Makalah Askep Inkontinensia Alvi KLS.2B [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Visi : Pada tahun 2028 menghasilkan perawat vokasi yang unggul dalam penerapan keterampilan keperawatan lansia berbasis IPTEK Keperawatan



“ ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN KEBUTUHAN ELIMINASI”



PROGRAM STUDI



: Program D-III Keperawatan



MATA KULIAH



: Keperawatan Medikal Bedah I



BEBAN STUDI



: 3 SKS



KELAS



: 2 Reguler B



PEMBIMBING



: Ace Sudrajat, S.Kp., M.Kes.



Disusun oleh kelompok 10 : 1. Yosevphina Loka



(P3.73.20.1.19.078)



2. Yuni Eka Ramadhani



(P3.73.20.1.19.079)



3. Yunita Putri



(P3.73.20.1.19.080)



PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN JAKARTA III TAHUN AJARAN 2020



KATA PENGANTAR Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayah-NYA, sehingga makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Gangguan Kebutuhan Eliminasi” ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Dalam penyusunan makalah ini tentunya tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sehingga makalah ini dapat terselesaikan, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapka terima kasih kepada: 1. Tuhan Yang Maha Esa. 2. Bapak Ace Sudrajat, S.Kp., M.Kes. selaku dosen pembimbing dan pengajar mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah 1 di Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Jakarta 3 3. Kedua orang tua yang selalu memberi dukungan, baik moral maupun materil. 4. Teman-teman seperjuangan di Jurusan Keperawatan Poltekkes Jakarta 3 yang selalu memberikan bantuan dan dukungan. Harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat dijadikan.Dalam penyusuan makalah ini penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca.



Bekasi, Agustus 2020



Tim Penulis



ii



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR...................................................................................................i DAFTAR ISI................................................................................................................ii BAB I :PENDAHULUAN...........................................................................................1 1.1. Latar belakang....................................................................................................................1 1.2. Rumusan masalah..............................................................................................................2 1.3. Tujuan makalah..................................................................................................................2 1.4. Metode penulisan...............................................................................................................3 1.5. Sistematika penulisan.........................................................................................................3



BAB II : PEMBAHASAN ..........................................................................................4 2.1 Konsep Eliminasi...............................................................................................................4 2.2 Klasifikasi Eliminasi..........................................................................................................4 2.3 Eliminasi Urine..................................................................................................................4 2.4 Eliminasi Alvi/ Fekal.........................................................................................................8 2.5 Pengertian Inkontinensia Alvi............................................................................................9 2.6 Patofisiologi.....................................................................................................................10 2.7 Etiologi............................................................................................................................13 2.8 Proses Inkontinensia Alvi...............................................................................................14 2.9 Gelaja Inkontinensia Alvi................................................................................................15 2.10 Klasifikasi Inkontinensia Alvi.........................................................................................16 2.11 Faktor Resiko Inkontinensia Alvi...................................................................................20 2.12 Faktor yang Mempengaruhi Proses Defekasi..................................................................21 2.13 Pemeriksaan Penunjang..................................................................................................22 2.14 Manifestasi Klinis...........................................................................................................22 2.15 Penatalaksanaan..............................................................................................................23



iii



BAB III : ASUHAN KEPERAWATAN INKONTINENSIA ALVI.................................27 BAB IV : PENUTUP............................................................................................................47 4.1. Kesimpulan......................................................................................................................47 4.2. Saran................................................................................................................................47 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................48



iv



v



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inkontinensia alvi atau inkontinensia tinja adalah suatu kondisi ketika tubuh seseorang tidak dapat mengendalikan buang air besar. Kondisi ini menyebabkan tinja keluar secara tiba-tiba, tanpa disadari oleh pengidapnya. Inkontinensia tinja dipengaruhi oleh usus bagian akhir, anus (dubur), dan sistem saraf yang tidak berfungsi secara normal. Manusia mempunyai kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi secara memuaskan melalui proses homeostasis, baik fisiologis maupun psikologis. Adapun kebutuhan merupakan suatu hal yang sangat penting, bermanfaat, atau diperlukan untuk menjaga homeostasis dan kehidupan itu sendiri. Banyak ahli filsafat, psikologis, dan fisiologis menguraikan kebutuhan manusia dan membahasnya dari berbagai segi. Orang pertama yang menguraikan kebutuhan manusia adalah Aristoteles. Sekitar tahun 1950, Abraham Maslow seorang psikolog dari Amerika mengembangkan teori tentang kebutuhan dasar manusia yang lebih dikenal dengan istilah Hierarki Kebutuhan Dasar Manusia Maslow  (Wolf, Lu Verne,dkk , 1984). Penelitian menunjukkan bahwa kelainan ini dapat timbul pada 2-7% populasi pada umumnya, meskipun insidensi yang pasti jauh lebih tinggi. Inkontinensia alvi dapat terjadi pada segala usia, umumnya lebih banyak timbul pada wanita daripada pria, dan lebih sering menyerang usia tua, umumnya usia lebih dari 65 tahun dibanding dewasa muda. Namun kejadian ini bukan merupakan proses normal dari proses penuaan (aging). Pasien yang mengalami penyakit ini sering sulit diterima di masyarakat, karena itu mereka yang mengalami ini sering merasa rendah diri dan malu untuk bergaul. Inkontinensia alvi dapat menurunkan rasa percaya diri, menyebabkan rasa takut, dan menimbulkan isolasi sosial.



1



1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalahnya adalah: 1. Apakah Konsep Eliminasi? 2. Apakah Klasifikasi Eliminasi? 3. Bagaimana Eliminasi Urine? 4. Bagaimana Eliminasi Fekal? 5. Apakah Pengertian dari Inkontinensia Alvi? 6. Apakah Patofisiologi Inkontinensia Alvi? 7. Apakah Etiologi Inkontinensia Alvi? 8. Bagaimanakah Proses Inkontinensia Alvi? 9. Bagaimanakah Gelaja Inkontinensia Alvi? 10. Apa sajakah Klasifikasi Inkontinensia Alvi? 11. Apa sajakah Faktor Resiko Inkontinensia Alvi? 12. Apa sajakah Faktor Yang Mempengaruhi Proses Defekasi? 13. Apa sajakah Pemeriksaan Penunjang? 14. Apa sajakah Manifestasi Klinisnya? 15. Bagaimanakah Penatalaksanaan Pada Kasus Inkontinensia Alvi? 1.3 Tujuan Masalah Tujuan penulisan makalah ini adalah: 1. Mahasiswa mampu mengetahui tentang Konsep Eliminasi; 2. Mahasiswa mampu mengetahui tentang Klasifikasi Eliminasi; 3. Mahasiswa mampu mengetahui tentang Eliminasi Urine; 4. Mahasiswa mampu mengetahui tentang Eliminasi Fekal; 5. Mahasiswa mampu mengetahui tentang Pengertian Inkontinensia Alvi; 6. Mahasiswa dapat mengetahui tentang Patofisiologi Inkontinensia Alvi; 7. Mahasiswa dapat mengetahui Etiologi Inkontinensia Alvi; 8. Mahasiswa dapat mengetahui Proses Inkontinensia Alvi; 9. Mahasiswa dapat mengetahui Gejala Inkontinensia Alvi; 10. Mahasiswa dapat mengetahui Klasifikasi Inkontinensia Alvi; 11. Mahasiswa dapat mengetahui Faktor Resiko Inkontinensia Alvi; 12. Mahasiswa dapat mengetahui Faktor Yang Mempengaruhi Proses Defekasi; 13. Mahasiswa dapat mengetahui Pemeriksaan Penunjang;



2



14. Mahasiswa dapat mengetahui Manifestasi Klinisnya; 15. Mahasiswa dapat mengetahui Penatalaksanaan Pada Kasus Inkontinensia Alvi. 1.4



Metode Penulisan Dalam penulisan makalah penulis memilih studi ke perpustakaan dengan mencari buku yang menyangkut tentang Kasus Asuhan Keperawatan Gangguan Eliminasi (Inkontinensia Alvi) dan mencari data mengenai kasus tersebut dari media komunikasi elektronik yakni internet. Kemudian kami mengolah data dengan cara memilih data yang sesuai dan mendekati kebenaran.



1.5 Sistematika Penulisan



Adapun sistematika penulisan ini adalah sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode pemecahan masalah, dan sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Terdiri dari Konsep Eliminasi, Klasifikasi Eliminasi, Eliminasi Urine, Eliminasi Fekal, Pengertian, Organ yang berperan, Gangguan, Faktor, Etiologi Patofisiologi, Proses Inkontinensia Alvi, Gejala, Manifestasi Klinis, Penatalaksanaan dan Asuhan Keperawatan Inkontinensia Alvi. BAB III Terdiri dari kesimpulan dan saran.



3



BAB II PEMBAHASAN 2.1. Konsep Eliminasi Eliminasi



merupakan



proses



pembuangan



sisa-sisa



metabolisme



tubuh.



Pmbuangan dapat melalui urine dan bowel (tarwoto, wartonah, 2006). Eliminasi Urine Liminasi urine normalnya adalah pengeluaran cairan. Proses pengeluaran ini sangat tergantung pada fungsi-fungsi organ liminasi urine seperti ginjal, ureter, bladder, dan uretra. Anatomi Dan Fisiologi Ginjal Ureter Kandung Kemih Uretra Fungsi utama ginjal: Mengeluarkan sisa nitrogen, toksin, ion dan obat-obatan Mengatur jumlah dan zat-zat kimia dalam tubuh. Eliminasi Bowel Proses defekasi. Defekasi adalah proses pembuangan atau pengeluaran sisa metabolisme berupa feses dan flatus yang berasal dari saluran pencernaan melalui anus. Refleks ini berawal dari feses yang masuk ke rektum sehingga terjadi distensi rektum, yang kemudian menyebabkan rangsnagan pada flektus mesentrikus dan terjadilah gerakan peristaltik. Setelah feses tiba di anus, secara sistematis spinter interna relaksasi maka terjadilah defekasi. 2.2. Klasifikasi Eliminasi 1. Eliminsasi Urine Eliminasi Urine normalnya adalah pengeluaran cairan. Proses pengeluaran ini sangat tergantung pada fungsi-fungsi organ liminasi urine seperti ginjal, ureter, bladder, dan uretra. 2. Eliminasi Fekal Eliminasi fekal Proses defekasi Defekasi adalah proses pembuangan atau pengeluaran sisa metabolisme berupa feses dan flatus yang berasal dari saluran pencernaan melalui anus. 2.3. Eliminasi Urine A. Pengertian Eliminasi Urine normalnya adalah pengeluaran cairan. Proses pengeluaran ini sangat tergantung pada fungsi-fungsi organ liminasi urine seperti ginjal, ureter, bladder, dan uretra. Anatomi Dan Fisiologi Ginjal Ureter Kandung Kemih Uretra 4



