Interpersonal Kep Jiwa [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REVIEW LITERATUR PENDEKATAN MODEL INTERPERSONAL CARING (IC) PEPLAU TERHADAP MASALAH HARGA DIRI RENDAH KRONIK PADA PASIEN GANGGUAN JIWAYANG DIRAWAT DI RUMAH SAKIT Oleh DEDI KURNIAWAN [email protected]



0



BAB I PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang Masalah



Proses penyembuhan dalam keperawatan jiwa didasarkan pada rasa kepedulian dan proses interaksi serta proses pengobatan. Kepedulian perawat membangkitkan esensi interaksi manusia seperti sikap empati, keselarasan tujuan, proses identifikasi, kesadaran bersama, yang dapat memfasilitasi perawat memasuki dunia pribadi pasien sehingga menemukan kembali kepercayaan sebagai titik balik terapi (Kim, 2007). Dengan interaksi interpersonal menguatkan hubungan antara perawat dengan pasien (Kim, 2007), dengan interpersonal caring tersebut merupakan cara bagaimana untuk memberdayakan orang sakit dan disabilitas seperti halnya yang dialami pasien dengan gangguan jiwa. Selain itu, nilai kasih sayang dan moral adalah kunci utama dalam perilaku caring perawat professional. Dalam keperawatan, caring merupakan sikap dan pendekatan yang memperlakukan pasien sebagai manusia seutuhnya yang mempunyai kebutuhan lebih dari sekedar nomer tempat tidur atau sebagai seorang dengan penyakit tertentu. Perawat yang menggunakan pendekatan caring dalam prakteknya memperhitungkan semua yang diketahuinya tentang pasien yang meliputi pikiran, perasaan, nilai-nilai, pengalaman, kesukaan, perilaku dan bahasa tubuh (Alpers, 2013; Abdullah, 2011). Konsep interaksi antara perawat dan pasien merupakan kunci utama dalam keperawatan jiwa. Peplau (1991, 1994) dalam teori interaktifnya menekankan pentingnya hubungan perawat dengan pasien, dan menegaskan bahwa keperawatan adalah memiliki pengaruh yang signifikan, terapeutik, dan adanya proses interpersonal (1952, p. 16). Peplau juga menggunakan istilah psikodinamik keperawatan seperti “mampu memahami perilaku sendiri untuk membantu orang lain mengidentifikasi perasaan yang sulit, dan untuk menerapkan prinsip-prinsip hubungan manusia dengan masalah yang timbul pada semua tingkat pengalamannya” (hlm. Xiii). Pendekatan keperawatan ini memungkinkan perawat untuk mulai berpindah dari hanya berorientasi terhadap penyakit ke sisi lain dimana makna psikologis suatu peristiwa, perasaan, dan perilaku dapat dieksplorasi dan dimasukkan ke dalam intervensi keperawatan (Kim, 2007). Proses keperawatan psikodinamik ini menawarkan perawat kesempatan untuk mengajarkan klien cara mengidentifikasi dan mengungkapkan perasaan mereka dan untuk mengeksplorasi



1



bersama dengan mereka untuk mengetahui bagaimana untuk melawan pengalaman atau stressor mereka. Harga diri rendah masih menjadi salah satu masalah yang sering dijumpai pada pasien dengan gangguan jiwa, baik di rumah sakit maupun pada lingkup komunitas. Harga diri rendah merupakan penilaian negatif seseorang terhadap diri dan kemampuan, yang diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung (Towsend, 1998 dalam Fitriah 2009). Harga diri rendah juga dapat diartikan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan (Keliat, 1998 dalam Fitriah 2009). Harga diri rendah kronis terjadi merupakan proses kelanjutan dari harga diri rendah situsional yang tidak diselesaikan atau dapat juga terjadi karena individu tidak pernah mendapat feed back dari lingkungan tentang perilaku klien sebelumnya bahkan mungkin kecenderungan lingkungan yang selalu memberi respon negatif mendorong individu menjadi harga diri rendah. Hubungan interpersonal dalam keperawatan bertujuan untuk mengembangkan keterampilan perawat dalam menerapkan konsep kesehatan mental secara umum, mejadikan perawat untuk menjadi empati dan jeli terhadap kebutuhan caring seperti apa yang pasien butuhkan, menerapkan konsep-konsep teoritis dan menentukan intervensi apa yang sesuai dalam mencapai tujuan tersebut (Peplau, 1994; Kim, 1994, 2007; Stringer, 2015a), sehingga diharapkan dengan menggunakan pendekatan tersebut dapat membantu perawat memfasilitasi proses penyembuhan masalah harga diri rendah kronis yang dialami pasien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit. Berdasarkan penjelasan terkait pentingnya pendekatan model interpersonal caring perawat kepada pasien dalam melakukan proses asuhan keperawatan, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan review literature terkait penerapan model interpersonal caring teori yang dikemukakan Peplau dalam membantu mengatasi masalah harga diri rendah kronik pada pasien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit. 1.2



Tujuan Penulisan Makalah



1.2.1 Tujuan Umum Mengetahui bagaimana pendekatan model interpersonal caring perawat terhadap masalah harga diri rendah pada pasien jiwa yang dirawat di rumah sakit berdasarkan literatur. 1.2.2 Tujuan Khusus 1.2.2.1 Menjelaskan model interpersonal caring perawat pada pasien gangguan jiwa 2



1.2.2.2 Menjelaskan pendekatan model interpersonal caring perawat terhadap masalah harga diri rendah kronik pada pasien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit 1.2.2.3 Menganalisis kelebihan dan kekurangan pendekatan model interpersonal caring perawat terhadap masalah harga diri rendah kronik pada pasien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit.



3



BAB II STUDI PUSTAKA



2.1 Harga Diri Rendah Kronis 2.1.1 Definisi Harga diri rendah kronis adalah penilaian negatif seseorang terhadap diri dan kemampuan, yang diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung (Towsend, 1998 dalam Fitriah 2009). Harga diri rendah juga dapat diartikan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan (Keliat, 1998 dalam Fitriah 2009). Harga diri rendah kronis menurut Nanda (2005) adalah evaluasi diri/perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negatif dan dipertahankan dalam waktu yang lama. 2.1.2 Tanda dan Gejala Tanda dan gejala klien dengan gangguan harga diri rendah kronis adalah: 1. Mengkritik diri sendiri 2. Perasaan tidak mampu 3. Pandangan hidup yang pesimistis 4. Tidak menerima pujian 5. Penurunan produktifitas 6. Penolakan terhadap kemampuan diri 7. Lebih banyak menunduk 8. Bicara lambat dengan nada suara pelan 9. Kurang memperhatikan perawatan diri 10. Berpakaian tidak rapi 11. Selera makan kurang 12. Tidak berani menatap lawan bicara 2.1.3 Proses Terjadinya Masalah Harga diri rendah kronis terjadi merupakan proses kelanjutan dari harga diri rendah situsional yang tidak diselesaikan atau dapat juga terjadi karena individu tidak pernah mendapat feed back dari lingkungan tentang perilaku klien sebelumnya bahkan mungkin kecenderungan lingkungan yang selalu memberi respon negatif mendorong individu menjadi harga diri rendah.



