Lancet. 1997;350: 7666 8. Crapo R. Normal Cardiopulmonary physiology during pregnancy. Clin Obstet Gynecol. 1996.;39.:3-16 9. Brown MA, Gallery EDi4. Volume-homeosiasis in normal pregnancy and pre-eclampsia: physiology and clinical implications. Baillieres Clin Obstet Gynaecol. 1994;8: 287-310 10. Bezerra F. Prignancy and lactation affect markers of calcium and bone metabolism differently in adolescent and adult women



with low calcium intakes. J Nutr 2002; 1,32:2183-7



16



ANATOMI IALAN LAHIR Trijatmo Rachimhadhi Tuj wan Instrwk sional (Jmwm Memahami sustinan anatomi jalan lahir sebingga dapat memaha,rni hubungannya dengan meleanisme persalinan.



Twjwan Instrwksional Khwsws



1. 2.



Mengidentifikasi tulang-tukng dan persendian pangul serta otot-otot dasar pangul. Mengidentifikasi pintil atas, ruang tengah, pintu bawab panggul, ukutor-rirroinya, dan pe-



3.



Mengrdenufikasi bidang-bidang Hodge.



meriksaannya.



Dalam setiap persalinan harus diperhatikan 3 faktor berikut (1) jalanJahir; (2) janin; dan (3) kekuatan-kekuaanyang ada pada ibu. Dalam bab ini akan dibahas jalan-lahi dan anatominya.



Jalan-lahir dibagi atas (a) bagian tulang, terdiri atas tulang-tulang panggul dengan persendiannya (artikulasio); dan (b) bagian lunak, terdiri ,tas otot-otot, jaringanjaringan dan ligamen-ligamen.



Tulang-tulang Panggul Tulang-tulang panggul terdiri atas 3 buah tulang yaitu (l) os koksa (disebut juga tulang innominata) 2buah kiri dan kanan; (2) os sakrum, dan (3) os kotsigis. os toksa merupakan fusi dari os ilium, os iskium, dan os pubisl. Tulang-tulang ini satu dengan lainnya berhubungan dalam suatu persendian panggul. _ Di depan terdapat hubungan antara kedua os pubis kanan dan kiri, disebut tmT;ir.



ANATOMI JALAN LAHIR



189



Simfisis terdiri atas janngan fibrokartilago dan ligamentum pubikum superior di bagit an atas serta ligamentum pubikum inferior di bagian bawah. Kedua ligamentum ini sering disebut sebagai ligamentum arkuatum. Simfisis mempunyai tingkat pergerakan tertentu, yang dalam kehamilan tingkat pergerakan semakin dipermudah. Apabila jari dimasukkan ke dalam vagina seorang perempuan hamil dan kemudian perempuan ini diminta berjalan, maka tulang pubis akan teraba bergerak naik dan turun pada setiap langkah2. Di belakang terdapat artikulasio sakro-iliaka yang menghubungkan os sakrum dengan os ilium. Di bawah terdapat artikulasio sakro-koksigea yang menghubungkan os sakrum dengan os koksigis. Di luar kehamilan anikulasio ini hanya memungkinkan pergeseran sedikit, tetapi dalam kehamilan persendian ini mengalami relaksasi akibat perubahan hormonal, sehingga pada waktu persalinan dapat digeser lebih jauh dan lebih longgar, misalnya ujung os koksigis dapat bergerak ke belakang sampai sejauh lebih kurang 2,5 cm. Hal ini dapat dilakukan bila ujung os koksigis menonjol ke depan. Pada partus dan pada pengeluaran kepala janin dengan cunam ujung os koksigis itu dapat ditekan ke belakang3. Selain itu, akibat relaksasi persendian ini, maka pada posisi dorsoJitotomi memungkinkan penambahan diameter pintu bawah panggul sebesar 1,5 sampai 2 cm. Hal ini yang menjadi dasar pertimbangan untuk menempatkan perempuan bersalin dalam posisi dorso-litotomi2. Penambahan diameter pintu bawah panggul hanya dimungkinkan apabila os sakrum dimungkinkan untuk bergerak ke belakang yaitu dengan mengurangi tekanan alas tempat tidur terhadap os sakrum. Hal inilah yang menjadi dasar tindakan manuver McRoberts pada distosia bahu2. Pada seorang perempuan hamil yang bergerak terlampau cepat dari posisi duduk langsung berdiri, sering dijumpai pergeseran yang lebar pada artikulasio sakroiliaka. Hal demikian dapat menimbulkan rasa sakit di daerah anikulasio tersebut. Juga pada simfisis tidak jarang dijumpai simfisiolisis sesudah partus atau ketika tergelincir, karena longgarnya hubungan di simfisis. Hal demikian dapat menimbulkan rasa sakit atau gangguan saar berjalan.



pelvis mayor



pelvis minor



Gambar



15-1. Potongan



sagital panggul, menunjukkan pelvis mayor dan minor



ANATOMi JAI-A.N t-{HrR



190



Secara fungsional panggul terdiri atas 2 bagian yang disebut pelvis mayor dan pelvis minor. Pelvis mayor adalah bagian pelvis yang terletak di atas linea terminalis, disebut pdafake pektis. Bagian yang terletak di bawah linea terminalis disebut pelvis minor atau trae pehtis. Bagian akhir ini adalah bagian yang mempunyai peranan penting dalam obstetri dan harus dapat dikenal dan dinilai sebaik-baiknya untuk dapat me-



ramalkan dapat-tidaknya bayi melewatinya.



Bentuk pelvis minor ini menyerupai suatu saluran yang mempunyai sumbu melengkung ke depan (sumbu Carus). Sumbu ini secara klasik adalah garis yang menghubungkan titik persekutuan antara diameter transversa dan konjugata vera pada pintu atas panggul dengan titik-titik sejenis di Hodge II, III, dan IV. Sampai dekat Hodge III sumbu itu lurus, sejajar dengan sakrum, untuk seterusnya melengkung ke depan, sesuai dengan lengkungan sakrum. Hal ini penting untuk diketahui bila kelak mengakhiri persalinan dengan cunam agar arah penarikan cunam itu disesuaikan dengan arah sumbu jalan-lahir tersebut.



Gambar



16-2.



Sumbu panggul



Bagian atas saluran ini berupa suatu bidang datar, normal berbentuk hampir bulat, disebut pintu atas panggul (pelaic inle). Bagian bawah saluran ini disebut pintu bawah



panggul (peloic owtlet), tidak merupakan suatu bidang seperti pintu atas panggul, melainkan terdiri atas dua bidang. Di antara kedua pintu ini terdapat ruang panggul (pelaic caaity). Ukuran ruang panggul dari atas ke bawah tidak sama. Ruang panggul mempunyai ukuran yang paling luas di bawah pintu-atas panggul, kemudian menyempit di panggul tengah, dan selanjutnya menjadi sedikit lebih luas lagi di bagian bawah. Penyempitan di panggul tengah ini setinggi spina iskiadika yang iarak antara kedua spina iskiadika (disunsia interspinarum) normal + 10,5 cm.



ANATOMI JALAN LAHIR



191



Pintu Atas Panggwl Pintu atas panggul merupakan suatu bidang yang dibentuk oleh promontorium korpus vertebra sakral 1, linea innominata (terminalis), dan pinggir atas simfisis. Terdapat 4 diameter pada pintu atas panggul, yaitu diameter anteroposterior, diameter transversa, dan 2 diameter obiikuas. Panjang jarak dari pinggir atas simfisis ke promontorium lebih kurang 11 cm, disebut konjugatavera. Jarak terjauh garis melintang pada pintu-atas panggul lebih kurang 1,2,5 - 1,3 cm, disebut diameter transversa. Bila ditarik garis dari artikulasio sakro-iliaka ke titik persekutuan antara diameter transversa dan konjugata yera dan diteruskan ke linea innominata, ditemukan diameter yang disebut diameter oblikua sepanjang lebih



kurang 13 cml,a.



Gambar 16-3. Bidang pintu atas panggul Gambar 16-4. Bidang pintu bawah panggul



Cara mengukur konjugara vera ialah dengan jari tengah dan telunjuk dimasukkan ke dalam vagina untuk meraba promontorium. Jarak bagian bawah simfisis sampai ke promontorium dikenal sebagai konjugata diagonalis. Secara statistik diketahui bahwa konjugata vera sama dengan konjugata diagonalis dikurangi 1,5 cm. Apabila promontorium dapat diraba, maka konjugata diagonalis dapat diukur, yaitu sepanjang jarak antara ujung jari kita yang meraba sampai ke batas pinggir bawah simfisis. Kalau promontorium tidak teraba, berarti ukuran konjugata diagonalis lebih panjang dari jarak antara ujung jari kita sampai ke batas pinggir bawah simfisis. Kalau ;'arak antara ujung jari kita sampai ke batas pinggir bawah simfisis adalah 13 cm, maka berarti konjugata vera lebih dari1,1.,5 cm (13 cm - 1,5 cm). Selain kedua konjugata ini, dikenal pula konjugata obstetrika, yaitu jarak dari tengah simfisis bagian dalam ke promontorium. Sebenarnya konjugata obstetrika ini yang paling penting, walaupun perbedaannya dengan konjugata vera sedikit sekalil,a.



ANATOMI JALAN LAHIR



1,92



Gambar 16-5. Pintu atas panggul dengan konjugata vera, diameter transversa dan diameter oblikua



Gambar



16-6. Cara mengukur konjugata



diagonalis



Dalam obstetri dikenal4 jenis panggul (pembagian Caldwell dan Moloy, 1,933),yang mempunyai ciri-ciri pintu atas panggul sebagai berikuts,6,7.



ANATOMI JAIAN IAHIR



"'- H Jf;';.,i*l,m ;:il5T"I: jllii:l j',l*f



193



*'*



l.Jenis gineboid: panggul paling baik untuk perempuan. Bentuk pintu atas panggul hampir bulat. Panjang diameter antero-posterior kira-kira sama dengan diameter



ini ditemukan pada 45 7o perempuan. android: bentuk pintu atas panggul hampir segi tiga. Umumnya pria mempuJenis nyai jenis seperti ini. Panjang diameter anteroposrerior hampir sama dengan diameter transversa, akan tetapi yang terakhir ini jauh lebih mendekati sakrum. Dengan demikian, bagian belakangnya pendek dan gepeng, sedangkan bagian depannya menyempit ke depan. Jenis ini ditemukan pada 15 7o perempuan. 3. Jenis antropoidi bentuk pintu atas panggul agak lonjong, seperti telur. Panjang diameter antero-posterior lebih besar daripada diameter transversa. Jenis ini ditemukan transversa. Jenis



2.



pada 35 7o perempuan.



4.Jenis platipelloid: sebenarnya jenis ini adalah jenis ginekoid yang menyempit pada arah muka belakang. Ukuran melintang jauh lebih besar daripada ukuran muka belakang. Jenis ini ditemukan pada 5 7o perempuan.



Tidak jarang dijumpai jenis kombinasi keempat jenis klasik ini. Di sinilah letak kegunaan pelvimetri radiologik untuk mengetahui jenis, bentuk, dan ukuran-ukuran pelvis secara tepat. Untuk menyebut jenis peivis kombinasi, disebutkan jenis pelvis bagian belakang dahulu kemudian bagian depan. Misalnya, jenis android-gindkoid; itu berarti jenis pelvis bagian belakang adalah jenis android dan bagian depan adalah ginekoid. Pelvimetri radiologik hanya dilakukan pada indikasi rertenru, misalnya adanya dugaan ketidakseimbangan antara janin dan panggul (feto-pebic disproportion), adanya riwayat trauma atau penyakit tuberkulosis pada tulang panggul, bekas seksio sesarea yang akan direncanakan partus perv.aginam, pada janin letak sungsang, presentasi muka atau kelainan letak lainnya. Pemakaian sinar rontgen dibatasi berdasarkan pengaruhnya terhadap sel-sel kelamin janin yang masih sangat muda dan ovarium ibu8-11. Dewasa ini dapat digunakan Magnetic Resonance Imaging (MRl;tz.



194



ANATOMI JALAN IAHIR



Rwang Panggwl (Pelztic Caaity)



o



O(l



O



o



platipelloid



grneKord



android



Antopoid



Gambar 16-8.



Jenis-jenis panggul



Seperti telah dikemukakan, ruang panggul di bawah pintu atas panggul mempunyai ukuran yang paling luas. Di panggul tengah terdapat penyempitan dalam ukuran melintang setinggi kedua spina iskiada. Jarak antara kedua spina ini (disunsia interspinarwm) normal + 10 cm atau lebih sedikit. Karena di pintu atas panggul ukuran yang lebar adalah ukuran melintang dan di ruang panggul ukuran melintang yang sempit (atau ukuran depan-belakang yang lebar), maka janin saat lewat di ruang panggul harus menyesuaikan diri dengan melakukan putaran paksi dalam. Yang penting dari spina iskiadika ini bukan tonjolannya, tetapi jarak antara kedua spina iskiadika (disunsia intersPinarum) dan apakah spina itu runcing atau tumpul. Walaupun spina iskiadika menonjol, kalau distansia interspinarum 10,5 cm atau lebih berarti jarak antarspina iskiadika cukup lebar. Sebaliknya, apabila spina iskiadika tidak menonjol, tetapi distansia inrerspinarum kurang dari 9 cm berarti jarak antarspina sempit. Spina iskiadika yang runcing lebih baik daripada yang tumpul, karena pada spina iskiadika yang tumpul bidang geseran yang harus dilewati kepala janin lebih luas daripada spina iskiadika yang runcing, sehingga perlu tenaga yang lebih besar dan waktu yang lebih lamal-4.



Ketika mengadakan penilaian ruang panggul hendaknya diperhatikan bentuk os sakrum, apakah normal melengkung dengan baik dari atas ke bawah dan cekung ke belakang. Os sakrum yang kurang melengkung dan kurang cekung akan mempersempit ruang panggul dan mempersulit putaran paksi dalam, sehingga dapat teriadi malposisi janin. Selanjutnya dinding samping ruang panggul dinilai dari atas ke bawah. Misalnya pada panggul ginekoid, dinding sampingnya umumnya lurus dari atas ke bawah' Yang kurang baik adalah dinding samping yang di atas lebar dan ke arah bawah menyempit.



195



ANATOMI JALAN LAHIR



konjugata vera



konjugata obstetrik konjugata diagonalis



diameter anteroposterior terbesal



,"r-it"r.-.. *L/i-



Gambar



16-9.



diameter anteroposteriot outlet )



Ruang panggul



Dari bentuk dan ukuran pelbagai bidang rongga panggul tampak rongga ini merupakan saluran yang tidak sama luasnya di setiap bidangnya. Bidang yang terluas diLentuk pada pertengahan simfisis dengan os sakrum 2 - 3 (ukuran depan-belakang terbesar lebih besar dari ukuran melintang tersempit, yaitu distansia interspinarum), sehingga kepala janin dimungkinkan bergeser melalui pintu-atas panggul masuk_ ke drlr- *rng panggul. Kemungkinan kepala janin dapat lebih mudah masuk ke dalam *r.rg prrrg[ri ;it, sudut antara sakrum dan lumbai (disebut inklinasi), lebih besar.



Bidang Hodge Bidang-bidang Hodge ini dipelajari untuk menentukan sampai terendah janin turun dalam panggul dalam persalinana.



di



manakah bagian



o Bidang Hodge 1: ialah bidang datar yang melalui bagian atas simfisis dan promontorium. Bidang ini dibentuk pada lingkaran pintu atas panggul.



. . o



Bidang Hodge II: ialah bidang yang seiqar dengan Bidang Hodge I terletak setinggi bagian bawah simfisis. Bidang Hodge III: ialah bidang yang sejajar dengan Bidang Hodge I dan II terletak seting;i spina iskiadika kanan dan kiri. Pada rujukan lain, bidang Hodge III ini disebut juga bidr.rg o. Kepala yang berada di atas 1 cm disebut (- 1) atau sebaliknya. Bidang Hod.ge IV: ialah bidang yang sejajar dengan Bidang Hodge I, II, dan III, terletak setinggi os koksigis.



196



ANATOMI JALAN LAHIR



Pembagian ruang panggul menumt Hodge ini dipakai dalam klinik Fakultas Kedokteran lJniversitas Jndonesia/Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.



ilt



HIV



GanTbar



16-10. Bidang-bidang Hodge



Pintu Bawab Panggwl Seperti telah dijelaskan, pintu bawah panggul tidak merupakan suatu bidang datar, tetapi tersusun atas 2 bidang datar yang masing-masing berbentuk segitiga, yaitu bidang yang dibentuk oleh garis antara kedua buah tuber os iskii dengan ujung os sakrum dan segitiga lainnya yang alasnya juga garis antara kedua tuber os iskii dengan bagian bawah simfisis. Pinggir bawah simfisis berbentuk lengkung ke bawah dan merupakan sudut disebut arkus pubis. Dalam keadaan normal besarnya sudut ini * 9Oo, atau lebih besar sedikit. Bila kurang sekali (lebih kecil) dari 90", maka kepala ;'anin akan lebih sulit dilahirkan karena memerlukan tempat lebih banyak ke arah dorsal (ke arah anus). Dalam hal ini perlu diperhatikan apakah uiung os sakrum/os koksigis tidak menonjoi ke depan, sehingga kepala janin tidak dapat dilahirkan. Jarak antara kedua tuber os iskii (distansia tuberum) juga merupakan diambil dari bagian ukuran pintu bawah panggui yang penting. Distansia tubemm + jarak dalamnya adalah 10,5 cm. Bila lebih kecil, antara tengah-tengah distansia tuberum ke ujung sakrum (diameter sagitalis posterior) harus cukup panjang agar bayi normal dapat dilahirkan1,3,4.



ANATOMI JALAN IAHIR



Gambar 16-11. Pintu bawah panggul



Gambar 1,6-1,2. Arkus pubis normal. Kepala janin lahir tanpa kesukaran



197



198



ANATOMI JALAN LAHIR



Gambar 16-13. Arkus pubis lebih kecil dari 90'. Untuk lahir, kepala janin menggunakan iebih banyak tempat di belakang (bandingkan dengan Gambar 16-12)



Ukwran-wkuran Luar Panggwl



ini dapat digunakan bila pelvimetri radiologik tidak dapat dilakukan. Dengan cara ini dapat ditentukan secara garis besar jenis, bentuk, dan ukuran-ukuran panggul apabila dikombinasikan dengan pemeriksaan dalam. Alatalat yang dipakai antara lain jangka-jangka panggul Martin, Oseander, Collin, dan



Ukuran-ukuran luar panggul



Boudeloque.



Yang diukur sebagai berikut1,3,4.



c



Distansia spinarum (+ 24 cm - 26 cm); jarak antara kedua spina iliaka anterior superior sinistra dan dekstra. o Distansia kristarum (t 28 cm - 30 cm); jarakyang terpanjang antara dua tempat yang simetris pada krista iliaka sinistra dan dekstra. Umumnya ukuran-ukuran ini tidak penting, tetapi bila ukuran ini lebih kecil 2 - 3 cm dari nilai normai, dapat dicurigai panggul itu patologik o Disansia oblikwa ekstema (ukuran miring luar): jarak antara spina iliaka posterior sinistra dan spina iliaka anterior superior dekstra dan dari spina iliaka posterior dekstra ke spina iliaka anterior superior sinistra. Kedua ukuran ini bersilang. Jika panggul normal, maka kedua ukuran ini tidak banyak berbeda. Akan tetapi, jika panggul itu asimetrik (miring), kedua ukuran itu jelas berbeda sekali. o Disunsia intertrokanterika: jarak antara kedua rrokanrer mayor. . Konjugaw ebstema (Boudeloque) t 18 cm: jarak antarabagian atas simfisis ke prosesus spinosus lumbal 5.



ANATOMI IALAN LAHIR



199



(t



10,5 cm): jarak antara tuber iskii kanan dan kiri. Untuk mejangka ngukurnya dipakai Oseander. Angka yang ditunjuk jangka harus ditambah jaringan 1,5 cm karena adanya subkutis antara tulang dan ujung jangka, yang menghalangi pengukuran secara tepat. Bila jarak ini kurang dari normal, dengan sendirinya arkus pubis lebih kecil dari 90 derajat.



Disunsia tuberwm



Gambar 16-14. Distansia spinarum



Gambar 16-15. Distansia kristarum



spina iliaka posterior dekstra



spina iliaka anterior superior sinistra



Gambar 16-i6. Distansia oblikus eksterna Gambar 16-12. Distansia intertrokanterika



ANATOMI JAIAN LAHIR



200



Gambar 16-18. Konjugata eksterna



Gambar 16-19. Distansia tuberum



(Boudeloque)



Kelainan-kelainan panggul yang mencolok dengan ukuran-ukuran luar yang ddak normal dapat lebih ditegaskan, tetapi untuk kelainan-kelainan yang ringan diperlukan pelvimetri radiologik. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, pernakaian pelvimetri iadiologik mempunyai pengaruh tidak baik terhadap janin. Jadi, hendaknya pemakaiannya dibatasi pada hal-hal dengan indikasi yang ;'elas, antara lain adanya kecurigaan ukuran panggul lebih kecil daripada ukuran kepala janin (cepbalopebic dis-



proportion)t3. Dewasa ini



MRI dalam anatomi maternal mulai dipakai karena lebih aman daripada



rontgenl2. Pengaruh buruk MRI (genetik atau onkologik) belum diketahui. Oleh k"rena itu, pemakaiannya dalam trimester pertama sewaktu organogenesis sedang berlangsung dengan hebatnya, seyogianya tidak dilakukan. Indikasi pemakaian MRI dalam anatomi maternal terutama untuk pelvimetri, karena indikasi lainnya umumnya dapat dilakukan dengan pemeriksaan ultrasonografi (USG)14. Bagian Lunak Jalan-Lahir



II)



segmen bawah uterus, serviks uteri, dan vagina ikut membentuk jalan lahir. Pada akhir kehamilan, pada usia kehamilan + 38 minggu,



Pada kala pengeluaran (Kala



serviks iebih pendek darrpada waktu kehamilan 15 minggu. Seperti telah dikemukakan, ismus uteri pada kehamilan 16 minggu menjadi bagian uten s tempat ;'anin berkembang. lJmumnya serviks disebut menjadi matang apabila teraba sebagai bibir dan ini terjadi pada usia kehamilan 34 minggu. Pada primigravida hai ini ditemukan bila hampir aterm. Di samping utents dan vagina, otot-otot, jaringan-jaringan ikat, dan ligamenligamen yang berfungsi menyokong alat-alat urogenimlis perlu diketahui oleh karena



ANATOMI JATAN t-{HrR



201



semuanya mempengaruhi jalan-lahir dan lahirnya kepala atau bokong pada partus. Otot-otot yang menahan dasar panggul di bagian luar adalah muskulus sfingter ani eksternus, muskulus bulbokavernosus yang melingkari vagina, dan muskulus perinei transversus superfisialis. Di bagian tengah ditemukan otot-otot yang melingkari uretra (muskulus sfingter uretrae), otot-otot yang melingkari vagina bagian tengah dan anus, antara lain muskulus iliokoksigeus, muskulus iskiokoksigeus, muskulus perinei transversus profundus, dan muskulus koksigeus. Lebih ke dalam lagi ditemukan otot-otot dalam yang paling kuat, disebut diafragma pelvis, terutama muskulus levator ani yang berfungsi menahan dasar panggul. Ia menutup hampir seluruh bagian belakang pintubawah panggul. Letak muskuius levator ini sedemikian rupa sehingga bagian depan muskulus ini berbentuk segitiga, disebut trigonum urogenitalis (hiatus genitalis). Di dalam trigonum ini berada uretra, vagina, dan rektum. Muskulus levator ani mempunyai peranan yang penting dalam mekanisme putaran paksi dalam janin. Kemiringan dan kelentingan (elastisitas) otot ini membantu memudahkan putaran paksi dalam janin. Pada otot yang kurang miring (lebih mendatar) dan kurang melenting (misalnya pada multiparayang elastisitas otot berkurang), putaran paksi dalam lebih sulit15.



(Sumber: McDonald



Gambar 16-20. Boneka De Snoo dan silinder IA, A method of obstetrics and gnaecolog,. Pergamon Press Australia; 1971)



Banyak penelitian yang telah direka untuk men;'elaskan fenomena putaran paksi dalam. Salah satu di anraranya adalah yang telah dilakukan oleh Klaas de Snoo seorang dokter spesialis kebidanan Belanda yang menggunakan silinder gelas yang melengkung dan sebuah boneka karet yang satu ujungnya dibuat miring dan runcing seolah-olah oksipur dalam posisi kepala fleksi dan suatu takik agak jauh sedikit dari ujung runcing yang memungkinkan fieksi leherls. Klaas de Snoo menunjukkan bahwa apabila boneka



202



ANATOMT JAr-tN LAHrR



didorong ke dalam silinder lengkung tersebur dan oksiput dalam posisi apa pun (kecuali dalam posisi oksiput posterior mutlak), maka dalam proses turunnya kepala selalu diikuti dengan rotasi oksiput ke depan. Selain faktor otor, putaran paksi dalam juga ditentukan oleh ukuran panggul dan mobilitas leher janin. Tumor atau lilitan tali pusat di leher janin juga mempersulit putaran



paksi dalam.



Dalam diafragma pelvis berjalan nenus pudendus yang masuk ke rongga panggul melalui kanalis Alcock, terletak antara spina iskiadika dan tuber iskii. Pada persalinan sering dilakukan anestesia blok pudendus, sehingga rasa sakit dapat dihilangkan pada ekstraksi cunam, ekstraksi vakum, penjahitan ruptura'perinei, dan sebagainya. Arteria dan vena yang berjalan dalam rongga panggul adalah cabang bawah dari arteria dan vena uterina serta cabang-cabang arteria dan vena hemorroidalis superior.



m. transversus perinealis profunda



m. bulbokavernosus



bulbus vestibuli



m. transversus



gl. Bartholin



perinealis superfisialis



m. sfingter ani



m. levator ani



eksternus



i\\:'l.n



i'



\ Gambar 16-21.. Otot-otot pada perineum



ANATOMI JAIAN LAHIR



203



klitoris iskiokavernosus



/'.



l



,



m. transversus perinealis superf isialis



tt tuber iskiadikum



pas analis rekti



m. gluteus maksimus m. pubokoksigeus



m. sfingter ani eksternum



Gambar krus klitoridis



16-22.



Diafragma pelvis (dari luar)



\____--=__-=*--_._,,'



korpus klitoridis



pubokoksigeus



pars analis rekti m. sfingter ani ekstermus iliokok



xq9us



m. gluteus maksimus



Gambar 16-23. Diafragma pelvis (dari dalam)



ANATOMI JAIAN LAHIR



244



RUTUKAN A. Systematische und topographische anatomie des weiblichen Beckens. In: Seitz L, Amreich AI. Biologie und Pathologie des W'eibes. I Band. S. 83, Verlag Urban und Schwarzenberg,



1. Perngoph E, Pichler



Berlin, Innsbruck, Munchen, Wien, 1953 2. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC. \flilliams Obstetrics. 19th ed. Prentice-Hall International; 1.993: 283-96 3. Baird D. The cause and prevention of difficult labor. Am J Obstet Gynecol, 1952;63: 1200 4. Tadjuluddin T. Imbang feto-pelvik. Mimeograf. Bagian Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran lJniversitas Indonesia, J akarta, !9 61. 5. Caldwell VE, Moloy HC. Anatomical variations in the female pelvis and their effect in labor with a suggested classification. Am J Obstet Gynecol, 1933;26: 479 5. Caldwel VE, Moloy HC, Swenson PC. Use of the roentgen ray in Obstetrics: 1. Roentgen pelvimetry and cephalometry; technique of pelvioroentgenography. Am J Roentgenol,1939;41:3a5 7. Caldwell \7E, Moloy HC, Swenson PC. Use of the roentgen ray in Obstetrics: II. Anatomical variations in the female pelvis and their classification according to morphology. Am J Roentgenol, 1939;41.5a5 8. Berman R, Sonnenbick BP, Intravaginal measurement of radiation dose incident to x-ray pelvimetry and hysterosalpingography. Am J Obstet Gynecol 1957;74: 1 9. Clayton CG, Farmer FT, \vy'arrick CK. Radiation dosage to the foetal head and maternal gonads in obstetrics radiography during late pregnancy. Brit J Radiol, '1957;3a:291 10. Muller HJ. Damage to posterity irradiation of rhe gonads. Am J Obstet Gynecol, 1954; 67: 467 11. Stewart A, Kneale G\W. Radiation dose effects in relation to obstetrics X-rays and childhood cancers. Lancet, l97a;1,: 1L85 12. Powel MC, Worthington BS, Buckley jM. Magnetic Resonance Imaging (MRI) in Obstetrics I Maternal Anatomy. Br J Obstet Gynaecol, 1988; 95: 31 13. Caldwell \78, Moloy HC, Swenson PC. Use of the roentge4 ray in Obstetrics: Mechanism of.labor. Am J Roentgenol,1939; 4L:719 14. Taylor ES, Holmes JH, Thompson HE Gottesfeld KR. Ultrasound diagnostic techniques in obstetrics and gynecology. Am J Obstet Gynecol, 1964;9a: 655 15. McDonald IA. A method of obstetrics and gynaecology. Pergamon Press Australia; 1971. l8-9



17



KEDUDUKAN



/ANIN



INTRAUTERIN



Komar A. Syamsuddin Twjwan Instrwksional Umum Mengeuhui bermacam-macam kedudwkan janin intrauterin sebinga dapat memabami mekanistne persalinan.



Tujuan Instrwksional



Khwsws



Memahami dan mengefii tentang: 1. Sikap (habitus, attitude) janin 2, Letak (situs) janin



3. 4.



janin janin



Presentasi Posisi



Proses Akomodasi Dengan terbentuknya segmen bawah rahim, maka pada akhir kehamilan bentuk uterus menjadi lonjong dengan ukuran atas bawah lebih panjang dibanding dengan ukuran melintang dan fundus uteri lebih lebar dibanding dengan bagian bawah uterus. Sampai kehamilan kira-kira 32 minggu kar.um amnii relatif lebih besar dan air ketuban relatif lebih banyak dibanding dengan besarnya janin sehingga dinding uterus tidak mendekati janin. Selanjutnya karena air ketuban mulai berkurang pada akhir kehamilan sehingga air ketuban relatif sedikit maka dinding uterus mend.Lrii brdr., janin. Bentuk rt.*i yrrrg lonjong dan bagian atas yang lebih luas akan mempengaruhi kedudukan janin untuk mengakomodasikan diri dengan bentuk uterus, sehingga ukuran memanjang janin akan



KEDUDUKAN JANIN I NTRAUTERIN



206



menempati ukuran memanjang uterus, karena bokong dan tungkai bawah lebih besar ukurannya dibanding dengan kepala akan menempati bagian yang lebih luas yaitu di fundus uteri, sehingga presentasi kepala merupakan frekuensi terbanyak dibandingkan dengan presentasi lainnya. Proses akomodasi bergantung pada banyaknya air ketuban sehingga kalau air ketuban banyak maka gerakan janin sangat leluasa, dan sebaliknya bila air ketubannya sedikit akan menyulitkan gerakan janin. Proses akomodasi ini selain adanya air ketuban juga dibantu oleh gerakan janin. Bila janin tidak bergerak, umpama janin mati, maka proses akomodasi ini akan terganggu. Kedudukan janin intrauterin adalah khas maka beberapa pengertian yang dipakai untuk kedudukan janin intrauterin tersebut dapat dibedakan dalam beberapa pengertianl,2.



Sikap (habitus/ attitwde) Hubungan bagian-bagian janin yang satu dengan bagian janin yang lain, biasanya terhadap tulang punggungnya. Sikap janin yang fisioiogis adalah badan dalam keadaan kifose sehingga punggung menjadi konveks, kepala dalam sikap hiperfleksi dengan dagu dekat dengan dada, lengan bersilang di depan dada dan tali pusat terletak di antara ekstremitas dan tungkai terlipat pada lipat paha dan lutut yang rapat pada badan. Sikap fisioiogis ini menghasilkan sikap fleksi. Sikap ini terjadi karena pertumbuhan janin dan proses akomodasi terhadap kar''um uteri. Jika dagu menjauhi dada hingga kepala akan menengadah dan tulang punggung mengadakan lordose, maka sikap ini akan menghasilkan sikap defleksil,s.



l,



./:-



i;'r;-'6>



. --



(.- -\=. Fleksi (Presentasi belakang



Defleksi ringan (Presentasi puhcak



kepala)



kepata)



'



:a-



/,



Defleksi sedang



Defleksi maksimum



(Presentasi dahi)



(Presentasi muka)



Gambar 1.7-1. Bermacam-macam sikap janin



KEDUDUKAN JANIN INTRAUTERIN



207



Letak (situs) Hubungan antara sumbu panjang janin dengan sumbu panjang ibu, misalnya situs memanjang atau membujur adalah sumbu panjang janin sesuai dengan sumbu panjang ibu, dapat pada letak kepala atau letak bokong, situs melintang adalah sumbu panjang janin melintang terhadap sumbu panjang ibu, situs miring adalah sumbu panjang ianin miring terhadap sumbu panjang ibu. Frekuensi situs memanjang99,6 % (96 % letak kepala, 3,6 o/" letak bokong) dan 0,4 "/o letak lintang atau miringl'5. Presentasi



Dipakai untuk menentukan bagian janin yang terbawah dan tiap presentasi terdapat 2 macam posisi yaitu kanan dan kiri dan tiap posisi terdapat 3 macam variasi yaitu depan, lintang, dan belakang (kiri depan, kiri lintang dan kiri belakang, kanan depan, kanan lintang, dan kanan belakang). Bila kaput suksedaneum besar, maka posisi dan variasinya sulit ditentukanl,5.



Macam-macam Presentasi Pada kehamilan aterm atau hampir aterm terdapat bermacam-macjm presentasi.



o Presentasi kepala



(96 %) kepala Presentasi terdiri atas:



-



Presentasi belakang kepala dengan penunjuk ubun-ubun kecil di segmen depan, di sebelah kiri depan (kira-kira 2/s), di sebelah kanan depan (kira-kira %) dan ini adalah posisi yang normal atau normoposisi. Presentasi belakang kepala dengan penunjuk ubun-ubun kecil di belakang dapat di



kiri



belakang, kanan belakang dan dapat pula ubun-ubun kecil terletak melintang baik kanan maupun kiri dan ini adalah posisi yang tidak normal atau sebelah



malposisi.



.



Presentasi puncak kepala: kepala dalam defleksi ringan dengan penunjuk ubun-



ubun besar. Presentasi dahi: kepala dalam defleksi sedang dengan penunjuk dahi/frontum. Presentasi muka: kepala dalam defleksi maksimal dengan penunjuk dagu/mentum.



Presentasi bokong (3,6 %) dengan penunjuk sakrum Presentasi bokong terdiri atas: - Presentasi bokong sempurna di mana kedua tungkai berada di samping bokong.



-



Presentasi Presentasi Presentasi Presentasi



bokong mtrni (frank



breecb presenution): kedua tungkai iurus ke atas.



bokong kaki: tungkai te;lipat pada lipat paha dan lekuk lutut. bokong kaki sempurna: terbawah 2 kaki. bokong kaki tidak sempurna: terbawah 1 kaki.



KEDUDUKAN JANIN INTRAUTERIN



208



Presentasi kaki: kaki turun ke bawah lebih rendah dari bokong. Presentasi kaki sempurna: terbawah 2 kaki. Presentasi kaki tidak sempurna: terbawah 1 kaki. Presentasi Presentasi Presentasi



lutut: lutut turun ke bawah lebih rendah dari bokong. lutut sempurna: terbawah 2 lutut. lutut tidak sempurna: terbawah 1 1utut1,2'5.



Presentasi bokong sempurna



Presentasi bokong



murnl



Presenrasi



kaki tidek



bokong sempurna



Presentasi lutut



tidak sempurna



Gambar 1,7-2. Bermacam-macam presentasi bokong Presentasi bahu (0,4 %) dengan penunjuk akromion atau skapula.



\r1z Gambar 1,7-3. Presentasi bahu Posisi



Posisi pada periksa luar dengan palpasi, ditentukan dengan menentukan letak punggung janin terhadap dinding perut ibu, sedangkan pada pemeriksaan dalam posisi ditentukan dengan menenrukan kedudukan salah satu bagian janin yang terendah terhadap jalan lahir, bagian yang terendah tadi disebut penunjuk. Penunjuk itu dinyatakan sesuai dengan bagian kiri atau kanan ibu (Gambar 1,7-4 sampai dengan 17-7).



KTDUDUKAN JANIN INTRAUTERIN



209



Bagian terendah tersebut dapat ubun-ubun kecil untuk presentasi belakang kepala; ubun-ubun besar untuk presentasi puncak kepala; dahi pada presentasi untuk dahi; dagu untuk presentasi muka; sakrum untuk presentasi bokong, dan akromion/skapula untuk presentasi bahu (letak iintang).



Macam-macam Posisi



.



Posisi pada Presentasi Belakang Kepala dengan Penunjuk Ubun-ubun Kecil



UUK kiri



UUK kiri



depan



Gambar l7-4.



UUK



kanan depan



Gambar



lintang



UUK kiri



belakang



Posisi kiri pada presentasi belakang kepala



UUK



kanan lintang



17-5. Posisi kanan



UUK



kanan belakang



pada presentasi belakang kepala



Posisi pada Presentasi Muka dengan Penunjuk Dagu atau Mentum



Dagu kiri depan



Dagu kanan depan 17-6. Presentasi muka



Gambar



Dagu kanan belakang



210



.



KEDUDUKAN JANIN INTRAUTERIN



Posisi pada Presentasi Bokong dengan Penunjuk Sakrum



Sakrum



belakang



kiri



Sakrum kanan



Gambar



l7-7.



belakang



Sakrum kanan depan



Presentasi bokong



Beberapa Pengertian



o Normoposisi:



-



Presentasi belakang kepala dengan ubun-ubun-kecil di segmen depan.



Ubun-ubun kecil depan Ubun-ubun kecil kanan depan Ubun-ubun kecil kiri depan



o Malposisi: Presentasi



belakang kepala dengan ubun-ubun-kecil tidak berada di segmen



depan.



-



Ubun-ubun Ubun-ubun Ubun-ubun Ubun-ubun



kecil kecil kecil kecil



belakang kanan belakang kiri belakang



melintang



o Malpresentasi:



-



Presentasi Presentasi Presentasi Presentasi Presentasi



Presentasi yang bukan presentasi belakang kepala. puncak kepala dahi



muka



bokong bahu



KEDUDUKAN JANIN INTRAUTERIN



21,1,



Letak, Presentasi, Penuniuk, Posisi, Variasi



Letak



Presentasi Penunjuk Posisi Kiri



Variasi



Depan Lintang



Posisi



Ubun-ubun kecil kiri depan Ubun-ubun kecil kiri lintang



Belakang Ubun-



Belakang Ubun-ubun kecil kiri



kepala



Depan



Ubun-ubun kecil kanan depan



Lintang



Ubun-ubun kecil kanan lintang



-



i::t



Kanan



belakang



Belakang Ubun-ubun kecil kanan Kiri Puncak kepala



besar



Ubun-ubun besar kiri depan



Lintang



Ubun-ubun besar kiri lintang



Belakang Ubun-ubun besar kiri



Ubunubun Kanan



Depan Lintang



belakang



Ubun-ubun besar kanan depan Ubun-ubun besar kanan lintang



Belakang Ubun-ubun besar kanan Kiri



Memanjang Dahi



Dahi atau



frontum



Muka



Drg,



Depan



Dahi kiri depan



Lintang



Dahi kiri lintang Belakang Dahi kiri belakang



Depan



Dahi kanan depan



Kanan



Depan Llntang



Dagu kanan depan



uagu Kanan rrntang



Belakang Dagu kanan Kiri



Depan



Sakrum



Lintang



Sakrum



Belakang Sakrum Bokong



Sakrum Kanan



Melintang



Akromion Bahu



/skapula



belakang



Kanan Lintang Dahi kanan lintang Belakang Dahi kanan belakang Depan Dagu kiri depan Kiri Lintang Dagu kiri lintang Belakang Dagu kiri belakang



atau



mentum



belakang



Depan



Kiri



belakang



kiri depan kiri lintang kiri belakang



Depan Lintang



Sakrum kanan depan



Belakang



Sakrum kanan belakang



Sakrum kanan linrang



Depan



Akromion kiri depan Belakang Akromion kiri belakang



Depan



Akromion kanan depan



Kanan Belakang Akromion



kanan belakang



212



KEDUDUKAN JANIN INTRAUTERIN



RUTUKAN FG, Leveno KJ, Bloom SL, et al. \Williams Obstetrics. 22"d ed. USA: McGraw-Hill Companies Inc 2005: 409-41 2. Arulkamaran S. Malpresentation, malposition, cephalopelvic disproportion and obstetric procedures. In: Dewhurst's textbook of obstetrics and gynecology. 7'h ed. Blackwell Publishing 2Qa7:213-26 3. Friedman EA, Kroll BH. Computer analysis of labor progression V. Effect of fetal presentarion and posirion. J Reprod Med 1.972: 38-177 4. Friedman EA. Labor clinical evaluation and management. 2nd ed. New York: Appleton Century Crofts 1. Cunningham



7978



5. Scheer K, Nobar J. Variation 1.25:269



of fetal presentation with



gestational age. Am



J Obstet Gynecol 1976;



I



18



DIAGNOSIS KEHAMILAN George Adriaansz dan T.M. Hanafiah Twjwan Instrwksional Umwm Memahami gejak dan tand.a kebamilan secara klinik, kboratorium, dan pemeriksaan penunjang lainnya.



Twjwan Instruksional Kbwsws



1. Memahami perwbahan fi.siologih dan bormonaL pada kebamikn. 2. Mengetahui uji hormonal kehamilan. 3. Mengetahui perubahan anatomih dan Jisiologik pada kehamilan. Menurut Federasi Obstetri Ginekologi Internasional, kehamilan didefinisikan



sebagai



fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan ovum dan dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. Bila dihitung dari saat fertilisasi hingga lahirnya bayi, kehamilan normal akan berlangsung dalam waktu 40 minggu atau 10 bulan lunar atau 9 bulan menurut kalender internasional. Kehamilan terbagi dalam 3 trimester, di mana trimester kesatu berlangsung



dalam 1,2 minggu, trimester kedua 15 minggu (minggu ke-13 hingga ke-27), dan trimester ketiga 13 minggu (minggu ke-28 hingga ke-aO). Untuk melakukan asuhan antenatal yang baik, diperlukan pengetahuan dan kemampuan untuk mengenali perubahan fisiologik yang terkait dengan proses kehamilan. Perubahan tersebut mencakup perubahan produksi dan pengaruh homonal serta perubahan anatomik dan fisiologik selama kehamilan. Pengenalan dan pemahaman tentang perubahan fisiologik tersebut menjadi modal dasar daiam mengenali kondisi patologik yang dapat mengganggu status kesehatan ibu ataupun bayi yang dikandungnya. Dengan kemampuan tersebut, penolong atau petugas kesehatan dapat mengambil tindakan yang tepat dan perlu untuk memperoleh luaran yang optimal dari kehamilan dan persalinan.



214



DIAGNOSIS KI,HAMIIAN



Perubahan Fisiologik dan Hormonal pada Kehamilan Penentuan dan dugaan terhadap kehamilan sangat terkait dengan pengetahuan tentang fisiologi awal kehamilan. Pengenalan ini juga penting bagi penapisan terhadap kelainan yang mungkin terjadi selama kehamiian. Tanda-tanda presumtif adalah perubahan fisiologik pada ibu atau seorang perempuan yang mengindikasikan bahwa ia telah hamil. Tanda-tanda tidak pasti atau terduga hamil adalah perubahan anatomik dan fisiologik selain dari tanda-tanda presumtif yang dapat dideteksi atau dikenali oleh pemeriksa. Tanda-tanda pasti kehamilan adalah data atau kondisi yang mengindikasikan adaoya buah kehamilan atau bayi yang diketahui melalui pemeriksaan dan direkam oleh pemeriksa (misalnya denprt jantung ianin, gambaran sonogram janin, dan gerakan janin). Setelah orum dikeluarkan dari folikel deGraf matang di ovarium, maka folikel ini akan berubah menjadi korpus luteum yang berperan dalam siklus menstruasi dan mengalami degenerasi setelah rcrjadinya menstruasi. Bila ovum dibuahi oleh spermatozoa maka korpus luteum akan dipertahankan oleh korionik gonadotropin yang dihasilkan oleh sinsisiotrofoblas di sekitar blastokis menjadi korpus luteum kehamilan. Progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum sangat diperlukan untuk menyiapkan proses implantasi di dinding uterus dan proses kehamilan dalam trimester pertama sebelum nantinya fungsi ini diambil alih oleh plasenta pada trimester kedua. Progesteron yang dihasilkan dari korpus luteum juga menyebabkan peningkatan suhu tubuh basal yang terjadi setelah ol'ulasi akan tetap bertahan. Kehamilan menyebabkan dinding dalam uterus (endometrium) tidak dilepaskan sehingga amenore atau tidak datangnya haid dianggap sebagai tanda kehamilan. Namun, hal ini tidak dapat dianggap sebagai tanda pasti kehamilan karena amenore dapat juga terjadi pada beberapa penyakit kronik, tumor hipofise, perubahan faktor-faktor lingkungan, malnutrisi dan (yang paling sering) gangguan emosional terutama pada mereka yang tidak ingin hamil atau malahan mereka yang ingin sekali hamil (dikenal dengan pseudoq,esis atar hamil semu).



Konsentrasi tinggi estrogen dan progesteron yang dihasilkan oleh plasenta menimbulkan perubahan pada pa1'udara (tegang dan membesar), pigmentasi kulit dan pembesaran uterus. Adanya choionic gonadotropin (hCG) digunakan sebagai dasar uji imunologik kehamilan. Korionik somatotropin (Human Pkcenul Lactogen/hPL) dengan muatan laktogenik akan merangsang pertumbuhan keienjar susu di dalam payudara dan berbagai perubahan metabolik yang mengiringinya. Secara spesifik estrogen akan merangsang pertumbuhan sistem penyaluran air susu dan jaringin payrtdara. Progesteron berperan dalam perkembangan sistem alveoli kelenjar susu. Hipertrofi alveoli yang terjadi sejak 2 bulan Pertama kehamilan menyebabkan sensasi nodular pada payrdara. Chorionic somatotropin dan kedua hormon ini menyebabkan pembesarin payudara yang disertai dengan rasa penuh atau tegang dan sensitif terhadap sentuhan (dalam dua bulan pertama kehamilan), pembesaran puting susu dan pengelua.a., kolostrum (mulai terlihat atalr dapar diekspresikan sejak kehamilan memasuki usia 12 minggu). Hipertrofi kelenjar sebasea berupa tuberkel Montgomery atau foiikel di sekitar areola mulai terlihat jelas sejak dua bulan pertama ke-



DIAGNOSIS K-EHAMILAN



21,5



hamilan. Pembesaran berlebihan payudara dapat menyebabkan striasi (garis-garis hipo atau hiperpigmentasi pada kulit). Selain membesar, dapat pula terlihat gambaran vena bawah kulit pasJudara. Pembesaran paytdara sering dikaitkan dengan terjadinya kehamilan, tetapi hal ini bukan merupakan petunjuk pasti karena kondisi serupa dapat terjadi pada pengguna kontrasepsi hormonal, penderita tumor otak atau ovarium, pengguna rutin obat penenang, dan hamil semu (pseudoqesis). \Walaupun tidak diketahui secara pasti pigmentasi kulit terjadi akibat efek stimulasi melanosii yang dipicu oleh peningkrtrn hl.-o., estrogen dan progesteron. Bagian kulit yang paling sering mengalami hiperpigmentasi adalah puting susu dan areola di sekitarnya serta umumnya pada linea mediana abdomen, pa1'udara, bokong, dan paha. Chloasma graaidarwm adalah hiperpigmentasi pada area wajah (dahi, hidung, pipi, dan leher). Area atau daerah kulit yang mengalami hiperpigmentasi akan kembali menjadi normal setelah kehamilan berakhir. Pengecualian terjadi pada striae di mana area hiperpigmentasi akan memudar tetapi guratan pada kulit akan menetap dan berwarna putih keperakan.



Hal lain yang terkait dengan perubahan hormonal dan dikaitkan dengan tanda kehamilan adalah rasa mual dan muntah yang berlebihan atau hiperemesis. \Walaupun demikian, kondisi ini juga tidak dapat dikategorikan sebagai tanda pasti kehamilan karena berbagai penyebab metabolik lain dapat pula menimbulkan gejala yang seruPa. Hiperemesis pada kehamilan digolongkan normal apabila terjadinya tidak iebih dari trimester pertama. Gejala metabolik lain yang dialami oleh ibu hamil dalam trimester pertama adalah rasa lelah atau fatigwe. Kondisi ini disebabkan oleh menumnnya Basal Meabolic Rate (BMR) dalam trimester perrama kehamilan. Dengan meningkatnya aktivitas metabolik produk kehamilan (janin) sesuai dengan berlanjutnya usia kehamilan, maka rasa lelah yang terjadi selama trimester pertama akan berangsur-angsur menghilang dan kondisi ibu hamil akan menjadi lebih segar.



Uji Hormonal Kehamilan kehamilan didasarkan pada adanya produksi korionik gonadotropin (hCG) oleh sel-sel sinsisiotrofoblas pada awal kehamilan. Hormon ini disekresikan ke dalam sir-



Uji



kulasi ibu hamil dan diekskresikan melalui urin. Human Cborionic Gonadotropin (hCG) dapat dideteksi pada sekirar 26 hari setelah konsepsi dan peningkatan ekskresinya sebanding meningkatnya usia kehamilan di antara 30 - 60 hari. Produksi puncaknya adalah pada usia kehamilan 60 - 70 hari dan kemudian menurun secara



bertahap dan menetap hingga akhir kehamilan seteiah usia kehamilan 100 - 130 hari. Pemeriksaan kuantitatif hCG cukup bermakna bagi kehamilan. Kadar hCG yang rendah ditemui pada kehamilan ektopik dan abortus iminens. Kadar yang tinggi dapat



dijumpai pada kehamilan majemuk, mola hidatidosa, atau korio karsinoma. Nilai kuantitatif dengan pemeriksaan radio irnmwnoassay dapat membantu untuk menentukan usia kehamilan.



216



DIAGNOSIS KEHAMIIAN



Aschheim dan Zondek telah menggunakan uji kehamilan dengan penanda hCG sejak :ahun 1920. Uji biologik ini menggunakan hewan (katak, tikus, kelinci) yrng kemudian disuntik dengan serum atau urin perempuan yang diduga hamil untuk melihat reaksi yang terjadi pada ovarium atau testis hewan percobaan tersebut. Prinsip uji biologik penanda hCG selanjutnya dikembangkan dengan cara mengambil antiserum hCG dari hewan yang teiah memproduksi antibodi hasil stimulasi dengan hCG (protein dengan sifat antigenik). Bila urin diteteskan ke antiserum, maka terjadi mediasi aktivitas antiserum untuk bereaksi dengan partikel lateks yang dilapisi dengan hCG (latex particle aglwtination inbibition test) arau sel darah merah yang telah disensitisasi dengan hCG (beruaglutination inhibition test). Pada perempuan yang hamil, hCG di dalam urinnya akan menetralisasi antibodi dalam antiserum sehingga tidak terjadi reaksi aglutinasi. Pada perempuan yang tidak hami1, tidak terjadi netralisasi antibodi sehingga terjadi reaksi aglutinasi. Karena hCG mempunyai struktur yang mirip dengan hormon luteinisasi (Lwteinizing Hormone/LH), maka dapat terjadi reaksi silang masing-masing antibodi terhadap masing-masing hormon. Untuk menghindari hai tersebut, maka dilakukan pembatasan terhadap sensitivitas jumlah maksimum atau internasional unit hormon yang akan diperiksa. Fake negatiae



uji imunologik kehamilan terjadi pada 2 "h dari keseluruhan pengujian dan hal tersebut umumnya terjadi akibat pengujian yang terlalu dini (di bawah 6 minggu, dihitung dari hari pertama haid terakhir) atau terlalu lama (di atas 18 - 20 minggu kehamilan). False positive terjadi pada 5 "h dari keseluruhan uji kehamilan dan hal ini umumnya terjadi pada perempuan dengan proteinuria yang masif, menjelang menopause (peningkatan hormon gonadotropin dan penurunan fungsi ovarium), dan reaksi silang hormon gonadotropin. Karena akurasi pemeriksaan hCG adalah 95 - 98 "k dan tidak spesifik untuk kehamilan, maka uji hormonal kehamilan tidak digolongkan sebagai tanda pasti kehamilan. rJji radiorecEtorassdy dan radioimmunoassa)) merupakan metode yang sangat sensitif untuk mendeteksi hCG jika dibandingkan dengan uji kehamilan sebelumnya. Kedua metode ini membutuhkan peralatan canggih, mahal, dan tenaga analis terlatih. Pemeriksaan dengan radioreceptorasssay juga bereaksi silang dengan hormon luteinisasi/



luteinizing ltormone sehingga sensitivitas semata tidak dapat mengungguli uji radioimmwnoassay.



Pemeriksaan spesimen darah dengan radioimntunoassay dapat dikhususkan untuk rantai glikoprotein subunit beta (g subwnits) yang dianggap spesifik dengan kehamilan. Dengan metode ini, adanya hCG dapat dideteksi sejak 1 minggu setelah konsepsi. Pengujian ini dilengkapi dengan informasi tentang usia kehamilan dan tingkat sensitivitas yang dipakai oleh pembuat perangkat atau instrumen uji kehamilan. Walau cara pengujian ini dianggap sangat akurat tetapi tidak 100 % sempurna. Metode terbaru pengujian hCG subunit p adalah Enzyme Linked Immunosorbent ,4ssa7 (ELISA). Cara ini akan mengabsorbsi antibodi monoklonal hCG subunit B dengan hasil yang sangat sensitif, tingkat spesifisitas yang tinggi dalam waktu yang relatif singkat, tidak membutuhkan btaya tinggi dan mudah dilakukan.



DIAGNOSIS KLHAMIIAN



2t7



Perubahan Anatomik dan Fisiologik pada Kehamilan Pernbesaran uterus merupakan perubahan anatomik yang paling nyata pada ibu hamil. Peningkatan konsentrasi hormon estrogen dan progesteron pada awal keharnilan akan menyebabkan hipertrofi miometriurn. Hipertrofi tersebut dibarengi dengan peningkatan yang nyat^ dari jaringan elastin dan akumulasi dari jaringan fibrosa sehingga str-uktur dinding uterus menjadi lebih kuat terhadap regangan dan distensi. Hiperrrofi miome-



trium juga disertai dengan peningkatan vaskularisasi dan pembuluh limfatik. Peningkatan vaskularisasi, kongesti, dan edema jaringan dinding uterus dan hipenrofi kelenjar serviks rnenyebabkan berbagai perubahan yang dikenali sebagai tanda Chadwick, Goodell, dan Hegar. Tanda Chadwick adalah perubahan warna menjadi kebiruan atau keunguan pada rulva, vagina, dan serviks. Tanda Goodell adalah perubahan konsistensi (yang dianalogikan dengan konsistensi bibir) serviks dibandingkan dengan konsistensi kenyal (dianalogikan dengan ujung hidung) pada saat tidak hamii. Tanda Hegar adalah pelunakan dan kompresibilitas ismus serviks sehingga ujung-ujung jari seakan dapat ditemukan apabila ismus ditekan dari arah yang berlawanan. Pelunakan dan kompresibilitas serviks menyebabkan berkurangnya kemampuan ini untuk menahan beban yang disebabkan oleh pembesaran uten s dan sebagai kompensasinya, uterus ter.jatuh ke depan (hiperantefleksio) dalam tiga bulan pertama kehamilan (uterus masih sebagai organ pelvik). Dengan posisi tersebut di atas, akan terjadi dorongan inekanik fundus uteri ke kandung kemih sehingga timbul gejala sering berkemih selama periode trimester pertama. Gejala ini akan berkurang setelah usia kehamilan memasuki trimester kedua di mana uterus semakin membesar dan keluar dari rongga pelvik sehingga tidak lagi terjadi dorongan fundus pada kandung kernih. bagian



Gambar



18-1. lJterus hamil



sebagai organ pelvik



DTAGNOSIS K-EHAM]tAN



21,8



Bentuk utems yang seperti buah avokad kecil (pada saat sebelum hamil) akan berubah bentuk menjadi globuler pada awal kehamilan dan ovoid (membulat) apabila kehamilan memasuki trimester kedua. Setelah 3 bulan kehamilan, volume uterus menjadi cepat bertambah sebagai akibat penumbuhan yang cepat pula dari konsepsi dan produk ikutannya. Seiring dengan semakin membesarnya uterus, korpus uteri dan fundus semakin keluar dari rongga pelvik sehingga lebih sesuai untuk disebut sebagai organ abdomen.



Gambar



18-2. Uterus hamil



sebagai organ abdomen



Pertumbuhan uterus ke arah kalum abdomen disertai dengan sedikit rotasi ke arah kanan sumbu badan ibu atau dikenal dengan istilah dekstrorotasi. Kondisi ini disebabkan oleh adanya kolon rektosigmoid yang mengisi sebagian besar ruang abdominopelvikum kiri. Kecepatan pembesaran uterus pada primigravida dan multigravida dapat sedikit berbeda (kisaran 1 - 2 minggu) dan hal ini menimbulkan variasi dalam estimasi besar uterus pada awal pemeriksaan kehamilan awal atau tera usia kehamilan dengan menggunakan titik anatomik tertentu (misalnya: fundus uteri setinggi umbilikus). Pembesaran dinding abdomen sering dianggap sebagai tanda dari terjadinya kehamilan. Pembesaran tersebut terkaitkan dengan terjadinya pembesaran uterus di rongga abdomen. Penonjolan dinding abdomen biasanya dimulai pada usia kehamilan 16 minggu di mana uterus beralih dari organ pelvik menjadi organ abdomen. Penon;'olan dinding abdomen lebih nyata pada ibu hamil dengan posisi berdiri jika dibandingkan dengan



posisi berbaring. Juga lebih terlihat pada multipara jika dibandingkan dengan nulipara



DIAGNOSIS K-EHAMILAN



21,9



atau primigravida akibat kendurnya otot-otot dinding perut. Apabila uterus jatuh ke arah depan dan bawah, maka dinding perut akan menonjol seperti bandul dan hal ini disebut sebagai perut pendulum. Pada kasus yang ekstrim, kondisi ini dapat mengganggu kemajuan proses persalinan. Pembesaran uterus pada awal kehamilan biasanya tidak terjadi secara simetris. Secara normal ovtrm yang telah dibuahi akan berimplantasi pada segmen atas uterus, terutama pada dinding posterior. Bila lokasi implantasi berada di dekat kornu, maka daerah ini akan lebih cepat membesar jika dibandingkan dengan bagian uterus lainnya. Pembesaran asimetri dan penonjolan salah satu kornu tersebut dapat dikenali melalui pemeriksaan bimanual pelvik pada usia kehamilan deiapan hingga sepuluh minggu. Keadaan ini dikenal sebagai tanda Piskacek. Tanda kehamilan lain adalah kontraksi Braxton Hicbs yang terjadi akibat peregangan



miometrium yang disebabkan oleh terjadinya pembesaran uterus. Peningkatan aktomiosin di dalam miometrium juga menjadi penyebab dari meningkatnya kontraktilitas uterus. Kontraksi Braxton Hicks bersifat non-ritmik, sporadik, tanpa disertai adanya rasa nyeri, mulai timbul sejak kehamilan enam minggu dan tidak terdeteksi melalui pemeriksaan bimanual pelvik. Kontraksi ini baru dapat dikenali melalui pemeriksaan bimanual pelvik pada kehamilan trimester kedua dan pemeriksaan palpasi abdomen pada kehamilan trimester ketiga. Dengan semakin meningkatnya usia kehamilan, terjadi pula peningkatan frekuensi, lama, dan intensitas kontraksi Braxton Hichs. Mendekati usia kehamilan aterm, kontraksi ini menjadi lebih teratur dan reguler sehingga disalahanikan sebagai kontraksi persalinan. Persalinan palsu (fake labor) sangat erat kaitannya dengan kontraksi Braxton Hicks pada kehamilan aterm. Pembesaran uterus yang disertai penipisan dindingnya juga memudahkan pemeriksa untuk mengenali kehamilan secara lebih dini. Dari dinding yang padat dan kavum yang sempit kemudian kapasitasnya berkembang hingga 500 - 1000 kali dari ukuran semula dan penipisan dinding menjadi sekitar 5 mm mulai trimester kedua kehamilan menyebabkan deteksi kehamilan menjadi lebih mudah dari periode sebelumnya. Hal ini juga



membuat denl,ut jantung janin dapat dideteksi melalui auskultasi dan gerak janin (qwickening) mulai dirasakan oleh ibu hamil. Pengembangan kapasitas dan penipisan dinding uterus lebih cepat terjadi pada multipara sehingga deteksi kehamilan dapat dilakukan lebih awal (satu hingga dua minggu) dibandingkan dengan primigravida. Jantung janin mulai berdenl,ut sejak awal minggu keempat setelah fertilisasi, tetapi baru pada usia kehamilan 20 minggu bunyi jantung janin dapat dideteksi dengan fetoskop. Dengan menggunakan teknik ultrasound atau sistem Doppler, bunyi iantung janin dapat dikenali lebih awal (12 - 2A minggu usia kehamilan). Bunyi jantung janin harus dapat dibedakan dengan pulsasi maternal, bising usus, gerakan ianin dan bising arteri uterina. Bising funikuli umumnya seirama dengan bunyi jantung janin. Gerakan janin juga bermula pada usia kehamilan mencapai 12 minggu, tetapi baru dapat dirasakan oleh ibu pada usia kehamilan 1.6 - 20 minggu karena di usia kehamilan tersebut, dinding uterus mulai menipis dan gerakan janin menjadi lebih kuat. Pada kondisi tertentu, ibu hamil dapat merasakan gerakan halus hingga tendangan kaki bayi



220



DIAGNOSIS KEHAMIIAN



di usia kehamilan i6 - 18 minggu (dihitung dari hari pertama haid terakhir). Gerak pertama bayi yang dapat dirasakan ibu disebut dengan quicbening, yang sering diartikan sebagai kesan kehidupan. Walaupun gerakan awal ini dapat dikategorikan tanda pasti kehamilan dan estimasi usia kehamilan, tetapi hal ini sering dikelirukan dengan g...krn usus akibat perpindahan gas di dalam iumen saluran cerna. Bagian-bagian tubuh bayi juga dapat dipalpasi dengan mudah mulai usia kehamilan 20 minggu. Fenomena bandul atau pantulan balik yang disebut dengan balloxement juga merupakan tanda adanya janin di dalam uterus. Hal ini dapat dikenali dengan jalan menekan tubuh janin melalui dinding abdomen yang kemudian terdorong melalui cairan ketuban dan kemudian memantul balik ke dinding abdomen atau tangan pemeriksa. Fenomena bandul ienis ini disebut dengan ballottement in toto. Jenis lain dari fenomena bandul adalah ballottement kepah yaitu hanya kepala janin yang terdorong dan memantul kembali ke dinding utems atau tangan pemeriksa setelah memindahkan dan menerima tekanan balik cairan ketuban (volume relatif lebih besar dibandingkan tubuh janin) di dalam kar.um uteri.



RUJUKAN 1. Baltzer FR, et al. Landmarks during the first forty-two days of gestation demonstrated by the B-sub-unit of hurnan chorionic gonadotropin and ultrasound. Am J obstet Gynecol. 1983;146(8):973-9 2. Blackburn ST, Loper DL. Maternal, Fetal, and Neonatal Physiology: A clinical Perspective. Philadelphia: \WB Saunders, 1992 3. Cunningham FG, er al. Villiams Obstetrics, 20,h ed. Norwalk, CT: Appleton and Lange, 2002 4. Frederich MA. Psychological changes during pregnancy. contemporary oB/GyN 27,sept. 1977 5. Jadad AR, Gagliardi A. Rating health infornration on the interner: navigating to knowledge or to Babel? IAMA,279, 611-4



6. Moore



KL. The Developing Human: clinically oriented Embryology, 5'h ed. philadelphia: \(B



Saunders,1993



19



KARDIOTOKOGRAFI IANIN DAN VELOSIMETRI DOPPLER Agus Abadi



Twjwan Instruksional Umwm Memahami dan mampw mempraktikkan pengundan alat diagnostik Kardiotokografi Velosimetri Doppler pada ibw bamil dengan indikasi dan saat yang tEat.



(KTG)



dan



Twjwan Instruksional Kbusus



1. Melakwkan pemeriksaan KTG dan Velosimetri Doppler pada ibw hamil sesuai



dengan indikasi



yang tepat.



2.



3.



Menginterpretasikan basil pemerilesaan KTG dan Velosimetri Doppler pada ibu hamil yang sesuai dengan i ndikasinya. Memwtuskan tindak lanjut yang harus diambil berdasarkan hasil pemeriksaan dan interpreasi KTG dan Velosimetri Doppler.



KARDIOTOKOGRAFI JANIN Salah satu upaya untuk menurunkan angka kematian perinatal yang disebabkan oleh penlulit-penyulit hipoksia janin dalam rahim antara lain dengan melakukan pemantauan kesejahteraan janin. Pada dasarnya pemantauan ini benujuan untuk mendeteksi adanya gangguan yang berkaitan dengan hipoksia janin, seberapa jauh gangguan tersebut, dan akhirnya menentukan tindak lanjut dari hasil pemantauan tersebut. Kardiotokografi (KTG) merupakan salah satu alat elektronik yang digunakan untuk tujuan di atas, melalui penilaian pola denyut jantung janin dalam hubungannya dengan adanya kontraksi ataupun aktivitas janin.



222



KARDIOTOKOGRAFI JANIN DAN VELOSIMETRI DOPPLER



Cara pemantauan



ini bisa dilakukan



secara langsung (invasif/internal) (Gambar 19-1)



yakni dengan alat pemantau yang dimasukkan dalam rongga rahim atau secara tidak langsung (non invasif/eksrernal) (Gambar 19-2) yakni dengan alat yang dipasang pada dinding perut ibu. Pada saat ini cara eksternal yang lebih popular karena bisa dilakukan selama antenatal ataupun intranatal, praktis, aman, dengan nilai prediksi positif yang kurang lebih sama dengan cara internal yang lebih invasifl.



Mekanisme Pengaturan Denyut Jantung Janin Frekuensi denyrrt jantung janin rata-rata sekitar 140 denyut per menit (dpm) dengan variasi normal ZO dpm di atas atau di bawah nilai rata-rata. Jadi, nilai normal denyut jantung janin antara 120 - 1,60 dpm (beberapa penulis menganut niiai normal deny.it jantung janrn antara 120 - 150 dpm). Seperti telah diketahui bahwa mekanisme pengaturan denyut jantung janin dipengaruhi oleh beberapa fakror anrara lain melalui2:



.



Sistem saraf simpatis, yang sebagian besar berada di dalam miokardium. Rangsangan saraf simpatis, misalnya dengan obat beta-adrenergik akan meningkatkan frekuensi deny.ut jantung janin, menambah kekuatan kontraksi jantung, dan meningkatkan volume curah jantung. Dalam keadaan stres, sistem saraf simpatis ini berfungsi mempertahankan aktivitas elehroda



Gambar



19-1.



Cara pemantauan langsung (invasif/internal)



{4, Gambar 19-2. Cara pemantauan tidak lanesuns (non invasif/eksterna



KARDIOTOKOGRAFI JANIN DAN VELOSIMETRI DOPPLER



223



jantung. Hambatan pada saraf simpatis, misalnya dengan obat propanolol, akan menurunkan frekuensi dan sedikit mengurangi variabilitas denyut jantung janin. Sistem saraf parasimpatis, yang terutama terdiri atas serabut n. vagus berasal dari batang otak. Sistem saraf ini akan mengatur nodus SA, VA, dan neuron yang terletak di antara atrium dan ventrikel jantung. Rangsangan n. vagus, misalnya dengan asetilkolin, akan menurunkan frekuensi denlut jantung janin, sedangkan hambatan n. vagus, misalnya dengan atropin, akan meningkatkan frekuensi deny'ut janrung janin.



Baroreseptor, y^ng letaknya pada arkus aorta dan sinus karotid. Bila tekanan meningkat, reseptor ini akan merangsang n. vagus dan n. glosofaringeus, yang akibatnya akan terjadi penekanan aktivitas jantung berupa penurunan frekuensi denlut jantung Jarun.



Kemoreseptor, yang terdiri ams 2 bagran, yakni bagian perifer yang terletak di daemh karotid dan kolpus aorta serta bagian sentral yang terletak pada batang otak. Reseptor ini berfungsi mengatur perubahan kadar 02 dan COz dalam darah serta cairan otak.



Bila kadar 02 menurun dan COz meningkat, akan terjadi refleks dari reseptor sentral berupa takhikardi dan peningkatan tekanan darah untuk memperlancar aliran darah, meningkatkan kadar 02, dan menurunkan kadar COz. Keadaan hipoksia atau hiperkapnea akan mempengaruhi resepror peri{er dan menimbulkan refleks bradikardi. Hasil interaksi dari kedua macam reseptor tersebut akan menyebabkan bradikardi dan hipertensi. Susunan saraf pusat. Variabilitas denlut jantung janin akan meningkat sesuai dengan aktivitas omk dan gerakan janin. Pada keadaan janin tidur, aktivitas otak menurun maka variabilitas denl-ut jantung janin juga akan menurun. Rangsangan hipotalamus akan menyebabkan takhikardi. Sistem hormonal juga berperan dalam pengaturan denyut jantung janin. Pada keadaan stres, misalnya asfiksia, maka medula adrenal akan mengeluarkan epinefrin dan norepinefrin dengan akibat takhikardi, peningkatan kekuatan kontraksi jantung dan tekanan darah.



Karakteristik Denyut Jantung Janin



Denpt jantung janin



. .



dalam pemeriksaan kardiotokografi ada dua macam:



Denyut jantung janin basal (basal feul heart rate), yakni frekuensi dasar (baseline rate) dan variabilitas (oariability) denyut jantung janin saat uterus dalam keadaan istirahat (relaksasi). Perubahan periodik (reactioity), merupakan perubahan denyut jantung janin yang terjadi saat ada gerakan janin atau kontraksi uterus.



Frekuensi Dasar Denywt lantwng



lanin



(Base Line Rate)



Dalam keadaan normal frekuensi dasar denyut jantung janin berkisar antara 120 - 1,60 dpm. Beberapa penulis menyatakan frekuensi dasar yang normal antara 1.20 - 150 dpm.



KARDIOTOKOGRAFI JANIN DAN VELOSIMETRI DOPPLER



224



Disebut takhikardi apabila frekuensi dasar > 160 dpm. Bila terjadi peningkatan frekuensi yang berlangsung cepat (< 1 - 2 menit) disebut suatu akselerasi (acceleration). Peningkatan denl'ut jantung janin pada keadaan akselerasi ini paling sedikit 15 dpm di atas frekuensi dasar dalam waktu 15 detik. Bradikardi bila frekuensi dasar < 120 dpm. Bila terjadi penumnan frekuensi yang berlangsung cepat (< 1 - 2 menit) disebut deselerasi (deceleration).



o Takhikardi Takhikardi dapat terjadi pada keadaan: - Hipoksia janin (ringan/kronik). - Kehamilan preterm (< 30 minggu). - Infeksi ibu atau janin. - Ibu febris atau gelisah. - Ibu hipertiroid. - Takhiaritmia janin. - Obat-obatan (misal: atropin, betamimetik). Biasanya keadaan takhikardi tidak berdiri sendiri. Bila takhikardi disertai variabilitas denyut jantung janin yang masih normal, biasanya janin masih dalam kondisi baik.



.



Bradikardi Bradikardi dapat terjadi pada keadaan:



-



Hipoksia janin (berat/akut).



Hipotermi janin. Bradiaritmia janin.



Obat-obatan (propanolol, obat anestesia lokal). Janin dengan kelainan jantung bawaan



ini pun biasanya tidak berdiri sendiri, sering disertai dengan gejalayang lain. Bila bradikardi antara 100 - 120 dpm disertai dengan variabilitas yang masih normal biasanya menunjukkan keadaan hipoksia ringan di mana janin masih mampu mengadakan kompensasi terhadap keadaan hipoksia tersebut. Bila hipoksia janin menjadi lebih berat lagi akan terjadi penurunan frekuensi yang makin rendah (< 100 dpm) disenai dengan perubahan variabiiitas yang jelas (penurunan vaKeadaan bradikardi



riabilitas yang abnormal).



V ariab ilitas D eny wt J antung J anin (V ariab



ility)



Variabilitas denprt jantung janin adalah gambaran osilasi yang tidak teratur, yang tampak pada rekaman denyut jantung janin. Variabilitas denyut jantung janin diduga terjadi akibat keseimbangan interaksi dari sistem simpatis (kardioakselerator) dan parasimpatis (kardiodeselerator). Akan tetapi ada pendapat lain mengatakan bahwa variabilitas terjadi akibat rangsangan di daerah korteks otak besar (serebri) yang diteruskan ke pusat pengatur denprt jantung di bagian batang otak dengan perantaraan n. vagus.



KARDiOTOKOGRAFI JANrN DAN VELOSiMETRI DOppm,R



22s



Variabilitas denyut jantung janin yang normal menunjukkan sistem persarafan janin batang otak n. vagus dan sistem konduksi jantung semua dalam keadaan baik. Keadaan hipoksia otak (asidosis/asfiksia janin) akan menyebabkan gangguan mekanisme kompensasi hemodinamik untuk mempertahankan oksigenasi otak. Dalam rekaman kardiotokografi akan tampak adanya perubahan variabilitas yang makin lama makin rendah sampai menghilang (bila janin tidak mampu lagi mempertahan-



mulai dari korteks



kan mekanisme hemodinamik di atas).



.



Variabilitas deny-ut jantung janin dapat dibedakan aras 2 bagian3'a: Variabilitas jangka pendek (sbort term oariability) Variabilitas ini merupakan perbedaan interval antardenyut yang terlihat pada gambaran kardiotokografi yang juga menunjukkan variasi dari frekuensi antardenl'rit pada denyut jantung janin. Rata-rata variabilitas jangka pendek denyut jantung janin yang normal antara 2 - 3 dpm. Arti klinis dari variabilitas jangka pendek masih belum banyak diketahui, akan tetapi biasanya tampak menghilang pada janin yang akan mengalami kematian daiam rahim.



.



Variabilitas jangka panjang (long term aaiability) Variabilitas ini merupakan gambaran osilasi yang lebih kasar dan lebih jelas tampak pada rekaman kardiotokografi dibanding dengan variabilitas jangka pendek di atas. Rata-rata mempunyai siklus 3 - 6 kali per menit. Berdasarkan amplitudo fluktuasi osilasi tersebut, variabilitas jangka panjang dibedakan menjadi:



-



Normal: bila amplitudo antata 6 - 25 dpm.



Berkurang: bila amplitudo anrara 2 - 5 dpm. Menghilang: bila amplitudo kurang dari 2 dpm. Saltatory: bila amplitudo lebih dari 25 dpm.



Pada umumnya variabilitas jangka panjang iebih sering digunakan dalam penilaian kesejahteraan janin. Bila terjadi hipoksia otak, akan terjadi perubahan variabilitas jangka



panjang



ini,



tergantung derajat hipoksianya, variabilitas



ini



akan berkurang



atau



menghilang sama sekali. Sebaliknya, bila gambaran variabilitas ini masih normal, biasanya janin masih belum terkena dampak dari hipoksia tersebut. Berkurangnya variabilitas denlut jantung janin dapat juga disebabkan oleh beberapa keadaan yang bukan karena hipoksia, misalnya:



o Janin tidur (keadaan fisiologik di mana aktivitas otak berkurang).



.



Kehamilan prererm (SSP belum sempurna).



o Janin anensefalus (korteks serebri tak sempurna).



. . .



Blokade n. vagus. Kelainan jantung bawaan. Pengaruh abat-obat narkotik, diasepam, MgSOa dan sebagainya.



Suatu keadaan di mana variabilitas jangka pendek menghilang, sedangkan variabilitas jangka panjang tampak dominan sehingga tampak gambaran sinwsiodal (Gambar 19-3).



226



KARDIoToKoGRAFI JANIN DAN VELoSIMETRI DoPPLER



Hal ini sering ditemukan



. r r . o



pada:



Hipoksia janin yang berat Anemia kronik Fetal Eritroblastosis Rh-sensitized Pengaruh obat-obat Nisentil, Alfa prodin



c:



Gambar



19-3.



sso84



Sinusoidal pattern



Perubahan Periodik Denyut Jantung Janin Perubahan periodik denyut jantung janin ini merupakan perubahan frekuensi dasar yang biasanya terjadi oleh pengaruh rangsangan gerakan janin atau kontraksi uterus. Ada 2



jenis perubahan frekuensi dasar, yakni sebagai berikut.



Akselerasi



Merupakan respons simpatetik, di mana terjadi peningkatan frekuensi deny'ut jantung janin, suatu respons fisiologik yang baik (reaktif). Ciri-ciri akselerasi yang normal adalah amplitudo > 15 dpm, lamanya sekitar 15 detik dan terjadi paling tidak 2 kali dalam waktu rekaman 20 menit. Yang penting dibedakan antara akselerasi oleh karena kontraksi dan gerakan janin.



. o



Akselerasi yang seragam (Uniform Acceleration). Terjadinya akselerasi sesuai dengan kontraksi utenrs. Akselerasi yang bervariasi (Variable Acceleration) (Gambar l9-4). Terjadinya akselerasi sesuai dengan gerakan atau ranBsangan pada janin.



KARDIOTOKOGRAFI JANIN DAN VELOSIMETRI DOPPLER



Gambar



19-4.



227



Akselerasi



Deselerasis'6



Merupakan respons parasimpatis (n. vagus) melalui reseptor-reseptor (baroreseptor/ kemoreseptor) sehingga menyebabkan penumnan frekuensi denyut jantung janin.



.



Deselerasi



dini



(Gambar 19-5)



Ciri-ciri deselerasi dini adalah sebagai berikut. - Timbul dan menghilangnya bersamaan/sesuai dengan kontraksi utems. Gambaran deselerasi ini seolah merupakan cermin kontraksi uterus.



-



Penurunan amplitudo tidak lebih dari 20 dpm. Lamanya deselerasi kurang dari 90 detik. Frekuensi dasar dan variabilitas masih normal.



Gambar



19-5.



Deselerasi dini



KARDIOTOKOGRAFI JANIN DAN VELOSIMETRI DOPPLER



228



Deselerasi dini sering terjadi pada persalinan normal/fisiologis di mana terjadi kontraksi uterus yang periodik dan normal. Deselerasi ini disebabkan oleh penekanan kepala janin oleh jalan lahir yang mengakibatkan hipoksia dan merangsang refleks vagal.



n(?o,



Gambar



.



19-6.



053S3



Deselerasi variabel



Deselerasi variabel (Gambar 19-6)



Ciri-ciri deselerasi variabel ini



-



adalah:



Gambaran deselerasi yang bervariasi, baik saat timbulnya,lamanya, amplitudo maupun bentuknya. Saat dimuiai dan berakhirnya deselerasi terjadi dengan cepat dan penurunan frekuensi dasar deny'ut jantung janin (amplitudo) bisa sampai 60 dpm.



-



Biasanya terjadi akselerasi sebelum (akselerasi pradeselerasi) atau sesudah (akselerasi pascadeselerasi) terjadinya deselerasi.



-



Deselerasi variabel dianggap berat apabila memenuhi rule of sixry yaitu deselerasi mencapai 60 dpm atau lebih di bawah frekuensi dasar denyut jantung janin dan lamanya deselerasi lebih dari 60 detik. Bila terjadi deselerasi variabel yang berulang terlalu sering atau deselerasi variabel yang memanjang (ltrolonged) harus waspada terhadap kemungkinan teriadinya hipoksia janin yang berlanjut.



-



Deselerasi variabel ini sering terjadi akibat penekanan tali pusat pada masa hamil atau kala I. Penekanan tali pusat ini bisa oleh karena lilitan tali pusat, tali pusat tumbung, atau jumlah air ketuban berkurang (oligohidramnion). Selama variabilitas denprt jantung janin masih baik, biasanya janin tidak mengalami hipoksia yang berarti.



KARDIOTOKOGRAFI JANIN DAN VELOSIMETRI DOPPLER



229



Penanganan yang dianjurkan pada keadaan ini adalah perubahan posisi ibu, reposisi tali pusat bila ditemukan adanya tali pusat terkemuka atau menumbung, pemberian



oksigen pada ibu, amnio-infwsioz untuk mengatasi oligohidramnion bila memungkinkan, dan terminasi persalinan bila diperlukan. Deselerasi lambat



Ciri-ciri deselerasi lambat adalah sebagai berikut. - Timbulnya sekitar 20 - 30 detik setelah kontraksi uterus dimulai. - Berakhirnya sekitar 20 - 30 detik setelah kontraksi utems menghilang. - Lamanya kurang dari 90 detik (rata-rata 40 - 60 detik). - Timbul berulang pada setiap kontraksi dan beratnya sesuai dengan intensitas



-



kontraksi uterus. Frekuensi dasar denyut jantung janin biasanya normal atau takhikardi ringan, akan tetapi pada keadaan hipoksia yang berat bisa bradikardi.



Adapun deselerasi lambat dapat terjadi pada beberapa keadaan yang pada dasarnya semuanya bersifat patologis. Penurunan aliran darah pada sirkulasi ibu akan menyebabkan janin mengalami hipoksia. Apabilajanin masih mempunyai cadangan 02 yang mencukupi dan masih mampu mengadakan kompensasi keadaan tersebut, maka tidak tampak adarrya gangguan pada gambaran kardiotokografi selama tidak ada stres yang lain. Bila terjadi kontraksi uterus, maka aliran darah ke plasenta akan semakin berkurang dan akan memperberat keadaan hipoksia janin. Keadaan terakhir ini akan menyebabkan rangsangan pada kemoreseptor dan n. vagus dan terjadilah deselerasi



lambat rersebut. Jarak waktu antara timbulnya kontraksi dan terjadinya deselerasi sesuai dengan waktu yang diperlukan untuk rangsangan kemoreseptor dan n. vagus. Pada fase awal, di mana tingkat hipoksia belum sampai menyebabkan hipoksia otak



Gambar



19-7.



Deselerasi lambat dengan variabilitas normal



KARDIOTOKOGRAFI JANIN DAN VELOSIMETRI DOPPLER



230



dan tubuh masih mampu mengadakan kompensasi untuk mempertahankan sirkulasi



otak, variabilitas deny.ut jantung janin biasanya masih normai (Gambar 1,9-7) Akan tetapi, bila keadaan hipoksia makin berat atau beriangsung lebih lama maka jaringan otak akan mengalami hipoksia dan otot jantung pun mengalami depresi oleh karena hipoksia. Sebagai akibatnya adalah variabilitas deny,ut jantung janin akan menurun dan akhirnya menghilang sebelum janin akhirnya mati dalam rahim (Gambar 19-8). Penanganan apabila ditemukan suatu deselerasi lambat adalah memberikan infus, ibu tidur miring, berikan oksigen, menghentikan kontraksi uterus dengan obat-obat to-



kolitik, dan



segera direncanakan terminasi kehamilan dengan seksio sesarea.



Gambar



19-8.



Deselerasi iambat dengan variabilitas rendah



Hasil rekaman kardiotokografi yang normal pada umumnya memberikan gambaran sebagai berikut.



. . . .



Frekuensi dasar denyut jantung janin sekitar 120



-



160 dpm.



Variabilius denl,ut jantung janin antara 6 - 25 dpm Terdapat akselerasi Tidak terdapat deseierasi atau kalaupun ada hanya suatu deselerasi dini.



Dalam praktik sehari-hari sering dijumpai gambaran kardiotokografi yang menyimpang dari normai. Namun, saat lahir bayi dalam kondisi baik, sebaliknya juga ditemukan keadaan di mana hasil kardiotokografi normal, tetapi ternyatabayi lahir dalam kondisi asfiksia. Hal ini menunjukkan bahwa kesalahan dalam memberikan kesimpulan pada hasil kardiotokografi sering terjadi. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan yang memadai untuk dapat menyimpuikan hasil pemeriksaan kardiotokografi, sehingga pemeriksaan kardiotokografi mempunyai nilai ketepatan yang cukup memadai dalam menentukan diagnosis.



KARDIOTOKOGRAFI JANIN DAN VELOSIMETRI DOPPLER



231



Pemeriksaan Kardiotokografi pada Masa Kehamilan Pada awalnya pemeriksaan kardiotokografi dikerjakan saat persalinan (inpartu). Namun, kemudian terbukti bahwa pemeriksaan kardiotokografi ini banyak manfaatnya pada masa kehamilan, khususnya pada kasus-kasus dengan faktor risiko untuk teriadinya gangguan kesejahteraan janin (hipoksia) dalam rahim sepeni:



. . . . . . . . . . e



.



Hipertensi dalam kehamilan/gestosis Kehamilan dengan diabetes mellitus Kehamilan post-term Pertumbuhan janin dalam rahim terhambat Ketuban pecah prematur (KPP) Gerakan .ianin berkurang Kehamilan dengan anemia Kehamilan ganda



Oligohidramnion Polihidramnion Riwayat obstetrik buruk Kehamilan dengan penyakit ibu



Gambar



19-9.



Rekaman kardiotokografi normal



Non Stress Test (NST)7 NST dilakukan untuk menilai gambaran denl,ut jantung janin dalam hubungannya dengan gerakan/aktivitas janin. Adapun penilaian NST dilakukan terhadap frekuensi dasar denyrt jantung janin (baseline), variabilitas (variability) dan timbulnya akselerasi yang sesuai dengan gerakan/aktivitas janin (Fewl Aaiaity Detetmination/FAD).



Pemeriksaan



KARDIOTOKOGRAFI JANIN DAN VELOSIMETRI DOPPLER



232



Interpretasi NST.



Reaktif



-



Terdapat paling sedikit 2 kali gerakan janin dalam waktu 20 menit pemeriksaan yang disertai dengan adanya akselerasi paling sedikit 10 - 15 dpm. Frekuensi dasar denl'ut jantung janin di luar gerakan janin antara 120 - 160. Variabilitas denl'ut jantung janin antara 6 - 25 dpm.



-



kan adanya akselerasi pada setiap gerakan janin. Variabilitas deny'ut jantung janin mungkin masih normal atau berkurang sampai



-



Nonreaktif - Tidak didapatkan gerakan janin selama 20 menit pemeriksaan atau tidak ditemumenghilang.



Meragukan



-



Terdapat gerakan janin tetapi kurang darr2kali selama 20 menit pemeriksaan atau terdapat akselerasi yang kurang dari 10 dpm. Frekuensi dasar den1,.ut jantung janin normal. Variabilitas denl'ut jantung janin normal.



Pada hasil yang meragukan, pemeriksaan hendaknya diulangi dalam waktu 24 jam atau dilanjutkan dengan pemeriksaan Contraction Stress Test (CST). Hasil pemeriksaan NST disebut abnormal (baik reaktif maupun nonreaktif) apabila ditemukan:



-



Bradikardi Deselerasi 40 dpm atau lebih di bawah frekuensi dasar (baseline), atau denprt jantung janin mencapai 90 dpm, yang lamanya 60 detik atau lebih.



Pada keadaan ini sebaiknya dilakukan terminasi kehamilan bila janin sudah viabel atau pemeriksaan ulang setiap L2 - 24 jam bila janin belum viabel. Hasil NST yang reaktif biasanya diikuti oleh keadaan janin yang masih baik sampai 1 minggu kemudian (dengan spesifisitas sekitar 90 %), sehingga pemeriksaan ulang dianjurkan 1 minggu kemudian. Namun, bila ada faktor risiko seperti hipertensi/ gestosis, diabetes mellitus, perdarahan, atau oligohidramnion hasil NST yang reaktif tidak menjamin bahwa keadaan janin akan masih tetap baik sampai 1 minggu kemudian, sehingga pemeriksaan ulang harus lebih sering (1 minggu). Hasil NST nonreaktif mempunyai nilai prediksi positif yang rendah < 30 "/", sehingga perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan CST atau pemeriksaan lain yang mempunyai nilai prediksi positif yang lebih tinggi (Doppler-USG). Sebaiknya NST tidak dipakai sebagai parameter tunggal untuk menentukan intervensi atau terminasi kehamilan oleh karena tingginya angka positif palsu tersebut (dianjurkan untuk menilai profil biofisik janin yang lainnya)8.



Contraction Stress Test (CST)8 Pemeriksaan CST dimaksudkan untuk menilai gambaran denyut jantung janin dalam hubungannya dengan kontraksi uterus. CST biasanya diiakukan unruk memantau



KARDIOTOKOGRAFI JANIN DAN VELOSIMETRI



DOPPLER



233



kesejahteraan janin saat proses persalinan terjadi (inpartu). Seperti halnya NST, pada



pemeriksaan CST juga dilakukan penilaian terhadap frekuensi dasar denl,ut jantung janin, variabilitas deny'ut jantung janin, dan perubahan periodik (akselerasi ataupun deselerasi) dalam kaitannya dengan kontraksi uterus.



.



.



Interpretasi CST.



Negatif



-



Frekuensi dasar denyut jantung janin normal. Variabilitas denl.ut jantung janin normal Tidak didapatkan adanya deselerasi lambat. Mungkin ditemukan akselerasi atau deselerasi dini.



Positif



-



Terdapat deselerasi lambat yang berulang pada sedikitnya 50 "/" dari jumlah kontraksi. Terdapat deselerasi lambat yang berulang, meskipun kontraksi tidak adekuat. Variabilitas denl.ut ;'antung janin berkurang atau menghilang.



o Mencurigakan Terdapat deselerasi lambat yang kurang dari 50 o/" darijumlah kontraksi. Terdapat deselerasi variabel. Frekuensi dasar denyut jantung janin abnormal. Bila hasil CST mencurigakan, pemeriksaan harus diulangi dalam 24 jam.



.



Tidak memuaskan (wnsatisfactory) Hasil rekaman tidak representatif, misalnya oleh karena ibu gemuk, gelisah,



-



atau



gerakan janin berlebihan.



-



Tidak terjadi kontraksi uterus yang adekuat. Dalam keadaan ini pemeriksaan harus diulangi dalam 24 jam.



.



Hiperstimulasi



-



Kontraksi uterus lebih dari 5 kali dalam 10 menit. Kontraksi uterus lamanya lebih dari 90 detik (tetania uteri). Seringkali terjadi deselerasi lambat atau bradikardi. Dalam keadaan ini, harus waspada kemungkinan terjadinya hipoksia janin yang berlanjut sehingga bukan tidak mungkin terjadi asfiksia janin. Hal yang perlu dilakukan adalah segera menghentikan pemeriksaan dan berikan obat-obat penghilang kontraksi uterus (tokolitik), diberikan oksigen pada ibu dan tidur miring untuk memperbaiki sirkulasi utero-plasenta (Gambar 19-1.1).



Hasil CST yang negatif menggambarkan keadaan janin yang masih baik sampai 1 (satu) minggu kemudian (spesifisitas 99 %), sedangkan hasil CST yang positif biasanya disertai outcorne perinatal yang tidak baik dengan nilai prediksi positif t 50 "/".



.



Kontraindikasi CST.



Absolut



-



Adanya risiko ruptura uteri, misalnya pada bekas seksio sesarea atau miomektomi.



KARDIOTOKOGRAFI JANIN DAN VELOSIMETRI DOPPLER



234



-



Perdarahan antepartum



Taii pusat terkemuka



Relatif



-



Ketuban pecah prematur. Kehamilan kurang bulan Kehamilan ganda



Inkompetensia serviks Disproporsi sefalo-pelvik.



Gambar 19-10. Variabel deselerasi memanjang



Gambar 19-11. Deselerasi memanjang sebagai akibat kontraksi uterus yang berlebihan



KARDIOTOKOGRAFI JANIN DAN VELOSIMETRI DOPPLER



235



VELOSIMETRI DOPPLER Daiam kurun dua dekade ini pengetahuan terhadap janin dan keadaan lingkungan di sekitarnya makin berkembang. Seperti halnya kesehatan ibu, kesehatan janin, dalam hal ini kesejahteraan janin telah menarik minat yang besar untuk dipelajari, sehingga janin tidak lagi dianggap sebagai bagian dari organ ibu. Janin telah dianggap sebagai pasien kedua setelah ibu, yakni pasien yang seringkali menghadapi risiko yang lebih besar untuk sakit, bahkan meninggal dibandingkan dengan ibu1. Telah dikembangkan berbagai macam cara untuk mengevaluasi keadaan janin. Salah satunya adalah dengan menggunakan



velosimetri Doppler (Doppler velocimetry). Velosimetri Doppler adalah suatu alat diagnostik yang bersifat non invasif sehingga dinilai aman digunakan untuk mengetahui kesejahteraan janin.



Sejarah Perkembangan Velosimetri Doppler Prinsip Doppler pertama kali diperkenalkan oleh Christian Johann Doppler dari Austria pada tahun 1,842.Di bidang kedokteran penggunaan teknik Doppler uhrasound pertama kali dilakukan oieh Shigeo Satomura dan Yosuhara Nimura untuk mengetahui pergerakan katup jantung pada tahun 1955. Kato dan I. Izumi, pada tahun 1.966, adalah yang pertama menggunakan osciloscope pada penggunaan Doppler ultrasound sehingga pergerakan pembuluh darah dapat didokumentasikan. Pada tahun 1968 H. Takemura dan Y. Ashitaka dari Jepang memperkenalkan penggunaan Doppler aelocimetry di bidang kebidanan dengan menggambarkan tentang spektrum Doppler dari arteri umbilikalis. Sementara itu, di Barat penggunaan velosimetri Doppler di bidang kebidanan baru dilakukan pada tahw 1977. Pada tahun 1974 L. Porcelot memperkenalkan Resistensi Indeks di Perancis. Pada tahun yang sama Gosling dan King memperkenalkan Pwkating Index. Pada awalnya penggunaan Doppler wbrasound difokuskan pada arteri umbilikalis, tetapi pada perkembangannya banyak digunakan untuk pembuluh darah iainnyalo. Sturla Eik-Nes dari Nor-wegia membuat dokumentasi mengenai aliran darah aorta ;'anin pada tahun 1983. Pada tahun yang sama Stuart Campbell melaporkan tentang peng'!(ladimiroff dan gunaan Doppler aelocimetry pada preeklampsia. Pada tahun 1986 kawan-kawan melaporkan tentang pergerakan aliran darah aneri serebralis media. Saniay Vyas pada tahun 1989 di Inggris melaporkan tentang pergerakan aliran darah arteri renalis. Tronheim dan kawan-kawan melaporkan aliran darah duktus venosus janin pada



tahun 199111. Ultrasonografi pada mulanya dimulai dengan gambar p-scan yang relatif kasar pada tahun 1950-an, yang kemudian berkembang dengan penemuan teknik real time dan peningkatan kontras gambar (grey scale) pada sekitar tahun 1970. Kombinasi pemeriksaan



Doppler dengan teknik imagtng sebelumnya, pada dekade 1980 lebih meningkatkan kemampuan modalitas ini sebagai alat imaging diagnostic (diagnostik pencitraan).



236



KARDIOTOKOGRAFI JANIN DAN VELOSIMETRI DOPPLER



Spectral Doppler dapat merupakan continwous zDaoe (CV) dan pulsed waae (PIV). Pada CW kita menggunakan sinyal frekuensi tinggi yang tidak menimbulkan gambaran aliasing, tetapi tidak mampu menentukan lokasi dan kedalaman jarak tertentu. Sementara itu, P\( menggunakan frekuensi terbatas sehingga dapat menentukan ;'arak, tetapi menimbulkan aliasing. Dalam perkembangannya kemudian muncul Doppier berwarna yang merupakan PW. Frank Barber memperkenalkan duplex Doppler yaitu dengan kombinasi pemeriksaan $-scan dan spektral Doppler pada tahun 1974. Pada rahun 1978 diperkenalkan oleh M. Brandestini dan F. Foster 2D color Jlow imaging.l2 Dengan Color Doppler Imaging aliran diberi tanda dengan simbol warna di mana bila mengalir ke arah transduser akan memberikan warna merah dan jika menjauhi akan memberikan warna biru, bila terjadi pencampuran menunjukkan adanya turbulensi. Dengan demikian, kita akan mengetahui adanya aliran, arah aliran, adanya turbulensi. Pada perkembangan selan;'utnya dikenal Doppler angiografi yang merupakan perkembangan selanjutnya dari Color Doppler. Dengan alat ini kelemahan velosimetri Doppler yang tidak dapat digunakan untuk mengetahui diameter pembuluh darah dapat diatasi karena aiat ini dapat menunjukkan gambaran vaskular dan alirannya. Dengan dapat diukurnya diameter pembuluh darah akan bermanfaat untuk mendiagnosis terjadinya kelainan kongenital pada jantung seperti Marfan sindrom, atresia aorta dan pulmonal, dan beberapa kasus tetralogi Fallot. Power Doppler Angiografi memberikan paparan energi yang lebih rendah pada jaringan janin daripada penggunaan pencitraan dengan menggunakan Doppler berwarna konvensional12.



Diagnostik Velosimetri Doppler Pemeriksaan dengan menggunakan velosimetri Doppler adalah suatu pemeriksaan dengan menggunakan efek ultrasonografi dan efek Doppler. Teknik pencitraan pada Ultrasonografi menggunakan gelombang suara dengan frekuensi tinggi yang terputus-putus (intermitten) yang ditimbulkan dari transduser yang dibuat dari bahan yang mengandung kristal yang kemudian mengubah energi listrik menjadi gelombang suara dengan frekuensi tinggi dan mengubah gelombang pantulannya (echo) menjadi energi listrik. Jadi tiap kristal pada transduser selain sebagai pengirim gelombang juga sebagai penerima gelombang pantulannya. Gambaran yang diperoleh adalah gambaran dva dimensi yang dihasilkan ketika gelombang pantulan wltrasownd ditampilkan pada layar oscilloscope. Sinyal yang dipantulkan diubah dari gelombang suara menjadi energi listrik. Pada oscilloscope gelombang suara yang dipantulkan akan memberikan gambaran di mana tulang akan memberikan gambaran yang lebih terang daripada jaringan yang kurang padat seperti otot, otak, dan lemak1o. Efek Doppler ditemukan pertama kali oleh Christian Johann Doppler seorang ahli fisika dari Austria pada tahun 1842 dari pengamatannya bahwa suara yang dihasilkan dari peluit kereta api terdengar makin keras ketika datang dan makin lemah ketika menjauh. Kemudian teknik ini disempurnakan oleh Nippa pada tahun 1976 sehingga teknik ini dapat memberikan informasi dari struktur yang bergerak12,13.



KARDIOTOKOGRAFI JANIN DAN VELOSIMETRI DOPPLER



237



Pada dekade ini ahli kebidanan berusaha untuk dapat mengukur aliran darah pada janin dan aliran darah uteroplasenta. Untuk mengetahuinya dahulu digunakan teknik yang bersifat invasif dengan cara mengikuti jejak radioaktif. Pada saat ini dengan berkembangnya teknik velosimetri Doppler, maka untuk mengukur aliran darah janin dan aliran darah uteroplasenta menjadi lebih mudah dan lebih aman karena tidak bersifat invasif. Efek Doppler yang dijelaskan oleh Frank A. Chervenak dan Steven G. Gabbe didasarkan pada pengamatan bahwa frekuensi sirine dari sebuah ambulans akan berubah ketika datang dan menjauh. Tinggi rendahnya nada dari suara sirine akan berubah makin tinggi ketika ambulans mendekat dan makin rendah ketika ambulans menjauh. Hal yang sama akan terjadi pada aliran darah yang memantulkan gelombang suara yang dipancarkan dan kemudian ditangkap lagi oleh transduser ultrasonografi, di mana akan terjadi pergeseran frekuensi yang proporsional terhadap kecepatan aliran darah. Dengan kata lain, frekuensi dari suara yang dipantulkan sesuai dengan kecepatan gerakan sel darah merahl. Kecepatan aliran darah dapat diperhirungkan dengan persamaan (Gambar 1,9-1,2).



lL: ) la Ju 'Jv fd "f. '(.)



0 C



zcos0 c



: Perubahan frekuensi ultrasound aau perubahan Doppler : Frekuensi ianp dikirimkan oleh alat'ultrasound : Kecepaun- alirZn sel darah merab (kecepatan aliran yang memantulkan) '. Sudut anara transduser dan arah pergerakan aliran darah : Kecepatan suara pada mediwm (1,540 m/detik)



transduser



a



I



I



I



I I



ARTERI



1



ta = 2lo



vcose c



Gambar 1.9-1.2. Persamaan Doppler: gelombang whrasownd yang berasal dari transduser dengan frekuensi awal fq membentur aliran darah yang sedang bergerak dengan suatu kecepatan. Frekuensi yang dipantulkan bergantung pada sudut 0 antara sinyal suara dan pembuluh darah.



KARDIOTOKOGRAFI JANIN DAN VELOSIMETRI DOPPLER



Jika kecepatan suara pada jaringan adalah konstan, frekuensi transduser diketahui. Jika sudut antara pembuluh darah diperkirakan konstan, perbedaan frekuensi Doppler akan sama proporsinya dengan kecepatan aliran darah. Frekuensi yang dipergunakan pada velosimetri Doppler adalah 3 - 5 MHzl4'21 . Pada penggunaan velosimetri Doppler dan beberapa hal yang perlu diketahui dan diperhatikan adalah sudut yang ideal antara transduser dan pembuluh darah adalah antara 30" - 60", sehingga kesalahan penghitungan dapat dibuat seminimal mungkin. Bila sudut kurang dari 30" sinyal akan hilang oleh karena dibiaskan, sedangkan bila lebih dari 60' sinyal akan hilang karena perbedaan frekuensi Doppler sangat kecil. Bila sudut Doppler 1OOo, maka beda frekuensi adalah 0 karena cos 1O0o adalah O (Gambar 19-t:;t:.



Di



samping itu, velosimetri Doppler mempunyai keterbatasan karena ber-variasinya



+.-



F



i,-



f -



pembuluh darah



{-*t--:



aliran darah



Gambar 19-13. Sudut Doppler adalah antara poros tengah dari sinyal whrasound dan arah pergerakan dari jaringan, biasanya adalah aiiran darah. Perubahan frekuensi Doppler dikurangi oleh nilai cosinus dari sudut Doppler. Sudut Doppler yang optimal adalah antara 30o - 60o diameter pembuluh darah sehingga menimbulkan suatu problem dalam penggunaannya di bidang obstetri dan ginekologi, karena velosimetri Doppler ber-warna yang konvensional di mana masih menggunakan transduser dengan frekuensi rendah tidak dapat secara akurat menentukan diameter pembuluh darah1s,15.



Pada penggunaan velosimetri Doppler beberapa indeks yang digunakan adalah (Gambar 19 - 1 41t's'e's'



KARDIOTOKOGRAFI JANIN DAN VELOSIMETRI DOPPLER



+ ,illllTEEIIEE-!.;'J. ,ll'



-5r. r1.:



'-



r



Gambar 19-14



*



.1



I H



S-O mcan



239



= S/D rario



= resrstancelndex



= Dulsatinoindex



Gambaran Doppler oelocimetry dan beberapa perhitungan yang biasa digunakan



Rasio puncak sistolik (S)/diastolik (D) (A/B ratio) Jika tahanan pembuluh darah meningkat, maka aliran diastolik akan menurun sehingga rasio S/D akan meningkat (Gambar 19-15).



Gambar 19-15. Gambaran Doppler ketika tahanan pembuluh darah meningkat sehingga aliran darah diastolik menurun dan sebagai akibatnya rasio S/D meningkat Pulsating Index (S-D/mean) Berguna bila gambaran aliran darah diastolik tidak ada atau terbalik (Gambar 19-16). Resistensi indeks (rasio dari Pourcelot) S-D/S Maulik dan kawan-kawan mendapatkan bahwa RI berguna untuk memperkirakan kesefahteraan janin.



tlirii'i'.iliii :iiil:iii:iti:tli



:



',



,'



iilr}i;ii:ii:lii:iilrlilfi3il:



:



i!lr:*r;:r:+n:i$lr:r:ir:i::i::i::::rr:,:d:Ll4lir:it1#*jilirli::i:ij::



i:*il$::::::::i::



r:



:::



r:r::i:i::t::::i:::::::



:!gri{iit:ia:::::



r::ii:a:i::i::



r:r



Gambar 19-16. Gambaran ketika aliran diastolik tidak ada atau memberikan gambaran yang terbalik



240



KARDIOTOKOGRAFI JANIN DAN VELOSIMETRI DOPPLER



Gambaran Velosimeteri Doppler pada Kehamilan NormallT



.



.



Pada trimester pertama Gambarannya adalah puncak sistolik tinggi dengan diikuti penumnan aliran diastolik. Ini menunjukkan bahwa tahanan pembuluh darah uterina masih tinggi. Pada awal kehamilan bisa ditemukan akhir diastolic notcb. Pada akhir trimester kedua Puncak sistolik yang kemudian diikuti dengan komponen diastolik yang melebar. Ini menunjukkan menumnnya hambatan pada pkcenul bed. Peningkatan hambatan pada pkcenal bed berhubungan dengan adanya hambatan pertumbuhan pada janin. Pada velosimetri Doppler didapatkan gambaran menghilangnya gambaran akhir diastolik atau pada keadaan yang ekstrem terdapat gambaran terbaliknya akhir diastolik.



Karena informasi wltasound dihasilkan oleh spektrum analisis dari geiombang ekho (gelombang pantul), ketika organ target dibombardir dengan energi suara, ultrasownd harus dianggap sebagai prosedur yang invasif jika berdasarkan teori tentang risiko terjadinya kerusakan jaringan. Energi suara dalam jaringan akan diubah menjadi bentuk energi yang lain. Kebanyakan energi suara akan diubah menjadi energi panas yang akan berubah secara proposional sesuai dengan energi yang dipancarkan. Dengan frekuensi yang rendah akan diubah menjadi energi gerak yang disebut dengan resonansi (resonance). Pada pemakaian wbrasound untuk diagnostik tidak terdapat resonansi dan kebanyakan energi wltrasownd dittbah menjadi energi panas8,10. Dalam penggunaan klinik batas keamanan bagi jaringan untuk mendapatkan paparan uhrasownd adalah < 110 mW/cm2. Kebanyakan instrumen yang dipergunakan sekarang tenaga maksimum yang dihasilkan kurang dari 50 mWcm2(12).



Penggunaan Velosimetri Doppler di Bidang Obstetri Banyak penelitian yang dilakukan yang menggunakan velosimetri Doppler sebagai alat untuk membantu menegakkan diagnosis. Ada yang melakukannya untuk skrining pada kehamilan normal, ada juga yang melakukannya pada perempuan hamil yang mempunyai risiko tinggi. Di bidang ilmu kebidanan color Doppler oelocimetry dipergunakan untuk menilai kesejahteraan janin. Secara umum dapat dikatakan bahwa perfusi uterus dan janin dapat dinilai pada setiap tahap kehamilan. Evaluasi perubahan aliran darah fetal dengan adanya perubahan pada pola gelombang v. umbilikalis dan aorta, arteri umbilikalis, dan a. karotis interna mempunyai korelasi dengan pertumbuhan janin terhambat2o. Penggunaan color Doppler oelocimetry melibatkan pembuluh darah yang dapat digolongkan menjadi (Gambar 19-171t4'tt.



.



Pembuluh darah ibu Dapat dilihat dengan jelas aliran darah dalam arteri uterina, arkuata, radialis, dan spiralis di sekitar jaringan trofoblas, sehingga dapat dilakukan pengukuran berbagai indeks yang diperlukan.



