Instrument Kecemasan Pada Pasien Paliatif [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH INSTRUMENT KECEMASAN PADA PASIEN PALIATIF Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Paliatif Dosen Pengampu: Ns. Ririn Afriyani, M. Kep



Disusun Oleh : Kelompok 10 Ans Evi Irawati



ST182004



Esti Coma



ST182013



Monica Putri



ST182022



Theresia Iswidaningrum



ST182050



Yulia Rahmawati Supraba ST182053



PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2019



BAB I PENDAHULUAN



A. LATAR BELAKANG Penyakit kanker (neoplasma) merupakan penyebab kematian pertama di dunia. Kanker adalah segolongan penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel yang tidak terkendali dan kemampuan sel-sel untuk menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (Amalia, 2009). Kanker payudara adalah keganasan yang berasal dari sel kelenjar, saluran kelenjar dan jaringan penunjang payudara, tetapi tidak temasuk kulit payudara. Kanker payudara umumnya menyerang wanita yang telah berumur lebih dari 40 tahun, namun wanita muda pun bisa terserang kanker payudara. Kanker payudara merupakan penyakit yang paling ditakuti oleh wanita meskipun kaum pria pun dapat terkena (Purwoastuti, 2008). Kejadian kanker payudara menempati urutan pertama dan merupakan penyebab kematian wanita terbanyak nomor satu di Indonesia. Berdasarkan estimasi Globocan International Agency Research on Cancer (IARC) tahun 2012, insiden kanker payudara yaitu 40 per 100.000 perempuan. Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi (RSDM) data pasien kanker yang melakukan kunjungan berobat setiap hari mencapai rata-rata 34 orang. Jumlah tersebut meliputi pasien kanker dengan semua jenis penyakit kanker. Di RSUD Dr. Moewardi ada kecenderungan peningkatan kasus kanker pada semua kelompok umur mengingat perkembangan teknologi baik di bidang pangan, obat-obatan maupun transportasi. Faktor-faktor tersebut dapat memicu meningkat-nya penyakit kanker di masyarakat. Pasien yang menderita kanker payudara perlu melakukan terapi pengobatan dalam upaya penyembuhannya. Salah satu pengobatan yang dianjurkan yaitu kemoterapi. Kemoterapi adalah terapi anti kanker untuk



membunuh sel-sel tumor dengan menganggu fungsi dan reproduksi sel yang bertujuan untuk penyembuhan,pengontrolan, dan paliatif (Neal, 2008). Kemoterapi bisa menimbulkan dampak fisiologis maupun psikologis. Dampak fisiologis yang bisa terjadi yaitu rasa lelah, lesu, kerontokan rambut, gangguan usus dan rongga mulut seperti mual muntah, mukositis rongga mulut, gangguan sumsum tulang belakang, kemandulan, gangguan menstruasi & menopause serta gangguan pada organ lain (Adamsen, L., et.al 2009). Selain menimbulkan dampak fisiologis, kemoterapi juga bisa menimbulkan dampak negatif pada psikologis diantaranya gangguan harga diri, seksualitas, dan kesejahteraan pasien seperti kecemasan (Smeltzer, S. C., et.al, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Oetami, dkk (2014), dampak kanker payudara dan pengobatannya terhadap aspek psikologis menunjukkan



bahwa



pasien



kanker



payudara



mengekspresikan



ketidakberdayaan, kecemasan, rasa malu, harga diri menurun, stres, dan amarah. Salah satu pertimbangan keperawatan yang harus diperhatikan pada pasien yang menjalani kemoterapi adalah kecemasan (Smeltzer, S. C., et.al, 2008).



B. TUJUAN Tujuan dari makalah ini yaitu: 1. Mengetahui pengertian kanker & kecemasan 2. Mengetahui pengertian kemoterapi 3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan pada pasien paliatif 4. Mengetahui instrument kecemasan pada perawatan paliatif



BAB II TINJAUAN TEORI



A. KANKER Kanker dalah segolongan penyakit



yang ditandai dengan



pembelahan sel yang tidak terkendali dan kemampuan sel-sel untuk menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (Amalia, 2009). Kanker adalah penyakit akibat pertumbuhan tidak normal dari sel-sel jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker. Dalam perkembangannya, sel-sel kanker ini dapat menyebar ke bagian tubuh lainnya



sehingga



dapat



menyebabkan



kematian.



Kanker



adalah



sekelompok penyakit yang dicirikan dengan pertumbuhan dan penyebaran sel tidak terkontrol dan sel yang abnormal (Kolva, 2011). Salah satu jenis kanker yang sering terjadi yaitu Kanker payudara. Kanker payudara adalah keganasan yang berasal dari sel kelenjar, saluran kelenjar dan jaringan penunjang payudara, tetapi tidak temasuk kulit payudara. Kanker payudara umumnya menyerang wanita yang telah berumur lebih dari 40 tahun, namun wanita muda pun bisa terserang kanker payudara. Kanker payudara merupakan penyakit yang paling ditakuti oleh wanita meskipun kaum pria pun dapat terkena (Purwoastuti, 2008).



