Item Response Theory (Irt) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TEORI RESPONSI BUTIR (ITEM RESPONSE THEORY = IRT) 4.1 Pengertian Pengukuran pendidikan mencakup berbagai bidang. Bila mana kita menggunakan taksonomi psikologi belajar maka hal itu mencakup pengukuran bidang kognitif, afektif, dan bidang psikomotorik. Pada umumnya aspek kognitif diukur dengan tes, aspek afektif dengan nontes, dan aspek psikomotorik dengan perbuatan dan pengamatan. Dalam pengukuran pendidikan, kita mengukur kemampuan, keberhasilan belajar, sikap, minat, atau ciri terpendam lainnya yang terdapat pada masing-masing individu siswa. Hanya saja karena hal itu terpendam, berbagai ciri yang ingin diukur tidak akan teramati dan tidak dapat dilihat. Dengan demikian kita sesungguhnya mengukur berbagai aspek itu secara tidak langsung, yakni dengan memberikan berbagai stimulus baik melalaui ujites maupun kuesioner, tepatnya dapat dilakukan melalui tes atau nontes.



4.2 Pengukuran Klasik dan Pengukuran Modern Pengukuran klasik dan pengukuran modern memiliki ciri yg berbeda. Pada uji tes atau kuesioner klasik, ciri klasik ditunjukkan oleh kenyataan bahwa kelompok butir pada ujites atau kuesioner tidak dapat dipisahkan dari kelompok peserta yang menempuh ujites atau yg mengisi kuesionar. Pada pengukuran klasik, kelompok butir yang sama ditempuh atau diisi oleh kelompok peserta yang sama. Jika kelompok butir uji tes atau kuesioner yang sama ditempuh atau diisi oleh kelompok peserta yang berbeda, maka ciri atau karakteristik kelompok butir itu



62



umumnya berubah. Dengan kata lain, taraf sukar dan daya beda kelompok butir itu berubah semata-mata karena mereka ditanggapi oleh kelompok peserta yang berbeda. Untuk butir yang sama, kelompok peserta berbeda menunjukkan ciri butir (taraf sukar dan daya beda) yang berbeda. Jika kelompok peserta yang sama menempuh kelompok butir ujites atau mengisi kelompok butir koesioner yang berbeda, maka ciri kelompok peserta pun pada umumnya berubah. Artinya, kemampuan atau sikap para peserta berubah semata-mata karena menempuh atau mengisi butir yang berbeda. Untuk peserta yang sama, kelompok butir berbeda menunjukkan ciri peserta (kemampuan dan sikap) yang berbeda. Demikian pula, pada uji tes dan kuesioner klasik, sekor sangat bergantung pada butir dan peserta. Pangungkapan sekor selalu perlu disertai keterangan tentang butir dan peserta yang terlibat di dalam pensekoran itu. Butir dan peserta tes terkait atau tidak terlepas dari faktor lain serta keterkaitan atau ketidaklepasan di antara butir dan peserta tersebut dapat menimbulkan sejumlah hal yang cukup mempengaruhi hasil analisis dalam menentukan kualitas butir tes yang memadai. 1.



semua peserta yang cirinya akan disekor perlu menempuh ujites atau mengisi kuesioner yang sama pada saat yang sama atau bersamaan. Kalau pada kuesioner, saat pengisian tidak perlu tepat sama, maka pada ujites umumnya saat penempuhannya dituntut supaya tepat sama. Sementara itu selalu terdapat bahaya kebocoran butir ujites sebelum ujites dilaksanakan. 2. interpretasi atau tafsiran sekor menjadi bersifat khusus. Karena butir terkait dengan peserta, maka tafsiran sekor mengacu ke kelompok peserta yang menanggapi butir itu. Kalau kelompok peserta itu menjadi kelompok norma, maka



63



tafsiran sekor menjadi tafsiran meracuan norma. Dalam hal ini, ada orang yang ingin sekor menjadi tafsiran beracuan patokan. Bersama itu timbul percabangan (dualisme) di dalam penefsiran sekor. 3. Dalam hal ujites, butir yang terlalu mudah atau terlalu sukar bagi kemampuan peserta tidak dapat memberi sekor yang mencerminkan dengan benar kemampuan peserta itu. Lebih dari itu, para pserta harus mengerjakan semua butir lainnya sekalipun butir butir itu terlalu mudah atau terlalu sukar bagi bereka. 4. Dalam hal uji tes, kalau butir ujites itu terlalu mudah atau terlalu sukar bagi dua atau lebih peserta, maka sekor tidak lagi dapat membedakan kemmapuan para peserta itu sekiranya di antara mereka terdapat perbedaan kemampuan. Itulah sejumlah masalah yang dihadapi oleh pengukuran klasik. Masih ada masalah lain, namum keempat masalah ini sudah cukup menunjukkan kelemahan yang ada pada pengukuran klasik. Pengukuran modern bertujuan untuk menghilangkan kelemahan pada pengukuran klasik. Tujuan utama pengukuran modern adalah melepaskan ketakterpisahan di antara butir ujites dengan peserta ujites. Dengan pengukuran modern ini, ciri butir akan tetap sama, tidak menjadi soal peserta mana yang menempuhnya. Demikian pula, ciri peserta akan tetap sama, tidak menjadi soal butir mana yang ditangggapinya. Salah satu jenis pengukuran modern yang cukup terkenal adalah teori responsi butir (item renposn theory-IRT). Pada IRT kita mengenal tiga hal. 1. proporsi jawaban benar yang dilakukan peserta ujites terhadap butir ujites. Dalam hal sikap, hal pertama ini adalah proporsi jawaban positip yang dilakukan oleh responden kuesionar.



64



2. ciri butir (parameter butir yakni taraf sukar, daya pembeda, dan tebakan) yang menyebabkan peserta ujites memberikan tangapan seperti itu 3. ciri terpendam peserta yang menyebabkan peserta ujites memberikan tanggapan demikian. Pengertian ciri butir dalam pengukuran kalsik dan modern berbeda. Ciri terpendam peserta tes dikenal sebagai parameter peserta, yang terdiri atas kemampuan, sikap, serta yang lainnya. Pengukuran klasik mengaitkan butir dengan peserta secara tak terpisahkan dalam pensekoran. Pengukuran modern memisahkan mereka dalam pensekoran. Artinya, pensekoran adalah invarians (tetap tidak berubah) terhadap butir serta terhadap peserta. Dengan kata lain, ciri butir adalah invarians sekalipun pesertanya berbedabeda serta ciri peserta adalah invarians sekalipun butir tesnya berbeda-beda. 4.3 Teori Responsi Butir (Item Response Theory= IRT) Teori Responsi Butir (Item Response Theory disingkat IRT) dinamai juga sebagai Teori Ciri Laten (Latent Trait Theory disingkat LTT) atau Lengkungan Karakteristik Butir (Item Characteristic Curve disingkat ICC), atau Fungsi Karakteristik Butir (Item Characteristic Function disingkat ICF). Untuk memudahkan pengertian, di sini hanya digunakan istilah IRT. Seperti disebutkan di atas, pada hakikatnya IRT bertujuan untuk mengatasi kelemahan yang terdapat pada pengukuran klasik. Pada IRT, peluang jawaban benar yang diberikan siswa, ciri atau parameter butir, dan ciri atau parameter peserta tes dihubungkan melalui suatu model formula yang harus ditaati baik oleh kelompok butir tes maupun kelompok peserta tes. Artinya, butir yang sama terhadap peserta tes yang berbeda harus tunduk pada aturan rumus itu, atau peserta tes yang sama terhadap butir tes yang berbeda juga harus



65



patuh terhadap rumus tersebut. Dalam proses semacam ini terjadilah apa yang disebut invariansi di antara butir tes dan peserta tes Perbedaan mendasar antara pengukuran klasik dengan pengukuran modern terletak pada invariansi pensekoran, di mana pensekoran modern adalah invarians (tidak berubah atau tetap) terhadap butir tes serta terhadap peserta tes. Menurut Lord (1990) bahwa invariansi parameter-parameter butir tes melalui kelompok peserta tes merupakan karakteristik yang paling penting dari IRT. Kita biasanya memikirkan bahwa indeks kesukaran butir tes sebagai proporsi jawaban yang benar sehingga sukar untuk membayangkan bagaimana indeks kesukaran tes dapat menjadi invarian terhadap kelompok peserta tes dari tingkat kemampuan yang berbeda. Menurut Setiadi (1998: 7), apabila IRT digunakan sesuai konsep statistik, soal yang diperoleh tidak bergantung kepada sampel para pengikut ujian. Jadi, walaupun soal-soal dikerjakan oleh siswa yang pandai atau siswa yang kurang pandai, indikasi tingkat kesukaran suatu soal tetap tidak berubah, yang mana hal ini merupakan salah satu kelebihan yang dimiliki IRT jika dibandingkan dengan tes klasik. Untuk memberikan ilustrasi tentang invariansi ini, lihatlah gambar berikut. Pada Gambar 1, tampak ada dua kurva karakteristik butir tes yang berbeda. Hal itu terlihat juga pada garis dasar distribusi kemampuan dari dua kelompok peserta tes yang berbeda. Kemampuan yang diinginkan untuk suatu probabilitas kesuksesan pada sebuah butir tes tidak bergantung pada distribusi kemampuan dari beberapa kemampuan tersebut, sehingga konsekuensinya, indeks kesukaran butir (b) adalah sama terhadap kelompok butir tes. Kemudian, pada kelompok A, butir 1 dijawab benar lebih sedikit dari butir 2. Di dalam kelompok B, sebaliknya terjadi. Jika kita digunakan proporsi jawaban benar seperti mengukur indeks kesukaran butir tes, ditemukan bahwa butir 1 lebih mudah dari butir 2 untuk sebuah