KARDIOTOKOGRAFI JANIN DAN VELOSIMETRI DOPPLER



241



Pada kehamilan normal, rasio S/D, PI, dan RI akan menurun setelah kehamilan 24 26 minggu, sampai tercapai gambaran yang menetap, yaitu gambaran velositas diastolik yang tinggi dan hampir mendatar. Gambaran gelombang a. uterina pada trimester pertama kehamilan mempunyai puncak diastolik yang berlekuk (diastolik notcb) yang menghilang setelah kehamilan 24



-



minggu. Bila gambaran lekukan ini menetap dan nilai S/D, PI, dan RI tetap tinggi setelah kehamilan 24 - 26 minggu, berarti tahanan di ujung a.uterina meninggi yang biasanya disertai terjadinya preeklampsia atau pertumbuhan ;'anin terhambat.



Pembuluh darah janin2o Biasa dilakukan pada:



-



Duktus Venosus Aiiran darah pada duktus venosus sudah dapat diidentifikasi pada minggu ke-10 13 kehamilan, tapi masih belum mempunyai arti klinis.



-



Yaman dan kawan-kawan melaporkan ada hubungan antara terjadinya peningkat-



an angka kematian perinatal dengan terjadinya penurunan aliran darah pada duktus venosus. Ozen dan kawan-kawan melaporkan bila terjadi keddaknormalan aliran darah pada duktus venosus ada hubungannya dengan terjadinya kematian perinatal dan Skor Apgar 5 menit pertama yang rendah. Tchirikov dan kawan-kawan mengevaluasi rasio antara vena umbilikalis dan aliran darah dukus venosus dengan terjadinya pertumbuhan janin yang terhambat.



-



Pembuluh darah pulmonal Cynober melaporkan bahwa PI stabil selama kehamilan, tetapi akan menampakkan terjadinya peningkatan yang signifikan bila terjadi hambatan pertumbuhan pada janin.



Mitchell menunjukkan bahwa ada gambaran peningkatan tahanan aliran darah pulmonal bagian tepi, tetapi tidak terjadi pada aliran darah pulmonal bagian tengah pada 10 janin. Ini menunjukkan adanya hipoplasia pulmo yaogada hubungannya dengan penyakit multikistik displasia ginjal bilateral.



-



Pembuluh darah otak Pemeriksaan pembuluh darah otak pertama kali dilaporkan oleh Lingmann pada tahun 1984. Lingmann melaporkan bahwa peningkatan aliran darah arteri karotis ada hubungannya dengan ketidaknormalan Doppler arteri umbilikalis. Pembuluh darah arteri serebri media mempunyai tahanan yang rendah selama kehamilan dan menerima 7 oh cardiac output fetal. Perbandingan antara rasio arteri serebri media dengan arteri umbilikalis (rasio serebriplasenta) mempunyai nilai diagnostik yang lebih baik untuk memprediksikan kesejahteraan janin daripada bila dipergunakan tersendiri. Meningkatnya tahanan arteri serebri media menunjukkan terjadinya kegawatan pada ianin. Penggunaan lain pemeriksaan arteri serebri media adalah untuk menentukan terjadinya isoimunisasi rhesus pada ;'anin.



KARDIOTOKOGRAFI JANIN DAN VELOSIMETRI DOPPLER



z't /-



-



.



Pembuluh darah ginjal Pefiama kali dilaporkan oleh Saniay Vyas di Inggris pada tahun 1989. Curah jantung yang mengalir ke ginjal janin adalah 6 "h yang kemudian setelah masa neonatal darah yang mengalir akan meningkat menjadi 17 - 1'8 %. Yasuhi melaporkan menurunnya indeks aliran darah pada pembuluh darah ginjal kemungkinan berhubungan dengan meningkatnya produksi urin janin.



Pembuluh darah utero-plasenta pada a. umbilikalis pemeriksaan Doppler sudah dapat dimulai sejak minggu ke-17. Secara fisiologis gelombang akhir diastolik tidak ditemukan pada umur kehamilan kurang dari 18 *ir,gg, danmulai terlihat pada kehamilan 18 minggu atau lebih. Hal ini diiebabkan oleh menurunnya resistensi pembuluh darah plasenta pada kehamilan normal. Pada pertumbuhan janin terhambat dan pada preeklampsia terjadi peningkatan rasio S/D dan PI dan pada gambaran velosimetri Doppler tampak sebagai menghilangnya gambaran akhir diastolik, bahkan gambaran akhir diastolik yang. terbalik. Frda.r. umbilikaiis biasanya alirannya kontiny'u. Akan tetapi, bila terjadi kelainan akan tampak gambaran pulsasi. Pada pertumbuhan janin terhambat bila disertai dengan adaiya pulsasi v. umbilikalis memiliki kemungkinan 5 kali iebih besar untuk mengalami kematian perinatal jika dibandingkan dengan janin dengan pertumbuhan terhambat tanpa pulsasi pada v. umbilikalis.



Yong W. Park dan kawan-kawan menyatakan bahwa insiden terjadinya keluaran_ kehamilan yang buruk yang ditandai dengan skor Apgar 5 menit < 7, dilahirkannyabayi dengan seksio sesarea karena ter.iadinya fetal distres, dirawatnya bayi dalam ruang inteisif, terjadinya hambatan pertumbuhan janin, atau terjadinya kematian janin ketika diadakan pemeriksaan dengan menggunakan velosimetri Doppler pada trimester 3 adalah 90,5 ok bila S/D rasio < 0,7020.



Antonio Barbera dan kawan-kawan mengadakan penelitian mengenai diameter vena dan kecepatan rat^-rata aliran darah vena umbilikalis dihubungkan dengan pertambahan beiat janin dengan usia kehamilanyang ternyata tidak ada perbedaan yang signifikan. Dikatakan pula bah*a penelitian menggunakan velosimetri Doppler masih rumit dan memerlukan biayayang mahal dan alatnya tidak selalu tersedia di setiap pusar pelayanan. Akibatnya, teknik ini tidak mudah untuk dilakukan secara klinik. Anne-Mieke dan kawan-kawan yang mengadakan penelitian mengenai nilai dari kegunaan velosimetri Doppler menyatakan bahwa penggunaan secara selektif pada keha-



tilrn



d..,g"n risiko tinggi mungkin mempunyai kegunaan dalam mengurangi kema-



tian perinatall2.



Martin J. Vhittle dan kawan-kawan menggunakan velosimetri Doppler untuk melakukan strining terhadap perempuan hamil dan menyatakan bahwa teknik dengan menggunakan vilosimetri Doppl.i adalah mudah dan cepat serta peralatannya relatif tidak Lahai. Karena hasilnya



bi*p,



angka, maka pengambilan kesimpulannya menja-



KARDIOTOKOGRAFI JANIN DAN VELOSIMETRI DOPPLER



243



di



mudah. Dengan demikian, velosimetri Doppler potensial dan berguna untuk tes skrining pada kehamilanl8. Michael Y. Divon dalam artikelnya menyatakan bahwa teknik Doppler telah menjadi fokus yang menarik dan banyak penelitian tentang velosimetri Doppler sejak terekamnya untuk pertama kali sinyal aliran darah dari arteri umbilikalis oleh Fitzgerald dan



Drumm. Hal ini dapat memperkirakan sebelumnya bahwa insufisiensi uteri, plasenta, dan sirkulasi pada janin menyebabkan terjadinya hasil kehamilan yang buruk dan teriadinya keabnormalan tersebut dapat dikenali. Sebetulnya, studi observasional secara ielas membuktikan hubungan antara gambaran aliran velositas yang abnormal dan hasil kehamilan yang buruk seperti IUGR, asfiksia pada bayi, dan kematian perinatalle. Pada keadaan fisiologis plasenta adalah daerah dengan hambatan vaskular yang ren-



umbilikalis



aorta desendens ianin



Gambar 1,9-17. Gambar skematis penggunaan velosimetri Doppler di bidang Obstetri



dah, sehingga mengikuti aliran darah sesuai dengan siklus dari jantung. Karena aliran diastol secara pasif, maka jika terjadi peningkatan hambatan pada plasenta aliran darah arteri umbilikalis juga akan berkurang. Oleh karenanya, peningkatan hambatan pada plasenta berhubungan dengan rendah atau hilangnya bahkan sampai terjadinya aliran darah akhir diastolik yang terbalik.



244



KARDIOTOKOGRAFI JANIN DAN VELOSIMETRI DOPPLER



Banyak dipublikasikan tentang studi dengan menggunakan teknik Doppler pada arteri umbilikalis sebagai suatu tes untuk mengetahui hasil suatu kehamilan. Banyak studi yang memfokuskan diri terhadap perkiraan terjadinya IUGR, HT yang disebabkan oleh kehamilan, asfiksia pada janin, serta kematian perinatal. Meskipun sudah dapat dijelaskan bahwa penyakit pada plasenta dapat menyebabkan hasil kehamilan yang buruk, mekanisme kompensasi pada janin, yang kemudian dapat menyebabkan memburuknya keadaan janin adalah sangat kompieks dan tidak dapat diramalkan serta sedikit diketahui sebabnya. Oleh karena itu, teknik baru pada penggunaan klinik perlu diketahuil5. Suatu hasil yang abnormal dari studi Doppler menggambarkan adanya lesi pada plasenta dan tidak menunjukkan tingkat adaptasi pada janin. Hal ini menerangkan tentang perkiraan keabnormalan plasenta akan meningkatkan keadaan janin yang memburuk. Ada tiga hal yang menjelaskan hal ini. Pertama, beberapa studi menunjukkan abnormalitas Doppler yang ditandai dengan tidak adanya bahkan terjadinya akhir diastolik yang terbalik menunjukkan hasil yang signifikan dengan tidak optimalnya keadaan janin. Kedua, ditemukan adanya korelasi langsung antara makin tidak normalnya aliran darah dengan asfiksia yang dapat dikenali dengan mengukur kadar gas pembuluh darah



tali pusat dengan cara kordosintesis. Ketiga, studi menggunakan Doppler pada arteri umbilikaiis menunjukkan bahwa meningkatnya indeks hambatan menunjukkan hubungan yang kuat dengan keadaan janin yang tidak optimal21'22. Respons dari janin terhadap meningkatnya hambatan vaskular tidak dapat diperkirakan. Ini menunjukkan bahwa penelitian dengan Doppler tentang ketidaknormalan aliran darah tali pusat sering dapat diperkirakan terjadinya hambatan pertumbuhan pada janin. Selain itu, beberapa janin akan lahir spontan sebelum terjadi gangguan dan akan tampak sehat, sedangkan yang lainnya akan terjadi gangguan yang lama sebelum persalinan spontan sehingga akan terjadi hasil kelahiran yang buruk. Banyak penelitian tentang penggunaan secara klinik velosimetri Doppler arteri umbilikalis untuk mengevaluasi pasien dengan kehamilan risiko tinggi. Pada penelitian tentang keluaran janin yang buruk, ternyata tidak semuanya berhubungan dengan peningkatan hambatan pada plasenta. Oleh karena itu, keluaran janin yang buruk mungkin tidak terdeteksi karena dalam penelitian dengan Doppler menunjukkan keadaan yang normal. Selain itu, kematian janin yang tiba-tiba bisa disebabkan oleh kelainan metabolik seperti pada perempuan hamil dengan diabetes mellitus yang bergantung pada insulin atau pada janin yang mengalami hidrops karena ketidakcocokan Rhesus atau



oleh perempuan hamil dengan hipertensi yang



menunjukkan perubahan lesi pada plasenta. Demikian juga ketidaknormalan kecepatan aliran darah karena adanya perubahan yang akut pada banyak peneliti yang setu;'u bahwa terdapat hubungan antara dan keadaan hal yang buruk, aliran darah dan perubahan kecepatan aliran darah adalah jlnin. pada ini dapat menunjukkan awal terjadinya asfiksia yang akut Seperti halnya usia ;'anin, kemajuan dan jumlah vili plasenta akan bertambah. Hubungan antara usia kehamilan, hambatan plasenta, serta kecepatan aliran darah umbilikalis belum diketahui sampai saat ini. Yang diketahui saat ini adalah niiai resisten in-



KARDIOTOKOGRAFI JANIN DAN VELOSIMETR] DOPPLER



245



deks pada kecepatan aliran darah umbilikalis akan menurun secara bertahap sesuai dengan usia kehamilan pada saat kehamilan tersebut mendekati aterm. Penelitian ini berguna untuk menentukan keadaan janin pada kehamilan yang melebihi waktu. Karena terbukti dengan velosimetri Doppler kematian perinatal pada kehamilan yang mempunyai risiko kematian janin rendah, maka banyak yang tidak mengahjurkan penggunaannya secara rutin untuk skrining kehamilan, tetapi berguna untuk digunakan pada kehamilan dengan risiko tinggi.



Ringkasan Velosimetri Doppler adalah pemeriksaan dengan menggunakan gelombang suara dengan frekuensi tinggi yang dikirimkan oleh transduser yang kemudian gelombang suara rersebut dipantulkan dan kemudian ditangkap kembali oieh transduser. Jadi, transduser berfungsi sebagai pengirim gelombang suara dan penerima.gelombang pantulnya. Dengan alat ini energi listrik diubah menjadi energi suara yang kemudian energi suara yang dipantulkan akan diubah kembali menjadi energi listrik dan kemudian ditampilkan pada layar o scillos cope. Dalam penggunaannya dikenal beberapa indeks Doppler yaitu:



. . .



rasio S/D Pulsating Indeks Resistensi Indeks



Meskipun dikatakan bahwa pemeriksaan dengan menggunakan velosimetri Doppler bersifat noninvasif sehingga tidak membahayakan janin, tetapi perlu diingat bahwa pada pemakaiannya kita menggunakan gelombang energi suara yang kemudian dalam jaringan akan diubah sebagian menjadi energi yang lain, terutama energi panas. OIeh karena dalam penggunaan klinis batas keamanan bagi jaringan untuk mendapatkan paparan adalah 3 110 mWcm2. Banyak pendapat mengenai penggunaan velosimetri Doppler, ada yang mengatakan berguna untuk skrining pada kehamilan, ada pula yang menyatakan tidak berguna untuk skrining karena secara klinis tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan apabila tidak dilakukan pemeriksaan velosimetri Doppler dan memerlukan biaya yang tidak murah untuk pemeriksaan tersebut. Namun, banyak penelitian yang menghubungkan antara penggunaan velosimetri Doppler dengan kehamilan risiko tinggi terutama pada kehamilan dengan penyakit darah tinggi dan pada pertumbuhan janin terhambat.



Pada perkembangannya uitrasonografi dimuiai dengan gambar B-scan yang relatif kasar, kemudian berkembang dengan ditemukannya teknik real time yang kemudian digabungkannya teknik ultrasound dengan pemeriksaan Doppler. Pada perkembangan selanjutnya muncul Color Doppler Imaging. Perkembangan terbaru adalah adanya Doppler angiografi.



246



KARDIOTOKOGRAFI JANIN DAN VELOSIMETRI DOPPLER



RUIUKAN t. Gibb D, Arulkumaran S. Fetal Monitoring in Practice. Butterworth - Heinemann. 1995 2. Clyman RI,.Heymann MA. Fetal Cardiovascular Physiology. In: Maternal-Fetal Medicine. By Creasy & Resnik 4th Ed. \flB Saunders Company 1999:249-59 3. Parer JT. Fetal Heart Rate. In: Maternal-Fetal Medicine. By Creasy Er Resnik 4th Ed. \flB Saunders Company 1999:270-300 4. Karsono B. Kursus Dasar USG dan Kardiotokografi. KOGI XI. Denpasar, Bali. 2000 5. Manning FA. Fetal Assessment by Evaluation of Biophysical Variables. In: Maternal-Fetal Medicine. By Creasy Resnik 4th Ed. \wB Saunders Company 1999:310-30 6. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap III LC, \Wenstrom KD. Antepartum Assessmenr. In \Williams Obstetrics. 22"d Ed. Ch. 2oo5; 15:373-85 7. Devoe LD. The Non Stress Test. In: Assessment & Care of the Fetus. Physiological, Clinical and Medicolegal principle. By Eden tr Boehm. Appleton & Lange. Norwalk. Connecticut. 1990: 365-84 8. Wijayanegara H, lVirakusumah FF. Pemantauan Biofisik Janin. Pf Book, Bandung 1997 9. Freemann RK, Lagrew DC. The Contraction Stress Test. In: Assessment & Care of the Fetus. Physiological, Clinical and Medicolegal principle. By Eden Er Boehm. Appleton & Lange. Norwalk. Connecticut. 199a: 351-64 10. Antonio Barbera, Henry L. Galan, Enrico Ferrazzt. Relationship of Vein Blood Flow ro Growrh Parameters in the Human Fetus, Am J Obstet Gynecol, July 1999: 181(1) 11. Sflarwick B. Giles. Antepartum and Intrapartum Fetal Assessment. Vascular Doppler Techniques, Obstetrics and Gynecology Clinics, December 1999; 2a(): 5105-606 12. Bambang Supriyanto. Aplikasi Umum "Color Doppler Ultrasonography". Dalam: Simposium Aplikasi Klinis Color Doppler Ultrasonography. 1,997: 7-1,7 13. Anne Mieke, Paul JH, Hein VB. A Randomized Controlled Trial on the Clinical Value of Umbilical Doppler Velocimetry in Antenatal Care, An.r J Obstet Gynecol, February 1994: fiOaQ) 14. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth Gilstrap III LC, \Wenstrom KD. 2005. JC,



Ultrasonography and Doppler. In \Williams Obstetrics. 22"d Ed. Ch. 2OO5; 16:389-404 i5. Heru Santoso. Aplikasi "Color Doppler velocimetry" di Bidang Obsretri dan Ginekologi. Dalam: Simposium Aplikas.i Klinis Color Doppler Ultrasonography. 1997: 21-5 16. Justin C. Konie, Keith Abraham, Stephen C. Bell. The Aplication of Color Power Angiography to Longitudinal Quantification of Blood Flow Volume in the Fetal Middle Cerebral Arteries, Ascending Aorta, Descending Aorta and Renal Arteries during Pregnancy, Am J Obstet Gynecol,20a0: 1,82(2) 17. Justin C. Konje, Peter Kaufmann, Stephen C. Bell. A Longitudinal Study of Quantitative Uterine Blood Flow with the Use of Color Power Angiography in Appropriate for Gestational Age Pregnancies, Am J Obstet Gynecol, 2001: 185(3) 18. Martin J. Vhitde, Kevin P. Hanretty, Mairi H. Primrose. Screening for the Cornpromised Fetus: An Obstetr Randomized Trial of Umbilical Artery Ultrasound in Unselected Pregnancies, Am J Obstet Gynecol, 1.99a: ficaQ) 19. Michael Y. Divon. Umbilical Artery Doppler Velocimerry : Clinical Utility in High Pregnancies, Am Gynecol, 1.996: l,a4(,) J Obstet .l(, 20. Yong Park, Jae S Cho, Hyung M Choi. Clinical Significance of Early Diastolic Notch Depth: Uterine Artery Doppler Ultrasound in the Third Trimester, Am J Obstet Gynecol, 2000: 182(5) 21. Brtan Trudinger. Doppler velocimerry Assesment of Blood Flow. In: Robert K. Creasy, Robert Resnik. Maternal-Fetal Medicine 4'h edirion. Philadelphia, \X/B Saunders, 1999: 218 22. Justin C. Konje, Peter Kaufman, Stephen C. Bell. A Longitudinal Study of Quantitative Uterine Blood Flow vrith the Use of Color Power Angiography in Appropriate for Gestational Age Pregnancies, Am J Obstet Gynecoi,2001: 185(3) 23. Scheryon SA. Doppler Velocimetry for the Detection Intrauterine Growth Restriction. In Silhen to screen in Obstetrics & Gynecology. 2"d Ed. Ch. 2A06;32:36a-D



20



ULTRASONOGRAFI DALAM OBSTETRI Bambang Karsono Twjuan Instrwksional Umum Memabami dasar pemerilesaan, cara pemeriksaan, dan manfaat wltrasonografi (USG) dakm obstetri.



Twjwan Instruksional Kbwsws



1. Menjelaskan prinsip dasar pemerilesaan USG. 2. Menjelaskan pengarub (bioefek) pemerilesaan USG terbadap kehamilan. 3. Menjekskan cara-cara pemeriksaan USG dalam obsteri, 4. Menjelaslean indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan USG dalam obstetri. 5. Menjelaslean manfaat pemeriksaan USG dalam obstetri. Pemeriksaan USG merupakan suatu metode diagnostik dengan menggunakan gelombang ultrasonik untuk mempelajari morfologi dan fungsi suatu organ berdasarkan gambaran eko dari gelombang ultrasonik yang dipantulkan oleh organ' Sejak diperkenalkan pertama kali di bidang obstetri oleh Ian Donald sekitar 50 tahun yang lalu, USG telah mingalami perken-rbangan yang sangat pesat, baik dalam hal teknik maupun kualitas resolusi yang dihasilkan. Hal ini telah membawa kemajuan yang sangat dramatis di dalam hal diagnosis dan penanganan kehamilan. Morfologi dan fungsi organ janin dapat dipelajari secara kasat mata dengan menggunakan usc z-air".nsi (usc 2-D) jenis real-time. Fungsi hemodinamik uterusdapat dipelajari dengan lebih mudah dan akurat dengan teknik peme-



flasenta-janin



iik.rrn Doppler'(color'Doppler



dan puked Doppler). Dalam dekade terakhir



ini



telah



dikembang[an teknik p.-.iikrrrn USG :-di*.nsi (USG 3-D), baik jenis 3-D-statik maupun i-D real time-(USG 4-dimensi ar.av liae 3-D). Melalui UfG 3-D morfologi, pe.iLku, dan sirkulasi janin-plasenta dapat dipelaiari dengan lebih mudah dan ielas berdasarkan aspek 3 dimensi.



248



ULTRASONOGRAFI DAIAM OBSTETRI



Di Indonesia pemeriksaan USG tidak dikerjakan secara rutin pada setiap ibu hamil. Hal ini lebih disebabkan oleh biaya pemeriksaan USG yang masih cukup mahal dan tidak terjangkau oleh sebagian besar ibu hamil yang memerlukannya. Sebagian besar ibu hamil tidak dilindungi oleh program asuransi kesehatan.



Fisika Dasar Gelombang Suara Frekuensi gelombang suara yang dapat didengar oleh telinga manusia berkisar antara 20 Hz - 20 kHz. Frekuensi gelombang suara di atas 20 kHz disebut gelombang ultrasonik. 1 kiloHertz (kHz) = 1.03 Hertz (Hz) aT.au 103 getar per detik.



(MHz) : 103 kHz = 106 Hz. Semakin tinggi frekuensi gelombang suara, panjang gelombangnya akan semakin pendek. Semakin pendek panjang gelombang suara yang ditransmisikan ke dalam 1 MegaHertz



medium, daya penetrasinya akan semakin berkurang. Pada pemeriksaan USG, semakin pendek panjang gelombang yang ditransmisikan ke dalam medium, daya resolusinya akan semakin baik. Daya resolusi adalah kemampuan membedakan 2 titik terdekat secara terpisah.



Frekuensi gelombang ultrasonik yang digunakan pada alat USG diagnostik di-



sesuaikan dengan keperluan. Pemeriksaan USG pada kehamilan trimester II dan III dilakukan melalui dinding perut ibu (transabdominal). Frekuensi gelombang ultrasonik yang digunakan berkisar antara 3 - 5 MHz, yang mampu memberikan kedalaman penetrasi hingga 1,5 - 20 cm. Pada kehamilan trimester I pemeriksaan USG paling baik dikerjakan melalui vagina (transvaginal). Frekuensi gelombang ultrasonik yang digunakan adalah 7,5Mhz atau lebih, yang mempunyai kedalaman penetrasi sekitar 5 - 10 cm, tetapi memberikan kualitas resolusi yang lebih baik. Pada peristiwa perambatan gelombang suara, yang dihantarkan oleh medium adalah energi mekanis dari gelombang suara. Banyaknya energi mekanis yang dihantarkan setiap detik melalui suatu bidang medium tegak lurus terhadap arah rambat gelombang suara disebut intensitas gelombang suara. Selama melewati rnedium, intensitas gelombang suara mengalami pengurangan yang besarnya semakin bertambah dengan semakin jauhnya jarakyang ditempuh oleh gelombang suara. Peristiwa ini disebut atenuasi. Terjadinya atenuasi dapat disebabkan oleh mekanisme refleksi, refraksi, absorbsi, dan pembauran (scattering) gelombang suara. Refleksi adalah mekanisme pemantulan intensitas gelombang suara oleh permukaan medium. Semakin besar intensitas gelombang suara yang dipantuikan, akan semakin sedikit intensitas gelombang suara yang ditransmisikan di dalam medium. Udara dan tulang merupakan medium yang mempunyar daya reflektor sangat kuat, sehingga sulit dilalui oleh gelombang suara. Cairan, darah, dan berbagai jaringan lunak tubuh memiiiki daya reflektor yang lemah, sehingga mudah dilalui oleh geiombang suara. Bila gelombang suara mencapai permukaan medium lain yang berbeda sifat akustiknya dan dalam arah yang tidak tegak lurus, maka intensitas yang ditransmisikan akan diubah arahnya. Perubahan arah ini mengikuti hukum Snell, dan peristiwa ini disebut



ULTRASONOGRAFI DALAM OBSTETR]



249



refraksi. Absorbsi merupakan mekanisme perubahan energi mekanis (intensitas) gelombang suara menjadi energi panas. Jaringan tulang memiliki daya absorbsi yang kuat; sedangkan cairan/darah dan .y'aringan iunak mempunyai daya absorbsi yang lemah. Mekanisme pembauran terjadi apabila gelombang suara melaiui permukaan medium yang tidak rata, atav melalui medium berupa partikel-partikel kasar, maka gelombang suara akan dipantuikan ke berbagai arair secara tidak beraturan. Pengaruh atenuasi di dalam pemeriksaan USG adalah sebagai berikut.



. . . e



Atenuasi akan membatasi kemampuan alat USG dalam memeriksa struktur jaringan tubuh hanya sampai pada tingkat kedalaman tertentu. Atenuasi berbeda pada berbagai jaringan tubuh dan memberikan gambaran USG yang berbeda. Jaringan tubuh masing-masing memiliki koefisien atenuasi yang berbeda, sehingga pada pemeriksaan USG akan memberikan gambaran yang berbeda. Atenuasi dapat menimbulkan gambaran artifak yang dapat mempersulit pemeriksaan USG dan menyebabkan kesalahan diagnosis. Aiat USG tidak dapat digunakan untuk memeriksa struktur jaringan tulang atau organ yang berisi udara atau gas (paru, usus). Organ janin tidak berisi gas, sehingga pemeriksaan paru dan usus janin dapat dikerjakan dengan USG.



Bioefek Gelombang Ultrasonik Pada peristiwa perambatan gelombang ultrasonik, di dalam medium terjadi perubahanperubahan siklik berupa getaran partikel, perubahan tekanan, perubahan densitas, dan perubahan suhu. Secara teoritis, gelombang ultrasonik mempunyai potensi yang dapat merusak struktur jaringan tubuh janin, terutama pada kehamilan trimester I di mana proses organo-genesis sedang terjadi dan merupakan saat yang paling rentan untuk mengalami gangguan. Kerusakan jaringan tubuh yang terjadi terutama akibat pengaruh panas (efek termal) dan kavitasi (efek mekanis) yang ditimbulkan oleh gelombang ultrasonik. Efek termal terjadi akibat absorbsi gelombang ultrasonik oleh jaringan tubuh. Peningkatan suhu yangterjadi akibat pemaparan gelombang ultrasonik di dalam suatu jaringan ditentukan oleh karakteristik akustik (intensitas, frekuensi, luas permukaan transduser, fokus gelombang ultrasonik, lama pemaparan, dsb.) dan karakteristik jaringan (tahanan akustik, absorbsi, perfusi jaringan, konduktivitas panas di dalam jaringan, struktur anatomi, kecepatan gelombang ultrasonik, dsb.)1. Jaringan tulang paling banyak menyerap gelombang ultrasonik, sehingga paling banyak mengalami perubahan panas. Semakin besar intensitas (power) dan frekuensi gelombang ultrasonik yang ditransmisikan ke dalam jaringan, maka panas yang ditimbulkan pada jaringan akan semakin besar. Perfusi jaringan dan konduktivitas panas di dalam jaringan merupakan mekanisme yang paling dominan dalam mengurangi efek termal yang ditimbulkan oleh pemaparan gelombang ultrasonikl. Hipertermia yang terjadi pada masa organogenesis dapat menimbulkan cacat pada janin (teratogenik), per-



tumbuhan janin terhambat, dan kematian janin2. Oleh karena efek termal ini, pe-



250



ULTRASONOGRAFI DAIAM OBSTETN



meriksaan USG obstetri sebaiknya dihindari pada ibu yang sedang mengalami demam, tenrtama pada kehamilan trimester 12. Kavitasi terjadi bila gelombang ultrasonik ditransmisikan ke dalam suatu medium yang mengandung inti-inti berisi gas (microbubble). Osllasi amplitudo tekanan dari gelombang ultrasonik menyebabkan inti-inti gas mengalami proses kompresi (diameter mengecil akibat tekanan positif) dan dekompresi (diameter membesar akibat tekanan negatif) terus-menems. Apabila amplirudo tekanan cukup besar, inti-inti gas akan mengalami kerusakan (kolaps). Peristiwa ini disebut inertial caoitation (transient caaitation atau collapse caoiution). Energi kinetik yang terjadi akibat kolapsnya inti gas akan menimbulkan reaksi panas dan perubahan tekanan yang cukup tinggi. Pada binatang percobaan, inertial caaitation diketahui dapat menyebabkan paralisis, kerusakan se1 (lisis), dan pembentukan radikal bebas yang bersifat toksik dan dapat menimbulkan kerusakan yang ireversibel pada kromosom dan beberapa sistem enzim3. Apabila osilasi amplitudo tekanan gelombang ultrasonik tidak terlalu besar, diameter inti-inti gas relatif stabil dan tidak mengalami kolaps. Fenomena ini disebut suble caoitation. Osilasi yangr.erjadi pada inti-inti gas dapat menimbulkan gelombang mikro (micvostreaming) yang dipancarkan dengan kecepatan tinggi ke medium sekitarnya dan menimbulkan panas. Intensitas gelombang ultrasonik yang digunakan pada alat USG diagnostik yang dijual di pasaran jauh lebih kecil dibandingkan alat USG eksperimental. Pemeriksaan dengan USG komersial dilakukan dengan cara scanning, yaitu dengan menggeser-geser transduser, sehingga intensitas gelombang ultrasonik yang diterima oleh jaringan menjadi kecil. Pada kehamilan trimester I, struktur jaringan embrio belum berisi tulang, sehingga efek termai yang ditimbulkan oleh gelombang ultrasonik tidak signifikan. Jaringan embrio atau janin tidak berisi gas, sehingga praktis tidak mengalami fenomena kavitasi. Dari penelitian epidemiologik pada manusia dan penelitian in vi,rro pada mamalia tidak pernah terbukti bahwa pemeriksaan dengan USG diagnostik komersial dapat menyebabkan cacat bawaan atau kematian janin. Hal yang perlu diwaspadai adalah pemeriksaan Doppler, di mana pemeriksaan tidak dilakukan dengan cara scanning dan intensitas gelombang ultrasonik yang digunakan lebih besar dari alat USG diagnostik. Pemeriksaan Doppler pada kehamilan trimester I (terutama transvaginal) sebaiknya dihindari, atau dikerjakan secara hati-hati apabila pemeriksaan tersebut dianggap mempunyai manfaat yang lebih besar dibandingkan risikonya. Pada prinsipnya pemeriksaan USG dalam kehamilan sebaiknya hanya dikerjakan bila ada indikasi yang jelas; dengan menggunakan intensitas @ower) yang serendah mungkin dan dalam waktu yang sesingkat mungkin, sejauh hasil pemeriksaan dapat diperoleh dengan cukup memuaskan (ALARA, as low as reasonably acbievable)a.



Teknik Pemeriksaan USG Pemeriksaan USG obstetri dapat dikerjakan melalui cara transabdominal (USG-TA) atau transvaginal (USG-TV).



ULTRASONOGRAFI DALAM OBSTETRI



251



Pemeriksaan USG Transabdominal Transduser @robe) yang digunakan untuk pemeriksaan USG-TA adalah jenis linear atau konveks (Gambar 20-1 A). Transduser jenis konveks lebih popular digunakan pada saat ini karena dapat menampilkan lapang pandangan yang lebih iuas dibandingkan jenis linear. Pemeriksaan USG-TA terutama dikerjakan pada kehamilan trimester II dan III. Pada kehamilan trimester I pemeriksaan USG-TA sebaiknya dikerjakan melalui kandung kemih yang terisi penuh (sehingga disebut juga pemeriksaan USG transvesikal), gunanya untuk menyingkirkan usus keluar dari rongga pelvik, sehingga tidak menghalangi pemeriksaan genitalia interna. Massa usus yang berisi gas akan mengharnbat transmisi gelombang ultrasonik. Sebelum memulai pemeriksaan, dinding abdomen ibu harus dilumuri jel fuei) untuk lubrikasi dan menghilangkan udara di antara permukaan transduser dan dinding abdomen.



Pemeriksaan USG-TA mempunyai beberapa kerugian. Kandung kemih yang penuh akan mengganggu kenyamanan pasien dan pemeriksa. Kandung kemih yang terlampau penuh akan mendesak genitalia interna ke posterior, sehingga letaknya di luar daya jangkau transduser. lJterus mudah mengalami kontraksi, sehingga kantung gestasi di dalam uterus ikut tertekan dan bentuknya mengalami distorsi. Keadaan-keadaan ini akan mempersulit pemeriksaan. Adanya mudigah di dalam kantung gestasi dapat luput



dari pemeriksaan. Pemeriksaan USG-TA tanpa persiapan kandung kemih pada kehamilan trimester I dapat dikerjakan dengan cukup memuaskan pada pasien yang kurus, dengan dinding perut yang tipis dan uterus anteversi. Pada kehamilan trimester II dan III uterus teiah cukup besar dan letaknya di luar rongga pelvik. Volume cairan amnion sudah cukup banyak. Pemeriksaan USG-TA dapat dikerjakan tanpa memeriukan persiapan kandung kemih.



Pemeriksaan USG Transoaginal



Berbeda dengan USG-TA, pemeriksaan USG-TV harus dilakukan dalam keadaan kandung kemih yang kosong agar organ pelvik berada dekat dengan permukaan transduser dan berada di dalam area penetrasi transduser. Jika dibandingkan USG-TA (yang harus dikerjakan dalam keadaan kandung kemih terisi penuh), pemeriksaan USG-TV pada kehamilan trimester I lebih dapat diterima oleh pasien. Pemeriksaan USG-TV dapat dilakukan setiap saat, dan organ pelvik berada dalam posisi yang sebenarnya.



Dalam persiapan transduser terlebih dulu diberi jel pada permukaan elemennya (untuk



menghilangkan udara



di permukaan



transduser), kemudian dibungkus dengan alat



pembungkus khusus atau kondom (berfungsi sebagai alat pelindung). Sebelum dimasukkan ke dalam vagina, ujung pembungkus transduser diberi jel lagi (berfungsi sebagai lubrikan dan menghilangkan udara di antara permukaan elemen transduser dan



252



ULTRASONOGRAFI DAIAM OBSTETR]



serviks uteri). Transduser dimasukkan ke dalam vagina hingga mencapai daerah forniks (Gambar 20-1 B). Manuver gerakan transduser di dalam vagina merupakan kombinasi gepkan maju-mundur, gerakan memutar (rotasi), dan gerakan angulasi ke samping kirikanan atau ke atas-bawah.



Indikasi Pemeriksaan USG Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan USG maka perlu dibuat suatu pedoman yang mengatur penggunaan USG di bidang obstetri. Pedoman tersebut antara lain memuat indikasi pemeriksaan USG dalam kehamilan. Indikasi pemeriksaan USG pada kehamilan trimester I Beberapa indikasi pemeriksaan USG pada kehamilan trimester I, misalnya (1) penentuan adanya kehamilan intrauterin; (2) penentuan adanya denJ'ut jantung mudigah atau janin;



(3) penentuan usia kehamilan; (4) penentuan kehamilan kembar; (5) perdarahan per vaginam; (6) terduga kehamilan ektopik; (7) terdapat nyeri pelvik; (8) terduga kehamilan mola; (9) terduga adanya tumor pelvik atau kelainan uterus; dan (10) membantu tindakan invasif, seperti pengambilan sampel jaringan vili koriales (chorionic aillws samp ling), pengangkatan IUDa. Indikasi pemeriksaan USG pada kehamilan timester



II



dan



III



Beberapa indikasi pemeriksaan USG pada kehamilan trimester II dan III, misalnya: (1) penentuan usia kehamilan; (2) evaluasi pertumbuhan janin; (3) terduga kematian janin; (4) terduga kehamilan kembar; (5) terduga kelainan volume cairan amnion; (6) evaluasi kesejahteraan janin; (7) ketuban pecah dini atau persalinan preterm; (8) penentuan presentasi janin; (9) membantu tindakan versi luar; (10) terduga inkompetensia serviks;



(11) terduga plasenta previa; (12) terduga solusio plasenta; (13) terduga kehamilan mola; (14) terdapat nyeri peivik atau nyeri abdomen; (15) terduga kehamilan ektopik; (15) kecurigaan adanya kelainan kromosomal (usia ibu > 35 tahun, atau hasil tes biokimiawi abnormal); (17) evaluasi kelainan kongenital; (18) riwayat kelainan kongenital pada kehamilan sebelumnya; (19) terduga adanya tumor pelvik atau kelainan uterus; dan (20) membantu tindakan invasif, seperti amniosentesis, kordosentesis, atau amnioinfusia. Pemeriksaan USG diagnostik cara scanning bersifat aman dan noninvasif. Sejauh ini tidak ada kontraindikasi untuk pemeriksaan USG dalam kehamilan.



Ultrasonografi Kehamilan Trimester



I



Kantwng Gestasi Dengan USG-TV yang cukup baik kualitasnya, struktur kantung gestasi (KG) intrauterin dapat terlihat mulai kehamilan 4,5 minggu (17 hari pascakonsepsi, atau sekitar 10 hari sejak blastosis bernidasi ke dalam lapisan endometrium). Pada saat itu dia-



ULTRASONOGRAFI DAIAM OBSTETRI



253



meternya mencapai 2 - 3 mm. Struktur KG intrauterin secara konsisten terlihat mulai kehamilan 5 minggu, saat diameternya mencapai > 5 mm5. Dengan USG-TA kehamilan intrauterin dapat terlihat setelah diameter KG mencapai 5 mm; dan secara konsisten terlihat mulai kehamilan 6 minggu, saat diameter KG mencapai > 1O mm6. Kantung gestasi terlihat sebagai struktur kistik (anekoik) berbentuk bundar atau oval, dengan dinding yang hiperekoik, dan lemknya eksentrik di dalam lapisan endometrium yang menebal (Gambar 20-2 A). Struktur tersebut berasal dari kantung korion yang berisi cairan korion. Gambaran hiperekoik dinding KG berasal dari lapisan korion, jaringan trofoblas, dan desidua kapsularis. Seringkali dinding KG terlihat sebagai 2 lapisan konsentrik (dowble decid.wal sac), di mana lapisan sebelah dalam berasal dari cborion laeue dan desidua kapsularis; sedangkan lapisan sebelah luar berasal dari desidua parietalis atau desidua vera (Gambar 20-2 B).



Struktur KG harus dibedakan dari struktur anekoik lainnya di dalam kamm uteri, seperti hematometra, hidrometra, kista endometrial, endometritis, atau kantung gestasi palsu (pseudo-gesutional sac) pada kehamilan ektopik. Yolk. Sac Suatu kehamilan intrauterin baru dapat dipasrikan setelah terlihat struktur yolh sac di dalam KG (Gambar 20-2 B). Yolk sac berbentuk cincin berdinding tipis yang letaknya di dalam ruang korion. Dengan USG-TV yolk. sac akan konsisten terlihat mulai kehamilan 5,5 minggu, saat diameter KG > i0 mm; sedangkan dengan USG-TA yolA sac akan konsisten terlihat mulai kehamilan 6 minggu setelah diameter KG > 20 mm7,8. Selama kehamilan 5 - 10 minggu diameter yolk. sac mencapai 5 - 6 mm. Setelah itu yolb sac akan menl.usut dan pada kehamilan 12 minggu biasanya tidak terlihat lagi. Apabila yolk sac tidak ditemukan di dalam kantung gestasi yang diameternya > 10 mm (USG-TV) atau > 20 mm (USG-TA), maka kernungkinan besar kehamilan tidak akan berkembang normal dan akan mengalami abortusS.



Mwdigah dan Janin Dengan USG-TV struktur mudigah pertama kali dapat terlihat pada kehamilan 5,5 minggu, berupa penebalan pada sebagian dinding yolk sac. Panjangnya sekitar 2 - 3 mm dan belum memperlihatkan deny,ut jantung. Panjang mudigah akan bertambah sekitar 1 - 2 mm per hari. Panjang mudigah dinyatakan dengan ukuran jarak kepala-bokong (|KB) atau cyorl)n-rump lengtb (CP.L), meskipun sebelum kehamilan 8 minggu bagian kepala dan badan masih belum dapat dibedakan. Mudigah mulai menunjukkan aktivitas denl'ut jantung pada usia kehamilan sekitar 6 minggu, setelah JKB mencapai 5 mm dan diameter KG sekitar 18 mme. Sejak saat itu struktur mudigah dan aktivitas den1-ut jantung akan konsisten terlihat dengan USG-TV. Dengan USG-TA struktur mudigah akan konsisten terlihat setelah diameter KG > 25 mme. Pengukuran dennrt jantung mudigah sebaiknya dilakukan melalui cara M-mode (Motion-mode) dan tidak dengan cara Doppler. Frekuensi denyut jantung (FD) mu-



ULTRASONOGRAFI DALAM OBSTETRI



254



6 minggu sekitar 110 denpt per menit (dp-), meningkat mencapai 175 dpm pada kehamilan 9 minggu, kemudian menumn hingga 156 dpm pada kehamilan 12 minggu10,11. Apabila FDJ < 80 dpm pada kehamilan 6 minggu; arau < 100 dpm pada kehamilan 2 7 minggu, umumnya mudigah akan mati dalam beberapa



digah pada kehamilan



hari kemudianl2. Istilah mudigah (embrio) digunakan terhadap hasil konsepsi sampai usia kehamilan 10 minggu, yaitu selama berlangsungnya proses organogenesis. Mulai usia kehamilan 11 minggu hasil konsepsi disebut janin (fetus). Masa transisi terjadi pada saat JKB mencapai 30



-



35 mm.



Penentwan Usia Kehamilan Penentuan usia kehamilan melalui pemeriksaan USG paling akurat bila dilakukan pada keharniian trimester I. Pada saat itu laju pertumbuhan mudigah paling cepar dan variasi biologiknya paling kecil. Sebelum struktur mudigah dapat terlihat, penentuan usia



kehamilan dilakukan melalui pengukuran diameter rata-rata kantung gestasi (KG). Setelah struktur mudigah terlihat, maka usia kehamilan ditentukan melalui pengukuran panjang rnudigah (|KB). Mulai akhir trimester I pertumbuhan janin sudah cukup besar dan bagian-bagian spesifik janin (seperti kepala dan ekstremitas) sudah dapat dilihat lebih jelas. Sejak saat itu pengukuran JKB tidak akurat lagi, dan penentuan usia kehamilan sebaiknya dilakukan melalui pengukuran bagian-bagian spesifik janin, seperti diameter biparietal (DBP). Penentuan usia kehamilan dilakukan berdasarkan tabel data atau nomogram yang menggambarkan hubungan afltara ukuran biometri janin dan usia kehamilan pada kehamilan normal. Akan lebih baik lagi bila data yang digunakan berasal dari populasi setempat.



Pengukuran diameter KG untuk menentukan usia kehamilan hanya akurat bila digunakan pada usia kehamilan 5 - 6,5 minggu. Selain menggunakan nomogram perken-rbangan KG, usia kehamilan dapat juga dihitung dengan menggunakan formula sederhana:



Usia kehamilan (hari)



= diameter KG (mm) + 305.



Pengukuran JKB dilakukan mulai kehamiian 6 minggu, saat struktur mudigah secara konsisten terlihat melalui pemeriksaan USG (Gambar 20-3). Jarak kepala-bokong merupakan parameter yang paling baik digunakan untuk rnenentukan usia kehamilan, dengan tingkat kesalahan + 3



-



5 hari13.



Kehamilan Kembar Kemungkinan suatu kehamilan kembar dapat diketahui sejak usia kehamilan 5 minggu, dengan melihat jumlah kantung gesmsi di dalam kavum uteri. Diagnosis definitif kehamilan kembar baru boleh ditegakkan bila terlihat lebih dari satu mudigah yang menunjukkan akdvitas denlut iantung.



ULTRASONOGRAFI DAIAM OBSTETRI



255



Kehamilan kembar bisa berasal dari 2 buah or,rrm yang dibuahi, disebut kembar dizigotik (DZ) arau tidak-identik; atau dari sebuah o\nm yang dibuahi dan kemudian membelah menjadi 2 bagian yang masing-masing berkembang menjadi mudigah, disebut kembar monozigotik (MZ) atau identik. Sekitar 70"h kehamilan kembar menrpakan kembar DZ; sedangkao 3A"k lainnya merupakan kembar MZ. Berdasarkan korionisitas dan amnionisitasnya, kembar DZ pastr merupakan kembar dikorionik-diamniotik (DK-DA); sedangkan kembar MZ bisa berupa DK-DA, monokorionik-diamniotik (MK-DA), atau monokorionik-monoamniotik (MK-MA). Jenis korionisitas dan amnionisitas kehamilan kembar akan sangat berpengaruh terhadap morbiditas dan mortalitas hasil konsepsi (Gambar 2O-4). Jenis korionisitas dan amnionisitas kehamilan kembar paling mudah diketahui pada kehamilan trimester I. Sampai kehamilan 10 minggu, bila terlihat 2 kantung gestasi yang masing-masing berisi mudigah hidup, maka kehamilan kembar tergolong DK-DA. Biia hanya terlihat 1 kantung gestasi yang berisi 2 mudigah hidup, maka kehamilan kembar tergolong MK. Bila pada kembar MK terlihat 2 kantung amnion yang saling terpisah dan masing-masing berisi mudigah hidup, kehamiian kembar tergolong MKDA; dan bila hanya terlihat 1 kantung amnion yang berisi 2 mudigah hidup, kehamilan kembar tergoiong MK-MA. Pemeriksaan yolk sac juga berguna untuk menentukan amnionisitas kembar MK. Pada kembar MK-DA terlihat 2 yolh. sac di dalam kantung gestasi; sedangkan pada kembar



MK-MA hanya terlihat 1 yolk sac.



Kelainan pada Kebamilan Trimester



.



I



Kehamilan Nirmudigah (Bligbted Ovwm; Ananbryonic Pregwncy; E*pty Amnion) Kehamilan nirmudigah sering dijumpai pada kehamilan trimester I, terjadi akibat kegagalan pembentukan mudigah. Kelainan ini mungkin juga terjadi karena perkembangan mudigah terhenti sebelum dapat terdeteksi dengan USG, atau mudigah mati dan mengalami resorbsi sehingga tidak terlihat lagi dengan USG. Sekitar 50 - 90 "/" abortus yang terjadi pada kehamilan trimester I disebabkan oleh kehamilan nirmudigah, dan seringkali berhubungan dengan kelainan kromosomall4. Diagnosis kehamilan nirmudigah ditegakkan bila ditemukan salah satu keadaan berikut. (1) struktur mudigah tidak terlihat di dalam KG yang diameternya > 18 mm (USG-TV) atau > 25 mm (USG-TA); (2) struktur tidak terlihat di dalam KG yang diameternya > 10 mm (USG-TV) atau > 20 mm (USG-TA); atau (3) kantung amnion yang tidak berisi mudigah (Gambar 20-5).



.



Perdarahan pada Kehamilan Trimester I Abortus iminens pada kehamilan trimester I biasanya disebabkan oleh perdarahan retrokorionik yang letaknya di belakang korion frondosum, dan perdarahan subkorionik yang letaknya di belakang selaput korion dan mengisi kavum uteri (Gambar 20-6).Perdarahan terjadi karena terlepasnya sebagian korion frondosum dari dinding uterus. Perdarahan retrokorionik dan subkorionik umumnya terjadi bersamaan. Perdarahan yang masih baru akan terlihat hiperekoik terhadap korion; sedangkan per-



256



ULTRASONOGRAFI DALAM OBSTETRI



darahan yang lamanya sudah 1 - 2 minggu akan terlihat hipoekoik atau anekoik. Gambaran USG pada abortus insipiens bervariasi, bergantung pada jumlah perdarahan, kondisi kantung gestasi, dan derajat pembukaan serviks. Seringkali kantung gestasi bentuknya ireguler, lemknya turun ke bagian bawah karum uteri arau mengisi kanalis servikalis yang terbuka. Mudigah/janin mungkin terlihar masih hidup. Gambaran abortus inkompletus tidak spesifik, bergantung pada usia kehamilan dan banyaknya sisa jaringan konsepsi yang tertinggal di dalam kar.um uteri. Kavum uteri mungkin berisi kantung gestasi yang bentuknya tidak utuh lagi. Mungkin juga sisa konsepsi terlihat sebagai massa ekogenik yang tebal ireguler di dalam karum uteri; atau terlihat sebagai massa kompleks bila sisa konsepsi bercampur dengan jaringan nekrotik dan bekuan darah. Kadang-kadang gambaran sisa konsepsi sulit dibedakan dari bekuan darah. Pada abortus kompletus seluruh hasil konsepsi telah dikeluarkan dari karum uteri. Pada pemeriksaan USG kavum uteri terlihat kosong atau berisi bekuan darah yang gambarannya bervariasi. Missed abonion merupakan kematian hasil konsepsi sebelum usia keh4milan 22 minggu dan tertahan di dalam uterus selama 8 minggu atau lebih. Namun, kapan saat terjadinya kematian hasil konsepsi sulit diketahui. Istilah yang digunakan pada USG adalah kematian mudigah atau kematian janin.



Kehamilan Mola (Mola Hidatidosa) Kehamilan mola merupakan penyakit trofoblas gestasional yang paling sering di;'umpai, terutama pada awal dan akhir masa reproduksi. Kehamilan mola bisa berupa mola komplit, bila terdiri hanya dari proliferasi jaringan trofoblas; atau mola inkomplit (mola parsial), bila selain proliferasi trofoblas terdapat elemen mudigah. Pada kembar dizigotik, mungkin terjadi kehamilan mola komplit yang berkembang bersama dengan kehamilan normal. Gambaran USG kehamilan mola pada trimester



I tidak spesifik dan bervariasi. Mung-



kin terlihat menyerupai kehamilan nirmudigah dengan dinding yang menebal (Gambar 20-5B) plasenta hidropik, missed. abortion, abortus inkompletus, mioma berdegenerasi kistik, hiperplasia endometrium (Gambar 20-7), atau terlihat sebagai massa ekogenik yang mengisi seluruh kavum uteri. Dalam hal ini pemeriksaan kadar p-hCG serum akan sangat membantu penegakan diagnosis. Kehamilan Ektopik Kehamilan ektopik (IG) adalah kehamilan di mana implantasi blastosis terjadi di luar karum uteri. Kejadian KE dalam dekade belakangan ini semakin meningkat. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kejadian KE, antara lain riwayat KE sebelumnya; kontrasepsi IUD; kegagalan sterilisasi; peradangan pelvik; dan bayi tabung (fertilisasi



in aitro). Diagnostik definitif KE ditegakkan apabila terlihat KG berisi struktur mudigah hidup yang letaknya di luar kai,um uteri (Gambar 20-8A). Bila pada USG terlihat kehamilan intrauterin, maka kemungkinan KE sangat kecil. Kejadian kehamilan heterotopik (kehamilan intrauterin dan ektopik yang terjadi bersamaan) ;'arang terjadi, yaitu



ULTRASONOGRAFI DALAM OBSTETN



257



sekitar 1. diantara 7.000 keham;1rrrs (Gambar 2O-8B). Akan tetapi, pada pasien fertilisasi in pitro, kemunekinan kehamilan heterotopik meningkat tajam, yaitu sekitar 1 di antara 100 kehamilanl6. Diagnosis KE didasarkan atas temuan yang teriihat pada uterus, adneksa, dan kavum Douglasi. Uterus tidak selalu membesar, dan kavum uteri memperlihatkan gambaran yang bervariasi. Kadang-kadang karum uteri terbuka karena terisi cairan sekret dan memberikan gambaran menyerupai kantung gestasi (KG palsu). Kantung gestasi palsu bentuknya selalu lonjong, letaknya di tengah kavum uteri, tidak mempunyai gambaran cincin ganda yang konsentrik, dan tidak berisi struktur2o/A sac atau mudigah.



Diagnosis KE sulit ditegakkan pada kehamilan yang masih muda, sehingga memerlukan pemeriksaan serial. Gambaran spesifik kehamilan tuba berupa massa ekhogenik berbentuk sirkular dengan diameter 10 - 30 mm yang ietaknya di daerah adneksa. Di bagian tengahnya terlihat stn:ktur anekhoik yang berasal dari kantung gestasi, sehingga massa adneksa membentuk gambaran cincin (twbal ring). Pada 16 - 32,5 o/" kasus terlihat struktur mudigah di dalam KG17. Mungkin juga terlihat struktur yolk sac di dalam KG. Kehamilan ektopik lebih sering memberikan gambaran yang tidak spesifik, berupa massa kompleks (mengandung bagian padat dan kistik) yang berasal dari jaringan trofoblas dan perdarahan pada tuba. Apabila KI mengalami gangguan perdarahan (abortus atau ruptura tuba), akan terlihat cairan bebas yang mengisi kavum Dougiasi. Gambaran perdarahan akibat KE sulit dibedakan dari perdarahan atau cairan bebas yang terjadi oleh sebab lain, seperti perdarahan orulasi, asites, pus, dan kista pecah. Pada keadaan ini, pemeriksaan B-hCG dapat membantu diagnosis KE. Sejak diagnosis KE dapat ditegakkan dengan cukup akurat melalui pemeriksaan USG, maka tindakan kuldosentesis (pungsi kavum Douglasi) saat ini sudah jarang dikerjakan. (Jbrasonografi Kelainan Kromosom (Genetic S onograpby) Pemeriksaan USG bermanfaat untuk mencari kemungkinan adanya kelainan kromosom pada kehamilan trimester L Hal ini dilakukan mulai kehamilan 11 minggu, setelah perkembangan struktur janin cukup jelas untuk dipelajari. Kelainan janin yang bisa diketahui melalui USG adalah nwcbal translucency (NT) dan tidak terbentuknya tulang hidung.



Nuchal translucenqt merupakan gambaran penebalan anekoik yang disebabkan oleh edema yang terjadi di daerah tengkuk janin. Kelainan-kelainan ini mempunyai korelasi yang kuat dengan kejadian kelainan kromosom. Bila dijumpai kelainan ini sebaiknya dilakukan pemeriksaan kromosom (k"ryoWt"g) melalui choionic ,tillws sampling (CYS) pada kehamilan 10 - 13 minggu, atau amniosentesis pada kehamilan 14 - 18 minggu.



Tindakan Interaensi pada Kebamilan Trimester



I



Beberapa tindakan intervensi tertentu pada kehamilan trimester I menjadi lebih aman apabila dikerjakan dengan bimbingan USG, misalnya (1) CVS; (2) pengangkatan IUD



258



ULTRASONOGRAFI DAIAM OBSTETRI



pada kehamilan; (3) pungsi kista, untuk mencegah komplikasi kista (terpuntir atau pecah), atau untuk menghilangkan kista yang menghalangi jalan lahir; dan (4) tindakan pengurangan jumlah mudigah (feal redwction) pada kehamilan kembar lebih dari dua, untuk mengurangi risiko prematuritas. Dahulu tindakan intervensi dilakukan juga pada kehamiian etopik, untuk memberikan obat (seperti metltotrexate) secara langsung ke lokasi KE.



Ultrasonografi Kehamilan Trimester



II



III II dan III



dan



dilakukan dengan cara transPemeriksaan USG pada kehamilan trimester kondisi tertentu pemeriksaan dilakukemih. Pada kandung tanpa persiapan abdominal dengan USG-TV, misalnya unterisi atau kemih yang setengah melalui kandung kan (SBU), kondisi serviks, dan uterus bawah piasenta, ketebalan segmen menilai letak tuk pelvik. tumor Penentwan Usia Kebamilan Penentuan usia kehamilan pada trimester II paling akurat dilakukan sebelum kehamilan 20 minggu, misalnya melalui pengukuran kepala dan tulang panjang, dengan tingkat kesalahan + 1 minggu18. Setelah kehamilan 20 minggu variasi pertumbuhan janin semakin melebar, sehingga pengukuran biometri untuk menentukan usia kehamilan menjadi tidak akurat lagi. Pemeriksaan USG serial dengan interval sedikitnya 2 minggu dapat menambah akurasi pemeriksaan. Berbagai struktur anatomi janin dapat digunakan sebagai biometri untuk menentukan usia kehamilan, seperti diameter biparietai (DBP), lingkar kepala, panjang tulang (femur, tibia, humerus, radius, klavikula), jarak orbita, lebar serebelum, panjang ginjai, dan panjang telapak kaki. Sebagai pedoman, gunakan bagian anatomi janin yang mudah diperoleh, mudah diukur, dan cukup sensitif dalam menentukan usia kehamiian. Biometri yang cukup mudah diukur dan lazim digunakan adalah DBP, lingkar kepaia, panjang femur, dan panjang humerus.



.



Pengukuran Diameter Biparietal dan Lingkar Kepala Pengukuran DBP dilakukan pada penampang aksial kepala setinggi taiamus (bidang transtalamik), karena melalui bidang ini akan diperoleh ukuran DBP yang terbesar (Gambar 2O-9). Pengukuran dilakukan pada jarak biparietal yang terbesar, dari permukaan luar tuiang parietal bagian proksimal ke arah permukaan dalam tulang parietal bagian distal ('iuar ke dalam'), tegak lurus falks serebri. Peneliti lain melakukan pengukuran DBP pada permukaan luar tulang parietal bagian proksimal dan distal ('luar ke luar'). Pengukuran lingkar kepala dilakukan dengan mengukur DBP 'luar ke luar' dan diameter fronto-oksipital (DFO) 'luar ke luar'. Lingkar kepala = (DBP1,". k. luar *



DFOlr", k. lu".) x 1,57. Alat USG yang dijual sekarang umumnya diiengkapi sofnttare yang dapat mengukur lingkar kepala (dan bagian tubuh janin lainnya) dengan cara ellips atau cara tracing.



ULTRASONOGRAFI DALAM OBSTETRI



259



Pengukuran Paniang Femur Pengukuran dilakukan terhadap diafisis tulang femur yang berada pada posisi horizontal. Bagian epifisis tulang tidak ikut diukur (Gambar 20-10). Pengukuran panjang tulang humerus dan tulang-tulang panjang lainnya dilakukan dengan cara yang sama seperti pengukuran tulang femur.



Pengukuran Lingkar Abdomen Pengukuran dilakukan pada penampang aksial abdomen setinggi hepar, karena melalui bidang ini akan diperoleh ukuran lingkar abdomen yang terbesar. Pada penampang ini akan terlihat tulang vertebra di bagian posterior, lambung di bagian lateral, dan penampang aksial vena umbilikal yang letaknya di bagian depan dan agak ke posterior (Gambar 20-11). Pengukuran lingkar abdomen dilakukan melalui diameter antero-posterior 'luar ke luar' dan diameter transversal abdomen 'luar ke luar'. Penghitungan lingkar abdomen sama seperti penghitungan iingkar kepala, dan dapat juga dilakukan dengan cara ellips atau cara tracing. Penentwan Pertumbwban dan Besar Janin



Pertumbuhan janin selama kehamilan dipengaruhi oleh faktor intrinsik (faktor genetik) yang menentukan potensi pertumbuhan janin; dan faktor ekstrinsik (faktor lingkungan). Potensi pertumbuhan janin akan terganggu misalnya oleh kelainan genetik/ kromosom, infeksi (rubela), radiasi, dan obat-obatan. Faktor lingkungan yang dapat mengganggu pertumbuhan janin misalnya kondisi geografi, status sosial-ekonomi, penyakit dan kebiasaan ibu (hipertensi, malnutrisi, merokok, alkoholik, dan sebagainya), penyakit pada janin, dan gangguan uteroplasenta. Gangguan pertumbuhan janin akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal, dan pada jangka panjang akan menyebabkan defek neuroiogik. Pada pemeriksaan USG, penilaian pertumbuhan janin terutama didasarkan atas penilaian ukuran anatomi dan perubahan fungsional janin selama masa kehamilan. Penyimpangan pada proses pertumbuhan janin bisa diketahui dengan lebih mudah berdasarkan data (nomogram) ukuran anatomi janin.



e Peftumbuhan Janin Terhambat Penumbuhan ianin terhambat dapat digolongkan ke dalam jenis simetrik (tipe 1) dan jenis asimetrik (tipe 2). Sekitar 80 % PJT tergolong jenis asimetrik, sedangkan 20 % lainnya merupakan jenis simetrikle. Pertumbuhan janin terhambat jenis simetrik dapat disebabkan baik oleh faktor intrinsik (kelainan genetik/kromosom) maupun ekstrinsik (bahan teratogenik, infeksi intrauterin, malnutrisi berat, dan sebagai,nya), dan terjadi sejak usia kehamilan muda. Pada PJT jenis asimetrik penyebabnya adalah faktor ekstrinsik, terutama insufisiensi plasenta, yang umumnya terjadi pada kehamilan



trimester



IIL



Gambaran spesifik PJT asimetrik terlihat pada besar atau berat janin yang berkurang, sedangkan panjang janin hanya sedikit terpengaruh. Bentuk tubuh janin terlihat



ULTRASONOGRAFI DALAM OBSTETN



260



tidak proporsional (asimetrik), yaitu ukuran tubuh (misalnya lingkar abdomen) yang kecil, sedangkan ukuran kepala tidak banyak mengalami perubahan (brain sparing phenomenon). Pada janin normal, rasio lingkar kepala dan lingkar abdomen adalah 1,18 pada kehamilan 17 minggu; berkurang menjadi 1,11pada kehamilan 29 minggu; 1,01 pada kehamilan 36 minggu; dan < 1,0 setelah usia kehamilan 35 minggu' Pada PJT asimetrik rasio tersebut tetap > 1,020. Voiume cairan amnion berkurang (oligo-



hidramnion) karena produksi urin berkurang. Ukuran plasenta mengecil. Pertumbuhan janin terhambat jenis asimetrik jarang disertai kelainan kongenital. Pada P|I jenis simetrik gangguan percumbuhan terlihat pada berat dan panjang janin yang berkurang. Ukuran kep4la seringkali lebih kecil daripada ukuran normal (mikrosefalus). Ukuran plasenta biasanya normal. Kelainan kongenital banyak dijumpai pada PJT jenis simetrik dan biasanya berupa kelainan multipel. Volume cairan amnion masih normal, kecuali bila disertai kelainan kongenital volume cairan amnion mungkin menjadi abnormal (oligohidramnion atau polihidramnion). Pengukuran lingkar abdomen sangat berguna dan paling sensitif dalam mendiagnosis PII, baik jenis asimetrik maupun jenis simetrik. Pada P[ asimetrik, lingkar abdomen Iebih kecil daripada ukuran normal untuk usia kehamilan tertentu; sedangkan ukuran biometri janin lainnya tidak atau hanya sedikit terpengaruh. Pada P[ simetrik, ukuran Iingkar abdomen dan biometri janin lainnya lebih kecil daripada ukuran normal. Kehamilan Kembar Kehamilan kembar yang terdeteksi pada kehamilan trimester



I



harus seialu dievaluasi,



untuk mengetahui kemungkinan terjadinya reduksi spontan atau gangguan lainnya selama masa kehamilan. Sekitar 21. ok kehamilan kembar akan mengalami reduksi spontan (oanishing nuin) pada kehamilan trimester II2l. Kematian perinatal terutama ter-



jadi pada kembar monokorionik. Pada kehamilan trimester II, korionisitas kehamilan kembar dapat diketahui dengan memeriksa jenis kelamin kedua ;'anin, jumlah plasenta, dan sekat pemisah kedua janin. Bila jenis kelamin berbeda atau terdapat 2 plasenta yang letaknya terpisah, menunjukkan kehamilan kembar DK-DA; akan tetapi bila dijumpai keadaan yang sebaliknya belum berarti kehamilan kembar MK. Pada kembar DK, sekat pemisah terlihat tebal (terdiri atas 2lapisan amnion dan 2 lapisan korion); sedangkan pada kembar MK-DA, sekat pemisah tErlhat tipis (hanya terdiri atas 2 lapisan amnion). Sekat pemisah pada kembar



MK-DA seringkaii



sangat tipis sehingga sulit diidentifikasi.



Korionisitas kehamilan kembar sangat menentukan prognosis. Kehamilan kembar monokorionik akan mengalami risiko kelainan yang jauh lebih tinggi iika dibandingkan kembar dikorionik, seperti sindroma transfusi antarjanin (ruin-to-tuin transfusion syndrome) dan kembar akaldiak. Pada kembar monoamniotik akan disertai pula risiko kembar dempet (conjoined twtins) atau saling membelitnya tali pusat kedua janin. Pada sindroma trinsfusi antarjanin pertumbuhan di antara kedua janin dapat sangat jauh berbeda. Janin yang tumbuh lebih besar akan disertai polihidramnion. Janin lainnya tumbuh sangar kecil, disertai oligohidramnion berat, dan letaknya seolah-olah menempel pada dinding nterus (stwck noin).



ULTRASoNoGRAFI DALAM



oBSTETRI



261



Kematian yang terjadi pada salah satu janin kembar dikorionik umumnya tidak menimbulkan pengaruh buruk kepada janin lainnya; akan tetapi bila terjadi pada kembar monokorionik dapat menimbulkan gangguan pada janin lainnya, seperti prematuritas, hipotensi, kerusakan otak, atau kematian )anin22.



Kelainan Kongenital tanin Saat ini sebagian besar kelainan kongenital janin dapat diketahui sebelum usia kehamilan 20 minggu, yaitu sebelum memasuki masa perinatal. Beberapa petanda kelainan kongenital yang seringkali dijumpai pada pemeriksaan USG adalah (1) volume cairan amnion yang abnormal (oligohidramnion atau polihidramnion); (2) pertumbuhan janin terhambat, terutama jika terjadi sebelum kehamilan 20 minggu; (3) kelainan morfologi bentuk tubuh dan struktur organ janin; (4) ukuran biometri janin yang abnormal; (5) ukuran plasenta yang abnormal; (6) arteri umbilikal tunggal (single umbilical artery); dan (7) aktivitas biofisik janin yang berkurang. Oligohidramnion sering terjadi pada janin yang mengalami kelainan pada saluran kemih dan kelainan kromosom. oligohidramnion yang terjadi oleh sebab apa pun merupakan keadaan yang patologis. Bila berlangsung cukup lama, keadaan ini akan menyebabkan kelainan pada janin, seperri hipoplasia toraks dan paru, dan deformitas pada wajah dan skelet. Polihidramnion sering terjadi pada janin yang mengalami kelainan kraniospinal, kelainan rongga dada, kelainan traktus gastrointestinal, kelainan dinding depan abdomen, hidrops fetalis (imun dan nonimun), kelainan skelet, kelainan ginjal



unilateral, dan kelainan kromosom. Salah satu penyebab ter.iadinya pertumbuhan janin terhambat adalah kelainan kongenital, seperti kelainan kromosom, kelainan ginjal yang menyebabkan oligohidramnion, defek tabung neural, short-limb dysplasia, dan kelainan jantung. Diagnosis kelainan kongenital seringkali didasarkan atas ditemukannya kelainan pada bentuk tubuh dan struktur organ janin. Kelainan tersebut bisa berupa kelainan pada bentuk wajah dan kraniospinal, bentuk toraks, bentuk abdomen, bentuk ekstremitas, dan bentuk alat kelamin (a.mbiguous geniulia, adesensus testis auu cryptorcbid.ism). Kelainan pada struktur organ janin misalnya kelainan pada struktur intrakranial, intratorakal, dan intraabdominal. Selain untuk menentukan usia kehamilan dan besar janin, pengukuran biometri janin berguna juga untuk menentukan adanya kelainan kongenital. Kelainan kongenital yang dapat diketahui dari pengukuran biometri misalnya kelainan pada kepala dan wajah (makro/mikrosefalus, hiper/hipotelorisme, dan sebagainya), toraks (hipoplasia toraks dan paru), abdomen (lingkar abdomen mengecil seperti pada PJT, omfalosel, gastrosizis, dan hernia diafragmatika; atatr lingkar abdomen membesar seperri pada asites, hepatomegali, dan ginjal polikistik), dan ekstremitas (sbortJimb dysplasia). Pembesaran atau penebalan plasenta (plasentomegali) seringkali merupakan petanda yang paling awal dijumpai pada hidrops fetaiis jenis imun, sindroma transfusi antarjanin, dan kelainan kromosom. Ukuran plasenta yang mengecil atau menipis dijumpai pada PJT dan kelainan kromosom.



262



ULTRASONOGRAFI DATAM OBSTETRI



Kelainan pada jumlah pembuluh darah tali pusat, misalnya arteri umbilikal tunggal



(AUT). Kelainan ini sering menyertai kelainan janin lainnya, seperti kelainan muskuloskeletal,- urogenital, jantung, gastrointestinal, kraniospinal, dan kelainan kromodor.n.



Arteri umbilikal tunggal dijumpai pada lebih dari 80 "/" janin dengan trisomi 18 dan pada 10 - 5A % janin dengan trisomi 132r. Penilaian aktivitas biofisik janin (gerakan napas, gerakan tubuh dan ekstremitas, tonus janin, denl.ut iantung, dan volume cairan amnion) sangat bermanfaat untuk mengetahui status oksigenasi dan fungsi neurologis janin intrauterin. Kelainan kongenital janin yang berpengaruh terhadap kondisi tersebut akan menyebabkan aktivitas biofisik janin berkurang, misalnya pada hidrops fetalis akibat anemia janin; kelainan kongenital yang disertai oligohidramnion; kelainan pada sistem saraf pusat; dan kelainan jantung.



Uhrasonografi kelainan kromosom



II dapat mendeteksi kelainan-kelainan;'anin yang merupakan petanda dari kelainan kromosom. Kelainan-kelainan tersebut bisa berupa petanda lemah (sof marher) atau petanda ktat (strong marker atau bard marker) kelainan kromosom. Pemeriksaan USG pada awal trimester



Petanda lemah kelainan kromosom adalah kelainan minor pada janin yang mempunyai korelasi statistik dengan kejadian kelainan kromosom, misalnya edema atau penebalan kulit belakang kepaia, tidak terbentuknya tulang hidung, gambaran usus yang



hiperekoik, kista pleksus koroid, atau dilatasi ringan ventrikel lateral otak (ventrikuIomegali).



Petanda kuat kelainan kromosom adalah kelainan kongenital mayor pada janin yang telah terbukti mempunyai korelasi kuat dengan kelainan kromosom, misalnya kelainan kepala (mikrosefalus, holoprosensefalus), kelainan wajah dan leher (labio/ palatosizis, higroma kistik), kelainan toraks (hernia diafragmatika, beberapa kelainan jantung), kelainan dinding abdomen (omfalosel), kelainan gastrointestinal (atresia esofagus, atresia duodenal), kelainan urogenital (hidronefrosis, displasia ginjal kistik), keiainan skelet (femur atau humerus yang sangat pendek, talipes), hidrops fetalis nonimun, PJT pada kehamilan trimester II, oligo/polihidramnion, dan sebagainya. Bila dijumpai petanda-petanda tersebut, sebaiknya dilakukan pemeriksaan kromosom.



Plasenta



.



Ukuran plasenta Selama kehamilan pertumbuhan uterus lebih cepat daripada pertumbuhan plasenta. Sampai kehamilan 20 minggu plasenta menempati sekitar 1/+ Iuas permukaan miometrium, dan ketebalannya tidak lebih dari 2 - 3 cm. Menjelang kehamilan aterm plasenta menempati sekitar 1/8 luas permukaan miometrium, dan ketebalannya da-



patmencapai4-5cmz+.



ULTRASONOGRAFI DAIAM OBSTETRI



263



Ketebalan plasenta yang normal jarang melebihi 4 cm. Plasenta yang menebal (plasentomegali) dapat dijumpai pada ibu yang menderita diabetes mellitus, ibu anemia (Hb < 8 g"/"), hidrops fetalis, tumor plasenta, kelainan kromosom, infeksi (s.ifilis, CMV), dan perdarahan plasenta. Plasenta yang menipis dapat dijumpai pada ix.qeklampsia, pertumbuhan janin terhambat (PJT), infark plasenta, dan kelainan kro] mosom. Belum ada batasan yang jelas mengenai ketebalan minimal plasenta yang masih dianggap normal. Beberapa penulis memakai batasan tebal minimal plasenta normal aotara 1,5 - 2,5 ssPs,zo.



Letak (Posisi) Plasenta Pemeriksaan USG dapat menentukan letak plasenta dengan lebih mudah, lebih aman, dan hasilnya cukup akurat. Pemeriksaan dilakukan dengan cara transabdominal ataupun cara transvaginal. Plasenta bisa berkembang di bagian mana saja pada permukaan endometrium, se-



suai dengan letak implantasi blastosis. Letak plasenm yang menutupi ostium uteri internum (OUI) pada kehamilan trimester I tidak akan selamanya menjadi plasenta previa. Dengan benambahnya usia kehamilan, sebagian besar vili akan mengalami atrofi, uterus semakin membesar, dan segmen bawah uterus akan terbentuk. Plasenta yang semula menutupi OUI akan bergeser ke atas, sehingga lemknya menjadi normal. Dahulu pergeseran letak plasenta ini dikenal sebagai migrasi plasenta. Plasenta previa dijumpaipada sekitar 7,5 o/"kehamilan trimester Ii. Akan terapihanya0,5 o/" yang akan terap menjadi plasenta previa pada kehamilan ar.erm27. Oleh sebab itu, setiap tindakan seksio sesarea elektif yang dilakukan atas indikasi plasenta previa sebaiknya didasarkan atas diagnosis yang ditegakkan pada kehamilan aterm. Pergeseran letak plasenta sebagian besar terjadi pada piasenta previa marginalis. Berdasarkan posisi plasenta terhadap ostium uteri internum, plasenta previa dibedakan atas plasenta previa totalis atau komplit; plasenta previa parsialis; plasenta previa marginalis; dan plasenta letak rendah. Plasenta previa parsialis dan plasenta previa marginalis sulit dibedakan melalui pemeriksaan USG, sehingga keduanya digolongkan ke dalam plasenta previa marginalis. Sekitar 20 Y" pLasenta previa merupakan jenis totalis (Gambar 20-12) dan 80 oh lainnya merupakan plasenta previa marginalis28.



Bentuk Plasenta Plasenta merupakan organ fetomaternal yang bentuknya menyerupai cakram (disboid). Dalam perkembangannya plasenta dapat mengalami berbagai variasi kelainan



bentuk. Kelainan bentuk plasenta yang dapat diketahui melalui pemeriksaan USG antara lain plasenta membranasea, plasenta suksenturiata, plasenta bilobata, dan plasenta sirkumvalata.



Perlekatan Abnormal Plasenta Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyatakan perlekatan abnormal plasenta pada dinding uterus, seperti plasenta akreta, plasenta kreta, dan plasenta adesiva. Dalam perkembangannya plasenta melekat pada dinding uterus melalui desidua basalis. Kadang-kadang desidua basalis tidak terbentuk sempurna sehingga vili korio-



264



ULTRASONOGRAFI DAII,M OBSTETRI



nik melekat langsung pada miometrium (plasenta akreta), menginvasi lapisan miometrium (plasenta inkreta), bahkan menembus lapisan miometrium dan serosum uterus (plasenta perkreta). Ketiga jenis kelainan implantasi plasenta ini seringkali digeneralisisasi dan disebut sebagai plasenta akreta.



Diagnosis plasenta akreta melalui pemeriksaan USG menjadi lebih mudah bila implantasi plasenta berada di SBU bagian depan. Lapisan miometrium di bagian basal plasenta terlihat menipis atau menghilang. Pada plasenta perkrera vena-vena subplasenta terlihat berada di bagian dinding kandung kemih.



Kalsifikasi Plasenta Kalsifikasi plasenta merupakan proses fisiologis yang terjadi dalam kehamilan akibat deposisi kalsium pada plasenta2e. Kalsifikasi pada plasenta terlihat mulai kehamilan 29 minggu dan semakin meningkat dengan bertambahnya usia kehamilan, terutama setelah kehamilan 33 minggu3o (Gambar 20-13). Pada pemeriksaan USG deposisi kalsium terlihat sebagai bercak-bercak ekogenik yang tidak memberikan gambaran bayangan akustik. Deposisi kalsium tenrtama terdapat di bagian basal dan septa plasenta, sehingga di daerah tersebut gambaran kalsifikasi terlihat lebih kasar. Proses kalsifikasi plasenta seringkali terjadi lebih dini pada preeklampsia dan PJT; dan sebaliknya, kalsifikasi plasenta terjadi lebih lambat pada ibu dengan diabetes mellitus dan inkompatibilitas Rhesus. Kalsifikasi plasenta tidak mempunyai arti kiinis yang penting. Tidak ada bukti signifikan yang menyatakan bahwa kalsifikasi pada plasenta bersifat patologiszr,:t. Kalsifikasi lebih sering terjadi pada ibu dengan paritas rendah, perokok, dan ibu dengan kadar kalsium semm yang cukup tinggi2e. Terdapat kontroversi mengenai korelasi derajat kalsifikasi plasenta dengan kematangan paru janin, pascamaturitas, pertumbuhan janin terhambat, risiko perdarahan retroplasente, maupun morbiditas, dan mortalitas perina6l28,32,33. Proses kalsifikasi plasenta tidak berhubungan dengan fungsi perfusi jaringan piasenta. Fungsi hemodinamik plasenta-janin (terutama fungsi oksigenasi) dapat dipelajari lebih akurat melalui penilaian resistensi vaskular plasenta dengan pemeriksaan Dopplerr+,1s.



Solusio Plasenta Solusio plasenta adalah peristiwa terlepasnya plasenta yang ietaknya normal dari dinding uterus sebelum waktunya. Kelainan ini terjadi pada sekitar 1% kehamilan tetapi menyebabkan tingkat kematian perinatal sekitar 20 - 60'/"36. Lokasi pelepasan plasenta bisa di daerah retroplasenta atau di daerah marginal. Pelepasan plasenta di daerah retroplasenta terjadi karena ruptura arteri spiralis; sedangkan pelepasan plasenta di daerah marginal terjadi karena ruptura vena-vena marginalis.



Solusio plasenta seringkali tidak terdiagnosis melalui pemeriksaan USG, meskipun secara klinis terdapat petanda kuat adanya solusio plasenta (perdarahan pervaginam, nyeri abdomen, uterus yang sensitif, dan mungkin janin telah mati). Hal ini temtama terjadi pada solusio plasenta marginal, kemungkinan karena perdarahan intrauterin



ULTRASONOGRAFI DALAM OBSTETR]



26s



mengalir keluar melalui serviks uteri dan tidak membentuk hematoma di daiam kavum uteri. Solusio plasenta yaog dapat terdeteksi melalui pemeriksaan USG seringkali memberikan prognosis yang lebih buruk jika dibandingkan dengan solusio plasenta yang tidak terdeteksi.



.



Tumor Plasenta Tumor yang sering terdapat pada plasenta adalah korioangioma (korangioma). Pada pemeriksaan USG, korioangioma terlihat sebagai massa padat (hiperekoik atau hipoekoik) yang letaknya di daerah subkorionik dan seringkali menonjol dari permukaan fetal plasenta. Letak tumor biasanya berdekatan dengan tempat insersi tali pusat. Tumor yang kecil dan letaknya intraplasenta sulit terdeteksi dengan USG. Korioangioma sulit dibedakan dari perdarahan plasenta. Dengan pemeriksaan Doppler akan terlihat gambaran vaskularisasi pada tumor, sedangkan pada perdarahan plasenta



tidak terlihat.



Tumor plasenta lainnya yang lebih jarang dijumpai adalah teratoma.



Tali Pwsat Tali pusat berisi dua arteri umbilikal yang mengalirkan darah 'kotor' (berisi zat metabolit) dari janin ke plasenta; dan sebuah vena umbilikalyaog mengalirkan darah segar (kaya akan oksigen dan nutrien) dari plasenta ke janin. Ketiga pembuluh darah umbilikal berada di dalam jaringan mukoid (jeli Vharton) dan dibungkus selaput amnion (Gambar 20-1,4). Diameter arteri umbilikal sekitar 0,4 cm, lebih kecil dari vena umbilikal (1 cm), tetapi mempunyai lapisan muskular yang lebih tebal.



.



Ukuran Tali Pusat Tali pusat bentuknya bergulung dan berada bebas di dalam kantung amnion, sehingga panjang tali pusat tidak mungkin dapat diukur melalui pemeriksaan USG. Selama kehamilan tali pusat akan bertambah panjang, dan mencapai panjang finalnya sekitar 50 - 60 cm (berkisar antara22 - 130 cm) pada kehamilan 28 minggu28. Panjang tali pusat dipengaruhi oleh mobilitas janin. Tali pusat yang panjang dijumpai pada janin yang banyak bergerak; sedangkan tali pusat yang pendek dijumpai pada janin yang kurang bergerak, seperti pada keadaan oligohidramnion. Tali pusat yang pendek (< 32 cm) tidak aman untuk persalinan peruaginam; sedangkan taii pusat yang panjang (> 100 cm) dapat menyebabkan terjadinya prolaps, lilitan tali pusat, atau simpul tali pusat2e. Tali pusat yang pendek sering menyertai kelainan kongenital 1'anin, seperti defek dinding abdomen. Akordia merupakan kelainan berupa tali pusat yang tidak terbentuk atau sangat pendek. Kelainan ini sangat jarang dijumpai, tetapi bersifat letal. Pada pemeriksaan USG struktur tali pusat sulit terdeteksi dan janin seperti melekat pada plasenta" Akordia seringkali disertai kelainan omfalosel, kelainan pada toraks dan diafragma, deformitas spina, kelainan ekstremitas, dan defek tabung neural. Diameter tali pusat yang normal sekitar I - 2 cm. Tali pusat yang besar (> 3 cm) tidak selalu berarti abnormal, karena dapat terjadi pada keadaan normal bila jeli Vhar-



266



ULTRASONOGRAFI DAI-{M OBSTETN



ton jumlahnya cukup banyak. Beberapa keadaan abnormal yang dapat menyebabkan tali pusat membesar adalah diabetes mellitus, edema tali pusat (hidrops fetalis, janin mati), hematoma, tumor tali pusat, hernia umbilikalis, dan defek dinding abdomen. Fungsi jeli Vhanon adalah sebagai pelindung pembuluh darah umbilikal. Jeli'Wharton yang sedikir akan menyebabkan striktur pembuluh darah dan mempermudah terjadinya simpul tali pusat.



Kelainan Pembuluh Darah Tali Pusat Arteri umbilikal tunggal (AUT) merupakan kelainan tali pusat yang paling sering terjadi, dan ditemukan pada sekitar 0,2 - 1,1 o/" kelahiran2e (Gambar 20-1,5). Kelainan ini seringkali disenai kelainan kongenital mayor, prematuritas, PJT, kematian perinatal,



dan kelainan kromosom. Kelainan kongenital dijumpai pada 20 - 50 % neonatus dengan AUT, dan 20 % di antarany^ merupakan kelainan multipelza. Arteri umbilikal tunggal dijumpai pada lebih dari 80 o/" janin dengan trisomi 18, dan pada 10 - 50 % janin dengan trisomi 1323. Apabila tidak disertai kelainan kongenital mayor atau kelainan kromosom, umumnya AUT tidak menimbulkan masalah pada neonatus. Diagnosis AUT didasarkan atas ditemukannya gambaran 2 pembuluh darah di dalam tali pusat yang berasal dari I arteri dan 1 vena umbilikal. Arteri umbilikal biasanya terlihat lebih besar dari ukuran normal, mendekati ukuran vena umbilikal. Kelainan pembuluh darah tali pusat lainnya yang sangat jarang dijumpai adalah terdapatnya 2 aneri dan 2 vena umbilikal, atau 3 arteri dan 1 vena umbilikal. Pengaruh kelainan ini terhadap janin masih belum jelas dan kontroversial. Kelainan 2 aneri dan 2 vena umbilikal kadang-kadang disenai kelainan ektopia kordis dan kelainan kongenital multipel.



Simpul Tali Pusat Simpul tali pusat harus dibedakan dari simpul palsu pada tali pusat. Simpul tali pusat palsu merupakan variasi normal, terjadi karena varises setempat dari pembuluh darah umbilikal atau akumulasi setempat dari jeli Wharton, sehingga membentuk tonjolan yang letaknya eksentrik pada tali pusat. Simpul tali pusat palsu tidak membahayakan janin. Pada pemeriksaan USG simpul palsu terlihat sebagai tonjolan ireguler pada tali pusat, berisi pembuluh darah yang terlihat kontinuitasnya. Pemeriksaan menjadi lebih mudah dengan menggunakan Color Doppler. Simpul tali pusat dapat terjadi karena gerak janin yang berlebihan, tali pusat yang panjang, janin kecil, polihidramnion, dan kembar monokorionik. Simpul yang terjadi mungkin longgar dan tidak membahayakan janin; atau erat sehingga mengganggu sirkulasi janin dan menyebabkan kematian perinatal. Pada pemeriksaan USG simpul tali pusat terlihat sebagai tonjolan ireguler berisi pembuluh darah umbilikal yang saling bersilangan dan tidak terlihat adanya kontinuitas pembuluh darah bagian proksimal dengan bagian distal simpul.



ULTRASONOGRAFI DAIAM OBSTETRI



.



267



Lilitan Tali Pusat di Leher Janin Seperti halnya simpul tali pusat, lilitan tali pusat terjadi karena gerak janin yang berlebihan, tali pusat yang panjang, janin kecil, dan polihidramnion. Lilitan tali pusat bisa terjadi di bagian mana saja dari tubuh janin, tetapi yang tersering adalah di bagian leher (nwchal cord)- Jumlah lilitan di leher bisa sekali (terjadi pada 21,,3 % kehamilan) atau lebih dari sekali lilitan (terjadi pada 3,4 % kehamilan)37. Lilitan tali pusat dapat menimbulkan bradikardia dan hipoksia janin;3z,rs dan bila jumlah lilitan lebih dari sekali akan meningkatkan mortalitas perinatal2s. Pada pemeriksaan USG lilitan tali pusat diketahui dengan melihat adanya satu atau lebih bagian tali pusat yang melingkari leher janin (Gambar 20-16). Pemeriksaan akan lebih jelas dengan menggunakan Color Doppler. Lilitan tali pusat yang er^t menyebabkan gangguan (kompresi) pada pembuluh darah umbilikal, dan bila berlangsung lama akan menyebabkan hipoksia janin.



Cairan Amnion Cairan amnion mempunyai peran yang sangat penting bagi perkembangan dan pertumbuhan janin. Kelainan jumiah cairan amnion dapat terjadi, dan seringkali merupakan petanda yang paling awal terlihat pada janin yang mengalami gangguan. Di pihak lain, kelainan jumlah cairan amnion dapat menimbulkan gangguan pada janin, seperti hipoplasia paru, deformitas janin, kompresi tali pusat, PJT, prematuritas, kelainan letak, dan kematian janin. Oleh sebab itu, kelainan jumlah cairan amnion yang terjadi oleh sebab apa pun akan meningkatkan morbiditas dan mortaiitas perinatal.



.



Mekanisme Pengaturan Cairan Amnion Jumlah cairan amnion selama kehamilan sangat bervariasi dan ditentukan oleh mekanisme yang mengatur produksi dan pengambilan cairan amnion oleh janin. Sampai kehamilan 20 minggu cairan amnion remtama diproduksi melalui selaput amnion dan kulit janin; sebagian lainnya melalui lempeng korionik, tali pusat, paru, ginjal, dan saluran pencernaan. Pengambilan cairan amnion terjadi melalui selaput amnion,



kulit, lempeng korionik, tali pusat, paru, dan saluran pencernaan. Setelah kehamilan 20 minggu jumlah cairan amnion temtama ditentukan oleh produksi melalui ginjal dan pengambilan melalui saluran pencernaan. Pada kehamilan 20 minggu jumlah cairan amnion sekitar 5OO ml, kemudian jumlahnya terus meningkat hingga mencapai jumlah maksimal sekitar 1.000 ml pada kehamilan 34 minggu. Jumlah cairan amnion sekitar 800 - 900 ml pada kehamilan aterm, berkurang hingga 350 ml pada kehamilan 42 minggu, dan 250 ml pada kehamilan 43 minggu3e.



.



Penilaian Jumlah Cairan Amnion Penilaian jumlah cairan amnion melalui pemeriksaan USG dapat dilakukan dengan cara subjektif ataupun semikuantitatif. - Penilaian Subjektif Dalam keadaan normal, janin tampak bergerak bebas dan dikelilingi oleh cairan amnion. Struktur organ ;'anin, plasenta dan tali pusat dapat terlihat jelas. Kantung-



268



ULTRASONOGRAFI DAIAM OBSTETRI



kantung amnion terlihat di beberapa tempat, terutama pada daerah di antara kedua tungkai bawah dan di antara dinding depan dan belakang urerus. Pada kehamilan trimester III biasanya terlihat sebagian dari tubuh janin bersentuhan dengan dinding depan uterus. Pada keadaan polihidramnion, janin menjauh dari dinding depan uterus sehingga tidak ada bagian tubuh janin yang bersentuhan dengan dinding depan uterus (Gambar 20-17). Janin berada di luar daya penetrasi gelombang ultrasonik sehingga sulit terlihat melalui USG. Pada keadaan oligohidramnion cairan amnion disebut berkurang bila kantung amnion hanya terlihat di daerah tungkai bawah; dan disebut habis bila tidak terlihat lagi kantung amnion. Pada keadaan ini aktivitas gerakan janin menjadi berkurang. Struktur janin sulit untuk dipelajari, dan ekstremitas tampak berdesakan (Gambar 20-18).



-



Penilaian Semikuantitatif Pengukuran jumlah'cairan amnion secara semikuantitatif dapat dilakukan melalui beberapa cara. Yang banyak dikerjakan adalah (1) pengukuran diameter vertikal yang terbesar pada salah satu kantung amnion; dan (2) pengukuran indeks cairan



amnion (ICA). Pengukuran 1 kantung amnion dilakukan dengan mencari kantung amnion terbesar, bebas dari bagian tali pusat dan ekstremitas janin, yang dapat ditemukan melalui transduser yang diietakkan tegak lurus terhadap kontur dinding abdomen ibu. Pengukuran dilakukan pada diameter vertikal kantung amnion. Morbiditas dan mortalitas perinatal akan meningkat bila diameter vertikal terbesar kantung amnion < 2 cm (oligohidramnion), atau > 8 cm (polihidramnion)+0. poIihidramnion tergolong derajat ringan bila diameter kantung amnion 8 - 12 cm; derajat sedang bila diameter kantung 1,2 - 1.6 cm; dan derilat berat bila diameter kantung > 16 cm. Pada pengukuran ICA uterus dibagi ke dalam 4 kuadran yang dibuat oleh garis mediana melalui iinea nigra dan garis horisontal setinggi umbilikus. Pada setiap kuadran uterus dicari kantung amnion terbesar, bebas dari bagian tali pusat dan ekstremitas janin, yang ditemukan melalui transduser yang diletakkan tegak lurus terhadap lantai. Indeks cairan amnion merupakan hasil penjumlahan dari diameter vertikal terbesar kantung amnion pada setiap kuadran. Nilai ICA yang normai adalah antara 5 - 20 cma1. Penulis lain menggunakan batasan 5 - 18 cm arau 5 25 cm42'43. Bila ICA ( 5 cm disebut oligohidramnion; sedangkan bila ICA > 20 cm disebut polihidramnion. Polihidramnion tergolong derajat ringan bila ICA 20 - 30 cm; derajat sedang bila ICA 30 - 40 cm; dan derajat berat bila ICA > 40 cm.



Oligohidramnion Beberapa keadaan yang dapar. menyebabkan oligohidramnion adaiah keiainan kongenital, PJT, ketuban pecah, kehamilanpostterm, insufisiensi plasenta, dan obat-obatan (misalnya dari golongan anriprosraglandin). Kelainan kongenital yang paling sering menimbulkan oligohidramnion adalah kelainan sistem saiuran kemih (kelainan ginjal



ULTRASONOGRAFI DALAM OBSTETR]



269



bilateral dan obstruksi uretra) dan kelainan kromosom (triploidi, trisomi 18 dan 13). Trisomi 2l jarangmemberikan kelainan pada saluran kemih, sehingga tidak menimbulkan oligohidramnion. Insufisiensi plasenta oleh sebab apa pun dapat menyebabkan hipoksia janin. Hipoksia janin yang berlangsung kronis akan memicu mekanisme redistribusi darah. Salah satu dampaknya adalah terjadi penurunan aliran darah ke ginjal, produksi urin berkurang dan terjadi oligohidramnion. Oligohidramnion yang terjadi oleh sebab apa pun akan berpengaruh buruk kepada janin. Komplikasi yang sering terjadi adalah PJT, hipoplasia paru, deformitas pada wajah dan skelet, kompresi tali pusat dan aspirasi mekonium pada masa intrapartum, dan kematian janin.



.



Polihidramnion Polihidramnion dapat terjadi akibat kelainan kongenital, diabetes mellitus, janin besar (makrosomia), kehamilan kembar, kelainan pada plasenta dan tali pusat, dan obatobatan (misalnya propiltiourasil). Kelainan kongenitai yang sering menimbulkan polihidramnion adalah defek tabung neural, obstruksi traktus gastrointestinal bagian atas, hidrops fetalis (jenis imun dan nonimun), displasia skelet, kelainan ginjal unilateral, dan kelainan kromosom (trisomi 21., 1.8, dan 13). Komplikasi yang sering terjadi pada polihidramnion adalah malpresentasi janin, ketuban pecah, prolaps tali pusat, persalinan preterm, dan gangguan pernapasan pada ibu.



Tindakan Interaensi pada Kebamilan Trimester



II



dan



III



Beberapa tindakan interyensi dengan bimbingan USG yang seringkali dilakukan pada kehamilan trimester II dan III, antara lain (l) chorionic aillus sampling (CVS); (2) amniosentesis unttk karyotyping atau untuk pemeriksaan surfaktan; (3) kordosentesis; (4) transfusi intrauterin; (5) amnioinfusi; (6) pungsi kista yang terdapat pada ibu a:au janin; (7) parasentesis, misalnya pada hidrops fetalis; (8) pemasangan shunt, misalnya pada obstruksi saluran kemih; dan (9) pemberian obat atau nutrisi intrauterin.



RUIUKAN D. Biosafety of diagnostic Doppler ultrasonography. in Maulik D, ed. Doppler Ultrasound in Obstetrics and Gynecology. New York: Springer-Verlag; i997 2. Brent RL, Jensh RP, Beckman DA. Medical sonography: reproductive effects and risks. In Chervenak FA, Isaacson GC, Campbell S, eds. Ultrasound in Obstetrics and Gynecology. Volume 1. Boston: Little, 1. Maulik



Brown;



1993



3. Maulik D, Zalud I. Biological safety of diagnostic sonography. In Kurjak A, Kupesic S, eds. An atlas of transvaginal color Doppler. 2nd ed. New York: Parthenon; 2000 4. American Institute of Ultrasound in Medicine (AIUM). Practice Guideline for the performance of an antepartum obstetric ultrasound examination. June 4, 2003 5. Nyberg DA, Filly RA, Mahony BS, et al. Early gestation: correlation of hCG levels and sonographic identification. Am J Radiol 1985; 1,44:95'1,-4 6. Bree RL, Edwards M, Bohm-Velez M, et al. Transvaginal sonography in the evaluation of normal early pregnancy. Am J Radiol 1989;153:75-9



ULTRASONOGRAFI DALAM OBSTETR]



270



7. Lery CS, Lyons EA, Lindsay DJ. Early diagnosis of non viable pregnancy with transvaginal US. Radiology 1988; 167: 383-5 8. Nyberg DA, Hill LM. Normal early intrauterine pregnancy: sonographic development and hCG correladon. In: Patterson AS, ed. Transvaginal ultrasound. St Louis: Mosby; 1992 9. Paspulati RM, Bhatt S, Nour S. Sonographic evaluation of first-trimester bleeding. Radiol Clin N Am 2004; 42:297-314 10. Doubilet PM, Benson CB. Embryonic heart rate in the early first trimester. What rate is norrnal? J Ulrrasound Med 1995; 14: 431.-4 11. Blaas H-G, Eik-Nes SH, Kiserud T, et al. Early development of the abdominal wall, stomach and heart from 7 to 12 weeks of gestation: a longitudinal ultrasound study. Ultrasound Obstet Gynecol 1995; 6: 240-9 12. Stefos



TI, Lolis DE, Sotiriadis AJ, et al. Embryonic heart rate in early pregnancy. J Clin Ultrasound 1998;26: 33-6 13. Hadlock FP, Shah YP, Kanon DJ, et al. Feul crown-rump length: reevaluation of relation to menstrual age (5-18 weeks) with high-resolution real-time US. Radiology 1992; 182:501-5 14. Bernard KG, Cooperberg PL. Sonographic differentiation between blighted ovum and early viable pregnancy. Am J Roentgenol t98s; 744:597-602 15. Hann LE, Bachman DM, McArdle CR. Coexistent intrauterine and ectopic pregnancy: a reevaluation. Radiology 7984; 152: 151-4 16. Rizk B, Tan SL, Morcos S et al. Heterotopic pregnancies after in vitro fertilization and embryo transfer. Am J Obstet Gynecol 7991;164:761-4 17.Filly RA. Ectopic pregnancy. In Callen P\[, ed. Ultrasonography in Obstetrics and Gynecology.



Philadelphia: \WB Saunders; 1993 18. Hadlock FP, Harrist RB, Martinez-PoyerJ. How accurate is second trimester fetal dating. J Ultrasound Med 1992; 10 557 19. Lin CC, Evans MI. Intrauterine growth retardation. New York: McGraw-Hill; 1984 20. Campbell S, Thomas A. Ultrasound measurement of the fetal head to abdominal circumference ratio .in the assessment of growth reurdation. Br J Obstet Gynaecol 1977;84l. 165-74 21. Landy HJ, \Weiner S, Corson S, et al. The 'vanishing twin': ultrasonographic assessment of fetal disappearance



in the first trimester. Am J Obstet Gynecol 1986;155: l4-9



22. Sepulveda W. Chorionicity determination in twin pregnancies: double trouble? Ultrasound Obstet Gynecol 1997; l0: 79-8"1 23. Nyberg DA, Crane JP. Chromosome abnormalities. In Nyberg DA, Mahony BA, Pretorius DH, eds. Diagnostic ultrasound of fetal anomalies. Chicago: Year Book Medical Publishers; 1990 24. Hoddick W'K, Mahony BS, Callen P\(, et al. Placental thickness. J Ultrasound Med 1985; 4: 479-82 25. Chase LM. The placenta and umbilical cord. In Berman MC, Cohen HL, eds. Diagnostic Medical Sonography - Obstetrics and Gynecology.2nd ed. Philadelphia: Lippincott; t99Z 26. Grannum PAT. Development of the placenta. In Chervenak FA, Isaacson GC, Campbell S, eds. Ultrasound in Obstetrics and Gynecology. Volume 1. Boston: Little, Brown; 1993 27. Townsend RT, L.aing FC, Nyberg DA, et al. Technical factors responsible for "placental migration": sonographic assessment. Radiology 1986; 160: 105-8 28. Nyberg DA, Finberg HJ. The placenta, placental membranes, and umbilical cord. In Nyberg DA, Mahony BA, Pretorius DH, eds. Diagnostic ultrasound of fetal anomalies. Chicago: Year Book Medical



Publishers; 1990 H. Pathology of the placenta. In Chervenak FA, Isaacson GC, Campbell S, eds. Ultrasound in Obstetrics and Gynecology. Volume 2. Boston: Little, Brown; 1993 30. Spirt BA, Cohen S(N, Veinstein HM. The incidence of placental calcification in normal pregnancies. Radiology 1982; 142: 707 31. Spirt BA, Gordon LP. The placenta as indicator of fetal maturity - Fact and fancy. Semin Ultra-sound 7984;5: 29Q 32. Grannum PAT, Berkowitz RL, Hobbins JC. The ultrasonic changes in the maturing placenta and their relationship to fetal pulmonic maturity. Am J Obstet Gynecol 1979; 133: 915 29. Fox



ULTRASONOGRAFI DALAM OBSTETRI



271



33. Kazzi GM, Gross TL, Rosen MG, et al. The relationship of placental grade, fetal lung maturity and neonatal outcome in normal and complicated pregnancies. Am J Obstet Gynecol 1984; 148: 54 34. Giles \[8, Trudinger BJ, Baird FJ. Fetal umbilical artery flow velocity waveforms and placental resistance: pathological correlation. Br J Obstet Gynaecol 1985;92: 3l-8 35. Nicolaides KH, Rizzo G, Hecher K, eds. Placental and fetal Doppler. New York: Parthenon; 2000 36. Ikab DR. Abruptio placentae. An assessment of the time and method of delivery. Obstet Gynecol 1,978; 52: 625-9 37. Spellacy WM, Gravem H, Fisch RO. The umbilical cord complications of true knots, nuchal coils and cord around the body. Am J Obstet Gynecol 1966;94: 1136 38. Stembera ZK, Horska S. The influence of coiling of the umbilical cord around the neck of the fetus on its gas metabolism and acid-base balance. Biol Neonate 1972;20: 214 39. Smith CS, Weiner S. Amniotic fluid assessment. In Chervenak FA, Isaacson GC, Campbell S, eds. Ultrasound in Obstetrics and Gynecology. Volume 1. Boston: Little, Brown; 1993 40. Manning FA, Hill LM, Platt LD. Qualitative amniotic fluid volume determination by ultrasound: Antepartum detection of intrauterine growth retardation. Am J Obstet Gynecol 1981;139 254-8 41. Phelan JP, Smith CV, Broussard P, et al. Amniotic fluid volume assessment with the four-quadrant technique at 36-42 weeks' gestation. J Reprod Med 1987; 32: 54a-2 42. Moore TR, Cayle JE. The amniotic fluid index in normal human pregnancy. Am J Obstet Gynecol 1,990; 162: 1,168-73 43. Phelan JP. Amniotic fluid index. In Chervenak FA, Isaacson GC, Campbell S, eds. Ultrasound in



Obstetrics and Gynecology. Volume 1. Boston: Litde, Brown;



1993



272



ULIRASONOGMFI DALAM OBSTETR]



A



B



Gambar 20-1. Macam-macam transduser yang digunakan dalam pemeriksaan USG obstetri Gambar A adalah transduser transabdominal jenis linear (kiri1 dan jenis konaeks (kanan). Gambar B menunjukkan transduser tranx.,aginal yongterydsang di dalam vagina.



Gambar 20-2. A. Kantung gestasi intrauterin pada kehamilan 5 minggu. Kantung gestasi yang tampak pada gambar berasal dari kantwng korion yang berisi cairan



korion (U : uterus; E = lapisan endometrium). B. Penampang sagital uterus pada pemeriksaan USG transvaginal yang memperlihatkan gambaran double decidual sac pada kehamilan 5,5 minggu. Thmpak gambaran desidua basalis (DB), desidua kapsularis (DK), dan desidua parietalis atau clesidua aera (DP). Di dalam kantung gesasi tampak struktur yolk sac. (KU : katum uteri; CX : seruiles wteri).



Gambar



20-3.



Jarak kepala bokong (JKB).



padl penampd.ng penlmpdnR saRtlal Penguku.ran I'enRuRuran dikkuban cltlaQuRan pada sagital janin. lantn. .ldntn Janin dakm kead,aan d.iam dan sikap-netral (tidak dalam keadaan Jleksi gidak lleksi dtau atau e|stensi).jK[] ekstensi). IKB merupakan meruoakan iarak i tetpanjang antara bagiai kqala dan bokong. Tonjolan"ekstremiras dan yo'lk'sac (YS) iiddk iLtwt diukir.



UTTRASONOGRAFI DALAM OBSTETRI



273



Gambar 2Q-4. Kehamilan kembar. A terlihat 2 leantung Bestasi lkantung korion) yang masing-masinp berisi mudiBah ldikorionik-diamniotikl. Pada Gimbar B terlihat-t kantttng koiion berisi 2 kaitunp amnioi, dan



Pada Gambar



masinB'masingbantungamnion berisi mudigah (monokorionik-diamniotikl. Pada Cambar C terlihat I kantung korion-dan I kantung amnion yang berisi 2 janin (monokorionik-monoamniorikl.



Gambar 20-5.



Kehamilan nir-mudigah.



A, Di dalam kantungpestasi terlihat kantungamnion yangtidak berisi mudigah (empt1 amnionl. B. Kehamila.n nir-mudigah.dengan dindingkantunggestai.i yangmenebal (B mm). Pemeriksaan htsloDaloloqs menuntukkan pambaran orol tlerast sel-sel lroloblas. Goiboror' iri merrpokon ai.ual dari tirjadiny kebam i!an' mola.



Gambar 20-6. Perdarahan subkorionik Pada ?end.mpdng sagital uterus tampak selaput korion terlepas dari dinding uterus disebabkan oleh perdarahan subkorionik (tanda panah).



L/ +



ULTRASONOGRAFI DALAM OBSTETRI



Gambar 20-7. Penampang sagital kehamilan mola trimester



A: B:



I (A) &



awal trirnester



II



(B).



Gambaran USC kehamilan mo.'a Dada trimester I tidak soesifik. Dalam sambarterlihat kavum uteri berisi massa ekogenik dengan'bagian bagian oesikular ienyerupai fimboron hiperplasia endometrium (lthat juga Cambar 20-58). Penampanp sapiLal kehamilan mola awal trimester ll. Cambaran mola lebih spesifik, berupa massa'eko{eniE dengan bagian-bagtan oesikular yangberuariasi benruk dan ,hrrinnyo.



Gambar



20-8. Kehamiian ektopik (A) dan kehamiian heterotopik



(B).



A, Pdda lendmpang tmn.soersal uterus .tampak.kantung gesla.si berisi mudigab 1J I yang letaknya di luar ka"sum uteri. Kehamilan terjadi pada bapian tuba kiri. B. Pada penampanR transuersal uLeius tirlibat 2-kantung gestasi berisi mudigah U ) lany letaknya di dalam kauui uteri lsebelah kananl dan di bagian iuba kiri lsebelah Firi1.



Gambar



9.



Penampang kepaia setinggi talamus.



Penpukuran diameter bioarietal tDBP) dilakulean oada iarak bioarietal terbesar. dari oermukaan lraitrlans Darietal boplo, orokr'i*al ke arah orr*rkooi dalam'tulanp parieLal bapiai distol ('luar ke dalamj.'Pergrkrri, liigkar kepala dilakikan dengan mengukur tl'BP'luar ki luar'dan diameter fronro-oEsipiLal 'luaike luar'. (Tb talamus).



:



ULIRASONOGRAFI DAIAM OBSTETRI



275



Gambar 20-10. Panjang femur. Pengukuran dilakukan pada bagian diafisis tulang



Gambar 20-71.. Penampang transversal (aksial) abdomen setinggi hepar. dikkukan meklwi diameter trans'uersal abdomen'luar ke lwar' dan



Pengukuran lingkar abdomen



diameler dntero-posterior abdomen 'luar ke luar'.



