Intervensi Penurunan Stigma Dan Diskriminasi Pada Odha Dan Odha Dengan Covid PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV (Human Immune-deficiency Virus) saat ini diidentifikasi berasal dari simpanse di Afrika Barat dan tertular kepada manusia yang saat itu sedang berburu kemudian terjadi kontak dengan darah simpanse. Kasus pertama yang diduga sebagai HIV berasal dari sampel darah seorang pria Kinshasa, Kongo, pada tahun 1959. Infeksi HIV kemudian pertama kali dideteksi di Los Angeles pada tahun 1980an dan sejak saat itu pula dihubungkan dengan ketakutan, stigmatisasi, dan diskriminasi terhadap komunitas gay. Sementara di Indonesia kasus HIV pertama kali dilaporkan pada tahun 1987 di Bali14. Di tingkat regional, ASEAN memiliki jumlah penderita HIV terbanyak setelah Afrika. Pada 2006, jumlah orang terinfeksi HIV di dunia adalah 39,5 juta orang dimana 30% dari jumlah tersebut adalah remaja dan dewasa awal (15-24 tahun). Sedangkan di Indonesia sendiri jumlah kasus HIV dan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Prevalensi HIV penduduk berusia 15-49 tahun pada tahun 2008 sebesar 0.22% diproyeksikan meningkat menjadi 0.37% pada tahun 2014. Hal tersebut dapat diartikan sebagai meningkatnya kesadaran orang untuk melakukan tes HIV atau kemungkinan lain adalah penyebaran HIV & AIDS yang semakin sulit dikontrol. Evaluasi dan monitoring efektivitas berbagai upaya preventif dan kuratif HIV (Human Immune-deficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yang telah dilakukan masih belum maksimal karena hanya menekankan output akhir, seperti tingkat prevalensi, penggunaan kondom, dan jumlah orang terinfeksi HIV yang mengakses Anti Retro-Viral ARV. Padahal dalam evaluasi penanggulangan HIV dan AIDS perlu mempertimbangkan aspek sosial, salah satunya stigma dan diskriminasi yang muncul di masyarakat terhadap HIV dan AIDS. Stigma dan diskriminasi terjadi di berbagai ranah, mulai dari ruang pribadi seperti relasi sosial, hingga ranah publik seperti hambatan dalam akses pendidikan maupun layanan kesehatan. Penderita HIV yang mendapat stigma dan mengalami diskriminasi mempunyai beban ganda, yaitu dari virus dalam tubuhnya sekaligus dari



1



tekanan lingkungan sosialnya. Pada penderita HIV yang memiliki kepribadian rentan atau kurang stabil secara emosional dapat memicu frustasi dan depresi hingga munculnya ide bunuh diri. Diskriminasi yang ditemui dalam akses terhadap layanan kesehatan juga akan mendorong penundaan atau menghentikan perawatan dengan ARV. Bahkan pada beberapa kasus seorang perempuan hamil yang terinfeksi HIV dipaksa menggugurkan kandungannya. Diskriminasi terkait HIV dan AIDS bukan hanya merugikan orang yang terinfeksi, tapi juga keluarga, rekan, maupun lingkungan di sekitarnya yang memiliki relasi baik dengan orang tersebut. Pada tingkat preventif, stigma yang telah berkembang dan menetap dalam pikiran masyarakat akan menimbulkan penolakan terhadap usaha pencegahan penyebaran HIV dan AIDS. Contoh nyata dari hal itu adalah masih rendahnya orang yang melakukan Voluntary Counseling Testing (VCT) untuk mengetahui status HIVnya. Orang yang akan melakukan VCT akan distigma telah melakukan perbuatan asusila. Penolakan lain terwujud dalam bentuk pemikiran bahwa HIV hanya menyerang komunitas tertentu seperti pengguna narkoba, orang dengan orientasi seks beragam, dan pekerja seks. Masih banyak bentuk manifestasi dari stigma dan diskriminasi terkait HIV dan AIDS yang muncul di tataran sosial masyarakat Indonesia. Namun hingga kini belum ada perhatian serius yang diberikan untuk mengukur hal itu. Stigma dan diskriminasi merupakan ‘penyakit sosial’, sehingga penanganannya harus dilakukan dalam konteks sosial juga. Masyarakat atau lingkungan sosial terdiri dari berbagai komunitas yang memiliki ciri-ciri tersendiri. Melalui komunitaskomunitas inilah intervensi dapat dilakukan untuk mereduksi stigma dan diskriminasi. Dalam paper ini akan diuraikan berbagai aplikasi penanganan atau intervensi sosial dalam mereduksi stigma dan diskriminasi terhadap HIV dan AIDS di Indonesia.



B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian HIV/AIDS? 2. Apa yang dimaksud stigma diskriminasi pada penderita HIV/AIDS? 3. Apa intervensi sosisal pada penderita HIV/AIDS?



C. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Mahasiswa mampu mengetahui tentang Intervensi Penurunan Stigma dan Diskriminasi pada ODHA dan ODHA dengan Covid-19 2



2. Tujuan Khusus a. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian HIV/AIDS b. Mahasiswa mampu menjelaskan stigma diskriminasi pada penderita HIV/AIDS c. Mahasiswa mampu menjelaskan Intervensi sosial pada penderita HIV/AIDS



3



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian HIV/AIDS HIV adalah virus yang menyerang antibody manusia (CD4) yang ada di dalam sel darah putih sehingga kekebalan tubuh orang tersebut lambat laun akan melemah. Orang dengan HIV positif rentan terhadap serangan virus, bakteri, parasit, dan jamur. Akibatnya orang tersebut mudah terkena berbagai penyakit dan terjadi komplikasi. Saat muncul kumpulan gejala penyakit akibat melemahnya sistem kekebalan tubuh, maka orang tersebut memasuki fase AIDS. Orang yang terinfeksi HIV pada awalnya tidak akan merasakan sakit atau keluhan tertentu dan waktu yang diperlukan untuk sampai ke fase AIDS sangat beragam pada setiap orang. Bahkan tidak semua penderita HIV positif akan mengalami AIDS, tergantung dari gaya hidup, asupan gizi, dan lingkungan sosialnya. Secara umum empat fase dalam HIV adalah sebagai berikut : 1.



Window Period, yaitu periode awal dimana virus HIV belum dapat terdeteksi karena jumlahnya yang masih sangat sedikit dan tubuh belum memproduksi antibody untuk menangkalnya serta tidak ada gejala khusus;



2.



Fase inkubasi dimana tubuh sudah memproduksi antibody terhadap virus HIV namun masih belum menunjukkan gejala-gejala tertentu;



3.



Pada periode ini kekebalan tubuh mulai berkurang dan muncul penyakit yang terkait HIV (HIV related illness) sehingga dapat disebut gejala AIDS. Gejala yang umum ditemukan adalah keringat berlebih pada waktu malam, diare terusmenerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu berkepanjangan, nafsu makan berkurang, lemah, dan berat badan menurun;



4.



Fase akhir adalah AIDS yang ditandai dengan jumlah sel T sangat sedikit, timbul penyakit tertentu (infeksi oportunistik) yang umumnya berupa kanker (kulit), infeksi paru-paru seperti TB, infeksi usus yang menyebabkan diare, serta infeksi otak. Perlu diingat bahwa orang yang memasuki fase AIDS dapat kembali ke fase sebelumnya jika meminum obat sesuai anjuran, memiliki kondisi psikologis yang stabil, asupan gizi yang baik, serta dukungan sosial yang kuat.



4



HIV terdapat dalam semua cairan tubuh orang yang terinfeksi (termasuk keringat, air liur, dan air mata), tetapi memiliki konsentrasi yang berbeda-beda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cairan yang dapat menjadi media penularan dan memiliki konsentrasi tertinggi virus HIV ada pada darah, air mani (semen), cairan vagina, dan Air Susu Ibu (ASI). Sedangkan cara penularan yang umum terjadi adalah dengan penggunaan jarum suntik yang tidak steril dan digunakan bersama, hubungan seks tanpa kondom, dan pemberian ASI yang tidak eksklusif. Selain itu HIV hanya dapat bertahan hidup pada suhu tubuh manusia, lingkungan yang lembab, tidak hampa udara atau kontak dengan atmosfer, serta PH yang seimbang. Ketika orang terinfeksi HIV menggunakan jarum suntik secara bergantian dengan orang dengan HIV negatif maka darah yang tertinggal di tabung jarum suntik dapat bertahan beberapa waktu dan masuk ke dalam tubuh orang dengan HIV negatif. Jika hubungan seks dilakukan tanpa kondom maka ada resiko HIV akan masuk melalui luka terbuka atau alat kelamin. Virus HIV memiliki ukuran yang sangat kecil dan ada kemungkinan lebih kecil dari pori-pori kondom, akan tetapi ketika virus tersebut keluar dari kondom maka akan terjadi kontak dengan udara sehingga akan mati. Sementara ibu dengan HIV positif yang memberi ASI kepada bayinya sambil memberi makanan atau minuman yang lain dikhawatirkan akan menimbulkan luka atau infeksi di mulut dan tenggorokan bayi. Jika ada luka atau infeksi di mulut dan tenggorokan bayi maka HIV dapat menyerang bayi, tetapi jika ASI diberikan secara eksklusif maka virus dalam ASI akan langsung menuju pencernaan dan mati karena suhu yang panas serta kandungan asam yang tinggi. Hingga saat ini orang dengan HIV positif belum dapat disembuhkan (cure) tetapi bisa memperoleh perawatan (treatment) agar tidak memasuki fase ke-3 maupun AIDS. Perawatan yang dimaksud adalah pemberian ARV dan obat infeksi oportunistik. ARV digunakan ketika jumlah sel kekebalan tubuh sudah sangat rendah dan berfungsi untuk menghambat perkembang-biakan virus. Oleh karena itu tidak semua penderita HIV perlu meminum ARV jika sel T atau CD4 yang dimiliki masih dalam batas minimal. Selain itu, pemberian ARV juga harus disertai dengan pendampingan khususnya terkait kepatuhan meminum obat karena sekali meminum ARV maka orang dengan HIV positif harus meminumnya seumur hidup. Jika konsumsi ARV terhenti maka virus akan kebal terhadap ARV tersebut dan selanjutnya diperlukan ARV lini kedua yang harganya lebih mahal serta jumlahnya terbatas. Sementara obat infeksi oportunistik



5



digunakan untuk melawan penyakit yang mungkin timbul karena melemahnya sistem kekebalan tubuh.