B. KEMOTERAPI Kemoterapi adalah terapi anti kanker untuk membunuh sel-sel tumor dengan menganggu fungsi dan reproduksi sel yang bertujuan untuk penyembuhan, pengontrolan, dan paliatif (Neal, 2006). Kemoterapi



bisa



menimbulkan



dampak



fisiologis



maupun



psikologis. Dampak fisiologis yang bisa terjadi yaitu rasa lelah, lesu, kerontokan rambut, gangguan usus dan rongga mulut seperti mual muntah, mukositis rongga mulut, gangguan sumsum tulang belakang, kemandulan,



gangguan menstruasi & menopause serta gangguan pada organ lain (Adamsen, L., et.al 2009). Selain menimbulkan dampak



juga bisa



menimbulkan dampak negatif pada psikologis diantaranya gangguan harga diri, seksualitas, dan kesejahteraan pasien seperti kecemasan (Smeltzer, S. C., et.al, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Oetami, dkk (2014), dampak kanker payudara dan pengobatannya terhadap aspek psikologis menunjukkan bahwa pasien kanker payudara mengekspresikan ketidakberdayaan, kecemasan, rasa malu, harga diri menurun, stres, dan amarah.



C. KECEMASAN 1.



Pengertian Kecemasan adalah reaksi emosional yang tidak menyenangkan terhadap bahaya nyata atau imaginer yang disertai dengan perubahan pada sistem saraf otonom dan pengalaman subjektif sebagai “tekanan”, “ketakutan”, dan “kegelisahan” (Spielberger, C. D, 2010). Kecemasan



adalah



kondisi



kejiwaan



yang penuh dengan



kekhawatiran atau ketegangan terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui, bersifat internal, samar-samar dan konfliktual.Emosi seperti sedih dan sakit umumnya akan hilang dengan hilangnya penyebab, namun tidak dengan kecemasan. Kecemasan merupakan reaksi normal terhadap situasi yang sangat menekan kehidupan seseorang dan karena itu berlangsung tidak lama. Penting sekali untuk mengingat bahwa kecemasan bisa muncul sendiri atau bergabung dengan gejala–gejala lain dari gangguan emosi . Pada penderita kanker tahap terminal kecemasan memiliki beberapa pengaruh yang sangat merugikan antara lain, meningkatkan kejadian insomnia, berkurangnya rasa percaya terhadap kemampuan fisik, dan rendahnya partisipasi dalam pengobatan dan menjadi rendahnya kualitas hidup penderita (Lubis, 2009). 2.



Macam-macam kecemasan



Kecemasan dibedakan menjadi dua yaitu: a.



state anxiety State anxiety adalah gejala kecemasan yang timbul apabila seseorang dihadapkan pada sesuatu yang dianggap mengancam dan bersifat sementara.



b.



Trait anxiety Trait anxiety dalah kecemasan ang menetap pada diri seseorang yang merupakan pembeda antara satu individu dengan individu lainnya (Spielberger, C. D, 2010).



3.



Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan Menurut Stuart dan Laraia (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan dibagi menjadi dua yaitu faktor predisposisi dan faktor presipitasi. a.



Faktor predisposisi, terdiri dari: pandangan psikoanalitik, pandangan interpersonal, pandangan perilaku, kajian keluarga, kajian biologis.



b.



Faktor presipitasi berasal dari sumber internal dan eksternal yang dapat dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu ancaman terhadap integritas fisik dan sistem tubuh. 1)



Faktor internal a) Usia pasien Gangguan kecemasan dapat terjadi pada semua usia, lebih sering pada usia dewasa dan lebih banyak pada wanita. Sebagian besar kecemasan terjadi pada umur 21-45 tahun.



