Makalah Stigma Pada Odha [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH STIGMA PADA ODHA Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah HIV/AIDS Dosen Pembimbing : Ni Putu Sumartini, M. Kep



Disusun Oleh Kelompok 6 : 1. Khaerul Mubarok Bafadal 2. Made Anandam Prasetya Aditya 3. Nurfauziah 4. Nurhasanah 5. Resi Mufti Bestari



KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MATARAM JURUSAN KEPERAWATAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS MATARAM TAHUN AJARAN 2020



i



KATA PENGANTAR Puji syukur dan terima kasih kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Makalah Keperawatan Jiwa yang berjudul “Stigma Pada ODHA”. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang sudah terkait dalam penyusunan tugas makalah ini karena telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk penyusunan makalah ini. Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik dari segi penampilan maupun dari segi kualitas penulisan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun jika terdapat kesalahan, kekurangan, dan kata – kata yang kurang berkenan dalam makalah ini, dan tentu saja dengan kebaikan bersama dan untuk bersama. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan pembaca.



Mataram, September 2020



Kelompok 6



ii



DAFTAR ISI



COVER...........................................................................................................................................i KATA PENGANTAR....................................................................................................................ii DAFTAR ISI.................................................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................1 A. Latar Belakang..................................................................................................................1 B. Rumusan Masalah............................................................................................................3 C. Tujuan.................................................................................................................................3 BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................4 A. Stigma...................................................................................................................................4 B. Deskriminasi terhadap ODHA.........................................................................................9 C. Dampak Diskriminasi terhadap ODHA.........................................................................10 D. Sikap ODHA terhadap Perilaku Diskriminasi..............................................................12 E. Hak Asasi Manusia bagi ODHA....................................................................................14 BAB III PENUTUP......................................................................................................................22 A. Kesimpulan......................................................................................................................22 B. Saran................................................................................................................................23 DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................24



iii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stigma dan diskriminasi merupakan hambatan terbesar dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Stigma berasal dari pikiran individu yang takut jika berada dekat dengan ODHA. Munculnya stigma dan diskriminasi dapat disebabkan karena kurangnya keterlibatan masyarakat dalam setiap upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Akibatnya, banyak masyarakat yang kurang mendapatkan informasi yang tepat mengenai HIV/AIDS, khususnya dalam mekanisme penularan HIV/AIDS (Wati dkk, 2017). Tingginya kasus HIV memerlukan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV. Salah satu hambatan paling besar dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS adalah masih tingginya stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Bentuk stigma dan diskriminasi diantaranya tidak bersedia makan makanan yang disediakan atau dijual oleh ODHA, tidak membolehkan anaknya bermain bersama dengan anak HIV, tidak mau menggunakan toilet bersama dengan ODHA, bahkan menolak untuk tinggal dekat dengan orang yang menunjukkan gejala HIV/AIDS. Stigma berasal dari pikiran seorang individu atau masyarakat yang mempercayai bahwa penyakit HIV merupakan akibat dari perilaku amoral yang tidak dapat diterima masyarakat yang tergambar dalam pandangan negatif sebagai akibat dari perasaan takut berlebihan jika berada dekat 1



dengan ODHA (Shaluhiyah dkk, 2015). Munculnya stigma dan diskriminasi



dapat



disebabkan



karena



kurangnya



keterlibatan



masyarakat dalam setiap upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS seperti penyuluhan kesehatan tentang HIV/AIDS. ODHA juga memilikin hak asasi manusia yang sama dengan yang lain, bila HAM dilindungi maka ODHA dan keluarganya dapat hidup tenang, lebih sehat, mempunyai harga diri, mampu menghadapi masalah penyakit HIV/AIDS dengan lebih baik, dan berperilaku sehat sehingga memperkecil risiko penularan.



2



B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengertian stigma? 2. Bagaimana deskriminasi terhadap ODHA? 3. Bagaimana dampak diskriminasi terhadap ODHA? 4. Bagaimana sikap ODHA terhadap perilaku diskriminasi? 5. Bagaimana Hak Asasi Manusia bagi ODHA? C. Tujuan Setelah mempelajari makalah ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami tentang : 1. Definisi stigma 2. Deskriminasi terhadap ODHA 3. Dampak diskriminasi terhadap ODHA 4. Sikap ODHA terhadap perilaku diskriminasi 5. Hak Asasi Manusia bagi ODHA



3



BAB II PEMBAHASAN A. Stigma 1. Pengertian Stigma Menurut Lacko, Gronholm, Hankir, Pingani, dan Corrigan dalam Fiorillo, Volpe, dan Bhugra (2016) stigma berhubungan dengan kehidupan sosial yang biasanya ditujukan kepada orang-orang yang dipandang berbeda, diantaranya seperti menjadi korban kejahatan, kemiskinan, serta orang yang berpenyakitan salah satunya orang HIV. Orang yang mendapat stigma dilabelkan atau ditandai sebagai orang yang bersalah.



