Inflammatory Bowel Disease Pada Anak [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



Inflammatory bowel disease (selanjutnya disebut sebagai IBD) merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan 2 jenis kelainan idiopatik yang berkaitan dengan inflamasi dari traktus gastrointestinal, yaitu Crohn’s Disease (selanjutnya akan disebut sebagai CD) dan Ulcerative Colitis (selanjutnya akan disebut sebagai UC). Kedua kelainan tersebut diatas harus dibedakan dengan kelainan lainnya yang mempunyai kemiripan seperti infeksi, alergi dan keganasan. Karena IBD sering berhubungan dengan gejala klinis ekstraintestinal yang beragam mencakup berbagai organ seperti kulit, muskuloskeletal, hepatobilier, mata, ginjal dan gangguan tumbuh kembang, maka klinisi harus memperhatikan kelainan tersebut sebagai bagian dari gejala klinis IBD.1 CD pertama kali dikenal oleh Crohn, Ginzburg, dan Oppenheimer pada tahun 1932 sebagai ileitis regional. Saat ini, CD diketahui sebagai suatu proses inflamasi kronis transmural yang melibatkan traktus gastrointestinal dari mulut sampai rektum.1 Wilks dan Moxon telah lebih dari satu abad mengenal UC sebagai proses inflamasi idiopatik yang bersifat kronis dan hilang timbul serta terbatas pada mukosa kolon dan rektum. Proses inflamasi yang terjadi pada UC relatif homogen pada mukosa yang dimulai pada rektum dan melibatkan kolon kearah proksimal.1 CD dan UC merupakan 2 kelainan yang berbeda, tetapi memiliki banyak kesamaan gejala klinis dan histopatologi. CD dan UC telah dikenal selama satu setengah abad, namun proses inflamasi kronis yang terjadi hingga menimbulkan kerusakan usus sampai saat ini masih merupakan suatu misteri.1



1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1



DEFINISI



Ulcerative Colitis (UC) ditandai dengan peradangan mukosa menyeluruh yang terbatas pada usus besar. Luasnya penyakit dapat dibagi menjadi distal atau penyakit yang lebih luas (ekstensif). Penyakit ''distal'' mengacu pada kolitis yang terbatas



pada



rektum



(proktitis)



atau



rektum



dan



kolon



sigmoid



(proktosigmoiditis). Penyakit yang lebih luas (ekstensif) mencakup ''kolitis sisi kiri'' (hingga fleksura lienalis), ''kolitis luas'' (hingga fleksura hepatika), dan pankolitis (mengenai seluruh usus besar).2 Crohn’s Disease (CD) ditandai dengan peradangan transmural, bercakbercak yang dapat mengenai setiap bagian dari saluran pencernaan. Penyakit ini dapat didefinisikan berdasarkan lokasi (ileum terminal, kolon, ileokolika, saluran cerna bagian atas), atau dengan pola dari penyakit ini (peradangan, membentuk fistula, atau membentuk striktur). CD dan UC dikelompokkan sebagai Inflammatory bowel disease (IBD).2 Namun sekitar 10% anak-anak dengan IBD yang mengenai usus besar diklasifikasikan sebagai Indeterminate Colitis (akan disebut sebagai IC) yang memiliki campuran bentuk dari UC maupun IC.2



2.2



EPIDEMIOLOGI



Terdapat peningkatan insidensi IBD pada anak-anak yang mana dapat mengganggu pertumbuhan, pendidikan dan kesejahteraan sosial. Studi berbasis populasi menunjukkan bahwa IBD terdistribusi secara tidak rata di seluruh dunia dengan angka penyakit tertinggi terjadi di negara-negara barat. Survei epidemiologi juga menunjukkan bahwa insidensi IBD telah berubah pada pertengahan abad 20 dengan peningkatan perlahan pada baik CD dan UC.3 Studi deskriptif yang dilaksanakan selama pertengahan akhir abad 20 menunjukkan insidensi IBD berbeda berdasarkan populasi geografi. Angka



2



3



tertinggi diamati berada pada daerah Eropa dan Amerika Utara, dengan angka terendah berada di Selandia Baru.3 Data komprehensif dari sebagian besar Afrika, Asia dan Amerika Selatan tidak tersedia. Data yang muncul dari negara berkembang di Asia selatan menunjukkan IBD merupakan penyakit yang semakin dikenal. Studi terbaru insiden penyakit CD menunjukkan peningkatan yang signifikan pada sebagian negara maju seperti Skotlandia, Denmark, Inggris, Amerika Serikat dan Jepang.3



Gambar 1. Prevalensi global IBD4



Survei nasional IBD pada anak usia kurang dari 16 tahun di Inggris menunjukkan angka kejadian 5,2 per 100.000 orang per tahun (60% CD, 28% UC dan 12% IC). Penyakit ini sedikit lebih sering terjadi pada laki-laki. UC terjadi lebih tinggi pada anak-anak Asia dibanding etnis lain. Usia rata-rata saat terdiagnosis adalah 11,9 tahun. Terdapat proporsi kurang lebih sama dari ileitis, kolitis dan ileokolitis pada CD. Pada UC hampir 90% anak memiliki pankolitis. Sebuah tinjauan sistematis dari studi epidemiologi kohort di Amerika Utara memperkirakan angka kejadian 3-4 per 100.000 orang per tahun. UC dan CD merupakan penyakit yang mengenai usia muda dengan puncak insiden pada usia antara 10 dan 40 tahun. Data dari Skotlandia dan Inggris menunjukkan bahwa



4



insiden tersebut telah meningkat selama dua puluh tahun terakhir dengan 25% dari semua kasus terjadi pada anak-anak dan usia muda. Angka kejadian CD saat ini tidak banyak berubah. Terjadi tren peningkatan pada UC sehingga diperlukan penelitian baru untuk menentukan tren insiden di Inggris. IBD dapat mengenai segala usia, 5% anak-anak yang terkena IBD berusia di bawah 5 tahun dan hanya 15% dari orang dewasa yang terdiagnosis dengan usia lebih dari 60 tahun. Diperkirakan 240.000 orang di Inggris terkena penyakit IBD.2 Di Indonesia sendiri belum ada studi epidemiologi mengenai IBD. Data yang ada masih berdasarkan laporan rumah sakit saja (hospital based). Simadibrata dari Jakarta pada tahun 2002 melaporkan 5.2% kasus CD dan UC dari seluruh total kasus kolonoskopi yang dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo. Dari data di unit endoskopi pada beberapa rumah sakit di Jakarta (RSCM, RS Tebet, RS Siloam Gleaneagles, RS Jakarta) terdapat kesan bahwa kasus IBD berkisar 12.2% kasus yang dikirim dengan diare kronik, 3.9% kasus hematoskezia, 25.9% kasus diare kronik, berdarah. Sedangkan pada kasus nyeri perut didapatkan sekitar 2.8%.5 Data dari bagian patologi anatomi rumah sakit Dr Seotomo tahun 2014-2017 didapatkan 19 kasus kolitis dan 1 kasus ileitis.



2.3



PATOGENESIS



Etiologi dari kedua UC dan CD tetap tidak diketahui. Konsensus menyatakan bahwa kedua penyakit mungkin merupakan respon terhadap lingkungan sebagai pemicu (infeksi, obat-obatan, atau bahan lain) pada individu yang rentan secara genetik. Komponen genetik lebih kuat pada CD dibanding UC. Merokok meningkatkan risiko CD pada dewasa, tetapi mengurangi risiko UC melalui mekanisme yang tidak diketahui.2 Abnormalitas dari imunoregulasi mukosa usus mungkin memiliki peran yang penting dari patogenesis IBD. Usus berada dalam stimulasi imunologi konstan dari agen mikrobial dan antigen dari makanan. Sebagai respon, mukosa usus normal menghasilkan inflamasi fisiologis. Pada IBD, mekanisme yang menjaga inflamasi fisiologis gagal sehingga terjadi inflamasi patologis. Tidak jelas apakah hal ini merupakan suatu respon abnormal terhadap antigen usus pada



5



umumnya atau merupakan respon normal terhadap suatu mikroba yang belum dikenali. Mediator inflamasi yang terlibat seperti sitokin, metabolit dari asam arakidonat, metabolit oksigen reaktif, growth factor menyebabkan kerusakan jaringan, remodeling disertai fibrosis. Sebagian besar terapi IBD ditujukan pada mediator-mediator ini.6 Perinuclear Antineutrophil Antibody (pANCA) ditemukan pada 70% pasien dengan UC dan kurang dari 20% pada CD. pANCA dipercaya mewakili penanda dari gangguan regulasi imunitas yang dikendalikan oleh gen. Antibodi anti-Saccharomyces Cerevisiae (ASCA) positif sekitar 55% terhadap penderita CD. Penanda tambahan seperti antibodi terhadap Escherisia Coli outer membrane porin (anti-OmpC) dan antibodi anti-Flagellin (anti-CBir1) terkait dengan CD.6 Mutasi dari satu gen (CARD15 / NOD2) yang terletak pada kromosom (Chr) 16 dikaitkan dengan CD pada usus halus pada populasi kulit putih (tidak pada populasi oriental), berhubungan dengan imunitas bawaan dan populasi bakteri usus. Asosiasi pemetaan genom menunjukkan keterlibatan dua jalur baru: regulasi sel-T oleh jalur IL23 melalui gen IL23R, dan proses autofagi yang mengontrol bakteri intraseluler oleh gen ATG16L1 dan IRGM.2 Berbagai riset dari patogenesis IBD memberikan gambaran disregulasi respon imunitas adaptif terhadap keberadaan bakteri luminal. Saat ini tidak terdapat patogen spesifik yang dapat diidentifikasi sebagai penyebab UC maupun CD. Perbedaan dari manifestasi klinis kedua gangguan ini, pada bentuk yang ekstrim mengacu pada mekanisme patogenesis yang berbeda.7 Sistem imunitas alami memberikan perlindungan segera terhadap mikroba (Gambar 2). Peran awal dari sistem imun alami adalah untuk mengidentifikasi keberadaan dari infeksi, menkoordinir respon inflamasi untuk menghilangkan patogen dan mengaktifkan respon imunitas adaptif untuk memberikan respon memori terhadap patogen di masa depan. Penyimpangan dari pengenalan antara bakteri patogen dan komensal penting pada patogenesis IBD. Sel-sel dari sistem imunitas alami yang terkait dengan usus termasuk sel dendrit, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Endotel vaskuler juga mungkin terlibat dalam proses pengumpulan sel-sel radang yang merupakan respon terhadap patogen asli atau bakteri yang dianggap sebagai patogen. Defek pada sistem imunitas alami merupakan hal



6



terpenting dari polimorfisme genetik pada individu dengan IBD. Penyimpangan dari imunitas alami dapat merupakan dasar kerentanan individu terhadap IBD (khususnya CD), penyebab komplikasi dari IBD seperti kanker, dan respon IBD terhadap terapi medik atau biologis.7 Pada mukosa usus normal, invasi bakteri memicu aktivasi respon cepat imunitas alami dalam menginduksi pelepasan sitokin inflamasi, makrofag dan masuknya neutrofil sehingga bakteri dapat dibersihkan. CD mungkin terjadi akibat gangguan fungsi pertahanan imunitas alami usus yang tidak efektif terhadap invasi bakteri ke dalam mukosa. Hal ini dibuktikan dengan adanya laporan tentang gangguan respon inflamasi akut mukosa usus pada pasien CD.7



Gambar 2. Imunitas alami dan adaptif. Respon imunitas alami ditandai dengan pengenalan secara cepat dari patogen melalui reseptor yang mengenali pola gen. Respon awal ini menghasilkan kemokin dan sitokin yang bertujuan mengumpulkan sel-sel inflamasi untuk membersihkan patogen yang masuk atau membersihkan bakteri komensal yang masuk lamina propria melalui celah dari barier mukosa. Respon imunitas alami menjadi dasar aktivasi respon imunitas adaptif melalui makrofag matur dan sel dendrit yang mempresentasikan antigen dan menentukan tipe sel T yang sesuai terhadap patogen.7