Gambar



2a-12. Plasenta



previa.



sagiul uterus tampak plasenta (P) yang letaknya di daerah segmen bauab uterus dan rhenutipi o'xiuk uteri intemuk (ando paia|ll G'X = telntiks ,teri; KK'= kandungkemih). Pada penampang



ULIRASONOGRAFI DAIAM OBSTETR]



276



Gambar 20-1.3. Kalsifikasi plasenta. Tlmp4k.g1rybaran ekogenik yan^g tidak disenai bayangan akustik pada plasenta (P). berasal dari depostt kalstum Dada plasenta. Liambaran kalstttkay pada pLasenla Ltdak mempunyat artt pdlolo4ts. " Tamp4k juga gokboiln partikel-partikel kasar'di dr/o* ciiron omrion (Am1 yangberasal dari vemiks kaseosa (TP



=



tali pusat).



Gambar 20-1.4. Tali pusat. Pada penampanp aksial



don



i oena'r*Fitinot



ali



pusat terlihat 3 pembulwh darab yangberasal dari 2 arteri umbilikal (Atl)



gui,



Gambar 20-15. Arteri umbilikal tunggal. Pada penampang aksial tali pusat terlihat hanya 2 pembulub darah ltanda panah) yang berasal



I aniri umbiliEal dan I



oena umbilikal.



dari



ULIRASONOGRAFI DAIAM OBSTETRI



277



Gambar 20-1.6. Liiitan tali pusat. Pada oenamoanq saqitdl ianin tamoak 3 benambans ahsial tali busat di bagian leher janin (tanda ponoil, -rirnirkk'r, ali pusat *r*brlit lehei jonin sebanyak'3 kali. 1K = kepala janin)



Gambar 20-17. Polihidramnion. Tam\ak bapian tubuh ianin yanp berada iaub dari dindinp delan uterus, disebabkan oleh aolume cairin amn"ion- yong b'erl"bi6on."Pada kaius ini terjadinya"polihidramnion disebabkan oleh kelainan atresia esoJagus. (Am cairan amnion).



:



Gambar



20-18. Oligohidramnion.



A: Oligobidramnion yang terjadi akibat obstrwksi uretra.. Kand.wng kemih (VU) umpak melebar dan mengisi seluruh rongga abdomen janin (megasistis).



B: Olisohiframnion yanp {ehadi akibat kekinan plnial oolikistik wnp tidak bisa memDroduksi urii. Kedua ginjal @) akpak membesar eko{enik don mengiii sebagian besor ronfuo abdomen. 1K: kEala-janin).



21



ASUHAN ANTENATAL George Adriaansz Twjwan Instruksional Umum Memahami asuhan antenatal sebagai upaya preuentif untuk optimalisasi luaran maternaL dan neonatal dalam kebamilan.



Tuj wan Instrwksional Kbwsus



1. Menjelaskan alasan asuban antenatal. 2. Menjelaskan jumal kunjwngan asuban antenatal. 3. Menjelaslean laporan langkab asuhan antenatal, 4. Mengenal gejala dhn tanda babaya selama hebamilan. Asuhan anrenaml adalah upaya preventif program pelayanan kesehatan obstetrik untuk optimalisasi luaran marernal dan neonatal melalui serangkaian kegiatan pemantauan



rutin selama kehamilan. Ada 6



alasan penting



untuk mendapatkan asuhan antenatal, yaitu:



Membangun rasa saling percaya antara klien dan petugas kesehatan. Mengupayakan terw'ujudnya kondisi terbaik bagi ibu dan bayi yang dikandungnya. 3. Memperoleh informasi dasar tentang kesehatan ibu dan kehamilannya. 4. Mengidentifikasi dan menata laksana kehamilan risiko tinggi. 5. Memberikan pendidikan kesehatan yang diperlukan dalam menjaga kualitas kehamilan dan merawat bayi. 6. Menghindarkan gangguan kesehatan selama kehamilan yang akan membahayakan keselamatan ibu hamil dan bayi yang dikandungnya. 1



l.



2.



ASUHAN ANTENATAL



279



Jadwal Kwnjwngan Aswhan Antenatal



Bila kehamilan termasuk risiko tinggi perhatian dan jadual kunjungan harus lebih ketat. Namun, bila kehamilan normal jadual asuhan cukup empat kali. Dalam bahasa program kesehatan ibu dan anak, kunjungan antenatal ini diberi kode angka K ,vang merupakan singkatan dari kunjungan. Pemeriksaan antenatal yang lengkap adalah Kl, K2, K3. dan K4. Hal ini berarti, minimal dilakukan sekali kunjungan antenatal hingga usia keharnilan 28 minggu, sekali kunjungan antenatal selama kehamilan 28 - 36 minggu dan sebanyak dua kali kunjungan antenatal pada usia kehamilan di atas 36 minggu. Selama melakukan kun.jungan untuk asuhan antenatal, para ibu hamil akan mendapatkan serangkaian pelayanan yang terkait dengan upaya memastikan ada tidaknya kehamilan dan penelusuran berbagai kemungkinan adanya penyulit atau gangguan kesehatan selama kehamilan yang mungkin dapat mengganggu kualims dan luaran kehamilan. Identifikasi kehamilan diperoleh melaiui pengenalan perubahan anatomik dan fisiologik kehamilan seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Bila diperlukan, dapat dilakukan uji hormonal keharnilan dengan menggunakan berbagai metode yang tersedia.



Pemeriksaan Rutin dan Penelusuran Penyulit selama Kehamilan Dalam pemeriksaan rutin, dilakukan pula pencatatan data klien dan keluarganya serra pemeriksaan fisik dan obstetrik seperti di bawah ini.



Identifikasi dan Riwayat Kesebatan



r



.



Data Umum Pribadi



-



Nama Usia Alamat Pekerjaan lbu/Suami Lamanya menikah Kebiasaan yang dapat merugikan kesehatan Keluhan Saat Ini - Jenis dan sifat gangguan yang dirasakan ibu - Lamanya mengalami gangguan tersebut



o fuwayat Haid



.



-



Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT)



-



Asuhan antenatai, persalinan, dan nifas kehamilan sebelumnya Cara persalinan Jumlah dan jenis kelamin anak hidup



Usia Kehamilan dan Taksiran Persalinan (Rumus Naegele: tanggal HPHT ditambah 7 dan bulan dikurangi 3) fuwayat Kehamilan dan Persalinan



280



.



o



.



ASUHAN ANTENATAL



-



Berat badan lahir Cara pemberian asupan bagi bayi yang dilahirkan Informasi dan saat persalinan atau keguguran terakhir Riwayat Kehamilan Saat Ini - Identifikasi kehamilan - identifikasi penl'ulit (preeklampsia atau hipertensi dalam kehamilan) - Penyakit lain yang diderita - Gerakan bayi dalm kandungan Riwayat Penyakit dalam Keluarga - Diabetes Mellitus, Hipertensi atau Hamil Kembar - Kelainan Bawaan Riwayat Penyakit Ibu - Penyakit yang pernah diderita



-



DM, HDK, Infeksi Saluran Kemih



Penyakit Jantung



Infeksi Virus Berbahaya Alergi obat atau makanan tertentu Pernah mendapat transfusi darah dan indikasi tindakan tersebut



Inkompatibilitas Rhesus Paparan sinar-X/Rontgen



o Riwayat Penyakit yang



. . o



-



Memerlukan Tindakan Pembedahan



Dilatasi dan Kurerase Reparasi Vagina Seksio Sesarea



Serviks Inkompeten Operasi non-ginekologi Riwayat Mengikuti Program Keluarga Berencana Riwayat Imunisasi Riwayat Menyusui



Pemeriksaan



o



Keadaan lJmum



- Tanda vital - Pemeriksaan jantung dan paru - Pemeriksaan payudara - Kelainan otot dan rangka serta neurologik o Pemeriksaan Abdomen * Inspeksi . Bentuk dan ukuran abdomen . Parut bekas operasi . Tanda-tanda kehamilan



ASUHAN ANTENATAL



-



-



. . . .



Gerakan janin Varises atau pelebaran vena



. . . .



Tinggi fundus



281



Hernia



Edema Palpasi



Punggung bayi Presentasi Sejauh mana bagian terbawah bayi masuk pintu atas panggul



Auskultasi 10 minggu dengan Doppler 20 minggu dengan fetoskop Pinard Inspekulo vagina untuk identifikasi vaginitis pada Trimester



. .



I/II



Laboratoiwm



.



Pemeriksaan



- Analisis urin rutin - Analisis tinja rutin - Hb, MCV - Colongan darah - Hitung jenis sel darah - Gula darah - Andgen Hepatitis B Virus - Antibodi Rubela - HIV/VDRL . IJltrasonografi Rudn pada kehamilan janin.



18



-



22 minggu untuk identifikasi kelainan



Beberapa Gejala dan Tanda Bahaya Selama Kehamilan



- 90 % kehamilan akan berlangsung normal dan hanya 10 - 12 % kehamilan yang disertai dengan penyulit atau berkembang menjadi kehamilan patologis. Kehamilan patologis sendiri tidak terjadi secara mendadak karena kehamilan dan efeknya terhadap organ tubuh berlangsung secara bertahap dan berangsur-angsur. Deteksi dini gejala dan tanda bahaya selama kehamilan merupakan upaya terbaik untuk mencegah terjadinya gangBuan yang serius terhadap kehamilan ataupun keselamatan ibu hamil. Faktor predisposisi dan adanya penyakit penyerta sebaiknya juga dikenali sejak awal sehingga dapat dilakukan berbagai upaya maksimal untuk mencegah gangguan yang berat baik terhadap kehamilan dan keselamatan ibu maupun bayi yang Pada umumnya 80



dikandungnya.



282



ASUHAN ANTENATAL



Perdarahan Perdarahan pada kehamilan muda atau usia kehamilan di bawah 20 minggu, umumnya disebabkan oleh keguguran. Sekitar 1.0 - 12 % kehamilan akan berakhir dengan kegu-



guran yang pada umumnya (60 - 80 %) disebabkan oleh kelainan kromosom vang ditemui pada spermarozoa ataupun ovum. Penyebab yang sama dan menimbulkan gejala perdarahan pada kehamilan muda dan ukuran pembesaran uterus yang di atas normal, pada umumnya disebabkan oleh mola hidatidosa. Perdarahan pada kehamilan muda dengan uji kehamilan yang tidak jelas, pembesaran urerus yang tidak sesuai (lebih kecil) dari usia kehamilan, dan adanya massa di adneksa biasanya disebabkan oleh kehamilan ektopik.



Gambar 21-1.. Plasenta Previa Totalis (A), Parsialis (B), dan Marginalis



Perdarahan pada kehamilan lanjut atau di atas 20 minggu pada umumnya disebabkan oleh plasenta previa. Perdarahan yang terjadi sangat terkait dengan luas plasenta dan kondisi segmen bawah rahim yang menjadi tempat implemenrasi plasenta tersebut. Pada plasenta yang tipis dan menutupi sebagian jalan lahir, maka umumnya terjadi perdarahan bercak berulang dan apabila segmen bawah rahim mulai terbentuk disertai dengan sedikit penumnan bagian terbawah janin, maka perdarahan mulai meningkar hingga tingkatan yang dapar membahayakan keseiamatan ibu. Plasenta yang tebal yang menutupi seluruh jalan lahir dapat menimbulkan perdarahan hebat tanpa didahului oleh perdarahan bercak atau berulang sebelumnya. Plasenta previa menjadi penyebab dari 25 7" kasus perdarahan anreparmm. Biia mendekati saat persalinan, perdarahan dapat disebabkan oleh solusio plasenta (40 %) arau vasa previa (5 %) dari keseluruhan kasus perdarahan antepartum.



ASUHAN ANTENATAL



283



Preeklampsia Pada umumnya ibu hamil dengan usia kehamilan di ams 20 minggu disertai dengan peningkatan tekanan darah di atas normal sering diasosiasikan dengan preeklampsia. Data atau informasi awal terkait dengan tekanan darah sebelum hamil akan sangat membantu petugas kesehatan untuk membedakan hipertensi kronis (yang sudah ada sebelumnya) dengan preeklampsia. Gejala dan tanda lain dari preeklampsia adalah sebagai berikut.



. . r . . . . .



Hiperrefleksia (iritabilitas susunan saraf pusat) Sakit kepala atau sefalgia (frontal atau oksipital) yang tidak membaik dengan pengobatan umum Gangguan penglihatan seperti pandangan kabur, skotomata, silau atau berkunangkunang



Nyeri epigastrik Oliguria (luaran kurang dari 500 ml/24 jam) Tekanan darah sistolik 20 - 30 mmHg dan diastolik 10 - 20 mmHg di atas normal Proreinuria (di atas positif 3) Edema menyeluruh



Nyeri Hebat di Daerah Abdominopeloikum Bila hal tersebut di atas terjadi pada kehamilan trimester kedua atau ketiga dan disertai dengan riwayat dan tanda-tanda di bawah ini, maka diagnosisnya mengarah pada solusio plasenta, baik dari jenis yang disertai perdarahan (reuealed) maupun tersembunyi (concealed):



Gambar



21-2.



Solusio Plasenta dengan Perdarahan (A) dan Perdarahan Tersembunyi



284



ASUHAN ANTENATAL



o Trauma abdomen o Preeklampsia



. .



Tinggi fundus uteri lebih besar dari usia kehamilan Bagian-bagian janin sulit diraba



e lJterus



r



tegang dan nyeri



Janin mati dalam rahim



Gejala dan Tanda Lain yang Harws Dhaaspadai Beberapa gejala dan anda lain yang terkait dengan gangguan serius selama kehamilan adalah sebagai berikut.



. . . . .



Muntah berlebihan yang berlangsung selama kehamilan Disuria



MenBgigil atau demam Ketuban pecah dini atau sebelum waktunya Ijterus lebih besar atau lebih kecil dari usia kehamilanyang sesungguhnya



Kwnjwngan Berkala Aswhan Antenatal Sepeni yang telah dijelaskan sebelumnya, kunjungan antenatal sebaiknya dilakukan secara berkala dan teratur. Bila kehamilan normal, jumlah kunjungan cukup empat kaii: satu kali pada trimester I, satu kali trimester II, dan dua kali pada trimester III. Hal ini dapat memberikan peluang yang lebih besar bagi petugas kesehatan untuk mengenali secara dini berbagai penluiit atau gangguan kesehatan yang terjadi pada ibu hamil. Beberapa penyakit atau penyr:lit tidak segera timbul bersamaan dengan terjadinya kehamilan (misalnya, hipertensi dalam kehamilan) atau baru akan menampakkan gejala pada usia kehamilan tertentu (misalnya, perdarahan antepartum yang disebabkan oleh plasenta previa). Selain itu, upaya memberdayakan ibu hamil dan keluarganya tentang proses kehamilan dan masalahnya melalui penluluhan atau konseling dapat berjalan efektif apabila tersedia cukup waktu untuk melaksanakan pendidikan kesehatan yang diperlukan. Dari satu kun;'ungan ke kunjungan berikutnya sebaiknya dilakukan pencatatan



.



Keluhan yang dirasakan oleh ibu hamil



o Hasil



-



-



pemeriksaan setiap kunjungan



Ijmum



. . . .



Tekanan darah Respirasi



Nadi Temperatur tubuh Abdomen



ASUHAN ANTENATAL



-



. . . .



Tinggi fundus uteri Letak janin (setelah 34 minggu)



.



Keton



285



Presentasi .ianin



Deny,ut jantung janin Pemeriksaan tambahan . Proteinuria . Glukosuria



Menilai Kesejahteraan Janin - Untuk menilai kesejahteraan janin pada kehamilan risiko tinggi dapat dilakukan berbagai jenis pemeriksaan atau pengumpulan informasi, baik yang diperoleh dari



ibu hamil maupun pemeriksaan oleh petugas kesehatan. Pemeriksaan yang memerlukan peralatan canggih umumnya dilakukan dengan peralatan pencatat denyut



jantung janin (kardiotokografi) dan peralatan ultrasonografi yang disebut dengan pemeriksaan profil biofisik janin (bioplrysic tersebut adalah:



. . . . . . -



p*filr).Berbagai jenis



pemeriksaan



Pengukuran tinggi fundus uteri terutama > 20 minggu yang akan disesuaikan dengan usia kehamilan saat pemeriksaan dilakukan. Tinggi fundus yang normal sama dengan usia kehamilan Gerakan menendang atau tendangan janin (10 gerakan/\2 jam) Gerakan janin Gerakan janin yang menghilang dalam waktu 48 jam dikaitkan dengan hipoksia berat atau janin meninggal Denprt jantung janin



Ultrasonografi



Bila usia kehamilan memasuki 34 minggu, selain pemeriksaan



di



atas, juga di-



Iakukan pula pemeriksaan tentang: . Penilaian besar janin, letak dan presentasi . Penilaian luas panggul



Edukasi Kesehatan Bagi Ibu Hamil Tidak semua ibu hamil dan keluarganya mendapat pendidikan dan konseling kesehatan yang memadai tentang kesehatan reproduksi, terutama tentang kehamilan dan upaya untuk menja ga agar kehamilan tetap sehat dan berkualitas. Kunjungan antenatal memberi kesempatan bagi petugas kesehatan untuk memberikan informasi kesehatan esensial bagi ibu hamil dan keluarganya termasuk rencana persalinan (di mana, penolong, dana, pendamping, dan sebagainya) dan cara merawat ban. Beberapa informasi penting tersebut adalah sebagai berikut.



285



ASUHAN ANTENATAL



Nutrisi yang adekwat



.



Kalori Jumlah kalori yang diperlukan bagi ibu hamil untuk setiap harinya adalah 2.500 ka-



lori. Pengetahuan tentang berbagai jenis makanan yang dapat memberikan kecukupan kalori tersebut sebaiknya dapat dijelaskan secara rinci dan bahasa yang dimengerti oleh para ibu hamil dan keluarganya. Jumiah kalori yang berlebih dapat menyebabkan obesitas dan hal ini merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya preeklampsia. Jumlah pertambahan berat badan sebaiknya tidak melebihi 10



o Protein



.



.



-



12 kg selama hamil.



Jumlah protein yang diperlukan oleh ibu hamil adalah 85 gram per hari. Sumber protein tersebut dapat diperoleh dari tumbuh-tumbuhan (kacang-kacangan) atau hewani (ikan, ayam, keju, susu, telur). Defisiensi protein dapat menyebabkan kelahiran prematur, anemia, dan edema. Kalsium Kebutuhan kalsium ibu hamil adaiah 1,5 gram per hari. Kalsium dibutuhkan untuk pertumbuhan janin, terutama bagi pengembangan orot dan rangka. Sumber kalsium yang mudah diperoleh adalah susu, keju, yogurt, dan kalsium karbonat. Defisiensi kalsium dapat menyebabkan riketsia pada bayi atau osreomalasia pada ibu.



Zat besi Metabolisme yang tinggi pada ibu hamil memerlukan kecukupan oksigenasi jaringan yang diperoleh dari pengikatan dan pengantaran oksigen melalui hemoglobin di dalam sel-sel darah merah. Untuk menjaga konsentrasi hemoglobin yang normal, diperlukan asupan zat besi bagi ibu hamil dengan jumlah 30 mg/hari rerutama setelah trimester kedua. Bila tidak ditemukan anemia pemberian besi per minggu cukup adekuar.. Zar. besi yang diberikan dapat berupa ferrous gluconate, ferrows fumarate, aau fenows swlphate. Kekurangan zx besi pada ibu hamil dapat menyebabkan anemia defisiensi zat besi.



o



Asam folat Selain zat besi, sel-sel darah merah juga memerlukan asam folat bagi pematangan sel. Jumlah asam folat yang dibutuhkan oleh ibu hamil adalah +00 mikrogram per hari. Kekurangan asam folat dapat menyebabkan anemia megaloblastik pada ibu hamil.



Peraraatan paywdara Payudara perlu dipersiapkan sejak sebelum bayi lahir sehingga dapat segera berfungsi dengan baik pada saat diperiukan. Pengurutan pal.udara untuk mengeluarkan sekresi dan membuka duktus dan sinus laktiferus, sebaiknya dilakukan secara hati-hati dan benar karena pengurutan yang salah dapat menimbulkan konrraksi pada rahim sehingga teriadi kondisi seperti pada uji kesejahteraan janin menggunakan uteroronika. Basuhan lembut setiap hari pada areola dan puting susu akan dapat mengurangi retak dan lecet pada area tersebut. Untuk sekresi yang mengering pada pudng susu, lakukan pem-



ASUHAN ANTENATAL



287



bersihan dengan menggunakan campuran gliserin dan alkohol. Karena pay'udara menegang, sensitif, dan menjadi lebih berat, maka sebaiknya gunakan penopang payudara yang sesuai (brassiere).



Perautatan gigi Paling tidak dibutuhkan dua kali pemeriksaan gigi selama kehamilan, yaitu pada trimesrer perrama dan ketiga. Penjadualan untuk trimester pertama terkait dengan hiperemesis dan ptialisme (produksi liur yang berlebihan) sehingga kebersihan rongga mulut harus selalu terjaga. Sementara itu, pada trimester ketiga, terkait dengan adanya kebutuhan kalsium untuk pertumbuhan janin sehingga perlu diketahui apakah terdapat pengaruh yang merugikan pada gigi ibu hamil. Dianjurkan untuk selalu menyikat gigi setelah makan karena ibu hamil sangat rentan terhadap terjadinya carties dan gingivitis.



Kebersiban twbwh dan pakaian Kebersihan tubuh harus terjaga seiama kehamilan. Perubahan anatomik pada perut, area genitalia/lipat paha, dan pa1'udara menyebabkan lipatan-lipatan kulit menjadi lebih lembab dan mudah terinvestasi oleh mikroorganisme. Sebaiknya gunakan pancuran atau gayung pada saat mandi, tidak dianjurkan berendam dalam batbtub dan melakukan oaginal douche. Gunakan pakaian yang longgar, bersih dan nyaman dan hindarkan sepatu bertongkat tinggi (high heels) dan alas kaki yang keras (tidak elastis) serta korset penahan perut. Lakukan gerak tubuh ringan, misalnya berjalan kaki, terutama pada pagi hari. Jangan melakukan pekerjaan rumah tangga yang berat dan hindarkan kerja fisik yang dapat menimbulkan kelelahan yang berlebihan. Beristirahat cukup, minimal 8 jam pada malam hari dan 2 jam di siang hari. Ibu tidak dianjurkan untuk melakukan kebiasaan merokok seiama hamil karena dapat menimbulkan vasospasme yang berakibat anoksia janin, berat badan lahir rendah (BBLR), prematuritas, kelainan kongenital, dan solusio plasenta.



RUTUKAN et al. A randomized controledl trial of effect of fish oil supplementation on pregnancy duration. Lancet, 1992; 339: 1.003 -7 2. Onwude JL, et al. A randomized double blind placebo controlled trial of fish oil in high risk pregnancy. Br J Obstet Gynaecol. 1995;102:95-1a0 l. Schramm VF. Veighing cost and benefits of adequate prenatal care. Public Health Report, 107(6), 1. Olse SF,



647-52



4. Speroff L, et al. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility. Baltimore: Williams and \filkins, t994 5. Stephenson JN. Pregnancy testing and counseling. Ped Clin North Am 1989; 36(3): 681-96



22



HIS DAN TENAGA LAIN DALAM PERSALINAN Hermanto Tri Joewono Twjuan Instruksional Umwm Memahami fisiologi terjadinya bis dan tenaga



kin dakm



persalinan.



Twjwan Instrwksional Kbwsws



1. Memahami 2. Memahami 3. Memabami



mekanisme terjadinya hb dan cara mengukumya secara klinis. mekanisme terjadinya kontraksi secara selular. wpaya untuk mengurangi nyeri persalinan.



Seperti telah dikemukakan di atas, uterus terdiri atas tiga lapisan otot polos, yaitu lapisan luar longitudinal, lapisan dalam sirkular, dan di antara dua lapisan ini terdapat lapisan



dengan otot-otot yang beranyaman "tikar". Berbeda dengan otot polos lain, pemendekan otot rahim lebih besar, tenaga dapat disebarkan ke segala arah dan karena susunannya tidak terorganisasi secara memanjang hal ini memudahkan pemendekan, kapasitas untuk meningkatkan tekanan dan menyebabkannya tidak bergantung pada letak atau presentasi janinl. His yang sempurna bila terdapat (a) kontraksi yang simetris, (b) kontraksi paling kuat atau adanya dominasi di fundus uteri, dan (c) sesudah itu terjadi relaksasi. Pengetahuan fungsi uterus dalam masa kehamilan dan persalinan banyak dipelajari oleh Caldeyro-Barcia dengan memasukkan kateter polietilen halus ke dalam ruang amnion dan memasang mikrobalon di miometrium fundus uteri, di tengah-tengah korpus uteri dan di bagian bawah uterus, semuanya disambung kateter polietilen halus ke alat pencatat (elemometer). Ternyata diketahui bahwa otor-otor urerus ddak mengadakan relaksasi sampai O, akan tetapi masih mempunyai tonus, sehingga tekanan di



HIS DAN TENAGA LAIN DALAM PERSALINAN



289



$];Y ffij &;:raks..,,"sflJ Gambar 22-1.



Anyaman otot rahim dan beda retraksi otot rahim dan kontraksi otot bergaris2,3 daiam ruang amnion masih terukur antara 6 - 12 mmHg. Pada tiap kontraksi tekanan tersebut meningkat, disebut amplitudo atau intensitas his yang mempunyai dua bagian: bagian pertama peningkatan tekanan yang agak cepat dan bagian kedua penurunan tekanan yang agak lamban. Frekuensi his adalah jumlah his dalam waktu tertentu. Amplitudo dikalikan dengan frekuensi his dalam 10 menit menggambarkan keaktifan uterus dan ini diukur dengan unir Montevideo. Umpama amplitudo 50 mmHg, frekuensi his 3 x dalam 10 menit, maka aktivitas utelus adalah 50 x 3 : 150 unit Montevideo. Nilai yang adekuat untuk terjadinya persalinan ialah 150 - 250 unit Montevideo.



Tiap his dimulai sebagai gelombang dari salah satu sudut di mana tuba masuk ke dalam dinding uterus yang disebut sebagai pace maher tempat gelombang his berasal. Gelombang bergerak ke dalam dan ke bawah dengan kecepatan 2 cm tiap detik sampai ke seluruh uterus.



Gambar



22-2. Tiga lapis otot



rahim



290



HIS DAN TENAGA LAIN DALAM PERSALINAN



His paling tinggi di fundus uteri yang lapisan otornya paling tebai dan puncak kontraksi terjadi simultan di seluruh bagian uterus. Sesudah tiap his, orot-oror korpus uteri menjadi lebih pendek daripada sebelumnya yang disebut sebagai retraksi. Oleh karena serviks kurang mengandung otot, serviks tertarik dan terbuka (penipisan dan pembukaan); lebih-lebih jika ada rekanan oleh bagian janin yang keras, umpamanya kepalaa.



Gambar



22-3. Mulai



penyebaran his



Aktivitas miometrium dimulai saat kehamilan. Bila melakukan pemeriksaan ginekologik waktu hamil kadang dapat diraba adanya kontraksi uterus (tanda BraxtonHicks). Pada seluruh trimester kehamilan dapat dicatat adanya kontraksi ringan dengan amplitudo 5 mmHg yang tidak teratur. His sesudah kehamilan 30 minggu terasa lebih kuat dan lebih sering. Sesudah 36 minggu aktivitas uterus lebih meningkat lagi sampai persalinan mulai. Jika persalinan mulai, yakni pada permulaan kaia I, frekuensi dan amplitudo his meningkat.



Amplitudo uterus meningkat terus sampai 60 mmHg pada akhir kala I dan frekuensi his menjadi 2 sampai 4 kontraksi tiap 10 menit. Juga durasi his meningkat dari hanya 20 detik pada permulaan partus sampai 60 - 90 detik pada akhir kala I atau pada permulaan kala IL His yang sempurna dan efektif bila ada koordinasi dari geiombang kontraksi, sehingga kontraksi simetris dengan dominasi di fundus uteri, dan mempunyai amplitudo 40 sampai 60 mmHg yang berdurasi 60 sampai 90 detik, dengan jangka waktu antara kontraksi 2 sampai 4 menit, dan pada relaksasi tonus utems kurang dari 12 mmHg. Jika frekuensi dan amplitudo his lebih tinggi, maka dapat mengurangi pertukaran 02. Terjadilah hipoksia janin dan timbul gawat janin yang secara klinik dapat ditentukan dengan antara lain menghitung detak jantung janin araupun dengan pemeriksaan kardiotoko grafi. His menyebabkan pembukaan dan penipisan di samping rekanan air ketuban pada permulaan kala I dan selanjutnya oleh kepala janin yang makin masuk ke rongga panggul dan sebagai benda keras yang mengadakan rekanan kepada serviks hingga pembukaan menjadi lengkap.



HIS DAN TENAGA I-AJN DALAM PERSALiNAN



100



291,



-



PBo E E



'= o



oo



(E



.E



40



G



c(g }(



lg



20



0menit:



-J\-L 0



5



Kehamilan



100



5



Permulaan kala I



100



5 Kala I lanjut



'100



510 Kala Il



Cambar 22-4. Pengukuran tekanan intrauterin menurut kala persalinan. Tampak tekanan makin meningkat dan frekuensi his yang meningkat sesuai dengan kalanya2



Secara klinis pengukuran ini kurang bermanfaat dan sampai saat ini pengukuran kontraksi uterus dilakukan secara klinis dengan meletakkan tangan pada daerah fundus dan mencatat frekuensi, interval, dan durasinya. Arrabal dan Nageyl menemukan bahwa pengukuran klinik ini tidak akurat sehingga beberapa peneliti mencoba pengukuran yang



lebih akurat dengan berbagai peralatan misalnya Cohen dengan Elearomyograplry, secara tidak langsung dengan pemantauan internal janin melalui elektrode kulit kepala ataupun secara eksternal dengan kardiotokografi6. Cohen dari Jamaica Hospial Medical Center melakukan pengukuran voltase elektrik yang diakibatkan kontraksi uterus dengan teknik Uterine Elearomyograplry memakai elektrode permukaan yang mirip EKG yang mungkin merupakan satu terobosan pengukuran his yang lebih sederhana dan akurat tetapi tanpa risiko. Diharapkan dengan penggunaan alat ini di klinik, diagnosis inpartu dan kelainannnya lebih akurat di samping terjadi pengurangan biaya akibat terdiagnosisnya false labo*. Beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap kontraksi rahim adalah besar rahim, besar janin, berat badan ibu, dan lain-lain. Namun, dilaporkan tidak adanya perbedaan hasil pengukuran tekanan intrauterus kala II antara wanita obese dan ddak obeseT.



HIS DAN TENAGA LAIN DAI-\M PERSALINAN



292



PERSALINAN



=



-' *[nlu '-



Tit1,1,\1\



= o ! o



200



9



tso



't



Kala I tanjut



0



10 menit



o



10



01020



$geE pGlpartum



,\Il\ o."'



I



o o



E



Pemulaan



Kah



I



li[l\^A o10



too



---r*-



,L-,#*",1*,



o (E



=



.O"



ia



PKC



+ Cp-



MtoStN-p1r_czo1



MLCP



RhoA



Caz"



\/



Aclin



PAK



,r' ar



Cd-P



HIS DAN TENAGA IAIN DAIAM PERSALINAN



294



Perasaan sakit pada waktu his amat subjektif, tidak hanya bergantung pada intensitas



his, tetapi bergantung pula pada keadaan mental orangnya. Nyeri waku melahirkan dianggap sebagai satu-satunya nyeri yang fisiologis sehingga ada pendapat yang menyatakan tidak perlu dikurangi intensitasnya. Perasaan sakit pada his mungkin disebabkan oleh iskemia dalam korpus uteri tempat terdapat banyak serabut saraf dan diteruskan melalui saraf sensorik di pleksus hipogastrik ke sistem saraf pusat. Sakit di pinggang sering terasa pada kala pembukaan dan bila bagian bawah uterus tumt berkontraksi sehingga serabut sensorik turut terangsang. Pada kala II perasaan sakit disebabkan oleh peregangan vagina, jaringan-jaringan dalam panggul, dan perineum. Sakit ini dirasakan di pinggang, dalam panggul dan menjalar ke paha sebelah dalam.



(,)



I



E E G' (E



l
12 jam persalinan



Dosis Pemberian Durasi 'rDosis tunggrl I.V.



Antibiotika



sesarea



Seksio



pada kondisi tertentu



)a



Dosis



awal



2 g lanjutkanlg



Keterangan Saat operasi



I.V.



Dosis tun[[al



I.V.



Hingga selesai persifinan



Profilaksis



atau evaluasl



grup streptokokus B (GBS) yane menvebibkin



setiap 6 jam



ulangan



terhadap



,.pr1t Prematur dan KID



Sulbenisilin



1 g setiap I.M. 6 ;rm



Kehamilan 37 mineeu dan KPD



Eritromisin



4 x 500



Vitium kordis



Ampisilin + Gentamisin



mg



80 mg



Oral



7 hari



Profilaksis



I.V. I.V.



Persalinan



Reduksi endokarditis bakterial



hingga .48 iam pascrsahn



rnversl



Sulbenisilin Gentamisin atau Seftriakson



Korio-



Ampisilin +



g mg mg 4x1g+



amnionitis



Gentamisin



80 mg



Plasenta manu-



al atau reposisi



atau



Tnple drugs Metritis



Ampisiiin + Gentamisin + Metronidazol



Abses pelvis



2



80 250



Sama



dengan



Gentamisin



Selulitis



Tiamfenikol Sefaleksin



bebas



demam



Lihat petunjuk



- 48 Seeera kaii "lebes ulinc aoabila demam tidrk" teijadi



I.V.



Hinsea 24 iam



oerbaikan se-



'telah 48 lam Sama dengan



Antibiotika



di



sebelum drainase



atas



aies



2xB0mg



* 3x500mg



Pantau risiko metritis



Hingqa 24 - 48



I.V.



I.V.



I.V. I.M. I.V.



atau



Hinggr 14



hlii



atau



oral



acid



Mastitis



Dosis tunggal



f



Sama dengan



Amoksisiklin Klawlanic



I.M.



3x500mg



di Pielonefritis



Dosis tunggal



Jam



Lihat petunjuk 4x1g+ 2x80mg



dl



atas



I.V. I.V.



3x500mg 4 x 500



mg



Oral Oral



7 7



-



10 hari



-



10 hari



Drainase bila



terjadi



abses



Debridemen atau irigasi



TERAPI ANTIBIOTIKA



Tabel



36-6. Tingkat



Jenis








Konsenrrasi dalam sirkulasi ianin mencrpai 3O - 6A7" dari kadar dalam darah ibu. Lesi saraf VIII akibar streptomisin dan kanamisin, Iebih tineei daripada sentamisin/tobramisin. Me"n"yebabkan tili drn gangguan ginlel



Kotrimoksazol



\



Tretrasiklin



w



Pada



bryi dengan defisiensi G6PD, dapat ter-



jadi hemolisis/1 95 o/o yang terdiri atas: Pars ampularis (55 %), pars ismika (25'/"),pars fimbriae (17 %), dan pars interstisialis (2 %). Kehamilan ektopik lain (< 5 "/") antara lain terjadi di serviks uterLis, ovarium, atau abdominal. Untuk kehamilan abdominal lebih sering merupakan kehamilan abdominal sekunder di mana semula merupakan kehamilan tuba yang kemudian abortus dan meluncur ke abdomen dari ostium tuba pars abdominalis (abortus tubaria) yang kemudian embrio/buah kehamilannya mengalami reimplantasi di kavum abdomen, misalnya di mesenterium/mesovarium atau di omentum. Kehamilan intraligamenter, jumlahnya sangar sedikit. Kehamilan heterotopik, merupakan kehamilan ganda di mana satu janin berada di kavum uteri sedangkan yang lain merupakan kehamilan ektopik. Kejadian sekitar satu per 15.000



-



40.000 kehamilan.



PERDARAHAN PADA KEHAMILAN MUDA



KEHAMILAN ABDOMINAL



475



Tuba pars ampularis /cra/ /O'\ \JJ



Tuba pars ismika



(25"/.\



Fimbria ( 17 %)



Gambar



37-4. Lokasi



kejadian kehamilan ektopik



ffii.^.



\';{:i?z Gambar 37-5. Diagram lokasi kehamilan ektopik. A. Ampula; B. Ismus; C. Pars interstisialis; D. Pars infundibulum fimbriae; E. Kornu uteri; F. Serviks; G. Abdomen



476



o



PERDARAHAN PADA KEHAMILAN MUDA



Kehamilan ektopik bilateral. Kehamilan ini pernah dilaporkan walaupun sangat jarang terjadi.



Etiologi Etiologi kehamilan ektopik sudah banyak disebutkan karena secara patofisiologi mudah dimengerti sesuai dengan proses awal kehamilan sejak pembuahan sampai nidasi" Bila nidasi terjadi di luar karum uteri atau di luar endometrium, maka terjadiiah kehamilan ektopik. Dengan demikian, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya hambatan dalam nidasi embrio ke endometrium menjadi penyebab kehamilan ektopik ini. Faktor-



faktor yang disebutkan adalah sebagai berikut.



.



Faktor ruba Adanya peradangan atau infeksi pada tuba menyebabkan lumen tuba menyempit atau buntu. Keadaan uterus yang mengalami hipoplasia dan saluran tuba yang berkelok-kelok panjang dapat menyebabkan fungsi silia tuba tidak berfungsi dengan baik. Juga pada keadaan pascaoperasi rekanalisasi tuba dapat merupakan predisposisi terjadinya kehamilan ektopik. Faktor tuba yang lain ialah adanya kelainan endometriosis tuba atau divertikel saIuran tuba yang bersifat kongenital. Adanya tumor di sekitar saluran tuba, misalnya mioma uteri atau tumor ovarium yang menyebabkan perubahan bentuk dan patensi tuba, juga dapar menjadi etiologi kehamilan ektopik.



r



Faktor abnormalitas dari zigot Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar, maka zigot akan tersendat dalam perjalanan pada saat melalui tuba, kemudian terhenti dan tumbuh di saluran tuba.



o Faktor ovarium Bila ovarium memproduksi orum dan ditangkap oleh tuba yang kontralateral, dapat membutuhkan proses khusus atau waktu yang lebih panjang sehingga kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik lebih besar.



o Faktor hormonal Pada akseptor, pil KB



yang hanya mengandung progesreron dapat mengakibatkan gerakan tuba melambat. Apabila terjadi pembuahan dapat menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik.



o Faktor lain Termasuk di sini antara lain adalah



pemakai IUD di mana proses peradangan yang dapat timbul pada endometrium dan endosalping dapat menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik. Faktor umur penderir*yang sudah menua dan faktor perokok juga sering dihubungkan dengan terjadinya kehamilan ektopik.



PERDARAHAN PADA K-E,HAMITAN MUDA



477



Patologi Pada proses awal kehamilan apabila embrio tidak bisa mencapai endometrium untuk proses nidasi, maka embrio dapat tumbuh di saluran tuba dan kemudian akan mengalami beberapa proses seperti pada kehamilan pada umumnya. Karena tuba bukan merupakan suatu media yang baik untuk pertumbuhan embrio atau mudigah, maka pertumbuhan dapat mengalami beberapa perubahan dalam bentuk berikut ini.



Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi. Pada implantasi secara kolumner, o\.um yang dibuahi cepat mati karena vaskularisasi kurang dan dengan mudah ter;'adi resorbsi total. Daiam keadaan ini penderita tidak mengeluh apa-apa, hanya haidnya terlambat untuk beberapa hari.



Abortus ke dalam lumen tuba. (Abortus tubaria)



vili korialis pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan mudigah dari dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya, bergantung pada derajat perdarahan yang timbul.



Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh



Bila peiepasan menyeluruh, mudigah dengan selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah ke arah ostium tuba pars abdominalis. Frekuensi abortus dalam tuba bergantung pada implantasi telur yang dibuahi. Abortus ke lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan pars ampularis, sedangkan penembusan dinding tuba oleh vili korialis ke arah peritoneum biasanya terjadi pada kehamilan pars ismika. Perbedaan ini disebabkan oleh lumen pars ampularis yang lebih luas sehingga dapat mengikuti lebih mudah pertumbuhan hasil konsepsi jika dibandingkan dengan bagian ismus dengan lumen sempit. Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada abortus, perdarahan akan terus berlangsung, dari sedikit-sedikit oleh darah, sehingga berubah menjadi mola kmenta. Perdarahan yang berlangsung tems menyebabkan tuba membesar dan kebirubiruan (hematosalping), dan selanjutnya darah mengalir ke rongga perut melalui ostium tuba. Darah ini akan berkumpul di kawm Douglasi dan akan rnembentuk hematokel retrouterina.



Ruptur dinding tuba Ruptur tuba sering terjadi bila or,um berimplantasi pada ismus dan biasanya pada kehamilan muda. Sebaliknya, ruptur pada pars interstisialis terjadi pada kehamilan yang lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan ruptur ialah penembusan vili korialis ke dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum. Ruptur dapat terjadi secara spontan atau karena trauma ringan seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. Dalam hal ini akan terjadi perdarahan dalam rongga perut, kadang-kadang sedikit, kadang-kadang banyak, sampai menimbulkan syok dan kematian. Bila pseudokapsularis ikut pecah, maka terjadi pula perdarahan dalam lumen tuba. Darah dapat mengalir ke dalam rongga perut melalui ostium tuba abdominal. Bila pada abortus dalam tuba ostium tuba tersumbat, ruptur sekunder dapat terjadi. Dalam hal ini dinding tuba, yang telah menipis oleh invasi trofoblas, pecah karena



PERDARAHAN PADA K.EHAMIIAN MUDA



478



rekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang ruptur terjadi di arah iigamentum itu. Jika



janin hidup terus, terdapat kehamilan intraligamenter. Pada ruptur ke rongga perut seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila robekan tuba kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeiuarkan dari tuba. Perdarahan dapat berlangsung terus sehingga penderita akan cepat jatuh dalam keadaan anemia atau syok oleh karena hemoragia. Darah tertampung pada rongga perut akan mengalir ke kavum Douglasi yang makin lama makin banyak dan akhirnya dapat memenuhi rongga abdomen. Bila penderita tidak dioperasi dan tidak meninggal karena perdarahan, nasib janin bergantung pada kerusakan yang diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin mati dan masih kecil, dapat diresorbsi seluruhnya; bila besar, kelak dapat diubah menjadi litopedion. Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh kantong amnion dan dengan plasenta masih utuh, kemungkinan tumbuh terus dalam rongga perut, sehingga akan terjadi kehamilan abdominal sekunder. Untuk mencukupi kebutuhan makanan bagi janin, plasenta dari tuba akan meluaskan impiantasinya ke jaringan sekitarnya, misalnya ke sebagian utems, ligamentum latum, dasar panggui, dan usus.



Gambaran



Kklinik



Gambaran klinik kehamilan tuba yang belum terganggu tidak khas, dan penderita maupun dokternya biasanya tidak mengetahui adanya kelainan dalam kehamilan, sampai terjadinya abortus tuba atau mprur tuba. Pada umumnya penderita menunjukkan gejala-gejala kehamilan muda, dan mungkin merasa nyeri sedikit di perut bagian bawah yang tidak seberapa dihiraukan. Pada pemeriksaan vaginal uterus membesar dan lembek walaupun mungkin tidak sebesar tvatya kehamilan. Tuba yang mengandung hasil konsepsi karena iembeknya sukar diraba pada pemeriksaan bimanual. Pada pemeriksaan USG sangat membantu menegakkan diagnosis kehamilan ini apakah intrauterin atau kehamilan ektopik. Untuk itu setiap ibu yang memeriksakan kehamilan mudanya sebaiknya dilakukan pemeriksaan USG. Apabila kehamilan ektopik mengalami penl.uiir atau terjadi ruptur pada tuba tempat lokasi nidasi kehamilan ini akan memberikan gejala dan tanda yang khas yaitu timbulnya sakit perut mendadak yang kemudian disusul dengan syok atau pingsan. Ini adalah pertanda khas teriadinya kehamilan ektopik yang terganggu. \X/alau demikian, gejala dan tanda kehamilan tuba terganggu sangat berbeda-beda; dari perdarahan yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya gejala yang tidak jelas, sehingga sukar dibuat diagnosisnya. Gejala dan tanda bergantung pada lamanya kehamilan ektopik terganggu, abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang terjadi, dan keadaan umum penderita sebelum hamil. Nyeri merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu. Pada ruptur tuba



nyeri perut bagian bawah terjadi secara tiba-tiba dan intensitasnya disertai dengan perdarahan yang menyebabkan penderita pingsan dan masuk ke dalam syok. Biasanya pada abortus tuba nyeri tidak seberapa hebat dan tidak terus-menerus. Rasa nyeri



PERDARAHAN PADA KEHAMIIAN MUDA



479



mula-mula terdapat pada satu sisi; tetapi, setelah darah masuk ke dalam rongga perut, rasa nyeri menjalar ke bagian tengah atau ke seluruh perut bawah. Darah dalam rongga perut dapat merangsang diafragma, sehingga menyebabkan nyeri bahu dan bila membentuk hematokel retrouterina, menyebabkan defekasi nyeri. Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan ektopik yang terganggu. Hal ini menunjukkan kematian janin, dan berasal dari kal'um uteri karena pelepasan desidua. Perdarahan yang berasal dari uterus biasanya tidak banyak dan berwarna cokelat tua. Frekuensi perdarahan dikemukakan dari 51 hingga 93 %. Perdarahan berarti gangguan pembentukan human cborionic gonadotropin Jika plasenta mati, desidua dapat dikeluarkan seluruhnya. Amenorea merupakan juga tanda yang penting pada kehamilan ektopik walaupun penderita sering menyebutkan tidak jelasnya ada amenorea, karena gejala dan tanda kehamilan ektopik terganggu bisa langsung terjadi beberapa saat setelah terjadinya nidasi pada saluran tuba yang kemudian disusul dengan ruptur tuba karena tidak bisa menampung pertumbuhan mudigah selanjutnya. Lamanya amenorea bergantung pada kehidupan janin, sehingga dapat bervariasi. Sebagian penderita tidak mengalami amenorea karena kematian janin terjadi sebelum haid berikutnya. Hal ini menyebabkan frekuensi amenorea yang dikemukakan berbagai penulis berkisar dari 23 hingga 97 'h. Pada kehamilan ektopik terganggu ditemukan - pada pemeriksaan vaginal - bahwa usaha menggerakkan serviks uteri menimbulkan rasa nyeri, yang disebut dengan nyeri goyang (+) atau slinger pijn (bahasa Belanda). Demikian pula kawm Douglasi menonjol dan nyeri pada perabaan oleh karena terisi oleh darah. Pada abortus tuba biasanya teraba dengan jelas suatu tumor di samping uterus dalam berbagai ukuran dengan konsistensi agak lunak. Hematokel retrouterina dapat diraba sebagai tumor di kalum Douglasi. Pada ruptur tuba dengan perdarahan banyak tekanan darah dapat menurun dan nadi meningkat; perdarahan lebih banyak lagi menimbulkan syok. Kehamilan ektopik terganggu sangat bervariasi, dari yang klasik dengan gejala perdarahan mendadak dalam rongga perut dan ditandai oleh abdomen akut sampai gejalagejala yang samar-samar, sehingga sukar membuat diagnosis. Pemeriksaan USG dapat dilakukan secara perabdominal atau pervaginam. lJmumnya kita akan mendapatkan gambaran uterus yang tidak ada kantong gestasinya dan mendapatkan gambaran kantong gestasi yang berisi mudigah di iuar uterus. Apabila sudah terganggu (ruptur) maka bangunan kantong gestasi sudah tidak ;'elas, tetapi akan mendapatkan bangunan massa hiperekoik yang tidak beraturan, tidak berbatas tegas, dan di sekitarnya didapati cairan bebas (gambaran darah intraabdominal). Gambar USG kehamilan ektopik sangat bevariasi bergantung pada usia kehamilan, ada tidaknya gangguan kehamilan (ruptur, abortus) serta banyak dan lamanya perdarahan intraabdomen. Diagnosis pasti kehamilan ektopik secara USG hanya bisa diregakkan bila terlihat kantong gestasi berisi mudigah/janin hidup yang letaknya di luar kawm uteri. Narmun, gambaran ini hanya dijumpai pada 5 - 10 % kasus. Sebagian besar kehamilan ektopik tidak memberikan gambaran yang spesifik. IJterus mungkin besarnya normal atau mengalami sedikit pembesaran yang tidak sesuai dengan usia kehamilan. Endometrium menebai ekogenik sebagai akibat reaksi desidua. Kawm uteri sering berisi cairan eksudat yang diproduksi oleh sel-sel desidua, yang pada pe-



480



PERDARAHAN PADA KIHAMIIAN MUDA



meriksaan terlihat sebagai stmktur cincin anekoik yang disebut kantong gestasi palsu (ltsewdogestational sac). Berbeda dengan kantong gestasi yang sebenarnya, kantong gestasi palsu letaknya simetris di karum uteri dan tidak menunjukkan struktur cincin ganda. Seringkali dijumpai massa tumor di daerah adneksa, yang gambarannya sangar bervariasi. Mungkin terlihat kantong gestasi yang masih utuh dan berisi mudigah, mungkin hanya berupa massa ekogenik dengan batas ireguler, araupun massa kompieks yang terdiri atas sebagian ekogenik dan anekoik. Gambaran massa yang tidak spesifik ini mungkin sulit dibedakan dari gambaran yang disebabkan oleh peradangan adneksa, tumor ovarium, ataupun massa endometrioma. Pada 15 - 20 % L,asus kehamilan ektopik tidak dijumpai adanya massa di adneksa. Perdarahan intraabdomen yang terjadi akibat kehamilan ektopik terganggu juga tidak memberikan gambaran spesifik, bergantung pada banyak dan lamanya proses perdarahan. Gambarannya dapat berupa massa anekoik di kawm Douglasi yang mungkin meluas sampai ke bagian aras rongga abdomen. Bila sudah terjadi bekuan darah, gambaran berupa massa ekogenik yang tidak homogen. Gambaran perdarahan akibat kehamilan ektopik sulit dibedakan dari perdarahan atau cairan bebas yang terladi oleh sebab lain, sepeni endometriosis pelvik, peradangan pelvik, asites, pus, kista pecah, dan perdarahan ol'ulasi. Bila kita tidak mempunyai fasilitas USG diagnosis dapat dibantu ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan pungsi karum Douglasi (kuldosentesis) di mana jendalan darah yang melayang-layang di karum Douglasi terisap saat dilakukan pungsi.



Diagnosis Kesukaran membuar diagnosis yang pasti pada kehamilan ektopik belum terganggu demikian besarnya, sehingga sebagian besar penderita mengalami abortus tuba atau ruptur tuba sebelum keadaan menjadi jelas. Bila diduga ada kehamilan ektopik yang belum terganggu, penderita segera dirawat di rumah sakit. Alat bantu diagnostik yang dapat digunakan ialah ultrasonografi, laparoskopi, atau kuldoskopi. Diagnosis kehamilan ektopik terganggu pada jenis mendadak tidak banyak mengalami kesukaran, tetapi pada jenis menahun atau aripik bisa sulit sekaii. Untuk mempertajam diagnosis, maka pada tiap perempuan dalam masa reproduksi dengan keluhan nyeri perut bagian bawah atau keiainan haid, kemungkinan kehamilan ektopik harus dipikirkan. Pada umumnya dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan yang cermar diagnosis dapat ditegakkan, walaupun biasanya alat bantu diagnostik sepeni kuldosentesis, ultrasonografi, dan laparoskopi masih diperlukan Anamnesei. Haid biasanya terlambat untuk beberapa waktu dan kadang-kadang terdapat gejala subjektif kehamilan muda. Nyeri perut bagian bawah, nyeri bahu, tenesmus, dapar dinyatakan. Perdarahan pervaginam terjadi setelah nyeri perur bagian bawah. Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan pemeriksaan hemoglobin dan jumlah sel darah merah berguna dalam menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu, terutama bila ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut. Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit dapat dilakukan secara serial dengan jarak satu jam selama 3 kali berturut-turut. Bila ada penurunan hemoglobin dan hematokrit dapat mendukung diagnosis kehamilan ektopik terganggu. Pada kasus jenis tidak mendadak biasanya



PERDARAHAN PADA K-EHAMILAN MUDA



481



ditemukan anemia; tetapi, harus diingat bahwa penurunan hemoglobin baru terlihat setelah 24 jam. Penghitungan leukosit secara berturut menunjukkan adanya perdarahan bila leukositosis meningkat. Untuk membedakan kehamilan ektopik dari infeksi pelvik, dapat diperhatikan jumlah leukosit. Jumlah leukosit yang melebihi 20.000 biasanya menunjuk pada keadaan yang terakhir. Tes kehamilan berguna apabila positif. Akan tetapi, tes negatif tidak menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik terganggu karena kematian hasil konsepsi dan degenerasi trofoblas menyebabkan produksi hwman chorionic gonadotropin menumn dan menyebabkan tes negatif. Diagnosis kehamilan ektopik terganggu sering keliru dengan abonus insipiens atau abortus inkompletus yang kemudian dilakukan kuretase. Bila hasil kuretase meragukan jumlah sisa hasil konsepsinya, maka kita perlu curiga terjadinya kehamilan ektopik terganggu yang gejala dan tandanya tidak khas. Pada umumnya dilatasi dan kerokan untuk menunjang diagnosis kehamilan ektopik tidak dianjurkan. Berbagai aiasan dapat dikemukakan:



. o



.



Kemungkinan adanya kehamilan dalam uterus bersama kehamilan ektopik; F{anya 12 sampai 1.9 o/o kerokan pada kehamilan ektopik menunjukkan reaksi desidua; Perubahan endometrium yang berupa reaksi Arias-Stella tidak khas untuk kehamilan ektopik. Namun, jika jaringan yang dikeluarkan bersama dengan perdarahan terdiri atas desidua tanpa vili korialis, hal itu dapat memperkuat diagnosis kehamilan ektopik terganggu.



Kuldosentesis adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam kalum ini sangat berguna dalam membantu membuat diagnosis kehamilan ektopik terganggu. Teknik kuldosentesis dapat dilaksanakan dengan urutan



Douglasi ada darah. Cara berikut.



.



Penderita dibaringkan dalam posisi litotomi. dengan antiseptik. . Spekulum dipasang dan bibir belakang porsio dijepit dengan cunam serviks; dengan traksi ke depan sehingga forniks posterior tampak. o Jarum spinal no. 18 ditusukkan ke dalam karum Douglasi dan dengan semprit 10 ml dilakukan pengisapan. . Bila pada pengisapan ditemukan darah, maka isinya disemprotkan pada kain kasa dan diperhatikan apakah darah yang dikeluarkan merupakan:



o Vulva dan vagina dibersihkan



-



darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan membeku; darah ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk; darah tua berwarna cokelat sampai hitam yang tidak membeku, atau yang berupa



bekuan kecil-kecil; darah ini menunjukkan adanya hematokel retrouterina.



l,aparoskopi hanya digunakan sebagai alat bantu diagnostik terakhir untuk kehamilan ektopik apabila hasil penilaian prosedur diagnostik yang lain meragukan. Melalui prosedur laparoskopik, aiat kandungan bagian dalam dapat diniiai. Secara sistematis dinilai keadaan uterus, ovarium, tuba, kawm Douglasi, dan ligamentum latum. Adanya



482



PERDARAHAN PADA K-EHAMILAN MUDA



=-.:-r :-----



Gambar



37-6. Teknik



kuldosentesis



darah dalam rongga pelvis mungkin mempersulit visualisasi alat kandungan, tetapi hal



ini menjadi indikasi untuk dilakukan laparotomi.



Pengelolaan Kebamilan Ektopik Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi. Dalam tindakan demikian, beberapa hal harus diperhatikan dan dipertimbangkan yaitu; kondisi penderita saat itu, keinginan penderita akan fungsi reproduksinya, Iokasi kehamiian ektopik, kondisi anatomik organ pelvis, kemampuan teknik bedah mikro dokter operator, dan kemampuan teknologi fertilisasi invitro setempat. Hasil pertimbangan ini menentukan apakah perlu dilakukan salpingektomi pada kehamilan tuba, arau dapat dilakukan pembedahan konservatif dalam arti hanya dilakukan salpingostomi atau reanasromosis tuba. Apabila kondisi penderita buruk, misalnya dalam keadaan syok, lebih baik dilakukan salpingektomi. Pada kasus kehamilan ektopik di pars ampularis tuba yang belum pecah pemah dicoba ditangani dengan menggunakan kemoterapi untuk menghindari tindakan pembedahan. Kriteria kasus yang diobati dengan cara ini ialah: (1) kehamilan di pars ampularis tuba belum pecah; (2) diameter kantong gestasi < 4 cm; (3) perdarahan dalam rongga perur < 100 ml; (4) tanda vital baik dan stabil. Obat yang digunakan ialah metotreksat 1



PERDARAHAN PADA KEHAMIIAN MUDA



483



mg/kg I.V. dan faktor sitrovorum 0,1 I.M. berselang-seling setiap hari selama 8 ^g/kg hari. Dari seluruh 6 kasus yang diobati, satu kasus dilakukan salpingektomi pada hari ke-12 karena gejala abdomen akut, sedangkan 5 kasus berhasil diobati dengan baik. Prognosis



Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup. Hellman dan kawan-kawan (1,971,) melaporkan 1 kematian di antara 826 kasus, dan Wilson dan kawan-kawan (1,971) 1. anrara 591. Akan tetapi, bila pertolongan terlambat, angka kematian dapat tinggi. Sjahid dan Martohoesodo (1970) mendapatkan angka kematian 2 dari 120 kasus, sedangkan Tarjiman dan kawan-kawan (1973) 4 dari 138 kehamilan ektopik. Pada umumnya kelainan yang menyebabkan kehamilan ektopik bersifat bilateral. steril setelah mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba yang lain. Angka kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan antara 0 7o sampai 14,6 "h. Untuk perempuan dengan anak sudah cukup, sebaiknya pada operasi dilakukan salpingektomi bilateralis. Dengan sendirinya hal ini perlu disetujui oleh suami-isteri



Sebagian perempuan menjadi



sebeiumnya.



Kehamilan Pars Interstisialis Tuba Kehamilan ektopik ini terjadi bila or,,um bernidasi pada para interstisialis tuba. Keadaan ini jarang terjadi dan hanya 1 'h dari semua kehamilan tuba. Ruptur pada keadaan ini terjadi pada kehamilan lebih tua, dapat mencapai akhir bulan keempat. Perdarahan yang terjadi sangat banyak dan bila tidak segera dioperasi, akan menyebabkan kematian.



Tindakan operasi yang dilakukan adalah laparotomi untuk membersihkan isi kavum abdomen dari darah dan sisa jaringan konsepsi serta menutup sumber perdarahan dengan melakukan irisan baji (wedge resection) pada kornu uteri di mana tuba pars interstisialis berada. Perlu diperhatikan pascatindakan ini untuk kehamilan berikutnya.



Kehamilan Ektopik Ganda Sangat jarang kehamiian ektopik berlangsung bersamaan dengan kehamilan intrauterin. Keadaan ini disebut kehamilan ektopik ganda (combined ectopic pregnanqt). Frekuensinya berkisar 1 di antara 15.000 - 40.000 persalinan. Di Indonesia dilaporkan sudah ada beberapa kasus. Pada umumnya diagnosis kehamilan dibuat pada waktu operasi kehamilan ektopik yang terganggu. Pada laparotomi ditemukan - selain kehamilan ektopik - utems yang membesar sesuai dengan tuanya kehamilan, dan 2 kolpora lutea. Pengamatan lebih lanjut adanya kehamilan intrauterin menjadi lebih jelas. Setelah laparotomi untuk mengelola kehamilan ektopiknya kehamilan intrauterin dapat berlanjut seperti kehamilan lainnya.



484



PERDARAHAN PADA KEHAMII-A,N MUDA



Kehamilan Ovarial Kehamilan ovarial primer sangat jarang terjadi. Diagnosis kehamilan tersebut ditegakkan atas dasar 4 kriterium dari Spiegelberg, yakni (1) tuba pada sisi kehamilan harus normal; (2) kantong janin harus berlokasi pada ovarium; (3) kantong janin dihubungkan dengan uterus oleh ligamentum ovari proprium; (4) jaringan ovarium yaog nyata harus ditemukan dalam dinding kantong janin. Kriteria tersebut sebenarnya sukar dipenuhi karena kerusakan jaringan ovarium, pertumbuhan trofoblas yang luas, dan perdarahan menyebabkan topografi kabur, sehingga pengenalan implantasi permukaan on:m sukar



ditentukan dengan pasti. Diagnosis yang pasti diperoleh bila kantong janin kecii, dikelilingi oleh jaringan ovarium dengan trofoblas memasuki alat tersebut. Pada kehamilan ovarial biasanya terjadi ruptur pada kehamilan muda dengan akibat perdarahan dalam perut. Hasil konsepsi dapat pula mengalami kematian sebelumnya, sehingga tidak terjadi ruptur; ditemukan benjolan dengan berbagai ukuran, yang terdiri atas jaringan ovarium yang mengandung darah, mudigah.



vili korialis, dan mungkin juga selaput



Kehamilan Servikal Kehamilan servikal pun sangat jarang terjadi. Bila orum berimplantasi daiam kanalis servikalis, maka akan terjadi perdarahan tanpa nyeri pada kehamilan muda. Jika kehamilan berlangsung terus, serviks membesar dengan ostium uteri eksternum rerbuka sebagian. Kehamilan servikal jarang melampaui 1,2 minggu dan biasanya diakhiri secara operatif oleh karena perdarahan. Pengeluaran hasil konsepsi pervaginam dapat menyebabkan banyak perdarahan, sehingga untuk menghentikan perdarahan diperlukan histerektomia totalis.



Rubin (1911) mengajukan kriteria kehamilan servikal sebagai berikut. Keleniar serviks harus ditemukan di seberang tempat implantasi plasenm; o Tempat implantasi plasenta harus di bawah arteria uterina atau di bawah peritoneum



o



viserale uterus;



o Janin/mudigah tidak boleh terdapat di daerah korpus uterus; . Implantasi plasenta di serviks harus kuat. Kesulitan dalam penilaian kriteria Rubin ialah bahwa harus dilakukan histerektomi atau biopsi jaringan yang adekuat. Oleh sebab iru, Paalman dan McElin (1959) membuat kriteria klinik sebagai berikut.



. .



p



. r



ostium uteri inrernum tertutup; ostium uteri eksternum terbuka sebagian; seluruh hasil konsepsi terletak dalam endoserviks; perdarahan uterus setelah fase amenorea ranpa disertai rasa nyeri; serviks lunak, membesar, dapat lebih besar dari fundus uteri, sehingga terbentuk bowr-ghss uterus.



PERDARAHAN PADA K.E,HAMII-TN MUDA



485



Kehamilan Ektopik Kronik (Hematokel) Istilah kehamilan ektopik kronik di sini dipakai karena pada keadaan ini anatomi sudah kabur, sehingga biasanya tidak dapat ditentukan apakah kehamilan ini kehamilan abdominal, kehamilan tubo-ovarial, atau kehamilan intraligamenter yang ianinnya telah mati disertai adanya gumpalan darah yang semula berasal dari perdarahan ruptur kan-



tong



gestasi yang kemudian perdarahan tersebut berhenti dan menggumpal dalam ben-



tuk kantong jendalan darah. Penderita tidak merasakan sakit lagi, tetapi pada pemeriksaan fisik dan USG didapatkan massa yang berisi jendalan-jendalan darah seperti tersebut di atas. Kehamiian ektopik kronik pada umumnya r.erjadi setelah ruptur tuba atau abortus tuba dan selanjutnya janin dapat tumbuh terus karena mendapat atkup zat-zat makanan dan oksigen dari plasenta yang dapat meluaskan insersinya pada jaringan sekitarnya, seperti tuba, uterus, dan dinding panggul, usus. Bila janin tetap tumbuh membesar dapat benahan hidup sebagai kehamilan abdominal. Pada ibu yang mendambakan punya anak melalui kehamilan ini pada umumnya akan meminta pada dokter untuk tetap mempertahankan kelangsungan kehidupan kehamilannya walaupun kadang-kadang merasa sakit. Dengan pengobatan simptomatis keluhan sakit ini akan berkurang dan pertumbuhan janin dapat berlangsung terus. Kehamilan ini merupakan komplikasi obstetrik yang mempunyai morbiditas dan mortalitas janin yang tinggi dan sangat membahayakan ibu sehingga tidak bijaksana bila kita menemukan kehamilan abdominal masih berupaya untuk mempertahankan sampai genap bulan. Dianjurkan bila diagnosis kehamilan abdominal sudah tegak harus dilakukan laparotomi untuk pengambilan/penghentian kehamilan tersebut. Frekuensi kehamilan abdominal lanjut sangat jarang. Diiaporkan bahwa di rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo dari tahun 1967 hingga tahun 1972, ditemukan 1 kasus kehamilan ektopik lanjut di antara 1.055 persalinan. Berbagai penulis mengemukakan angka-angka untuk kehamilan abdominal sebagai berikut. Cross dan kawan-kawan (1951) 1 di antara 2.207 persalinan, King (1,954) 1 di antara 5.000 persalinan, dan Crowford dan Ward (1957) I di antara 3.161 persalinan. Gambaran klinik pada kehamilan ektopik lanjut bergantung pada keadaan janin yang biasanya terietak dalam kantong janin, umumnya tidak baik dan sebagian besar meninggal. Selain itu, sering ditemukan kelainan kongenital karena sempitnya mangan untuk tumbuh. Bila janin meninggai setelah mencapai umur tertentu, sukar untuk diresorbsi, sehingga akan mengalami supurasi, mumifikasi, kalsifikasi, ata:u adipocere. Pada supurasi bila kantong janin pecah infeksi bisa menyebar; jika penderita tidak meninggal, maka ada kemungkinan bahwa bagian-bagian janin dikeluarkan melewati rektum, kandung kencing, atau dinding perut, bergantung pada lokus minoris resistensi yang terbentuk. Pada keadaan lain janin menjadi mummi atau litopedion, dan tinggal bertahun-tahun di perut. Karena tipisnya kantong janin, penderita merasa gerakan janinnya lebih jelas daripada kehamilan dalam uterus. Jika janin hidup terus, maka setiap waktu kantong janin dapat sobek dengan kemungkinan timbulnya perdarahan yang banyak dalam perut. Kehamilan



486



PERDARAHAN PADA KEHAMIIAN MUDA



mungkin pula berlangsung sampai cukup-bulan. Jika saat ini tercapai, penderita merasa mules seperti akan bersalin (spwriows kbowr), dan janin tidak lama kemudian meninggal. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan anamnesis yang tidak jarang memberi petunjuk adanya kehamilan muda yang disertai dengan perdarahan dan nyeri perut bagian bawah. Penderita merasakan bahwa kehamilan ini tidak berjalan seperti biasa, gejala gastrointestinal nyata, dan gerakan anak dirasakan lebih nyeri. Pada kehamilan lebih lanjut pada pemeriksaan abdomen sering ditemukan kelainan letak janin. Bagian-bagian janin teraba lebih jelas di bawah kulit, walaupun pada multipara dan perempuan dengan dinding perut yang tipis kesan tersebut kadang-kadang juga diperoleh. Kontraksi Braxton-Hicks pada tumor berisi janin tidak dapat ditimbulkan seperti pada kehamilan dalam uterus. Pada pemeriksaan vaginal seringkali didapatkan serviks terletak tinggi di vagina dan biasanya tidak seberapa besar dan lembek seperti pada kehamilan intrauterin. Benda sebesar tinju kecil berhubungan dengan serviks tidak jarang ditemukan di samping atau di depan tumor berisi janin, Benda itu ialah uterus. Bahwa tumor itu benar uterus, dapat dibuktikan dengan timbulnya kontraksi bila penderita diberi suntikan 1 satuan oksitosin intramuskulus. Pemeriksaan dengan foto rontgen sering menunjukkan janin dalam letak melintang, miring, atau dalam sikap dan lokasi yang abnormal. Pada pemeriksaan ulangan lokasi janin tetap sama. Pada saat ini pemeriksaan dengan ultrasonografi sangat membantu dalam diagnostik kehamilan ektopik lanjut. Pengelolaan pada kehamilan ektopik lanjut dengan janin hidup, dengan pecahnya kantong janin selalu ada bahaya perdarahan dalam rongga perut. Hal ini dapat timbul setiap waktu. Maka dari itu, setelah diagnosis dibuat, perlu segera dilakukan operasi tanpa memandang tuanya kehamilan. Persediaan darah paling sedikit 1 liter karena perdarahan yang sangat banyak dapat terjadi bila plasenta tanpa disengaja untuk sebagian dilepas. Hemostatis rempat implantasi plasenta pada kehamiian ektopik lanjut tidak ada karena alavalat sekitar uterus tidak mengandung otot yang dapat menutup pembuluh darah pada bekas implantasi plasenta, seperti pada kehamilan intrauterin. Jika janin sudah meninggal, operasi perlu juga dilakukan, akan tetapi keadaannya tidak begitu mendesak. Setelah dinding perut dibuka, selaput janin dipotong pada daerah yang mengandung sedikit pembuluh darah, janin dikeluarkan hati-hati, dan dihindarkan tarikan yang berlebihan pada tali pusat. Tali pusat dipotong dekat pada plasenta dan plasenta pada



umumnya ditinggali 140/90 mmHg. Kenaikan sistolik > 30 mmHg dan kenaikan diastolik 2 15 mmHg tidak dipakai lagi sebagai kriteria preeklampsia. Proteinuria: ) 300 mgl24 jam atau > 1 + dipstik. -



r



Edema: edema lokal tidak dimasukkan dalam kriteria preeklampsia, kecuaii edema pada lengan, muka dan perut, edema generalisata2e.



Manaiemen umum preeklampsia ringan Pada setiap kehamilan disertai pen1.u1it suatu penyakit, maka selalu dipertanyakan, bagaimana:



-



sikap terhadap penyakitnya, berarti pemberian obat-obatan, atau terapi medikamentosa



-



r



sikap terhadap kehamilannya; berarti mau diapakan kehamiian ini apakah kehamilan akan diteruskan sampai aterm? Disebut perawatan kehamilan "konservatif" atau "ekspektatif" r apakah kehamilan akan diakhiri (diterminasi)? Disebut perawatan kehamilan "aktif" atau "agresif"3o



.



Tujuan utama perawatan preeklampsia Mencegah kejang, perdarahan intrakranial, mencegah gangguan fungsi organ vital, dan



melahirkan bayi sehat.



o Rawat ialan (ambulatoir)



Ibu hamil dengan preeklampsia ringan dapat dirawat secara ra'wat jalan. Dianjurkan



ibu hamil banyak istirahat (berbaring/tidur miring), tetapi tidak harus mutlak selalu tirah baring31. Pada umur kehamilan di atas 20 minggu, tirah baring dengan posisi miring menghilangkan tekanan rahim pada v. kava inferior, sehingga meningkatkan aiiran darah balik dan akan menambah curah jantung. Hal ini berarti pula meningkatkan aliran



544



o



o



HIPERI'L,NSI DALAM KEHAMILAN



darah ke organ-organ vital. Penambahan aliran darah ke ginjal akan meningkatkan filtrasi glomeruli dan meningkatkan diuresis. Diuresis dengan sendirinya meningkatkan ekskresi natrium, menurunkan reaktivitas kardiovaskular, sehingga mengurangi vasospasme. Peningkatan curah jantung akan meningkatkan pula aliran darah rahim, menarnbah oksigenasi plasenra, dan memperbaiki kondisi janin dalam rahim. Pada preeklampsia tidak perlu dilakukan restriksi garam sepanjang fungsi ginjal masih normal. Pada preeklampsia, ibu hamil umumnya masih muda, berarti fungsi ginjal masih bagus, sehingga tidak perlu restriksi garam. Diet yang mengandung 2 g natrium atau 4 - 6 g NaCl (garam dapur) adalah cukup. Kehamilan sendiri lebih banyak membuang garam lewat ginjal, tetapi pertumbuhan janin justeru membutuhkan lebih banyak konsumsi garam. Bila konsumsi garam hendak dibatasi, hendaknya diimbangi dengan konsumsi cairan yang banyak, berupa susu atau air buah. Diet diberikan cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya, dan roboransia pranatal. Tidak diberikan obat-obat diuretik, antihipertensi, dan sedatif. Dilakukan pemeriksaan laboratorium Hb, hematokrit, fungsi hati, urin lengkap, dan fungsi gin.jal. Rawat inap (dirawat di rumah sakit) Pada keadaan tertentu ibu hamil dengan preeklampsia ringan perlu dirawat di rumah sakit. Kriteria preeklampsia ringan dirawat di rumah sakit, ialah (a) bila tidak ada perbaikan : tekanan darah, kadar proteinuria selama 2 minggu; (b) adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsia berat. Selama di rumah sakit dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorik. Pemeriksaan kesejahteraan ;'anin, berupa pemeriksaan USG dan Doppler khususnya untuk evaluasi pertumbuhan janin dan jumlah cairan amnion. Pemeriksaannonstress resr dilakukan 2 kali seminggu dan konsultasi dengan bagian mata, janrung, dan lain-lain. Perawatan obstetrik yaitu sikap terhadap kehamilannya Menurut \Williarns, kehamilan preterm ialah kehamilan antara 22 minggu sampai < 37 minggu32.



Pada kehamilan preterm (< 37 minggu), bila rekanan darah mencapai normotensif, selama perawatan, persalinannya ditunggu sampai arerm. Sementara itu, pada kehamilan aterm (> 37 minggu), persalinan ditunggu sampai terjadi onset persaiinan atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan pada taksiran tanggal persalinan. Persalinan dapat dilakukan secara spontan; bila



perlu memperpendek kala II. Preeklampsia Berat



.



Definisi



.



Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik > 160 mmHg dan tekanan darah diastolik > i10 mn-rHg disertai proteinuria lebih 5 {24 iam33. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasar kriteria preeklampsia berat sebagaimana tercantum di bawah ini.



HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN



545



Preeklampsia digolongkan preeklampsia berat bila ditemukan satu atau lebih gejala sebagai berikut3a.



-



Tekanan darah sistolik > 160 mmHg dan tekanan darah diastolik > 110 mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan sudah menl'alani tirah baring. Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4 * dalam pemeriksaan kualitatif. Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam. Kenaikan kadar kreatinin plasma. Gangguan visus dan serebral: penunrnan kesadaran, nyeri kepala, skotoma dan pandangan kabur.



-



Nyeri epigastrium atau nyeri



pada kuadran kanan atas abdomen (akibat teregangnya



kapsula Glisson).



-



Edema pam-paru dan sianosis.



Hemolisis mikroangiopatik. Trombositopenia berat: < 100.000 sel/mml arau penunlnan trombosit dengan cepat.



-



Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoselular): peningkatan kadar alanin dan asP



-



artate amin otran



sferas e



Pertumbuhan ianin intrauterin yang terhambat. Sindrom HELLP.



Penrbagian preeklampsi a berat Preeklampsia berat dibagi menjadi (a) preeklampsia berat anpa impending eclampsia dan (b) preeklampsia berat dengan impending eclampsia. Disebut impending eckmpsia bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala subjektif berupa nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan progresif tekanan darah. Perawatan dan pengobatan preeklampsia berat Pengelolaan preeklan-rpsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang, pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyuiit organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan.



Monitoring selama di rumah sakit Pemeriksaan sangat teliti diikuti dengan observasi harian tentang tanda-tanda klinik berupa: nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium, dan kenaikan cepat berat badan. Selain itu, perlu dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran proteinuria, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan USG dan NST. Manajemen umum perawatan preeklampsia berat Perawatan preeklampsiaberat sama halnya dengan perawatan preeklampsia ringan, dibagi menjadi dua unsur: - Sikap terhadap penyakitnya, yaitu pemberian obat-obat atau terapi medisinalis. - Sikap terhadap kehamilannya ialah:



546



HIPEMENSI DAI-AM KL,HAMIIAN



. Aktif: manajemen agresif, kehamilan



diakhiri (terminasi) seriap saat bila keada-



an hemodinamika sudah stabil.



Sikap terhadap penyakit: pengobatan medikamentosa



.



Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan



dianjurkan tirah baring miring ke saru sisi (kiri). Perawatan yang pendng pada preeklampsia berat ialah pengelolaan cairan karena pen-



derita preeklampsia dan eklampsia mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan oliguria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi fakror yang sangat menentukan terjadinya edema paru dan oliguria ialah hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan gradien tekanan onkotik koloid/pulmonary



.



capillary wedge pressure. OIeh karena itu, monitoring input cairan (melalui oral ataupun infus) dan output cairan (melalui urin) menjadi sangat penting. Ardnya harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa jumlah cairanyang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi tanda-tanda edema pam, segera dilakukan tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat berupa (a) 5 % Ringer-dekstrose atau cairan garam faali jumlah tetesan: < 1.25 cc/jam atau (b) Infus Dekstrose 5 7o yang tiap 1 liternya diselingi dengan infus Ringer laktat (60 - 125 cc/jam) 500 cc. Dipasang Folqt catbeter untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria terjadi bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2 - 3 jam arau < 5A0 cc/24 jam. Diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat menghindari risiko aspirasi asam lambung yang sangar asam. Diet yang cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam. Pemberian obat antikejang - Obat antikejang adalah: . MgSOa . Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang:



o o



Diasepam



Fenitoin Difenihidantoin obat antikejang untuk epiiepsi telah banyak dicoba pada penderita eklampsia. Beberapa peneliti telah memakai bermacam-macam regimen. Fenitoin sodium mempunyai khasiat stabilisasi membran neuron) cepat masuk jaringan otak dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin sodium diberikan dalam dosis 15 mglkg berat badan dengan pemberian intravena 50 mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat. Pengalaman pe-



makaian Fenitoin di beberapa senter di dunia masih sedikit. Pemberian magnesium sulfat sebagai antikejang lebih efektif dibanding fenitoin; berdasar Cochrane Review terhadap enam uji klinik, yang melibatkan 897 penderita eklampsia3s.



Obat antikejang yang banyak dipakai di Indonesia adalah magnesium sulfat (MgSO+7HzO)7,36.



HiPEMENSI DAIAM KEHAMILAN



547



Magnesium sulfar menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium). Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk antikejang pada preeklampsia atau eklampsia. Banyak cara pemberian Magnesium sulfat3i-8. Cara pemberian: Magnesium sulfat regimen3e,ao



. . .



Load.ing dose:



initial



dose



4 gram MgSOa: intravena, (40 % dalam 10 cc) selama 15 menit. Maintenance dose:



Diberikan infus 5 gram dalam larutan Ringer/6 jam; atau diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram i.m. tiap 4 - 6 jam. Syarat-syarat pemberian MgSOa:



o Harus



. .



tersedia antidotum MgSOa, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium giukonas 1.0 "/" : 1 g (10 "/o dalam 10 cc) diberikan i.v. 3 menit. , Refleks patella (+) kuat. o Frekuensi pernapasan > 16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda distres napas. Magnesium sulfat dihentikan bila: o Ada tanda-tanda intoksikasi o Setelah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir Dosis terapeutik dan toksis MgSOa o Dosis terapeutik 4 - 7 mEor/liter 4,8 * 8,4 mg/dl o Hiiangnya refleks tendon 10 mEq/liter 12 mgldl o Terhentinya pernapasan 15 mEq/liter 18 mg/dl > 36 mg/dl o Terhentinya jantung > 30 mEq/liter Pemberian Magnesium sulfat dapat menurunkan risiko kematian ibu dan didapatkan 50'/" dari pemberiannya menimbulkan efekflushes (rasa panas).



.



Bila terjadi refrakter terhadap pemberian MgSOa, maka diberikan salah satu obat berikut: tiopental sodium, sodium amobarbital, diasepam, atau fenitoin.



Diuretikum tidak diberikan



secara rutin, kecuali bila ada edema pam-pam, payah jan-



tung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah Furosemida. Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat hipovolemia, memperburuk perfusi utero-plasenta, meningkarkan hemokonsentrasi, menimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat janin.



.



Pemberian antihipertensi. Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas (cut ffi rckanan darah, untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort mengusulkan cut offyang dipakai adalah > 160/ll0 mmHg dan MAP > 126 mmHg.



s48



HIPERTENSI DAI-A,M KEHAMILAN



Di RSU Dr. Soetomo Surabaya batas tekanan darah pemberian anrihipertensi iaiah apabila rekanan sistolik 2 180 mmHg dan/aau tekanan diastolik 2 110 mmHg. Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yairu penurunan awal 25 "k dari tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan mencapai < 160/105 atau MAP < 1,25. Jenis antihipertensi yang diberikan sangar bervariasi. Berdasarkan Cochrane Review atas 40 studi evaluasi yang melibatkan 3.797 perempuan hamil dengan preeklampsia, Duley menyimpulkan, bahwa pemberian antihipertensi pada preeklampsia ringan maupun preeklampsia berat tidak jelas kegunaannyaal. Di sisi iain Hendorson, dalam Cochrane Review, juga meneliti 24 uji klinik yang melibatkan 2.949 ibu dengan hipertensi dalam kehamilan, menyimpulkan bahwa sampai didapatkan bukd yang lebih teruji, maka pemberian jenis antihipertensi, diserahkan kepada para klinikus masing-masing, yang tergantunB pengalaman dan pengenalan dengan obat tersebut. Ini berarti hingga sekarang belum ada antihipertensi yang terbaik untuk pengobatan hipertensi dalam kehamilan. Namun yang harus dihindari secara mutlak, sebagai antihipertensi, ialah pemberian diazokside, ketanserin, nimodipin, dan magnesium sulfata2. - Antihipertensi lini pertama



Nifedipin Dosis 10 -20 mg per oral, diulangi setelah 30 menit; maksimum 120 mg dalam 24 jawft.



-



Antihipertensi lini kedua



-



Antihipertensi sedang dalam penelitian



Sodium nitoprusside;0,25 pg i.v./kg/menit, infus; ditingkatkan 0,25 pg i.v./kg/ 5 menit, Diazohside:30 - 60 mg i.v./5 menit; atau i.v. infus 1O mg/menit/ dititrasi.



Calcium channel blockers; isradipin, nimodipin Serotinin reseptor antagonis: ketan serin Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Indonesia adalah:



Nifedipin Dosis awal: 1,0 - 20 mg, diulangi 30 menit bila perlu. Dosis maksimum 120 mg per 24 jam Nifedipin tidak boleh diberikan sublingual karena efek vasodilatasi sangat cepat, sehingga hanya boleh diberikan per oral. Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Amerika adalah hidralalazin (apresoline) injeksi (di Indonesia tidak ada), suatu vasodilator langsung pada arteriole yang menimbulkan refleks takikardia, peningkatan cardiac output, sehingga memperbaiki perfusi utero-plasenta. Obat antihipertensi lain adalah labetalol injeksi, suatu q1 bloker, non selektif B bloker. Obat-obat antihipertensi yang tersedia dalam bentuk suntikan di Indonesia ialah klonidine (Catapres). Satu ampul mengandung 0,15 mg/cc. K.lonidine 1 ampul dilarutkan dalam 10 cc larutan garam faali atau larutan air untuk suntikan.



HIPERTENSI DALAM KEHAMII-A.N



.



549



Edema paru Pada preeklampsia berat, dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik (payah jantung



ventrikel kiri akibat peningkatan arterload) atau non-kardiogenik (akibat kerusakan



.



sel endotel pembuluh darah kapilar paru). Prognosis preeklampsia berat menjadi buruk bila edema paru disertai oliguria.



Glukokortikoid Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru .ianin tidak merugikan ibu. Diberikan pada kehamilan 32 34 minggu, 2 x 24 jam. Obat ini fuga diberikan pada



sindrom HELLP.



-



Sikap terhadap kehamilannya Penelitian Duley, berdasar Cochrane Review, terhadap dua uji klinik, terdiri atas 133 ibu dengan preeklampsia berat hamil preterm, menyimpulkan bahwa belum ada cukup data untuk memberi rekomendasi tentang sikap terhadap kehamilannya pada kehamilan preterm44,



Berdasar Villiams Obstetrics3e, ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala preeklampsia berat selama perawatan; maka sikap terhadap kehamilannya dibagi menjadi: 1.



Aktif



o



Perawatan



(agressive management): berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa. 2. Konservatif (ekspektatif): berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa.



-



Aktif



(agresi{): sambil memberi pengobatan, kehamilan diakhiri. Indikasi perawaran aktif ialah bila didapatkan satu/lebih keadaan di bawah ini:



.



Ibu



o lJmur kehamiian > 37 minggu. Lockwood dan Paidas mengambil batasan umur kehamllan > 37 minggu untuk preeklampsia ringan dan batasan umur



o



kehamilan > 37 minggu untuk preeklampsia berata5 Adanya tanda 2jam >1jam



574



PERSALINAN LAMA



Hauth dkk.10 melaporkan bahwa agar induksi atau akselerasi persalinan dengan oksitosin efektif, 90 persen ibu mencapai 200 sampai 250 satuan Montevideo, dan 40 persen mencapai paling sedikit 300 satuan Montevideo. Hasil-hasil ini mengisyaratkan bahwa terdapat batas-batas minimal tertentu pada aktivitas utems yang harus dicapai sebelum dilakukan seksio sesarea atas indikasi distosia. Oleh karena itu, American College of Obstetricians and Gynecologists menyarankan bahwa sebelum ditegakkan diagnosis kemacetan pada persalinan kala satu, kedua kriteria ini harus dipenuhi. 1. Fase laten telah selesai, dengan serviks membuka



4 cm atau lebih.



2. Sudah terjadi pola kontraksi uterus sebesar 200 satuan Montevideo atau lebih dalam periode 10 menit selama 2 jam anpa perubahan pada serviks.



Penurwnan Kepala Janin pada Persalinan



Aktif



Penurunan diarneter biparietal janin sampai setinggi spina iskiadika panggul rbu (station



0) disebut sebagai engagenxent. Friedman dan Sachtleben melaporkan keterkaitan yang bermakna antara station (penurunan) yang tinggi saat awitan persalinan dengan distosia pada tahap selanl'utnya. Mereka melaporkan terjadinya partus lama dan partus macet pada ibu dengan station kepala janin di atas * 1 cm dan bahwa semakin tinggi sution saat persalinan dimulai pada nulipara, semakin lama persalinan berlangsung. Handa dan LarosT mendapatkan bahwa penurunan janin pada saat persalinan macet juga menipakan faktor risiko distosia. Roshanter dkk.11 menganalisis penurunan janin pada 803 nulipara yang melahirkan aterm setelah persalinan aktif didiagnosis. Sekitar 30 persen di antara mereka yang datang ke rumah sakit dengan kepala janin terletak pada atau di bawah station 0, dan angka seksio sesarea adalah 5 persen dibandingkan dengan 14 persen pada mereka yang penurunan janinnya lebih tinggi. Namun, prognosis unruk distosia tidak berkaitan dengan penumnan kepala janin yang lebih tinggi di atas bidang tengah panggul (sation 0). Yang utama, 85 persen ibu nulipara tanpa masuknya kepaia janin saat didiagnosis persalinan aktif kemudian melahirkan pervaginam. Dengan demikian, tidak masuknyakepala pada permulaan persalinan, walaupun secara starisrik merupakan faktor risiko untuk distosia, seyogianya tidak dianggap pasti mengisyaratkan adanya disproporsi sefalopelvik. Hal ini terutama berlaku untuk ibu multipara karena penurunan kepala janin saat persalinan biasanya terjadi relatif belakangan.



Kelainan Kala Dua Kala Dwa Memanjang Tahap ini berawal saat pembukaan serviks telah lengkap dan berakhir dengan keluarnya janin. Median durasinya adalah S0 menit untuk nulipara dan 20 menit untuk multipara, tetapi angka ini juga sangat bervariasi. Pada ibu dengan paritas tinggi yang vagina dan perineumnya sudah melebar, dua atav tiga kali usaha menge;'an setelah pembukaan lengkap mungkin cukup untuk mengeluarkan janin. Sebaliknya, pada seorang ibu dengan



PERSALINAN LAMA



575



panggul sempit atau ianin besar, atau dengan kelainan gaya ekspulsif akibat anestesia regional atau sedasi yang berat, maka kala dua dapat sangat memanjang. Kilpatrick dan Larosl2 melaporkan bahwa rata-rata persalinan kala II, sebelum pengeluaran janin spontan, memanjang sekitar 25 menit oleh anestesia regional. Seperti telah disebutkan, tahap panggul atau penumnan janin pada persalinan umumnya berlangsung setelah pembukaan lengkap. Selain itu, kala Ii melibatkan banyak gerakan pokok yang penting agar janin dapat melewati jalan lahir. Selama ini terdapat aturan-aturan yang membatasi durasi kala II. Kala II persalinan pada nulipara dibatasi 2 jam dan diperpanjang sampai 3 jam apabila digunakan analgesia regional. Untuk multipara satu jam adalah batasnya, diperpanjang menjadi 2 jam pada penggunaan anaigesia regional. Pemahaman kita tentang durasi normal persalinan manusia mungkin tersamar oleh banyaknya variabel klinis yang mempengaruhi pimpinan persalinan. Kiipatrick dan Laros melaporkan bahwa rat^-rata lama persalinan kala I dan kala II adalah sekitar 9 jampada nulipara tanpa analgesia regional, dan bahwa batas atas persentil 95 adalah 18,5 jam. \flaktu yang serupa untuk ibu multipara adalah sekitar 6 jam dengan persentil 95 adalah 13,5 jam. Mereka mendefinisikan awitan persalinan sebagai waktu saat ibu mengalami kontraksi teratur yang nyeri setiap 3 sampai 5 menit menyebabkan pembukaan serviks. Setelah pembukaan lengkap, sebagian besar ibu tidak dapat menahan keinginan untuk "mendorong" setiap kali uterus berkontraksi. Biasanya, mereka menarik napas dalam, menutup glotisnya, dan melakukan kontraksi otot abdomen secara beruiang dengan kuat untuk menimbulkan peningkatan tekanan intraabdomen sepanjang kontraksi. Kombinasi gayayang ditimbulkan oleh kontraksi uterus dan otot abdomen akan mendorong janin ke bawah. Menuntun ibu yang bersangkutan untuk mengejan "menge.1'an" atau



yang kuat, atau membiarkan mereka mengikuti keinginan mereka sendiri untuk mengejan, dilaporkan tidak memberi manfaat.



Penyebab Kurang Adekuatnya Gaya Ekspwkif



Kekuatan gaya yang dihasilkan oleh kontraksi otot abdomen dapat terganggu secara bermakna sehingga bayi tidak dapat lahir secara spontan melalui vagina. Sedasi berat kemungkinan besar atau anestesia regional epidural lumbal, kaudal, atau intratekal mengurangi dorongan- refleks untuk mengejan, dan pada saat yang sama mungkin mengurangi kemampuan pasien mengontraksikan otot-otot abdomen. Pada beberapa kasus, keinginan alami untuk mengejan dikalahkan oleh menghebatnya nyeri yang timbul akibat mengejan. Pemilihan jenis analgesia yang cermat dan waktu pemberiannya sangat penting untuk menghindari gangguan upaya ekspulsif voluntar. Dengan sedikit pengecualian, analgesia intratekal atau anestesia umum jangan diberikan sampai semua kondisi untuk pelahiran dengan forseps pintu bawah panggul (outlet forceps) yang aman telah terpenuhi. Pada analgesia epidural kontinu, efek paralitik mungkin perlu dibiarkan menghilangkan sendiri sehingga yang bersangkutan dapat menghasilkan tekanan intraabdomen yang cukup kuat untuk menggerakkan kepala janin ke posisi yang sesuai untuk pelahiran dengan



576



PERSALINAN I-A,MA



forseps pintu bawah panggul. Piiihan lain, pelahiran dengan forseps tengah yang mungkin sulit atau seksio sesarea, merupakan pilihan yang kurang memuaskan apabila tidak terdapat tanda-tanda gawat janin.



Bagi ibu yang kurang dapat mengejan dengan benar setiap kontraksi karena nyeri hebat, analgesia mungkin akan memberi banyak manfaat. Mungkin pilihan paling aman untuk janin dan ibunya adalah nitrose oksida, yang dicampur dengan volume yang sama dengan oksigen dan diberikan saar seriap kali konraksi. Pada saar yang sama, dorongan dan instruksi yang sesuai kemungkinan besar memberi manfaat.



Dampak Persalinan l-ama pada Ibu-janin Persalinan lama dapat menimbulkan konsekuensi serius bagi salah satu atau keduanya sekaligus.



Infeksi Intapartwm Infeksi adalah bahay a yang serius yang mengancam ibu dan janinnya pada partus lama, temtama bila disertai pecahnya ketuban. Bakteri di dalam cairan amnion menembus amnion dan menginvasi desidua serta pembuluh korion sehingga terjadi bakteremia dan sepsis pada ibu dan janin. Pneumonia pada janin, akibat aspirasi cairan amnion yang terinfeksi, adalah konsekuensi serius lainnya. Pemeriksaan serviks dengan jari tangan akan memasukkan bakteri vagina ke dalam uterus. Pemeriksaan ini harus dibatasi selama persalinan, terutama apabila dicurigai terjadi persalinan lama.



Ruptwra Uteri Penipisan abnormal segmen bawah uterus menimbulkan bahaya serius selama partus lama, terutamapada ibu dengan paritas tinggi dan pada mereka dengan riwayat seksio sesarea. Apabila disproporsi antara kepala janin dan panggul sedemikian besar sehingga kepala tidak cakap (engaged) dan tidak terjadi penurunan, segmen bawah uterus menjadi sangat teregang kemudian dapat menyebabkan ruptura. Pada kasus ini, mungkin terbentuk cincin retraksi patologis yang dapat diraba sebagai sebuah krista transversal atau oblik yang berjalan melintang di uterus antara simfisis dan umbilikus. Apabila dijumpai keadaan ini, diindikasikan persalinan perabdominam segera.



Cincin Retraksi Patologis \Talaupun sangat jarang, dapat timbul konstriksi atau cincin lokal uterus pada persalinan yang berkepanjangan. Tipe yang paling sering adalah cincin retraksi patoiogis Bandl, yaitu pembentukan cincin retraksi normal yang beriebihan. Cincin ini sering



timbul akibat persalinan yang terhambat, disertai peregangan dan penipisan berlebihan segmen bawah utems. Pada situasi semacam



ini cincin dapat terlihat jelas sebagai suatu



PERSALINAN TAMA



577



indentasi abdomen dan menandakan ancaman akan nrpturnya segmen bawah utenrs. Konstriksi uterus lokal jarang dijumpai saat ini karena terhambatnya persalinan secara berkepanjangan tidak lagi dibiarkan. Konstriksi lokal ini kadang-kadang masih terjadi sebagai konstriksi jam pasir (hourglass constriction) uterus setelah lahirnya kembar pertama. Pada keadaan ini, konstriksi tersebut kadang-kadang dapat dilemaskan dengan anestesia umum yang sesuai dan janin dilahirkan secara normal, tetapi kadang-kadang seksio sesarea yang dilakukan dengan segera menghasilkan prognosis yang lebih baik bagi kembar kedua.



Pembentwkan Fistwla



Apabila bagian terbawah janin menekan kuat ke pintu atas panggul, tetapi tidak maiu untuk jangka waktu yang cukup lama, bagian jalan lahir yang terletak di antaranya dan dinding panggul dapat mengalami tekanan yang berlebihan. Karena gangguan sirkulasi, dapat terjadi nekrosis yang akan jelas dalam beberapa hari setelah melahirkan dengan munculnya fistula vesikovaginal, vesikoservikal, atau rektovaginal. lJmumnya nekrosis akibat penekanan ini pada persalinan kala dua yang berkepanjangan. Dahulu, saat tindakan operasi ditunda selama mungkin, peny'ulit ini sering di.iumpai, tetapi saat ini jarang terjadi kecuali di negara-negarayang belum berkembang. Cedera Otot-otot Dasar Panggwl Suatu anggapan yang telah lama dipegang adalah bahwa cedera otot-otot dasar panggul atau persarafan atau fasia penghubungnya merupakan konsekuensi yang tidak terelakkan pada persalinan pervaginam, temtama apabila persalinannya sulit. Saat kelahiran bayr, dasar panggul mendapat tekanan langsung dari kepala janin serta tekanan ke bawah akibat upaya mengejan ibu. Gaya-gaya ini meregangkan dan melebarkan dasar panggul sehingga terjadi perubahan fungsional dan anatomik otot, saraf, dan jaringan ikat. Terdapat semakin besar kekhawatiran bahwa efek-efek pada otot dasar panggul selama melahirkan ini akan menyebabkan inkontinensia urin dan alvi serta prolaps organ panggul. Karena kekhawatiran ini, dalam sebuah jajak pendapat baru-baru ini terhadap ahli kebidanan perempuan di Inggris, 30 persen menyatakan kecenderungan melakukan seksio sesarea daripada persalinan pervaginam dan menyebut alasan pilihan mereka yaitu menghindari cedera dasar panggul. Sepanjang sejarah obstetri, intervensi yang ditujukan untuk mencegah cedera dasar panggul telah lama dilakukan. Sebagai contoh, pada tahun 1920 DeLee menyarankan persalinan dengan forseps profilaktik untuk mengurangi peregangan terhadap otot dan saraf pada persalinan kala dua dan untuk melindungi dasar panggul serta fasia di dekatnya dari peregangan berlebihan. Namun, kemajuan dalam bidang obstetri pada abad ke-20 umumnya difokuskan untuk memperbaiki prognosis neonatus serta morbiditas dan mortalitas ibu akibat preeklampsia, infeksi, dan perdarahan obstetri. Contoh klasik cedera melahirkan adalah robekan sfingter ani yang terjadi saat persalinan pervaginam. Robekan ini terjadi pada 3 sampai 6 persen persalinan dan sekitar



PERSALINAN IAMA



578



separuh dari mereka kemudian mengeluhkan adanya inkontinensia alvi atau gas. Walaupun proses persalinan jelas berperan penting dalam cedera dasar panggul, insiden, dan jenis cedera yang dilaporkan sangat bervariasi antara beberapa penelitian. Saat ini masih terdapat ketidakjelasan mengenai insiden cedera dasar panggul akibat proses melahirkan dan informasi tentang peran relatif proses obstetrik yang mendahuluinya masih terbatas.



Efek pada Janin Partus iama itu sendiri dapat merugikan. Apabila panggul sempit dan juga terjadi ketuban pecah lama serta infeksi intrauterus, risiko janin dan ibu akan muncul. Infeksi intrapartum bukan saja merupakan penyulit yang serius pada ibu, tetapi juga merupakan penyebab penting kematian janin dan neonatus. Hal ini disebabkan bakteri di dalam cairan amnion menembus selaput amnion dan menginvasi desidua serta pembuluh korion, sehingga terjadi bakterimia pada ibu dan janin. Pneumonia janin, akibat aspirasi cairan amnion yang terinfeksi, adalah konsekuensi serius lainnya.



Kaput Suksedanewm Apabila panggul sempit, sewaktu persalinan sering terjadi kapur suksedaneum yang besar di bagian terbawah kepala janin. Kaput ini dapat berukuran cukup besar dan menyebabkan kesalahan diagnostik yang serius. Kaput dapat hampir mencapai dasar panggul sementara kepala sendiri belum cakap. Dokter yang kurang beqpengalaman dapat melakukan upaya secara prematur dan tidak bijak untuk melakukan ekstraksi forseps. Biasanya kaput suksedaneum, bahkan yang besar sekalipun, akan menghilang dalam beberapa hari.



Molase Kepala



lanin



Akibat tekanan his yang kuat, lempengJempeng tulang tengkorak saling bertumpang tindih satu sama lain di sutura-sutura besar, suatu proses yang disebut molase (molding mouhge). Biasanya batas median tulang parietal yang berkontak dengan promontorium benumpang tindih dengan tulang di sebelahnya; hal yang sama terjadi pada tulang-tulang



frontal. Namun, tulang oksipital terdorong ke bawah tulang parietal. Perubahanini sering terjadi tanpa menimbulkan kerugian yang nyaa. Di lain pihak,



perubahan



apabila distorsi yang terjadi mencolok, molase dapat menyebabkan robekan tentorium, laserasi pembuluh darah janin, dan perdarahan intrakranial pada janin. Sorbe dan Dahlgren mengukur diameter kepala janin saat lahir dan membandingkannya dengan pengukuran yang dilakukan 3 hari kemudian. Molase paling besar terjadi pada diameter suboksipitobregmatika dan besarnya rata-rata 0,3 cm dengan kisaran sampai 1,5 cm. Diameter biparietal tidak dipengaruhi oleh molase kepala janin. Faktor-faktor yang berkaitan dengan molase adalah nuliparitas, srimulasi persalinan



PERSALINAN LAMA



s79



dengan oksitosin, dan pengeluaran janin dengan ekstraksi vakum. Carlan dkk. melaporkan suatu mekanisme penguncian (locbing mechanism) saat tepi-tepi bebas tulang kranium saling terdorong ke arah yang lainnya, mencegah molase lebih lanjut dan mungkin melindungi otak janin. Mereka juga mengamati bahwa molase kepala janin yang parah dapat terjadi sebelum persalinan. Holland melihat bahwa molase yang parah dapat menyebabkan perdarahan subdura fatal akibat robeknya septum duramater, terurama tenrorium serebeli. Robekan semacam ini dijumpai baik pada persalinan dengan komplikasi maupun persalinan normal. Bersamaan dengan molase, tulang parietal, yang berkontak dengan promontorium, memperlihatkan tanda-tanda mendapat tekanan besar, kadang-kadang bahkan menjadi datar. Akomodasi lebih mudah terjadi apabila tulang-tulang kepala belum mengalami osifikasi sempurna. Proses penting ini mungkin dapat menjadi salah satu penjelasan adanya perbedaan dalam proses persaiinan dari dua kasus yang tampak serupa dengan ukuran-ukuran panggul dan kepala identik. Pada satu kasus, kepala lebih lunak dan mudah mengalami molase sehingga janin dapat lahir spontan. Pada yang lain, kepala yang mengalami osifikasi tahap lanjut tetap mempertahankan bentuknya sehingga ter-



jadi distosia. Tanda-tanda khas penekanao dapat terbentuk di kulit kepala, pada bagian kepala yang melewati promontorium. Dari lokasi tanda-tanda tersebut, kita sering dapat memastikan gerakan yang dialami kepala sewaktu melewati pintu atas panggul. Walaupun jarang, tanda-tanda serupa timbul di bagian kepala yang pernah berkontak dengan simfisis pubis. Tanda-tanda ini biasanya lenyap dalam beberapa hari. Fraktur tengkorak kadang-kadang dijumpai, biasanya setelah dilakukan upaya paksa pada persalinan. Fraktur ini juga dapat terjadi pada persalinan spontan atau bahkan seksio sesarea. Fraktur mungkin tampak sebagai alur dangkal atau cekungan berbentuk sendok tepat di posterior sutura koronaria. Alur dangkal relatif sering dijumpai, tetapi karena hanya mengenai lempeng tulang eksternal, fraktur ini tidak berbahaya. Namun' yang berbentuk sendok, apabiia tidak diperbaiki secara bedah dapat menyebabkan kematian neonatus karena fraktur ini meluas mengenai seluruh ketebalan tengkorak dan membentuk ton;'olan-tonjolan permukaan dalam yang melukai otak. Pada kasus ini, bagian tengkorak yang cekung sebaiknya dielevasi amu dihilangkan.



RUTUKAN 1. Martohoesodo S, Sumampauw



H. Distosia Karena Kelainan



Tenaga. Dalam: Wiknjosastro



H, Saifuddin



AB, Rachimhadhi T.(eds). Ilmu Kebidanan. Edisi ke-3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Prawirohardjo,



Sarwono



1997 ; 587 -9 4



2. Cunn.ingham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, \Wentrom KD. Villiams Obstetrics.



21't ed. New York: McGraw-Htll,2001; 425-77 3. Friedman EA. An objective approach to the diagnosis and management of abnormal labor. Bull Ny Acad Med 1972;48: 842 4. Sokol RJ, Stojkov J, Chick L, Rosen MG. Normal and Abnormal labor progress. A quantitarive assessment and survey of the literature. J Reprod Med 1977; 1.81 47



PERSALINAN IAMA



580



5. Chelmow D, Kilpatrick SJ, Laros RK. Maternal and neonatal ourcomes after prolonged latent phase. Obstet Gynecol 1993; 81: 486 6. American College of Obstetricians and Gynecologists. Dystocia. Technical Bulletin No. 137, December, 1989



7. Handa VL, Laros RK. Active-phase arrest in labor: Predictors of cesarean delivery in nulliporous population. Obstet Gynecol 1993; 81 758 8. Friedman EA. Labor. cl.inical Evaluation and Management, 2nd ed. New York; Appleton-century-



Crofts, 1978 9. \florld Health Organization. Partographic management of Labour. Lancet 7994;343 1399 10. Hauth JC, Hanskins GD, Gilstrap LC III. Uterine contraction pressures with oxytocin induction/ augmentation. Obstet Gynecol 1986; 68: 305 11. Roshanter D, Blackmore KJ, Lee J, Hueppchen NA, lVitter FR. Station ar onser o{ active labor in nulliporous patients and risk of cesarean delivery. Obstet Gynecol 1999;93,329 12. Kilpatrics SJ, Laros RK. Characteristics of normal labor. Obstet Gynecol 1989;74: 85



42



MALPRESENTASI DAN MALPOSISI Rukmono Siswishanto Tujwan Instrwksional Umum Memahami kejadian malpresenasi dan malposisi janin serta tindakan yang diperlukan untuk pertolongannya sehingga dapat mencegab morbidias dan mortalitas bayi baru labir



Tujwan Instrwksional Kbwsws



1. Mendefi.nisikan istilah-istilab yang berkaian dengan malpresenwsi dan malposisi janin. 2. Menjekskan pengertian, cara mendiagnosis, mekanisme persalinan, dan penanganan Presentasi 3. 4. 5.



dahi. Menjelaskan pengertian, cara mendiagnosis, mekanisme persalinan, dan penanganan presentasi muka. Menjelaskan pengertian, cara mendiagnosis, mekanisme persalina.n, dan penanganan presenusi ganda. Menjelaskan pengeftian, cara mendiagnosis, mekanisme persalinan, dan penanganan presentasi bokong.



Malpresentasi adalah bagian terendih janin yang berada di segmen bawah rahim, bukan belakang kepala. Malposisi adalah penunjuk (presenting part) tidak berada di anterior. Secara epidemiologis pada kehamilan tunggal didapatkan presentasi kepala sebesar 96,8 o/o, muka 0,05 7o, bokong 2,7 "/o, letak lintang 0,3 "/o, majemuk 0,1. "/", dan dahi 0,01 o/o1. Persalinan normal dapat terjadi manakala telpenuhi keadaan-keadaan teftentu dari faktor-faktor persalinan: jalan lahir (passage), janin Qtassanger), dan kekuatan @ower). Pada waktu persalinan, hubungan antara janin dan jalan lahir sangatlah penting untuk diperhatikan oieh karena menentukan mekanisme dan prognosis persalinannya' Hubungan tersebut sudah dijelaskan dalam bagian lain yang membahas letak, presentasi,



582



MALPRESENTASI



DAN MALPOSISI



sikap, dan posisi janin. Dalam keadaan normal, presentasi janin adalah belakang kepala dengan penunjuk ubun-ubun kecil dalam posisi transversai (saat masuk pintu atas panggul), dan posisi anterior (setelah melewati pintu tengah panggul). Dengan presentasi tersebut, kepala janin akan masuk panggul dalam ukuran terkecilnya (sirkumferensia suboksipitobregmatikus). Hai tersebut dicapai bila sikap kepala janin fieksi. Sikap yang tidak normai akan menimbulkan malpresentasi pada janin, dan kesulitan persalinan terjadi oleh karena diameter kepala yang harus melalui panggul menjadi lebih besar. Sikap ekstensi ringan akan menjadikan presentasi puncak kepala (dengan penunjuk ubun-ubun besar), ekstensi sedang menjadikan presentasi dahi (dengan penunjuk sinsiput), dan ekstensi maksimal menjadikan presentasi muka (dengan penunjuk dagu). Apabila janin dalam keadaan malpresentasi atau malposisi, maka dapat terjadi persalinan yanglama atau bahkan macet. Malpresentasi adalah semua presentasi janin selain presentasi belakang kepala. Malposisi adalah posisi abnormal ubun-ubun kecil relatif terhadap panggul ibu2. Pengenian persaiinan lama adalah persalinan kala I fase aktif dengan kontraksi uterus reguler selama lebih dari 12 jam. Persalinan macet adalah persalinan yang kemajuannya terhambat oleh faktor mekanis dan proses kelahiran tidak mungkin dilakukan tanpa intervensi operatif3.