Fungsi utama ginjal : Mengeluarkan sisa nitrogen, toksin, ion dan obat-obatan Mengatur jumlah dan zat-zat kimia dalam tubuh. Mempertahankan kesimbangan antara air dan garam-garam serta asam dan basa. Menghasilkan renin, enzim untuk membantu pengaturan tekanan darah. Mengasilkan hormone eritropoitin yang menstimulasi pembentukan sel-sel darah merah disumsum tulang. Setelah urine terbentuk kemudian akan dialirkan ke pelvis ginjal lalu ke bladder melalui ureter. Lapisan tengah ureter terdiri atas otot-otot yang distimulasi oleh transmisi impuls elektrik berasal dari syaraf otonom. Akibat gerakan peristaltik ureter maka urine didorong ke kandung kemih Kandung kemih merupakan tempat penampungan urine. Terdiri atas 2 bagian yaitu bagian fundus atau body yang merupakan otot lingkat, tersususn dari otot detrusol dan bagian leher yang berhubungan langsung dengan uretra. Merupakan saluran pembuangan urine yang langsung keluar tubuh. Kontrol pengeluaran urine terjadi karena adanya spinter kedua yaitu spinter eksternal yang dapat dikontrol oleh kesadaran kita. B. Organ a.) Ginjal Ginjal merupakan sepasang organ berbentuk seperti kacang buncis, berwarna coklat agak kemerahan, yang terdapat di kedua sisi kolumna vertebral posterior terhadap peritoneum dan terletak pada otot punggung bagian dalam. Ginjal terbentang dari vertebra lumbalis ketiga. Ginjal kanan terletak lebih rendah dari ginjal kiri karena posisi hati yang berada diatasnya (Potter & Perry, 2005). Ginjal menyaring zat sisa metabolisme yang terkumpul dalam darah. Darah mencapai ginjal melalui arteri renalis yang merupakan cabang aorta abdominalis. Sekitar 20% sampai 25% curah jantung bersirkulasi setiap hari melalui ginjal. Setiap ginjal berisi 1 juta nefron. Nefron, yang merupakan unit fungsional ginjal, membentuk urin (Potter & Perry, 2010). Darah masuk ke nefron melalui arteriola aferen. Sekelompok pembuluh darah ini membentuk jaringan kapiler glomerulus, yang merupakan tempat pertama filtrasi darah dan tempat awal pembentukan urin. Tidak semua filtrat glomerulus akan dibuang sebagai urin. Sekitar 90% filtrat diabsorpsi kembali kedalam plasma, dan 1% sisanya dieksresikan sebagai urin (Potter & Perry, 2005). b.) Ureter Ureter meninggalkan tubulus dan memasuki duktus pengumpul yang akan mentranspor urin ke pelvis renalis. Sebuah ureter bergabung dengan setiap pelvis 5



renalis sebagai rute keluar pertama pembuangan urin. Ureter merupakan struktur tubular yang memiliki panjang 25-30 cm dan berdiameter 1,25 cm pada orang dewasa. Ureter membentang pada posisi retroperitoneum untuk memasuki kandung kemih di dalam rongga panggul (pelvis) pada sambungan ureterovesikalis. Urin keluar dari ureter kekandung kemih umumnya steril (Potter & Perry, 2005). Gerakan peristaltik menyebabkan urin masuk ke dalam kandung kemih dalam bentuk semburan, bukan dalam bentuk aliran yang tetap. Ureter masuk ke dalam dinding posterior kandung kemih dengan posisi miring. Pengaturan ini dalam kondisi normal mencegah refluks urin dari kandung kemih ke dalam ureter selama mikturisi (proses berkemih) dengan menekan ureter pada sambungan ureterovesikalis (sambungan ureter dengan kandung kemih) (Potter & Perry, 2005). c.) Kandung kemih Kandung kemih merupakan suatu organ cekung yang dapat berdistensi, tersusun atas jaringan otot serta merupakan wadah tempat urin dan merupakan organ eksresi. Apabila kosong, kandung kemih berada di dalam rongga panggul di belakang simfisis pubis (Potter & Perry, 2005). Bentuk kandung kemih berubah saat ia terisi dengan urin. Tekanan di dalam kandung kemih biasanya rendah walaupun sedang terisi sebagian, sehingga hal ini melindungi dari bahaya infeksi (Potter & Perry, 2005). Dalam keadaan penuh, kandung kemih membesar dan membentang sampai ke atas simfisis pubis. Kandung kemih yang mengalami distensi maksimal dapat mencapai umbilikus. Pada waktu hamil, janin mendorong kandung kemih sehingga menimbulkan perasaan penuh dan mengurangi daya tampung kandung kemih. Hal ini dapat terjadi baik pada trimester pertama maupun trimester ketiga (Potter & Perry, 2005). d.) Uretra. Urin keluar dari kandung kemih melalui uretra dan keluar dari tubuh melalui meatus uretra. Dalam kondisi normal, aliran urin yang mengalami turbulansi membuat urin bebas dari bakteri. Membran mukosa melapisi uretra, dan kelenjar uretra mensekresi lendir ke dalam saluran uretra. Lendir dianggap bersifat bakteriostatis dan membentuk plak mukosa untuk mencegah masuknya bakteri. Lapisan otot polos yang tebal mengelilingi uretra (Potter & Perry, 2005). Uretra pada wanita memiliki panjang sekitar 4-6,5 cm. Sfingter uretra eksterna yang terletak di sekitar setengah bagian bawah uretra, memungkinkan aliran volunter urin. Panjang uretra yang pendek pada



6



C. Faktor yang mempengaruhi eliminasi urine. 1. Pertumbuhan dan perkembangan 2. Sosiokultural 3. Psikologis 4. Kebiasaan Seseorang 5. Tonus otot 6. Intake cairan dan makanan 7. Kondisi penyakit 8. Pembedahan 9. Pengobatan 10. Pemeriksaan diagnostic D. Gangguan Gangguan/masalah yang sering didapakan pada eliminasi urin 



Retensi urin adalah penumpukan urine dalam bladder (kandung kemih) dan ketidakmampuan bladder untuk mengosongkan kandung kemih yang menyebabkan distensi dari vesika urinaria yang ditandai dengan ketidaknyamanan daerah pubis.







Inkontinensia total adalah keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urine yang terus menerus dan tidak dapat diperkirakan, ditandai dengan terjadi pada saat tidak diperkirakan, tidak ada distensi kandung kemih dan nokturi.



7







Inkontinentia refleks adalah dimana seseorang mengalami pengeluaran urin yang tidak dirasan, yang terjadi pada interval yang dapat diperkirakan apabila volume kandung kemih mencapai jumlah tertentu, ditandai dengan tidak ada dorongan untuk berkemih, merasakan kandung kemih penuh, dan kontraksi atau spasme kandung kemih tidak dihambat pada interval teratur.







Enuresis adalah ketidaksanggupan menahan kemih (mengompol) yang diakibatkan tidak mampu mengontrol spingter eksternal







Dysuria adalah rasa sakit dan kesulitan dalam berkemih hal ini sering ditemukan pada penyaki ISK (infeksi saluran kemih), trauama dan stiktur uretra (penyempitan uretra).







Polyuria adalah produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal, tanpa adanya penignaktan intake cairan, defisiensi ADH (antideuretic hormone), penyakit ginjal kronik.



2.4. Eliminasi Fekal A. Pengertian Proses defekasi adalah proses pembuangan atau pengeluaran sisa metabolisme berupa feses dan flatus yang berasal dari saluran pencernaan melalui anus. Refleks ini berawal dari feses yang masuk ke rektum sehingga terjadi distensi rektum, yang kemudian menyebabkan rangsnagan pada flektus mesentrikus dan terjadilah gerakan peristaltik. Setelah feses tiba di anus, secara sistematis spinter interna relaksasi maka terjadilah defekasi. Refleks Defekasi parasimpatik Feses yang masuk ke rektum akan merangsang saraf rektum yang kemudian diteruskan ke spinal cord. Dari spinal cord kemudian dikembalikan ke kolon desenden, sigmoid dan rektum yang menyebabkan intensifnyaa peristaltik, relaksasi spinter interna, maka terjadinya defekasi. B. Faktor yang mempengaruhi eliminasi fekal. Usia bayi kantrol defekasi belum berkembang, sedangkan pada usia lanjut kontrol defekasi menurun. Makanan berserat akan mempercepat produksi feses, banyaknya makann yang masuk ke dalam tubuh juga mempengaruhi proses defekasi. Intake cairan yang kurang akan menyebabkan feses menjadi lebih keras, disebabkan karena absorsi cairan yang meningkat. Tonus otot abdomen , pelvis, 8



dan diafreagma akan sangat membantu proses defekasi. Gerakan peristaltik akan memudahkan bahan feses bergerak sepanjang kolon. Keadaan cemas, takut, dan marah akan meningkatkan peristaltik akan menudahkan bahan feses bergerak sepanjang kolon. Beberapa jenis obat dapat mengakibatkan diare dan konstipasi. Kebiasaan untuk melatih pola buang air besar sejak kecil sejak kecil secara teratur, fasilitas buang air besar, dan kebiasaan menahan buang air besar. Klien yang akan dilakukan prosedur diagnostik biasanya dipuaskan atau dilakukan klisma dahulu agar tidak dapat buang air besar kecuali setelah makan. Usia Diet Intake cairan Aktivitas Fisiologis Pengobatan Gaya hidup Prosedur diagnostic. C. Gangguan Contohya : Inkontinensia Alvi.