7



Sistem imunitas alami Sistem imunitas alami pada usus terdiri dari beberapa komponen yang berkontribusi terhadap barier patogen luminal. Mukosa usus harus menghindari respon imun yang berlebihan terhadap bakteri komensal dengan konsenstrasi mikroba yang sangat tinggi beserta Pathogen-Associated Molecular Pattern (PAMPs) mereka. Epitel permukaan bertugas sebagai pertahanan awal dari sistem imunitas alami mukosa. Pengenalan dari patogen merupakan fungsi penting dari sel-sel sistem imunitas alami karena mereka mengekspresikan reseptor yang bersifat selektif untuk menilai mikroba, seperti Toll-like Receptor (TLR) dan Nucleotide-binding Oligomerization Domain (NOD). Pada kondisi normal, sel epitel usus tidak bereaksi terhadap komensal dan dapat mengendalikan invasi mikroba. Di bawah lapisan sel epitel usus, terdapat berbagai macam sel imun yang lain seperti makrofag, sel dendrit/dendritic cell (DC) dan sel B yang juga dapat mengekspresikan reseptor yang dapat menilai mikroba. Bila terdapat stimulus, Antigen-Presenting Cell (APC) segera melanjutkan fungsi efektor mereka. Sel-sel inflamasi akut, seperti neutrofil, akan terpicu oleh kemokin yang telah disekresi. Adanya sinyal dari imunitas alami menyebabkan maturasi dari DC, yang diperlukan untuk aktivasi dari imunitas adaptif (Gambar 3). Sistem komprehensif dari imunitas alami ini menginduksi Regulatory T Cells (Tregs), yang bertindak untuk menekan inflamasi berlebih. Kerusakan pada pertahanan epitel dapat menyebabkan peningkatan kontak dari agen-agen intraluminal dengan sel inflamasi dan sel imun di dalam lamina propria. Defek primer pada epitel dapat memicu respon imunitas alami sehingga menghasilkan inflamasi mukosa.7



8



Gambar 3. Imunitas alami diperlukan untuk aktivasi sel T. Paparan patogen atau PAMPs menyebabkan maturasi makrofag dan DC sehingga terjadi aktivasi sel T. TLRs juga terdapat pada naïve T cells yang berfungsi sebagai co-stimulatory signals.7



Berdasarkan PAMPs tidak ada perbedaan antara bateri komensal dengan patogen. Mengingat flora bakteri pada usus manusia yang kompleks, regulasi sinyal TLR harus terjadi agar respon inflamasi yang tidak sesuai dapat dihindari. Pemberian sinyal TLR berperan penting dalam pemeliharaan homeostasis usus.7 IBD berhubungan dengan inflamasi yang tidak sesuai terhadap keberadaan bakteri komensal, beberapa studi telah mempelajari ekpresi dari TLR dan NOD pada manusia dengan harapan mengetahui kontribusi bakteri terhadap patogenesis IBD. Terdapat beberapa batasan pada semua riset yang melibatkan sampel IBD pada manusia. Jaringan manusia umumnya diambil dari pasien dewasa dengan IBD yang sudah tegak dimana perubahan ekspresi gen atau protein mungkin mewakili fase lanjut dari penyakit. Deteksi imunihistokimia dari TLRs dan NODs memiliki keterbatasan dalam mewarnai usus manusia karena tingginya aktivitas peroksidase endogen dan ketersediaan pewarnaan antibodi yang jelek. Meskipun demikian, kita dapat berspekulasi bahwa pemberian sinyal TLR yang tidak sesuai



9



mungkin menyebabkan hilangnya toleransi flora normal pada IBD sehingga mencetuskan inflamasi pada usus.7 UC adalah penyakit pada mukosa yang ditandai dengan peningkatan respon terhadap bakteri melalui jalur yang tidak spesifik. Respon berlebihan ini mungkin dimediasi oleh peningkatan pemberian sinyal dari TLR atau kegagalan untuk meregulasi penurunan dari sinyal TLR. Pada CD terdapat defek pada proses sinyal dari imunitas alami (TLRs dan NODs), sehingga terjadi translokasi bakteri dan respon imunitas adaptif sekunder terhadap bakteri luminal.7



Hubungan antara imunitas alami dan imunitas adaptif pada patogenesis IBD



DC, makrofag dan sel-sel epitel dapat berfungsi sebagai lokasi utama terjadinya defek imunitas alami, dimana penyimpangan aktivasi sel B dan sel T dapat merupakan efek sekunder untuk mengkompensasi defek pada respon imunitas alami. Salah satu manifestasi defek pada respon imunitas alami pada IBD adalah tingginya peningkatan respon imunitas adaptif yang dapat dilihat melalui adanya antibodi serum terhadap organisme komensal. CD dan UC menunjukkan respon antimikroba terhadap bermacam-macam flora komensal termasuk Saccharomyces cerevisiae (ASCA), Escherichia coli (Omp-C), Pseudomonas fluorescens (I2) dan flagellin dari Clostridium (CBir). Ekspresi Anti-CBir1 (anti-flagellin) secara independen berkaitan dengan kondisi usus halus, penetrasi internal dan fibrostenosis dari CD.7 Tidak ada etiologi tunggal yang bertanggung jawab terhadap onset dari IBD. Manipulasi sinyal dari TLR dapat memperbaiki inflamasi pada pasien IBD dan mencegah terjadinya kanker yang terkait dengan kolitis.7



2.4



GAMBARAN KLINIS DAN POLA DARI IBD



Pada anak-anak dengan UC, gejala yang sering muncul adalah perdarahan saluran cerna bawah (84%), diare (74%) dan nyeri perut (62%). Turunnya berat badan lebih sering ditemukan pada CD (58%) dibanding UC (35%). Gejala lain yang dapat muncul adalah letargi dan anoreksia. Gejala ekstraintestinal yang



10



paling sering muncul adalah artropati (10%). Manifestasi gejala pada kulit jarang ditemukan.



Pada anak-anak dengan IC, gejala pada usus besar lebih sering



ditemukan.2 Perjalanan penyakit UC ditandai dengan adanya eksaserbasi dan remisi dari penyakit. 50% anak dengan UC akan relaps pada tahun pertama atau pada tahun-tahun berikutnya. Hanya sedikit pasien UC yang memiliki angka kekambuhan tinggi atau kronis yang disebut penyakit yang berkepanjangan. Angka kejadian kolektomi adalah 25% pada anak-anak dengan dengan penyakit berat atau sedang saat terdiagnosis dalam rentang 5 tahun. Outcome jangka panjang dari penyakit ini ditentukan oleh berat ringannya penyakit saat terdiagnosis.2 Gejala CD pada anak-anak lebih beragam dan tidak spesifik sehingga dapat menunda diagnosis. Dahulu nyeri perut, diare dan penurunan berat badan merupakan gejala klasik (classic triad) CD. Namun saat ini hanya sedikit CD yang memberikan gejala seperti ini. Selama dua dekade terakhir, tampilan gejala CD pada anak-anak telah berubah (Tabel 1). Data yang diperoleh dari Toronto di Hospital for Sick Children dari tahun 1980-1989 menunjukkan 80% anak-anak memiliki gejala CD klasik (classic triad). Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan pada anak-anak IBD di Inggris pada tahun 1998-1999, dimana hanya 25% yang tampil dengan gejala klasik. Mayoritas anak-anak dengan CD memiliki gejala nyeri perut (72%), tetapi 44% tidak mengalami diare.2 Sebagian besar anak dengan CD memiliki keluhan tidak jelas seperti letargi, anoreksia, rasa tidak nyaman di perut atau bahkan hanya gangguan pertumbuhan saja. Sebagian kecil dari pasien terdapat gangguan dari akhir tinggi badan mereka saat dewasa. Gejala lain yang muncul termasuk demam, rasa mual, muntah, pubertas yang tertunda, gangguan psikis dan eritema nodosum. Perjalanan penyakit pada CD juga ditandai fase eksaserbasi dan remisi. CD memiliki kecenderungan yang lebih besar dalam menyebabkan disabilitas dibanding UC.2



11



Tabel 1. Tanda dan gejala CD pada anak-anak di Inggris.2



2.5



DIAGNOSIS DAN INVESTIGASI



Diagnosis dari IBD dikonfirmasi dengan evaluasi klinis dan kombinasi dari pemeriksaan biokimia, endoskopi, radiologi, histologi atau pemeriksaan radiologi nuklir. Diagnosis dari UC dibuat berdasarkan kecurigaan klinis yang didukung oleh temuan makroskopis yang sesuai pada kolonoskopi (Gambar 4), temuan histologi yang tipikal pada biopsi dan dari pemeriksaan feses yang negatif terhadap agen-agen infeksi. Pada CD, diagnosis tergantung dari gambaran lesi fokal yang muncul ditandai dengan inflammasi transmural dan granuloma antara 40-60% (Gambar 4).2



12



RIWAYAT DAN PEMERIKSAAN



Anamnesis harus mencakup riwayat bepergian, obat-obatan, makanan, riwayat keluarga dan riwayat frekuensi buang air besar, konsistensi, urgensi, dan adanya darah, lendir atau keluarnya nanah per rektum. Nyeri perut, malaise, demam, penurunan berat badan, dan gejala ekstraintestinal IBD (persendian, kulit, dan mata) harus dicari. Pemeriksaan umum meliputi kesejahteraan individu, persentil berat dan tinggi badan, status pubertas, frekuensi nadi, tekanan darah, suhu, pemeriksaan pada perut untuk nyeri tekan, distensi, massa dan termasuk pemeriksaan daerah perianal untuk skin tag, fissura, ulkus atau edema yang mengarah pada CD.2



2.5.1. Pemeriksaan Awal



Pemeriksaan laboratorium harus mencakup darah lengkap, C-Reactive Protein (CRP), LED, tes faal hati (khususnya albumin). Turunnya kadar hemoglobin, naiknya penanda keradangan (CRP, LED dan trombosit) dan berkurangnya serum albumin mengarahkan pada IBD. Pada UC, hasil laboratorium tersebut dapat normal. Kultur feses harus dilakukan untuk menyingkirkan diare akibat infeksi dan pemeriksaan feses untuk toksin Clostridium difficile A dan B. Tes tambahan mungkin diperlukan bagi pasien yang telah melakukan perjalanan ke luar negeri. Teridentifikasinya suatu patogen tidak selalu menyingkirkan diagnosis dari IBD, episode pertama dari IBD dapat muncul setelah diketahui adanya infeksi dari usus. Anak-anak pada populasi dengan resiko tuberkulosis (TB) harus dieksklusi terlebih dahulu.2 Perinuclear antineutrophil cytoplasmic antibody (pANCA) berasosiasi positif dengan UC dan Anti-Saccharomyces Cerevisiae Antibody (ASCA) dengan CD, namun sensitivitas diagnostik dari marker serologis ini hanya sekitar 60% 80% sehingga penggunaan klinisnya terbatas. Pemeriksaan faecal calprotectin dan lactoferrin dari feses penting untuk skrining maupun monitoring aktivitas penyakit. Pemeriksaan radiologi dari abdomen penting untuk menegakkan



13



diagnosis pasien dengan kecurigaan kolitis berat untuk menyingkirkan dilatasi kolon dan perforasi tersembunyi.2