66



kelompok tetapi lebih sukar dari kelompok 2 pada kelompok yang lain. P 1,0 1 2 0,5 0,0



b1



 A



B



Gambar 4.1. Curva Jawaban Butir dari hubungan dua kelompok peserta tes (Disadur dari Lord, 1990: 35). Proporsi tersebut tidak hanya menjelaskan butir tes tetapi juga kelompok peserta yang dites. Ini merupakan suatu tujuan dasar untuk kesepakatan analisis statistik butir tes. 4.4 Asumsi-asumsi IRT Menurut Hambleton (1991; 9) asumsi untuk model IRT secara mendalam digunakan, sehingga hanya satu kemampuan yang diukur dengan butir-butir tes tersebut. Hal ini dinamakan asumsi unidimensi. Suatu konsep yang menghubungkan keunidimensian adalah apa yang disebut dengan independensi lokal (local independence) yang akan didiskusikan berikutnya. Asumsi lain dalam model IRT adalah fungsi karakteristik yang secara khusus melukiskan hubungan antara variabel kemampuan yang



67



tidak teramati dengan variabel kemampuan yang teramati. Asumsiasumsi tersebut juga menyangkut karakteristik butir tes yang relevan terhadap kinerja peserta tes pada suatu butir tes tersebut. Perbedaan besar antara model-model IRT dalam pemakaian bersama adalah dalam jumlah dan tipe serta karakteristik-karakteristik yang diasumsikan untuk kinerja peserta tes. 1. Unidimensi Menurut Naga (1992; 164) bahwa persyaratan unidimensi ditujukan untuk mempertahankan invariansi pada IRT. Kalau butir tes sampai mengukur lebih dari satu dimensi, maka jawaban terhadap butir itu akan merupakan kombinasi dari berbagai kemampuan peserta tes. Akibatnya, tidak lagi diketahui kontribusi dari setiap kemampuan terhadap jawaban peserta tes tersebut. Dengan mengganti butir tes atau kelompok peserta tes, kita tidak dapat lagi dipertahankan invariansi pada ukuran ciri butir tes dan pada ukuran ciri peserta tes, sehingga ketidakmampuan mempertahankan syarat invariansi ini akan bertentangan dengan tujuan ITR tersebut. Dengan terpenuhinya persyaratan unidimensi tersebut maka diperlukan cara untuk menentukan apakah suatu butir tes merupakan unidimensi atau tidak. Untuk hal ini, biasanya digunakan metode analisis faktor. Dalam hal ini, penggunaan analisis faktor bertujuan untuk memperlihatkan pada kelompok faktor mana butir tes itu berada. Setiap faktor hanya menunjukkan suatu dimensi indikator tes. Dengan demikian, setiap dimensi indikator tes terhimpun dalam satu faktor yang melibatkan beberapa butir tes yang diperlukan. Faktorfaktor tersebut mungkin meliputi motivasi, kecemasan, kemampuan bekerja cepat, kecenderungan menebak bila dalam keadaan ragu-ragu menjawab, dan keterampilan kognitif di dalam menjumlahkan, serta faktor dominan lain yang diukur dengan sehimpunan butir tes. Asumsi unidimensi bertujuan untuk melihat secara lengkap sekumpulan data tes dari sebuah komponen yang domonan atau faktor yang mempengaruhi kinerja tes tersebut. Komponen dominan atau



68



faktor dihubungkan dengan kemampuan yang diukur melalui tes tersebut , di mana kemampuan itu tidak cukup inheren atau tidak dapat berubah. Skor-skor kemampuan dapat berubah di luar waktu itu, karena adanya faktor belajar, mengingat dan sebagaianya (Hambleton, 1991; 10). Menurut Setiadi (1998; 6) bahwa penggunaan teori tes klasik (classical test theory) memiliki beberapa kerugian apabila dibandingkan dengan penggunaan IRT. Dalam teori tes klasik, tingkat kesukaran soal tergantung pada sampel dari peserta tes. Jadi, apabila soal-soal dikerjakan oleh sampel siswa-siswa yang pandai maka soalsoal tersebut sepertinya menjadi mudah atau tingkat kesukaran soalnya menjadi besar, tetapi sebaliknya apabila dikerjakan oleh kelompok siswa yang kurang pandai, maka soal-soal tersebut menjadi sepertinya sukar atau tingkat kesukaran soal itu menjadi kecil. Jadi, statistik soal-soal itu tidak konsisten atau berubah-ubah tergantung pada kemampuan kelompok sampel siswa yang menempuh ujian. Hal sernacam itu fidak menguntungkan karena soal-soal yang dibangun itu seharusnya tetap konsisten tidak berubah-ubah, dalam arti bahwa soal itu tidak tergantung pada siapa yang mengerjakan apakah oleh siswa pandai atau siswa yang kurang pandai. Dengan kata lain, apabila "classical item analysis" dijadikan dasar pada penyusunan butir-butir soal maka akan sangat sukar apabila kita ingin memonitor atau membandingkan mutu siswa dari tahun ke tahun jika soal-soal yang digunakan adalah berbeda walaupun berasal dari pokok bahasan yang sama. a. Independensi Lokal Di samping syarat unidimensi yang telah dikemukan sebelumnya, maka asumsi independensi lokal merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh IRT. Independensi Lokal dimaksudkan sebagai letak pada suatu titik di kontinum parameter ciri peserta tes yakni  (Naga, 1992; 170). Prinsip Independensi Lokal



69



dinyatakan oleh asumsi Lazarsfeld (1968) bahwa secara formal, Probabilitas (success pada butir i yang diberikan ) = Probabilitas (success pada butir i yang diberikan  dan juga diberikan kinerjanya pada butir j, k, ...). Jika ui = 0 atau 1 menyatakan skor pada butir ke i, maka secara kompak hal ini ditulis dengan: P(ui =1   ) = P(ui =1  , uj, uk, ....) ( i  j  k , ... ) Menurut Lord (1990, 19) secara matematika pernyataan independensi lokal berarti bahwa probabilitas sukses seluruh butir tes sama dengan perkalian dari bagian-bagian probabilitas sukses tersebut. Sebagai contoh, ada tiga butir tes i, j, dan k, maka: P(ui =1, uj =1, uk =1  ) = P(ui =1  ) P(uj =1  ) P(uk =1  ). Independensi Lokal menginginkan setiap dua butir tidak berkorelasi apabila  adalah tetap. Secara definisi tidak diinginkan butir-butir tidak berkorelasi dalam kelompok, di mana  bervariasi. Dalam hal tertentu, independensi lokal secara otomatis mengikuti keunidimensian. Menurut Crocker dan Algina (1986) di dalam IRT secara bersama digunakan konsep-konsep yang lebih umum terhadap keterikatan dan kebebasan statistik untuk menyatakan tentang hubungan antara variabel-variabel. Untuk dua skor butir dikotomi konsep-konsep tersebut dapat didefinisikan sebagai berikut. Andaikan Pi(+) menyatakan peluang jawaban benar butir ke i, dan Pi(-) menyatakan peluang jawaban salah butir ke i. Andaikan pula Pj(+) dan Pj(-) menyatakan hubungan peluang tersebut untuk butir ke j. Demikian pula misalkan P(+, +), P(-, -), P(+, -), P(-, +) menyatakan peluang dari susunan jawaban yang didefinifsikan dalam tanda kurung. Sebagai contoh, P(+, +) menyatakan peluang jawaban benar dari butir ke i, dan j. Dengan definisi tersebut, skor-skor pada dua butir secara statistik adalah bebas jika : P(+ , +) = Pi(+) Pj(+) P(+ , -) = Pi(+) Pj(-) P(- , +) = Pi(-) Pj(+), dan 70



P(- , -) = Pi(-) Pj(-) Dan adalah tidak bebas secara statistik jika setiap empat persamaan tersebut tidak memenuhi, misalnya jika Pi(+) = 0,8, Pi( -) = 0,2, Pj(+) = 0,6 dan Pj(-) = 0,4 maka skor-skor pada kedua butir adalah bebas jika dan hanya jika: P(+ , +) = Pi(+) Pj(+) = (0,8)(0,6) = 0,48 P(+ , -) = Pi(+) Pj(-) = (0,8)(0,4) = 0,32 P(- , +) = Pi(-) Pj(+) = (0,2)(0,6) = 0,12, dan P(- , -) = Pi(-) Pj(-) = (0,2)(0,4) = 0,08 Contoh lainnya adalah bila diketahui responsi dari 40 responden pada suatu  tertentu hasil akhirnya sebagai berikut.



71



Tabel 4-.1. Responsi 40 responden B Responsi Responden u ti r 1 00000 11000 00011 2 01100 00011 10000



00010 11111



00100 11111



00000 11100



11001 00110



Atau peluang jawaban tersebut dibentuk sebagai berikut : Tabel 4.2. Peluang jawaban butir 1, dan butir 2 Butir ke-2



Butir ke 1



1 0



1 0,10 0,50 0,60



0 0,20 0,20 0,40



0,30 0,70



Dari Tabel 2 dapat dihitung besar pekalian masing-masing peluang sebagai berikut. P(11) = 0,10 P1(1)P2(1) = (0,30)(0,60) = 0,18 P(10) = 0,20 P1(1)P2(0) = (0,30)(0,40) = 0,12 P(01) = 0,50 P1(0)P2(1) = (0,40)(0,60) = 0,24 P(00) = 0,20 P1(0)P2(0) = (0,70)(0,40) = 0,28 Dari hasil perkalian peluang-peluang tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat independensi lokal, karena tidak memenuhi syarat independensi lokal. Keempat kondisi persamaan tersebut mengatakan bahwa skorskor butir adalah bebas jika masing-masing peluang susunan jawaban