B. Stigma dan Diskriminasi Stigma adalah tindakan memberikan label social yang bertujuan untuk memisahkan atau mengkreditkan seseorang atau sekelompok orang dengan cap atau pandangan buruk. Dalam prakteknya, stigma mengakibatkan tindakan diskriminasi, yaitu tindakan tiak mengakui atau tidak mengupayakan pemenuhan hak hak dasar individu atau kelompok sebagaimana selayaknya sebagai manusia yang bermartabat. Stigma dan diskriminasi terjadi karena adanya persepsi bahwa mereka dianggap sebagai musuh, penyakit, elemen masyarakat yang memalukan, atau mereka yang tidak taat terhadap norma masyarakat dan agama yang berlaku. Implikasi dari stigma dan diskriminasi bukan hanya pada diri orang atau kelompok tertentu tetapi juga pada keluarga dan pihak pihak yang terkait dengan kehidupan mereka. Stigma adalah konstruksi sosial dari harapan sosial yang ideal, terwujud dalam pemberian label sosial yang membuat orang lain dan individu bersangkutan memandang rendah dirinya. Secara teoritis stigma terbagi dua, yaitu eksternal dan internal. Stigma eksternal merefleksikan identitas sosial negatif yang diberikan oleh masyarakat kepada orang terinfeksi HIV yang menghasilkan marginalisasi sosial. Stigma eksternal terkait erat dengan sikap menyalahkan (blaming) orang terinfeksi HIV atas penyakit mereka, kesalahan persepsi dalam cara penularan HIV, ketakutan yang irasional akan tertular, dan sikap negatif. Sementara stigma internal adalah keyakinan yang dimiliki orang terinfeksi HIV tentang dirinya sendiri (terinternalisasi) akibat stigma yang dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya. Stigma internal terkait dengan gambaran diri (self image) yang negatif, serta perasaan bersalah dan malu. Faktor faktor yang mempengaruhi stigma terhadap orang dengan HIV-AIDS : 1. HIV-AIDS adalah penyakit mematikan 2. HIV-AIDS adalah penyakit karena perbuatan melanggar susila, kotor, tidak bertanggungjawab 3. Orang dengan HIV-AIDS dengan sengaja menularkannya. 4. Kurangnya pengetahuan yang benar tentang cara penularan HIV



6



Perubahan perkembangan pengobatan, perawatan dan dukungan yang diharapkan mempengaruhi paradigma stigma dan diskriminasi terhahadap orang dengan HIVAIDS : 1. HIV-AIDS dapat mengenai siapaun, tanpa membedakan status social pendidika agama, warna kulit, latar belakang seseorang 2. HIV-AIDS dapat mengenai orang yang tidak berdosa yaitu bayi dan anak 3. HIV-aids sudah ada obatnya sekalipun tidak menyembuhkan, tetapi mengembalikan kualitas hidup penderitanya. 4. Penularan HIV-AIDS ke bayi/anak dapat dicegah 5. Kepatuhan berobat dan minum obat adalah kunci utama pencegahan dan pengendalian HIV-AIDS 6. Setiap orang memiliki hak yang sama untuk akses pelayanan kesehatan paripurna yang komprehensif 7. Ketidaktahuan seseorang bahwa ia menderita penyakit termasuk HIV-AIDS dan IMS yang membuat orang menularkan penyakitnya.



Stigma yang muncul sebagian besar berhubungan dengan penghayatan agama yang kurang tepat, misalnya saja orang yang terinfeksi HIV memang pantas menerima kutukan tersebut atau sudah menjadi imbalan atas dosanya. Selain itu, umumnya stigma dan diskriminasi juga terjadi akibat pemahaman yang kurang atau keliru mengenai HIV dan AIDS. Ironisnya, sejumlah petugas kesehatan di Papua yang telah memperoleh pelatihan VCT setuju dengan adanya pernyataan berlebihan yang sifatnya diskriminatif seperti, “Orang terinfeksi HIV itu kotor, mesti ditolak dan dihukum”. Sebagian besar petugas kesehatan juga setuju dengan pernyataan stigma yang lebih halus seperti “Orang dengan HIV mesti menerima pembatasan atas perilaku mereka”. Hal ini membuktikan bahwa ceramah satu arah tidak cukup dalam menurunkan stigma.



Kurangnya pemahaman masyarakat tentang cara penularan dan penanganan akan menuntun pada kesalahan informasi dan menimbulkan mitos terkait HIV dan AIDS. Mitos-mitos tersebut yang kemudian menjadi dasar stigma terhadap orang dengan HIV positif.