2.5.2. Endoskopi Saluran Cerna Atas dan Bawah



Idealnya semua anak yang diduga menderita IBD harus dilakukan pemeriksaan endoskopi saluran pencernaan atas dan bawah dengan intubasi kemudian dilakukan beberapa biopsi dari semua segmen di saluran pencernaan atas (esofagus, lambung, duodenum) dan saluran pencernaan bawah (ileum, sekum, kolon asenden, kolon transversum, kolon desenden, sigmoid dan rektum) untuk diagnosis histologi. Barium meal dan followthrough harus dilakukan pada semua anak yang dicurigai memiliki CD untuk mengevaluasi keterlibatan usus halus (Gambar 5). Barium enema dapat membantu untuk menentukan kondisi akut atau kronis pada UC tetapi tidak untuk diagnostik (Gambar 6). Distribusi penyakit penting untuk membantu diagnosis ketika gambaran histologi patognomonis tidak didapatkan. Gambaran histologi dari CD di saluran pencernaan bagian atas dapat ditemukan pada sampai dengan 30% kasus tanpa adanya gejala saluran cerna atas. Tidak seperti pada dewasa, pankolitis terdapat pada lebih dari 90% anak dengan UC sehingga pemeriksaan kolonoskopi dianjurkan. Pemeriksaan mungkin dapat ditunda hingga kondisi klinis pasien membaik. Sebagian besar dari IC memberikan gejala seperti UC tetapi hanya sedikit yang kemudian akhirnya terdiagnosis sebagai CD. Setelah diagnosis dari jaringan dan distribusi penyakit terdokumentasi, pengobatan yang tepat dapat dilakukan. Histologi dari biopsi ileum terminal dapat membantu untuk menyingkirkan diagnosis lain (misalnya TB, sindroma Behcet, limfoma, vaskulitis) serta menilai luasnya penyakit IBD. Pada anak-anak dengan resiko TB yang tinggi, jaringan harus dikirim untuk kultur TB.2



14



Gambar 4. Gambaran kolonoskopi pada IBD10



Gambar 5. CD : sinus dan fistula. Ileokolitis berat menghasilkan fistula ileosaekal (panah tunggal, bawah) dan pembentukan sinus pada kolon asenden (a). c, sekum (mata panah); ti: terminal ileum (panah ganda).9



Gambar 6. UC : perubahan akhir. Pada pemeriksaan barium enema dengan kontras tunggal ini terlihat perubahan akhir dari UC pada gadis usia 15 tahun. Tidak terdapatnya gambaran khas dari kolon, berkurangnya kaliber dan terjadi pemendekan. Terdapat dilatasi dari terminal ileum (backwash ileitis).9



15



2.5.3. Investigasi Lainnya USG di tangan ahli merupakan modalitas yang sensitif dan non-invasif untuk mengidentifkasi penebalan dari loop usus halus pada CD dan mengidentifikasi abses atau cairan bebas dalam peritoneum. Computed Tomography Scan (CT-Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) (misalnya MRI pelvis) dapat membantu mengevaluasi perjalanan dan komplikasi penyakit misalnya fistula. Karena paparan radiasi yang rendah, MRI usus halus menggantikan pemeriksaan followthrough usus halus di beberapa pusat. Laparoskopi dapat membantu diagnostik pada pasien tertentu, misalnya pada kemungkinan TB usus. Kapsul endoskopi tidak banyak digunakan pada anak-anak saat ini, tetapi mungkin menjadi semakin berharga dalam diagnosis penyakit usus halus. Kapsul endoskopi tidak dapat digunakan bila terdapat striktur karena menyebabkan hambatan.2



1.



Pemeriksaan radiologis pada IBD Pemeriksaan radiologis memegang peranan penting pada diagnosis dan



penanganan dari pasien IBD. Pencitraan telah lama digunakan untuk mengevaluasi segmen dari saluran pencernaan yang tidak bisa diakses oleh endoskopi konvensional. Endoskopi memberikan visualisasi yang tidak ada bandingannya pada lumen usus besar dan memiliki kemampuan untuk melakukan biopsi, tetapi usus halus tetap tidak dapat diakses oleh teknik endoskopi konvensional. Maka dari itu dibutuhkan pencitraan yang mampu mengevaluasi usus halus pada pasien IBD.10 Dengan kemajuan dari teknik pencitraan cross-sectional seperti Computed Tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI), peran dari pencitraan pada IBD dapat melihat gambaran mukosa, transmural, manifestasi ekstra luminal dan ekstra intestinal. Saat ini pencitraan tidak hanya membantu dalam penegakan diagnosis IBD, termasuk membedakan antara UC dan CD, tetapi juga merupakan komponen penting dalam menentukan penyakit yang aktif terhadap penyakit yang tidak aktif. Penilaian aktivitas IBD menggunakan pencitraan sering digunakan oleh ahli bedah dan ahli gastroenterologi untuk rencana terapi dan sebagai biomarker respon atau resistensi terhadap terapi. Komplikasi kegawatdaruratan



16



dan urgensi dari IBD termasuk abses, fistula, perforasi, striktur dengan obstruksi dan megakolon toksik terdeteksi paling baik menggunakan teknik pencitraan cross-sectional dibanding metode endoskopi.10



1.a.



Pencitraan Fluoroskopi



Indikasi Pencitraan fluoroskopi menurut sejarah telah dianggap sebagai gold standard untuk pencitraan usus halus. Meskipun telah ada promosi teknologi endoskopi yang lebih baru seperti endoskopi kapsul video dan endoskopi balon ganda, juga perkembangan metode cross-sectional seperti CT dan MR enterografi, fluoroskopi tetap menjadi alat utama untuk mengidentifikasi patologi pada usus halus, terutama yang melibatkan terminal ileum. Keuntungan dari pencitraan fluoroskopi termasuk kemampuan untuk memvisualisasikan loop peristaltik dari usus halus secara real time. Hal itu merupakan fitur yang memberikan kemampuan untuk menentukan antara abnormalitas sebenarnya dengan perubahan konfigurasi sementara yang berhubungan dengan peristaltik.10



Pertimbangan Teknis Pada pencitraan fluoroskopi, hasil foto konvensional 2 dimensi diperoleh dengan pasien berbaring pada meja pemeriksaan. Pasien puasa selama beberapa jam sebelum pemeriksaan. Regimen untuk membersihkan usus jarang diberikan. Visualisasi dari usus diperoleh setelah pemberian kontras radioopak. Keuntungan dari pencitraan fluoroskopi termasuk kemampuan untuk memvisualisasi loop peristaltik dari usus halus secara real time, sebuah fitur yang memungkinkan untuk menentukan antara abnormalitas sebenarnya dan perubahan konfigurasi sementara yang terkait dengan gerakan. Dengan opasifikasi kontras yang optimal, inspeksi dari permukaan mukosa pada seluruh panjang usus dapat diperlihatkan.10



17



Interpretasi dari temuan pencitraan Banyak dari pencitraan fluoroskopi pada UC, yang secara predominan melibatkan usus besar, telah digantikan oleh kolonoskopi. Namun, sekitar 20% dari pasien dengan UC berat memiliki hubungan dengan ileitis backwash. Fluoroskopi menunjukkan katup ileocecal yang inkompeten dengan pola dari permukaan mukosa ileum terminal berbentuk seperti butiran pasir. Temuan ini berbeda dengan CD, dimana terdapat katup ileocecal yang stenotik dengan penyempitan lumen dan ulserasi dari ileum terminal. Ileitis backwash biasanya membaik setelah total kolektomi.10 CD dapat mengenai seluruh traktus digestivus mulai dari mulut hingga anus, 80% dari pasien ini memiliki keterlibatan dari usus halus (Gambar 10). Tidak seperti UC, skip area dari usus yang tidak terlibat dapat tersebar antara segmen usus yang terkena. CD memiliki predileksi untuk mengenai ileum terminal. Tanda radiografik paling awal dari CD adalah aphthous ulcer, yang tampak sebagai kumpulan kontras yang dikelilingi halo akibat edema mukosa sekitar. Aphthous ulcer tidak spesifik untuk CD dan dapat dilihat pada beberapa penyakit lain.10



Gambar 7. Aphthous ulcer, yang tampak



sebagai kumpulan kontras yang dikelilingi halo akibat edema mukosa sekitar (panah merah)10



18



1.b.



Pencitraan Computed Tomography (CT)



Indikasi CT tetap merupakan modalitas pencitraan utama pada IBD dan komplikasinya. Sebagai teknik pencitraan cross-sectional dengan resolusi tinggi, CT dapat memvisualisasikan tidak hanya lumen usus, tetapi juga dinding usus, lemak viseral, limfonodi intraabdomen dan pembuluh darah mesenterium yang mensuplai usus. CT dapat dilakukan secara cepat dan alat CT tersedia pada hampir seluruh ruang gawat darurat, membuat CT menjadi pilihan yang ideal pada kondisi gawat darurat. CT merupakan pemeriksaan pencitraan yang sesuai untuk diagnosis IBD, evaluasi dari respon terhadap intervensi, deteksi dari komplikasi gawat darurat dan segera seperti pembentukan abses dan obstruksi usus akut. Ulserasi mukosa yang halus tidak tervisualisasi dengan baik pada CT, modalitas ini sebaiknya tidak digunakan sebegai penunjang lini pertama untuk deteksi dari kecurigaan penyakit ringan.10



Pertimbangan teknis Terdapat berbagai macam protokol CT dengan indikasi pada abdomen. Alasan umum untuk untuk melakukan pencitraan adalah penilaian patologi dari usus halus. CT enterografi biasanya merupakan protokol pencitraan pilihan, yang menggabungkan distensi kontras enteral bervolume besar untuk usus halus dengan administrasi kontras intravena. Pada pemeriksaan pencitraan ini pasien puasa mulai beberapa jam sebelumnya; mirip dengan fluoroskopi, regimen untuk membilas usus jarang diberikan secara rutin. Kontras intravena selalu digunakan jika bisa. Kontras enteral merupakan komponen yang tidak dapat digantikan pada teknik ini. CT enterografi awal mengandalkan agen kontras enteral “positif”, biasanya barium soluble yang akan mengopasifikasi lumen usus. Membedakan garis tipis dari peningkatan opasitas mukosa akibat kontras intravena terhadap kontras enteral yang opak pada lumen usus dapat merupakan tantangan. Karena itu, pendekatan yang lebih popular adalah



19



menggunakan kontras enteral yang “netral” yang mendistensi lumen usus tetapi tidak mengopasifikasi lumen usus. Dengan metode ini, pola mukosa dapat dilihat lebih baik dan juga area yang tidak terdistensi seperti striktur. Air dapat digunakan sebagi agen enteral netral, tetapi memiliki kekurangan diserap oleh tubuh.10 Interpretasi temuan pencitraan – CD Tujuan utama penggunaan CT pada kasus IBD adalah menentukan penyakit aktif dengan penyakit inaktif pada usus halus. Perbedaan ini memiliki kepentingan klinis yang tinggi: pasien dengan inflamasi yang aktif diterapi secara medikamentosa dengan terapi imunomodulasi. Pasien simtomatis dengan penyakit inaktif, seperti striktur fibrotik, seringkali memerlukan intervensi pembedahan. Area usus dengan inflamasi aktif pada CT umumnya menunjukkan penebalan usus patologis, yang didefinisikan sebagai dinding usus dengan ketebalan lebih dari 3 mm. Nilai cut off 3 mm dipilih melalui konsensus dan digunakan secara umum pada semua modalitas cross-sectional termasuk MRI dan ultrasonografi. Karakter pembeda lainnya dari penyakit aktif adalah hyperenhancement dari mukosa yang tampak sebagai garis tipis pada permukaan luminal dinding usus yang menggambarkan hiperemia dari inflamasi (Gambar 8). Temuan ini dianggap sebagai paling sensitif untuk penyakit aktif, dan derajat hyperenhancement mungkin berhubungan dengan derajat inflamasi yang mendasari.10



20



Gambar 8. Inflamasi aktif menyebabkan hyperenhancement mukosa dan penebalan dinding usus lebih dari 3 mm22



Interpretasi temuan pencitraan – UC Kolonoskopi



tetap



merupakan



pendekatan



utama



untuk



mendiagnosa dan menentukan luas dari penyakit UC. Pada UC, komplikasi berat seperti megakolon toksik merupakan indikasi untuk pencitraan dengan CT terutama pada pasien-pasien tidak stabil ini. Temuan CT berupa penipisan dari dinding kolon, distensi luminal dan pneumatosis. Pada kasus berat dapat terjadi perforasi dan udara bebas intraperitoneal.10



1.c.