72



10101 01111



untuk kedua butir sedemikian rupa sehingga peluang pada ruas kiri dari persamaan dapat dihitung dengan mengetahui hanya peluang jawaban benar dan salah untuk masing-masing butir tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebuah tes adalah unidimensional jika butir-butir tes tersebut secara statistik adalah tidak bebas di dalam populasi yang dilibatkan. Suatu ciri atau sifat terpendam tunggal ada sehingga butir-butir tersebut secara statistik adalah bebas di dalam masing-masing subpopulasi dari peserta tes yang homogen. Dalam IRT, proporsi jawaban benar, ciri (parameter) butir, dan ciri peserta dihubungkan melalui rumus, di mana muncul masalah dalam menentukan rumus responsi butir atau rumus karakteristik butir yang dikenal sebagai penentuan model responsi butir atau model karakteristik butir. Masalah lainnya adalah bagaimana menentukan nilai parameter butir dan nilai parameter peserta yang diistilahkan sebagai pengestimasian parameter, baik parameter butir maupun parameter peserta, yang disebut sebagai pengkalibrasian butir. Untuk pemeriksaan hasilnya dilakukan estiamasi parameter, yang bertujuan sebagai pencocokan model. Bilamana nilai parameter yang didapat mengandung variansi yang besar, maka nilai tersebut kurang cermat, dan sebaliknya jika nilai parameter kecil maka nilai tersebut cukup tajam atau cukup cermat (Naga, 1992; 8). Bilamana model yang dipilih sudah tepat maka diperlukan pemeriksaan berikutnya, di mana parameter yang diperoleh akan memberikan informasi yang berharga, yang dikenal dengan fungsi informasi. 4.5 Invarian Butir Sifat invarians terhadap parameter butir dan kemampuan merupakan dasar dari IRT dan yang merupakan perbedaan utama dari teori tes klasik. Sifat ini menyatakan secara langsung bahwa parameter-parameter tersebut mencirikan suatu butir yang tidak bergantung pada distribusi kemampuan peserta tes dan parameter



73



yang mencirikan seorang peserta tes tidak bergantung pada himpunan butir-butir tes tersebut . Secera sederhana dicatat, sifat invarian terhadap parameter butir dapat diobservasi pada gambar berikut. Probability 1,0 0,5 0,0



θ 2 1



Gambar 4.2. Kurva Karakteristik Butir dan Distribusi Kemampuan untuk dua kelompok peserta tes. Sumber: Ronald K. Hambleton, H. Swaminathan, and H. Jane Rogers, Fundamentals of Item Response Theory (London: Sage Publications, 1991), p. 8. Apabila model IRT adalah model yang cocok untuk data tersebut, maka ICC yang sama diperoleh untuk butir, tanpa memperhatikan distribusi kemampuan dalam kelompok peserta tes yang dilibatkan untuk mengestimasi parameter. Oleh sebab itu ICC tersebut adalah invarian melalui dua populasi itu.



74



Sifat invariansi merupakan suatu ciri yang tepat terhadap model regresi linier. Dalam model regresi linier , garis regresi untuk memprediksi variabel Y dari variabel X diperoleh sebagai garis yang menghubungkan mean variabel Y untuk masing-masing nilai variabel X. Pada saat model regresi ini dibentuk, garis regresi yang sama akan diperoleh dalam setiap range taerbatas dari variabel X, sehingga pada setiap subpopulasi X, berarti bahwa slope (kecondongan) dan intercept (perpotongan) dari garis tersebut akan menjadi sama dalam sebarang subpopulasi X. Suatu indeks yang digunakan, seperti koefisien korelasi , yang bukan merupakan parameter maka karakteristik garis regresi tersebut tidak invarian terhadap subpopulasi. Perbedaan antara parameter kecondongan dan koefisien korelasi adalah bahwa parameter kecondongan tidak bergantung pada karakteristik dari subpopulasi tersebut, seperti variability, demikian pula koefisien korelasi juga tidak ( catatlah, walau bagaimanapun juga sifat estimasi terhadap garis menghendaki suatu keheterogenan sampel). Konsep-konsep yang sama juga diterapkan dalam modelmodel jawaban butir, yang dapat berupa model-model regresi nonlinier. 4.5. Fungsi Karakteristik Butir 1. Model Logistik Tiga Parameter Model logistik tiga parameter dirumuskan sebagai berikut: Pj ( )  c j 



1 cj



1 e



 Da j (  b j )



75



di mana: Pj (θ) adalah peluang peserta tes dengan kemampuan θ menjawab benar butir ke j; bj adalah parameter kesukaran butir tes ke j; aj adalah parameter daya pembeda butir tes; cj adalah parameter tebakan, D = 1,7 dan e = 2.718 Andaikan terdapat empat butir tes yang memiliki masingmasing nilai ketiga parameter butir, seperti tercantum pada tabel berikut. Tabel 4.3. Nilai Masing-Masing Parameter Dari Empat Butir Tes Nilai Parameter Butir Butir 1 2 3 4



a 0,20 0,50 1,00 2,00



b -1 0 1 2



c 0,00 0,10 0,15 0,20



Dengan menerapkan rumus logistik 3P hasilnya seperti berikut.



Butir



Tabel 4.4. Nilai P() Untuk Harga  (-4    +4) Secara Mendatar



1 2 3 4



Nilai P() untuk beberapa harga 



Nilai Parameter Butir a b 0,.20 -1 0,50 0 1,00 1 2,00 2



c 0,00 0,10 0,15 0,20



-4 0,27 0,13 0,15 0,20



-3 0,34 0,17 0,15 0,20 76



-2 0,42 0,24 0,16 0,20



-1 0,50 0,37 0,18 0,20



0 0,58 0,55 0,28 0,20



1 0,66 0,73 0,58 0,23



2 0,73 0,86 0,87 0,60



3 4 0,80 0,85 0,93 0,97 0,97 0,99 0,97 1,0



Nilai P() secara tegak ditampilkan sebagai berikut. Tabel 4.5. Nilai P() Untuk Harga  (-4    +4) Secara Tegak  -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4



P(θ) untuk butir 1 2 3 4 0.27 0.13 0.15 0.2 0.34 0.17 0.15 0.2 0.42 0.24 0.16 0.2 0.5 0.37 0.18 0.2 0.58 0.55 0.28 0.2 0.66 0.73 0.58 0.23 0.73 0.86 0.87 0.6 0.8 0.93 0.97 0.97 0.85 0.97 0.99 1



Grafik dari keempat butir dari Tabel 2.6 seperti Gambar 2.5. Dari Tabel 2.6 dan gambar 2.5 tampak bahwa peluang menjawab benar untuk nilai parameter yang sama akan menghasilkan nilai peluang yang terus membesar sejalan dengan pemberian nilai kemampuan yang terus membesar. Artinya, semakin tinggi nilai kemampuan maka peluang menjawab benar butir tersebut semakin besar pula.



77



Lengkungan Butir 3P 1.2 1 P(0)



0.8 0.6 Series1 Series2 Series3 Series4



0.4 0.2 0 -5



0



Kemampuan



5



Gambar 4.3. Fungsi Karakteristik Butir Model Logistik 3 Parameter Dalam hal ini ada keterkaitan antara kemampuan siswa ( ) yang mengikuti tes dengan taraf sukar tes (b). Hubungan itu adalah sebagai berikut: Pertama b < , di mana jika selisih kedua nilai tersebut cukup tinggi, berarti taraf sukar jauh di bawah nilai kemampuan siswa (soalnya mudah), maka peluang siswa menjawab dengan benar butir tes juga cukup besar. Kedua b =  maka peluang menjawab dengan benar butir tersebut adalah maksimal sesuai kemampuan siswa. Diharapkan bentuk soal seperti itu dapat diberikan setiap kali siswa mengkuti ujian di sekolah, karena kesesuaian seperti ini sangat sulit dilakukan mengingat faktor kemampuan siswa sukar diketahui dengan sesungguhnya. Dalam IRT, kesesuaian antara taraf sukar dan kemampuan siswa perlu dilibatkan karena hal tersebut merupakan salah satu faktor yang menyebabkan meningginya nilai maksimum fungsi informasi butir tes. Dalam mengupayakan agar nilai fungsi informasi tinggi, perlu dipilih butir yang memiliki nilai a yang tinggi, nilai c yang rendah dan nilai b yang cocok dengan 78



kemampuan siswa (). Ketiga hal ini perlu terjadi secara sejalan karena nilai a yang tinggi dan nilai c yang rendah saja, tanpa disertai dengan kecocokan di antara nilai b dan , akan menghasilkan fungsi informasi butir yang rendah. Ketiga b >  di mana jika selisih kedua nilai tersebut cukup tinggi, berarti taraf sukar jauh di atas nilai kemampuan siswa (soalnya sangat sukar), maka peluang siswa menjawab dengan benar butir tes akan cukup rendah. Di pihak lainnya, peningkatan peluang menjawab benar butir dipengaruhi juga oleh besar taraf sukar butir tersebut. Semakin besar taraf sukar suatu butir maka akan semakin menurunkan peluang menjawab dengan benar butir tersebut. Contoh Pada model 1P, D = 1,7. taraf sukar 3 butir adalah masingmasing –0,5, 0,5, dan 1,5 Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut : Pi ( ) 



1 1 e



1, 7 (  bi )



Tabel 4.6. Data 3 butir tes Model Logistik 1 Parameter Butir i 1 2 3



P1() untuk  -3 -2 -1 0 1 2 3 -0,5 0,014 0,072 0,300 0,701 0,928 0,986 0,997 0,5 0,003 0,014 0,072 0,300 0,701 0,928 0,986 1,5 0,001 0,003 0,014 0,072 0,300 0,701 0,928 bi



79



1,2



P(0) P1(0)



1 0,8



Series1



P2(0)



0,6



Series2 P3(0)



0,4



Series3



0,2 0 -4



-2



0 0



2



4



Gambar 4.4. Fungsi Karakteristik Butir Model Logistik 1 Parameter Contoh Pada model 1P, D = 1,7. taraf sukar 3 butir adalah masingmasing –2,0, 0,0, dan 2,0 Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut : Pi ( ) 



1 1 e



1, 7 (  bi )



Tabel 4.7. Data 3 butir tes Model Logistik 1 Parameter Butir i 1 2 3



P1() untuk  -3 -2 -1 0 1 2 3 -0,2 0,154 0,500 0,846 0,968 0,994 0,999 1,000 0,0 0,994 0,968 0,846 0,500 0,154 0,032 0,006 2,0 0,000 0,001 0,006 0,032 0,154 0,500 0,846 bi