2.5. Pengertian Inkontinensia Alvi Defekasi adalah proses pengosongan usus yang sering disebut dengan buang air besar, terdapat dua pusat yang menguasai refleks untuk defekasi, yaitu terletak di medula dan sumsum tulang belakang. Bila terjadi rangsangan parasimpatis, sfingter anal bagian dalam akan mengendur dan usus besar akan menguncup. Refleks defekasi  dirangsang untuk buang air besar kemudian sfingter anus bagian luar diawasi oleh sistem saraf parasimpatis mengendur dan menguncup saat defekasi. Feses terdiri atas sisa makanan seperti selulosa yang tidak direncanakan dan zat makanan lain yang seluruhnya tidak dipakai oleh tubuh, berbagai macam mikroorganisme, sekresi kelenjar usus, pigmen empedu dan cairan tubuh. Secara umum terdapat dua macam refleks dalam membantu proses defekasi yaitu rileks defekasi intrinsik yang dimulai dengan adanya zat sisa makanan (rektum) dalam rektum sehungga terjadi distensi. Kemudian flexus mesenterikus merangsang gerakan peristaltik dan akhirnya feses sampai dianus. Inkotinensia fekal adalah Perubahan kebiasaan defekasi dari pola normal dengan karakteristik pengeluaran feses secara involunter. (Wilkinson, Judith M dan Ahern, Nancy R). Inkotinensia fekal adalah ketidakmampuan seseorang dalam menahan dan mengeluarkan tinja pada waktu dan tempat yang tepat. Inkontinensia dapat diklasifikasikan menjadi soil (kehilangan mukus), insufisiensi (tidak ada kontrol gas dan diare), dan inkontinensia (tidak ada kontrol untuk membentuk feses padat). Klasifikasi lain membagi inkontinensia menjadi inkontinensia minor dan inkontinensia 9



mayor. Inkontinensia mayor adalah keadaan tidak dapat mengontrol membentuk konsistensi tinja yang normal. Sedangkan inkontinensia minor adalah soilling sebagian atau keadaan dimana sewaktu-waktu dapat mengeluarkan tinja secara normal dan tepat atau dapat diartikan sebagai bentuk tinja yang encer/cair. Inkontinensia fekal merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup serius pada pasien geriatri. Angka kejadian inkontinensia fekal ini lebih sedikit dibandingkan pada kejadian inkontinensia urin. Namun demikian, data di luar negeri menyebutkan bahwa 30-50% pasien geriatri yang mengalami inkontinensia urin juga mengalami inkontinensia alvi. Inkontinensia fekal merupakan hal yang sangat mengganggu bagi penderitannya,



sehingga



harus



diupayakan



mencari



penyebabnya



dan



penatalaksanaannya dengan baik. Seiring dengan meningkatnya angka kejadian inkontinensia urin, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi pula peningkatan angka kejadian inkontinensia fekal. Untuk itu diperlukan penanganan yang sesuai baik untuk inkontinensia urin maupun inkontinensia fekal, agar tidak menimbulkan masalah yang lebih sulit lagi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. 2.6. Patofisiologi Integritas neuromuskular dari rektum, anus, dan otot-otot dasar panggul membantu mempertahankan kontinensia fekal normal. Rektum adalah tabung muskuler terdiri dari lapisan otot longitudinal kontinyu yang menyatu dengan otot sirkuler yang mendasarinya. Komposisi otot yang unik tersebut memungkinkan rektum berperan baik sebagai reservoir bagi feces maupun sebagai pompa untuk mengosongkan feces. Anus adalah tabung muskuler dengan panjang 2-4 cm, yang saat istirahat membentuk sudut dengan sumbu rektum. Pada saat istirahat, sudut anorektal adalah sekitar 90 derajat, saat berkontraksi secara volunter sudut tersebut menjadi lebih kecil, sekitar 70 derajat, dan saat defekasi menjadi lebih tumpul, sekitar derajat. Secara anatomi, sfingter ani terdiri dari dua komponen, yaitu sfingter ani interna, yang terdiri otot polos dan sfingter ani eksterna yang berasal dari otot lurik. Sfingter ani interna, memiliki ketebalan 0,3-0,5 cm yang merupakan ekspansi lapisan otot polos sirkuler rektum, dan sfingter ani eksterna dengan ketebalan 0,6-1 cm yang merupakan ekspansi dari otot levator ani lurik. Secara morfologis, kedua sfingter tersebut terpisah dan heterogen.



10



Kontraksi otot sfingter ani interna yang dapat bertahan lama, dapat membantu penutupan liang anus sampai 85% dan ini cukup membuat terjadi kontinensia, selama 24 jam termasuk waktu tidur. Sfingter ani eksterna akan membantu sfingter ani interna pada saat-saat tertentu yang mendadak; dimana tekanan abdominal meningkat seperti pada batuk. Akan tetapi bantuan sfingter ani eksterna ini sangat terbatas, karena otot ini akan menjadi lelah dalam waktu 60 menit kemudian. Kerja sama sfingter ani interna dan eksterna akan membentuk daerah yang secara fisiologi mempunyai daerah dengan tekanan tinggi, sepanjang 4 cm. Otot puborektalis membentuk sudut anorektal dengan sling sekeliling pada posterior dari hubungan antara anus dengan rektum adalah hal yang mungkin berperan penting untuk mengontrol feces yang padat. Kontraksi yang terus menerus dari sfingter ani interna, berperan penting untuk mengontrol feces yang cair. Bantalan anus yang dapat memberikan sejumlah faktor yang tetap pada tekanan anus menurut aliran darah yang mengalir pada arteriovenusus, berperan penting dalam mengontrol flatus. Kerjasama antara sfingter anal yang komplek dengan fungsi rektal yang normal dibutuhkan untuk mempertahankan kontinen yang wajar. Dinding rektum mengembung untuk menampung feces selama feces masuk rektum dan ini mengurangi peningkatan tekanan. Pekerjaan ini bersamaan dengan tekanan tinggi daerah sfingter ani berfungsi untuk menampung feces yang padat dan menunda pengeluaran sampai waktu yang tepat. Suatu kenyataan kontinensia tergantung atas koordinasi dari aktifitas saluran gastrointestinal, dasar panggul dan sfingter ani serta kontrol dari susunan saraf pusat.



11



Gambar tersebut menjelaskan anatomi dari anal kanal dan rektum menunjukkan mekanisme fisiologis penting bagi kontinensia serta defekasi. Anus normalnya tertutup karena aktivitas tonik dari sfingter ani interna dan barier tersebut diperkuat oleh sfingter ani eksterna saat berkontraksi secara volunter. Lipatan mukosa anal bersama dengan bantalan vaskular anal (anal cushions) memperkuat penutupan dari anus. Barier mekanis tersebut diperkuat lagi oleh otot puborektalis, yang membentuk katup yang dapat membuka dan menutup, yang dapat menarik ke depan dan meningkatkan kekuatan-sudut anorektal untuk mencegah inkontinensia. Anorektum diinervasi oleh saraf sensorik, motorik, dan otonom parasimpatis maupun oleh sistem saraf enterik. Saraf utama adalah saraf pudendus, yang berasal dari saraf sakral kedua, ketiga, dan keempat dan menginervasi sfingter ani eksterna, mukosa ani, dan dinding anorektal. Ini adalah saraf campuran yang berfungsi sebagai saraf sensorik dan motorik. Perjalanan saraf tersebut yang melalui dasar panggul membuatnya rentan untuk mengalami cidera regangan, terutama pada saat melahirkan. Tampaknya isi rektum secara periodik dirasakan oleh proses "ano rectal sampling " Proses ini dapat difasilitasi oleh relaksasi transien dari sfingter ani interna yang memungkinkan pergerakan feces atau flatus dari rektum ke dalam anal kanal bagian atas di mana feces kemudian kontak dengan banyak end organ sensorik khusus seperti Krause end-bulbs, Golgi Mazzoni bodies dan genital corpuscles. Saraf aferen khusus untuk sentuhan, dingin, regangan, dan gesekan melayani ujung saraf terorganisir tersebut. Sebuah "sampling refleks" yang intak memungkinkan individu untuk memilih apakah akan mengeluarkan atau mempertahankan isi rektum tersebut, sedangkan bila "sampling refleks" tersebut terganggu, mungkin merupakan predisposisi untuk terjadinya inkontinensia. Sebaliknya, epitelium rektum tidak menunjukkan ujung saraf yang terorganisir. Serabut saraf dengan selubung mielin dan yang tidak berselubung mielin berada berdekatan dengan mukosa rektum, submukosa dan pleksus myenterikus. Saraf- saraf tersebut berperan dalam sensasi distensi dan regangan dan memediasi respon untuk relaksasi serta kontraksi visero-viseral dan ano-rektal. Sensasi dari distensi rektum berjalan sepanjang sistem parasimpatis menuju S2, S3, dan S4. Dengan demikian, saraf sakralis sangat besar peranannya dalam fungsi motorik, sensorik dan otonom anorektum, serta dalam mempertahankan kontinensia. 12



2.7. Etiologi Penyebab utama inkotinensia fekal adalah masalah sembelit, penggunaan pencahar yang berlebihan, gangguan saraf seperti demensia dan stroke, serta gangguan kolorektum seperti diare, neuropati diabetik, dan kerusakan sfingter rektum. Konstipasi atau sembelit merupakan kejadian yang paling sering timbul pada pasien geriatri dan bila menjadi kronik akan menyebabkan timbulnya inkontinensia fekal. Skibala akan mengiritasi rektum dan menghasilkan mukus dan cairan. Cairan ini akan membanjiri tinja yang mengeras dan mempercepat terjadinya inkontinensia. Konstipasi sulit untuk didefinisikan dan secara teknik biasanya diindentikkan dengan buang air besar sebanyak tiga kali dalam seminggu. Penyebab inkontinensia fekal dapat dibagi menjadi 4 kelompok (Brocklehurst dkk, 1987; Kane dkk, 1989) : 1. Inkontinensia fekal akibat konstipasi. 2. Inkontinensia fekal simtomatik, yang berkaitan dengan penyakit pada usus besar. 3. Inkontinensia fekal akibat gangguan kontrol persyarafan dari proses defekasi 4.



Inkontinensia fekal karena hilangnya refleks anal



Beberapa penyebab inkontinensia alvi umumnya, antara lain: 



Diare,



yang



mengakibatkan



tinja



lebih



berair,



sehingga



memperburuk



inkontinensia tinja. 



Kerusakan saraf pengendali sfingter anus, yang dapat diakibatkan oleh persalinan, peregangan berlebihan saat buang air, atau cedera saraf tulang belakang.







Kerusakan sfingter anus, yaitu cincin otot yang terletak di ujung lubang anus, yang dapat diakibatkan oleh episiotomi atau prosedur pembedahan vagina yang dilakukan setelah persalinan normal.







Keterbatasan ruang pada rektum untuk menampung kotoran, akibat adanya jaringan parut pada dinding rektum, sehingga fleksibilitas rektum berkurang.







Kondisi medis yang menyebabkan kerusakan fungsi saraf, seperti diabetes, multiple sclerosis, stroke, demensia, atau penyakit Alzheimer, sehingga menyebabkan inkontinensia tinja.







Konstipasi kronis, yang mengakibatkan kotoran mengeras, sehingga sulit bergerak melewati rektum serta menyebabkan kerusakan saraf dan otot. 13







Penggunaan obat pencahar dalam jangka panjang.







Rectal prolapse, yaitu kondisi ketika rektum turun hingga ke anus.







Rectocele, yaitu kondisi ketika rektum menonjol ke luar hingga area vagina wanita.







Tindakan pembedahan, seperti prosedur bedah pada hemoroid atau kondisi lain yang berkaitan dengan anus atau rektum, berisiko mengakibatkan kerusakan saraf.



