Isi Panduan Kerja Tim Tuberkulosis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Menurut World Health Organization (1999) jumlah pasien Tuberkulosis (TB) di Indonesia sekitar 10% jumlah pasien TB di dunia dan merupakan ke 3 terbanyak di dunia setelah India dan China. Diperkirakan saat ini jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% dari total jumlah pasien TB didunia dan setiap tahun terdapat 539.000 kasus baru. Insidens kasus TB BTA positif sekitar 107 per 100.000 penduduk. Data Survei Tuberkulosis Nasional tahun 2004 masih mendapatkan bahwa kasus baru di Indonesia rata rata 110 per 100,000 penduduk dengan kematian 100,000 pertahun. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menyatakan penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor 2 setelah penyakit stroke, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Berdasarkan data statistik rumah sakit tahun 2007, TB menempati urutan pertama dalam proporsi penyakit menular (27,8%), dan menempati urutan ke 14 sebagai penyakit terbanyak di rawat inap, sedangkan tahun 2008 menempati urutan ke 7 sebagai penyakit terbanyak di rawat jalan. Kondisi ini diperparah oleh kejadian HIV yang semakin meningkat dan bertambahnya jumlah kasus kekebalan ganda kuman TB terhadap OAT atau MDR-TB bahkan XDR -TB. Keadaan ini akan memicu epidemi TB yang sulit dan terus menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama.



Pada tahun 1993, WHO telah menyatakan bahwa TB merupakan keadaan darurat dan pada tahun 1995 merekomendasikan strategi DOTS sebagai salah satu langkah yang paling efektif dan efisien dalam penanggulangan TB.



Intervensi dengan strategi DOTS kedalam pelayanan kesehatan dasar (Puskesmas) telah dilakukan sejak tahun 1995. Khusus untuk institusi pelayanan rumah sakit dan Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) / Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) intervensi baru dilakukan secara aktif sejak tahun 2000. Hasil survey prevalensi TB tahun 2004 menunjukkan bahwa pola pencarian pengobatan pasien TB ke rumah sakit ternyata cukup tinggi, yaitu sekitar 60% pasien TB ketika pertama kali sakit mencari pengobatan ke rumah sakit, sedangkan sisanya ke Puskesmas dan Praktisi swasta. Pelaksanaan DOTS di rumah sakit mempunyai daya ungkit dalam penemuan kasus (case detection rate, CDR), angka keberhasilan pengobatan (cure rate), dan angka keberhasilan rujukan (succes referal rate).



1



Adapun strategi DOTS terdiri dari: 1. Komitmen politis. 2. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya. 3. Pengobatan jangka pendek yang terstandar bagi semua kasus TB, dengan penatalaksanaan kasus secara tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan. 4. Jaminan ketersediaan obat anti tuberkulosis (OAT) yang bermutu. 5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.



Untuk menanggulangi masalah TB, strategi DOTS harus diekspansi dan diakselerasi pada seluruh unit pelayanan kesehatan dan berbagai institusi terkait termasuk rumah sakit pemerintah dan swasta, dengan mengikutsertakan secara aktif semua pihak dalam kemitraan yang bersinergi untuk penanggulangan TB.



Pada saat ini penanggulangan TB dengan strategi DOTS di Rumah Sakit baru berkisar 20% dengan kualitas yang bervariasi. Ekspansi strategi DOTS di RS masih merupakan tantangan besar bagi keberhasilan Indonesia dalam mengendalikan tuberkulosis. Hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Tim TB External Monitoring Mission pada tahun 2005 menunjukkan bahwa angka penemuan kasus TB di RS cukup tinggi, tetapi angka keberhasilan pengobatan rendah dengan angka putus berobat yang masih tinggi. Kondisi tersebut berpotensi untuk menciptakan masalah besar yaitu peningkatan kemungkinan terjadi resistensi terhadap obat anti tuberkulosis (MDR-TB).



Untuk mengetahui keberhasilan rumah sakit dalam melaksanakan strategi DOTS, pada bulan Juli 2009 telah dilakukan asesmen terhadap rumah sakit tingkat provinsi di seluruh Indonesia (jumlah 18 rumah sakit). Data hasil assessment menunjukkan bahwa hanya 17 % rumah sakit yang telah melakukan strategi DOTS dengan hasil optimal, 44 % rumah sakit sedang dan 39% rumah sakit kurang.



Data hasil assessment juga menunjukkan adanya hubungan yang erat antara komitmen direktur rumah sakit terhadap keberhasilan penyelenggaraan DOTS di RS. Sementara dari sejumlah 59% rumah sakit yang telah memilki Tim DOTS, hanya 28% tim DOTS yang dibentuk bekerja optimal. Sementara 72% rumah sakit yang telah memiliki sumber daya manusia yang terlatih DOTS (dokter umum, dokter spesialis, paramedik, petugas laboratorium maupun farmasi), namun tidak dimanfaatkan secara baik oleh pihak manajemen rumah sakit, hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal antara lain: strategi DOTS belum menjadi komitmen manajemen di rumah sakit disebabkan oleh sosialisasi yang



2



kurang optimal. Hal ini tercermin hanya 17% RS yang melaksanakan strategi DOTS secara optimal.



Rumah Sakit Dr. H. Chasan Boesoirie menyusun Panduan Kerja Tim Tuberkulosis di Rumah Sakit Dr. H. Chasan Boesoirie, sebagai bentuk nyata komitmen serta partisipasi dari pihak manajemen dalam suksesnya pelaksanaan strategi DOTS di RSUD Dr. H. Chasan Boesoirie. Panduan ini juga digunakan sebagai acuan dalam akreditasi pelayanan medis di RSUD Dr. H. Chasan Boesoirie. 2. Tujuan Tujuan Umum



: Panduan Kerja Tim Tuberkulosis di Rumah Sakit Dr. H. Chasan



Boesoirie disusun dengan tujuan agar dapat meningkatkan mutu pelayanan Tuberkulosis di RSUD Dr. H. Chasan Boesoirie



Tujuan Khusus -



:



Sebagai Panduan manejerial dan operasional dalam program penanggulangan TB di Rumah Sakit Dr. H. Chasan Boesoirie



-



Sebagai indikator mutu penerapan standar pelayanan rumah sakit dalam program penanggulangan TB melalui akreditasi



-



Sebagai salah satu alat ukur kinerja rumah sakit dalam penanggulangan TB melalui indikator Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit



1. Sasaran Panduan Kerja Tim Tuberkulosis Di Rumah Sakit Dr. H. Chasan Boesoirie diperuntukkan bagi seluruh unit kerja yang terkait dengan pelayanan Tuberkulosis di RSUD Dr. H. Chasan Boesoirie 2. TB dan Riwayat Alamiahnya 



Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.







Cara penularan o



Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.



o



Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.



3



o



Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.



o



Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.



o



Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.







Risiko penularan o



Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.



o



Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.



o



Menurut WHO ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.



o



Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.







Risiko menjadi sakit TB o



Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.



o



Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.



o



Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).



o



Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity) dan merupakan faktor risiko paling kuat bagi yang terinfeksi TB untuk menjadi sakit TB (TB Aktif). Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.







Riwayat alamiah pasien TB yang tidak diobati. Pasien yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan: o



50% meninggal



o



25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi



4



o



25% menjadi kasus kronis yang tetap menular



3. Besaran Masalah Tuberkulosis Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberkulosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.



Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat.



Pada tahun 1990-an, situasi TB didunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency). Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah: 



Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara negara yang sedang berkembang.







Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh: o



Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan



o



Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan sebagainya).



o



Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis)



o



Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.



o



Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat.







Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan.



5







Dampak pandemi HIV.



Pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Pada saat yang sama, resistensi ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistance = MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani. 4. Upaya Pengendalian TB Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu: 1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan. 2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya. 3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien. 4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif. 5) Sistem monitoring pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.



WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam pengendalian TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang secara ekonomis sangat efektif (cost-efective). Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang dilakukan di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program pengendalian TB, akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun.



Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.



Dengan semakin berkembangnya tantangan yang dihadapi program dibanyak negara, kemudian strategi DOTS di atas oleh Global stop TB partnership strategi DOTS tersebut diperluas menjadi sebagai berikut : 1) Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS 2) Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya 3) Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan



6



4) Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta. 5) Memberdayakan pasien dan masyarakat 6) Melaksanakan dan mengembangkan penelitian



7



BAB II PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA Pengendalian Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP-4). Sejak tahun 1969 pengendalian dilakukan secara nasional melalui Puskesmas. Obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan adalah paduan standar INH, PAS dan Streptomisin selama satu sampai dua tahun. Asam Para Amino Salisilat (PAS) kemudian diganti dengan Pirazinamid. Sejak 1977 mulai digunakan paduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, Rifampisin, Pirazinamid dan Ethambutol selama 6 bulan.



Pada tahun 1995, program nasional pengendalian TB mulai menerapkan strategi DOTS dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara Nasional di seluruh Fasyankes terutama Puskesmas yang di integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar.



Fakta menunjukkan bahwa TB masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia, antara lain: 



Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-5 di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan dan.Nigeria (WHO, 2009). Diperkirakanjumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% dari total jumlah pasien TBdidunia. Diperkirakan, setiap tahun ada 429.730 kasus baru dan kematian62.246 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 102 per 100.000 penduduk.







Pada tahun 2009, prevalensi HIV pada kelompok TB di Indonesia sekitar 2.8% . Kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistance = MDR) diantara kasus TB baru sebesar 2%, sementara MDR diantara kasus pengobatan ulang sebesar 20%. (WHO, 2009)







Tahun 1995, hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor tiga (3) setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, dan nomor satu (1) dari golongan penyakit infeksi.







Hasil Survey Prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara Nasional 110 per 100.000 penduduk. Secara Regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu: 1) wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk;



8



2) wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110 per 100.000 penduduk; 3) wilayah Indonesia Timur angka prevalensi TB adalah 210 per 100.000 penduduk. Khusus untuk propinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB adalah 68 per 100.000 penduduk. Mengacu pada hasil survey prevalensi tahun 2004, diperkirakan penurunan insiden TB BTA positif secara Nasional 3-4 % setiap tahunnya. 



Sampai tahun 2009, keterlibatan dalam program Pengendalian TB dengan Strategi DOTS meliputi 98% Puskesmas, sementara rumah sakit umum, Balai Kesehatan Paru Masyarakat mencapai sekitar 50%.



1. VISI DAN MISI



Visi “Mewujudkan Pelayanan dan Pendidikan Kesehatan yang Berkualitas, Profesional dengan “CINTA” (Cerdas, Indah, Nyaman, Taqwa, Aman) Terbaik di regional Timur” Misi 1. Mewujudkan RSUD Dr. H. Chasan Boesoirie Ternate Sebagai Pusat Rujukan dan Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan di Regional Timur 2. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang Cepat, Tepat dan Profesional dengan Mutu yang terstandar 3. Meningkatkan Kualitas SDM dan Kesejahteraan Karyawan dan Karyawati 4. Mengupayakan Kemandirian Rumah Sakit 2. KEGIATAN a. Tatalaksana dan Pencegahan TB 



Penemuan Kasus Tuberkulosis







Pengobatan Tuberkulosis







Pemantauan dan Hasil Pengobatan Tuberkulosis







Pengendalian Infeksi pada sarana layanan







Pencegahan Tuberkulosis



b. Manajemen Program TB 



Perencanaan program Tuberkulosis







Monitoring dan Evaluasi Program Tuberkulosis







Manajemen Logistik Program Tuberkulosis







Pengembangan Ketenagaan Program Tuberkulosis







Promosi program Tuberkulosis



9



c. Pengendalian TB komprehensif 



Penguatan Layanan Laboratorium Tuberkulosis







Public - Private Mix (Pelibatan Semua Fasilitas Pelayanan Kesehatan)







Kolaborasi TB-HIV







Pemberdayaan Masyarakat dan Pasien TB







Pendekatan kolaborasi dalam kesehatan paru







Manajemen TB Resisten Obat







Penelitian tuberkulosis



10



BAB III KEBIJAKAN DAN DASAR HUKUM A. Kebijakan Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364/Menkes/SK/V/2009 tentang Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis maka harus dilaksanakan strategi DOTS di RS. Pedoman Nasional Penanggulangan TB telah menetapkan beberapa kebijakan dalam menerapkan strategi DOTS, Kebijakan tersebut juga menjadi dasar bagi rumah sakit dalam menerapkannya, adapun kebijakan tersebut adalah sebagai berikut: 



Penanggulangan TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan asas desentralisasi dengan kabupaten/kota sebagai titik berat menejemen program dalam kerangka otonomi yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumberdaya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).







Penanggulangan TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS melalui pelatihan dan pengembangan staf di rumah sakit.







Penguatan kebijakan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program penanggulangan TB







Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu layanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mempu memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinuya MDR-TB.







Penemuan dan pengobatan dalam rangka penanggulangan TB dilaksanakan oleh seluruh unit pelayanan kesehatan (UPK), meliputi puskesmas, rumah sakit pemerintah dan swasta baik umum maupun khusus, rumah sakit paru. BKPM / BBKPM / KP4, serta dokter praktik swasta.







Penanggulangan TB dilaksanakan melalui promosi, penggalangan kerjasama dan kemitraan dengan program terkait, sektor pemerintah, non pemerintah dan swasta dalam mewujudkan Gerakan Terpadu Nasional Tuberkulosis (Gerdunas TB).







Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan untuk peningkatkan mutu pelayanan dan jejaring.







OAT untuk penanggulangan TB diberikan kepada pasien secara cuma-cuma dan dijamin ketersediaannya.







Ketersediaan



SDM



yang



kompeten



dalam



jumlah



yang



memadai



untuk



meningkatkan dan mempertahankan kinerja program. 



Penanggulangan TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan terhadap TB.



11







Penanggulangan TB harus berkolaborasi dengan penanggulangan HIV.







Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan perkerjaannya.







Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam Milenum Dovelopment Goals (MDGs).



B. Dasar hukum 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5063). 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5072) 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4431). 4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4437). 5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan Dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. 6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1575/Menkes/ Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan. 7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364/Menkes/SK/V/2009 tentang Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. 8. Keputusan



Menteri



Kesehatan



Nomor



129/Menkes/SK/II/2008



tentang



Standar



Pelayanan Minimal Di Rumah Sakit. 9. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit. 10. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal 11. Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 884/Menkes/VII/2007 tentang Ekspansi TB Strategi DOTS di Rumah Sakit dan Balai Kesehatan / Pengobatan Penyakit Paru. 12. Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Nomor YM.02.08/III/673/07 tentang Penatalaksanaan Tuberkulosis di Rumah Sakit.



12



BAB IV PELAYANAN TUBERKULOSIS DENGAN STRATEGI DOTS DI RUMAH SAKIT



1. Falsafah dan Tujuan



Falsafah



Pelayanan TB menggunakan strategi DOTS disediakan dan diberikan kepada pasien sesuai dengan ilmu pengetahuan kedokteran mutakhir dan standar yang telah disepakati oleh seluruh organisasi profesi di dunia, serta memanfaatkan kemampuan dan fasilitas rumah sakit secara optimal.



Tujuan



Untuk meningkatkan mutu pelayanan medis TB di rumah sakit melalui penerapan strategi DOTS secara optimal dengan mengupayakan kesembuhan dan pemulihan pasien melalui prosedur dan tindakan yang dapat dipertanggung jawabkan serta memenuhi etika kedokteran.



Kriteria : 1. Setiap pelayanan TB dengan strategi DOTS bagi pasien TB harus berdasarkan standar



pelayanan



yang



telah



ditetapkan



oleh



Program



Penanggulangan



Tuberkulosis Nasional. 2. Setiap Pelayanan TB harus berdasarkan International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) atau Standar Diagnosis, Pengobatan dan Tanggung Jawab Kesehatan Masyarakat. 2. Administrasi dan Pengelolaan



Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364/Menkes/SK/V/2009 tentang Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis mengamanatkan bahwa penanggulangan terhadap TB merupakan program nasional yang wajib dilakukan oleh setiap institusi pelayanan kesehatan dan menjadi dasar bagi semua pelaksanaan penanganan TB.



13



Mengingat pelaksanaan pelayanan TB di rumah sakit sangat rumit dengan keterlibatan pelbagai bidang disiplin ilmu kedokteran serta penunjang medik, baik di poliklinik, maupun bangsal bagi pasien rawat jalan dan rawat inap serta rujukan pasien dan speciment. Maka dalam pengelolaan TB di rumah sakit dibutuhkan manajemen tersendiri dengan dibentuknya Tim Tuberkulosis di RSUD Dr. H. Chasan Boesoirie.



Kriteria Direktur/Wakil Direktur berfungsi sebagai administrator. Fungsi administrastor antara lain: 



Membuat kebijakan dan melaksanakannya.







Mengintegrasikan, merencanakan, dan mengkoordinasikan pelayanan.







Melaksanakan pengembangan staf dan pendidikan/pelatihan.







Melakukan pengawasan terhadap penerapan standar pelayanan medis/kedokteran termasuk medico legal.







Berkoordinasi dengan Komite Medik untuk memfasilitasi implementasi etika kedokteran dan mutu profesi, penetapan Standar Pelayanan Medis dan SPO.







Membentuk Tim DOTS yang dipimpin oleh Ketua / pimpinan yang berfungsi a. Pengatur administrasi. b. Pengatur pengembangan staf. c. Pengawas kualitas pelayanan agar sesuai dengan standar pelayanan medis. d. Pengawas bahwa penanganan pasien TB di rumah sakit menggunakan strategi DOTS dan jejaring internal berjalan optimal serta aktif melaksanakan jejaring eksternal. e. Pengawas bahwa pencatatan dan pelaporan baik kepada Direktur maupun Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota semuanya terlaksana dengan benar dan tepat waktu.



3. Staf dan Pimpinan Penempatan, penetapan, hak dan kewajiban staf medis untuk pelayanan TB dengan strategi DOTS oleh pimpinan rumah sakit. 1. Ada pengorganisasian kelompok SMF berasal dari unit terkait dengan pasien TB dalam wadah fungsional yaitu Tim DOTS. 2. Tim DOTS mempunyai uraian tugas, fungsi dan kewajiban yang jelas. 3. Staf medik dalam Tim DOTS berperan aktif dalam membuat Standar Prosedur Operasional (SPO) bagi pelayanan pasien TB.



14



Kriteria -



Pimpinan rumah sakit membentuk Tim DOTS sebagai wadah khusus dalam pengelolaan pasien TB di rumah sakit.