80



1,2



P(0)



1



P1(0)



0,8



Series1



0,6



Series2



0,4 P2(0)



P3(0)



Series3



0,2 0 -4



-2



0 0



2



4



Gambar 4.5. Grafik Fungsi 3 butir tes model logistik 1 Parameter Contoh Menggunakan model 2P: Pi ( ) 



1 1 e



 Da (  bi )



Lengkungan karakteristik butir a = 0,5, b = 1,0, dan D = 1,7 Pi ( ) 



1 1 e



1, 7 ( 0 , 5 )( 1)







1 1 e



 0 , 85 ( 1)



1



1



1



1



1



1



1



1



1



Untuk  = -3  Pi ( )  1  e  0,85( 1)  1  e  0,85( 31)  1  e 3, 4  0,032 Untuk  = -2  Pi ( )  1  e  0,85( 1)  1  e  0,85( 21)  1  e 2,55  0,07 Untuk  = -1  Pi ( )  1  e  0,85( 1)  1  e  0,85( 11)  1  e1, 7  0,154 1



1



1



1



1



1



1



Untuk  = 0  Pi ( )  1  e 0,85( 1)  1  e 0,85( 01)  1  e 0,85  0,300 1



Untuk  = 1  Pi ( )  1  e  0,85( 1)  1  e 0,85(11)  1  e 0  0,500 1



Untuk  = 2  Pi ( )  1  e 0,85( 1)  1  e 0,85( 2 1)  1  e 0,85  0,700 81



1



1



1



Untuk  = 3  Pi ( )  1  e 0,85( 1)  1  e 0,85(31)  1  e 1,7  0,846 Tabel 4.8. Data 1 butir tes Model Logistik 2 Parameter bi



P1() untuk  Butir ai -3 -2 -1 0 1 2 3 i 1 0,5 1,0 0,032 0,070 0,154 0,300 0,500 0,700 0,846 1



P(0)



0,8 0,6



Series1



0,4 0,2 0 -4



-2



0 0



2



4



Gambar 4.6.Grafik Fungsi 1 Butir Tes Model Logistik 2 Parameter Contoh : Hitung dan gambarkan lengkungan karakteristik butir untuk 2 parameter, bila datanya seperti tertera pada tabel berikut. Tabel 4.9. Data 4 butir tes Model Logistik 2 Parameter Butir i 1 2 3 4



bi ai 1,5 1,2 0,5 1,0



-2 -1,0 0,072 0,0 0,017 1,0 0,072 1,0 0,006



-1 0,500 0,072 0,154 0,032



82



Pi() Untuk  0 1 0,928 0,994 0,500 0,885 0,300 0,500 0,155 0,500



2 0,999 0,983 0,701 0,846



3 1,000 0,998 0,846 0,968



P1 ( ) 



1  2 , 55 ( 1)



1 e 1 P2 ( )  1  e  2 , 04 1 P1 ( )   0 ,85 ( 1) 1 e 1 P1 ( )  1, 7 ( 1) 1 e Pi(0) 1,2 1



Series1



0,8



Series2



0,6



Series3



0



0,4



Series4



0,2 0 -4



-2



0 0



2



4



Gambar 4.7.Grafik Fungsi 4 Butir Tes Model Logistik 2 Parameter Contoh : Gambarkan lengkungan karakteristik 4 butir untuk 3 parameter, bila datanya seperti tertera pada tabel berikut. Tabel 4.10. Data 4 butir tes Model Logistik 3 Parameter Butir ke i Parameter ai Parameter bi Parameter ci



1 0,2 -1,0 0,00



2 0,5 0,0 0,10



D = 1,7



83



3 1,0 1,0 0,15



4 2,0 2,0 0,20



Rumus model 3P: Pi ( )  ci  (1  ci )  max  bi 



 



1 ln 0,5 1  1  8ci Dai



P1 ( ) 







1 1 e



 Da (  bi )



, di mana:



1 1 e



 0 , 374 ( 1)



0,9 1  e  0,85 0,85 P3 ( )  0,15  1  e 1, 7 ( 1) 0,8 P4 ( )  0,2  1  e 3, 4(  2) P2 ( )  0,1 



Tabel 4.11. Data 4 butir tes Model Logistik 3 Parameter Butir i 1 2 3 4



bi ai 0,2 0,5 1,0 2,0



ci



-1,0 0,0 1,0 2,0



1,2



0,00 0,10 0,15 0,2



-4 0,25 0,13 0,15 0,20



-3 0,32 0,17 0,15 0,20



-2 0,41 0,24 0,16 0,20



Series1



0,8



Series2



0,6



Series3



0,4 P4(0) P(1(0) P3(0) 0,2



Series4



0 -5



2 0,75 0,86 0,87 0,60



P(0)



1



P2(0)



Pi() Untuk  -1 0 1 0,50 0,59 0,678 0,37 0,55 0,731 0,18 0,28 0,575 0,20 0,20 0,23



0 0



5



Gambar 4.8.Grafik Fungsi 4 Butir Tes Model Logistik 3 Parameter



84



3 0,82 0,94 0,97 0,97



4 0,87 0,97 0,99 1,00



2. Tingkat Kecuraman Kurva Karakteristik Butir Tingkat kecuraman kurva karaktetistik butir memberi gambaran akan parameter daya pembeda butir tes tersebut. Semakin besar daya pembeda suatu butir maka kurva karakteristik butir itu semakin curam dibanding butir yang lainnya. Untuk model tiga parameter tingkat kecuraman ini dapat dicari dengan rumus: dPj ( ) d







(1  c j ) Da j e



1  e



Da j (  b j )







Da j (  b j ) 2



Jika data pada tabel disubstitusikan pada rumus di atas, kecuraman kurva karakteristik butir pada setiap kemampuan sebagai berikut:: Tabel 4.12. Tingkat Kecuraman Kurva Karakteristik Butir Model 3P Butir 1 2 3 4



Nilai  Daya Beda -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 0.2 0.04 0.08 0.08 0.09 0.08 0.08 0.07 0.06 0.5 0.02 0.05 0.1 0.16 0.19 0.16 0.1 0.05 1 0.01 0 0.01 0.05 0.19 0.36 0.19 0.05 2 0 0 0 0 0 0.09 0.68 0.09



4 0.04 0.02 0.01 0



Dari Tabel 2.4 dan gambar 2.5 tampak bahwa tingkat kecuraman tertinggi ditempati butir 4 sebesar 0,68 yang terjadi pada saat  = 2, kemudian butir 3 sebesar 0,36 yang terjadi pada sat  = 1, disusul butir 2 sebesar 0,19 yang terjadi pada saat  = 0, sedang butir 1 memiliki tingkat kecuraman terbesar pada saat  = -1 yakni sebesar 0,09. Selanjutnya tingkat kesulitan butir ke j yakni bj didefinisikan sebagai nilai θ pada Pj(θ). Model logistik satu parameter mengandung hanya parameter kesukaran, bj. Model logistik dua parameter 85



mengandung kedua parameter indeks kesukaran bj dan parameter daya pembeda butir aj. Sementara model tiga parameter tampaknya merupakan yang paling realistik dari ketiga model logistik yang ada, sehingga menyatakan perubahan jawaban cj yang mengkaji estimasi masalah-masalah tersebut. Pada gambar 2.6. dilukiskan arti dari parameter–parameter butir. Parameter c adalah peluang bahwa seseorang secara lengkap tidak memiliki kemampuan (θ = - ∞) untuk menjawab dengan benar butir tes tersebut. Hal ini dinamakan parameter tebakan (guessing parameter). Jika sebuah butir tidak dapat dijawab benar dengan tebakan, maka c = 0. Parameter b adalah suatu lokasi parameter. Hal ini menunjukkan posisi kurva sepanjang skala kemampuan tersebut, yang dinamakan kesukaran butir. 1,0 Inflexion 0,5_



cj 0,0



θ b



Gambar 4.9. Pengertian Parameter-Parameter Butir. Lebih sulit butir tersebut, maka semakin mengarah ke kanan. Kurva model logistik memiliki titik perubahan (inflexion point) pada θ = b. Pada saat tidak ada tebakan, b merupakan



86



tingkat kemampuan di mana peluang dari suatu jawaban benar adalah 0,5. Ketika ada tebakan maka b merupakan tingkat kemampuan, di mana peluang menjawab benar adalah antara c dan 1. Parameter a adalah proporsi kecondongan kurva pada titik perubahan [kecondongan itu ternyata adalah 0,425a (1-c)], dalam hal ini a merupakan daya pembeda butir tes, di mana peringkat jawaban butir adalah bervariasi dengan tingkat kemampuan. Pada model 1P, D = 1,7. taraf sukar 3 butir adalah masingmasing –0,5, 0,5, dan 1,5 Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut : Pi ( ) 



1 1 e



1, 7 (  bi )



Tabel 4.13. Butir Tes pada Model 1 Parameter Butir i 1 2 3



P1() untuk  -3 -2 -1 0 1 2 3 -0,5 0,014 0,072 0,300 0,701 0,928 0,986 0,997 0,5 0,003 0,014 0,072 0,300 0,701 0,928 0,986 1,5 0,001 0,003 0,014 0,072 0,300 0,701 0,928 bi



1,2



P(0) P1(0)



1 0,8



Series1



P2(0)



0,6



Series2 P3(0)



0,4



Series3



0,2 0 -4



-2



0 0



2



4



87



Gambar 4.10. Fungsi Karakteristik Butir pada Model 1P Contoh Pada model 1P, D = 1,7. taraf sukar 3 butir adalah masingmasing –2,0, 0,0, dan 2,0 Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut : Pi ( ) 



1 1 e



1, 7 (  bi )



Penerapan rumus model 1P dalam analisis dapat ditunjukkan melalui proses perhitungan setiap butir sebagai berikut:



88



Tabel 4.14. Butir Tes pada Mpdel 1 Parameter Butir i 1 2 3



P1() untuk  -3 -2 -1 0 1 2 3 -0,2 0,154 0,500 0,846 0,968 0,994 0,999 1,000 0,0 0,994 0,968 0,846 0,500 0,154 0,032 0,006 2,0 0,000 0,001 0,006 0,032 0,154 0,500 0,846 bi



1,2



P(0)



1



P1(0)



0,8



Series1



0,6



Series2



0,4 P2(0)



P3(0)



Series3



0,2 0 -4



-2



0 0



2



4



Gambar 4.11. Fungsi Karakteristik Butir pada Model 1P Contoh Menggunakan model 2P: Pi ( ) 



1 1 e



 Da (  bi )



Lengkungan karakteristik butir a = 0,5, b = 1,0, dan D = 1,7 Pi ( ) 



1 1 e



1, 7 ( 0 , 5 )( 1)







1 1 e



 0 , 85 ( 1)



1



1



1



Untuk  = -3  Pi ( )  1  e  0,85( 1)  1  e  0,85( 31)  1  e 3, 4  0,032



89



1



1



1



1



1



1



Untuk  = -2  Pi ( )  1  e  0,85( 1)  1  e  0,85( 21)  1  e 2,55  0,07 Untuk  = -1  Pi ( )  1  e  0,85( 1)  1  e  0,85( 11)  1  e1, 7  0,154 1



1



1



1



1



1



1



1



1



1



1



Untuk  = 0  Pi ( )  1  e 0,85( 1)  1  e 0,85( 01)  1  e 0,85  0,300 1



Untuk  = 1  Pi ( )  1  e  0,85( 1)  1  e 0,85(11)  1  e 0  0,500 Untuk  = 2  Pi ( )  1  e 0,85( 1)  1  e 0,85( 2 1)  1  e 0,85  0,700 Untuk  = 3  Pi ( )  1  e 0,85( 1)  1  e 0,85(31)  1  e 1,7  0,846 Tabel 4.15. Butir Tes pada Model 2 Parameter bi



P1() untuk  Butir ai -3 -2 -1 0 1 2 3 i 1 0,5 1,0 0,032 0,070 0,154 0,300 0,500 0,700 0,846 1



P(0)



0,8 0,6



Series1



0,4 0,2 0 -4



-2



0 0



2



4



Gambar 4.12. Fungsi Karakteristik Butir pada Model 2P



90



Contoh penerapan model 2P pada teori responsi butir tes sama halnya dengan yang diterapkan pada analisis model 1P. Hal itu dapat diperlihatkan melalui analisis sederhana seperti disajikan pada tabel berikut, dan sekaligus dilukiskan lengkungan karakteristik butir untuk model 2P tersebut.



Tabel 4.16. Butir-butir Tes pada Model 2 Parameter But ir i 1 2 3 4 P1 ( ) 



bi ai 1,5 1,2 0,5 1,0



-1,0 0,0 1,0 1,0



-2



-1



0,072 0,017 0,072 0,006



0,500 0,072 0,154 0,032



1  2 , 55 ( 1)



1 e 1 P2 ( )  1  e  2 , 04 1 P1 ( )   0 ,85 ( 1) 1 e 1 P1 ( )  1, 7 ( 1) 1 e



91



Pi() Untuk  0 1 0,928 0,500 0,300 0,155



0,994 0,885 0,500 0,500



2



3



0,999 0,983 0,701 0,846



1,000 0,998 0,846 0,968



Pi(0) 1,2 1



Series1



0,8



Series2



0,6



Series3



0



0,4



Series4



0,2 0 -4



0



-2



0



2



4



Gambar 4.13. Fungsi Karakteristik Butir pada Model 2P Contoh Lengkungan karakteristik butir untuk model 3P. Tabel 4.17. Butir-butir Tes pada Model 3 Parameter Butir ke i Parameter ai Parameter bi Parameter ci



1 0,2 -1,0 0,00



2 0,5 0,0 0,10



Rumus model 3P: Pi ( )  ci  (1  ci ) P1 ( ) 



3 1,0 1,0 0,15 1



1 e



1



1  e  0,374 ( 1) 0,9 P2 ( )  0,1  1  e  0,85 0,85 P3 ( )  0,15  1  e 1, 7 ( 1) 0,8 P4 ( )  0,2  1  e 3, 4(  2)



92



 Da (  bi )



4 2,0 2,0 0,20



Tabel 4.18. Butir-butir Tes pada Model 3 Parameter Butir i ai 1 0, 2 2



0, 5 1, 0 2, 0



3 4



bi



-4 -3 0, 0,2 0,32 00 46 1



Pi() Untuk  -2 -1 0 1 0,40 0,50 0,5 0,6 8 0 92 78



2 0,7 54



3 0,8 17



4 0,86 6



0, 0,1 0,16 10 29 5 0, 0,1 0,15 15 50 1 0, 0,2 0,20 20 00 0



0,23 0,36 9 9 0,15 0,17 5 7 0,20 0,20 0 0



0,8 61 0,8 69 0,6 00



0,9 35 0,9 73 0,9 74



0,97 1 0,99 5 1,00 0



ci



1, 0 0, 0 1, 0 2, 0



0,5 50 0,2 81 0,2 01



0,7 31 0,5 75 0,2 26



Grafik fungsinya dapat dilukiskan dengan grafik fungsi berikut. 1,2



P(0)



1



Series1



0,8



Series2



0,6 P2(0)



Series3



0,4 P4(0) P(1(0) P3(0) 0,2



Series4



0 -5



0 0



5



Gambar 4.14. Fungsi Karakteristik Butir pada Model 3P Latihan:



93



1. Gambarkanlah kurva karakteristik ke 5 butir tes untuk model 1P berikut. Butir 1 2 3 4 5



b 0,50 0,0 0,10 3,05 3,65



3. Gambarkanlah kurva karakteristik ke 5 butir tes untuk model 2P berikut. Butir



a b 1,25 1,50 1 -1,00 2,40 2 0,75 0,90 3 2,66 3,75 4 2,30 3,65 5 3. Gambarkanlah kurva karakteristik ke 5 butir tes untuk model 3P berikut. Butir 1 2 3 4 5



a 0,25 -1,00 0,00 2,47 2,30



b 0,50 0,0 0,10 3,05 3,65



94



c 1,00 1,00 0,15 4,00 2,54



Estimasi Parameter Butir dan Parameter Kemampuan Jika parameter-parameter butir model IRT diketahui maka estimasi terhadap kemampuan bagi suatu sampel peserta tes secara nyata menggunakan metode maksimum likelihood. Hal tersebut lazimnya secara praktis digunakan untuk mengestimasi parameter– parameter butir yang dilibatkan dari berbagai kajian kalibrasi butir sebelum kita melakukan estimasi terhadap θ. Estimasi simultan terhadap kemampuan dan parameter- parameter butir dapat dilakukan pada model pada persamaan (1), sementara di sisi lain merupakan tugas berat dan problematik. Setelah sebuah model IRT dipilih dari suatu kumpulan data khusus, hal itu cukup digunakan untuk mengestimasi paremeterparameter tes dan parameter butir. Pada semua model, sebuah parameter kemampuan tunggal θ diestimasi untuk masing-masing individu . Sebaliknya paramater-parameter tersebut harus diestimasi untuk masing-masing butir bergantung pada model IRT yang dipilih, yakni bi untuk model logistik satu parameter, dan ai, bi untuk model logistik dua parameter, serta ai , bi, , ci untuk model logistik tiga parameter. Pengestimasian parameter ciri peserta dan parameter ciri butir dapat dilakukan secara berbarengan. Namun kemampuan prosedur ini cukup terbatas sehingga sukar untuk digunakan secara umum. Biasanya, cara umum untuk mengestimasi parameter ciri peserta dan parameter ciri butir dapat dilakukan secara bersama yakni



95



iterasi.



Andaikan jika pada pengestimasian parameter tersebut terdapat M peserta mengerjakan N butir tes. Ini berarti bahwa dalam pengestimasian diperlukan estimasi terhadap M parameter ciri peserta dan N ciri butir. Pada model 1P kita hanya mengestimasi N pa ciri butir, dan pada model 2P kita perlu mengestimasi 2N parameter ciri butir, serta pada model 3P kita perlu mengestimasi 3N parameter ciri butir. Estimasi parameter melalui perhitungan iterasi dimulai dengan suatu nilai awal dan diteruskan dengan sejumlah langkah. Pertama, kita menentukan nilai awal pada parameter ciri peserta tes. Nilai awal parameter ciri peserta diambil diturunkan dari nilai logit keberhasilan. Nilai awal ini diubah kedalam skala bakat. Pada langkah kedua, dengan nilai awal ciri peserta dari langkah pertama, kita mengestimasi parameter ciri butir. Selanjutnya langkah ketiga dilakukan dengan menggunakan hasil pengestimasian parameter dari langkah kedua, dilakukan estimasi ulang parameter ciri peserta. Kemudian pada langkah keempat, estimasi diteruskan dengan menggunakan hasil dari estimasi pada langkah ketiga untuk mengestimasi parameter ciri butir. Demikian seterusnya sampai pada nilai selisih estmasi di antara dua putaran sangat kecil biasanya pada 0,01. Selisih nilai yang kecil ini dinamakan konvergensi. Artinya iterasi dilakukan sampai nilai estimasi itu konvergen ke 0,01. Andaikan ada tiga butir soal ujian dijawab oleh responden berkemampuan  seperti tertera pada tabel berikut. Tabel 4.19. Estimasi kemampuan  terhadap parameter butir yang diketahui. Butir 1 2 3



bi -2,00 0,00 1,75



Xi 1 1 0



96



Estimasi  dari responden itu. Pertama masukkan masing-masing nilai parameter ciri butir itu ke dalam model logistik 1P sebagai berikut Persamaan butir 1 adalah sebagai berikut : e D ( bi ) e1,7(  2) P1 ( )   1  e D ( bi ) 1  e1,7 (  2)