2.8. Proses Inkontinensia Alvi Reflek defekasi parasimpatis Feses masuk rectum Saraf rectum Dibawa ke spinal cord Kembali ke colon desenden,sigmoid dan rectum Intensifkan peristaltic Kelemahan spingter interna anus Inkontinensia alvi Fungsi traktus gastrointestinal biasanya masih tetap adekuat sepanjang hidup. Namun demikian beberapa orang lansia mengalami ketidaknyamanan akibat motilitas yang melambat. Peristaltik di esophagus kurang efisien pada lansia. Selain



itu,



sfingter



gastroesofagus



gagal



berelaksasi,



mengakibatkan



pengosongan esophagus terlambat. Keluhan utama biasanya berpusat pada perasaan penuh, nyeri ulu hati, dan gangguan pencernaan. Motalitas gaster juga menurun, akibatnya terjadi keterlambatan pengosongan isi lambung. Berkurangnya sekresi asam dan pepsin akan menurunkan absorsi besi, kalsium dan vitamin B12. Absorsi nutrien di usus halus juga berkurang dengan bertambahnya usia namun masih tetap adekuat. 14



Fungsi hepar, kantung empedu dan pankreas tetap dapat di pertahankan, meski terdapat insufisiensi dalam absorsi dan toleransi terhadap lemak. Impaksi feses secara akut dan hilangnya kontraksi otot polos pada sfingter mengakibatkan inkontinensia feses. 2.9. Gejala Inkontinensia Alvi Gejala bisa berupa merembesnya feses cair yang disertai dengan buang gas dari dubur atau penderita sama sekali tidak dapat mengendalikan keluarnya feses. Umumnya,orang dewasa tidak mengalami kecelakaan buang air besar ini kecuali mungkin sesekali ketika terserang diare parah. Tapi itu tidak berlaku bagi orang yang mengalami inkontinensia tinja,kejadian BAB di celana itu berulang-ulang dan kronis. Bagi beberapa orang termasuk anak-anak inkontinensia tinja adalah masalah yang relative kecil,terbatas pada sesekali mengotori pakaian mereka.bagi yang lain,kondisi bisa menghancurkan lengkap karena kurangnya control usus. Secara klinis, inkontinensia alvi dapat tampak sebagai feses yang cair atau belum berbentuk dan feses keluar yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali sehari dipakaian atau tempat tidur. Perbedaan penampilan klinis ini dapat menunjukkan penyebab yang berbeda-beda, antara lain inkontinensia alvi akibat konstipasi (sulit buang air besar), simtomatik (berkaitan dengan penyakit usus besar), akibat gangguan saraf pada proses defekasi (neurogenik), dan akibat hilangnya refleks pada anus. Gejala yang dirasakan pengidapnya tergantung pada jenis inkontinensia tinja, yaitu: 



Inkontinensia mendesak (urge incontinence), yang ditandai dengan dorongan tiba-tiba untuk buang air besar dan sulit untuk dikendalikan.







Inkontinensia tinja pasif, yang ditandai dengan kotoran keluar tanpa disadari atau tanpa dorongan untuk buang air, serta dapat keluar ketika pengidap buang angin.



Beberapa gejala lain yang juga dapat dirasakan pengidap, antara lain:  Anus terasa gatal atau mengalami iritasi.  Diare.  Inkontinensia urine.  Konstipasi. 15



 Nyeri atau kram perut.  Perut kembung. 2.10. Klasifikasi Inkontinensia Alvi 1.   Inkontinensia Alvi akibat konstipasi Konstipasi merupakan keadaan individu yang mengalami atau beresiko tinggi mengalami statis usus besar sehingga menimbulkan eliminasi yang jarang atau keras, atau keluarnya tinja terlalu kering dan keras. Tanda Klinis : a. Adanya feses yang keras b. Defekasi kurang dari 3x seminggu c. Menurunnya bising usus d. Adanya keluhan pada rektum e. Nyeri saat mengejan dan defekasi f. Adanya perasaan masih ada sisa feses.                                      Kemungkinan Penyebab : a. Defek



persarafan,



kelemahan



pelvis,



imobilitas



karena



cidera



serebrosspinalis, CVA, dll. b. Pola defekasi tidak teratur. c. Nyeri saat defekasi karena hemoroid. d. Menurunnya peristaltik karena stres psikologis. e. Penggunaan obat, seperti penggunaan antasida, laksantiv, atau anastesi. f. Proses penuaan (usia lanjut). Batasan dari konstipasi (obstipasi) masih belum tegas. Secara teknis dimaksudkan untuk buang air besar kurang dari tiga kali per minggu. Tetapi banyak penderita sudah mengeluhkan konstipasi bila ada kesulitan mengeluarkan feses yang keras atau merasa kurang puas saat buang air besar (Kane dkk, 1989). Konstipasi sering sekali dijumpai pada lanjut usia dan merupakan penyebab yang paling utama pada inkontinensia fekal pada lanjut usia (Brocklehurst dkk, 1987).



16



Obstipasi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan sumbatan/impaksi dari masa feses yang keras (skibala). Masa feses yang tidak dapat keluar ini akan menyumbat lumen bawah dari anus dan menyebabkan perubahan dari besarnya sudut ano-rektal. Kemampuan sensor menumpul dan tidak dapat membedakan antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses yang cair akan merembes keluar (Broklehurst dkk, 1987). Skibala yang terjadi juga akan menyebabkan iritasi pada mukosa rektum dan terjadi produksi cairan dan mukus, yang selanjutnya melalui sela-sela dari feses yang impaksi akan keluar dan terjadi inkontinensia fekal (Kane dkk, 1989). Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, antara lain meraba adanya skibala pada colok dubur. 2.    Inkontinensia fekal simtomatik Inkontinensia fekal simtomatik dapat merupakan penampilan klinis dari macam-macam kelainan patologik yang dapat menyebabkan diare. Keadaan ini mungkin dipermudah dengan adanya perubahan berkaitan dengan bertambahnya usia dari proses kontrol yang rumit pada fungsi sfingter terhadap feses yang cair, dan gangguan pada saluran anus bagian atas dalam membedakan flatus dan feses yang cair (Brocklehurst dkk, 1987). Beberapa penyebab diare yang mengakibatkan inkontinensia fekal simtomatik ini antara lain gastroenteritis, divertikulitis, proktitis, kolitis-iskemik, kolitis ulceratif, karsinoma kolon/rektum. Penyebab lain dari inkontinensia fekal simtomatik misalnya kelainan metabolik, contohnya diabetes mellitus, kelainan endokrin seperti tiroksikosis, kerusakan sfingter anus sebagai komplikasi dari operasi hemoroid yang kurang berhasil dan prolapsus rekti. Penyebab yang paling umum dari diare pada usia lanjut  usia adalah obat-obatan, antara lain yang mengandung unsur besi, atau memang akibat pencahar (Brocklehurst dkk, 1987; Robert-Thomson). 3.    Inkontinensia fekal neurogenik Inkontinensia fekal neurogenik terjadi akibat gangguan fungsi menghambat dari korteks serebri saat terjadi regangan/distensi rektum. Proses normal dari defekasi melalui refleks gastro-kolon. Beberapa menit setelah makanan sampai di 17



lambung/gaster, akan menyebabkan pergerakan feses dari kolon desenden ke arah rektum. Distensi rektum akan diikuti relaksasi sfingter interna. Dan seperti halnya kandung kemih, tidak terjadi kontraksi intrinsik dari rektum pada orang dewasa normal, karena ada inhibisi/hambatan dari pusat di korteks serebri (Brocklehurst dkk, 1987). Bila buang air besar tidak memungkinkan, maka hal ini tetap ditunda dengan inhibisi yang disadari terhadap kontraksi rektum dan sfingter eksternanya. Pada lanjut usia dan terutama pada penderita dengan penyakit serebrovaskuler, kemampuan untuk menghambat proses defekasi ini dapat terganggu bahkan hilang. Karakteristik inkontinensia neurogenik ini tampak pada penderita dengan infark serebri multipel, atau penderita demensia. Gambaran klinisnya ditemukan satu-dua potong feses yang sudah berbentuk ditempat tidur, dan biasanya setelah minum panas atau makan. 4.    Inkontinensia fekal akibat hilangnya refleks anal Inkontinensia fekal ini terjadi akibat hilangnya refleks anal, disertai kelemahan otot-otot seran lintang. Parks, Henry dan Swash dalam penelitiannya (seperti dikutip oleh Brocklehurst dkk, 1987), menunjukkan berkurangnya unit-unit yang berfungsi motorik pada otot-otot daerah sfingter dan pubo-rektal. Keadaan ini menyebabkan hilangnya refleks anal, berkurangnya sensasi pada anus disertai menurunnya tonus anus. Hal ini dapat berakibat inkontinensia fekal pada peningkatan tekanan intra-abdomen dan prolaps dari rektum. Pengelolaan inkontinensia ini sebaiknya diserahkan pada ahli proktologi untuk pengobatannya (Brocklehurst dkk, 1987). 5.    Inkontinensia fekal  akibat konstipasi kolonik Konstipasi kolonin merupakan keadaan individu yang mengalamai atau beresiko mengalami perlambatan pasase residu makanan yang mengakibatkan feses kering dan keras. Tanda Klinis : a. Adanya penurunan frekuensi eliminasi. b. Feses kering dan keras. c. Mengejan saat defekasi. 18



d. Nyeri defekasi. e. Adanya distensi pada abdomen. f. Adanya tekanan pada rektum. g. Nyeri abdomen Kemungkinan Penyebab : a. Deek



persarafan,



kelemahan



pelvis,



imobilitas



karena



cidera



serebrusspinalis, CVA dll. b. Pola defkasi yang tidak teratur. c. Efek samping penggunaan obat antasida, anastesi, laksantif dll. d. Menurunnya peristaltik 6.    Inkontinensia fekal  akibat konstipasi dirasakan Konstipasi dirasakan merupakan keadaan individu dalam menentukan sendiri penggunaan laksantif, enema, supositoria untuk memastikan defkasi setiap harinya. 



Tanda Klinis : a. Adanya penggunaan laksansia setiap hari sebagai enema atau supositoria secara berlebihan. b. Adanya dugaan pengeluaran feses pada waktu yang sama setiap hari.







Kemungkinan Penyebab : a. Persepsi salah akibat depresi. b. Keyakinan budaya.