2. Faktor-Faktor Terbentuk Stigma Faktor-faktor terbentuknya stigma sebagai berikut: a. Pengetahuan. Stigma terbentuk karena ketidaktahuan, kurangnya pengetahuan tentang HIV/AIDS, dan kesalahpahaman tentang penularan HIV (Liamputtong, 2013). Hal-hal tersebut dikarenakan rendahnya tingkat pengetahuan seseorang. Pengetahuan adalah hasil tahu dari informasi



yang



ditangkap



oleh



panca



indera.



Pengetahuan



dipengaruhi oleh faktor pendidikan, pekerjaan, umur, lingkungan, sosial dan budaya (Wawan dan Dewi, 2011). Hal ini sesuai dengan penelitian Walusimbi dan Okonsky dalam Erkki dan Hedlund (2013) yang menyatakan bahwa perawat yang memiliki pengetahuan tinggi



4



akan memiliki rasa ketakutan penularan HIV yang rendah dan sikap positif yang lebaik baik di bandingkan perawat yang berpengetahuan rendah.



b.Persepsi. Persepsi terhadap seseorang yang berbeda dari orang lain dapat mempengaruhi perilaku dan sikap terhadap orang tersebut. Cock dan kawan-kawan menyatakan bahwa stigma bisa berhubungan dengan persepsi seperti rasa malu dan menyalahkan orang yang memiliki penyakit seperti HIV (Paryati et al, 2012). c.Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan dapat mempengaruhi munculnya stigma. Jika tingkat pendidikan tinggi maka tingkat pengetahuan juga akan tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian Walusimbi dan Okonsky dalam Erkki dan Hedlund (2013) dimana menyatakan bahwa perawat yang memiliki pengetahuan tinggi akan memiliki rasa ketakutan penularan HIV yang rendah dan sikap positif yang lebih baik d. Lama Bekerja Seseorang yang masa bekerja yang paling lama maka memiliki pengalaman yang banyak sehingga dapat membuat keputusan yang tepat untuk melaksanakan tugasnya e. Umur Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi stigma seseorang. Semakin bertambah umur seseorang maka semakin



5



berubah sikap dan perilaku seseorang sehingga pemikiran seseorang bisa berubah (Suganda dalam Paryati et al, 2012). f. Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kerja seseorang (Gibson dalam Paryati, 2012). Perempuan juga cenderung memiliki stigma yang tinggi dimana bersikap menyalahkan dibanding dengan laki-laki (Andrewin dalam Salmon et al, 2014). g. Dukungan Institusi Pada institusi kesehatan, seperti rumah sakit dan puskesmas, memiliki SOP (Standard Operating Procedure) sesuai kebijakan masing-masing institusi, sarana dan fasilitas, serta penggunaan APD (Alat Pelindung Diri) dalam melakukan tindakan khusus kepada pasien dengan penyakit tertentu, seperti HIV (Paryati et al, 2012). h. Kepatuhan Agama Kepatuhan agama bisa mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Seseorang yang patuh pada nilai-nilai agama bisa mempengaruhi peran dalam kinerja bekerja dalam pelayanan kesehatan khususnya terkait HIV (Paryati et al, 2012). 3. Penyebab Terjadinya Stigma Ada beberapa penyebab stigma, diantaranya adalah: a. Ketakutan Ketakutan adalah penyebab umum stigma. Munculnya rasa takut ini adalah konsekuensi yang mengakibatkan tertular, bahkan orang



6



yang bersangkutan cenderung takut akan konsekuensi sosial dari pengungkapan keadaan yang sebenarnya. b. Tidak Menarik Beberapa kondisi ini dapat membuat orang tidak menarik, terutama dalam budaya di mana kecantikan eksternal sangat dihargai. Dalam hal ini, gangguan anggota komunitas ditolak karena terlihat berbeda. c. Kegelisahan Kegelisahan ini membuat mereka yang terkena dampak tidak nyaman dan mungkin tidak tahu bagaimana harus bersikap di depan orang. Dengan kondisi yang mereka alami, mereka akan lebih cepat menghindarinya. d. Asosiasi Stigmatisasi melalui asosiasi ini dikenal sebagai stigma simbolik dan terjadi ketika keadaan kesehatan dikaitkan dengan kondisi yang tidak menyenangkan. Seperti pekerja seks komersial, pengguna narkoba, orientasi seksual tertentu, kemiskinan atau kehilangan pekerjaan. Nilai dan kepercayaan dapat memainkan peran penting dalam menciptakan atau mempertahankan stigma. e. Kebijakan atau Undang-undang Dengan kebijakan atau undang-undang Ini biasanya terjadi ketika pasien dirawat di tempat yang berbeda. Dan memerlukan waktu khusus dari rumah sakit, seperti klinik kejiwaan, klinik penyakit menular seksual atau klinik rehabilitasi kecanduan obat. 7