b) Pengalaman pasien menjalani pengobatan Pengalaman awal pasien dalam pengobatan merupakan pengalaman-penga laman yang sangat berharga yang terjadi pada individu terutama untuk masa-masa yang akan datang. Pengalaman awal ini sebagai bagian



penting dan bahkan sangat menentukan bagi kondisi mental individu di kemudian hari. Apabila penga laman individu tentang kemo terapi kurang, maka cenderung mempengaruhi



peningkatan



ke



cemasan



saat



menghadapi tindakan kemote rapi. c) Konsep diri dan peran Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu terhadap dirinya dan mem pengaruhi individu berhu bungan dengan orang lain. Peran adalah pola sikap perilaku dan tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat. Banyak faktor yang mempengaruhi peran seperti kejelasan perilaku dan pengetahuan yang sesuai dengan peran, konsistensi respon orang yang berarti terhadap peran, kesesuaian dan keseimbangan antara peran yang dijalaninya. Juga kese larasan budaya dan harapan individu terhadap perilaku peran. Disamping itu pemisahan situasi yang akan menciptakan keti daksesuaian



perilaku



peran,



jadi



setiap



orang



disibukkan oleh beberapa peran yang berhu bungan dengan posisinya pada setiap waktu. Pasien yang mempunyai peran ganda baik di dalam keluarga atau di masyarakat ada kecenderungan mengalami kecemasan yang berlebih disebabkan konsentrasi terganggu. 2)



Faktor eksternal a) Kondisi medis (diagnosa penyakit) Terjadinya gejala kecemasan yang berhubungan dengan kondisi medis sering ditemukan walaupun insidensi gangguan bervariasi untuk masing-masing kondisi medis, misalnya: pada pasien sesuai hasil pemeriksaan



akan mendapatkan diagnosa pembedahan, hal ini akan mempengaruhi tingkat kecema san klien. Sebaliknya pada pasien yang dengan diagnosa baik tidak terlalu mempengaruhi tingkat kecemasan. b) Tingkat pendidikan Pendidikan bagi setiap orang memiliki arti masingmasing. Pendidikan pada umumnya ber guna dalam merubah pola piker, pola bertingkah laku dan pola pengambilan keputusan. Tingkat pendidikan yang cukup akan lebih mudah dalam mengiden tifikasi stresor dalam diri sendiri maupun dari luar dirinya. Tingkat pendidikan juga mempengaruhi kesadaran dan pemahaman terhadap stimulus. a) Akses informasi Adalah pemberitahuan tentang sesuatu agar orang membentuk pendapatnya berdasarkan sesuatu yang diketahuinya. Infor masi adalah segala penjelasan yang didapatkan pasien sebelum pelaksanaan tindakan kemote rapi terdiri dari tujuan kemote rapi, proses kemoterapi, resiko dan komplikasi serta alternatif tindakan yang tersedia, serta proses adminitrasi. b) Proses adaptasi Tingkat adptasi dipengaruhi dengan stimulus internal dan eksternal yang dihadapi indvidu dan membutuhkan respon perilaku yang terus menerus. Proses adaptasi serng



menstimulus



individu



untuk



mendapatkan



bantuan dari sumber-sumber di lingkungan dimana dia berada. Perawat merupakan sumber daya yang tersedia di rumah sakit yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan



untuk



membantu



pasien



atau



mengembalikan pasien untuk mencapai keseimbangan diri dalam menghadapi lingkungan yang baru. c) Tingkat sosial ekonomi Status sosial ekonomi juga sangat berpengaruh pada pola gangguan psikiatrik. Berdasarkan hasil penelitian Burham diketahui bahwa masyaakat kelas sosial ekonomi rendah prevalensi psikiatrik lebih banyak. Jadi keadaan ekonomi yang rendah atau tidak dapat mempengaruhi kecemasan pada orang yang akan menjalani kemoterapi. d) Jenis tindakan kemoterapi Merupakan suatu tindakan terapi medis yang dapat mendatangkan kecemasan karena terdapat ancaman pada integritas tubuh dan jiwa seseorang. Semakin mengetahui



tindakan



meningkatkan



kemoterapi,



kecemasan



saat



akan



akan



semakin melakukan



tindakan kemoterapi. e) Komunikasi terapeutik Komunikasi sangat dibutuhkan bagi perawat dan pasien. Telebih bagi apsien yang akan menjalani kemoterapi. Hampir sebagian besar pasien yang menjalani



kemoterapi



kecemasan.



Pasien



sangat



membutuhkan penjelasan yang baik dari perawat. Komunikasi



yang



baik



diantara



mereka



akan



menentukan tahap kemoterapi selanjutnya. Pasien yang cemas saat akan mengalami kemoterapi kemungkinan mengalami efek yang tidak menyenangkan bahkan membahayakan. Dampak negatif dari kecemasan bisa terjadi pada pasien kanker payudara. Mohammed S, dkk (2012) menyebutkan bahwa efek kecemasan pada pasien kanker payudara bisa meningkatkan rasa



nyeri, mengganggu kemampuan tidur, meningkatkan mual dan muntah setelah kemoterapi, juga terganggunya kualitas hidupdiri sendiri. Perasaan cemas yang dirasakan oleh pasien kanker ketika menjalani kemoterapi dapat berdampak buruk pada proses pengobatan serta rehabilitasi secara medis maupun psikologis, seperti yang dikemukakan Bintang (2012) dalam penelitiannya bahwa kecemasan yang terjadi pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi bisa mengakibatkan pasien menghentikan kemoterapinya. Reaksi kecemasan pada seorang pasien kanker sering muncul tidak hanya saat pasien didiagnosa terkena kanker, tetapi juga saat pasien menjalani kemoterapi. Kecemasan ini lazim terjadi karena mengenai masalah finansial, kecemasan saat timbul gejala-gejala yang dirasakan, kekhawatiran mengenai kesembuhan, dan kekhawatiran tidak dapat menjalankan fungsi sebagai perempuan secara maksimal (Tarwoto & Wartonah, 2004).