4



Harga diri rendah kronis terjadi disebabkan banyak faktor. Awalnya individu berada pada suatu yang penuh dengan stressor (krisis), individu berusaha menyelesaikan krisis tetapi tidak tuntas sehingga timbul pikiran bahwa diri tidak mampu atau merasa gagal menjalankan fungsi dan peran. Penilaian individu terhadap diri sendiri karena kegagalan menjalankan fungsi dan peran adalah kondisi harga diri rendah situsional, jika lingkungan tidak memberi dukungan positif atau justru menyalahkan individu dan terjadi secara terus menerus akan mengakibatkan individu mengalami harga diri rendah kronis. 2.1.4 Rentang Respon Respons Adaptif



Respons Maladaptif



Aktualisas



Konsep



Harga diri



Kerancua



i diri



diri positif



rendah



n



Depersonalisa si



Keterangan: 1. Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan latar belakang pengalaman yang nyata yang sukses dan diterima. 2. Konsep diri positif apabila individu memiliki pengalaman yang positif dalam beraktualisasi diri. 3. Harga diri rendah adalah transisi antara respon konsep diri adaptif dengan konsep diri maladaptif. 4. Identitas kacau adalah kegagalan individu mengintegrasikan aspek-aspek identitas masa kanak-kanak ke dalam kematangan aspek psikisosial kepribadian pada masa dewasa yang harmonis. 5. Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap diri sendiri yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat membedakan dirinya dengan orang lain. Harga diri rendah merupakan episode deperesi mayor dimana aktivitas merupakan bentuk hukuman atau punishment ( Stuart & Laraia, 2005). Depresi adalah emosi normal manusia, tapi secara klinis dapat bermakna patologik apabila menganggu perilaku sehari-hari, menjadi pervasif dan muncul bersama penyakit lain. Menurut Nanda (2005), tanda dan gejala yang dimunculkan sebagai perilaku telah dipertahankan dalam waktu yang lama atau kronik yang meliputi hal yang negatif tentang diri sendiri dalam waktu lama dan terus menerus, mengekspresikan sikap malu/minder/rasa bersalah, kontak mata kurang/tidak ada, selalu mengatakan 5



ketidakmampuan /kesulitan untuk mencoba sesuatu, bergantung pada orang lain, tidak asertif, pasif dan hipoaktif, bimbang dan ragu-ragu serta menolak umpan balik dan membesarkan umpan balik negatif mengenai dirinya. Mekanisme koping jangka pendek yang biasa dilakukan klien harga diri rendah adalah kegiatan yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis, misalnya pemakaian obat-obatan, kerja keras, nonton TV terus menerus. Kegiatan mengganti aktivitas sementara, misalnya ikut kelompok sosial, keagamaan dan politik. Kegiatan yang memberi dukungan sementara, seperti mengikuti suatu kompetisi atau kontes popularitas. Kegiatan mencoba menghilangkan anti identitas sementara, seperti penyalahgunaan obat-obatan. Jika mekanisme koping jangka pendek tidak memberi hasil yang diharapkan individu akan mengembangkan mekanisme koping jangka panjang, antara lain menutup identitas, dimana klien terlalu cepat mengadopsi identitas yang disenangi dari orang-orang yang berarti tanpa mengindahkan hasrat, aspirasi atau potensi diri sendiri. Identitas negatif, dimana asumsi yang bertentangan dengan nilai dan harapan masyarakat. Sedangkan mekanisme pertahanan ego yang sering digunakan adalah fantasi, regresi, diasasosiasi, isolasi, proyeksi, mengalihkan marah berbalik pada diri sendiri dan orang lain. Terjadinya gangguan konsep diri harga diri rendah kronis juga dipengaruhi beberapa faktor predisposisi seperti faktor biologis, psikologis, sosial, dan kultural. Faktor biologis biasanya karena ada kondisi sakit fisik secara yang dapat mempengaruhi kerja hormon secara umum, yang dapat pula berdampak pada keseimbangan neurotransmitter di otak, contoh kadar serotonin yang menurun dapat mengakibatkan klien mengalami depresi dan pada pasien deperesi kecenderungan harga diri rendah kronis semakin besar karena klien lebih dikuasi oleh pikiran – pikiran negatif dan tidak berdaya. Struktur otak yang mungkin mengalami gangguan pada kasus harga diri rendah kronis adalah: a.



System limbic (pusat emosi), emosi pasien kadang berubah seperti sedih, dan terus



menerus merasa tidak berguna atau gagal terus menerus. b. Hipotalamus mengatur mood dan motivasi, karena melihat kondisi klien dengan harga diri rendah kronis yang membutuhkan lebih banyak motivasi dan dukungan dari perawat dalam melaksanakan tindakan yang sudah dijadwalkan bersama-sama 6



dengan perawat padahal klien mengatakan bahwa membutuhkan latihan yang telah dijadwalkan tersebut. c. Thalamus, sistem pintu gerbang atau menyaring fungsi untuk mengatur arus informasi sensori yang berhubungan dengan perasaan untuk mencegah berlebihan di korteks. Kemungkinan pada klien dengan harga diri rendah apabila ada kerusakan pada thalamus ini maka arus informasi sensori yang masuk tidak dapat dicegah atau dipilah sehingga menjadi berlebihan yang mengakibatkan perasaan negatif yang ada selalu mendominasi pikiran dari klien. d. Amigdala berfungsi untuk emosi. Adapun jenis alat untuk mengetahui gangguan struktur otak dapat digunakan: a. Electroencephalogram (EEG), suatu pemeriksaan yang bertujuan memberi informasi penting tentang kerja dan fungsi otak. b. CT scan, untuk mendapatkan gambaran otak tiga dimensi. c. Single photon emission computed tomography (SPECT), melihat wilayah otak dan tanda-tanda abnormalitas pada otak dan menggambarkan perubahan-perubahan aliran darah yang terjadi. d. Magnetic resonance imaging (MRI), suatu teknik radiologi dengan menggunakan magnet, gelombang radio dan computer untuk mendapatkan gambaran stuktur tubuh atau otak dan dapat mendeteksi perubahan yang kecil sekalipun dalam stuktur tubuh atau



otak.