PRESENTASI DAHI Presentasi dahi terjadi manakala kepala janin dalam sikap ekstensi sedang. Pada pemeriksaan dalam dapat diraba daerah sinsiput yang berada di antara ubun-ubun besar dan pangkal hidung. Bila menetap, janin dengan presentasi ini tidak dapat dilahirkan oleh karena besarnya diameter oksipitomental yang harus melalui panggul. Janin dengan ukuran kecil dan punggungnya berada di posterior atau ukuran panggul yang sedemikian iuas mungkin masih dapat dilahirkan pervaginam.



Gambar



42-1.



Presentasi dahil



MALPRESENTASI



DAN MALPOSISI



583



Kejadian presentasi dahi meningkat bila didapatkan adanya polihidramnion (0,4 %), berat badan lahir < 1500 g (0,19'/"), prematuritas (0,1,6'/"), dan postmaturitas (0,1 %)4.



Diagnosis Diagnosis presentasi dahi dapat ditegakkan apabila pada pemeriksaan vaginal dapat diraba pangkal hidung, tepi atas orbita, sutura frontalis, dan ubun-ubun besar, tetapi tidak dapat meraba dagu atau mulut janin. Apabila mulut dan dagu janin dapat teraba, maka diagnosisnya adaiah presentasi muka. Sebanyak 24 "/" presentasi dahi tidak terdiagnosis sebelum kala IIs. Pada palpasi abdomen dapat teraba oksiput dan dagu janin di atas



simfisis dengan mudahl.



Mekanisme Persalinan Pada umumnya presentasi dahi bersifat sementara



untuk kemudian dapat berubah men-



jadi presentari b.lrkr.,g kepal4 presentasi muka, atau tetap presentasi dahi. Oleh karena itu, apabila tidak ada gawat janin, menunggu kemajuan persalinan dapat dilakukan. Perubahan presentasi dapat terjadi terutama pada janin kecil atau janin mati yang sudah mengalami maserasi. Pada janin dengan ukuran normal, temtama apabila selaput ketuban sudah pecah, biasanya tidak terjadi perubahan presentasi2. Mekanisme persalinan pada presentasi dahi menyerupai mekanisme persalinan pada presentasi muka. Oleh karenanya, janin kecil mungkin dapat dilahirkan vaginal bila punggungnya berada di posterior. Apabila presentasi dahi yang menetap dibiarkan berlanjut, maka akan terjadi molase yang hebat sehingga diameter oksipitomental akan berkurang dan terbentuk caput succed.anewm di daerah dahi. Persalinan dapat berlangsung hanya bila molase tersebut membuat kepala bisa masuk panggul. Saat lahir melalui pintu bawah panggul, kepala akan fleksi sehingga lahirlah dahi, sinsiput, dan oksiput. Proses selanjumya terjadi ekstensi sehingga lahirlah wajah.



Penanganan Sebagian besar presentasi dahi memerlukan pertolongan persalinan secara bedah sesar



untuk menghindari manipulasi vaginal yang sangat meningkatkan mortalitas perinatal. Jika dibandingkan dengan presentasi belakang kepala, persalinan vaginal pada presentasi dahi akan meningkatkan prolaps tali pusat (5 kali), mptura uteri (17 kali), transfusi darah (3 kali), infeksi pascapersalinan (5 kali), dan kematian perinatal (2 kali)4. Apabila presentasi dahi didiagnosis pada persalinan awal dengan selaput ketuban yang utuh, obserasi ketat dapat dilakukan. Observasi ini dimaksudkan untuk menunggu kemungkinan perubahan presentasi secara spontan. Pemberian stimulasi oksitosin pada kontraksi urerus yang lemah harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan tidak boleh dilakukan bila tidak terjadi penurunan kepala atau dicurigai adanya disproporsi kepalapanggul. Presentasi dahi yang menetap atau dengan selaput ketuban yang sudah pecah



584



MALPRESENTASI



DAN MALPOSISI



sebaiknya dilakukan bedah sesar untuk melahirkannya. Jangan melahirkan menggunakan bantuan ekstraksi vakum, forseps, atau simpisiotomi karena hanya akan meningkatkan



morbiditas dan mortalitas.



PRESENTAI MUKA Presentasi muka teriadi apabila sikap janin ekstensi maksimal sehingga oksiput mendekat ke arah punggung janin dan dagu menjadi bagian presentasinya. Faktor predisposisi yang meningkatkan kejadian presentasi dahi adalah malformasi ianin (0,9 'h), berat badan lahir < 1.500 g (0,71 "k), polihidramnion (0,63 7o), postmaturitas (0,18 oh), dan multiparitas (0,16 %)4. Berbeda dengan presentasi dahi, janin dengan presentasi



muka masih dapat dilahirkan vaginal apabila posisi dagunya di anrerior. Diagnosis Diagnosis presentasi muka ditegakkan apabila pada pemeriksaan vaginal dapat diraba muiut, hidung, tepi orbita, dan dagu. Penunjuk presentasi muka adalah dagu. Pada palpasi abdomen kadang-kadang dapat diraba tonjolan kepala janin di dekat punggung janin. Pada waktu persalinan, seringkali muka menjadi edema, sehingga diagnosis dapat keliru sebagai presentasi bokong. Pada keadaan tersebut perabaan pada mulut mirip dengan perabaan pada anus. Sebanyak 49 7o kasus presentasi muka tidak terdiagnosis sebelum kala IIs.



Mekanisme Persalinan Mekanisme persalinan presentasi muka serupa dengan persalinan presenrasi belakang kepala. Secara berurutan akan terjadi proses kepaia mengalami penumnan (descent), rotasi internal, fleksi, ekstensi, dan rotasi eksternall. Sebelum masuk panggul biasanya kepala janin belum dalam sikap ekstensi maksimal, sehingga masih presentasi dahi. Ketika terjadi penurunan kepala, tahanan dari panggul akan menyebabkan kepala lebih ekstensi sehingga terjadi perubahan menjadi presentasi muka. Ketika masuk pintu atas panggul dagu dalam posisi transversal atau oblik. Pada pintu tengah panggul, rotasi internal terjadi. Tujuan rotasi internal ini adalah membuat kepala agar dapat semakin memasuki panggul dengan cara mengubah posisi dagu i 5 kg), janin sangat besar (> 4,5 kg) dengan ibu diabetes, janin besar (> 4 kg) dengan ri:wayat distosia bahu pada persalinan sebeiumnya, kala II yang memanjang dengan janin besar. Identifikasi dan obati diabetes pada ibu. Selalu bersiap bila sewaktu-waktu terjadi. Kenali adanya distosia seawal mungkin. Upaya menge;'an, menekan suprapubis atau fundus, dan traksi berpotensi meningkatkan risiko cedera pada ianin. Perhatikan waktu dan segera minta pertolongan begitu distosia diketahui. Bantuan diperlukan untuk membuat posisi McRoberts, pertolongan persalinan, resusitasi bayi, dan dndakan anestesia (bila perlu).



Diagnosis Distosia bahu dapat dikenali apabila didapatkan adanyaT:



o



. o



.



Kepala bayi sudah lahir, tetapi bahu tertahan dan tidak dapat dilahirkan. Kepala bayi sudah lahir, tetapi tetap menekan vulva dengan kencang. Dagu tertarik dan menekan perineum. Traksi pada kepala tidak berhasil melahirkan bahu yang tetap tertahan di kranial simfisis pubis.



Begitu distosia bahu dikenali, maka prosedur tindakan untuk menolongnya harus segera dilakukan.



Penanganan



Diperlukan seorang asisten untuk membantu, sehingga bersegeralah minta bantuan. Jangan melakukan tarikan atau dorongan sebelum memastikan bahwa bahu posterior sudah masuk ke panggul. Bahu posterior yang belum melewati pintu atas panggul akan semakin sulit dilahirkan bila dilakukan tarikan pada kepala. Untuk mengendorkan ketegangan yang menyulitkan bahu posterior masuk panggul tersebut, dapat dilakukan episiotomi yang luas, posisi McRobert, atau posisi dadalurut. Dorongan pada fundus



juga ridak diperkenankan karena semakin menyulitkan bahu untuk dilahirkan



dan



berisiko menimbulkan ruptura uteri. Di samping perlunya asisten dan pemahaman yang baik tentang meienisme persalinan, keberhasilan penolongan persalinan dengan distosia bahu juga ditentukan oleh waktu. Setelah kepala lahir akan rcrjadi penumnan pH aneria umbilikalis dengan laju 0,04 unit/menit. Dengan demikian, padabayi yang sebelumnya tidak mengalami hipoksia tersedia waktu antara 4 - 5 menit untuk melakukan manuver melahirkan bahu sebelum terjadi cedera hipoksik pada otak3. Secara sistematis tindakan pertolongan distosia bahu adalah sebagai berikut.



602



DISTOSIA BAHU



Diagnosis U



Hentikan traksi pada kepala, segera memanggil banruan U



Manuver McRobert (Posisi McRobert, episiotomi bila perlu, tekanan suprapubik, tarikan kepala)



u Manuver Rubin (Posisi tetap McRobert, rotasikan bahu, tekanan suprapubik, tarikan kepala)



u Lahirkan bahu posterior, atau posisi merangkak, arau manuver \Wood



Langkah pertama: Manuver McRobertl,4,6,7 Manuver McRobert dimulai dengan memosisikan ibu dalam posisi McRobert, yaitu ibu telentang, memfleksikan kedua paha sehingga lutut menjadi sedekat mungkin ke dada, dan rotasikan kedua kaki ke arah luar (abduksi). lakukan episiotomi yang cukup lebar. Gabungan episiotomi dan posisi McRoben akan mempermudah bahu posterior melewati promontorium dan masuk ke dalam panggul. Mintalah asisten menekan suprasimfisis ke arah posterior menggunakan pangkal tangannya untuk menekan bahu anterior agar mau masuk di bawah simfisis. Sementara iru lakukan tarikan pada kepala janin ke arah posterokaudal dengan mantap.



Iangkah tersebut akan melahirkan bahu anterior. Hindari tarikan yang berlebihan karena akan mencederai pleksus brakhialis. Setelah bahu anterior dilahirkan, langkah selan;'utnya



Gambar



43-1.



Posisi McRobert6



DISTOSIA BAHU



603



sama dengan pertolongan persalinan presentasi kepala. Manuver ini cukup sederhana, aman, dan dapat mengatasi sebagian besar distosia bahu derajat ringan sampai sedang.



Gambar



43-2.



Tekanan suprapubik6



Iangkah kedua: Manuver Rubin3,z Oleh karena diameter anteroposterior pintu atas panggul lebih sempit daripada diameter obiik arau rransversanya, maka apabila bahu dalam anteroposterior perlu diubah menjadi posisi oblik atau rransversa untuk memudahkan melahirkannya. Tidak boleh melakukan putaran pada kepala atau ieher bayi untuk mengubah posisi bahu. Yang dapat diiakukan adalah memutar bahu secara langsung atau melakukan tekanan suprapubik ke arah dorsal. Pada umumnya sulit menjangkau bahu anterior, sehingga pemutaran bahu lebih mudah dilakukan pada bahu posteriornya. Masih dalam posisi McRobert, masukkan rangan pada bagian posterior vagina, tekanlah daerah ketiak bayi sehingga bahu beqputar menjadi posisi oblik atau transversa. Lebih menguntungkan bila pemutaran itu



punggung bayi menghadap ke arah anterior (manuver Rubin anterior) oleh karena kekuatan tarikan yang diperlukan untuk melahirkanya lebih rendah dibandingkan dengan posisi bahu anteroPosterior atau punggung bayi menghadap ke arah posteriorS. Ketika dilakukan penekanan suprapubik pada posisi punggung janin anterior akan membuat bahu lebih abduksi, sehingga diameternya mengecil. Dengan bantuan tekanan suprasimfisis ke arah posterior, lakukan tarikan kepala ke arah pos-



ke arah yrrrg



-.*brat



terokaudal dengan mantap untuk melahirkan bahu anterior.



604



DISTOSIA BAHU



Langkah ketiga: Melahirkan bahu posterior, posisi merangkak, atau manuver 'il/ood3



Melahirkan bahu posterior dilakukan pertama kali dengan mengidentifikasi dulu posisi punggung bayi. Masukkan rangan penolong yang berseberangan dengan punggung bayi (punggung kanan berarti tangan kanan, punggung kiri berarti rangan kiri) ke vagina. Temukan bahu posterior, telusuri lengan atas dan buatlah sendi siku menjadi fleksi (bisa dilakukan dengan menekan fossa kubiti). Peganglah lengan bawah dan buatlah gerakan mengusaP ke arah dada bayi. Langkah ini akan membuat bahu posterior lahir dan memberikan ruang cukup bagi bahu anterior masuk ke bawah simfisis. Dengan bantuan tekanan suprasimfisis ke arah posterior, lakukan tarikan kepala ke arah posterokaudal dengan mantap untuk melahirkan bahu anrerior.



Gambar



43-3. Melahirkan



bahu posterior6



Manfaat posisi merangkak didasarkan asumsi fleksibilitas sendi sakroiliaka bisa meningkatkan diameter sagital pintu atas panggul sebesar 1 - 2 cm dan pengaruh gravitasi akan membantu bahu posterior melewati promontorium3. Pada posisi telentang atau litotomi, sendi sakroiliaka menjadi terbatas mobilitasnya. Pasien menopang tubuhnya dengan kedua tangan dan kedua lututnya. Pada manuver ini bahu posterior dilahirkan terlebih dahulu dengan melakukan tarikan kepala. Bahu melalui panggul ternyata tidak dalam gerak lurus, tetapi berputar seperti uliran sekrup. Berdasarkan hai itu, memurar bahu akan mempermudah melahirkannya. Manuver Vood dilakukan dengan menggunakan dua jari dari tangan yang berseberangan dengan punggung bayi (punggung kanan berarti rangan kanan, punggung kiri berani tangan kiri) yang diletakkan di bagian depan bahu posterior. Bahu posterior dirotasi 180 derajat. Dengan demikian, bahu posterior menjadi bahu anterior dan posisinya berada di bawah arkus pubis, sedangkan bahu anterior memasuki pintu atas panggul



dan berubah menjadi bahu posterior. Dalam posisi seperti itu, bahu anterior



airan



dengan mudah dapat dilahirkan. Setelah melakukan prosedur pertolongan distosia bahu, tindakan selanjutnya adalah melakukan proses dekontaminasi dan pencegahan infeksi pascatindakan serra perawaran pascatindakane. Perawatan pascatindakan termasuk menuliskan laporan di lembar catatan medik dan memberikan konseling pascatindakan.



DISTOSIA BAHU



605



RUTUKAN 1.



Chauhan SP, Christian B, Gherman RB, Magann EF, Kaluser'CK, Morrison JC. Shoulder dystocia without versus with brachial plexus injury: A case control study. Mat Fetal Neona Med. 2OO7 April;



20$): 313-7



2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.



Gherman RB, Chauhan SP, Ouzounian JG, Lerner H, Gonik B, Goodwin TM. Shoulder dystocia: The unpreventable obstetrics emergency with empiric managemenr guidelines. Am J Obstet Gynecol. 2006; 195: 657-72 Baskett TF. Shoulder dystocia. Best Practice and Research. Clin Obstet Gynaecol. 2002;16(1):57-68 Gherman RB, Ouzpunian JG, Goodwin TM. Obstetrics maneuvers for shoulder dystocia and associated



fetal morbidity. Am J Obstet Gynecol. 1,998; 1,78: 11,26-30 Smeltzer JS. Shoulder dystocia. In: Vinn HN, Hobins JC, editors. Clinical Maternal-Fetal Medicine. New York: Parthenon Publishing; 200a: 1.83-92 Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Shoulder dystocia. Guideline No" 42. 2OO5 Broek NV. Life saving skills manual essential obstetric care. London: RCOG Press; 2002 Gurewitsch ED, Kim EJ, Yang JH, Outland KE, McDonald MK, Allen RH. Comparing McRoberts' and Rubin's maneuvers for initial management oI shoulder dystocia: An objective evaluation. Am J Obstet Gynecol2005; 1,92: lfi-6a Saifuddin AB, Adriaansz G, Vikn.iosastro GH, Vaspodo D. editors. Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. 1't ed. Jakarta: JNPKKR-POGI dan Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2000: 515-9



44



PERSALINAN DENGAN D/SrEN.S/ UTERUS Azen Salim



Tujwan Instruksional Umwm Memabami etiopatogenesis persalinan dengan distensi uterus dalam upaya menurunkan dan menangani mortalitas d.an morbidias ibw yang mwngkin terjadi.



Twjuan Instruksional Khusus



1. 2.



Menyebwtkan penyebab persalinan dengan distensi uterus. Menyebutkan bal-bal yangperlw diperbatikan pada saat pertolongan persalinan dengan distensi



3.



Menyebutkan perdarahan sebagai morbiditas utama persalinan dengan distensi uterus.



ilterus,



Persalinan dengan distensi utems memerlukan penang nan yang sangat hati-hati guna menurunkan angka morbiditas ataupun mortalitas ibu dan janinl. Pembesaran uterus yang lebih besar pada saat kehamilan bisa disebabkan oleh unsur uterus, air ketuban, plasenta, ataupun janinnya sendiri. Pembesaran uterus sendiri paling sering disebabkan oleh tumor jinak uterus seperti mioma uteri dan adenomiosis. Jenis mioma uteri yang mempengaruhi proses persalinan tenrtama jenis intramural dan submukosum. Sementara itu, adenomiosis uteri sesuai dengan perangainya yang berupa pulau-pulau endometrium di dalam jaringan miometrium mempengaruhi sifat kontraksi dari miometrium sendiri. Faktor air ketuban yang meregang uterus lebih dari biasanya disebabkan oleh polihidramnion. Polihidramnion ditegakkan diagnosis berdasarkan pemeriksaan ultrasonografi yang memberikan nilai pengukuran satu kantong air ketuban yang terdalam secara



PERSALINAN DENGAN DISTENSI UTERUS



607



verrikal melebihi angka 80 mm. Berdasarkan kedalaman angka tersebut digolongkan polihidramnion ringan (80 - 99 mm), sedang (100 mm - 120 mm), dan berat (> 120



mm). Menurut Phelan2 yang memperkenalkan indeks air ketuban (amniotic fluid index) melalui pengukuran empat kuadran perut dengan titik tengahnya di umbilikus bila angkanya melebihi 24 cm, walaupun kurva untuk tiap usia kehamilan mempunyai nilai tertentu. Secara garis besar untuk memudahkan mengingatnya digunakan angka 24 cm



yang merupakan angka maksimum pada usia kehamilan 34 - 36 minggu' Plasenta yang lebih tebal dari biasanya sering ditemukan pada kehamilan dengan diabetes mellitus, inkompatibilitas Rhesus, talasemia mayor, mola parsiai dan infeksi sifilis. Di Indonesia yang tidak jarang dijumpai adalah kehamilan dengan diabetes mellitus dan talasemia3, sedangkan pada kehamilan mola parsiai sering janin sudah meninggal sebelum mencapai usia cukup bulan. Kelainan plasenta berupa korioangioma bisa juga menyebabkab terjadinya hidramniona. Dari unsur janin pembesaran uterus dapat disebabkan jumlah janin ataupun ukuran janin sendiri. Pada kehamilan dengan janin tunggal, regangan uterus akan teriadi kalau ;'aninnya sendiri besar. Ukuran besarnya janin perlu dibandingkan dengan ukuran tinggi dan berat ibu. Untuk seorang ibu dengan tinggi 150 cm dan berat hanya 55 kg dengan taksiran berat janin 3.500 gram sudah cukup meregangkan uterusnya. Sebaliknya, untuk seorang ibu dengan tinggi 170 cm dan berat 90 kg dengan janin yang dikandungnya seberat 4.OOO gram masih relatif norrnal. Jadi, penilaian masuk tidaknya bagian terbawah janin saat menjelang melahirkan sangat menentukan. Dalam hal ini dibutuhkan kecermatan mengamati proses kemajuan persalinan guna mencegah kemung-



kinan terjadinya penyulit.



Dari segi jumlah janin, untuk kehamilan ganda tidaklah bermasalah kalau letak janin memenuhi untuk dilahirkan pervaginam. Seiring dengan regangan uterus cukup sering terjadi persalinan sebelum waktunya. Karena regangan uterus selama kehamilanny4 penanganan proses persalinan dan sesudahnya memerlukan perhatian. Regangan urerus yang terjadi pada kehamiian ganda selain ukuran janin, maka air ketuban



dan jumlah plasenta ikut berperan. Pada kehamilan ganda dengan masing-masing taksiran janin yang melebihi 2.500 gram, antisipasi terhadap efek regangan uterus pada proses persalinan perlu diperhatikan.



Hal-hal penting yang perlu diperhatikan pada saat melakukan pertolongan persalinan dengan regangan utems sebagai berikut.



1.. Mengantisipasi terjadinya pelepasan plasenta sebelum waktunya (solutio placenae). 2" Frolaps tali pusat saat ketuban pecah. 3. Kelainan letak janin seperti letak miring, lintang.



4. Gawat janin. 5. Retensio plasenta. 6. Perdarahan pascapersalinan. Proses persalinan merupakan suatu urutan peristiwa yang ditandai dengan adanya kontraksi miomerrium yang teratur, progresif, serta terkoordinasi sampai pembukaan



608



PERSALINAN DENGAN DISTENSI UTERUS



mencapai 10 cm dan dikenal sebagai persalinan kala L Tenaga yang timbul secara spontan dan berkesinambungan ini diharapkan akan mendorong rurunnya bagian terbawah janin sena membuka jalan lahir.



Adanya mioma uteri intramural yang besar serta berlokasi di daerah korpus bawah akan mengganggu timbulnya kontraksi uterus yang terkoordinasi, rerarur, dan progresif. Ini disebabkan sifat jaringan miom yang berbeda dengan jaringan miometrium normal yang mempunyai sifat kontraktil. Terlebih-lebih ukuran mioma yang berdiameter 7 cm atau lebih mempunyai komponen jaringan ikat lebih banyak dibandingkan dengan ukuran miom yang lebih kecils. Karena perbedaan ini tentu membawa dampak pada perbedaan daya kontraktilitasnya. Sifat miom yang demikian renru mengganggu kontraksi sehingga menghambat jalannya kontraksi yang berkesinambungan, dan akan memberi dampak baik pada proses saat persalinan maupun pascapersalinan. Dalam hal ini pengas/asan selama proses persalinan dengan mioma jangan dianggap remeh. Selama proses persalinan berjalan lancar, tindakan pengamatan cukup



dilakukan dengan persiapan darah dan cairan infus guna berjaga-jaga. Bahkan, sesudah persalinan kemungkinan untuk terjadinya perdarahan perlu diantisipasi. Demikian juga memasuki masa nifas, involusi uterus perlu dicermati. Data menunjukkan bahwa kehamilan dengan mioma uteri cenderung mempunyai penlulit berupa persalinan sebelum waktu, angka persalinan dengan pembedahan meningkat, perdarahan persalinan yang lebih banyak, perawatan di rumah sakit yang lebih lama baik bagi ibu maupun bayinya, serta proses nifas yang lebih bermasalah. Adenomiosis uteri yang terdiri atas pulau-pulau endometrium di dalam jaringan miometrium lebih lemah kontribusinya untuk menghasilkan kontraksi yang cukup. Sebagaimana kita ketahui, adenomiosis sendiri merupakan faktor yang mempengaruhi kesuburan. Dengan adanya adenomiosis uteri dan berhasilnya janin mencapai usia cukup bulan, keputusan cara pengakhiran kehamilan perlu dipertimbangkan baik. Adenomiosis sendiri terutama mempengaruhi persalinan kala I dan kala III. Sering diperlukan bantuan oksitosin intraaenous guna memacu dan memperkuat kontraksi uterus yang ada. Bantuan untuk kontraksi uterus diperlukan pada kala I, II, dan kala



IiI



untuk mengeluarkan plasentanya.



Persalinan dengan plasenta yang b-esar biasanya menimbulkan peny'ulit pada kala



III



di mana setelah bayi lahir plasenta secara lengkap sering sulit dilahirkan. Plasenta besar yang menyertai bayi makrosomia biasanya bisa dilahirkan lengkap asalkan kontraksi



IIi cukup kuat. Sebaliknya, pada kasus talasemia karena sifat plasenta yang lembek dan mudah mencair sering menimbulkan masalah. Karena sifat plasenta yang mudah hancur menghambat usaha evakuasi jaringan plasenta tersebut baik secara manual maupun dengan kuretase karena retensio plasenta ataupun sisa piasenta yang tertinggal. Pada proses evakuasi plasenta demikian, cairan infus berisi oksitosin harus



uterus pada kala



terPasans.



Kadang kita dihadapkan pada kasus hidrops fetalis dengan kematian janin. Air ketuban sangat sedikit, tetapi plasenta tebal sekali karena degenerasi hidropik. Jangan ragu untuk melakukan pembedahan perabdominam kalau memang diperlukan. Ini mengingat



PERSALINAN DENGAN DISTENSI UTERUS



609



sangat berbahaya bentuk plasenta yang sangat sulit diprediksi pada kala III saat partus pervaginam. Juga dilaporkan sebagian kasus kelainan darah tersebut diikuti oleh polihidramnion dan hipertensi pada ibunyas.



Gambar 44-1. Plasenta yang berbentuk cincin dengan bagian tengahnya berupa lapisan membran. Di kepustakaan dikenal sebagai "begel placentae"



Gambar



44-2.



Begel placentae yang diregangkan bagian tengahnya. Jaringan plasenta berupa cincin



610



PERSALINAN DENGAN DISTENSI UTERUS



Gambar 44-3^ Plasenta yang sama dilihat dari depan dengan lapisan membran diregangkan



Gambar



44-4.



Plasenta dari janin 20 minggu yang mengalami kematian janin dengan hidrops disebabkan oleh talasemia alfa"



PERSALINAN DENGAN DISTENSI UTERUS



61,1



Plasenta dengan tumor berupa chorioangioma biasanya diikuti kegagalan iantung janin dan polihidramnion. Regangan uterus disebabkan oleh air ketuban yang berlebihan.



Persalinan dengan air ketuban yang banyak perlu diperhatikan saat ketuban pecah. jumlah banyak Jangan sampai saat keruban pecah, air ketuban mendadak keluar dalam karena ditakutkan tali pusat menumbung ke luar. Seiain itu, saat ketuban pecah, bagian terbawah janin perlu diperhatikan, jangan sampai terjadi kelainan presentasi. Setelah air ketuban keluar, pengawasan denl'ut jantung janin harus dicermati. Keluarnya air ketuban yang tiba-tiba juga ditakutkan akan terjadinya pelepasan plasenta sebelum waktunya. Setelah melahirkan pun, kasus dengan air ketuban melebihi normal ini perlu diantisipasi teriadinya perdarahan kala IIi. Infus dengan oksitosin harus selalu terpasang. Pada kasus janin tunggal yang besar atau dikenal sebagai makrosomia perlu mendapat perhatian. Istilah makrosomia didefinisikan sebagai berat janin di atas 4.000 gram atau di atas nilai 90 persentil untuk ukuran usia kehamilannya. Uterus yang membesar sudah teregang terus pada waktu usia kehamilan menjelang melahirkan. Kelelahan miometrium perlu diperhitungkan. Terlebih lagi kasus multipara dan kala I yang lama, ke-



t



Gambar



44-5. Perut yang membesar



karena polihidramnion.



612



PERSALINAN DENGAN DISTENSI UTERUS



mungkinan teriadi perdarahan kala III harus diantisipasi. Mulik mendapatkan angka perdarahan pascapersalinan3,l o/o pada ibu dengan kelahiran bayi 4.500 grim atau lebih, sedangkan hanya 1,5 "/. pada ibu dengan kelahiran bayi kurang dari +.ooo gramz. Tindakan pra, intra maupun pascapersalinan perlu pengawasan yang ketat. Begitu bayi lahir, infus dengan oksitosin sudah harus jalan. Keceparan retesan dan dosis disesuaikan dengan kontraksi rahim di kala III. Kelainan pada kepala janin berupa hidrosefalus dengan lingkar kepala melebihi 35 cm harus diantisipasi kemungkinan penyulit yang terjadi. Regangan segmen bawah rahim yang berlebihan akan menyebabkan ruptura uteri yang tidak diinginkan. Dewasa ini dengan adanya alat diagnostik ultrasonografi, peny'ulit rersebut dapat dihindari.



Jadi, secara garis besar penanganan kehamilan dengan distensi uterus, hidrosomia



(anin dengan air ketuban yang banyak), dan rnakrosomia (janin yang lebih besar dari 95 persentil) dapat dikelompokkan ke dalam persalinan dengan risiko. Seiak pasien diterima sudah harus diberi tanda khusus untuk mengingatkan perugas yang menerima limpahan tanggung jawab .sewaktu pergantian jam kerja. Tahap penanganan penlulit seperti kemungkinan pembedahan perabdominam darurat harus bisa



dilaksanakan jika diperlukan. Standar penanganan perdarahan pascapersalinan harus sudah hafal di benak perugas kesehatan yang terlibat. Diketahui tah*a kematian maternal disebabkan oleh (a) faktor petugas yang kurang sigap dan kurang menyadari seriusnya suatu kasus, (b) jarak tempar kejadian dan tempat rujukan, (c) terlambatnya penanganan seperti pasien sudah dirujuk dalam keadaan syok, (d) tidak tersedia obatobatan atau darah yang diperlukan segera. Perdarahan pascapersalinan umumnya disebabkan oleh (a) atonia ureri, (b) pengaruh



obat bius umum, (c) jaringan miometrium yang kurang mendapatkan darih lbypo-



perfwsion), (d) uterus terdistensi, (e) panus lama, (f) parrus cepar, (g) kasus induksi atau akselerasi dengan oksitosin, (h) multiparitas, (i) riwayat atonia uteri pada partus sebelumnya, (j) korioamnionitis, (k) retensio plasenta atau sisa plasenta, dan (1) plasenta adhesiva.



Menilik kemungkinan terjadi perdarahan pascapersalinan pada kasus distensi uterus, maka penatalaksanaan kala III sangat diperlukan. Tahap penanganan kala III diawali dengan menyingkirkan ada-tidaknya hipotoni/atonia uteri. Kalau tidak ada, robekan jalan lahir harus dieksplorasi. Kalau ada sisa kotiledon yang tertinggal, lakukan kuretase. Tahap tindakan di atas harus sejalan dengan penanganan syok, kalau memang ada tanda-tanda syok hipovolemik.



Untuk kasus atonia, perrama-rama tindakan bimanual, pemasangan Dekstrosa 5 7o 500 ml dengan oksitosin 20IIJ, injeksi Metergin I.V. 1 ampul dan tablet Misoprostoi 3 mblet per rektai. Kalau tindakan di atas belum memadai, dilanjutkan iigasi arteria uterina. Kalau tindakan di atas belum juga memadai, maka tindakan histerektomi merupakan piiihan terakhir8. Keberhasilan kita menangani kasus-kasus kehamilan dengan peregangan urerus yang berlebihan akan membantu-banyak upaya menuru.kar, -o.biiitri dan -ortalit"i ".,g[,diperlukan ibu melahirkan. Di sini kejelian seorang dokter sangat untuk melihat



PERSALINAN DENGAN DISTENSI UTERUS



613



kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, sehingga penyulit selama proses persalinan kala



I, kala II, kala III dan nifas



dapat dihindari.



RUIUKAN in pregnancy and childhood. A guide for midwives and doctors. Department of Reproductive Health and Research (RHR), Vorld Health Organization 2003 2. Phelan JP, Ahn MO. Smith CV, et al. Amniotic fluid nreasurements in normal pregnancy. J Reprod 1. Managing complications



Med 1987; 32: 601-4 3. Ghosh A, Tang MHY, Lam YH, Fung E, Chan V. Ultrasound measurement of placental thickness to detect pregnancies affected by alpha+halassemia-1 Lancet 1994; 344: 988 4. Eldar-Geva T, Hochner-Celnikier , Ariel I, et al. Fetal high out put cardiac failure and acute hydramnios caused by large placental chorangioma. Case report. Brit J Obstet Gynaecol 1988; 95: 1200 5. \Wilkinson N, Rollason TP. Recent advances in the pathology of the smooth muscle tumors of the uterus. Histopathology 2001; 39: 331-41 6. Liang ST, \Wong VC\fl, So lW\Yr'K, Ma HK, Chan V, Todd D. Homozygous alpha thalassemia. Clinical presentation, diagnosis, and management. A review of 46 cases. Brit J Obstet Gynaecol 1985; 92: 680 7. Mulik V, Usha Kiran TS, Bethal J, Bhal PS. The outcome of macrosomic fetuses in a low risk primigravid population. Int J Gynaecol Obstet 2003; 80(1): 15-22 8. Cunningham FG, et al: Villiams Obstetrics. McGravr-Hill, 2001, 21't edition



4t KEHAMILAN DAN PERSALINAN DENGAN PARUT UTERUS Firman F. Virakusumah



Twjwan Instruksional Umum Memabami kebamilan dan persalinan dengan parut uterus sehinga dapat mengenal hasus-hasus kebamikn dan persalinan dengan parut uterus dan dapat mengelola sampai merwjuk tepat wahtu ke pusat pehyanan kesebatan yang memadai.



Twjwan Instrwbsional Kbwsws



1. Mendefinisikan kebamikn dan persalinan dengan luka. parut uterus. 2. Mengidentifikasi rhaayat dan pemeriksaan pada ibu hamil dengan ?arut uterus. 3. Mendiskusiban mekanisme terjadinya komplikasi yang mungkin timbul selama kehamikn



d.an



persalinan.



4. 5. 5. 7.



Berkomwnikasi dengan ibu dan kelwarganya tentang rencana persalinan. Menjelaskan perbedaan antara uterus normal dan uterws dengan luha parwt pada behamilan dan persalinan. Memberikan petwnjwk. kepada ibu hamil dan ibw dalam persalinan dakm mermcanakan pemeriksaan kehamikn dan persalinannya. Menjekskan perihal cara tEat memilib rencana keluarga berencana.



KI,HAMILAN DAN PERSALINAN DENGAN PARUT UTERUS



615



Di



tahun 70-ao dan awal 80-an seksio sesarea meningkat cepat. Di tahun 90-an dilaporkan di dunia ini wanita melahirkan dengan seksio sesarea meningkat 4 kali dibanding 30 tahun sebelumnyaa,s. Sebabnya multifaktorial, termasuk di antaranya meningkatnya indikasi seksio sesarea ulang pada kehamilan dengan parut uterus. Sampai saat ini belum ada hasil penelitian berdasarkan Randomised Controlled Triak (RCT) untuk menilai keuntungan atau kerugian antara persalinan pervaginam dan seksio sesarea ulang pada kasus kehamilan dengan parut uterus6. Terdapat 4 indikasi utama untuk melakukan seksio sesareayaitu; (1) distosia, (2) ga'warjanin, (3) kelainan letak, dan (4) parut utems. Kehamilan dan persalinan setelah wanita melahirkan dengan seksio sesarea akan mendapat risiko tinggi terfadinya morbiditas dan mortalitas yang meningkat berkenaan dengan Parut uterus.



Tabel 45-1 Persentase pasien dengdn indikasi seksio sesarea dr 4 negara maju pada tahun 1990 Norwegia



Skotlandia



Swedia



Amerika Serikat



Parut uterus



94,3



86,7



47,1



80,5



Sungsang



60,8



79,6



66,3



83,3



Distosia



31',6



34,6



))L



\97



Gawat janin



42,s



35,4



36,6



3,1



4,6



14,7



Z),t)



Indikasi



Lainlain Jumlah



/.



'7



12,8



15,1 4,0 t4,2



Sumber: Notzons,le



indikasi pamt uterus berkisar 25 - 30 o/" darr angka kenaikan seksio sesarea di Amerika Serikata. Dilihat dari angka kejadian seksio sesarea dilaporkan di Amerika Serikat indikasi parut utems 35 7", Australia 35 %, Skotlandia 43 o/", dan Perancis 28 o/o5-10. Di tahun 90-an angka seksio sesarea atas indikasi parut utenrs menurun dengan dikembangkannya persalinan pervaginam pada parut uterus, Vaginal Birth After Cesarean (VBAC) atau dikenal pula sebagai Trial of lzborAfter Cesarean (TOIAC) 6-e,11. Di Amerika Serikat pada tahun 2000-an, dari 10 wanita yang melahirkan terdapat I wanita dengan pamt utems12. Di Bandung (RSHS) seksio sesarea dengan panrt uterus adalah 10 o/o,tetapi indikasi awal tidak selalu karena parut uterusl3. Angka kejadian seksio sesarea primer dan VBAC di Amerika Serikat 1989 - 1998 dilaporkan sebagai berikut: seksio sesare a 20,7 - 22,8 "/" dari seluruh persalinan hidup, seksio sesarea primer 1,4,6 - 16,1 o/o pada wanita yang belum pernah mendapat seksio sesarea dan 18,9 - 28,3 "/" wanita melahirkan pervaginam dengan pamt utems (VBAC)6,10'14'18.



Di tahun 80-an seksio



sesarea atas



61,6



K-EHAMILAN DAN PERSALINAN DENGAN PARUT UTERUS



Tabel 45-2 Angka kejadian persalinan dan seksio sesarea di Rumah Sakit Pendidikan di Indonesia tahun 2006 Nama Rumah Sakit RS dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar



Seksio Sesarea



Jumlah



Persalinan



Pertama



kali



Pada parut uterus



794



288 (36,5 %)



42 (5,3 %)



RS dr. Kariadi, Semarang



1.632



500 (30,6 %)



25 (1,5 %)



RS dr. Hasan Sadikin, Bandung



2.143



880 (41,8 %)



67 (3,2 %)



RS Prof. dr. RD Kandou, Manado



2.450



626 (25,6 %)



122 (5,0 %)



RS Sanglah Denpasar



J.541



852 (24,0 %)



331 (e,3 %)



Sumber: Laporan Tahunan Bagian Obstetri dan Ginekologi (komunikasi pribadi)



Kehamilan dengan Parut Uterus Konseling s/anila hamil dengan parut utenis umumnya adalah sama seperti kehamilan normal, hanya yang harus diperhatikan bahwa konseling ditekankan pada:



. .



persalinan harus dilakukan di rumah sakit dengan peralatan yang memadai untuk kasus persalinan dengan panrt uterus. konseling mengenai rencana keluarga berencana untuk memilih keluarga kecil de. ngan cara kontrasepsi mantaP.



Persalinan dengan Parut Uterus



Diktum dari Cragin (1916) bahwa sekali dilakukan seksio



sesarea selanjutnya persalinan



harus dilakukan seksio sesarea ulang. Diktum ini sekarang sudah tidak dipakai lagi 1-3,13,1e. Dahulu seksio sesarea dilakukan dengan sayatan veftikal pada korpus uteri (secara klasik), sekarang umumnya memakai teknik sayatan melintang pada segmen bawah rahim. Kejadian dehisens parut uterus dan uterus ruptur meningkat dengan bertambahnya jumlah seksio sesarea pada kehamilan berikutnya. Seksio sesarea elektif dilakukan pada wanita hamil dengan parut uterus yang akan melakukan sterilisasi tubektomi. Konseling mengenai keluarga berencana perlu ditekankan, karena morbiditas dan mortalitas meningkat pada wanita dengan parut urerus. Makin sering bersalin dengan seksio sesarea makin besar bahaya terjadinya ruptura uteri. Seksio sesarea elektif dilakukan pada kehamilan cukup bulan dengan paru-paru janin yang matur dan dianjurkan pula dilakukan tubektomi partialisle. Di beberapa rumah sakit dapat dilakukan induksi/akselerasi persalinan dengan parut uterus dengan oksitosin. Induksi atau akselerasi persalinan pada parut uterus dengan menggunakan oksitosin atau derivat prosraglandin sangat berbahaya.



KEHAMILAN DAN PERSALINAN DENGAN PARUT UTERUS



617



Tidak dianjurkan untuk melakukan induksi atau akselerasi pada kasus persalinan dengan parut uterus2o,2l.



Hal yang perlu diperhatikan untuk menentukan prognosis persalinan pervaginam dengan panrt uterus adalah sebagai berikut.



o Jenis sayatan uterus yang telah dilakukan pada operasi terdahulu.



. . .



Indikasi operasi seksio sesarea terdahulu. Apakah jenis operasi terdahulu adalah seksio sesarea elektif atau emergensi. Apa komplikasi operasi terdahulu.



Dilaporkan angka kejadian mptura uteri pada parut uterus cukup tinggi, terutama di negara sedang berkembang. Angka kejadian di negara maju hanya 0 - 2 "h, sedangkan di negara sedang berkembang dilaporkan sampai 4 - 7 o/o3'13'22. Masalahnya berkait



dengan kurangnya hkses wanita untuk melahirkan di rumah sakit. Hal yang perlu diperhatikan dalam antisipasi terjadinya komplikasi kehamilan maupun persalinan ini adalah sebagai berikut.



. . .



Selama kehamilan perlu konseling mengenai bahaya persalinan pada kasus parut uterus.



Tidak diperkenankan ibu bersalin di rumah atau Puskesmas pada kasus parut uterus. Perlu konseling bahwa risiko persalinan untuk terjadinya dehisens dan ruptura uteri adalah tinggi, sehingga perlu dilakukan rujukan segera. Di rumah sakit perlu fasilitas yang memadai untuk menangani kasus seksio sesarea emergensi dan dilakukan seieksi ketat untuk melakukan persaiinan pervaginam dengan parut uterus.



IJpaya untuk menekan angka kejadian seksio sesarea yang tinggi ini perlu dibuat protokol pertolongan persalinan yang baik, misalnya dengan melaksanakan manajemen persaiinan aktif dan dibuat prosedur tetap (SOP) untuk kasus parut uterus.



Persalinan pervaginam pada parut uterus (Vaginal Birtb ataw Trial of labor After Cesarean/TOLAC)



After Cesarean/VBAC



Dengan berkembangnya teknik pertolongan persalinan, tindakan persalinan pervaginam pada parut uterus meningkat. Dahulu ditakutkan terjadinya mptura uteri. Di Amerika



Serikat angka kejadian VBAC meningkat dari 18,9 % menjadi 28,3 "/o dalam kurun waktu tahun 90-an. Gambaran ini memperlihatkan bahwa penanganan persalinan pervaginam lebih diutamakan pada akhir-akhir ini 10-12,15. Prosedur persalinan pervaginam dengan parut uterus



(Menurut ALARM International2r)



Hal dasar yang perlw diperbatikan



.



Identifikasi pasien apakah memenuhi syarat untuk dilakukan pertolongan persalinan pervaginam.



518



KEHAMILAN DAN PERSALINAN DENGAN PARUT UTERUS



o Jelaskan dengan cermat mengenai rencana pertolongan persalinan dengan diakhiri penandatan ganan pers eru juan pas ienlkeluarga (inform e d co n ent) . . Persiapkan pemantauan ibu dan janin dalam persalinan secara rerLls-menerus rermasuk pencatatan denlut ;'antung tiap 30 menit. r Persiapkan sarana operasi segera untuk menghadapi kegagalanVBAC/TOLAC. s



Pemiliban pasien



.



Kenali jenis operasi terdahulu mengenal kondisi operasi terdahulu dari laporan operasinya (adakah kesulitan atau komplikasinya) Dianjurkan VBAC dilakukan hanya pada uter-us dengan luka parut sayatan transversal Segmen Bawah Rahim (SBR).



o Bila mungkin o



Kontraindikasi VBAC



. . r



Kontraindikasi dilakukan persalinan pervaginam secara umum. Luka parut utenis jenis klasik. Jenis luka T terbalik atau jenis parur yang tidak diketahui. o Luka parut pada otot rahim di luar SBR. . Bekas utenrs ruptur. o Kontraindikasi relatif, misalnya panggul sempit relatif. o Dua atau lebih luka parut transversal di SBR.



.



Kehamilan ganda.



Pertolongan persalinan dilakukan sesuai dengan Standar Prosedur Tetap yang dibuat sesuai dengan kondisi sarana pelayanan persalinan setempat.



Perlu mendapat perhatian:



o Observasi proses persalinan dengan baik termasuk kondisi o Bila periu berikan analgesia.



.



ibu dan kesejahreraan janin.



Ingat kemungkinan terjadi uterus ruprur.



Cara tepat memilih keluarga berencana Konseling Keluarga Berencana perlu diberikan sejak awal kehamilan. Untuk menghindari terjadinya komplikasi berat dianjurkan memakai kontrasepsi mantap atau AKDR segera setelah piasenta lahir, terutama untuk persalinan pada luka parut uterus ketiga kalinya.



Persalinan pervaginam pada kasus parut uterus dipilih karena dari hasil penelitian yang ada persalinan pervaginam tidak meningkatkan kematian ibu dan anak walaupun dilaporkan adanya kenaikan morbiditas. Hal ini dapat ditekan dengan penanganan yang baik.



K-EHAMILAN DAN PERSALINAN DENGAN PARUT UTERUS



619



RUTUKAN 1. Cragin EB. Conservatism in Obstetrics. New York Med J. 1916; (104): 1-3 2. Van Roosmalen J. Vaginal Birrh After Cesarean section in rural Tanzania. Int J Gynecol Obstet. 1991; (34): 21 1-5 3. Van RoosmalenJ. Maternal health care in the South $flestern Highlands of Tanzania (Thesis). Drukkerii



J.H. Pasmans 8.V.,'s-Gravenh



a.ge; 1.988:. 122-6



4. Notzon FC, Placek PJ, Taffel SM. Comparisons of national cesarean section rates. N Engl J Med. 1987; (316):386-e 5. Notzon FC, Cnattingius S, Bergsjo P, Cole S, Taffel S, Irgens L, Daltveit AK. Cesarean section delivery in the 1980s,: International comparison by indication. Am J Obstet Gynecol. 1994; (170): 495 6. Dodd JM, Crowther CA. Elective repear cesarean section versus induction of labor for women with a previous cesarean birth. The Cochrane Collaboration. The Cochrane Library;20a7 7. Menacker F, Curtin SC. Trends in Cesarean Birth and Vaginal Birth After Previous Cesarean, 1991-7999" National Vital Statistics Reports. 2aO1; 49: 13 8. Farmakides G, Duvivier R, Schulman H, Schneider E, Biordi J. Vaginal Birth After Two or More Previous Cesarean Section. Am J Obstet Gynecol. 1987; (156):565-6 9. Meir PR, Porreco RP. Trial of Labor following cesarean section; A two year experience. Am J Obstet Gynecol. 1982; (144): 67'l-8 10. Kirkwood KS, James PL, Laurence EK. Evaluation of elecrive repeat cesarean section as a standard of care; an application of decision analysis. Am J Obstet Gynecol. 1981; (139): 123-9 11. \flall E, Roberts R, Deutchn.ran M, Huesron \W, Atwood LA, Ireland B. Trial of Labor After Cesarean (TOLAC). American Academy of Family Physicians; 2005 12. Dickinson JE. Cesarean Section in High Risk in Pregnancy Management. Jan-res DK, Steer PJ, Veiner CP, Gonik B. 3'd ed. Saunders Elsevier; 2006 13. Wirakusumah FF. A Study of Cesarean Sections; a comparison of relevant factors and practices in Indonesia and the Netherlands (Thesis). Universitaire Drukkerij Bureau van de Universiteit Leiden; 1992:"107-8 14. Molloy MH, Rhoads GG, Schramm \W, Land G. Increasing cesarean section in very low birth weight infants. JAMA. 1987 (262): 1,475-8 15. Hendler I, Bujould E. Effect of Prior Vaginal Delivery or Prior Vaginal Birth After Cesarean Delivery on Obstetrics Outcome in rWomen Undergoing Trial of Labor. The American College of Obstet



Gynecol. Lippincott Villiams and lWilkins. 2A04; (10+): 273-7 I(M, Stamilio DM, Pare E, Peipert JF, Stevens E, Nelson DB, Macones GA. Safety and Efficacy of Vaginal birth After Cesarean Artempts at or Beyond 40 weeks of Gestation. Obstet and Gynecol. 2005; (106): 200-6 17. Norcal, Mutual Insurance Company. Vaginal Birth After Cesarean Section. Using Risk Assessment to Achieve Safe Deliveries. San Francisco, USA; 2002 18. Crawford P, Kaufmann L. How safe is vaginal birth after caesarean section for the mother and fetus? J Family Practice. 2006; (55):149-51 19. Cunningham FG, Ganr NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, 'Wenstrom KD, editors. Villiams Obstetrics, 21" ed. New York: McGraw-Hill; 2001: 538-45 20. Arulkuuraran S, Gibb DMF, Ingemarsson I, Kichener HC, Ratnam SS. Uterine activity during spontaneous labor after previous lower-segment cesarean secrion. Br J Obstet Gynaecol. 1989t (96): 933-8 21. Arulkumaran S, ingemarsson I, Ratnam SS. Oxytocin augmentation in dysfuctional labour a{ter previous cesarean section. Br J Obstet Gynaecol. 1989; (96):939-41 22. Van Roosmalen J. Vaginal Birrh After Cesarean Section in rural Tanzania. Int J Gynaecol Obstet. 1991; 16. Coassolo



Qa):2't1,-5 23.



Ah;m International, A Program ro



Reduce Maternal



Mortality and Morbidity,2nd edition. Canada, 2003



45



GAWAT /AN/N DALAM PERSALINAN Hidayat Vijayanegara Twjuan Instrwksional Umum Mengenali dan mendiagnosis gatuat janin dalam persalinan serta mengambil tindakan yang tepat



untuh mengawsinya.



Twjwan Instruk sional Kbusws



1. Menyebut tanda-tanda 2. 3.



garaat janin baik yang diduga melalui auskultasi dengan monoaural dan Doppler maupun hasil rekaman DJJ kardiotokografi.



Menyebut langkab-kngbah resusitasi intrauterin. Menyebut cara-card, menyelesaikan persalinan pada gawat janin dalam persalinan.



Pengertian Gawat Janin Secara luas istilah gawat janin telah banyak dipergunakan, tapi definisi istilah



ini



sangat



miskin. Istilah ini biasanya menandakan kekhawatiran obstetris tentang keadaan janin, yang kemudian berakhir dengan seksio sesarea atau persalinan buatan lainnya. Keadaan janin biasanya dinilai dengan menghitung denl,ut jantung janin (DJJ) dan memeriksa kemungkinan adanya mekonium di dalam cairan amnion. Sering dianggap DIJ yang abnormal, terutama bila ditemukan mekonium, menandakan hipoksia dan asidosis. Akan tetapi, hal tersebut seringkali tidak benar. Misainya, takikardi janin dapat disebabkan bukan hanya oleh hipoksia dan asidosis, tapi juga oleh hipertermia, sekunder dari infeksi intrauterin. Keadaan rersebut biasanya tidak berhubungan dengan hipoksia janin atau asidosis. Sebaliknya, bila DIJ normal, adanya mekonium dalam cairan amnion tidak berkaitan dengan meningkatnya insidensi asidosis janin.



GA\ilAT JANIN DATAM PERSALINAN



621,



Unruk kepentingan klinik perlu ditetapkan kriteria apayang dimaksud dengan gawat janin. Disebur gawar janin, bila ditemukan denl,ut jantung janin di atas 160/menit atau di bawah 1OO/menit, denyut jantung tidak teratur, atau keluarnya mekonium yang kental pada awal persaiinan.



Auskultasi Intermiten Auskultasi intermiten jantung janin telah digunakan sejak abad ke-20. Sir Andrew Claye1 menulis sebagai berikut. . DJJ, irama, dan intensitasnya harus diperiksa setiap 2 jam selama kala I asal ketuban masih intak, dan bila telah pecah harus dilakukan setiap 1/z jam. . Auskultasi harus dilakukan setelah selesai suatu kontraksi untuk memberi kesempatan pada jantung berubah ke denprt iantung normal. Jelas auskultasi dengan cara demikian akan gagal menemukan deselerasi lambat, salah saru yang paling sensitif sebagai indikator hipoksia selama persalinan. Hipoksia merupakan suatu keadaan patologis yang ditandai oleh berkurangnya konsentrasi/kadar oksigen di dalam jaringan-jaringan dan darah (asidemia). Persalinan darurat dari janin dengan takikardia (>160 denl'ut per menit) atau suatu bradikardia ( 150 denl'ut per menit, atau < 110 deny.ut per menit (menurut FIGO), atau lambat setelah suatu kontraksi, disarankan penggunaan alat pemantau janin elektrik (electronic feul monitoring) untuk mengetahui pola DJJ. Frekuensi auskultaii hendaknya lebih sering dilakukan pada kala II, segera setelah setiap kali kontraksi. Bila jantung janin sulit didengar, pergunakan alat Doppler yang portabel. Hal ini sangat bermanfaat karena parturien sering aktif sehingga penggunaan stetoskop Pinard sulit dilakukan.



Pemantauan Janin Berkesinambungan secara Elektronik (PJB) Pada awal penggunaan PJB, antusiasme timbul untuk mengurangi kematian intraparrum drr, -.nu.u.rkan kematian perinatal dan gangguan neurologis di kemudian hari. Awal penelitian-peneiitian secara retrospektif memberi kesan ada hubungannya dengan penunrnan PeriiaUl Morulity Rare (PMR) yang cukup besar, sebesar 50 "h dari kesakitan dan kematian perinatal.



622



GA\TAT JANIN DAIAM PERSALINAN



Walaupun demikian, penelitian lain kurang antusias, malah melaporkan meningkatnya



intervensi akibat penggunaan PJB, tanpa manfaat yang jelas. Terdapat 1.2 randomized controlled clinical triak dari PJB dibandingkan auskultasi/catatan secara intermiten. Sembilan di antaranya berdasarkan hasil meta analisis Vintzilleos dan kawan-kawan2, yang meliputi 18.561 penderita. Hasilnya ditemukan insidensi seksio sesarea meningkat dengan penggunaan PJB ini (odds ratio 1,.53,95 oh confidence interual (CI) 1.12-2.01). Tidak terdapat penurunan yang berarti dari PMR (4,2/1.OOO pada kelompok PJB jika dibandingkan dengan auskultasi intermiten yang besarny a 4,9 / L.OOO). Meskipun demikian, terdapat pengurangan yang signifikan dari kematian akibat hipoksia dari kedua kelompok, 0,7/1..OOO dan 1,8/1.000 (od.ds ratio 0.41.,95 % CI 0.1,7o"e8).



Hasil tiga penelitian lainnya, berdasarkan meta analisis memberi hasil yang sama. Dengan demikian, menumt hasil penelitian tersebur PJB tidak perlu dipergunakan secara rutin pada semua persalinan.



Fetal Blood Sampling (FBS) dan Pengukuran pH



pH ini dipergunakan di klinik sebelum PJB yang kesinambungan. Bagaimanapun FBS ini memakan wakru, tidak nyaman pelaksanaannya, dan tidak menyenangkan bagi penderita. Jadi, dengan dipergunakannya PJB pada akhir tahun 1960 sangat men;'anjikan sebagai sarana penapisan, memilih 40 "/, dari janin-janin dengan pola DJJ yang abnormal untuk Sering dilupakan, FBS dan pengukuran



ditindaklanjuti pemeriksaannya. Beard et aP menyaakan bahwa DJJ normal selama persalinan berhubungan dengan risiko asidosis yang sangat rendah, kurang dari2'h janin-janin pH-nya kurang < 7,20. Meskipun demikian, 40 "/" dari janin-janin yang memperlihatkan pola DIJ abnormal pada kala persalinan yang sama berada pada risiko dilakukannya persalinan buatan yang sebenarnya tidak perlu/tidak penting bila diagnosisnya menyandarkan diri hanya pada kriteria "gawat ianin" menurur DJJ. Bahkan, dengan pola DIJ yang paling abnormal sekalipun, takikardia dengan deselerasi lambat, hanya 50 % janin-janin ditemukan asidosis pada/eul blood sampling. Beard et a/, berkomentar bahwa seandainya pemanrauan DJJ berkesinambungan dipergunakan di prakdk klinik, maka sejumlahfalse (+) asfiksia janin akan dibuat.



Dari segi praktis pencararan DJJ yang abnormal harus dianggap sebagai tanda peringatan dari indikasi dikerjakannya pengukuran pH janin. Neilson dalam British Medical Journal 1993a, berpendapat bahwa bukti yang ada tidak mendukung pemantauan DJJ secara berkesinambungan pada semua persalinan. Pada persalinan normal auskultasi intermiten dengan stetoskop Pinard tidak dapat dianggap sebagai suatu bentuk penilaian yang tidak adekuat atau ddak berarti. Meskipun demikian, ia mengusulkan bahwa PFE cukup memadai untuk persalinan dengan komplikasi seperti partus lama, akselerasi atau induksi, kehamilan ganda, cairan amnion dengan mekonium, dan IUGR atau prematuritas.



623



GA\rAT JANIN DALAM PERSALINAN



Dengan demikian, pemantauan dasar janin termasuk auskultasi DJJ yang teratur selama persalinan, hendaknya dilakukan setiap 15 menit pada kala I dan setelah setiap kali kontraksi pada kala II. Denyutnya harus dihitung selama 1 menit, dimulai pada saat terjadi kontraksi sehingga dapat mendeteksi deselerasi.



< 110 dpm atau > 150 dpm merupakan indikasi dianjurkannya penggunaan PFE. Penghitungan pH janin harus dilakukan seandainya DJJ abnormal, tanpa ini maka insidensi seksio sesarea yang tidak penting akan tinggi.



DJJ



Bila ditemukan tanda-tanda"gawatjanin", maka penderita dimiringkan ke sebelah kiri, beri 02 dengan menggunakan masker, hentikan pemberian oksitosin, dan beri tokolitik bila terjadi hiperstimulasi. Tindakan di atas disebut resusitasi intrauterin. Biasanya dilakukan selama 20 menit dan kemudian nilai keberhasilan tindakan tersebut



di



atas.



o Pada kasus



-



dengan pewarnaan mekonium dalam cairan amnion, tindakannya adalah:



Pencatatan DJJ secara berkesinambungan diteruskan.



Hindari kejadian-kejadian yang mempercepat hipoksia ianin (hipotensi, hiperstimulasi uterus). Amnioinfusion mengurangi risiko seksio sesarea gawat janin, asidemia janin, dan sindroma aspirasi mekonium.



Simpulan Pengelolaans'6,7 Denyut tantwng lanin



o



Cara-cara pemantauan Kasus risiko rendah



-



. . . -



- auskultasi teratur DJJ



selama persalinan:



Setiap 15 menit selama kala I Setiap setelah his pada kala II Hitung selama satu menit b.ila his telah selesai



Kasus risiko tinggi



- pergunakan pemantauan DJJ elektronik



secara berkesinam-



bungan



. .



Hendaknya sarana untuk pemeriksaan pH darah ianin disediakan.



Interpretasi dan pengelolaan



-



Untuk memperbaiki aliran darah uterus lvliringkan ibu ke sebelah kiri untuk memperbaiki sirkulasi plasenta.



. . .



.



Hentikan infus oksitosin (bila sedang diberikan). Untuk memperbaiki hipotensi ibu (setelah pemberian anestesi epidural) segera berikan infus 1 I kristaloid (larutan Ringer) Kecepatan infus cairan-cairan intravaskular hendaknya dinaikkan untuk meningkatkan aliran darah arteri uterina.



624



GA\TAT JANIN DALAM PERSALINAN



-



Untuk memperbaiki aliran darah umbilikus: . Ubah posisi ibu seperd yang tersebut di atas



-



Beri ibu oksigen dengan kecepatan 5



- 8 l/menit



Perlu kehadiran seorang dokter spesialis anak



Biasanya resusitasi intrauterin tersebut di atas dilakukan selama 20 menit



o Tergantung pada terpenuhinya syarat-syarat, melahirkan janin dapat pervaginam ataupun perabdominam.



RUIUKAN 1. Claye A. Management of labour. In: Claye A, Bourne A, editors. British Obstetrics and Gynaecological Practice. London: \ifilliam Heinemann Medical Books; 1963: 184-204 2. Vintzileos AM, Nochimson DJ, Guzman ER. Intrapartum elecrronic fetal heart rate monitoring versus intermitten auscuhation: a mera analysis. Obsret Gynecot 85: 149-55 3. Beard R\fl, Filshie GM, Knight CA, Roberts GM. The significance of the changes in rhe conrinuous foetal heart rate in the first srage of labour. J Obster Gynecol Brit Cwhh; 1971;78: 865-8l 4. Neilson JP. Cardiorocography during labour. Brir Med J; 1993; 306: 347-8 5. Dutta DC. Text book of obstetrics. New central book, Calcuta, 1998: 655 6. James DK, Steer PJ, Vainer CP, Gonik B. High risk pregnancy. 2"d. London: \WB Saunders; 2001: 1122-32 7. Enkin M, Marc JNC, Renfrew M, Neilson J. A guide to effective care in pregnancy and childbirrh. 2nd. Oxford: Oxford University Press; 1995



47 PROLAPS TALI PUSAT Hidayat Vijayanegara



Tujuan Instrwksional Umum Mengenali dan mengetahui faktor-faktor predisposisi yang berhubungan dengan kejadian prolaps tali pusat seru mengambil tindakan yang tEat untub menyelamatkan janin.



Tujwan Instruksional Kbusus



1. 2. 3.



Menyebut faktor-fahtor predisposisi terjadinya prolaps Menjekskan babaya prolaps txli pusat.



ali



pusat.



Menjelaskan kngkahJangkab menegabkan diagnosis prokps tali pusat.



Prolaps tali pusat merupakan komplikasi yang jarang terjadi, kurang dari 1 per 200 kelahiran, tetapi dapat mengakibatkan tingginya kematian janin. Oleh karena itu, diperlukan keputusan yang matang dan pengelolaan segera. Prolaps tali pusat dapat diklasifikasikan sebagai berikut.



o Tali pusat terkemuka, bila tali pusat berada di bawah bagian terendah janin dan



. t



ketuban masih intak.



Tali pusat menumbung, bila tali pusat keluar melalui ketuban yang sudah pecah, ke serviks, dan turun ke vagina. Occub prolapse, tali pusat berada di samping bagian terendah janin turun ke vagina. Tali pusat dapat teraba atau tidak, ketuban dapat pecah atau ddak.



626



PROIAPS TALI PUSAT



Prevalensi Prolaps Tali Pusat



Faktor dasar yang merupakan faktor predisposisi prolaps tali pusat adalah tidak terisinya secara penuh pintu atas panggul dan serviks oleh bagian terendah ;'anin. Faktor-faktor etiologi proiaps tali pusat meliputi beberapa faktor yang sering berhubungan dengan ibu, janin, plasenta, tali pusat, dan iatrogenikl:



o o



. . . . . .



Presentasi yang abnormal seperti letak lintang atau letak sungsang temtama presen-



tasi kaki. Prematuritas Kehamilan ganda Polihidramnion sering dihubungkan dengan bagian terendah janin yang tidak engage Multiparitas predisposisi terjadinya malpresentasi Disproporsi janin-panggul Tumor di panggul yang mengganggu masuknya bagian terendah janin Tali pusat abnormal panjang (> 75 cm)



o Plasenta letak rendah o Solusio plasenta



. .



Ketuban pecah dini



Amniotomi



Patofisiologi Prolaps Tali Pusat Tekanan pada tali pusat oleh bagian terendah janin dan jalan lahir akan mengurangi atau menghilangkan sirkulasi plasenta. Bila tidak dikoreksi, komplikasi ini dapat mengakibatkan kematian janin. Obstruksi yang lengkap dari tali pusat menyebabkan dengan segera berkurangnya detak jantung janin (deselerasi variabel). Bila obstruksinya hilang dengan cepat, detak jantung ;'anin akan kembali normal. Akan tetapi, bila obstruksinya menetap terjadilah deselerasi yang dilanjutkan dengan hipoksia langsung terhadap miokard sehingga mengakibatkan deselerasi yang iama. Bila dibiarkan, terjadi kematian janin. Seandainya obstruksinya sebagian, akan menyebabkan akselerasi detak jantung. Penutupan vena umbilikalis mendahului penutupan arteri yang menghasilkan hipovolemi janin dan mengakibatkan akselerasi ;'antung janin. Gangguan aliran darah yang lama melalui tali pusat menghasilkan asidosis respiratoir dan metaboiik yang berat, berkurangnya oksigenisasi janin, bradikardia yang menetap, dan akhirnya kematian janin. Prolaps tali pusat tidak berpengaruh langsung pada kehamilan ata:u jalannya persalinan.



Diagnosis Diagnosis prolaps tali pusat dapat melibatkan beberapa



c



ra.



1. Melihat tali pusat keluar dari introitus vagina. 2. Teraba secara kebetulan tali pusat pada waktu pemeriksaan dalam.



PROLAPS



TALI PUSAT



627



3.



Auskultasi terdengar ;'antung janin yang iregular, sering dengan bradikardi yang



4.



Monitoring denlut jantung janin yang berkesinambungan memperlihatkan adanya



5.



Tekanan pada bagian terendah janin oleh manipulasi eksterna terhadap pintu atas panggul menyebabkan menumnnJa detak jantung secara tiba-tiba yang menanda-



ielas, terutama berhubungan dengan kontraksi utenrs. deselerasi variabel.



kan kompresi mli pusat. Diagnosis dini sangat penting untuk kehidupan janin. Meskipun demikian, keterlambatan diagnosis adalah biasa. Pada setiap gawat janin harus segera dilakukan pemeriksaan dalam. Penderita yang mempunyai risiko tinggi terjadinya prolaps tali pusat harus dipantau FHR yang berkesinambungan, yang memberi peringatan dini adanya kompresi tali pusar lebih dari 80 7o kasus.



Prognosis Komplikasi ibu seperti laserasi jalan lahir, ruptura uteri, atonia uteri akibat anestesia, arremia dan infeksi dapat terjadi sebagai akibat dari usaha menyelamatkan bayi. Kematian perinatal sekitar 20 - 30 7o. Prognosis janin membaik dengan seksio sesarea secara liberal untuk terapi prolaps tali pusat. Prognosis janin bergantung pada beberapa faktor berikut.



. . . . .



Angka kematian untuk bayi prematur dengan prolaps tali pusat hampir 4 kali lebih tinggi daripada bayi aterm. Bila gawat janin dibuktikan oleh detak jantungyang abnormal, adaoya cairan amnion yang terwarnai oleh mekonium, atau tali pusat pulsasinya lemah, maka prognosis janin buruk. Jarak antara terjadinya prolaps dan persalinan merupakan faktor yang paling kritis untuk janin hidup. Dikenalnya segera prolaps memperbaiki kemungkinan janin hidup. Angka kematian janin pada prolaps tali pusat yang letaknya sungsang atau lintang sama tingginya dengan presentasi kepala. Hal ini menghapuskan perkiraan bahwa pada kedua letak janin yang abnormal tekanan pada tali pusatnya tidak kuat.



Pengelolaan



Ditemukannya prolaps tali pusat diperlukan tindakan yang cepat. Terapi definitif adalah melahirkan .ianin dengan segera. Penilaian yang cepat sangat pendng untuk menentukan sikap terbaik yang akan diambil. Persalinan pervaginam segera hanya mungkin bila pembukaan lengkap, bagian terendah janin telah masuk panggul, dan tidak ada CPD.



628



PROTAPS



TALI PUSAT



Bahaya terhadap ibu dan janin akan berkurang bila dilakukan seksio sesarea daripada persalinan pervaginam yang dipaksakan pada pembukaanyang belum lengkap. Sambil menunggu persiapan seksio sesarea, tekanan pada tali pusat oleh bagian terendah janin dapat diminimalisasi dengan posisi knee chest, Trendelenburg, atau posisi Sim.



Bila sebelumnya diberi oksitosin, obat ini harus dihentikan. Sebaiknya jenis apa pun dari prolaps tali pusat, bila syarat-syarat untuk melakukan persalinan pervaginam belum terpenuhi, sebaiknya dilakukan seksio sesarea untuk menyelamatkan janin.



RUJUKAN DK, Steer PJ, Veiner CP, Gonik B. High Risk Pregnancy. 2nd ed. North York: !g'.B. Saunders; 2001:734-5 2. V/illiams J. Obstetrics emergency in: Bennet VR, Brown LK, eds; Myles Textbook For Midwives. London: Churchill Livingstone; 1993: 432-3 3. Sirrat GM, Mills MS, Drycott TJ. Obsret Gynaecol, London: Churchill Livingstone; 2A$: l7O-1 1. James



48



DEMAM DALAM KEHAMILAN DAN PERSALINAN Jusuf Sulaeman Effendi dan Adhi Pribadi Tujwan Instrwksional Umwm Memabami penanganan demam dahm kehamilan d.an persalinan, hhususnya infehsi traktus urinarius



(UTI) dan malaria Tujwan Instruksional Kbwsws



1. Mengetabui persoalan UTI 2. Mengeabui gejala hlasik UTI 3. Mengeubui pemeriksaan penunjang UTI 4. Mengeubui pengobaan UTI sekma persalinan 5. Mengeabui pengobatan profi.laksis 5. Mengetabui komplikasi d.an penanganannya 7. Mengetabui persoakn Malaria 8. Mengeubui gejala klasih Malaria 9. Mengetabwi pemeribsaan penunjang Makria 10. Mengeubui pengobatan Malaria sekma kehamilan 1 1. Mengetahui pengobatan profilaksis 12. Mengeahui komplikasi dan penanganannya



INFEKSI SALURAN KEMIH Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi bakteri yang paling sering dijumpai selama kehamilan. '\Talaupun bakteriuria asimptomatik merupakan hal biasa, infeksi simptomatik dapat mengenai saluran bawah yang menyebabkan sistitis, atau menyerang kaliks ginjal, pelvis, dan parenkim sehingga menimbulkan pielonefritisl-7.



630



DEMAM DALAM KEHAMILAN DAN PERSALINAN



Organisme yang menyebabkan infeksi saluran kemih berasal dari flora normal perineum. Terdapat bukti bahwa beberapa galur E. koli memiliki vili yang meningkatkan virulensinya. \(alaupun kehamilan itu sendiri tampaknya tidak meningkatkan faktorfaktor virulensi ini, stasis air kemih tampaknya menyebabkan hal tersebut, dan bersama dengan refluks vesikoureter, stasis mempermudah timbuinya gejala infeksi saluran kemih bagian atasl'7. Komplikasi pada ibu dan fanin dapat terjadi. Oleh karena itu, diagnosis dan terapi merupakan masalah penting yang harus dapat diatasi. Perubahan hormonal semasa kehamilan dan perubahan fungsi ginjal menyebabkan ISK mudah terjadi dan akibatnya dapat berkepanjangan pada ibu, seperti kuman yang temp ada sampai beberapa lama setelah persalinan. Di samping itu, risiko persalinan prematur menyertai kehamilan dengan ISK inir'2's-7. Pada masa nifas dini sensitivitas kandung kemih terhadap regangan air kemih di dalam vesika sering menurun akibat trauma persalinan serta analgesia epidural atau spinal. Sensasi peregangan kandung kemih juga mungkin berkurang akibat rasa tidak nyaman yang ditimbulkan oleh episiotomi yang lebar, laserasi periuretra, atau hematoma dinding vagina. Distensi yang berlebihan disertai dengan kateterisasi untuk mengeluarkan air kemih sering menyebabkan infeksi saluran kemihl's,7.



Diagnosis, Gejala, dan Tanda Diagnosis ISK ditegakkan dengan membuktikan adanya mikroorganisme di dalam saluran kemih. Gejala ISK tidak selalu lengkap, bahkan kadang-kadang tanpa gejala (asimptomatik). Gejala yang lazim ditemukan adalah disuria, polakisuria, dan terdesak kencing (wrgenry), yang biasanya terjadi bersamaan. Rasa nyeri biasanya didapatkan di daerah suprapubis atau pelvis berupa rasa nyeri atau seperti terbakar di uretra atau muara uretra luar sewaktu berkemih atau di luar saat berkemih. Polakisuria terjadi akibat kandung kemih tidak dapat menampung air seni lebih dari 500 ml akibat rangsangan mukosa yang meradang sehingga sering berkemih. Rasa terdesak berkemih dapat sampai menyebabkan seseorang penderita ISK ngompol, tetapi gejala ini juga didapatkan pada penderita batu atau benda asing di dalam kandung kencingl-7. Gejala lain yang juga didapatkan pada ISK adaiah stranguria yaitu berkemih yang sulit dan disertai kejang otot pinggang yang sering pada sistitis akut, tenesmus yaitu rasa nyeri dengan keinginan mengosongkan kandung kencing meskipun telah kosong, nokturia yaitu kecenderungan buang air kecil lebih sering pada waktu malam hari akibat kapasitas kandung kemih yang menurun. Kolik ureter atau ginjal yang gejalanya khas dan nyeri dapat juga menyertai gejala ISK1,2.



Bakteriuri Asimptomatik Kondisi ini mengacu pada perkembangan bakteri yang terus-menerus secara aktif di daiam saluran kemih tanpa menimbulkan gejala. Prevalensi bakteriuri pada perempuan tidak hamil adalah sekitar 5 "/" sampai 6 %. insidensi selama kehamilan bervariasi dari 2



DEMAM DALAM K-EHAMILAN DAN PERSALINAN



631



sampai 7 "/o, dan bergantung pada paritas, ras, dan status sosioekonomi. Insiden tertinggi pernah dilaporkan pada multipara pembawa sel sabit, dan insidensi terendah dijumpai pada perempuan berkulit putih dengan paritas rendah. \Walaupun jumlah bakteri yang lebih sedikit mungkin menunjukkan kontaminasi, kadang-kadang hitung koloni yang rendah merupakan infeksi aktif, terutama apabila ada gejala klinik. Oleh karena itu, konsentrasi yang rendah perlu diobati karena pielonefritis dapat terjadi walaupun jumlah kuman tidak begitu banyakl'2,+,s. Apabila bakteriuria asimptomatik tidak diobati, sekitar 25 persen pasien kemudian akan mengalami infeksi simptomatik akut selama kehamilan tersebut. Eradikasi bakteriuria dengan antimikroba telah terbukti dapat mencegah sebagian besar infeksi klinikt. Pada beberapa penelitian, bakteriuria yang tersamar diiaporkan menyebabkan sejum-



lah efek merugikan pada kehamilan. Insidensi berat lahir rendah meningkat bila bakteriuria tidak diobati, retapi pemberian antibiotika tidak dapat menurunkan insidensi tersebut. Penelitian lain tidak mendukung hubungan antara bakteriuria dan berat lahir rendah, dan kecil kemungkinan bahwa bakteriuria asimptomatik merupakan faktor utama untuk bayi yang lahir prematur atau berat lahir rendahl.



Pemeriksaan



Urin



Piuria merupakan gejala penting, yaitu adanya leukosit dalam urin > 10/LPB pada pemeriksaan mikroskopik urin yang telah disentrifus. Hitung iumlah leukosit yang diekskresi pada urin pancaran tengah sebesar 2.000/ml atau 200.000/iam, dianggap positif, meskipun harus disingkirkan kemungkinan pencemaran leukosit dari vagina dan sekitarnya. Bila yang diperiksa adalah urin hasil aspirasi kandung kencing, maka nilai 800/ml telah dianggap merupakan tanda infeksil-3'6,7. Hematuria dapat juga terjadi pada ISK, tetapi bukan jenis glomerular dan dianggap positif bila jumlahnya lebih dari S/Iapang pandang besar (LPB) pada pemeriksaan mikroskopik, dan bila didapatkan jumlah lebih dari 8.000/ml urin1. Proteinuria ringan dapat ditemukan pada pielonefritis akut dan lebih sering lagi pada pielonefritis kronik. Namun, perlu diingat bahwa pielonefritis kronik tidak selalu bermakna infeksi, serta proteinuria lebih dari 2 g/24 jam tidak hanya disebabkan oleh



pielonefritis kronikl. Bakteriuria merupakan dasar diagnostik ISK yang harus dapat dibuktikan dengan adanya biakan urin dan harus dapat disingkirkan adanya kontaminasi. Biakan sampai lOO.OOO



koloni/ml urin sebagai tanda positifl.



Terapi Pengobatan ISK bertujuan untuk membebaskan saluran kemih dari bakteri dan mencegah atau mengendalikan infeksi berulang, sehingga morbiditasnya dihindari atau dikurangi. Tujuan tersebut dapat berupa1-7: . Mencegah atau menghilangkan gejala, bakteriemia, dan kematian akibat ISK.



632



. .



DEMAM DALAM KIHAMILAN DAN PERSALINAN



Mencegah dan mengurangi progresi ke arah gagal ginjal terminal akibat ISK sendiri atau komplikasi manipulasi saluran kemih. Mencegah timbulnya ISK nyata (bergefala) pada trimester akhir kehamilan.



Perempuan dengan bakteriuria asimptomatik dapat diberi pengobatan dengan salah satu dari beberapa regimen antimikroba. Pemilihan dapat didasarkan pada sensitivitas invitro, tetapi umumnya dilakukan secara empiris. Terapi selama 10 hari dengan ma-



krokristal nitrofurantoin, 100 mg per hari, terbukti efektif untuk sebagian besar perempuanl. Regimen lain adalah ampisilin, amoksisilin, sefalosporin, nitrofurantoin, atau sulfonamid yang diberikan empat kali sehari selama 3 hari. Angka kekambuhan semua regimen ini sekitar 30 '/". Kegagaian regimen dosis tunggal mungkin merupakan petunjuk adanya infeksi saiuran bagian atas dan perlunya terapi yang lebih lama. Bagi perempuan dengan bakteriuria yang menetap atau sering kambuh mungkin diindikasikan terapi supresif sepanjang sisa kehamilan. Salah satu regimen yang telah terbukti berhasil adalah nitrofuranroin 100 mg sebelum tidurl-7.



.



Dosis Tunggal



Amoksisilin



3 gram



Ampisilin



2 gram 2 gram



Sefalosporin



Nitrofurantoin 200 mg Suifonamid



2 gram



Trimetoprim sulfametoksasol 320l1 600 mg



r



Pemberian tiga hari:



Amoksisilin



500 mg 3 kali sehari 250 mg 4 kali sehari Sefalosporin 250 mg 4 kali sehari Nitrofurantoin 50 - 100 mg empat kali sehari, 100 mg dua kali sehari



Ampisilin



.



Kegagalan pengobatan



Nitrofurantoin 100 mg 4 kali sehari selama 21hari



.



Pencegahan kekambuhan



Nitrofurantoin 100 mg sebelum tidur



selama sisa masa kehamiian



Infeksi Saluran Kemih Akibat Jamur Spesies Kandida adaiah jamur terbanyak yang menyerang saluran kemih atau saluran genital pada perempuan atau pria- Pada perempuan atau pria normal biasanya tidak te1jadi infeksi karena jamur. Dekade terakhir terdapat kecenderungan peningkatan kasus infeksi saiuran kemih oleh jamur. Infeksi saluran kemih dapat terjadi karena penyebaran jamur melalui darah (fungemia) terutama pada penyakit infeksi jamur sistemik, sedangkan jalan yang kedua adalah melalui penyebaran asenden dari traktus urogenitalia bagian bawah



tenrtama pada perempuan. Penyebaran biasanya pada penggunaan kateter jangka lama, pemasangan stent internal, dan pemas angan n ephro stomy p ercutane o us.



DEMAM DAI-A,M K-EHAMIIAN DAN PERSALINAN



633



Peningkatan jumlah infeksi jamur disebabkan oleh makin meningkatnya infeksi opor-



tunistik akibat penyakit kronis seperd diabetes, penyakit otoimun atau pascatransplantasi organ dengan penggunaan kortikosteroid lama, penggunaan antibiotika lama dan penyakit yang mencemaskan dunia yaitu HIV/AIDS. Pada diabetes jamur biasanya mulai berkembang dalam urin bila kadar glukosa urin mencapai 150 mg/dl. Pada perempuan dengan diabetes terdapat banyak koloni jamur kandida di perineum dan periuretral. Risiko peningkatan infeksi ini disebabkan oleh gagalnya proses fagositosis dan aktivitas antijamur oleh neutrofil karena defisiensi insulin. Akan tetapi, yang berperan besar sebagai predisposisi infeksi adalah peningkatan penggunaan instrumen (indu.telling), stasis urin, dan obstruksi karena neuropati saraf



otonom.



.



Gambaran Klinik



-



-



Sebagian besar pasien dengan kandidiasis tidak menunjukkan gejala. Pada pasien dengan kateterisasi in&oelling juga hanya menunjukkan kolonisasi. Bila menunjukkan gejala klinik terbanyak adalah gejala iritasi vesika urinaria termasuk frekuensi, disuria, urgensi, hematuria, dan piuria. Pemeriksaan sistoskopi menunjukkan bercak sepeni putih mutiara, menonjol seperti tetesan susu, disertai hiperemia dan inflamasi pada vesika urinaria. Sebagian infeksi menyebar ke ginjal menyebabkan pielonefritis dengan gejala demam, leukositosis, menggigil, dan terdapat nyeri ketok costovertebral angle (CYA). Isolasi jamur kandida dari contoh urin mungkin terdapat kontaminasi dari koloni jamur di traktus urinaria bagian bawah atau dari daerah vulvovaginal. Kontaminasi dapat dihindari dengan teknik pengambilan sampel yang baik dan memperhatikan sterilitas. Gambaran patognomonik pada pemeriksaan urin adalah ditemukan hifa atau pseudohifa pada pemeriksaan mikroskopik.



Penatalaksanaan



Pada asimptomatik kandiduria tidak dibutuhkan terapi anti;'amur. Biasanya hanya bersifat transien dan bila persisten pun tidak memiliki ancaman serius untuk meningkatkan morbiditas pada pasien. Bila dibutuhkan pengobatan karena dikhawatirkan terjadi infeksi yang lebih serius dapat diberikan Amfoterisin B atau Flukonazole sistemik, atau dapat secara irigasi dengan Amfoterisin B. Pasien dengan kandiduria asimptomatik bila akan dilakukan terapi pembedahan atau pemasangan instrumen urologi, sebaiknya



diberi terapi terlebih dahulu untuk kandidurianya. Sistitis yang menunjukkan gejala membutuhkan terapi Amfoterisin B dengan cara instilasi melalui vesika urinaria (50 pg/dl) atau terapi sistemik penggunaan Ketokonazole atau Itrakonazole sangat rendah diekskresi melalui urin sehingga kemampuan untuk eliminasi jamur di vesika urinaria juga terbatas. Flukonazole banyak digunakan untuk kandiduria karena mudah diabsorbsi secara oral dan lebih dari 80 % diekskresi melalui ginjal dengan bentuk yang tidak berubah sehingga sangat cocok untuk sistitis karena jamur. Dosis Fluokonazole 200 mg/hari dosis tunggal selama 10 - 14 hari.



634



DEMAM DAIAM KEHAMILAN DAN PERSALINAN



Pemberian Amfsterisin B, yang dapat diberikan sistemik intravena dengan dosis 0,3 mglKgBB, menunjukkan efektivitas yang cukup baik. Rute ini juga digunakan pada infeksi yang menunjukkan resistensi. Pada renal kandidiasis sekunder akibat penyebaran hematogen dapat dilakukan pengobatan secara sistemik menggunakan Amfoterisin B intravena dengan dosis 0,6 mg/KgBB atau Fluokonazole intravena dengan dosis 400 mg/hari. Sistemik kandidiasis memerlukan terapi jangka panjang dengan durasi 4 sampai 6 minggu. Penggunaan obat Amfoterisin B selama kehamilan termasuk dalam kategori B, sedangkan Fluokonazole termasuk kategori C.



MALARIA DALAM KEHAMILAN Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa dan disebarkan melalui gigitan nyamuk Anopheles. Protozoa penyebab penyakit malarta adalah genus plasmodium yang dapat menginfeksi manusia ataupun serangga. Terdapat empat spesies Plasmodium yang menyebabkan malaria pada manusia, yaitu vivaks, ovale, malariae, dan falsiparum. Diduga penyakit ini berasal dari Afrika dan menyebar mengikuti gerakan migrasi manusia melalui pantai Mediterania, India dan Asia Tenggara. Nama malaria mulai dikenal sejak zaman kekaisaran Romawi. Kata malaria berasal dari bahasa Italia yang berarti udara kotor dan biasa juga disebut dengan istilah demam Romav/i1-4,e. Saat ini diperkirakan sedikitnya terjadi 300 juta kasus malaria akut di dunia setiap tahunnya, dan menyebabkan 1 sampai 3 juta kematian per tahun. Sekitar 90 o/" penyaktt ini terjadi di benua Afrika dan terutama menyerang anak-anak balita. Penyakit ini telah dieradikasi secara efektif di benua Eropa dan sebagian besar Amerika lJtara, kecuali di sebagian Meksikol.



Malaria dalam kehamilan merupakan masalah obstetri, masalah sosial, dan masalah medis yang membutuhkan penanganan multidisiplin dan multidimensi. Perempuan ha-



mii merupakan kelompok usia dewasa yang paling tinggi risikonya untuk



terkena



penyakit ini. Di daerah endemik malaria sekitar 20 - 40 %bayi yang dilahirkan mengalami berat lahir rendahl. Sejumlah daerah tertentu di Indonesia remtama yang berada di daerah pantai dan rawa, mempakan daerah endemis malaria, sehingga penyakit ini masih merupakan masaiah kesehatan yang besar di Indonesia. Tingginya kejadian penyakit malaria di Indonesia akan berdampak tingginya kejadian penyakit malaria dalam kehamilan, sehingga dibutuhkan pemahaman dari segi diagnostik dan pengelolaan penyakit malaria dalam kehamilan dalam upaya menumnkan tingkat kesakitan dan kematian ibu dan bayi. Tulisan ini akan membahas penyakit malaria dalam kehamilan serta upaya pencegahan dan pengelolaannya.



Penyakit Malaria dalam Kehamilan Gejala dan komplikasi malaria selama kehamilan berbeda-beda bergantung pada intensitas transmisi dan berhubungan langsung dengan tingkat imunitas ibu hamil. Ter-



DEMAM DAIAM K-EHAMIIAN DAN PERSALINAN



635



dapat dua kondisi yang berpotensi menghambat timbulnya gejala malaria yang disebabkan perbedaan imunitas, yaitu sebagai berikut.



Daerab Epidemik ataw Transmisi Malaria Rendah Perempuan dewasa yang belum pernah terkena parasit dalam jumlah banyak, seringkali menjadi sakit bila terinfeksi oleh parasit pertama kali. Ibu hamil yang tinggal di daerah dengan transmisi rendah mempunyai risiko 2 sampai 3 kali lipat untuk menjadi sakit yang berat dibandingkan dengan perempuan dewasa tanpa kehamilan. Kematian ibu hamil biasanya diakibatkan oleh penyakit malarianya sendiri atau akibat langsung anemia yang berat. Masalah yang biasa timbul pada kehamilannya adalah meningkatnya kejadian berat bayi lahir rendah, prematuritas, pertumbuhan janin terhambat, infeksi malaria, dan kematian janinl-+,s.



Daerab dengan Transmisi Malaria Sedang Sampai Tinggi



ini kebanyakan ibu hamil telah mempunyai kekebalan yang cukup karena telah sering mengalami infeksi. Gejala biasanya tidak khas untuk penyakit malaria. Yang paiing sering adalah berupa anemia berat dan ditemukan parasit dalam plasentanya. Janin biasanya mengalami gangguan pertumbuhan dan selain itu menimbulkan gangguan pada daya ahan neonatus. Kematian ibu hamil akibat malaria di benua Afrika mencapai puluhan ribu tiap tahunnya, 8 - 14 % ibu hamil melahirkan bayi dengan berat badan yang rendah, selain itu 3 - I % mengalami kematian janin dalam rahiml-4,e. Penyakit malaria dan kehamilan adalah dua kondisi yang saling mempengaruhi. Perubahan fisiologis dalam kehamilan dan perubahan patologis akibat penyakit malaria mempunyai efek sinergis terhadap kondisi masing-masing, sehingga semakin menambah masalah baik bagi ibu hamil, janin, maupun dokter yang menanganinya. Penyakit malaria yang terutama disebabkan oleh plasmodium falsiparum dapat menyebabkan keadaan yang buruk pada ibu hamil. Seorang primigravida yang terkena penyakit malaria umumnya paling mudah mendapatkan komplikasi berupa anemia, demam, hipoglikemi, malaria serebral, edema paru, sepsis puerperalis, bahkan sampai kematianl. Pada daerah



Gejala



Klinik



Selama kehamilan, lebih dari setengahnya memberikan manifestasi



yaitu



.



klinik yang atipik,



berupa:1-a'e



Demam Pasien dapat mengeluhkan bermacam-macam pola demam mulai dari tanpa demam,



demam tidak terlalu tinggi yang terus-menerus, hingga ke hiperpireksia. Pada trimester kedua kehamilan gambaran manifestasi klinik yang adpik lebih sering terjadi karena proses imunosupresi.



636



DEMAM DAI.A,M KEHAMIII,N DAN PERSALINAN



Anemia



Di negara berkembang yang biasanya merupakan daerah endemis malaria, anemia merupakan gejalayang paling sering ditemukan selama kehamilan. Penyebab utama anemianya adalah karena malnutrisi dan penyakit cacing. Dalam kondisi seperri ini penyakit malaria akan menambah berat keadaan anemianya. Penyakit malaria sendiri biasanya memberikan gejala dengan manifestasi anemia 'sehingga semua kasus anemia harus diperiksa kemungkinan ke arah penyakit malaria. Splenomegali Pembesaran limpa biasa terjadi pada penyakit malaria dan keadaan ini akan menghilang pada trimester kedua kehamilan. Bahkan, splenomegali yang menerap pada keadaan sebelum hamil bisa mengecil selama kehamilan.



Diagnosis Penyakit malaria memiliki 4 jenis dan masing-masing disebabkan oleh spesies parasit yang berbeda. Gejala riap-tiap jenis biasanya berupa meriang, panas dingin menggigil, dan keringat dingin. Dalam beberapa kasus yang tidak disertai pengobatan, gejala-gejala ini muncul kembali secara periodik. Jenis malaria paling ringan adalah malaria tertiana yang disebabkan oleh Plasmodium vivaks, dengan gejala demam dapat terjadi setiap dua hari sekali setelah gejala pertam a terjadi (dapat terjadi selama 2 minggu setelah infeksi;r,ro. Demam rimba (jwngle feoer), malaria aestivo-autumnal atau disebut juga malaria tropika, disebabkan oleh Plasmodium falsiparum merupakan penyebab sebagian besar kematian akibat malaria. Organisme bentuk ini sering menghalangi jalan darah ke otak, menyebabkan koma, mengigau, sena kematian. Malaria kuartana yang disebabkan oleh Plasmodium malariae, memiliki masa inkubasi lebih lama daripada penyakit malaria tertiana atau tropika; gejala pertama biasanya tidak terjadi antara 18 sampai 40 hari setelah infeksi. Geiala tersebut kemudian akan terulang kembali setiap 3 hari. Jenis ke empat dan merupakan jenis malaria yang paling jarang ditemukan disebabkan oleh Plasmodium ovale yang mirip dengan malaria terrianae,lo. Pada masa inkubasi malaria, protozoa tumbuh di dalam sel hari; beberapa hari sebelum gejala pertama terjadi, organisme tersebut menyerang dan menghancurkan sel darah



merah se;'alan dengan perkembangan mereka, sehingga menyebabkan demaml-4,e,10. Parasit Malaria dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan mikroskopis apus darah tepi dengan pewarnaan Giemsa, pemeriksaan ini merupakan baku emas untuk penyakit malaria. Meskipun demikian, pemeriksaan ini mempunyai keterbamsan yaitu pemeriksa harus cukup berpengalaman di samping bergantung pada kualitas reagen dan mikroskoPr'to. Cara lain pemeriksaan laboratorium adalah dengan deteksi antigen yaitu dengan cara mendeteksi antigen dari parasit Malaria. Pemeriksaan ini menggunakan Dipstich- dengan hasil dapat dibaca langsung 2 - 15 menit dan dapat digunakan di mana sija serta tidak tergantung sarana laboratorium. Cara ini telah digunakan oleh \flHO regional Pacific dan telah disetujui oleh balai pengawas obat dan mikrrra., Amerika Serikat IEDR; mulai



DEMAM DALAM KEHAMIIAN DAN PERSALINAN



637



bulan Juni 2007 dan dikenal dengan nama Rapid Diagnostic lesr (RDT). RDT meskipun sangat simpel masih membutuhkan konfirmasi ulang bila positif dengan cara mikroskopis. Salah satu penelitian di Spanyol menunjukkan cara diagnosis ini kurang



begitu akuratlo'11. Cara diagnosis lainnya adalah dengan pemeriksaan asam nukleat parasit dengan cara Polymerase Chain Reaaioz (PCR). Hasilnya lebih akurat menentukan jenis Malaria, tetapi harganya mahal dan membutuhkan peralatan laboratorium yang kompieksl0.



Komplikasi Komplikasi penyakit malaria cenderung akan lebih sering dan lebih berat dalam kehamilan. Yang sering dmbul adalah edema paru, hipoglikemia, dan anemia. Komplikasi yang lebih jarang rcrjadi adalah kejang, penurunan kesadaran, koma, muntah-muntah dan diare, dan lain-lain1-4,e.



.



.



.



Anemia Penyakit malaria dapat menyebabkan anemia dan juga dapat memperburuk keadaan anemia yang sudah ada. Hal ini disebabkan hal berikut. - Hemolisis eritrosit diserang oleh parasit. - Peningkatan kebutuhan Fe selama hamil. - Hemolisis berat dapat menyebabkan defisiensi asam folat. Anemia yang disebabkan oleh penyakit malaria lebih sering terjadi dan lebih berat pada usia kehamilan aotara 1.6 - 29 minggu. Adanya defisiensi asam folat sebelumnya dapat memperberat keadaan anemia ini. Anemia meningkatkan kematian perinatal serta kesakitan dan kematian maternal. Kelainan ini meningkatkan risiko edema paru dan perdarahan pascasalin. Anemia yang signifikan (Hb < 7 - 8 g%) harus ditangani dengan memberikan transfusi darah. Lebih baik diberi pacbed red cells daripada uthole blood, untuk mengurangi tambahan volume intravaskular. Transfusi yang terlalu cepat, terutama bila whole blood, akan menyebabkan edema paru. Edema paru akut Edema paru akut adalah komplikasi malaria yang lebih sering terjadi pada perempuan hamil darrpada perempuan tidak hamil. Keadaan ini biasa ditemukan saat pasien datang atau baru terjadi setelah beberapa hari daiam perawatan. Kejadiannya iebih sering pada rrimester II dan III. Edema paru akut akan bertambah berat karena ada anemia sebelumnya, dan adanya perubahan hemodinamik dalam kehamilan. Kelainan ini sangat meningkatkan risiko kematian.



Hipoglikemia Keadaan ini merupakan komplikasi yang cukup sering terjadi dalam kehamilan dengan penyakit malaria. Faktor-faktor yang mendukung terjadinya hipoglikemia ada-



lah sebagai berikut. - Meningkatnya kebutuhan glukosa karena keadaan hiperkatabolik dan infeksi parasit.



-



Sebagai respons terhadap starvasi/kelaparan.



Peningkatan respons pulau-pulau pankreas terhadap stimulus sekresi (misalnya quinine) menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia dan hipoglikemia.



538



DEMAM DAT-{M KEHAMILAN DAN PERSALINAN



Keadaan hipoglikemia pada pasien-pasien malaria tersebut dapat bersifat asimptomagejala-gejala pada hipoglikemia juga menyerupai gejala infeksi malaria, yaitu takikardia, berkeringat, menggigil, dan lain-lain. Pada sebagian pasien dapat menunjukkan gejala tingkah laku yang abnormal seperti kejang, penumnan kesadaran, dan pingsan yang hampir menyerupai gejala malaria serebral. Oleh karena itu, semua perempuan hamil yang terinfeksi malaria falsiparum, khususnya yang mendapat terapi quinine harus dimonitor kadar gula darahnya seriap 4 6 iam sekali. Hipoglikemia juga bisa rekuren sehingga monitor kadar gula darah harus selalu dilakukanl-a'e.



tik dan dapat luput terdeteksi karena



Kadang-kadang hipoglikemia dapat berhubungan dengan laktat asidosis dan pada keadaan seperti ini risiko mortalitas akan sangat meningkat. Hipoglikemia maternal juga dapat menyebabkan gawat janin tanpa ada tanda-tanda yang spesifikl.



Imunosupresi Keadaan imunosupresi dalam kehamilan dapat menyebabkan infeksi malaria yang rerjadi menjadi lebih sering dan iebih berat. Lebih buruk lagi, infeksi malaria sendiri dapat



menekan respons imun3-5. Perubahan hormonal selama kehamilan menurunkan sintesis imunoglobulin, penurunan fungsi sistem retikuloendotelial merupakan penyebab imunosupresi dalam kehamilan. Hal ini menyebabkan hilangnya imunitas yang didapat terhadap malaria sehingga ibu hamil lebih rentan terinfeksi malaria. Infeksi malaria yang diderita lebih berat dengan parasitemia yang tinggi. Pasien juga lebih sering mengalami demam paroksismal dan mengalami kekambuhan. Infeksi sekunder berupa infeksi saluran kencing dan pneumonia serta syok septikemia juga lebih sering terjadi dalam kehamilan karena keadaan



imunosupresi inil-4,e.



Risiko Terhadap Janin Malaria dalam kehamilan menimbulkan permasalahan bagi janin. Tingginya demam, insufisiensi plasenta, hipoglikemia, anemia, dan komplikasi-komplikasi lain dapat menimbuikan efek buruk terhadap janin. Baik malaria P. vivaks maupun P. falsiparum dapat menimbulkan masalah bagi janin. Akan tetapi, jenis infeksi P. falsiparum lebih serius karena dilaporkan insidensi monalitasnya tinggi. Akibat yang terjadi dapat berupa abonus spontan, persalinan premarur, kematian janin dalam rahim, insufisiensi plasenta, gangguan pertumbuhan janin (kronik/remporer), berat badan lahir rendah, dan gawat janin. Selain itu, penyebaran infeksi secara transplasental ke janin dapat menyebabkan malaria kongenitall-a'e.



Malaria Kongenital Malaria kongenital sangat jarang terjadi, diperkirakan timbul pada < 5 % kehamilan. Barier plasenta dan antibodi IgG maternal yang menembus plasenta dapat melindungi



DEMAM DA1AM KEHAMIIAN DAN PERSALINAN



639



janin dari keadaan ini. Akan tetapi, pada populasi nonimun dapat terjadi malaria kongenital, khususnya pada keadaan epidemi malaria. Kadar quinine plasma ianin dan kloiokuin sekitar Ye dari kadarnya dalam plasma ibu sehingga kadar subterapeutik ini tidak dapat menyembuhkan infeksi pada janin. Keempat spesies plasmodium dapat menyebabkan malaria kongenital, tempi yang lebih sering adalah P. malariae. Pada bayi baru



lahir dapat terjadi demam, iritabilitas, hepatosplenomegali, anemia, ikterus, dan lain-lain. Diagnoiis dapat ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan apus darah tebal dari darah umbilikus atau tusukan di tumit, kapan saja dalam satu minggu sesudah lahir. Diagnosis bandingnya adalah inkompatibilitas Rh, infeksi CMV, Herpes, Rubela, Toksoplasmosis' dan sifilisl'2.



Penatalaksanaan Malaria dalam Kehamilan Ada 4 aspek yang sama pentingnya untuk menangani malaria dalam kehamilan, yaitul-a'e:



. . r .



Pencegahan transmisi Pengobatan malaria Penanganan komplikasi Penanganan proses persalinan



Pencegahan Transmisi



Terdapat vpaya yang dapat dilakukan untuk pencegahan transmisi selama kehamilan, yaitul,+'s'



.



Pemberian obat malaria profilaksis Pemberian obat profilaksis selama kehamilan dianjurkan untuk mengurangi risiko transmisi di antaranya dengan pemberian klorokuin basa 5 mglkgBB (2 tablet) sekali seminggu, tetapi untuk daerah yang resisten, klorokuin tidak dianjurkan pada kehamilan dini, tetapi setelah itu dapat diganti dengan meflokuin. Obat lain yang sering digunakan untuk profilaksis adalah kombinasi sulfadoksin-pirimetamin dengan dosis 1 tablet per minggu, tetapi tidak dianjurkan untuk trimester pertama karena pirimetamin dapat menyebabkan teratogenik. Pemberian profilaksis pada ibu hamil di atas 20 minggu dapat mengurangi malaria falsiparum sampai 85 % dan malaria vivaks sampai 100 %. Profilaksis klorokuin menurunkan infeksi plasenta yang asimptomatik menjadt 4 %blla dibandingkan tanpa profilaksis sebanyak 19 %.



.



Pemakaian kelambu Pemakaian kelambu dinilai efektif untuk menurunkan jumlah kasus malaria dan tingkat kematian akibat malaria pada ibu hamil dan neonatus. Penelitian di Afrika memperlihatkan bahwa pemakaian kelambu setiap malam menurunkan kejadian berat badan lahir rendah atau bayi prematur sebanyak 25 "/". Kelambu sangat disarankan terutama pada kehamilan dini dan bila memungkinkan selama kehamilan'



DEMAM DAI-\M KEHAMIIAN DAN PERSALINAN



640



Terapi Malaria Obat-obat antimalaria yang sering digunakan tidak merupakan kontraindikasi bagi perempuan hamil. Beberapa obat antimalaria yang lebih baru memiliki aktivitas antifolat sehingga secara teoritis dapat berperan menyebabkan anemia megaloblastik dan kecacatan pada kehamilan dini. Akan tetapi, perlu difikirkan pada daerah dengan resisren klorokuin, kesehatan ibu adalah yang urama sehingga pemakaian obat yang efektif membunuh parasit tetap dian.jurkan bila kondisi ibu memburukl-4,e" Malaria dapat menimbulkan masalah yang fatal bagi ibu hamil dan janinnya. Oleh karena itu, setiap ibu hamil yang tinggal di daerah endemis malaria selama masa kehamilannya harus dilindungi dengan kemoprofilaksis terhadap malaria. Hal ini merupakan bagian penting dari perawatan anrenatal di daerah yang tinggi penyebaran malarianyal-a'e.



Obat antimalaria dalam kehamilanl,2:



Semuatrimester : kuinin,artesunate/artemeter/arteeter



Trimesterdua Trimester



tiga



: meflokuin,pirimetamin/sulfadoksin : sama dengan trimester 2



Kontraindikasi : primakuin; tetrasiklin; doksisiklin; halofantrin Komplikasi Malaria



.



Malaria Serebral Didefinisikan sebagai unrousable coma padz malaria falsiparum, suatu perubahan sensorium yaitu manifestasi tingkah laku abnormal pada seorang penderita dari yang paling ringan sampai koma yang dalam. Berbagai tingkatan penurunan kesadaran berupa delirium, mengantuk sopor, dan berkurangnya rangsang terhadap sakit terjadi pada keadaan ini. Gejala lain dapat berupa kejang, plantar ekstensi/fleksi, pandangan divergen, kekakuan leher, dan lain-1ain1,3,4. Pasien dengan koma membutuhkan penanganan yang komprehensif dan keahlian khusus. Akan tetapi, prinsip utamanya sama pada malaria lainnya yaitu pemberian antimalaria, sedangkan kondisi tidak sadar memburuhkan perawaran khususl-4,e.



r



Edem Paru Akut Dilakukan pemberian catran yang dimonitor dengan ketat; tidur dengan posisi setengah duduk, pemberian oksigen, diuretik, dan pemasangan ventilator bila diperlukan.



.



Hipoglikemia Pemberian dekstrosa 25 - 50 "/", 50 100 cc I.V., dilanjutkan infus dekstrosa 10 oh. Glukosa darah harus dimonitor setiap 4 - 6 jam untuk mencegah rekurensi hipo-



-



glikemixt-+'r.



.



Anemia



Harus diberi transfusi bila kadar hemoglobin



< 5 go/ot.



DEMAM DAIAM KEHAMILAN DAN PERSALINAN



641,



Gagal Ginjal Gagal ginjal dapat terjadi prerenal karena dehidrasi yang tidak terdeteksi atau renal karena parasitemia berat. Penanganannya meliputi pemberian cairan yang saksama,



diuretik, dan dialisis bila diperlukanl. Syok Septikemia, Hipotensi, Algid Malaria Infeksi bakterial sekunder, seperti infeksi saluran kemih dan pneumonia, sering menyertai kehamilan dengan malaria. Sebagian dari pasien-pasien tersebut dapat mengalami syok septikemia,yang disebut 'algid malaria'. Penanganannya adalah dengan pemberian sefalosporin generasi ketiga, pemberian cairan, monitoring tanda-tanda vital, dan keluar masuk cairanl'4'9. Koagulopati Perdarahan dan koagulopati jarang ditemukan di daerah endemis pada negaranegara tropis. Sering terjadi pada penderita yang non-imun terhadap malaria. Biasanya terjadi akibat trombositopenia berat ditandai manifestasi perdarahan pada kulit berupa petekie, purpura, hematoma, perdarahan gusi dan hidung, serta saluran pencernaan. Pemberian vitamin K 10 mg intravena bila waktu protrombin atau waktu tromboplastin parsial memanjang. Hindarkan pemberian kortikosteroid untuk trombositopenia, perbaiki gizi penderilxl-+,r.



Ikterus Manifestasi ikterus pada malaria berat sering dijumpai di Asia dan Indonesia yang mempunyai prognosis buruk1-4,e. Tindakan: Tidak ada terapi spesifik untuk ikterus. Bila ditemukan hemolisis berat dan Hb sangat rendah, beri transfusi darah.



o Transfusi ganti Transfusi ganti diindikasikan pada kasus malaria falsiparum berat untuk menurunkan jumlah parasit. Darah pasien dikeluarkan dan diganti denganpacbed sel. Tindakan ini terutama bermanfaat pada kasus parasitemia yang sangat berat (membantu membersihkan) dan impending edema paru (membantu menumnkan jumlah cairan)1'



Penanganan Saat Persalinan



Anemia, hipoglikemia, edema paru, dan infeksi sekunder akibat malaria pada kehamilan arerm dapat menimbulkan masalah baik bagi ibu maupun janin. Malaria falsiparum berat pada kehamilan aterm menimbulkan risiko mortalitas yang tinggi. Distres maternal dan fetal dapat terjadi tanpa terdeteksi. Oleh karena itu, perlu dilakukan monitoring yang baik, bahkan untuk perempuan hamil dengan malaria berat sebaiknya dirawat di unit perawatan intensifl. Malaria falsiparum merangsang kontraksi uterus yang menyebabkan persalinan prematur. Frekuensi dan intensitas kontraksi tampaknya berhubungan dengan tingginya



642



DEMAM DALAM K-E,HAMIIAN DAN PERSALINAN



demam. Gawat janin sering terjadi dan seringkali tidak terdeteksi. Oleh karena itu, perlu dilakukan monitoring terhadap kontraksi uterus dan denlut jantung janin untuk menilai adanya ancaman persalinan prematur dan takikardia, serta bradikardia atau deselerasi lambat pada janin yang berhubungan dengan kontraksi uterus karena hal ini menunjukkan adanya gawat ianin. Harus diupayakan segala cara untuk menurunkan suhu tubuh dengan cepat, baik dengan kompres dingin maupun pemberian antipiretika, seperti parasetamoll-4,e. Pemberian cairan dengan seksama juga merupakan hal penting. Hal ini disebabkan baik dehidrasi maupun overhidrasi harus dicegah karena kedua keadaan tadi dapat membahayakan baik bagi ibu maupun janin. Pada kasus parasitemia berat, harus dipertimbangkan tindakan transfusi gantil-4'e.