f. Kurangnya kerahasiaan Pengungkapan kondisi seseorang yang tidak diinginkan mungkin karena cara hasil tes kesehatan dengan sengaja dirawat. Ini bisa sangat tidak diinginkan Misalnya, jika Anda mengirim pengingat dari surat atau mengunjungi profesional perawatan kesehatan di kendaraan yang ditandai dengan logo Gramm. 4. Bentuk Stigma Bentuk stigma dapat dibagi menjadi berbagai bentuk dalam masyarakat, berikut penjelasanya: a. Labeling Labeling adalah pembedaan serta juga memberikan label atau juga nama berdasarkan perbedaan yang dimiliki oleh anggota komunitas. Sebagian besar perbedaan individu tidak dianggap relevan secara sosial, tetapi beberapa perbedaan yang tercantum mungkin signifikan secara sosial. b. Stereotip Stereotip adalah kerangka berpikir atau juga aspek kognitif yang terdiri dari pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok dan karakteristik sosial tertentu. Stereotip adalah kepercayaan tentang kualitas yang merupakan keyakinan tentang karakteristik pribadi orang-orang dari kelompok atau kategori sosial tertentu.



8



c. Separation Separation adalah pemisahan “kita” (sebagai pihak yang tidak mempunyai



stigma



atau



pemberi



stigma)



dengan



“mereka”



(kelompok yang mendapat stigma). Hubungan antara label dan atribut negatif adalah pembenaran ketika individu yang diberi label percaya bahwa itu sebenarnya berbeda. Jadi bisa dibilang proses stereotyping berhasil. d. Diskriminasi Diskriminasi adalah perilaku merendahkan orang lain disebabkan karena afiliasi mereka dengan grup. Diskriminasi adalah komponen perilaku yang merupakan perilaku negatif terhadap seseorang karena individu tersebut adalah anggota kelompok tertentu. 5. Cara Menghentikan Stigma Corrigan dalam Fiorillo, Volpe, dan Bhugra (2016) menyebutkan bahwa ada 3 strategi yang dapat dilakukan untuk menghentikan stigma di masyarakat, yaitu protes, pendidikan, dan kontak. Protes untuk menghilangkan penyataan negatif masyarakat, media, dan iklan. Pendidikan dapat memberikan informasi yang lengkap dan jelas mengenai penyakit sehingga orang yang berpengetahuan lebih bisa bijak dalam berhubungan dengan orang yang memiliki penyakit dan tidak akan mendiskriminasinya. Kontak, maksudnya adalah orang yang memiliki penyakit dapat berkumpul dengan orang yang memiliki penyakit yang sama sehingga dapat meningkatkan harga dirinya dan semakin percaya diri. Adanya perkumpulan khusus juga dapat 9



mengurangi kecemasan seseorang dan bisa saling mengungkapkan perasaannya selama didiagnosa penyakit.



B. Deskriminasi terhadap ODHA Orang dengan HIV/AIDS rentan terdap perilaku diskriminasi berupa pemberian stigma atau lebel, pemisahan dan penolakan terhadap ODHA, pemberian lebel atau stigma adalah tindakan memberikan lebel sosial kepada seseorang atau sekelompok orang dengan



cap



atau



pandangan



buruk.



Dalam



praktiknya



stigma



mengakibatkan tindakan diskriminasi yaitu tindakan tidak mengakui atau tidak



mengupayakan



hak-hak



dasar



individu



atau



kelompok



sebagaimana selayaknya sebagai manusia yang bermartabat. UNAIDS mendifinisikan diskriminasi terkait dengan HIV sebagai ciri negatif yang diberikan pada seseorang sehingga menyebabkan tindakan yang tidak wajar dan tidak adil terhadap orang tersebut berdasarkan status HIVnya. Diskriminasi yang dihubungkan dengan penyakit menimbulkan efek psikologis yang berat tentang bagaimana ODHA melihat diri mereka sendiri, dalam beberpa kasus terjadi depresi, kurangnya penghargaan diri dan keputusasaan. Hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman dan informasi masyarakat mengenai HIV/AIDS, orang mengetahui bahwa HIV merupakan penyakit yang berbahaya namun karena kurangnya informasi terkait usaha preventif sehingga ia tetep melakuakan tindakan beresiko HIV. Disamping itu mayoritas masyarakat belum memahami informasi penularan HIV/AIDS dan