Magnetic Resonance Imaging (MRI)



Indikasi MRI memiliki banyak kelebihan dibanding modalitas pencitraan cross-sectional lainnya, termasuk kemampuan untuk memperoleh gambar pada bidang pencitraan manapun, sedikitnya radiasi ionisasi, dan resolusi jaringan lunak yang baik. Karena sedikitnya radiasi ionisasi, pencitraan



21



dapat dilakukan beberapa kali pada beberapa poin waktu selama pemeriksaan.10 MRI sangat cocok diaplikasikan pada IBD untuk investigasi dari usus halus dan daerah perianal. Pencitraan MRI dari usus besar tidak rutin dikerjakan. Untuk skenario klinis spesifik, seperti penyakit perianal, MRI masih dianggap sebagai standar baku untuk teknik non-invasif.10



Pertimbangan Teknis Pada IBD, pemeriksaan MRI yang sangat berguna adalah Magnetic Resonance Enterography (MRE). Sekuensi dengan T2 weighting paling baik untuk mengevaluasi dinding usus. Enhanchement kontras intravena tampak terang pada sekuensi T1 weighted; tetapi feses terkadang juga tampak terang pada pencitraan T1, sehingga kumpulan gambar T1 prekontras diambil untuk mengidentifikasi enhancement sebenarnya.10 Tidak terdapat preparasi usus spesifik sebelum pemeriksaan MRE, tetapi



pasien



secara



umum



puasa



sebelum



pemeriksaan.



Agen



antiperistaltik seperti glukagon dapat membantu meningkatkan kualitas gambar dan seringkali diberikan sesaat sebelum pencitraan. Kontras intravena dengan agen mengandung gadolinium-chelate merupakan hal yang standar untuk diberikan. Terdapat beberapa pilihan dari kontras enteral, yang dapat dikategorikan oleh karakter signal MRI yang dihasilkan. Agen “negatif” secara intrinsik merupakan senyawa gelap pada T1 dan T2 yang biasanya mengandung partikel superparamagnetik besi oksida. Kelebihan utama mereka adalah memberikan penekanan terhadap enhancement dari mukosa dan edema dinding usus. Agen “positif” secara intrinsik merupakan senyawa terang pada T1 dan T2, serupa dengan agen kontras positif pada CT sehingga dapat menutupi enhancement dari mukosa sehingga jarang digunakan. Agen kontras enteral MR yang sering digunakan tipe bifasik, dimana tampak gelap pada T1 dan terang pada T2. Dengan agen ini, kita dapat menilai pola lipatan dinding usus pada gambar T2 weighted tanpa kehilangan data enhancement mukosa pada gambar T1 weighted (Gambar 9).10



22



Gambar 9. Gambar T2 weighted dari MRE anak dengan CD. Gambar ini menunjukkan 2 loop kolon (panah merah) dengan edema usus dan diffusi air terbatas, konsisten dengan inlamasi aktif.10



Interpretasi dari temuan pencitraan – CD Pencitraan MRI merupakan alat yang baik untuk deteksi CD yang aktif dengan sensitifitas lebih dari 90%. Banyak dari karakteristik pencitraan CD yang aktif pada MRI secara morfologis identik dengan temuan pada CT. Misalnya, penebalan di dinding usus lebih dari 3mm dianggap abnormal dan bukti adanya inflamasi aktif. Penyakit aktif dengan edema intramural bermanifestasi sebagai hiperinstensitas T2 antara mukosa dan muskularis propria (Gambar 10). Hyperenhancement dari mukosa juga merupakan penanda penting dari penyakit aktif.10



23



Gambar 10. Temuan dari CD oleh MRE. Edema submukosa tampak sebagai hiperintensitas dari T2 yang terletak diantara mukosa dan muskularis propria (panah merah).10



Selain memiliki kemampuan untuk mengevaluasi usus halus dengan enterografi, MRI merupakan alat yang hebat dalam investigasi dari perianal CD karena memiliki kontras jaringan lunak yang superior dalam menggambarkan kompleks sfingter ani. Tipe paling umum dari fistula anorektal adalah fistula intersfingter (Gambar 14), diikuti oleh fistula tran-sfingter (Gambar 14).22



24



Gambar 11. Temuan MRI pada fistula anorektal. A. Hiperintensitas T2 yang terletak antara eksternal dan internal kompleks sfingter merupakan diagnostik dari fistula intersfingter (panah merah). Dua sekuensi gambar T2 weighted menunjukkan fokus hiperintens menyeberang melalui kompleks sfingter internal dan eksternal dengan fistula transsfingter (panah merah B-1). Gambar berikutnya asosiasi koleksi cairan yang meluas menuju fossa ischioanal kiri (panah putih B-2).10



1.d.



Ultrasonografi



Indikasi Indikasi dari ultrasonografi adalah untuk mengevaluasi penyakit aktif pada pasien IBD simtomatis dimana distribusi anatomi dari inflamasi usus telah diketahui Ultrasonografi memiliki keuntungan seperti biaya yang murah, sedikitnya radiasi ionisasi, dan kemampuan pencitraan realtime. Kekurangan dari ultrasonografi adalah ketidakmampuan untuk memvisualisasi bagian dari usus halus, rektum dan sigmoid, kesulitan melacak segmen usus panjang, dan ketergantungan oleh kemampuan operator. Ultrasonografi di tangan operator yang handal dapat memiliki akurasi setingkat dengan CT dan MRI pada IBD dengan melihat penebalan dinding dan hipervaskularisasi melalui Doppler. Ultrasonografi baik pada pencitraan pediatri karena luas permukaan tubuh yang lebih kecil dapat



25



memberikan pemeriksaan yang lebih lengkap dan sedikitnya radiasi ionisasi.10



Pertimbangan teknis Persiapan pasien pada pemeriksaan ultrasonografi adalah minimal. Karena gas dalam lumen dapat memberikan artifak bayangan akustik yang menutupi struktur dibawahnya, cairan non-effervescent dapat diberikan untuk mendorong gas usus ke menuju distal dan memberikan distensi lumen. Pilihan transduser ultrasonografi adalah berdasarkan ukuran tubuh pasien. Transduser dengan frekuensi tinggi memproduksi gambar dengan resolusi lebih tinggi tetapi memiliki daya tembus jaringan yang lebih rendah dibanding transduser frekuensi rendah.10



Interpretasi dari temuan gambar IBD memberikan manifestasi pada pemeriksaan ultrasonografi berupa penebalan dinding usus abnormal dengan definisi tebal lebih dari 3 mm dan hilangnya batas yang jelas dari lapisan dinding usus. Baik penyakit UC maupun CD menghasilkan penebalan dinding usus. Pada UC lapisan dinding usus tetap terpreservasi, berbeda bila dibandingkan CD. Pemeriksaan ultrasonografi saja tidak dapat membedakan secara akurat kedua penyakit ini. Edema intramural tampak sebagai hipoekoik menyeluruh di dalam dinding usus. Sebaliknya penyakit fibrostenosis menunjukkan hiperekoik dari lapisan submukosa. Ulkus superfisial mungkin dapat dideteksi sebagai interupsi hipoekoik di dalam lapisan usus paling dalam.10



26



2.



Histopatologi



Gambaran histopatologi dari CD adalah adanya fokus inflamasi dengan latar belakang mukosa normal dan granuloma. Gambaran histopatologi tipikal pada UC adalah ulkus dengan latar belakang inflamasi. Granuloma merupakan gambaran yang tidak didapatkan pada UC, ulkus dan abses pada kripta merupakan gambaran yang menentukan namun bukan merupakan patognomonis karena gambaran tersebut dapat muncul pada CD dalam jumlah yang sedikit (Tabel 2).11 Tabel 2. Gambaran histopatologis CD dan UC11



2.6



KLASIFIKASI IBD PADA ANAK



Sekitar 25% kasus IBD muncul pada masa anak-anak atau remaja. Diagnosis UC dan CD diaplikasikan untuk membedakan 2 fenotip utama dari IBD. Keduanya terdiri dari spektrum penyakit inflamasi usus kronis dengan variasi yang signifikan, khususnya CD. Kerentanan genetik pada IBD menunjukkan CD dan UC merupakan gangguan yang kompleks dengan predisposisi gen yang unik dan terdapat beberapa persamaan gen. Pengetahuan terhadap polimorfisme genetik pada predisposisi dan modifikasi gen mungkin dapat menjelaskan variasi penyakit dari lokasi, perilaku, keparahan dan respons tedari penyakit. Klasifikasi fenotip secara akurat, yang mencakup tipe penyakit dan perjalanannya penting jika ingin melihat kegunaan data genotip untuk memprediksi variasi klinis. Klasifikasi Montreal dari IBD dibuat dengan tujuan



27



seperti yang disebutkan di atas, tetapi klasifikasi Montreal memiliki kelemahan terhadap anak-anak.12 Data deskriptif dari bagian pediatri di seluruh dunia memperhatikan karakteristik fenotip yang unik pada IBD anak-anak, termasuk kecenderungan yang lebih besar untuk penyakit yang ekstensif. Kondisi dinamis dari fenotip anak-anak (contoh: perubahan dari lokasi penyakit dan perilaku penyakit seiring berjalannya waktu) tidak termasuk pada klasifikasi Montreal. Gangguan pertumbuhan linear tidak diperhitungkan dan usia saat onset tidak dikategorikan. Klasifikasi Montreal hanya memiliki reliabilitas yang moderat ketika digunakan terhadap pasien anak-anak, sehingga diperlukan modifikasi kriteria diagnostik pada anak-anak.12 Pada bulan Mei 2009, sebuah grup internasional yang terdiri dari para ahli dalam IBD pediatrik melakukan ulasan literatur mengenai domain klasifikasi Montreal memerlukan modifikasi untuk menggambarkan spektrum fenotip tersebut. Secara umum, tujuannya adalah: 1. Mengklasifikasikan umur saat onset ke dalam kategori yang sesuai berdasarkan analisis dari variasi spektrum fenotip IBD menurut usia saat onset 2. Memberikan definisi CD terhadap UC, terhadap IC yang merefleksikan hasil observasi pada pasien yang lebih muda 3. Mengklasifikasikan lokasi dari UC dan CD pada pediatri secara optimal 4. Memberikan definisi pediatri dari perilaku penyakit 5. Memasukkan durasi penyakit ke dalam deskripsi dari perilaku dan lokasi penyakit 6. Membuat definisi dan standarisasi mengenai penyakit 7. Mengklasifikasikan pertumbuhan (normal atau terganggu).12



Membedakan UC dari CD dan istilah IC merupakan subyek dari grup kerja sebelumnya tentang klasifikasi dari IBD pediatri. Fokus dari bahasan sistimatik sebelumnya adalah membahas secara menyeluruh dan hati-hati mengenai bukti tentang isu kontroversi pemberian label pada pasien (biasanya dengan predominan penyakit pada kolon) sebagai CD atau UC atau IC. Hal ini



28



termasuk inflamasi mikroskopis dan makroskopis dari saluran cerna atas atau inflamasi usus segmen pendek pada pasien dengan pankolitis kontinu. Ringkasan dari faktor-faktor yang menyingkirkan diagnosis UC tedapat pada tabel 3.12



Tabel 3. Konsensus fitur yang menyingkirkan diagnosis dari UC12



Dari pertemuan tersebut dihasilkan kriteria Paris yang merupakan modifikasi dari kriteria Montreal dengan tidak mengubah dan mengikuti kerangka dari klasifikasi Montreal12.