Bila diperlukan, dapat dipenimbangkan untuk melakukan induksi persalinan. Kaia II harus dipercepat dengan persalinan buatan bila terdapat indikasi pada ibu atau janin. Seksio sesarea dilakukan berdasarkan indikasi obstetrikl.



RUIUKAN 1. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, lVenstrom KD. \flilliams Obstetrics, 21st ed. New York: McGraw-Hill, 2001: 1461-83 2. Sampson JE, Gravett MG. Other infectious conditions in pregnancy. In: James DK, Steer PJ, Veiner CP, Gonik B, eds. High fusk pregnancy management options. 2nd ed. London: \W'B Saunders, 2001: s59-98 3. Gibbs RS, Sweet RL, Duff WP. Maternal and fetal infectious disorders. In: Creasy RK, Resnik R, Iams JD, eds. Maternal-fetal medicine principles and practice. Philadelphia: Saunders, 2a04:741-802 4. Faro S, Patorek JG. Perinatal infections. In: Knuppel RA, Drukker JE, eds. High risk pregnancy a team approach. WB Saunders company, 7993:97-138 5. Andrews V\fl, Gilstrap LC. Urinary tract infections. In: Gleicher N, Gall SA, Sibai BM, Elkayam U, Galbraith RM, Sarto GE, eds. Principles and practice of medical therapy in pregnancy. Connecticut; Appleton and Lange, 1992:913-20 6. McNeeley SG. Urinary tract infections in pregnancy. In: Sciarra JJ, ed. Gynecology and Obstetrics. Philadelphia: JB Lippincon, 1995: vol.2. (43) 7. Allen SR. Urinary tract infection. In: Winn HN, Hobbins JC, eds. Clinical maternal-fetal medicine. New York: Parthenon, 2000 279-92 8. Sobel JD. Fungal infections of the Genitourinary Track. In: Anaissie EJ, McGinnis MR, Pfaller MA, eds. Clinical Mycology. New York: Churchill Livingstone, 2003: 496-5aB 9. Lee RV. Protozoan infections. In: Gleicher N, Gall SA, Sibai BM, Elkayam U, Galbraith RM, Sarto GE, eds. Pr.inciples and practice of medical therapy in pregnancy. Connecticut; Appleton and Lange,



1992:686-705



for disease control (CDC) and prevention. Malaria Topics. USA Government Department of Health and Human services. 2007 11. Rubio JM, Buhigas I, Subirats M, Baquero M, Puente S, Benito A. Limited level of accuracy provided by available rapid diagnosis test for Malaria enhancement the need PCR-based reference laboratories. J 10. Centers



Clin Microbiol. 2001: 2736-7



49



DEMAM PASCAPERSAZINAN Bangun Trapsila Purwaka dan Agus Sulistyono Twjuan Instrwksional Umwm Memahami fisiologi demam pascapersalinan dan beberapa perubahan patologik yang mengakibat-



kan timbulnya demam pascapersalinan.



Twjwan Instruksional Kbwsus



1. 2. 3" 4. 5. 6.



Memahami Memahami Memabami Memahami Memahami Memabami



patogenesb patogenesis patogenesis patogenesis patogenesis patogenesis



dan dan dan dan dan dan



penatahksanaan metritis. penatalaksanaan abses peloih. penatahksanaan peritonitis. penaulaksanaan bendungan payudara. penatakksanaan infehsi pa.yudara. penaulaksanaan infeksi perineum dan luka abdomen.



Demam pascapersalinan atau demam nifas atau morbiditas puelperalis meliputi demam yang dmbul pada masa nifas oleh sebab apa pun. Menurut Joint Committee on Matmtal Welfare definisi demam pascapersalinan ialah kenaikan suhu tubuh > 38' C yang teiadi selama 2 hari pada 10 hari pertama pascapersalinan, kecuali pada 24 iar.,r, pertama pascapersalinan, dan diukur dari mulut sekurang-kurangnya 4 kali sehari.



Riwayat



Infeksi nifas merupakan terminoiogi yang umum dan dipakai untuk menjelaskan berbagai infeksi bakterial pada organ reproduksi yang terjadi pascapersalinan. Referensi yang paling awal ditemukan tentang infeksi nifas berasal dari Hippocrates (abad ke-5 sebelum Masehi). Dalam diskusinya tentang perempuan, De Muliebrum Morbis, Hip-



644



DEMAM PASCAPERSALINAN



pocrates menjelaskan tentang kondisi ini dan menduga keadaan ini akibat rertahannya isi perut/usus. Ignaz Semmelweiss (1841) mencatat bahwa perempuan yang melahirkan di kamar bersalinnya di Wina dan ditolong oleh bidan hanya sedikit yang mengalami kematian akibat infeksi nifas (2 %) jika dibandingkan yang ditolong oleh dokter (16 %). Semmelweiss menduga hal ini erat hubungannya dengan tindakan otopsi yang dikerjakan oleh para dokter terhadap perempuan yang telah meninggal, sedangkan bidan tidak. Selanjutnya, ia mewajibkan para dokter untuk mencuci tangan terlebih dahulu sebelum melakukan kontak dengan pasien dan hal ini menurunkan angka kemarian ibu keseluruhan dari 18 % menjadi 3 %. Akan tetapi, penemuan Semmelweiss ini tidak diterima oleh komunitas medik, seperti tampak pada pernyataan dari American Obstetricians: Doctors are gentlemen, and gentlemen's ltands are clean. Joseph Lister (1870) berhasil mendemonstrasikan keuntungan pemakaian teknik antiseptik dan secara signifikan menurunkan angka kematian perioperatif pascatindakan amputasi kaki. Keberhasilan Lister ini sejalan dengan penemuan Louis Pasteur (1859) dan Robert Koch (1870) yang menjelaskan bahwa infeksi disebabkan oleh suatu mikroba yang hidup.



Faktor Risiko Faktor risiko untuk terjadinya infeksi nifas sangat bervariasi dan pada umumnya dibagi menjadi faktor yang berkaitan dengan status sosioekonomi, faktor yang berkaitan dengan proses persalinan, dan faktor yang berkaitan dengan tindakan yang dilakukan pada saat persalinan.



Faktor Status Sosioekonomi Faktor status sosioekonomi telah dilaporkan mempengaruhi timbulnya infeksi nifas. Penderita dengan status sosioekonomi rendah mempunyai risiko timbulnya infeksi nifas jika dibandingkan dengan penderita dengan kelas sosioekonomi menengah, terutama bila timbul faktor risiko yang lain misalnya ketuban pecah prematur dan seksio



ini dihubungkan dengan timbulnya anemia, status nutrisi/giziyang rendah, perawatan antenatal yang tidak adekuat, dan obesitas.



sesarea. Status sosioekonomi yang rendah



Faktor Proses Persalinan Proses persalinan sangat mempengaruhi risiko timbulnya infeksi nifas, di anraranya ialah partus lama atau partus kasep, lamanya ketuban pecah, korioamnionitis, pemakaian monitoring .;'anin intrauterin, jumlah pemeriksaan dalam yang dilakukan selama proses persalinan, dan perdarahan yang terjadi.



DEMAM PASCAPERSALINAN



64s



Faktor Tindakan Persalinan Tindakan persalinan merupakan salah satu faktor risiko penting untuk terjadinya infeksi nifas. Seksio sesarea merupakan faktor utama timbulnya infeksi nifas. Penderita yang mengalami seksio sesarea mempunyai risiko 5 - 30 kali lebih besar untuk mengalami infeksi nifas, dengan risiko endometritis 12 - 51, % lebih besar. Meskipun endometritis ini seringkali ringan dan dapat sembuh sempurna dengan pemberian antibiotika, kemungkinan menjadi lebih berat juga bisa timbul, di antaranya I - 20 % bisa mengalami bakteremia dan 1 - 2 '/" bisa berkembang menjadi infeksi yang lebih berat, misalnya abses, eviserasi, dan tromboflebitis pelvis. Selain itu, beberapa tindakan pada persaiinan misalnya ekstraksi forseps, tindakan episiotomi, laserasi jalan lahir, dan pelepasan plasenta secara manual juga meningkatkan risiko timbulnya infeksi nifas.



Bakteriologi Kebanyakan infeksi nifas disebabkan oleh bakteri yang aslinya memang ada di jalan lahir. Beberapa dekade yang lalu pernah dilaporkan epidemi yang disebabkan grup A B-streptbkokus hemolitikus yang berakibat fatal. Pada laporan lain ditemukan adanya infeksi nifas yang disebabkan oleh infeksi streptokokus dan faktor risiko utamanyaialah ketuban pecah prematur. Bila dilakukan isolasi bakteri penyebab infeksi nifas biasanya akan terisolasi berbagai spesies bakteri. Meskipun bakteri tersebut sebenarnya mempunyai virulensi yang rendah, biia terdapat pada hematom atau ;'aringan yang rusak akan menjadi patogen. Penelitian dari Jacobsson dan kawan-kawan (2002) di Swedia mendapatkan bahwa risiko infeksi nifas akan meningkat tiga kali pada penderita yang mengalami bakterial vaginosis pada kehamilan mudanya. Tabel



49-1. Bakteri yang sering



Aerob Streptokokus grup A, B, dan



menyebabkan infeksi nifas



Anaerob



D



LainJain



Peptokokus sp



Mikoplasma sp



Enterokokus



Peptostreptokokus sp



Klamidia trakomatis



- Eskerisia koli, Klebsiella dan Proteus sp Stafilokokus aureus Stafilokokus epidermidis Gardnerella vaginalis



Bakteroidis fragilis grup



Neisseria gonorrea



Bakteri gram negati{



Prevotella sp



Klostridium



sp



Fusobakterium sp



Mobilunkus



sp



Cara T eriadinya Infeksi



.



Infeksi dapat terjadi karena hal-hal berikut. Tangan pemeriksa atau penolong yang terturup samng tangan pada pemeriksaan daIam atau operasi membawa bakteri yang sudah ada dalam vagina ke dalam uterus"



646



DEMAM PASCAPERSALINAN



Kemungkinan lain ialah bahwa sarung tangan atau alat-alat yang dimasukkan ke dalam jalan lahir tidak sepenuhnya bebas dari kuman. Droplet infection. Sarung tangan atau alat-alat terkena kontaminasi bakteri yang berasal dari hidung atau tenggorokan dokter atau pembantu-pembantunya. Oleh karena itu, hidung dan mulut petugas yang bekerja di kamar bersalin harus ditutup dengan masker dan penderita infeksi saluran pernapasan dilarang memasuki kamar bersalin. Dalam rumah sakit selalu banyak kuman-kuman patogen, berasal dari penderitapenderita dengan berbagai jenis infeksi. Kuman-kuman ini bisa dibawa oleh aliran udara ke mana-mana, antara lain ke handuk, kain dan alat-alat yang suci-hama, serta yang digunakan untuk merawat ibu daiam persaiinan atau pada waktu nifas. Koitus pada akhir kehamilan tidak merupakan sebab infeksi penting, kecuali apabila mengakibatkan pecahnya ketuban. Infeksi intrapartum sudah dapar memperlihatkan gejala-gejala pada waktu berlangsungnya persalinan. Infeksi intrapartum biasanya terjadi pada partus lama, apabila ketuban sudah lama pecah dan beberapa kali dilakukan pemeriksaan dalam. Gejalagejalanya ialah kenaikan suhu, biasanya disertai dengan leukositosis dan takikardia; denl'ut jantung janin dapat meningkat pula. Air ketuban biasa menl'adi keruh dan berbau. Pada infeksi intrapartum kuman-kuman memasuki dinding uterus pada waktu persalinan, dan dengan melewati amnion dapat menimbulkan infeksi pula pada janin. Prognosis infeksi intrapartum sangat bergantung pada jenis kuman, lamanya infeksi berlangsung, dan dapat tidaknya persalinan berlangsung tanpa banyak perlukaan jalan lahir.



Pencegahan Selama Kehamilan Perbaikan status gizi, pencegahan anemia dan perawatan antenatal yang adekuat merupakan upaya pencegahan timbulnya infeksi nifas. Oleh karenanya, pemberian makanan yang bergizi dalam jenis dan jumlah yang cukup sangat diperlukan. Seiain itu, perlu dimmbahkan senam/olahragayang sesuai untuk meningkatkan kebugaran ibu hamii. Koitus pada ibu hamil tua perlu dipertimbangkan unrung ruginya karena dapat mengakibatkan timbulnya infeksi dan pecahnya selaput ketuban.



Selama Persalinan Proses persalinan dan tindakan yang dilakukan pada saat itu sangat belpengaruh terhadap terfadinya infeksi nifas. Oleh karena itu pencegahan infeksi selama persaiinan merupakan langkah yang sangat penting dalam mencegah timbulnya infeksi nifas. Alat-alat, kain-kain, dan berbagai bahan yang dipakai menolong persalinan harus dalam keadaan suci hama, dan terhadap setiap alat dan bahan yang telah dipakai harus dilakukan tindakan dekontaminasi dan peny'ucihamaan.



DEMAM PASCAPERSALiNAN



647



Petugas wajib melakukan langkah-langkah pencegahan infeksi dengan melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan penderita, memakai barier bila diperlukan. Pemeriksaan dalam hanya dilakukan bila ada indikasi dan selama persalinan harus dilakukan pemantauan kemajuan persalinan dengan memakai panograf untuk mencegah persalinan menjadi berlarut-larut dan menyelesaikan persalinan dengan trauma sesedikit mungkin dan perdarahan seminimal mungkin. Pada waktu tindakan seharusnya mengikuti prosedur tetap yang telah teruji untuk menghindari tindakan yang merugikan penderita. Pemberian antibiotika, baik profilaksis maupun terapeutik, harus dipertimbangkan pada kasus-kasus dengan trauma yang cukup luas dan kecurigaan adanya infeksi sebelumnya serta diperkirakan akan mengakibatkan infeksi nifas.



Selama Nifas Sesudah partus terdapat luka-luka di beberapa tempat pada )alan lahir. Pada hari-hari perrama pascapersalinan harus dijaga agar lukaJuka ini tidak dimasuki kuman-kuman dari luar. Oleh sebab itu, semua alat dan kain yang berhubungan dengan daerah genital harus suci hama. Pengunjung-pengunjung dari luar hendaknya pada hari-hari pertama dibatasi sedapat mungkin. Tiap penderita dengan tanda-tanda infeksi nifas jangan dirawat bersama dengan penderita dalam nifas yang sehat.



METRITIS Infeksi uterus pada saat pascapersalinan dikenal sebagai endometritis, endomiometritis, dan endoparametritis. Karena infeksi yang timbul tidak hanya mengenai desidua, miornetrium, dan jaringan parametrium, maka terminologi yang lebih disukai ialah metritis disertai selulitis pelvis.



Faktor Predisposisi Persalinan Peraaginam



Jika dibandingkan dengan persalinan perabdominam/seksio sesarea, maka timbulnya metritis pada persalinan pervaginam relatif jarang. Bila persalinan pervaginam disertai penyulit yaitu pada ketuban pecah premarur yang lama, partus lama dan pemeriksaan dalam berulang, maka kejadian metritis akan meningkat sampai mendekati 6 %. BiIa terjadi korioamnionitis intrapartum, maka kejadian metritis akan lebih tinggi yaitu mencapai 13 7".



Persalinan Seksio Sesarea Seksio sesarea merupakan faktor predisposisi utama timbulnya metritis dan erat kaitan-



nya dengan status sosioekonomi penderita. Faktor risiko penting untuk timbulnya



648



DEMAM PASCAPERSALINAN



infeksi adalah lamanya proses persalinan dan ketuban pecah, pemeriksaan dalam berulang dan pemakaian alat monitoring janin internal. Karena adanya risiko tersebut,American College of Obstetricians and Gynecologrsts menganjurkan pemberian antibiotika profilaksis pada tindakan seksio sesarea.



Bakteiologi Meskipun pada serviks umumnya terdapat bakteri, kavum uteri biasanya steril sebelum selaput ketuban pecah. Sebagai akibat proses persalinan dan manipulasi yang dilakukan selama proses persalinan tersebut, cairan ketuban dan mungkin uterus akan terkontaminasi oleh bakteri aerob dan anaerob. Bakteri anaerob yang terbanyak adalah Peptostreptokokus sp dan Peptohokus sp. Selain itu, juga terdapat Bahterioid.es sp dan Klostridiwm sp. Bakteri aerob gram positif yang sering ialah Enterobobus dan grup B Sneptokokws, sedangkan bakteri gram negatif yang sering ialah Eserisia boli. KONTAMINASI BAKTERI (berasal dari flora normal vagina)



lnokulasi dan kolonisasi bakteri pada segmen bawah rahim, insisi dan laserasi . pemeriksaan dalam . pemakaian alat monitoring janin internal . partus lama . insisi uterus



Kondisi optimal untuk pertumbuhan bakteri anaerob . trauma operasi . benda asing



. .



kerusakan jaringan penumpukan darah dan serum



Proliferasi polimikroba disertai invasi ke jaringan



Bagan



49-1.



Patogenesis metritis pascaoperasi sesar (Sflilliams Obstetrics eds.22)



DEMAM PASCAPERSALINAN



649



Patogenesis



Infeksi uterus pada persalinan pervaginam terutama terjadi pada tempar implantasi plasenta, desidua, dan miometrium yang berdekatan. Bakteri yang berkoloni di serviks dan vagina mendapatkan akses ke cairan ketuban pada waktu persalinan, dan pada saat pascapersalinan akan menginvasi tempat implantasi plasenta yang saar itu biasanya



merupakan sebuah luka dengan diameter * 4 cm dengan permukaan luka yang berbenjol-benjol karena banyaknya vena yang ditutupi trombus. Daerah ini merupakan tempat yang baik untuk tumbuhnya kuman-kuman patogen. Infeksi uterus pascaoperasi sesar umumnya akibat infeksi pada luka operasi selain infeksi yang terjadi pada tempat implantasi plasenta.



Gejala



Klinik



Demam merupakan gejala klinik terpenting untuk mendiagnosis metriris, dan suhu tubuh penderita umumnya berkisar melebihi 38" C - 39' C. Demam yang terjadi juga



sering disertai menggigil, yang harus diwaspadai sebagai randa adanya bakteremia yang bisa terjadi pada 10 - 20 % kasus. Demam biasanya timbulpada hari ke-3 disertai nadi



yang cepat. Penderita biasanya mengeluhkan adanya nyeri abdomen yang pada pemeriksaan bimanual teraba agak membesar, nyeri, dan lembek. Lokhia yang berbau menyengat sering menyertai timbulnya metritis, tetapi bukan merupakan tanda pasti. Pada infeksi oleh grup A B-hemolitik streptokokus sering disertai lokhia bening yang tidak berbau. Penatalaksanaan Pada penderita metritis ringan pascapersalinan normal pengobatan dengan antibiotika oral biasanya memberikan hasil yang baik. Pada penderita metritis sedang dan berat, termasuk penderita pascaseksio sesarea, perlu diberikan antibiotika dengan spektrum luas secara intravena, dan biasanya penderita akan membaik dalam waktu 48 - 72 jam. Bila setelah 72 jam demam tidak membaik perlu dicari dengan lebih teliti pe-



nyebabnya, karena demam yang menetap ini jarang disebabkan oleh resistensi bakteri terhadap antibiotika atau suatu efek samping obat. Penyulit metritis yang sering menimbulkan demam yang menetap ini di antaranya ialah parametrial flegmon, abses pelvis atau tempat insisi, infeksi pada hematom dan pelvik tromboflebitis. Oleh karenanya, pada kasus metritis yang berat dan disertai penyulit perlu dipertimbangkan intervensi bedah untuk drainase abses dan/arau evakuasi jaringan yang rusak.



Penyulit Pada sebagian besar kasus metritis akan membaik dalam wakru 48 - 72 jam pascaterapi, tetapi pada sebagian kecil kasus dapat timbul penyulit yang berat.



6s0



DEMAM PASCAPERSALINAN



Infeksi Luka Operasi Kejadian infeksi luka operasi pascatindakan seksio sesarea berkisar antara 3 - 15 % dengan rata-rata 6 %. Bila pada tindakan seksio sesarea diberikan antibiotika profilaksis, maka kejadian infeksi luka operasi akan menurun sampai dengan 2 "k. Menurut Sopper dan kawan-kawan (1992) infeksi luka operasi merupakan penyebab utama kegagalan pengobatan antibiotika pada penderim metritis. Faktor risiko untuk timbulnya infeksi luka operasi ini ialah obesitas, diabetes, pengobatan kortikosteroid, imunosupresi, anemia dan hemostasis yang jelek disertai terbenruknya hematom. Penatalaksanaannya meliputi pemberian antibiotika dan drainase abses atau hematom yang terbentuk serta memperhatikan secara khusus bahwa fasia abdomen masih tetap intak. Dehisensi Lwka Operasi Yang dimaksud dengan dehisensi ialah terbukanya jahitan pada fasia abdomen. McNeeley dan kawan-kawan (1998) mendapatkan bahwa dehisensi pada luka operasi dapat terjadi pada 1 dari 3OO seksio sesarea, terjadi pada hari kelima pascaoperasi disertai keluarnya cairan serosanguinus. Pada penelitian tersebut juga didapatkan bahwa dehisensi luka operasi umumnya disebabkan oleh infeksi pada fasia dan nekrosis iaringan. Pemberian antibiotika yang adekuat disenai penjahitan ulang dinding abdomen merupakan pengobatan utama.



Peritonitis Peritonitis merupakan penl-ulit yang kadang-kadang terjadi pada penderita pascaseksio sesarea yang mengalami metritis disenai nekrosis dan dehisensi insisi uterus. Pada keadaan yang iebih jarang didapatkan pada penderita yang sebelumnya mengalami seksio sesarea kemudian dilakukan persalinan pervaginam (VBAC: vaginal birth after c-section). Abses pada parametrium atau adneksa dapat pecah dan menimbulkan peri-



tonitis generalisata. Selulitis Parametrium Pada beberapa penderita yang mengalami metritis pascaseksio sesarea dapat terjadi seIulitis parametrium yang biasanya terjadi unilateral. Selulitis pammetrium ringan dapat



menyebabkan suhu yang meninggi dalam nifas. Bila suhu tinggi menetap lebih dari sa-



tu minggu disertai dengan rasa nyeri di perut bagian bawah kiri atau kanan dan nyeri pada pemeriksaan dalam, hal ini patut dicurigai terhadap kemungkinan selulitis parametrium. Pada perkembangan proses peradangan lebih lanjut gejala-gejala selulitis parametrium menjadi lebih jelas. Pada pemeriksaan dalam dapat diraba tahanan padat dan nyeri di sebelah uterus dan tahanan ini yang berhubungan erat dengan tulang panggul, dapat meluas ke berbagai jurusan, Di tengah-tengah jaringan yang meradang itu bisa tumbuh abses. Dalam hal ini, suhu yang mula-mula tinggi secara menetap menjadi



DEMAM PASCAPERSALINAN



651



naik-mrun disertai dengan menggigil. Penderim tampak sakit, nadi cepat' dan perut nyeri. Dalam 7s kasus tidak terjadi pembentukan abses, dan suhu menurun dalam beberapa minggu. Tumor di sebelah uterus mengecil sedikit demi sedikit, dan akhirnya terdapat parametrium yang kaku. Jika terjadi abses, nanah harus dikeluarkan karena selalu ada bahaya bahwa abses mencari jalan ke rongga perut yang menyebabkan peritonitis, ke rektum, atau ke kandung kencing. Abses Pelvis Pada keadaan yang sangat jarang selulitis parametrium yang terjadi akan meluas dan menjadi abses pelvis. Bila ini terjadi, maka harus dilakukan drainase pus yang terbentuk, baik ke anterior dengan melakukan pemasangan iarum berukuran besar maupun ke posrerior dengan melakukan kolpotomi. Selain itu, perlu juga diberi antibiotika yang adekuat.



Infeksi Perineum, Vagina, dan Serviks Infeksi pada luka episiotomi merupakan keiadian yang cukup jarang, terutama



sejak



diperkenalkannya panduan asuhan persalinan normal di mana tindakan episiotomi bukan merupakan tindakan yang rutin dikerjakan pada persaiinan pervaginam. Bila terja-



di infeksi, maka kemungkinan



dehicence harus dipertimbangkan. Ramin dan kawankawan (1.992) melaporkan timbulnya 0,5 % dehisens pada iuka episiotomi di Parkknd. Hospiul, di mana 80 % dehisens yang terjadi disebabkan oleh infeksi.



Infeksi yang berat lebih mungkin terjadi pada ibu yang mengalami robekan perineum tingkat IV. Meskipun syok septik yang berat jarang terjadi, masih didapatkan syok septik yang disebabkan oleh infeksi luka episiotomi. Gejala



Klinik dan Patogenesis



Keluhan yang sering muncul ialah nyeri pada daerah yang terinfeksi dan disuria, dengan atau tanpa retensi urin. Gejala klinik yang paling sering ditemukan ialah nyeri, fluor yang purulen, dan demam. Pada kasus yang berat seluruh lrrlva mengalami edema, ulserasi, dan tertutup oleh eksudat. Laserasi vagina dapat mengalami infeksi secara langsung atau tercemar dari perineum. Seluruh mukosa vagina menjadi merah, bengkak dan bisa mengalami nekrosis dan terkelupas. Laserasi serviks lebih sering terjadi dan normalnya serviks memang merupakan tempat koloni kuman yang bisa menjadi patogen. Bila serviks mengalami infeksi dan laserasinya cukup dalam, maka infeksi



ini dapat langsung menyebar ke ligamentum la-



tum dan menyebabkan limfangitis, parametritis, dan bakteremia. Penatalaksanaan Sebagaimana pada kasus infeksi lainnya, prinsip penatalaksanaan adalah drainase dan



pemberian antibiotika yang adekuat. Pada sebagian besar kasus biasanya dilakukan



6s2



DEMAM PASCAPERSALINAN



pelepasan benang jahitan episiotomi dan luka yang terinfeksi dibuka. Bila permukaan episiotomi sudah bebas dari infeksi dan eksudat, ditandai dengan timbulnya jaringan granulasi yang berwarna merah muda, dapat dilakukan penjahiran perineum secara sekunder.



Kelainan Payudara Saat Nifas Bendungan



Air



Swsw (zogstwwing, breast engorgetnent)



Secara fisiologis sesudah bayi lahir dan plasenta keluar, kadar estrogen dan progesteron



turun dalam 2 - 3 har| Dengan ini faktor dari hipotalamus yang menghalangi keluarnya pituitary lactogenic bormone (prolaktin) saat hamil dan sangat dipengaruhi oleh estrogen tidak diproduksi lagi, sehingga terjadilah sekresi prolaktin oleh hipofisis anrerior. Hormon ini mengaktifkan sel-sel kelenjar payudara untuk memproduksi air susu sehingga alveoli kelenjar paludara terisi dengan air susu. Adanya isapan puting payudara oleh bayi akan merangsang pengeluaran oksitosin dari kelenjar hipofisis posterior"



Oksitosin mempengaruhi sel-sel mio-epitelial yang mengelilingi alveoli paludara sehingga berkontraksi dan mengeluarkan air susu. Proses ini disebur refleks let-dorpn. Bendungan air susu dapat terjadi pada hari ke-2 atau ke-3 ketika payudara telah memproduksi air susu. Bendungan disebabkan oleh pengeluaran air susu yang tidak iancar, karena bayi tidak cukup sering men)'usu, produksi meningkat, terlambat menyusukan, hubungan dengan bayt (bonding) kurang baik, dan dapat pula karena adanya pembatasan waktu menl'usui. Gejala bendungan air susu adalah terjadinya pembengkakan payudara bilateral dan secara palpasi teraba keras, kadang terasa nyeri serta seringkali disertai peningkatan suhu badan ibu, tetapi tidak terdapat tanda-tanda kemerahan dan demam. Ibu dianjurkan untuk terus memberikan air susunya. Bila pay'udara terlalu tegang atau bayi tidak dapat men)'usu, sebaiknya air susu dikeluarkan dulu unruk menurunkan ketegangan pal.udara. Penanganan bendungan air susu dilakukan dengan pemakaian kutang untuk menyangga pal.udara dan pemberian analgetika, dianjurkan menyusui segera dan lebih sering, kompres hangat, air susu dikeluarkan dengan pompa dan dilakukan pemijatan (masase) serta perawatan payudara. Kalau perlu diberi supresi laktasi untuk sementara (2 - 3 hari) agar bendungan terkurangi dan memungkinkan air susu dikeluarkan dengan pijatan. Keadaan ini pada umumnya akan menurun dalam beberapa hari dan bayi dapat menfrsu dengan normal.



MASTITIS Pada masa nifas dapat terjadi infeksi dan peradangan parenkim kelenjar payudara (mastitis). Mastitis bernanah dapat terjadi setelah minggu perrama pascasalin, tetapi biasanya tidak sampai melewati minggu ketiga atau empar.



DEMAM PASCAPERSALINAN



653



Gejala awal mastitis adalah demam yang disertai menggigil, mialgia, nyeri, dan takikardia. Pada pemeriksaan paJudara membengkak, mengeras, lebih hangat, kemerahan dengan batas tegas, dan disertai rasa sangat nyeri. Mastitis biasanya terjadi unilateral dan dapat terjadi 3 bulan pertama meneteki, tetapi jarang dapat terjadi selama ibu meneteki. Kejadian mastitis berkisar 2 - 33 % ibu meneteki dan lebih kurang 10 % kasus mastitis akan berkembang menjadi abses (bernanah), dengan gejalayaog makin berat. Predisposisi dan faktor risiko adalah primipara, stres, teknik meneteki yang tidak benar sehingga pengosongan payudara tidak terjadi dengan baik, pemakaian kutang yang terlalu ketat, dan pengisapan bayi yang kurang kuat juga dapat menyebabkan stasis dan obstruksi kelenjar pa1'udara. Adanya luka pada puting payudara juga dapat sebagai faktor risiko terjadinya mastitis. Diagnosis abses ditegakkan dengan adanya tanda fluktuasi dan nyeri pada palpasi disertai eritema di sekitarnya. Pemeriksaan ultrasonografi dapat juga digunakan untuk mendeteksi adanya abses. Mastitis dapat berasal dari luka pada puting pa:yudara ataupun melalui peredaran darah (hematogen). Kuman penyebab tersering pada kultur adalah Stafilokokus aureus sebanyak 40 %. Sumber utama berasal dari kuman hidung dan mulut bayi melalui luka puting payudara yang terjadi saat meneteki. Berdasarkan tempatnya mastitis dapat dibedakan menjadi (1) mastitis yang menyebabkan abses di bawah areola mammae; (2) mastitis di tengah payudara yang menyebabkan abses di tempat itu; (3) mastitis pada jaringan di bawah dorsal kelenjar-kelenjar yang menyebabkan abses antara payudara dan otot-otot di bawahnya. Penanganan utama mastitis adalah memulihkan keadaan dan mencegah terjadinya komplikasi yaitu abses (bernanah) dan sepsis yang dapat terjadi bila penanganan terlambat, tidak tepat, ataupun kurang efektif. Laktasi tetap dianjurkan untuk dilanjutkan dan pengosongan payudara sangat penting untuk keberhasiian terapi. Terapi suportif seperti bed-rest, pemberian cairan yang cukup, antinyeri dan antiinflamasi sangat dianjurkan. Pemberian antibiotika secara ideal berdasarkan hasil kepekaan kultur kuman yang diambil dari air susu sehingga keberhasilan terapi dapat terjamin. Karena kultur kuman tidak secara rutin dilakukan, secara empiris pilihan pengobatan pertama terutama ditujukan pada Stafilokokus aureus sebagai penyebab terbanyak dan streptokokus yaitu dengan penisilin rahan penisilinase (dikloksasilin) atau sefalosporin. Untuk yang alergi penisilin digunakan eritromisin atau sulfa. Pada sebagian kasus antibiotika dapat diberikan secara per oral dan tidak memerlukan perawatan di rumah sakit. Pada umumnya dengan pegobatan segera dan adekuat gejala akan menghilang dalam 24 - 48 jam kemudian dan jarang terjadi komplikasi. Bila terjadi abses payudara dapat dilakukan insisi/sayatan untuk mengeluarkan nanah dan dilanjutkan dengan drainase dengan pipa/handschoen. drain agar nanah dapat keluar terus. Sayatan sebaiknya dibuat sejajar dengan duktus laktiferus untuk mencegah kerusakan pada jalannya duktus tersebut.



Untuk pencegahan dianjurkan perawatan payudara yang baik dan membersihkan air susu yang ada di kulit payudara.



sisa



DEMAM PASCAPERSALINAN



654



Galaktokel \Talaupun jarang dapat terjadi sumbatan saluran oieh air susu yang membeku. Air susu terkumpul pada satu lobus atau lebih dan dapat menyebabkan timbulnya massa kistik. Massa tersebut bisa hilang secara spontan atau memerlukan aspirasi.



Kelainan Puting Payudara Puting patludara yang retraksi (tidak menonjol ke luar dengan baik) akan menyebabkan kesukaran meneteki. Bila tidak terlalu berat dapat dibantu dengan pompa papdara atau air susu dikeluarkan dengan pijatan tangan/masase. Pada kasus demikian dianjurkan pada akhir kehamilan atau sebelum menlusui untuk menarik pudng ke luar dengan menggunakan iari ata:u penarik puting. Luka pada puting payudara (fisswre) menyebabkan terasa sakit saat meneteki. Luka tersebut merupakan tempat masuknya kuman-kuman piogenik Patogen, sehingga diusahakan untuk menyembuhkan luka dulu dengan memproteksi luka dengan menurupnya dan diberi pengobatan topikal. Meneteki dikerjakan pada payudara sisi lain yang tidak ada fissurenya, sedangkan pada payudara yang sakit air susu juga harus dikosongkan secara berkala dengan menggunakan pompa payudara yang sesuai sampai Iuka betul-betul sembuh. Kelainan Keluarnya



Air



Susu



Terdapat banyak variasi individual dari jumlah air susu yang dikeluarkan dan lamanya pada masa laktasi. Hal ini bergantung pada keadaan umum ibu dan pertumbuhan kelenjar-kelenjar susu. Jarang sekali air susu ridak atau hampir tidak keluar sama sekali (agalaktia). Kadangkadang pengeluaran air susu berlebihan (poligaiaktia). Apabila air susu masih keluar terus walaupun bayi sudah disapih disebut galaktorea. Pada sindroma Chiari-Fromme ditemukan galaktorea disertai amenorea dan atrofi uterus. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh gangguan sistem hipotalamo-hipofisis.



Penghentian laktasi Kadang-kadang tirnbul keperiuan untuk mengusahakan agar laktasi tidak terjadi atau dihentikan, misalnya apabila bayi lahir mati, bayi yang sudah sempat disusui meninggal aau apabila ibu oleh suatu sebab tidak dapat atau ddak mau menyusui bayinya. Penghentian laktasi dengan mengikat atau men)'upresi payudara tanpa obat hormonal dapat menyebabkan timbulnya rasa nyeri pada lebih kurang 50 7o kasus dengan keluhan keras pada kira-kira 15 %. Pemberian estrogen umumnya dapat mengurangi keluhan. Suntikan intramuskular estrogen valerat 10 mg atau pemberian per-os dietil stilbestrol sebanyak 90 mg dibagi dalam 1 minggu atau etinil estradiol umumnya mencukupi atau bisa juga diberikan Bromokriptin. Pada kira-kira 40 o/o kasus, Iaktasi da-



655



DEMAM PASCAPERSALINAN



pat timbul lagi sehingga obat perlu diulang. Pemberian estrogen dapat menyebabkan perdarahan terus setelah obat dihentikan (utitbdrawal bleeding). Pernah dikemukakan bahwa pemberian preparat esrrogen untuk menghentikan laktasi memberi predisposisi terhadap terjadinya tromboembolisme.



Kelainan pada Uterus Subinuolwsi Sesudah persaiinan uterus yang beratnya 1.000 gram akan mengecil sampai menjadi 40 - 60 gram dalam 6 minggu. Proses ini dinamakan involusi utents, yang didahului oleh kontraksi uterus yang kuat, yang menyebabkan berkurangnya peredaran darah dalam organ tersebut. Kontraksi itu dalam masa nifas beriangsung terus walaupun tidak sekuat pada permulaan. Hal tersebut serta hilangnya pengaruh estrogen dan progesteron



menyebabkan autolisis dengan akibat sel-sel otot pada dinding uterus menjadi lebih kecil dan lebih pendek. Pada sub-invoiusi proses mengecilnya uterus terganggu. Faktor-faktor penyebab antara lain tertinggalnya sisa plasenta di dalam rongga uterus, endometritis, adanya mioma uteri, dan sebagainya. Pada peristiwa ini lokhia benambah banyak dan tidak jarang terdapat pula perdarahan.



Saat persalinan



hari



3



hari



5



hari 7 hari 9



Gambar



49-1. Involusi normal dari uterus



sesudah persalinan



656



DEMAM PASCAPERSAI,INAN



Pada pemeriksaan bimanual ditemukan utems lebih besar dan lebih lembek daripada yang seharusnya sesuai dengan masa nifas. Terapi subinvolusi ialah pemberian ergometrin per-os atau sunrikan intramuskular" Pada subinvolusi karena tertinggalnya sisa plasenta, perlu dilakukan kerokan rongga



rahim (kuretase). Perdarahan Nifas Sekunder Perdarahan nifas sekunder bila terjadi 24 jam atau iebih sesudah persalinan. Perdarahan



ini bisa timbul pada minggu kedua nifas. Perdarahan sekunder ini ditemukan kurang dari 1' '/" dari semua persalinan. Sebab-sebabnya ialah adanya subinvolusi, kelainan kongenital uterus, inversio uteri, mioma uteri submukosum, dan penghentian obat estrogen untuk menghentikan laktasi. Terapi dapat dimulai dengan pemberian 0,5 mg ergometrin intramuskular, yang dapat diulangi dalam 4 jam atau kurang. Perdarahan yang banyak memerlukan pemeriksaan tentang penyebabnya. Apabila tidak ditemukan inversio uteri atau mioma submukosum yang memerlukan penanganan khusus, kerokan dapat menghentikan perdarahan. Pada tindakan ini perlu dijaga agar tidak terjadi perforasi.



Kelainan-kelainan Lain pada Masa Nifas Trombosis dan Embolisme



Trombosis dapat terjadi saat kehamilan, tetapi lebih sering ditemukan pada masa nifas. \7alau trombosis ada hubungannya dengan kehamilan, kejadian trombosis jarang dijumpai di Indonesia. Penyebabnya ada 3 hal pokok, yaitu (a) perubahan susunan darah; (b) perubahan laju peredaran darah; (c) perlukaan lapisan intima pembuluh darah. Pada masa hamil dan khususnya pada persalinan saat terlepasnya plasenta, kadar fibrinogen serta faktor-faktor pembekuan darah yang lain yang meningkat akan menyebabkan mudahnya terjadi pembekuan. Pada hamil tua peredaran darah kaki menjadi lambat karena tekanan dari uterus yang berisi janin serta berkurangnya aktivitas ibu. Kekurangan aktivitas ini tetap berlangsung sampai masa nifas. Pada persalinan, terurama yang diselesaikan dengan pembedahan, ada kemungkinan terjadi gangguan pada pembuluh darah, terutama di daerah pelvis. Faktor-faktor yang merupakan predisposisi timbulnya trombosis adalah bedah kebidanan, usia lanjut, multiparitas, varises, dan infeksi nifas. Trombosis bisa terjadi pada vena-vena kaki. Akan tetapi, mungkin pula terjadi pada vena-vena daerah panggul. Lokalisasi trombus di kaki ialah pada vena-vena yang dekat permukaan dan/atau yang terletak lebih dalam. Trombosis pada vena-vena yang dekat permukaan biasanya disertai peradangan sehingga merupakan trombo-flebitis. Gejala-gejala setempat ialah nyeri, panas pada palpasi, dan kemerahan dengan gejala umumnya terjadi kenaikan suhu tubuh.



DEMAM PASCAPERSALINAN



657



Trombosis dari vena-venayang lebih dalam kira-kira 50 % tidak menimbulkan gejala. Bila ada gejala biasanya ada rasa nyeri di kaki .iika berjalan. Kadang-kadang dapat dilihat bahwa kaki yang sakit agak membengkak. Suhu badan dapat meningkat sedikir. Tekanan pada betis bisa menimbulkan rasa nyeri demikian pula dorso-fleksi ujung kaki (tanda Homan). Diagnosis trombosis vena-vena yang terletak dalam kini bisa ditegakkan dengan flebografi, dengan penggunaan radio-isotop dan dengan cara ultrasonik. Kadang-kadang trombosis menutup total vena femoralis dengan akibat timbulnya edema vang padat pada kaki dan rasa sakit yang sangat. Keadaan ini terkenal dengan nama flegmasia alba dolens. Sesudah keadaan ini menjadi tenang, bisa tertinggal sindroma pascaflebitis, terdiri atas edema, varises, eksema, dan ulkus pada kaki. Embolisme paru jarang terjadi dari trombosis vena kaki yang dekat permukaan, tetapi lebih sering dari trombus vena yang dalam dan dari vena-vena panggul. Embolus kecil menimbulkan gejala dispnea dan pieuritis, sedangkan embolus besar dapat menutup arteria pulmonalis yang bisa menimbulkan syok sampai kematian.



Penanganan



Trombosis ringan, khususnya dari vena-vena daerah permukaan, ditangani dengan istirahat dengan kaki agak tinggi dan pemberian obat-obat seperti asidum asetilosalisilikum. Jika ada randa keradangan dapat diberi antibiotika. Segera setelah rasa nyeri hilang, penderita dianjurkan untuk mulai berjalan. Pada kasus yang agak berat dan temtama jika vena-vena dalam ikut serta, perlu diberi antikoagulansia untuk mencegah bertambah luasnya trombus, dan mengurangi bahaya emboli. Terapi dapat dimulai dengan heparin meialui infus intravena sebanyak 10.000 satuan setiap 6 jarn untuk kemudian diteruskan dengan koumarin (misalnya Warfarin) yang dapat diberikan per oral. Perlu dikemukakan bahwa koumarin tidak boleh diberikan pada ibu hamil karena dapat melewati plasenta dan dapat menyebabkan perdarahan pada janin. \flarfarin diberikan mula-mula 10 mg per hari, kemudian 3 mg per hari dan sebagai pengawasan dilakukan pemeriksaan masa protrombon berulang, untuk mencegah terjadinya perdarahan. Pengobatan dilanjutkan selama 6 minggu untuk kemudian dikurangi dan dihentikan dalam 2 minggu. Pengobatan embolisme paru terdiri atas usaha untuk menanggulangi syok dan pemberian antikoagulansia. Pada embolus kecil yang timbul berulang dapat dipertimbangkan pengikatan vena di atas tempat trombus.



Nekrosis Pars Anterior Hipofisis Pascapersalinan Nekrosis pars anterior hipofisis pascapersaiinan (sindroma Sheehan) terjadi tidak lama sesudah persalinan sebagai akibat syok karena perdarahan. Hipofisis berinvolusi sesudah persalinan dan diduga bahwa pengaruh syok pada hipofisis yang sedang dalam involusi dapat menimbulkan nekrosis pada pars anterior. Akhir-akhir ini dicari hubungan



DEMAM PASCAPERSALINAN



658



antara nekrosis ini dan pembekuan intravaskular dengan r.erjadinya trombosis pada sinusoid hipofisis. Dengan demikian, menurur pendapat ini nekrosis timbul pada syok yang disertai kelainan pembekuan darah, sepeni pada eklampsia dan solusio plasenta. Pada kasus yang berat tanda-tanda sindroma timbul tidak lama sesudah persalinan. Terdapat agalakria, amenorea, dan gejala insufisiensi pada organ-organ lain yang fungsinya dipengaruhi oleh hormon-hormon pars anterior hipofisis (kelenjar tiroid, kelen-



jar supra-renalis). Pengobatan terdiri atas pemberian hormon-hormon untuk mengganti hormon yang tidak lagi atau kurang dikeluarkan oleh kelenjar droid, kelenjar supra-renalis, dan ova-



RUTUKAN 1. Elder MG, Hakim CA. The Puerperium. Obstetrics Therapeutics, Bailliere Tindall, London, 1974 2. Greenhill JP, Friedman EA. Biological Principles and Modern Pracdce of Obstetrics. Asian Edition, VB Saunders Igaku Shoin, Philadelphia-Tokyo, 1074 3. Llewellyn-Jones D. Inhibition of Lactation, Mother Child, 1976 4. Cunningham FG, Leveno KL, Bloo SL, Hauth JC, Gilstrap III L, Venstrom KD. \Williams Obstetrics, 22"d Ed. McGraw-Hill, NewYork-Toronto, 2O05



5. Queenan JT, Hobbins JC, Spong CY. Protocols for High Risk Pregnancies, 4'h Ed. Blackwell Publishing, 2005 6. Barbosa-Cresnik G, Schwartz K, Foxman B. Lactarion Mastitis. American Medical Association, 2003 Z. Briggs GG, Freeman RK, Yaffe SJ. Drugs in Pregnancy and Lacration. 7rh Ed. Lippincott Villiams and



\ililkins. Philadelphia. Tokyo,



2005



t0 NYERI PERUT AKUT PADA KEHAMILAN MUDA Sofie Rifayani Krisnadi Twjwan Instruksional Umwm Memabami hejadian nyeri perut ahut pada bebamihn timester pertama dan pentingnya diagnosis serta pengelolaan untuk keselamatan ibu dan janin.



Twjwan Instwksional Kbwsus



1. Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab nyeri perut ahut pada ibw bamil trimester pertama. 2. Mendiagnosis penyebab nyeri perut akut pada ibw bamil trimester ?ertama. 3. Mengelola berbagai penyebab nyeri ahut abdonten ibu hamil trimester pertama. Nyeri perut akut (acute abdomen) merupakan keluhan yang sering didapatkan pada ibu hamil. Yang dimaksud dengan nyeri perut akut adalah setiap keadaan akut intraabdomen yang ditandai dengan rasa nyeri, otot penrt tegang, dan nyeri tekan serta memerlukan tindakan bedah emergensi. Penyebab nyeri perut akut dalam kehamilan muda dapat berasal dari kehamilan itu sendiri (abortus, kehamilan ektopik), dapat berhubungan dengan alat reproduksi/ginekologik lainnya seperi salpingitis akut, kista torsi/terpuntir, dan ruptura kista atau keadaan akut abdomen umum yang ddak berhubungan dengan kehamilan atau ginekologik, tetapi terjadi bersamaan dengan kehamilan (apendisitis, kista torsi, dan lainlain).



Diagnosis dan pengelolaan nyeri perut akut dalam kehamilan pada umumnya sama dengan nyeri perut akut yang terjadi pada perempuan tidak hamil, tetapi pada beberapa keadaan terdapat hal-hal khusus yang harus diperhatikan.



660



NYERI PERUT AKUT PADA KEHAMIU,N MUDA



Nyeri Perut Akut yang Penyebabnya Berhubungan dengan Kehamilan Pada umumnya nyeri perut akut dalam trimester pertama yang berhubungan kehamilan disebabkan oleh abortus, atau kehamilan ektopik terganggu.



r



Aborrus:



-



Nyeri biasanya didahului oleh perdarahan pervaginam Nyeri di atas simfisis dan intermiten Serviks dapat menutup (pada ancaman abortus/threatened abortion) atau terbuka (pada abortus sedang berlangsung/ineuiuble abortion atau abonus inkompletus) Pada abortus septik, selain tanda-tanda abortus didapatkan demam dan lokhia yang berbau.



o Kehamilan Ektopik Terganggu:



- Nyeri perut dapat terjadi sebelum ada perdarahan pervaginam - Perdarahan biasanya cokelat kehitaman, bukan darah segar, jumlahnya sedikit - Nyeri biasanya dimulai pada satu sisi (kiri atau kanan), tetapi sejalan dengan -



beratnya perdarahan intraabdomen, nyeri dapat meluas ke seluruh pelvis. Dapat menimbulkan syok hipovolemik.



Nyeri Perut Akut dalam Kehamilan Muda yang Tidak Berhubungan



dengan



Kehamilan (Insidental) Penyebab nyeri perut akut insidental pada perempuan hamil tidak berbeda dengan penyebab pada perempuan tidak hamil. Demikian juga pengeiolaan dan pengobatannya.



Banyak keadaan yang dapar timbul dengan gejala nyeri perut akut insidental pada kehamilan dini seperti berikut ini.



o Apendisitis akut o Kista ovarium dalam kehamilan



.



-



Ruptura kista Kista torsi/terpuntir



Salpingids akut



o Retensio urin akut o Perforasi usus o Ruptura organ dalam perut



(hepar, ginjal, Iimpa, atau lambung)



Yang akan dibahas dalam bab ini hanya yang paling sering terjadi, yakni apendisitis akut pada kehamilan muda, kehamilan dengan kista ovarium terpuntir, dan kehamilan muda dengan ruptura kista. Pengelolaan Umum Apabila pada ibu hamil didapati nyeri perut akut, lakukan:



.



Perbaikan keadaan umum dengan memasang



IV line dan pemberian



cairan



NYERI PERUT AKUT PADA KIHAMIIAN MUDA



661



. . .



Lakukan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisik Apabila didapatkan muntah-muntah, pasang nasogastric tube (sonde lambung) Lakukan pemeriksaan laboratorium rutin (pemeriksaan darah rutin, urinalisis, elek-



.



trolit serum) untuk mempersempit diagnosis banding. Jangan lupa nilai normal untuk perempuan hamil sering berbeda. Identifikasi keadaan yang membutuhkan tindakan bedah emergensi.



Apendisitis Akut Apendisitis akut dalam kehamilan merupakan alasan yang tersering untuk melakukan tindakan laparotomi dalam kehamilan. Insidensinya bervariasi dalam berbagai populasi, tetapi tidak berbeda dengan insidensi pada perempuan tidak hamil yakni sekitar 1,5 1.2 per 1.000 kehamilan. Demikian juga penyebab apendisitis dalam kehamilan umumnya sama seperti apendisitis pada perempuan tidak hamil, biasanya dimulai sebagai obstruksi lumen apendiks yang dapat disebabkan oleh fekolit, batu, kontraktur otot, fibrosis, atau adanya kelainan kongenital. Tempat nyeri yang biasa dikenal sebagai karakteristik tanda klinik dapat berbeda karena apendiks dalam kehamilan letaknya bergeser ke proksimal dan lateral sesuai dengan bertambahnya usia kehamilan. Malahan, pada dua minggu terakhir kehamilan apendiks akan berada di atas ginjal kanan. Perubahan ini dapat menyebabkan meluasnya peritonitis jika apendisitis terjadi pada kehamilan lanjut.



3MO. \



Gambar



50-1.



Perubahan posisi apendiks dalam kehamilan



(MO: usia kehamilan dalam bulan, PP:



pascapersalinan)



662



NYEzu PERUT AKUT PADA KEHAMILAN MUDA



Gejala dan Tanda



Klinik



.



Nyeri



Nyeri perut merupakan gejalayang paling sering dikeluhkan (90 %), juga keluhan mual, muntah, atau diare. Kadang-kadang apendisitis dalam kehamilan tidak begitu jelas gejalanya. Nyeri sering bersifat kolik dan terasa lebih ke arah pusar dibandingkan pada titik McBurney yang sering dialami oleh perempuan tidak hamil. Untuk membedakan apakah nyeri berasal dari uterus atau dari apendiks dapat diperiksa adanya tanda Adler. Penderita dalam posisi terlentang dan pemeriksa meletakkan tekanan jari-iari pada abdomen yang nyeri; penderita dimiringkan ke arah kiri yang memungkinkan uterus bergeser ke arah kiri. Jika intensitas nyeri tidak berubah dan lokasinya masih berada pada kuadran kanan bawah, dicurigai suatu apendisitis. Jika nyeri bergeser ke arah kiri penderita, kemungkinan nyeri berasal dari uterus.



o Anoreksia, Mual, dan Muntah Pada hamil muda anoreksia, mual, dan muntah dapat disebabkan oleh kehamilan itu sendiri. Apabila pada kehamilan trimester II masih ada keluhan mual, dan muntah,



harus dicurigai adanya apendisitis dan diperiksa secara saksama.



o Diare,/Konstipasi



.



Diare sering menjadi gejala awal dan pada apendisitis lanjut dapat terjadi konstipasi. Demam Biasanya tidak begitu tinggi dan terjadi pada sekitar 75 o/" penderitapada saat serangan.



Pemeriksaan Penunjang Leukositosis saja tidak dapat menentukan adanya apendisitis. Kehamilan normal dapat disertai leukositosis (15.000/mm3) atau infeksi lainnya juga sering memberi gambaran leukositosis. Hampir semua penderita apendisitis dalam kehamilan mengalami ieukositosis dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis. Analisis urin biasanya dalam batas normal. Dipakai untuk membedakan apendisitis dengan pielonefritis atau infeksi saluran kemih lainnya. Pemeriksaan USG biasanya tidak ditujukan untuk melihar adanya apendisitis, tetapi berguna untuk menilai keadaan ;'anin atau untuk menyingkirkan diferensial diagnosis nyeri perut akut lainnya seperti degenerasi fibroid atau massa pada adneksa/kista terpuntir.



Diagnosis Banding Penyebab nyeri perut akut selama kehamilan lainnya adalah pielonefritis akut/infeksi saluran kemih. Jadi, jika demam dan bakteriuria menyertai nyeri abdomen atau perut bagian samping, apendisitis perlu dipenimbangkan lagi. Perlu diingat bahwa kultur urin yang positif tidak menyingkirkan apendisitis. Pada pielonefritis akut, nyeri lebih sering terjadi pada daerah lumbal meskipun pada beberapa kasus pielonefritis, nyeri dapat dirasakan di sebelah kanan atau nyeri seluruh perut. Nyeri tekan pada pielonefritis lebih



NYERI PERUT AKUT PADA KEHAMIIAN MUDA



663



sering pada daerah sudut vertebra-kostal kanan. Demam pada pielonefritis lebih tinggi, sebaliknya takikardi tidak sebanding dengan demamnya; sedangkan pada apendisitis demam tidak begitu tinggi, tetapi takikardi sering terjadi. Pada pielonefritis, meski- pun demam tinggi, lidah tidak kering (lembab) dibandingkan dengan apendisitis yang hampir selalu menunjukkan keringnya lidah. Pada kasus yang sulit untuk menyisihkan diagnosis banding, sebaiknya laparotomi dilakukan untuk menghindarkan mortalitas ibu akibat perforasi apendiks. Keadaan lain yang dapat memberikan gejala sempa adalah ruptur kista lutein, kista torsi, kehamilan ektopik, persalinan prematur, sindroma ligamentum latum, degenerasi merah pada mioma, salpingitis, pielonefritis, kolangitis, atau adneksitis.



Pengelolaan



Bila diagnosis apendisitis akut dalam kehamilan telah ditegakkan, maka operasi adalah solusi rerbaik.



.



Berikan kombinasi pengobatan antibiotika sebelum dilakukan pembedahan dan lan-



jutkan pemberian antibiotika ini pascaoperasi sampai 48 jam tanpa demam.



o o



-



Ampicillin 2 gram I.V. setiap 5 jam Tambahkan gentamicin 5 mg/kgBB I.V. setiap 24 jam Tambahkan metonidazole 500 mg I.V. setiap 8 jam



l^akukan operasi eksplorasi segera (tanpa melihat usia kehamilan) dan lakukan apen-



dektomi, jika diperlukan. Mengulur waktu ditegakkannya diagnosis dan pengobatan dapat berakibat terjadinya



ruptur apendiks rersebut dan mengakibatkan terjadinya peritonitis generalisata. o Jika terjadi tanda-tanda peritonitis (demam, nyeri lepas abdomen, nyeri abdomen), berikan regimen antibiotika seperti pada penanganan peritonitis.



o Jika penderita berada dalam keadaan nyeri yang hebat, berikan petidin 1 mg/kgBB (tetapi tidak melebihi 100 mg) I.M. atau LV. secara perlahan, atau berikan morfin 0,1 mglkgBB i.M. . Obat-obat tokolirik mungkin diperlukan untuk mencegah terjadinya persalinan prematur. Banyak peneliti yang menganjurkan insisi mediana inferior pada apendisitis dalam kehamilan sehingga apendiks dapat dicari lebih baik, dapat mencari penyebab lain (diagnosis banding), dapat dilanjutkan dengan seksio sesarea apabila diperlukan. Manipulasi uterus berlebihan harus dicegah karena dapat menyebabkan persalinan prematur. Seksio sesarea dapat dilakukan pada kehamilan yang mendekad cukup bulan, terutama pada apendisitis perforasi atau ada peritonitis umum untuk mengurangi monalitas janin. Namun, risiko infeksi terhadap ibu akan meningkat. Kadang-kadang seksio harus dilakukan untuk mencapai apendiks. Pada operasi di mana terdapat kesulitan untuk menjangkau letak apendiks dikarenakan uterus yang membesar, seksio sesarea dapat dilakukan untuk memperkecil ukuran utems.



664



NYERI PERUT AKUT PADA KEHAMILAN MUDA



Komplikasi Tergantung usia kehamilan, apendisitis akut dapat menyebabkan komplikasi:



o Abortus



.



o



Persalinan premamr



Penumbuhan janin terhambat Kematian ianin



. . .



Peritonitis



o



Infeksi luka operasi.



Perforasi apendiks



Kista Ovarium dalam Kehamilan Kista ovarium dalam kehamilan dapat menyebabkan nyeri perut akut karena terpuntir atau mPtur. Kista ovarium paling sering ditemukan teqpuntir arau ruptur pada kehamilan trimester pertama. Apabila pada pemeriksaan kehamilan rutin kita dapatkan kista ovarium (tidak terpuntir atau terinfeksi), maka pengelolaannya sebagai berikut.



o Jika ukuran kista lebih dari 10 cm dan asimptomatik:



-



Jika terdeteksi pada trimester pertama, lakukan observasi untuk penumbuhannya atau komplikasi yang terjadi.



-



Jika terdeteksi pada trimester kedua, lakukan pengangkatan kista dengan laparotomi untuk mencegah terjadinya komplikasi. o Jika ukuran kista antara 5 - 10 cm, lakukanfolloro up. Laparotomi mungkin diperlukan bila ukuran kistanya membesar atau tidak mengecil. r Jika ukuran kista kurang dari 5 cm, pada umumnya akan menghilang dengan sendirinya dan tidak memerlukan penanganan lebih lanjut.



Kista Oaarium Ruptwr Insidensi kista ovarium ruptur dalam kehamilan bervariasi, sekitar 1 : 81 sampai 1 : 1.000.



.



Diagnosis - Biasanya ada riwayat trauma ringan seperti jatuh, hubungan seksual, atau pemeriksaan vaginal.



.



Ruptur kista ovarium dalam kehamilan dapat pula terjadi



secara sponran.



Ibu hamil merasakan nyeri perut bawah tiba-tiba. Sering didapatkan tanda nyeri perut akut/tanda rangsangan peritoneum. Pemeriksaan darah sering menunjukkan kadar hemoglobin yang menumn. Sonografi menunjukkan adanya cairan bebas dalam kavum Douglasi.



Pengelohan



-



Operatif (laparotomi) Tinggalkan jaringan ovarium yang baik sebanyak mungkin.



NYERI PERUT AKUT PADA KEHAMIIAN MUDA



665



Kista Torsi/Adneksa Torsi Torsi kista ovarium atau torsi adneksa jarang terjadi. Insidens pada remaja lebih sering. Namun, kehamilan merupakan predisposisi untuk terjadinya torsi (.20 % kista torsi terjadi pada kehamilan; terutama pada trimester pertama). Kista torsi terbanyak adalah kista dermoid dan torsi di bagian kanan lebih sering terjadi daripada adneksa kiri (3 :2)"



c



Diagnosis



-



Nyeri perut akut pada bagian bawah, berat, bersifat kolik, unilateral, dan nyeri panggul.



.



Dua pertiga pasien mengeluhkan mual dan muntah. Kadang-kadang disertai demam ringan. Teraba massa pada perut bawah yang nyeri tekan (pada 95 % pasien). Bila terjadi nekrosis adneksa, didapati ieukositosis dan demam tinggi. Sonografi menunjukkan adanya kista ovarium. Bila diagnosis sulit ditegakkan, lakukan laparoskopi.



Pengelokan



Tindakan operatif harus dilakukan dengan memperbaiki puntiran dan meninggalkan ovarium yang baik. Bila didapati nekrosis adneksa, lakukan salpingo-ooforektomi. Bila terjadi torsi parsial, lakukan dndakan konservatif, perbaiki puntiran, kistektomi, dan tinggalkan ovarium yang baik.



o Prognosis Ibu dan janin biasanya baik apabila prosedur baku dilaksanakan dengan baik. Catatan: jika pada laparotomi ditemukan kecurigaan adanya keganasan (massa tumor padat, pertumbuhan yang melampaui permukaan dinding luar kista), spesimen harus segera dikirim untuk pemeriksaan histologik dan penderita harus dirujuk pada pusat rujukan tersier guna evaluasi dan penanganan lebih lanjut.



Salpingitis Akut



o



.



. o



.



Biasanya terjadi saat awal kehamilan sampai minggu ke-10 kehamilan Penyebabnya dapat infeksi gonokokus atau infeksi pada abortus rerringgal (inkom-



ple0



Nyeri biasanya terasa pada kedua fosa iliaka dan rerus-menerus Biasanya disertai demam dan nyeri tekan perut



Takikardi



Retensi Urin Akut



.



Biasanya disebabkan oleh membesarnya mioma serviks akibat kehamilan



NYERI PERUT AKUT PADA K-EI-IAMIIAN MUDA



666



a



Dapat terjadi pada usia kehamilan dini



a



Nyeri perut bawah dan adanya massa lunak vesika urinaria dapat menyesatkan dan diduga sebagai kista ovarium Kateterisasi urin dapat segera menghilangkan rasa nyeri



Perforasi usus Perforasi usus harus dipikirkan pada ibu hamil dengan gejala akut abdomen yang sebelumnya mengalami febris. Selain perforasi apendiks, perforasi akibat tifoid juga dapat terjadi.



Ruptura organ dalam perut Penyebab ruptura organ-organ lain dalam perut pada ibu hamil tidak berbeda dengan ibu tidak hamil, pada umumnya karena trauma. Pengelolaan ditujukan terhadap penyelamatan ibu.



RUTUKAN 1. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD. Villiams Obstetrics, 21" ed. New York: McGraw-Hill, 2001: 911-36, 1273-306 2. Holcomb VL. Acute abdomen in pregnancy. In: Vinn HN, Hobbins JC, eds. Clinical maternal-fetal medicine. New York: Parthenon; 2000:. 537-46 3. Mahomed K. Abdominal pain in pregnancy. In: James DK, Steer PJ, Veiner CP, Gonik B, eds. High Risk pregnancy management options. 2nd ed. London: !(B Saunders; 2OO1: 983-98 4. Pangemanan T\fl. Kehamilan dengan Apendisitis Akut dalam Buku Aiar IImu Kedokteran Fetomaternal Edisi Perdana. Penprsun. Haryadi. Himpunan Kedokteran Fetomaternal, POGI - 2004:762-71. 5. Pangemanan TV. Kehamilan dengan Kista Ovarium. dalam Buku Ajar Fetomaternal dalam Buku Ajar Ilmu Kedokteran Fetomaternal Edisi Perdana. Penyusun. Harya/,i. Himpunan Kedokteran Fetomaternal, POGI - 2004:791.-804



6. Parungo



CP, Brooks DC. The Pregnant Surgical Patient, in ACS Surgery; Principles \febMD Inc. All rights



and



reserved. Care in Special Situations, 1-21 7. Scott LD, Abu-Hamda E. Gastrointestinal disease in pregnancy. In: Creasy RK, Resnik R, Iams JD, eds. Maternal-fetal medicine principles and practice. Philadelphia: Saunders; 20a4:1.109-26 Practice/available at 20Q2



t1 PERSALINAN PRETERM Anantyo Binarso Mochtar Twjwan Instwksional Umwm Memahami patofisiologi, permasalahan, pencegaban, dan pengelolaan persalinan preterm, sebinga membantu tenaga med.ik dalam pengelolaan persalinan Preterrn dan memberi pengertian bepada ibu hamil dan keluarga untuk ikut serta dalam meningkatkan uPaya ?encegaban persalinan preterm bagi kebam ilannya.



Twjuan Instrwksional Khwsws



1. Mendefinisikan persalinan Preterrn. 2. Mengidenttfi.kasi masalah yang dapat terjadi akibat persalinan pretenn 3. Menjelashan faktor predisposisi dan penyebab persalinan Prcteffn, serta penaPisan terhadap pasien b erisiho terj adiny a p ersalinan Preterm.



4. Mendiskwsikan cara menegakhan diagnosis. 5. Menjelaskan pengelolaan yang benar terhadap persalinan



preterm dan kemwngbinan komplikasi



yang terjadi terutaftM terbadap janinnya.



Sampai saat ini mortaliras dan morbiditas neonatus pada bayi preterm/prematur masih sangat tinggi. Hal ini berkaitan dengan maturitas organ pada bayi lahir seperti paru' orak, dan gastrointestinal. Di negara Barat sampai 80"/' dari kematian neonatus adalah akibat prematuritas, dan pada bayi yang selamat 1,0 ok mengalami permasalahan dalam



jangka panjangl. Penyebab persalinan preterm sering dapat dikenali dengan jelas' Namun, pada banyak kasus penyebab pasti tidak dapat diketahui. Beberapa faktor mempunyai andil dalam terjadinya persalinan preterm seperti faktor pada ibu, faktor ianin dan plasenta, ataupun faktor lain seperti sosioekonomik.



668



PERSALINAN PRETERM



Pendekatan obstetrik yang baik terhadap persalinan prererm akan memberikan harapan terhadap ketahanan hidup dan kualitas hidup bayi prererm. Di beberapa ,,.grr, .r1, Angka Kematian Neonatal pada persalinan premarur menunjukkan penumnan, yang umumnya disebabkan oieh meningkatnya peranan neonatal intenshte caie dan akses yan[ lebih baik- dari pelayanan ini. Di Amerika Serikat bahkan menunjukkan kemajuan yan[



dramatis berkaitan dengan meningkatnya umur kehamilan, dengan 50 o/o neonatui selamat pada persalinan usia kehamilan 25 minggu, dan lebih dari 90 "/o pada usia 2g 29 minggu. Hal ini menun.jukkan bahwa teknologi dapat berperan banyak dalam keberhasilan persalinan bayi preterm2,3. Masih ada sisi lain yang perlu diperhatikan dalam menangani neonarus prererm, rerutama bayi dengan berat lahir sangat rendah (< 1.500 gram), yaitu biayi ,]ang sangat mahal dan meminta renaga yangbanyak.IJpaya primer mempunyai dampak biiya ying relatif murah bagi masyarakat mengingat akses ke rumah sakit s"rrgat kecil, sedangkan upaya sekunder di rumah sakit lebih mahal.



Definisi Persaiinan preterm adalah persalinan yang berlangsung pada umur kehamilan 20 37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir (ACOG 1995). Badan Kesehatan Dunia (\rHo) menyatakan bahwa bayi prematur adalah bayr yang lahir pada usia kehamilan 37 minggu atau kurang. llimpunan Kedokteran Fetomaternal POGI di Semarang tahun 2OO5 menetapkan bahwa persalinan prererm adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan22'- 37 minggul,a's.



Masalah Persalinan Preterm Angka kejadian persalinan prererm pada umumnya adalah sekitar 6 - 10 "/o. Hanya 1,5 "/o-persalinan terjadi pada umur kehamilan kurang dari 32 minggu dan 0,5 ,h pada kehamilan kurang dari 28 minggu. Namun, kelompok ini merupakan duapertiga dari kematian neonatal. Kesulitan utama dalam persalinan prererm ialah perawaran bayi preterm, yang semakin muda usia kehamilannya semakin besar morbiditas dan mortalitas. Penelitian iain menunl'ukkan bahwa umur kehamilan dan berat bayi lahir saling berkaitan dengan risiko kematian perinatal. Pada kehamilan umur 32 -ingg, dengan berat bayi > 1.500 gram keberhasilan hidup sekitar 85 7o, sedang pada umui kehamiian sama dengan berat janin < 1.500 gram angka keberhasilan sebesar 80 o/o. Pada umur kehamilan < 32 minggu dengan berat lahir < 1.500 gram angka keberhasilan hanya sekitar 59 %. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan persaiinan prererm tidak hanya tergantung umur kehamilan, tetapi juga berat bayi lahir. Permasalahan yangteriadi pada persalinan preterm bukan saja pada kematian perinatal, melainkan bayi prematur ini sering pula disertai dengan kelainin, baik kelainan jangka pendek maupun jangka panjang. Kelainan jangka pendek yang sering terjadi adalah: RDS (Respiratory Distress Syndrome), perdarahan intralperiventrikular, NEC (Neootizing



PERSALINAN PRI,TERM



669



Entero Cilitis), displasi bronko-pulmonar, sepsis, dan paten duktus arteriosus. Adapun kelainan jangka panjang sering berupa kelainan neurologik seperti serebral palsi, retinopati, retardasi mental, juga dapat terjadi disfungsi neurobehavioral dan prestasi sekolah yang kurang baik3,4,6. Dengan melihat permasalahan yang dapat terjadi pada bayi preterm, maka menunda persalinan preterm, bila mungkin, masih tetap memberi suatu keuntungan.



Etiologi dan Faktor Predisposisi Persalinan prematur merupakan kelainan proses yang multifaktorial. Kombinaii keadaan obstetrik, sosiodemografi, dan faktor medik mempunyai pengaruh terhadap terjadinya persalinan prematur. Kadang hanya risiko tunggal dijumpai seperti distensi berlebih uterus, ketuban pecah dini, atau trauma. Banyak kasus persalinan prematur sebagai akibat proses patogenik yang merupakan mediator biokimia yang mempunyai dampak terjadinya kontraksi rahim dan perubahan serviks, yaitu:



1. Aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-adrenal



baik pada ibu maupun janin,



akibat stres pada ibu atau janin



2.



Inflamasi desidua-korioamnion atau sistemik akibat infeksi asenden dari traktus genitourinaria atau infeksi sistemik



3. 4. 5.



Perdarahan desidua Peregangan uterus patologik Kelainan pada uterus atau serviks



Dengan demikian, untuk memprediksi kemungkinan terjadinya persalinan prematur harus dicermati beberapa kondisi yang dapat menimbulkan kontraksi, menyebabkan persalinan prematur atau seorang dokter rerpaksa mengakhiri kehamilan pada saat kehamilan belum genap bulan. Kondisi selama kehamilan yang berisiko terjadinya persalinan preterm adalah1,2:



o Janin dan plasenta



.



Perdarahan trimester awal Perdarahan antepartum (plasenta previa, solusio plasenta, vasa previa)



Ketuban pecah dini (KPD) Pertumbuhan janin terhambat Cacat bawaan janin Kehamilan gandalgemeli Polihidramnion



Ibu Penyakit berat pada ibu Diabetes mellitus Freeklampsia/hipenensi Infeksi saluran kemih/genital/intrauterin



670



-



PERSALINAN PRETERM



Penyakit infeksi dengan demam Stres psikologik Kelainan bentuk uterus/serviks Riwayat persalinan preterm/abortus berulang Inkompetensi serviks (panjang serviks kurang dari 1 cm) Pemakaian obat narkotik Trauma



Perokok berat Kelainan imunologi/kelainan resus



Drife dan Magowan menyatakan bahwa 35 7o persalinan preterm terjadi tanpa diketahui penyebab yang jelas, 30 % akibat persalinan elektif, l0 "h pada kehamilan ganda, dan sebagian lain sebagai akibat kondisi ibu atau janinnyal. Infeksi korioamnion diyakini merupakan salah satu sebab terjadinya ketuban pecah dini dan persalinan preterm. Patogenesis infeksi ini yang menyebabkan persalinan belum jelas benar. Kemungkinan diawali dengan aktivasi fosfolipase .Pr2 yang melepaskan bahan asam arakidonat dari selaput amnion janin, sehingga asam arakidonat bebas meningkat untuk sintesis prostaglandin. Endotoksin dalam air ketuban akan merangsang sel desidua untuk menghasilkan sitokin dan prostaglandin yang dapat menginisiasi proses persalinan. Proses persalinan preterm yang dikaitkan dengan infeksi diperkirakan diawali dengan pengeluaran produk sebagai hasil dari aktivasi monosit. Berbagai sitokin, termasuk interleukin-l, tumor nekrosing faktor (TNF), dan interleukin-5 adalah produk sekretorik yang dikaitkan dengan persalinan preterm. Sementara itu, Pktelet Aaiaating Factor (PAF) yang ditemukan dalam air ketuban teriibat secara sinergik pada aktivasi jaiinan sitokin tadi. PAF diduga dihasilkan dari paru dan ginjal janin. Dengan demikian, janin memainkan peran yang sinergik dalam mengawali proses persalinan preterm yang disebabkan oleh infeksi. Bakteri sendiri mungkin menyebabkan kerusakan membran iewat pengaruh langsung dari proteasel,a's. Vaginosis bakterialis adalah sebuah kondisi ketika flora normal vagina predominanlaktobasilus yang menghasilkan hidrogen peroksida digantikan oleh bakteri anaerob, Gardnerella vaginalis, spesies mobilunkus atau mikoplasma hominis. Keadaan ini telah lama dikaitkan dengan ketuban pecah dini, persalinan preterm, dan infeksi amnion, terutama bila pada pemeriksaan pH vagina lebih dari 5,0a. Pada hipertensi atau preeklampsia, penolong persalinan cenderung untuk mengakhiri kehamilan. Hal ini menimbulkan prevalensi pretenn meningkat. Kondisi n-redik lain yang sering menimbulkan persalinan preterrn adalah inkompetensi serviks. Penderita dengan inkompetensi serviks berisiko mengalami persalinan preterm2. Di samping faktor risiko di atas, faktor risiko lain yang periu diperhatikan adalah tingkat sosio-ekonomi, riwayat lahir mati, dan kehamilan di luar nikah. Merupakan langkah penting daiam pencegahan persalinan preterm adalah bagaimana mengidentifikasi faktor risiko dan kemudian memberikan perawatan antenatal serta peny'uluhan agar ibu dapat mengurangi risiko tambahan.



PERSALINAN PRTTERM



671



Diagnosis Sering terjadi kesulimn dalam menentukan diagnosis ancaman persalinan preterm. Tidak jarang kontraksi yang timbul pada kehamilan tidak benar-benar merupakan ancaman proses persalinan. Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman persalinan preterm, yaitu: . Kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7 - 8 menit sekali, atav 2 - 3 kali dalam waktu 10 menit o Adanya nyeri pada punggung bawah (low bacb pain)



o o



. . . .



Perdarahan bercak Perasaan menekan daerah serviks



Pemeriksaan serviks menunjukkan telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm, dan penipisan 50 - 80% Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika Selaput ketuban pecah dapat merupakan tanda awal terjadinya persalinan preterm Terjadi pada usia kehamiian 22 - 37 minggu



Penapisan untwk Persalinan Preterm



Cara utama untuk mengurangi risiko persalinan preterm dapat dilakukan sejak awal, sebelum tanda-tanda persalinan muncul. Dimulai dengan pengenalan pasien yang berisiko, untuk diberi penjelasan dan dilakukan penilaian klinik terhadap persalinan preterm serta pengenalan kontraksi sedini mungkin, sehingga tindakan pencegahan dapat segera dilakukan. Pemeriksaan serviks tidak lazim dilakukan pada kunjungan antenatal, sebenarnya pemeriksaan tersebut mempunyai manfaat cukup besar dalam meramalkan terjadinya persalinan preteffn. Bila dijumpai serviks pendek (< 1 cm) disertai dengan pembukaan



yang merupakan tanda serviks matang/inkompetensi serviks, mempunyai risiko terladrnya persalinan preterm 3 - 4 kali. Beberapa indikator dapat dipakai untuk meramalkan terjadinya persalinan preterm, sebagai berikut.



.



Indikator klinik Indikator klinik yang dapat dijumpai sepeni timbulnya kontraksi dan pemendekan serviks (secara manual maupun ultrasonografi). Terjadinya ketuban pecah dini juga



.



meramalkan akan terjadinya persalinan preterm.



Indikator laboratorik Beberapa indikator laboratorik yang bermakna antara lain adalah: jumlah leukosit dalam air ketuban (20/ml amu lebih), pemeriksaan CRP (> 0,7 mg/ml), dan pemeriksaan leukosit dalam serum ibu (> 13.0001m1).



o Indikator biokimia



-



Fibronektin janin: peningkatan kadar fibronektin janin pada vagina, serviks dan air ketuban memberikan indikasi adanya gangguan pada hubungan antara korion dan desidua. Pada kehamilan 24 minggu atau lebih, kadar fibronektin janin 50 nglml atau lebih mengindikasikan risiko persalinan preterm.



672



-



-



PERSALINAN PRETERM



Corticotropin releasingbormone (CRH): peningkatan CRH dini atau pada trimester 2 merupakan indikator kuat untuk terjadinya persalinan preterm. Siobin inflamasi: seperti IL-10, IL-6, IL-8, dan TNF-cl telah diteliti sebagai me-



diator yang mungkin belperan dalam sintesis prostaglandin. Isoferitin plasenut pada keadaan normal (tidak hamil) kadar isoferitin sebesar 10 U/ml. Kadarnya meningkat secara bermakna selama kehamilan dan mencapai puncak pada trimester akhir yaitu 54,8 1 53 U/ml. Penurunan kadar dalam serum akan berisiko terjadinya persalinan prererm. Feritin: Rendahnya kadar feritin merupakan indikator yang sensitif untuk keadaan kurang zat besi. Peningkatan ekspresi feritin berkaitan dengan berbagai keadaan reaksi fase akut termasuk kondisi inflamasi. Beberapa peneliti menyatakan ada



hubungan antara peningkatan kadar feritin dan kejadian penluiit kehamilan, termasuk persalinan pretermT. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah persalinan preterm antara



lain sebagai berikut.



o Hindari



. r



o



. o



. o



kehamilan pada ibu terlalu muda (kurang dari Hindari jarak kehamilan terlalu dekat



1.7



tahun)



Menggunakan kesempatan periksa hamil dan memperoleh pelayanan antenatal yang baik Anj'uran tidak merokok maupun mengonsumsi obat terlarang (narkotik) Hindari kerja berat dan perlu cukup istirahat Obati penyakit yang dapat menyebabkan persalinan prererm Kenali dan obati infeksi genital/saluran kencing Deteksi dan pengamanan faktor risiko terhadap persalinan preterm2



Pengelolaan



Menjadi pemikiran pertama pada pengelolaan persalinan preterm adalah: apakah ini memang persalinan preterm. Seianjutnya mencari penyebabnya dan menilai kesejahteraan janin yang dapat dilakukan secara klinis, laboratoris, araupun ultrasonografi meliputi penumbuhan /berat janin, jumlah dan keadaan cairan amnion, presentasi dan keadaan janinlkelainan kongenital. Bila proses persalinan kurang bulan masih tetap berlangsung atau mengancam, meski telah dilakukan segala upaya pencegahan, maka perlu diper-



timbangkan:



o



r



Seberapa besar kemampuan klinik (dokter spesialis kebidanan, dokter spesialis kesehatan anak, peralatan) untuk menjaga kehidupan bayi preterm atau berapa persen yang akan hidup menurut berat dan usia gestasi teftentu.



Bagaimana persalinan sebaiknya berakhir, pervaginam atau bedah sesar. apa yang akan timbul, misalnya perdarahan otak atau sindroma gawat



o Komplikasi



.



naPas.



Bagaimana pendapat pasien dan keluarga mengenai konsekuensi perawatan bayi pre-



term dan kemungkinan hidup atau cacat.



PERSALINAN PRETERM



.



673



Seberapa besar dana yang diperlukan untuk merawat bayi preterm, dengan rencana perawatan intensif neonatus2,7.



Ibu hamil yang mempunyai risiko terjadi persalinan preterm dan/atau menun.iukkan tanda-tanda persalinan preterm perlu dilakukan intervensi untuk meningkatkan neonatal outcomes,



Manajemen persalinan preterm bergantung pada beberapa faktor.



. .



Keadaan selaput ketuban. Pada umumnya persalinan tidak dihambat bilamana selaput ketuban sudah pecah. Pembukaan serviks. Persalinan akan sulit dicegah bila pembukaan mencapai 4 cm.



o lJmur



kehamilan. Makin muda usia kehamilan, upaya mencegah persalinan makin perlu dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan berlangsung bila TBJ > 2.000



. o



atau kehamilan > 34 minggu. Penyebab/komplikasi persalinan preterm. Kemampuan neonatal intensiae care facilities. Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada persalinan preterrn, terutama mencegah



morbiditas dan mortalitas neonatus preterm adalah:



. . .



menghambat proses persalinan preterm dengan pemberian tokolisis, pematangan surfaktan paru janin dengan kortikosteroid, dan bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi.



Tokolisis Meski beberapa macam obat telah dipakai untuk menghambat persalinan, tidak adayang benar-benar efektif. Namun, pemberian tokolisis masih perlu dipertimbangkan bila dijumpai kontraksi uterus yang regular dengan perubahan serviks. Alasan pemberian tokolisis pada persalinan preterm adalah:



.



Mencegah mortalitas dan morbiditas pada bayi prematur



o Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir surfaktan paru



. .



janin Memberi kesempatan transfer intrauterin pada fasilitas yang lebih lengkap Optimalisasi personels Beberapa macam obat -yang dapat digunakan sebagai tokolisis adalah:



. . . .



Kalsium antagonis: Nifedipin 10 mg/oral diulang 2 - 3 kali/jam, dilanjutkan tiap 8 jam sampai kontraksi hilang. Obat dapat diberikan lagi jika timbul kontraksi berulang. Obat B-mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan salbutamol, dapat digunakan, tetapi nifedipin mempunyai efek samping lebih kecil. Sulfas magnesikus dan antiprostaglandin (indometasin): jarang dipakai karena efek samping pada ibu ataupun janin. Untuk menghambat proses persalinan preterm selain tokolisis, perlu membamsi aktivitas atau drah barings,S,r.



674



PERSALINAN PRETERM



Kortikosteroid Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan surfaktan paru janin, menurunkan insidensi RDS, mencegah perdarahan intraventrikular, yang akhirnya menurunkan kematian neonatus. Konikosteroid perlu diberikan bilamana usia kehamilan kurang dari 35 minggu. Obat yang diberikan adalah: deksametason atau betametason. Pemberian steroid ini tidak diulang karena risiko terjadinya pertumbuhan janin terhambat. Pemberian siklus tunggal konikosteroid adalah:



o o



Betametason: 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam Deksametason: 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 72 jams,8-t+



Antibiotika Antibiotika hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko terjadinya infeksi seperti pada kasus KPD. Obat diberikan per oral, yang dianjurkan adalah: eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan lain adalah ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari, atau dapat menggunakan antibiotika lain seperti klindamisin. Tidak dianjurkan pemberian ko-amoksiklaf karena risiko NECs,8,e. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada pemeriksaan pasien dengan KPD/PPROM (Preterm Prematare rupture of the membrane) adalah:



o o



.



tlat yang digunakan untuk periksa vagina harus steril. Periksa dalam vagina tidak dianjurkan, tetapi dilakukan dengan pemeriksaan spekulum. Pada pemeriksaan USG jika didapat penumnan indeks cairan amnion (ICA) tanpa adanya kecurigaan kelainan ginjal dan tidak adanya IUGR mengarah pada kemungkinan KPD8. Semua



Penderita dengan KPD/PPROM dilakukan pengakhiran persalinan pada usia kehamilan 36 minggu. Untuk usia 32 - 35 minggu jika ada bukti hasil pemeriksaan maturitas paru, maka kemampuan rumah sakit (tenaga dan fasilims perinatologi) sangat menentukan kapan sebaiknya kehamilan diakhiri. Akan tetapi, bila ditemukan adanya bukti infeksi (klinik ataupun laboratorik), maka pengakhiran persalinan dipercepat/induksi, tanpa melihat usia kehamilan. Persiapan persalinan preterm perlu penimbangan berdasar:



o Usia gestasi



-



Usia gestasi 34 minggu atau lebih: dapat melahirkan di tingkat dasar/primer, mengingat prognosis relatif baik. Usia gestasi kurang dari 34 minggu: harus dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas perawatan neonatus yang memadai.



PERSALINAN PRETERM



o



675



Keadaan selaput ketuban



Bila didapat KPD/PPROM dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu, maka ibu dan keluarga dipersilakan untuk memilih cara pengelolaan setelah diberi konseling dengan baiks.



Cara Persalinan Masih sering muncul kontroversi dalam cara persalinan kurang bulan seperti: apakah sebaiknya persalinan berlangsung pervaginam atau seksio sesarea terutama pada berat



janin yang sangat rendah dan preterm sungsang, pemakaian forseps untuk melindungi kepala janin, dan apakah ada manfaatnya dilakukan episiotomi profilaksis yang luas



untuk mengurangi trauma kepala. Bila janin presentasi kepala, maka diperbolehkan partus pervaginam. Seksio



sesarea



tidak memberi prognosis yang lebih baik bagi bayi, bahkan merugikan ibu. Prematuritas janganlah dipakai sebagai indikasi untuk melakukan seksio sesarea. OIeh karena itu, seksio sesare a hanya dilakukan atas indikasi obstetrikls-l7. Pada kehamilan letak sungsang 30 - 34 minggu, seksio sesarea dapar dipertimbangkan. Setelah kehamiian lebih dari 34 minggu, persalinan dibiarkan terjadi karena morbiditas dianggap sama dengan kehamilan aterms.



Pera@dtdn Neonatws



Unruk perawatan bayi preterm baru lahir perlu diperhatikan keadaan umum, biometri, kemampuan bernapas, kelainan fisik, dan kemampuan minum. Keadaan kritis bayi prematur yang harus dihindari adalah kedinginan, pernapasan yang tidak adekuat, atau trauma. Suasana hangat diperlukan untuk mencegah hipotermia pada neonatus (suhu badan di bawah 36,5' C), bila mungkin bayi sebaiknya dirawat cara KANGURU untuk menghindarkan hipotermia. Kemudian dibuat perencanaan pengobatan dan asupan cairan. ASI diberikan lebih sering, tetapi bila tidak mungkin, diberikan dengan sonde atau dipasang infus. Semua bayi baru iahir harus mendapat nutrisi sesuai dengan kemampuan dan kondisi bayiz'ta. Sebaiknya persalinan bayi terlalu muda atau terlalu kecil berlangsung pada fasilitas yang memadai, seperti pelayanan perinatal dengan personel dan fasilitas yang adekuat termasuk perawatan perinatal intensifls.



RUJUKAN 1. Drife J, Magowan BA. Clinical obstetrics and gynaecology: Prematurity. Saunders, London 2004:375-80



2. Wiknjosastro GH, Wibowo B. Kelainan dalam lamanya kehamilan. Dalam: \Wikn.iosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ed. Ilmu Kebidanan. Edisi 3. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta 1991: 312-7



676



PERSALINAN PRETERM



3. Goldenberg RL. The management of preterm labor. In: High-risk pregnancy series. Obstet Gynecol: an expert's view. 2002; 1,00 1,a20-37 4. cunningham FG, Leveno KJ, Bloom sL. Gilstrap LC, Hauth JC, 'wenstrom KD. preterm birth. In: \iTilliams Obstetrics 22"d ed. McGraw-Hill New iork. 2OO5: 855-73 5. Manajemen persalinan preterm. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI. Semarang, Maret 2OO5 6. Hill A, Volpe lJ. Prematur birth and neurologic complications. In: Reece AE, Hobbins JC, Mahoney MJ, Petrie RH edt. Medicine of fetus and mother. JB Lippincott philadelphia, 1992: 1515-23 7. Abadi A' Persalinan preterm. Dalam: Hariadi R. ed. Ilmu Kedokteran Feto rraternal. Edisi perdana, Himpunan Kedokteran Feto maternal POGI Surabaya 2OO4: 364-8a 8.



ALARM INTERNATIONAL.



2nd edit



9. Mastroglannis DS, Knuppel RA. Clinical management of preterm birth. In: Fuchs AR, Fuchs F, Stubblefield PG edt. Preterm birth, causes, prevenrion and management. 2nd ed. McGraw-Hill New York i993 10. Suharsono. Kontroversi pemberian kortikostero.id dosis tunggal atau multiple pada persalinan prererm. PIT-FM. Semarang Maret 2OO5 11. Jobe AH, Soll RF. Choice and dose of corticosteroid for antenatal rrearmenr. Am J Obstet Gynecol 2004; 190: 878-81 12' Elimian A, Verma U, Visintainer P, Tejani N. Effectiveness of multidose antetanal steroids. Obstet Gynecol 20AO;95:34-6. 13. Resnik R. A different side of the corricosreroid story. Am J obstet Gynecol 2oo4; 190: 295 14. Abbasi S, Hirsch D, Davis J. Effect of single versus multiple courses of antenatal corticosreroids on marernal and neonatal ourcome. Am J Obstet Gynecol 2OOO; 1,82: 1243-9 15' Drust OA. Preterm delivery. Risk versus benevit of intervention. In: Current \W'omen's Health Report



2002;2: 59-64 16. lVarke HS, Saraogi RM,.Sanjanwalla SM. Should a preterm breech go for vaginal delivery or caesarean section. JPGM 1999 vol 45: 1-4 http:/ /www.jpgmonline.com/printarticle L7. PenZJ, Steer PJ, Grant A. A mulricentre random.ized controlled trial comparing elective and selecrive caesarean section for the delivery of the preterm breech infant. In: Br J Obstet Gynaecol 103: 684-9 18. Suryono A. Pengelolaan bayi preterm. PIT FM Maret 2005



t2 KETUBAN PECAH DINI Soetomo Soewarto Tujwan Instraksional Umwm Memabami masahb penanganan Ketuban Pecah Dini.



Tujwan Instrwksional Kbwsus



1. Mendefi.nisikan dan menjelaskan terjadinya Ketuban Pecab Dini. 2. Mengidentifikasi pemeriksaan yang diperlukan untuk diagnosis. 3. Mendishwsikan Penanganan cEat dan tepat Ketuban Pecab Dini dan komplikasinya. Selaput ketuban yang membatasi rongga amnion terdiri atas amnion dan korion yang sangat erat ikatannya. Lapisan ini terdiri atas beberapa sel seperti sel epitel, sel mesenkim, dan sel trofoblas yang terikat erat dalam matriks kolagen. Selaput ketuban berfungsi menghasilkan air ketuban dan melindungi janin terhadap infeksi. Dalam keadaan normal, selaput ketuban pecah dalam proses persalinan. Ketuban Pecah Dini adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan. Bila Ketuban Pecah Dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu disebut Ketuban Pecah Dini pada kehamilan prematur. Dalam keadaan normal 8 - 10 % perempuan hamil aterm akan mengalami Ketuban Pecah Dini1,2. Keruban Pecah Dini Prematur terjadi pada 1 % kehamilan. Pecahnya selaput ketuban berkaitan dengan perubahan proses biokimia yang terjadi dalam kolagen matriks eksra



selular amnion, korion, dan apoptosis membran janin. Membran janin dan desidua bereaksi terhadap stimuli seperti infeksi dan peregangan selaput ketuban dengan memproduksi mediator seperti prostaglandin, sitokinin, dan protein hormon yang merangsang aktivitas " matrix degrading enzy m"3 .



678



KETUBAN PECAH DINI



Mekanisme Ketuban Pecah Dini Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi urerus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah rerrentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena seluruh selaput ketuban rapuh. Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi ekstraselular matriks. Perubahan struktur, jumlah sel, dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan menyebabkan selaput ketuban pecah. Faktor risiko untuk rcrjadinya Ketuban Pecah Dini adalah:



. .



berkurangnya asam askorbik sebagai komponen kolagen; kekurangan tembaga dan asam askorbik yang berakibat pertumbuhan struktur abnormal karena antara lain merokok.



Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks metaloproteinase (MMP) yang dihambat oieh inhibitor y'aringan spesifik dan inhibitor protease. Mendekati waktu persalinan, keseimbangan antara MMP dan TIMP-1 mengarah pada degradasi proteolitik dari matriks ekstraselular dan membran janin. Aktivitas degradasi proteolitik ini meningkat menjelang persalinan. Pada penyakit periodontitis di mana terdapat peningkatan MMP, cenderung terjadi Ketuban Pecah Dinia-6. Selaput ketuban sangat kuat pada kehamiian muda. Pada trimester ketiga selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput ketuban ada hubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim, dan gerakan janin. Pada trimester terakhir terjadi perubahan biokimia pada selaput ketuban. Pecahnya ketuban pada kehamilan aterm merupakan hal fisiologis. Ketuban Pecah Dini pada kehamilan prematur disebabkan oleh adanya faktor-faktor eksternal, misalnya infeksi yang menjalar dari vagina. Ketuban Pecah Dini prematur sering terjadi pada polihidramnion, inkompeten serviks, solusio plasentaT'8.



Komplikasi Komplikasi yang timbul akibat Ketuban Pecah Dini bergantung pada usia kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal ataupun neonatal, persalinan prematur, hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin, meningkatnya insiden seksio sesarea, atau gagalnya persalinan normal.



Persalinan Prematwr Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode laten tergantung



umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90 "h teqradt daJam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan anrara 28 - 34 minggu 50 % persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam I minggu.



KITUBAN PECAH DIN]



679



Infeksi Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada Ketuban Pecah Dini. Pada ibu terjadi korioamnionitis" Pada bayt dapat terjadi septikemia, pneumonia, omfalitis. Umumnya terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Pada Ketuban Pecah Dini premarur, infeksi lebih sering daripada aterm. Secara umum insiden infeksi sekunder pada Ketuban Pecah Dini meningkat sebanding dengan lamanya periode laten.



Hipoksia dan Asfiksia Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan derajat oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, janin semakin gav/at. Sindrom Deformitas I anin Ketuban Pecah Dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin, sena hipoplasi pulmonar.



Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dinie-11



o Pastikan diagnosis o Tentukan umur kehamilan o Evaluasi ada tidaknya infeksi



.



maternal ataupun infeksi janin Apakah dalam keadaan inpartu, terdapat kegawatan janin



Riwayat keluarnya air ketuban berupa cairan jernih keluar dari vagina yang kadangkadang disenai tanda-tanda lain dari persalinan. Diagnosis Ketuban Pecah Dini prematur dengan inspekulo dilihat adanya cairan ketuban keluar dari karlm uteri. Pemeriksaan pH vagina perempuan hamil sekitar 4,5; bila ada cairan ketuban pHnya sekitar 7,1. - 7,3. Antiseptik yang alkalin akan menaikkan



pH vagina.



Dengan pemeriksaan uhrasownd. adanya Ketuban Pecah Dini dapat dikonfirmasikan dengan adanya oligohidramnion. Bila air ketuban normal agaknya ketuban pecah dapat diragukan serviks. Penderita dengan kemungkinan Ketuban Pecah Dini harus masuk rumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut. Jika pada perawatan air ketuban berhenti keluar, pasien dapat pulang untuk rawat jalan. Bila terdapat persalinan dalam kala aktif, korioamnionitis, gawat janin, persalinan diterminasi. Bi.la Ketuban Pecah Dini pada kehamilan prematur, diperlukan penatalaksanaan yang komprehensif. Secara umum penatalaksanaan pasien Ketuban Pecah Dini yang tidak dalam persalinan serta tidak ada infeksi dan gawat janin, penatalaksan aanny a bergantun g pada usia kehamilan.



KETUBAN PECAH DINI



680



Diagnosis Tentukan pecahnya selaput ketuban, dengan adanya cairan ketuban di vagina. Jika tidak ada dapat dicoba dengan menggerakkan sedikit bagian terbawah janin atau meminra pasien batuk atau mengedan. Penentuan cairan ketuban dapat dilakukan dengan tes lakmus Q{itrazin tesr) merah menjadi biru. Tentukan usia kehamilan, bila perlu dengan pemeriksaan USG. Tentukan ada tidaknya infeksi. Tanda-unda infeksi adalah bila suhu ibu lebih dari 38o C serta air ketuban keruh dan berbau. Leukosit darah > 15.000/mm3. Janin yang mengalami takikardia, mungkin mengalami infeksi intrauterin. Tenrukan tanda-tanda persalinan dan skoring pelvik. Tentukan adanya kontraksi yang teratur. Periksa dalam dilakukan bila akan dilakukan penanganan aktif (terminasi kehamilan).



Penanganan



Konseruatif Rawat di rumah sakit, berikan antibiotik (ampisilin 4 x 500 mg atau eritromisin bila tidak ahan ampisilin dan metronidazol2 x 500 mg selama 7 hari). Jika umur kehamilan < 32 - 34 minggu, dirawat selama air ketuban masih keluar, atau sampai air ketuban tidak lagi keiuar. Jika usia kehamilan 32 - 37 minggu, belum inpanu, tidak ada infeksi, tes busa negatif beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi, dan kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan 37 minggu. Jika usia kehamilan 32 - 37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi, berikan tokolitik (saibutamol), deksametason, dan induksi sesudah 24 jam. Jika usia kehamilan 32 - 37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan induksi, nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterin). Pada usia kehamilan 32 - 37 minggu berikan steroid untuk memacu kematangan paru janin, dan bila memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingomielin tiap minggu. Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2hari, deksametason I.M. 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali.



Aktif Kehamilan



>



37 minggu, induksi dengan oksitosin. Bila gagal seksio sesarea. Dapat pula



diberikan misoprostol 25 pg - 50 pg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali. Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotik dosis tinggi dan persalinan diakhiri. . Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan serviks, kemudian induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea. o Bila skcir pelvik > 5, induksi persalinan.



KETUBAN PECAH DINI



681



Korioamnionitislo Definisi Korioamnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil di mana korion, amnion, dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri. Korioamnionitis merupakan komplikasi paling serius bagi ibu dan janin, bahkan dapat berlanjut menjadi sepsis.



Penyebab



Penyebab korioamnionitis adalah infeksi bakteri yang temtama berasal dari traktus urogenitalis ibu. Secara spesifik permulaan infeksi berasal dari vagina, anus, atau rektum dan menialar ke uterus. Angka kejadian korioamnioniris | - 2'/".



Diagnosis



Faktor risiko terjadinya korioamnionitis adalah kelahiran prematur atau ketuban pecah lama. Korioamnionitis tidak selalu menimbulkan gejala. Bila timbul gejala anrara lain demam, nadi cepat, berkeringat, uterus pada perabaan lembek, dan cairan berbau keluar dari vagina. Diagnosis korioamnionitis ditegakkan dengan pemeriksaan fisik, gejalagejala tersebut di atas, kultur darah, dan cairan amnion. Kesejahteraan janin dapat diperiksa dengan wltrasound dan kardiotokografi.



Penanganang



Tegakkan diagnosis dini korioamnionitis. Hal ini berhubungan dengan prognosis, segera janin dilahirkan. Bila kehamilan prematur, keadaan ini akan memperburuk prognosis janin. Bila janin telah meninggal upayakan persalinan pervaginam, tindakan perabdominam (seksio sesarea) cenderung terjadi sepsis. Iakukan induksi atau akselerasi persalinan.



Pemberian antibiotika sesegera mungkin. Dipilih yang berspektrum luas yaitu kombinasi ampisilin 3 x 1000 mg, gentamisin 5 mg/kgBB/hai, dan metronidazol3 x 500 mg. Berikan uterotonika supaya kontraksi uterus baik pascapersalinan. Hal ini akan mencegah/menghambat invasi mikroorganisme melalui sinus-sinus pembuluh darah pada dinding utenrs.



682



KETUBAN PECAH DINI



RUJUKAN 1' Skinner SJM, Campos GA, Liggins GC. Collagen content of human amniotic membranes: effect of gestation length and premature rupture. Obstet Gynecol 1981;57: 487-9 2. Capeless EL, MEAD PB. Management of preterm premature of membranes. lack of national consensus. Am J Obstet Gynecol 1,987; 11: 1,57 3' vadillo-ortega F, Gonzalez-Avila G, Karchmer S, Cruz NM, Ayala-Ruiz A, Lrma, MS. collagen metabolism in premature rupture on amniotic membranes. obstet Gynecol l99or 75t g4-g 4. Lei H, Furth EE, Kalluri R, et al. A program of cell death and extracellular matrix degradation is activated in the amnion before the onser of labor. J Clin Invest 1996; 98:1,971-8 5. Draper D, McGregor J, Hall J. Elevated protease activities in human amnion and chorion correlate with preterm premarure rupture of membranes. Am J Obstet Gynecol 7995; 1,73: 1,506-1,2 6. Offenbacher S, Katz V, Fertik G. Periodonul Infection as a possible risk factor for preterm low binh weight. J Periodontol 1996;67: Suppl: 1103-13 7. Leppert PC, Takamoto N, Yu SY. Apoptosis in fetal membrans may predispose them to rupture. Soc J Gynecol Investing 1996; 3t l28a-128a.abstract 8' Menon R, Fortunato SJ. The role of matrix degrading enzymes and apoptosis in rupture of membranes. Reproductive Sciences 2004; 11,: 427 -37 9. Johnstin MM, Sanchez RL. Antibiotic therapy in preterm PROM. Am J Obstet Gynecol. 1990: l6i, 743



10. Gante TJ, Freeman RK. chorioamnionitis in preterm gesrarion. obstet Gynecol. 1,982;54: 593 11' Christmas JT, Cox SM. Expectant management of prererm membranes. Obstet Gynecol. 7992; g}t 759



BAGIAN KETIGA



PATOLOGI KEHAMILAN, PERSALINAN, N1E4I DAN BAYI BARU LAHIR



B.



Masalah



53. KEHAMIIAN 54, 55. 56. 57. 58.



tanin dan Bayi Baru Labir



POSTTERM



PEMUMBUHAN JANIN TERHAMBAT KELAINAN GENETIK PENYAKIT DAN PERLUKAAN PADA BAYI BARU IAHIR KEMATIAN JANIN DIAGNOSIS PRANATAL DAN TEKNIK INOVATIF PEMANTAUAN JANIN



53



KEHAMILAN POSTTERM Anantyo Binarso Mochtar dan Herman Kristanto Twjwan Instrwksional Umum Memahami patofisiologi, permasalaban, dan pengelolaan kebamilan posttelm, sehinga membantu tenaga kebidanan dahm pengelolaan kehamilan posttenn dan memberi pengertian kepada ibw hamil dan keluarga bila terjadi kehamilan postterm agar dapat ikut serta dalam wpaya pengelokan kehamilan postterm.



Twjuan Instruksional Kbwsws 1.



2.



J. 4.



t.



is iban heb amilan P o s tterm Melakwkan identifikasi masahh yang dapat terjadi pada kebamikn Posttenn M enj elaskan kemungbinan fahtor p eny ebab kebamilan p ostterrn Mendisbusikan cara menegahkan diagnosis kehamilan Postterm Menjelaskan pengelolaan yang benar terhadap kehamilan postterrn dan kemungkinan komplikasi yang terjadi pada ibu dan janinnya.



M endefin



Kehamilan umumnya berlangsung 40 minggu atau 280 hari dihitung dari hari pertama haid terakhir. Kehamilan aterm ialah usia kehamilan antara 38 - 42 minggu dan ini o/o atau ratamerupakan periode terjadinya persalinan normal. Namun, sekitar 3,4 - 14 rata 10 % kehamilan berlangsung sampai 42 minggu atau lebih. Angka ini bervariasi dari beberapa peneliti bergantung pada kriteria yang dipakail'2. Kehamilan postterm temtama beqpengaruh terhadap janin, meskipun hal ini masih banyak diperdebatkan dan sampai sekarang masih belum ada persesuaian paham. Dalam kenyataannya kehamilan postterm mempunyai pengaruh terhadap perkembangan janin sampai kematian janin. Ada janin yang dalam masa kehamilan 42 minggu atau lebih berat badannya meningkat tenrs, ada yang tidak bertambah, ada yang lahir dengan berat



686



K.EHAMIIAN POSTTERM



badan kurang dari semestinya, atau meninggal dalam kandungan karena kekurangan zat



makanan dan oksigen. Kehamilan postterm mempunyai hubungan erat dengan morralitas, morbiditas perinatal, ataupun makrosomia. Semenrara iru, risiko bagi ibu dengan kehamilan postterm dapat berupa perdarahan pascapersalinan araupun tindakan obstetrik yang meningkat. Berbeda dengan angka kematian ibu yang cenderung menumn, kematian perinatal tampaknya masih menunjukkan angka yang cukup dnggi, sehingga pemahaman dan penatalaksanaan yang tepat terhadap kehamilan posmerm akan memberikan sumbangan besar dalam upaya menurunkan angka kematian, terutama kematian perinatal.



Pengertian Kehamilan Postterm Keha,nilan postterm, disebut juga kehamilan serotinus, kehamilan lewat waktu, kehamilan lewat bulan, prolonged. pregna.ltE, extended pregnanq), postdate/pos datisme atau pascamaturitas, adalah: kehamilan yang berlangsung sampai 42 minggu (294 hari) ata:u



lebih, dihitung dari hari pertema haid terakhir menumt rumus Naegele dengan siklus haid rata-rata 28 hari ( WHO 1977, FIGO 't986)2. Seringkali istilah pascamaturitas dipakai sebagai sinonim dismaturitas. Sebenarnya hal ini tidak tepat. Pascamaturitas merupakan diagnosis waktu yang dihitung menurut rumus Naegele. Sebaliknya, dismaturitas hanya menyatakan kurang sempurnanya penumbuhan janin dalam kandungan akibat plasena yang tidak berfungsi dengan baik, sehingga janin tidak tumbuh seperti biasa. Hal ini dapat terjadi pada beberapa keadaan seperri hipertensi, preeklampsia, gangguan gizi, ataupun pada kehamilan postterm sendiri. Jadi, janin dengan dismaturitas dapat dilahirkan kurang bulan, genap bulan, ataupun lewat bulan.



Istilah pascamaturitas lebih banyak dipakai oleh dokter spesialis Kesehatan Anak, sedangkan istilah postterm banyak digunakan oleh dokter spesialis Kebidanan. Dari dua isdlah ini sering menimbulkan kesan bahwa bay yang dilahirkan pada kehamilan postterm disebut sebagai pascamaturitasl,2,3.



Sebab Terjadinya Kehamilan Postterm



Seperti halnya teori bagaimana rcrjadinya persalinan, sampai saat ini sebab terjadinya kehamilan postterm belum jelas. Beberapa teori yang diajukan pada umumnya menyatakan bahwa terjadinya kehamilan postrerm sebagai akibat gangguan terhadap timbulnya persalinan. Beberapa teori diajukar, antara lain sebagai berikutl'2.



o Pengaruh



progesteron. Penurunan hormon progesteron dalam kehamilan dipercaya merupakan kejadian perubahan endokrin yang penting dalam memacu proses biomolekular pada persalinan dan meningkatkan sensitivitas uterus terhadap oksitosin, sehingga beberapa penulis menduga bahwa rcrjadinya kehamilan postterm adalah karena masih berlangsungnya pengaruh progesreron.



KEHAMIT-A,N POSTIERM



.



687



Teori oksitosin. Pemakaian oksitosin untuk induksi persalinan pada kehamilan postterm memberi kesan atau dipercaya bahwa oksitosin secara fisiologis memegang peranan penting dalam menimbulkan persalinan dan pelepasan oksitosin dari neurohipofisis ibu hamil yang kurang pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu fakor penyebab kehamilan



postterm.



.