Beberapa



prosedur



menggunakan



kontras



gadolinium



untuk



meningkatkan akurasi gambar. Selain gangguan pada struktur otak, apabila dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan



alat-alat



tertentu



kemungkinan



akan



ditemukan



ketidakseimbangan



neurotransmitter di otak seperti: a. Acetylcholine (Ach), untuk pengaturan atensi dan mood, mengalami penurunan. b. Norepinephrine, mengatur fungsi kesiagaan, pusat perhatian dan orientasi; mengatur “flight-flight” dan proses pembelajaran dan memori, mengalami penurunan yang mengakibatakan kelemahan dan depresi. c.



Serotonin, mengatur status mood, mengalami penurunan yang mengakibatkan



klien lebih dikuasai oleh pikiran-pikiran negatif dan tidak berdaya. d. Glutamat, mengalami penurunan, terlihat dari kondisi klien yang kurang energi, selalu terlihat mengantuk. Selain itu, berdasarkan diagnosa medis klien yaitu skizofrenia yang sering mengindikasikan adanya penurunan glutamat. Adapun jenis alat untuk pengukuran neurotransmitter yang dapat digunakan:



7



a.



Positron emission tomography (PET), mengukur emisi/pancaran dari bahan kimia radioaktif yang diberi label dan telah disuntik kedalam aliran darah untuk menghasilkan gambaran dua atau tiga dimensi melalui distribusi dari bahan kimia tersebut didalam tubuh dan otak. PET dapat memperlihatkan gambaran aliran darah, oksigen, metabolisme glukosa, dan konsentrasi obat dalam jaringan otak yang merefleksikan aktivitas otak sehingga dapat dipelajari lebih lanjut tentang fisiologi dan neuro kimiawi otak.



b. Transcranial magnetic stimulations (TMS) dikombinasikan dengan MRI, para ahli melihat dan mengetahui fungsi spesifik dari otak. TMS dapat menggambarkan proses motorik dan visual dan dapat menghubungkan antar kimiawi dan struktur otak dengan perilaku manusia dan hubungannya dengan gangguan jiwa. Berdasarkan faktor psikologis, harga diri rendah kronis sangat berhubungan dengan pola asuh dan kemampuan individu menjalankan peran dan fungsi. Hal-hal yang dapat mengakibatkan individu mengalami harga diri rendah kronis meliputi penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak realistis, orang tua yang tidak percaya pada anak, tekanan teman sebaya, peran yang tidak sesuai dengan jenis kelamin dan peran dalam pekerjaan. Faktor sosial yang sangat mempengaruhi proses terjadinya harga diri rendah kronis adalah status ekonomi seperti kemiskinan, tempat tinggal didaerah kumuh dan rawan, kultur sosial yang berubah misal ukuran keberhasilan individu. Faktor cultural dapat dilihat dari tuntutan peran sesuai kebudayaan yang sering meningkatkan kejadian harga diri rendah kronis antara lain: wanita sudah harus menikah jika umur mencapai duapuluhan, perubahan kultur kearah gaya hidup individualisme. Akumulasi faktor predisposisi ini baru menimbulkan kasus harga diri rendah kronis setelah adanya faktor presipitasi. Faktor presipitasi dapat disebabkan dari dalam diri sendiri ataupun dari luar, antara lain ketegangan peran, konflik peran, peran yang tidak jelas, peran berlebihan, perkembangan transisi, situasi transisi peran dan transisi peran sehat sakit. 2.1.5 Faktor Predisposisi dan Presipitasi 1. Faktor Predisposisi Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah adalah penolakan orang tua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak realistis. 2. Faktor Presipitasi 8



Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah adalah hilangnya sebagian anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami kegagalan, menurunnya produktivitas. Gangguan konsep diri: harga diri rendah dapat terjadi secara situasional maupun kronik. Situasional. Gangguan konsep diri: harga diri rendah yang terjadi secara situasional bisa disebabkan oleh trauma yang muncul secara tiba-tiba misalnya harus dioperasi, mengalami kecelakaan, menjadi korban perkosaan, atau menjadi narapidana sehingga harus masuk penjara. Selain itu, dirawat di rumah sakit juga bisa menyebabkan rendahnya harga diri seseorang dikarenakan penyakit fisik, pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman, harapan yang tidak tercapai akan struktur, bentuk, dan fungsi tubuh serta perlakuan petugas kesehatan yang kurang menghargai klien dan keluarga. Kronik. Gangguan konsep diri: harga diri rendah biasanya sudah berlangsung sejak lama yang dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat. Klien sudah ,memiliki pikiran negatif sebelum dirawat dan menjadi semakin meningkat saat dirawat. 2.1.6 Mekanisme Koping Baik faktor predisposisi maupun presipitasi bila telah mempengaruhi seseorang baik dalam berfikir, bersikap maupun bertindak, maka dianggap telah mempengaruhi koping individu tersebut sehingga menjadi tidak efektif (mekanisme koping individu tidak efektif). Bila kondisi klien dibiarkan tanpa ada intervensi lebih lanjut, dapat menyebabkan kondisi dimana klien tidak memiliki kemauan untuk bergaul dengan orang lain (isolasi sosial). Klien yang mengalami isolasi sosial dapat membuat klien asik dengan dunia dan pikirannya sendiri sehingga dapat muncul resiko prilaku kekerasan. 2.2 Interpersonal Caring Teori 2.2.1 Definisi Interpersonal Caring Teori Hildegard E. Peplau berfokus pada individu, perawat, dan proses interaktif yang menghasilkan hubungan antara perawat dan klien (Torres, 1986; Marriner-Tomey, 1994). Berdasarkan teori ini klien adalah individu dengan kebutuhan perasaan, dan keperawatan adalah proses interpersonal dan terapeutik. Tujuan keperawatan adalah untuk mendidik klien dan keluarga, dan untuk membantu klien 9