4.



Instrument Kecemasan Untuk mengetahui tingkat kecemasan, yaitu mengukur tingkat kecemasan dengan menggunakan menggunakan beberapa alat ukur, yaitu: a.



Anxiety Visual Analog Scale (Anxiety VAS). Dengan menggunakan sebuah garis horizontal yang berupa skala sepanjang 10 cm atau 100 mm dengan penilaian dari garis ujung sebelah kiri yang mengindikasikan “tidak ada kecemasan” hingga ujung sebelah kanan yang menyatakan kecemasan luar biasa. Penderita diminta memberi tanda dengan garis vertikal pada garis yang menggambarkan perasaan cemas yang dialami saat itu. Davey et al. (2007) melaporkan bahwa Anxiety VAS merupakan alat ukur yang cukup reliable untuk digunakan pada pengukuran cemas. Beberapa studi lainnya menunjukkan bahwa Anxiety VAS merupakan alat ukur yang valid dan reliable pada



pengukuran tingkat kecemasan pada penderita dengan gangguan kecemasan dan panik secara umum.



b.



HARS Kecemasan dapat diukur dengan pengukuran tingkat kecemasan



menurut



alat



ukur



kecemasan



yang



disebut HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale). Skala HARS merupakan pengukuran kecemasan yang didasarkan pada munculnya symptom pada individu yang mengalami kecemasan. Menurut skala HARS terdapat 14 syptoms yang nampak pada individu



yang mengalami



kecemasan. Setiap item



yang



diobservasi diberi 5 tingkatan skor( skala likert) antara 0 (Nol Present) sampai dengan 4 (severe). Skala HARS pertama kali digunakan pada tahun 1959, yang diperkenalkan oleh Max Hamilton dan sekarang telah menjadi standar dalam pengukuran kecemasan terutama pada penelitian trial clinic. Skala HARS telah dibuktikan memiliki validitas



dan



reliabilitas



cukup



tinggi



untuk



melakukan



pengukuran kecemasan pada penelitian trial clinic yaitu 0,93 dan 0,97. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengukuran kecemasan dengan menggunakan skala HARS akan diperoleh hasil yang valid dan reliable. Skala HARS Menurut Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) penilaian kecemasan terdiri dan 14 item, meliputi: 1) Perasaan Cemas firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah tersinggung. 2) Ketegangan merasa



tegang,



gelisah,



gemetar, mudah



terganggu dan lesu. 3) Ketakutan : takut terhadap gelap, terhadap orang asing, bila tinggal sendiri dan takut pada binatang besar.



4) Gangguan tidur sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari, tidur tidak pulas dan mimpi buruk. 5) Gangguan kecerdasan : penurunan daya ingat, mudah lupa dan sulit konsentrasi. 6) Perasaan



depresi



:



hilangnya



minat,



berkurangnya



kesenangan pada hoby, sedih, perasaan tidak menyenangkan sepanjang hari. 7) Gejala somatik: nyeni path otot-otot dan kaku, gertakan gigi, suara tidak stabil dan kedutan otot. 8) Gejala sensorik: perasaan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur, muka merah dan pucat serta merasa lemah. 9) Gejala kardiovaskuler : takikardi, nyeri di dada, denyut nadi mengeras dan detak jantung hilang sekejap. 10) Gejala pemapasan : rasa tertekan di dada, perasaan tercekik, sering menarik napas panjang dan merasa napas pendek. 11) Gejala gastrointestinal: sulit menelan, obstipasi, berat badan menurun, mual dan muntah, nyeri lambung sebelum dan sesudah makan, perasaan panas di perut. 12) Gejala urogenital : sering keneing, tidak dapat menahan keneing, aminorea, ereksi lemah atau impotensi. 13) Gejala vegetatif : mulut kering, mudah berkeringat, muka merah, bulu roma berdiri, pusing atau sakit kepala. 14) Perilaku sewaktu wawancara : gelisah, jari-jari gemetar, mengkerutkan dahi atau kening, muka tegang, tonus otot meningkat dan napas pendek dan cepat. Cara Penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai dengan kategori: 0 = tidak ada gejala sama sekali 1 = Satu dari gejala yang ada 2 = Sedang/ separuh dari gejala yang ada 3 = berat/lebih dari ½ gejala yang ada



4 = sangat berat semua gejala ada Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlah nilai skor dan item 1-14 dengan hasil: 1) Skor kurang dari 6 = tidak ada kecemasan. 2) Skor 7 – 14 = kecemasan ringan. 3) Skor 15 – 27 = kecemasan sedang. 4) Skor lebih dari 27 = kecemasan berat.



c.