29



Tabel 4. Klasifikasi Montreal dan Paris pada CD12



Tabel 5. Klasifikasi Montreal dan Paris Untuk UC12



30



Abnormalitas dari pertumbuhan merupakan elemen yang penting dari fenotip penyakit pada IBD pediatri, sehingga komite merasa bahwa pertumbuhan harus dimasukkan pada klasifikasi fenotip (tabel 6).12



Tabel 6. Klasifikasi untuk dokumentasi pertumbuhan linear pada IBD anak12



2.7



gangguan



PENATALAKSANAAN



Tujuan dari pengobatan pada IBD adalah agar penyakit aktif menjadi remisi dengan pencegahan kekambuhan. Pilihan pengobatan ditentukan oleh tipe penyakit, distribusi dan gejala lainnya seperti penurunan berat badan, short stature dan status pubertas. Pilihan pengobatan tergantung pada kerjasama anak dan kesediaan orang tua untuk memberikan pengobatan; misalnya, seorang anak dengan kolitis distal mungkin tidak mau menerima pengobatan dengan enema. Terapi IBD berkembang pesat, dengan banyak agen biologis baru dalam penyelidikan yang mungkin dapat mengubah strategi terapi secara radikal pada dekade berikutnya.2



31



2.7.1



Manajemen Crohn’s Disease



Keuntungan dan risiko pengobatan harus didiskusikan secara terbuka dengan pasien dan keluarga mereka terutama yang berhubungan dengan pemberian steroid dan imunomodulator. Faktor-faktor seperti potensi terjadinya imunosupresi, penekanan sumsum tulang dan keganasan harus dibahas dan dibuat catatan tertulis.2



1. Induksi remisi pada saat terdiagnosis atau pada kekambuhan penyakit Pilihan pengobatan pada sebagian besar kasus adalah pemberian nutrisi enteral eksklusif dan kortikosteroid oral. Beberapa pusat sudah menggunakan azathioprine pada mereka dengan penyakit yang berat saat terdiagnosis.



Azathioprine



mencegah



kekambuhan,



tetapi



belum



sepenuhnya efektif sampai dengan tiga bulan pengobatan.2



2. Nutrisi enteral eksklusif Beberapa pasien dengan IBD dapat diberikan diet cair eksklusif. biasanya berlangsung 2-8 minggu. Individu dengan diet cair eksklusif tidak memerlukan makanan biasa atau minuman karena diet cair tersebut memenuhi semua nutrisi yang diperlukan. Terapi ini dapat menghindarkan dari penggunaan steroid dengan membantu penyembuhan dari usus dan memberikan kesempatan usus untuk beristirahat.13 Terdapat 3 macam nutrisi enteral: 



Elemental (hanya mengandung asam amino, glukosa dan asam lemak beserta nutrisi yang tidak perlu dicerna)







Semi



elemental



(hanya



mengandung



peptida



kecil,



oligosakarida dan asam lemak rantai sedang) 



Polimerik (mengandung protein, karbohidrat, asam lemak rantai sedang dan panjang, vitamin, dan trace element)



32



Diet polimerik paling sering digunakan. Diet semi elemental dan elemental hanya digunakan pada pasien dengan Short bowel syndrome atau tidak bisa mentolerir diet polimerik.13 Nutrisi enteral eksklusif adalah terapi lini pertama yang efektif untuk penyakit usus halus dan usus besar, menginduksi remisi pada 6080% kasus. Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaannya termasuk pilihan pasien dan orang tua, kepatuhan, rasa, kurangnya toksisitas dari penggunaan kortikosteroid, potensi manfaat dalam hal peningkatan status gizi dan pertumbuhan.14 Durasi nutrisi enteral eksklusif biasanya 6 minggu. Kebanyakan anak-anak membutuhkan sekitar 120% dari Reference Nutrient Intake (RNI). Namun, diet ini perlu diturunkan takarannya sesuai dengan kebutuhan individu. Makanan dapat diperkenalkan kembali dengan hatihati selama 1-3 minggu, tergantung pada gejala pasien sambil menyapih nutrisi enteral.14



Gambar 12. Contoh nutrisi enteral eksklusif



3. Kortikosteroid 



Prednisolon 1-2 mg per kgBB/hari (maksimum 40mg per hari) adalah terapi lini pertama efektif untuk penyakit usus halus dan usus besar.







Terapi diberikan dosis penuh selama 2-4 minggu sampai dicapai remisi (evaluasi setiap 2 minggu di klinik atau melalui telepon, sampai remisi secara klinis) dan selanjutnya pengurangan bertahap dosis selama 4-8 minggu tergantung pada respon terapi.







Pastikan asupan makanan cukup kalsium dan vitamin D, jika tidak cukup suplemen dapat diberikan.



33







Penekanan asam lambung dengan proton pump inhibitor (misalnya Omeprazole) mungkin diperlukan apabila terdapat gastritis.15



4. Strategi manajemen lain pada induksi 



Antibiotik – Metronidazole (3 x 7.5mg/kgBB) dengan atau tanpa ciprofloxacin (2 x 5mg/kgBB) untuk penyakit yang melibatkan regio perianal. Hati-hati penggunaan ciprofloxacin pada anak karena dapat menyebabkan kerusakan kartilago sendi-sendi weight bearing.







Aminosalisilat dalam dosis tinggi (mesalazine 50-100mg/kgBB/hari, maksimum



3-4



g/hari



atau



sulfasalazine



40-60mg/kgBB/hari,



maksimum 3g/hari dapat ditingkatkan menjadi 100mg/kgBB/hari bila dapat ditoleransi) mungkin efektif pada penyakit yang ringan. Mesalazine topikal efektif untuk kolitis sisi kiri dengan derajat ringan sampai sedang. Pemeriksaan reguler tiap 6 bulan untuk pemantauan fungsi ginjal dan hati adalah penting. 



Budesonide 9mg/hari kurang efektif dibanding prednisolone sebagai terapi lini pertama untuk penyakit yang terisolasi pada ileocecal tetapi memeliki efek samping yang lebih sedikit.







Steroid intravena (iv) harus diberikan pada anak-anak dengan tampilan penyakit yang parah. Hidrokortison 2mg/kgBB 4 kali perhari (maksimum 100 mg dibagi dalam 4 kali pemberian per hari) atau metilprednisolon 2mg/kgBB 1 kali per hari (maksimum 60mg/hari).







Azathioprine dapat segera diberikan pada kasus berat, tetapi dibutuhkan setidaknya 3 bulan untuk sepenuhnya efektif.







MRI pelvis untuk menilai luasnya komplikasi penyakit pada daerah perianal berupa abses atau fistula setelah dilakukan pembedahan.







Nutrisi parenteral mungkin diperlukan sebagai dukungan nutrisi pada pasien dengan penyakit yang rumit dan berat.16



34



2.7.1.1. Crohn’s Disease Non Responsif atau Refrakter



Pada pasien dimana terapi induksi standar termasuk steroid intravena dosis tinggi gagal untuk induksi remisi baik saat diagnosis atau selama fase relaps didefinisikan sebagai CD non responsif. CD steroid refrakter didefinisikan sebagai penyakit aktif meski telah diberikan terapu steroid dosis adekuat (12mg/kgBB/hari; minimum 20mg/hari) dengan durasi setidaknya 2 minggu dari terapi steroid. Pasien seperti ini perlu dipertimbangkan terapi dengan imunomodulator bila pembedahan bukan pertimbangan yang segera.17 



Azathioprine



(2-2.5mg/kgBB/Hari)



atau



6-



mercaptopurine



(1-



1.25mg/kgBB/hari). Pasien dengan intoleransi terhadap azathioprine, hingga 50% akan toleran terhadap mercaptopurine. 



Metotreksat 15 mg/m2, tiap minggu diberikan subkutan (SC). Remisi biasanya terjadi dalam 4 minggu tetepi perbaikan lebih lanjut dapat dilihat setelah 16 minggu. Administrasi mingguan secara parenteral memberikan keuntungan bila medikasi secara oral tidak mendukung. Jika hal tersebut tidak menjadi masalah, pasien dapat beralih kepada metotreksat oral bila tidak terdapat penyakit yang mungkin mengganggu penyerapan metotreksat.







Infliximab 5mg/kgBB/dosis pada minggu 0,2 dan 6 efektif pada pasien refrakter atau intoleran terhadap steroid digabung dengan pemberian imunomodulator dimana pembedahan tidak dapat dilakukan. Perencanaan harus dibuat pada awal pemberian infliximab dengan lama terapi telah ditentukan dengan jelas, misal pemberian 3 dosis kemudian penilaian ulang. Sebelum memulai pemberian infliximab, sepsis harus disingkirkan terlebih dahulu termasuk TB (pemeriksaan foto toraks/tes Mantoux). Pasien dalam keadaan imunosupresi dapat memberikan hasil negatif palsu pada tes Mantoux. Sebelum memulai terapi infliximab pasien dan keluarga harus dilakukan konseling tentang resiko keganasan.







Pembedahan harus dipertimbangkan pada penyakit yang terisolasi pada ileosaekal, striktur atau fistula setelah terapi medis gagal.



35







Pada CD pembedahan bukan bersifat menyembuhkan tetapi mengurangi komplikasi dari penyakit. Setidaknya 30% dari pasien memerlukan pembedahan pada 10 tahun pertama dari penyakit dan sekitar 70-80% akan memerlukan pembedahan selama hidupnya.17



Lokasi penyakit di tempat lain 



Oral: CD dapat diatasi dengan nutrisi enteral eksklusif, diet eksklusi (benzoate dan bebas kayu manis), steroid topikal dan atau injeksi steroid intralesi. Azathioprine, infliximab dan thalidomide dapat dipertimbangkan pada penyakit yang resisten.







Gastroduodenal: pemberian proton pump inhibitor, digabung dengan terapi standar dapat mengurangi gejala.







Peri-anal dan fistula: o Metronidazole (3 x 7.5mg/kgBB/dosis) selama setidaknya 6 minggu dan atau ciprofloxacin (2 x 5mg/kgBB/dosis) adalah terapi yang sesuai untuk penyakit perianal simple. o Azathioprine (2-2.5mg/kgBB/hari) atau 6 mercaptopurine (11.25mg/kgBB/hari) mungkin terapi yang efektif untuk fistula perianal dan enterokutan (periksa TMPT sebelum memulai terapi) tetapi tetapi terdapat delay dari onset terapi. o Infliximab iv; 3 infusion 5mg/kgBB tiap pemberian pada minggu 0, 2 dan ke 6 mungkin terapi yang efektif untuk fistula perianal dan enterokutan tetapi dicadangkan untuk terapi pada pasien refakter terhadap pengobatan lain. MRI pelvis haru dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan abses dan untuk mendiagnosa fistula sebelum memulai terapi infliximab. o Pembedahan – drainase abses, fistulotomi dan insersi seton dapat dilakukan sebelum pemberian terapi infliximab.17



36



Gambar 13. Drain seton18



Gambar 14. Alur terapi dari CD2



37



Rumatan dari Remisi Crohn’s Disease 



Tidak terdapat kegunaan dari rumatan steroid untuk pasien dengan CD. Pada pasien dengan steroid dependen, segala upaya harus dilakukan untuk mencari terapi lain yang lebih efektif.