mencapai kematangan perkembangan kepribadian (Chinn dan Jacobs, 1995). Oleh sebab itu perawat berupaya mengembangkan hubungan antara perawat dan klien dimana perawat bertugas sebagai nara sumber, konselor, dan wali. Pada saat klien mencari bantuan, pertama perawat mendiskusikan masalah dan menjelaskan jenis pelayanan yang tersedia. Dengan berkembangnya hubungan antara perawat dan klien, perawat dan klien bersama-sama mendefinisikan masalah dan kemungkinan penyelesaian masalahnya. Dari hubungan ini klien mendapatkan keuntungan dengan memanfaatkan pelayanan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhannya dan perawat membantu klien dalam hal menurunkan kecemasan yang berhubungan dengan masalah kesehatannya. Teori Peplau merupakan teori yang unik dimana hubungan kolaborasi perawat-klien membentuk suatu “kekuatan mendewasakan” melalui hubungan interpersonal yang efektif dalam membantu pemenuhan kebutuhan klien (Beeber, Anderson dan Sills, 1990). Ketika kebutuhan dasar telah diatasi kebutuhan yang baru mungkin muncul. Hubungan interpersonal perawat-klien, digambarkan sebagai fase-fase yang saling tumpang tindih seperti berikut ini : orientasi, identifikasi, penjelasan, dan resolusi (Chinn dan Jacobs, 1995). Teori dan gagasan Peplau dikembangkan untuk memberikan bentuk praktik keperawatan psikiatri. Penelitian keperawatan tentang kecemasan, empati, instrumen perilaku, dan instrumen untuk mengevaluasi respon verbal dikaitkan dari model konseptual Peplau (Marriner-Tomey, 1994). 2.2.2 Asumsi Dasar Menurut Peplau keperawatan dapat diartikan sebagai seni penyembuhan juga merupkan suatu proses interpersonal, karena melibatkan interaksi antara dua atau lebih individu yang mempunyai tujuan bersama, diman tujuan ini akan memacu proses terapeutik antara perawat-klien mempunyai rasa menghargai untuk mencapai tujuan tersebut melalui tahap-tahap dengan pola tertentu yang merupakan rangkain proses keperawatan. Beberapa pemikiran yang melandasi konsep keperawatan menurut Peplau adalah : a.



Keperawatan. Disiplin praktek untuk menghasilkan transformasi energy untuk pencapaian kematangan kepribadian 10



b.



Manusia. Merupakan system mandiri yang terdiri dari fisik, biokimia, karakteristik, fisiologi dengan mengutamakan psikologi yang dalam posisi tak stabil



c. d.



Kesehatan. Tingkat produktif konstruktif dan kreatif dari individu sebagai aktifitas interpersonal dan perkembangan tugas yang dapat dilakukan. Lingkungan. Beserta hal-hal lainnya yang penting dengan siapa klien berinteraksi.



2.2.3 Peran Perawat dalam Interpersonal Caring (IC) menurut Peplau Peplau membagi 6 peranan berbeda dari perawat yang timbul pada bermacammacam fase hubungan perawat-pasien. a.



Peranan Orang Asing (Stranger) Antara perawat dan pasien disini adalah sebagai orang asing/tidak mengenal



satu sama lain. Perawat harus bersikap ramah dan emosi yang wajar, tidak mendikte pasien tapi dapat menerima keadaan pasien apa adanya. b.



Peranan sebagai narasumber (Resource Person) Perawat harus mengemukakan jawaban yang spesifik, khususnya yang



berkenaan dengan informasi kesehatan dan interpretasi (penilaian) pasien terhadap rencana perawatan dan pengobatan. c.



Peranan sebagai Pendidik (Teaching Role) Peplau memisahkan Taching Role ini ke dalam dua kategori : 1) Instruksioal : berisi pemberian informasi dan penjelasan dalam ruang lingkup pendidikan. 2) Exprerensial: Menggunakan pengalaman sebagai dasar dari kemajuan hasil pengarahan.



d.



Peranan sebagai Pemimpin (Leadership Role) Ini melibatkan proses demokratis. Perawat membantu pasien menghadapi



masalahnya dengan cara bekerjasama dan partisipasi aktif.. e.



Peranan sebagai Pengganti (Surrogate Role) Disini pasien berperan seperti perawat. Sikap dan perilaku perawat tentu



menciptakan perasaan tertentu bagi pasien dan ini akan direspon dalam hubungan perawat-pasien. f.



Peranan sebagai konseling (Conseling Role) Perawat memberi respon bagi pasien yang memerlukan. Bimbingan untuk menolong pasien mengingat dan memahami secara utuh apa yang terjadi. 11



2.2.4 Proses Interpersonal Caring (IC) Dalam ilmu komunikasi, proses interpersonal didefinisikan sebagai proses interaksi secara simultan dengan orang lain dan saling pengaruh-mempengaruhi satu dengan lainnya, biasanya dengan tujuan untuk membina suatu hubungan. Caring terbentuk sebagai hasil dari proses interaksi yang terjadi antara perawatpasien, seperti yang telah dikemukanan oleh Watson dalam teori ”Human Caring Science” (Alligood, 2014). Asumsi dasar science of caring Watson mengidentifikasi banyak asumsi dan beberapa prinsip dasar dari transpersonal caring. Watson meyakini bahwa jiwa seseorang tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Watson menyatakan tujuh asumsi tentang science of caring. Asumsi dasar tersebut yaitu: Caring dapat didemonstrasikan dan dipraktekkan dengan efektif hanya secara interpersonal Caring terdiri dari carative factors yang menghasilkan kepuasan terhadap kebutuhan manusia tertentu Efektif caring meningkatkan kesehatan dan pertumbuhan individu dan keluarga Respon caring menerima seseorang tidak hanya sebagai dia saat ini, tetapi juga menerima akan jadi apa dia kemudian Lingkungan caring adalah sesuatu yang menawarkan perkembangan dari potensi yang ada, dan di saat yang sama membiarkan sesorang untuk memilih tindakan yang terbaik bagi dirinya saat itu Caring lebih “healthogenic” daripada curing. Praktek caring merupakan sentral bagi keperawatan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka proses interpersonal yang dimaksud antara perawat dan klien ini menggambarkan metode transpormasi energi atau ansietas klien oleh perawat yang terdiri dari 4 fase yaitu : a.



Fase orientasi Lebih difokuskan untuk membantu pasien menyadari ketersediaan bantuan dan



rasa percaya terhadap kemampuan perawat untuk berperan serta secara efektif dalam pemberian askep pada klien. Tahap ini ditandai dimana perawat melakukan kontrak awal untuk membangun kepercayaan dan terjadi pengumpulan data. b.