-



Pembentukan Tim DOTS di rumah sakit bersifat fungsional ditetapkan melalui surat keputusan direktur rumah sakit.



-



Tim DOTS di rumah sakit berada dibawah koordinasi Direktur / Wakil Direktur Pelayanan Medik.



Tugas fungsi serta wewenang Tim DOTS di rumah sakit ditetapkan berdasarkan kompetensi dan diatur sebagai berikut:



Ketua Tim DOTS rumah sakit  Ketua Tim DOTS adalah seorang dokter spesialis paru atau penyakit dalam atau dokter spesialis atau dokter umum yang bersertifikat Pelatihan Pelayanan Tuberkulosis dengan Strategi DOTS di Rumah Sakit (PPTS DOTS). 



Ketua Tim DOTS merangkap sebagai anggota.



Anggota: - SMF Paru, -



SMF Penyakit Dalam,



-



SMF Kesehatan Anak,



-



SMF Lainnya bila ada (Bedah, Obgyn, Kulit dan kelamin, saraf, dll)



-



Instalasi Laboratorium (PA, PK, Mikro)



-



Instalasi Farmasi



-



Perawat Rawat Inap dan Perawat Rawat Jalan terlatih.



-



Petugas pencatatan dan pelaporan, serta



-



Petugas PKMRS.



-



Petugas Rekam Medis



Tugas Tim DOTS di Rumah Sakit adalah: Menjamin terselenggaranya pelayanan TB dengan membentuk unit DOTS di rumah sakit sesuai dengan strategi DOTS termasuk, sistem jejaring internal dan eksternal.



Dalam melaksanakan tugasnya, Tim DOTS di rumah sakit melakukan: 1. Perencanaan terhadap semua kebutuhan bagi terselenggaranya pelayanan TB di rumah sakit meliputi: -



Tenaga terlatih



15



-



Anggaran



-



Obat-obatan



-



Reagensia



-



Peralatan



-



Pencatatan dan pelaporan,



2. Pelaksanaan Tim DOTS RS mengadakan rapat rutin untuk membicarakan semua hal temuan terkait dengan pelaksanaan pelayanan terhadap pasien TB di rumah sakit. 3. Monitoring dan Evaluasi Tim DOTS RS menyelenggarakan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan pelayanan DOTS di rumah sakit. Dalam pelaksanaannya Tim DOTS berkoordinasi dengan setiap SMF dan Unit DOTS.



Hal hal penting yang perlu diperhatikan dalam monitoring dan evaluasi: -



Kepatuhan terhadap tatalaksana penegakan diagnosis dengan menggunakan pemeriksaan mikroskopis.



-



Kepatuhan dokter menerapkan ISTC dan SPO dalam pengobatan TB (standar diagnosis, terapi dan tanggung jawab kesehatan masyarakat).



-



Monitoring terhadap keteraturan pasien TB untuk menyelesaikan pengobatan



-



Monitoring tehadap pelaksanaan SPO bagi Pengawas Menelan Obat (PMO).



-



Kepatuhan melaksanakan SPO jejaring internal dan eksternal.



-



Rujukan pasien dan hasil umpan baliknya.



-



Ketersediaan logistik OAT dan non OAT, yang dibutuhkan dalam pelayanan terhadap pasien TB di rumah sakit.



-



Kepatuhan terhadap pencatatan dan pelaporan (pengisian formulir TB) serta ketersediannya tepat waktu.



-



Kepatuhan staf rumah sakit terhadap pelaksanaan semua kebijakan yang ditetapkan oleh direktur rumah sakit.



-



Setiap pasien TB dicatat dengan pencatatan dan pelaporan tersendiri termasuk laboratorium dan menggunakan formulir TB dari 01, 02, 03 UPK, 04, 05, 06, 09, 10).



-



Pencatatan pasien TB terkait dengan kasus rujukan dan kasus mangkir.



Tim DOTS menyusun laporan hasil pertemuan dan hasil monitoring evaluasi, dan disampaikan secara tertulis kepada Direktur / Wakil direktur rumah sakit setiap triwulan untuk diketahui atau ditindaklanjuti.



16



4. Fasilitas dan Peralatan Fasilitas yang cukup harus tersedia bagi staf medis sehingga dapat tercapai tujuan dan fungsi pelayanan DOTS yang optimal bagi pasien TB. Kriteria : 1. Tersedia ruangan khusus pelayanan pasien TB (Unit DOTS) yang berfungsi sebagai pusat pelayanan TB di RS meliputi kegiatan diagnostik, pengobatan, pencatatan dan pelaporan, serta menjadi pusat jejaring internal /eksternal DOTS 2. Ruangan tersebut memenuhi persyaratan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI -TB) di rumah sakit. 3. Tersedia peralatan untuk melakukan pelayanan medis TB. 4. Tersedia ruangan / sarana bagi penyelenggaraan KIE terhadap pasien TB dan keluarga. 5. Tersedia ruangan laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan mikroskopis dahak. 5. Kebijakan dan Prosedur Dalam menetapkan kebijakan dan prosedur seluruh staf medis ikut berperan serta dalam pengembangan kebijakan, langkah-langkah dasar, keputusan dan peraturan, serta pelayanan TB yang sesuai dengan strategi DOTS dan ISTC.



Syarat : 1. Ada kebijakan/ketentuan/pedoman dan prosedur tertulis yang harus menjadi acuan pokok bagi semua staf medik dalam melaksanakan tugas sehari-hari. 2. Ada kebijakan/ketentuan/pedoman tentang jejaring internal dan eksternal dalam pelayanan pasien. 3. Ada kebijakan/ketentuan/pedoman tentang pelayanan pasien TB bagi orang miskin, 4. Kebijakan/ketentuan/prosedur tentang OAT, ketersediaan obat, bila terjadi kekosongan 5. Kebijakan/ketentuan/prosedur tentang Pelayanan pasien TB di rawat jalan 6. Kebijakan/ketentuan/prosedur tentang Pelayanan pasien TB di rawat Inap 7. Kebijakan/ketentuan/prosedur tentang Pelayanan pasien TB di Unit Gawat Darurat. 8. Kebijakan/ketentuan/prosedur tentang pengelolaan pasien dengan MDR, HIV. 9. Kebijakan/ketentuan/prosedur tentang pasien yang mangkir 10. Kebijakan/ketentuan/prosedur tentang rujukan pasien ke UPK lain 11. Kebijakan tentang cross check specimen 12. Kebijakan tentang OAT termasuk dalam pengelolaan instalasi farmasi rumah sakit



17



13. Kebijakan tentang OAT masuk dalam formularium RS (baik obat program maupun diluar program, Jamkesmas, Askes, dll). 14. Ada kebijakan bahwa staf medik membantu pimpinan rumah sakit dalam perencanaan, penggunaan dan pemeliharaan persediaan fasilitas dan peralatan pelayanan medis. 15. Ada kebijakan dan prosedur mekanisme untuk mengawasi, memonitor dan mengevaluasi penerapan standar pelayanan TB di rumah sakit. 16. Ada kebijakan dan prosedur mekanisme untuk menentukan standar pelayanan minimal, atau indikator keberhasilan pelayanan TB di rumah sakit. (Angka pemeriksaan mikroskopis dahak, menurunnya angka drop out, angka kesalahan baca laboratorium, angka konversi, angka keberhasilan rujukan dan sebagainya). 17. Ada kebijakan dan prosedur tentang pemenuhan standar pencegahan dan pengendalian infeksi TB di Rumah Sakit (standar manajerial, administrasi, lingkungan, dan alat pelindung diri ). 18. Ada kebijakan dan prosedur bagi rumah sakit yang digunakan sebagai lahan pendidikan, pelatihan dan penelitian terkait TB. 6. Pengembangan Staf dan Program Pendidikan Pimpinan Rumah Sakit selalu menunjukkan komitmen dalam mendukung pendidikan berkelanjutan (continuing 25 professional development) khusus bagi petugas yang melayani pasien TB. Kriteria : 1. Ada



analisa



kebutuhan



pelatihan



teknis



dan



pendidikan



dalam



rangka



pengembangan pelayanan medis TB di rumah sakit yang dibuat secara periodik. 2. Ada



program



pendidikan,



pelatihan



spesialistik



dan



pendidikan



pelatihan



berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan pelayanan medis TB rumah sakit. Setiap anggota dalam Tim DOTS wajib mengikuti pendidikan berkelanjutan terkait dengan TB.



7. Evaluasi dan Pengendalian Mutu Pimpinan rumah sakit harus melaksanakan evaluasi pelayanan dan pengendalian mutu TB.



Kriteria : 1. Ada program/kegiatan peningkatan mutu pelayanan medis TB yang ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit, dengan melakukan kegiatan audit medik.



18



2. Ada pertemuan berkala secara formal antara pimpinan rumah sakit dan komite medik / Tim DOTS untuk membahas, merencanakan, dan mengevaluasi pelayanan medis serta upaya peningkatan mutu pelayanan medis TB. 3. Ada laporan data/statistik serta hasil analisa pelayanan medis TB rumah sakit. 4. Ada laporan dan hasil evaluasi pelaksanaan jejaring internal 5. Ada laporan dan hasil evaluasi pelaksanaan jejaring eksternal. 6. Ada rencana tindak lajut dari hasil evaluasi.



19



BAB V TATA LAKSANA TUBERKULOSIS DI RSUD Dr. H. CHASAN BOESOIRIE



1. Strategi penemuan terduga TB. Strategi penemuan pasien TB dapat dilakukan secara pasif, intensif, aktif, dan masif. Upaya penemuan pasien TB harus didukung dengan kegiatan promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara dini. Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan no. 67/ 2016 tentang Penanggulangan TB yang mengatur strategi penemuan terduga dan pasien TB. 1. Penemuan pasien TB secara pasif-intensif Kegiatan



penemuan yang



dilaksanakan di fasilitas kesehatan dengan



memperkuat jejaring layanan TB melalui Public-Private Mix (PPM) dan memperkuat kolaborasi layanan. Jejaring layanan Kegiatan ini merupakan bagian dari kegiatan PPM. Penemuan pasien TB di fasyankes dilakukan melalui penguatan jejaring layanan antar fasyankes yang memberikan layanan diagnosis TB, untuk menghindari terjadinya missopportunity yang disebabkan keterbatasan sarana diagnosis yang dimiliki oleh fasyankes yang kontak pertama dengan pasien TB. Dalam kegiatan ini fasyankes yang tidak memiliki alat TCM akan merujuk pemeriksaan ke fasyankes yang memiliki alat TCM. Kolaborasi layanan Berupa kegiatan integrasi dan kolaborasi penemuan pasien TB ke dalam layanan kesehatan lain yang tersedia di fasyankes, misalnya di poliklinik umum, unit layanan HIV, DM (Diabetes Mellitus), Gizi, Lansia, klinik berhenti merokok, klinik KIA dan ANC. Secara manajemen layanan, penemuan pasien TB juga harus diintegrasikan kedalam strategi atau sistem manajemen kesehatan yang diterapkan di fasyankes misalnya: Pendekatan Praktis Kesehatan Paru/ PPKP (PAL = Practical Approach to Lung health), Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), Manajemen Terpadu Dewasa Sakit (MTDS). Penjaringan terduga TB di faskes dapat juga dilakukan melalui penapisan batuk oleh petugas yang meregistrasi pasien atau perawat yang memberi layanan pada pasien. Upaya penemuan pasien TB harus didukung dengan kegiatan promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara dini.



20



2. Penemuan pasien TB secara aktif dan/atau masif berbasis keluarga dan masyarakat, Berupa kegiatan-kegiatan penemuan terduga/ pasien TB yang dilakukan di luar fasyankes. Kegiatan ini bisa melibatkan secara aktif semua potensi masyarakat yang ada antara lain: Kader kesehatan, kader posyandu, pos TB desa, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Kegiatan ini dapat berupa: 1) Investigasi kontak Dilakukan pada paling sedikit 10 - 15 orang kontak erat dengan pasien TB. Kontak erat adalah orang yang tinggal serumah (kontak serumah) maupun orang yang berada di ruangan yang ada pasien TB dewasa aktif (index case) sekurang-kurangnya 8 jam sehari minimal satu bulan berturutan. Prioritas investigasi kontak dilakukan pada orang-orang dengan risiko TB seperti anak usia 3



21



orang. Penemuan aktif berkala dilakukan dengan kegiatan skrining aktif setiap 6 bulan sekali sampai tidak ditemukan kasus TB pada kegiatan penemuan aktif berkala 2 kali berturut-turut. 6) Skrining masal Kegiatan



penemuan



aktif



yang



dilaksanakan



sekali



setahun



untuk



meningkatkan penemuan pasien TB di wilayah yang penemuan kasusnya masih



sangat



rendah.



Puskesmas



bekerja



sama



dengan



aparat



desa/kelurahan, kader kesehatan dan potensi masyarakat melakukan skrining gejala TB secara masif di masyarakat dan membawanya ke layanan kesehatan luar gedung.



2. Definisi kasus Definisi kasus TB didasarkan pada hasil pemeriksaan bakteriologis TB. Kepada semua terduga TB dewasa wajib dilakukan pemeriksaan bakteriologis TB terlebih dahulu. Sesuai dengan hasil pemeriksaan bakteriologis maka definisi pasien TB terdiri dari dua, yaitu: 3. Pasien TB terkonfirmasi Bakteriologis Adalah pasien TB yang terbukti positif pada hasil pemeriksaan contoh uji biologinya (sputum dan jaringan) melalui pemeriksaan mikroskopis langsung, TCM TB, atau biakan. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah: 1) Pasien TB paru BTA positif 2) Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif 3) Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif 4) Pasien TB Ekstra paru terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena. 5) TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis. Catatan: Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut di atas harus dicatat dan dilaporkan tanpa memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai atau belum. 4. Pasien TB terdiagnosis secara Klinis Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:



22



1) Pasien TB paru BTA negatif/ tes cepat M.tb negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks mendukung TB. 2) Pasien TB paru BTA negatif/ tes cepat M.tb negatif dengan tidak ada perbaikan klinis setelah diberikan antibiotika non OAT, dan mempunyai faktor risiko TB 3) Pasien TB Ekstra paru yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris dan histopatologis tanpa ada konfirmasi bakteriologis. 4) TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring. Catatan: Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis. Pasien yang mendapatkan pengobatan pencegahan TB tidak termasuk definisi kasus TB sehingga tidak dilaporkan dalam laporan penemuan kasus TB.



5.



Penegakan diagnosis TB Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis, pemeriksaan klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. 1. Identifikasi Terduga TB Petugas kesehatan menjaring terduga TB dengan melakukan skrining gejala maupun dengan melihat hasil foto toraks pasien yang bersangkutan. Skrining Gejala: Identifikasi terduga TB dilakukan berdasarkan keluhan gejala dan tanda TB yang disampaikan pasien. Pemeriksaan klinis berdasarkan gejala dan tanda TB yang meliputi: 



Gejala utama: batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan gejala TB yang khas, sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama 2 minggu atau lebih.







Gejala tambahan: dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat pada malam hari walaupun tanpa kegiatan, demam meriang yang berulang lebih dari sebulan.



Gejala-gejala tersebut dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronik, asma, kanker paru, dan lain-lain.



Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi maka setiap orang yang datang ke Faskes dengan gejala tersebut diatas dianggap sebagai terduga



23



pasien TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Selain identifikasi pada orang dengan gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pula pemeriksaan pada orang dengan faktor risiko TB, seperti: kontak erat dengan pasien TB, tinggal di daerah padat penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang yang bekerja dengan bahan kimia yang berisiko menimbulkan



paparan



infeksi



paru.



Pertimbangkan



untuk



melakukan



pemeriksaan laboratorium TB untuk pasien yang memiliki faktor risiko dan memiliki gejala tambahan meskipun tanpa batuk berdahak >2 minggu. Skrining Radiologis: Identifikasi terduga TB juga bisa diperoleh dari hasil evaluasi pemeriksaan foto toraks. Semua kelainan yang tidak diketahui penyebabnya yang mendukung ke arah TB harus di evaluasi TB. Skrining radiologis dapat dilakukan terhadap foto toraks yang diperoleh dari proses penegakan diagnosis TB maupun pada proses penegakan diagnosis penyakit yang lain, juga bisa dilakukan pada hasil foto toraks pada pemeriksaan kesehatan rutin umum (general check-up) dan pemeriksaan kesehatan khusus. Pasien yang teridentifikasi sebagai terduga TB baik dari skrining gejala maupun skrining radiologis harus di evaluasi untuk menegakkan diagnosis TB secara bakteriologis maupun klinis.



a. Identifikasi Terduga TB Anak Gejala klinis TB pada anak dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait. Gejala umum TB pada anak yang sering dijumpai adalah batuk persisten, berat badan turun atau gagal tumbuh, demam lama serta lesu dan tidak aktif. Gejala-gejala tersebut sering dianggap tidak khas karena juga dijumpai pada penyakit lain. Namun demikian, sebenarnya gejala TB bersifat khas, yaitu menetap (lebih dari 2 minggu) walaupun sudah diberikan terapi yang adekuat (misalnya antibiotika atau anti malaria untuk demam, antibiotika atau obat asma untuk batuk lama, dan pemberian nutrisi yang adekuat untuk masalah berat badan).



24



Gejala sistemik/umum TB pada anak sebagai berikut: 1) Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi gagal tumbuh (failure to thrive) meskipun telah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik dalam waktu 1-2 bulan. 2) Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain. 3) Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi yang adekuat.



b. Identifikasi Terduga TB Resistan OAT (TB-RO) Terduga TB-RO adalah pasien yang memiliki risiko tinggi resistan terhadap OAT, yaitu pasien yang mempunyai gejala TB yang memiliki riwayat satu atau lebih di bawah ini:



1) Pasien TB gagal pengobatan Kategori 2. 2) Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan pengobatan.



3) Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua paling sedikit selama 1 bulan.



4) Pasien TB gagal pengobatan kategori 1. 5) Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah 2 bulan pengobatan.



6) Pasien TB kasus kambuh (relaps), dengan pengobatan OAT kategori 1 dan kategori 2.



7) Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat/default). 8) Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB- RO, termasuk dalam hal ini warga binaan yang ada di Lapas/Rutan, hunian padat seperti asrama, barak, buruh pabrik.



9) Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara bakteriologis maupun klinis terhadap pemberian OAT, (bila pada penegakan diagnosis awal tidak menggunakan TCM TB).