10



stigma yang dimunculkan adalah HIV/AIDS ditularkan melalui hubungan sexual, narkoba dan jarum suntik yang merupakan pelanggaran norma sosial. C. Dampak Diskriminasi terhadap ODHA Orang dengan HIV akan berhubungan dengan stigma dan diskriminasi dalam bentuk prasangka berlebihan, sikap yang negatif, dan perlakuan salah secara langsung dari orang-orang sekitarnya. Konsekuensi dari stigma dan diskriminasi, ODHA menjadi menarik diri dari lingkungan keluarga, kelompok pertemanan, dan komunitas sekitarnya. Selain itu mengalami keterbatasan pelayanan kesehatan, pendidikan dan mengalami erosi perlindungan hak asasi manusianya serta mengalami kerusakan psikologis. Secara umum, ODHA menjadi terbatas dalam hal akses untuk pengujian HIV, memperoleh treatment dan pelayanan HIV lainnya. Faktor-faktor penyebab munculnya stigma bagi ODHA, antara lain: hidup dengan HIV dan AIDS behubungan dengan kematian; perilaku seksual menyimpang (homoseksual, korban NAPZA, pekerja seks); dihubungkan dengan penularan hubungan seksual yang dianggap adanya perilaku tidak bermoral dan terkena infeksi merupakan hukuman atas perbuatannya, merupakan bentuk tidak adanya tanggung jawab pribadi dalam kehidupan bermasyarakat. Dampaknya



kondisi



tersebut



memberikan



kontribusi



meluasnya



epidemik HIV dan kematian jumlah penderita AIDS secara global. Epidemik, stigmatisasi dan diskriminasi merupakan faktor yang menunjukkan ketidakmampuan individu, keluarga dan masyarakat dalam melindungi dirinya sendiri dan merespons peningkatan ODHA.



11



Hasil penelitian dari International Centre for Research on Women (ICRW) tahun 2012, menemukan konsekuensi dari stigma terhadap orang dengan HIV antara lain kehilangan pendapatan, diputusnya pekerjaan,



kehilangan



keluarga,



kegagalan



dalam



pernikahan,



terhentinya keinginan mempunyai anak, miskin layanan kesehatan, mundur dari layanan perawatan di rumah, hilangnya harapan hidup, dan perasaan yang sangat sedih, serta kehilangan reputasi. Stigma bagi ODHA bukan hanya membuat semakin sulit kehidupan seseorang, namun berhubungan dengan perkembangan epidemik HIV dan AIDS secara global. Kondisi ini dipicu juga dengan adanya stigma yang terstruktur dari pemerintah, stigma layanan kesehatan, stigma dalam dunia pekerjaan, stigma dari rumah tangga dan lingkungan komunitas dan banyaknya hambatan dalam kehidupan bermasyarakat. Pemerintah melalui



Kemenkes



telah



mencanangkan



tiga



zero



ukuran



penanggulangan HIV-AIDS yaitu: zero kematian karena AIDS; zero penularan HIV; zero perlakuan diskriminatif terhadap ODHA. Dalam konteks



zero



perlakuan



diskriminatif



terhadap



ODHA,



maka



Kementerian Sosial dapat berperan secara nyata melalui dukungan dan rehabilitasi sosial. D. Sikap ODHA terhadap Perilaku Diskriminasi Untuk menganalisis bagaimana ODHA mensikapi perilaku diskriminasi di lingkungan keluarga, lingkungan pekerjaan dan di lingkungan sosial, dapat merujuk dengan menggunakan teori resiliesnsi sebagai sebagai pisau analisisnya, Sejumlah besar ahli psikologi 12



menyadari bahwa abad 21 penuh dengan perubahan-perubahan dan menimbulkan dampak yang tidak menyenangkan bagi individu, sehingga



individu



membangun



membutuhkan



kekuatan



dalam



kemampuan



menghadapi



resiliensi



kondisi



yang



untuk tidak



menyenangkan. Menurut Reivich & Shatte di dalam buku Desmita, resiliensi adalah “The ability to persevere and adapt when thing go awry” yang berarti kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi ketika dihadapkan dengan masalah. Menurut Walker, resiliensi juga dapat didefinisikan sebagai kapasitas sistem untuk menyerap mereorganisasi



diri



ketika



gangguan



dan



menghadapi perubahan sehingga



masih mampu mempertahankan fungsi dasarnya yang sama, struktur, identitas dan feedbcak. resiliensi merupakan kemampuan untuk bertahan dalam kondisi yang disebabkan oleh perubahan-perubahan yang tidak menyenangkan