7



Beberapa mitos yang berkembang dalam masyarakat adalah : 1. HIV dan AIDS adalah penyakit kutukan Tuhan. Faktanya adalah HIV dapat menyerang siapa saja tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, orientasi seksual, usia, profesi, atau jenis kelamin; 2. HIV dan AIDS adalah penyakit komunitas gay sehingga awalnya dinamakan GRIDS (Gay-Related Immune Deficiency Syndrome). Faktanya saat ini orang dengan HIV positif berasal dari kelompok heteroseksual yang melakukan seks dengan banyak pasangan tanpa menggunakan kondom; 3. HIV dan AIDS penyakit orang barat. Faktanya kasus HIV pertama kali memang ditemukan di Afrika dan Amerika, tetapi penyebarannya kini sudah sangat luas dan bahkan dapat ditemui pada semua propinsi di Indonesia; 4. HIV hanya menular lewat hubungan seks dan hanya menyerang pekerja seks. Faktanya HIV juga dapat menular lewat penggunaan jarum suntik tidak steril dan bergantian, penularan dari ibu ke anak, atau transfusi darah yang tidak steril. Pekerja seks memang salah satu kelompok beresiko jika tidak memakai kondom saat berhubungan seks, tetapi selain itu petugas kesehatan juga memiliki resiko terkena HIV jika tidak menjalani prosedur dengan benar, misalnya menutup jarum suntik dengan dua tangan (seharusnya hanya satu tangan); 5. HIV dapat menular melalui gigitan nyamuk. Faktanya HIV hanya dapat hidup di



darah



manusia



dan



nyamuk



menghisap



darah



manusia



bukan



menyuntikannya kembali; 6. Terinfeksi HIV berarti vonis mati dan ibu dengan HIV positif pasti memiliki anak yang juga terinfeksi. Faktanya orang terinfeksi HIV jika memiliki gaya hidup yang sehat, asupan gizi yang baik, dan lingkungan sosial yang mendukung akan memiliki masa hidup sama dengan orang tanpa HIV. Sementara bayi yang lahir dari ibu hamil dengan HIV positif tidak selalu otomatis terinfeksi. Dengan teknologi kedokteran seperti program bayi tabung, bedah caesar, atau pemberian ASI ekslusif maka resiko bayi terinfeksi HIV dari ibunya akan menjadi semakin kecil (Prevention of Mother-to- Child HIV Transmission [PMTCT]); 7. HIV dapat menular lewat kontak sosial seperti bersalaman, berpelukan, menggunakan peralatan makan yang sama, menggunakan WC atau kolam yang sama, atau terkena keringat atau air liur orang dengan HIV positif. Faktanya virus HIV hanya menular lewat darah, air mani, cairan vagina, dan ASI dengan 8



syarat cairan tersebut tidak mengalami kontak dengan udara dan dengan PH yang seimbang. Stigma yang berada pada tataran kognitif ketika terwujud dalam bentuk perilaku maka disebut sebagai diskriminasi. Diskriminasi terhadap HIV dan AIDS bukan hanya dilakukan pada orang dengan HIV positif, tetapi juga terjadi pada orangorang yang hidup atau berada disekitarnya. Ironisnya ada juga anggota keluarga atau saudara yang melakukan diskriminasi terhadap orang dengan HIV positif. Bentuk-bentuk diskriminasi yang terjadi akan menjurus pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu hak ekonomi, sosial, dan budaya (EKOSOB) serta hak sipil dan politik (SIPOL). Perlakuan diskriminasi yang melanggar hak-hak tersebut umumnya terkait dengan : 1. Kebebasan, keamanan, dan kebebasan gerak a. Tes HIV yang dipaksakan b. Karantina, pengasingan/isolasi, dan pemisahan 2. Kebebasan dari perlakuan yang tidak manusiawi atau penghinaan a. Isolasi, misalnya pada narapidana dengan HIV positif b. Keterlibatan dalam uji coba klinis tanpa c. Persetujuan berdasarkan informasi yang lengkap 3. Perlindungan oleh hukum yang sama Tidak diberikan nasihat atau layanan hukum 4. Hak pribadi a. Hasil tes tidak dirahasiakan atau diumumkan tanpa persetujuan b. Nama orang terinfeksi HIV wajib dilaporkan ke instansi kesehatan yang berwenang 5. Penentuan nasib sendiri Orang yang rentan terhadap atau terpengaruh oleh HIV dilarang berkumpul 6. Hak untuk menikah, mempunyai keluarga, dan menjalin hubungan a. Aborsi atau sterilisasi yang dipaksakan b. Tes HIV yang diwajibkan sebelum menikah c. Diskriminasi terhadap hubungan sesama jenis 9