25



Pasien dengan risiko rendah TB-RO Selain 9 kriteria di atas, kasus TB-RO dapat juga dijumpai pada kasus TB baru, sehingga pada kasus ini perlu juga dilakukan penegakan diagnosis dengan TCM TB jika fasilitas memungkinkan. Pada kelompok ini, jika hasil pemeriksaan tes cepat memberikan hasil TB RR, maka pemeriksaan TCM TB perlu dilakukan sekali lagi untuk memastikan diagnosisnya.



c. Identifikasi Terduga TB Ekstraparu Seseorang yang menderita TB ekstra paru mungkin mempunyai keluhan/gejala terkait dengan organ yang terkena, misalnya:







Pembesaran pada getah bening yang kadang juga mengeluarkan nanah







Nyeri dan pembengkakan sendi yang terkena TB







Sakit kepala, demam, kaku kuduk dan gangguan kesadaran apabila selaput otak atau otak terkena TB.



Pasien TB ekstra paru dapat juga menderita TB paru, sehingga tetap perlu dilakukan evaluasi TB paru.



d. Identifikasi TB HIV Konseling dan Tes HIV atas Inisiasi Petugas (KTIP) untuk pasien TB dilakukan pada daerah dengan tingkat epidemi HIV rendah atau terkonsentrasi. Dasar pertimbangan tes HIV adalah mutlak mengingat adanya infeksi ganda TB HIV, utamanya pada orang yang mempunyai perilaku berisiko dan pasien yang mempunyai tanda dan gejala terkait HIV/AIDS, untuk mengetahui status HIV mereka. Untuk membantu pasien menghadapi berbagai hambatan dalam menjalani tes HIV, maka perlu empati dan dukungan petugas. Pada dasarnya petugas tahu tentang manfaat tes HIV, namun kadangkadang tidak cukup peka terhadaprisiko yang mungkin terjadi padaseseorang bila hasil tes positif. Dalam menerapkan KTIP sebagai tes diagnostik atau penawaran tes secara rutin, informasi pra-tes diberikan tanpa sesi edukasi dan konseling yang lengkap, namun cukup untuk menyakinkan pasien untuk memberikan persetujuan. Pada pasien tertentu atau pasangan dari pasien mungkin memerlukan konseling tambahan yang lebih lengkap dan untuk itu pasien dapat dirujuk ke konselor. Persyaratan penting dalam menerapkan KTIP adalah konseling pasca-tes dan



26



rujukan ke layanan perawatan, dukungan dan pengobatan bagi pasienTB yang hasil testnya HIV positif. Sesuai dengan kondisi setempat, informasi pra-tes dapat diberikan secara individual atau kelompok. Persetujuan untuk menjalani tes HIV (informed consent) harus selalu diberikan secara individual, disaksikan oleh petugas. Dengan pendekatan KTIP, setiap pertemuan pasien dengan petugas dianggap sebagai: 



Kesempatan bagi seseorang yang belum mengetahui status HIV-nya.







Kesempatan diagnosa dan pengobatan sedini mungkin dan mengurangi penularan ke orang lain.







Kesempatan tes ulang bagi seseorang dengan hasil tes negatif tetapi masih mempunyai risiko tertular HIV.







Kesempatan bagi seseorang yang sedang merencanakan hidup berkeluarga atau mempunyai anak.



e. Identifikasi TB pada pasien Ko-morbid Infeksi TB mudah berkembang menjadi penyakit pada pasien dengan daya tahan tubuh yang terganggu. HIV dan Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit yang sudah diketahui berhubungan erat dengan TB. Oleh karena itu, setiap pasien dengan HIV positif (ODHA) dan penyandang Diabetes Mellitus (DM) harus dievaluasi untuk TB meskipun belum ada gejala.



1) Penapisan TB pada penyandang DM Pada penyandang DM, risiko berkembangnya penyakit TB meningkat hingga 3 kali lipat. Risiko kegagalan pengobatan, kematian dan kekambuhan TB juga meningkat pada penyandang DM. Kondisi DM juga dihubungkan dengan peningkatan terjadinya resistansi OAT. Oleh karena itu, penapisan TB pada penyandang DM dilakukan dengan anamnesis gejala dan pemeriksaan foto toraks. Jika ditemukan gejala ATAU kelainan pada foto toraks yang mengarah ke diagnosis TB, maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis. Penegakan diagnosis bakteriologis TB dapat menggunakan TCM. Jika pada penapisan awal tidak ditemukan penyakit TB, maka penapisan perlu diulang secara berkala.



2) Penapisan TB pada ODHA Pada ODHA, gejala klinis seringkali tidak spesifik. Gejala klinis yang sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan (sekitar



27



10% atau lebih) dan gejala ekstra paru sesuai organ yang terkena misalnya TB Pleura, TB Perikarditis, TB Milier, TB meningitis. Pada prinsipnya, untuk mempercepat penegakan diagnosis TB pada pasien dengan HIV positif maka penegakan diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan TCM TB seperti pada Alur Diagnosis TB dan TB Resistan Obat di Indonesia.



3) Penapisan HIV pada pasien TB Tes HIV adalah mutlak mengingat adanya infeksi ganda TB HIV, utamanya pada orang yang mempunyai perilaku berisiko dan pasien yang mempunyai tanda dan gejala terkait HIV/AIDS, untuk mengetahui status HIV mereka. Untuk membantu pasien menghadapi berbagai hambatan dalam menjalani tes HIV, maka perlu empati dan dukungan petugas Konseling dan Tes HIV atas Inisiasi Petugas untuk pasien TB dilakukan pada daerah dengan tingkat epidemi HIV rendah atau terkonsentrasi. 2. Jenis Pemeriksaan Laboratorium 1) Pemeriksaan Bakteriologis 1) Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Langsung Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk menegakkan diagnosis, juga dapat



menentukan



potensi



penularan



dan



menilai



keberhasilan



pengobatan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 2 contoh uji dahak yang dikumpulkan berupa dahak Sewaktu-Pagi (SP) dan Sewaktu-Sewaktu (SS):



2) Pemeriksaan Biakan Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat (LowensteinJensen) dan media cair (Mycobacteria Growth Indicator Tube) untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb). Pemeriksaan tersebut diatas dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya.



28



3) Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler dengan metode Xpert MTB/RIF. TCM merupakan sarana untuk penegakan diagnosis, namun tidak dapat dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan.



Untuk menjamin hasil pemeriksaan laboratorium, diperlukan contoh uji dahak yang berkualitas. Pada faskes yang tidak memiliki akses langsung terhadap pemeriksaan TCM, biakan, dan uji kepekaan, diperlukan sistem transportasi contoh uji. Hal ini bertujuan untuk menjangkau pasien yang membutuhkan akses terhadap pemeriksaan tersebut serta mengurangi risiko penularan jika pasien bepergian langsung ke laboratorium.



2) Pemeriksaan Penunjang Lainnya 1) Pemeriksaan foto toraks 2) Pemeriksaan histopatologi pada kasus yang dicurigai TB Ekstra paru. 3) Pemeriksaan uji kepekaan obat Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi M.tb terhadap OAT. Uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan di laboratorium yang telah lulus uji pemantapan mutu/Quality Assurance (QA), dan mendapatkan sertifikat nasional maupun internasional.



4) Pemeriksaan serologis Sampai saat ini belum direkomendasikan. 3. Penegakan Diagnosis TB pada Orang Dewasa a. Prinsip penegakan diagnosis TB:



29



1) Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis, Tes Cepat Molekuler TB dan biakan. 2) Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB, sedangkan pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis. 3) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun underdiagnosis. 4) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis. b. Alur diagnosis TB dibagi sesuai dengan fasilitas yang tersedia: 1) Faskes yang mempunyai akses pemeriksaan dengan alat Tes Cepat Molekuler 2) Faskes yang hanya mempunyai pemeriksaan mikroskopis dan tidak memiliki akses ke tes cepat molekuker.



30



Bagan 1. Alur Diagnosis TB dan TB Resistan Obat di Indonesia Bagan 1. Algorithme TB dan TB MDR di Indonesia



Terduga TB



Pasien baru, tidak ada riwayat pengobatan TB, tidak ada riwayat kontak erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (-) atau tidak diketahui



Pasien dengan riwayat pengobatan TB, pasien dengan riwayat kontak erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (+)



Pemeriksaan Klinis dan Pemeriksaan bakteriologis dengan Mikroskop atau TCM



Tidak memiliki akses untuk TCMTB



Memiliki akses untuk TCM TB



Pemeriksaan Mikroskopis BTA (Sewaktu dan Pagi)



Tidak bisa dirujuk



TB Terkonfirmasi Bakteriologis



TB Terkonfirmasi Bakteriologis



MTB Pos, Rif Resistance



TB RR



MTB Neg



Foto Toraks



Terapi Antibiotika Non OAT



Gambaran Mendukung TB



Bukan TB



Mulai Pengobatan TB RO



Pengobatan TB Lini 1



Tidak Mendukung TB



Ada Perbaikan Klinis



TB Klinis



MTB Pos, Rif Sensitive



(+ +) (+ -)



(- -)



Foto Toraks



Pemeriksaan TCM TB



Tidak Ada Perbaikan Klinis, ada factor risiko TB, dan atas pertimbangan dokter



TB RR



TB MDR



Lanjutkan Pengobatan TB RO



Pemeriksaan Biakan dan Uji Kepekaan OAT Lini 1 dan Lini 2



Gambaran mendukung TB



TB Pre XDR



Tidak Mendukung TB



TB XDR



Pengobatan TB RO dengan Paduan Baru



TB Klinis



TB Klinis Pengobatan TB Lini 1



Pengobatan TB Lini 1



Cari kemungkinan penyebab penyakit lain



Keterangan alur: 1) Faskes yang mempunyai Alat Tes Cepat Molekuler (TCM) TB: a) Faskes yang mempunyai akses pemeriksaan TCM, penegakan diagnosis TB pada terduga TB dilakukan dengan pemeriksaan TCM. Pada kondisi dimana pemeriksaan TCM tidak memungkinkan (misalnya alat TCM melampaui kapasitas pemeriksaan, alat TCM mengalami kerusakan, dll), penegakan diagnosis TB dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis. b) Jika terduga TB adalah kelompok terduga TB-RO dan terduga TB dengan HIV positif, harus tetap diupayakan untuk dilakukan penegakan diagnosis TB



31



dengan TCM TB, dengan cara melakukan rujukan ke layanan Tes Cepat Molekuler terdekat, baik dengan cara rujukan pasien atau rujukan contoh uji. c) Jumlah contoh uji dahak yang diperlukan untuk pemeriksaan TCM sebanyak 2 (dua) dengan kualitas yang bagus. Satu contoh uji untuk diperiksa TCM, satu contoh uji untuk disimpan sementara dan akan diperiksa jika diperlukan (misalnya pada hasil indeterminate, pada hasil Rif Resistan pada terduga TB yang bukan kriteria terduga TB-RO, pada hasil Rif Resistan untuk selanjutnya dahak dikirim ke Laboratorium LPA untuk pemeriksaan uji kepekaan Lini-2 dengan metode cepat) d) Contoh uji non-dahak yang dapat diperiksa dengan MTB/RIF terdiri atas cairan serebrospinal (Cerebro Spinal Fluid/CSF), jaringan biopsi, bilasan lambung (gastric lavage), dan aspirasi cairan lambung (gastric aspirate). e) Pasien dengan hasil MTb Resistan Rifampisin tetapi bukan berasal dari kriteria terduga TB-RO harus dilakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika terdapat perbedaan hasil, maka hasil pemeriksaan TCM yang terakhir yang menjadi acuan tindakan selanjutnya. f)



Jika hasil TCM indeterminate, lakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika hasil tetap sama, berikan pengobatan TB Lini 1, lakukan biakan dan uji kepekaan.



g) Pengobatan standar TB MDR segera diberikan kepada semua pasien TB RR, tanpa menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan OAT lini 1 dan lini 2 keluar. Jika hasil resistensi menunjukkan MDR, lanjutkan pengobatan TB MDR. Bila ada tambahan resistensi terhadap OAT lainnya, pengobatan harus disesuaikan dengan hasil uji kepekaan OAT. h) Pemeriksaan uji kepekaan menggunakan metode LPA (Line Probe Assay) Lini-2 atau dengan metode konvensional i)



Pengobatan TB pre XDR/ TB XDR menggunakan paduan standar TB pre XDR atau TB XDR atau menggunakan paduan obat baru.



j)



Pasien dengan hasil TCM M.tb negatif, lakukan pemeriksaan foto toraks. Jika gambaran foto toraks mendukung TB dan atas pertimbangan dokter, pasien dapat didiagnosis sebagai pasien TB terkonfirmasi klinis. Jika gambaran foto toraks tidak mendukung TB kemungkinan bukan TB, dicari kemungkinan penyebab lain.



3. Faskes yang tidak mempunyai Alat Tes Cepat Molukuler (TCM) TB a)



Faskes yang tidak mempunyai alat TCM dan kesulitan mengakses TCM, penegakan diagnosis TB tetap menggunakan mikroskop.



32



b)



Jumlah contoh uji dahak untuk pemeriksaan mikroskop sebanyak 2 (dua) dengan kualitas yang bagus. Contoh uji dapat berasal dari dahak SewaktuSewaktu atau Sewaktu-Pagi.



c)



BTA (+) adalah jika salah satu atau kedua contoh uji dahak menunjukkan hasil pemeriksaan BTA positif. Pasien yang menunjukkan hasil BTA (+) pada pemeriksaan dahak pertama, pasien dapat segera ditegakkan sebagai pasien dengan BTA (+).



d)



BTA (-) adalah jika kedua contoh uji dahak menunjukkan hasil BTA negatif. Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif, maka penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter.



e)



Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif dan tidak memilki akses rujukan (radiologi/TCM/biakan) maka dilakukan pemberian terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan Non kuinolon) terlebih dahulu selama 1-2 minggu. Jika tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian antibiotik, pasien perlu dikaji faktor risiko TB. Pasien dengan faktor risiko TB tinggi maka pasien dapat didiagnosis sebagai TB Klinis. Faktor risiko TB yang dimaksud antara lain:



(1) Terbukti ada kontak dengan pasien TB (2) Ada penyakit komorbid: HIV, DM (3) Tinggal di wilayah berisiko TB: Lapas/Rutan, tempat penampungan pengungsi, daerah kumuh, dll 4. Diagnosis TB Anak Pada anak yang teridentifikasi sebagai terduga TB, maka alur penegakan diagnosis dapat dilihat pada bagan berikut:



33



Bagan 2. Alur diagnosis TB Anak



Anak dengan satu atau lebih gejala khas TB:  Batuk ≥ 2 minggu  Demam ≥ 2 minggu  BB turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya  Malaise ≥ 2 minggu Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi yang adekuat



Keterangan: *)



Dapat dilakukan



Pemeriksaan mikroskopis/Tes Cepat Molekuler (TCM) TB



bersamaan dengan



pemeriksaan



sputum



Positif



Negatif



Contoh uji tidak diperoleh



**) Ada akses foto rontgen toraks dan/atau uji tuberkulin*)



Tidak ada akses foto rontgen toraks dan uji tuberkulin



Skoring sistem



Skor ≥6



Skor 30 kg 30-35 kg



36-45



46-55 kg



kg



56-70



>70 kg



kg



Levofloksasin



750-1000 mg/ hr



750 mg



750 mg



1000 mg



1000 mg



1000 mg



Moksifloksasin



400 mg/ hr



400 mg



400 mg



400 mg



400 mg



400 mg



Kanamisin



15-20 mg/kg/hr



500 mg



625-



875-1000



1000 mg



1000 mg



750 mg



mg



600-



750-800



1000 mg



1000 mg



750 mg



mg



600-



800 mg



1000 mg



1000 mg



Kapreomisin



15-20 mg/kg/hr



Streptomisin



12-18 mg/kg/hr



500 mg



500 mg



700 mg Sikloserin



500-750 mg/ hr



500 mg



500 mg



750 mg



750 mg



1000 mg



Etionamid



500-750 mg/ hr.



500 mg



500 mg



750 mg



750 mg



1000 mg



Linezolid



600 mg/ hr



600 mg



600 mg



600 mg



600 mg



600 mg



Klofazimin



200–300 mg/ hr



200 mg



200 mg



200 mg



300 mg



300mg



Pirazinamid



20-30 mg/kg/hr



800 mg



1000



1200 mg



1600 mg



2000 mg



mg Etambutol



15-25 mg/kg/hr



600 mg



800 mg



1000 mg



1200 mg



1200 mg



Isoniasid



15-20 mg/kg/hr



150 mg



200 mg



300 mg



300 mg



300 mg



Bedaquilin



400 mg/ hari



400 mg



400 mg



400 mg



400 mg



400 mg



Asam PAS



8 g/ hari.



8g



8g



8g



8g



8g



Sodium PAS



8 g/ hari.



8g



8g



8g



8g



8g



Keterangan : a. Sikloserin, Etionamid dan asam PAS dapat diberikan dalam dosis terbagi untuk mengurangi terjadinya efek samping. Selain itu pemberian dalam dosis terbagi direkomendasikan apabila diberikan bersamaan dengan ART. b. Sodium PAS diberikan dengan dosis sama dengan Asam PAS yaitu 8gr kandungan aktif obat dan bisa diberikan dalam dosis terbagi. Mengingat sediaan sodium PAS bervariasi dalam hal persentase kandungan aktif per berat (w/w) maka perhitungan khusus harus dilakukan. Misal Sodium PAS dengan w/w 60% dengan berat per sachet 4 gr akan memiliki kandungan aktif sebesar 2,4 gr.



63



c. Bedaquilin diberikan 400 mg/ hari dosis tunggal selama 2 minggu, dilanjutkan dengan dosis 200 mg intermiten 3 kali per minggu diberikan selama 22 minggu (minggu 3-24). Pada minggu ke 25 pemberian Bedaquilin dihentikan. d. Klofazimin diberikan dengan dosis 200-300 mg per hari dosis tunggal selama 2 bulan, dilanjutkan dengan dosis 100 mg per hari. e. Pada pengobatan dengan Paduan OAT standar jangka pendek, Kanamisin diberikan selama 4 bulan dengan kemungkinan perpanjangan menjadi 6 bulan bila hasil pemeriksaan mikroskopis dahak hasinya masih BTA positif. Untuk mengurangi toksisitas injeksi Kanamisin dapat diberikan 3 kali seminggu pada bulan-5 dan 6. Penentuan dosis OAT TB RO sebaiknya memperhatikan juga kekuatan sediaan yang tersedia. Hindari dosis yang mengharuskan pasien memecah tablet OAT Langkah – Langkah Pengobatan TB RO : Setelah pasien ditegakkan diagnosis TB RO maka petugas di Fasyankes Rujukan TB RO atau Fasyankes TB RO :



a. Menetapkan paduan pengobatan dan melakukan inisiasi pengobatan yang bisa dimulai di Fasyankes Rujukan TB RO atau Fasyankes TB RO.



b. Memberikan KIE dan meminta pasien memberikan persetujuan pengobatan (informed consent).



c. Melakukan persiapan awal sebelum memulai pengobatan. Persiapan awal sebelum memulai pengobatan Persiapan awal sebelum memulai pengobatan TB RO meliputi: a.