yang



dialami



oleh



ODHA



terahadap



tindakan



diskrimnasi berupa penolakan dan pemisahan oleh lingkungan keluarga, lingkungan kerja, dan lingkungan sosialnya. Sumber-sumber pembentukan resiliensi: Grotberg (1994) di dalam buku Desmita menyebut tiga sumberresiliensi (three sources of resilience) yaitu I Have (Aku punya), I Am (Aku ini), I Can (Aku dapat). 1. I Have (Aku punya) I have (Aku punya) merupakan sumber resiliensi yang berhubungan dengan pemaknaan terhadap besarnya dukungan 13



yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya. Sumber I Have ini memiliki beberapa kualitas yang memberikan sumbangan bagi pembentukan resiliensi diantaranya, hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan penuh diantarnya Struktur dan peraturan di rumah, model- model peran, dorongan untuk mandiri (otonomi) dan akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, keamanan, dan kesejahteraan. 2. I Am (Aku ini) I am (Aku ini) merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan kekuatan pribadi yang dimiliki, yang terdiri dari perasaan, sikap dan keyakinan pribadi. Beberapa kualitas pribadi yang mempengaruhi I Am ini adalah, disayang dan disukai oleh banyak orang, mencinta, empati, kepedulian pada orang lain, bangga dengan dirinya sendiri, bertanggung jawab terhadap perilaku sendiri dan menerima konsekuensinya, percaya diri, optimistik, dan penuh harap. 3. I Can (aku dapat) I Can (Aku dapat) adalah sumber resiliensi yang berkaitan dengan apa saja yang dapat dilakukan sehubungan dengan keterampilan-keterampilan



sosial



dan



interpersonal.



Yaitu



keterampilan berupa komunikasi, memecah masalah, mengelola perasaan dan implus-implus mengukur tempersmen sendiri dan orang lain serta menjalin hubungan-hubungan yang saling mempercayai.



14



E. Hak Asasi Manusia bagi ODHA Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia sematama- ta karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan sematamata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbedabeda, ia tetap mempunyai hak-hak tersebut. Inilah sifat universal dari hakhak tersebut. Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable). Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau betapapun bengisnya perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap memiliki hakhak tersebut. Dengan kata lain, hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai makhluk insani (Smith, dkk.2008) Perlindungan HAM bagi ODHA adalah hal yang esensial untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan juga untuk mendukung program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang efektif. Kepentingan kesehatan masyarakat sebetulnya tidak berlawanan dengan perlindungan HAM untuk ODHA. Sudah terbukti bahwa bila HAM dilindungi maka ODHA dan keluarganya dapat hidup tenang, lebih sehat, mempunyai harga diri, mampu menghadapi masalah penyakit HIV/AIDS dengan lebih baik, dan berperilaku sehat sehingga memperkecil risiko penularan.



Di sisi lain anggota masyarakat yang merasa pernah melakukan perilaku risiko tinggi, kemudian melihat hak asasi ODHA dilindungi, akan 15



tergerak untuk melakukan tes darah. Selanjutnya, bila terbukti positif dan mereka tidak merasa dikucilkan atau didiskriminasi, besar kemungkinkan mereka akan lebih mudah menghadapi kenyataan, mau menjaga diri dan lingkungannya, tidak akan dengan sengaja menularkan HIV karena sudah mendapat konseling, pendampingan dan akses kepada pengobatan. Dengan demikian berkuranglah percepatan penularan HIV/AIDS di masyarakat. Selain bermanfaat mengurangi percepatan penularan HIV, perlindungan HAM ODHA diharapkan juga akan mempertahankan jumlah angkatan kerja agar tidak turun drastis akibat epidemi AIDS, seperti yang telah terjadi di Afrika. Untuk diketahui, lebih dari 75% ODHA di Indonesia berusia kurang dari 39 tahun, artinya usia yang produktif. Dengan perlindungan



hak-hak



ODHA,



termasuk



hak



untuk



mendapatkan



perawatan dan dukungan, maka kualitas hidup dan harapan hidup ODHA membaik, dan sebagian besar waktunya dapat dipakai untuk bekerja normal dan berprestasi. Untuk menumbuhkan respon yang efektif terhadap epidemi HIV/AIDS dan penghormatan terhadap hak asasi para ODHA diperlukan perlu keikutsertaan banyak pihak: mulai dari tanggungjawab pemerintah, penerapan reformasi undang-undang, peningkatan upaya dukungan, serta penciptaan lingkungan yang mendukung untuk para ODHA oleh masyarakat dan pelaku bisnis. Dalam