DASS Depression Anxiety Stres Scale 42 (DASS 42) atau lebih diringkaskan sebagai Depression Anxiety Stres Scale 21 (DASS 21) oleh Lovibond & Lovibond (1995). Psychometric Properties of The Depression Anxiety Stres Scale 42 (DASS) terdiri dari 42 item dan Depression Anxiety Stres Scale 21 terdiri dari 21 item. DASS adalah seperangkat skala subjektif yang dibentuk untuk mengukur status emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stres. DASS 42 dibentuk tidak hanya untuk mengukur secara konvensional mengenai status emosional, tetapi untuk proses yang lebih lanjut untuk pemahaman, pengertian, dan pengukuran yang berlaku di manapun dari status emosional, secara signifikan biasanya digambarkan sebagai stres. DASS dapat digunakan baik itu oleh kelompok atau individu untuk tujuan penelitian. DASS adalah kuesioner 42-item yang mencakup tiga laporan diri skala dirancang untuk mengukur keadaan emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stres. Masing-masing tiga skala berisi 14 item, dibagi menjadi sub-skala



dari



2-5



item



dengan



penilaian



setara



konten. Skala Depresi menilai dysphoria, putus asa, devaluasi hidup, sikap meremehkan diri, kurangnya minat / keterlibatan, anhedonia, dan inersia. Skala Kecemasan menilai gairah otonom, efek



otot



rangka,



kecemasan



situasional,



dan



subjektif



pengalaman mempengaruhi cemas. Skala Stres (item) yang sensitif terhadap tingkat kronis non-spesifik gairah. Ini menilai kesulitan santai, gairah saraf, dan yang mudah marah/gelisah, mudah tersinggung / over-reaktif dan tidak sabar. Responden yang diminta untuk menggunakan 4-point keparahan/skala frekuensi untuk menilai sejauh mana mereka memiliki mengalami setiap negara selama seminggu terakhir. Skor untuk masing-masing responden selama masing-masing subskala, kemudian dievaluasi sesuai dengan keparahan-rating indeks di bawah : 1)



Normal



: 0-14



2)



Stres Ringan



: 15-18



3)



Stres Sedang



: 19-25



4)



Stres Berat



: 26-33



5)



Stres Sangat Berat



: ≥ 34



BAB III PEMBAHASAN JURNAL A. Judul



jurnal



KECEMASAN



“FAKTOR-FAKTOR PASIEN



DALAM



YANG



TINDAKAN



MEMPENGARUHI KEMOTERAPI



DI



RUMAH SAKIT DR.MOEWARDI SURAKARTA” Hasil penelitian menemukan data pasien sebagai berikut: usia pasien terbanyak lebih dari 40 tahun, 45,5% (N=20); pasien wanita sebanyak 81,2% (N=36); pasien berpendidikan sekolah menengah pertama adalah yang terbanyak, 61,4% (N=27); pasien yang pernah menjalani kemoterapi sebanyak 90,9% (N=40); dan 47,7% (N=21) adalah pasien pernah menjalani kemoterapi lebih dari 6 kali ; tingkat adaptasi pasien yang kategorinya baik sebanyak 40,9% (N=18); pasien yang mengalami cemas berat sebanyak 22,7% (N=10). Untuk menjawab hipotesis ‘ada pengaruh usia pasien terhadap tingkat kecemasan’ dan seterusnya digunakan uji regresi dengan menghitung ‘koefisien determinasi atau R2). Diantara empat variabel yang dianalisis hanya tiga yang ‘berkorelasi signifikan’ dengan kecemasan pasien. Korelasi antara usia pasien dengan tingkat kecemasan pasien diperoleh koefisien r = -0,592 dengan nilai p sebesar 0,02. Arah korelasi adalah ‘negatif’ sehingga uji korelasi bermakna ‘semakin bertambah usia pasien maka ada kecenderungan kecemasan pasien semakin menurun’ dalam menjalani kemoterapi. Korelasi antara pendidikan pasien dengan tingkat kecemasan pasien menjalani kemoterapi diperoleh koefisien r=-0,563 dengan nilai p sebesar 0,038. Arah korelasi adalah ‘negatif’ sehingga uji korelasi bermakna ‘semakin meningkat tingkat pendidikan pasien maka ada kecenderungan tingkat kecemasan pasien semakin menurun’ dalam menjalani kemoterapi. Korelasi antara tingkat adaptasi dengan tingkat kecemasan pasien menjalani kemoterapi diperoleh koefisien r=-0,676 dengan nilai p sebesar 0,012. Arah korelasi adalah ‘negatif’ sehingga uji korelasi bermakna ‘semakin meningkat tingkat adaptasi