Azathioprine



(2-2.5mg/kgBB/hari)



atau



6-mercaptopurine



(1-



1.25mg/kgBB/hari) harus dimulai sebagai terapi rumatan pada kasus relaps kurang dari 6 bulan, relaps 2 kali atau lebih dalam setahun setelah terapi awal yang sukses dan pada semua kasus dengan steroid dependen. Terapi ini juga diberikan pada pasien post operasi untuk penyakit yang kompleks, dengan fistula dan luas. Penghentian azathioprine merupakan kontroversi, lebih dari setengah pasien akan relaps dalam 3 tahun setelah penghentian azathioprine sehingga kebiasaan untuk menghentikan setelah 4 tahun tidak dibenarkan. Hal ini harus didiskusikan dengan pasien dan orang tua pasien. Terapi ini tidak boleh dihentikan pada waktu penting saat pubertas dan atau saat pendidikan.19 



Metotreksat 15mg/m2 tiap minggu subkutan, bila azathioprine atau 6mercaptopurine tidak efektif atau memiliki toleransi yang jelek. Pemberian asam folat 5mg 24 jam setelah pembierian tiap dosis metotreksat untuk memperingan efek samping pada traktus gastrointestinal. Fungsi liver dan pemeriksaan darah lengkap harus dimonitor tiap 2 minggu pada 4 minggu pertama kemudian dilanjutkan 1 kali tiap bulan.19







Nutrisi enteral – Terapi suplemen dapat mengurangi resiko relaps dan memperbaiki status nutrisi dan pertumbuhan.







5ASA, Mesalazine mempunyai peran yang kecil dalam mempertahankan remisi dan mempunyai keuntungan yang terbatas pada dosis tinggi (50-100 mg/kg/hari bila ditoleransi) untuk penyakit ringan.







Infliximab – Apabila remisi diinduksi oleh infliximab, rumatan dengan infliximab dapat diperlukan (5mg/kgBB IV, 8 tiap minggu), mungkin perlu untuk meningkatkan dosis lebih tinggi (10mg/kgBB) apabila terdapat hilangnya respon terhadap pengobatan. Apabila sukses, harus dikembalikan



38



ke dosis yang lebih rendah pada pemberian berikutnya. Pertimbangkan terlebih dulu untuk menyelidiki sepsis yang sedang berjalan, striktur dan pertumbuhan bakteri yang berlebihan. Penghentian imunosupresan lain yang diberikan bersamaan setelah 6 bulan harus dipertimbangkan (terdapat data yang muncul tentang resiko terjadinya limfoma dengan pemberian infliximab yang mungkin atau tidak terkait dengan pemberian yang bersamaan dengan Azathioprine atau 6-mercaptopurine). Evaluasi secara periodik untuk mempertimbangkan apakah pemberian Infliximab dapat dihentikan. Jika pasien mulai memberikan gejala hipersensitifitas terhadap Infliximab, gejala ini dapat dihilangkan atau dikurangi dengan pemberian hidrokortison intravena dan atau tanpa pemberian antihistamin sebelum pemberian infliximab.19 



Terapi anti TNF lainnya pada pasien yang awalnya berespon terhadap Infliximab yang akhirnya menjadi resisten atau intoleran, maka agen anti TNF lainnya dapat dipertimbangkan seperti Adalimumab subkutan 80mg saat awal pemberian kemudian diikuti dengan 40 mg tiap minggu berikutnya. Evaluasi secara endoskopi dan bila perlu radiologis sebelum memulai terapi biologis lini ke 2. 19







Agen lainnya – Terdapat sedikit bukti tentang manfaat dari probiotik, minyak ikan dan Trichuris (cacing) untuk mempertahankan remisi pada CD.19



2.7.1.2. Perianal CD



Perianal CD mengacu pada keterlibatan dari area perineal dalam proses inflamasinya. Kasus ini dapat terjadi pada 5-25% dari pasien CD dan dapat diasosiasikan dengan penyakit yang aktif pada traktus gastrointestinal proksimal atau kolon pada sekitar sepertiga dari pasien. Perianal CD secara umum tampil sebagai abses perineal dan fistula, yang sering multipel, kompleks dan rekuren. Fistula rektovaginal dapat muncul pada 3-10% perempuan dengan CD, lebih sering pada porsi tengah dari septum rektovaginal dan merupakan tantangan untuk pengobatan. Perianal CD juga dapat muncul dengan fisura, ulkus anus, skin tag



39



dengan edema, inkontinensia alvi dan stenosis anus; meskipun jarang juga dapat terkait dengan kanker. Aktivitas dari penyakit perianal seringkali bersamaan dengan timbulnya gejala dari usus, meskipun sekitar 5% pasien dapat secara predominan menderita gejala pada anus dengan penyakit abdomen yang dorman. Pada beberapa kasus, penyakit perianal dapat menjadi gejala CD yang muncul, mendahului gejala pada abdomen dan mengarahkan pada diagnosis dari CD.20 Anamnesis dan pemeriksaan fisik umumnya cukup untuk membuat diagnosis dari hampir seluruh lesi perianal dan pemeriksaan pencitraan khusus tidak diperlukan secara rutin. Pada kasus berat, pemeriksaan rektum menjadi terbatas karena nyeri pada anus. Pada kasus dimana terdapat kecurigaan sepsis perineal yang tidak terdrainase, pemeriksaan di bawah anestesia harus dilakukan segera. Modalitas pemeriksaan lain, seperti endoskopi, USG, pemeriksaan dengan kontras, CT scan, dan MRI pelvis dapat membantu diagnosis dari perianal CD. Teknik-teknik pencitraan tersebut dapat membantu menentukan lokasi abses yang tidak terdrainase yang tidak tampak pada pemeriksaan fisik dan untuk menentukan jumlah dan lokasi fistula, hubungan dengan sfingter dan traktus fistula sekunder.20



Terapi pembedahan dan medik Tujuan utama dari terapi medik dan pembedahan adalah untuk memperbaiki dan menjaga kualitas dari hidup. Penyakit perianal seringkali menyebabkan morbiditas yang signifikan. Hal ini mempengaruhi aktivitas seharihari dan mengurangi kualitas hidup.20



1.



Terapi Medik Sebelum memulai terapi medis, disarankan untuk melakukan identifikasi



secara menyeluruh dari tempat traktus fistula, eksklusi dari abses perirektal dan evaluasi dari adanya proktokolitis yang aktif. Terapi medik saat ini termasuk antibiotik,



azathioprine,



6-mercaptopurine,



infliximab,



cyclosporine,



dan



tacrolimus. Kortikosteroid biasanya tidak memberikan keuntungan pada terapi dari perianal CD dan dapat menggangu penyembuhan luka dan menyebabkan eksaserbasi pembentukan abses. Aminosalisilat juga tidak efektif untuk menutup



40



fistula. Terapi pada inflamasi aktif rektum dengan kortikosteroid topikal atau mesalamine dapat memperbaiki gejala pada anus.20



2.



Terapi Pembedahan Tujuan dari terapi pembedahan pada perianal CD adalah untuk



memperbaiki kualitas hidup dan menawarkan terapi paliatif yang efektif. Terapi pembedahan dilakukan pada pasien CD dengan komplikasi perianal atau tidak respon dengan terapi medik yang agresif. CD cenderung berlanjut meski telah diterapi dengan pembedahan, dan hampir semua pasien akan memerlukan pembedahan setidaknya satu operasi selama hidup.20 Terapi pembedahan dari perianal CD dapat dibagi menjadi 2 kategori: terapi gawat darurat (emergency) dan segera (urgent), yang keduanya bertujuan untuk mengendalikan sepsis pada perineal dengan drainase yang adekuat. Terapi elektif ditujukan untuk sekuela dari penyakit ini seperti fistula perianal dan striktur anus. Prosedur pada perineal harus cukup efektif untuk mengendalikan sepsis atau meringankan penderitaan, tetapi tidak terlalu agresif sehingga menyebabkan gangguan fungsi sfingter.20 



Pembedahan gawatdarurat dan segera. Mengendalikan sepsis dan abses pada perineal memerlukan pemeriksaan dibawah anestesia untuk mendiagnosis sumber dari sepsis dan melakukan drainase dari abses simple atau dalam tanpa fistulotomi dari fistula terkait. Jika fistula dapat diidentifikasi, seton drain dapat dipasang melalui traktus dari fistula untuk menjamin darinase secara kontinyu sehingga terjadi resolusi dari sepsis perianal. Pelepasan dari seton yang terlalu cepat dapat meningkatkan insidensi dari sepsis perianal rekuren.20







Terapi pembedahan elektif. Pembedahan elektif pada PCD termasuk prosedur untuk komplikasi non-fistula seperti dilatasi dari striktur anorektal. Pasien dengan perianal CD akan memerlukan pembedahan untuk memperbaiki fistula perianal dan rektovaginal yang tidak respon terhadap terapi medik, seperti fistulotomi, injeksi lem fibrin, Transanal endorectal flap advancement, dan interposisi m. gracilis.20



41







Terapi dari fistula. Terapi dari fistula pada pasien perianal CD merupakan tantangan karena penyembuhan luka yang jelek dan resiko dari inkontinensia sekunder. Pilihan dari pendekatan pembedahan secara garis besar tergantung dari tipe dari fistula, usaha di masa lalu untuk perbaikan, keparahan gejala dan kontinensia saat ini.20







Fistulotomi terbatas (limited). Metode ini dapat dilakukan secara aman pada fistula simple (rendah) dan tidak melibatkan porsi signifikan dari sphingter ani eksterna, tanpa proktitis aktif dan dengan penyakit luminal proksimal yang terkontrol dengan baik. Fistula rektovagina tidak boleh diterapi dengan fistulotomi pada pasien dengan perianal CD karena resiko dari inkontinensia. Fistula kompleks (tinggi) memerlukan terapi pembedahan yang tidak agresif untuk mencegah rusaknya mekanisme sfingter. Seton yang tidak memotong paling sering digunakan. Drain seton memberikan drainase dari traktus fistula dan dapat ditinggalkan dalam waktu yang lama hingga inflamasi menjadi tenang.20







Endorectal advancement flap (Gambar 18). Ini merupakan terapi pembedahan untuk memperbaiki fistula perineal dengan preservasi dari fungsi sphingter ani. Prinsip dari prosedur ini adalah menutup bukaan internal dari fistula secara pembedahaan menggunakan flap yang dibuat dari dinding rektum, sehingga memberikan penyembuhan fistula dari dalam ke luar.20



42



Gambar 15. Endorectal advancement flap untuk perbaikan dari fistula perianal (A) pembuatan dari flap (B) menutup bukaan internal dari fistula.20







Instilasi dari lem fibrin. (Gambar 19) Prosedur yang secara teknis simpel untuk terapi perianal fistula ini memiliki resiko yang rendah dan kembalinya pasien menuju aktifitas normal lebih awal. Lem fibrin merupakan produk darah yang menggunakan aktivasi dari thrombin untuk membentuk bekuan fibrin, yang secara mekanis menutup traktus fistula. Bekuan fibrin ini menginduksi proses penyembuhan jaringan sementara diserap secara perlahan melalui fibrinolisis.20



Gambar 16. Instilasi dari lem fibrin menuju traktus fistula. Spuit dengan piston ganda dimasukkan dari bukaan luar dan lem dimasukkan ke dalam traktus fistula.20



43







Sumbatan (plug) matriks ekstraselular. Produk ini baru-baru saja dikenalkan untuk perbaikan dari fistula perianal. Sumbatan ini dibuat dari biomateri yang diambil dari usus halus babi mengandung matriks ekstraselular terbuat dari kolagen dan substansi biologis lainnya. Ketika dmasukkan kedalam traktus dari fistula, sumbatan ini memberikan scaffold untuk pertumbuhan jaringan ikat untuk memperbaiki fistula.20







Transposisi m. Gracilis. (Gambar 20) Prosedur ini merupakan prosedur yang besar untuk perbaikan dari fistula perineal pada pasien dengan gejala yang berat dimana terjadi kegagalan dari terapi yang lebih sederhana dan khususnya bermanfaat pada terapi fistula rektovaginal dan rektouretra yang persisten. Prinsip dari prosedur ini adalah menggunakan m. Gracilis, dirotasikan sebagai flap menuju area perineal untuk interposisi antara rektum dan organ sekitarnya seperti vagina dan urethra, membawa jaringan tebal dan viabel untuk memisahkan dua sisi dari fistula.20



Gambar 17. Transposisi m. Gracilis untuk perbaikan dari fistula perianal. (A) insisi pada paha (B) insisi perianal dan transposisi musculus.20