Anamnesis ulang untuk memastikan kemungkinan terdapatnya riwayat dan kecenderungan alergi obat tertentu, riwayat penyakit terdahulu seperti hepatitis, diabetes mellitus, gangguan ginjal, gangguan kejiwaan, kejang, kesemutan sebagai gejala kelainan saraf tepi (neuropati perifer) dll.



b.



Pemeriksaan: pemeriksaan fisik, penimbangan berat badan, fungsi penglihatan, fungsi pendengaran dengan metode sederhana, jika ada keluhan atau kelainan dalam pemeriksaan, dokter melakukan rujukan untuk pemeriksaan lebih lanjut ke Tim terapeutik yang ada di Fasyankes rujukan TB RO. Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan sambil memulai pengobatan.



c.



Pemeriksaan kondisi kejiwaan. Pemeriksaan ini berguna untuk menetapkan strategi konseling dan dapat dilaksanakan sambil memulai pengobatan.



64



d.



Memastikan data pasien terisi dengan benar dan terekam dalam sistem pencatatan yang digunakan (e-TB manager dan pencatatan manual).



e.



Kunjungan rumah dilakukan oleh petugas fasyankes wilayah tempat tinggal pasien untuk memastikan alamat yang jelas dan kesiapan keluarga untuk mendukung pengobatan melalui kerjasama jejaring eksternal. Formulir kunjungan rumah dapat di lihat di Lampiran.



f.



Pemeriksaan penunjang awal sebelum pengobatan (baseline) meliputi : 1)



Pemeriksaan yang harus dilakukan sebelum pengobatan :



- Faal ginjal: ureum, kreatinin - Faal Hati : SGOT, SGPT - Tes kehamilan untuk perempuan usia subur - Pemeriksaan darah lengkap - Pemeriksaan kimia darah:  Serum elektrolit  Asam Urat  Gula Darah (Sewaktu dan 2 jam sesudah makan) - Pemeriksaan penglihatan - Foto toraks. - Pemeriksaan EKG - Tes HIV (bila status HIV belum diketahui) - Tes pendengaran: (berdasarkan ketersediaan sarana dan tenaga)*  Pemeriksaan pendengaran sederhana  Pemeriksanaan pendengaran dengan audiometri atau sesuai indikasi dan ketersediaan - Thyroid stimulating hormon (TSH)* - Pemeriksaan kejiwaan.* Catatan : *Jika fasilitas tidak tersedia, maka pengobatan dapat dilakukan sambil memonitor efek samping.



Pengobatan untuk pasien TB ROdiupayakan diberikan dengan cara pengobatan rawat jalan (ambulatoir) sejak awal yang diawasi secara langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). Untuk tahap awal pengobatan, PMO adalah petugas kesehatan baik di dalam atau di luar Fasyankes, sedangkan untuk tahap lanjutan PMO dapat dilakukan oleh petugas kesehatan atau kader kesehatan yang terlatih TB RO.



65



Dalam Waktu 7 (Tujuh) Hari Pasien Sudah Harus Memulai Pengobatan



Inisiasi Pengobatan TB RO a. Inisiasi Pengobatan di FasyankesRujukan TB RO Pada awal memulai pengobatan, TAK atau dokter terlatih TB RO akan menetapkan apakah pasien memulai pengobatan rawat inap atau tidak. Indikasi pasien TB RO yang memerlukan Rawat Inap: Beberapa kondisi pasien yang memerlukan rawat inap, antara lain:  Tanda ada gangguan kejiwaan  Pneumonia berat  Pneumotoraks  Abses paru  Efusi pleura  Kelainan hati berat  Gangguan hormon tiroid  Insufisiensi ginjal berat  Gangguan elektrolit berat  Malnutrisi berat  Diabetes melitus yang tidak terkontrol  Gangguan gastrointestinal berat yang mempengaruhi absorbsi obat  Penyakit dasar lain yang memerlukan rawat inap.



Rawat Jalan: Menentukan kelayakan pasien menjalani rawat jalan sejak awal berdasarkan:  Keadaan umum pasien cukup baik.  Tidak ada kondisi klinis yang memerlukan rawat inap atau kondisi penyulit telah dapat tertangani.  Pasien sudah mengetahui cara menelan obat dan jadual kontrol ke fasyankes rujukan.



b. Inisiasi pengobatan di Fasyankes TB RO Dokter di Fasyankes TB RO akan menetapkan pasien memulai pengobatan baik secara rawat inap maupun rawat jalan. Jika pasien membutuhkan rawat inap dan tidak tersedia sarana rawat inap di Fasyankes TB RO tersebut, maka pasien akan dirujuk ke Fasyankes Rujukan TB RO untuk inisiasi pengobatan. Pasien akan



66



dirujuk balik ke Fasyankes TB RO asal bila kondisi pasien sudah memungkinkan berdasarkan keputusan TAK di FasyankesRujukan TB RO.Apabila pasien tidak membutuhkan rawat inap, maka pengobatan dapat dimulai secara paripurna di Fasyankes TB RO.



67



ALUR 1: TATALAKSANA INISIASI PENGOBATAN TB RO



KEGIATAN



FORMULIR



PELAKSANA



PENANGGUNG JAWAB



Informed Consent



Petugas Kesehatan



TAK di Fasyankes Rujukan TB RO/



Pasien TB RO KIE,inform consent, pemeriksaan awal sebelum pengobatan



Dokter terlatih di Fasyankes TB RO Penilaian kelayakan menjalani pengobatan



Formulir persetujuan



Petugas Kesehatan



Dokter terlatih di Fasyankes TB RO



TAK Inisiasi pengobatan Rawat Jalan



 Monitoring Efek samping



 KIE



Rawat inap



 Sesuai indikasi  Pengawasan



TAK di Fasyankes Rujukan TB RO/



Data dasar TB 01 MDR TB 02 MDR TB 03 MDR



menelan obat



 Pengawasan menelan obat



- TAK/Dokter di Fasyankes TB RO + Tim terapeutik



Formulir persetujuan TAK



Petugas Kesehatan



TAK di Fasyankes Rujukan TB RO/ Dokter terlatih di Fasyankes TB RO



68



69



Penetapan paduan dan dosis OAT TB RO di Indonesia Pilihan paduan OAT ROyang disediakan oleh Program saat ini adalah: a. Paduan OAT standar Paduan OAT standar diberikan kepada pasien TB RR dan TB MDR dengan jangka waktu sebagai berikut :



 Pengobatan OAT standar jangka pendek (9-11 bulan)  Pengobatan OAT standar konvensional (20-26 bulan) b. Paduan OAT Individual Paduan OAT Individual diberikan kepada pasien yang memerlukan perubahan paduan pengobatan yang fundamental dari pengobatan OAT standaryang sudah digunakan sebelumnya, misal:



 Pasien terkonfirmasi sebagai pasien TB pre-XDR atau TB XDR sejak awal, atau terjadi resistensi tambahan terhadap OAT lini kedua golongan fluorokuinolon dan obat suntik lini kedua selama pengobatan OAT standar diberikan. Lama pengobatan minimal 24 bulan.



 Pasien TB RO yang mengalami efek samping berat terhadap OAT lini kedua golongan fluorokuinolon dan obat suntik lini kedua. Lama pengobatan sama dengan pengobatan OAT standar konvensional (20-26 bulan)sesuai dengan respon terhadap pengobatan yang diberikan.



Penetapan paduan dan dosis OAT RO dilakukan oleh TAK atau dokter terlatih di Fasyankes Rujukan TB RO atau Fasyankes TB RO. Paduan OAT standar:



a. Paduan OAT standar jangka pendek yang diberikan adalah: 4-6 Km - Mfx - Eto - Cfz – Z – Hdosis tinggi–E/ 5 Mfx - Eto - Cfz - Z - E



b. Paduan OAT standar konvensional yang diberikan adalah : 8-12 Km - Lfx - Eto - Cs - Z- (E) - H / 12-14 Lfx - Eto - Cs - Z - (E) - H



Pengobatan TB RO dengan jangka pendek diberikan pada pasien TB RO yang tidak mempunyai riwayat pengobatan menggunaan Quinolon atau Injeksi lini 2 atau terbukti tidak resistes terhadap Quinolon atau injeksi lini 2. Pengobatan TB RO jangka pendek tidak diberikan jika :



70



a.



Terbukti resistan atau diduga akan terjadi ketidakefektifan terhadap salah satu obat yang digunakan dalam paduan OAT standar jangka pendek (kecuali INH).



b.



Pernah menggunakan satu atau lebih OAT lini kedua yang digunakan dalam paduan OAT standar jangka pendek (Km, Mfx, Eto dan Cfz) selama lebih dari 1 bulan.



c.



Intoleransi terhadap lebih dari 1 OAT yang dipakai dalam paduan OAT standar jangka pendek, atau terdapat resiko toksisitas karena terjadi interaksi obat dengan obat lain yang digunakan pasien.



d.



Kehamilan.



e.



Kasus TB ekstraparu.



f.



Bila ada satu OAT dari paduan OAT standar jangka pendek tidak tersedia.



Ketentuan penggunaan paduan OAT standar: a.



Bila semua kriteria di atas tidak ditemukan pada pasien TB RR atau TB MDR maka pasien tersebut akan mendapatkan paduan OAT standar jangka pendek.



b.



Bila salah satu dari 6 kriteria tersebut di atas ditemukan pada pasien TB RR atau TB MDR maka pasien tersebut akan mendapatkan pengobatan dengan paduan OAT standar konvensional atau pengobatan dengan paduan individual.



c.



Pada pasien yang mendapatkan pengobatan dengan paduan OAT standar jangka pendek terjadi keadaan sebagai berikut: pengobatan gagal (pasien tidak mengalami konversi pada akhir bulan ke-6), intoleransi obat, putus berobat lebih dari 2 bulan dan munculnya salah satu kondisi dari 6 kriteria di atas; maka pada pasien tersebut dilakukan penggantian paduan menjadi pengobatan OAT standar konvensional atau pengobatan OAT individual.



d.



Penggunaan fluorokuinolon dan obat suntik lini kedua selain jenis yang digunakan dalam paduan OAT standar jangka pendek tetapi diperkirakan bisa menimbulkan resistensi silang terhadap obat yang dipakai dapat digunakan sebagai kriteria ekslusi tambahan.



e.



Pengobatan OAT standar jangka pendek juga bisa diberikan pada pasien TB RO anak dan ODHA.



f.



Pemilihan jenis paduan OAT standar dilakukan oleh TAK di Fasyankes Rujukan TB RO maupun dokter terlatih di Fasyankes TB RO.



g.



h.



Dosis atau frekuensi pemberian OAT dapat disesuaikan bila: 



terjadi perubahan kelompok berat badan.







terjadi efek samping berat dan obat pengganti tidak tersedia.



Piridoksin (vit. B6) ditambahkan pada pasien yang mendapat sikloserin dengan dosis 50 mg untuk setiap 250 mg sikloserin. 71



i.



Apabila pasien mengalami gangguan penglihatan disebabkan oleh Etambutol maka pemberian Etambutol bisa dihentikan.



j.



Kementerian



Kesehatan



RI



sedang



melakukan



persiapan



peralihan



penggunaan paduan OAT standar jangka pendek secara bertahap. Diharapkan pada tahun 2018 paduan tersebut akan tersedia secara merata di seluruh Indonesia. Pada bulan Juli 2017 penggunaan paduan OAT standar jangka pendek akan dimulai di beberapa Fasyankes Rujukan TB RO yang ditunjuk. Fasyankes TB RO dan Fasyankes Rujukan TB RO yang belum memiliki akses kepada paduan pengobatan OAT standar jangka pendek masih akan menggunakan paduan OAT standar konvensional.



Paduan OAT individual:



a. Paduan OAT Individual untuk pasien TB MDR yang resistan atau alergi terhadap fluoroquinolon tetapi sensitif terhadap OAT suntik lini kedua (Pre-XDR): Paduan OAT individual untuk pasien baru : 8-12 Km - Mfx - Eto - Cs - PAS - Z- (E) - H / 12-14 Mfx - Eto - Cs - PAS - Z - (E) - H



Alternatif denganBedaquilin: 8-12 Km - Eto - Cs - Z- (E) - H + 6 Bdq / 12-14 Eto - Cs - Z - (E) - H



12-18OAT Km -individual Mfx - Eto -untuk Cs - PAS - Z- (E) - H / 12 Mfx - Eto :– Cs - PAS - Z - (E) - H Paduan pasien pengobatan ulang



Alternatif dengan Bedaquilin: 12-18 Km - Eto - Cs - Z- (E) – H + 6 Bdq / 12 Eto - Cs - Z - (E) - H



b. Paduan OAT individual untuk pasien TB MDR yang resistan atau alergi terhadap OAT suntik lini kedua tetapi sensitif terhadap fluorokuinolon (Pre-XDR) : Paduan OAT individual untuk pasien baru : 8-12 Cm - Lfx - Eto - Cs - Z- (E) - H / 12-14 Lfx - Eto - Cs - Z - (E) - H



Alternatif dengan Bedaquilin: 8-12 Lfx - Eto - Cs - Z- (E) - H + 6 Bdq / 12-14 Lfx - Eto - Cs - Z - (E) - H



Paduan OAT individual untuk pasien pengobatan ulang : 12-18 Cm - Lfx - Eto - Cs - Z- (E) - H / 12 Lfx - Eto - Cs - Z - (E) - H



Alternatif dengan Bedaquilin: 12-18 Lfx - Eto - Cs - Z- (E) - H + 6 Bdq / 12 Lfx - Eto - Cs - Z - (E) - H 72



c. Paduan OAT Individual untuk pasien TB XDR: 12-18 Cm - Mfx - Eto - Cs - PAS - Z- (E) - H / 12 Mfx - Eto - Cs - PAS - Z - (E) - H



Alternatif dengan Bedaquilin: 12-18 Eto - Cs - Lnz - Cfz - Z- (E) - H + 6 Bdq / 12 Eto - Cs - Lnz - Cfz - Z - (E) - H



d. Paduan OAT individual untuk pasien dengan alergi atau efek samping berat terhadap OAT oral lini kedua (Grup C) sedangkan OAT suntik lini kedua dan golongan fluorokuinolon masih bisa dipakai.  Paduan OAT individual untuk pasien yang alergi/ mengalami efek samping berat terhadap salah satu dari OAT Grup C yang dipakai (Eto atau Cs) maka OAT penggantinya diambilkan salah satu OAT Grup C (Cfz atau Lnz) atau D2 (Bdq) atau D3 (PAS) yang tersedia supaya tetap memenuhi standar minimal 4 macam OAT inti lini kedua. Contoh: Pasien mengalami gangguan kejiwaan berat yang diduga disebabkan oleh penggunaan Sikloserin. Dari semua opsi OAT pengganti tersebut, PAS merupakan OAT yang paling mudah untuk diperoleh.TAK di Fasyankes Rujukan TB RO mengganti paduan OAT standar konvensional menjadi: 8-12 Km - Lfx - Eto - PAS - Z- (E) - H / 12-14 Lfx - Eto - PAS - Z - (E) - H



 Pasien yang mengalami alergi/ efek samping berat terhadap dua OAT Grup C (Eto dan Cs) maka alternatif paduan OAT individual yang bisa digunakan yaitu: Alternatif paduan individual dengan Bedaquilin 8-12 Km - Lfx - (Lnz/Cfz) - Z- (E) - H + 6 Bdq / 12-14 Lfx - (Lnz/Cfz) - PAS - Z - (E) - H



Alternatif paduan tanpa Bedaquilin: 8-12 Km - Lfx - Lnz - Cfz - Z- (E) - H / 12-14 Lfx - Lnz - Cfz - Z - (E) - H



Alternatif lain paduan tanpa Bedaquilin: 8-12 Km - Lfx - (Lnz/Cfz) - PAS - Z- (E) - H / 12-14 Lfx - (Lnz/Cfz) - PAS - Z - (E) - H



73



Catatan: Paduan OAT RO standar konvensional juga akan disesuaikan paduannya menjadi paduan OAT RO individual jika dicurigai ada resistansi terhadap OAT lini kedua karena ada riwayat penggunaan paduan OAT selama > 1 bulan, misalnya pasien sudah pernah mendapat fluorokuinolon pada pengobatan TB sebelumnya maka diberikan Levofloksasin dosis tinggi atau Moksifloksasin. Sedangkan pada pasien yang sudah mendapatkan Kanamisin sebelumnya maka diberikan Kapreomisin sebagai bagian dari paduan OAT yang diberikan. Pengobatan individual akan dikembalikan kepada pengobatan standar bila terbukti OAT lini kedua tersebut terbukti masih sensitif. Tahapan pengobatan TB RO



a. Lama pengobatan pasien TB RO Lama pengobatan pasien TB RO bisa berbeda antara satu pasien dengan pasien yang lain karena tergantung pada riwayat pengobatan TB RO, jenis pengobatan yang diberikan dan kapan bulan konversi pemeriksaan bakteriologis bisa tercapai, menurut ketentuan sebagai berikut : 1)



Pasien baru/ belum pernah diobati dengan pengobatan TB RR/ TB MDR, diobati menggunakan paduan OAT standar jangka pendek:  Lama pengobatan dihitung berdasarkan hasil pemeriksaan dahak bulan ke empat dan atau pemeriksaan dahak bulan ke enam.  Lama pengobatan minimal 9 bulan dan maksimal 11 bulan.



2)



Pasien baru/ belum pernah diobati dengan pengobatan TB RR/ TB MDR diobati menggunakan paduan OAT standar konvensional :  Lama pengobatan adalah 18 bulan setelah konversi biakan  Lama pengobatan minimal 20 bulan.