7.    Inkontinensia fekal  akibat diare Diare merupakan keadaan individu yang mengalami atau berisiko sering mengalami penegluaran feses dalam bentuk cair,. Diare sering disertai dengan kejang usus, mungkin disertai oleh rasa mual dan muntah. Tanda Klinis : a. Adanya pengeluaran feses cair. b. Frekuensi lebih dari 3 kali sehari. c. Nyeri/kram abdomen. d. Bising usus meningkat. 19



Kemungkinan Penyebab : a. Malabsorpsi atau inflamasi, proses infeksi. b. Peningkatan peristaltik karena peningkatan metabolisme. c. Efek tindakan pembedahan usus. d. Efek penggunaan obat seperti antasida, laksansia, antibiotik dll. e. Stres psikologis. f. Inkontinensia fekal akibat kembung Kembung merupakan keadaan penuh udara dalam perut karena pengumpulan gas secara berlebihan dalam lambung atau usus. 8.    Inkontinensia alvi akibat hemorroid Hemorroid merupakan keadaan terjadinya pelebaran vena di daerah anus sebagai akibat peningkatan tekanan di daerah anus yang dapat disebabkan karena konstipasi, peregangan saat defekasi dll. 10.  Fecal Impaction Fecal impaction merupakan masa feses di lipatan rektum yang diakibatkan oleh retensi dan akumulasi materi feses yang berkepanjangan. Penyebab konstipasi adalah asupan kurang, aktivitas kurang, diet rendah serat, dan kelemahan tonus otot. 2.11. Faktor Resiko Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya inlontinensia fekal antara lain: a. Usia dan perkembangan : mempengaruhi karakter feses, kontrol diet b. Pemasukan cairan. Normalnya : ml/hari c. Aktifitas fisik : Merangsang peristaltik usus, sehingga peristaltik usus meningkat. d. Faktor psikologik e. Kebiasaan f. Posisi g. Nyeri h. Kehamilan : menekan rectum i. Operasi & anestesi j. Obat-obatan 20



k. Test diagnostik : Barium enema dapat menyebabkan konstipasi l. Kondisi patologis m. Iritan 2.12.  Faktor yang Memengaruhi Proses Defekasi 1. Usia Setiap tahun perkembangan/usia memiliki kemampuan mengontrol defekasi yang berbeda. Bayi belum memiliki kemampuan mengontrol secara penuh dalam buang air besar, sedangkan orang dewasa sudah memiliki kemampuan mengontrol secara penuh, dan pada usia lanjut proses pengontrolan tersebut mengalami penurunan. 2. Diet Diet atau pola jenis makanan yang dikonsumsi dapat memengaruhi proses defekasi. Makanan yang memiliki kandungan serat tinggi dapat membantu proses percepatan dan jumlah yang dikonsumsi pun dapat memengaruhinya. 3. Asupan Cairan Pemasukan cairan yang kurangdalam tubuh membuat defekasi menjadi keras oleh karena proses absorpsi kurang sehingga dapat memengaruhi kesulitan proses defekasi. 4. Aktivitas Aktivitas dapat memengaruhi karena melalui aktivitas tonus otot abdomen, pelvis, dan diafragma dapat membantu kelancaran proses defekasi. 5. Pengobatan Pengobatan dapat memengaruhi proses defekasi, seperti penggunaan laksansia atau antasida yang terlalu sering. 6. Gaya Hidup Hal ini dapat terlihat pada seseorang yang memiliki gaya hidup sehat/kebiasaan melakukan buang air besar di tempat yang bersih atau toilet. 7. Penyakit Biasanya penyakit-penyakit yang berhubungan langsung sistem pencernaan, seperti gastrointeritis atau penyakit infeksi lainnya. 8. Nyeri Adanya nyeri dapat memengaruhi kemampuan/keinginan untuk berdefekasi, seperti nyeri pada beberapa kasus hemoroid dan episiotomi.



21



9. Kerusakan Sensoris dan Motoris Kerusakan pada sistem sensoris dan motoris dapat memengaruhi proses defekasi karena dapat menimbulkan proses penurunan stimulasi sensoris dalam berdefekasi. Hal tersebut dapat diakibatkan oleh kerusakan pada tulang belakang atauu kerusakan saraf lainnya. 2.13. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan peninjang untuk menegakkan diagnosis inkontinensia fekal antara lain: 1. Fluoroscopy hanya memberikan informasi terhadap anatomi serta fungsi dari jaringan lunak dan otot pelvis. 2. Ultrasound, yakni anal endosonography Merupakan metode pemeriksaan terhadap morfologi dari internal anal sphicter (IAS), extrenal anal sphicter (EAS), puborektalis dan septum rektovaginal. 3. MRI, yakni endoanal MRI Hampir sama dengan pemeriksaan menggunakan anal endosonography



namun



memiliki



kelebihan



dalam



mendeteksi



dan



mengklasifikasikan fistula anal.



4. Anal Manometry : Memeriksa keketatan dari sfingter anal dan kemampuan sfingter anal dalam merespon sinyal serta sensitivitas dan fugsi dari rektum. MRI terkadang juga digunakan untuk mengevaluasi sfingter.



5. Anorectal Ultrasonography : Memeriksa dan mengevaluasi struktur dari sfingter anal 6. Proctography : Menunjukan berapa banyak feses yang dapat ditahan oleh rektum, sebaik apa rektum mampu menahannya dan sebaik mana rektum mampu mengosongkannya.



7. Progtosigmoidoscopy : Melihat kedalam rektum atau kolon untuk menemukan tandatanda penyakit atau masalah yang dapat menyebabkan inkontinensia fekal seperti inflamasi, tumor, atau jaringan parut. 2.14. Menifestasi Klinis Klinis inkontinensia alvi tampak dalam dua keadaan (Pranarka, 2000): 1. Feses yang cair atau belum berbentuk, sering bahkan selalu keluar merembes. 2. Keluarnya feses yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali per hari, dipakaian atau ditempat tidur. 22



Perbedaan dari penampilan klinis kedua macam inkontinensia alvi ini dapat mengarahkan pada penyebab yang berbeda dan merupakan petunjuk untuk diagnosis. 2.15.



Penatalaksanaan Penatalaksanaan Penderita dengan Inkontinensia Fekal Tujuan terapi untuk penderita-penderita dengan inkontinensia fekal adalah untuk mengembalikan kontinensia dan untuk memperbaiki kualitas hidup.



1.



Upaya-Upaya Suportif Upaya-upaya suportif seperti menghindari makanan yang iritatif, membiasakan buang air besar pada waktu tertentu, memperbaiki higiene kulit, dan



melakukan



perubahan



gaya



hidup



dapat



bermanfaat



dalam



penatalaksanaan inkontinensia fekal. Pada manajemen lansia atau penderita-penderita yang dirawat dengan inkontinensia fekal, ketersediaan tenaga yang berpengalaman pada terapi inkontinensia fekal, pengenalan yang tepat waktu untuk defekasi, dan pembersihan segera kulit perianal merupakan hal yang penting. Upaya-upaya kebersihan seperti mengganti baju bagian bawah, membersihkan kulit perianal segera setelah episode inkontinensia, penggunaan kertas tisu basah (tisu bayi), dan bukannya tisu toilet yang kering, dan krim penghalang misalnya zinc oxide dan calamine lotion (Calmoseptine, Calmoseptine Inc: Huntington Beach, CA) berguna untuk mencegah ekskoriasi kulit. Upaya-upaya suportif lainnya meliputi modifikasi diet, misalnya mengurangi asupan kafein atau serat. Kopi yang mengandung kafein meningkatkan respons gastro-kolonik dan meningkatkan motilitas kolon, dan menginduksi sekresi cairan pada usus halus. Karenanya, mengurangi konsumsi kafein, terutama setelah makan dapat membantu mengurangi urgensi postprandial dan diare.



2.



Terapi Spesifik Beberapa terapi dapat dipertimbangkan, antara lain beberapa kategori sebagai berikut:



a.



Terapi farmakologis



b.



Terapi biofeedback



c.



Sumbat anus, pemadat masa sfingter (sphincter bulkers), 23



d.



Bedah



a. Terapi Farmakologis: Loperamide atau diphenoxylate/atropine dapat memberikan perbaikan sedang pada gejala-gejala inkontinensia fekal. Beberapa obat, masing-masing dengan mekanisme kerja yang berbeda, telah diajukan untuk memperbaiki inkontinensia fekal. Agen-agen antidiare misalnya



loperamide



hydrochloride



(Imodium



Janssen



Pharmaceuticals: Titusville, NJ) atau diphenoxylate/atropine sulphate (Lomotil, Searle, Chicago, IL) tetap menjadi obat pilihan yang utama. Suatu studi dengan kontrol plasebo untuk penggunaan loperamide 4 mg tiga kali sehari telah terbukti mengurangi frekuensi inkontinensia, memperbaiki urgensi feces dan meningkatkan waktu transit feces di kolon, juga meningkatkan tekanan sfingter ani istirahat dan mengurangi berat feces. b. Terapi Biofeedback. Terapi biofeedback merupakan terapi yang aman dan efektif. Terapi



ini



memperbaiki



gejala-gejala



inkontinensia



fekal,



mengembalikan kualitas hidup, dan memperbaiki parameterparameter obyektif fungsi anorektal. Terapi ini berguna pada penderita-penderita dengan sfingter yang lemah dan/atau sensasi rektal yang terganggu. Tujuan terapi biofeedback pada penderita dengan inkontinensia fekal adalah: 1. Untuk memperbaiki kekuatan otot sfingter ani; 2. Untuk memperbaiki koordinasi antara otot abdomen, gluteal, dan sfingter ani selama berkontraksi secara volunter dan setelah persepsi rektum; 3. Untuk meningkatkan persepsi sensorik anorektal. c. Sumbatan, Pemadatan Massa Sfingter, Stimulasi Listrik Alat sumbat anus, terapi pemadatan massa sfingter, atau stimulasi listrik harus bersifat eksperimental dan memerlukan studistudi klinis terkontrol. Sumbat anus sekali pakai yang inovatif telah 24



dirancang untuk oklusi sementara anal kanal. Alat ini ditempelkan pada perineum menggunakan perekat dan dapat dengan mudah diambil. Sayangnya, karena berbagai faktor, banyak penderita tidak mampu mentolerir penggunaan jangka panjang dari alat ini. Alat ini berguna bagi penderita-penderita dengan gangguan sensasi anal kanal, mereka yang memiliki penyakit neurologis, dan mereka yang di menjalani perawatan atau mengalami imobilisasi. Pada beberapa penderita dengan rembesan feces, insersi sumbat anus yang terbuat dari wol kapas terbukti bermanfaat. Stimulasi Listrik Arus listrik dialirkan pada anal kanal untuk stimulasi kontraksi otot. Pada satu studi, terapi diberikan setiap hari selama 10 hari. Terdapat sejumlah peningkatan pada 10 dari 15 penderita dan ini berhubungan dengan peningkatan tekanan kontraksi volunter. Pada studi lainnya, sesi terapi selama 30-menit diberikan dua kali sehari selama 12 minggu, tetapi perbaikan hanya diamati pada 2 dari 10 penderita dan tidak ada perubahan pada tekanan sfingter. Kedua studi tersebut tidak terkontrol dan metode yang dilakukan pada terapi ini tidak jelas. Pada suatu meta analisis, dilaporkan bahwa tidak terdapat cukup data untuk menarik kesimpulan yang bermakna terkait efikasi terapi ini. d. Tindakan Bedah Pembedahan harus dipertimbangkan pada penderita-penderita tertentu yang gagal ditangani dengan upaya-upaya konservatif atau terapi



biofeedback.