Indikasi Operasi pada Crohn’s Disease



Tidak ada terapi definitif kuratif pada CD. CD mengenai seluruh traktus gastrointestinal sehingga pembedahan tidak memberikan penyembuhan permanen. Tidak seperti UC, pembedahan pada CD bersifat paliatif dan bertujuan untuk mengobati komplikasi dari penyakit. Pengembangan terapi medika mentosa pada CD telah menurunkan perlunya terapi pembedahan pada CD. Indikasi



44



pembedahan pada CD terbatas pada kasus yang refrakter terhadap terapi medik atau terapi medic yang ditoleransi dengan jelek. Indikasi akut termasuk megakolon toksik yang tidak tertangani dengan terapi medik atau perdarahan akut, dimana keduanya merupakan kasus yang jarang. Kondisi subakut atau kronis yang mungkin memerlukan pembedahan temasuk striktur refrakter, fistula internal atau eksternal dan abses intraabdomen.21 Prinsip utama dari terapi pembedahan pada CD adalah menyelamatkan panjang usus. Reseksi harus dibatasi pada segmen usus yang menyebabkan gejala. Isolated skip lesion dibiarkan bila tidak memberikan gejala obstruksi. Pada kasus fistula internal, fistula biasanya berasal dari segmen proksimal yang sakit; usus segmen distal biasanya sehat kecuali pada daerah fistula. Strategi penanganan pada kasus ini adalah reseksi bagian usus proksimal yang sakit dan menutup fistula bagian distal. Pada pasien dewasa, strikturplasti merupakan metode pembedahan efektif dalam penyelamatan usus yang mengalami fibrotik stenosis multipel.21 Reseksi usus yang luas terkadang diperlukan pada penyakit kolon yang berat dan luas. Pada kasus ini rektum harus disisakan. Anastomosis ileoanal dengan atau tanpa pouch bukan indikasi pada CD; hasil akhir jangka panjang sangat tidak bisa diprediksi; seringkali buruk dan komplikasi dari pouch sangat sering.21



45



Gambar 18. Reseksi dari striktur yang terlokalisir, kemudian dilakukan anastomose 21



Gambar 19. Fistula ileosigmoid. Segmen proksimal sakit dilakukan reseksi dan anastomose kemudian fistula distal di-eksisi dan ditutup21



Gambar 20. Strikturoplasti multipel21



Terapi pembedahan dari CD bertujuan untuk mengatasi komplikasi dari penyakit yang refrakter terhadap terapi medikamentosa. Meskipun penyembuhan permanen tidak didapatkan setelah pembedahan, banyak pasien melanjutkan periode remisi penuh yang lebih lama dengan gaya hidup normal. Terapi pembedahan yang sesuai pada pasien tertentu dapat mengurangi bahkan



46



menghilangkan kebutuhan obat imunosupresi dan pengobatan dengan potensi bahaya selama berbulan-bulan bahkan tahun. Manifestasi perianal pada CD sangat umum pada anak-anak. Hal ini termasuk skin tag, fisura dan fistula. Pada sebagian besar kasus, manifestasi perianal menyebabkan penyakit yang ringan atau asimtomatis. Terapi konservatif disarankan dan terapi pembedahan hanya dipertimbangkan pada fistula rektovagina atau rektoperineal tinggi simptomatis berat yang tidak memberikan respon terhadap infliximab atau peningkatan terapi imunosupresi. Jika pembedahan diperlukan pada fistula perianal tinggi, reseksi biasanya pada kolon sisi kiri yang merupakan daerah paling sering terkena penyakit dan diversi usus sementara dapat meningkatkan angka kesuksesan dari perbaikan fistula. Jika terdapat asosiasi dengan manifestasi rectum yang berat, maka mungkin hanya proktektomi yang memungkinkan untuk menjamin kualitas hidup yang cukup.



2.7.2. Manajemen Kolitis Ulseratif (UC)



Terapi bergatung pada aktivitas dan penyebaran penyakit. Aktivitas penyakit dapat diekspresikan menggunakan Clinical Activity Index. Bila dari evaluasi didapatkan penyakit yang parah, pasien perlu menginap di bagian gastroenterologi anak untuk terapi intravena intensif. Apabila penyakit fulminan, pasien memerlukan resusitasi segera, pemeriksaan roentgen abdomen diperlukan untuk menyingkirkan adanya perforasi dan diperlukan adanya penanganan dan evaluasi gabungan dari medik dan bedah. Mayoritas (90%) dari anak-anak dengan UC memiliki pankolitis, kurang dari 10% memiliki kolitis sisi kiri, 4% memiliki penyakit terbatas pada rektum saja dan 4% menyisakan bagian rektum. Separuh dari semua pasien yang muncul tanpa pankolitis akan berubah menjadi pankolitis dengan cepat. Penyakit infeksi harus dicari karena mungkin terdapat bersamaan dengan penyakit yang aktif, tetapi pada penyakit yang berat terapi dengan kortikosteroid segera tidak boleh ditunda.2



47



2.7.2.1. Induksi Remisi dari Penyakit Saat Terdiagnosis atau Relaps



1. UC Ringan atau Kolitis Sisi Kiri 



Mesalazine topikal atau steroid dalam bentuk cair, foam atau suppositoria merupakan terapi yang efeketif untuk kolitis sisi kiri ringan atau moderat atau penyakit yang terisolasi pada rektum (1-2 g perhari). Tetapi, terapi tunggal dengan mesalazine topikal atau steroid untuk penyakit bagian distal kurang efektif dibanding kombinasi terapi oral dan topikal.22







Mesalazine oral (50-100 mg/kgBB/hari, maksimum 3-4g per hari) atau sulphasalazine (40-60mg/kgBB/hari maksimum 3g/hari dapat ditingkatkan hingga 100mg/kgBB/hari). Sulphasalazine ditoleransi lebih baik bila diberikan lebih dari 10 hari untuk mencapai dosis penuh dan efektif khususnya untuk UC dan IC dan untuk artropati. Hanya sulphasalazine yang tersedia dalam bentuk cair. Olsalazine dan Balsalazide adalah alternatif bila intoleran untuk sediaan di atas dan sediaan yang lebih baru tersedia dalam preparat sekali sehari. Fungsi ginjal dan hati dipantau 6 bulan sekali.22







Steroid



topikal



(Prednisolone



1-2mg/kgBB/hari,



maksimum



40mg/hari) untuk pasien dimana preparat 5-ASA tidak efektif.22



2. UC Moderat hingga Berat 



Kortikosteroid biasanya prednisolone 1-2mg/kgBB/hari (maksimum 40mg/hari)







Terapi dengan dosis penuh selama 2-4 minggu hingga remisi ( tinjau kembali setidaknya tiap 2 minggu di klinik atau melalui telepon, hingga remisi secara klinis)







Turunkan terapi secara bertahap selama 4-8 minggu







Jika pasien relaps saat masa weaning pertimbangkan “mundur satu langkah”.23



48



3. Kolitis Berat Akut / Megakolon Toksik Anak-anak dengan kolitis berat harus masuk rumah sakit untuk terapi intravena dan pengawasan ketat dalam suhu, denyut nadi, frekuensi defekasi, darah lengkap, CRP, dan foto polos abdomen untuk melihat dilatasi kolon. Evaluasi regular adalah penting.23 



Opini awal dari dokter bedah adalah esensial dan pasien harus dirawat bersama antara bagian medik dengan bedah







Cairan intravena atau transfusi darah bila diperlukan







Steroid intravena hydrocortisone 2mg/kgBB dibagi dalam 4 kali pemberian, maksimum 100mg dalam 4 kali pemberian atau methyl prednisolone



2mg/kgBB/hari, maksimum 60mg/hari. Kegagalan



respon dalam 72 jam menyarankan perlunya terapi dengan tingkat lebih tinggi atau kolektomi. 



Foto polos abdomen setidaknya 1 kali tiap hari bila pasien tampak tidak sehat atau toksik







Antibiotik intravena hanya diberikan bila ada kecurigaan infeksi atau terkadang



sebelum



pembedahan,



contoh



cefotaxime



(50mg/kgBB/dosis dalam 3 kali pemberian) dan metronidazole (7.5mg/kgBB/dosis dalam 3 kali pemberian) 



Tinjauan ulang segera dari pembedahan untuk kolektomi lebih awal juga merupakan indikasi bila terdapat bukti adanya megakolon toksik ( diagnosa ditegakkan bila diameter >5.5 cm pada kolon transeversum dan atau >9cm pada sekum berdasarkan data dewasa) dan pada kasus dimana terjadi perburukan keadaan.







Cyclosporine intravena 2-4mg/kgBB/hari dengan target 100-200ng/ml dapat dipertimbangkan pada kasus yang tidak respon terhadap steroid sebagai usaha sementara untuk menunda atau menghindari kolektomi memberikan waktu untuk penyembuhan dan inisiasi imunosupresan lini ke 2. Tacrolimus dapat merupakan alternatif.







Infliximab intravena – terdapat beberapa bukti bahwa infliximab dapat dipertimbangkan pada UC berat akut yang tidak respon.23



49



Gambar 21. Alur terapi pada UC.2



50



2.7.2.2. Rumatan dari Remisi Kolitis Ulseratif 



Aminosalisilat. Terapi rumatan dengan aminosalisilat direkomendasikan untuk semua pasien tetapi pertimbangkan penghentian pengobatan pada penyakit distal dan ringan pada remisi lebih dari 2 tahun







Mesalazine oral 50-100/kgBB/hari, maksimum 3g/hari harus dilanjutkan sebagai terapi rumatan lini pertama (evaluasi fungsi ginjal dan hepar tiap 6 bulan). Preparat mesalazine satu kali perhari diijinkan untuk digunakan pada pasien dewasa di Inggris







Sulphasalazine 30-60mg/KgBB/hari merupakan alternatif tetapi mempunyai efek samping lebih besar. Sulphasalazine merupakan preparat satu-satunya yang tersedia dalam bentuk cair. Obat ini mungkin dapat membantu pada kasus terkait dengan artropati







Steroid – Tidak terdapat peran dari terapi steroid pada rumatan dari remisi







Azathioprine



(2-2.5mg/kgBB/hari)



atau



6-Mercaptopurine



(1-



1.25mg/kgBB/hari) harus dimulai sebagai terapi rumatan pada kasus dimana terjadi kegagalan penghentian dari steroid atau relaps kurang dari 6 bulan atau relaps 2 hingga lebih dalam setahun meskipun telah diberi terapi rumatan yang adekuat dengan 5-ASA. Evaluasi 3 bulanan dari pemeriksaan darah lengkap dan fungsi liver diperlukan karena supresi sumsum tulang atau penyakit liver autoimun dapat terjadi. Pada penderita yang tidak respon dengan Azathioprine, kadar serum Thioguanide nucleotide dapat diukur untuk melihat ketidakpatuhan atau kegagalan absorpsi. 