Fase identifikasi



12



Terjadi ketika perawat memfasilitasi ekspresi perilaku pasien dan memberikan asuhan keperawatan yang tanpa penolakan diri perawat memungkinkan pengalaman menderita sakit sebagai suatu kesempatan untuk mengorientasi kembali perasaan dan menguatkan bagian yang positif dan kepribadian pasien. Respon pasien pada fase identifikasi dapat berupa : 1) Pasrtisipan mandiri dalam hubungannya dengan perawat 2) Individu mandiri terpisah dari perawat. 3) Individu yang tak berdaya dan sangat tergantung pada perawat. c.



Fase eksploitasi Memungkinkan suatu situasi dimana pasien dapat merasakan nilai hubungan



sesuai pandangan/persepsinya terhadap situasi. Fase ini merupakan inti hubungan dalam proses interpersonal. Dalam fase ini perawat membantu klien dalam memberikan gambaran kondisi klien dan seluruh aspek yang terlibat didalamnya. d.



Fase resolusi Secara bertahap pasien melepaskan diri dari perawat. Resolusi ini



memungkinkan penguatan kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan menyalurkan energi kearah realisasi potensi.



Gambar 2.1. Overlapping phases in nurse- patient relationship Keempat fase tersebut merupakan rangkaian proses pengembangan dimana perawat membimbing pasien dari rasa ketergantungan yang tinggi menjadi interaksi yang saling tergantung dalam lingkungan sosial. Artinya seorang perawat berusaha mendorong kemandirian pasien. Pemaparan ini menunjukkan bahwa teori Hildegard E. Peplau (1952) berfokus pada individu, perawat dan proses interaktif yang menghasilkan hubungan antara perawat dan klien. Berdasarkan teori ini klien adalah 13



individu dengan kebutuhan perasaan, dan keperawatan adalah proses interpersonal dan terapeutik. Artinya suatu hasil proses kerja sama manusia dengan manusia lainnya supaya menjadi sehat atau tetap sehat (hubungan antar manusia). Tujuan keperawatan adalah untuk mendidik klien dan keluarga dan untuk membantu klien mencapai kematangan perkembangan kepribadian. Oleh sebab itu, perawat berupaya mengembangkan hubungan perawat dan klien melalui peran yang diembannya (nara sumber, konselor, dan wali). Adapun kerangka kerja praktik dari teori Peplau memaparkan bahwa keperawatan adalah proses yang penting, terapeutik, dan interpersonal. Keperawatan berpartisipasi dalam menyusun struktur system asuhan kesehatan untuk menfasilitasi kondisi yang alami dari kecenderungan manusia untuk mengembangkan hubungan interpersonal. Model konsep dan teori keperawatan yang dijelaskan oleh Peplau menjelaskan tentang kemampuan dalam memahami diri sendiri dan orang lain yang menggunakan dasar hubungan antar manusia yang mencakup 4 komponen sentral, yaitu : a.



Pasien Sistem dari yang berkembang terdiri dari karakteristik biokimia, fisiologis,



interpersonal dan kebutuhan serta selalu berupaya memenuhi kebutuhannya dan mengintegrasikan belajar pengalaman. Pasien adalah subjek yang langsung dipengaruhi oleh adanya proses interpersonal. b.



Perawat Perawat berperan mengatur tujuan dan proses interaksi interpersonal dengan



pasien yang bersifat partisipatif, sedangkan pasien mengendalikan isi yang menjadi tujuan. Hal ini berarti dalam hubungannya dengan pasien, perawat berperan sebagai mitra kerja, pendidik, narasumber, pengasuh pengganti, pemimpin dan konselor sesuai dengan fase proses interpersonal. c.



Masalah kecemasan yang terjadi akibat sakit / sumber kesulitan Ansietas berat yang disebabkan oleh kesulitan mengintegrasikan pengalaman



interpersonal yang lalu dengan yang sekarang. Ansietas terjadi apabila komunikasi dengan orang lain mengancam keamanan psikologi dan biologi individu. Dalam model peplau ansietas merupakan konsep yang berperan penting karena berkaitan langsung dengan kondisi sakit. 14



d.



Proses Interpersonal Proses interpersonal



yang dimaksud antara perawat dan pasien ini



menggambarkan metode transformasi energi atau ansietas pasien oleh perawat yang terdiri dari 4 fase yang digambarkan pada Tabel 2.1.



Tabel 2.1. Empat fase proses interpersonal menurut teori Peplau Fase Orientasi Identifikasi Eksploitasi Resolusi



Fokus Masalah terdefinisi fase Pemilihan bantuan profesional yang tepat Penggunaan bantuan profesional untuk pemecahan masalah alternative Pemutusan hubungan professional



15



BAB III PEMBAHASAN



3.1 Aplikasi Pendekatan Model Interpersonal Caring Perawat Berdasarkan teori Peplau ini klien dipandang sebagai individu dengan kebutuhan perasaan, dan keperawatan adalah proses interpersonal dan terapeutik. Tujuan keperawatan adalah untuk mendidik klien dan keluarga, dan untuk membantu klien mencapai kematangan perkembangan kepribadian (Chinn dan Jacobs, 1995; Kim, 2007). Oleh sebab itu perawat berupaya mengembangkan hubungan antara perawat dan klien dimana perawat bertugas sebagai nara sumber, konselor, dan fasilitator. Teori dan gagasan Peplau tersebut telah banyak dikembangkan untuk memberikan bentuk praktik keperawatan psikiatri yang optimal, seperti penelitian keperawatan jiwa tentang kecemasan, empati, instrumen perilaku, dan instrumen untuk mengevaluasi respon verbal dikaitkan dari model konseptual Peplau (Marriner-Tomey, 1994; Kim, 2007). Teori Peplau merupakan teori yang unik dimana hubungan kolaborasi perawat-klien membentuk suatu “kekuatan mendewasakan” melalui hubungan interpersonal yang efektif dalam membantu pemenuhan kebutuhan klien (Beeber, Anderson dan Sills, 1990). Ketika kebutuhan dasar telah diatasi kebutuhan yang baru mungkin muncul. Hubungan interpersonal perawat-klien, digambarkan sebagai fase-fase yang saling tumpang tindih seperti berikut ini: orientasi, identifikasi, penjelasan, dan resolusi (Chinn dan Jacobs, 1995; Kim, 2007). Berkaitan dengan hal tersebut, maka proses interpersonal yang dimaksud antara perawat dan klien ini menggambarkan metode transpormasi energi atau ansietas klien oleh perawat yang terdiri dari 4 fase yaitu : a. Fase orientasi Lebih difokuskan untuk membantu pasien menyadari ketersediaan bantuan dan rasa percaya terhadap kemampuan perawat untuk berperan serta secara efektif dalam pemberian askep pada klien. Tahap ini ditandai dimana perawat melakukan kontrak awal untuk membangun kepercayaan dan terjadi pengumpulan data. b. Fase identifikasi Terjadi ketika perawat memfasilitasi ekspresi perilaku pasien dan memberikan asuhan keperawatan yang tanpa penolakan diri perawat memungkinkan pengalaman menderita sakit sebagai suatu kesempatan untuk mengorientasi kembali perasaan dan menguatkan bagian yang positif dan kepribadian pasien. Respon pasien pada fase 16