Pada



sebagian



besar



penderita



dengan



inkontinensia fekal, misalnya setelah trauma obstetrik, repair sfingter secara overlapping seringkali sudah cukup memadai. Bagian tunggul otot sfingter yang robek ditautkan. Repair sfingter secara overlapping sebagaimana dijelaskan oleh Parks dilakukan dengan membuat incisi melengkung di anterior anal kanal dengan mobilisasi sfingter ani eksterna, membebaskannya dari



25



jaringan parut, preservasi jaringan parut untuk menautkan jahitan, dan overlapping repair menggunakan dua baris jahitan. Jika defek sfingter ani interna diidentifikasi, maka imbrikasi terpisah dari sfingter ani interna juga dilakukan. Dilaporkan terjadi perbaikan gejala pada 70 80% penderita, meskipun satu studi melaporkan tingkat perbaikan yang lebih rendah. Pada penderitapenderita dengan inkontinensia akibat sfingter ani yang lemah tetapi 20 dicoba. Keberhasilan jangka panjang dari utuh, repair postanal telah



pendekatan ini memiliki rentang antara 20% dan 58%



TATA LAKSANA INKONTINENSIA ALVI



26



BAB III ASUHAN KEPERAWATAN INKONTINENSIA ALVI 3.1 Kasus Pak Karto berusia 70 tahun di bawa ke klink dokter keluarga oleh anak perempuan nya karena BAB tidak terkendali sejak satu bulan dan BAB di tempat sejak satu minggu terakhir. Klien sering tidak bisa tidur sehingga sering minum obat tidur. Saat perawat melakukan pengkajian, klien mengatakan bahwa ia sangat sulit berkonsentrasi. Dalam melakukan aktifitas sehari-hari klien perlu di bantu oleh orang lain. Klien sering merasa malu terhadap kondisinya. Dan klien juga pernah menderita stroke. Saat perawat melakukan pengkajian didapatkan data bahwa kulit sekitar perinanal terlihat tampak kemerahan, feses yang keluar sedikit-sedikit tapi sering dan berbau. Selain itu, klien tampak lesu, postur tubuh klien menunduk dan kontak mata klien kurang baik. Pemeriksaan neurologi ekstremitas superior dan inferior sinistra kekuatannya menurun (3+/3+), Hasil rectal toucer dan USG didapatkan prostat tidak membesar, Indeks barthel didapat nilai 50, serta klien juga melakukan pemeriksaan psikiatri.



27



PENGKAJIAN DATA KEPERAWATAN Ruang



: Melati 1



Tanggal/ jam MRS



: 22 Agustus 2020 pukul 08.00 WIB



Tanggal Pengkajian



: 22 Agustus 2020 pukul 09.00 WIB



Dx Medis



: Inkonntinensia Alvi



a. Identitas Pasien Nama



: Tuan Karto



Jenis Kelamin



: Laki-laki



Usia



: 70 tahun



Agama



: Budha



Suku/Bangsa



: Jawa/Indonesia



Pendidikan



: SMA



Pekerjaan



: Tidak ada



Alamat



: Jl. Sukasaya no.45 rt/rw: 01/02, Jakarta selatan.



b. Identitas Penanggung Jawab Nama



: Ny. Meimei



Jenis kelamin



: Perempuan



Usia



: 45 tahun



Agama



: Budha



Suku/Bangsa



: Jawa/Indonesia



Pendidikan



: S1



Pekerjaan



: Pengusaha



Alamat



: Jl. Sukasaya no.45 rt/rw: 01/02, Jakarta selatan.



c. Riwayat Kesehatan a.



Keluhan utama. BAB tidak terkendali sejak satu bulan dan buang air besar di tempat sejak satu minggu, sulit tidur, sulit berkonsentrasi, merasa tidak mampu melakukan apapun dan membutuhkan bantuan orang lain dalam aktivitasnya sehari-hari. 28



b. Riwayat penyakit sekarang. BAB tidak terkendali, feses berbau, dan tampak keluar sedikit - sedikit tetapi sering, sulit tidur, sulit berkonsentrasi, merasa tidak mampu melakukan apapun, merasa lesu dan kurang bergairah. c. Riwayat penyakit dahulu. Klien mengatakan pernah mengalami Stroke d. Riwayat penyakit keluarga. Tidak ada riwayat penyakit didalam keluarga d. Pemeriksaan Fisik 1. Penapilan Umum Kesadaran



: Compos Mentris



2. Tanda- tanda vital Tekanan Darah



: 120/85 mmHg



Nadi



: 110x/menit



Suhu



: 37,50C



Pernafasan



: 20x/menit



3. Pemeriksaan Antropometri 



BB



: 65kg







TB



: 171cm



4. Pemeriksaan Fisik head to toe a. Kulit Kepala 



Kulit kepala



: Normal, tidak ada benjolan/luka







Wajah



: Berbentuk simetris, tidak ada luka.







Mata



: Simetris, fungsi penglihatan baik.







Hidung



: Bentuk simetris, tidak ada kelainan pada hidung.







Telinga



: Bentuk simetris, tidak menggunakan alat bantu.







Mulut



: Mukosa bibir tampak kering



b. Leher Tidak terdapat pembesaran tiroid c. Dada dan Thorax







Inspeksi



: Bentuk simetris. 29



 Palpasi



: Tidak ada benjolan.



 Perkusi



: Suara jantung normal



 Auskultasi



: Bunyi jantung normal.



d. Abdomen







Inspeksi



: Simetris, datar.







Auskultasi



: Bising usus ++ (hiperaktif)







Palpasi



: Terasa tidak nyaman.







Perkusi



: Timpani



e. Ekstermitas







Ektermitas atas







Ektermitas bawah : Kaki dapat digerakkan dengan normal, tidak terjadi



: Tangan dapat digerakkan dengan normal



lumpuh f. Integumen Tugor kulit baik. g. Genetalia Lecet pada daerah anus/rektum. e. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan neurologi ekstremitas superior dan inferior sinistra kekuatannya menurun (3+/3+) 2. Hasil rectal toucer dan USG didapatkan prostat tidak membesar. 3. Indeks barthel didapat nilai 50 4. Penderita juga dilakukan pemeriksaan psikiatri.



30



f. Pola Kebiasaan Sehari-hari No . 1.



Pola Kebiasaan



Dirumah



Dirumah sakit



Makanan tanpa pantangan



Makanan Tinggi Kalori, Protein



(Memakan semua jenis makanan)



dan serat.



3x/hari



3x/hari



Air Mineral



Air Mineral



5-6 gelas/hari



6-7gelas/hari



Pola Nutrisi Makan -



Jenis makanan Frekuensi



Minum



2.



-



Jenis minum



-



Frekuensi



Pola Eliminasi BAB -



Konsistensi



-



Warna



-



Frekuensi



Cair



Cair



Kuning Kecoklatan



Kuning



6-7x/hari



4-5x/hari



Cair



Cair



Kuning Jernih



Kuning



BAK



3.



-



Konsistensi



-



Warna



-



Frekuensi



Pola Aktivitas



4-5x/hari Aktivitas klien setiap harinya



5-6x/hari Klien hanya berbaring ditempat



perlu di bantu oleh orang lain



tidur, istirahat, makan, minum dan tidak banyak beraktivitas.



4.



5.



Pola Istirahat Tidur -



Malam



3-4 jam



6-7 jam



-



Siang



Klien tidak pernah tidur siang



Klien tidak pernah tidur siang



Pola Personal Hygiene -



Mandi



2x/hari pagi dan sore



Tidak mandi hanya dilap menggunakan tisu basah



6.



Pola Kebiasaan yang



Klien tidak bisa tidur sehingga 31



Klien diberikan obat-obatan yang



mempengaruhi



sering mengosumsi obat tidur.



Kesehatan



membuat feses lebih padat sehingga klien mudah mengontrol BABnya.



g. Data Fokus Data Subjektif



Data Objektif



1. Klien mengatakan BAB dan BAK tidak



1. Kesadaran : Compos mentis



terkendali sejak satu bulan. (21 Juli 2020)



TD : 120/85 mmHg



2. Klien mengatakan sering BAB di tempat sejak



S



satu minggu ini. (14 Agustus 2020)



N : 110 x/mnt



3. Klien mengatakan sulit tidur sehingga sering minum obat tidur. 4. Klien



mengatakan



: 37,5°C



P



: 20x/menit.



2. Kulit sekitar perianal tampak kemerahan bahwa



ia



sulit



3. Feses tampak keluar sedikit - sedikit dan



berkonsentrasi apabila sedang berinteraksi dengan orang lain



sering 4. Feses berbau



5. Klien merasa tidak mampu melakukan apapun



5. Klien tampak lesu dan tidak bergairah



dan membutuhkan bantuan orang lain dalam



6. Postur tubuh klien tampak menunduk



aktivitasnya sehari-hari.



7. Kontak mata klien tampak kurang baik



6. Klien mengatakan pernah menderita stroke



8. Pemeriksaan neurologi ekstremitas superior dan inferior sinistra kekuatannya menurun (3+/3+) 9. Hasil rectal toucer dan USG didapatkan prostat tidak membesar. 10. Indeks barthel didapat nilai 50 11. Penderita juga dilakukan pemeriksaan psikiatri.



ANALISIS DATA 32



Data



Masalah



DS :  Klien mengatakan BAB dan BAK tidak



Inkontinensia Fekal



Kehilangan Fungsi Pengendalian



terkendali sejak satu bulan. 



Etiologi



Sfingter Rektum



Klien mengatakan sering BAB di tempat sejak satu minggu ini.



DO :



( Sumber : Buku







Kulit sekitar perianal tampak kemerahan



SDKI D.0041 Hal :







Feses tampak keluar sedikit - sedikit dan sering



98)







Feses berbau







Pemeriksaan neurologi ekstremitas superior dan inferior sinistra kekuatannya menurun (3+/3+)







Hasil rectal toucer dan USG didapatkan prostat tidak membesar.



 Indeks barthel didapat nilai 50. DS :  Klien mengatakan sulit tidur sehingga sering



Resiko Harga Diri



Perasaan kurang



Rendaah Kronis



didukung oleh orang



minum obat tidur.  



lain



Klien mengatakan bahwa ia sulit berkonsentrasi apabila sedang berinteraksi dengan orang lain



(Sumber : Buku



Klien merasa tidak mampu melakukan apapun



SDKI D.0086 Hal :



dan membutuhkan bantuan orang lain dalam



192)



aktivitasnya sehari-hari. 