7. Ketersediaan yang sama terhadap layanan kesehatan a. Kekurangan obat yang sesuai, kondom dll. b. Penolakan untuk merawat atau mengobati orang dengan HIV positif 8. Pendidikan a. Tidak tersedianya informasi yang memungkinkan orang membuat pilihan yang berdasarkan informasi lengkap b. Penolakan untuk memberikan pendidikan karena status HIV 9. Kesejateraan sosial dan perumahan Penolakan ketersediaan perumahan atau layanan sosial 10. Pekerjaan a. Pemecatan dari, atau diskriminasi di tempat kerja b. Asuransi atau tunjangan lain yang terbatas atau tidak tersedia sama sekali c. Tes hiv sebagai prasyarat untuk pekerjaan



Stigma dan diskriminasi tersebut berpotensi mempengaruhi kesehatan (psikis dan mental) individu dan komunitas. Stigma dan diskriminasi juga berasosiasi dengan menghindari tes HIV atau Infeksi Menular Seksual (IMS), menunda pengobatan dan perawatan HIV & AIDS, menyembunyikan status HIV yang positif, rendahnya tingkat kesehatan fisik dan mental. Stigma dapat menjadi sumber tekanan (stressor) yang mengurangi kemampuan orang terinfeksi HIV dalam menghadapi masalah (coping) dan diskriminasi menghambat mereka dalam mengakses layanan kesehatan. Butuh penanganan di tingkat sosial agar masyarakat berhenti menstigma dan melakukan diskriminasi terkait HIV dan AIDS. Oleh karena itu diperlukan usaha yang melibatkan berbagai komunitas dalam bentuk komunikasi dua arah sehingga tercipta hubungan yang baik. Modalitas relasi tersebut dapat dikembangkan menjadi jejaring sehingga usaha mereduksi stigma dan diskriminasi terkait HIV dan AIDS menjadi lebih efektif. Sebab salah satu indikator intervensi yang berhasil adalah terjadinya diseminasi pemahaman yang benar tentang HIV dan AIDS serta menurunnya stigma dan diskriminasi di berbagai komunitas sosial.



10



Dinamika Stigma Dan Diskriminasi Terhadap HIV & AIDS CD4 mencukupi



Preventif



Dapat bersktivitas produktif



(VCT,PMTCT)



STIGMA



DISKRIMINASI



(Menghambat)



(menghambat) Orang terinfeksi HIV



HIV



Kuratif



( termasuk keluarga dan rekan)



(Terapi ARV)



DISKRIMINASI



-



(mendorong)



-



-



Kehilanga pekerjaan Akses pendidikan & layanan kesehatan sulit Tidak mencari atau menghentikan pengobatan Dipisahkan Kekerasan verbal dan fisik, dan lain lain.



Rendah diri Menyalahkan diri sendiri Stress Depresi Bunuh diri



11



Intervensi Sosial Untuk Mereduksi Stigma Terhdap HIV & AIDS



- PEMAHANAN YANG RENDAH/ KELIRU TENTANG HIV DAN AIDS - PENGHAYATAN YANG KELIRU TENTANG AJARAN AGAMA - KARAKTER/KEPRIBADIAN YANG KURANG OPEN MINDED



STIGMA



INTERVENSI SOSIAL 1. Dialog lintas iman 2. Optimalisasi peran media massa 3. Eduksi masyarakat umum maupun petugas kesehatan 4. Pemberian informasi kesehatan reproduksi pada remaja 5. Membentuk kelompok dukungan sebaya



12



C. Intervensi Sosial Intervensi merupakan suatu usaha campur tangan yang dilakukan dengan tujuan memperbaiki atau mengatasi permasalahan yang ada. Sedangkan sosial merupakan sebuah kata yang merujuk pada relasi antara dua atau lebih individu. Oleh sebab itu intervensi sosial secara kasar dapat diartikan sebagai sebuah usaha yang melibatkan lebih dari satu individu untuk memecahkan permasalahan yang muncul. Dalam psikologi, intervensi sosial erat bersinggungan dengan prinsip-prinsip psikologi komunitas sehingga keduanya dapat disetarakan. Penerapan psikologi bagi masyarakat luas merupakan revolusi ketiga dalam kesehatan mental. Revolusi pertama adalah perlakuan yang lebih manusiawi pada orang yang sakit mental dan revolusi kedua terjadi saat Freud mengalihkan perhatian orang kepada kondisi intrapsikis manusia. Dengan demikian bukan sesuatu yang mengherankan jika intervensi sosial telah dikenal sekitar tahun 1960an. Beberapa prinsip dalam psikologi komunitas yang bersinggungan dengan intervensi sosial adalah: 1. Faktor-faktor lingkungan sosial memiliki peran yang sangat penting dalam penentuan dan perubahan tingkah laku; 2. Campur tangan dilakukan dengan berorientasi pada sistem, sebagai lawan dari intervensi sosial, dan hal ini juga akan mengurangi penderitaan individual; 3. Berorientasi dan berusaha untuk mengadakan perubahan komunitas atau sosial