3)



Pasien sudah pernah diobati TB RR/ MDR atau pasien TB XDR, diobati dengan paduan OAT individual:  Lama pengobatan adalah 22 bulan setelah konversi biakan.  Lama pengobatan minimal 24 bulan.



74



b. Tahap pengobatan Pengobatan TB RO dibagi menjadi dua tahap, yaitu: 1) Tahap awal Menggunakan paduan OAT yang terdiri dari OAT oral dan OAT suntik lini kedua (kanamisin atau kapreomisin). Lama pemberian tahap awal ditentukan oleh pada riwayat pengobatan TB RO, jenis pengobatan yang diberikan dan kapan bulan konversi pemeriksaan bakteriologis bisa tercapai. a) Pasien baru belum pernah diobati dengan pengobatan TB RR/ TB MDR diobati menggunakan paduan OAT standar konvensional :  Lama tahap awal adalah 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.  Diberikan sekurang-kurangnya selama 8 bulan. b) Pasien baru/ belum pernah diobati dengan pengobatan TB RR/ TB MDR, diobati menggunakan paduan OAT standar jangka pendek :  Lama tahap awal adalah 4 bulan atau maksimal 6 bulan  Apabila hasil pemeriksaan dahak pada akhir bulan keempat sudah negatif maka lama tahap awal adalah 4 bulan.  Apabila pemeriksaan dahak akhir bulan keempat masih positif maka pengobatan tahap awal dilanjutkan sampai 6 bulan. Bila hasil pemeriksaan dahak akhir bulan keenam sudah negatif maka pengobatan tahap awal adalah 6 bulan, apabila masih positif pengobatan dinyatakan gagal. c) Pasien sudah pernah diobati atau pasien TB XDR diobati menggunakan paduan OAT standar konvensional:  Lama tahap awal adalah 10 bulan setelah terjadi konversi biakan.  Diberikan sekurang-kurangnya selama 12 bulan. 2) Tahap lanjutan Adalah pengobatan setelah selesai tahap awal sampai dinyatakan pengobatan telah selesai secara lengkap. a) Pasien Baru dengan pengobatan OAT standar konvensional : Lama tahap lanjutan adalah 12-14 bulan. b) Pasien Baru dengan pengobatan OAT standar jangka pendek: Lama tahap lanjutan adalah 5 bulan c) Pasien pernah diobati TB RR/ MDR atau pasien TB XDR: Lama tahap lanjutan adalah 12 bulan



75



Tabel 13. Durasi Pengobatan TB RO Tipe pasien



Baru 1



Bulan



Lama tahap



Lama



Lama tahap



konversi



awal (a)



pengobatan



lanjutan



(b)



(b-a)



Bulan 0-2



8 bulan



20 bulan



12 bulan



Bulan 3-4



8 bulan



21 – 22 bulan



13 – 14 bulan



Bulan 5-8



9 – 12 bulan



23 – 26 bulan



14 bulan



Bulan 4



4 bulan



9 bulan



5 bulan



Bulan 6



6 bulan



11 bulan



5 bulan



Pernah diobati2



Bulan 0-2



12 bulan



atau TB XDR



Bulan 3-4



13 – 14 bulan



Baru diobati OAT standar jangka pendek



24 bulan 25 – 26



12 bulan 12 bulan



bulan Bulan 5-8



15 – 18 bulan



27 – 30



12 bulan



bulan Catatan:  Satuan bulan yang dimaksud adalah bulan sesuai dosis yang diberikan, bukan bulan kalender tetapi 1 bulan = 4 minggu = 28 hari.  Pemberian obat oral selama periode pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan menganut prinsip DOT = Directly Observed Treatment dengan PMO diutamakan adalah petugas kesehatan atau kader kesehatan terlatih. 



Obat suntikan harus diberikan oleh petugas kesehatan.



Cara Pemberian Obat TB RO: 1)



Tahap awal: 



Suntikan diberikan 5 kali seminggu (Senin-Jumat),







Obat per-oral diberikan 7 kali seminggu (Senin-Minggu).







Untuk paduan OAT standar jangka pendek, jumlah obat oral yang diberikan dan ditelan minimal 112 dosis dan suntikan minimal 80 dosis.







Untuk paduan OAT standar konvensional, jumlah obat oral yang diberikan dan ditelan minimal 224 dosis dan suntikan minimal 160 dosis.



2)



Tahap lanjutan: 



Obat per oral diberikan 7 kali dalam seminggu (Senin-Minggu)







Obat suntikan sudah tidak diberikan pada tahap ini. 76







Untuk paduan OAT standar jangka pendek, jumlah obat oral yang diberikan dan ditelan minimal 140 dosis.







Untuk paduan OAT standar konvensional, jumlah obat oral yang diberikan dan ditelan minimal 336 dosis



Pada pengobatan TB RO tahap awal dapat dimulai dengan dosis kecil yang naik bertahap (ramping dose/incremental dose) yang bertujuan untuk meminimalisasi kejadian efek samping obat. Tanggal pertama pengobatan adalah hari pertama pasien bisa mendapatkan obat dengan dosis penuh. Lama pemberian ramping dose tidak lebih dari 1 (satu) minggu.



Tabel 14.Dosis Bertahap untuk memulai kembali pengobatan OAT RO Hari pertama (beri obat Hari



Nama obat



dalam dosis terpisah pagi & sore)



Hari ke 1-3



Sikloserin



250 mg



Hari kedua



Hari ke- tiga



500mg



Dosis penuh



400 mg



Dosis penuh



500 mg



Dosis penuh



500 mg



Dosis penuh



800 mg



Dosis penuh



(125 mg + 125 mg) Hari ke 4-6



Levofloksasin 200 mg (100 mg + 100 mg)



Hari ke 7-9



Kanamisin



250 mg (125 mg + 125 mg)



Hari ke



Etionamid



10-12 Hari ke 13-15



250 mg (125 mg + 125 mg)



Pirazinamid



400 mg (200 mg + 200 mg)



77



ALUR 2. TATALAKSANA PENGOBATAN TB RO (RAWAT JALAN TAHAP AWAL) KEGIATAN



FORMULIR (Terlampir)



PELAKSANA



PENANGGUNG JAWAB



Rawat Jalan (TahapAwal)



***Jika PPI di fasyankes satelit sudah baik dan petugas memiliki Persiapan rujukan lanjutan pengobatan ke Fasyankes Satelit  Kelengkapan formulir2 rujukan  Supply OAT



pengalaman mengobati pasien TB RO maka tahap awal rawat jalan bisa dimulai di fasyankes satelit sejak awal



Rawat Jalan di Fasyankes Rujukan TB RO/Fasyankes TB RO Setiap hari kontrol Senin-Jum’at untuk disuntik & menelan obat. Sabtu-Minggu menelan obat saja. Pemantauan Klinis, bakteriologis (BTA & biakan) setiap bulan sampai konversi biakan. Kontrol dokter setiap 2 minggu selama tahap awal.



Rawat Jalan di fasyankes satelit *** Setiap hari kontrol Senin- Jum’at untuk disuntik &menelan obat. Sabtu- Minggu menelan obatsaja. Kontrol dokter 1 kali/minggu. Mengingatkan pemantauan klinis, bakteriologis (BTA & biakan) setiap bulan sampai konversi biakan. Kontrol ke fasyankes rujukan TB RO atau fasyankes TB RO setiap 1 bulan sekali selama tahap awal.



TB 01 MDR TB 02 MDR Form pengantar melanjutkan pengobatan ke fasyankes satelit Form serah terima awal OAT RO



Dokter/perawat unit



TAK Fasyankes



Lab Mikrobiologi



Rujukan TB RO/



Lab Patologi Klinis



Dokter Terlatih



Farmasi



Fasyankes TB RO



ke fasyankes satelit



TB 05 Form Pemeriksaan



TAK/



laboratorium RS



Dokter Terlatih



TB 01 MDR



PMO



TB 02 MDR



Farmasi



TB 03 MDR



78 Obat suntik diberikan sesuai ketentuan (durasi, frekuensi dan dosis)



TB 01 MDR TB 02 MDR



TB 05 Form Pemeriksaan



TAK Fasyankes Lab Mikrobiologi/



Rujukan TB RO/



Lab Patologi Klinis



Dokter Terlatih Fasyankes TB RO



laboratorium RS TB 01 MDR TB 02 MDR TB 03 MDR



79



Alur 3 : TATALAKSANA PENGOBATAN TB RO RAWAT JALAN (TAHAP LANJUTAN) FORMULIR



KEGIATAN



(terlampir)



PELAKSANA



PENANGGUNG JAWAB



Tahap Lanjutan



TB 01 MDR Di Fasyankes Rujukan TB RO atau Fasyankes TB RO obat ditelan setiap hari didepan PMO Kontrol ke dokter setiap 2 bulan (kecuali bila diperlukan boleh kapan saja pada jam kerja) Pemantauan Klinis, bakteriologis(BTA & biakan) setiap 2bulan Pemeriksaan penunjang terjadual atau ad-hoc



Di Fasyankes satelit TB RO obat di telan setiap hari didepan PMO/ kader kesehatan terlatih Kontrol ke dokter setiap bulan (kecuali bila diperlukan) Kontrol setiap 2 bulan ke fasyankes Rujukan TB RO atau fasyankesTB RO untuk konsultasi dan pemantauan pengobatan



Hasil pengobatan



TB 02 MDR



Petugas Kesehatan



TB 05



(Dokter/perawat/pet



Form Pemeriksaan



ugas Laboratorium



TAK Fasyankes



laboratorium RS



di RS Rujukan /



Rujukan TB RO/



TB 01 MDR



Fasyankes TB RO



Dokter Fasyankes TB



TB 02 MDR



RO



TB 03 MDR



TB 01 MDR



Petugas Kesehatan



TAK Fasyankes



TB 03 MDR



di RS Rujukan /



Rujukan TB RO/



Fasyankes TB RO



Dokter Fasyankes TB RO



Sembuh



Pengobatan Lengkap



Gagal



Meninggal



Loss to follow up



80



81



Pemantauan Pengobatan Pasien TB RO Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap pengobatan dan mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala TB adalah batuk, berdahak, demam dan berat badan menurun, umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Pemeriksaan penunjang rutin seperti pemeriksaan radiologis juga bermanfaat untuk membantu klinisi mengambil keputusan mengenai kondisi pasien. Penilaian respons pengobatan adalah konversi pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan biakan. Hasil biakan untuk memantau kemajuan pengobatan dapat diperoleh 2 minggu - 3 bulan setelah pemeriksaan dahak. Beberapa faktor yang mempengaruhi lama pemeriksaan biakan adalah efektifitas sistem rujukan contoh uji, metode biakan yang digunakan dan hasil pemeriksaan biakan, dimana hasil biakan negatif akan memerlukan waktu yang lebih lama bagi laboratorium untuk mendapatkan hasil dibandingkan hasil positif. Evaluasi Utama untuk memantau kemajuan pengobatan pada pasien TB RO adalah: a. Pemeriksaan dahak mikroskopis dan biakan 1) Pengobatan OAT standar jangka pendek: dilakukan setiap bulan pada tahap awal dan tahap lanjutan. 2) Pengobatan OAT standar konvensional dan individual: dilakukan setiap bulan pada tahap awal dan setiap 2 bulan pada tahap lanjutan. b. Uji kepekaan obat lini kedua dapat diulang jika pasien diduga akan mengalami kegagalan pengobatan.



1) Pengobatan OAT standar jangka pendek apabila tidak terjadi konversi pada pemeriksaan mikroskopis sampai akhir bulan ke-6.



2) Pengobatan OAT standar konvensional dan individual apabila tidak terjadi konversi biakan sampai bulan ke-4 pengobatan. Evaluasi pendukung untuk memantau kondisi pasien yang terkait dengan proses pengobatan TB RO adalah : a. Penilaian klinis termasuk berat badan. b. Pemeriksaan bersifat ad-hoc sesuai indikasi atau penilaian segera bila ada efek samping. c. Pemeriksaan laboratorium penunjang sesuai jadual yang ditentukan.



82



Tabel 15.Pemantauan Pengobatan TB RO menggunakanPaduan OAT Standar Jangka Pendek Bulan pengobatan



Jenis pemeriksaan



Tahap awal 4 bulan



Tahap Lanjutan 5



(dapat diperpanjang 6



bulan



bulan) 0



1



2



3



4



5



6



7



8



9(11)



Riwayat penyakit



X



Pemeriksaan fisik (BB)



X



X



X



X



X



X



X



X



X



X



Pemeriksaan Mikroskopis



X



X



X



X



XX*



X



X



X



X



XX*



Biakan



X



X



X



X



X



X



X



X



X



X



Uji kepekaan (DST)



X**



EKG



X



X



X



X



X



X



X



X



X



X



Pemeriksaan Audiometri ***



X



Rontgen dada



X



Darah lengkap



X



Kadar Gula Darah



X



Serum-Ureum Kreatinin



X



X



X



X



X



Elektrolit



X



X



X



X



X



SGOT SGPT, Bilirubin Total



X



X



X



X



X



TSH/TSHs



X



Tes kehamilan



X



Tes HIV



X



X X



X



X X



Catatan: 1.



*) Pada bulan ke 4 dan bulan terakhir pengobatan (bulan ke 9 atau bulan ke 11) serta pada bulan tambahan menggunakan suntikan ( bulan ke 5 dan ke 6) dilakukan pemeriksaan mikroskopis menggunakan 2 contoh uji, keputusan diambil berdasrkan hasil pemeriksaan dari 2 contoh uji tersebut.



2.



**) Bila biakan positif pada bulan ke-6 atau terjadi rekonversi, uji kepekaan untuk OAT lini kedua akan diulang dan pasien dikeluarkan dari paduan jangka pendek.



3.



***) disarankan menggunakan Simple Electronic Audiometry Test (bila tersedia), bila tidak tersedia maka bisa menggunakan metode tes audiometri yang lain.



4.



Pemeriksaan dapat diulang sesuai indikasi (bila diperlukan)



83



5.



Pemeriksaan tes fungsi hati dapat dilakukan apabila ada indikasi sesuai keputusan TAK.



Tabel 16. Pemantauan Pengobatan TB RO menggunakan Paduan OAT Estándar Konvensional dan Individual Bulan pengobatan



Pemantauan 0



1



2



3



4



5



6



7



8



10



12



14



16



18



20



22



Evaluasi Utama Pemeriksaan apusan dahak dan biakan







Setiap bulan pada tahap awal, setiap 2 bulan pada tahap lanjutan



dahak Evaluasi Penunjang Evaluasi klinis



Setiap bulan sampai pengobatan selesai atau lengkap



(termasuk BB) Uji kepekaan obat







Berdasarkan indikasi



Foto toraks











Ureum, Kreatinin











-







-







1-3 minggu sekali selama suntikan



Elektrolit (Na, Kalium,







































Cl) EKG







Thyroid stimulating







Setiap 3 bulan sekali -











hormon (TSH) √



Evaluasi secara periodik



Tes kehamilan







Berdasarkan indikasi



Darah Lengkap







Berdasarkan indikasi



Audiometri







Berdasarkan indikasi



Kadar gula darah







Berdasarkan indikasi



Asam Urat







Berdasarkan indikasi



Test HIV







dengan atau tanpa faktor risiko



Enzim hepar (SGOT, SGPT)



84



HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN



1. Pengobatan TB RO membutuhkan keteraturan serta ketepatan paduan dan cara pemberian OAT. Dukungan dari keluarga, PMO dan petugas kesehatan berperan penting dalam keberhasilan pengobatan.



2. Keputusan mengenai pengobatan dilakukan oleh Dokter terlatih (TAK di Fasyankes Rujukan TB RO dan Dokter Terlatih di Fasyankes TB RO).



3. Pencatatan kartu TB.01 MDR harus diisi lengkap dan benar. Perhatikan bahwa semua informasi sesuai rekomendasi TAK/ Dokter Terlatih harus terdokumentasi sesuai ketentuan.



4. Semua pasien TB RO harus tercatat dalam register TB.03 MDR di eTB Manager, sehingga secara berkala perlu dilakukan validasi data untuk memastikan hal tersebut.



5. Berikan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) kepada pasien dan keluarga secara berkesinambungan sehingga mereka bisa memahami penyakit, dampak penyakit serta pentingnya menyelesaikan pengobatan.



6. Perhatikan pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) TB serta berikan kenyamanan pelayanan kepada pasien TB RO.



7. Umumnya pasien TB RO akan mengalami kejadian yang berkaitan dengan efek samping OAT yang diberikan, tetapi hanya sebagian kecil saja yang memerlukan penghentian pengobatan. Sehingga penanganan efek samping secara cepat, tepat dan benar sangat diperlukan.



8. Kemajuan pengobatan harus selalu dipantau, pemeriksaan apusan dahak dan biakan adalah alat evaluasi utama yang digunakan. Pemantauan pengobatan dilakukan secara berkala: tahap awal setiap bulan dan tahap lanjutan setiap 2 bulan (setiap bulan pada tahap lanjutan untuk pasien dengan paduan OAT standar jangka pendek.



9. Ketika pasien menyelesaikan proses pengobatannya, tentukan hasil akhir pengobatan dan catat hal tersebut dalam TB.01 MDR. Penentuan hasil akhir pengobatan merupakan kewenangan Tim Ahli Klinis di Fasyankes Rujukan TB RO dan dokter di fasyankes TB RO.



10. Dokter di Fasyankes Satelit bertanggungjawab dalam memastikan tata laksana pasien diberikan sesuai dengan rekomendasi dokter/ TAK.



85



Tatalaksana Pasien Berobat Tidak Teratur Setelah Mangkir Petugas kesehatan harus mengupayakan agar pasien TB ROtidak putus berobat. Jikapasien TB



RO putus berobat, tindak lanjut yang dilakukan harus



mempertimbangkan: a. Jenis paduan OAT yang digunakan b. Lama pengobatan yang telah dijalani. c. Lama putus berobat. d. Hasil pemeriksaan apusan dahak untuk BTA. e. Hasil pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Pasien TB RO yang putus berobat bila akan melanjutkan pengobatannya kembali harus dilakukan telaah menyeluruh oleh dokter di untuk mendapatkan rekomendasi tindakan selanjutnya. Tindak lanjut pasien TB RO yang putus berobat dalam tabel berikut ini :



Tabel 17. Tatalaksana pasien TB RO yang berobat setelah mangkir Lama



Lama



Pasien



Pengobatan



Mangkir



Sebelumnya



< 4 minggu



Berapapun



Tindak Lanjut



1. Melakukan konseling intensif kepada pasien dan



lamanya



keluarga.