Persamaan butir 2 adalah sebagai berikut : P2 ( ) 



e D ( b2 ) e1,7  1  e D ( b2 ) 1  e1,7 )



Persamaan butir 3 adalah sebagai berikut : P3 ( ) 



e D ( b3 ) e1,7 ( 1, 75)  1  e D ( b3 ) 1  e1,7 ( 1,75) 2 3 1 3



Dimulai dari nilai logit sukses  0  ln  ln 2  0,693 Pada 0 = 0,693 dihitung hasil ketiga persamaan, hasilnya seperti pada tabel berikut. Tabel 4.20. Rangkuman hasil iterasi pertama, model logistik satu parameter. Butir



Xi



Pi ()



Qi()



1 2 3



1 1 0



0,9898 0,7646 0,1422



0,0102 0,2354 0,8578



 1   0 



X- Pi D.Pi ().Qi () () 0,0102 0,0171 0,2354 0,3060 -0,1422 0,2074 0,1033 0,5305



0,1033  0,693  0,1947  0,8878 0,5305



Selisih = 0 - 1 = 0,195 (masih cukup besar, harus diiterasi lagi)



97



Pada 1 = 0,8878, maka hasil iterasi ketiga persamaan dirangkum pada tabel berikut. Tabel 4.21. Rangkuman hasil iterasi kedua, model logistik satu parameter. Butir



X



Pi ()



Qi ()



1 2 3



1 1 0



0,9927 0,8190 0,1876



0,0073 0,1810 0,8124



  2  1 



X- Pi D.Pi ().Qi () () 0,0073 0,0124 0,1810 0,2520 -0,1876 0,2591 0,0007 0,5235



0,0007  0,8877  0,0013  0,8891 0,5235



Selisih = 1 - 2 = 0,0013 (kurang kecil, harus diiterasi lagi) Pada 2 = 0,889, maka hasil iterasi ketiga persamaan dirangkum pada tabel berikut. Tabel 4.22. Rangkuman hasil iterasi ketiga, model logistik satu parameter. Butir



X



Pi ()



Qi()



1 2 3



1 1 0



0,9927 0,8193 0,1879



0,0073 0,1807 0,8121



 3 2 



0,0002  0,889  0,0004  0,8894 0,5235



98



X- Pi D.Pi ().Qi () () 0,0073 0,0123 0,1810 0,2517 -0,1876 0,2594 0,0002 0,5235



Selisih = 2 - 3 = 0,0003 (cukup mendekati nol, iterasi dihentikan) Untuk model logistik Dua Parameter . Andaikan ada tiga butir dengan karakteristik seperti pada tabel berikut. Tabel 4.23. Estimasi kemampuan  terhadap parameter butir yang diketahui. Butir 1 2 3



ai 1,0 1,2 0,8



bi -1 0 1



XI 1 1 0



Dengan metode pendekatan Newton-Raphson, estimasi  dilakukan dengan cara sebagai berikut e 1, 7 (1)( 1) e 1, 7 ( 1)  1  e 1,7 (1)( 1) 1  e 1,7 ( 1) e 1, 7 (1, 2) e 2, 04 P (  )   Karakteristik Butir 2: 2 1  e 1, 7 (1, 2 ) 1  e 2, 04 e 1, 7 ( 0,8)( 1) e 1,36 1)  Karakteristik Butir 3: P3 ( )  1  e 1, 7 ( 0,8)( 1) 1  e 1,36( 1)



Karakteristik Butir 1: P1 ( ) 



2 3 1 3



Dimulai dari  0  ln  ln 2  0,693 Pada 0 = 0,693, hasil iterasi ketiga persamaan sebagai berikut :



Tabel 4.24. Rangkuman hasil iterasi pertama, model logistik dua parameter.



99



Buti r 1 2 3



1   0 



Xi



Pi()



Qi()



Dai [Xi - Pi ()]



1 1 0



0,9468 0,8044 0,3971 



0,0532 0,1956 0,6029



0,0905 0,3991 -0,5401 -0,0504



D2.



a i2 .



Pi ().Qi ()



0,1457 0,6549 0,4428 1,2434



0,0504  0,693  0,0405  0,6524 1,2434



Selisih = 0 - 1 = 0,0405 (masih cukup besar, harus diiterasi lagi) Untuk 1 = 0,6524 , hasil iterasi ketiga persamaan sebagai berikut : Tabel 4.25. Rangkuman hasil iterasi kedua, model logistik dua parameter. Butir 1 2 3



Xi 1 1 0



Pi () 0,9431 0,7909 0,3838



Qi () 0,0569 0,2091 0,6162



  2  1 



Dai [Xi - Pi ()] 0,0967 0,4267 -0,5220 0,0013



D2.



a i2



Pi ().Qi () 0,1550 0,6883 0,4374 1,2807



0,0013  0,6524  0,0010  0,6534 1,2807



Selisih = 1 - 2 = 0,0010 (masih cukup besar, harus diiterasi lagi) Untuk 2 = 0,653 hasil iterasi ketiga persamaan sebagai berikut : Tabel 4.26. Rangkuman hasil iterasi ketiga, model logistik dua parameter.



100



Buti r 1 2 3



3 2 



X



Pi ()



Qi ()



Dai [Xi - Pi ()]



1 1 0



0,9432 0,7912 0,3842 



0,0568 0,2088 0,6158



0,0965 0,4260 -0,5225 0,00004



D2.



a i2



Pi ().Qi()



0,1548 0,6875 0,4376 1,2799



0,00004  0,653  0,00003  0,653003 1,2799



Selisih = 2 - 3 = 0,00003 (mendekati nol, iterasi dihentikan) Dari contoh konkrit yang diberikan tampak bahwa perhitungan iterasi secara berulang ini cukup rumit dan melelahkan. Cara iterasi seperti ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, perhitungan semacam ini tidak dapat menerima peserta yang menjawab semua butir dengan benar atau semua jawaban butir tes salah. Kedua, perhitungan ini tidak dapat menerima butir yang dijawab salah oleh peserta atau dijawab benar oleh semua peserta. Ketiga, untuk model tiga parameter, pada keadaan tertentu ada kalanya nilai parameternya tidak konsisten sehingga tidak dapat diestimasi. Kalau nilai parameter konsisten maka perhitungan dilakukan dengan bantuan program komputer. Dalam penelitian ini program untuk mengestimasi parameter model 3P adalah program ASCAL yang menggunakan metode Bayes dan bekerja di komputer PC. Program ini dikembangkan oleh Assessment System Corporation, 2233 University Avenue, Suite 440, St. Paul, MN 55114, Amerika Serikat. Contoh Tiga butir soal ujian dijawab oleh responden berkemampuan , dan hasil perhitungan disajikan pada table berikut.



101



Tabel 4.27. Data butir tes dengan 1 parameter Butir 1 2 3



bi -2,00 0,00 1,75



X 1 1 0



Estimasi  dari responden itu. Penyelesaian: Persamaan butir 1 adalah sebagai berikut : e D ( bi ) e1,7(  2) P1 ( )   1  e D ( bi ) 1  e1,7 (  2)



Persamaan butir 2 adalah sebagai berikut : P2 ( ) 



e D ( b2 ) e1,7  1  e D ( b2 ) 1  e1,7 )



Persamaan butir 3 adalah sebagai berikut : P3 ( ) 



e D ( b3 ) e1,7 ( 1, 75)  1  e D ( b3 ) 1  e1,7 ( 1,75) 2 3 1 3



Dimulai dari  0  ln  ln 2  0,693 Pada 0 = 0,693 dihitung hasil ketiga persamaan sebagai berikut : Tabel 4.28. Tiga butir tes dengan model iterasi Butir



X



Pi ()



Qi()



1



1



0,9898



0,0102 102



X- Pi () 0,0102



D.Pi ().Qi () 0,0171



2 3



1 0



0,7646 0,1422



0,2354 0,8578



 1   0 



0,2354 -0,1422 0,1033



0,3060 0,2074 0,5305



0,1033  0,693  0,1947  0,8878 0,5305



Selisih = 0 - 1 = 0,195 (masih cukup besar, harus diiterasi lagi) Pada 1 = 0,8878 dihitung hasil ketiga persamaan sebagai berikut : Tabel 4.29. Proses pendekatan dan perhitungan dengan metode iterasi Buti r 1 2 3



 2  1 



X



Pi ()



Qi ()



1 1 0



0,9927 0,8190 0,1876 



0,0073 0,1810 0,8124



X- Pi D.Pi ().Qi () () 0,0073 0,0124 0,1810 0,2520 -0,1876 0,2591 0,0007 0,5235



0,0007  0,8877  0,0013  0,8891 0,5235



Selisih = 0 - 1 = 0,0013 (kurang kecil, harus diiterasi lagi) Pada 2 = 0,889 dihitung hasil ketiga persamaan sebagai berikut.



Tabel 4.30. Metode iterasi untuk estimasi pendekatan hitung butir tes.



103



Buti r 1 2 3



3 2 



X



Pi ()



Qi()



1 1 0



0,9927 0,8193 0,1879 



0,0073 0,1807 0,8121



X- Pi D.Pi ().Qi () () 0,0073 0,0123 0,1810 0,2517 -0,1876 0,2594 0,0002 0,5235



0,0002  0,889  0,0004  0,8894 0,5235



Selisih = 0 - 1 = 0,0003 (cukup mendekati nol, iterasi dihentikan) Contoh Tabel 4.31, Data tiga butir dengan karakteristik 2 parameter. Butir 1 2 3



ai 1,0 1,2 0,8



bi -1 0 1



Dijawab oleh rsponden dengan kemampuan  sebagai berikut. Tabel 4.32. Tiga butir tes dengan jawaban diketahui. Butir 1 2 3



Xi 1 1 0



Dengan D = 1,7, melalui metode pendekatan Newton-Raphson, estimasi .