Secara umum lanjutkan aminosalisialat dengan Azathioprine, untuk efek perlindungan terhadap kanker







Tedapat kontroversi dalam waktu yang tepat untuk menghentikan Azathioprine. Terdapat beberapa bukti pada pasien dewasa bahwa lebih dari setengah akan relaps dalam 3 tahun setelah penghentian Azathioprine maka kebiasaan untuk menghentikan setelah 4 tahun tidak dibenarkan. Masalah ini harus didiskusikan dengan pasien dan orangtua pasien dan juga dengan kolega gastroenterologi dewasa sebagai bagian dari rencana transisi. Tentunya terapi ini tidak dihentikan pada waktu-waktu penting seperti masa



51



pubertas atau masa pendidikan dan harus dilanjutkan hingga saat transfer ke dokter saluran cerna dewasa.24



Colitis indeterminan (IC) Diterapi sebagi UC kemudian dievaluasi ulang secara histologis dan distribusi penyakit karena dapat berubah sebagai UC maupun CD.2



2.7.2.3. Indikasi operasi pada UC



Indikasi umum pada pembedahan pada UC adalah respon yang jelek dengan terapi medik yang optimal, ketergantungan terhadap steroid dosis tinggi dengan efek samping yang signifikan, tumbuh kembang yang tertunda dan gejala ekstra intestinal yang berat. Pembedahan tidak boleh dipertimbangkan sebagai terapi utama maupun terapi awal dari UC. Sebagian besar pasien memperoleh hilangnya gejala jangka panjang dengan terapi konservatif dan tetap berada dalam remisi dengan pengobatan minimal atau tanpa pengobatan. Hasil akhir secara fungsional setelah proktokolektomi restoratif tidak dapat dibandingkan dengan fungsi usus yang normal. Sebelum proktokolektomi dikerjakan, CD harus disingkirkan terlebih dahulu dengan segala pemeriksaan. Pasien CD tidak boleh menjalani proktokolektomi restoratif.21 Standar emas pembedahan pada UC adalah proktokolektomi dan permanen ileostomi. Reseksi kolon terbatas, dan kolektomi dan anastomosis ileorektal telah ditinggalkan karena tingginya komplikasi dan rekurensi dari penyakit. Proktokolektomi dan ileostomi permanen memberikan kontrol yang baik terhadap UC dan gejala yang terkait, tetapi tidak ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan remaja karena batasan social yang signifikan dan perubahan bentuk badan permanen terkait operasi ini. Sejak akhir tahun 1970-an proktokolektomi restoratif dengan anastomosis ileoanal telah memperoleh penerimaan yang baik sebagai operasi standar untuk dewasa dan dan juga UC pada anak. Banyak dokter bedah anak menyarankan penggunaan dari reservoir ileal; yang paling popular dan mudah untuk dibuat adalah J-pouch. Beberapa dokter bedah anak masih menggunakan ileoanal anastomosis lurus tanpa reservoir.21



52



Proktokolektomi restoratif adalah adalah operasi besar dengan insidensi yang signifikan dari komplikasi paska operasi. Komplikasi sepsis adalah sering karena hamper semua pasien dengan UC refrakter terdapat imunosupresi karena terapi steroid dosis tinggi Status nutrisi dari banyak pasien sering tidak baik karena diare jangka panjang dan intake nutrisi yang jelek. Untuk mencegah komplikasi sepsis, penurunan dosis dari kortikosteroid sistemik serendah mungkin adalah penting atau penggantian menggunakan budesonide lokal yang mempunyai efek imunosupresi sistemik lebih sedikit. Kondisi nutrisi pasien juga harus diperbaiki. Nutrisi parenteral jarang diperlukan untuk memperbaiki status nutrisi.21 Apabila pasien mempunyai diare kronis, usus dapat dikosongkan dengan washout kolon simpel. Jika pasien tidak mempuyai diare, washout seluruh usus dengan solusio polyethyleneglycol (PEG) disarankan. Daerah stoma di kuadaran kanan bawah abdomen terbaik ditentukan saat pasien duduk.21



Gambar 22. Operasi restoratif proktokolektomi dengan anastomosis ileoanal disertai reservoir (J-Pouch).21



Anastomosis ileoanal telah merevolusi terapi dari UC pada anak-anak. Kepuasan jangka panjang dari pasien setelah operasi adalah baik meskipun tingginya komplikasi paska operasi. Pada anak-anak dengan kantong anastomosis ileoanal, hasil akhir fungsi kontinensi feses adalah baik. Biasanya semua pasien



53



mendapatkan kontinensi feses sehari penuh dalam 6 bulan setelah penutupan dari stoma. Beberapa pasien menderita dari noda feses pada malam hari yang memerlukan alas pelindung. Bila tidak terdapat komplikasi besar paska operasi, soiling dari feses hamper tidak ada. Frekuensi pergerakan usus 6-12 bulan paska operasi berkisar antara 2 hingga 7 kali dalam 24 jam.21 Komplikasi awal dan akhir terjadi pada 20-50% dari pasien; paling sering adalah infeksi luka operasi pada pasien yang telah menggunakan kortikosteroid dosis tinggi sebelum operasi dan obtruksi dari usus. Komplikasi sepsis dari rongga pelvis atau separasi dari anastomosis ileonal terjadi pada kurang dari 10% kasus. Inflamasi kronis dan akut di dalam kantong (pouchitis) adalah masalah yang alami terkait dengan ileoanal pull-trhough pada UC. Insidensinya bervariasi antara 20-50%. Sebagian besar pouchitis akut merespon dengan cepat terhadap pemberian singkat dari antibiotik oral, misalnya metronidazole. Pouchitis kronis lebih jarang terjadi dengan jumlah kurang dari 10%. Terapi dari pouchitis kronis terdiri dari antiobiotik dosis rendah jangka panjang dan pada kasus dengan respon yang jelek oral kortikosteroid, sebaiknya budesonide dapat diberikan. Pouchitis kronis mungkin merupakan presentasi dari CD; pada akhirnya 5-15% dari pasien yang telah menjalani anastomosis ileoanal untuk UC ditemukan memiliki CD. Gejala lain yang perlu diwaspadai suatu CD adalah fistula pada pouch, terutama fistula yang rekuren.21 Meskipun terdapat potensi masalah paska operasi yang besar, sebagian besar pasien yang telah menjalani proktokolektomi restoratif untuk UC melanjutkan gaya hidup dengan kepuasan yang tinggi dengan kontinensi fekal yang penuh dan frekuensi pergerakan usus yang dapat diterima.21



2.8



PROGNOSIS



Ulcerative Colitis Perjalanan dari UC ditandai dengan remisi dan eksaserbasi. Hampir seluruh



anak-anak



dengan



penyakit



ini



merespon



dengan



pengobatan



medikamentosa. Anak-anak dengan manifestasi ringan tetap merespon dengan baik terhadap penangangan secara medikal dan dapat tetap berada dalam remisi



54



dengan profilaksis preparat 5-ASA untuk periode yang lama. Terkadang anak dengan onset ringan nantinya dapat mengalami gejala yang tidak dapat dikendalikan. Setelah dekade pertama dari penyakit, resiko timbulnya kanker meningkat secara cepat. Resiko kanker kolon dapat dikurangi dengan pengawasan secara kolonoskopi dimulai sejak 8-10 tahun dari penyakit. Deteksi dari displasia yang signifikan pada biopsi merupakan indikasi untuk kolektomi.6 Crohn’s Disease CD adalah gangguan kronis yang berhubungan dengan morbiditas yang tinggi tetapi dengan mortalitas yang rendah. Gejala cenderung kambuh meskipun telah diterapi dan sering tanpa penjelasan yang jelas. Penurunan berat badan dan kegagalan pertumbuhan biasanya dapat diperbaiki dengan pengobatan dan perhatian terhadap nutrisi. Sampai dengan 15% dari pasien dengan retardasi pertumbuhan awal sekunder akibat penyakit Crohn mengalami penurunan permanen dalam pertumbuhan linear. Osteopenia sangat umum pada mereka dengan gizi buruk kronis dan paparan yang sering dari kortikosteroid dosis tinggi. Beberapa manifestasi ekstraintestinal dapat menjadi penyebab utama morbiditas, termasuk sclerosing cholangitis, hepatitis kronis aktif, pioderma gangrenosum, dan ankylosing spondylitis.6



55



DAFTAR PUSTAKA 1. Gracey M., Valerie B. Pediatric gastroenterology and hepatology 3rd edition. 1993. Boston: Blackwell 2. Sandhu B.K. et al. Guidelines for the Management of Inflammatory Bowel Disease (IBD) in Children in the United Kingdom. 2008. British Society of Paediatric Gastroenterology Hepatology and Nutrition (BSPGHAN) 3. Lashner B.A. Epidemiology of inflammatory bowel disease. Gastroenterology Clinical North Aamerica. 1995. Sep. 24(3);467-74. 4. Chilcott W. Pediatric Inflammatory Bowel Disease Evaluation and Management 2nd edition. 2010. NASPGHAN 5. Firmansyah



M.



Perkembangan



Terkini



Diagnosis



dan



Penatalaksanaan



Inflammatory Bowel Disease. 2013. FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta 6. Kliegman R.M. et al. Inflammatory Bowel Disease. Nelson Textbook of Pediatrics 19th Edition. 2011. Philadelphia: Saunders Elsevier. pp 1295-303 7. Abreu M, Fukata M, Breglio K. Inflammatory Bowel Disease. 2010. Blackwell Publishing. pp 64-75 8. Badizadegan K. Mucosal Biopsies in Evaluation of Pediatric Intestinal Disease. Massachusets General Hospital Pathology division 9. Hoffman AD, Hilton SW, Edwards DK. Practical Pediatric Radiology 2nd edition. 1994. Philadelphia: Saunders Elsevier 10. Sheth R, Gee M. The Imaging of Inflammatory Bowel Disease: Current Concept and Future Directions. 2012. INTECH 11. Ardizzone S. Ulcerative colitis. Orphanet encyclopedia. 2003:
diakses dari http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-UC.pdf 12. Levine A. et al. Pediatric Modification of the Montreal Classification for Inflammatory Bowel Disease: the Paris Classification. Inflammatory Bowel Disease. 2011; 12: 1314-21 13. Anonymous. Food and IBD edition 6. Crohn’s and Colitis UK. 2012. England: NACC 14. Sanderson IR, Udeen S, Davies PS, Savage MO, Walker-Smith JA. Remission induced by an elemental diet in small bowel Crohn's disease. Arch Dis Child



56



1987; 62:123-7. 15. Borrelli O, Cordischi L, et al. Polymeric diet alone versus corticosteroids in the treatment of active pediatric Crohn's disease: a randomized controlled open-label trial. Clin Gastroenterol Hepatol 2006; 4: 744-53 16. Hildebrand H, Berg NO, Hoevels J et al. Treatment of Crohn’s disease with metronidazole in childhood and adolescence: Evaluation of a 6 month trial. Gastroenterol Clin Biol 1980; 4: 19–25. 17. Uhlen S, Belbouab R, Narebski K, Goulet O, Schmitz J, Cezard JP, Turck D, Ruemmele FM. Efficacy of methotrexate in pediatric Crohn's disease: a French multicenter study. Inflamm Bowel Dis 2006; 12: 1053-7. 18. Holcomb GW, Murphy JP. Inflammatory Bowel Disease and Intestinal Cancer. Ashcraft’s Pediatric Surgery 5th Edition. 2010. Philadelphia: Saunders Elsevier. pp 532-44 19. Ba’ath ME, Mahamalat MW, Kapur P, Smith NP, Dalzell AM, Casson DH, Lamont GL, Baillie CT. Surgical management of inflammatory bowel disease. Arch Dis Child. 2007; 92: 312-6. 20. Khaikin M, Chowers Y, Zmora O. Perianal Crohn’s Disease. 2009. Departments of Surgery and transplantation and Gastroenterology. Sheba Medical Center. Israel 21. Puri. P, Hollwarth M. Ulcerative Colitis and Crohn’s Disease. Pediatric Surgery. 2006. New York: Springer-Verlag Berlin Heidelberg New York. pp 333-54 22. Odera G, Giuliani B, Santini B et al. Topical treatment with 5-aminosalicylic acid (5-ASA) and hydrocortisone enemas in proctocolitis in childhood (double blind study). Rivista Ital Pediatr 1986; 12: 674-8. 23. Faure C, Andre J, Pelatan C et al. Pharmacokinetics of intravenous methyl prednisolone and oral prednisolone in paediatric patients with inflammatory bowel disease during the acute phase and in remission.
Euro J Clin Pharmacol 1998; 54: 555-60. 24. Sutherland L, Roth D, Beck P et al. Oral 5-aminosalicylic acid for maintenance of remission in ulcerative colitis. Cochrane Database Syst Rev 2002; (4): CD000544.