2. Melanjutkan



pengobatan



sesuai



paduan



sebelumnya. 4-8 minggu



≤ 4 minggu



1. Melakukan konseling intensif kepada pasien dan keluarga.



2. Pengobatan diulangi dari permulaan dengan paduan OAT yang sama. > 4 minggu



1.



Melakukan konseling intensif kepada pasien dan keluarga.



2.



Lakukan pemeriksaan biakan sebelum memulai pengobatan, disarankan menggunakan metode cair (MGIT) yang lebih cepat.



3.



Sambil menunggu hasil biakan, pengobatan TB RO dilanjutkan dengan paduan OAT yang sama dengan yang didapatkan pasien sebelum pasien mangkir.



4.



Evaluasi Hasil Biakan :



86



a. Pasien pengobatan tahap awal :



 Hasil biakan negatif, lanjutkan pengobatan sesuai tahapan pengobatan



 Hasil biakan positif dan pasien sudah mengalami



konversi



sebelumnya,



maka



perhitungan tahap awal menunggu konversi biakan



b. Pasien pengobatan tahap lanjutan  Hasil biakan negatif teruskan pengobatan  Hasil



biakan



positif



pertimbangkan



risikokegagalan pengobatan



 Ada keterangan bahwa pasien pernah mangkir di TB 01 MDR. > 8 minggu



≤ 4 minggu



1.



Kartu pengobatan TB 01 MDR ditutup, pasien dinyatakan sebagai lost to follow up (lalai berobat).



2.



Pasien mendapatkan KIE ulang yang menekankan kepatuhan pengobatan.



3.



Pasien ditatalaksana sebagai terduga TB RO dari awal.







Lakukan pemeriksaan tes cepat.







Jika hasil pemeriksaan Resistan Rifampisin (RR) dilanjutkan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan untuk OAT lini kedua.



4.



Pengobatan bisa dimulai dari awal dengan paduan OAT yang sama tanpa menunggu hasil uji kepekaan.



5.



Tipe pasien tetap sama seperti saat awal pengobatan sebelumnya.



6.



Penyesuaian paduan dimungkinkan bila hasil uji kepekaan lini kedua sudah keluar dengan hasil resistensi OAT bertambah.



7.



Pasien dengan Paduan OAT standar jangka pendek harus berganti ke paduan OAT standar konvensional.



87



> 8 minggu



> 4 minggu



1. Kartu pengobatan TB 01 MDR ditutup, pasien dinyatakan sebagai pasien lost to follow up (lalai berobat).



2. Pasien mendapatkan KIE ulang yang menekankan kepatuhan pengobatan.



3. Pasien ditatalaksana sebagai terduga TB RO dari awal.







Lakukan pemeriksaan konfirmasi dengan tes cepat.







Bila hasil tes cepat Resistan Rifampisin, lakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan untuk OAT lini kedua.



4. Pengobatan dimulai setelah ada hasil uji kepekaan. 5. Tipe pasien adalah pasien yang kembali berobat setelah putus berobat (lost to follow up) dari pengobatan dengan OAT lini kedua.



6. Penyesuaian paduan dimungkinkan bila hasil uji kepekaan lini ke-2 keluar.



7. Jika kondisi pasien memburuk, pasien bisa diobati dengan pengobatan standar TB RO tanpa menunggu hasil uji kepekaan, paduan OAT menggunakan obat golongan injeksi, fluorokuinolon dan OAT lini kedua lain yang belum dipakai. Berbeda.



8. Pasien dengan Paduan OAT standar jangka pendek harus berganti ke paduan OAT standar konvensional/ Individual sesuai hasil Uji Kepekaan. Catatan: 



Pemeriksaan dahak secara mikroskopis, biakan dan uji kepekaan dilakukan di laboratorium yang telah tersertifikasi.







Keputusan pengobatan kembali pasien TB RO yang berobat tidak teratur diambil oleh TAK di Fasyankes Rujukan TB RO atau Dokter Terlatih di Fasyankes TB RO.



Tatalaksana Kasus Gagal Pengobatan Keputusan untuk menetapkan kasus gagal pengobatan dilakukan oleh TAK di Fasyankes Rujukan TB RO atau dokter terlatih di Fasyankes TB RO berdasarkan



88



pertimbangan klinis dan hasil biakan. Adapun kondisi yang menyebabkan kasus gagal pengobatan berdasarkan pertimbangan berikut ini : a.



Pasien dengan risiko gagal pengobatan, yaitu: Pasien yang secara klinis, radiologis, dan biakan menunjukkan penyakit masih aktif progresif, atau kondisi klinis kembali memburuk setelah pengobatan bulan ke-4. Langkah-langkah yang harus dilakukan pada pasien dengan resiko gagal pengobatan : 1)



Menelaah kartu pengobatan pasien (TB.01 MDR) untuk menilai kepatuhan pengobatan.



2)



Melakukan konfirmasi apakah pasien sudah menelan semua obat yang diberikan, dengan melakukan wawancara ulang pada pasien.



3)



Menelaah ulang paduan pengobatan dan menghubungkannya dengan riwayat pengobatan, kontak dengan pasien TB RO dan laporan hasil uji kepekaan. Bila paduan tersebut tidak adekuat maka sebaiknya ditetapkan paduan yang baru.



4)



Menelaah ulang hasil pemeriksaan mikroskopis dahak dan biakan secara serial serta membandingkannya dengan kondisi klinis pasien dan gambaran radiologis.



5)



Melakukan uji kepekaan ulang untuk OAT lini kedua untuk mengetahui apakah ada resistensi tambahan terhadap OAT lini kedua.



6)



Pasien dengan hasil pemeriksaan mikroskopis dahak dan biakan negatif tetapi terdapat perburukan klinis mungkin diakibatkan oleh penyakit lain selain TB RO.



7)



Menelaah ulang adanya penyakit lain yang dapat menurunkan absorpsi obat (seperti: diare kronik) atau penurunan sistem imunitas (misalnya: infeksi HIV).



8)



Perubahan paduan pengobatan ditetapkan oleh Tim Ahli Klinis di Fasyankes Rujukan TB RO dan dokter terlatih di Fasyankes TB RO dengan masukan dari TAK fasyankes Rujukan TB RO. Di Fasyankes Rujukan TB RO pengambilan keputusan dilakukan oleh TAK dengan masukan dari Tim Terapeutik jika diperlukan. Efektivitas pengobatan ini baru dapat dinilai setelah 3-4 bulan yaitu dengan melihat konversi biakan.



9)



Penatalaksanaan dilakukan seoptimal mungkin, termasuk pertimbangan tindakan operasi jika memungkinkan.



b.



Penghentian Pengobatan sebelum waktu, yaitu:



89



Pengobatan TB RO dapat dipertimbangkan untuk dihentikan oleh TAK di Fasyankes Rujukan TB RO atau dokter di Fasyankes TB RO sebelumwaktunya apabila memenuhi kriteria: 1)



Pasien dinyatakan “loss to follow up” jika pasien telah berhenti berobat selama 2 bulan berturut-turut atau lebih. Jika pasien datang kembali setelah dihentikan pengobatannya, TAK di Fasyankes Rujukan TB RO atau Dokter di Fasyankes TB RO memperlakukan pasien tersebut sebagai terduga TB RO dari awal, menutup kartu TB 01 MDR dengan hasil “loss to follow up” dan membuat kartu pengobatan TB 01 MDR baru bila pasien akan berobat kembali.



2)



Pengobatan dinyatakan “Gagal”,jika pasien memenuhi salah satu dari kriteria di bawah ini: 



Pengobatan dihentikan oleh TAK atau Dokter karena terjadi efek samping obat yang berat yang tidak dapat ditangani.







Pasien membutuhkan perubahan paduan pengobatan TB RO yaitu ≥ 2 obat TB RO karena terbukti terjadi resistansi tambahan terhadap obat TB RO golongan kuinolon atau obat injeksi lini kedua.







Tidak ada respon yang adekuat terhadap pengobatan yang ditandai dengan tidak terjadinya konversi sampai dengan akhir bulan ke-8 pengobatan.







Pada pengobatan dengan paduan OAT standar jangka pendek bila hasil pemeriksaan mikroskopis akhir bulan ke enam masih positif.







Terjadi reversi pada fase lanjutan (setelah sebelumnya konversi). Reversi adalah kondisi dimana pemeriksaan biakan pada tahap lanjutan 2 (dua) kali berturut-turut hasilnya positif. Jika pasien dengan reversi, maka pengobatan dinyatakan gagal.



Setelah



pengobatan



pasien



dinyatakan



gagal,



pengobatan



dapat



dipertimbangkan kembali oleh TAK di Fasyankes Rujukan TB RO atau dokter terlatih di fasyankes TB RO dengan menggunakan paduan OAT individual yang masih tersedia dan masih terbukti sensitivitasnya serta membuka kartu pengobatan TB 01 MDR baru. Pertimbangan untuk menghentikan pengobatan, yaitu: a. Pertimbangan klinis.



90



Secara klinis, meneruskan pengobatan hanya akan menambah penderitaan pasien karena efek samping dan tidak ada respons terhadap pengobatan (gagal). b. Pertimbangan kesehatan masyarakat (public health). Meneruskan pengobatan yang cenderung gagal akan menimbulkan terjadinya resistansi obat yang lebih kompleks dan beresiko terjadinya penularan bentuk TB yang kompleks tersebut di masyarakat luas. Tindakan suportif pada pasien yang dihentikan pengobatannya, yaitu: a. Bila memungkinkan lakukan review menyeluruh mengenai tindakan non medikamentosa untuk pasien, misalnya tindakan bedah. b. Berikan obat-obatan simptomatis sesuai indikasi c. Terapi oksigen untuk pasien dengan sesak napas sesuai indikasi d. Konsumsi makanan gizi seimbang e. Kunjungan petugas kesehatan dilakukan secara teratur. f. Jika diperlukan pasien bisa menjalani rawat inap untuk perbaikan kondisi klinis g. Pendidikan kesehatan terutama untuk melakukan pengendalian infeksi di lingkungannya.



Tatalaksana Pasien dengan hasil biakan berubah dari negatif menjadi positif Pemeriksaan bakteriologis (mikroskopis dan biakan) merupakan metode pemantauan yang paling tepat untuk memonitor keberhasilan pengobatan. Program Nasional TB menetapkan pemeriksaan follow up setiap bulan selama tahap awal dan setiap dua bulan untuk tahap lanjutan (setiap bulan di fase lanjutan untuk pasien dengan paduan OAT standar jangka pendek). Jika TAK di Fasyankes Rujukan TB RO atau Dokter terlatih di Fasyankes TB RO menemukan hasil pemeriksaan biakan yang kembali menjadi positif pada pasien yang sebelumnya sudah negatif ataupun tercapai konversi dan tidak di dukung dengan perburukan kondisi klinis pasien, langkah-langkah yang harus dilakukan adalah : a.



Menelaah kepatuhan dan keteraturan pengobatan dengan melihat kartu TB 01 MDR



b.



Menelaah kondisi klinis dan hasil follow up radiologis.



c.



Membandingkan hasil biakan dengan hasil pemeriksaan BTA secara serial. Bila terjadi reversi biakan biasanya juga akan didapatkan reversi BTA 91



terlebih dahulu. d.



Melakukan pemeriksaan BTA dan biakan ulang, dari 2 sampel sebagai konfirmasi untuk menyingkirkan kemungkinan kontaminasi : 



Jika hasil negatif maka yang terjadi adalah kontaminasi dan hasil positif sebelumnya bisa diabaikan.







Jika hasil biakan positif dengan jumlah hitung koloni sama atau lebih tinggi maka telah terjadi reversi pada pasien bersangkutan.



e.



Melakukan pemeriksaan radiologis untuk melihat perkembangan penyakit.



f.



Menelaah ulang adanya penyakit lain yang dapat menurunkan absorpsi obat.



92



Alur 4. Tatalaksana pasien dengan hasil biakan berubah dari negatif menjadi positif EVALUASI : - Melakukan review kartu pengobatan pasien - Evaluasi DOT untuk memastikan OAT diminum secara benar



TINDAKAN : - Ulangi pemeriksaan BTA dan biakan sekurangnya dari 2 sampel sebagai konfirmasi - Ulangi pemeriksaan radiologi untuk melihat perkembangan penyakitnya



Hasil Pemeriksaan Biakan POSITIF -



Ulang Uji kepekaan M.tuberculosis(FLD dan SLD) Bila hasil berbeda pola resistensi maka pertimbangkan kemungkinan reinfeksi, infeksi silang atau transient resistance Lakukan pemeriksaan strain kuman bila fasilitas tersedia



NEGATIF Kemungkinan kontaminan dan pengobatan dilanjutkan



Sesuaikan paduan OAT dengan pola resistansi baru



93



Penetapan Hasil Pengobatan Pasien TB RO a.



Sembuh 



Pada pengobatan jangka pendek:  Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai pedoman pengobatan TB RO tanpa bukti terdapat kegagalan, dan  Hasil pemeriksaan dahak mikroskopis pada akhir pengobatan telah negatif  Hasil biakan telah negatif minimal 3 kali berturut-turut dengan jarak pemeriksaan minimal 30 hari.







Pada pengobatan konvensional:  Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai pedoman pengobatan TB RO tanpa bukti terdapat kegagalan, dan  Hasil biakan telah negatif minimal 3 kali berturut-turut dengan jarak pemeriksaan minimal 30 hari selama tahap lanjutan.



b.



Pengobatan lengkap Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai pedoman pengobatan TB RO tetapi tidak ada hasil pemeriksaan biakan yang terdokumentasi untuk memenuhi definisi sembuh maupun gagal.



c.



Meninggal Pasien meninggal karena sebab apapun selama masa pengobatan TB RO.



d.



Gagal Pengobatan TB RO dihentikan atau membutuhkan perubahan rejimen ≥ 2 OAT RO yang disebabkan oleh salah satu dari beberapa kondisi di bawah ini yaitu :



1) Pada pengobatan dengan paduan OAT standar jangka pendek: bila hasil pemeriksaan mikroskopis akhir bulan ke enam masih positif.



2) Pada pengobatan konvensional: Tidak ada respon yang adekuat terhadap pengobatan yang ditandai dengan tidak terjadinya konversi sampai dengan akhir bulan ke-8 pengobatan.



3) Terjadi reversi (hasil biakan kembali menjadi positif) pada fase lanjutan (setelah sebelumnya konversi).



4) Pengobatan dihentikan oleh TAK atau Dokter terlatih Fasyankes TB RO karena terjadi efek samping obat yang berat yang tidak dapat ditangani.



5) Pasien membutuhkan perubahan paduan pengobatan TB RO yaitu ≥ 2 OAT RO karena terbukti terjadi resistansi tambahan terhadap obat golongan kuinolon dan obat injeksi lini kedua.



94



e.



Loss to follow-up (putus berobat) Pasien terputus pengobatannya selama dua bulan berturut-turut atau lebih.



f.



Tidak dievaluasi 1)



Pasien yang belum mempunyai hasil akhir pengobatan, misalnya pasien TB RO yang mendapatkan perpanjangan waktu pengobatan



2)



Pasien yang tidak diketahui hasil akhir pengobatan, misalnya pasien TB RO yang pindah ke Fasyankes rujukan TB RO atau Fasyankes TB RO yang berada di wilayah lain dan hasil akhir pengobatannya tidak diperoleh oleh Fasyankes yang merujuk.



Evaluasi Lanjutan Setelah Pasien Sembuh atau Pengobatan Lengkap Tujuan utama pengobatan pasien TB RO adalah untuk memastikan kesembuhan pasien dan mencegah kekambuhan. Untuk itu perlu dilakukan kegiatan surveilens berupa pemantauan terhadap efektifitas paduan OAT yang digunakan. Semua Fasyankes rujukan TB RO dan Fasyankes TB RO wajib melakukan evaluasi paska pengobatan terhadap pasien TB RO yang telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap sebagai bagian dari tata laksana pasien. Upaya tersebut dilakukan melalui beberapa langkah di bawah ini:



a. Fasyankes rujukan TB RO atau Fasyankes TB ROmembuat jadual kunjungan untuk evaluasi paska pengobatan.



b. Evaluasi dilakukan setiap 6 bulan sekali selama 2 tahun kecuali timbul gejala dan keluhan TB seperti batuk, produksi dahak,



demam, penurunan berat



badan dan tidak ada nafsu makan maka pasien segera datang ke Fasyankes rujukan TB RO atau Fasyankes TB RO.



c. Memberikan edukasi kepada pasien untuk mengikuti jadual kunjungan paska pengobatanyang telah ditentukan.



d. Pemeriksaan yang dilakukan adalah anamnesis lengkap, pemeriksaan fisis, pemeriksaan dahak, biakan dan foto toraks.



e. Pemeriksaan dilakukan untuk memastikan terjadinya kekambuhan. Jika terjadi kekambuhan, tatalaksana pasien sebagai Terduga TB RO.



f.



Memberikan edukasi kepada pasien untuk menjalankan PHBS seperti olah raga teratur, tidak merokok, konsumsi makanan bergizi, istirahat dan tidak mengkonsumsi alkohol.



g. Melakukan pencatatan dalam formulir TB 01 MDR dan TB 03 MDR.



95



2. Pengobatan TB Anak PrinsippengobatanTBpadaanaksamadenganTBdewasa. Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak, obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, pemberian gizi yang adekuat, mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.



1. TB Sensitif Tabel 18.Paduan OAT dan lama pengobatan TB padaanak Kategori Diagnostik TB Paru BTA negative



Fase Intensif



Fase Lanjutan



2HRZ



4HR



2HRZE



4HR



2HRZE



10 HR



TB Kelenjar Efusi pleura TB TB Paru BTA positif TB paru dengan kerusakan luas TB ekstraparu (selain TB Meningitis dan TB Tulang/sendi) TB Tulang/sendi TB Millier TB Meningitis



Tabel 19. Dosis OAT untuk anak



Nama Obat



Dosis harian



Dosis



(mg/kgBB/



maksimal



hari)



(mg /hari)



Isoniazid (H)



10 (7-15)



300



Rifampisin (R)



15 (10-20)



600



Pirazinamid (Z)



35 (30-40)



-



Etambutol (E)



20 (15–25)



-



 Kombinasi dosis tetap (KDT) atau Fixed Dose Combination (FDC) Untuk mempermudah pemberian OAT dan meningkatkan keteraturan minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut. Pada kondisi tertentu Etambutol dapat ditambahkan bersamaan dengan KDT yang diberikan.