pasien maka ada kecenderungan tingkat kecemasan pasien semakin menurun’ dalam menjalani kemoterapi. Korelasi usia dengan kecemasan diperoleh nilai R2=0,35 artinya variabel usia pasien ‘memberi pengaruh sebesar 35%’ terhadap kecenderungan menurunnya kecemasan pasien dalam menjalani kemoterapi. Korelasi pendidikan pasien dengan kecemasan diperoleh nilai R2=0,32 artinya variabel tingkat pendidikan pasien ‘memberi pengaruh sebesar 32%’ terhadap kecenderungan menurunnya kecemasan pasien dalam menjalani kemoterapi. Korelasi tingkat adaptasi pasien dengan kecemasan diperoleh nilai R2=0,46 artinya variabel tingkat adaptasi pasien ‘memberi pengaruh sebesar 46%’ terhadap ke cenderungan menurunnya kecemasan pasien dalam menjalani kemoterapi. Analisis dengan menggunakan uji regresi berganda dengan metode ‘enter’ dengan memasukkan variabel secara bersama-sama, diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,323. Dengan hasil tersebut dapat diinterpretasikan bahwa ‘pengaruh seluruh variabel bebas terhadap tingkat kecemasan sebesar 32,3%’. Analisis statistik pada penelitian ini memperlihatkan ada pengaruh yang signifikan antara usia pasien dengan tingkat kecemasan. Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian Sukarno (2005) karena dari penelitiannya ditemukan tidak ada hubungan antara umur dengan kecemasan pasien. Semakin tinggi pendidikan yang dicapai seseorang semakin besar keinginan untuk memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan. Pendidikan seseorang yang meningkat mengajarkan individu mengambil sikap keputusan yang terbaik untuk dirinya. Orang yang berpendidikan mampu memahami arti hidup, mampu menjalani hidup dengan terarah (Asad, 2000). Masalah yang muncul dalam dirinya mampu dikelola dengan pemikiran yang lebih rasional. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa pasien yang pendidikan lebih tinggi tingkat kecemasannya relatif lebih rendah.



B. Judul jurnal “GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KECEMASAN PASIEN KANKER PAYUDARA DALAM MENJALANI KEMOTERAPI” Menurut Spielberger, C. D (2010) state anxiety ditandai oleh perasaan subjektif terhadap tekanan, ketakutan, kekhawatiran, dan kecemasan. Kecemasan ini berlangsung sementara dimana kecemasan itu muncul ketika dipicu oleh situasi tertentu yang dihadapi oleh seseorang, dalam hal ini situasi dimana pasien



harus



menjalani pengobatan kemoterapi



yang bisa



menimbulkan berbagai macam efek samping pada diri pasien. Tetapi kecemasan sesaat (state anxiety) ini juga sangat dipengaruhi oleh kecemasan bawaan (trait anxiety). Trait anxiety adalah kecemasan yang menetap, merupakan karakteristik individu yang mendasari individu tersebut untuk untuk bersikap terhadap situasi yang berbeda-beda. Seseorang yang memiliki kecemasan bawaan/dasar yang tinggi akan mudah terstimulasi dalam mengalami kecemasan. Ada beberapa faktor presipitasi yang mempengaruhi timbulnya kecemasan yaitu ancaman integritas fisik dan ancaman sistem diri (Stuart & Laraia, 2009). Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa ancaman sistem diri merupakan faktor yang lebih dominan dalam mempengaruhi terjadinya kecemasan pada pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi. Pada penelitian ini sebagian besar responden mengalami perubahan peran dalam keluarganya dan merasa tidak mampu melayani suami dengan maksimal hal ini didapat dari banyaknya responden yang menjawab “sering” pada pernyataan tersebut. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hartati (2008) bahwa sebagian besar pasien kanker payudara mengalami perubahan peran yang ditandai dengan tidak memiliki kepuasan dalam peran yang dijalankannya yakni pasien merasa tidak mampu melakukan pekerjaan dengan baik sehingga harus dibantu oleh orang lain dan merasa tidak mampu melayani suaminya. Penelitian yang dilakukan oleh Saraswati (2008) juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kecemasan pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi dengan konsep dirinya.