Dalam perkembangannya, psikologi komunitas kini merasuk ke dalam penerapan psikologi klinis dengan terapan mikro-mikro. Sejalan dengan prinsip di atas bahwa manusia adalah makhluk individu sekaligus sosial. Selama ini sebagian besar psikolog klinis hanya bekerja di aras mikro, yaitu melayani kebutuhan individu dengan atau tanpa keluarganya saja serta kurang peduli dengan profesi lain yang juga berkarya di ranah kesehatan. Konsekuensi yang harus ditanggung adalah durasi waktu yang panjang dan biaya yang tinggi untuk melayani seorang individu.Untuk mengatasi hal itu maka penerapan psikologi klinis perlu menjangkau hingga ke aras makro, yaitu pelayanan psikologi yang berdampak bagi kesehatan masyarakat luas. Konsekuensi dari pelayanan di aras makro adalah psikolog harus mampu bersekutu dengan profesi kesehatan lainnya atau disiplin ilmu sosial terkait. Melalui jejaring dengan berbagai profesi dan disiplin ilmu, penanganan sebuah penyakit atau gangguan dapat dilakukan dengan lebih optimal dan efisien. 13



Pedoman inilah yang menjadi dasar dalam intervensi sosial untuk mereduksi stigma dan diskriminasi terhadap HIV & AIDS yang menjadi ‘penyakit sosial’ di masyarakat Indonesia. Aplikasi intervensi social untuk mereduksi stigma dan diskriminasi terhadap HIV dan AIDS 1. Dialog Lintas Iman Salah satu penyebab munculnya stigma terhadap HIV berhubungan dengan penghayatan agama yang kurang tepat, misalnya HIV dianggap sebagai kutukan atau sudah menjadi imbalan bagi dosa yang terinfeksi. Satu kelompok dengan anggota yag beragama sama belum tentu memiliki penghayatan atau iman yang sama. Apalagi dengan individu yang memiliki agama yang berbeda. Pada individu



dengan



pandangan



yang



sempit



ada



kecenderungan



untuk



mengekslusifkan agama yang dianutyna. Konsekuensinya adalah mengg\anggap agama lain adalah sesuatu yang buruk, dan lebih lanjut penalaran yang salah tersebut dikaitkan dengan HIV adalah kutukan bagi orang yang tidak seagama dengan dirinya. Dengan gambaran tersebut, aplikasi intervensi social dalam komunitas agama dapat berupa kerja sama dengan pemimpin atau anggota komunitas tersebut sehingga stigma yang terkait dengan persepsi moral dapat ditekan.Dialog antar iman maupun antara orang terinfeksi HIV dan yang tidak terinfeksi HIV dan yang tidak terinfeksi juga terbukti mampu mengurangi stigma dan diskriminasi. Ketika dialog dilakukan oleh berbagai penganut agama dengan keimanannya masing-masing, maka peserta dialog akan lebih saling memahami dan menarik kesimpulan bahwa inti dari semua ajaran agama adalah cinta kasih, termasuk mengasihi sesame manusia yang terinfeksi HIV. Resiko yang mungkin terjadi dari dialog tersebut adalah adanya resistensi atau penolakan dari individu yang tidak dapat membuka diri. Walau demikian, individu tersebut telah memiliki pengalaman berinteraksi dengan pemeluk agama lain. Peserta dialog antar iman dapat berasal dari pemimpin agama maupun remaja dan pemuda yag mendalami ajaran agama mereka secara formal. Ketika para pemimpin agama berdialog maka para pengikutnya dapat terinspirasi melakukan hal serupa. Sementara ketika mahasiswa dari berbagai sekolah atau program keagamaan



makan



mereka



akan



memiliki



bekal



pengalaman



untuk



disebarluaskan pada teman sebayanya. Dialog yang dilakukan juga dapat 14



dikembangkan agar para peserta dapat merancang program bersama sebagai tindak lanjut atau langkah nyata dalam mereduksi stigma dan diskriminasi terhadap HIV dan AIDS. Kerjasama yang timbul dapat mendorong terwujudnya jejaring antar iman.



2. Media Massa Optimalisasi media massa harus mempertimbangkan target audience dengan status social ekonomi ( SSE) yang dimiliki. Pendekatan pada masyarakat dengan SSE tinggi akan berbeda dengan masyarakat dengan SSE rendah. Dalam optimalisasi media massa empat fungsi utama yang dapat menjadi focus adalah sebagai berikut : a. Penyedia informasi dan pengetahuan b. Untuk hiburan c. Untuk integrase social seperti mengidentifikasi diri dengan tokoh tertentu d. Untuk penarikan kembali dengan memberi rintangan. Penerapan komunikasi interpersonal diperlukan dlam mengoptimalkan peran media massa dalam mengoptimalkan peran media massa dalam mereduksi stigma. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapat para pemimpin, tokoh masyarakat memiliki pengaruh yang kuat bagi pengikutnya. Saat masyarakat melihat tokoh panutan untuk melawan stigma terhadap HIV atau tidak takut untuk melakukan kontak dengan orang treinfeksi HIV maka akan terjadi modelling. Berikut ini beberapa contoh dari optimalisasi media massa sebagai aplikasi intervensi social untuk mereduksi stigma dan diskriminasi terhadap HIV dan AIDS pada masyarakat : a. Koran dan televise di kamboja menayangkan gambar Pngeran Ranariddh yang sedang memberikan bunga orang dengan HIV positif dan kemudia berfoto dengan pose lengan Pangeran yang merangkul orang tersebut. b. Sebuah organisasi internasional di Vietnam mempublikasikan buku yang merupakan hasil wawancara mendalam tentang kisah hidup orang-orang dengan HIV dengan AIDS.