96



Tabel20. Dosis OAT KDT pada TB anak Berat badan



Fase intensif (2 bulan)



Fase lanjutan (4 bulan)



(kg)



RHZ (75/50/150)



(RH (75/50)



5–7



1 tablet



1 tablet



8 – 11



2 tablet



2 tablet



12 – 16



3 tablet



3 tablet



17 – 22



4 tablet



4 tablet



23 – 30



5 tablet



5 tablet



>30



OAT dewasa



Keterangan: R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid



1) Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk KDT dan sebaiknya dirujuk ke RS



2) Apabila ada kenaikan BB maka dosis atau jumlah tablet yang diberikan disesuaikan dengan berat badan saat itu



3) Untuk anak dengan obesitas, dosis KDT berdasarkan Berat Badan ideal (sesuai umur). Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran



4) OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh digerus)



5) Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable).



6) Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan 7) Bila INH dikombinasi dengan Rifampisin, dosis INH tidak boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari



8) Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer  Kortikosteroid Kortikosteroiddiberikan pada kondisi : a. TB meningitis b. sumbatanjalannapasakibatTBkelenjar (endobronkhial TB) c. perikarditisTB d. TBmilierdengangangguannapasyangberat, e. efusipleura TB f.



TBabdomendengan asites.



Obat yang sering digunakan adalah prednison dengan dosis 2mg/kg/hari, sampai 4 mg/kg/hari



pada



kasus



sakit



berat,



dengan



dosis



maksimal



97



60mg/hariselama4minggu.Tappering-off



dilakukan



secarabertahapsetelah



2



minggupemberian kecuali pada TB meningitis pemberian selama 4 minggu sebelum tappering-off .  Piridoksin Isoniazid dapat menyebabkan defisiensi piridoksin simptomatik, terutama padaanak denganmalnutrisiberatdananakdenganHIVyangmendapatkananti



retroviral



(ART)Suplementasipiridoksin(5-10mg/hari)direkomendasikanpadaHIV



therapy



positif



dan



malnutrisiberat.  Nutrisi Statusgizipada anak dengan TB akan mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB. Malnutrisiberat meningkatkan risiko kematian pada anak dengan TB. Penilaian status gizi harus dilakukan



secara



rutin



selama



anak



dalam



pengobatan.



Penilaian



dilakukan



denganmengukur berat,tinggi,lingkarlenganatasataupengamatangejaladantandamalnutrisisepertiedema atau musclewasting. Pemberian



makanan



tambahan



sebaiknya



diberikan



pengobatan.Jikatidakmemungkinkandapatdiberikansuplementasinutrisi



sampai



selama anak



stabil dan TB dapat diatasi. Air susu ibu tetap diberikan jika anak masih dalam masa menyusu.  Pemantauan dan Hasil Evaluasi Pengobatan TB anak 1. Pemantauan pengobatan pasien TB Anak Pasien TB anak harus dipastikan minum obat setiap hari secara teratur oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). Orang tua merupakan PMO terbaik untuk anak. Pasien TB anak sebaiknya dipantau setiap 2 minggu selama fase intensif, dan sekali sebulan pada fase lanjutan. Pada setiap kunjungan dievaluasi respon pengobatan, kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping obat. Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis membaik (demam menghilang dan batuk berkurang), nafsu makan meningkat dan berat badan meningkat. Jika respon pengobatan tidak membaik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan dan pasien dirujuk



ke



sarana



yang



kemungkinanresistansiobat,komplikasi,



lebih



lengkap



komorbiditas,



untuk atau



menilai adanya



penyakitparulain.Pada pasien TB anak dengan hasil BTA positif pada awal pengobatan, pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang pada akhir bulan ke-2, ke-5 danke-6. Perbaikan radiologis akan terlihat dalamjangka waktu yang lama sehingga tidak perlu dilakukan Foto toraks untuk pemantauan pengobatan, kecuali pada TB milier setelah



98



pengobatan 1 bulandanefusi pleura setelah pengobatan 2 – 4minggu. Demikian pun pemeriksaan uji tuberkulin karena uji tuberkulin yang positif akan tetap positif. Dosis OAT disesuaikan dengan penambahan beratbadan. Pemberian OAT dihentikan setelah pengobatan lengkap, dengan melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto toraks (pada TB milier, TB dengan kavitas, efusi pleura). Meskipun gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan



dan



pasien



dinyatakan



selesai.Kepatuhan



minum



obat



dicatat



menggunakan kartu pemantauanpengobatan. 2. Hasil akhir pengobatan pasien TB Anak Tabel 21. Hasil Akhir Pengobatan Hasil pengobatan Sembuh



Definisi Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan dan pada salah satu pemeriksaan sebelumnya menjadi negatif.



Pengobatan



Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara



lengkap



lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan.



Gagal



Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan atau kapan saja apabila selama dalam pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang menunjukkan adanya resistensi OAT



Meninggal



Pasien TB yang meninggal oleh sebab apa pun sebelum memulai atau sedang dalam pengobatan.



Putus berobat



Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang



(loss to follow-up)



pengobatannya terputus selama 2 bulan terus menerus atau lebih.



Tidak dievaluasi



Pasien



TB



yang



tidak



diketahui



hasil



akhir



pengobatannya. Termasuk dalam kriteria ini adalah ”pasien pindah (transfer out)” ke kabupaten/kota lain dimana hasil akhir pengobatannya tidak diketahui oleh kabupaten/kota yang ditinggalkan.



99



 Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab kegagalan terapi dan meningkatkan risiko terjadinya TB resistan obat. 1. Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan di fase lanjutan dan menunjukkan gejala TB, ulangi pengobatan dari awal. 2. Jika anak tidak minum obat 2.2 mg/dl),



hentikan



semua



obat



dan



perhitungan GFR.



119



lakukan



No



Efek samping



Kemungkinan



Tindakan



OAT Penyebab



- Jika GFR atau klirens kreatinin (creatinin clearance) < 30 ml/menit atau pasien mendapat hemodialisa maka lakukan penyesuaian dosis OAT sesuai tabel penyesuaian dosis.



- Bila setelah penyesuaian dosis kadar kreatinin tetap tinggi maka hentikan pemberian kanamisin, pemberian kapreomisin mungkin membantu. 3



Perdarahan



PAS, Eto, H,Z



lambung



- Hentikan perdarahan lambung. - Hentikan pengobatan, Rujuk ke Fasyankes TB RO/Fasyankes Rujukan TB RO



- Hentikan pemberian OAT sampai7 hari setelah perdarahan lambung terkendali.



- Dapat



dipertimbangkan



penyebab



dengan



untuk



OAT



lain



mengganti selama



OAT



standar



pengobatan TB RO dapat terpenuhi. 4



Gangguan



Cm, Km



Elektrolit berat



- Hentikan pengobatan, Rujuk ke Fasyankes TB RO/Fasyankes Rujukan TB RO



(Bartter like



- Merupakan gangguan elektrolit berat yang ditandai



syndrome)



dengan hipokalemia, hipokalsemia dan hipomagnesemia dan alkalosis hipoklorik metabolik secara bersamaan dan mendadak.



- Disebabkan oleh gangguan fungsi tubulus ginjal akibat pengaruh nefrotoksik OAT suntikan.



- Lakukan penggantian elektrolit sesuai pedoman. - Berikan amilorid atau spironolakton untuk mengurangi sekresi elektrolit. 5



Gangguan pendengaran



Km, Cm



- Rujuk ke fasyankes Fasyankes TB RO/Fasyankes Rujukan TB RO



- Periksa data baseline untuk memastikan bahwa gangguan pendengaran disebabkan oleh OAT atau sebagai perburukan gangguan pendengaran yang sudah ada sebelumnya.



120



No



Efek samping



Kemungkinan



Tindakan



OAT Penyebab



- Rujuk



pasien



segera



ke



Fasyankes



TB



RO/Fasyankes Rujukan TB RO untuk diperiksa penyebabnya dan di konsulkan kepada TAK.



- Apabila penanganannya terlambat maka gangguan pendengaran sampai dengan tuli dapat menetap.



- Evaluasi kehilangan pendengaran dan singkirkan sebab lain seperti infeksi telinga, sumbatan dalam telinga, trauma, dll.



- Periksa kembali pasien setiap minggu atau jika pendengaran



semakin



buruk



selama



beberapa



minggu berikutnya hentikan kanamisin. 6



Gangguan



E



penglihatan



- Rujuk ke Fasyankes TB RO/Fasyankes Rujukan TB RO



- Gangguan penglihatan berupa kesulitan membedakan warna merah dan hijau.Meskipun gejala ringan, etambutol harus dihentikan segera. Obat lain diteruskan sambil dirujuk ke fasyankes Rujukan/sub rujukan.



- TAK akan meminta rekomendasi kepada ahli mata jika gejala tetap terjadi meskipun etambutol sudah dihentikan.



- Aminoglikosida juga dapat menyebabkan gangguan penglihatan yang reversibel: silau pada cahaya yang terang dan kesulitan melihat. 7



Gangguan psikotik (Suicidal tendency)



Cs



Fasyankes Satelit/ Fasyankes TB RO :



- Jangan membiarkan pasien sendirian, apabila akan dirujuk ke fasyankes Rujukan harus didampingi.



- Hentikan sementara OAT yang dicurigai sebagai penyebab gejala psikotik, sebelum pasien dirujuk ke fasyankes Rujukan TB RO. Berikan haloperidol 5 mg p.o Fasyankes Rujukan TB RO:



121



No



Efek samping



Kemungkinan



Tindakan



OAT Penyebab



- Pasien harus ditangani oleh TAK melibatkan dokter ahli jiwa, bila ada keinginan untuk bunuh diri atau membunuh, hentikan sikloserin selama 1-4 minggu sampai gejala terkendali dengan obat-obat antipsikotik.



- Berikan pengobatan anti-psikotik dan konseling. - Bila gejala psikotik telah mereda, mulai kembali sikloserin dalam dosis uji.



- Berikan piridoksin sampai 200 mg/ hari. - Bila kondisi teratasi lanjutkan pengobatan TB RO bersamaan dengan obat anti-psikotik. 8



Kejang



Cs, Lfx



- Hentikan sementara pemberian OAT yang dicurigai sebagai penyebab kejang.



- Berikan obat anti kejang, misalnya fenitoin 3-5 mg/ hari/kg BB atau berikan diazepam iv 10 mg (bolus perlahan) serta bila perlu naikkan dosis vitamin B6 s/d 200 mg/ hari. Setelah stabil segera rujuk ke Fasyankes TB RO/Fasyankes Rujukan TB RO



- Penanganan pasien dengan kejang harus di bawah pengamatan dan penilaian TAK di Fasyankes TB RO/Fasyankes Rujukan TB RO.



- Upayakan untuk mencari tahu riwayat atau kemungkinan penyebab kejang lainnya (meningitis, ensefalitis, pemakaian obat, alkohol atau trauma kepala).



- Apabila kejang terjadi pertama kali maka lanjutkan pengobatan TB RO tanpa pemberian sikloserin selama 1-2 minggu. Setelah itu sikloserin dapat dberikan kembali dengan dosis uji /ramping.



- Piridoksin (vit B6) dapat diberikan sampai dengan 200 mg per hari.



122



No



Efek samping



Kemungkinan



Tindakan



OAT Penyebab



- Berikan profilaksis kejang yaitu fenitoin 3-5 mg/kg/hari. Jika menggunakan fenitoin dan pirazinamid bersama-sama, pantau fungsi hati, hentikan pirazinamid jika hasil faal hati abnormal.



- Pengobatan profilaksis kejang dapat dilanjutkan sampai pengobatan TB RO selesai atau lengkap. 9



Tendinitis



Lfx, Mfx



- Singkirkan penyebab lain seperti gout, arthritis rematoid, skleroderma sistemik dan trauma.



- Untuk meringankan gejala maka istirahatkan daerah yang terkena, berikan termoterapi panas/dingin dan berikan OAINS (aspirin, ibuprofen).



- Suntikan kortikosteroid pada daerah yang meradang akan membantu.



- Bila sampai terjadi ruptur tendon maka dilakukan tindakan pembedahan. 10



Syok Anafilaktik



Km, Cm



- Hentikan pengobatan. - Tangani Syok anafilaktik. - Berikan pengobatan segera seperti tersebut di bawah ini, sambil dirujuk ke fasyankes Rujukan/sub rujukan: 1. Adrenalin 0,2 – 0,5 ml, 1:1000 SC, ulangi jika perlu. 2. Pasang infus cairan IV untuk jika perlu. 3. Beri



kortikosteroid



yang



tersedia



misalnya



hidrokortison 100 mg im atau deksametason 10 mg iv, ulangi jika perlu.



- Segera



rujuk



pasien



ke



Fasyankes



TB



RO/Fasyankes Rujukan TB RO.



11



Reaksi alergi



Semua OAT



- Hentikan pengobatan.



toksik



yang digunakan



- Berikan segera pengobatan seperti di bawah ini,



menyeluruh dan



sambil



dirujuk



ke



fasyankes



Fasyankes



SJS



123



TB



No



Efek samping



Kemungkinan



Tindakan



OAT Penyebab



RO/Fasyankes Rujukan TB RO, segera: 1. Berikan CTM untuk gatal-gatal 2. Berikan parasetamol bila demam. 3. Berikan



prednisolon 60 mg per hari atau



suntikan deksametason 4 mg 3 kali sehari jika tidak ada prednisolon 4. Ranitidin 150 mg 2x sehari atau 300 mg pada



malam hari



- Di Fasyankes TB RO/Fasyankes Rujukan TB RO: 1. Berikan antibiotik jika ada tanda-tanda infeksi



kulit. 2. Lanjutkan semua pengobatan alergi sampai ada



perbaikan, tappering off



kortikosteroid jika



digunakan sampai 2 minggu. 3. Pengobatan



jangan



terlalu



cepat



dimulai



kembali. Tunggu sampai perbaikan klinis.TAK merancang tanpa



paduan



pengobatan



mengikutsertakan



OAT



selanjutnya



yang



diduga



sebagai penyebab.



- Pengobatan dimulai secara bertahap dengan dosis terbagi terutama bila dicurigai efek samping terkait dengan dosis obat. Dosis total perhari tidak boleh dikurangi (harus sesuai berat badan) kecuali bila ada data bioavaibilitas obat (terapeutic drug monitoring). Dosis yang digunakan disebut dosis uji (tabel 3) yang diberikan selama 15 hari. 12



Hipotiroid



PAS, Eto



- Gejala dan tandanya adalah kulit kering, kelelahan, kelemahan dan tidak tahan terhadap dingin.



- Penatalaksanaan dilakukan di fasyankes Rujukan oleh TAK bersama seorang ahli endokrinologi atau ahli penyakit dalam.



- Diagnosis



hipotiroid



ditegakkan



berdasar



peningkatan kadar TSH (kadar normal < 10 mU/l).



124



No



Efek samping



Kemungkinan



Tindakan



OAT Penyebab



- Ahli endokrin memberikan rekomendasi pengobatan dengan levotiroksin/ natiroksin serta evaluasinya.



Pelaporan Kejadian Efek Samping Program TB Nasional saat ini telah menggunakan obat TB yang baru seperti Bedaquiline, Clofazimine dan linezolid sebagai bagian paduan obat yang akan digunakan untuk mengobati pasien TB Pre/XDR. Dikarenakan data keamanan obat TB yang baru tersebut masih sedikit maka WHO mensyaratkan penerapan “Active Drug Safety Monitoring and Management (aDSM) atau monitoring dan manajemen keamanan obat secara aktif. Penerapan aDSM tersebut digunakan untuk : a. pasien MDR dan XDR yang mendapatkan obat TB baru (Bdq,Cfz,Lzd) b. Pasien MDR yang mendapatkan pengobatan paduan/rejimen obat baru seperti “Shorter Regimen” c. Semua pasien XDR yang mendapatkan pengobatan obat TB lini kedua, karena pasien XDR mendapatkan obat yang bukan untuk pengobatan TB atau “repurposed drug”. Dalam penerapannya terdapat 3 tingkatan aDSM yaitu : a. Core package : Monitoring dan pelaporan hanya untuk Serious Adverse Event (SAEs) atau Kejadian Tidak Diinginkan Serius (KTD serius). b. Intermediate package: Monitoring dan pelaporan SAEs dan adverse event yang diinginkan. c. Advanced package : Monitoring dan pelaporan semua Adverse Events Tabel 27. Istilah dan definisi dalam Farmakovigilans (PV) untuk Paduan OAT RO Istilah



Definisi



Kejadian Tidak



Setiap kejadian medis yang tak diinginkan yang terjadi pada pasien



Diinginkan (KTD)



atau subjek uji klinis yang mendapatkan pengobatan, termasuk kejadian yang belum tentu disebabkan oleh atau berhubungan dengan produk tersebut.



Adverse Reaction



Setiap kejadian yang tak diinginkan dan respon yang tidak



(AR)



diinginkan untuk produk obat yang diteliti terkait dengan setiap dosis yang diberikan.



Unexpected



Reaksi efek samping obat, yang sifat atau keparahannya tidak



Adverse Reaction



konsisten dengan informasi tentang produk obat yang bersangkutan



(UAR)



yang telah terdapat dalam ringkasan karakteristik produk (atau



125



brosur) untuk produk tersebut. KTD Serius atau



Secara berurutan; setiap peristiwa yang merugikan, reaksi yang



Serious Adverse



merugikan atau reaksi yang merugikan tak terduga yang



Reaction (SAR)



menyebabkan :



atau Suspected



 Kematian



Unexpected



 Mengancam kehidupan



Serious Adverse



 Memerlukan rawat inap atau perpanjangan rawat inap yang



Reaction



ada



(SUSAR)



 Cacat persisten atau signifikan atau menyebabkan ketidakmampuan



 Bawaan anomali atau cacat lahir



Tabel 28.Klasifikasi hubungan kausal paduan OAT RO Hubungan



Deskripsi



Unassessable



Tidak terdapat cukup data untuk membuat penilaian



Unclassifiable



Tidak terdapat cukup data untuk membangun/menentukan suatu hubungan



Unlikely



Terdapat (hanya) sedikit bukti yang menunjukkan ada hubungan sebab-akibat (misalnya peristiwa itu tidak terjadi dalam waktu yang wajar setelah pemberian obat percobaan). Terdapat penjelasan lain yang masuk akal untuk kejadian tersebut (misalnya kondisi klinis pasien, pengobatan lain yang bersamaan).