konteks



HIV/AIDS,



untuk



menghormati



norma



HAM



internasional yang telah kita ratifikasi dan untuk mencapai tujuan kesehatan



masyarakat



yang



pragmatis,



pemerintah



wajib



mempertimbangkan beberapa masalah yang agak kontroversial termasuk



16



masalah prostitusi, narkotika dan homoseksualitas. Merupakan tanggung jawab pemerintah untuk mengidentifikasi cara-cara menegakkan HAM sekaligus melindungi kesehatan masyarakat dengan mempertimbangkan konteks budaya, politik, dan agama. Walaupun tanggung jawab primer tetap di tangan pemerintah, peran LSM-LSM peduli AIDS, ODHA, serta badan-badan donor juga amat penting dalam hal ini Membicarakan



hak asasi



ODHA adalah juga



membicarakan



mengenai kewajiban, baik kewajibab ODHA maupun kewajiban orang lain. Perlunya keseimbangan antara HAM dan kewajiban-kewajiban asasi tersebut digarisbawahi



oleh



tokoh-tokoh



pemikir kita



seperti



TB



Simatupang, Ruslan Abdulgani, dan Pendeta Victor Tanja. Tindakan menuntut hak, menurut Victor, menuntut seseorang untuk banyak berbicara, sedangkan melaksanakan kewajiban mendorong seseorang untuk bekerja keras dan menghasilkan karya. Masalahnya, dalam hal HIV/AIDS, ODHA dalam posisi lemah, mengalami stigmatisasi, sehingga diperlukan advokasi. Artinya, tanpa melupakan kewajiban mereka, diperlukan banyak “bicara” untuk memperjuangkan hak asasi ODHA ODHA



berkewajiban



menjaga



kesehatan



diri,



keluarga



dan



lingkungannya dan mencegah penularan HIV dari dirinya ke orang lain. Bila ODHA pergi ke dokter, dokter gigi, bidan, atau harus dirawat di rumah sakit, ia perlu memberitahukan status HIV-nya. Bila melakukan hubungan seks ODHA juga harus selalu memakai kondom. Saat ini cukup banyak ODHA yang berkeluarga. Ada beberapa bentuk hak asasi manusia yang terkait dengan HIV/AIDS yang dapat dikaji. Berbagai hak ini tidak dapat dilihat secara



17



terpisah, melainkan saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Untuk aplikasinya perlu dipertimbangkan latar belakang sosial, budaya, sejarah dan agama. Adalah tugas pemerintah dan tugas kita semua, untuk mempromosikan dan melindungi semua hak-hak tersebut. Menurut dokumen WHO tahun 1998 mengenai petunjuk pelaksanaan “HIV/AIDS and Human Rights,” ada beberapa hal yang penting diperhatikan menyangkut hak asasi ODHA: 1. Hak atas perlakuan non-diskriminatif termasuk hak atas kedudukan yang sama di depan hukum. Undang-undang internasional mengenai HAM menjamin hak perlindungan hukum dan kebebasan dari segala bentuk diskriminasi, baik yang berdasarkan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, politik, tingkat sosial-ekonomi, dan sebagainya. Tindakan diskriminatif tidak hanya



keliru



dan



salah,



tapi



juga



akan



menimbulkan



dan



mempertahankan kondisi yang memudahkan penularan HIV/AIDS. Diskriminasi menciptakan suasana lingkungan yang menyulitkan perubahan perilaku dan menghambat masyarakat menanggulangi masalah HIV/AIDS. Lapisan masyarakat yang menderita perlakuan diskriminatif sehingga memudahkan tertular HIV/AIDS antara lain perempuan, anak-anak, masyarakat miskin, suku-suku terasing, kaum migran, penderita cacat, tahanan, pekerja seks dan pecandu narkotika. Komisi HAM Internasional menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS ataupun terhadap masyarakat yang mempunyai perilaku risiko tinggi tertular



18



HIV. ODHA perlu dilindungi hak-haknya di berbagai bidang, seperti di bidang lapangan kerja, perumahan, pendidikan, layanan hukum, layanan kesehatan, sosial dan kesejahteraan, serta di bidang asuransi. Untuk menciptakan suasana di masyarakat yang mendukung persamaan hak ODHA di depan hukum dan mencegah timbulnya tindakan diskriminasi, pemerintah bersama-sama dengan masyarakat dan LSM perlu menyelenggarakan pendidikan dengan tujuan khusus menghilangkan diskriminasi terhadap ODHA. Masyarakat perlu dididik untuk