Teori Kortisol/ACTH janin. Dalam teori ini diajukan bahwa sebagai "pemberi tanda" untuk dimulainya persalinan adalah janin, diduga akibat peningkatan tiba-tiba kadar konisol plasma janin. Konisol janin akan mempengamhi plasenta sehingga produksi progesteron berkurang dan memperbesar sekresi estrogen, selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya produksi prostaglandin. Pada cacat bawaan janin seperti anensefalus, hipoplasia adrenal janin, dan tidak adanya kelenjar hipofisis pada janin akan menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan baik sehingga kehamilan dapat berlangsung lewat bulan.



.



Saraf uterus. Tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus Frankenhauser akan membangkitkan kontraksi uterus. Pada keadaan di mana tidak ada tekanan pada pleksus ini, seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek dan bagian bawah masih tinggi kesemuanya diduga sebagai penyebab terjadinya kehamilan postterm.



."Heriditer. Beberapa penulis menyatakan bahwa seorang ibu yang mengalami kehamilan postterm mempunyai kecenderungan untuk melahirkan lewat bulan pada kehamilan berikutnya. Mogren (1999) seperti dikutip Cunningham, menyatakan bahwa bilamana seorang ibu mengalami kehamilan postterm saat melahirkan anak perempuan, maka besar ke-



mungkinan anak perempuannya akan mengalami kehamilan postterm.



Diagnosis



Tidak jarang seorang dokter mengalami kesulitan dalam menentukan diagnosis kehamilan postterm karena diagnosis ini ditegakkan berdasarkan umur kehamilan, bukan terhadap kondisi kehamilan. Beberapa kasus yang dinyatakan sebagai kehamilan postterm merupakan kesalahan dalam menentukan umur kehamilan. Kasus kehamilan postterm yang tidak dapat ditegakkan secara pasti diperkirakan sebesar 22 "h. Dalam menentukan diagnosis kehamilan postterm di samping dari riwayat haid, sebaiknya dilihat pula hasil pemeriksaan antenatal. Ri,u,tayat



haid



Diagnosis kehamilan postterm tidak sulit untuk ditegakkan bilamana hari penama haid terakhir (HPHT) diketahui dengan pasti. Untuk riwayat haid yang dapat dipercaya, diperlukan beberapa kriteria antara lain:



688



. . o



KI,HAMILAN POSTIERM



Penderita harus yakin betul dengan HPHT-nya Siklus 28 hari dan terarur Tidak minum pil antihamil setidaknya 3 bulan terakhir



Selanjutnya diagnosis ditentukan dengan menghitung menumt rumus Naegelel. Berdasarkan riwayat haid, seorang penderita yang ditetapkan sebagai kehamilan postterm kemungkinan adalah sebagai berikut.



. . .



Terjadi kesalahan dalam menentukan tanggal haid terakhir atau akibat menstruasi abnormal Tanggal haid terakhir diketahui jelas, tetapi terjadi kelambatan orulasi Tidak ada kesalahan menentukan haid terakhir dan kehamilan memang berlangsung lewat bulan (keadaan ini sekitar 20 - 30 'h dari seluruh penderita yang diduga kehamilan postterm)2,3.



Riwayat pemeriksaan antenatal



.



Tes kehamilan. Bila pasien melakukan pemeriksaan tes imunologik sesudah terlambat



2 minggu, maka dapat diperkirakan kehamilan memang telah berlangsung 5 minggu.



. '



Gerak janin. Gerak janin atau quicb.ening pada umumnya dirasakan ibu pada umur 1,8 - 20 minggu. Pada primigravida dirasakan sekitar umur kehamilan 18 minggu, sedangkan pada multigravida pada 16 minggu. Petunjuk umum untuk menentukan persalinan adalah qwich.ening diambah 22 minggu pada primigravida atau ditambah 24 minggu pada multiparitas. kehamilan



o Denyut jantung janin (Dl). umur kehamilan 18 usia kehamilan 10



-



-



Dengan stetoskop Iaennec DIJ dapat didengar mulai 20 minggu, sedangkan dengan Doppier dapat terdengar pada



12 minggu.



Kehamilan dapat dinyatakan sebagai kehamilan postterm bila didapat 3 atau lebih dari



4 kriteria hasil pemeriksaan sebagai berikut.



. . . .



Telah lewat 36 minggu sejak tes kehamilan positif Telah lewat 32 minggu sejak DIJ perrama terdengar dengan Doppler Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan stetoskop LaennecS



Tinggi fwndws wteri Dalam trimester pertama pemeriksaan tinggi fundus uteri serial dalam sentimeter dapat bermanfaat bila dilakukan pemeriksaan secara berulang tiap bulan. Lebih dari 20 minggu, tinggi fundus uteri dapat menentukan umur kehamilan secara kasar3.



KEHAMIIAN POSfiERM



689



Pemeriksaan Uhrasonografi (US G) Ketetapan usia gestasi sebaiknya mengacu pada hasil pemeriksaan ultrasonografi pada trimester pertama. Kesalahan perhitungan dengan rumus Naegele dapat mencapai 20 oh. Bila telah dilakukan pemeriksaan ultrasonografi serial terutama sejak trimester pertama, hampir dapat dipastikan usia kehamilan. Pada trimester pertama pemeriksaan panjang kepaia-tungging (crown-rump lengtb/CRl) memberikan ketepatan kurang lebih 4 hari dari taksiran persalinan. Pada umur kehamilan sekitar 16 - 26 minggu, ukuran diameter biparietal dan panjang femur memberikan ketepatan sekitar 7 hari dari taksiran persalinan. Selain CRL, diameter biparietal dan panjang femur, beberapa parameter dalam pemeriksaan USG juga dapat dipakai seperti lingkar perut, lingkar kepala, dan beberapa mmus yang merupakan perhitungan dari beberapa hasil pemeriksaan parameter tersebut di atas. Sebaliknya, pemeriksaan sesaat setelah trimester III dapat dipakai untuk menentukan berat janin, keadaan air ketuban, ataupun keadaan plasenta yang sering berkaitan dengan kehamilan postterm, tetapi sukar untuk memastikan usia kehamilan1,2.



Pemeriksaan radiologi



Umur kehamilan ditentukan dengan melihat pusat penulangan. Gambaran epifisis femur bagian distal paling dini dapat dilihat pada kehamilan 32 minggu, epifisis tibia proksimal terlihat setelah umur kehamilan 36 minggu, dan epifisis kuboid pada kehamilan 40 minggu. Cara ini sekarang jarang dipakai selain karena dalam pengenalan pusat penulangan seringkali sulit, juga pengaruh radiologik yang kurang baik terhadap janin.



P emeriksaan lab oratonwm



Kadar lesitin/spingomielin Bila lesitin/spingomielin dalam cairan amnion kadarnya sama, maka umur kehamilan sekitar 22 - 28 minggu, lesitin 1,2 kali kadar spingomielint 28 - 32 minggu, pada kehamilan genap bulan rasio menjadi 2 : 1.. Pemeriksaan ini tidak dapat dipakai untuk menentukan kehamilan postterm, tetapi hanya digunakan untuk menentukan apakah janin cukup umur/matang untuk dilahirkan yang berkaitan dengan mencegah kesalahan dalam tindakan pengakhiran kehamilan.



Aktivitas tromboplastin cairan amnion (ATCA) Hastwell berhasil membuktikan bahwa cairan amnion mempercepat waktu pembekuan darah. Aktivitas ini meningkat dengan benambahnya umur kehamilan. Pada umur kehamilan 41 - 42 minggu ATCA berkisar antara 45 * 65 detik, pada umur kehamilan lebih dari 42 minggu didapatkan ATCA kurang dari 45 detik. Bila didapat ATCA antara 42 - 46 detik menun;'ukkan bahwa kehamilan berlangsung lewat waktua.



690



KIHAMII-A.N POSTIERM



Sitologi cairan amnion Pengecatan nile blue sulpbate dapat melihat sel lemak dalam cairan amnion. Bila jumlah sel yang mengandung lemak melebihi 10 %, maka kehamilan diperkirakan 35 minggu dan apabila 50 "/" atau lebih, maka umur kehamilan 39 rninggu atau lebih.



o Sitologi



vagina



Pemeriksaan sitologi vagina (indeks kariopiknotik > 20 %) mempunyai sensitivitas 75 "/". Perlu diingat bahwa kematangan serviks tidak dapat dipakai untuk menentukan usia gestasil,2.



Permasalahan Kehamilan Postterm Kehamilan postterm mempunyai risiko lebih tinggi daripada kehamilan aterm, terutama terhadap kematian perinatal (anteparrum, intrapartum, dan postpartum) berkaitan dengan aspirasi mekonium dan asfiksias. Pengaruh kehamilan postterm antara lain sebagai



berikut.



Perubaban pada Plasenta



Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi pada kehamilan postterm dan meningkatnya risiko pada janin. Penurunan fungsi plasenta dapat dibuktikan dengan penumnan kadar estriol dan plasental laktogen. Perubahan yang terjadi pada plasenta sebagai berikut6,12.



.



.



Penimbunan kalsium. Pada kehamilan postterm terjadi peningkatan penimbunan kalsium pada plasenta. Hal ini dapat menyebabkan gas/at ianin dan bahkan kematian janin intrauterin yang dapat meningkat sampai 2 - 4 kali lipat. Timbunan kalsium plasenta meningkat sesuai dengan progresivitas degenerasi plasenta. Namun, beberapa vili mungkin mengalami degenerasi tanpa mengalami kalsifikasi. Selaput vaskulosinsisial menjadi tambah tebal dan jumlahnya berkurang. Keadaan ini dapat menurunkan mekanisme transpor plasenta.



o Terjadi



proses degenerasi jaringan piasenta seperti edema, timbunan fibrinoid, fibrosis,



trombosis intervili, dan infark vili.



o



Perubahan biokimia. Adanya insufisiensi plasenta menyebabkan protein plasenta dan kadar DNA di bawah normal, sedangkan konsentrasi RNA meningkat. Transpor kalsium tidak terganggu, aliran natrium, kalium, dan glukosa menumn. Pengangkutan bahan dengan berat molekul tinggi seperti asam amino, lemak, dan gama globulin biasanya mengalami gangguan sehingga dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin intrauterin.



KEHAMILAN POSTTERM



691



Pengarub pada Janin



Pengaruh kehamilan postterm terhadap janin sampai saat ini masih diperdebatkan. Beberapa ahli menyatakan bahwa kehamilan postterm menambah bahaya pada janin, sedangkan beberapa ahli lainnya menyatakan bahwa bahaya kehamilan postterm terhadap janin terlalu diiebihkan. Kiranya kebenaran terletak di antara keduanya. Fungsi plasenta mencapai puncak pada kehamilan 38 minggu dan kemudian mulai menurun terutama setelah 42 minggu. Hai ini dapat dibuktikan dengan penumnan kadar estriol dan plasental laktogen. Rendahnya fungsi plasenta berkaitan dengan peningkatan kejadian gawat janin dengan risiko 3 kali. Akibat dari proses penuaan piasenta, pemasokan makanan dan oksigen akan menurun di samping adanya spasme arteri spiralis. Sirkulasi uteroplasenter akan berkurang dengan 50 % menjadi hanya 250 ml/menit1. Beberapa pengaruh kehamilan postterm rerhadap janin antara lain sebagai berikut.



o Berat janin. Bila terjadi perubahan



anatomik yang besar pada plasenta, maka terjadi



penurunan berat janin. Dari penelitian Vorherr tampak bahwa sesudah umur kehamilan 36 minggu grafik rata-rata pertumbuhan janin mendatar dan tampak adanya penurunan sesudah 42 minggu. Namun, seringkali pula plasenta masih dapat berfungsi dengan baik sehingga berat janin bertambah terus sesuai dengan benambahnya umur kehamilan6. Zwerdling menyatakan bahwa rat^-rata berat;'anin lebih dari 3.600 gram sebesar 44,5 "/o pada kehamilan postterm, sedangkan pada kehamilan genap bulan (term) sebesar 30,6 "/". Risiko persalinan bayi dengan berat lebih dari 4.000 gram pada kehamilan postterm meningkat 2 - 4 kali lebih besar dari kehamilan term2'5.



.



Sindroma postmaturitas. Dapat dikenali pada neonatus dengan ditemukannya bekulit kering, keriput seperti kertas (hilangnya lemak subkutan), kuku tangan dan kaki panjang, tulang tengkorak lebih keras, hilangnya verniks kaseosa dan lanugo, maserasi kulit terutama daerah lipat



berapa tanda seperti gangguan pertumbuhan, dehidrasi,



paha dan genital luar, warna cokelat kehijauan atau kekuningan pada kulit dan tali pusat, muka tampak menderita, dan rambut kepala banyak atau tebal. Tidak seluruh neonatus kehamilan posrrerm menunjukkan tanda postmaturitas tergantung fungsi plasenta. LJmumnya didapat sekitar 12 - 20 o/o neonatus dengan tanda postmaturitas pada kehamilan postterm2,3. Berdasarkan derajat insufisiensi plasenta yang terjadi, tanda postmaturitas ini dapat dibagi dalam 3 stadium, yaitu: Stadium



I



Stadium Stadium



II : III :



:



kulit menunjukkan kehilangan verniks kaseosa dan maserasi berupa kulit kering, rapuh, dan mudah mengelupas gejala di atas disertai pewarnaan mekonium (kehijauan) pada kulit disertai pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit, dan tali pusatl'7.



o Gawat janin atau kematian perinatal menunjukkan



angka meningkat setelah kehamiian 42 minggt atau lebih, sebagian besar terjadi inirapartum. Umumnya dise-



babkan oleh:



692



KEHAMII-A,N POSTTERM



-



Makrosomia yang dapat menyebabkan terjadinya distosia pada persalinan, fraktur klavikula, palsi Erb-Duchene, sampai kematian bayi.



-



Insufisiensi plasenta yang berakibat: . Pertumbuhan janin terhambat . Oligohidramnion: terjadi kompresi tali pusar, keluar mekonium yang kental, perubahan abnormal jantung janin . Hipoksia janin . Keluarnya mekonium yang berakibat dapat terjadi aspirasi mekonium pada janin



-



Cacat bawaan: terutama akibat hipoplasia adrenal dan anensefalus



Kematian janin akibat kehamilan postterm terjadi pada 30 % sebelum persalinan, 55 "h dalam persalinan dan 15 "h pascanaal. Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi baru lahir ialah suhu yang tak stabil, hipoglikemi, polisitemi, dan kelainan neurologikl,T.



Pengaruh pada lbu



.



o



Morbiditas/mortalitas ibu: dapat meningkat sebagai akibat dari makrosomia janin dan tulang tengkorak menjadi lebih keras yang menyebabkan terjadi distosia persalinan, incoord,inate uterine action, partus lama, meningkatkan tindakan obstetrik dan persalinan traumatis/perdarahan postpartum akibat bayi besarT. Aspek emosi: ibu dan keluarga menjadi cemas bilamana kehamilan terus berlangsung melewati taksiran persalinan. Komentar terangga arau teman seperti "belum lahir juga?" akan menambah frustasi ibu.



Aspek Mediko Legal



Dapat terjadi sengketa atau masalah dalam kedudukannya sebagai seorang ayah sehubungan dengan umur kehamilan6.



Pengelolaan Kehamilan Postterm Kehamilan postterm merupakan masalah yang banyak dijumpai dan sampai saat ini pengelolaanya masih belum memuaskan dan masih banyak perbedaan pendapat. Perlu ditetapkan terlebih dahulu bahwa pada setiap kehamilan postterm dengan komplikasi spesifik sepeni diabetes mellitus, kelainan fakror Rhesus atau isoimunisasi, preeklampsialeklampsia, dan hipertensi kronis yang meningkatkan risiko terhadap janin, kehamilan jangan dibiarkan berlangsung lewat bulan. Demikian pula pada kehamilan dengan faktor risiko lain seperti primitua, infertilitas, riwayat obstetrik yang jelek. Tidak ada ketentuan



KEHAMILAN POSTTERM



693



atau aturan yang pasd dan perlu dipertimbangkan masing-masing kasus dalam pengelolaan kehamilan postterm. Beberapa masalah yang sering dihadapi pada pengeiolaan kehamilan postterm antara



lain sebagai berikut.



. .



Pada beberapa penderit4 umur kehamilan tidak selalu dapat ditentukan dengan tepat, sehingga janin bisa saja belum matur sebagaimana yang diperkirakan. Sukar menentukan apakah janin akan mati, berlangsung tems, atau mengalami mor-



biditas serius bila tetap dalam rahim. Sebagian besar janin tetap dalam keadaan baik dan rumbuh terus sesuai dengan tambahnya umur kehamilan dan tumbuh semakin besar. . Pada saat kehamilan mencapai 42 minggu, pada beberapa penderita didapatkan sekitar 70 o/" serviks belum matang (unfavourable) dengan nilai Bishop rendah sehingga induksi tidak selalu berhasil. o Persalinan yang berlarut-larut akan sangar merugikan bayi posmarur. . Pada postterm sering terjadi disproporsi kepala panggul dan distosia bahu (8 o/o pada kehamilan genap bulan, 14 "/" pada postterm). o Janin postterm lebih peka terhadap obat penenang dan narkose, sehingga perlu penetapan jenis narkose yang sesuai bila dilakukan bedah sesar (risiko bedah sesar 0,7 7" pada genap bulan dan 1,,3 o/" pada postterm). . Pemecahan selaput ketuban harus dengan pertimbangan matang. Pada oligohidramnion pemecahan selaput ketuban akan meningkatkan risiko kompresi tali pusat tetapi sebaliknya dengan pemecahan selaput ketuban akan dapat diketahui adanya mekonium



.



dalam cairan amnion2'3. Sampai saat ini masih terdapat perbedaan pendapat dalam pengelolaan kehamilan post-



term. Beberapa kontroversi dalam pengelolaan kehamilan postrerm, antara lain adalah:



.



Apakah sebaiknya dilakukan pengelolaan secara aktif yaitu dilakukan induksi setelah ditegakkan diagnosis postterm ataukah sebaiknya dilakukan pengelolaan secara



.



Bila dilakukan pengelolaan aktif, apakah kehamilan sebaiknya diakhiri pada usia ke-



ekspektatif/menunggu. hamilan



4l



atau 42 mingguz.



Pengelolaan aktif: yaitu dengan melakukan persalinan anjuran pada usia kehamilan 41 atau 42 minggu untuk memperkecil risiko terhadap janin. Pengelolaan pasif/menunggu/ekspektatif: didasarkan pandangan bahwa persalinan aniuran yang dilakukan semata-mata atas dasar postterm mempunyai risiko/komplikasi cukup besar temtama risiko persalinan operatif sehingga menganjurkan untuk dilakukan pengawasan terus-menerus terhadap kesejahteraan ;'anin, baik secara biofisik mau-



pun biokimia sampai persalinan berlangsung dengan sendirinya atau timbul indikasi untuk mengakhiri kehamilan.



Sebelum mengambil langkah, beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kehamilan postterm adalah sebagai berikut. . Menentukan apakah kehamilan memang telah berlangsung lewat bulan (postterm) atau bukan. Dengan demikian, penatalaksanaan ditujukan kepada dua variasi dari post-



term rnl.



KEHAMiIAN POSTTERM



694



.



Identifikasi kondisi janin dan keadaan yang membahayakan janin. - Pemeriksaan kardiotokografi seperti nonstress res, (NST) dan contraction stress test. dapat mengetahui kesejahteraan janin sebagai reaksi terhadap gerak janin atau kontraksi utems. Bila didapat hasil reaktif, maka nilai spesifisitas 98,8 o/o menunjukkan kemungkinan besar janin baik. Pemeriksaan ultrasonografi untuk menentukan besar janin, denl.ut jantung janin, gangguan pertumbuhan janin, keadaan dan derajat kematangan plasenta, jumlah (indeks cairan amnion) dan kualitas air



-



ketuban. Beberapa pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan seperti pemeriksaan kadar



Estriol.



Gerakan janin dapat ditentukan secara subjektif (normal rata-rata 7 kah/20 menit) atau secara objektif dengan tokografi (normal 10 kali/ZO menit). - Amnioskopi. Bila ditemukan air ketuban yang banyak dan jernih mungkin keadaan janin masih baik. Sebaliknya, air ketuban sedikit dan mengandung mekonium akan mengalami risiko 33 % asfiksia1,2. Periksa kematangan serviks dengan skor Bishop. Kematangan serviks ini memegang peranan penting dalam pengelolaan kehamilan postterm. Sebagian besar kepustakaan sepakat bahwa induksi persalinan dapat segera dilaksanakan baik pada usia 41 maupun 42 minggu bilamana serviks telah matang1,2'7.



-



.



Pada umumnya penatalaksanaan sudah dimulai sejak umur kehamilan mencapai 41 minggu dengan melihat kematangan serviks, mengingat dengan bertambahnya umur kehamilan, maka dapat terjadi keadaan yang kurang menguntungkan, seperti janin tumbuh makin besar atau sebaliknya, terjadi kemunduran fungsi plasenta dan oligohidramnion2,s,s'e. Kematian janin neonatus meningkat 5 -7 % pada persalinan 42 minggu



atau lebih.



o Bila serviks telah



matang (dengan nilai Bishop > 5) dilakukan induksi persalinan dan dilakukan pengawasan intrapartum terhadap jalannya persaiinan dan keadaan janin. Induksi pada serviks yang telah matang akan menurunkan risiko kegagalan ataupun



persalinan tindakane.



o Bila serviks belum matang, periu dinilai



keadaan janin lebih lanjut apabila kehamilan



tidak diakhiri:



-



NST dan penilaian volume kantong amnion. Bila keduanya normal, kehamilan dapat dibiarkan berlanjut dan penilaian janin dilanjutkan seminggu dua kali. Bila ditemukan oligohidramnion (< 2 cm pada kantong yang vertikal atau indeks cairan amnion < 5) atau dijumpai deselerasi variabel pada NST, maka dilakukan induksi persalinan. Bila volume cairan amnion normal dan NST tidak reaktif, tes pada kontraksi (CST) harus dilakukan. Bila hasil CST positif, terjadi deselerasi lambat berulang, variabilitas abnormal (< 5/20 menit) menunjukkan penuninan fungsi plasenta janin, mendorong agar janin segera dilahirkan dengan mempertimbangkan bedah sesar. Sementara itu, bila CST negadf kehamilan dapat dibiarkan berlangsung dan penilaian janin dilakukan lagi 3 hari kemudian.



KEHAMILAN POSTTERM



69s



o



Keadaan serviks (skor Bishop) harus dinilai ulang setiap kunjungan pasien dan kehamilan dapat diakhiri bila serviks matang1,2. Kehamilan lebih dari 42 minggu diupayakan diakhiri.



Pengelolaan selama persalinan



r o



. .



Pemantauan yang baik terhadap ibu (aktivitas uterus) dan kesejahteraan janin. Pemakaian continuous elearonic fetal monitoring sangar bermanfaar. Hindari penggunaan obat penenang atau analgetika selama persalinan.



Awasi jalannya persalinan.



o



Persiapan oksigen dan bedah sesar bila sewaktu-waktu terjadi kegawatan janin. Cegah terjadinya aspirasi mekonium dengan segera mengusap wajah neonarus dan dilanjutkan resusitasi sesuai dengan prosedur pada janin dengan cairan ketuban ber-



campur mekonium.



o



Segera seteiah lahir, bayi harus segera diperiksa terhadap kemungkinan hipoglikemi,



o



Pengawasan ketat rerhadap neonatus dengan tanda-tanda postmaturitas.



hipovolemi, hipotermi, dan polisitemi.



r



Hati-hati kemungkinan terjadi distosia



bahu2,4,s.



Perlu kita sadari bahwa persalinan adalah saat paling berbahaya bagi janin postterm sehingga setiap persalinan kehamilan postterm harus dilakukan pengamatan ketat dan sebaiknya dilaksanakan di rumah sakit dengan peiayanan operatif dan perawatan neonaral yang memadai.



RUTUKAN GH, lVibowo B. Kelainan dalam lamanya kehamilan. Dalam Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. eds. Ilmu Kebidanan. Edisi ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono



1. Wiknjosastro



Prawirohardjo, 1999 2.. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Gilstrap LC, Hauth JC,'Wenstrom KD. Postterm pregnancy. In: \Williams Obstetrics. 22"d ed. McGraw-Hill New York. 2OO5: 881-90 3. Pernoll ML. Benson 8r Pernoll handbook of obstetric and gynaecology. lOth ed. Boston: McGraw-Hill companles, lUUl: J6U-J



4. Hastwell GB. Accelerated clotting time: an amniotic fluid thromboplastic acivity index of fetal maturity. Am J OJ:stet Gynecol 1978; 1,31,: 650-4 5. Standar pelayanan medik Obstetri dan Ginekologi. POGI, 2006 6. Vorherr H. Placental insufficiency in relation to postterm pregnancy and fetal maturity. Am J Obstet Gynecol 1972;172-8 7. Saifuddin AB, Adriaansz G, \Wiknjosastro GH, lWaspodo D. eds. Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2001 8. Drife J, Magowan BA. Ed. Clinical obstetrics and gynaecology: Prolonged pregnancy. Saunders, London 2044: 317-8 9. James



DK, Mahomed K, Stone P, Wijngaarden \f, Hill LM. Evidence



pregnancy. Saunders. Elsevier science. 2003: 348



based obstetrics: Prolonged



t4 PERTUMBUHAN TANIN TERHAMBAT Gulardi H.'Viknjosastro



Tujuan Instruksional Umwm Menjekskan masakb dan manajemen pertumbuban janin terbambat (PlT).



Tujuan Instruksional



1. 2. 3.



Khusws



Menjekskan d.efinsi PJT. Menjelasknn risiko PJT. Menjekskan gejak klinik dan manajemen PJT.



Pertumbuhan janin terhambat (PJT) kini merupakan suatu enritas penyakit yang membutuhkan perhatian bagi kalangan luas, mengingat dampak yang ditimbulkan jangka pendek berupa risiko kematian 6 - 10 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan bayi normall,2,3. Dalam jangka panjang terdapat dampak berupa hipertensi, arteriosklerosis, stroke, diabetes, obesitas, resistensi insulin, kanker, dan sebagainyaa. Hal tersebut terkenal dengan Barker hipotesis yaitu penyakit pada orang dewasa telah terprogram sejak dalam uterus5.



Kini \flHO menganjurkan agar kita memperhatikan masalah ini karena akan memberikan beban ganda. Di Jakarta dalam suatu survei ditemukan bahwa pada golongan ekonomi rendah, prevalensi PJT lebih tinggi (14 %) jtka dibandingkan dengan golongan ekonomi menengah a:,as (5 "/.)6.



PERTUMBUHAN JANIN TERHAMBAT



697



Definisi Pertumbuhan janin terhambat ditentukan bila berat janin kurang dari 10 % dari berat yang harus dicapai pada usia kehamilan tertentuT. Biasanya perkembangan yang terhambat diketahui setelah 2 minggu tidak ada pertumbuhan. Dahulu PJT disebut sebagai intrauterine growtb retardation (IUGR), tetapi istilah retardation kiranya tidak tepat. Tidak semua PJT adalah hipoksik atau patologik karena ada 25 - 60 % yang berkaitan dengan konstitusi etnik dan besar orang tua8'e.



Penyebab Penyebab PJT



di



an'.aranya ialah sebagai berikut.



. . . .



Anomali janin/trisomi Sindrom Andfosfolipid



o



SLE



.



Hipertensi dalam kehamilan Gemeli



Infeksi: rubela, sifilis, CMV



o Penyakit jantung o Asma



. .



Gaya hidup: merokok, narkoba Kekurangan gizi-ekonomi rendah



Pada kehamilan 16



-



20 minggu sebaiknya dapat ditentukan apakah ada kelainan/



cacat janin. Apabila ada indikasi sebaiknya ditentukan adanya kelainan genetik.



Patologi Pada kelainan sirkulasi uteroplasenta akibat dari perkembangan plasenta yang abnorrnai, pasokan oksigen, masukan nutrisi, dan pengeluaran hasil metabolik menjadi abnormal. Janin menjadi kekurangan oksigen dan nutrisi pada trimester akhir sehingga timbul PJT yang asimetrik yaitu lingkar perut yang jauh lebih kecil daripada lingkar kepala. Pada keadaan yang parah mungkin akan terjadi kerusakan tingkat seluler berupa kelainan nukleus dan mitokondria. Pada keadaan hipoksia, produksi radikal bebas di plasenta menjadi sangat banyak dan antioksidan yang relatif kurang (misalnya: preeklampsia) akan menjadi lebih parah1o. Soothiil dan kawan-kawan (1987) telah melakukan pemeriksaan gas darah pada PJT yang parah dan menemukan asidosis dan hiperkapnia, hipoglikemia, dan eritroblastosis. Kematian pada jenis asimetrik lebih parah jika dibandingkan dengan simetrik. Penyebab PJT simetrik ialah faktor janin atau lingkungan uterus yang kronik (diabetes, hipertensi). Faktor janin ialah kelainan genetik (aneuplodi), umumnya trisomi 2L, 13, dan 18. Secara keseluruhan PJT ternyatahanya20 "h saja yang asimetrik pada penelitian terhadap 8.722 di Amerikall.



698



PEMUMBUHAN JANIN TERHAMBAT



Diagnosis Secara



klinik awal penumbuhan janin yang terhambat dikenal setelah 28



minggu.



Namun, secara ultrasonografi mungkin sudah dapat diduga lebih awal dengan adanya biometri dan taksiran berat janin yang tidak sesuai dengan usia gestasi. Secara klinik pemeriksaan tinggi fundus umumnya daiam sentimeter akan sesuai dengan usia kehamilan. Bila lebih rendah dari 3 cm, patur dicurigai adanya PJT, meskipun sensitivitasnya hanya 40 %12. Smith dan kawan-kawanl3 melakukan observasi pada 4.229 kasus dan menemukan bahwa pertumbuhan yang suboptimai sejak trimester perrama berkaitan dengan kelahiran preterm dan kejadian PJT. Sebaiknya kepastian PJT dapat dibuat apabila terdapat data USG sebelum 20 minggu sehingga pada kehamilan 32 - 34 minggu dapat ditentukan secara lebih tepat.



4,2



41



3,8



39



3,4



37



3,0



35



2,6 33 2,2 31



1,8



29



1,4 1,0



27



0,6



25



24 26 2B 30 32 34 36 38 40 Gambar



54'1.



42



Perkembangan berat janin di bawah 10 sentil menuniukkan adanya PJT



Biometri yang menetap temtama pengawasan lingkar abdomen yang tidak bertambah merupakan petanda awal PJT; terlebih diameter biparietal yang juga tidak bertambah setelah lebih dari 2 minggu.



PERTUMBUHAN JANIN TERHAMBAT



699



Pemeriksaan secara Doppler arus darah: a. umbilikai, a. uterina dan a. spiralis mungkin dapat mencurigai secara awal adanya arus darah yang abnormal atau PJT.



Berikut ini gejala kelainan arus darah. Tabei 54-1. Jenis pembuluh darah dan indikator Resistensi Indeks



Pembuluh darah



Uterina Arteri Umbilikal Arteri



Lekukan (notcbing) diastolik+Rl



SD



>3-



Arus darah a,umbilikal normal



>



0,55 atau



RI >



0,7 tanpa lekukan



setelah usia gestasi 30 minggu



Arus darah a.umbilikal abnormal



Gambar 54-2. Perhatikan arus darah a.umbilikal abnormal di mana diastolik mengalami arus terbalik menandakan resistensi vaskular yang tinggi pada plasenta dan membahayakan janin



Cairan amnion merupakan petanda kesejahteraan janin. Jumlah cairan amnion yang normal merupakan indikasi fungsi sirkulasi janin relatif baik. Bila terdapat oligohidramnion, patut dicurigai perburukan fungsi janin.



700



PERTUMBUHAN JANTN TERHAMBAT



Patut difahami, sekalipun tidak ditemukan kelainan mayor pada USG, rernyara masih mungkin ditemukan kelainan bawaan sebanyak 20 o/"14.



Manajemen Setelah ditetapkan tidak ada kelainan janin, perlu dipertimbangkan bila janin akan dilahirkan. Bagi situasi di Indonesia, saat yang tepat ialah bergantung pada arus darah arteri umbilikal dan usia gestasi. Arteri umbilikal yang tidak memiliki arus diastolik



(absent diastolic



flou) bahkan adanya arus terbalik (reverse flow) akan mempunyai prognosis buruk berupa kematian .ianin dalam < 1 minggu. Usia optimal untuk melahirkan bayi iaiah 33 - 34 minggu dengan pertimbangan sudah dilakukan pematangan paru. Pemeriksaan kardiotokografi akan membantu diagnosis adanya hipoksia janin lanjut berupa deselerasi lambat denlut jantung. Skor fungsi dinamik janin plasenta yaitu upaya mengukur peran PJT pada profil biofisik akan membantu menentukan saatnya melakukan terminasi kehamilan. Tabel



54-2. Skor fungsi dinamik janin



plasental6



Skor 2



Hasil NST



NST + stimulasi akustik Gerak napas



reaktif



akselerasi



nonreaktif tanpa akselerasi



+



(-)



>=10



6 maka periu dipertimbangkan melahirkan bayi dengan induksi. Akibat oligohidramnion, mungkin terjadi kompresi tali pusat atau sudah terjadi insufisiensi plasenta (deselerasi lambat) sehingga dapat membahayakan janin yang mengalami asidosis. Dalam hal itu sebaiknya dipertimbangkan seksio sesarea. Pemeriksaan gas darah tali pusat sangat dianjurkan un-



tuk membantu manajemen pascakelahiran. Pengobatan dengan kalsium bloker, betamimetik, dan hormon ternyata tidak mempunyai dasar dan bukti yang bermaknalT.



PERTUMBUHAN JANIN TERHAMBAT



701



RUIUKAN Stevenson DK, Seidman DS. The cognitive outcome of full term for gesBlional age infants at late adolescence. Obstet Gynecol Surv 1995; 85: 452 2. Piper JM, Xenakis EMJ, McFarland M, Elliot BD, Berkens MD, Langer O. Do growth retarded



L.PazI, Gale R, Laor A, Danon YL, sn-rall



premature infants have different rates of perinatal morbidity and mortality than rppropriate grown premature infants? Osbtet Gynecol 1996;87 1.69 3. Minior VK, Divon MY. Fetal grov/rh resrricrion ar term. Myth or realiry? Obstet Gynecol '1998;92: 57



4. Fraser R, Cresswell J. Vhat should obstetricians be doing about the Barker hypothesis? Br J Obstet Gynaecol 7997; lo4 645 5. Barker DJ. Fetal programming of coronary heart disease. Trends Endocrinol Metab 2002:13:364-8 6. Yongky. Analisis Perrambahan berat badan ibu hamil berdasarkan status sosial ekonomi dan status gizi serta hubungannya dengan berat bayi baru lahir. Thesis Maret 2007 7. Peleg D, Kennedy CM, Hunter SK. Intrauterine growth restriction: identification and management. Am Farn Physician 1998;58:465 8. Manning FA. Hohler C. Intrauterine growth retardation: Diagnosis, prognostication, and management based on ultrasound methods. In: Felischer AC, Romero R, Manning FA, Jeanty P, James AE, editors: The Principles and Practices of Ultrasonography in Obsretrics and Gynecology, 4th edition. Norwalk CT: Appleton and Lange. 1.991:31. 9. Gardosi J, Chang A, Kalyan B, Sahota D, Syrnonds EM. Customized antenatal gros/th charrs. Lancet 1992;339: 283 10. Soothill PW, Nicolaides KH, Campbell S. Prenatal asphyxia, hyperlacticemia, hypoglycemia, and erythroblastosis in growth retarded fetuses. BMJ 1.987;294: 1046 11. Dashe JS, Mclntire DD, Lucas MJ, Leveno KJ. Impact of asymmetric versus symmetric fetal growth restriction on pregnancy outcome. SGI abstract 2000;96: 321 12. !flalraven GEL, Mkanje RJB, van Roosmalen J, van Dongen PVJ, van Asten HAGH, Domans WMV. Single pre-delivery symphysis-fundal height measurement as predictor of birthweight and multiple pregnancy. Br J Obstet Gynaecol 1995; 102 525 13. Smith GCS, Smith MFS, McNay MB, Fleming JEE. First trimester growth and the risk of low birthweight. N Engl J Med 1998; 339: 1.817 14. Zelop C, Fleischer AC, Andreorti RF, Bohm Velez M et al. Expert panel on women's imaging. Growth disturbances: risk of intrauterine growth restriction. Reston VA: American College of Radiology (ACR), 200s: 10 15. Sniiders RJM, Sherrods C, Gosden CM, Nicolaides KH. Fetal growth retardation. Associated malformations and chromosomal abnormalities. An-r J Obstet Gynecol 1993;168t 547 16. Wiknjosastro GH. Penilaian Fungsi Dinamik Janin Plasenra untuk menentukan asidosis janin pada Preekiampsia - Eklan-rpsia. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, thesis; 1992 1.7. Say L, Golmezoglu A, Hofmeyr GJ. Calcium blocker for potential impaired fetal growth. Cochrane Database



of systematic review 2007. Issue



4



55



KELAINAN GENETIK Iswari Setianingsih Twjuan Instrwksional Umum Memabami dasar-dasar penanganan beberapa penyakit genetik pada masa perinaul.



Twjwan Instrwksional Kbwsws



1. 2. 3.



Mengidentifikasi beberapa penyakit genetik. yang menyebabkan masakh perinatal. Memahami dasar-dasar penanganan kelainan kromosom. Memahami dasar-dasar pena.nganan helainan gen.



Penyakit genetik adalah penyakit yang disebabkan oleh defek pada gen. Termasuk dalam



penyakit genetik adalah penyakit yang disebabkan oleh beberapa kelainan berikut ini.



o



r . .



Kelainan gen tunggal seperti talasemia, qtstic fibrosis (CF), Dwchenne muscwlar dystroPlry (DMD), spinal mwscular atropby (SMA), acbondroplasra, hemofilia, dan



hiperplasi adrenal kongenital (HAK). Kelainan lebih dari 1 gen (multiple genetic disorders) seperti diabetes, hipertensi, dan asma.



Kelainan kromosom yaitu kelainan jumiah (trisomi arau monosomi atau rriploidi, tetraploidi) dan kelainan struktur kromosom (translokasi, delesi, inversi, insersi). Kelainan imprinting gen seperti sindrom Prader Villi, dan Angelman.



Penyakit Genetik Yang Menyebabkan Masalah Perinatal Pada topik ini hanya akan dibahas penyakit genetik yang umumnya termasuk dalam penatalaksanaan antenatal.



KEIAINAN GENETIK



.



703



Penyakit genetik yang menyebabkan penyakit berat atau kecacatan pada masa bayi arau anak dan saat ini belum ada pengobatan yang optimal. Kelainan genetik ienis ini merupakan indikasi diagnosis pranatal yang ditujukan untuk mengakhiri kehamilan bila janin terdiagnosis sebagai penderita. Contoh jenis penyakit ini adalah talasemia, spinal muscwkr atropll, duchenne mwscwlar dystropl'ry, dan kelainan kromosom.



o Penyakit genetik yang menyebabkan penyakit berat atau kecacatan



pada masa bayi arau anak, tetapi kelainannya dapat dicegah bila didiagnosis dini (diagnosis pranatal atau skrining bayi baru lahir) dan pengobatan dimulai (a) sejak dalam kandungan atau (b) segera setelah lahir. Contoh penyakit (a) congenital adrenal lryperplasia (CAH) dengan pemberian kortikosteroid akan mencegah virilisasi dan kegawatan pada masa neonatus akibat salt wasting. Oleh karena itu, deteksi penyakit ini dilakukan sejak masa antenatal (diagnosis pranatal)1; contoh penyakit (b) adalah fenil ketonuria



(PKU) dan hipotiroid kongenital (Ci{) yang pengobaannya dimulai pada masa minggu-minggu pertama kehidupan. Untuk kedua penyakit ini diagnosis dilakukan setelah lahir (neu.,born scveening test)2.



.



Penyakit genetik yang menyebabkan kematian hasil konsepsi (abortus, kematian janin, atau kematian bayi segera setelah lahir), sepeni HbBart hidrops fetalis, kelainan kromosom, spinal muscular atroplry (SMA), danthanathopboic dysplasia (TD). Penyakit jenis ini umumnya dilakukan diagnosis pranatal dan dilanjutkan dengan terminasi kehamilan, temtama untuk penyakit yang dapat menyebabkan morbiditas pada ibu selama hamil seperti HbBart hidrops fetalis yang dapat menyebabkan preekiampsia, dan perdarahan pascapersalinan3,a.



Terlebih dahuiu akan dijelaskan istilah yang umum dipergunakan dalam penyakit genetik, mekanisme gen sampai protein dan defek gen ke penyakit dan mekanisme kelainan kromosom.



Genetik Dasar dan Istilah Ijmum Sel Manwsia



Jumlah sel manusia sekitar 100 triliun5, hampir pada semua sel terdapat satu kopi ge-



nom manusia yang lengkap. Instruksi genetik yang lengkap pada setiap sel diperlukan untuk seluruh kehidupan manusia (tumbuh, kembang, dan berfungsi). Kromosom6



Untai panjan g (tbread-libe) yrrg tersusun oleh DNA, terdapat di dalam inti sel, dapat dilihat dengan mikroskop cahaya pada fase pembelahan sel sebagai untai panjangyang berwarna. Oleh karena itu, disebut kromosom (dalam bahasa Yunani, cbroma: warna, soma: badan). Pada sel somatik jumlah kromosom 46 atat 23 pasang yang terdiri atas



704



22



KELAINAN GENETIK



pasang kromosom non-seks (autosom) dan sepasang kromosom seks QC( pada



peremPuan dan XY pada laki-laki), 23 kromosom berasal dari ayah dan 23 dari ibu. Sementara itu, pada ind sel gamet (ovum atau sperma) jumlah kromosom 23. Pada pembelahan sel somatik jumlah kromosom pada tiap-tiap sel hasil pembelahan tetap 23 pasang (dipioid), proses ini dikenal sebagai mitosis. Pada sel gamer, di stadium akhir pembelahan sel (stadium pemarangan sel gamet), setiap sel gamet (ovum atau sperma) masing-masing mempunyai satu set kromosom atau haploid, proses ini disebut miosis.



DNAT



DNA (asam deoksiribonukleat) adalah molekul panjang yang terdiri aras sepasang untai yang saling melilit. Setiap untai DNA disusun oleh unit kimia yaitu basa nukleotida. Dikenal 4 jenis basa nukleotida yaitu A: adenin, C: sitosin, T: dmin, dan G: guanin. Basa nukleotida ini selalu berpasangan Adenin dengan Timin, Guanin dengan Sitosin, tiap pasang



DNA



disebut satu pasang basa.



RNA8



RNA (asam ribonukleat) adalah kopi dari DNA. Strukturnya hampir sama dengan DNA, tetapi (a) berbentuk untai tunggal (single stranded), tidak berpasangan (double stranded); (b) tidak mengandung basa Timin (T) tetapi basa Uracil (U). Umumnya sebagian besar sekuens



RNA ditranslasi untuk sintesis protein.



GenT'8,9



Gen adalah segmen dari DNA yang mengode sintesis protein atau polipeptida. umumnya tersusun dari ribuan sampai puluhan ribu pasang basa nukleotida. Pada setiap kromosom terdiri atas ratusan sampai ribuan gen. Strukrur gen pada umumnya terdiri atas daerah promotor yang berfungsi pada proses transkripsi, cap site, kodon inisiasi (initiator codon), ekson (eron ), intron, kodon terminasi, region poli-A (Gambar 55-1). Susunan DNA pada gen akan dikopi menjadi molekul RNA, molekul RNA umumnya diterjemahkan menjadi protein. Pada setiap gen terdapat daerah-daerah dengan consented sequences, yang biasanya beqperan penting dalam ekspresi gen, pemrosesan RNA, dan proses translasi mRNA. Daerah promotor pada ujung 5' gen globin-B, sangat berperan untuk pengikatan RNA polimerase, serta transkripsi RNA secara akurat dan efisien. Conserued. seqwences ini meliputi TATA box, CCANI box, dan CACCC box.Perbatasan antaraekson dan intron juga merupakan conserued sequences. Suatu intron selalu dimulai dengan dinukleotida GT (situs donor) pada ujung 5' dan diakhiri dengan dinukleotida AG pada ujung 3' sebagai situs akseptor. Hal ini dikenal dengan prinsip Chambon (Cbambon Rzle). Proses translasi mRNA terjadi di poliribosom pada sitoplasma, di mana inisiasi translasi dimulai pada kodon AUG (kodoninisiasi/sart codon), dan diterminasi pada kodon UAA atau



KI,LAINAN GENETiK



-s0



*situs CAP



ffi



-70



i cAcc I



recAA



--;



705



I



|



tt+



Elemen



Promotor



1| l'



I I



situs Splising 5',GT ....... AG 3'



f-K"i;l inisiasi |



I



I



t



RNA Polymerase binding



rtranskripsi RNA Gambar



55-1. Struktur normal



gen globin beta.



Gen globin-$ terdiri aus 3 ekson dan 2 intron (IVS). Sekuens CACCC, CCAAT, ATAAAA box merupakan elemen promotor gen ini. Proses pembentukan wRNA yang matang membutuhkan situs splicing dan poliadeniksi, sedangkan kodon inisiasi dan hodon terminasi diperlukan dalam proses translasi.



UAG atau UGA (kodon stop). Conserued seqilences lainnya adalah sekuens ATAAA pada ujung 3' gen globin-p, berperan dalam proses terminasi transkripsi RNA dan poliadenilasi molekul mRNA. Poly-A ini berperan dalam transpor mRNA atas nukleus ke sitoplasma dan menjaga stabilitas mRNA di dalam sitoplasma. Kelainan Kongenital Kelainan kongenital adalah kelainan yang tampak pada saat lahir. Kelainan ini dapat berupa penyakit yang diturunkan (didapat atas salah satu atau kedua orang tua) atau



tidak diturunkan.



Kelainan Kromosom Dikenal 2 jenis kelainan kromosom yaitu kelainan jumlah dan kelainan struktuF. Kelainan kromosom, karena melibatkan banyak gen (ratusan sampai ribuan), umumnya bermanifestasi klinik sebagai kegagalan hasil pembuahan (infertilitas, abortus, atau kematian mudigah), kelainan kongenital major, dan bila melibatkan kromosom seks dapat bermanifestasi infertilitas, seks ambigus, retardasi mental, perawakan pendek, perawakan tinggi, mikropenis, dan lainJainlo. Tabel 55-1 menunjukkan jenis-jenis kelainan kromosom6.



KEIAINAN GENETIK



706



Tabel



ss-t.



Jenis-jenis kelainan kromosom6



Kelainan jumlab Aneuploidi



Poliploidi Kelainan struktur Translokasi Delesi



-



Monosomi Trisomi



-



Resiprokal Robertsonian



-



Parasentrik



Tetrasomi



Trioloidi I etraplordl



Insersi



Inversi Ring Isokromosom



Perisentrik



Mosaih Chimerism



Kelainan Jumlah Kromosom (Aneuploidi dan Poliploidi) Kelainan jumlah kromosom adalah kelebihan atau kekurangan jumlah (monosomi, trisomi, tetrasomi) atas satu jenis kromosom (hanya kromosom 18 misalkan trisomi 18) atau lebih atas satu jenis (misalkan kombinasi trisomi 13 dan trisomi 27), atzu dapar juga berlebihnya semua jenis kromosom yang disebut triploidi (jumlah total kromosom



69) atau tetrapioidi (jumlah kromosom tota|92).



Mekanisme T erj adinya Anewploidi



.



I atau rniosis iI di sel gamet (ovum atau sperma), kelainan yang disebabkan oleh mekanisme ini akan berakibat trisomi, tetrasomi, atau monosomi pada semua sel6 (Gambar 55-2 menunjtkkan non-disjunction pada proses miosis I dan II)0.



Non-disjwnaion pada fase miosis



Aneuploidi yang disebabkan oleh non-disiunaion pada fase miosis umumnya menyebabkan abortus, kematian janin, atau kecacatan berat sehingga bayi tidak bertahan hidup lama. Aneuploidi yang sering dijumpai adalah trisomi 21 yang dikenai dengan sindroma Down dan monosomi X atau dikenal dengan sindroma Turner dan kelainan jurnlah kromosom seks lain seperti XXY, )OO(, XYY, karena aneuploidi jenis ini bisa benahan hidup sehingga dapar ditemui di kliniklo'll. Masih mungkin juga ditemui di klinik trisomi 18 (sindrom Edward) dan trisomi 13 (sindrom Patau), walaupun kedua jenis ini umumnya tidak bertahan lama setelah lahirll'12. Gambar 55-3 menunjukkan hasii analisis kromosom trisomi 21.



KEIAINAN GENETIK



707



Nsn disiunctisn mi0sir !l



Jr\*



ffi# ffiffi1* * tu , t



ffiffiffiffi 8*2 gP1 *r1



(diovum)



garnetex



t\ ft



ffiffiffiffi



A Gambar



C



55-2. (A) Miosis I



dan



II



normal; (B) Non-disjwnction miosis I; II. (BP : badan polar)



(C) Non-disjunction miosis



ffi



F,d



f.$



ffg



*,#



**



**



#*



e# 1$



t* 20



r* *



Gambar



r#



F.{



*t



r* q,*' q,fi



r* #t



q;*ry



**



/



2t



**



55-3. (A) Kariotiping



atas Trisomi 21 (koleksi



l2



1B



*t



atas trisomi 21 (47, XX+21); (B) Interpbase FISH Klinik Genetik GENNEKA, Lembaga Eijkman)



708



KELAINAN GENETIK



Penyebab non-disjunction fase miosis lebih dihubungkan dengan usia lanjut ibu pada saat hamil, Tabel 55-2 menunjukkan asal kromosom (ayah atau ibu) yang mengalami n on - di sj uncti on. Tabel



55-2. Asal kromosom yang mengalami non-disjunaioz



Kelainan kromosom Trisomi 13 Trisomi 18 Trisomi 21



45X 47 XX](



Lyah (%)



Ibu (%)



15



85



10



90



5



95



80



20



5



95



47 X]trY



45



55



XrY



100



0



47



miosis6



Non-disjunaion pada fase mitosis (post 4tgotic non-disjwndion), tergantung atas fasenya yaiu pada sel pertama zigot atav setelah terjadi mitosis zigot maka ienis kelainan kromosom bisa mosaik sel dengan kromosom trisomi dan monosomi bila terjadi pada sel pertama, atau mosaik sel dengan kromosom normal (diploid), sel dengan kromosom trisomi dan monosomi biia terjadi setelah mitosis normal terjadi beberapa tahrpu.



Mekanisme T erj adinya Poliploidi



.



Triploidi: beberapa penyebab triploidi yang sudah diketahui6 adalah fertilisasi orum oleh 2 sperma (di-spermi), kegagalan fase miosis di orlm atau sperrna, mengakibatkan antara lain retensi badan polar atau formasi sperma dengan diploid kromosom. Bila kromosom yang berlebih berasal atas ayah, umumnya plasenta berukuran besar dan bengkak yang dikenal sebagai hidatifom, sedangkan kelebihan kromosom yang berasal atas ibu, akan mengakibatkan ukuran plasenta kecil. Triploidi umumnya mengakibatkan kematian dini mudigah atau abortus spontan.



.



Tetraploidi: tetraploidi yang pernah ditemukan umumnya mosaik tetraploidi dan di-



ploid yang mengindikaslkan non-disjunaion pada fase mitosislo. Kelainan Struktur Kromosom Kelainan struktur kromosom disebabkan oleh kromosom yang patah kemudian menyambung dengan konfigurasi yang berubah. Keadaan ini bisa balans atau tidak balans. Pada pengaturan yang balans bagian seluruh kromosom lengkap tidak ada penambahan atau pengurangan materi genetik. Umumnya kelainan struktur kromosom yang balans tidak menyebabkan masalah klinik, tetapi seseorang dengan kelainan struktur kromosom balans berpotensi mempunyai keturunan dengan kelainan struktur kromosom yang tidak balans.



KELAINAN GENETIK



709



Translokasi



Translokasi adalah berpindahnya materi genetik atas satu kromosom ke kromosom yang lain. Translokasi Resiprokal terjadi bila 2 kromosom bertukar sebagian materi genetik, sedangkan translokasi Robertsonian adalah jenis translokasi resiprokal tetapi batas patahnya kromosom pada atau dekat centromere (bagian sentral) dua buah kromosom jenis acrocentric (jenis kromosom yang lengan pendeknya atau p sangat pendek dan tidak mengandung ge.r)6'12. Gambar 55-4 menunjukkan mekanisme translokasi Robertsonian dan resiprokal. Gambar 55-5 menunjukkan hasil analisis kromosom dengan translokasi Robertsonian yang tidak balans.



3r. r,1 \ II I



Or= t.{



11 ttt



itI



II ! lt Iu



I



n



H !'all::



I



f.i



n --) TN II I! Ii{ OA ET I T



1-i



T E



l{14;21)



3



I



I



H



I



21



O



tI



I !



14



T tl E l't li I



!-ll



I



I



I



dG(3)



I



der(21)



r(3;21)



AB A Gambar



It i{ lr



rr



3l ri ,! l* ;;



r;



il i.c



55-4. Translokasi Robertsonian (A) dan resiprokal



a,,a



lr



lt



rr



!l



rl



It



.lfnr



1t



lr



A



ti



Ir rt a,



,l



El



It ll



1,1



i,r'"



l*



tr



rt



(B)



i,p I.t x (r Lt qi tl lrl



t,t tJ .. t*



tX



I



t,t I



B



Gambar 55-5. Hasil analisis kromosom (A) Translokasi tidak bakns antara kromosom 2l dan 21 aau 46, XY, rob(21;21)(q10;q10), +21; (B) Translokasi tidak bakns antara brotnosom 14 dan 21 atau 45, XY, rob(14;21) hio;qt0), +Zt.



KEIAINAN GENETIK



71,0



Kasus pada Gambar 55-5, keduanya bermanifestasi



klinik sindroma Down



karena



jumlah kromosom 27 ada tiga. Bila orang rua atas kedua kasus ini masing-masing mempunyai kelainan struktur translokasi Robertsonian yang balans maka risikonya berbeda. Pada kasus (a) keturunan atas orang tuayang mempunyai kelainan translokasi balans antara kromosom 21 dan 21., artinya kedua kromosom 21 saling melekat sehingga jumlah total kromosom 45, tetapi jumlah kromosom 21 normal yaitu ada dua tapi saling



melekat. Keturunan atas individu dengan kelainan ini tidak ada yang normal. Kemungkinannya hanya trisomi 21. atau monosomi 21 (Gambar 55-6a). Sementara itu, kasus pada (b) bila orang tuanya mempunyai kelainan translokasi Robensonian balans antara kromosom 14 dan 21., maka keturunannya bisa monosomi 21 (25 %), trisomi 21 (217o), translokasi balans (25 %), dan normal (25 %) (Gambar 55-6b).



orang tua normal



trisomi kromosom 21 dengan translokasi Bobertsonian imbalans



Kr.21



Kr.21



Gambar 55-6a. Kemungkinan pola penurunan kromosom dari orang tua dengan translokasi Robertsonian balans antara kromosom 21



( ::1#.1" uu,



UU 66 Kt.21



Kr.14



normal kromosom



Gambar



.&@



u 68*-"' Kr.21 Kr.14 trisomi kromosom 21 dengan translokasi Roberlsonian imbalans (sindrom Down)



U



6&



Kr.21



Kr.14



UU 66 Kr.21



Kr.14



monosomi kromosom 21 (letal)



rr. zt orang tua dengan translokasi Robertsonian balans



U Kr.21



6B*-'"' Kr. 14



translokasi Robertsonian balans



55-5b. Kemungkinan pola penurunan kromosom dari orang tua translokasi Robertsonian balans antara kromosom 14 dan 2l



dengan



KEI"\INAN GENETIK



711



Deteksi Kelainan Kromosom pada Masa Perinatal di Indonesia Kasus yang dirujuk ke klinik genetik GENNEKA untuk pemeriksaan (analisis) kromosom umumnya adalah kasus abortus (terutama abortus berulang), kelainan pada janin yang terdeteksi pada pemeriksaan USG, kematian janin, ibu usia lan;'ut, danbayi/ anak dengan kelainan kongenital. Tabel 55-3 menunjukkan jenis kelainan kromosom yang menyebabkan kematian janin atau abortus dan kelainan kongenital dari sampel yang dikirim ke klinik genetik GENNEKA pada tahun 200313.



Tabel



55-3. Kelainan Kromosom



Manifestasi Klinik



pada Masa Perinatal di Indonesial3



Jenis Kelainan Kromosom



Kelainan Kongenital



Jumlah 40



Kromosom normal



jumlah 21 13 18 . Mosaik poliploidi o Kromosom seks



Kelainan



r



Trisomi o Trisomi r Trisomi



Kelainan struktur (delesi, translokasi Robertsonian, duplikasi, derivatif)



Abortus



21 10



(52 %) (25 %)



3 2 2 1



2



e (23 %) 8



Kromosom normal Keiainan jumlah o Trisomi 22



. .



Trisomi



2



Poliploidi



4 (50 %) 4 (50 %) 1



I 2



Kelainan Gen Kelainan gen yang umumnya termasuk dalam penanganan masa perinatal adalah kelainan gen tunggal. Untuk ilustrasi mekanisme kelainan gen sampai dengan manifestasi



klinik, akan dibahas lebih dalam tentang penyakit genetik yang diturunkan secara autosomal resesif (contoh: talasemia), XJinhed resessif (contoh: ducbenne rnuscuhr dystroplry), dan autosomal dominan (contoh: acbondropksia).



Talasemia



Penyakit genetik yang menyebabkan gangguan sintesis rantai globin, komponen utama molekul Hemoglobin (Hb). Molekul Hb dewasa terdiri atas ? rantai globin alpha dan 2 rantai globin beta dan 4 molekul Heme (besi). Oleh karena itu, dikenal 2 jenis talasemia yaitu talasemia alfa bila sintesis rantai globin alfa terganggu dan talasemia beta bila yang terganggu sintesis rantai globin beta. Sintesis rantai globin alfa dikode oleh



KII-A,INAN GENETIK



712



gen globin alfayangterletak di lengan panjang kromosom 16 (16,p), sedangkan sintesis rantai globin beta dikode oleh gen globin beta yang terletak di lengan kromosom 11 (11, p)'*. Penyakit ini diturunkan secara autosomal resesif, yang artinya bentuk heterosigot mutasi talasemia umumnya tidak bermanifestasi klinik anemia, sedangkan bentuk homosigot atau heterosigot ganda (jenis mutasi atas kedua orang tua berbeda) akan bermanifestasi klinik anemia dan berat ringannya bergantung pada jenis mutasi.



Talasemia alfa Gen globin alfa terdiri a:as 2 gen globin alfa yang identik, gen globin-cr1 dan -a2. Karena gen manusia selalu berpasangan, sepasang dari ayah dan sepasang dari ibu, maka manusia mempunyai 4 gen globin alfa (2 pasang)ls. Mutasi talasemia alfa umumnya delesi 1 atau kedua gen globin alfa. Delesi 2 gen giobin alfa heterosigot (-/uu) atau biasa disebut dengan pembawa sifat talasemia alfa jenis berat atau pembawa sifat talasemia-cxr atau -cro, umumnya bermanifestasi normal atau anemia sangat ringan dengan kadar mean corpwscukr aolume (MCV) atau volume eritrosit rata-rata (VER) kurang dari 70 fL dan kadar mean cotpwscwlar Hb (MCH) atau Hb eritrosit rata-rata kurang dari 25 pg15. Bentuk homosigot delesi 2 gen globin alfa bermanifestasi kematian janin yang dikenal dengan HbBart hidrops feraiis16,17,18. Usia saat janin menunjukkan manifestasi hidrops femlis berganrung besarnya delesi gen globin alfa. Bila delesi hanya mencakup gen globin-o1. dan -a2 sepeni delesi tipe SEA (Gambar 55-6 menunjukkan struktur gen globin alfa dan letak delesi gen globin alfa), maka manifestasi hidrops fetalis umumnya pada masa gestasi 28 - 32 minggu. Sementara itu, delesi yang selain mencakup gen globin-ol dan -a2 juga mencakup gen globin zeta (-0 seperti delesi ripe Filipino dan Thaiiand (Gambar 55-6), maka, benruk homosigot delesi ini diduga (karena belum pernah dilaporkan) manifestasi kliniknya



q2



inter-(HVR y(1yol



**-,-, *,"**ffi*****.rsr*"**.fl



yo2



[*ttr*



CI, cx,1



*%



e 3'-HVR ** -,%** %****vw"*



SEA FIL THAI :lilii:llil,ll:iirl iifii.i"{liXhl,r1nir.F



Gambar



a



3,7



.. - o" 4,2



55-7. Struktur gugus gen globin aifa dan lokasi mutasi (delesi) 2 (-) (-o) gen globin alfa yang umum didapatkan di populasi Asia17



atau



KELAINAN GENETIK



713



abortus atau tampak seperti infertilims. Rantai globin zeta adalah komponen utama hemoglobin pada masa embrio (Hb Gowerl,lzez dan Hb Portland,lzyz)16. Heterosigot ganda delesi 2 gen globin alfa dan delesi 1 gen globin alfa atau lazim disebut dengan delesi 3 gen globin alfa (-/-a) umumnya tidak menyebabkan masalah pada masa perinatal. Jenis ini disebut sebagai penyakit HbH dan umumnya bermanifestasi sebagai talasemia intermedia yang pada sebagian besar pasien tidak memerlukan transfusi darahl7. Manifestasi anemia pada kasus penyakit HbH umumnya dicetuskan oleh infeksi, terpapar bahan oksidan arau kehamilanlT'1e. Oleh karena itu, anemia pada masa kehamilan sebaiknya diperiksa juga ke arah ralasemia alfa. Di popuiasi Indonesia, kami mendapatkan kasus talasemia altayangjenis mutasinya bukan delesi gen globin alfa, tetapi mutasi titik atau single base substitution21. Karena gen giobin alfa ada 4, maka jenis mutasi titik yang mengakibatkan manifestasi anemia adalah bukan mutasi titik yang menyebabkan tidak disintesisnya rantai globin alfa, tetapi mutasi titik yang rnenyebabkan disintesisnya rantai globin alfa atau hemoglobin tidak stabil. Salah satu jenis mutasi tersebut adalah mutasi di kodon 59 gen globin alfa yang mengubah asam amino nomor 59 (glisin menjadi aspanat) dari rantai globin alfa 2 (Codon



59 gen globin-o2, GG6sti'1"="Acaspartat)21,22. Homosigot mutasi ini bermanifestasi hidrops fetalis pada masa gestasi 20 - 24 minggu, sedangkan heterosigot ganda dengan mutasi talasemia alf:a yang lain, bergantung jenis mutasi talasemia alfanya dapat bermanifestasi klinik talasemia major yang memerlukan transfusi darah sejak masa bayi atau talasemia intermedia bisa ringan tanpa transfusi atau memerlukan transfusi darah tidak rutin2o. Pembawa sifat mutasi Codon 59, umumnya kadar Hb sangat normal dan MCV lebih aas 70 fL (anrara 70 - 80 fL). Parameter hematoiogi seperti ini sering menyebabkan misdiagnoszs (Gambar 55-7 Parameter hemarologi pembawa sifat talasemia alfa).



Talasemia Beta



Mutasi talasemia beta umumnya mutasi titik. Hingga saat ini sudah dilaporkan lebih dari 200 jenis mutasi talasemia beta di dunia23, dan 30 jenis di populasi Indonesia termasuk etnis Cina2a. Bergantung jenis mutasi talasemia beta, dapat mengakibatkan tidak disintesisnya rantai globin beta (beta nol, B0) atau disintesis dalam jumlah sedikit (B+) atau jumlah cukup banyak 1B++;zl. Bentuk heterosigot atau pembawa sifat talasemia beta (9/0r) dengan jenis mutasi: (1). berat (B0 atau B+) umumnya tidak bermanifestasi



klinik (asimptomatik) dengan kadar Hb normal atau anemia ringan dan kadar MCV/VER < 70 fL (60 - 70 fL) dan MCH/HER < 25 pg dan kadar HbAz > 3,5 "/o (rata-rata a - 6 %); (2). Mutasi ringan (B++), tidak bermanifestasi klinik, kadar Hb normal, MCV > 70 fL dan MCH > 25 pg. Bentuk homosigot mutasi talasemia beta nol atau beta plus berat akan bermanifestasi sebagai talasemia major yang memerlukan transfusi darah sejak usia sekitar 6 bulan. Sementara itu, homosigot mutasi talasemia beta plus ringan akan bermanifestasi anemia ringan atau sedang (kadar Hb 9 - 1l g/dl) a:,au lazim disebut talasemia intermedia. Ienis ini bisa tidak memerlukan transfusi atau



714



KELAINAN GENETIK



memerlukan transfusi tidak rutin atau memerlukan transfusi pada saat terserang infeksi atau saat hamil. Dikenal juga bentuk kombinasi mutasi talasemia beta berat dan ringan, yang manifestasi kliniknya bergantung jenis mutasi dan paparan pencetus (infeksi, bahan oksidan). Contoh mutasi beta nol yang didapat pada populasi Indonesia adalah mutasi pada kodon 15 gen globin beta (TGGt'iptoro'vJ[Qstop)2s, mutasi basa nukleotida G menjadi A pada kodon 15 (yang mengode asam amino nomor 15 atas rantai globin beta) menyebabkan kode untuk asam amino triptofan CIGG) menjadi TAG yang tidak mengkode asam amino atau disebut kodon stop (srop Codon). Akibatnya, saat translasi sintesis rantai globin beta terhenti pada asam amino nomor 15 sehingga rantai globin normal tidak diproduksi sama sekali atau beta nol23. Jenis mutasi yang mengakibatkan tidak disintesisnya rantai globin beta adalah jenis nonsense mutation (contoh mutasi kodon 15 tersebut di atas), mutasiframesbift disebabkan oleh delesi atau insersi di coding region yaitt bagian gen yang mengkode asam amino akibatnya pada saat translasi terjadi perubahan susunan dan jenis asam amino. Umumnya transiasi terhenti arau srop lebih awal, mutasi splicing yang menyebabkan talasemia-Bo adalah mutasi di situs donor splicing (GT) atau acceptor splicing (AG), mutasi di kodon inisiasi dan delesi gen globin beta.



Indikasi dan Langkah-langkah Pemeriksaan Penyakit Genetik pada Masa Perinatal



.



Ada riwayat penyakit genetik dalam keluarga. Untuk menenrukan apakah adanya penyakit genetik dalam keluarga akan berpengaruh pada janin diperlukan pendekatan sebagai berikut.



-



Diagnosis pasti penyakit genetik yang diderita anggota keluarga tersebut. Misalkan ada riwayat kelumpuhan otot pada masa anak usia dini, terlebih dahulu ditentukan diagnosis penderita tersebut, apakah kelumpuhan otot disebabkan oleh d.wchenne mwscwkr dystroplry (DMD) atalr s?inal muscukr atropb (SMA) berdasarkan manifestasi klinik dan pemeriksaan lain seperti kadar kreatininekinase EMG. Diagnosis penyakit ini umumnya dilakukan oleh spesialis saraf anak.



-



dan



Studi keluarga sangat berguna selain untuk menentukan diagnosis juga untuk menentukan ada atau tidaknya risiko janin menderita kelainan tersebut. Misalkan anggota keluarga yang menderita adalah adik laki-laki dari ibu serta anak laki-laki dari adik perempuan ibu, maka smdi keluarga mengindikasikan kelainan bersifar Xlinbed.. Kemungkinannya diagnosis penyakir genetik tersebut adalah DMD, karena secara X-linh.ed, sedangkan SMA secara autosomal resesif.



jenis ini diturunkan



-



Selanjutnya dilakukan deteksi mutasi atas penderita sesuai dengan diagnosis klinik. Bila berdasarkan studi keluarga dan diagnosis penyakit genetik tersebut janin berisiko mendapat kelainan tersebut, maka diagnosis pranatal dapat dilakukan setelah



KELAINAN GENETIK



71,5



melakukan konsultasi genetik yang intensif, karena kedua penyakit ini belum ada obatnya dan anak akan menderita kelumpuhan yang diakhiri dengan kelumpuhan otot pernapasan, maka diagnosis pranatal ditujukan untuk melakukan terminasi kehamilan bila janin terdiagnosis sebagai penderita. Pendekatan tersebut di atas juga dilakukan bila ada riwayat keluarga dengan kelainan kromosom seperti sindroma Down. Seperti diuraikan di atas kelainan ini dapat disebabkan oleh kelainan jumlah dan struktur kromosom. Bila kelainan jumlah terjadi pada anak pasangan yang bersangkutan, umumnya tidak berulang atau keberulangannya sangat kecil. Apalagi bila terjadi pada anggota keluarga lain (bukan anak). Sementara itu, kelainan struktur, bila terjadi pada anak pasangan ini maka sangat besar kemungkinannya salah satu dari pasangan tersebut mempunyai kelainan struktur kromosom yang balans dan risiko janin menderita kelainan struktur kromosom yang tidak balans sangat besar. Bila kelainan ini diderita oleh anggota keluarga lain, sebaiknya pasangan ini yang mempunyai hubungan darah dengan penderim diperiksa analisis kromosom.



.



Usia ibu saat hamii sama dengan atau lebih dari 34 tahun, risiko terjadinya kelainan jumlah kromosom akibat non-disjunaion fase miosis tinggi. Tabel 4 memperlihatkan risiko trisomi 13, 18, dan 21 berdasarkan usia ibu saat hamil. Pada usia ini, amniosintesis untuk analisis kromosom rutin dilakukan pada banyak negara. Pada ibu usia < 34 tahun saat hamil, skrining kelainan kromosom dapat dilakukan dengan pemeriksaan PAPP, beta hCG, dan USG. Pada kasus yang hasil skrining mengindikasikan kelainan kromosom, dilanjurkan dengan analisis kromosom. Data dari klinik genetik GENNEKA Lembaga Eijkman, usia ibu saat hamil dari kasus aneuploidi adalah > 35 tahun pada 31,2 7o kasus, usia 30 - 35 tahun pada 34,4 7o kasus, dan usia
35 tahun dan



< 35 tahun. Karena prosedur amniosentesis atau cborionic villws sampling bukan prosedur rutin pada masa antenatal, maka teknologi lain untuk skrining kelainan kromosom seperti pemeriksaan PAPP, beta hCG, dan USG dapat dipergunakan. Tabel 55-4. Hubungan antara usia ibu dan risiko trisomi 13, 18, dan 2110



Trisomi



Umur ibu saat hamil 10



minggu



Trisomi



13



16



minggu



10



minggu



Trisomi



18



16



minggu



10



minggu



21



16 minggu



35



1



:



1.500



:2.600



:



470



1:840



1:185



I



36



1



:



1.200



:



2.000



:370



1:660



1:150



1:195



37



1:



900



:



1.600



: 280



1:510



I : 115



1:150



:245



K-EIAINAN GENETIK



71,6



:



38



L :700



1



39



1:530



40



i:400



1: 1:



41



1.200



1 :220



:



:390



i:90



1 : 115



1:90 1:70



920



7



1.70



: 300



1:65



740



1:130



: 230



1:50



1:300



1:530



1:95



:170



1.:40



42



1 :230



1:400



1:130



1:30



43



1 :77Q



1:300



1:70 1: 55



1:130



1:220



1:



40



1.



1:95 1:70



:20



1:50 1: 40 1: 30



1.:75



1:20



1.



Keteransan: usia"ibu sesuai dengan saat pemeriksa/ln kromosom, l0 mingu (an .1! mingu menunjukkan masa gestasi pada saat pemerihsaan dengan contoh aili korialis (10 mingu) dan amnion (16 miigu),



-



o Penyakit



genetik yang frekuensinya tinggi pada etnik atau populasi tertentu. Di Indonesia saat ini sudah diketahui bahwa talasemia terutama talasemia beta adalah salah satu penyakit genetik yang frekuensinya ringgi di sebagian besar populasi Indonesia26. Skrining talasemia sangar dianiurkan pada masa anrenatal.



o Dideteksi



kelainan janin pada pemeriksaan USG. Pemeriksaan genetik yang dilakukan bergantung kelainan yang dideteksi. Misalkan:



-



Janin menunjukkan gejala hidrops fetalis dan plasentomegali, kelainan ini dapat disebabkan oleh talasemia alfa, Rhesus inkompatibilitas, atau infeksi. Pemeriksaan awal yang dapat segera dilakukan dengan hasil cepat adalah pemeriksaan indeks sel darah merah dan Rhesus kedua orang tua. Bila nilai MCV atau VER keduanya



lebih rendah atas nilai norrlal, maka kecurigaan ke arah talasemia iebih kuat. Pemeriksaan ianjutan adalah analisis Hb kedua orang tua dan pengambiian darah tali pusat untuk pemeriksaan indeks sel darah merah dan analisis Hb. Pada jenis talasemia alfa yang umum dijumpai pada populasi Asia (terutama Chinese) analisis Hb darah tali pusat dapat dipergunakan sebagai diagnosis karena penyebab tersering hidrops fetalis pada populasi ini adalah delesi keempat gen globin alfa sehingga pada analisis F{b hanya akan dijumpai HbBart, tidak tampak HbF (merupakan jenis Hb utama pada masa janin) dan HbA.



-



Omfalokel. Analisis kromosom dilakukan untuk menentukan omfalokel yang merupakan bagian atas kelainan kromosom yang berarti sangat mungkin disertai



kelainan lain seperti retardasi mental atau bukan bagian kelainan kromosom (isolated). Biia hasii analisis kromosom normal, tindakan untuk melanjutkan kehamilan dan melakukan koreksi segera serelah lahir dapat dipertimbangkan.



KEIAINAN GENETIK



71,7



Ringkasan dan Kesimpulan Penyakit genetik pada masa perinatal merupakan kelainan yaog dapat bermanifestasi sejak konsepsi sampai dengan lahir dengan gejala infertilitas, abortus, kematian janin, serta penyakit atau kecacatan pada masa neonatus, bayi, dan anak. Karena penyakit



genetik sangat banyak dan cara deteksinya tidak selalu mudah, maka pendekatan diagnosis atau skrining berdasarkan beberapa kriteria seperti riwayat penyakit genetik dalam keluarga, usia ibu saat hamil, skrining rutin penyakit genetik yang frekuensinya tinggi pada populasi tertentu, abortus berulang, atau infertilitas, sangat perlu dilakukan.



RUJUKAN ID. Prenatal diagnosis of genetic disease in Emery's Elements of Medical Genetic's. Edisi ke-11. Edinburgh: Churchill Livingstone, 2aA1: 303-12 2. Mueller RF, Young ID. Biochemical genetics in Emery's Elements of Medical Genetic's. Edisi ke-11. Edinburgh: Churchill Livingstone, 2001: 151-68 3. Liang ST, Vong VC\(, So \[\ilK, Ma HK, Chan V, Todd D. Homozygous o-thalassaemia: Clinical presentation, diagnosis and managemenr. A review of 46 cases. Br J Obstet Gynaecol 1985;92: 680-4 4. Tan SL, Tseng AMP, Thong P-'V/: Bart's hydrops fetalis Clinical presentat.ion and managemen! - 233-7 An analysis of 25 cases. Aust NZ J Obstet Gynaecol 7989;3: 5. Alberts B, dkk. Cells and genomes in Molecular biology of the cell. Edisi ke-4. USA: Garland Science, 1. Mueller RF, Young



2002 6. Mueller RF, Young ID. Chromosomes and cell division in Emery's Elements of Medical Genetic's. Edisi ke-1 1. Edinburgh: Churchill Livingstone, 20A1: 29 -54 7. Alberts B, dkk. DNA and chromosomes in Molecular biology of the cell. Edisi ke-4. USA: Garland Science, 2002



8. Alberts B, dkk. How cells read the genome: From DNA to protein in Molecular biology of the cell. Edisi ke-4. USA: Garland Science, 2002 9. Mueller RF, Young ID. The cellular and molecular basis of inheritance. In Emery's Elements of Medical Genetic's. Edisi ke-1 1. Edinburgh: Churchill Livingstone, 2A07: 71,-28 10. Gardner MRJ, Sutherland GR. Chrornosome Abnormalities and Genetic Counseling. Edisi ke-3. New



York: Oxford University Press, 2004 ID. Chromosome disorders. In Emery's Elements of Medical Genetic's. Edisi ke-11.



11. Mueller RF, Young



Edinburgh: Churchill Livingstone, 200'l: 249-66 12. Rooney DE, Czepulkowski BH. Human Cyrogenetics. Oxford: IRL Press, 1986. 13. Paramayuda C, Kartapradja H, Harahap A, Vikniosastro G, Setianingsih I. Aneuploidy: Is Ir Related To Maternal Age? Presentasi poster. 3'd Inrernational Eijkman Symposium. A new hope: Advancement in molecular medicinet 2004 Oct 1-3; Yogyakarta, Indonesia 14. \Weatherall DJ, Clegg JB. The Thalassemia Syndromes. Edisi ke-3. Oxford: Blackwell Scientific Publication,1981



DR, Vickers MA, \flilkie AOM, Pretorius IM, Jannan AP, lVeatheral DJ. A review of the molecular genetics of the human o-globin cluster. Blood 1989:73:1081-104 16. Chui DHK, VayeJS. Hydrops Feralis Caused by o-Thalassemia: An Emerging Health Care Problem. Blood 1998; 91:2213-22 17. Higgs DR. cr-thalassaemia. In: Higgs DR,'!(eatherall D, editors. Baillieres Clinical Haematology: The Haemoglobinopathies. London: VB Saunders 1993, 117-24 18. Lie-Injo LE. Alpha chain thalassemia and hydrops fetalis in Malaya, Report of five cases. Blood 1962; 15. Higgs



20: 581



718



KELAINAN GENETIK



19. Chui



DHK, Fucharoen S. Chan V. Haemoglobin H



disease: not necessarily a benign disorder. Blood 1: 79 t -800 20. Setianingsih I, Harahap A, Nainggolan IM. Alpha Thalassemia in Indonesia: phenotype and molecular defect. In: Marzuki, Verhoef, Snippe, editor. Tropical diseases. New York: Kluwer Academic/Plenum Pub,2003. 47-56 21. Qiiriik MA, Dimovski AJ, Baysal E, Gu LH, Kutlar F, Molchanova TP, \flebber BB, Altay C, Giirgey A, Huisman THJ. Hb Adana or 0259 (E8) GlflAspB2, a severely unstable u,1-globin variant, observed in combination with the -(0)20.5 kb p-Thal-1 deletion in two Turkish patients. Am J Hematol. 1993; 44: 270-5 22. Traeger-Synodinos J, Metaxotou-Mavrommati A, Karagiorga M, Vrettou C, Papassotiriou I, Stamoulakatou A, Kanavakis E. Interaction of an s-thalassemia deletion with either a highly unstable o,-globin variant (o,2, codon 59, GGCIGAC) or a nondeletional s-thalassemia mutation (AATAAA! AATAAG): comparison of phenotypes illustrating "dominant" o-thalassemia. Haemo- globin 1999; 23: 325-37 23. Veatherall DJ. The Thalassemias. The Molecular Basis of Blood Diseases. \VB Saunder: Philadelphia. 1994 24. Setianingsih I. Molecular Basis of p-thalassemia in Indonesia. Presented in the Symposium Molecular



2003;



1



0



to Host-Parasite Relationship in Malaria. Australia-Indonesia Medical Research Initiative (AIMRI). Jakarta, Indonesia. 6-7 March 2O0O 25. Setianingsih I, \Williamson R, Marzuki S, Harahap A, Tamam M, Forrest S. Molecular Basis of p-thaApproaches



lassemia in Indonesia: Application to Prenatal Diagnosis. Molecular Diagnosis 1998;3: 11,-20 26. Sofro AS. Molecular pathology of B-thalassemia in Indonesia. Southeasr Asian Journal of Tropical Medicine and Public Heahh 1995; 26: 5-8



t6 PENYAKIT DAN PERLUKAAN PADA BAYI BARU LAHIR Idham Amir



Twjwan Instruksional Umum Memabami penanganan trauma mekanih yang terjadi ahibat kekhiran.



Twjuan Instruksional Kbwsws



1.



Mengetahui penanganan ba.yi-bayi yang mengakmi trauma jaringan lunak sEerti abrasi, petehia atau eritema, ekimosis, laserasi, dan nehrosis lemak subkutan. 2. Mengeabui dan mernbedakan ua hksana bayi-ba.yi yang mengalami trauma pada twkng tengkorak sEerti kaput suhsedanewm, bematoma sefal, dan hematoma subgaleal. 3. Mengetabui d.an menangani balti-ba1ti yang mengalami trauma wajah yang mengahibatkan perdarahan subbonjungtioa dan perdarahan retina. 4. Mengeahui dan menangani balti-bayi yang mengakmi trawma mwskwloskeletal seperti fraktwr khtikula, frahtur tulang panjang, pergeseran epifisis, fraktur tengkorak, fraktur tulang behkang . dan trauma stemokleidomastoideus, 5. Mengenali gejala dan menata laksana bayi-bayi yang rnengahmi trauma intraabdomen seperti hematoma bati, bernatoma limpa, perdarahan adrenal, perdarahan gtnjal, dan rilptur hati. 6. Mengeubui dan menangani balti-bayi yang mengakmi trauma saraf perifer seperti trauma pleksus brakialis. 7. Mmgeabui dan menangani babaya dan komplihasi yang dapat terjadi pada bayi-bayi yang mengakmi trauma nentus branialis dan medula spinalis. 8. Mengeuhui dan menangani bayi-bayi yang mengalami perdaraban intrabranial sEerti Perdaraban subdural, perdaraban subependimal, perdaraban intraoentrikukr, dan perdarahan subarahnoidal ahibat adanya trauma mekanik,



720



PENYAKIT DAN PERLUKAAN PADA BAYI BARU TAHIR



Trauma lahir mempakan trauma pada bayi sebagai akibat tekanan mekanik (seperti kompresi dan traksi) selama proses persalinan. Faktor-faktor yang mempengaruhi trauma mekanik dapat terjadi bersamaan dengan trauma hipoksi iskemikl. Masalah-masalah yang berhubungan dengan trauma hipoksi iskemik tidak dibahas dalam tulisan ini. Trauma iahir kadang-kadang masih terjadi dan ridak dapat dihindari, dengan kejadian rata-rata 6 - 8 kejadian per 1.000 keiahiran hidup. Umumnya bayi yang lebih besar (BMK) iebih rentan mengalami trauma lahir. Kejadian paling sering dilaporkan pada bayi dengan berat lahir lebih dari 4.500 gram. Adapun faktor risiko lainnya adalah persalinan dengan bantuan alat, terutama forseps atau vakum; persalinan sungsang; dan traksi abnormal/berlebihan selama proses persalinan. Penanganan persalinan yang baik dapat mengurangi angka keiadian trauma lahirl. Sebagian besar trauma lahir dapat sembuh sendiri dan prognosisnya baik. Namun, pada beberapa kasus dapat pula menyebabkan kecacatan dan kematian. Hampir 50 % kasus dapat dihindari dengan mengetahui dan mengantisipasi faktor risiko obstetri. Keluaran pada bayi merupakan akibat dari berbagai faktor2.



Mortalitas dan Morbiditas Kurang dari 2 '/" kematian neonatal dan stillbirth di Amerika Serikat disebabkan oleh trauma lahir mati. Sejak tahun 1970 - 1985 monalitas akibat trauma lahir turun dari 64,2 menjadi 7,5 kematian per 100.000 kelahiran hidup (menurun 88 7o). Penurunan ini



sebagiar-r disebabkan kemajuan teknologi yang memungkinkan dokter spesialis kebidanan mengenal faktor-faktor risiko traurna lahir melalui USG dan alat-alat untuk memantau kesejahteraan janin sebelum memutuskan persalinan pervaginam. Penggunaan peralatan yang menyebabkan trauma lahir seperti rotasi midforseps atau vakum juga berkurang. Adapun alternatif yang dipilih saat ini adalah persalinan dengan cara bedah sesar3.



Penyebab Proses kelahiran merupakan kombinasi dari kompresi, kontraksi, torsi, dan traksi. Jika janin besar, adanya kelainan letak, atau imaturitas neurologis, proses kelahiran dapat menimbulkan kerusakan jaringan, edema, perdarahan, atau fraktur pada bayi baru lahir.



Persalinan dengan alat akan meningkatkan kejadian trauma lahir. Pada kondisi terten-



tu, bedah sesar dapat merupakan suatu aiternatif, meskipun tidak menjamin kelahiran yang bebas trauma. Faktor predisposisi terjadinya trauma lahir antara lain primigravida, disproporsi sefalopelvik (ibu pendek, kelainan rongga panggul), persalinan yang berlangsung terlalu lama atau cepat, oligohidramnion, presentasi abnormal (sungsang), ekstraksi forseps atau vakum (midcaoity), versi dan ekstraksi, bayi berat lahir sangat rendah atau sangat prematur, makrosomia, ukuran kepala janin besar, dan anomali janinl'3.



PENYAKIT DAN PERLUKAAN PADA BAYI BARU LAHIR



721



Trauma Lahir dengan Prognosis Jangka Panjang yang Baiks Jaringan Lunak



o Abrasi



.



o



. .



Petekia atau eritema Ekimosis Laserasi



Nekrosis lemak subkutan



Tulang Tengkorak



. . .



Kaput suksedaneum Hematoma sefal



Fraktur linier



Vajah



.



o



Perdarahan subkonjungtiva Perdarahan retina



Trauma Muskuloskeletal



. .



Fraktur klavikula Fraktur tulang panjang



o Trauma



sternokleidomastoid



Trauma Intraabdomen . Hematoma hati . Hematoma limpa



. .



Perdarahan adrenal Perdarahan ginjal



Saraf Tepi



.



Paralisis nerr.us VII o Paralisis pita suara unilateral



. .



Paralisis nen'us radialis



Trauma pleksus lumbosakral



Trauma Jaringan Lunak Trauma jaringan lunak biasanya sebagai akibat tindakan yang dilakukan untuk memantau kesejahteraan ;'anin (pengambilan darah dari kulit kepala janin untuk mengetahui pH atau pemasangan elektrode pada kulit kepala untuk memantau detak jantung ianin). Perlukaan ini umumnya ddak akan menimbulkan perdarahan, infeksi, atau abses3.



Hematoma Sefal Hematoma sefal merupakan pengumpulan darah di subperiosteal akibat ruptur pembuluh darah yang berada di anrara rulang tengkorak dengan periosteum. Kelainan ini berbatas tegas pada tulang yang bersangkutan dan tidak melampaui sutura. Tulang teng-



722



PENYAKIT DAN PERLUKAAN PADA BAYI BARU IAHIR



korak yang sering terkena adalah tulang parietal, tetapi kadang-kadang dapat terjadi pada tulang oksipitala. Hematoma sefal dapat ditemukan pada 0,5 - 2 o/o dari kelahiran hidup. Hematoma sefal dapat terjadi pada persalinan normal, tetapi iebih sering pada partus iama atau partus dengan menggunakan forseps atau vakuml. Perdarahan yang terjadi dapat menyebabkan anemia dan hipotensi. Namun, hal ini jarang terjadi. Penyembuhan hematoma meiupakan predisposisi terhadap terjadinya hiperbilirubinemiaa. Hiperbilirubinemia terjadi akibat penghancuran sel darah merah pada hematoma. Hiperbilirubinemia karena hematoma sefal terjadi lebih lambat daripada hiperbilirubinemia fisiologi. Kadang-kadang hematoma sefal disertai pula dengan fraktur tulang tengkorak di bawahnya (5 - 20 % kasus) atau perdarahan intrakranial3. Hematoma sefal jarang menjadi fokus infeksi yang menyebabkan meningitis atau osteomielitisa. Resolusi hematoma sefal terjadi dalam beberapa minggu dan umumnya disertai kalsifikasi3.



Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang diperlukan. Pemeriksaan radiologik kepala atau CT-scan kepala dilakukan bila terdapat kelainan neurologis atau jika terdapat fraktur tulang tengkoraka. Penanganan hematoma sefal biasanyahanya observasi. Transfusi karena anemia atau hipovolemia hanya diperlukan bila terdapat akumulasi darah yang cukup banyak. Aspirasi hematoma sefai tidak dianjurkan dan cenderung dapat meningkatkan risiko infeksi. Terjadinya gangguan pembekuan darah harus dipertimbangkan pada seiiap kasus hematoma sefal3.



Hematoma Subgaleal



Hematoma subgaleal merupakan perdarahan pada ruang antara periosteum tulang tengkorak dan aponeurosis galea kulit kepala. Sembilan puluh persen kasus terjadi akibat alat vakum yang dipasang pada kepala bayi saat proses kelahiran. Hematoma subgaleal memiliki kekerapan yang tinggi terhadap terjadinya trauma kepala (40 7o), seperti perdarahan intrakranial atau fraktur tulang tengkorak. Kejadian tersebut tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan beratnya perdarahan subgaleal5. Diagnosis umumnya atas dasar klinik, yaitu adanya massa yang berfluktuasi pada kulit kepala (terutama pada daerah oksipital). Pembengkakan tersebut timbul secara bertahap dalam 1.2 - 72 jam setelah proses persalinan. Meskipun demikian, pada kasus yang berat dapat terjadi segera setelah lahir. Hematoma tersebar melampaui seluruh kalvaria. Hematoma subgaleal timbulnya secara perlahan dan kadang-kadang tidak dapat dikenali dalam beberapa jam. Pasien dengan hematoma subgaleal dapat mengalami syok hemoragika. Pembengkakan dapat mengaburkan fontanel dan melewati garis sutura (berbeda dengan hematoma sefal). Harus diantisipasi kemungkinan terjadinya hiperbilirubinemia yang signifikan. Bila tidak disertai syok atau trauma intrakranial, prognosis jangka panjang umumnya baik5. Pemeriksaan laboratorium meiiputi pemeriksaan hematokrit. Penanganan meliputi observasi ketat untuk mendeteksi perburukan klinik dan terapi terhadap terjadinya syok dan anemiaa. Transfusi dan fototerapi mungkin diperlukan. Pemeriksaan untuk mengetahui adanya gangguan pembekuan darah mungkin diperlukana's.



PENYAKIT DAN PERLUKAAN PADA BAYI BARU LAHIR



723



Kaput Swksedaneum Kaput suksedaneum merupakan penumpukan cairan serosanguineous, subkutan, dan ekstraperiosteal dengan batas yang tidak jelas. Kelainan ini biasanya pada presentasi kepala, sesuai dengan posiii bagian yang bersangkutan. Pada bagian tersebut terjadi edema sebagai akibat pengeluaran serum dari pembuluh darah. Kelainan ini disebabkan oleh tekanan bagian terbawah janin saat melawan dilatasi serviks. Kaput suksedaneum menyebar melewati garis tengah dan sutura serta berhubungan dengan moulding tulang kepala. Kaput suksedaneum biasanya tidak menimbulkan komplikasi dan akan menghilang dalam beberapa hari setelah kelahiran. Terapi hanya berupa observasi3. Trauma M wskulws S ternokleidomastoidews



Dalam minggu pertama setelah bayi lahir ditemukan suatu benjolan pada muskulus sternokleidomastoideus dengan diameter 1. -2 cm, berbams tegas, dan sukar digerakkan dari dasarnya. Tumor ini umumnya dianggap sebagai suatu hematoma akibat perlukaan karena usaha untuk melahirkan kepala bayi pada persalinan sungsang. Kepala serta leher bayi cenderung miring ke sisi yang sakit (tortikolis). Keadaan ini jika dibiarkan akan sembuh, tetapi otot akan menjadi lebih pendek dari normal. Sebelum hal itu terjadi, perlu dilakukan fisioterapi. Pada keadaan tertentu diperlukan tindakan operasil.



Abrasi dan Laserasi Abrasi dan iaserasi kadang-kadang terjadi sebagai akibat sayatan pisau bedah pada saat bedah sesar atau persalinan dengan menggunakan alat (seperti vakum, cunam). Laserasi kadang-kadang dapat mengenai sutura. Komplikasi infeksi mungkin terjadi meskipun kemungkinannya kecil. Penanganan terdiri atas pembersihan dan pengeringan kulit yang terluka, pemberian salep antibiotik, dan observasi. Kadang-kadang laserasi memerlukan tindakan penjahitan3.



Eritema, Petekiae, dan Ekimosis Kelainan ini ditemukan di bawah kulit bagian tubuh yang mengalami tekanan pada waktu bayi dilahirkan. Jenis persalinan yang sering menyebabkan kelainan ini ialah presentasi muka dan persalinan dengan ekstraksi forseps atau vakum. Kelainan ini tidak memerlukan pengobatan khusus dan biasanya menghilang dalam minggu pertamas. Nekrosis



laringan Lemak Subkutan



Nekrosis jaringan lemak subkutan biasanya tidak terdeteksi pada saat lahir. Kelainan ini dapat ditemukan pada persalinan lama atau persalinan dengan alat yang menyebabkan tekanan yang lama pada bagian rerrenru. Kulit bersama iemak subkutan menjadi nekrotik dengan batas yang tidak tegas sehingga terbentuk plak yang ireguler, keras, nonpitting berwarna merah-ungu kehitaman pada ekstremitas, waiah, tubuh, atau bo-



724



PENYAKIT DAN PERLUKAAN PADA BAYI BARU LAHIR



-



kong. Tidak ada terapi khusus. Biasanya diperlukan waktu 5 8 minggu untuk penyembuhan. Nekrosis jaringan lemak subkutan kadang-kadang mengalami kalsifikasi. Bahaya terbesar ialah infeksi3. Perdaraban Subkonjwngtfu a Kelainan ini sering ditemukan pada bayi, baik pada persalinan biasa maupun pada persalinan yang sulit. Darah yang tampak pada konjungtiva bulbi biasanya diserap lagi setelah 1 - 2 minggu ranpa memerlukan pengobatan khususl.



Trauma pada Saraf Perifer Trauma Pleksus Brakialis (Bracbial Palsy) Kelainan ini dibagi atas: . paralisis Erb, yaitu kelumpuhan bagian-bagian tubuh yang disarafi oleh cabang-cabang C5 dan C6 dari pleksus brakialisa; . paralisis Klumpke, yaitu kelumpuhan bagian-bagian tubuh yang disarafi oleh cabangcabang C8-Th 1 dari pleksus brakialisa. Trauma pleksus brakialis umumnya terjadi pada bayi besar. Kelainan ini timbul akibat



tarikan yang kuat pada daerah leher saat melahirkan bayi sehingga terjadi kerusakan pada pleksus brakialis. Biasanya ditemukan pada persalinan letak sungsang bila dilakukan traksi yang kuat saat melahirkan kepala bayia. Pada persalinan letak kepala, kelainan



ini dapat terjadi pada kasus distosia bahu.



Pada kasus tersebut kadang-kadang dilakukan



tarikan pada kepala yang agak kuat ke belakang untuk melahirkan bahu depan6'7. Insidens paralisis pleksus brakialis ialah 0,5 - 2,0 per 1.000 keiahiran hidup. Kebanyakan kasus merupakan paralisis Erb. Paralisis pada seluruh pleksus brakialis terjadi pada 10 7" kasus6'7. Lesi traumatik yang berhubungan dengan paralisis pleksus brakialis antara lain frakrur klavikula (10 %), fraktur humerus (10 %), subluksasi csruical spine (5 "/o), trauma ceruical cord (5 - 10 "h), dan paralisis nen'us fasialis (10 - ZO "L10'2. Paralisis Erb (C5 - C6) paling sering terjadi dan berhubungan dengan terbatasnya gerakan bahu. Anggota gerak yang terkena akan berada dalam posisi adduksi, pronasi, dan rotasi internal. Refleks Moro, biseps, dan radialis pada sisi yang terkena akan menghilang. Refleks menggenggam biashnya masih adaa. Pada lima persen kasus disertai paresis neryus frenikus ipsilaterala'6,7. Paralisis Klumpke (C7 - 8, Th1) jarang terjadi dan mengakibatkan kelemahan pada otot-otot intrinsik rangan sehingga bayi kehilangan refleks menggenggam. Bila serabut simpatis servikal pada spina torakal pertama terlibat, maka akan dijumpai sindrom Horne/. Tidak ada pedoman dalam penentuan prognosis. Narakas mengembangkan sistem klasifikasi (tipe I - V) berdasarkan beratnya dan luasnya lesi dalam menentukan prognosis pada 2 bulan pertama setelah lahir. Berdasarkan studi kolaboratif perinatal



PENYAKIT DAN PERLUKAAN PADA BAYI BARU IAHIR



725



yang melibatkan 59 bayi, 88 7o kasus sembuh pada 4 bulan pertama, 92 "/" sembuh dalam 12 bulan, dan 93 % sembuh dalam 48 bulan. Penelitian lain pada 28 bayi dengan paralisis pleksus parsial dan 38 bayi dengan paralisis pleksus ntal, 92 % bayi sembuh spontan6'7.



Gejala sisa dapat berupa deformitas tulang yang progresif, atrofi otot, kontraktur sendi, kemungkinan terganggunya pertumbuhan anggota gerak, dan kelemahan bahu6,7. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi daerah bahu dan lengan atas untuk menyingkirkan trauma rulang. Foto toraks harus dikerjakan untuk menyingkirkan kemungkinan paresis nervus frenikusa. Elektromiografi (EMG) dan pemeriksaan konduksi saraf kadang-kadang diperlukan. MRI dapat digunakan untuk menilai trauma pleksus secara noninvasif dalam wakru yang relatif singkat dan dapat dikerjakan tanpa anestesi umum. MRI dapat mengetahui adanya meningokel dan membedakan antara akar saraf yang utuh dengan pseudomeningokel (kemungkinan arulsi komplit). Apabila dilakukan dengan hati-hati, CT mielografi intratekal dapat memperlihatkan disrupsi preganglion, pseudomeningokel, dan avulsi akar saraf parsial. CT mielografi lebih invasif dan memiliki beberapa keuntungan fika dibandingkan MRI6'7. Penanganan meliputi pencegahan kontraktur. Imobilisasi anggota gerak dengan cara meletakkan anggota gerak atas pada rongga abdomen selama minggu pertama dan selanjurnya mulai latihan dengan pergerakan pasif pada semua sendi anggota geraka. Gunakan bantuan bidai pergelangan tangan. Hasil yang baik dari terapi bedah adalah bila dikerjakan pada tahun pertama kehidupan. Beberapa peneliti merekomendasikan eksplorasi bedah dan pencangkokan (grafting) bila tidak terdapat fungsi pada akar atas pada usia 3 bulan. Tindakan eksplorasi awal umumnya tidak dianjurkan. Komplikasi eksplorasi pleksus brakialis antara lain infeksi, prognosis buruk, dan luka bakar karena penggunaan mikroskop pada saat operasi. Pasien dengan arulsi akar prognosisnya buruk. Prosedur paliatif dengan cara transfer tendon telah beberapa kali dikerjakan. Transfer latisimus dorsi dan teres mayor direkomendasikan untuk meningkatkan fungsi otot bahu pada paralisis Erb5'7.



Trauma Nervus Kranialis dan Medula Spinalis Trauma pada nervus kranialis dan medula spinalis merupakan akibat dari hiperekstensi, traksi, dan peregangan yang berlebihan bersamaan dengan rotasi. Trauma dapat bervariasi anrara neurapraksia lokal sampai transeksi nervus dan medula spinalis secara lengkaps.



Trauma Nentus Kranialis Cabang unilateral nervus fasialis dan nenrrs vagus unilateral yaitu nervus laringeal rekurens merupakan saraf kranial yang paling sering mengalami trauma dan dapat mengakibatkan paralisis yang menetap atau sementara. Kompresi karena daun forseps sering dihubungkan dengan paralisis nervus fasialis. Namun, sebenarnya sebagian besar paralisis nervus fasialis tidak berhubungan dengan trauma karena persalinan dengan bantuan alat (seperti forseps)a. Kompresi terjadi saat kepala janin melewati os sakrum8.



726



PENYAKIT DAN PERLUKAAN PADA BAYI BARU IAHIR



Gejala klinik pada trauma nen'us VII sentral adalah muka yang tidak simetris pada saat menangis. Mulut tertarik ke sisi yang normal, kerutan lebih dalam di sisi yang normal, sedangkan gerakan dahi dan kelopak mata tidak terpengaruh. Sisi yang paralisis licin dan tampak membengkak, lipatan nasolabial menghilang, dan sudut mulut turun. Tidak ada bukti trauma pada wajah8. Gejala klinik pada trauma nervus VII perifer adalah wajah asimetris saat menangis. Kadang-kadang terdapat bekas penggunaan forseps. Pada trauma cabang perifer, paralisis mengenai dahi, mata, atau mulut8. Diagnosis banding antara lain sindrom Mobius, tidak adanya otot wajah secara kongenital, tidak adanya otot orbikularis oris unilateral, dan perdarahan intrakranial8. Sebagian besar bayi mulai mengalami penyembuhan pada minggu pertama, tetapi untuk penyembuhan sempurna memerlukan waktu beberapa bulan. Paralisis karena trauma biasanya akan sembuh atau membaik, sedangkan paralisis yang menerap biasanya disebabkan oleh tidak adanya persarafans. Penanganan meliputi menurup mara yang terbuka dengan pelindung mara dan pemberian air mata sintetik (metilselulose) setiap 4 jama. Konsultasi dengan spesialis saraf dan spesialis bedah harus dilakukan bila tidak ada perbaikan dalam 7 - 10 haria'8. Paralisis diafragma akibat trauma akar nervus servikal yang selanjutnya menjadi nerrrrs frenikus dapat terjadi sebagai suatu kelainan tersendiri (isolated) atau bersamaan dengan paralisis pleksus brakialis. Gejala kliniknya bervariasi. Perjalanan penyakitnya bifasik, pada awalnya bayi mengalami gangguan pernapasan dengan takipnea dan analisis gas darah menunjukkan hipoventilasi (antara lain hipoksemia, hiperkapnia, asidosis). Dalam beberapa hari berikutnya, bay membaik dengan pemberian oksigen dan kadang-kadang diperlukan alat bantu napas. Diafragma yang letaknya tinggi mungkin tidak tampak pada awal perjalanan penyakit. Sekimr 80 % kasus umumnya mengenai sisi sebelah kanan dan hanya 10 "/" yang bilateralS. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan ultrasonografi atau fluoroskopi rongga toraks, yang memperlihatkan peningkatan diafragma dengan gerakan paradoks pada sisi yang terkena pada saat bernapass. Mortalitas pada lesi unilateral sekitar 10 - 15 %. Sebagian besar pasien akan mengalami penyembuhan pada 6 - 1,2 bulan pertama. Prognosis lesi bilateral lebih buruk. Mortalitas mencapai 50 "/o, dan kadang-kadang diperlukan bantuan ventilator untuk waktu yang lama. Terapi terdiri atas pemantauan status respirasi secara terus-menenrs dan intervensi jika memungkinkan8.



Paralisis Nentus Laingeal Gangguan pada nervus laringeal dapat mempengaruhi proses menelan dan bernapas. Trauma nervtrs laringeal terjadi sebagai akibat posisi janin intrauterin yang mengalami rotasi kepala dan fleksi lateral. Selama proses kelahiran, pergerakan kepala yang sama dapat mencederai nervus laringeal. Trauma lahir ini merupakan penyebab paralisis pita suara pada 10 % kasus. Pada paralisis neryus laringeal unilateral suara bayi terdengar



PENYAKIT DAN PERLUKAAN PADA BAYI BARU IAHIR



727



serak dan srridor respirasi. Proses menelan dapat terpengaruh bila cabang superior terkena. Paralisis bilateral mungkin disebabkan oleh trauma pada kedua nervus laringeal, atau lebih sering karena trauma SSP seperti hipoksia atau perdarahan yang mengenai batang otak. Pasien dengan paralisis bilateral akan mengalami gangguan napas berat atau asfiksia3.



Pemeriksaan laringoskopi direk diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan membedakan paralisis pita suara dari penyebab lain gangguan napas dan stridor pada bayi baru lahir. Tindakan ini dapat membedakan paralisis dengan etiologi lain yang jarang, seperti gangguan kardiovaskular, malformasi SSP, atau tumor mediastinals. Paralisis akan sembuh dalam 4 - 6 minggu meskipun penyembuhan dapat terjadi daIam 6 - 12 bulan pada kasus yang berat. Terapi bersifat simptomatik. Saat kondisi bayi mengalami perbaikan, pemberian minum sedikit-sedikit dengan frekuensi yang lebih sering dapat mengurangi risiko aspirasi. Bayi dengan paralisis bilateral memerlukan pemberian minum melalui sonde lambung dan trakeotomil.



Kerusakan Medula Spinalis Trauma pada medula spinalis dapat terjadi selama persalinan sebagai akibat traksi atau rotasi yang berlebihan. Traksi kadang-kadang dilakukan pada persalinan sungsang, sedangkan rorsi terutama pada persalinan letak verteks. Angka kejadian yang sebenarnya sulit diketahui. Daerah serviks bagian bawah dan toraks bagian atas pada persalinan sungsang, dan daerah serviks bagian atas dan tengah pada persalinan verteks merupakan daerah-daerah yang paling sering mengalami trauma4'8. Perubahan neuropatologi yang utama meliputi lesi akut yang berupa perdarahan epidural/intraspinal, dan edema. Perdarahan biasanya disebabkan oleh adanya peregangan, Iaserasi, dan disrupsi. IGdang-kadang dijumpai duramater yang robek dan sangat jarang dijumpai fraktur/dislokasi vertebra8. Manifestasi klinik dapat berupa lahir mad atau kematian neonatal dini karena gangguan pernapasan yang berat, terutama pada kasus dengan trauma pada serviks bagian atas atau batang otak bagian bawah. Kegagalan respirasi yang berat kadang-kadang tersamar dengan penggunaan alat bantu napas. Hal ini kadang-kadang menimbulkan masalah etis. Bayi-bayi yang tertolong akan mengalami kelemahan dan hipotoni. Penyebab pasri dari kelemahan ini tidak diketahui, seringkali dipikirkan suatu kelainan neuromuskular arau ensefalopati hipoksi/iskemi yang sementara. Bayi-bayi ini selanjutnya akan mengalami spastisitas sehingga seringkali dianggap palsi serebrala'8. Pencegahan merupakan aspek yang sangat penting dalam penanganan pasien. Penanganan obstetri pada persalinan sungsan& persalinan dengan menggunakan alat, dan pemberian obat-obatan untuk menguatkan his harus dilakukan dengan benar. Kadangkadang trauma terjadi pada saat janin dalam uterusS. Diagnosis ditegakkan dengan bantuan MRI atau CT mielografi. Sedikit bukti yang memperlihatkan bahwa laminektomi dan dekompresi memberi manfaat. Pemberian me-



tilprednisolon dianjurkan. Terapi suportif sangat pentings.



PENYAKIT DAN PERLUKAAN PADA BAYI BARU IAHIR



728



Perdarahan Intrakranial Kelainan ini dapat disebabkan oleh 2 macam peristiwa, yaitu (1) hipoksia dan (2) tekanan mekanik. 'i(alaupun kedua peristiwa ini saling mempengaruhi, kadang-kadang lokalisasi perdarahan yang ditimbulkannya berbeda-beda. Atas dasar lokalisasi, perdarahan intrakranial dapat dibagi dalam 3 golongan3.



Perdarahan Subdural Kelainan terjadi akibat tekanan mekanik pada tengkorak yang dapat menimbulkan robekan falks serebri atau tentorium serebeli, sehingga terjadi perdarahan. Hal ini misalnya ditemukan pada persalinan dengan disproporsi sefalopelvik dengan janin dipaksakan untuk lahir pervaginama. Dengan lebih banyaknya dilakukan bedah sesar dalam hal ini, frekuensi perdarahan subdural karena disproporsi sefalopelvik dapat dikurangi. Pungsi subdural menunjukkan adanya sel-sel darah merah dan peninggian kadar protein. Pengeluaran cairan dari rongga subdural secara teratur kadang-kadang dapat menolong bayi, tetapi gejala-gejala lanjut masih sering ditemukan pada penderita3.



P erdarah



an



S ub ep



endimal dan Perdaraban Intrao entikular



Kejadian ini lebih sering disebabkan oleh hipoksia dan biasanya terdapat pada bayi-bayi prematur3.