15



c. Pemerintah Thailand mensponsori festival budaya Loy Krathong dengan memperkenalkan ratu kecantikan yang terinveksi HIV, anak anak dengan HIV positif, mempersilakan orang yang ingin mengungkapkan status HIV mereka, serta memberikan informasi tentang komunitas atau kelompok dukungan sebaya bagi orang dengan HIV positif.



3. Edukasi Edukasi atau pemberian pendidikan kepada masyarakat umum maupun petugas kesehatan perlu dilakukan agar mereka memiliki pemahaman yan benar tentang HIV dan AIDS. Materi yang diberikan dalam edukasi dapat mencakup bagaimana penularan HIV dan cara penanggulangannya sehingga mitos mitos terkait HIV dan AIDS yang beredar dapat diatasi dan menimbulkan pemahaman yang benar pada masyarakat. Materi lain yang dapat diberikan adalah produk produk hukum yang melindungi orang terinfeksi HIV dari perlakuan diskriminasi. Beberapa contoh produk hukum yang melindungi hak hak orang dengan HIV positif adalah : a.



Undang Undang nomor 11 tahun 2005 tentang Internasional Covenant on Economic, Social and Cultural Rights ( Kovenan Internasional tentang Hakhak Ekonom, SOsial dan Budaya)



b.



Undang Undang nomor 12 tahun 2005 tentang International Cpvenant on Civil and Politic Rights ( Kovenan International tentang Hak hak Sipil dan Politik).



c.



Keputusan



Menteri



Tenaga



Kerja



dan



Transmigrasi



RI



nomor



68/MEN/IV/2004 tentang Pencegahan dan Penanggulanan HIV/AIDS di Tempat Kerja.



4. Informasi Kesehatan Reproduksi Pemberiaan informasi tenatng kesehatan reproduksi pada remaja dapat diwujudkan melalui pendidik sebaya (peer educator) atau konselor sebaya (peer counsellor). Metode pendidik sebaya telah dikenal dan diaplikasikan dalam pendidikan kesehatan sebagai pendidikan pedagogi sejak tahun 1980an. Remaja SMA di China yang diberikan pendidikan kesehatan reproduksi terbukti memiliki



16



peningkatan pemahaman terhadap kesehatan reproduksi termasuk penularan danpencegahan HIV dan AIDS. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa remaja di sekolah kejuruan membutuhkan pemberian informasi tentang kesehatan reproduksi yang lebih intensif. Salah satu alasan mengapa informasi tentang kesehatan reproduksi lebih dapat diterima oeleh remaja jika diberikan oleh reka sebayanya adalah karena tidak ada rasa takut atau malu di antara mereka. Sementara jika remaja bertanya kepada orangtua atau guru maka mereka takut akan diceramahi dan dianggap nakal. Jika tidak ada teman yang dapat dijadikan sumber informasi maka para remaja akan mencari informasi melalui media apapun sehingga ada resiko mendapatkan informasi yang keliru atau muncul mitos terkait seksualitas seperti jumlah rambut di tangan dan kaki berkorelasi denga nafsu seksual seseorang.



5. Kelompok Dukungan Sebaya Orang yang menderita HIV dapat membentuk kelompok untuk saling mendukung. Dukungan yang diberikan dapat berupa dukungan psikologis maupun materi. Saat bertemu dengan orang yang memiliki persamaan, yaitu teinfeksi HIV, maka akan timbul rasa empatik di antara anggota kelompok. Ketika mereka bersama maka para penderita HIV tidak akan merasa kesepian dan lebih mampu memperjuangkan hak hak mereka. Usaha advokasi terhadap hak hak orang dengan HIV positif yang ditindas akibat stigma dan diskriminasi juga akanlebih mendapat perhatian pemerintah maupun masyarakat. Kelompok dukungan sebaya dpat menyusun kegiatan yang dapat membangun citra positif bagi diri mereka. Kegiatan kegiatan social seperti mengunjungi panti werda atau panti asuhan, penanaman pohon, membersihkan lingkungan, dan kegiatan kegiatan lain.. ketika orang orang yang terinfeksi HIV melakukan kegiatan yang bersifat positif maka masyarakat akan memiliki pandangan yang lebih baik terhadap mereka. Beberapa kelompok dukungan, baik sebaya maupun tidak, yang anggota adalah orang orang dengan HIV positif adalah Jaringan Orang Terinfeksi HIV ( JOTHI), Ikana Prempuan Positif Indonesia (IPPI) dan Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI).