bersikap



wajar



terhadap



ODHA



dan



dimotivasi



untuk



menyelenggarakan program dukungan terhadap ODHA. 2. Hak atas kemerdekaan dan rasa aman. Tak seorang pun boleh ditangkap, dipenjara, diisolasi atau dipisahkan dari masyarakat, hanya karena ia terinfeksi HIV atau sakit AIDS. WHO menganjurkan agar ODHA tetap berada di tengah-tengah masyarakat. Di penjara pun, seorang tahanan yang terinfeksi HIV tidak boleh dipisahkan atau diisolasi dari tahanan lain. 3. Hak untuk menikah. ODHA mempunyai hak untuk menikah dan berkeluarga, dan untuk menghormati hak tersebut maka penyuluhan dan konseling seharusnya tersedia untuk ODHA dan pasangannya. Kita harus menghormati hak ODHA untuk hamil dan mempunyai anak. Sewaktu perempuan dengan HIV hamil dan ia ingin melanjutkan kehamilannya, maka bayinya juga mempunyai hak untuk dilahirkan normal tanpa cacat. Untuk melindungi hak bayi, termasuk untuk menghindarkannya dari penularan HIV dari ibunya, ODHA perempuan tersebut perlu mendapat layanan dan



19



pengobatan



sewaktu



hamil,



baik



sewaktu



melahirkan



maupun



sesudahnya. 4. Hak untuk mendapatkan pendidikan. ODHA mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan. Pendidikan ODHA seharusnya tidak dibatasi, dan interaksi sosial di sekolah perlu dibina dengan baik agar ODHA tidak tersingkir. Jika ini ditegakkan, tidak perlu lagi ada anak yang ditolak atau dikeluarkan dari sekolah gara-gara status HIV-nya, apalagi hanya status HIV orangtuanya, seperti yang terjadi tahun 2012 lalu di Jakarta. Namun untuk dicatat kejadian ini tidak hanya di Indonesia, tetapi juga pernah terjadi di Amerika, ketika seorang ODHA harus berhenti dari sekolah karena protes beberapa orangtua siswa yang lain yang ketakutan anak-anaknya tertular HIV karena satu sekolah bersama siswa dengan HIV. 5. HAM untuk perempuan berstatus ODHA. Diskriminasi



terhadap



perempuan, de



facto dan de



jure,



memudahkan perempuan terinfeksi HIV. Subordinasi perempuan di dalam keluarga ataupun di masyarakat merupakan faktor penting yang menyebabkan peningkatan kecepatan infeksi HIV pada perempuan. Diskriminasi



yang



berlatar



belakang



ketimpangan



gender



juga



menyulitkan perempuan sewaktu menghadapi konsekuensi infeksi HIV pada diri mereka, ataupun infeksi HIV pada anggota keluarganya. Dalam kerangka upaya pencegahan infeksi HIV, seharusnya direalisasikan hak ODHA untuk mendapat informasi, pendidikan, dan layanan kesehatan. Dengan ketersediaan informasi pun, perempuan masih sulit untuk melakukan negosiasi dengan suami atau pasangan



20



seksualnya mengenai seks yang lebih aman untuk mencegah penularan HIV. Hal ini disebabkan oleh subordinasi perempuan secara sosial dan seksual, serta ketergantungan perempuan di sektor ekonomi. Saat ini masih dirasakan adanya miskonsepsi dalam penularan dan epidemiologi HIV/AIDS, yaitu adanya anggapan bahwa perempuan adalah vektor penyakit, sumber penularan terpenting dalam penularan. Akibatnya, perempuan dengan HIV/AIDS atau yang diduga terinfeksi HIV, mengalami berbagai tindakan kekerasan dan diskriminasi, baik di kehidupan pribadi maupun di masyarakat. Pekerja seks seringkali diharuskan diperiksa darahnya untuk tes HIV tanpa konseling. Kadangkadang bahkan tanpa upaya penyuluhan kepada klien mereka untuk memakai kondom, dan juga tanpa upaya penyediaan layanan kesehatan yang memadai. 6. HAM untuk ODHA anak. Telah disepakati secara internasional bahwa yang disebut anak adalah yang berusia kurang dari 18 tahun, kecuali undang-undang menentukan lain. Selain hak-hak yang secara khusus dibahas pada Konvensi Hak-hak Anak, sebagian besar hak anak adalah hak yang juga berlaku untuk orang dewasa, seperti hak untuk hidup, mendapatkan pendidikan,



layanan



kesehatan,



perlakuan



non-diskriminatif,



hak



berserikat, dan hak menyatakan pendapat. Hak-hak untuk bebas dari pelacuran, eksploitasi seksual dan kekerasan seksual amat relevan dengan program pencegahan penularan HIV. 7. Hak untuk bepergian. ODHA mempunyai kebebasan untuk bepergian, dan seharusnya tidak boleh ada peraturan untuk membatasi seseorang