Perdaraban Subaraknoidal Perdarahan ini juga ditemukan pada bayi-bayi prematur dan mempunyai hubungan erat dengan anoksia atau hipoksia pada saat lahi/. Bayi dengan perdarahan intrakranial menunjukkan gejala-gejaia asfiksia yang sukar diatasi. Ia setengah sadar, merintih, pucat, sesak napas, muntah, dan kadang-kadang ke-



jang. Ia dapat meninggal atau dapat hidup terus tanpa gejala-gejala lanjut atau menunjukkan gejala-gejala neurologik yang beraneka ragam, bergantung pada tempat dan luasnya kerusakan jaringan otak akibat perdarahan. Gambaran klinik gejala-gejala tersebut terkenal sebagai cerebral palsy3.



Trauma Tulang Fraktur lebih sering terjadi setelah persalinan sungsang dan/arau distosia bahu pada bayi makrosomia3.



Fraktur Klaaikwla Klavikula merupakan tulang yang paling sering mengalami fraktur pada neonatus karena proses kelahirane. Fraktur klavikula merupakan komplikasi yang tidak dapat diprediksi



PENYAKIT DAN PERLUKAAN PADA BAYI BARU IAHIR



729



dan dihindari pada persalinan normal. Fraktur klavikula biasanya berhubungan dengan berat lahir, persalinan midforseps, dan distosia bahu. Bayi dapat memperlihatkan pseudoparalisis. Pada pemeriksaan didapatkan krepitasi, perabaan tulang yang ireguler, dan spasme otot sternokleidomastodius. Pemeriksaan radiologik akan memastikan adanya frakturl0,l1. Penyembuhan biasanya terjadi dalam 7 10 hari dengan imobilisasi dalam posisi abduksi 60" dan fleksi 90' dari siku yang terkena. Untuk mengurangi rasa sakit, pergerakan lengan harus dibatasi. Jangan lupa untuk mencari adanya trauma lainnya pada medula spinalis, pleksus brakialis, dan humerusr0,11.



-



Fraktur Twlang Panjang Tidak adanya gerakan spontan lengan atau rungkai merupakan tanda awal fraktur tulang panjang, diikuti oleh pembengkakan dan nyeri pada pergerakan pasif. Dokter kandungan dapat merasa atau mendengar derik fraktur pada saat kelahiran bayi. Pemeriksaan radiologik anggom gerak akan memastikan diagnosis12. Fraktur humerus terjadi pada kesalahan teknik dalam melahirkan lengan pada presentasi kepala amu pada sungsang dengan lengan menjungkit ke atas. Pada keadaan ini biasanya sisi yang terkena tidak dapat digerakkan dan refleks Moro sisi tersebut menghilang. Prognosis penderita sangat baik dengan dilakukannya imobilisasi lengan



selama2-4minggul2. Fraktur femur jarang terjadi dan biasanya disebabkan oleh kesalahan teknik dalam menolong persalinan sungsang. Gejalayang tampak pada pasien adalah pembengkakan pada paha disertai nyeri bila dilakukan gerakan pasif pada tungkai. Diagnosis pasti dibuat dengan palpasi dan pemeriksaan radiologik. Pengobatan yang optimal dikerjakan dengan melakukan traksi pada kedua tungkai, walaupun fraktur hanya terjadi unilateral. Penyembuhan sempurna dapat terjadi setelah 3 - 4 minggu pengobatanl2. Pembentukan kalus dan penyembuhan sempurna diharapkan teriadi dalam 2 4 minggu. Dalam 8 10 hari, pembentukan kalus sudah cukup untuk menghentikan imobilisasi. Konsultasi dengan dokter spesialis bedah tulang disarankan. Pemeriksaan radiologik dapat membedakan fraktur dengan artritis septikr2.



-



-



Pergeseran Epifisis Pergeseran epifisis humerus atau femur tery'adi melalui lapisan hipenrofi sel tulang rawan pada epifisis. Diagnosis dibuat secara klinis berdasarkan adanya pembengkakan pada daerah bahu, krepitasi, dan nyeri kedka bahu digerakkan. Pergerakan menyebabkan nyeri, dan lengan terletak lemah pada sisi tersebut. Karena epifisis humerus proksimal ddak mengalami osifikasi pada saat lahir, maka tidak akan terlihat pada pemeriksaan



radiologik. Kalus terbentuk dalam radiologik3.



8



-



10 hari dan terlihat dengan pemeriksaan



-



10 hari. Fraktur epifisis distal Penanganan meliputi imobilisasi lengan selama 8 cenderung akan menimbulkan deformitas residual yang signifikan jika dibandingkan dengan fraktur humerus proksimal3.



730



PEI{YAKIT DAN PERLUKAAN PADA BAYI BARU IAHIR



Fraktur Tengkorak Fraktur tengkorak dapat berupa frakrur linear atau depressed. Kelainan ini dapat ditemukan bila terjadi tekanan tulang tengkorak janin pada promontorium, atau simfisis ibu pada persalinan dengan disproporsi sefalopelvik, atau karena kesalahan teknik pada ekstraksi forseps. Bila tidak ditemukan komplikasi lain, penyembuhan sempurna dapat terjadi tanpa pengobatan khususa.



Fraktur dan Dislokasi Tulang Belakang Kelainan ini jarang ditemukan dan biasanya terjadi jika diadakan traksi kuat untuk melahirkan kepala janin pada presentasi sungsang atau untuk melahirkan bahu pada presentasi kepala. Fraktur atau dislokasi terjadi lebih sering pada tulang belakang servikal bagian bawah dan tulang belakang torakal bagian atas. Terjadinya perlukaan pada medula spinalis dalam hal ini sudah dibahas sebelumnyal.



Perlukaan Intraabdominal Trauma rongga abdomen secara relatif jarang terjadi dan kadang-kadang dapat terabaikan sebagai penyebab kematian pada neonatus. Perdarahan merupakan komplikasi akut yang paling serius, dan hati merupakan organ yang paling sering terkena3.



Gejala dan Tanda Perdarahan Intraperitoneal Perdarahan mungkin fulminan atau secara perlahan, tetapi pasien pada akhirnya akan mengalami kolaps sirkulasi. Perdarahan intraabdomen harus dipenimbangkan pada setiap bayi yang mengalami syok, pucat, anemiayang tidak dapat dijelaskan, dan distensi abdomen. Permukaan kulit rongga abdomen dapat berwarna kebiruan. Pemeriksaan radiologik tidak dapat menegakkan diagnosis, tetapi dapat memberi petunjuk adanya cairan bebas dalam rongga peritonium. Parasentesis merupakan dndakan darurat yang perlu dikerjakan. Ruptur hepar, limpa, dan perdarahan adrenal merupakan organ yang mungkin menimbulkan perdarahan. Operasi serta transfusi darah dapat memperbaiki prognosis3.



Rwptur Hepar Lesi yang paling sering terjadi adalah hematoma subkapsular, yang meningkat 4 - 5 cm sebelum ruptur. Gejala syok dapat terjadi belakangan. laserasi jarang terjadi, biasanya disebabkan oleh tarikan abnormal pada ligamen peritoneal atau akibat tekanan berlebihan oleh tepi tulang iga. Bayi dengan hepatomegali memiliki risiko yang lebih besar. Faktor predisposisi lainnya antara lain prematuritas, pascamaturitas, gangguan koagulasi, dan asfiksia. Pada kasus asfiksia, usaha resusitasi yang terlalu bersemangat (sering dengan



PENYAKIT DAN PERLUKAAN PADA BAYI BARU IAHIR



731,



cara yang, salah) merupakan suatu kesalahan. Ruptur limpa paling sedikit terjadi lima kali lebih sering dibandingkan laserasi hati. Faktor predisposisi dan mekanisme terjadi



trauma pada kedua organ tersebut sama3. Pengenalan dini, stabilisasi bayi, dan evaluasi adanya defek koagulasi sangat penting dalam panaralaksanaan bayi dengan ruptur hati. Transfusi darah merupakan tahap awal yang sangat penting. Koagulopati yang menetap mungkin dapat ditangani dengan pemberian fresb frozen plasma dan transfusi trombosit3. Ruptur hepar tidak memiliki spesifikasi terhadap ras tertentu. Laki dan perempuan mempunyai risiko yang sama terjadinya ruptur hati. Bayi biasanya mengalami ruPtur segera serelah lahir, atau ruptur menjadi jelas pada beberapa jam setelah lahir atau har! hari penamal.



Kesimpulan Pengenalan trauma lahir memerlukan pemeriksaan fisik dan evaluasi neurologik yang teliti pada bayi untuk menentukan apakah ada trauma lainnya. Kadang-kadang trauma terjadi sebagai akibat resusitasi. Simetri dari strukur dan fungsi harus dinilai seperti melakukan penilaian saraf otak, gerakan sendi, dan integritas tulang dan kulit kepala.



RUJUKAN MG, Holroyde J, Voods JR Jr. Birth Trauma: incidence and predisposing factors. Obstet Gynecol 1984; 63(6): 792-5 2. Donn SM, Faix RG. Long-term prognosis for the infant with severe birth trauma. Clin Perinatol 1983; 10(2): s07-20 3. Laroia N. Birth Trauma. 2006. Diunduh dari: http://www.emedicine.com/.htm 4. Madan A, Hamrick SE, Ferriero DM. Central nervous system infury and neuroprotection. Dalam: Taeusch HV, Ballard RA, Gleason CA. Avery's Diseases of the Newborn. Edisi ke-8. Philadelphia: 1. Levine



Elsevier Saunders, 2005: 979-89



5. Chadwick LM, Pemberton PJ, Kurinczuk JJ. Neonatal subgaleal haematoma: associated risk factors, complications and outcome. J Paediatr Child Health 1.996;32(3): 228-32 6. Haerle M, Gilbert A. Management of complete obstetric brachial plexus lesions. J Pediatr Orthop 2004; 24(2): 1,94-200 7. Jennett RJ, TarbyTJ, Kreinick CJ. Brachial plexus palsy: an old problenr revisited. AmJ Obstet Gynecol



1992;166(6Pr 1): 1673-6; discussion 1576-7 MD, Hanigan \fC. Neurologic birrh trauma. Intracranial, spinal cord, and brachial plexus injury. Clin Perinatol 1997i 24(4): 845-57



8. Medlock



9. Grottkau BE, Goldberg MJ. Common neonatal orthopedic ailments. Dalam: Taeusch HI(/, Ballard RA, Gleason CA. Avery's Diseases of the Newborn. Edisi ke-8. Philadelphia: Elsevier Saunders,2005:1431-2 10. Roberrs SV, Hernandez C, Maberry MC. Obstetric clavicular fracture: the enigma of normal birth. Obsrer Gynecol 1995; 86(6):978-81 11. Gilbert \(M, Tchabo JG. Fractured clavicle in newborns. Int Surg 1988;73(2): 123-5 12. Salonen IS. Birth fractures of long bones. Ann Chir Gynaecol 1991; 80(1): 71-3



57



KEMATIAN /AN/N Soetomo Soewarto Tujuan Instruksional Umum Memabami diagnosis dan pengelolaan hematian janin.



Tujuan Instrwksional Khusus



1. 2. 3.



Mendefinisikan hematian janin. Mendishusikan penyebab hematian janin. Mengeloh hematian janin serta mendishusikan kebamihn sehniiltnya.



Definisil'2



\rHo dan Tlte Amqican College of obstenicians and Gynecologis* yang disebut kematian janin adalah janin yang mad dalam rahim dengan berat badan-so6 gram atau lebih atau kematian janin dalam rahim pada kehamilan ZO -inggu atau lebih. Kematian ianin merupakan hasil akhir dari gangguan pertumbuhan janin, gawat janin, Menurut



atau infeksi.



Diagnosisl'2 Riwayat dan pemeriksaan fisik sangat terbatas nilainya dalam membuat diagnosis kematian iani1. penderitahanya mengeluh gerakan janin berkura.rg. pad" pe_um_uynya meriksaan fisik ddak terdengar denyut jantung janin. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan ultrasound., di mana tidak rampak adanya gJrakanlantung janin.



K,EMATIAN JANIN



733



Pada anamnesis gerakan menghilang. Pada pemeriksaan pertumbuhan janin tidak ada, yang terlihat pada tinggi fundus uteri menurun, berat badan ibu menurun, dan lingkaran perut ibu mengecil. Dengan fetoskopi dan Doppler tidak dapat didengar adanya bunyi jantung janin. Dengan sarana penunjang diagnostik lain yairu USG, tampak gambaran janin tanpa tanda kehidupan. Dengan foto radiologik setelah 5 hari tampak tulang kepala kolaps, tulang kepala saling tumpang tindih (gejala'spalding') tulang belakang hiperrefleksi, edema sekitar tulang kepala; tampak gambaran gas pada jantung dan pembuluh darah. Pemeriksaan hCG urin menjadi negatif setelah beberapa hari kematian janin. Komplikasi yang dapat terjadi ialah trauma psikis ibu ataupun keluarga, apalagi bila waktu antara kematian janin dan persalinan berlangsung lama. Bila terjadi ketuban



pecah dapat terjadi infeksi. Terjadi koagulopati bila kematian janin lebih dari 2 minggu.



Etiologir-e Pada 25 - 60 % kasus penyebab kematian janin tidak jelas. Kematian janin dapat disebabkan oleh faktor maternal, fetal, atau kelainan patologik plasenta.



.



Fahtor rnaternal antara lain adalah (> 42 minggu), diabetes mellitus tidak terkontrol, sistemik lupus eritematosus, infeksi, hipertensi, preeklampsia, eklampsia, hemoglobinopati, umur ibu tua, penyakit rhesus, ruptura uteri, antifosfolipid sindrom, hipotensi akut ibu, kematian ibu. Post tetm



.



Fahtor



feul



antara lain adalah



Hamil kembar, hamil tumbuh terhambaq kelainan kongenital, kelainan genetik, in-



. .



feksi. Faktor pksental antara lain adalah Kelainan tali pusat, lepasnya plasenta, ketuban pecah dini, vasa previa. Sedangkan fahtor risiko terjadinya kernatian janin intrauterin meningkat pada usia ibu > 40 tahun, pada ibu infertil, kemokonsentrasi pada ibu, riwayat bayi dengan berat badan lahir rendah, infeksi ibu (ureplasma urealitikum), kegemukan, ayah berusia lanjut.



Untuk diagnosis pasti penyebab kematian sebaiknya dilakukan otopsi janin dan pemeriksaan plasenta serta selaput. Diperlukan evaluasi secara komprehensif untuk mencari penyebab kematian janin termasuk analisis kromosom, kemungkinan terpapar infeksi untuk mengantisipasi kehamilan selanjutnya. Pengelolaan kehamilan selanjutnya bergantung pada penyebab kematian janin. Meskipun kematian janin berulang jarang terjadi, demi kesejahteraan keluarga, pada kehamilan berikut diperlukan pengelolaan yang lebih ketat tentang kesejahteraan .ianin. Pemantauan kesejahteraan janin dapat dilakukan dengan anamnesis, ditanyakan aktivitas gerakan janin pada ibu hamil, bila mencurigakan dapat dilakukan pemeriksaan



kardiotokografi.



KI,MATIAN JANIN



734



PengeloIaanl'2,11,12



Bila diagnosis kernatian janin telah ditegakkan, penderita segera diberi informasi. Diskusikan kemungkinan penyebab dan rencana penatalaksanaannya. Rekomendasikan



untuk segera diintervensi. Bila kematian janin lebih dari 3



- 4 minggu kadar fibrinogen menurun dengan kecenderungan terjadinya koagulopati. Masalah menjadi rumit bila kematian janin terjadi pada salah satu dari bayi kembar. Bila diagnosis kematian janin telah ditegakkan, dilakukan pemeriksaan tanda vital ibu; dilakukan pemeriksaan darah perifer, fungsi pembekuan, dan gula darah. Diberikan KIE pada pasien dan keluarga tentang kemungkinan penyebab kematian janin; rencana tindakan; dukungan mental emosional pada penderita dan keluarga, yakinkan bahwa kemungkinan lahir pervaginam. Persalinan pervaginam dapat ditunggu lahir spontan setelah 2 n-ringgu, umurlrnya tanpa komplikasi. Persalinan dapat terjadi secara aktif dengan induksi persalinan dengan oksitosin atau misoprostol. Tindakan perabdominam bila janin letak lintang. Induksi persalinan dapat dikombinasi oksitosin * misoprostol. Hati-hati pada induksi dengan uterus pascaseksio sesarea ataupun miomektomi, bahaya terjadinya ruptura uteri. Pada kemarian janin 24 - 28 minggu dapat digunakan, misoprostol secara vaginal (50 - 100 pg tiap 4 - 6 jam) dan induksi oksitosin. Pada kehamilan di atas 28 minggu dosis misoprostol 25 pg pervaginam/6 jam. Setelah bayi lahir dilakukan ritual keagamaan merawat mayat bayi bersama keluarga. Idealnya pemeriksaan otopsi atau patologi plasenta akan membantu mengungkap penyebab kematian janin. Pencegahanl2



Upaya mencegah kematian janin, khususnyay^ng sudah atau mendekati aterm adalah bila ibu merasa gerakan ;'anin menurun, tidak bergerak, atau gerakan janin terlalu keras, perlu dilakukan pemeriksaan ultrasonografi. Perhatikan adanya solusio plasenta. Pada gemelli dengan T +T (twin to tuin transfusion) pencegahan dilakukan dengan koagulasi pembuluh anastomosis.



RUTUKAN 1. American College



of



Obstetricians and Gynecologists: Diagnosis and management



of fetal



death.



ACOG Technical Bulletin Number 176 - January 1993. Int J Gynaecol Obstet 1993 Sep; 42(3): 291-9 2. American College of Obstetrician and Gynecologists. ACOG practice bulletin. Management of recurrent pregnancy loss. Nurnber 24, February 2001 (Replaces Technical Bulletin Number 212, Septenrber 1995). American College of Obstetricians and Gynecologists. Int J Gynaecol Obstet 2002 Aug;78(2): 179-90 3. Fretts RC. Etiology and prevention of stillbirth. Arn J Obstet Gynecol 2005 Dec; 1,93(6): 1923-35



KEMATIAN JANIN



735



4. French AE, Gregg VH, Newberry Y, Parsons T. Umbilical cord stricture: a cause of recurrent fetal death. Obstet Gynecol 2005 May; 105(5 Pt 2): 1.235-9 5. Frias AE. Luikenaar RA, Sullivan AE, et al. Poor obstetric outcome in subsequent pregnancies in women with prior fetal death. Obstet Gynecol 2004 Sep; 104(3): 521-6 6. Geis $(. Branch DV. Obstetric implications of antiphospholipid antibodies: pregnancy loss and other complications. Clin Obstet Gynecol 2001 Mar; 44(1):2-10 7. Nohr EA, Bech BH, Davies MJ, et al. Prepregnancy obesiry and fetal death: a study within the Danish National Birth Cohort. Obster Gynecol 2005 Aug; 106(2):250-9 8. Nybo Andersen AM, Hansen KD, Andersen PK, et al. Advanced paternal age and risk of fetal death: a cohort study. Arn J Epiderniol 2004 Dec 15; 160(12\ 121.4-22 9. Froen JF, Gardosi JO, Thurmann A, er al. Restricted fetal growth in sudden intrauterine unexplained death. Acta Obstet Gynecol Scand 2004 Sep; 83(9): 801-7. 10. Smulian JC, Ananth CV, Vintxileos AM, et al. Fetal deaths in the United States. Influence of high-risk conditions and implications for nranagement. Obstet Gynecol 2002 Dec; 100(6): 1183-9 11. Dickinson JE, Evans SF. A comparison of oral misoprostol with vaginal misoprostol administration in second-trimester prelinancy termination for fetal abnormality. Obstet Gynecol 2003 Jun; 101(6): 1294-9 12. Saifuddin AB (ed). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta 2000



58



DIAGNOS/S PRANATAL DAN TEKNIK INOVATIF PEMANTAUAN TANIN Bangun Trapsila Purwaka dan Aditiawarman



Tujuan Instruksional Umum Mengetabui beberapa tehnih diagnosis pranatal dan tehnib inooatif pernantauan janin.



Tujuan Instruksional Kbusus 1.



2.



3.



Mengetahui ajuan pemerihsaan diagnostih pranatal dan pemantauan janin. Mengetahui beberapa teknik yang bisa dipakai untub mekkukan pemerihsaan diagnosis pranatal. Mengeahui berbagai teknih. yang dipakai untuh mehbukan pemanauan janin.



Kehamilan selalu merupakan suatu saat yang penuh dengan ketidakpastian. Berbagai peranyaan selalu mengusik para calon orang tua tentang keadaan janin dan ibunya seperti berikut. Apakah bayinya hidup, normal, dan sehat pada waktu lahir? Apakah janinnya laki-laki atau perempuan? Apakah janinnya tunggal atau lebih dari satu? Apakah ibunya sehat selama hamil, melahirkan, dan nifas? Kejadian kelainan bawaan mayor pada saat lahir berkisar antara 2 - 3 "/o, dan kelainan bawaan ini sangat mempengaruhi tingginya angka kematian neonatal di rumah sakit. Pada saat ini di negara-negara maju sebagian besar pertanyaan tentang kondisi janin sudah dapat ter.iawab dengan makin majunya teknologi ultrasonografi dan laboratorium, sedangkan kekhawatiran tentang kondisi ibu sudah dapat sangat dikurangi dengan pemberian pelayanan kebidanan yang adekuat. Sekarang orang lebih takut untuk



'melakukan



pemeriksaan diagnosis pranatal karena merasa tidaL siap untuk membuat



DIAGNOSIS PRANATAL DAN TEKNIK INOVATIF PEMANTAUAN JANIN



737



keputusan bila hasil pemanrauannya menunjukkan adanya keadaan yang tidak diinginkan. Salah satu contoh ekstrim adalah kasus Roberta. Roberta menjalani pemeriksaan cborionic aillous sampl;ng (CVS) karena faktor usia yang dianggap risiko tinggi. Hasil pemeriksaan kromosom langsung adalah janin laki-laki normal tetapi kulturnya tidak tumbuh, dan pada Roberta disarankan untuk dilakukan amniosentesis dan setuju. Hasil amniosentesis normal kecuali adanya trisomi pada kromosom 21 yang dicurigai sebagai artefak, meskipun kemungkinan tersebut tetap tidak dapat disingkirkan. Kemudian pada Roberta dilakukan pengambilan darah tali pusat (kordosentesis) dan hasilnya normal. Setelah anaknya lahir Roberta tetap tidak bisa santai dan menerima penjelasan para dokternya bahwa anak lakiJakinya normal. Oleh karenanya, perlu dilakukan perdmbangan yang menyeluruh sebelum melakukan pemeriksaan-pemeriksaan tersebut.



Definisi Sebelum membuat satu definisi tentang diagnosis pranatal perlu disepakati terlebih dahulu perbedaan yang sangat mendasar antara tes untuk diagnosis dan skrining. Tes untuk tujuan diagnosis dirancang untuk menjawab pertanyaan "Apakah penderita mengalami masalah ini?" Oleh karenanya, tes diagnostik umumnya rumit dan memerlukan peralatan, analisis, dan interpretasi yang canggih. Rangkaian tes ini cenderung mahal dan umumnya hanya dilakukan pada kelompok penderita yang mempunyai risiko. Sebaliknya, tes untuk tujuan skrining umumnya ditujukan bagi penderia yang sehat dan sering diberlakukan pada seluruh populasi yang sesuai. Karenanya, tes skrining seharusnya murah, mudah digunakan, dapat ditafsirkan oleh semua orang, dan fungsinya hanya membantu mengetahui siapa yang berisiko tinggi dari populasi risiko rendah.



Isdlah diagnosis pranatal dan/arau skrining pranatal ialah berbagai teknik dan prosedur yang dilakukan selama kehamilan untuk mengidentifikasi adanya abnormalitas pada struktur dan/atau fungsi organ pada janin yang sedang tumbuh. Skrining pranatal bertujuan untuk mengetahui apakah janin mempunyai risiko mengalami kelainan genetik atau kelainan kongenital tertentu, sedangkan diagnosis pranatal bertujuan untuk mengetahui secara pasti bahwa janin tersebut benar-benar mengalami kelainan genetik dao/aau kelainan bawaan tertentu. Dengan informasi ini diharapkan dapat dilakukan penatalaksanaan yang tepat disesuaikan dengan jenis kelainan, berat ringannya kelainan, serta teknologi yang dimiliki untuk melakukan koreksi pada kelainan yang ada. Diagnosis pranatal seharusnya dilakukan pada kondisi berikut.



.



Bila kehamilan mempunyai risiko yang mengakibatkan kelainan bawaan pada janinnya.



o Mencari



adanya kelainan bawaan yang paling sering terjadi pada janin meskipun tidak jelas adanya faktor risiko.



.



Mencari adanya gangguan struktural ataupun penumbuhan pada janin.



738



DIAGNOSIS PRANATAL DAN TEKNIK INOVATIF PEMANTAUANJANIN



Indikasi Diagnosis Pranatal Keputusan untuk melakukan skrining pranatal atau diagnosis pranatal harus benarbenar dipertimbangkan dengan matang. Konseling pratindakan diagnosis pranatal harus dipertimbangkan sebelum tindakan tersebut dilaksanakan. Pada konseling ini sebaiknya



konselor melakukan telaah pada riwayat medik keluarga dan menjelaskan risiko kelainan genetik dan/atau kelainan bawaan yang mungkin timbul pada kehamilan tersebut dan membantu penderita untuk memutuskan apakah tetap melaniutkan pemeriksaan atau tidak sesuai dengan pendapat dan kepercayaannya. Demikian juga bila pada pemeriksaan diagnosis pranatal didapatkan adanya kelainan genetik dan/atau kelainan bawaan, maka pilihan yang dibuat oleh penderita sangat tergantung pada jenis kelainan yang ditemukan dan pilihan terapi yang tersedia.



Skrining Pranatal Sesuai dengan tujuannya skrining pranatal dapat dilakukan pada setiap kehamilan yang



mungkin mengalami gangguan kelainan genetik dan/atau kelainan bawaan tertentu, termasuk di sini bila ada kecurigaan gangguan penumbuhan ianin. Karena merupakan suam skrining atau penapisan, skrining pranatal seharusnya bukan merupakan suatu tindakan yang invasif, mudah, dan kalau mungkin murah. Pemeriksaan ultrasonografi dan beberapa pemeriksaan laboratorium merupakan alat skrining yang paling banyak digunakan.



Pemeriksaan Ultrasonografi Pemeriksaan ultrasonografi merupakan pemeriksaan noninvasif yang paling banyak dilaksanakan dan dapat dilakukan pada setiap tahap dan umur kehamilan. Kelainan bawaan mayor dan minor seringkali diketahui pada saat pemeriksaan ultrasonografi untuk tujuan yang lain. Pemeriksaan nucbal fold translucencl $ff) saat ini merupakan pemeriksaan yang paiing sering dikerjakan pada trimester satu kehamilan. Pemeriksaan NT dilaksanakan oleh sonografer terlatih pada kehamilan 11 - 13 minggu dengan mengukur ukuran kantong yang terisi cairan pada bagian belakang leher janin, disebut nucbal fold. Peningkatan ukuran nucbal fold dicurigai adanya sejumlah kelainan tertentu, misalnya sindrom Down atau keiainan jantung. Pemeriksaan NT sering dikombinasikan dengan pemeriksaan serum ibu untuk mendapatkan angka prediksi yang lebih tinggi. Pemeriksaan ultrasonografi pada awal trimester kedua kehamilan, kira-kira 1.8 - 20 minggu, dapat mendeteksi sebagian besar kelainan bawaan mayor, sehingga dianiurkan untuk melakukan deteksi kelainan bawaan janin mayor pada usia kehamilan tersebut. Akan tetapi, penelitian Radius (1993) yang melibatkan hampir 16.000 ibu hamil risiko rendah mendapatkan bahwa hanya 17 % kelainan bawaan mayor yang dapat terdeteksi pada usia kehamilan kurang dari 24 minggu dan hanya 35 "/" yang terdeteksi



DIAGNOSIS PRANATAL DAN TEKNIK INOVATIF PEMANTAUAN



JANIN



739



sebelum persalinan. Peneliti lain, Van Dorsten dan kawan-kawan (1998), mendapatkan detection rate sebesar 48 "/o pada tempat pelayanan tersier. Temuan ini memberikan kesan bahwa detection rate pemeriksaan ultrasonografi untuk kelainan bawaan mayor tidak cukup tinggi pada kehamilan risiko rendah.



T wj uan Pemeriksaan Ultrasonografi



Tujuan pemeriksaan ultrasonografi unruk deteksi kelainan bawaan janin ialah sebagai berikut.



o Meyakinkan bahwa janin dalam kondisi normal. o Mengidenrifikasi kelainan bawaan janin yang incompatible witb life.



. . .



Mengidentifikasi kelainan bawaan janin yang memerlukan terapi intrauterin. Mengidentifikasi kelainan bawaan janin yang memerlukan terapi pascalahir. Membantu mempersiapkan orang tua dalam menghadapi kelainan bawaan pada anaknya.



Setiap suatu kelainan bawaan janin telah didiagnosis dan evaluasi janin telah dilaksanakan dengan lengkap, maka setiap hal yang berkaitan dengan prognosis ianin tersebut, baik maupun buruk, harus disampaikan kepada orang tua janin. Bila pada trimester kedua kehamilan pemeriksaan ultrasonografi gagal untuk mendapatkan adanya kelainan bawaan, maka ini pun harus disampaikan, karena beberapa kelainan bawaan tertentu seperti hidrosefalus, mikrosefali, dan ginjal polikistik tidak tampak pada trimester kedua, dan mungkin kelainan baru tampak pada trimester ketiga pada saat kelainan yang terjadi sudah cukup jelas untuk diketahui dengan pemeriksaan ultrasonografi. Manfaat lain pemeriksaan ultrasonografi ialah merupakan pemeriksaan dasar bagi teknik pemeriksaan diagnostik pranatal selanjutnya. Teknik pengambilan sampel untuk pemeriksaan kariotipe janin, misalnya cborionic uillous sdmpling (CVS), amniosentesis, kordosentesis atau percutaneous umbilical blood sampling (PUBS) , fetal tissue sampling, semuanya memerlukan tuntunan ultrasonografi untuk pelaksanaannya.



Skrining Petanda Serum Maternal Skrining petanda serum maternal (maternal serum marher screening) ialah tes darah yang



dilakukan terhadap ibu hamil pada kehamilan trimester satu dan/atau trimester dua untuk mengetahui adanya kelainan kromosom (trisomi 21lsindrom Down dan trisomi 18) dan kelainan tabung neuron (neural tube defea).



Skining trimester



I



(11



-



13 minggu)



Pada trimester pertama kehamilan telah dapat dilakukan pemeriksaan sewn $-buman cborionic gonadotropin bebas (free P-hCG) dan pregnangt-associated phsma protein A (PAPP-A). Jika hasil pemeriksaan darah ibu digabung dengan hasil pengukuran NT dapat mendeteksi adanya sindrom Down sampai 80 - 85 %.



740



DIAGNOSIS PRANATAL DAN TEKNIK INOVATIF PEMANTAUANJANIN



Skrining trimester



II



(15



-



18 minggu)



Pada trimester kedua kehamilan serum marker yang diperiksa ialah kadar protein yang dihasilkan oleh janin selama kehamilan dan beredar di peredaran darah ibu. Pemeriksaan ini dikenal sebagai triple sreening (alfa-fetoprotein, unconjugated estriol, dan buman cboionic gonadotropin) atau qwad screening (ditambah pemeriksaan inhibin A). Nilai normal pemeriksaan petanda serum sangat bergantung pada umur kehamilan, jumlah janin, berat badan, ras, dan riwayat diabetes pada ibunya.



Diagnosis Pranatal Diagnosis pranatal dilaksanakan bila pada skrining pranatal atau dari riwayat medik keluarganya terdapat risiko kelainan genetik dan/aau kelainan bawaan tertentu. Diagnosis pranatal direkomendasikan untuk dilakukan pada beberapa keadaan berikut.



.



Peningkatan risiko kelainan kromosom pada janin. - Usia ibu 35 tahun. - Pernah mempunyai anak dengan kelainan kromosom, misalnya sindrom Down. - Peningkatan risiko sindrom Down atau trisomi 18 berdasarkan hasil pemeriksaan serum marker pada ibunya.



.



Peningkatan risiko defek tabung neuron atau defek dinding abdomen janin. - Salah satu orang tua atau anak sebelumnya mengalami defek tabung neuron. - Peningkatan kadar alfa-fetoprotein (AFP) pada penapisan trimester kedua.



.



Peningkatan risiko terjadinya kelainan genetik yang spesifik. Anak sebelumnya atau keluarganya mempunyai kelainan bawaan. Kedua orang rua dikerahui mempunyai kelainan genetik yang berpotensi untuk diturunkan, misalnya talasemia dan sickle cell anernia. - Saudara lakiJaki ibu mempunyai kondisi yang menurun, misalnya hemofilia dan



-



muscuhr dystroplry.



Teknik Diagnosis Pranatal Invasif Sebagaimana telah disampaikan di depan, saat ini terdapat beberapa teknik untuk mendapatkan sampel yang diperlukan untuk membuat suatu diagnosis pranatal. Teknik



ini merupakan suatu tindakan yang invasif dengan tuntunan ultrasound, sehingga teknik pemeriksaan ultrasonografi yang baik merupakan syarat yang mutlak harus dikuasai.



pengambilan sampel



Amniosentesis Amniosentesis merupakan prosedur diagnostik pranatal yang paling banyak dipakai dan bertujuan untuk mendapatkan sampel pemeriksaan kromosom yang abnormal dan pe-



DIAGNOSIS PRANATAL DAN TEKNIK INOVATIF PEMANTAUAN



Probe



JANIN



741,



,arum



(transduser



ultrasonografi)



kandung kemih



vaglna



serviks



carran amnron



Gambar 58-1. Amnrosentesls



nyakit genetik lainnya. Amniosentesis biasanya dilaksanakan pada trimester kedua kehamilan, kira-kira pada usia kehamilan 1.5 - 20 minggu. Pada tindakan ini dimasukkan jarum spinal ukuran 20 - 22 G ke dalam kantong amnion dengan tuntunan USG dan diambil kira-kira 15 - 30 cc cairan amnion bergantung pada indikasi dan usia kehamilan pada saat prosedur rersebur dilakukan. Sel janin yang terdapat dalam cairan amnion kemudian dikultur dan diperiksa unruk mengetahui adanya kelainan kromosom dan hasilyang didapat mempunyai akurasi yang tinggi. Bila hasil amniosentesis menunjukkan bahwa janin mengalami suaru kelainan, maka diperlukan suatu konseling lanjutan bagi kedua orangtuanya. Amniosentesis merupakan suatu prosedur yang cukup aman dengan kemungkinan penyulit pascatindakan berupa abortus, setinggi kira-kira 0,5 o/" - I "h dari seluruh tindakan. Risiko infeksi diperkirakan terjadi pada 1 - 2 kejadian per 3.000 tindakan. Ditengarai lO % - 50 % kasus abortus spontan pascaamniosentesis disebabkan oleh adanya infeksi subklinik. Penyulit lain yang mungkin terjadi adalah kebocoran cairan



ketuban, perdarahan, dan kontraksi uterus yang berlaniut yang diperkirakan teriadi pada i "/" - 5 "/" dari seluruh prosedur.



Biopsi



Vili



Korialis



Biopsi vili korialis merupakan teknik diagnostik pranatal invasif trimester pertama yang paling sering diker.jakan untuk menilai gangguan kromosom, molekuler, dan biokimiawi janin. Biopsi vili korialis dilakukan pada akhir kehamilan trimester pertama, antara 10 - 13 minggu, dan dilakukan di bawah tuntunan ultrasound. Meskipun pada awalnya teknik ini dikerjakan transvaginal, saat ini teknik transvaginal dan transabdominam ke-



742



DIAGNOSIS PRANATAL DAN TEKNIK INOVATIF PEMANTAUANJANIN



transduser



ultrasonografi



*----*-/ Gambar



58-2. Biopsi vili korialis



trans vaginal



contoh jaringan plasenta diambil dengan tuntunan



ultrasonografi transduser



ultrasonografi



plasenta



janin



tulang kemaluan



uterus



vagtna



seruiks



tulang belakang



Gambar



58-3. Biopsi vili korialis transabdominam



DIAGNOSIS PRANATAL DAN TEKNIK INOVATIF PEMANTAUAN



JANIN



743



duanya dilaksanakan. Berbeda dengan amniosentesis, pada biopsi vili korialis yang diarnbil adalah jaringan korion dari plasenta yang sedang tumbuh. Prosedur biopsi vili korialis mempunyai risiko abortus lebih tinggi dibanding amiosentesis yaitu sebesar | "/o - 2 %. Peny.ulit lain seperti perdarahan pervaginam, nyeri perut, dan infeksi juga lebih sering terjadi pada teknik biopsi vili korialis dibanding amniosentesis. Keuntungan pemeriksaan biopsi vili korialis ialah pemeriksaan ini dapat dilaksanakan pada trimester pertalna kehamilan, sehingga akan segera memberi kenyamanan pada keluarga penderita bila hasil pemeriksaan tidak mendapatkan adanya kelainan. Sebaliknya, bila hasil pemeriksaan mendapatkan adanya kelainan, maka dapat segera dilakukan koreksi bila kelainan tersebut memang dapat dikoreksi, atau bila akan dilakukan terminasi kehamilan, prosedur tersebut dapat dilakukan dengan lebih mudah dan lebih aman.



Iabel



58-1



vili korialis



Perbandingan antara amniosentesis dan biopsi



Biopsi



Amniosentesis Prosedur



Vili Korialis



Vili korialis diambil dengan Cairan amnion diambil dengan ;'arum dan sem- kateter (TV) atau semperit (TA) Pent



-



20 minggu



Usia kehamilan



1,5



Risiko abortus



0,5%-1%



fusiko kelainan janin Kemungkinan mendapat



mendapat h"asil' sito genetik



-



-



32 minggu (TA) 13 minggu (TV)



1,%-2 % (TA/TV) 1 dari 3.000 prosedur



!99



%



sampel



\iil'aktu vane dioerlukan untuk



10 10



I-



3 minggu



t



99 "/o, bila tidak berhasil lanjutkan dengan amniosentesis 2



-



3 minggu



Akurasi



Tinggi



Tinggi



Deteksi defek tabung neuron



95%



Perlu pemeriksaan lain



Keterangan:



TV:lransvasinal TA: transabZominam



Kordosentesis Kordosentesis atau Percutaneus Umbilical Blood Sampling (PUBS) ialah suatu teknik pengambilan sampel darah janin dengan melakukan pungsi pada vena umbilikalis dengan tuntunan ulnasound. Kordosentesis dapat dilakukan sejak usia kehamilan 12 minggu, tetapi lebih sulit dikerjakan bila usia kehamilan kurang dari 20 minggu. Terdapat dua



744



DIAGNOSIS PRANATAL DAN TEKNIK INOVATIF PEMANTAUANJANIN



transduser ultrasonografi



Gambar



58-4.



Kordosentesis



teknik kordosentesis yaitu freeband dan pemakaian jarum penuntun. Sasaran pungsi adalah vena umbilikalis, karena penyulit lebih jarang terjadi, yang berada beberapa sentimeter dari insersinya pada plasenta. Penyulit yang mungkin terjadi sama dengan penyulit pada tindakan amniosentesis ditambah bradikardi janin, laserasi tali pusat, dan trombosis.



Teknik Pemantauan Janin Pada abad ke-17 Philipe LeGaust untuk pertama kalinya menjelaskan tentang "detak jantung janin". Francois Mayor pada tahun 1818 mendengarkan detak jantung janin dengan cara "menempelkan telinga pada perut" dan pada tahun 1838 Evory Kennedy dan kawan-kawan untuk pertama kalinya mendengarkan detak jantung janin tanpa kesulitan dengan ditemukannya stetoskop, yang masih dipakai hingga hari ini, yang tentunya tidak mampu mengetahui adanya perubahan yang halus pada detak iantung



dan tidak juga bisa melakukan pemantauan secara terus-menems. Pada era obstetri modern teknik pemantauan detak jantung janin dimulai dengan dikembangkannya fonokardiograf pertama oleh Hammacher dan kawan-kawan pada akhir tahun 60-anyang mampu menjelaskan gambaran yang khas denyut jantung janin dan hubungannya dengan kondisi yang membahayakan janin.



DIAGNOSIS PRANATAL DAN TEKNIK INOVATIF PEMANTAUAN



JANIN



745



Auskultasi Intermiten Auskultasi ialah mendengarkan denyut jantung janin secara langsung baik dengan funandoskop maupun alat Doppler. Meskipun saat ini teknologi pemantauan janin sudah sangat berkembang, dari berbagai penelitian terbukti bahwa auskultasi detak iantung janin masih ada tempatnya terutama untuk populasi kehamilan risiko rendah dan diIakukan dengan cara yang benar.



Tabel 58-2 Rekonrendasi American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG)



Kehamilan Risiko Rendah



Kehamilan Risiko Tinggi



-



Tiap 15 menit



FASE AKTIF



Tiap 15



KALA II



Tiap 5-15menit



30 menit



Beberapa hal yang perlu diperhatikan agar metode



. . o



Tiao 5 rnenit (atau setiap'selesai kontraksi)



ini berhasil.



Tersedianya bidan/perawatyangberpengalaman pada teknik auskultasi intermiten termasuk kemampuan mengenali adanya kontraksi dan mengetahui adanya perubahan



pada detak jantung janin. Tersedianya kebijakan tentang auskultasi intermiten dan frekuensinya. Tersedianya fasilitas untuk melakukan intervensi bila terjadi masalah selama pemantauan.



.



Diperlukan rasio perawat-janin 1



: 1 karena detak



jantung janin harus didengarkan



tiap 15 menit selarna 60 detik. Pemantauan Janin Elektronik (Kardiotokografi/KTG) Pemantauan janin secara elekrronik memberikan kesempatan untuk menilai perubahan fisiologik pada utero-feto-plasenta dan kecukupan oksigenasi pada janin. Pola detak jantung janin yang khas rerjadi sebagai hasil stres hipoksi dan nonhipoksi atau stimulasi pada unit utero-feto-plasental.



Fisiologi Pengaturan Detak Jantung Janin Rata-rata detak jantung janin pada kehamilan cukup bulan ialah 140 x/menit dengan nilai normal antara 1.10 - 160 x/menit. Pada umur kehamilan yang lebih muda detak jantung janin sedikit lebih tinggi, rata-rata 160 x/menit pada kehamilan 20 minggu, dan akan menurun dengan cepat seiring dengan makin tuanya kehamilan.



746



DIAGNOSIS PRANATAL DAN TEKNIK INOVATIF PEMANTAUANJANIN



P.Oz PC02



tttt



P"Oz PCO2



Bpl



Bpl Hormon-hormon lain



vasopressin



Gambar



58-5. Fisiologi



Pengaturan Detak Jantung Janin



BP: bloodpressure (tekanan darah)



Pengaturan detak jantung janin bergantung pada banyak faktor. Korteks serebri, hipotalamus, dan medula oblongata merupakan komponen sistem saraf pusat yang mempengaruhi detak jantung janin. Sistem saraf otonom mempunyai dua bagian besar yaitu sistem saraf parasimpatis dan simpatis. Nervus vagus, yang memberi persarafan pada nodus sinoatrial (SA) dan nodus atrioventrikular (AV) jantung, merupakan komponen utama sistem saraf parasimpatis. Stimulasi pada nervus vagus menyebabkan deselerasi dan rangsangan pada sistem saraf simpatis akan menyebabkan akselerasi jantung. Baroreseptor terletak pada arkus aorta dan sinus karotikus yang bereaksi terhadap perubahan tekanan darah dan mengakibatkan perubahan pada detak jantung janin. Kemoreseptor perifer terletak di karods dan aorta dapat menyebabkan bradikardia, sedangkan kemoreseptor sentral yang terletak di medula oblongata dapat menyebabkan takikardia. Hal lain yang mungkin mempengaruhi denl'ut jantung janin ialah adanya berbagai gangguan, misalnya hipertermi (mengakibatkan takikardia) dan hipotermi (mengakibatkan bradikardia). Perubahan pada sirkulasi utero-plasenta, aliran darah tali pusat, sirkulasi janin, dan pertukaran gas pada sistem pernapasan semuanya akan memberikan dampak pada detak



DIAGNOSIS PRANATAL DAN TEKNIK INOVATIF PEMANTAUAN



JANIN



747



jantung janin. Hambatan aliran oksigen pada janin yang paling sering terjadi adalah penumnan akut aliran darah uterus atau tali pusat. Pada keadaan normal janin dapat mengimbangi penurunan oksigen jangka pendek ini tanpa mengBanggu fungsi metabolismenya. Bila oksigen yang tersedia tems turun di bawah ambang nilai kritisnya, rnaka pada janin akan terjadi metabolisme anaerobik. Perubahan di atas akan berakibat terbentuknya asam laktat yang bila ditransfer melewati plasenta akan menyebabkan asidemia dan asidosis membolik. Late decelerations yang disertai variabilitas yang minimal merupakan pola detak jantung janin yang khas pada asidosis meubolik. Kompresi tali pusat kadang-kadang terjadi selama proses persalinan. Bila kompresi terjadi berulang disertai penumnan variabilitas dan peningkaan baseline, dapat berakibat terjadinya asidosis respiratorik.



Teknik Pemantauan Dikenal dua macam teknik pemantauan janin secara elektronik yaitu secara eksternal dan internal. Pada pemanrauan janin secara elektronik akan didapatkan gambaran pola detak jantung janin yang khas dibandingkan dengan gambaran kontraksi rahim. Pada pernantauan janin eksternal dua transduser dipasang pada perut ibu di mana satu rransduser diletakkan pada fundus untuk merekam kontraksi rahim dan satu transduser dileukkan pada pungtun.r maksimum untuk merekam detak jantung janin. Pada pemanrauan janin internal fuga dipakai dua transduser di mana satu transduser tetap diletakkan pada fundus uteri untuk merekam kontraksi rahim sedang transduser yang lain dipasang pada sebuah elektrode yang ditusukkan pada kulit kepala janin. Hasil pantauan/rekamannya tergambar pada satu strip kertas tertentu dan dibaca sesuai dengan pedoman yang dipakai. kontraksi



transduser



untuk merekam



uterus



kontraksi uterus



transduser untuk merekam denyut ,antung lanln



Gambar



58-6.



Pemantauan Janin Eksternal



jantung janin



748



DIAGNOSIS PRANATAL DAN TEKNIK INOVATIF PEMANTAUAN JANIN



kateter untuk memasukkan alat Pemantau ,anln



Wendolyn bill



Gambar



Pengambilan Sampel Darah



58-7,



Kulit



Pemantauan Janin Internal



Kepala Janin



Pengambilan sampel darah dari kuiit kepala janin seyogianya dikerjakan bila hasil pemantauan janin secara elektronik memberikan hasil yang tidak baik. Pada kala satu persalinan, di mana normalnya terjadi asidosis ringan, pH darah kulit kepala janin ialah 7,33. Nilai pH darah > 7,25 masih dianggap normal. Nilai pH darah antara 7,20 - 7,25 menunjukkan keadaan yang borderline atau "normal rendah", sedang pH darah < 7,20 adalah abnormal. Pada kala dua persalinan nilai pH darah 7,15 masih dapat diterima.



Metode Pemantauan Janin yang Terbaru Beberapa penelitian terbaru tenung penggunaan metode pemantauan janin secara



elekronik



mendapatkan bahwa pemakaian cara ini akan meningkatkan angka intervensi, terutama tindakan seksio sesarea, tanpa peningkatan luaran neonatusnya. Hal ini disebabkan oleh detak jantung janin merupakan indikator tidak langsung timbulnya hipoksi janin sehingga spesifitasnya rendah. Pemeriksaan pH darah kulit kepala ianin terbukti dapat menurunkan angka intervensi, tempi cara ini merupakan prosedur yang invasif dan kadang-kadang sulit pengambilannya. Selain itu, pH darah tersebut hanya menggambarkan pH darah saat



pengambilan sehingga harus dilakukan pengambilan sampel berulang-ulang bila ingin memantau keadaan janin secara terus-menerus.



DIAGNOSIS PRANATAL DAN TEKNIK INOVATIF PEMANTAUAN JANIN



749



G= /) \...::li'i



Gambar



58-8.



Pulse oksimetri



Pulse Oksimetri Oksimetri ialah pengukuran ol 3 pada kehamilan midtrimester dan persalinan prematur adaiah calon untuk dilakukan cerckge elektifsr.



Diagnosis Kelainan anatomik utems yang menyebabkan kehilangan kehamilan secara berulang secara khusus dapat didiagnosis dengan ultrasonografi, histerosalpingografi (HSG), atau sonohisterografi. Histeroskopi, laparoskopi, atav magnetic resonance imaging dapat dilakukan bila diperlukan. Pada saat ini telah diperkenalkan USG 3D transvaginal yang dapat menegakkan diagnosis kelainan kongenital uterus secara akurat dan noninvasif. Histerosalpingografi dipergunakan untuk melakukan penilaian patensi tuba, deteksi mioma submukosum, sebagian besar malformasi uterus dan perlekatan intrauterin. Sonohistrografi dilakukan dengan mengisi infus NaCl secara transservikal pada saat pemeriksaan USG transvaginal pada fase folikular siklus haid, sehir-rgga akan didapatkan gambaran yang cukup jelas dari permukaan dalam kar,,um uteri dibandingkan dengan pemeriksaan HSG atau USG saja.



Gambar



59-2. Sonohisterogram kasus dengan polip intrauterin



PENYAKIT DAN K-EIAINAN ALAT KANDUNGAN



762



Gambar



59-3. Histeroskopi



Gambar



kasus dengan leiomion.ra submukosum



59-4. Histeroskopi dari kasus dengan



adesi uterus tebal



PENYAKIT DAN KEIAINAN ALAT KANDUNGAN



763



Histeroskopi memungkinkan melakukan diagnosis dan pengobatan secara bersamaan pada kelainan uterus (Gambar 59-3 dan 59-4). Simultan laparoskopi sering diperlukan untuk melihat fundus uteri untuk membedakan antara septum uterus atau bikornis. Pemeriksaan USG 3 dimensi memiliki kelebihan karena bersifat noninvasif dan memungkinkan untuk melakukan penilaian lengkap morfologi uterus. Pemeriksaan ini juga memungkinkan visualisasi utems potongan koronal permukaan luar dan dalam utetus, mengukur besar uterus dan gangguan morfologik yang bermanfaat untuk menentukan tindakan operatif yang akan dilakukan52.



Kesimpulan Kelainan anatomik uterus terjadi pada 15 7o perempuan dengan kehilangan kehamilan benrlang. Septum uterus adalah kelainan yang paling sering dijumpai dan berkaitan dengan kegagalan reproduksi seperti kehilangan kehamilan berulang dan persalinan prematur. Kemungkinan kehamilan berlanjut akan meningkat setelah dilakukan metroplasti histeroskopik. Sinekia berat, leiomioma, dan kelainan uterus karena pemakaian DES juga berhubungan dengan kehilangan kehamilan berulang. Pada perempuan dengan riwayat penggunaan DES harus dilakukan penilaian ketat kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik, abortus spontan, dan persalinan prematur. Penggunaan cerclage profilaksis pada perempuan dengan riwayat penggunaan DES mungkin bermanfaat. Diagnosis akurat adanya kelainan uterus adalah pengobatan terbaik untuk memperbaiki hasil kehamilan.



RUJUKAN Kutteh WH. Recurrenr pregnancy loss. Precis, an Update in Obstetrics and Gynecology. 2nd ed. DC: American College of Obstetricians and Gynecologists; 2002: 151-61 2. Stephenson MD. Frequency of factors associated with habitual abortion in 197 couples. Fertil Steril 1.



\Washington,



1996; 66(1): 24-9 3. Raga F, Bauset C, RemohiJ, Bonilla-Musoles F, Sin-ron C, Pellicer A. Reproductive impact of congenital Mullerian anomalies. Hum Reprod 1997' 12(10): 2277-81 4. Salim R, Regan L, Woelfer B. Backos M, Jurkovic D. A comparative study of the morphology of congenital uterine anomalies in wonren with and without a history of recurrent first trimester miscarriage. Hum Reprod 2003; 18(1): 162-6 5. Byrne J, Nussbaum-Blask A, Taylor VS, et al. Prevalence of Mullerian duct anomalies detected at ultrasound. Am J Med Genet 2000; 9a():9-12 6. Homer HA, Li T-C, Cooke ID. The septate uterus: a review of management and reproductive outcome. Fertil Steril 2000; 73(l): 1-la 7. Maneschi F, Zu,pi E, Marconi D, Valli E, Ror.r.ranini C, Mancuso S. Hysteroscopically detected asymptomatic n-riillerian anomalies. Prevalence and reproductive implications. J Reprod Med 1995; 40(10):684-8 8. Simon C, Martinez L, Pardo F, Tortajada M, Pellicer A. Mullerian defects in wornen with normal reproductive outcome. Fertil Steril 1991.;56(6): 1192-3 9. Stray-Pedersen B, Stray-Pedersen S. Etiologic factors and subsequent reproductive perforn.rance in 195 couples with a prior history of habitual abortion. Am J Obstet Gynecol 1984; 148(2): 140-6



PENYAKIT DAN K.ELAINAN ALAT KANDUNGAN



764



10. Larsen WJ, ed. Development of the Urogenital Systen.r. New York: Churchill Livingstone; 1993:235-79 11. Manyonda I, Sinthamoney E, Bell AM. Controversies and challenges in the modern nranagemenr o{ fibroids. Br J Obstet Gynaecol 2OO4; 1ll:95-1a2 12. Buttram VC Jr, Gibbons 1WE. Mullerian anomalies: a proposed classification. (An analysis of 144 cases).



Fertil Steril 1979;32(1): 40-6 13. The American Fertility Society. The American Fertility Society classificatiorrs of adnexal adhesions, distal tubal occlusion, tubal occlusion secondary to tubal ligation, tubal pregnancies, rniillerian anornalies and intrauterine adhesions. Fertil Steril 1988; 49(6):944-55 14. Troiano RN. Magnetic resonance irnaging of miillerian duct anornalies of the uterus. Top Magn Reson Irnaging 2a$; A(4): 269-79 15. Propst AM, Hill JA III. Anatomic factors associated with recurrent prelinancy loss. Semin Reprod Med 2OO0;18(4):311-50 16. Harger JH, Archer DF, Nfarchese SG, Muracca-Clemens M, Garver KL. Etiology of recurrent pregnanclr losses and outcome of subsequent pregnancies. Obstet Gynecol 1983;62(5): 574-81 17. Heinonen PK, Savolainen A, Pystynen P. Septate uterus and habitual abortion: a case reporr illustrating successful outcome of pregnancy after second nretroplasty. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol I 986:23 (3-a): 23J-8 18. Raziel A, Arieli S, Bukovsky I, Caspi E, Golan A. Investigation of the uterine cavity in recurrenr aborters. Fertil Steril 1991'62(5): 108a-2 19. Fedele L, Bianchi S, Marchini M, Franchi D,Tozzi L, Dorta M. Ultrastructure aspecrs of endometrium in infertile women with septare urerus. Fertil Sreril 1996;65(4):750-2 20. Fedele L, Arcaini L,Parazzini F, Vercellini P, Di Nola G. Reproductive prognosis after hysteroscopic rnetroplasty in 102 rvornen: life-table analysis. Fertil Steril 1993;59:768-72 2i. DeCherney AH, Russell JB, Graebe RA, Polan ML. Resectoscopic management of mtllerian fusion defects" Fertil Steril 1986; a5$):726-S 22.Yalle RF, SciarralJ. Hysteroscopic treatment of the septate uterus. Obstet Gynecol 1986;67(2):253-7 23. Corson SL. Operative hysteroscopy for infertility. Clin Obstet Gynecol 1992; 35: 229-41 24. Fedele L, Bianchi S. Hysteroscopic metroplasty for the septate uterus. Obster Gynecol Clin North Am 1995:22: 173-89 25. Querleu D, Brasme TL, Parmentier D. Ultrasound-guided transceruical metroplasty. Fertil Steril 1990; 54: 995-8



26. Fedele L, tsianchi S, Agnoli B, et al. Urinary tract anomalies associated with ur.ricornuate urerus. J Urol 199(r; 155: 847-8 27. Andrews MC, Jones HW Jr. Impaired reproductive perform,rnce of the unicornuate urerus: intr.ruterine growth retardation, infertility, and recurrent abortion in five cases. An-r J Obstet Gynecol 1982;144(2): 173-6



28. Heinonen PK. Reproductive performance of women rvith utcrine anor.nalies after abdorninal or hysteroscopic metroplasty or no surgical treatment. J Am Assoc G),.ecol Laparosc 1997;4(3):311-7 29. Leible S, Munoz H, Valton R, Sabaj V, Cumsille F, Sepulveda \W. Uterine artery blood flow velocity waveforms in pregnant women with r-niillerian duct anomaly: a biologic rnodel for uteroplacental insufficiency. Am J Obstet Gynecol 1998; 178(5): 1018-53 30. Abramovici H, Faktor JH, Pascal B. Congenital uterine malfornrations as indication for cervical suture (cerclage) in habitual abortion and prer.nature delivery,. IntJ Fertil 1983;28(3): 161-4 31. Buttram VC Jr. Mullerian anomalies and their managelrenr. Fertil Sreril 1983; 4O(2): 159-61 32. Strassmann EO. Fertility and the unification of the pregnanr uterus. Fertil Steril 1966; 17: 165'76 33. Steinberg W. Strassman's n.retroplasty in the managernent of bipartite uterus causing sterility or habitual abortion. Obstet Gynecol Suru 1955; 10: 400-30 34. Patton PE. Anatomic uterine defects. Clin Obstet Gynecol 1994;37(3):7a5-21 35. Acien P. Reproductive performance of worlen with urerine malformations. Hurn Reprod 1993; 8: 122-26



36. Kaufnran RH, Adam E, Binder GL, Gerthoffer E. Upper genital tract changes and pregnancy outcon.le in offspring exposed in utero to diethylstilbestrol. An.r J Obstet Gynecol 198a; fi7:299-308



PENYAKIT DAN KELAINAN AIAT KANDUNGAN



765



37. Propst AM, Hill JA III. Anaton-ric factors associated with recurrent pregnancy loss. Semin Reprod Med 2000; i8(4):341-sO 38. Goldberg GM, Falcone T. Effect of diethylstilbestrol on reproductive function. Fertil Steril 1.999;72: 1-7



39.



Ludmir J, Landon MB, Gabbe SG, Samuels P, Mennuti MT. Management of



the



diethylstilbestrol-exposed pregnanr patient: a prospecrive study. Am J Obstet Gynecol 1987;157(3): 665-9 40. Schenker JG, Margalioth EJ. Intrauterine adhesions: an updated appraisal. Fertil Steril 1982;



37



(5): 593-



t lU 41. Li TC, Mortimer R, Cooke ID. Myomector.ny: a retrospective study to examine reproductive perforn.rance before and after surgery. Hum Reprod 1999;1.4: 1735-40 42. Stovall DV, Parrish SB, Van Voorhis BJ, et al. Uterine leiomyomas reduce the efficacy of assisted reproduction. Hum Reprod 1998;13: 192-7 43. Surrey ES, Lietz AK, Schoolcraft VB. Lnpact of intran.rural leiomyomata in patients with a normal endometrial cavity on in vitro fertilization-enrbryo transfer cycle outcome. Fertil Steril 20a1;75:405-19 44. Marchionni M, Far-nbrini M, Zambelli V, Scarselli G, Susini T. Reproductive performance before and after rryomectomy of large myomata: a retrospective analysis. Fertil Steril 2004; 82: 154-9 45. Goldenberg M, Sivan E, Sharabi Z, Bider D, Rabinovici J, Seidman DS. Outcome of hysteroscopic resection of submucous myomas for infertility. Fertil Steril 1995; 64: 714- 6 46. Goldberg J, Pereira L, Berghella V, et al. Pregnancy outcome after treatment from fibromyomata: uterine artery embolization versus laparoscopic myomectomy. Am J Obstet Gynecol 2004; 191l. 18-21 47. ACOG Practice. Cervical insufficiency. Int J Gynaecol Obstet 2004; 85: 81-9 48. Oq/en J, Iams JD, Hauth JC. Vaginal sonography and cervical incompetence. Am J Obstet Gynecol 2003;188(2):586-96 49. Villiams M, Iams JD. Cervical length measurement and cervical cerclage to prevent preterm birth. Clin Obstet Gynecol 2004; 47 $): 775-83 50. Althuisius SM, Dekker GA, Hummel P, van Geijn HP. Cervical incompetence prevention randomized cerclage trial: emergency cerclage with bed rest versus bed rest alone. Am J Obstet Gynecol 2003; 189(4):907-lO 51. Final report of the Medical Research Council/Royal College of Obstetricians and Gynaecologists multicentre randomised trial of cervical cerclage. MRC/RCOG Working Party on Cervical Cerclage. Br J Obstet Gynaecol 1.993; 10a$): 51.6-23 52. Salim R, Jurkovic D. Assessing congenital uterine anomalies: the role of three-dirnensional ultrasonography. Best Pract Res Clin Obstet Gynaecol 2004;18(1):29-36 53. Jurkovic D, Geipel A, Gruboeck K, Jauniaux E, Natucci M, Carnpbell S. Three-dimensional ultrasound for the assessment of uterine anatomy and detection of congenital anomalies: a comparison with hysterosalpingography and two-dimensional sonography. Ultrasound Obstet Gynecol 1.995i 5(4):233-7 54. Raga F, Bonilla-Musoles F, Blanes J, Osborne NG. Congenital Mullerian anomalies; diagnostic accuracy of three dimensional ultrasound. Fert.il Steril 1996;65:523-8



60



PENYAKIT IANTUNG KATUP Jetty H. Sedyawan Twjuan Instrwksional Umum Memahami penyakit jantwng sebagai salab satw penyebab kematian matemal sehinga dapat memberikan pekyanan kebidanan yang berkualitas.



Tujuan Instruksional



Kbwsus



1. Mengetabui jenis-jenis penyakit jantung dalam leehamilan. 2. Mengetabui penyakit jantung yang tersering dijumpai dan memberi toleransi bemodinamik



3. 4.



yang buruk dalam kehamikn. Menjelaskan patofisiologi Penyakit Jantwng Obstruksi d.an Regurgiusi Kiri. Menjelaslean presentasi klinik dari Mitral Stenosis, Mitral Regurgiwsi, Aorta Stenosis, dan



5.



Aorta Regwrgitasi. Mendiskusikzn prinsip penatalaksanaan Mitral Stenosis, Mitral Regurgitasi, Aorta Stenosis dan



Aoru Regurgiasi.



6.



Menjelaskan indikator risiko kejadian kardiak dalam kehamilan dan menentukan Pasienpasien yang memerlwhan konswltasi spesialis terkait dan pelayanan kesehaun ruiukan.



Selama dua dekade terakhir terjadi kemajuan pesat yang luar biasa dalam metode diagnostik dan terapi penyakit jantung. Peningkatan keberhasilan operasi penyakit jantung bawaan mengi.jinkan pasien dengan kelainan jantung yang kompleks untuk meneruskan kehidupan mencapai usia dewasa dan menginginkan hidup normal dengan memiliki



anak. Maka, terjadi peningkatan jumlah perempuan dengan penyakit jantung bawaan atau penyakit jantung didapat yang mencapai usia produktif, dan banyaknya perempuan karier yang menunda kehamilan sehingga kasus hipertensi dan aterosklerosis lebih



PENYAKIT JANTLTNG KATUP



767



banyak dijumpai pada perempuan tersebut bila mereka hamil. Selain itu, perempuan dengan penyakit jantung perlu dipilihkan metode kontrasepsi yang tepat. Penyakit jantung merupakan penyebab kematian maternal ketiga dan penyebab utama kematian dalam penyebab kematian maternal nonobstetrik. Penyakit jantung terjadi pada I - 4 % dari kehamilan pada perempuan-perempuan yang tanpa geiala kelainan janrung sebelumnya. Keadaan-keadaan tersebut membuat dokter harus waspada akan kesulitan-kesulitan yang dapat timbul ketika mereka hamil. Beberapa penyakit j-antung dan pembuluh darah, seperti emboli paru, aritmia, preeklampsia, dan kardiomiopati peripartal terjadi sebagai komplikasi keharnilan pada perempuan yang sehat sebelum hamil. Di negara yang sedang berkembang, penyakit jantung rematik masih endemik, sehingga kejadian penyakit jantung katup masih banyak dijumpai dan merupakan masalah. Penyakit jantung rematik merupakan penyebab utama dari penyakit jantung katup selain penyebab bawaan. Bila memungkinkan, perempuan dengan kelainan jantung sebelum merencanakan kehamilan perlu melakukan konsultasi tentang



risiko dalam kehamilanl. Klasifikasi fungsional dari New Yorh Heart Association/l{YHA sering digunakan sebagai prediksi untuk keberhasilan kehamilan. Pada umumnya pasien sebelum hamil dengan NYHA klas I dan II dapat melalui kehamilannya dengan aman. Akan tetapi, khusus pasien-pasien dengan obstruksi ventrikel kiri, hipenensi pulmonal dan penyakit aona yang "fragile" tidak hanya memperhatikan kelas fungsional. Perempuan dengan klas Fungsi III dan IV sebelum hamil mempunyai risiko tinggi dalam kehamilan. Namun, ada pengecualian yang juga termasuk risiko tinggi, yaitu hipertensi pulmonal, mitral stenosis, beberapa kardiomiopati, penyakit aorta, atrial sepwl defect/ ASD dan iuga penyakit ;'antung koroner. Risiko maternai dan neonatal dari perempuan hamil dengan penyakit jantung yang mendapat perawatan antenatai komprehensif adalah 1,3 "/" dan 18 "/"1'2.



Indeks risiko yang terbaru terdiri atas empat faktor risiko yang memprediksi kemungkinan terjadinya perburukan kardiovaskular dan komplikasi neonatus, meliputi (1) riwayat kejadian kardiak (cardiac event) sebelumnya, (2) sianosis atau klas fungsi buruk, (3) obstruksi jantung kiri, dan (4) disfungsi ventrikel. Perempuan dengan risiko tinggi untuk kejadian kardiak, dianjurkan melakukan koreksi katup sebelum kehamilan. Koreksi surgeri atau tidak atas pertimbangan manfaat dan risikonya. Perempuan de-



(>



:



1) atau dengan risiko spesifik lesi jantungnya sebaiknya tidak hamil atau harus dikirim ke rumah sakit yang memadai untuk perawatan dengan para spesiaiisnya. Perempuan dengan risiko untuk kardiak ngan risiko sedang sampai tinggi



1 atau



maternal dan neonatal memerlukan pengawasan antenatal yang lebih kerap3.



\7alau persalinan normal lebih dipilih pada perempuan dengan penyakit jantung, diperlukan monitor invasif pada pasien dengan NYHA III dan IV dan juga penyakit jantung obstruktif. Fluktuasi hemodinamik saat persalinan normal akibat nyeri dapat dikurangi dengan memilih tata laksana persalinan tanpa oyeri dan pemantauan hemodinamik yang standar. Perlu diingat bahwa terjadi aliran darah balik seperti autotransfusi sewaktu his sebanyak 3OO - 400 cclkontraksi. Kejadian ini akan memperberat



768



PENYAKIT JANTUNG KATUP



kerja jantung. Pemahaman fisiologi normal kehamilan dapat membantu dalam penatalaksanaan pasien dengan penyakit jantung. Argumentasi yang baik dapat dibuat untuk lebih banyak memilih seksio sesarea pada penyakit-penyakit jantung rerrentu4. Tata laksana/manajemen kehamilan pada perempuan dengan penyakit jantung adalah upaya tim. Yang terbaik adalah pelaksanaan antenatal dengan kerja sama yang baik antara spesialis obstetri, kardiologis, nutrisionis, psikologis, dokter umum, dan perawat. Manajemen persalinan baik normal maupun seksio sesarea dalam anestesi regional ataupun umum merupakan keadaan yang membahayakan baik bagi ibu hamil dengan penyakit jantung maupun bagi janinnya. Anestetis obstetri merupakan anggota rim yang penting dan harus ada diskusi jenis dan tata iaksana persalinan antara kardiologis, spesialis obstetri, dan spesialis anesresi. Ideainya, penilaian penyakit jantung katup dalam kehamilan dilaksanakan sebelum terjadi konsepsi dan harus mencakup pemeriksaan kardiologi lengkap, termasuk ekokardiografi. Anamnesis harus difokuskan pada kapasitas latihan pasien, riwayat gagal jantung, dan aritmias. Penyakit jantung dan pembuluh darah dalam kehamilan meliputi penyakit jantung bawaan, yaitu sianotik dan nonsianotik, kehamilan dengan hipertensi pulmonal, mitral oaloe prolapse, kardiomiopari peripartum, kardiomiopati hipertrofi, aritmia, emboli paru, katup artifisial, hipertensi dalam kehamilan, kehamilan dengan kelainan marfan, dan penyakit kardiak pulmonal pada kehamilanl. Pada bab ini akan disampaikan kekhususan pada Penyakit Jantung Katup, meliputi penyakit obstr-uksi dan regurgitasi ventrikel kiri yang paling kerap dijumpai dan terbanyak menimbulkan masalah hemodinamik pada kehamilan.



PENYAKIT JANTUNG KATUP OBSTRUKSI Penyakit jantung katup merupakan penyakit jantung yang paling sering ditemukan pada perempuan hamil. Toleransi terhadap perubahan hemodinamik kehamilan berganrung pada jenis penyakit jantung katup. Tata laksana pasien-pasien rersebur memerlukan analisis yang cermar pada derajat penyakit katupnya masing-masing. Juga toleransinya terhadap maturitas kehamilan, risiko kehamilan, dan terhadap prosedur intervensi. Seluruhnya harus mempertimbangkan keselamatan ibu hamil dan janinnya. Terdapat penurunan yang drastis kejadian penyakit janrung rematik di negara telah berkembang, akan tetapi, penyakit ini masih endemis6. Di negara maju, kehamilan dengan penyakit jantung katup merupakan penyakit umtan kedua tersering setelah penyakit jantung bawaan7,8. Semenrara iru, di negaranegara sedang berkembang, penyakit jantung katup merupakan penyakit jantung yang terbanyak dijumpai dan terbanyak disebabkan oleh penyakit jantung rematik6-8.



Patofisiologi Konsekuensi utama dari peningkatan curah jantung melalui obstruksi ventrikel kiri dengan adanya penyempitan katup adalah terjadinya peningkatan gradien/perbedaan



PENYAKIT JANTUNG KATUP



769



tekanan yang mengakibatkan peningkatan tekanan atav overloaded pressure dalam ruang



jantung yang berada sebelum katup yang menyempit. Hal ini menerangkan mengapa penyakit jantung katup obstruktif sangat buruk dalam toleransi kehamilan, temtama toleransi terhadap peningkatan 30 - 50 % peningkatan curah jantung pada awai trimester kedua. Perburukan hemodinamik temtama terjadi pada awal trimester kedua. Periode pascapersalinan masih merupakan periode berisiko untuk komplikasi hemodinamik karena curah jantung dan beban loading yang terjadi setelah 3 sampai 5 hari, dan tambahan pula, kompresi vena kava inferior dan autotransfusi dari perpindahan darah ke plasenta (blood sbift ke plasenta) dan kontraksi uterus akan meningkatkan beban awal



jantung (preload)t'tr.



Mitral



Stenosis



Presentasi



Klinik



Kelainan penyempitan katup mitral ini merupakan penyakit jantung katup rematik yang paling sering ditemukan pada perempuan usia produktif. Induksi perubahan hemodinamik dalam kehamilan sangat buruk ditoleransi oleh mitral stenosis karena dengan peningkatan curah jantung dan takikardia akan memperpendek waktu diastolik, sehingga meningkatkan mean mitral gradient/perbedaan tekanan lintas katup mitrall2,l3. Diagnosis mitral stenosis mungkin baru ditegakkan pertama kali ketika timbul keluhan dan gejala sewaktu hamil pada pasien-pasien tanpa keluhan sebelumnyala. Toleransi hemodinamik biasanya baik pada trimester pertama karena takikardia dan peningkatan curah jantung masih moderat. Mitral stenosis ringan pada umumnya dapat ditatalaksana dengan hati-hati' selama kehamilan, sedangkan pasien dengan miral stenosis moderat dan berat kerap mengalami perburukan hemodinamik pada trimester ketiga dan ketika persalinan. ?erubahan fisiologik terjadinya peningkatan volume darah dan peningkatan frekuensi denyrt jantung menyebabkan peningkatan tekanan serambi kiri jantung yang mengakibatkan edema paru. Kerap edema paru merupakan geiala pertama dari mitral stenosis, temtama terjadi pada pasien yang telah mengalami atrial fibrilasi. Bagaimanapun peningkatan keluhan napas pendek yang progresif adalah yang tersering. Penambahan volume darah ke dalam sirkulasi sistemik/autotransfusi sewaktu his/kontraksi uterus menyebabkan berbahaya saat melahirkan. Pasien-pasien tersebut dapat memerlukan koreksi dengan cara operasi katup atau percwtaneous mital balloon aahtotomy (BMV) sebelum atau sewaktu hamil1s,16. Secara teori diagnosis mitral stenosis lebih mudah ditegakkan selama kehamilan, karena intensitas murmur yang cenderung meningkat karena adanya peningkatan curah jantung. Namun, takikardia menyebabkan persepsi murmur kerap sulit. Pemeriksaan ekokardiografi perlu dilakukan untuk menentukan derajat mitral stenosis, pengukuran area katup mitral (Mitral Valae Area/MVA), fungsi pompa ventrikel kiri, trombus, dan derajat hipertensi pulmonal dengan mengukur tekanan arteri pulmonal. MVA merupakan determinan kuat untuk terjadinya edema paru akut' Pada umumnya MVA 1,5 atau 1 cm2/luas permukaan tubuh m2 merupakan batasan mitral



770



PENYAKIT JANTUNG KATUP



stenosis berat. Namun, peningkatan gradien tekanan antara serambi kiri dan bilik kiri yang juga ditentukan oleh compliance serambi kiri merupakan marber dari toleransi mitral stenosis, bukan derajat mitral stenosis atau luas MVA. Pengukuran tekanan arteri pulmonal dan pemeriksaan regurgitasi trikuspid dengan ekokardiografi Doppler merupakan marker ekokardiografi untuk penenruan roleransi dari mitral 51sne5i5e'12,17.



Prinsip Penatalaksanaan Acrial fibrilasi pada pasien mitral stenosis dapat mengakibatkan gagal jantung. Pemberian digitalis dan penyekat beta dapat menurunkan frekuensi denyut jantung dan diuretik dapat digunakan untuk mengurangi volume darah dan menurunkan tekanan ruang serambi kiri. Kardioversi elektrik dapat dilakukan dengan aman dan segera bila gangguan atrial fibrilasi menimbulkan perburukan hemodinamik. Pasien dengan permanen atau paroksismal atrial fibrilasi meningkatkan risiko terjadinya stroke sehingga memerlukan pemberian antikoagulan. Persalinan pervaginam dapat berjalan dengan aman pada mitral stenosis yang dapat menoleransi kehamilan dengan baik pada NYHA klas 1 dan 2 dan bila tekanan arteri pulmonal kurang dari 50 mmHg. Namun, pasien dengan gagal jantung kongestif atau mitral stenosis berat dan moderat dan tekanan arteri pulmonal > 50 mmHg, harus dilakukan monitor hemodinamik sentra dengan kateter arteri pulmonalis atau Swan Ganz selama persalinan. Pertahankan Tekanan Bqi (wedge arterial presswre) : 14 - 20 mmHg. Terjadi peningkatan 8 - 10 mmHg tekanan atrium kiri dan tekanan baji saat persalinan. Anestesi epidural dapat dilaksanakan selama persalinan. Antibiotik profilaksis direkomendasi diberikan saat persalinan. Fiuktuasi hemodinamik saat persalinan akibat rasa nyeri dan autotransfusi perlu diawasi dan dihindari4,l1'17.



Aorta Stenosis Presentasi



Klinik



Aorta stenosis berat karena penyakit jantung rematik jarang ditemukan pada pasien usia muda, yang tersering disebabkan oleh kelainan bawaan yaitu katup bikuspid. Aorm stenosis ringan dan moderat dengan fungsi ventrikel kiri yang masih baik biasanya dapat menoleransi kehamilan dengan baik. Sebaliknya, pasien dengan aorta stenosis berat, (aortic palae area/area katup aorta: < 0,7 cmz dan gradien tekanan > 50 mmHg) dan yang dengan gejala merupakan risiko tinggi bagi perempuan hamil fuga janinnya. Gejala yang timbul dapat sesak napas, sinkop, yang timbul pada trimester 2 akhir atau trimester 3 akhir12. Premature birtb, intrawterine grouttb retardation, and low birth uteight were also more comrnon among the offspring of tbe women in tbis subgroup. Tbe fetus is at increased isk for congeniul heart disease if the underlying maternal vahtukr d.isease is congeniuls.



PENYAKIT JANTUNG KATUP



771



Prinsip Penatalaksanaan Idealnya harus dilakukan koreksi katup sebelum pasien hamil. Pasien dengan keluhan klinis atau gradien/perbedaan tekanan lintas katup aorta > 50 mmHg dianjurkan unruk menunda konsepsi sampai dilakukan koreksi bedah. Bila aorta stenosis berat ditemukan sewaktu hamil, vah,uloplasti balon aorta harus dilakukan sebelum persalinan. Anestesi spinal dan epidural kurang dianjurkan karena efek vasodilamsinya. Sepeni mitral stenosis, monitoring hemodinamik dengan kateter Swan Ganz dan profilaksis antibiotik direkomendasikan selama persalinan pervaginam. Pemeriksaan ekokardiografi penting dalam mencari kelainan katup yang lain, dimensi mang-ruang jantung, tekanan aneri pulmonalis untuk menentukan derajat hipertensi pulmonal, deteksi adanya trombus, dan fungsi pompa ventrikel kiria.



PENYAKIT JANTUNG KATUP KIRI REGURGITASI Patofisiologi Peningkatan volume darah dan curah jantung yang progresif selama kehamilan menyebabkan peningkaran volume regurgitasi pada pasien yang telah memiliki kelainan aorta atau mitral regurgitasi. Bagaimana pun perubahan fisiologik kehamilan seperti takikardi dan penurunan tahanan sistemik perifer akan meningkatkan stroke volume dalam mengompensasi adanya volume darah yang balik ke jantungl8.



Mitral Regurgitasi Presentasi



Klinik



Pada umumnya regurgitasi katup dapat menoleransi kehamilan dengan baik. Karena kondisi penyakitnya kronis, terjadi dilatasi ventrikel kiri dan fungsi ventrikel kiri yang terkompensasi mitral regurgitasi pada perempuan usia muda lebih sering disebabkan oleh prolap katup mitral dan biasanya benoleransi baik selama kehamilan. Bila regurgitasi terjadinya akut, maka kompensasi jantung lebih buruk. Disfungsi ventrikel kiri dan gagal jantung kiri jarang terjadi pada aonik regurgitasi dan juga mitral regurgimsilT. Presentasi derajar beratnya penyakit katup regurgitasi dalam kehamilan sulit dinilai, karena adanya peningkatan curah jantung selama kehamilan normal tanpa penyakit jantung. Penentuan dimensi dan fungsi ventrikel kiri dengan pemeriksaan ekokardiografi perlu diperhatikan karena perubahan dapat j'tga terjadi pada hamil normal.



P rinsip P en at al aks ana an



Persalinan normal lebih banyak dilaksanakan pada pasien-pasien regurgitasi walaupun ada riv,,ayat adaoya keluhan sebelumnya. Pada beberapa kasus yang jarang terjadi,



772



PENYAKIT JANTI-ING KATUP



komplikasi gagal jantung kiri pada kasus-kasus regurgitasi (fraksi ejeksi < 40 "/o), terminasi kehamilan dini harus dipertimbangkan karena dapat memperburuk gagal jantungnya selama kehamilan. Pemberian antibiotik profilaksis perlu diberikan untuk mencegah terjadinya bakteriemia yang menyebabkan endokarditis. Bila terdapat gejala yang berat dan terjadi gagal jantung kongestif temtama pada trimester ketiga, pemberian obat-obat diuretik dan vasodilator dapat memperbaiki toleransi klints. Angiotensin Conoerting Agent (ACE) inhibitor dan Angiotensin Reseptor Blocber (ARB) merupakan kontraindikasi selama kehamilan. Karena Hidralazine tak tersedia di beberapa negara juga di Indonesia, maka vasodilator yang terbanyak dipakai adalah nitrat dan antagonis kalsium. Bila terdapat keluhan dan gejala klinik pada pasien mitral regurgitasi, akan lebih baik bila dilakukan perbaikan katup sebelum kehamilan. Bagaimanapun fungsi ventrikel kiri pada mitral regurgitasi tidak membaik setelah operasi katup dan akan meningkatkan risiko maternal selama kehamilan. Beberapa obat medikamentosa yang diperlukan sewaktu tidak hamil dapat menimbulkan risiko pada janin bila dikonsumsi selama kehamilan, tetapi bila manfaat untuk ibu lebih besar daripada risiko, maka obat-obat tersebut dapat tetap diberikan2o.



Aorta Regurgitasi Presentasi



Klinik



Gejalayang berat atau gagal jantung kongesti jarang dijumpai. Interpretasi klinik deralar.



aorta regurgitasi dapat sulit ditentukan karena pada kehamilan terjadi peningkatan isi sekuncup jantung yang menyebabkan nadi yang besar, walau tidak ada penyakit jantung.



Aona regurgitasi pada perempuan muda pada umumnya disebabkan oleh dilatasi



annulus



aorta (seperti pada sindrom Marfan), katup aorta bikuspid dan riwayat endokarditislT.



Prinsip Penatalaksanaan



Aorta regurgitasi yang disertai perburukan fungsi ventrikel kiri diprediksi akan menimbulkan hasil yang buruk dari kehamilannya. Penggunaan obat penghambat ACE harus dihentikan selama kehamilan dan dapat diberikan nitrat dan penghambat kalsitm. Isolated Aortic Regurgiation biasanya diberi vasodilator dan diuretika. Bila terdapat komplikasi gangguan fungsi ventrikel kiri (Fraksi Ejeksi < 40 %) dilakukan terminasi dini karena kehamilan akan memperburuk gagal jantungnyalT.



RUIUKAN 1 . Oakley C, Warnes C. A Heart Disease in Pregnancy, Blackwell Ptb, 2007: l-2 2. Siu SC, Colman JM, Sorensen S, et al. Adverse neonatal and cardiac outcomes are more common in pregnant women with cardiac disease. Circulation 2002; 1,05: 21,79-84



PENYAKIT JANTLING KATUP



773



3. Siu SC, Sermer M, Colman JM. Prospective multicenter study of pregnancy outcomes in women with heart disease. Circulation 2Q01; lQ4:515-21 4. ACC/AHA guidelines for the management of patients with valvular heart disease: a report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee on Management of Patients with Valvular Heart Disease). J Am Coll Cardiol 2006; 48(3): e1-e148



T, Sermer M. McGee L, Farine D, Colman JM. Congenital aortic stenosis and pregnancy -- a reappraisal. Am J Obstet Gynecol 1993; 1.69: 540-5 6. Rizvi SFH, Khan MA, Kundi A. Current Status of Rheumatic Heart Disease in Rural Pakistan, Heart 2004;90: 394-9 7. Prasad AK, Ventura HO. Valvular heart disease and pregnancy: a high index of suspicion is imporrant to reduce risks. Postgrad Med 2001; 110(2): 59-88 8. Sawhney H, Aggarval N, Suri V. Maternal and Perinatal outcome in Rheumatic Heart Disease, Int J Gynecol Obstet 2003; 80: 9-14 5. Lao



9. Lesniak SA, Tracz W, et al. Clinical and Echocardiographic Assesment of Pregnant \Women with Valvular Heart Disease. Maternal and Fetal Outcome. Int J Cardiol 2004;94: 75-23 10. Siu SC, Sermer M, F{arrison DA. fusk and predictors for pregnancy-related complications in women with heart disease. Circular.ion. 7997;96: 2789-94 11. Clark SL, Phelan JP, Greenspoon J, Aldahl D, Horenstein J. Labor and delivery in the presence of mitral stenosis: central hemodynamic observations. AmJ Obstet Gynecol 1985; 152:984-88 12. Hameed A, Karaalp IS, Tummala PP. The effect of valvular heart disease on maternal and fetal outcome of pregnancy. J Am Coll Cardiol 2001; 37:89J-9 13. Bhada N, Lal S, Behera G. Cardiac disease in Pregnancy. Int J Gynecol Obstet 2003; 82: 1.53-9 14. Silverside CK, Colman JM, Sermer M. Cardiac risk in pregnant women with rheumatic mitral stenosis.



Am J Cardiol 2003;91: 1382-5 A, Iung B, Cormier B. Mitral Valvuloplasty. In: Topol EJ(ed), Textbook of Interventional



15. Vahanian



Cardiology, 4'h ed. Philadelphia: \(B Saunders, 2Oa2:921,-40 16. Presbitero P, Prever SB, Brusca A. Interventional Cardiology in Pregnancy. Eur Heart J 1996;17: 182-8 17. Oakley C, Child A, Iung B. Expert concensus document on management of Cardiovascular disease during pregnancy. Eur Heart J 20A3;2(+):761-81 i8. Hunter S, Robson SC. Adaptation of the maternal heart in pregnancy. BMJ 1992:68: 540-3 19. Sheikh F, Rangwala S, DeSimone C. Management of the parturient with severe Aortic Incompetence. J Cardiothorac Vasc Anesth 1995;9: 575-7 20. Briggs GG, Freeman RK, Yaffe SJ. Drugs in pregnancy and lactation: a reference guide to fetal and neonatal risk. Baltimore: Villiams and Vilkins, 1998: xxii



61



KELAINAN HEMATOLOGIK Abdulmuthalib



Tujwan Instrwksional Umum Memahami patofisiologi dan penanganan beberapa kelainan hematologik. dahm leehamilan.



Twjwan Instrwksional Khusws



1. 2. 3.



Memabami penanganan anemia dakm kehamikn. Memabami penanganan perdarahan karena defele sistem pembeleuan. Memabami penanganan pembentwkan bekuan darah abnormal.



Kehamilan merupakan kondisi alamiah yang unik karena meskipun bukan penyakit, tetapi seringkali menyebabkan komplikasi akibat berbagai perubahan anatomik serta fisiologik dalam tubuh ibu. Salah satu perubahan fisiologik yang terjadi adalah perubahan hemodinamik. Selain itu, darah yang terdiri atas cairan dan sel-sel darah berpotensi menyebabkan komplikasi perdarahan dan trombosis jika terjadi ketidakseimbangan faktor-faktor prokoagulasi dan hemostasis. Kelainan hematologik dalam kehamilan oleh karenanya tidak dapat dipandang sebagai satu kelompok penyakit yang dapar. diderita oleh ibu hamil, tetapi merupakan kumpulan berbagai ;'enis penyakit darah yang dapat berdiri sendiri atau saling terkait satu sama lain. Selain itu, banyak komplikasi kehamilan yang dahulu tidak dianggap penyakit darah, sekarang diketahui memiliki patogenesis yang terkait dengan darah. Isu lain yang perlu diperhatikan dalam pengkajian ibu hamil adalah apakah kelainan hematologik tersebut timbul karena kehamilan atau apakah seorang ibu hamil sudah menderita kelainan hematologik tertentu sebelumnya, baik yang simptomatik maupun asimptomatik.



K,E,LAINAN HEMATOLOGIK



775



Untuk membatasi ruang lingkup pembahasan, dalam bab ini akan dibahas tiga kelompok besar kelainan hematologik dalam kehamilan, yaitu anemia, perdarahan karena defek sistem pembekuan, dan trombofilia (pembentukan bekuan darah abnormal). Kelainan perdarahan dan trombofilia dapat disebabkan baik karena kelainan herediter maupun kelainan didapat (acqwired).



ANEMIA DALAM KEHAMILAN Pada kehamilan kebutuhan oksigen lebih tinggi sehingga memicu peningkatan produksi eritropoietin. Akibatnya, volume plasma bertambah dan sel darah merah (eritrosit) me-



ningkat. Namun, peningkatan volume plasma terjadi dalam proporsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan peningkatan eritrosit sehingga terjadi penurunan konsentrasi hemoglobin (Hb) akibat hemodiiusi. Ekspansi volume plasma merupakan penyebab anemia fisiologik pada kehamilan. Voiume plasma yang terekspansi menumnkan hematokrit (Ht), konsentrasi hemoglobin darah (Hb), dan hitung eritrosit, tetapi tidak menurunkan jumlah absolut Hb atau eritrosit dalam sirkulasi. Mekanisme yang mendasari perubahan ini belum jelas. Ada spekulasi bahwa anemia fisiologik dalam kehamilan bertujuan menurunkan viskositas darah maternal sehingga meningkatkan perfusi plasental dan membantu penghantaran oksigen serta nutrisi ke janin. Ekspansi volume plasma mulai pada minggu ke-6 kehamilan dan mencapai maksimum pada minggu ke-24 kehamilanl, tetapi dapat terus meningkat sampai minggu ke-372. Pada titik puncaknya, volume plasma sekitar 40 % lebih tinggi pada ibu hamil dibandingkan perempuan yang tidak hamil3,a. Penurunan hematokrit, konsentrasi hemoglobin, dan hitung eritrosit biasanya tampak pada minggu ke-7 sampai ke-8 kehamilan dan terus menurun sampai minggu ke-l6 sampai ke-22 ketika titik keseimbangan tercapais.



Suatu penelitian memperlihatkan perubahan konsentrasi Hb sesuai dengan bertambahnya usia kehamilan6. Pada trimester pertama, konsentrasi Hb tampak menurun, kecuali pada perempuan yang telah memiliki kadar Hb rendah (< 11,5 g/dl). Konsentrasi paling rendah didapatkan pada trimester kedua, yaitu pada usia kehamilan sekitar



30 minggu. Pada trimester ketiga terjadi sedikit peningkatan Hb, kecuali pada Hb tinggi (> 14,6 g/dl) pada pemeriksaan



perempuan yang sudah memiliki kadar pertama (Gambar 61-1).



Anemia secara praktis didefinisikan sebagai kadar Ht, konsentrasi Hb, atau hitung eritrosit di bawah batas "normal". Namun, nilai normal yang akurat untuk ibu hamil sulit dipastikan karena ketiga parameter laboratorium tersebut bervariasi selama periode kehamilan. Umumnya ibu hamil dianggap anemik .iika kadar hemoglobin di bawah t 1 gldl atau hematokrit kurang dari 33 7o. Namun, CDC membuat nilai batas khusus berdasarkan trimester kehamilan dan status merokok (Tabel 61-1). Dalam praktik rutin, konsentrasi Hb kurang dari 11 gldl pada akhir trimester pertama dan < 10 gldl pada trimester kedua dan ketiga diusulkan menjadi batas bawah untuk mencari penyebab



KELAINAN HEMATOLOGIK



776



160 o)



c .cl o C" o E o '6



150 140 130



>146



136-145 \___ 126-13s 11



G



\ \ \ e€--.



\.-'--



6-1 25



120



o o c o



110



Y



2A y"g/l) menurunkan prevalensi anemia dan bayi berat lahir rendah17. Namun, pada ibu hamil dengan kadar Hb yang normal (, 13,2 g/dl) mendapatkan peningkatan risiko defisiensi tembaga danzincts. Selain itu, pemberian suplementasi besi elemental pada dosis 50 mg berkaitan dengan proporsi bayi I(MK dan hipertensi maternal yang lebih tinggi dibandingkan kontrolle.



Defisiensi Asam Folat Pada kehamilan, kebutuhan folat meningkat lima sampai sepuluh kali lipat karena trans-



fer folat dari ibu ke janin2o yang menyebabkan dilepasnya cadangan folat marernal2l. Peningkatan lebih besar dapat terjadi karena kehamilan multipel, diet yang buruk, infeksi, adanya anemia hemolitik atau pengobatan antikonvLrlsi. Kadar estrogen dan progesteron yang tinggi selama kehamilan tampaknya memiliki efek penghambatan terhadap absorbsi folat. Defisiensi asam folat oleh karenanya sangat umum terjadi pada kehamilan dan merupakan penyebab utama anemia megaloblastik pada kehamilan22. Anemia tipe megaloblastik karena defisiensi asam folat merupakan penyebab kedua terbanyak anemia defisiensi zat gizi. Anemia megaloblastik adalah kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis DNA dan ditandai dengan adanya sel-sel megaloblastik yang khas untuk jenis anemia ini23. Selain karena defisiensi asam folat, anemia megaloblastik juga dapat terjadi karena defisiensi vitamin B12 (kobalamin). Folat dan turunannya formil FH4 penting untuk sintesis DNA yang memadai dan produksi asam amino. Kadar asam folat yang tidak cukup dapat menyebabkan manifestasi anemia megaloblastik. Gejala-gejala defisiensi asam folat sama dengan anemia secara umum ditambah kulit yang kasar dan glositis. Pada pemeriksaan apusan darah tampak prekursor eritrosit secara morfologis lebih besar (makrositik) dan perbandingan inti-sitoplasma yang abnormal



KI,LAINAN HEMATOLOGIK



juga normokrom.



MCH dan MCHC



biasanya normal, sedangkan



779



MCV yang



besar



berguna untuk membedakan anemia ini dari perubahan fisiologik kehamilan atau anemia defisiensi besi. Untuk MCV, adanya peningkatan saturasi besi dan transferin serum juga bermanfaat. Neutropenia dan trombositopenia adalah akibat maturasi granulosit dan trombosit yang abnormal. Tanda awal defisiensi asam folat adalah kadar folat serum yang rendah (kurang dari 3 nglml). Namun, kadar tersebut merupakan cerminan asupan folat yang rendah pada beberapa hari sebelumnya yang mungkin meningkat cepat begitu asupan diperbaiki2a. Indikator status folat yang lebih baik adalah foiat dalam sel darah merah2s, yang relatif tidak berubah di daiam eritrosit yang sedang beredar di sirkulasi sehingga dapat mencerminkan Iap twrno'uer folat pada 2 - 3 bulan sebelumnya. Folat dalam sel darah merah biasanya rendah pada anemia megaloblastik karena defisiensi folat. Namun, kadarnya juga rendah pada 50 7o penderita anemia megaloblastik karena defisiensi kobalamin sehingga tidak dapat digunakan untuk membedakan kedua



jenis anemia ini. Defisiensi asam folat ringan juga telah dikaitkan dengan anomali kongenital janin, terutama defek pada penutupan tabung nevral (newral tube defects). Selain itu, defisiensi asam folat dapat menyebabkan kelainan pada jantung, saluran kemih, alat gerak, dan organ 1ainnya26,27. Mutasi gen yang mempengaruhi enzim-enzim metabolisme folat, tenrtama mutasi 677C --> T pada gen MTHFR, juga berpredisposisi terhadap kelainan kongeniml28. Penatalaksanaan defisiensi asam folat adalah pemberian folat secara oral sebanyak 1 sampai 5 mg per hari. Pada dosis 1 mg, anemia umumnya dapat dikoreksi meskipun pasien mengalami pula malabsorbsi. Ibu hamil sebaiknya mendapat sedikitnya 400 pg



folat per



hari2e'30.



Anemia Aplastik Ada beberapa laporan mengenai anemia aplastik yang terkait dengan kehamilan, tetapi hubungan antara keduanya tidak jelas. Pada beberapa kasus, yang terjadi adalah eksaserbasi anemia aplastik yang telah ada sebelumnya oleh kehamilan dan hanya membaik setelah terminasi kehamilan3l,32. Pada kasus-kasus lainnya, apiasia terjadi selama kehamilan dan dapat kambuh pada kehamilan berikutnya33. Terminasi kehamilan atau persalinan dapat memperbaiki fungsi sumsum tulang, tetapi penyakit dapat memburuk bahkan menjadi fatal setelah persalinan. Terapi meliputi terminasi kehamilan elektif, terapi suportif, imunosupresi, atau transplantasi sumsum tulang setelah persalinan.



Anemia Penyakit Sel Sabit Kehamilan pada perempuan penderita anemia sel sabit (sicble cell anemia) disertai dengan peningkatan insidens pielonefritis, infark pulmonai, pneumonia, perdarahan ante partum, prematuritas, dan kematian janin3a. Peningkatan anemia megaloblastik yang responsif dengan asam folat, temtama pada akhir masa kehamilan, juga meningkat fre-



780



KELAINAN HEMATOLOGIK



kuensinya. Berat lahir bayi dari ibu yang menderita anemia sel sabit di bawah ratarata35'36, dan kematian janin tinggi37. Penyebab kematian neonatal tidak jelas, tetapi kadang-kadang disebabkan oleh vasooklusi plasenta, dengan remuan posrmorrem yang rnenggambarkan anoksia intrapartum38. Mortalitas ibu dengan penyakit sel sabit telah menurun dari sekitar 33 "h meniadi 1,5 '/" pada masa kini karena perbaikan pelayanan prenatal. Di beberapa negara berkembang angka kematian ibu dan perinatal dapat mencapai 9.2 "/" dan 19,5 "h, berturut-turut3e,4a,41- Masa kehamilan dan periode postpartum masih berpotensi berbahaya bagi ibu dengan penyakit sel sabita2 sehingga harus dipantau ketat seiama kehamilana3. Pemberian transfusi darah profilaktik belum terbukti efektivitasnyaaa walaupun beberapa pasien tampaknya memberi hasil yang memuaskan4s,46.



KELAINAN HEMORAGIK DALAM KEHAMILAN Kehamilan normal menyebabkan perubahan-perubahan besar dalam sistem koagulasi dan fibrinolitik, yaitu meningkatnya konsentrasi berbagai faktor koagulasi dan penurunan aktivitas fibrinolitik plasma sebagai akibat peningkatan konsentrasi plasminogen dctir)ator inhibitors (PAI). Fibrinogen meningkat dari kehamilan awal sampai dapat mencapai nilai dua kali lipat nilai sebelum hamil pada kehamilan aterm. Faktor VIII dan faktor von willebrand meningkat selama kehamilan. Faktor vII dan X juga meningkat sangat pesat selama kehamilan, terapi faktor-faktor pembekuan tergantung vitamin K lainnya, faktor II, IX, dan XII hampir tidak menunjukkan perubahan, sedangkan faktor XI dan XIiI dapat menurun sedikitaT.



Hitung trombosit seharusnya tidak banyak berubah selama kehamilan. \flaktu perdarahan tetap normai selama kehamilan. Uji skrining untuk memeriksa perdarahan, yairu activated partial thrombopkstin time (APTI) dan protbrombin time (PT), berada dalam nilai normal dewasa selama kehamilan, tetapi pada trimester ketiga, keduanya mungkin sedikit memendek, dan hal ini perlu diperhatikan ketika menilai status koagulasi pada ibu hamil. Kelainan perdarahan pada masa kehamilan dan nifas merupakan problem tersendiri yang mungkin suiit ditangani. Terdapat berbagai macam kelainan perdarahan yang dapat dikelompokkan dalam kelainan bawaan serta didapat. Kelainan bawaan antara lain adalah penyakit von \flillebrand (v'!fl.D), defisiensi faktor pembekuan, dan kelainan bawaan trombosit. Kelainan perdarahan yang didapar meliputi kelainan yang sudah muncul



sebelum kehamilan, seperti purpura trombositopenik idiopatik dan inhibitor faktor pembekuan, atau muncul perrama kali pada saat hamil. Perubahan-perubahan hematologik sebagai respons terhadap kehamilan juga dapat menyebabkan disregulasi sistem pembekuan darah yang meliputi koagulasi intravaskular diseminata (KID) dan sindrom hemolysis with elsuated lioer funaions and lotp platela (HELLP). Terakhir adalah kelainan pada plasenta seperti plasenta previa dan solusio plasenra, kehamilan ektopik, aborsi dan keguguran, serta adanya sisa hasil konsepsi.



KI,IAINAN HEMATOLOGIK



781



Kelainan Bawaan Penyakit aon'Willebrand Penyakit von lWillebrand (v\flD) adalah kelainan perdarahan bawaan yang paling sering ditemui dengan prevalensi anrara 1 - 3 % dalam populasia8. Mayoritas vW'D diwariskan secara autosomal dominan, sehingga implikasinya pada perempuan dalam masa reproduksi sangat bermakna. Kelainan ini dibagi menjadi tipe 1, 2, dan 3 berdasarkan mekanisme patofisiologik spesifik yang terlibat. Dalam konsensus yang dibuat oleh tbe International Socie4t on Thrombosis and Haemostasisae, terdapat revisi yang membagi tipe 2 menjadi empat subtipe lagi berdasarkan hasil laboratorium dan data klinik. Mayoritas v\XlD adalah tipe 1 (70 - 80 %) yang hanya menyebabkan perdarahan ringan, 10 % berikutnya adalah dpe 2 dan 10 % sisanya adalah tipe 3. Manifestasi klinik klasik v\(D adalah perdarahan mukokutan, yang mungkin tidak terdeteksi sampai penderita terpapar oleh stres akibat cedera, pembedahan, atau pemberian obat antitrombosit.



Hemofilia (defisiensi faktor VIII) dan hemofilia B (defisiensi faktor IX) diwariskan recesshte. Perempuan dari keluarga penderita hemofilia umumnya adalah pembawa (carier) yang asimptomatik. Namun, 10 - 20 "/o perempuan pembawa dapat berisiko terhadap komplikasi perdarahan yang bermakna karena penurunan faktor VIII atau IX di bawah jumlah minimal untuk mempertahankan keseimbangan hemostatik. Terdapat dua keadaan yang dapat disebabkan rendahnya kadar faktor VIII dalam kehamilan. Yang pertama adalah vWD tipe 2N (Normandy), yang terdiri atas mutasi missense tertentu yang menginaktivasi tempat pengikatan faktor VIII pada faktor von \Willebrand. Fungsi trombosit dan pola multimer normal, tetapi perbandingan F VIII: C rendah, kurang dari 10 Yo yang menyebabkan pasien menyerupai penderita hemofilia ringan. Yang kedua, sindrom Turner (disgenesis gonadal) yaitu kariotipe 45,X tampak pada 50 7o kasus, akan menyebabkan infertilitas. Sekitar 25 "/" dari individu penderita mungkin mempunyai mosaicism 46 xx/45,X dan 25 "/o lainnya 45,DD dengan struktur kromosom X yang abnormalso. Sejumlah kecil penderita mungkin mempunyai cukup folikel-folikel untuk hamil dan jika mereka merupakan anggota keluarga dengan hemofilia A, mereka dapat mengalami defisiensi faktor yang berat.



Hemofilia secara



A



X-linked



Defisiensi Faktor



XI



Defisiensi faktor XI merupakan kelainan genetik yang banyak dijumpai pada populasi Yahudi Ashkenazi, dengan frekuensi heterozitik sekitar 8 %31. Frekuensinya di kalangan non-Yahudi Ashkenazi tidak diketahui. Pola pewarisannya adalah autosomal. Individu homozigot akan mengalami defisiensi berat, sedangkan individu heterozigot akan me-



KEIAINAN HEMATOLOGIK



782



ngalami defisiensi parsial. Kadar fakror XI plasma normal adalahTO - 150 IUldl. Individu homozigot umumnya mempunyai kadar faktor XI kurang dari 15 IU/dl, sedangkan heterozigot antara



1.5



-



70 IIJ/d132.



Kelainan Didapat Trombositopenia Penurunan hitung trombosit relatif sering dijumpai pada kehamilan, yaitu terjadi pada sekitar 10 % ibu hamilso. Sebagian besar penurunan trombosit bersifat ringan dan tidak menyebabkan konsekuensi klinik apa pun karena merupakan bagian dari trombositopenia gestasional. Jika tidak terdapat defek hemostatik lain, hitung trombosit sampai 70.000 per pl masih dapat ditoleransi baik selama kehamilan. Di bawah nilai ini, risiko perdarahan akan meningkat. Suatu studi mendapatkan bahwa dari 1,5.471, kehamilan, 1,.027 di antaranya mengalami trombositopenia yang terdiri atas 74 "h trombositopenia gestasional, 21 "/o kelainan hipertensif pada kehamilan, 4 Yo kelainan imun dalam kehamilan seperti purpura trombositopenik imun (ITP), dan 2 7o sisanya merupakan berbagai kelainan yang jarang di.jumpai, termasuk perlemakan hati akut pada kehamilan, sindrom HELLP, koagulasi intravaskular diseminata (DIC), dan purpura



trombositopenik tromborik (TTP)s1. T romb o sit op



enia



G



estasional



Jika semua penyebab trombositopenia yang serius telah disingkirkan, maka terdapat 6 "h sampai 7 % kehamilan yang terkait dengan penurunan hitung trombosit di bawah normal (70.000 sampai 150.000 per pl) pada trimester kedua atau ketiga52. Pada sebagian besar kasus, hitung trombosit antara 1OO.O0O - 15O.OOO per pl tidak menyebabkan konsekuensi apa pun. Etiologi trombositopenia gestasional adalah efek kehamilan pada klirens trombosit atau hemodilusis3. Oleh karena itu, rentang nilai normal trombosit pada ibu hamil lebih rendah dibandingkan nilai normal dewasa. Pembagian rentang nilai trombositopenia adalah sebagai berikut.



o Ringan: 70.000 -



.



149.000/p,l



- 69.000/pi 30.000/pl



Sedang: 30.000



e Berar:
13.2 g/dL. Br J Obstet Gynaecol 2OO7; 114: 684-8 20. Landon MJ, Eyre DH, Hytten FE. Transfer of folate to the fetus. Br J. Obstet Gynaecol 1975; 82: 12-9 21. Pritchard JA, Scott DE, \flhalley PJ. Infants of mothers with megaloblastic anemia due to folate deficiency.



JAMA 1970;



21,1: 1982-4



22. Streiff RR, Little AB. Folic acid defieciency in pregnancy. N Engl J Med 1967;276:776-9 23. Babior BM. The megaloblastic alemia. In: Beutler E, Coller BS, Lichtman MA, Kipps TJ, Seligsohn U (eds). \ililliams Haematology, 6'h Ed. New York: McGraw-Hill, 2OO1r 425-8



KI,I-\INAN HEMATOLOGIK



795



24. Herberr V. Experimental nutritional folate defieciency in man. Trans Assoc Am Physicians 7962;



75'.