104



Penyelesaian: e 1, 7 (1)( 1) e 1, 7 ( 1)  1  e 1,7 (1)( 1) 1  e 1,7 ( 1) e 1, 7 (1, 2) e 2, 04 P (  )   Karakteristik Butir 2: 2 1  e 1, 7 (1, 2 ) 1  e 2, 04 e 1, 7 ( 0,8)( 1) e 1,36 1)  Karakteristik Butir 3: P3 ( )  1  e 1, 7 ( 0,8)( 1) 1  e 1,36( 1)



Karakteristik Butir 1: P1 ( ) 



2 3 1 3



Dimulai dari  0  ln  ln 2  0,693 Pada 0 = 0,693 dihitung hasil ketiga persamaan sebagai berikut. Tabel 4.33. Proses perhitungan iterasi Butir X 1 2 3



1   0 



1 1 0



Pi()



Qi()



0,9468 0,0532 0,8044 0,1956 0,3971 0,6029 



Dai [Xi - Pi ()] 0,0905 0,3991 -0,5401 -0,0504



D2. a i2 Pi ().Qi () 0,1457 0,6549 0,4428 1,2434



0,0504  0,693  0,0405  0,6524 1,2434



Selisih = 0 - 1 = 0,0405 (masih cukup besar, harus diiterasi lagi) Untuk 1 = 0,6524 dihitung hasil ketiga persamaan sebagai berikut. Tabel 4.34. Proses iterasi 3 butir tes. B u t i X Pi () Qi () r 1 1 0,9431 0,0569



105



Dai [Xi - Pi ()] 0,0967



D2. a i2 Pi ().Qi () 0,1550



2 3



 2  1 



1 0



0,7909 0,2091 0,3838 0,6162 



0,4267 -0,5220 0,0013



0,6883 0,4374 1,2807



0,0013  0,6524  0,0010  0,6534 1,2807



Selisih = 1 - 2 = 0,0010 (masih cukup besar, harus diiterasi lagi) Untuk 2 = 0,653 dihitung hasil ketiga persamaan sebagai berikut : Tabel 4. 35. Proses iterasi 3 butir tes But



X



1 2 3



1 1 0



3 2 



Pi ()



Qi ()



0,9432 0,0568 0,7912 0,2088 0,3842 0,6158 



Dai [Xi - Pi ()] 0,0965 0,4260 -0,5225 0,00004



D2. a i2 Pi ().Qi () 0,1548 0,6875 0,4376 1,2799



0,00004  0,653  0,00003  0,653003 1,2799



Selisih = 2 - 3 = 0,00003 (mendekati nol, iterasi dihentikan) Contoh Satu butir soal ujian dijawab oleh 3 responden dengan hasil sebagai berikut : Tabel 4. 36. Tiga butir dengan karakteristik tertentu. Butir 1 2



g -2,00 0,00



Xg 0 1 106



3



1,75



1



Estimasi taraf sukar b Penyelesaian: e 1,7 ( 2  b1 ) Responden 1 : 1 = -2  P1 ( )  1  e 1, 7 ( 2 b1 ) e 1, 7b2 Responden 2 : 2 = 0  P2 ( )  1  e 1,7 b2 e1,7 (1,75b3 ) P (  )  Responden 3 : 3 = 1,75  3 1  e1,7 (1,75b3 ) 1 3 2 3



Perhitungan dimulai pada: b0  ln  ln 12  0,693 Untuk b0 = -0,693 maka hasil ketiga persamaan adalah sebagai berikut. Tabel 4.37. Estimasi butir tes melalui proses iterasi. B u t i Xg r 1 0 2 1 3 1  b1  b0 



Xg – Pg() -0,0978 0,2354 0,0135 0,1531



D. Pi () Qi () 0,1500 0,3060 0,0259 0,4819



0,1531  0,693  0,3177  1,0107 0,4819



Selisih = b1 – b0 = 0,3176 (masih cukup besar, harus diiterasi kembali)



107



Untuk b1 = -1,0107 maka hasil ketiga persamaan adalah sebagai berikut. Tabel 4.38. Estimasi butir tes dengan proses iterasi Buti r 1 2 3  b2  b1 



Xg 0 1 1



Xg – Pg() -0,1569 0,1521 0,0091 0,0043



D. Pi () Qi () 0,2248 0,2192 0,0153 0,4593



0,0043  1,0107  0,0094  1,0201 0,4593



Selisih = b1 – b2 = 0,0094 (kalau selisih ini sudah cukup kecil maka iterasi dihentikan) Soal: Estimasilah kemampuan  terhadap parameter butir yang diketahui. Tabel 4.39. Estimasi butir tes melalui proses iterasi. Butir 1 2 3 4 5



bi 2,20 1,15 1,35 0,80 0,15



Xi 1 0 1 0 1



2. . Estimasilah kemampuan  terhadap parameter butir yang diketahui.



108



Tabel 4.40. Estimasi butir tes dengan proses iterasi. Butir I 2 3 4 5



ai 1,25 1,20 2,85 3,12 -1,75



bi -1 0 1 -1,25 2,45



XI 1 1 0 0 0



109



Fungsi Informasi Butir Tes Hulin, Drasgow & Parsons (1985; 63) mendefinisikan fungsi informasi sebagai istilah dalam ketidakpastian dari beberapa peristiwa. Kemudian informasi maksimum butir dapat ditentukan melalui tebakan, karena: (1) penyelesaian tes kurang dapat memperkecil makna dari kecocokan butir-butir tersebut sehingga pertanyaan yang ada dalam tes menjadi beresiko, (2) tebakan dapat memungkinkan pilihan jawaban benar untuk sejumlah kecil butir tes dari sekian banyak butir tes yang dilibatkan. Menurut Hambleton, Swaminathan & Rogers (1991; 92) fungsi informasi tes adalah suatu fungsi yang memberi gambaran lengkap tentang kemampuan siswa dalam menjawab soal, yang melibat : tingkat kesukaran butir (b), daya pembeda soal (a) dan besarnya tebakan (c), yang dihubungkan dengan kemampuan (). Menurut Naga (1992; 308) Untuk menjelaskan fungsi informasi tidak terlepas kaitannya dengan fungsi tes klasik dan teori respons butir dapat dijelaskan perbandingannya sebagai berikut. Tabel 4. 41. Perbedaan fungsi tes klasik dan tes modern DalamTeori tes klasik Dalam Item response theory 1. Pilih butir yang memadai 1. Mencapai tujuan bagi kelompok peserta penilaian dilakukan tertentu. melalui fungsi informasi 2. Melalui koefisien butir



110



reliabilitas dinilai mutu perangkat uji tes yang terdiri dari sejumlah butir



2. Mencapai tujuan yang sama melalui fungsi informasi butir



Secara umum fungsi informasi pada IRT berkaitan secara terbalik dengan ketidakpastian. Artinya semakin tinggi ketidakpastian, maka semakin kecil nilai fungsi informasi, sebaliknya semakin rendah ketidakpastian maka semakin tinggi nilai fungsi informasi. Ketidakpastian butir berkaitan dengan parameter ciri peserta (siswa). Kalau siswa yang berkemampuan tinggi mengerjakan soal yang mudah maka dengan mudah soal itu dijawab dengan benar. Sebaliknya siswa yang berkemampuan rendah mengerjakan soal yang sukar maka dengan susah payah ia menjawab soal itu dan hasilnya masih juga salah. Dalam hal ini tidak diketahui kemampuan siswa maka ketidakpastian tentang kemampuan menjadi tinggi sehingga fungsi informasi menjadi rendah. Jika siswa yang pintar menjawab soal yang sukar, siswa berkemampuan sedang menjawab soal yang sedang, dan siswa yang berkemampuan rendah menjawab soal yang mudah, maka hasil jawaban mereka akan bervariasi. Dalam hal ini, sudah diketahui kemampuan siswa sehingga ketidakpastian tentang kemampuan adalah tinggi, maka fungsi informasinya tinggi (Naga, 1992; 308). Persentase informasi dalam observasi dapat digunakan untuk membandingkan nilai setiap butir khusus untuk mengukur kemampuan seorang siswa (Wright, Benjamin, D, & Stone, Mark, H : 1979; 75). Menurut Crocker & Algina ( 1986; 365-369) bahwa secara teknis, strategi testing bergantung pada konsep yang dikenal sebagai fungsi informasi, di mana fungsi informasi tes secara sederhana merupakan jumlah dari fungsi-fungsi informasi butir tes untuk seluruh butir pada tes itu. Sementara menurut Lord (1980 : 65) bahwa fungsi informasi I(, y) untuk setiap skor y merupakan definisi kebalikan proporsional kuadrat dari panjang interval kepercayaan



111



asimtot untuk estimasi kemampuan  dan skor y. Fungsi informasi suatu estimator kemampuan yang tidak bias adalah hubungan timbal balik dari varians sampling terhadap estimator. Artinya fungsi informasi I() yang diberikan adalah suatu daerah tertinggi untuk informasi yang dapat diperoleh dengan setiap metode pensekoran tes tersebut. Hulin, Drasgow & Parsons (1985; 63) mendefinisikan fungsi informasi sebagai istilah dalam ketidakpastian dari beberapa peristiwa. Kemudian informasi maksimum butir dapat ditentukan melalui tebakan, karena: (1) penyelesaian tes kurang dapat memperkecil makna dari kecocokan butir-butir tersebut sehingga pertanyaan yang ada dalam tes menjadi beresiko, (2) tebakan dapat memungkinkan pilihan jawaban benar untuk sejumlah kecil butir tes dari sekian banyak butir tes yang dilibatkan. Menurut Hambleton, Swaminathan & Rogers (1991; 92) fungsi informasi tes adalah suatu fungsi yang memberi gambaran lengkap tentang kemampuan siswa dalam menjawab soal, yang melibat tingkat kesukaran butir (b), daya pembeda soal (a) dan besarnya tebakan (c), yang dihubungkan dengan kemampuan (). 4.7. Fungsi Informasi Butir Tes pada Model Logistik Menurut Hambleton, Swaminathan & Rogers (1991; 91) fungsi Informasi dirumuskan sebagai berikut :