21



bepergian hanya berdasarkan status HIV-nya, karena sama sekali tidak ada dasar ilmiahnya. 8. Hak untuk menyatakan pendapat. Setiap orang mempunyai hak untuk menyatakan pendapatnya. Dalam kaitan dengan hal tersebut, setiap orang berhak mendapatkan dan mencari informasi apa pun, termasuk informasi mengenai pencegahan, perawatan, dan dukungan dalam mengatasi penyakit infeksi HIV/AIDS. 9. Hak untuk berserikat. Deklarasi Universal mengenai HAM menyatakan bahwa setiap orang mempunyai kebebasan untuk berserikat secara damai. Dalam konteks HIV/AIDS, kebebasan berserikat merupakan hal yang penting sekali untuk melaksanakan advokasi, lobi, dan dukungan untuk ODHA. ODHA perlu mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminatif, baik langsung maupun tak langsung.



22



BAB III PENUTUP



A. Kesimpulan Menurut Lacko, Gronholm, Hankir, Pingani, dan Corrigan dalam Fiorillo, Volpe, dan Bhugra (2016) stigma berhubungan dengan kehidupan sosial yang biasanya ditujukan kepada orang-orang yang dipandang berbeda, diantaranya seperti menjadi korban kejahatan, kemiskinan, serta orang yang berpenyakitan salah satunya orang HIV. Orang yang mendapat stigma dilabelkan atau ditandai sebagai orang yang bersalah. Beberapa penyebab Terjadinya Stigma diantaranya adalah ketakutan, tidak menarik, kegelisahan, asosiasi, kebijakan atau undang-undang dan kurangnya kerahasiaan. Orang dengan HIV/AIDS rentan terdap perilaku diskriminasi berupa pemberian stigma atau lebel, pemisahan dan penolakan terhadap ODHA, pemberian lebel atau stigma adalah tindakan memberikan 23



lebel sosial kepada seseorang atau sekelompok orang dengan cap atau pandangan buruk. Dalam praktiknya stigma mengakibatkan tindakan diskriminasi yaitu tindakan tidak mengakui atau tidak mengupayakan hak-hak dasar individu atau kelompok sebagaimana selayaknya sebagai manusia yang bermartabat. Sebagai manusia, ODHA memliki hak untuk mendapat perlakuan yang sama. Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan sematamata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyai hakhak tersebut. Inilah sifat universal dari hak-hak tersebut. Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable). Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau betapapun bengisnya perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap memiliki hak-hak tersebut. Dengan kata lain, hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai makhluk insani (Smith, dkk.2008). Perlindungan HAM bagi ODHA adalah hal yang esensial untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan



juga



untuk



mendukung



program



pencegahan



dan



penanggulangan HIV/AIDS yang efektif. Kepentingan kesehatan masyarakat sebetulnya tidak berlawanan dengan perlindungan HAM untuk ODHA.



24



B. Saran Orang dengan HIV/AIDS rentan terdap perilaku diskriminasi berupa pemberian stigma atau lebel, pemisahan dan penolakan terhadap ODHA, pemberian lebel atau stigma adalah tindakan memberikan lebel sosial kepada seseorang atau sekelompok orang dengan cap atau pandangan buruk. Sebagai perawat kita harus bisa memahami bagaimana HAM ODHA dan membantu mereka dalam mendapatkan haknya dengan melakukan penkes kepada masyarakat sekitar, menjaga privacy ODHA serta menghargai HAM ODA.



25



DAFTAR PUSTAKA Herry Hikmat. Zero Perlakuan Diskriminatif Terhadap Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA). (Staf Ahli Bidang Dampak Sosial). Http://Www.Avert.Org/Hiv- Aids- Stigma-AndDiscrimination.Htm. Diakses Pada 04 September 2020. Anonim,



Stigma



:



Pengertian,



Jenis,



Bentuk



dan



Proses



Terjadinya



https://www.seputarpengetahuan.co.id/2019/11/stigma.html#:~:text=ahli%2C %20antara%20lain%3A,Menurut%20Goffman%20(1959),orang%20tersebut %20dari%20penerimaan%20seseorang.Di Akses pada 04 September 2020 Anonim,http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/15568/f.BAB%20II.pdf? sequence=6&isAllowed=y. Di akes pada 04 September 2020 Buku Pedoman Penghapusan Stigma & Diskriminsi Bagi Pengelola Program Petugas Kesehatan Dan Kader.Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Direktorat Pengendalian Penykit Menular Langsung Tahun 2012



26