Isi Makalah Askep Inkontinensia [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Imah
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1



LATAR BELAKANG Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002). Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan daripada yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15 – 30% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Masalah inkontinensia urin ini angka kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Perubahan-perubahan akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian bawah. Perubahan tersebut merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami inkontinensia, tetapi tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan bagian normal proses menua. Pada wanita umumnya inkontinensia merupakan inkontinensia stres, artinya keluarnya urine semata-mata karena batuk, bersin dan segala gerakan lain dan jarang ditemukan adanya inkontinensia desakan, dimana didapatkan keinginan miksi mendadak. Keinginan ini demikian mendesaknya sehingga sebelum mencapai



kamar



kecil



penderita



telah



membasahkan



celananya.



Jenis



inkontinensia ini dikenal karena gangguan neuropatik pada kandung kemih. Sistitis yang sering kambuh, juga kelainan anatomik yang dianggap sebagai penyebab inkontinensia stres, dapat menyebabkan inkontinensia desakan. Sering didapati inkontinensia stres dan desakan secara bersamaan. 1.2 RUMUSAN MASALAH 1. Apa pengertian dari inkontinensia urin ? 2. Apa saja klasifikasi dari inkontinensia urin ? 3. Apa etiologi dari inkontinensia urin ? 4. Apa saja tanda dan gejala dari inkontinensia urin ? 1



5. 6. 7. 8.



Bagaimana patofisiologi inkontinensia urin ? Bagaimana penatalaksanaan inkontinensia urin ? Bagaimana konsep askep dari inkontinensia urin ? Bagaimana askep dari inkontinensia urin ?



1.3 TUJUAN 1. Untuk mengetahui pengertian dari inkontinensia urin. 2. Untuk mengetahui klasifikasi dari inkontinensia urin. 3. Untuk mengetahui etiologi dari inkontinensia urin. 4. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari inkontinensia urin. 5. Untuk mengetahui patofisiologi inkontinensia urin. 6. Untuk mengetahui penatalaksanaan inkontinensia urin. 7. Untuk mengetahui konsep askep dari inkontinensia urin. 8. Untuk mengetahui askep dari inkontinensia urin.



BAB II PEMBAHASAN 2.1. PENGERTIAN Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002). Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya,yang mengakibatkan masalah sosial dan higienis penderitanya (FKUI, 2006). Menurut International Continence Sosiety, inkontinensia urine adalah kondisi keluarnya urin tak terkendali yang dapat didemonstrasikan secara obyektif dan menimbulkan gangguan hygiene dan sosial. 2.2. KLASIFIKASI Klasifikasi Inkontinensia Urine menurut (H. Alimun Azis, 2006) 2



1) Inkontinensia Dorongan Inkontinensia dorongan merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengluaran urin tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat untuk berkemih. 2) Inkontinensia Total Inkontinensia Total merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin terus menerus dan tidak dapat diperkirakan. 3) Inkontinensia Stres Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami kehilangan urin kurang dari 50 ml, terjadi dengan peningkatan tekanan abdomen. 4) Inkontinensia refleks Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluran urin yang tidak dirasakan, terjadi pada interval yang dapat diperkirakan bila volume kandung kemih mencapai jumlah tertentu. 5) Inkontinensia fungsional Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan. 2.3. ETIOLOGI Etiologi Inkontinensia Urine menurut (Soeparman & Waspadji Sarwono, 2001) : 1. Poliuria, nokturia 2. Gagal jantung 3. Faktor usia : lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun. 4. Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini disebabkan oleh : a) Penurunan produksi esterogen menyebabkan atropi jaringan uretra dan efek akibat melahirkan dapat mgengakibatkan penurunan otot-otot dasar panggul. b) Perokok, Minum alkohol. c) Obesitas d) Infeksi saluran kemih (ISK) 2.4. TANDA DAN GEJALA Tanda-tanda Inkontinensia Urine menurut (H.Alimun Azis, 2006) 1. Inkontinensia Dorongan a) Sering miksi b) Spasme kandung kemih 2. Inkontinensia total a) Aliran konstan terjadi pada saat tidak diperkirakan. 3



b) Tidak ada distensi kandung kemih. c) Nokturia dan Pengobatan Inkontinensia tidak berhasil. 3. Inkontinensia stres a) Adanya urin menetes dan peningkatan tekanan abdomen. b) Adanya dorongan berkemih. c) Sering miksi. d) Otot pelvis dan struktur penunjang lemah. 4. Inkontinensia refleks a) Tidak dorongan untuk berkemih. b) Merasa bahwa kandung kemih penuh. c) Kontraksi atau spesme kandung kemih tidak dihambat pada interval. 5. Inkontinensia fungsional a) Adanya dorongan berkemih. b) Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin. 2.5. PATOFISIOLOGI Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain: 1. Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem Perkemihan Vesika Urinaria (Kandung Kemih). Kapasitas kandung kemih yang normal sekitar 300-600 ml. Dengan sensasi keinginan untuk berkemih diantara 150-350 ml. Berkemih dapat ditundas 1-2 jam sejak keinginan berkemih dirasakan. Ketika keinginan berkemih atau miksi terjadi pada otot detrusor kontraksi dan sfingter internal dan sfingter ekternal relaksasi,yang membuka uretra. Pada orang dewasa muda hampir semua urine dikeluarkan dengan proses ini. Pada lansia tidak semua urine dikeluarkan, tetapi residu urine 50 ml atau kurang dianggap adekuat. Jumlah yang lebih dari 100 ml mengindikasikan adanya retensi urine. Perubahan yang lainnya pada peroses penuaan adalah terjadinya kontrasi kandung kemih tanpa disadari. Wanita lansia, terjadi penurunan produksi esterogen menyebabkan atrofi jaringan uretra dan efek akibat melahirkan mengakibatkan penurunan pada otot-otot dasar (Stanley M & Beare G Patricia, 2006). 2. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung kemih. Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Fungsi