Menurut Stuart dan Laraia (2009) ancaman sistem diri meliputi ancaman terhadap identitas diri, harga diri, hubungan interpersonal, kehilangan serta perubahan status/peran. Ancaman sistem diri yang bisa menimbulkan kecemasan pada pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi yaitu salah satunya harga diri yang rendah yang dirasakan oleh pasien dikarenakan efek samping kemoterapi yang muncul. Selain itu hal yang dirasakan mungkin adanya perubahan status/peran dalam keluarga, misalnya jika pasien seorang istri dan ibu rumah tangga, maka peran sebagai istri dan ibu yang seharusnya mengurus suami dan anak akan terganggu dan tidak akan berfungsi dengan baik. C. Judul



jurnal



“HUBUNGAN



ANTARA



DUKUNGAN



KELUARGA



DENGAN TINGKAT KECEMASAN PENDERITA KANKER SERVIKS PALIATIF” Karakteikstik responden: Usia, Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas usia responden 16 orang (53,3%) adalah di rentang usia 51-64 tahun. Berdasarkan teori perkembangan kanker serviks menurut Heardman et.al, proses terjadinya kanker serviks berhubungan dengan proses metaplasia. Sekitar 95% dari kanker serviks adalah sel squamosa yang mengalami dysplasia. Lesi prakanker biasa disebut neoplasia intra-epitelial cervical (CIN) umumnya terjadi pada usia 40 sampai 50 tahun. CIN kemudian berkembang menjdi carsinoma in-situ dan akhirnya menjadi karsinoma invasif.



Pendidikan, Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas tingkat pendidikan responden adalah SD 14 orang (46,7%) dan responden yang tidak lulus SD ada 5 orang atau 16,7 %. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Kusumawati yang menyimpulkan bahwa sebagian besar pasien kanker serviks di RSUP Dr Sardjito mempunyai status pendidikan Sekolah Dasar (36,8%) dan tidak sekolah/tidak tamat SD (31,6%)69. Status pendidikan penderita kanker leher rahim umumnya rendah, hal ini berhubungan dengan status sosial ekonomi yang rendah. Status pendidikan



yang rendah sangat berpengaruh terhadap pengetahuan dan sikap terhadap adanya gejala kanker leher rahim, seperti perdarahan abnormal pervaginam dan discharge vagina abnormal, hal serupa juga disimpulkan oleh Rauf dan Thamrin, yang melakukan penelitian pada Januari 2002 sampai Desember 2003 di empat rumah sakit di Makasar dengan 173 responden penderita kanker serviks menyatakan bahwa tingkat pendidikan penderita kanker serviks adalah SD (45,7%).Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam memberikan respon terhadap sesuatu yang datang dari luar. Orang yang berpendidikan tinggi umumnya akan memberikan respon yang lebih rasional terhadap informasi dan berfikir jauh tentang keuntungan



tersebut.



Tingkat pendidikan juga akan mempengaruhi kemampuan individu dalam mengontrol hidupnya. Individu termotivasi untuk memelihara kesehatan dengan lebih baik dengan sikap positif dalam hidup dengan melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin.Tingginya kasus kanker serviks di Indonesia ini masih tinggi disebabkan karena masih rendahnya cakupan angka skrining pencegahan. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain para wanita Indonesia sering enggan memeriksakan kesehatannya karena ketidaktahuan, rasa malu, rasa takut dan faktor biaya. Hal ini umumnya karena disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan penduduk. Dukungan keluarga, Hasil penelitian ini menunjukkan 23 responden (76,6%) menyatakan dukungan keluarga baik. Kanker serviks selain potensial memberikan penderitaan bersifat fisik juga memberikan penderitaan bersifat psikis. Jika gangguan fisik dimanifestasikan dalam bentuk keluhan nyeri, mual, keputihan hingga perdarahan sampai komplikasi organ maka gangguan psikis bisa dimanifestasikan dalam bentuk keluhan depresi, cemas, gugup, dan perasaan tidak berguna. Mengingat dampak kanker serviks diatas maka penderita kanker serviks membutuhkan dukungan keluarga. Tingkat kecemasan, Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hasil tertinggi 15 responden (50%) responden mengalami tingkat kecemasan sedang. Pengambilan data tingkat kecemasan disamping melalui kuesioner



peneliti juga harus mengamati ekspresi wajah dari responden untuk mendukung hasil yang obyektif. Hasil peneltian ini menjelaskan bahwa pada orang



tua/dewasa



mengancam



yang



kehidupan



berhadapan dan



kondisi



dengan



penyakitpenyakit



kesehatan



ternyata



yang



ditemukan



pengalaman pengalaman kecemasan, depresi dan masalah emosional lainnya. Berdasarkan penelitian Barnes et al, wanita-wanita yang terdiagnosis penyakit kanker serviks menghadapi banyak keputusan keputusan yang sulit. Keputusan sulit untuk menerima kenyataan hidup yang terdiagnosa penyakit kanker sehingga menimbulkan perasaan cemas. Hasil penelitian ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh De Groot, yang menjelaskan bahwa para wanita, terutama pada kasus kanker serviks lebih memiliki pengalaman dan perasaan takut serta kekhawatiran yang lebih besar. Penelitian lain menjelaskan bahwa terdapat peningkatan level kecemasan dan depresi pada wanita-wanita dengan kasus kanker serviks, bahkan level distress emosionalnya telah sampai pada fase klinis patologis.