Klien mengatakan pernah menderita stroke



DO : 



Klien melakukan pemeriksaan psikiatri.







Klien tampak lesu dan tidak bergairah







Postur tubuh klien tampak menunduk







Kontak mata klien tampak kurang baik



DIAGNOSA KEPERAWATAN 33



No. 1.



Diagnosa Keperawatan Inkontinensia Fekal berhubungan dengan Kehilangan Fungsi Pengendalian Sfingter



2.



Rektum. ( Sumber : Buku SDKI D.0041 Hal : 98 ) Resiko Harga Diri Rendaah Kronis berhubungan dengan Perasaan kurang didukung oleh orang lain. (Sumber : Buku SDKI D.0086 Hal : 192)



34



RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN ( INTERVENSI KEPERAWATAN ) Tanggal 22- 24 Agustus 2020



Diagnosa Keperawata n Inkontinensia



Setelah dilakukan tindakan



Perawatan Inkontinensia Fekal



Fekal



keperawatan selama 3 x 24



Obsevasi



berhubungan



jam di harapkan pengeluaran



dengan



feses yang tidak disadari



Kehilangan



pada klien dapat teratasi



Fungsi



dengan kriteria hasil :



Pengendalian Sfingter



Tujuan/ Kriteria Hasil



a. Pengeluaran feses dapat dikontrol b. Frekuensi defekasi



Intervensi



Observasi



1. Identifikasi penyebab inkontinensia fekal baik fisik maupun psikologis 2. Identifikasi perubahan frekuensi defekasi dan konsistensi feses 3. Monitor kondisi kulit perianal



Hal: 52)



inkontinensia 2. Untuk mengetahui perubahan frekuensi dan konsistensi feses 3. Mengetahui kondisi kulit perianal 4. Mengetahui keadekuatan feses



5. Monitor efek samping pemberian obat



5. Untuk mengetahui efek samping pemberian obat.



c. Kondisi kulit perianal (Sumber: SLKI L.04035



1. Untuk mengetahui penyebab



4. Monitor keadekuatan evakuasi feses



membaik baik



Rasional



Teraupetik



Terapeutik 6. Bersihkan daerah perianal dengan



6. Untuk menjaga agar daerah perianal tetap dalam kondisi bersih



sabun dan air 7. Jaga kebersihan tempat tidur dan



7. Untuk membantu memenuhi kebutuhan rasa nyaman pada pasien.



pakaian 35



TTD



8. Berikan celana pelindung/ pembalut/ popok, sesuai kebutuhan



8. Agar tetap menjaga kenyamanan klien saat beristirahat.



Edukasi



Edukasi



9. Jelaskan definisi, jenis inkontinensia,



9. Untuk memberi pengetahuan kepada



penyebab inkontinensia fekal.



klien tentang definisi, jenis inkontinensia, dan penyebabnya.



Kolaborasi



Kolaborasi



10. Kolaborasi pemberian obat diare (mis: loperamide, atropine)



22- 24



Resiko Harga



Setelah dilakukan tindakan



(Sumber : SIKI I.04162 Hal : 315) Promosi Harga Diri



Agustus



Diri Rendaah



keperawatan selama 3 x 24



Observasi



Kronis



jam di harapkan klien dapat



1. Identifikasi budaya, agama, ras, jenis



berhubungan



meningkatkan perasaan



dengan



positif terhadap dirinya



Perasaan



sendiri dengan kriteria hasil :



2020



kurang didukung oleh orang lain.



a. Postur tubuh klien



kelamin, dan usia terhadap harga diri



10. Untuk membantu penyembuhan dengan bantuan obat.



Observasi 1. Mengetahui pengaruh budaya, agama, ras, jenis kelamin dan usia



2. Monitor tingkat harga diri, sesuai



dalam harga diri. 2. Untuk mengetahui tingkatan harga



kebutuhan



diri klien.



menampakkan wajah b. Konsentrasi klien baik



Teraupetik



c. Pola tidur klien normal



3. Diskusikan pernyataan tentang harga



Teraupetik



36



d. Kontak mata klien baik e. Gairah aktivitas klien membaik



diri



3. Klien memahami apa itu harga diri



4. Diskusikan kepercayaan terhadap penilaian diri 5. Diskusikan persepsi negative diri



( Sumber : SLKI L.09069 Hal : 30 )



4. Melatih kepercayaan klien



6. Diskusikan penetapan tujuan realistis untuk mencapai harga diri yang lebih



5. Mengurangi persepsi negative dan meningkatkan persepsi positif 6. Meningkatkan capaian harga diri yang tinggi bagi klien



tinggi. 7. Fasilitasi lingkungan dan aktivitas yang meningkatkan harga diri.



7. Agar klien merasa terfasilitasi dalam meningkatkan harga dirinya.



Edukasi 8. Jelaskan kepada keluarga pentingnya dukungan dalam perkembangan konsep positif diri pasien 9. Anjurkan mempertahankan kontak mata saat berkomunikasi dengan orang lain. 10. Latih meningkatkan kepercayaan pada kemampuan dalam menangani situasi. ( Sumber : SIKI I.09308 Hal : 364 )



37



Edukasi 8. Meningkatkan harga diri klien dengan dukungan keluarga 9. Klien lebih nyaman dalam berkomunikasi dengan orang lain 10. Agar klien terlatih untuk meningkatkan kemampuannya.



CATATAN IMPLEMENTASI KEPERAWATAN No. 1.



Tanggal



Diagnosa Kep.



Jam



22



Inkontinensia Fekal



08.00



Agustus



berhubungan dengan



2020



Kehilangan Fungsi



Implementasi 1. Identifikasi penyebab inkontinensia fekal baik fisik maupun psikologis



08.30



Pengendalian Sfingter



2. Identifikasi perubahan frekuensi defekasi dan konsistensi feses



Evaluasi S : Klien mengatakan selama sebulan sudah mengalami BAB dan BAK yang tidak terkendali dan hanya dapat BAB ditempat tidur selama seminggu.



08.45



3. Monitor kondisi kulit perianal



O : Kulit disekitar perinial tampak



09.00



4. Monitor keadekuatan evakuasi feses



kemerahan, feses keluar sedikit-sedikit



09.30



5. Monitor efek samping pemberian obat



tetapi sering, feses berbau. A : Masalah klien belum teratasi P : Lakukan intervensi lanjutan



10.30 11.30



6. Bersihkan daerah perianal dengan sabun dan air 7. Jaga kebersihan tempat tidur dan pakaian



13.00



8. Berikan celana pelindung/ pembalut/ popok, sesuai kebutuhan



S : Klien mengatakan bahwa merasa tidak nyaman karena hanya dapat BAB ditempat tidur dan klien merasa bahwa kulit didaerah perinial tampak kotor. O : Klien tampak tidak nyaman dan tampak gelisah A : Masalah klien belum teratasi P : Lakukan intervensi lanjutan



38



TTD



14.00



S : Klien mengatakan bahwa tidak 9. Jelaskan definisi, jenis inkontinensia, penyebab inkontinensia fekal.



memahami tentang penyakit/keluhan yang dideritanya. O : Klien tampak binggung dengan penjelasan yang diberikan oleh perawat A : Masalah klien belum tertasi P : Lakukan intervensi lanjutan



S : Pasien mengatakan bahwa konsistensi



14.40 10. Kolaborasi pemberian obat diare (mis: loperamide, atropine)



BAB masih cair dan belom ada perubahan. O : Klien terlihat mengosumsi obat pengeras feses yang diberikan A : Masalah klien belum teratasi



2.



22 Agustus 2020



Resiko Harga Diri



08.10



Rendaah Kronis berhubungan dengan Perasaan kurang



1. Identifikasi budaya, agama, ras, jenis kelamin, dan usia terhadap harga diri



08.40



2. Monitor tingkat harga diri, sesuai



P : Lakukan intervensi lanjutan S : Pasien mengatakan sulit tidur, sulit berkonsentrasi, tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan dank lien mengatakan bahwa pernah mengalami



kebutuhan



didukung oleh orang



stroke



lain.



O : Klien tampak lesu, postur tubuh menunduk, dan kontak mata klien kurang 39



baik. A : Masalah klien belum teratasi P : Lakukan intervensi lanjutan 15.00



S : Pasien mengatakan sulit tidur, sulit 3. Diskusikan pernyataan tentang harga



15.30



aktivitas sehari-hari tanpa bantuan dan klien



diri 4. Diskusikan kepercayaan terhadap



15.40 16.10



17.00



penilaian diri 6. Diskusikan penetapan tujuan realistis



menunduk, dan kontak mata klien kurang



untuk mencapai harga diri yang lebih



baik.



tinggi.



A : Masalah klien belum teratasi



yang meningkatkan harga diri. dukungan dalam perkembangan konsep positif diri pasien 9. Anjurkan mempertahankan kontak mata saat berkomunikasi dengan



20.00



stroke O : Klien tampak lesu, postur tubuh



8. Jelaskan kepada keluarga pentingnya 19.20



mengatakan bahwa pernah mengalami



5. Diskusikan persepsi negative diri



7. Fasilitasi lingkungan dan aktivitas 18.30



berkonsentrasi, tidak mampu melakukan



orang lain. 40



P : Lakukan intervensi lanjutan



10. Latih meningkatkan kepercayaan pada kemampuan dalam menangani situasi.



No. 1.



Tanggal



Diagnosa Kep.



Jam



23



Inkontinensia Fekal



08.00



Agustus



berhubungan dengan



2020



Kehilangan Fungsi



Implementasi 1. Identifikasi penyebab inkontinensia fekal baik fisik maupun psikologis



08.30



Pengendalian Sfingter



2. Identifikasi perubahan frekuensi defekasi dan konsistensi feses



Evaluasi S : Klien mengatakan bahwa frekuensi defekasi mulai dapat dikontrol dan klien juga mengatakan bahwa ia sudah mulai dapat menunda defekasi.



08.45



3. Monitor kondisi kulit perianal



O : Kulit disekitar perinial dalam kondisi



09.00



4. Monitor keadekuatan evakuasi feses



membaik, feses keluar sedikit-sedikit dan



09.30



5. Monitor efek samping pemberian obat



dapat terkontrol, feses berbau. A : Masalah klien belum teratasi P : Lakukan intervensi lanjutan



10.30 11.30



6. Bersihkan daerah perianal dengan sabun dan air 7. Jaga kebersihan tempat tidur dan pakaian



13.00



8. Berikan celana pelindung/ pembalut/ popok, sesuai kebutuhan



41



S : Klien mengatakan bahwa ia merasa nyaman dengan pemberian popok/celana pelindung yang diberikan perawat sehingga ia dapat tetap menjaga area kebersihan tempat tidurnya. O : Klien tampak mulai nyaman dengan tindakan yang diberikan perawat.