17



D. HIV AIDS dan COVID-19 Orang yang hidup dengan HIV (ODHA) yang belum mencapai supresi virus melalui pengobatan antiretroviral rentan untuk mendapatkan infeksi opportunistik dan perjalanan penyakit akan cepat mengalami perburukan. Hal ini disebabkan karena sistem imun yang belum pulih. Saat ini tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ada peningkatan risiko infeksi terhadap COVID-19 dan peningkatan perburukan penyakit untuk ODHA. Saat ini tidak ada kasus infeksi COVID-19 yang dilaporkan di antara ODHA, meskipun hal ini dapat dengan cepat berubah ketika virus menyebar. Dilaporkan bahwa selama wabah SARS dan MERS hanya ada beberapa laporan kasus penyakit ringan terkait SARS dan MERS di antara ODHA. Data klinis saat ini menunjukkan faktor risiko kematian karena COVID terutama terkait dengan usia lanjut dan komorbiditas lainnya termasuk penyakit kardiovaskular, diabetes, penyakit saluran pernapasan kronis, dan hipertensi. Beberapa orang yang sangat sehat juga menderita penyakit parah akibat infeksi coronavirus. ODHA yang mengetahui status HIV mereka disarankan untuk mengambil tindakan pencegahan yang sama seperti populasi umum (mis. Sering mencuci tangan sering, etika batuk, hindari menyentuh wajah Anda, menjaga jarak, mencari perawatan medis jika bergejala, isolasi diri jika kontak dengan seseorang dengan COVID -19 dan tindakan lain sesuai rekomendasi pemerintah). ODHA yang menggunakan obat-obatan ARV harus memastikan bahwa mereka memiliki paling sedikit 30 hari stok ARV jika suplai 3 sampai 6 bulan tidak tersedia dan memastikan bahwa status vaksinasi mereka diperbaharui (vaksin influenza dan pneumokokus). Penting untuk dipastikan agar ODHA yang belum memulai pengobatan ARV dapat segera memulai pengobatan ARV. Bagi orang yang merasa beresiko disarankan untuk segera memeriksakan diri agar perkembangan penyakit terkait HIV dapat dikendalikan dan mengurangi komplikasi dari penyakit ko-morbit lainnya. Ketika dunia meningkatkan respons kesehatan masyarakat terhadap pandemi COVID19,



negara-negara didesak untuk mengambil tindakan tegas untuk



mengendalikan epidemi. Organisasi Kesehatan Dunia telah mendesak semua negara untuk memastikan keseimbangan yang tepat antara melindungi kesehatan, mencegah gangguan ekonomi dan sosial, dan menghormati hak asasi manusia. WHO bekerja dengan mitra termasuk the UNAIDS Joint Programme dan Jaringan Global Orang yang Hidup dengan HIV untuk memastikan bahwa hak asasi manusia tidak terkikis dalam respons terhadap COVID-19 dan untuk memastikan bahwa orang 18



yang terdampak HIV ditawarkan akses yang sama untuk layanan seperti orang lain dan untuk memastikan layanan terkait HIV berlanjut tanpa gangguan.



19



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan HIV adalah virus yang menyerang antibody manusia (CD4) yang ada di dalam sel darah putih sehingga kekebalan tubuh orang tersebut lambat laun akan melemah. Orang dengan HIV positif rentan terhadap serangan virus, bakteri, parasit, dan jamur. Akibatnya orang tersebut mudah terkena berbagai penyakit dan terjadi komplikasi. Saat muncul kumpulan gejala penyakit akibat melemahnya sistem kekebalan tubuh, maka orang tersebut memasuki fase AIDS. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang cara penularan dan penanganan akan menuntun pada kesalahan informasi dan menimbulkan mitos terkait HIV dan AIDS. Mitos-mitos tersebut yang kemudian menjadi dasar stigma terhadap orang dengan HIV positif. Bentuk-bentuk diskriminasi kepada penderita HIV AIDS yang terjadi akan menjurus pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu hak ekonomi, sosial, dan budaya (EKOSOB) serta hak sipil dan politik (SIPOL).Intervensi sosial yang bisa dilakukan untuk mereduksi stigma dan diskriminasi terhadap ODHA adalah Dialog lintas iman, Optimalisasi peran media massa, Eduksi masyarakat umum maupun petugas kesehatan, Pemberian informasi kesehatan reproduksi pada remaja dan Membentuk kelompok dukungan sebaya



B. Saran Adanya buku panduan intervensi diskriminasi terhadap ODHA yang disosialisasikan ke masyarakat sehingga stigma segera pudar dan ODHA dapat hidup berdampingan dengan aman dan damai. Kemudian adanya tempat perlindungan bagi anak dengan ODHA sehingga perkembangan tumbuh kembang dapat termonitor dengan baik.



20



DAFTAR PUSTAKA Andrian Liem, dkk. (2011). Aplikasi Intervensi Sosial untuk Mereduksi Stigma dan DIskriminasi Terhadap HIV & AIDS di Indonesia. Psychology Village 2. Harmotion.



https://www.who.int/indonesia/news/novel-coronavirus/qa-on-hiv-and-antiretroviral



21