identifikasi dapat berupa partisipan mandiri dalam hubungannya dengan perawat, individu mandiri terpisah dari perawat, individu yang tak berdaya dan sangat tergantung pada perawat. c. Fase eksplorasi Memungkinkan suatu situasi dimana pasien dapat merasakan nilai hubungan sesuai pandangan/persepsinya terhadap situasi. Fase ini merupakan inti hubungan dalam proses interpersonal. Dalam fase ini perawat membantu klien dalam memberikan gambaran kondisi klien dan seluruh aspek yang terlibat didalamnya. d. Fase resolusi Secara bertahap pasien melepaskan diri dari perawat. Resolusi ini memungkinkan penguatan kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan menyalurkan energi kearah realisasi potensi. Keempat fase tersebut merupakan rangkaian proses pengembangan dimana perawat membimbing pasien dari rasa ketergantungan yang tinggi menjadi interaksi yang saling tergantung dalam lingkungan sosial. Artinya seorang perawat berusaha mendorong kemandirian pasien. Pemaparan ini menunjukkan bahwa teori Hildegard E. Peplau (1952) berfokus pada individu, perawat dan proses interaktif yang menghasilkan hubungan antara perawat dan klien. Berdasarkan teori ini klien adalah individu dengan kebutuhan perasaan, dan keperawatan adalah proses interpersonal dan terapeutik. Artinya suatu hasil proses kerja sama manusia dengan manusia lainnya supaya menjadi sehat atau tetap sehat (hubungan antar manusia). Kerangka kerja praktik dari teori Peplau memaparkan bahwa keperawatan adalah proses yang penting, terapeutik, dan interpersonal. Keperawatan berpartisipasi dalam menyusun struktur system asuhan kesehatan untuk menfasilitasi kondisi yang alami dari kecenderungan manusia untuk mengembangkan hubungan interpersonal. Tujuan keperawatan adalah untuk mendidik klien dan keluarga dan untuk membantu klien mencapai kematangan perkembangan kepribadian. Oleh sebab itu, perawat berupaya mengembangkan hubungan perawat dan klien melalui peran yang diembannya (nara sumber, konselor, dan fasilitator). Dalam mengaplikasikan pendekatan model ini dalam asuhan keperawatan yang diberikan perawat kepada pasien dengan gangguan jiwa, perawat menjalankan peran yang penting, seperti yang dijelaskan oleh Peplau dalam teorinya bahwa perawat memiliki 6 peran utama dalam interpersonal caring, yaitu peran menjadi orang asing (stranger), peran sebagai narasumber (resource person), peran sebagai pendidik (teaching role), peran 17



sebagai pemimpin (leadership role), peran sebagai pengganti (surrogate role), dan peran sebagai konselor (conseling role). Semua peranan perawat tersebut, harus mampu perawat jalankan dalam setiap fase proses interpersonal caring perawat dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien gangguan jiwa khususnya pada pasien yang mengalami masalah harga diri rendah, dimana pada pasien tersebut mengalami perasaan negatif terhadap diri sendiri dan kemampuannya, hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan dan penurunan fungsi sosialnya. 3.2 Analisa Pendekatan Model Interpersonal Caring Perawat Pada Pasien Harga Diri Rendah Kronis Perilaku caring perawat merupakan sesuatu yang sangat berpengaruh terhadap apa yang pasien rasakan dan sebagai bentuk penghargaan perawat kepada pasien (Kim, 2007), seperti yang dijelaskan dalam beberapa penelitian sebelumnya bahwa pasien menyatakan ketika perawat memberikan pelayanan dengan menggunakan pendekatan secara hangat, kepekaan, sebuah senyuman dan keramahan serta kenyamanan, memberikan mereka menjadi lebih rilek, mengurangi kecemasan, dan merasa lebih aman. Sebaliknya jika perawat melakukan aktifitas perawatannya dengan sikap yang tidak menyenangkan dan tidak diinginkan seperti bersikap menjauh, sinis, berbicara seperlunya, berbicara cepat dan singkat yang membuat pasien merasa dingin dan formal serta menunjukkan sikap stereotyping yang memberikan kesan pasien terlihat selalu memiliki posisi lebih rendah. Sehingga terlihat jelas bahwa pengalaman pasien terhadap interaksi perawat dengan pasien selama ini memiliki respon yang positif dan negatif. Berdasarkan hal tersebut, kemudian akan dijelaskan secara detail bagaimana interpersonal caring dan bagaimana pendekatan tersebut mampu memberikan dampak positif pada pasien gangguan jiwa khususnya yang mengalami masalah harga diri rendah kronis. Hal ini bertujuan agar memberikan pemahaman tentang makna dan dampak pada pasien dimana perawat sebagai sosok yang paling sering berinteraksi dan memberikan perawatan selama di rumah sakit. Penjelasan berikut dikenal sebagai karakteristik interpersonal caring perawat yang telah dikembangkan dalam penelitina-penelitian sebelumnya, tentunya pengembangan tersebut berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Peplau. Karakteristik interpersonal tersebut meliputi: Interpersonal caring merupakan interaksi individu ke individu lain dalam hal ini perawat dan pasien. Sebuah metode interaksi yang efektif membutuhkan kolaborasi 18