TTD



A : Masalah klien belum teratasi P : Lakukan intervensi lanjutan 14.00 9. Jelaskan definisi, jenis inkontinensia, penyebab inkontinensia fekal.



S : Klien mengatakan bahwa ia mulai sedikit demi sedikit memahami tentang penyakit/keluhan yang dideritanya. O : Klien tampak mulai paham dengan penjelasan yang diberikan oleh perawat A : Masalah klien belum tertasi P : Lakukan intervensi lanjutan



S : Pasien mengatakan bahwa konsistensi



14.40 10. Kolaborasi pemberian obat diare (mis: loperamide, atropine)



BAB sudah mulai ada ampasnya dan dapat dikontrol pengeluarannya. O : Klien terlihat mengosumsi obat pengeras feses yang diberikan A : Masalah klien belum teratasi P : Lakukan intervensi lanjutan



2.



23 Agustus 2020



Resiko Harga Diri



15.00



Rendaah Kronis berhubungan dengan



1. Diskusikan pernyataan tentang harga diri



15.30



S : Pasien mengatakan bahwa pola tidur kembali normal, klien mulai dapat



2. Diskusikan kepercayaan terhadap 42



berkonsentrasi, klien mampu melakukan



Perasaan kurang



penilaian diri



aktivitas sehari-hari dengan bantuan orang



didukung oleh orang



15.40



3. Diskusikan persepsi negative diri



lain.



lain.



16.10



4. Diskusikan penetapan tujuan realistis



O : Klien tampak mulai berenergi, postur



17.00



18.30



untuk mencapai harga diri yang lebih



tubuh mulai terangkat, dan kontak mata



tinggi.



klien mulai membaik.



5. Fasilitasi lingkungan dan aktivitas



A : Masalah klien belum teratasi



yang meningkatkan harga diri.



P : Lakukan intervensi lanjutan



6. Jelaskan kepada keluarga pentingnya dukungan dalam perkembangan konsep positif diri pasien



19.20



7. Anjurkan mempertahankan kontak mata saat berkomunikasi dengan orang lain.



20.00



8. Latih meningkatkan kepercayaan pada kemampuan dalam menangani situasi.



No. 1.



Tanggal



Diagnosa Kep.



Jam



24



Inkontinensia Fekal



08.00



Agustus



berhubungan dengan



Implementasi 1. Identifikasi penyebab inkontinensia fekal baik fisik maupun psikologis 43



Evaluasi S : Klien mengatakan bahwa frekuensi defekasi dapat dikontrol dan klien juga



TTD



2020



Kehilangan Fungsi



08.30



Pengendalian Sfingter



2. Identifikasi perubahan frekuensi



mengatakan bahwa ia sudah mulai dapat



defekasi dan konsistensi feses



menunda defekasi sehingga pola defekasi



08.45



3. Monitor kondisi kulit perianal



klien sudah kembali normal.



09.00



4. Monitor keadekuatan evakuasi feses



O : Kulit disekitar perinial dalam kondisi



09.30



5. Monitor efek samping pemberian obat



baik, feses keluar dengan konsistensi normal dan dapat terkontrol, bau feses normal . A : Masalah klien teratasi P : Intervensi dihentikan



10.30 11.30



6. Bersihkan daerah perianal dengan sabun dan air 7. Jaga kebersihan tempat tidur dan pakaian



13.00



8. Berikan celana pelindung/ pembalut/ popok, sesuai kebutuhan



S : Klien mengatakan bahwa ia merasa nyaman dengan pemberian popok/celana pelindung yang diberikan perawat sehingga ia dapat tetap menjaga area kebersihan tempat tidurnya. Klien juga mengatakan bahwa pola defekasi kembali normal. O : Klien merasa nyaman dengan tindakan yang diberikan perawat. A : Masalah klien teratasi P : Intervensi dihentikan



44



14.00



S : Klien mengatakan bahwa ia mulai 9. Jelaskan definisi, jenis inkontinensia, penyebab inkontinensia fekal.



memahami tentang penyakit/keluhan yang dideritanya. O : Klien tampak mulai paham dengan penjelasan yang diberikan oleh perawat A : Masalah klien tertasi P : Intervensi dihentikan



14.40



S : Pasien mengatakan bahwa konsistensi 10. Kolaborasi pemberian obat diare (mis: loperamide, atropine)



BAB sudah mulai ada ampasnya dan dapat dikontrol pengeluarannya sehingga pola defekasinya kembali normal. O : Klien terlihat menghentikan mengosumsi obat pengeras feses yang diberikan A : Masalah klien teratasi P : Intervensi dihentikan



2.



24 Agustus 2020



Resiko Harga Diri



15.00



Rendaah Kronis berhubungan dengan



1. Diskusikan pernyataan tentang harga diri



15.30



S : Pasien mengatakan bahwa pola tidur normal, klien mulai dapat berkonsentrasi,



2. Diskusikan kepercayaan terhadap 45



klien mampu melakukan aktivitas sehari-



Perasaan kurang



penilaian diri



hari dengan bantuan orang lain.



didukung oleh orang



15.40



3. Diskusikan persepsi negative diri



O : Klien tampak lebih sehat da segar,



lain.



16.10



4. Diskusikan penetapan tujuan realistis



postur tubuh tegak, dan kontak mata klien



17.00



untuk mencapai harga diri yang lebih



baik.



tinggi.



A : Masalah klien teratasi



5. Fasilitasi lingkungan dan aktivitas yang meningkatkan harga diri.



18.30



6. Jelaskan kepada keluarga pentingnya dukungan dalam perkembangan konsep positif diri pasien



19.20



7. Anjurkan mempertahankan kontak mata saat berkomunikasi dengan orang lain.



20.00



8. Latih meningkatkan kepercayaan pada kemampuan dalam menangani situasi.



46



P : Intervensi lanjutan



BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan Inkotinensia



fekal adalah



ketidakmampuan



seseorang



dalam



menahan



dan



mengeluarkan tinja pada waktu dan tempat yang tepat. Inkontinensia dapat diklasifikasikan menjadi soil (kehilangan mukus), insufisiensi (tidak ada kontrol gas dan diare), dan inkontinensia (tidak ada kontrol untuk membentuk feses padat). Klasifikasi lain membagi inkontinensia menjadi inkontinensia minor dan inkontinensia mayor. Penyebab utama inkotinensia fekal adalah masalah sembelit, penggunaan pencahar yang berlebihan, gangguan saraf seperti demensia dan stroke, serta gangguan kolorektum seperti diare, neuropati diabetik, dan kerusakan sfingter rektum. Keluhan utama biasanya berpusat pada perasaan penuh, nyeri ulu hati, dan gangguan pencernaan. Motalitas gaster juga menurun, akibatnya terjadi keterlambatan pengosongan isi lambung. Gejala bisa berupa merembesnya feses cair yang disertai dengan buang gas dari dubur atau penderita sama sekali tidak dapat mengendalikan keluarnya feses. Banyak faktor yang mempengaruhi inkontinensia alvi ini yang mengakibatkan penyakit ini dengan berbagai komplikasinya seperti umur, pola aktifitas, pola makanan, obat-obatan dll. Dengan berbagai aspek yang telah di jelaskan dapat dituang dalam asuhan keperawatan inkontinensia alvi. 4.2.



Saran Dalam sistem penulisan makalah ini, kami sebagai penulis mengakui bahwa makalah yang kami kerjakan masih belum sempurna. Oleh karena itu, kami sebagai penulis membutuhkan bimbingan, saran dan kritik dari pembimbing dan pembaca untuk menyempurnakan makalah ini.



47



DAFTAR PUSTAKA



Halodoc.com. Inkontinensia Alvi https://www.halodoc.com/kesehatan/inkontinensia-alvi. Diakses pada September 2020 Klikdokter.com. Penyakit Inkontinensia Alvi https://m.klikdokter.com/inkontinensia-alvi Diakses pada September 2020 Scribd.com.



Inkontinensia



Alvi



https://id.scribd.com/presentation/377756132/7383-



Inkontinensia-alvi-PPT-DEDEN-1-pptx Diakses pada September 2020 Mariatul280794.



2016.



Asuhan



Keperawatan



Inkontinensia



Alvi



http://mariatul280794.com/2016/03/makalah-asuhan-keperawatan-dengan.html Diakses pada September 2020 Scribd.com.



Askep



Inkontinensia



Alvi



pada



Lansia



https://id.scribd.com/document/194346412/Askep-Lansia-Dengan-Inkontinensia-Alvi Diakses pada September 2020 Inkontinensia Alvi https://www.academia.edu/33218214/Inkontinensia_Alvi Diakses pada Agustus 2020 Diakses pada September 2020 Eliminasi



Keperawatan_Dasar



https://www.slideshare.net/desiardhina/eliminasi-



keperawatan-dasar Diakses pada September 2020 Gangguan



masalah



Kebutuhan



Eliminasi



https://gustinerz.com/gangguan-masalah-



kebutuhan-eliminasi-uri/ Diakses pada September 2020 Eliminasi Urine http://repository.usu.ac.id/123456789/41746/Chapter%20II.pdf? Diakses pada September 2020 (2014) Keb.Eliminasi Alvi https://nursepreneursindonesia.wordpress.com/eliminasi-alvi/ Diakses pada September 2020 Inkontinensia Fekal https://id.scribd.com/doc/194881981/Inkontinensia-fekal Diakses pada September 2020



48



Kebutuhan



Dasar



Manusia



Buang



Air



Besar



http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/3597/keperawatancholina.pdf;jsessionid=2C8E7FFDEE818FE21712455FF035A567?sequence=1 Diakses pada September 2020



49



(BAB)



FORMAT PENILAIAN MAKALAH MK: KMB I (FORMAT: A)



Judul Makalah



: Asuhan keperawatan pada pasien dengan Inkontinensia Alvi



Kelompok/Kelas



: 10/ 2 REGULER B



Nama Anggota kelompok



:



1. Yosevphina Loka



(P3.73.20.1.19.078)



2. Yuni Eka Ramadhani (P3.73.20.1.19.079) 3. Yunita Putri



(P3.73.20.1.19.080) Nilai



NO



ASPEK YANG DINILAI 4 80-100



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



3 68-79



2 56-67



1 41-55



Kejelasan latar belakang dan tujuan Landasan teori sesuai isi Kesimpulan sesuai tujuan Penggunaan kepustakaan (minimal 5 referensi dan 10 tahun terakhir) Penggunaan bahasa sesuai EYD Penyerahan/penyelesaian makalah tepat waktu Proses penyusunan makalah terjadi diskusi aktif dalam kelompok Jumlah



Nilai = Jumlah = …………….. 7 Bekasi, …………………… Penilai,



(………………………………)



50



KET