Possible



Terdapat beberapa bukti yang menunjukkan hubungan sebab akibat (misalnya karena peristiwa itu terjadi dalam waktu yang wajar setelah pemberian obat percobaan). Namun, pengaruh faktor lain mungkin berkontribusi pada event (misalnya kondisi klinis pasien, pengobatan lain yang bersamaan).



Probable



Terdapat bukti yang menunjukkan hubungan sebab akibat dan pengaruh faktor-faktor lain tidak mungkin.



Certain



Terdapat bukti jelas yang menunjukkan hubungan sebab akibat dan kontribusi faktor lain yang mungkin dapat dikesampingkan.



6. Tatalaksana kasus mangkir



126



Durasi pengobatan TB maupun TB RO yang relatif lama dan efek samping OAT yang cukup banyak kemungkinan dapat menyebabkan pasien mangkir berobat. Pada awal pengobatan, sulit ditentukan kemungkinan pasien mengalami kesulitan dalam menyelesaikan pengobatannya, namun ada beberapa kondisi yang dapat dinilai pada pasien TB khususnya pada pasien TB RO. Salah satu kondisi yang harus diperhatikan adalah jika pasien memiliki riwayat sering mangkir pada pengobatan TB terdahulu. Kondisi lain yang sering menyebabkan pasien mangkir antara lain adalah pekerjaan pasien, kondisi sosial ekonomi yang rendah, tempat tinggal yang jauh dari fasyankes, sulitnya sarana transportasi, dan permasalahan lain yang diketahui saat dilakukan kunjungan rumah. Upaya untuk mencegah dan meminimalkan terjadinya kasus mangkir perlu dilakukan, termasuk melakukan upaya pelacakan kasus mangkir. Dalam hal ini perlu adanya koordinasi antara fasyankes dan Dinas Kesehatan setempat.



127



Tabel 29.Tatalaksana kasus mangkir pada pasien TB Sensitif



Tindakan pada pasien yang putus berobat selama kurang dari 1 bulan



 Dilakukan pelacakan pasien  Diskusikan dengan pasien untuk mencari faktor penyebab putus berobat  Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh dosis pengobatan terpenuhi * Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1 – 2 bulan Tindakan pertama



 Lacak pasien  Diskusikan dengan pasien untuk



Apabila hasilnya BTA negatif atau pada awal pengobatan adalah pasien TB



Tindakan kedua Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh dosis pengobatan terpenuhi*



ekstra paru



mencari faktor



Total dosis pengobatan



Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh



penyebab putus



sebelumnya ≤ 5 bulan



dosis pengobatan terpenuhi*



 Kategori 1 :



berobat



 Periksa dahak SPS dan melanjutkan pengobatan



3.



Apabila salah satu atau lebih hasilnya BTA positif



Total dosis pengobatan 4. sebelumnya ≥ 5 bulan



Lakukan pemeriksaan tes cepat Berikan Kategori 2 mulai dari awal **



 Kategori 2 :



sementara



Lakukan pemeriksaan tes cepat atau dirujuk ke RS



menunggu hasilnya



Pusat Rujukan TB MDR *** Tindakan pada pasien yang putus berobat 2 bulan atau lebih (Loss to follow-up)



128



Keputusan pengobatan selanjutnya ditetapkan oleh dokter tergantung pada kondisi



 Lacak pasien  Diskusikan dengan pasien untuk mencari faktor



klinis pasien, apabila: Apabila hasilnya BTA negatif atau pada awal pengobatan adalah pasien TB ekstra paru



3. sudah ada perbaikan nyata: hentikan pengobatan dan pasien tetap diobservasi. Apabila kemudian terjadi perburukan kondisi klinis, pasien diminta untuk periksa kembali atau



penyebab putus



4. belum ada perbaikan nyata: lanjutkanpengobatan dosis yang tersisa sampai



berobat



seluruh dosis pengobatan terpenuhi *



 Periksa dahak SPS



Kategori 1



dan atau tes cepat



Dosis pengobatan sebelumnya < 1 bln Berikan pengobatan Kat. 1 mulai dari awal



 Hentikan pengobatan



Apabila salah satu atau lebih hasilnya



sementara



BTA positif dan tidak ada bukti resistensi



menunggu hasilnya



Dosis pengobatan sebelumnya > 1 bln Berikan pengobatan Kat. 2 mulai dari awal Kategori 2 Dosis pengobatan sebelumnya < 1 bln Berikan pengobatan Kat. 2 mulai dari awal Dosis pengobatan sebelumnya > 1 bln Dirujuk ke layanan spesialistik untuk pemeriksaan lebih lanjut



Apabila salah satu atau lebih hasilnya BTA positif dan ada bukti resistensi



Kategori 1 maupun Kategori 2 Dirujukke RS pusat rujukan TB MDR



(dimodifikasi dari : Treatment of Tuberculosis, Guidelines for National Programme, WHO, 2003)



129



Tatacara pelacakan kasus mangkir pada pasien TB-RO adalah sbb: a.



Pelacakan Pasien Mangkir dari RS Rujukan TB MDR Dalam penanganan pasien TB Resistan Obat yang mangkir dari pengobatan, petugas kesehatan Poli TB MDRRS Rujukan perlu mengambil langkah segera, antara lain: 1)



Menghubungi pasien melalui telepon atau sms dalam waktu 24 jam sejak mangkir. Informasi mengenai nomor telepon dapat dilihat pada kartu pengobatan pasien (TB.01 MDR).



2)



Cari tahu alasan pasien mangkir dan tawarkan solusi jika masalah ini terjadi terusmenerus. Ingatkan pasien dengan cara yang baik, bahwa mereka sedapat mungkin tidak melewatkan menelan obat, karena dikhawatirkan akan menyebabkan peningkatan resistensi, penyebaran TB MDR dan kematian. Kurangnya kepatuhan pasien dalam pengobatan TB MDR berakibat lebih serius dibandingkan dengan kurangnya kepatuhan pengobatan TB bukan MDR, karena obat TB MDR merupakan kesempatan terakhir mereka untuk sembuh.



3)



Jika pasien tidak memiliki nomor telepon yang dapat dihubungi atau tidak terlacak, maka mintalah bantuan dari Puskesmas yang terdekat dengan tempat tinggal pasien untuk melacak ke tempat tinggal pasien (kunjungan rumah). Dalam perencanaan kunjungan rumah, petugas harus memberikan informasi mengenai nama pasien, usia, jenis kelamin, alamat tempat tinggal pasien, nomor telepon (jika ada), dan nama anggota keluarga serumah yang dapat dihubungi. Informasi ini dapat diperoleh dari TB.01 MDR atau formulir data dasar pasien.



4)



Umpan balik mengenai hasil pelacakan pasien mangkir ini akan diberikan oleh Puskesmas wilayah tempat tinggal pasien dalam waktu 24 jam sejak laporan tersebut diberikan kepada Petugas Puskesmas tersebut. Bila dalam waktu 24 jam, umpan balik belum diberikan oleh petugas Puskesmas ke Dinkes Kabupaten/ Kota setempat atau Petugas dari Poli TB MDR RS Rujukan dapat menghubungi Petugas Puskesmas tersebut untuk menanyakan hasil pelacakan.



Setelah Petugas Puskesmas mendapatkan laporan mengenai adanya pasien TB Resistan Obat mangkir di wilayahnya, maka petugas Puskesmas tersebut perlu mengambil langkah segera, sebagai berikut: 1)



Mencatat semua informasi yang diberikan oleh petugas Poli TB MDR RS Rujukan.



2)



Merencanakan dan melakukan kunjungan rumah.



3)



Pada saat melakukan kunjungan rumah, jika pasien dapat ditemui, tanyakan kepada pasien dan keluarganya, mengenai penyebab dari mangkirnya pasien. Lakukan pendekatan kepada pasien dan keluarga agar mereka menyadari kondisi kesehatan



pasien



dan



permasalahannya.



Berikan



KIE



sesuai



dengan



130



permasalahan yang dihadapi oleh pasien. Usahakan untuk mencari solusi yang disepakati oleh pasien dan keluarga, sehingga pasien dapat melanjutkan kembali pengobatannya. Pastikan ketika berbicara kita berada didalam rumah, untuk menjaga kerahasiaan pasien. 4)



Jika pasien tidak ada di rumah, tanyakan kepada keluarga atau tetangga, kemana pasien pergi dan mengapa pasien tidak datang untuk minum obat pada hari itu. Berhati-hatilah untuk tetap menjaga kerahasiaan pasien saat bertanya dengan tetangga.



5)



Jika diperlukan, hubungi atau kunjungi orang lain yang dapat dihubungi, yang tercantum pada kartu pengobatan pasien (TB.01 MDR) atau data dasar pasien. Berhati-hatilah mengenai kerahasiaan pasien. Orang yang dapat dihubungi ini mungkin tahu atau mungkin tidak tahu mengenai kondisi penyakit pasien.



Catatan: Untuk kepentingan kesehatan masyarakat, petugas perlu menjadikan wilayah tempat tinggal pasien sebagai prioritas sasaran penyuluhan tanpa perlu membuka identitas pasien.



b.



Pelacakan Pasien Mangkir dari Fasyankes Satelit TB MDR Dalam penanganan pasien TB Resistan Obat yang mangkir dari pengobatan dari Fasyankes Satelit TB MDR, petugas kesehatan Fasyankes Satelit TB MDR perlu mengambil langkah-langkah yang sama seperti proses pelacakan pasien TB Resistan Obat mangkir yang berobat di RS Rujukan/ Sub Rujukan TB MDR.







Jika pasien tidak terlacak, lakukan penelusuran terus-menerus hingga pasien TB Resistan Obat mangkir dapat ditemukan. Setelah terlacak, petugas harus berkomunikasi untuk mencari permasalahan dan memberikan solusi. Apabila pasien TB Resistan Obat tetap mangkir dan tidak memenuhi perjanjian untuk melanjutkan pengobatan, maka pasien didatangi kembali dan didampingi untuk dirujuk ke RS Rujukan/ Sub Rujukan TB MDR.







Bila setelah dilacak pasien tidak juga ditemukan dan petugas telah merasa tidak ada harapan dalam menemukan pasien TB Resistan Obat mangkir tersebut, maka petugas segera menginformasikan ke RS Rujukan/ Sub Rujukan TB MDR.







Setiap upaya yang dilakukan oleh RS Rujukan/ Sub Rujukan TB MDR atau Fasyankes Satelit TB MDR yang berkaitan dengan penelusuran pasien mangkir harus terdokumentasi, seperti kapan menghubungi melalui telepon, SMS, kunjungan rumah, diskusi dengan pasien, keluarga, dan lain-lain.



131



BAB VI KOLABORASI TB HIV Epidemi HIV menunjukkan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemi TB yang berakibat meningkatnya jumlah penderita TB di tengah masyarakat. Pandemi ini merupakan tantangan terbesar dalam pengendalian TB dan banyak bukti menunjukkan bahwa pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Sebaliknya TB merupakan penyebab utama kematian pada ODHA.



1. BATASAN Kolaborasi TB-HIV adalah upaya mengintegrasikan kegiatan kedua program secara fungsional, dalam pengendalian kedua penyakit, baik pada aspek manajemen kegiatan program maupun penyediaan pelayanan bagi pasien, sehingga mampu mengurangi beban kedua penyakit tersebut secara efektif dan efisien.



Tujuan umum: mengurangi beban TB dan HIV pada masyarakat akibat kedua penyakit ini.



Tujuan khusus dari pelaksanaan kolaborasi TB-HIV: 



Membentuk mekanisme kolaborasi antara program TB dan HIV/AIDS







Menurunkan beban TB pada ODHA







Menurunkan beban HIV pada pasien TB



2. STRATEGI KOLABORASI TB-HIV Strategi pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia, meliputi kegiatan sebagai berikut: A. Membentuk mekanisme kolaborasi 



Membentuk kelompok kerja







Melaksanakan surveilans HIV pada pasien TB







Melaksanakan perencanaan bersama TB-HIV







Melaksanakan monitoring dan evaluasi



B. Menurunkan beban TB pada ODHA 



Mengintensifkan penemuan kasus TB dan pengobatannya







Menjamin pengendalian infeksi TB pada layanan kesehatan dan tempat orang terkumpul (rutan/lapas, panti rehabilitasi napza)



C. Menurunkan beban HIV pada pasien TB 



Menyediakan konseling dan tes HIV







Pencegahan HIV dan IMS



132







Pengobatan preventif dengan kotrimoksasol dan infeksi oportunistik lainnya







Perawatan, dukungan dan pengobatan ARV untuk HIV/AIDS



3. KEGIATAN KOLABORASI TB-HIV Membentuk Mekanisme Kolaborasi 



Membentuk kelompok kerja (POKJA) TB-HIV di semua lini Kelompok kerja ini bertugas melaksanakan koordinasi dan kolaborasi kegiatan TB-HIV.







Pelaksanaan surveilans untuk mengetahui prevalensi HIV di antara pasien TB



Metoda surveilans dilakukan sebagai berikut: 1. Di Wilayah epidemi HIV meluas : tes HIV rutin pada pasien tuberkulosis dan Survei sentinel atau periodik (khusus) untuk mengkalibrasi data dari testing HIV rutin. 2. Di Wilayah epidemi HIV Terkonsentrasi : Data dari tes HIV rutin pada pasien tuberkulosis. atau Survei sentinel atau periodik (khusus) didaerah pelaksanaan dimana tingkat HIV tidak diketahui (data rutin belum ada). Survei ini dapat dipakai untuk mengkalibrasi data dari testing HIV rutin. 3. Di Wilayah epidemi HIV rendah : Survei sentinel atau periodik (khusus) 



Melaksanakan perencanaan bersama TB-HIV Perencanaan bersama TB-HIV dilaksanakan dalam bidang bidang sebagai berikut:







-



Mobilisasi sumber daya



-



Membangun kapasitas, termasuk pelatihan



-



Komunikasi TB-HIV: advokasi, komunikasi program dan mobilisasi sosial



-



Meningkatkan keterlibatan masyarakat



-



Penelitian operasional



Monitoring dan Evaluasi kegiatan kolaborasi TB-HIV Dalam melaksanakan monitoring dan evaluasi kegiatan kolaborasi, Program AIDS dan TB harus menyepakati seperangkat indikator bersama dan piranti pengumpul data untuk menilai kualitas, efektifitas, cakupan dan layanan kegiatan kerjasama TBHIV. Informasi pasien TB-HIV harus dapat diakses oleh petugas TB maupun petugas HIV untuk kepentingan perawatan, dukungan dan pengobatan pasien.



Menurunkan beban TB pada ODHA 



Mengintensifkan penemuan kasus TB



133



Skrining TB (paru dan ekstra paru) perlu dilakukan secara rutin untuk setiap ODHA. Skrining TB juga harus dilakukan pada kontak serumah, pada kelompok dengan resiko HIV dan pada kondisi khusus seperti di rutan/lapas. Sebelum memulai ART, semua ODHA harus dipastikan status TBnya. Pengobatan pencegahan INH (IPT = Isoniazid Preventive Therapy) saat ini belum dapat direkomendasikan. 



Menjamin pengendalian infeksi TB pada layanan kesehatan dan tempat orang terkumpul (Rutan/Lapas, panti rehabilitasi napza) Pengendalian infeksi TB pada tempat-tempat tersebut harus menjadi perhatian bagi petugas kesehatan untuk meminimalkan risiko penularan TB. Upaya khusus ini harus dilakukan secara bersama dengan ekspansi kolaborasi TB-HIV.



Menurunkan beban HIV pada pasien TB 



Menyediakan pelayanan Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS) untuk pasien TB Sebagian besar orang yang terinfeksi HIV tidak mengetahui status HIVnya dan mereka akan mencari pengobatan ke pelayanan kesehatan umum. KTS merupakan pintu masuk yang penting bagi pasien TB untuk mendapatkan pelayanan HIV. Test HIV harus mendapatkan persetujuan dari pasien, melalui konseling pra dan pasca tes.







Pencegahan HIV dan IMS Pelayanan DOTS di rumah sakit dan puskesmas harus melakukan KIE tentang HIV selama masa pengobatan TB, dan pada saat rujukan jikalayanan HIV tersebut tidak tersedia di puskesmas. KIE mengacu pada pelayanan pencegahan HIV (IMS, pengurangan dampak buruk napza suntik, PPIKA, dalam bentuk konseling.







Pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol (PPK) dan infeksi oportunistik lainnya Program



TB



dan



HIV/AIDS



harus



menyediakan



pengobatan



pencegahanKotrimoksasol (PPK) bagi ODHA yang memenuhi syarat serta menderitaTB aktif. Pada wilayah (propinsi dan kab/kota) dengan epidemi HIV yangmeluas, PPK sebaiknya disediakan di Fasyankes KTS/PDP, semua pasien TBHIVharus mendapatkan PPK di unit tersebut 



Perawatan, dukungan dan pengobatan HIV Akses kepada layanan kesehatan bagi ODHA merupakan hak dasarsetiap orang yang meliputi layanan AIDS secara komprehensif danberkesinambungan. Layanan komprehesif



tersebut



meliputi:



manajemenklinis



(profilaksis,



diagnosis



dini,



pengobatan yang rasional dantatalaksana infeksi oportunistik), asuhan keperawatan



134



(dukungan higienedan nutrisi), perawatan paliatif, perawatan berbasis rumah, dukungankonseling dan sosial dan sistem rujukan pasien. Pemberian ART danOAT pada pasien TB-HIV harus sesuai dengan pedoman yang berlaku.



135



BAB VII PENUTUP Pedoman Pelayanan TB dengan strategi DOTS merupakan bahan rujukan bagi pimpinan rumah sakit dan Tim DOTS dalam rangka pelayanan TB. Penyusunan pedoman ini telah melibatkan Pihak manajemen, klinisi, farmasi serta unit-unit terkait di lingkungan RSUD Dr. H. Chasan Boesoirie Ternate.



Pedoman pelayanan ini senantiasa akan disesuaikan dengan perkembangan ilmu dan teknologi serta kebijakan dan peraturan program pengendalian TB Nasional yang berlaku.



Keberhasilan pelaksanaan Strategi DOTS di Rumah Sakit sangat bergantung pada komitmen dan kemampuan para penyelenggara pelayanan kesehatan serta dukungan stakeholder terkait untuk mencapai hasil yang optimal.P



136