4



sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin. 2.6. PENATALAKSANAAN 1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum. 2. Terapi non farmakologi Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah : Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir). Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan cara : Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10 kali. Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan ± 10 kali. Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan baik. 3. Terapi farmakologi



5



Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik



seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine,



flavoxate,



Imipramine. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine



untuk



meningkatkan



retensi



urethra.



Pada sfingter



relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat. 4. Terapi pembedahan Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita). 5. Modalitas lain Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter. 6. Pemantauan Asupan Cairan Pada orang dewasa minimal asupan cairan adalah 1500 ml perhari dengan rentan yang lebih adekuat antara 2500 dan 3500 ml perhari dengan asumsi tidak ada kondisi kontraindikasi. Lansia yang kontinen dapat membatasi asupan cairan secara tidak tepat untuk mencegah kejadiankejadian yang memalukan. Pengurangan asupan cairan sebelum waktu tidur dapat mengurangi inkontinensia pada malam hari, tetapi cairan harus diminum lebih banyak selama siang hari sehingga total asupan cairan setiap harinya tetap sama. 2.7. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian Adapun data-data yang akan dikumpulkan dikaji pada asuhan keperawatan klien dengan diagnosa medis Inkontinensia Urine : 1) Identitas Klien 6



Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa medis. 2) Keluhan Utama Pada kelayan Inkontinensia Urine keluhan-keluhan yang ada adalah nokturia, urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan staguri. 3) Riwayat Penyakit Sekarang Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul keluhan, usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi keluhan. 4) Riwayat Penyakit Dahulu Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK (Infeksi Saluran Kemih) yang berulang. penyakit kronis yang pernah diderita. 5) Riwayat Penyakit keluarga Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita penyakit Inkontinensia Urine, adakah anggota keluarga yang menderita DM, Hipertensi. 6) Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik yang digunakan adalah B1 - B6 : a. B1 (breathing) Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi. b. B2 (blood) Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah c. B3 (brain) Kesadaran biasanya sadar penuh d. B4 (bladder) Inspeksi : periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus uretra, banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya.



7



Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di uretra luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing. e. B5 (bowel) Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan



abdomen,



adanya



ketidaknormalan



perkusi,



adanya



ketidaknormalan palpasi pada ginjal. f. B6 (bone) Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian. 2. Diagnosa Keperawatan 1. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih. 2. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu yang lama. 3. Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine. 4. Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat. 3. Intervensi 1) Diagnosa 1 Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien akan bisa melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkontinensia. Kriteria Hasil :  Klien dapat menjelaskan penyebab inkontenensia dan rasional penatalaksanaan. Intervensi : 1. Kaji kebiasaan pola berkemih dan gunakan catatan berkemih sehari.



8



R : Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan beri distensi kandung kemih 2. Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari R : Pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah terjadinya enuresis. 3. Bila masih terjadi inkontinensia kurangi waktu antara berkemih yang telah direncanakan R : Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung volume urine sehingga diperlukan untuk lebih sering berkemih. 4. Instruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran, ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan dengan klien berdiri jika tidak ada kebocoran yang lebih dulu. R : Untuk membantu dan melatih pengosongan kandung kemih. 5. Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan cairan 2000 ml, kecuali harus dibatasi. R : Hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah ISK dan batu ginjal. 6. Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan kemungkinan perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat untuk menurunkan frekuensi inkonteninsia. 2) Diagnosa 2 Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam waktu yang lama. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat berkemih dengan nyaman. Kriteria Hasil :  Urine jernih, urinalisis dalam batas normal, kultur urine menunjukkan tidak adanya bakteri. Intervensi : 1. Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin. R : Untuk mencegah kontaminasi uretra.



9



2. Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari (merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur) dan setelah buang air besar. R : Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung kemih dan naik ke saluran perkemihan. 3. Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh atau darah yang terjadi (memberikan perawatan perianal, pengosongan kantung drainase urine, penampungan spesimen urine). Pertahankan teknik aseptik bila melakukan kateterisasi, bila mengambil contoh urine dari kateter indwelling. R : Untuk mencegah kontaminasi silang. 4. Kecuali dikontra indikasikan, ubah posisi pasien setiap 2 jam dan anjurkan masukan sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan. R : Untuk mencegah stasis urine. 5. Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.  Tingkatkan masukan sari buah berri.  Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine. R : Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah sari buah berri diperlukan untuk mencapai dan memelihara keasaman urine. Peningkatan masukan cairan sari buah dapat berpengaruh dalam pengobatan infeksi saluran kemih. 3) Diagnosa 3 Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keruskan integritas kulit teratasi. Kriteria Hasil :    



Jumlah bakteri