307-20



25. Hoffbrand AV, Newcombe BFA, Mollin DL. Method of assay of red cell follate activity and the value of the assay as a test for folate deficiency. J Clin Pathol 1966;19: 17-28 26. Shoiania AM. Folic acid and vitamin 812 deficiency in pregnancy and in the neonatal period. CIin Perinatol 7984; 1l: 433-59 27. Krke PN, Daly LE, Elwood JH. A randomised trial of low dose folic acid to prevenr neural tube defects. Arch Dis Child 1992; 67: 1442-6 28. Van der Put NM, Gabreeks F, Stevens EM, et al. A second common mutation in the methylenetetrahydrofolate reductase game: an additional risk factor for neural-tube defects. Am J Hum Genet 1998; 62t 1044-51 29. Rosenberg IH. Folic acid and neural tube defects - time for action. N. Engl J Med 1,992;327: 1875-7 30. Schwarz RH, Johnston RB Jr. Folic acid supplementation - when and how Obstet Gynecol 1996; 88: 886-7



31. Aitchison RG, Marsch JC, Hows JM, Russel NH, Gordon-Smith EC. Pregnancy associated aplastic anemia: a report of 5 cases and review of current managemenr. Br J Haematol 1989 73: 541-5 32. Pajor A, Kelemen E, Szakics Z, Lechoczky D. Pregnancy in idiopathic aplastic anen.ria (report of 10 patients). Eur J Obster Gynecol Reprod Biol 1992;45: 19-25 33. Bourantas K, Makrydimas G, Georgiou I, Repousis P, Lolis D. Aplastic anemia: report of a case with recurrent episodes in consecutive pregnancies. J Reprod Med 1997;42 672-4 34. McCurdy PR. Abnormal haemoglobin and pregnancy. Am J Obstet Gynecol 7964;90: 897-6 35. Serieant GR. Sickle haemoglobin and pregnancy. BMJ i983; 287 628-30 36. Anderson M, W'ent LN, Maclver JE, Dixon HG. Sickle cell disease in pregnancy. Lancet 1960; 2: 516-21 37. Powars DR, Sandhu M, Niland-Veiss J, Johnson C, Bruce S, Manning PR. Pregnancy in sickle cell disease. Obstet Gynecol 7986; 67: 217-28 38. Anderson MF. The foetal risks in sickle cell anaemia. West Indian Medl 1971.;2:288-5 39. El-Shafei AM, Dhaliwal JK, Sandhu AK. Pregnancy in sickle cell disease in Bahrain. Br J Obstet Gynaecol 7992; 99l. 701-4 40. Dare FO, Makinde OO, Faasuba OB. The obstetric performances of sickle cell disease patients and homozygous haemoglobin C disease patients Ile-Ife, Nigeria. IntJ Gynecol Obstet 1992; 37:1.63-8 41. Idrisa A, Omigbodun AO, Adeleye JA. Pregnancy in haemoglobin sickle ce.ll patients at the University College Hospital, Ibadan. Int J Gynecol Obstet 1992; 38: 83-6 42. Charache S, Scott J, Niebyl J, Bonds D. Management of sickle cell disease in pregnant patients. Obstet Gynecol 1980; 55: 407-10 43. Koshy M, Burd L. Management of pregnancy in sickle cell syndromes. Hematol Oncol Clin North Am 1991; 5: 585-96 44. Morrison JC, Foster H. Transfusion therapy in pregnant patients with sickle cell disease: A National Institutes of Health consensus development conference, Ann Intern Med '1979;9'l. 122-3 45. Morrison JC, Schneider JM, \fhybrew W'D, Bucovaz ET, Menzel DM. Prophylactic transfusion in pregnant patients with sickle haemoglobinopaties: Benefir versus risk. Obstet Gynecol 1980;56: 274-80 46. Cunningham FG, Pritchard JA, Mason R. Pregnance and sickle cell hemoglobinopaties: resuhs with and wirhout prophylactic transfusions. Obstet Gynecol 1983;62: +19-z+ 47. S7alker ID, \Walker JJ, Colvin BT, Letsky EA, fuvers R, Stevens R. Investigation and management of haemorrhagic disorders in pregnancy. Haemostasis and Thrombosis Task Force. J Clin Pathol 7994;47: 1



00-8



DL, Kadir RA, Lee CA. Inherited bleeding disorders in obstetrics and gynecology. Br J Obstet Gynaecol 1.999; lo6:5-13 49. Sadler JE. A revised classification of von Villebrand disease. Thromb Haemost 1994;71 520-5 50. McCrae KR. Thrombocytopenia in pregnancy: differential diagnosis, pathogenesis, and management. Blood Rev 2003;77:7-14 51. Burrows RF, Kelton JG. Fetal thrombocytopenia and its relationship to maternal thrombocytopenia. 48" Economides



N



Engl J Med 1993; 329: 1463-6



K.ELAINAN HEMATOLOGIK



796



52. Shehata N, Burrows R, Kelton JG. Gestational thrombocytopenia. Clin Obstet Gynecol 1999: 42: 327-34 53. McCrae, Samuels P, Schreiber AD. Pregnancy-associated thrombocyopenia: pathogenesis and managemenr. Blood t992; 80: 2697-71.4 54. Lescale KB, Eddlemann KA, Cines DB, Samuels P, Lesser ML, McFarland JG, et al. Antiplatelet antibody resring in thrombocytopenic pregnant women. Am J Obstet Gynecol 7996; 174: 1.014-8 55. Chong BH, Keng TB. Advances in the diagnosis of idiopathic thrombocytopenic purpura. Semin Hematol 20A0; 37: 249-60 56. Webert KE, Mittal R, Sigouin C, Heddel NM, Kelton JG. A retrospective 11-year analysis of obstetric patients with idiopathic thron.rbocytopenic purpura. Blood Rev 2003; 102: $a6-11 57. Kelton JG. Idiopathic thrombocytopenic purpura complicating pregnancy. Blood Rev 2A02; 16: 43-6 58. Gill KK, Kelton JG. Management of idiopathic thrombocytopenic purpura in pregnancy. Semin Hematol 2000 37: 275-8J 59. Beilin Y,ZahnJ, Comerford M. Safe epidural analgesia in thirty parturients with platelet counts between 69,000 and 98,000 mm (-3). Anesth Analg 1997;85: 385-8 60. Kam PC, Thompson SA, Liew AC. Thrombocytopenia in the parturient. Anaesthesia 2004;59: 255-64 61. George JN, Voolf SH, Raskob GE, Vasser JS, Aledort LM, Ballem PJ, et al. Idiopathic thrombocytopenic purpura: a practice guideline developed by explicit methods for the American Society of Haematology. Blood Rev 1996; 88: 3-40 62. ACOG Committee of Practice Bulletins. ACOG practice bulletin: thrombocytopenia in pregnancy. Int J Gynaecol Obstet 1999; 67:117-22 63. British Committee for Standards in Haematology General Haematology Task Force. Guidelines for the investigation and management of idiopathic thrombocytopenic purpura in adults, children and in pregnacy. Br J Haematol 2003;120: 574-96 64. Clark AL, Gall SA. Clinical uses of intravenous immunoglobulin in pregnancy. Am J Obstet Gynecol 1997; 176: 241,-53 65. Hohlfeld P, Forestier F, Kaplan C, Tissot JD, Daffos F. Fetal thrombocytopenia: a retrospective survey



of 5,194 fetal blood samplings. Blood i994; 84: 1851-6 66. Sibai BM. The HELLP syndrome (hemolysis, elevated liver enzyme, and



low platelets): Much a do about nothing? Am J Obstet Gynecol l99Q;162:311-6 67. BacqY. Acute fatty liver of pregnancy. Semin Perinatol 1998;22: 134-40 68. Rolfes DB, Ishak KG. Acute fatty liver of pregnancy: a clinicopathologic study of 35 cases. Hepatology 1985; 5: 1149-58 69. Letsky EA. Disseminated intravascular coagulation. Best Pract Res Clin Obstet Gynaecol 2001; 15: 623-44



Poort SR, Rosendaal FR, Reitsma PH, Bertina RM. Common genetic variation in the 3'-untranslated region of the prothrombin gene is associated with elevated plasma prothrombin levels and an increase in venous thrombosis. Blood Rev 1995; 88: 3698-703 71. Valker ID. Thrombophilia in pregnancy. J Clin Pathol 2000; 53: 573-80 72. Kupferrninc MJ, Elder A, Steinman N, Many A, Bar-Am A, Jaffa A. Increased frequency of genetic thrombophilia in women with complications of pregnancy. N Engl J Med 1999; 340: 9-13



7C.



73. Greer IA. Thrombosis in pregnancy. Thrombosis in pregnancy: maternal and fetal issues. Lancet 1999; 353:1258-65 74. Ginsberg JS. Brill-Eswards P, Burrows RF, Bona R, Prandoni P, Biiller HR, et al. Venous thron-rbosis during pregnancy: Leg and trimester of presentation. Thromb Haemost 1992;67:519-20 25. Macklon NS, Greer IA, Bowrnan A\[. An ultrasound study of gestational and postural changes in the deep venous system of the leg in pregnancy. Br J Obstet Gynaecol 1887; 1.04: 191-7 76. Cltk P, Brennand J, Conkie JA, McCall F, Greer IA, \Walker ID. Activated protein C sensitivity, protein C, protein S and coagulation in normal pregnancy. Thromb Haemost 1998;79: '1166-70 77. Friend JR, Kakkar W. The diagnosis of deep venous thrombosis in the puerperium. J Obstet Gynaecol.



Br Commonw 1,970;77: 820-3 78. Macklon NS, Greer IA. Venous thromboembolic disease in obstetrics and gynaecology. The Scottish experience. Scott Med I 1996;47:83-6



KEIAINAN HEMATOLOGIK



797



79. Ginsberg JS, Hirsh J, Rainbow AJ, Goates G. Risks to the fetus of radiologic procedures used in the diagnosis of maternal venous thromboembolic disease. Thromb Haemost 1989;6"1: '189-96 80. Pabinger I, Grafenhofer H, Kaider A, Kyrle PA, Quehenberger P, Manhalter C, et al. Risk of pregnancy-associated recurrent venous thromboembolism in women with a history of venous



thrombosis. J Thromb Haemost 2005,3:949-54



T. Different incidence of venous thrombosis in patients with inherited deficiencies of anthrombin III, protein C, and protein S. Thromb Haemost 1,994;71,: 15-8 82. Conard J, Horellou MH, van Dreden P, LEcompre T, Samama M. Thrombosis and pregnancy in congenital deficiencies in AT III, protein C or protein S: study of 78 women. Thromb Haemost 1990; 87. Finazzi G, Barbui



63: 319-2Q 83. DeStefano V, Leone G. Mastrangelo S, Tripodi A, Rodeghiero F, Castaman G. Clinical manifestations and management of inherited thronibophilia: restrospective analysis and {ollow-up after diagnosis of 238 patients with congenital deficiency of antithrombin III, protein C, protein S. Thromb Haemost 1994;72: 152-8 84. Friederich PW, Sanso BJ, Simioni P,Zanardi S, Huisman MV, Kindt I, et al. Frequency of pregnancyrelated venous thromboembolism in anticoagulant {actor-deficient women: implications for prophylaxis. Ann Intern Med 1996; 125:955-60. Erratum in: Ann Intern Med 1997; 1.27: 1138. Ann Intern Med 1.997;1,26: 835 85. Hallak M, Senderowicz J, Cassel A, Shapira C, Aghai E, Auslender R, et al. Activated protein C resistance (factor V Leiden) associated with thrombosis in pregnancy. Am J Obstet Gynecol 7997; 1,761 889-93



86. Bokarewa ML, Bremme K, Blomback M. Arg506-Gln mutation in factor V and risk of thrornbosis dur.ing pregnancy. Br J Haematol 7996;92: 473-8 87. McCol.l MD, \Talker ID, Greer IA. A mutation in the prothrombin gene contributing to venous thrombosis during pregnancy. Br J Obstet Gynaecol 1998; 705: 923-5 88. Martinelli I, Sacchi E, Landi G, Taioli E, Duca F, Mannucci PM. High risk of cerebral-vein thrombosis in carriers of a prothrombin-gene mutation and in users of oral contraceptives" N Engl J Med i998; 338: 7793-7 89. Frosst P, Blom HJ, Milos R, et al. A candidate genetic risk factor for vascular disease: A common mutation in methylenetetrahydrofolate reductase. Nat Genet 1995; 10: 111-3 90. den Heijer M, Koster T, Blom HJ, Bos GM, Briet E, Reitsma PH, et al. Hyperphomocysteinemia as a risk factor for deep-vein thrombosis. N Engl J Med 1996; 334:759-62 91. Bates SM, Greer IA, Hirsh J, Ginsberg JS. Use of antithrombotic agents during pregnancy: The seventh ACCP Conference on Anti-rhrombotic and Thrombolytic Therapy. Chest 2004; 126 (3 suppl): 627s-44s 92. Herenberg J, Schneider D, Heilmann L, Volf H. Lack of anti-factor Xa activity in umbilical cord vein samples after subcutaneous administration of heparin or low molecular mass heparin in pregnant women. Haemostasis 1993; 23: 3'14-20 93. Ginsberg JS, Greer I, Hirsh J. Use of antithrombotic agents during pregnancy. Chest 2001; 119: 1



22S-3



1



S



94. Dahlman TC. Osteoporotic fractures and the recurrence of thromboerrbolism during pregnancy and the puerperium in i84 women undergoing thrombophylaxis with heparin. Am J Obstet Gynecol 1993; 168: 1265-74 95. Douketis JD, Ginsberg JS, Burrows RF, Duku EK, lWebber CE, Brill-Edwards P. The effects of long-term heparin therapy during pregnancy on bone density: A prospecdve matched cohort study. Thromb Haemost 1996; 75: 254-7 96. Muir JM, Hirsh J; Weitz JI, Andrew M, Young E, Shaughnessy SG. A histomorphometric comparison of the effects of heparin and low-molecular-weight heparin on cancellous bone in rats. Blood Rev 19971 89:3236-42 97. Petti.ln V, Leinonen P, Markkola A, Hiilesmaa V, Kaaia R. Postpartun.r bone mineral density in women treated for thromboprophylaxis with unfractionated heparin or LMW heparin. Thromb Haemost 2002; 87: 182-6



798



K-ELAINAN HEMATOLOGIK



N, Lee J, \(ells PS. fusk for heparin-induced thrombocytopenia with unfractionated and low-molecular-weight heparin thromboprophylaxis: a meta-analysis. Blood Rev 2OO5; 106:271,0-5 99. lVarkentin TE, Levine MN, Hirsh J, Horsewood P, Roberts RS, Genr M, et al. Heparin-induced thrombocytopenia in patients treated with low-molecular-weight heparin or unfractionated heparin. N Engl J Med 1995;332: 1330-5 98. Martel



100. Fausett MB, Vogtlander M, Lee RM, Esplin MS, Branch DV, Rodgers GM, et al. Heparin-induced thrombocytopenia is rare in pregnancy. Am J Obstet Gynecol 2001,;1,85: 1,48-52 101. Sanson BJ, Lensing A\W, Prins MH, GinsbergJS, Barkagan ZS, Lavenne-Pardonge E, et al. Safety of low-molecular-weight heparin in pregnancy: A systen.ratic review. Thromb Haemost 1999;81: 668-72 102. Greer IA, Nelson-Piercy C. Low-molecular-weight heparins for thromboprphylaxis and treatment of venous thromboembolism in pregnancy: A systematic review of safery and efficacy. Blood Rev 2005; 106: 401-7 103. Bank I, Libourel EJ, Middeldorp S, Van Der Meer J, Biiller HR. High rate of skin complications due to low-molecular-weight heparins in pregnant wornen. J Thromb Haemost 2OO3; 1: 859-61 104. Varkentin TE. Heparin-induced thrombgcytopenia: Pathogenesis and management. Br J Haematol 20A3;121: 535-55 105. Myers B, \Westby J, Strong J. Prophylactic use of danaparoid in high-risk pregnancy with heparin-induced thrornbocytopaenia-positive skin reaction. Blood Coagul Fibrinolysis 2OA3;1-4: 485-7 106. Eldor A. Management of thrombophilia and antiphospholipid syndrome during pregnancy. In: Kitchens CS, Alving BM, Kessler CM. Consultative Hemostasis and Thrombosis. Philadelphia: VB Saunders



Company, 2aa2;449-60 107. Anderson DR, Ginsberg JS, Burrows R, Brill-Edwards P. Subcutaneous heparin therapy during pregnancy: A need for concern ar rhe tinre of delivery. Thromb Haemost 1991,; 65: 248-50 108. Maslovitz S, Many A, LandsbergJA, Varon D, LessingJB, Kupferminc MJ. The safety of low molecular weight heparin therapy during labor. J Matern Fetal Neonatal Med 2005; 1,7: 39-43 109 McNeil HP, Chesterman CN, Krilis S. Immunology and clinical importance of antiphospholipid anribodies. Adv Immunol 1991; 49: 1,93-280 110. Branch DW. Antiphospolipid antibodies and fetal compromise. Thromb Res 2004; 114:415-8 111. Lockshin MD. Pregnancy loss in the antiphospholipid syndrome. Thromb Haemost 1999;82: 641-8 112. McNeil HP, Sirnpson RJ, Chesterman CN, Krilis SA. Anti-phospholipid antibodies are directed against



a



complex antigen that induces a lipid-binding inhibitor of coagulation: beta 2-glycoprotein I (apolipoprotein H). Proc Nad Acad Sci USA 1,99a;87: 41,20-4 113. Bevers EM, Galli M, Barbui T, Comfurius P,ZwaaI RF. Lupus anticoagulant IgGt (LA) are not directed to phospholipid only, but to a complex of lipid-bound human prothrombin. Thromb Haemost 1991; 66: 629-32 114. Giannakopoulos B, Passam F, Rahgozar S,



Krilis SA. Current concepts on the pathogenesis of the antiphospholipid syndrome. Blood Rev 2007;'109 422-30 115. Lockshin MD. Update on antiphospholipid syndrome. Bull NYU HospJoint Dis 2006; 64:57-9 116. Kutteh \WH. Antiphospholipid antibodies and reproduction. J Reprod Immunol 1,997;35: 1,51-71 117. \Wilson \VA, Gharavi AE, Koike T, Lockshin MD, Branch D\(, Piene JC, et al. International consensus statement on prelirninary classification criteria for definite antiphospholipid syndrome. Report of an international workshop. Arthritis Rheum 1999; 42: 1309-1,1 1 18. Galli M, Luciani D, Bertolini G, BArbui T. Lupus anticoagulants are stronger risk factors for thrombosis than anticardiolipin antibodies in the antiphospholipid syndrome. A systematic review of the literature. Blood Rev 20A3; fi7: 1827-32 119. Stone S, Hunt BJ, Khamashta MA, Bewley SJ, Nelson-Piercy C. Primary antiphospholipid syndrome in pregnancy: An analysis of outcomes in a cohort of 33 women treated with a rigorous protocol. N Thromb Haemst 2005; 3: 243-5 120. Miyakis S, Lockshin MD, Atsumi T, Branch D\V, Brey RL, Cervera R, et al. International consensus slatement on an update of the classification criteria for definite antiphospholipid syndrome. J Thromb Haemost 2006: 4: 295-306



KEIAINAN HEMATOLOGIK



121. Brandt JT,



799



Triplett DA, Alving B, Sharrer I. Criteria for the diagnosis of lupus anticoagulants: an update.



On behalf of the Subcomn-rittee on Lupus Anticoagulant/Antiphospholipid Antibody of the Scientific and Standardization Committee of the ISTH. Thromb Haemost 1995;74: 1185-90 122. Wong RC, Gillis D, Adelstein S, Baumgart K, Favaloro EJ, Hendle MJ, et al. Consensus guidelines on anti-cardiolipin antibody testing and reporting. Pathology 2004;36: 63-8 123. Reber G, Tincani A, Sanmarco M, de Moerloose P, Boffa MC. Proposals for the measurement of antibeta2-glycoprotein I antibodies. Standardization group of the European Forum on Antiphospholipid Antibodies. J Thromb Haemost 2Q04;2: 1860-2 124. Rand JH. The antiphospholipid syndrome. Hematology 2a07; 136-41 125. Dunnihoo DR, Gallaspy JSil, \flise RB, Otterson \XN. Postpartum ovarian vein thrombophlebitis: A review. Obstet Gynecol Surv 1991; 46: 41,5-27 126. Salomon O, Apter S, Shaham D, Hiller N, Bar-Ziv J, itzchak Y, et al. Risk factors associated with postpartum ovarian vein thrombosis. Thromb Haemost '1999;82: 1015-9 127. Twickler DM, Setiawan AT, Evans RS, Erdman \(A, Stettler RSfl, Brown CE, et al. Imaging of puerperal septic thrombophlebitis: Prospective comparison of MR imaging, CT, and sonography. Am J Rontgenol 1,997; 1,69: 1039-43 128. Lima F, Khamashta MA, Buchanan NM, Kerslake S, Hunt BJ, Hughes GR, et al. A study of sixty pregnancies in patients with the antiphospholipid syndrome. Clin Exp Rheumatol 1996; 14t 131-6 129. Grandone E, Margaglione M, Colaizzo D, Cappucci G, Paladini D, Martinelli P, et al. Factor V Leiden, CT MTHFR polymorphism and genetic susceptibility to pre-eclampsia. Thromb Haemost 1997;77: 1052-4 130. Dizon-Townson DS, Meline L, Nelson LM, Varner M, \7ard K. Fetal carriers of the factor V Leiden mutation are prone to miscarriage and placenral infarction. Am J Obstet Gynecol 1.997; 177: 402-5 131. Brenner B, Sarig G, Weiner Z, Younis J, Blumenfeld Z,Lanir N. Thrombophilic polymorphisms are common in women with fetal loss without apparent cause. Thromb Haemost 1999;82 6-9 132. Preston FE, Rosendaal FR, Walker ID, BriEt E, Berntorp E, Conard J, et al. Increased fetal loss in



women with heritable thrombophilia. Lancet 1996;348 9'13-6 133. Rey E, Khan SR, David M, Shrier I. Thrombophilic disorders and fetal loss: a meta-analysis. Lancer 2003; 361: 901-8 134. Ku.iovich Jl, Alving BM. Management of trombophilia and antiphospholipid syndrome during



pregnancy.



In: Kitchens CS, Alving BM,



Kessler



CM. Consultative Hemostatis and Thrombosis.



Philadelphia: Saunders, 2007 ; 593 -609 135. Gris J-C, Perneger TV, QuirB I, Mercier E, Fabbro-Peray P, Lavigne-Lissalde G, et al. Antiphospholipid/antiprotein antibodies, hemostasis-related autoantibodies, and plasma homocysteine as risk factors {or a first early pregnancy loss: a matched case-control srudy. Blood Rev 2003; 102: 3504-13



52



PENYAKIT SALURAN PERNAPASAN Najoan Nan'$/arouw



Twjwan Instrwksional Umum Memahami patofisiologi dan manajemen penyakit traktus respirasi pada masa kebamilan, nifus, serta pencegahan penularan pada neonatus.



Tuj uan Instrwk sional Kbusws



1. 2.



3. 4.



Menjelaskan perubaban fisiologib saluran pernapasdn pada kehamilan. Menjelaskan patofisiologi penyakit saluran napas dan pengaruhnya terhadap kehamikn atauPun p engarwh kebamilan terbadap p erj alanan p enyak it. Marnpw mendiagnosis dan melakukan petnerihsaan penunjang pada penyakit saluran napas. Menjelaskan perau)atan antenatal, penanganan persalinan, perawatan nifus, dan pencegahan penularan pada neonatus dari ibu dengan perryakit saluran Pemapasan.



Seiring dengan meningkatnya penyakit saluran pernapasan di masyarakat, kita akan mendapati lebih banyak pasien hamil dengan penyakit saluran pernapasan daripada sebelumnya. Pada kehamilan terjadi perubahan fungsi dan anatomi tubuh termasuk saluran pernapasan" Juga terjadi perbedaan patofisiologi penyakit pada saluran pernapasan selama kehamilan. Perawatan pasien dengan penyakit saluran pernapasan sebaiknya dilakukan bersama dengan dokter spesialis penyakit dalam. Acuan penanganan penyakit saluran pernapasan, termasuk asma dan tuberkulosis, sering berubah seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Infeksi HIV mengubah epidemiologi tuberkulosis dengan cepat di seluruh dunia. Juga berbagai hasil penelitian yang berbeda seringkali membingungkan kita dalam memberikan terapi



PENYAKIT SALURAN PERNAPASAN



801



dan melakukan pemeriksaan ataupun tindakan obstetrik yang sebenarnya tidak diperlukan. Untuk mendapatkan hasil yang optimal perlu dipahami penyakit saluran pernapasan dan pengaruhnya terhadap kehamilan serta penatalaksanaannya berdasarkan evidence based selama kehamilan, persalinan, dan nifas.



Fisiologi Respirasi dalam Kehamilan Pada kehamilan terjadi perubahan fungsi dan fisiologi paru sebagai adaptasi terhadap kebutuhan oksigen yang meningkat dan perubahan anatomik.



Perwbaban anatomik



o Tinggi diafragma naik sekitar 4 cm o Diameter transversal dada meningkat sekitar 2 cm



. .



Sudut subkosta meningkat 35" Perubahan hormonal mempengaruhi saluran pernapasan atas dan mukosa saluran napas, menyebabkan hiperemia, edema mukosa, hipersekresi, dan peningkatan sensitivitas mukosa.



Perubaban fisiologi pernap asan



r . . o o



. .



Kapasitas vital: meningkat 100 - 200 ml. Kapasitas inspirasi: meningkat sekitar 300 mi pada akhir kehamilan Volume cadangan ekspirasi: dari 1.300 ml menurun men.jadi 1.100 ml Volume residu: dari 1.500 ml menurun menjadi 1.200 ml Kapasitas residu fungsional: jumlah volume cadangan ekspirasi * volume residu me-



nurun sekitar 500 ml Volume tidal: dari 500 ml meningkat menjadi 700 ml Ventilasi per menit meningkat 40'h dari7,5 l/meni menjadi 10,5 l/menit, karena peningkatan volume tidal, respirasi rate ter.ap.



Perubahan ini terjadi karena peningkatan penggunaan oksigen basal, terutama pada paruh akhir kehamilan menjadi sekitar 20 - 40 ml/menit, POz arteri sedikit menurun kira-kira menjadi 28 mmHg, pH plasma 7,45; bikarbonat menurun menjadi sekitar 20 mEq/lr. Infeksi saluran pernapasan terbagi atas infeksi saluran pernapasan atas dan infeksi saluran pernapasan bawah.



Infeksi Saluran Pernapasan Atas Antara lain rinitis, sinusitis, faringitis, dan trakhea-laringitis. Organisme penyebab adalah



virus rinovirus, influenz4 parainfluenza, dan lain-lain, dan bakteri sepeni streptokokus



802



PENYAKTT SALURAN PERNAPASAN



o o N



t



o o



l!



N (.}



IE



t!



o o



N



(.?



G



o



F



o



o



:oo



L G



:(!o



G



o.



o.



o



J



a



j



t! e o



G



o.



x TIDAK HAMIL Gambar



f f penarixan diagf?agma ke atas,'[r ,fr HAMIL CUKUP BULAN



62-7. Diagram volume dan kapasitas parut



(Dikuttp dari: \Yilliams Obstetrics



22"d ed.)



pneumonia, hemofilus influenza, streptokokus B hemolitikus, stafilokokus aureus, dan lainJain, Gejala yang umum yaitu kongesti nasal, lendir, nyeri tenggorokan, batuk kering atau produktif, sakit kepala, dan demam ringan. Peningkatan vaskularitas membran mukosa mengakibatkan sekresi mukus yang lebih banyak pada kehamilan dan sering memicu infeksi hidung dan tenggorokan. Tidak ada dampak serius infeksi saluran pemapasan atas terhadap kehamilan dan terapinya biasanya bersifat simptomatik dengan antibiotika yang sama dengan perempuan tidak hamill,2.



Infeksi Saluran Pernapasan Bawah Infeksi saluran pernapasan bawah dibagi aas infeksi akut (bronkitis, pneumonia) dan infeksi kronis (tuberkulosis).



Bronkitis Akwt Infeksi virus atau bakteri pada percabangan trakheobronkial tanpa melibatkan alveoli. Biasanya disebabkan oleh virus, tetapi dapat juga disebabkan oleh bakteri seperti strep-



PENYAKIT SALURAN PERNAPASAN



803



tokokus dan hemofilus. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya batuk produktif tanpa disertai demam, dapat ditemukan gejala pada saluran pernapasan atas. Penderita harus istirahat baring, minum banyak, dan diberi obat bronkodilator. Bila ada dugaan infeksi bakteri, terapi pilihan adalah amoksisilin dan eritromisin. Lakukan pengambilan sputum untuk kultur dan tes kepekaan kuman, kemudian diberi antibiotika yang lebih tepat bila perlu1,2,



Pneumonia



Merupakan infeksi atau inflamasi saluran pernapasan bawah yang melibatkan alveolus dan bronkiolus. Serangan asma dan pneumonia merupakan 10 % penyebab perawatan antepartum nonobstetrik di rumah sakit, dan merupakan penyebab kematian nonobstetrik terbesar setelah penyakit jantung. Pneumonia dalam kehamilan dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, parasit, atau aspirasi kimiawi. Kehamilan bukan merupakan faktor predisposisi terjadinya pneumonial-3.



.



Pneumonia Bakterial Bakteri penyebab infeksi tersering ialah Streptococcus pneumoniae yang iuga merupakan bagian dari flora normal. Namun, bila terdapat penurunan fagositik mukosa, kolonisasi bakteri dapat terjadi. Infeksi bakteri dapat juga merupakan infeksi sekunder setelah infeksi virus. Predisposisi asma, alkohol, merokok, infeksi HIV1-3.



-



Diagnosis Gejala



klinik batuk (90 %), dispnea (65 %), sputum (65 %), dan nyeri dada pleu-



ritik (50 "/,).Dapat timbul gejala ringan infeksi saluran napas atas, malaise, dan leukositosis ringan. Ibu hamil yang dicurigai pneumonia harus melakukan pemeriksaan foto rontgen toraks untuk diagnosis, meskipun hal ini tidak dapat memprediksi etiologinya. Pemeriksaan serologik, kultur sputum, dan cold aglwtinin antigen tidak rutin dilakukanl-3.



-



Lwaran kebamilan



-



Penanganan



Pada tahun 1939, sebelum era penggunaan antibiotika, mortalitas ibu hamil dengan pneumonia sekitar 30 - 35 %. Sekarang telah mengalami perbaikan, tetapi kematian tetap tidak dapat dihindari. Tahun 2003 mortalitas maternal 0,8 % dan perinatal 2,2 "/o. Hampir 7 "/" ibu hamil dengan pneumonia memerlukan intubasi. Hal ini memperlihatkan perlunya diagnosis dini, penanganan yang efektif, dan pemantauan yang ketata.



Perawatan di rumah sakit diperlukan pada semua kasus kehamilan dengan pneumonia, kecuali bila perawatan di rumah dan pemantauan dapat dilakukan secara optimal. Antibiotika eritromisin intravena/per orai efektif untuk pneumonia tanpa komplikasi akibat pneumokokus, mikoplasma, dan klamidial-a.



804



PENYAKIT SALURAN PERNAPASAN



Tabel62-1..



Faktor yang meningkatkan risiko komplikasi nosokomial pneumonial



-



Adanya penyakit kronis lainnya Gejala klinik:



hiootensi



nrdi > tZS x/menit respirasi > 30 x/menit hipotermia febris 40 'i



(




50 "/" kehamilan. Kebanyakan perempuan



mampu mempertahankan kebutuhan cairan dan nutrisi dengan diet, dan simptom akan teratasi hingga akhir trirnester pertama. Penyebab penyakit ini masih belum diketahui secara pasti, tetapi diperkirakan erat hubungannya dengan endokrin, biokimiawi, dan psikologis.



Klasifikasi Secara



"



klinis, hiperemesis gravidarum dibedakan atas 3 tingkatan, yaitu:



Tingkat



I



Muntah yang tems-menerus, timbul intoleransi terhadap makanan dan minuman, berat-badan menurun, nyeri epigastrium, muntah pertama keluar makanan, lendir dan sedikit cairan empedu, dan yang terakhir keluar darah. Nadi meningkat sampai 100



KEI"\INAN GASTROINTESTINAL



816



kali per menit dan tekanan darah sistolik menurun. Mata cekung dan lidah kering, turgor kulit berkurang, dan urin sedikit terapi masih normal. Tingkat



II



Gejala lebih berat, segala yang dimakan dan diminum dimuntahkan, haus hebat, subfebril, nadi cepat dan lebih dari 100 - 140 kali per menit, rekanan darah sistolik kurang dari 80 mmHg, apatis, kulit pucat, lidah kotor, kadang ikterus, aseton, bilirubin dalam urin, dan berat badan cepat menurun.



Tingkat III Walaupun kondisi tingkat III sangat jarans, yang mulai terjadi adalah gangguan kesadaran (delirium-koma), muntah berkurang atau berhenti, tetapi dapat terjadi ikterus, sianosis, nistagmus, gangguan jantung, bilirubin, dan proteinuria dalam urin.



Diagnosis



o Amenore yang disertai muntah hebat, pekerjaan sehari-hari



.



.



terganggu.



Fungsi vital: nadi meningkat 100 kali per menit, tekanan darah menurun pada keadaan berat, subfebril dan gangguan kesadaran (apatis-koma). Fisik dehidrasi, kulit pucat, ikterus, sianosis, berat badan menurun, pada vaginal toucber uterus besar sesuai besarnya kehamilan, konsistensi lunak, pada pemeriksaan



. . .



inspekulo serviks berwarna biru (liaide). Pemeriksaan USG; untuk mengetahui kondisi kesehatan kehamilan juga untuk mengetahui kemungkinan adanya kehamilan kembar ataupun kehamilan molahidatidosa. I-aboratorium: kenaikan relatif hemoglobin dan hematokrit, sbifi to the left, benda keton, dan proteinuria. Pada keluhan hiperemesis yang berat dan berulang perlu dipikirkan untuk konsultasi psikologi.



Gejala Klinik



Mulai terjadi pada trimester pertama. Gejala klinik yang sering dijumpai adalah nausea, muntah, penunrnan berat badan, ptialism (salivasi yang berlebihan), tanda-tanda dehidrasi termasuk hipotensi postural dan takikardi. Pemeriksaan laboratorium dapat di-



jumpai hiponatremi, hipokalemia, dan peningkatan hematokrit. Hipertiroid dan LFT yang abnormal juga dapat dijumpai.



Risiko



c



Maternal Akibat defisiensi tiamin (B1) akan menyebabkan terjadinya diplopia, palsi nervus ke-6, nistagmus, ataksia, dan kejang. Jika hal ini tidak segera ditangani, akan terjadi psikosis Korsakoff (amnesia, menunrnnya kemampuan untuk beraktivitas), ataupun kematian. Oleh karena itu, untuk hiperemesis tingkat III perlu dipertimbangkan terminasi kehamilan.



K-EIAINAN GASTROINTESTINAL



.



817



Fetal Penurunan berat badan yang kronis akan meningkatkan kejadian gangguan pertumbuhan janin dalam rahim (IUGR).



Manajemen



. Untuk keluhan hiperemesis yang berat pasien dianjurkan untuk dirawat di rumah sakit dan membatasi pengunjung.



o Stop makanan per oral 24 - 48 jam. o Infus giukosa 1.0 1" atau 5 %: RL = 2:1,40 o Obat



-



tetes per menit.



Vitamin Br, Bz, dan 85 masing-masing 50 - 100 mg/hari/infus. Vitamin Bp 200 pglharilinfus, vitamin C 200 mg/harilinfus. Fenobarbital 30 mg LM. 2 - 3 kali per hari atau klorpromazin 25 - 50 mg/hari LM. atau kalau diperlukan diazepam 5 mg 2 - 3 kali per hari I.M. Antiemetik: prometazin (avopreg) 2 - 3 kali 25 mg per hari per oral atau proklorperazin (stemetil) 3 kali 3 mg per hari per oral atau mediamer 85 3 kali 1 per



hari per oral. - Antasida: asidrin 3 x 1 tablet per hari per oral atau milanta 3 x 1 tablet per hari per oral atau magnam 3 x 1 tablet per hari per orai. Diet sebaiknya meminta adois abli gizi - Diet hiperemesis I diberikan pada hiperemesis tingkat III. Makanan hanya berupa roti kering dan buah-buahan. Cairan tidak diberikan bersama makanan tetapi 1 2 jam sesudahnya. Makanan ini kurang mengandung zat gizi, kecuali vitamin C sehingga hanya diberikan selama beberapa hari. - Diet hiperemesis Ii diberikan bila rasa mual dan muntah berkurang. Secara berangsur mulai diberikan bahan makanan yang bernilai gizi tinggi. Minuman tidak diberikan bersama makanan. Makanan ini rendah dalam semua zat gizi, kecuali vitamin A dan D. - Diet hiperemesis III diberikan kepada penderita dengan hiperemesis ringan. Menurut kesanggupan penderita minuman boieh diberikan bersama makanan. Makanan ini cukup dalam semua zat gizi, kecuali kalsium. Rebidrasi dan swplemen oiumin Pilihan cairan adalah normal salin (NaCl 0,9 %). Cairan dekstrose tidak boleh diberikan karena tidak mengandung sodium yang cukup untuk mengoreksi hiponatremia. Suplemen potasium boleh diberikan secara intravena sebagai tambahan. Suplemen



tiamin diberikan secara oral 50 atau 150 mg atau 100 mg dilarutkan ke dalam 100 cc NaCl. Urin output juga harus dimonitor dan perlu dilakukan pemeriksaan dipstik



untuk mengetahui terjadinya ketonuria. Antiemesis



Tidak dijumpai adanya teratogenitas dengan menggunakan dopamin antagonis (metoklopramid, domperidon), fenotiazin (klorpromazin, proklolperazin), antiko-



KELAINAN GASTROINTESTINAL



818



linergik (disiklomin) atau antihistamin H1-reseptor antagonis (prometazin, siklizin). Namun, bila masih tetap tidak memberikan respons, dapat juga digunakan kombinasi kortikosteroid dengan reseptor antagonis 5-Hidroksrriptamin (5-HT3) (ondansetron, sisaprid).



Ulkus Peptikum6'7 Ulkus Peptikum ialah suatu keadaan adanya borok pada esofagus, lambung, atau duodenum. Insidensi ulkus peptikum pada kehamilan jarang dan t 90 % kasus ulkus pepdkum yang terjadi selama hamil adalah penyakit ulkus peptikum kronik yang mengalami eksaserbasi. Keadaan ini disebabkan oleh adanya peningkatan sekresi asam Iambung dan pepsin dan dijumpai adanya bakteri Helikobakter pilori.



Diagnosis



c



Gejala dan tanda klinik



.



Nyeri epigastrik yang dapat hilang dengan makanan ringan, antasida dan keluhan diperberat dengan minuman yang mengandung alkohol, kopi, atau aspirin.



-



Hematemesis dan melena dapat terjadi. Nyeri tekan pada daerah epigastrik. Penunjang laboratorium - Anemia



-



Deteksi adanya Helikobakter Pilori



o Endoskopi bila terjadi hematemesis kronik



dan berat.



Faktor Penyebab Sampai akhir abad ke-20 merokok, tipe golongan darah, konsumsi rempah-rempah, dan faktor-faktor lain diduga sebagai penyebab ulkus, sebenarnyahanya memegang peranan



yang relatif kecil dalam perkembangan terjadinya uikus peptikum. Faktor penyebab yang utama (60 % ulkus gaster dan 90 % ulkus duodenum) merupakan inflamasi kronik yang disebabkan oleh Helikobakter pilori, yang tampak seperti spiral, tetapi bukan berupa spirokaeta, - dibanding seperti basilus yang berkoloni pada bagian mukosa antral. Sistem imun tidak bisa membersihkan infeksi yang terjadi walaupun dengan adanya antibodi. Dengan demikian, bakteri tersebut dapat menyebabkan gastritis kronik yang aktif (gastritis tipe B) yang menyebabkan gangguan regulasi produksi gastrin oleh sebagian dari lambung, sekresi gastrin akan meningkat. Gastrin akan menstimulasi produksi asam lambung oleh sel-sel parietal. Asam lambung ini akan mengikis mukosa lambung sehingga menyebabkan ulkus. Penyebab utama yang lain adalah penggunaan NSAIDs. Mukosa lambung akan melindungi dirinya dari asam lambung dengan menggunakan lapisan mukus, sekresinya distimulasi oleh prostaglandin tertentu. NSAIDs memblokir fungsi siklooksigenase 1



K-EIAINAN GASTROINTESTNAL



819



(cox-1) yang penting untuk produksi prostaglandin. NSAIDs terbaru (selekoksib, rofekoksib) hanya menghambat cox-2, di mana kurang penting untuk mukosa lambung sehingga mengurangi risiko terjadinya ulkus peptikum yang disebabkan oleh NSAIDs. Glukokortikoid menyebabkan atropi seluruh sel epitel. Peranannya dalam ulserogenesis relatif kecii. Penanganan



o Diet o a



-



Jauhi makanan yang merangsang lambung. Pola makan yang teratur. Pemberian bismut pepto bismol (525 mg) 4 x/hari selama 2 minggu. Antasida



a



H2 antagonis - Ranitidin 150 mg 2 x/hari - Klimetidin 400 mg 2 x/hari - Famotidin 20 mg 2 x/hari Hati-hati diberikan pada trimester I kehamilan Antikolinergik



a



Sedatif



a



Inflammatory Bowel



+ metronidazol250 mg 3 x/hari



Diseases'e



Istilah Infkmmatory Bowel Disease (IBD) menggambarkan penyakit Crohn dan kolitis ulserativa. Penyakit Crohn adalah suatu penyakit kronik yang melibatkan usus besar. Kolitis ulserativa juga penyakit kronik yang melibatkan kolon dan rektum. Gejala klinik penyakit Crohn adalah nyeri abdominal, diare, dan mungkin terdapat anemia dan penumnan berat badan, melena, fistula, atau sepsis perianal. Sementara itu, gejala klinik kolitis ulserativa sering dijumpai diare dan aliran mukus dan darah pada rektum. Pemeriksaan tinja rutin perlu dilakukan untuk menyingkirkan adanya infeksi. Pemeriksaan darah rutin harus dilakukan untuk mencari anemia, ketidakseimbangan elektrolit, dan gangguan fungsi hati. Rasio sedimen eritrosit meningkat normal pada kehamilan, tetapi tidak dengan C-reaktif protein. Pada perempuan yang ddak mempunyai riwayat IBD, diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan imaging traktus gastrointestinal bagian atas dan bawah, kolonoskopi, dan biopsi. Risiko Maternal Perempuan yang telah menjalani ileostomi atau kolostomi biasanya dapat hamil dengan



baik. Komplikasi yang dapat terjadi berupa malabsorbsi lemak, fa*solwble vitamin, vitamin Bp, air, dan keseimbangan elektrolit. Metode persalinan tidak dipengaruhi oleh



820



KEIAINAN GASTROINTESTINAL



sesarea dapat dipertimbangkan pada perempuan hamil dengan gangguan kontinens anal yang pernah mengalami pembedahan perineal ekstensif.



IBD. Walaupun demikian, seksio



Risiko Fetal Penyakit IBD yang aktif pada masa konsepsi sering menimbulkan keguguran dan flares selama kehamilan yang menyebabkan berat badan lahir rendah dan prematuritas.



Manajemen Eksaserbasi akut IBD dapat diterapi dengan 5-aminosalisil asid (S-ASA) dan konikosteroid yang diberikan secara rektal kemudian dilanjutkan per oral jika terapi lokal tidak adekuar. Loperamid dapat digunakan untuk mengatasi diare. Metronidazol digunakan untuk mengatasi penyakit anal dan fistul. Perempuan hamil dengan IBD disarankan untuk meningkatkan asupan asam folat dosis tinggi (5 mg per hari).



Kolestasis Obstetriklo Kolestasis adalah berkurangnya atau terhentinya aliran empedu. Kolestasis obstetrik mempengaruhi sekitar 0,7 o/o kehamilan pada ras Kaukasia di Inggris dan sekitar 1,4 7o pada perempuan di Asia Tenggara. Dihubungkan dengan gangguan fungsi hati dan dengan morbiditas dan mortalitas maternal dan fetal, kolestasis obstetrik mempunyai etiologi yang kompleks, di mana genetik, lingkungan, dan faktor endokrin memegang peranan penting. Perempuan dengan kolestasis obstetrik diperkirakan mempunyai peningkatan sensitivitas terhadap peningkatan serum estrogen pada saat kehamilan, khususnya terjadi di trimester III di mana estrogen mencapai kadar puncaknya. Hal ini juga terjadi pada perempuan yang mendapat kontrasePsi oral dan estrogen eksogen.



Diagnosis Jaundice dan air kemih yang berwarna gelap merupakan akibat dari bilirubin yang berlebihan di dalam kulit dan air kemih. Tinja terkadang tampak pucat karena kurangnya bilirubin dalam usus. Tinja juga bisa mengandung terlalu banyak lemak (steatore),karena dalam usus tidak terdapat empedu untuk membantu mencerna lemak dalam makanan. Berkurangnya e-p.du dalim usus juga menyebabkan berkurangnya Penyerapan kalsium dan vitamirr D. Jika kolestasis menetap, kekurangan kalsium dan vitamin D akan menyebabkan pengeroposan tulang, yang menyebabkan rasa nyeri serta dapat mengalami patah tulang. J,rg, terjadi gangguan penyerapan dari bahan-bahan yang diperlukan untuk pembekuan darah sehingga penderita cenderung mudah mengalami perdarahan.



KELAINAN GASTROINTESTINAL



821



Terdapatnya empedu dalam sirkulasi darah bisa menyebabkan gatal-gatal (disenai penggarukan dan kerusakan kulit). Jaundice yang menetap lama sebagai akibat kolestasis, menyebabkan kulit berwarna gelap dan di dalam kulit terdapat endapan kuning karena lemak. Gejala lainnya bergantung pada penyebab kolestasis, bisa berupa nyeri perut, hilangnya nafsu makan, muntah, arau demam. Gejala klasiknya adalah pruritus pada seluruh tubuh tanpa adanya ruam. Gejala'lain yang dapat muncul adalah warna urin gelap, tinja pucat, atau jaundice walaupun hal ini jarang. Bila terjadi pruritus tanpa ruam disertai dengan peningkatan kadar enzim hati atau peningkatan asam empedu, maka harus di-



pertimbangkan diagnosis kolestasis obstetrik. Pengukuran kadar asam empedu merupakan uji yang sangat membantu pada diagnosis kolestasis obstetrik, karena peningkatan empedu dihubungkan dengan luaran janin yang buruk. Peningkatan kadar bilirubin pada kolestasis jarang terjadi dan tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostik. Sebuah marker fungsi hati yang baru yaitu gluthationeS-tranferase alpha (GSTu) dapat digunakan untuk mendeteksi 9 minggu sebelum terjadi peningkatan SGOT/SGPT atau empedu. Harus juga diperiksa hepatitis virus dan antimitokondria antibodi.



Risiko Maternal



Risiko pertama adalah pruritus yang merupakan gejala yang sangar mengganggu. Risiko selanjutnya adalah perdarahan pascapersalinan yang disebabkan oleh pemaniangan waktu protrombin sebagai konsekuensi gangguan fungsi hati. Pruritus dan gangguan fungsi hati kembali ke normal setelah persalinan. Bila dalam 3 bulan tidak normal kembali, harus dirujuk ke hepatologis. Risiko rekurensi sekitar 90 %. Hindari memakai pil KB yang mengandung estrogen pada ibu-ibu yang mempu nyai riwayat kolestasis obstetrik.



Risiho Fetal Kolestasis obstetrik dilaporkan berhubungan dengan peningkatan prematuritas, distress, dan kematian janin.



feal



Manajemen



Direkomendasikan untuk terminasi kehamilan pada usia kehamilan 37 - 38 minggu untuk mengurangi risiko kematian janin. Dilakukan pemantauan janin dengan KTG selama persalinan. Direkomendasikan untuk diberikan vitamin K 10 mg per hari untuk mengurangi risiko perdarahan. Dapat juga diberikan UDCA (ursodeoksikolik asid) 500 mg/hari 2 kali sehari sampai 2.000 mg/hari pada perempuan dengan pruritus yang sangat mengganggu. Apabila tidak respons terhadap UDCA, maka dapat digunakan deksametason 12 mglhari selama 7 hari dengan tappeing off 3 hari setelahnya. Pemberian



822



KEIAINAN GASTROINTESTINAL



deksametason harus dipertimbangkan dengan matang karena dengan dosis tinggi dan berulang dapat menyebabkan p.n,rrun., beiat badan jinin dan perkembangar, ,r# yrng tidak normal. Pengobatan lain adalah kolestiramin, S-adeo-silmetionin, dan guar gum. Topikal untuk pruritus dapat digunakan krem berbasis air yang mengandung mentol.



Acute Fatty Liver (AFL;rt-+ fatty lhter merupakan kelainan pada kehamilan yang sangat jarang, tetapi sangat berbahaya. Gejala klinik dan tandanya tidak spesifik. Secara definist acute fatty liaer adalah kegagalan hati akut dengan pengurangan kapasitas metabolik hati tanpa sebab lain. Secara histologik terdapat steatosis mikrovesikular panlobular dan intrahepatik kolestasis. Etiologi AFLP belum jelas dan multifaktorial dengan komponen genetik pada beberapa kasus yaitu kelainan autosom resesif pada janin yaitu asam oksidasi beta asam lemak rantai panjang.



Acwte



Diagnosis Gejala dan tanda dari AFLP samar-samar dan tidak spesifik. Kemungkinan ada fase prodromal sekitar 1 - 21 hari sebelum perburukan fungsi hati yang akut. Gejala seperti mual, muntah, nyeri epigastrik, dan malaise dapat mendahului, gejala lain seperti pruritus, sakit kepala, demam, preeklampsia dan pada kasus yang berat dapat terjadi penurunan kesadaran sampai koma. Pemeriksaan laboratorium adalah sebagai berikut



. . . . . .



Peningkatan transaminase serum, 3 sampai 10 kali lipat dari normal, kadar transaminase dapat mencapai 1.000 iuli bersamaan dengan iskemia hepar atau hipoglikemia.



Hiperbilirubinemia Hipoglikemia Leukositosis neutrofil sampai 20.000



-



30.000



Hiperurikemia Pemanjangan waktu protrombin



Kunci diagnosis AFLP ini adalah kecepatan perburukan dari fungsi hati dengan gejala kegagalan hati seperti hipoglikemia, gangguan pembekuan darah, dan perubahan kesadaran sekunder dari hepatik ensefalopati. Harus disingkirkan penyebab kegagalan hati fulminan yang lain seperti overdosis parasetamol dan hepatitis viral akut, 'Wilson's disease, keracunan karbon tetraklorid, dan reaksi obat (halotan dan isoniazid). Pencitraan hati tidak banyak membantu. Biopsi hati juga harus dipertimbangkan dengan hati-hati karena pemanjangan waktu perda rahan yang terjadi.



Risiko Maternal dan Fetal



Risiko yang terjadi sangat berat dengan mortalitas maternal dan fetal yang tinggi. Pada sekitar tahun 1960 dilaporkan angka mortalitas maternal sekitar 70 "/" dan semakin lama



KELAINAN GASTROINTESTINAL



823



semakin berkurang dan sekarang menjadi sekitar 21 "/o mortalitas maternal dan 27 "/,



mortalitas fetal.



Manajemen



Manajemen utama adalah terminasi kehamilan. Pilihan jenis persalinan perlu dipertimbangkan. Persalinan pervaginam dapat mengurangi risiko perdarahan bila dibandingkan dengan seksio sesarea, tetapi akan memakan waktu lama. oleh karena itu, sebaiknya pasien dimulai induksi persalinan seraya menunggu perbaikan dengan transfusi komponen darah dan usaha stabilisasi. Sebaiknya dilakukan pemasangan CVP sebelum terjadi koagulopati. Pemeriksaan KGD harus dilakukan setiap 2 jam dan bila terjadi hipoglikemia harus segera diatasi. Waktu protrombin juga harus dites setiap 6 jam bersamaan dengan fungsi hati, fungsi ginjal, elektrolit, dan darah lengkap. Follorp up kesadaran dilakukan per jam. Pendekatan pelaksanaan yang berhasil harus dilakukan oleh rim multidisipliner sepeni anestesiolog, obstetrikus senior, hepatolog, dan tim transplantasi hati. Setelah persalinan, pasien masih harus dirawat di ruang intensif.



Follow Up dan Rekwrensi Setelah persalinan diharapkan fungsi hati akan kembali normal. Dokter spesialis anak harus memeriksa semua bayi dari ibu AFLP untuk mengetahui defisiensi LCHAD (long cbain lrydroxyacil coenzyme A delryd.rogenase). Kepadabayi juga harus dilakukan restriksi dalam dietnya. Risiko rekurensi AFLP bergantung pada apakah bayi juga memiliki defisiensi LCHAD atau tidak. Bila menderita defisiensi LCHAD, maka rekurensi sekitar 15 - 25 o/o dari pasangan yang sama, tetapi bila tidak terdapat defisiensi LCHAD, maka risiko rekurensi lebih kecil. Meskipun demikian, tidak ada data yang pasti karena kebanyakan perempuan memilih untuk tidak hamil lagi. Ketika p.r.*pum yang pernah AFLP dengan bayi defisiensi LCHAD, maka pada kehamilan selanjutnya



dapat diperiksa dengan enzim assay atau



DNA



dengan chorionic aillus sampling (CVS).



Apendisitis Akutl5 Apendisitis adalah suatu penyakit radang usus buntu. Insidensi apendisitis akut dalam kehamilan berkisar 1 : 5OO. Kejadian perforasi pada apendisitis akut dalam kehamilan 1,5 - 3,5 kali lebih besar daripada apendisitis padayang tidak hamil. Hal ini disebabkan oleh diagnosis dan penanganan yang terlambat pada apendisitis dalam kehamilan.



Diagnosis



.



Gejala dan tanda klinik: - Anoreksia, mual, muntah, perut kembung



KELAINAN GASTROINTESTINAL



824



.



*



Nyeri perut kanan bawah, lokasi nyeri dapat berpindah ke atas sesuai usia ke-



-



hamilan oleh karena uterus yanB makin membesar. Nyeri tekan dan nyeri lepas pada perut kanan bawah Tanda Bryan: timbul nyeri bila uterus digeser ke kanan Tanda Alder: untuk membedakan proses ekstrauterin dan intrauterin.



Demam



Leukositosis. Penanganan:



-



Apendektomi Pemberian antibiotika Pemberian obat-obatan roboransia dan obat penguat kandungan (progesteron)



Dengan adanya apendisitis terutama bila terjadi komplikasi berupa perforasi, peritonitis, ataupun sepsis, maka angka keguguran, KJDK, dan prematuritas akan meningkat.



pi31s



[l11r6t6,1z



Suatu keadaan di mana buang air besar > 3 x/hari dengan konsistensi tinja yang cair dan berlangsung selama 7 - 14 hari. Penyebab diare akut dapat berupa mikroorganisme, toksin, obat-obatan, dan psikis. Beberapa bentuk diare akut akibat mikroorganisme:



- Vibrio * Shigela - Salmonela tifi - E. koli - Klostridium difisil - Entamoeba histolitika



-



Kolera



Disentri basiler Tifus Traveler diare



Kolitis pseudomembranosa Amubiasis



Diagnosis



.



Gejala dan tanda klinik:



-



Nausea, muntah, nyeri perut



Demam



Mencret



> 3 x dengan



konsistensi cair



Pada kasus keracunan makanan biasanya beberapa jam setelah makan disenai muntah-



muntah. Kasus salmonela, shigelosis, klostridium difisil, kompilabakter, E. koli sering menimbulkan demam tinggi dan nyeri perut. Timbul dehidrasi akibat diare berat.



o



Laboratorium



-



Pemeriksaan bakteriologi tinja Serologis:



KELAINAN GASTROINTESTINAL



. .



825



widal: tifus elisa: giardia lamblia



Penanganan



. o



Rehidrasi cairan dan pengganrian elektrolit yang hilang Pemberian kemoterapi: Kolera Traveler Diarea



Konlitis pseudomembran Shigelosis Salmonelosis



Amubiasis



Kotrimoxazol Kloramfenikol Kontrimoksazol Metronidazol Kotrimoksazol Kloramfenikol Metronidazol



2 x 960 mg/hari 3 hari 4 x 500 mg/hari 3 hari 2 x 960 mg/hari 3 x 500 mg/hari 2 x 960 mg/hari 4 x 100 mg/hari 3



x



750 mg/hari



Obat-obat anti diare: Tidak dianjurkan Adanya diare dengan penyakit berupa dehidrasi berat dan gangguan elektrolit serta adanya penyebaran kuman akan meningkatkan angka keguguran, KJDK, dan persalinan prematur.



Hemoroid



(r$(/asir) r8,rr'zo'



Hemoroid terlihat seperti bantalan jaringan dari varikosis vena yang merupakan insufisiensi kronik vena yang terdapat di daerah anus. Bila terjadi infeksi hemoroid dapat menimbulkan perasaan gatal, sakit, dan berdarah temtama sesudah buang air besar yang menSeras.



Penyakit hemoroid ini lama kelamaan akan bertambah berat, oleh karena itu sangat diperlukan pengobatan sesegera mungkin bila sbdah terdapat tanda-tanda dan gejala awal hemoroid. Secara umum, hemoroid dibagi dua, yaitu hemoroid internal dan hemoroid eksternal.



.



.



Hemoroid internal, pembengkakan terjadi dalam rektum sehingga tidak bisa dilihat atau diraba. Pembengkakan jenis ini tidak menimbulkan rasa sakit karena hanya ada sedikit saraf di daerah rektum. Tanda yang dapat diketahui adalah perdarahan saat buang air besar. Masalahnya jadi tidak sederhana lagi, bila hemoroid internal ini membesar dan ke luar ke bibir anus yang menyebabkan kesakiran. Hemoroid yang terlihat berwarna merah muda ini setelah sembuh dapat masuk sendiri, tetapi bisa juga didorong masuk. Hemoroid eksternal menyerang anus sehingga menimbulkan rasa sakit, perih, dan i4i dapat mengakibatkan trombosis,



gatal. Jika terdorong ke luar oleh tinja, hemoroid



yang menjadikannya berwarna biru-ungu.



826



K-EIAINAN GASTROINTESTINAL



Gejala



. . o



Perdarahan di daerah dubur yang bisa ke luar berupa tetesan, tetapi juga bisa mengalir d,eras. Darah berwarna merah muda dan biasanya penderita tidak merasakan sakit. Setelah buang air besar biasanya ada sensasi rasa mengganjal. Kondisi ini menciptakan kesan bahwa proses buang air besar belum berakhir, sehingga seseorang mengejan lebih kuat. Tindakan ini justeru membuat hemoroid semakin parah. Karena bagian yang terasa nyeri di dubur sulit dibersihkan, virus akan sangat mudah menyerang dan menyebabkan infeksi kulit yang memicu rasa gatal.



IJpaya memperlancar buang air besar agar tidak mengeras dan mencegah terjadinya infeksi serta obat-obatanyang memperlancar aliran darah sekitar anus (diosmin-hes-



peridia) akan membantu kesembuhan. Ibu hamil sangat rentan menderita hemoroid karena meningkatnya kadar hormon kehamilan yang melemahkan dinding vena di bagian anus. Banyak ibu hamil yang menderita hemoroid setelah 6 bulan usia kehamilan karena adanya peningkatan tekanan vena di area panggul. Beberapa ibu hamil juga mengalami hemoroid selama proses persalinan akibat tekanan bayi yang kuat. Suatu hal yang perlu diperhatikan adanya usaha mengejan pada



waktu persalinan akan memperberat penyakit hemoroid ini. Sebagai contoh, lembutnya daerah vagina dan bagian anus sering menyebabkan ibu menunda buang air besar, sehingga memicu terjadinya hemoroid ini.



Penanganan Banyak penulis menganjurkan hal yang bisa dilakukan untuk mencegah hemoroid, di antar any a s eba gai berikut



o Hindari



.



mengejan terlalu kuat saat buang air besar mengonsumsi makanan kaya serat (sa1,ur dan buah serta kacang-kacangan) Banyak sena banyak minum air putih minimal delapan gelas sehari untuk melancarkan buang



air besar.



o



. .



Segera ke belakang jika niat buang air besar muncul, jangan menunda-nunda seb:elum tinja menjadi keras. Kurangi konsumsi cabai dan makanan pedas.



Tidur cukup. o Jangan duduk terlalu



o



lama.



Senam/olahraga rutin.



Pengobatan tanpa operasi bisa dilakukan dengan cara memberi salep dan/atau supositoria sepeni Lidokain (Haemokain), Hidrosmin (Venosmil), dan Fluokortolon (Ultraprok), yang dapat mengurangi keluhan subjektif meski tidak dapat menyembuhkan. Bisa juga diberikan suntikan dengan sklerosing agen pada keadaan hemoroid yang kronik. Prinsip dari obat suntikan ini adalah menyumbat pembuluh darah dan mengecilkan bantalan pembuluh darah.



KEI"\INAN GASTROINTESTINAL



827



Dalam penanganan hemoroid yang cukup berat, beberapa ahli menganjurkan untuk dilakukan:



.



Rwbber band ligation



o H emonhoidoly



sis/



Galoanic Elemotherapy



o Sclerotberalry Qnjeoion therapy)



. .



Cryosurger! l-aser, infrared atau BICAP coagulation



o Hemonboidectomy o Stapled Hemonboidedomy



.



Doppler Guided Hemonboid,al Artery Ligation



Konstipasizl,22



Konstipasi ditandai dengan adanya tinja yang keras sehingga buang air besar jarang, sulit, dan nyeri. Hal ini dikarenakan adanya inja yang padat dan keras sewaktu ke luar dari anus yang dapat menyebabkan perdarahan akibat terjadi fisura ani. Konstipasi umumnya terjadi karena diet kurang serat (Jibres), kurang minum, kurang aktivitas fisik dan karena adanya perubahan ritme atau frekuensi buang air besar. Kehamilan dan mungkin juga karena obat-obatan (vitamin) dapat menyebabkan konstipasi.



Makanan yang berasal dari saprran, buah-buahan segar, serta gandum dan sereal, banyak minum serta meningkatkan akdvitas fisik (berolahraga) dapat mengurangi keluhan konstipasi ini dan jarang sekali diperlukan klisma enema dan obat-obatan pencahar.



RUJUKAN 1. Siddik D. Kehamilan fusiko Tinggi. Edisi Kedua Cetakan Perrama, Februari 2001. 111-9 2. Abell TL, Riely CA. Hyperemesis gravidarum. Gastroenterol Clin North Am 1992 Dec; 21(4): 835-49 3. Eliakim R, Abulafia O, Sherer DM. Hyperemesis gravidarum: a currenr review. Am J Perinatol 2000; 17



(4): 2A7-18



4. Kuscu NK, Koluncu F. Hyperemesis gravidarum: current concepts and management, Postgrad Med J 2002 Feb; 78(916):76-9 5. Reymunde A, Santiago N. Perez L. Helicobacter pylori and severe morning sickness. Am J Gastroenterol 2001 Jul; 96(7): 2279-80 6. Boyer F, Fontanges E, Miossec P. Rheumatoid arthritis associated wirh ulcerative colitis: a case with severe flare of both diseases after delivery. Ann Rheum Dis 2001 Sep; 60(9): 901 7. Cappell MS. Gastric and duodenal ulcers during pregnancy. Gastroenterol Clin North Am 2OO3 Mar; 32(1):263-308 8. Katz JA, Pore G. Inflammatory bowel disease and pregnancy. Inflamm Bowel Dis 2OOl May;7(2): 746-57



9. Ho KY, Kang JY, Viegas OA. Symptomatic gastro-oesophageal reflux in pregnancy: among Singaporean women. J Gastroenterol Hepatol 1998 Ocr; 13(10): 1020-6



a



prospective study



KEIAINAN GASTROINTESTINAL



828



lO. Atlay RD, \X/eekes AR. The treatment 11. James



of gastrointestinal



disease



in pregnancy. Clin Obstet Gynaecol



DK. High fusk Pregnancy Management Opdon.3'd edition. Elsevier. Philadelphia.2006



12. Arlkumaran S. Oxford Handbook Of Obstetrics & Gynaecology. Oxford press. 13. MIMS. Obstetrics & Gynecology guide. CMP Medica. Indonesia' 2005/06



New Delhi. 2004



14. Baker NP. Obstetrics by Ten Teachers. Eighteenth Edition. Book Power. London. 2006 15. Viktrup L, Hee P. Appendicitis during pregnancy. Am J Obstet Gynecol 2001 Jul; 185(1): 259-60 16.Krtz JA, Pore G. Inflammatory bowel disease and pregnancy. Inflamm Bowel Dis 2001 May-7(2): 146-57



AH, Pernoll ML. Current Obstetrics & Gynecology Diagnosis 8c Treatment. Eight Edition. Appleton & l,ange. USA. 1994 18. Cunningham FG. Villiams Obstetrics. 22nd Edition. McGraw-Hill. USA. 2OO5 19. De Leeuw J\W, Vierhout ME, Srruijk PC. Anal sphincter damage after vaginal delivery: functional ourcome and risk factors for fecal incontinence. Acta Obstet Gynecol Scand 2001 Sep; 80(9): 830-4 20. The University of Birmingham, National Horizon Scanning Centre, Stapled Haemorrhoidectomy, United Kingdom, 2001. Available from: http:// www.publichealth.bham.ac.uk/horizon/PDF-files/



17. DeCherney



Stapledhaemorrhoidectomy.PDF



for treating constipation in pregnancy. Cochrane Database Syst Rev 2001; (2): CD001142 22. Tytgar GN, Heading RC, Muller-Lissner S. Contemporary undersanding and management of reflux and consripation in the general population and pregnancy: a consensus meeting. Aliment Pharmacol Ther 2003 Aug 1; 18: 291-301



21. Jewell DJ, Young G. Interventions



64



KEHAMILAN DENGAN PENYAKIT GINIAL A. Kurdi



Syamsuri dan Nuswil Bernolian



Twjuan Instruksional Umum



1. 2. 3.



Menjelaskan perubaban anatomih dan fungsional ginjal dan saluran hemib selama kebarnikn.



Menjelaskan penyakit-penyakit g;njal dan saluran hemih yang sering terjadi pada kebamilan dan p engaruhnya terbadap kehamilan. Menjekskan pengarub kebamihn terhadap penyahit ginjal dan saluran kemib.



Twjwan Instruksional Khusus



1. Menjelaskan penyahit infeksi saluran kemib pada bebamihn. 2. Menjekskan bakteriuria asimptomatib pada kehamikn. 3. Menjekskan sistitis pada kebamihn. 4. Menjekskan pielonefritis ahut pada hehamilan. 5. Menjekskan pielonefritis kronih pada hebamikn. 6. Menjekskan glomerulonefritis ahilt pada hebamikn. 7. Menjekskan glomerulonefritis hronih pada kehamilan. 8. Menjelaskan sindroma nefrotib pada kehamilan. 9. Menjelaskan gagal ginjal akut pada kebamilan. 10. Menjelaskan batu ginjal dan saluran bemih pada kehamihn. 11. Menjelaskan ginjal polikistih pada kebamikn. 12. Menjelaskan tuberkulosis ginjal pada kehamikn. 1 3. M enj ekskan k ehamikn pas canefrektomi ginjal. 1 4. M enj ekskan kehamihn pas ca*ansp lantasi ginjal. 15. Menjekskan kebamikn dengan keganasan urologi. 16. Menjelaskan dialisis sekma hehamihn. 17. Menjelaskan gagal ginjal idiopatik pascapersalinan.



830



K-E,HAMILAN DENGAN PENYAKIT GINJAL



Pandangan bahwa perempuan yang menderita penyakit ginjal sebaiknya menghindari kehamilan, telah ada sejak abad lalu. Luaran bayi dipercaya akan kurang baik dan



pasien yang menderita penyakit ginjal disarankan melakukan terminasi kehamilan. Setelah ahun 1975 rasa pesimis itu berganti menjadi optimis sehubungan dengan banyaknya publikasi studi kasus mengenai kehamilan dengan penyakit ginjai yang dikonfirmasi dengan biopsi ginjal, sehingga kebanyakan perempuan dengan gangguan



ginjal dapat melewati kehamilan tanpa kelainan yang berarti. Selain itu, data-data mengenai perempuan hamil dengan transplantasi ginjal sejak tahun 2000 telah memberikan hasil yang menggembirakan. Kesemuanya ini memberikan pandangan bahwa sebagian besar perempuan yang mempunyai gangguan fungsi ginjal minimal dapat hamil dengan kemungkinan kehamilannya berhasil mencapai 90'/"1. Di Amerika Serikat rasio kelahiran hidup dari perempuan dengan riwayat penyakit ginjal adalah 6,6 per 1.000 dari semua ras dan usia. Pada perempuan kulit putih rasio kelahiran adalah 3,0 per 1.000 kelahiran hidup dibandingkan 2,2 per 1.000 kelahiran hidup pada kulit himm.



Perubahan Anatomik Ginjal dan Saluran Kemih Dalam kehamilan terjadi perubahan anatomik dan fungsional ginjal dan saluran kemih, yang sering menimbulkan gejala, kelainan fisik, dan perubahan hasil pemeriksaan Iaboratorium. Oleh karena itu, perlu dipahami benar mengenai perubahan-perubahan ginjal dan saluran kemih dalam kehamilan agar tidak terjadi kesalahan dalam membuat diagnosis dan terapi yang dapat merugikan ibu dan bayi. Volume, berat, dan ukuran ginjal bertambah seiama kehamilan. Panjang ginjal bermmbah mencapai 1 cm dan ginjal kanan lebih besar sedikit daripada ginjal kiri bila diukur secara radiografis. Bahkan, perubahan yang lebih jelas terjadi pada sistem pengumpul di mana kaliks renalis, pelvis renalis, dan ureter semuanya mengalami dilatasi bermakna. Dilatasi ini terjadi pada a:wal kehamilan sekitar usia 6 - 10 minggu, yang pada trimester awal lebih jelas pada sebelah kanan, meliputi 90 % perempuan sampai aterm, dan menetap antara 4 - 6 minggu sampai 3 - 4 bulan pascapersalinanl-8. Pelebaran yang tidak simetris ini mungkin disebabkan oleh perubahan uterus yang membesar dan mengalami dekstrorotasi, relaksasi otot polos akibat peningkatan kadar progesteron (hidroureter dan hidronefrosis fisiologik), atau karena terjadinya penekanan fisiologik karena pembesaran vena ovarium kanan yang terletak di atas ureter, sedangkan pada yang sebelah kiri tidak terdapat karena adanya sigmoid sebagai bantalan. lJreter juga akan mengalami pemaniangan, melekuk, dan kadang berpindah letak ke lateral, dan akan kembali normal 8 - 12 minggu setelah melahirkan. Semua hal di atas dapat dilihat dengan pemeriksaan pielografi intravenal-5. Selain itu, juga dapat terjadi hiperylasia dan hipenrofi otot dinding ureter dan kaliks, dan berkurangnya tonus otot-otot saluran kemih karena pengaruh kehamilan. Dilatasi ureter ini memungkinkan timbulnya refluks air kemih dari kandung kemih ke dalam ureter. Akibat pembesaran uterus, hiperemi organ-organ pelvis, dan pengaruh hormo-



KEHAMITAN DENGAN PENYAKIT GIN.IAL



831



nal terjadi perubahan pada kandung kemih yang dimulai pada kehamilan usia 4 bulan. Kandung kemih akan berpindah lebih anterior dan superior. Pembuluh-pembuluh di daerah mukosa akan membengkak dan melebar. Otot kandung kemih mengalami hipertrofi akibat pengaruh hormon esrrogen. Kapasitas kandung kemih meningkat sampai 1 liter, kemungkinan karena efek relaksasi dari hormon progesteronl-s.



Perubahan Fungsional Ginjal dan Saluran Kemih Kehamilan merupakan suatu kondisi hiperdinamik, hipervolemik, dengan adaptasi yang tampak pada semua sistem organ utama. Perubahan fisiologik penting yang timbul pada ginjal selama kehamilan, antara lain:



. . .



Peningkatan aliran plasma renal (Renal Pksma Flozo/RPF). Peningkatan tingkat filtrasi glomerulus (Glomerukr Filtration Rate/GFR). Perubahan reabsorbsi glukosa, sodium, asam amino, dan asam urat tubular.



Peningkatan GFR terjadi selama fase luteal dari siklus menstruasi dan terus meningkat setelah konsepsi, kemudian mencapai puncak sampai sekitar 50 % di atas kadar pada perempuan yang tidak hamil sampai akhir trimester kedua. Sejak kehamilan trimester kedua, GFR akan meningkat sampai 30 - 50 "/o di atas nilai normal perempuan ddak hamil. Peningkatan ini menetap sampai usia kehamilan 36 minggu, laiu terjadi penurun-



an 15



-



2A



o/o2-5.e.



Peningkatan RPF dimulai sejak trimester kedua yang kemungkinan disebabkan oleh



efek kombinasi curah 1'antung yang meningkat dan resistensi vaskular ginjal sebagai peningkatan produksi prostaglandin ginjal. RPF akan meningkat sebesar 50 - 80 %



di atas kadar perempuan tidak hamil, dengan rar.a-rata 137 ml/menit. Setelah itu, nilainya akan turun mendekati 25 o/o, tetapi relatif masih iebih tinggi di atas kadar perempuan tidak hamil. Semakin tua kehamilan, efek kompresif dari pembesaran utems pada aorravena kava dapat menurunkan aliran darah ginjal yang efektif menjadi 20 "/o. Aktbatnya, akan terjadi penurunan kadar kreatinin serum dan urea nitrogen darahl'2'4,5'e. Alasan mengapa hemodinamik ginjal meningkat selama kehamilan berhubungan dengan peranan penting ni*ic-oxide (NO)-dEendent endotbelium-derived relaxing factor atau relaksin. Stimulusnya berasal dari ibu dan vasodilatasi gestasional menyebabkan penurunan tonus arterioie preglomerular dan postglomerular sehingga tekanan darah intraglomerular tetap konstan. Hal ini membukdkan bahwa hiperfiltrasi gestasional tidak akan mempengaruhi fungsi ginjal perempuan dalam jangka panjang. Peningkatan GFR dan Effectiae Renal Plasma Flou (ERPF) ini juga dapat menjelaskan mengapa ekskresi glukosa, asam amino, dan vitamin larut air, akan meningkat selama kehamilan. Kehamilan dengan lesi penyakit ginjal mendasar dan borderline atau proteinuria minimal mungkin mengalami peningkatan ekskresi protein, dan sebaiknya tidak disalahartikan sebagai eksaserbasi penyakit ginjall,e. Mungkin ada penurunan pada reabsorbsi tubular terhadap glukosa, di mana bila dikombinasikan dengan peningkatan bermakna dari beban filtrasinya, dapat menielas-



KI,HAMIU,N DENGAN PENYAKIT GINJAL



832



kan mengapa banyak perempuan dengan metabolisme karbohidrat normal dapat bermanifestasi glukosuria selama kehamilana,s. Sebagai akibat peningkatan GFR juga, konsentrasi asam urat semm menurun selama kehamilan trimester kedua, tetapi akan kembali normal seperti keadaan tidak hamil (4 - 50 mg/dl) pada trimester ketiga. Beberapa peneiiti meyakini bahwa preeldampsia secara selektif mempengaruhi reabsorbsi tubulus dan menyebabkan peningkatan asam urarl-5,e.



Tes Fungsi Ginfal Klirens kreatinin endogen merupakan cara utama untuk menilai GFR pada perempuan yang tidak hamil, juga bermanfaat daiam mengevaluasi fungsi ginjal pada perempuan hamil. Batas normal terendah selama kehamilan mencapai 30 % di atas kadar normal pada perempuan tidak hamil. Namun, ada beberapa kondisi klinik yang menyebabkan kesalahan dalam perkiraan GFR dari pengukuran klirens kreatinin endogen atau penentuan kreatinin serum. Formula Cockroft dan Gault, yang menghitung klirens dari Pkre"ti,in, usia, dan berat badan, biasanya memperkirakan GFR perempuan hamil yang Iebih besar. Jika disfungsi ginjal sedang atau lebih luas (kreatinin serum > 1,5 mgldl atau 133 pmol/l), proporsi klirens mungkiri disebabkan oleh sekresi, sehingga menyebabkan perkiraan GFR yang lebih besarl. Tabel



64-1. Nilai laboratorium ginjal normal



Nilai laboratorium



Perempuan tidak



6- 27 100 - 180



BUN, mg/dl Klirens kreatinin, ml/menit



2,2 -



Kreatinin serum, mg/dl



0,5



Asam urat, mg/dl




10 minggu di ' mana tidak ditemukan kelainan fisiologik janin dengan pemeriksaan ultrasono-



. .



grafi atau visualisasi langsung, atau Satu atau lebih persalinan preterm pada usia < 34 minggu yang disebabkan oleh preeklampsia berat atau eklampsia, atau insufisiensi plasenta berat, atau Tiga atau lebih abortus spontan berturut-turut pada usia gestasi < 10 minggu, tanpa dijumpai kelainan anatomik dan hormonal maternal serta tidak ditemukan kelainan kromosom paternal dan maternal



874



.



PENYAKIT JARINGAN IKAT



Kriteria Iaboratorium



-



-



Pemeriksaan antibodi antikardiolipin (ACA)



Diketemukan antibodi antikardiolipin isotop IgG dan atau IgM di dalam darah dengan kadar sedang atau kadar tinggi pada > 2 pemeriksaan dengan interval waktu > 6 minggu menggunakan pemeriksaan standar ELISA untuk B2 glikoprotein l-dependen antikardiolipin antibodi. Pemeriksaan antikoagulan lupus (lA) Ditemukan antikoagulan lupus di dalam plasma pada > 2 pemeriksaan dengan interval waktu > 6 minggu, yang berdasarkan panduan Tbe International Society of Tbrombosis and Hemosuszs ditetapkan melalui tahapan pemeriksaan: Uji penyaring koagulasi bergantung fosfolipid yang memanjang, seperti actioated. partial tbromboplastin time, kaolin clotting time, dilwte Russels viper venom time, dilwte protrombin time, textarin time. . Pemanjangan waktu koagulasi pada penyaring tidak dapat diperbaiki dengan pem-



.



berian plasma normal rendah trombosit.



. .



uji penyaring dapat dikoreksi atau dipersingkat dengan pemberian fosfolipid berlebihan. Pengeluaran penyebab koaguloparia yang lainnya seperti inhibitor faktor VIII,



Peman;'angan waktu koagulasi pada



heparin.



Diagnosis ditegakkan apabila terdapat minimal satu kriteria klinik dan satu kriteria laboratorik seperd di atas16.



Penatalaksanaan Sindroma antibodi antifosfolipid klasik/definitif yaitu sindroma antibodi antifosfolipid dengan Antikoagulan Lupus (LA) atau IgG/IgM aCL kadar sedang-tinggi yang disertai dengan kematian janin, kematian embrionik berulang, trombosis dan kematian neonarus pada preeklampsia atau gawat janin. Pada penderita ini direkomendasikan pemberian prednison 40 m{hari dikombinasikan dengan Aspirin dosis rendah 80 mglhari untuk mencegah kematian janin. Pemakaian Heparin dilaporkan dapat meningkatkan tercapainya persalinan aterm. Jenis heparin yang dipilih adalah Unfraaionized Heparin (UFH) dan Lou Molecwlar \X/eigbt HEarin (LMWH). Heparin dalam pemakaiannya dapat dikombinasikan dengan Aspirin dosis rendah dengan persentase keberhasilan luaran kehamilan arerm sebesar 70 - 80 %. Efek samping pemberian heparin adalah trombositopenia, dan osteoporosis pada pemakaian jangka panjang. Pemakaian Unfraaionized Heparin dapat menimbulkan osteo.Weigbt porosis sebesar 5 - 15 7o, sedangkan pemakaian Lout Molecwlar Heparin dapat menimbulkan osteoporosis sebesar 0,2 oh sa1a. Karena itu, pemakaian Low Molecukr Weigbt Heparin ini lebih disukai oleh karena memiliki waktu paruh yang panjang, sehingga dapat diberikan sekali sehari saja. Obat ini tidak melewati barier plasenta sehingga tidak ada pengaruh pada janin, kejadian trombositopenia sangat jarang dan tidak memerlukan monitoring Anti Xa. Pemakaian \flarfarin harus dihindari pada kehamilan



PENYAKIT JARINGAN IKAT



875



karena dapat melewati barier plasenta dan bersifat teratogenik, yang dapat menimbulkan hipoplasia nasal, dan malformasi pada tulang janin. Pengobatan harus dimulai sesegera



mungkin dan dihentikan 7 - 10 hari sebelum persalinan untuk pemakaian Aspirin sedangkan untuk Heparin dihentikan 24 jam sebelum persalinan untuk mencegah terjadinya perdarahan maternal. Penderita sindroma ini pada masa pascapersalinan dapat mengalami remisi dengan gejala demam, nyeri otot dan tulang, efusi dan infiltrat paru. Karena itu pada masa pascapersalinan pemberian Heparin dilanjutkan 4 - 6 jam setelah persalinan dan dihentikan secara benahap dalam 3 bulan penama pascapersalinan untuk mencegah tromboemboli pascapersalinan. Pemakaian kontrasepsi hormonal sebaiknya dihindari karena dapat meningkatkan kejadian tromboembolils,lT



Artritis Rematoid Artritis rematoid merupakan penyakit kronik multi-sistem dengan manifestasi sistemik yang bervariasi. Penyebab dari penyakit ini tidak diketahui, tetapi patogenesisnya didasari oleh faktor imunologik. Manifestasi klinik dan reaksi inflamasi yang ada disebabkan oleh infiltrasi sel-T di dalam jaringan yang menimbulkan sekresi sitokin. Kejadian penyakit ini I dalam 1.000 - 2.000 kehamilan, di mana insiden terbanyak pada umur 35 - 50 tahun. Dilaporkan adanya faktor genetik yang berhubungan dengan kejadian penyakit ini. Manifestasi klinik yang biasanyaterjadi adalah sinovitis yang mengenai sendi-sendi perifer. Apabila penyakit menjadi berat maka terjadi erosi sendi dan akhirnya mengakibatkan deformasi sendil8.



Diagnosis Tbe American Rbewmatism Association tahun 1987 memformulasikan kriteria manifestasi klinik artritis rematoid, sebagai berikut.



. . . . . . .



Kekakuan sendi pada pagi hari di sekitar sendi Pembengkakan pada 3 atau lebih sendi Pembengkakan pada sendi interfalang, metakarpofalangeal atau sendi siku Pembengkakan yang simetris Nodul rematoid Adanya faktor rematoid Erosi atau osteopenia periartikular pada tangan dan siku.



Diagnosis rematoid artritis ditegakkan bila terdapat > 4 kriteria di atas18. Anritis rematoid tidak mempengaruhi perjalanan kehamilan ataupun luaran kehamilan. Namun, dilaporkan terjadinya eksaserbasi pascapersalinan terutama pada perempuan yang menl'usui pertama kalinya. Eksaserbasi umumnya terjadi dalam 4 - 10 minggu pascapersalinan. Kebanyakan penderita akan mengalami manifestasi klinik yang sama seperti pada waktu sebelum hamil.



Pengobatan ibu hamil dengan artritis rematoid bergantung pada beratnya penyakit dan umur kehamilannya. Tujuan pengobatan adalah menghilangkan rasa sakit, mengu-



876



PENYAK-IT JARINGAN IKAT



rangi inflamasi, menjaga struktur sendi, menjaga fungsi sendi dan akhirnya dapat melewad kehamilan dan persalinan dengan baik. Pemakaian Aspirin dosis tinggi 3 - 4 gram/hari pada penderita hamil dapat menimbulkan efek samping serius, seperti gangguan hemostasis, penutupan dini duktus arteriosus janin dan kehamilan serotinus. OIeh karena itu, apabila penderita membutuhkan antiinflamasi non steroid maka pilihannya adalah asetaminofen. Apabila dengan obat ini tidak ada perbaikan, maka diberikan kortikosteroid oral, juga dapat dipertimbangkan untuk memberikan injeksi kortikosteroid intra-artikular untuk menghilangkan keluhan pada sendi yang terkena. Pada penderita yang resisten terhadap asetaminofen dan kortikosteroid dapat diberikan klorokuin, sulfasalasin, metotreksat, senyawa emas, azatioprin, dan penisilamin. Beberapa obat-obatan tersebut bersifat teratogenik, misalnya senyawa emas yang dapat menyebabkan diskrasia darah dan nefropati. Metotreksat adalah suatu antagonis folat yang dapat menyebabkan kelainan pada tulang bayi, anensefali, hidrosefali, meningomielosel, dan gangguan perkembangan mental pada bayi baru lahir. Pemberian klorokuin dilaporkan dapat menyebabkan anopthalmia, miuoptbalmia dan gangguan pertumbuhan janin. Penisilamin juga dilaporkan bersifat teratogenik Azatioprin dilaporkan aman untuk kehamilan walaupun dalam jumlah yang sedikit dapat menyebabkan polidaktili. Demikian juga pemakaian sulfasalasin yang aman untuk diberikan pada perempuan hamil. Diperlukan konseling yang baik apabila obat-obatan di atas terpaksa harus diberikan. Persalinan dapat mengalami penyulit pada penderita artritis rematoid, terutama apabila yang terkena adalah sendi-sendi pelvis dan spinal. Pada penyakit yang sudah lama bisa terjadi contacted pelrtis demlkian juga bisa terjadi gangguan abduksi tungkai sehingga dalam kondisi seperti ini sebaiknya dilakukan seksio sesarea. Konsultasi ke anestesia diperlukan rerurama apabila ada kecurigaan terkenanya sendi temporomandibular dan laring yang dapat menyulitkan intubasi. Pemilihan kontrasespi hormonal yang mengandung kombinasi estrogen dan progesreron merupakan pilihan yang baik karena hormon tersebut dapat memperbaiki kinis penderita. Pada pendiritayang memilih menyrrsui bayrnya harus mendapatkan perhatian yang baik dari iegi pengobatannya untuk menghindari eksaserbasi penyakilnya dan dipilih obat-obatan yang aman untuk menln:sui, misalnya asetaminofen, ibuprofen, indometasin, naproksen, dan klorokuinl8.



Sklerosis Sistemik Penyakit ini merupakan penyakit multisistem yang ditandai oleh beberapa manifestasi klinik, yaitu penetalan kulit yang progresif, fibrosis kulit dengan telangiektasi.s dan fibrosis pulmonal dan hipertensi. Pada kondisi yang berat dan lanjut bisa terfadi sindroma malabsorbsi dan diare. Karena manifestasi kliniknya sering bersamaan dengan penyakit jaringan ikat lainnya, maka keadaan ini disebut dengan mixed connectitte tisswe d.iseases.



Penyakit ini jarang dijumpai dengan perbandingan perempuan/laki 3 : 1. Oleh karena kejadian ini lebih sering pada perempuan usia reproduksi diduga teriadi microcbimeism pada patogenesis penyakit ini. Pada penyakit ini teriadi produksi kolagen yang ber-



PENYAKIT JARINGAN IKAT



877



lebihan sehingga menyebabkan terjadinya fibrosis pada kulit dan traktus gastrointestinal terutama pada bagian distal esofagus8,1e. Beberapa kondisi yang berhubungan dengan kehamilan adalah adanya peningkatan kejadian abortus, penebalan otot uterus yang menyebabkan distosia, akseierasi penyakit pada waktu pascapersalinan dan hipertensi berat dan gagal ginjal. Sampai saat ini belum dilaporkan adanya risiko penularan penyakit ini dari ibu ke bayi, dan terminasi kehamilan disarankan pada kondisi terjadinya ancaman gagal jantung, gin;'al, dan paru. Pengobatan penyakit ini belum memuaskan. Dilaporkan pemakaian beberapa obat dapat menekan aktivitas penyakit ini, sepeni D-penisilamin, interferon, steroid, dan siklofosfamid. Penyebab kematian yang paling sering adalah gagal jantung, hipertensi, dan gagal ginjal18,1e.



RUTUKAN 1. Hudono ST. Penyakit Kolagen Dalam: Prawirohardio, 1.999: 579-80



Ilmu Kebidanan Edisi Ke-3, Yayasan Bina Pustaka Sarwono



2. Albar S. Penyakit Jaringan Ikat. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid i, edisi ke-3, Balai Penerbit FK UI, 1996: 8160-1 3. Albar S. Lupus Eritematosus Sisternik. Dalam: Buku Aiar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I, edisi Ke-3 Balai Penerbit FK UI, 1996: 150-50 4. Setyohadi B. Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik, Temu lmiah Rematologi,2003: 154-8 5. Lipsky PE, Diamond B. Systemic Autoimmune Disease In: Harrison's Principle of Internal Medicine, 15'h ed, vol. 2, McGraw-Hill, Medical Publishing Division, 2001,, 1842-3 6. Sun-raryono. Spektrum Autoantibodi pada LES dan Hubungannya dengan Gambaran Klinik, Temu Ilmiah Rematologi, 2003: 149-53 7. Yuliasih. Spektrum Klinik Sistemik Lupus-Erirematosus, Temu IImiah Rematologi 2006, Jakarta: 62-8 B. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gillstrapp III LC, Hanth JC, !(enstrom KD. Connective Tissue Disorders In: Williarns Obstetrics 22"d ed. New York: McGraw-Hill, 2OO5: 1211-4 9. Mok CC, Vong R\flS. Pregnancy In Systemic Lupus Erythematosus. In: Postgrad Med JR 2001. Down load fron-r pmj.bmj. com on March 4, 2007 10. Handa R, Kumar U, \(ali JP. Systemic Lupus Erythematosus and Pregnancy. In: Supplement to JAPI, June 2006, Vol 54. Download from wwwjapi.org 2007 11. Buyon VP. Management of SLE during Pregnancy: A Decision Tree. In: Rematologi 2004;20(+): 1,97-201,



12. Gupta PCS. Systemic Lupus Erythematosus and Pregnancy Mastage. In: Pregnancy at Risk Current Concepts. 4'h ed. New Delhi: Jay Pee Brothers, Medical Publishers (P) Ltd, 2OOl: 790-2



i3. Craigo SD. Systemic Lupus Erythematosus. In: Medical Complication in Pregnancy. New York: McCraw-Hill; 2005: 585-93 14. Soenarto. Temu Ilmiah Rematologi. 2003: 115-20 15. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gillstrap III LC, Hanth JC, Wenstrow KD. Connectine Tissue Disorders. In: lVilliams Obstetrics 22"d ed. New York: McGraw-Hill; 2005: 1215-8 16. Tambunan KL. Antiphospholipid Syndrome (APS). Masalah Medis yang Multidisiplin dan Pengobatannya. Temu Ilmiah Rematologi 2003; 210-15 17. Esplin MS. Management of Antiphospolipid Syndrome during Pregnancy. In: Clinical Obstetrics and Gynecology, March 2001, 44; 1:20-5 18. O Brien K. Rhematoid Arthritis. In: Medical Complication in Pregnancy. New York: McGraw-Hill; 2005:601-9 19. Dasqupta S. Immunologically Complicated Pregnancy. In: Pregnancy at Risk Current Concepts 4'h ed.



New Delhi: Jay Pee Brothers. Medical Publishers (P) Ltd. 2001: 195-6



68



KELAINAN DERMATOLOGIK Retno Budiati Farid



Tujwan Instrwksional Umum Memabami fisiologi dan patogenesis perubaban-perubaban dennatologih pada kehamihn serta mengetabui efeknya terhadap ibu dan janin.



Twjuan Instrwksional Kbwsws



1. 2.



3. 4.



Menjelaskan perwbahan anatomik dan fisiologik kelainan dermatologik pada kebamilan,



Mengidentifikasi riwayat dan pemeriksaan yang diperlwkan pada ibu dengan keluban kwlit pada hehamilan. Mendiagnosis dan menatalaksana kelainan dermatologik pada ibw hamil. Mendiskusiban efek kelainan dermatologih terhadap ibu dan janin.



Perubahan fisis dan hormonal yang disebabkan oleh kehamilan, persalinan, dan nifas, ada hubungannya dengan beberapa perubahan pada kulit. Sebagian besar kelainan atau penyakit kulit yang bersamaan dengan kehamilan, tidak mempengaruhi kehamilan dan tumbuh kembang janin intrauterin secara murni. Namun, bila diikuti dengan infei 2A % setelah terapl carran. Dengue sbock syndrome;



Timbul tanda-tanda syok terutama narrole pulse pressure kurang atau sama dengan 20 mmHg. Kematian pada pasien dengan demam dengue umumnya karena datang dengan DHF atau DSS dan tidak mendapar penanganan yang adekuat/intensif. Penanganan



Tidak ada obat yang khusus. Pengobatan hanya simptomatik dan suponif disertai pengawasan ketat secara klinik maupun laboratorium. Penanganan secara umum adalah sebagai berikut.



. .



Istirahat



Antipiretik untuk panas di atas 39' C dengan paraseramol setiap 5 jam.



o Kompres dengan air hangat



. . .



(tepid water)



Terapi rehidrasi (minum arau parenteral jika tidak cukup) Pemeriksaan laboratorium khususnya Hb, leukosit, trombosit, dan hematokrit. Pemeriksaan penunjang, antara lain foto torak dan USG



Hindari; pemberian aspirin untuk obat panas dan antibiotika karena tidak perlu, serta sari buah dengan pengawet. Pengaruh Demam Dengue pada Kebamilan3l'32'33



klinik dari penyakit ini, pengaruh yang mungkin terjadi adalah kematian janin intrauterin. Jika infeksi terjadi menjelang persalinan dilaporkan bisa terjadi transmisi vertikal dan bayi lahir dengan gejala trombositopenia, panas, hepatomegali, dan gangguan sirkulasi. Keadaan ini tidak terjadi jika infeksi terjadi jauh dari masa persalinan. Pada saat persalinan bisa terjadi perdarahan karena adanya trom-



Berdasarkan gejala



bositopenia. Trombosit atau darah hanya diberikan jika terdapat perdarahan. Penanganan pada Kebamilan Sebaiknya ditangani oleh tim dan kalau mungkin hindari persalinan berlangsung pada masa kritis. Kalau terjadi persalinan, dilakukan pengawasan intensif dan tindakan obstetrik dengan segala kewaspadaan. Informasi atau informed consent untuk pasien, suami, serta keluarganya jangan dilupakan. Prognosis Pada Dengue feuer prognosis baik, sedangkan pada DHF sangat bergantung pada penanganan secara umum di rumah sakit di samping apakah persalinan terjadi pada masa



kritis.



PENYAKIT INFEKSI



911



INFEKSI BAKTERIAL Grup A Streptokokus Streptokokus piogenes; meskipun infeksi oleh bakteri ini dikatakan relatif jarang, di mana angka kejadian 0,06 per 1.000 kelahiran, tetapi bakteri



ini bisa menghasilkan



ba-



nyak toksin dan dapat menyebabkan infeksi berat, seperti toxic sboch lihe syndrome dengan faality rate 3



-



4 %. Jika menghasilkan eksotoksin terjadi scarlet feuer, erisipelas.



Infeksi umumnya berupa infeksi pascapersalinan (46 "/"), radang otot utems (28 %), peritonitis (8 %), dan abortus septik (7 oh)to,tt.



Grup B Streptokokus Grup B Streptokokus -S agalaktiae (GBS) sering terdapat pada vagina dan rektum. Di seluruh dunia angka infeksi berdasarkan kolonisasi diperkirakan 20 - 3A '/" pada kehamilan 35 minggule. Selama kehamilan kolonisasi bisa transien, intermiten, atau kronik dan spektrum infeksi bervariasi dari adanya kolonisasi yang asimptomatik sampai sepsis. Transmisi bakteri intrapartum dari ibu ke bayi, akan menyebabkan infeksi berkembang menjadi sepsis neonatal pada masa nifas. Dengan makin baiknya pencegahan infeksi GBS dengan pemberian antibiotika intrapartum, maka di banyak negara sepsis sudah dapat diturunkan dari 2 - 3 menjadi 1 - 2 per 1.000 kelahiran hidup. Ini berbeda dengan infeksi non-GBS seperti E-Coli dan Enterobacteriacea yang angka kejadiannya tidak banyak berubah40,41'42. Keadaan ini menimbulkan kekhawariranyang ditunjang dengan bukti-bukti bahwa pencegahan terhadap GBS menyebabkan peningkatan angka kejadian sepsis karena infeksi non-GBS, khususnya oleh E-Coli pada bayi prematur, kecil masa kehamilan, dan sangat kecil masa kehamilan. Implikasi yang ditimbulkan adalah kehamilan prematur, ketuban pecah dini, korioamnionitis, fetal dan neonatal infeksi mendapatkan kolonisasi GBS sebesar 30 "h pada Preterm PROM (premature rupture of membrane) dan 25,2 o/" pada preterrn kbor. Bakr.eri ini bisa juga menimbulkan gejala kiinik berupa bakteri uri, pielonefritis, dan endometritis pascapersalinan3e. Pada neonatus infeksi bakteri ini merupakan penyebab utama dari early onset neonatal sepsis selain oleh E-Colia3. Sepsis ini akan menyebabkan septisemia dengan gejala distres respirasi, apneu, syok yang biasanya terjadi dalam 6 - 12 jam sampai 7 hari setelah persalinan dan sering harus dibedakan dengan idiopathic resPiratory distress syndrome. Pada infeksi yang terjadi setelah 7 hari sampai 3 bulan setelah persalinan disebut kteonset-d.isease.



Angka kematian bayi pada sepsis awal karena infeksi Gram negatif 36 o/o, sedangkan karena Gram positif 1,1 "/o42. Yang perlu menjadi perhatian ialah bahwa pencegahan terhadap infeksi GBS rupanya tidak memberi hasil terhadap terjadinya hte-onset-neonatzl GBS, karena angka kejadiannya tidak berubah. American College of Obstetician & Crynecologisri (AOCOG)aa,a5 merekomendasikan pencegahan dengan pemberian antibiotika pada persalinan kurang dari 37 minggu, ke-



PENYAKIT INFEKSI



91,2



tuban pecah lebih atau sama dengan 18 jam, temperarur ibu melahirkan lebih atau sama dengan 38' C. Antibiotika yang dianjurkan adalah derivat Penisilin dan kalau aiergi dapat diberi klindamisin atau eritromisin.



INFEKSI MALARIA Malaria merupakan salah satu penyakit re-emerging yang masih menjadi ancaman dan sering menimbulkan wabah. Angka kejadian infeksi malaria masih tinggi teruuma di Kawasan Timur Indonesia seperri Papua, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara. dan Sulawesi Utara.



Terdapat 4 jenis spesies Plasmodium pada manusia; P. Falsiparum, P. Vivaks, P. Ovale, dan P. Malariae. Yang banyak ditemukan di Indonesia ialah P. Falsiparum dan P. Vivaks46'4e. Pada kehamilan, malaria adalah penyakit infeksi yang merupakan gabungan antara masalah obstetrik, sosial, dan kesehatan masyarakat dengan pemecahan multidimensi dan multidisiplin. Morbiditas dan mortalitas ibu hamil yang menderira malaria tinggi, temtama pada primigravida, akan menimbulkan anemia dan mortalitas perinatal yang dnggi. Infeksi akan lebih berat jika disebabkan P. Falsiparum dan P. Vivaks. Selain itu, komplikasi yang ditimbulkannya berbeda pada daerah hiperendemik atau endemik rendah (bigh or low transmission).



Parasitemia Sp/een rafes Morbiditas Anemia Ever illness Malaria serebral Hipoglikemia Sepsis puerperal Mortalitas Penyakit berat Perdarahan



Gambar (Dih_utip



70-1.



Berat lahir rendah Prematuritas IUGR Penyakit malaria Mortalitas



Masalah yang ditimbulkan oleh infeksi malaria pada ibu hamil, janin,



dan bayi baru lahir dari: Y.artqt, l.lqlaria in pregnangt: Access to efectfue intententions in Africa.



lnt J of Cynecolog-€' Obstetrics.'20d6; 94': 382-5a81



PENYAKIT INFEKSI



913



Ibu yang non-immune kemungkinan mengalami komplikasi lebih besar. Sementara itu, untuk ibu yang semi-imrnune komplikasi yang ter.iadi adalah terjadinya anemia dan parasitemia pada plasenta, tetapi tidak sampai mengenai janin (angka kejadian malaria neonatonrm adalah 0,03 "/"), tetapi dapat menyebabkan BBLR47.



Diagnosis Malariaa8



. Klinik - Anamnesis . Demam, menggigil (dapat disertai mual, muntah diare, nyeri otot, dan pegal) , Riwayat sakit malaria, tinggal di daera.h endemik malaria, minum obat malaria i bulan terakhir, transfusi darah. . Untuk tersangka malaria berat, dapat disertai satu dari gejala di bawah; gangguan kesadaran, kelemahan umum, kejang, panas sangat tinggi, mata dan tubuh kuning, perdarahan hidung, gusi, saluran cerna, muntah, warna urin seperti teh tua, oliguria, pucat.



.



-



Pemeriksaan fisik; panas, pucat, splenomegali, hepatomegali Pemeriksaan mikroskopik; sediaan darah (tetes tebal/tipis) untuk menentukan ada tidaknya parasit malaria, spesies, dan kepadatan parasit.



Masalah infeksi malaria pada kehamilanaT



. . o



. . o



Infeksi malaria lebih mudah terjadi pada kehamilan jika dibandingkan dengan populasi umum. Keadaan ini kemungkinan disebabkan oleh sistem imun dan imunitas dapatan terhadap malaria pada ibu hamil menurun. Pada kehamilan infeksi malaria ada tendensi atipik terutama pada trimester II yang mungkin disebabkan oleh perubahan hormonal, sistem imun, dan hematologik. Karena perubahan sistem imun dan hormonal, jumlah parasit 10 kali lebih tinggi sehingga komplikasi P. Falsiparum lebih sering pada ibu hamil dibandingkan yang tidak hamil. Malaria karena P. Falsiparum pada kehamilan lebih serius dan mortalitas dua kali lipat dibandingkan dengan perempuan tidak hamii (13 % berbanding 6,5 %). Beberapa obat antimalaria kontraindikasi pada ibu hamil dan bisa mengakibatkan komplikasi hebat, sehingga lebih sukar memilih obat. Penanganan komplikasi yang timbul menjadi lebih sulit karena perubahan fisiologik yang terjadi pada kehamilan.



Manifestasi



klinik Malaria



pada kehamilanaT



Gejala malaria yang tidak umum sering terjadi pada kehamilan, terutama pada triII. Manifestasi klinik umumnya adalah:



mester



914



o



. o



.



PENYAKIT INFEKSI



Panas: umumnya panas tinggi sampai menggigil.



Anemia: akan menjadi parah pada kehamilan karena hemolisis dengan akibat asam folat menurun, di samping karena perubahan pada kehamilan. Pembesaran lien: umumnyapada trimester II. Pada infeksi yang berat bisa terjadi: ikterus, kejang, kesadaran menurun, koma, muntah, dan diare.



Komplikasi Terdapat tendensi bahwa komplikasi lebih sering terjadi pada kehamilan dan lebih berat. Kompiikasi yang sering terjadi adalah:



.



Hipoglikemia: kadang-kadang diduga sebagai gejala klinik malaria karena takikardia, berkeringat, dan pusing. Pada malaria karena P. Falsiparum terutama yang mendapat



. .



obat kinina, kadar gula darah harus diperiksa setiap 4 - 6 jam. Hipoglikemia pada ibu dapat menyebabkan terjadinya gawat janin tanpa diketahui penyebabnya. Edem paru: lebih sering terjadi pada trimester II atau III, tetapi bisa juga terjadi segera pascapersalinan lebih mudah jika terdapat juga anemia. Kalau demikian, teriadi mortalitas tinggi. Anemia berat sering terjadi pada malaria dalam kehamilan. Anemia dengan kadar hemoglobin kurang dariT g"h sebaiknya ditransfusi dengan "packed cells".



komplikasi yang terjadi dengan endemisitas malaria ^nt^ra Gejala klinik dan berat ringannya malaria berbeda menumt endemisitas atau higb or low



Hubungan



transmission. Pada daerah endemik tinggi imunitas bawaan tinggi, sedangkan mortalitas lebih rendah. Strategi pencegahan malaria pada ibu hamil dengan terapi malaria intermiten dan pemakaian kelambu (insecticide bednets). Pada daerah endemik rendah risiko infeksi malaria pada perempuan hamil lebih tinggi sehingga risiko kematian ibu dan abortus 60 % lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah endemik tinggi. Bayi dengan berat lahir rendah akan terjadi meskipun malaria sudah diobati, tetapi malaria tanpa gejala lebih rendah. Strategi pencegahan dengan



diagnosis awal dan pengobatan.



PENYAKIT INFEKSI



Tabei



70-1.



915



Perbandingan terjadinya komplikasi pada daerah



Higb and Low transrnission MalariaaT Komplikasi



Higb transmission



Lozo transmission



+++



+++



Hipoglikemia Anemia berat Edem paru Gagal ginjal akut Panas tinggi



I



Abortus Janin kecil masa kehamilan Malaria kongenital Malaria plasental



+++ +++



++ ++ ++ ++



+++ +++ +++ +++



Risiko malaria terhadap janin Terjadinya panas tinggi, fungsi plasentayang menurun, hipoglikemia, anemia, dan lainnya menyebabkan mortaiitas prenatal dan neonatal 15 - 70 oh, terutama karena P. Falsiparum dan P. Vivaks. Masalah yang bisa terjadi pada kehamilan adalah abortus, prematuritas, lahir mati, insufisiensi plasenta, pertumbuhan janin terhambat, dan bayi kecil masa kehamilan. Transmisi plasmodium melalui plasenta dikatakan dapat menyebabkan kongenital malaria (< 5 %), dengan gejalaantara lain bayi panas, iritabel, problem menpsui, hepatosplenomegali, dan kuning.



Penanganan malaria pada kehamilana8



1.. Pengobatan pada malaria



2. 3.



Penanganan komplikasi Penanganan persalinan



Pengobatan malaria pada kehamilanaS Pengobatan malaria pada kehamilan harus cepar, tepar, dan hati-hati. o Pasien dengan dugaan malaria karena P. Falsiparum sebaiknya dirawat. o Periksa jenis plasmodium untuk memberi pengobatan yang repar. o Pemeriksaan: kesadaran, pucat, kuning, tensi, nadi, temperatur. darah lengkap, fungsi hepar, fungsi ginjal, kadar gula, dan parasite count. o Pengawasan ketat keadaan ibu dan janin. . Pilih obat berdasarkan: berat ringannya penyakit, hindari obat yang merupakan kontraindikasi, pilih dosis yang adekuat, beri cairan yang adekuat, perhatikan nutrisi yang cukup kalori.



916



PENYAKIT INFEKSI



Pemberian obat antimalariaas



Obat antimalaria pilihan untuk malaria berat adalah: Lini pertama: artemisin parenteral (+ amidokuin * primakuin)



Lini kedua: kina parenteral (+ primakuin



*



doksisiklin/tetrasiklin)



Antimalaria pada kehamilana7 Pada semua trimester dapat diberikan:



artesunat/artemeter/arteeter.



Kontraindikasi pada kehamilan: Primakuin; Tetrasiklin; Doksisiklin; Halofantrin



Lini pertama



o Artesunat injeksi untuk penggunaan di



rumah sakit atau puskesmas perawatan. Sediaan 1 ampul berisi 60 mg serbuk kering asam artesunik dilarutkan dalam 0,6 ml natrium bikarbonat 5 '/o, diencerkan dalam 3 - 5 ml dekstrose 5 %. Pemberian secara bolus intravena selama 2 menit. Loading dose; 2,4 mg/kgBB I.V. setiap hari sampai hari ke-7. Bila penderita sudah dapat minum obat, ganti dengan artesunat oral.



o Artemeter untuk penggunaan



lapangan atau di puskesmas. Sediaan: 1 ampul berisi 80 mg artemeter. Pemberian secara intramuskular selama 5 hari. Dosis dewasa 160 mg (2 ampul) I.M pada hari ke-l, diikuti 80 mg (1 ampul) I.M. pada hari ke-2 sampai ke-5.



Lini



kedua



. Kuinin



(Kina) per infus (drip): kina 25 % dosis 10 mg/kgBB atau 1 ampul (2 ml = 500 mg) dilarutkan dalam 500 ml dekstrose 5 "/o atau dekstrose dalam NaCl dalam 8 jam, diulang setiap 8 jam dengan dosis yang sama sampai penderita bisa minum



obat, arau dengan dosis yang sama diberikan selama 4 jam kemudian, infus tanpa obat 4 jam, diulang obat selama 4 jam kemudian tanpa obat selama 4 jam. Demikian 3 kali dalam 24 jam, sampai penderita dapat minum obat. Obat kina maksimum diberikan per infus selama 3 hari. Kalau belum bisa minum dilanjutkan personde (NGT) sampai 7 hari. Dosis maksimum per hari 2.000 mg. Bila sudah dapat minum dilanjutkan dengan kina tablet dengan dosis 10 mg/kgBB/



i