dan kerjasama kedua pihak. Fokus utama dalam Interpersonal caring adalah untuk membantu pasien membangun kepercayaan diri dan harga diri sebagai manusia seutuhnya. Dominasi dan kekuasaan berlebih yang dimiliki perawat membuat pasien menjadi lebih rentan terhadap ketergantungan dan direndahkan. Interpersonal caring harus diinisiasi dengan rasa cinta dan kepedulian terhadap orang lain dalam memberikan kepercayaan dan harapan. Kepedulian ini didasari oleh sikap caring perawat. Kepedulian merupakan mindset dasar perawat dalam memberikan asuhan keperawatan interpersonal caring. Interpersonal caring tidak terbatas dan hilang oleh karena tempat, waktu atau kontak fisik. Interpersonal caring melewati batas ruang, waktu dan budaya. Interpersonal caring tidak hanya mempengaruhi secara langsung level perasaan tetapi juga menembus ke level yang lebih dalam pada waktu yang berbeda. Interpersonal caring menggunakan pendekatan secara holistik. Proses Interpersonal caring memandang manusia sebagai individu yang utuh, memiliki integritas dan interaksi. Pasien dan perawat menjadi satu dalam hal pikiran, perasaan, dan perilaku sebagai proses dalam mencapai derajat kesehatan dan kesejahteraan. Interpersonal caring diwujudkan ke bentuk yang komperhensif dan dinamik dalam proses komunikasi. Interpersonal caring tersebut memungkinkan dilakukan dan tidak bergantung pada apapun yang pasien bicarakan, walaupun jika pasien dalam keadaan koma (tidak sadar) atau berbicara diluar konteks atau kenyataan, mereka tetap dapat merasakan kepedulian melalui Interpersonal caring. Interpersonal caring membantu pasien untuk fokus terhadap nilai diri nya yang merupakan dasar dalam meningkatkan harga diri, kepercayaan, dan harapan. Interpersonal caring ini membantu menguatkan harga diri yang berfokus tidak hanya datang dari situasi problematik, tetapi juga dalam kondisi normal sehari hari dan manajemennya. Interpersonal caring yang efektif melibatkan aspek budaya yang relevan dan aspek positif lain dalam keperawatan. IC yang melibatkan aspek budaya, membutuhkan seorang perawat yang memiliki pengetahuan dan skill yang mumpuni dalam memberikan asuhan keperawatan dengan memperhatikan pendekatan budaya. Aspek budaya dapat melebur menjadi satu dalam semua situasi keperawatan. Penelitian yang dilakukan oleh Kim (2007), menyatakan 10 domain yang ada dalam proses interpersonal caring perawat. Setiap kata/kalimat yang diidentifikasi berasal 19



perkataan pasien, ekpresi perasaan pasien, dan konteks situasional yang berhubungan dengan setiap perilaku atau tindakan. Berikut merupakan 10 domain interpersonal caring menurut Kim (1998, 2000, 2007) meliputi memperhatikan (noticing), berpartisipasi (participating), berbagi cerita (sharing), aktif mendengarkan (active listening), menemani (companioning), memberi pujian (complimenting), memberikan kenyamanan (comforting), memberikan harapan (hoping), memaafkan (forgiving), menerima (accepting). 3.3 Kelebihan Dan Kekurangan Model Konseptual Interpersonal Caring Pendekatan model interpersonal caring yang telah mengembangkan teori tentang hubungan interpersonal yang efektif dan terapeutik merupakan model interaksi yang bersifat psikodinamis yang mencakup kemampuan baik pasien maupun perawat untuk saling memahami diri sendiri dan orang lain dengan menggunakan prinsip hubungan antar manusia. Pengembangan model teori diatas semuanya memberikan tujuan untuk memudahkan perawat dalam mengurangi gejala dalam hal ini adalah gejala gangguan jiwa, meningkatkan fungsi social, meningkatkan kemampuan berhubungan dengan orang lain secara adaptif. Dari beberapa literatur yang diperoleh, model interpersonal cukup rinci menjelaskan dalam penngaplikasiannya. Bagaimana penerapan yang lebih terformat sesuai prosedur sedikit lebih rinci terlihat dalam model ini. Peplau secara lebih rinci menyampaikan tahapan-tahapan dalam komunikasi interpersonal termasuk strategi-strategi apa yang dilaksanakan perawat dalam mencapai tujuan yang diinginkan (Alligood,2014). Pandangan umum hubungan interpersonal menurut Peplau dapat dilakukan pada individu atau personal, keluarga maupun komunitas. Adapun aplikasi penerapan teori tersebut dalam keperawatan jiwa adalah munculnya berbagai terapi psychiatric yang dapat membantu memulihkan gangguan jiwa yang terjadi pada pasien. Di dalam pelaksanaan terapi tersebut Peplau memberikan 4 tahapan yang dapat dilaksanakan oleh perawat yaitu melalui tahap orientasi, identifikasi, eksplorasi serta resolusi. Untuk pelaksanaan keempat tahap tersebut perawat harus memahami konsep yang ada didalamnya sehingga hubungan interpersonal antara pasien dan perawat dapat berjalan dengan efektif serta mampu mencapai tujuan yaitu kesembuhan dari pasien. Aplikasi model interpersonal ini membantu perawat dalam menangani masalah pasien dengan gangguan jiwa, terutama pada pasien yang mengalami masalah harga diri rendah. Kemampuan komunikasi dan pendekatan serta menciptakan hubungan saling 20



percaya kepada pasien menjadi hal yang utama dalam menangani pasien dengan masalah tersebut. Perawat dituntut jeli dan responsive serta terampil melakukan interaksi kepada pasien guna mendapat informasi dan menentukan asuhan keperawatan yang paling tepat bagi pasien. Dengan menggunakan pendekatan model tersebut telah dijelaskan bagaimana perawat harus melalui tahapan-tahapan dalam hubungan interpersonal tersebut sehingga proses interaksi tersebut dapat tercapai. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan menurut Peplau harus dapat memberikan contoh atau model yang baik bagi pasien karena perawat berperanan sebagai sumber informasi, pendidik, pengganti maupun sebagai konselor bagi pasien. Mengingat peran tersebut perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan harus mampu menyadari kemampuan dan kekurangan dari dirinya sehingga kesiapan diri sangat diperlukan ketika akan melakukan hubungan interpersonal dengan pasien. Namun dalam model interpersonal tersebut belum dijelaskan secara detail tentang bagaimana proses interaksi tersebut dilakukan, apakah semua tahapan tersebut dan peran perawat tersebut selalu sama dalam setiap pasien atau berbeda pada pasien tertentu. Teori interpersonal yang dikembangkan oleh Peplau sebelumnya hanya berfokus pada pasien yang mengalami masalah ansietas, selanjutnya dikembangkan dalam penelitian Kim (2007) terkait masalah harga diri rendah, penelitian-penelitian selanjutnya belum ada yang mengembangkan apakah pendekatan ini cukup efektif pada pasien jiwa yang mengalami masalah tertentu selain masalah ansietas dan harga diri rendah.