BAB IV PENUTUP



A. KESIMPULAN Dari beberapa penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan: 1. Tingkat kecemasan pasien kemoterapi di RSUD Dr. Moewardi rata-rata adalah sedang, yaitu sebanyak 50% dari total responden. Terdapat pengaruh adaptasi yang mempengaruhi tingkat kecemasan pasien kemoterapi di RSUD dr. Moewardi 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung yang berjumlah 97 orang responden, disimpulkan bahwa pada tingkat kecemasan State hampir sebagian besar responden mengalami kecemasan sedang, begitu pula pada tingkat kecemasan Trait hampir sebagian dari



responden mengalami kecemasan sedang. Kemudian untuk faktor yang mempengaruhi kecemasan pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi hampir sebagian dari responden yang mengalami kecemasan dipengaruhi oleh faktor ancaman sistem diri dan sebagian dipengaruhi oleh faktor ancaman integritas fisik. 3. Hasil penelitian menunjukkan Dukungan keluarga penderita kanker serviks paliatif mayoritas baik.Tingkat kecemasan penderita kanker serviks paliatif mayoritas mengalami tingkat kecemasan sedang. Ada hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan penderita kanker serviks paliatif di RSUP Dr Sardjito dengan p value 0,001 (< 0,05).



B. SARAN 1. Bagi perawat Perawat agar senantiasa meningkatkan pelayanan kepada penderita kanker serviks dengan memperhatikan kebutuhan bio-psiko-sosio dan spiritual melalui pendidikan kesehatan dan konseling kepada penderita maupun keluarga. 2. Bagi institusi pendidikan Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi/sumbangan materi bagi mahasiswa agar mahasiswa memahami tentang dukungan keluarga dan kecemasan penderita kanker serviks paliatif dengan mempelajari materi dukungan dan kecemasan dalam penelitian ini. 3. Bagi keluarga Keluarga mampu senantiasa mengembangkan diri dalam rangka memberi motivasi kepada anggota keluarganya yang menderita sakit kanker serviks dengan memberikan dukungan sesuai dengan materi-materi dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan materi dan dukungan informasi dalam penelitian ini. 4. Bagi penelitian selanjutnya Penelitian ini dijadikan sumber dan bahan pembanding bagi yang berkepentingan untuk melanjutkan penelitian yang lebih komplek.



DAFTAR PUSTAKA



Adamsen, L., Quist, M., Andersen, C., Møller, T., Herrstedt, J., Kronborg, D., ... & Stage, M. (2009). Effect of a multimodal high intensity exercise intervention in cancer patients undergoing chemotherapy: randomised controlled trial. Bmj, 339, b3410.



Bintang, Y. A. (2012). Gambaran Tongkat Kecemasan, Stress, dan Depresi Pada Pasien Kanker yang Menjalani Kemoterapi Di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Students e-Journal Unpad.



Kolva, et al.(2011). Anxiety in Terminally Ill Cancer Patients.Journal of Pain and Symptom Management 42(5):691-701.



Lubis. (2009). Gambaran Psikologis Pasien yang Pertama Kali Terdiagnosa Kanker Serviks. http:// unair respiratory.ac.id/ pdf.Lubis. diakses tanggal 3 Desember 2012



Purwoastuti, E. (2008). Kanker Payudara. Yogyakarta: Kanisius.



Mohamed, S., & Baqutayan, S. (2012). The Effect of Anxiety on Breast Cancer. Indian Journal of Psychological Medicine Vol 34.



Neal, M. J. (2006). Farmakologi Medis Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.



Oetami, F., M. Thaha, I. L., & Wahiduddin. (2014). Analisis Dampak Psikologis Pengobatan Kanker Payudara Di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Kota Makassar. Universitas Hasanuddin.



Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., Cheever, K. H., Townsend, M. C., & Gould, B. (2008). Brunner and Suddarth’s textbook of medicalsurgical nursing 10th edition. Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins.



Stuart, G. W., & Laraia, M. T. (2009). Principle and Practice of Psychiatric Nursing. Envolve.



Spielberger, C. D. (2010). State--‐Trait anxiety inventory. John Wiley & Sons, Inc..



Tarwoto & Wartonah. (2004). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.