21



BAB IV PENUTUP



4.1



Kesimpulan



Harga diri rendah kronis terjadi merupakan proses kelanjutan dari harga diri rendah situsional yang tidak diselesaikan atau dapat juga terjadi karena individu tidak pernah mendapat feed back dari lingkungan tentang perilaku klien sebelumnya bahkan mungkin kecenderungan lingkungan yang selalu memberi respon negatif mendorong individu menjadi harga diri rendah. Hubungan interpersonal dalam keperawatan bertujuan untuk mengembangkan keterampilan perawat dalam menerapkan konsep kesehatan mental secara umum, mejadikan perawat untuk menjadi empati dan jeli terhadap kebutuhan caring seperti apa yang pasien butuhkan, menerapkan konsep-konsep teoritis dan menentukan intervensi apa yang sesuai dalam mencapai tujuan tersebut. Proses interpersonal caring yang dikembangkan oleh Peplau membagi dalam beberapa tahap yaitu tahap orientasi, identifikasi, eksplorasi dan resolusi. Selain itu peplau dalam teorinya juga menjelaskan peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dengan pendekatan interpersonal yaitu meliputi peran menjadi orang asing (stranger), peran sebagai narasumber (resource person), peran sebagai pendidik (teaching role), peran sebagai pemimpin (leadership role), peran sebagai pengganti (surrogate role), dan peran sebagai konselor (conseling role), sehingga diharapkan dengan menggunakan pendekatan dan menjalankan peran tersebut dapat membantu perawat memfasilitasi proses penyembuhan masalah harga diri rendah kronis yang dialami pasien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit. 4.2



Saran



Beberapa saran yang diberikan terkait pendekatan model interpesonal caring ini diantaranya adalah sebagai berikut: 4.2.1 Perlu pengembangan dan penelitian lebih mendalam agar pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien jiwa yang mengalami masalah harga diri rendah kronik menggunakan pendekatan model ini akan lebih aplikatif dan praktis. 4.2.2 Perlu pengembangan dan penelitian lebih mendalam dalam pelaksanaan asuhan keperawatan dengan menggunakan pendekatan model ini pada pasien gangguan jiwa yang mengalami masalah lain. 4.2.3 Perlu dikembangkan standar operasional prosedur tentang pelaksanaan asuhan keperawatan berdasarkan model interpersonal caring ini. 22



DAFTAR PUSTAKA



Comtois, K.A., Carmel, A., (2014). Borderline personality disorder and high utilization of inpatient psychiatric hospitalization: concordance between research and clinical diagnosis. Journal of Behaviour. Health Services. Res., http://dx.doi.org/10.1007/s11414-014-9416-9. D’Antonio, P., Beeber, L., Sills, G., & Naegle, M. (2014). The future in the past : Hildegard Peplau and interpensonal relations in nursing. Nurs Inq; 21 (4) : 311-317. Deane, W. H., & Fain, J. A. (2015). Incorporating peplau’s theory of interpersonal relations to promote holistic communication between older adults and nursing student. J. Holist Nurs. Dickens, G.L., Hallet, N., Lamont, E. (2016). Interventions to improve mental health nurses’ skills, attitudes, and knowledge related to people with a diagnosis of borderline personality disorder: Systematic review. International Journal of Nursing Studies. (56): 114-127. Fawcett. J. (2005). Contemporary Nursing Knowledge: Analisys and Evaluation of Nursing Models and Theorist, 2th edition, FA Davis Company, Philadelphia. Forchuk, C., Westwell, J., Martin, M. L., Azzapardi, W. B., Tolman, D. K., & Hux, M. (1989). Factor influencing movement of chronic psychiatric patient from the orientation to the working phase of the nurse-client relationship on an inpatient unit. Perspective in psychiatric care; 34 (1) : 36-42. Forchuk, C. (2006). The orientation phase of the nurse-client relationship : Testing Peplau’s theory. JAN; 20 (3). Fry, M., MacGregor, C., Ruperto, K., Jarrett, K., Wheeler, J., Fong, J., et al (2013). Nursing praxis, compassionate caring and interpersonal relations: an observational study. Australas Emergency Nurs Journal. Vol:16(2):37-44. doi: 10.1016. Kim, S & Kim,S. (2007). Interpersonal Caring: A Theory for Improved Self-Esteem in Patients with Long-Term Serious Mental Illness — I. Asian Nursing Research. 1(1):11-22 Kim, S. (1994). Descriptive study on being cared for experiences of long-term psychiatric patients. Research Report. Seoul, Korea: Research Institute of Nursing Science, Ewha Womans University. Kim, S. (2000). Interpersonal caring: An intervention of improved self-esteem of longterm psychiatric patients in community. Proceedings of Annual Conference. Seoul, Korea: Research Institute of Nursing Science, Ewha Womans University. Kozier, B. (2004). Fundamentals of nursing: concepts, process, and practice. New Jersey: Pearson Education Inc. McEwen, M & Will, E. M. (2011). Theoretical Basis For Nursing, Edisi 3. North Amerika and the Caribbean: A Macmillan Company. McEwen, M., & Wills, E. M. (2014). Theoretical Basis for Nursing (4th ed).Philadelphia: Wolters Kluwer Health. 23



Merritt, M. K., & Procter, N. (2010). Conceptualizing the functional rule of mental health consultation-liaison nurse in multi-morbidity, using Peplau’s nursing theory. Contemp nurse; 34 (2) : 158-66 Peplau, H. E. (1952). Interpersonal relations in nursing. New York: Springer. Peplau, H. E. (1991). Interpersonal relations in nursing. New York: Springer. Peplau, H. E. (1994). Quality of life: An interpersonal perspective. Nursing Science Quarterly, 7, 12–14. Washington, G. T. (2013). The theory of interpersonal relations applied to the preceptornew graduate relationship. J. Nurses Prof Dev; 29 (1) : 24-29. Watson, J. (2004). Theory of human caring. Http://www2.uchsc.edu/son/caring. Watson, J. (2009). Assessing and Measuring Caring in Nursing and Health Science: Second Edition. Springer Publishing Company. Watson, J., Foster, R. (2003). The Attending Nurse Caring Model®: integrating theory, evidence and advanced caring–healing therapeutics for transforming professional practice. Journal of clinical nursing; 2003 : 360–365.



24