P







2



( ) I i ( )  , di mana i = 1, 2, 3, ..., n Pi ( )Qi ( ) 'i



Ii () adalah fungsi informasi butir ke i pada kemampuan . Dalam hal ini, nilai  membentang dari - sampai + , namun nilai yang masih berguna secara praktis hanya terletak di antara –4,0 sampai +4,0 (Naga, 1992: 224), dan kemudian P’i () menyatakan derivative dari Pi (), serta Qi () = 1 - Pi (). Selanjutnya Birnbaum (dalam Hambleton, 1991 :91) menurunkan rumus informasi di atas sebagai berikut. 112



I i ( ) 



c



Dai2 (1  ci ) i







 e Da ( b ) 1  e  Da ( b )







2



di mana D = 1,7 (suatu konstanta); a = indeks kesukaran soal, b = daya pembeda soal [yang menurut Hambleton, Swaminathan & Rogers (1991; 13), nilainya bervariasi antara –2,0 sampai +2,0. Jika nilai b mendekati –2,0 maka butir tes tersebut sangat mudah dan sebaliknya jika nilai b mendekati +2,0 maka butir tes tersebut sangat sukar], dan c = tebakan, sehingga dengan mengganti D = 1,7 rumus di atas menjadi: I i ( ) 



c



2,89(1  ci ) i







 e1, 7 a ( b ) 1  e 1,7 a ( b )







2



Rumus ini dinamakan rumus fungsi informasi butir model logistik tiga parameter, sedangkan untuk model satu parameter (model Rasch) terjadi bila a = 0 dan c = 0, sehingga . Untuk model 1P : I i ( ) 



D 2 .e D ( bi )



1  e







D ( bi ) 2



Jika  = bi dan D = 1,7 maka Ii() = 0,7225 ai (1 – ci ) Bila  = bi dan D = 1,7 maka Ii() = 0,7225 Untuk model dua parameter, akan diperoleh bila c = 0, sehingga didapat: 2



Untuk model 2P : I i ( ) 



D 2 .a 2 .e D ( bi )



1  e







Dai ( bi ) 2



Jika  = bi dan D = 1,7 maka Ii( ) = 0,7225 ai Selanjutnya implementasi dari rumus-rumus tersebut di atas ditampilkan pada pembahasan data Tabel 4. 2



2. Fungsi Informasi dan Kemampuan Maksimum Birnbaum (dalam Hambleton: 1991, 92) memperlihatkan bahwa besarnya kemampuan maksimal dirumuskan dengan:



113



 max  bi 



1 ln[0,5(1  1  8ci }] . Dai



Agar informasi tinggi, kita perlu memilih butir yang memiliki nilai a yang tinggi, nilai c yang rendah dan nilai b yang cocok dengan kemampuan siswa (). Ketiga hal ini perlu terjadi secara berbarengan karena nilai a yang tinggi dan nilai c yang rendah saja, tetapi tidak disertai dengan kecocokan di antara nilai b dan , akan menghasilkan fungsi informasi butir yang rendah (Naga 1992; 328-329). Sebagai bahan illustrasi, dipilih dari 6 butir tes yang diketahui parameter –parameternya sebagai berikut . Tabel 4. 42. Butir tes dan masing-masing parameternya. Butir ke 1 2 3 4 5 6



a



Parameter butir b



c



1,75 0,75 1,75 1,75 1,20 0,50



1,0 1,0 1,0 -2,0 -0,5 0,5



0,00 0,00 0,20 0,00 0,10 0,15



Tabel 4. 43. Fungsi Informasi Butir Tes untuk beberapa nilai kemampuan Kemampu an  I1 () -4 0 -3,5 0



Fungsi Informasi Butir ke I2() I3() I4() I5() I6() 0,003 0 0,023 0 0,002 0,005 0 0,1 0 0,004 114



-3 0 0,009 0 0,409 0,001 0,007 -2,5 0 0,018 0 1,331 0,009 0,014 -2 0,001 0,034 0 2,213 0,051 0,026 -1,5 0,005 0,062 0 1,331 0,216 0,044 -1 0,023 0,109 0 0,409 0,571 0,068 -0,5 0,1 0,182 0,004 0,1 0,851 0,095 0 0,409 0,278 0,067 0,023 0,704 0,119 0,5 1,331 0,368 0,565 0,005 0,376 0,134 1 2,213 0,407 1,475 0,001 0,159 0,134 1,5 1,331 0,368 1,018 0 0,061 0,121 2 0,409 0,278 0,324 0 0,023 0,101 2,5 0,1 0,182 0,08 0 0,008 0,078 3 0,023 0,109 0,018 0 0,003 0,058 3,5 0,005 0,062 0,004 0 0,001 0,041 4 0,001 0,034 0 0 0 0,028 Sumber: (Naga, 1992; 326) Dari tabel di atas tampak bahwa untuk butir-butir yang memiliki daya pembeda (b = 1,0 dan c = 0) ada tiga butir tes, sehingga nilai fungsi informasi tes tersebut terletak pada kemampuan  yang sama, sehingga menurut sifat fungsi informasi bahwa nilai maksimum fungsi informasi tersebut terletak pada  = b = 1,0. Namun letak ketinggiannya tidak sama, hal ini disebabkan oleh faktor nilai a dan nilai c yang berbeda-beda. Makin besar nilai indeks kusukaran butir a makin tinggi pula nilai fungsi informasinya, misalnya butir ke 1, tetapi tidak terjadi pada butir ketiga walaupun memiliki nilai a yang sama sebesar 1,75. Selanjutnya, butir 4 mirip dengan butir 1 yang memiliki a yang tinggi sebesar 1,75, dan tidak memiliki nilai c atau c = 0. sehingga kedua butir ini memiliki nilai maksimum fungsi informasi yang sama. Hanya saja perbedaan kedua butir ini terletak pada nilai kemampuan



115



, di mana butir 1 berada pada  = 1,0 sedangkan butir 4 pada  = -2,0. Kemudian ketinggian atau nilai maksimum fungsi informasi butir 5 dan 6 dipengaruhi nilai c kedua butir itu yang agak besar dan nilai a yang tinggi sehingga jika dibandingkan dengan butir lain, butir 5 dan 6 cukup rendah, terutama untuk butir 6. Dengan demikian dari keadaan ini dapat disimpulkan bahwa nilai a yang tinggi, dan nilai c yang rendah, serta nilai b yang mendekati kemampuan ( )akan memberikan nilai fungsi informasi butir tes yang tinggi. Dengan kata lain, nilai a yang tinggi, dan nilai c yang rendah, tanpa dibarengi nilai b yang mendekati kemampuan ( ) akan memberikan nilai fungsi informasi butir tes yang rendah. 1. Fungsi Informasi Butir Tes pada Model Logistik Menurut Hambleton, Swaminathan & Rogers (1991; 91) fungsi Informasi dirumuskan sebagai berikut :



P







2



( ) I i ( )  , di mana i = 1, 2, 3, ..., n Pi ( )Qi ( ) 'i



Ii () adalah fungsi informasi butir ke i pada kemampuan . Dalam hal ini, nilai  membentang dari - sampai + , namun nilai yang masih berguna secara praktis hanya terletak di antara –4,0 sampai +4,0 (Naga, 1992: 224), dan kemudian P’i () menyatakan derivative dari Pi (), serta Qi () = 1 - Pi (). Selanjutnya Birnbaum (dalam Hambleton, 1991 :91) menurunkan rumus informasi di atas sebagai berikut. I i ( ) 



c



Dai2 (1  ci ) i







 e Da ( b ) 1  e  Da ( b )







2



di mana D = 1,7 (suatu konstanta); a = indeks kesukaran soal, b = daya pembeda soal [yang menurut Hambleton, Swaminathan & Rogers (1991; 13), nilainya bervariasi antara –2,0 sampai +2,0. Jika 116



nilai b mendekati –2,0 maka butir tes tersebut sangat mudah dan sebaliknya jika nilai b mendekati +2,0 maka butir tes tersebut sangat sukar], dan c = tebakan, sehingga dengan mengganti D = 1,7 rumus di atas menjadi: I i ( ) 



c



2,89(1  ci ) i







 e1, 7 a ( b ) 1  e 1,7 a ( b )







2



Rumus ini dinamakan rumus fungsi informasi butir model logistik tiga parameter, sedangkan untuk model satu parameter (model Rasch) terjadi bila a = 0 dan c = 0, sehingga . Untuk model 1P : I i ( ) 



D 2 .e D ( bi )



1  e







D ( bi ) 2



Jika  = bi dan D = 1,7 maka Ii() = 0,7225 ai (1 – ci ) Bila  = bi dan D = 1,7 maka Ii() = 0,7225 Untuk model dua parameter, akan diperoleh bila c = 0, sehingga didapat: 2



Untuk model 2P : I i ( ) 



D 2 .a 2 .e D ( bi )



1  e







Dai ( bi ) 2



Jika  = bi dan D = 1,7 maka Ii( ) = 0,7225 ai



2



4.8. Fungsi Informasi Ujian Fungsi informasi ujian adalah jumlah dari fungsi informasi butir untuk semua item pada tes tersebut, yang dirumuskan dengan I ( )   I g ( ) 1 . Sementara pendapat lain mengatakan bahwa fungsi g informasi ujian ditetapkan oleh sebuah tes pada suatu nilai  yang secara sederhana merupakan jumlah dari fungsi informasi item pada 1



Linda Crocker & James Algina, op.cit., p.369.



117



I i ( ) 2 nilai  tersebut, yang dirumuskan dengan I ( )   . Fungsi i informasi ujian untuk model logistik tiga parameter adalah sebagai berikut.



(1  c) D 2 .a 2j



N



I ( )   i 1



c



j







 e Dai ( bi ) 1  e  Dai ( bi )







2



3



di mana a, b dan c masing-masing menyatakan daya pembeda butir, taraf sukar butir tes, dan tebakan, D suatu konstanta sebesar 1,7 dan e suatu konstanta eksponensial sebesar 2,718, serta I() menyatakan fungsi informasi ujian. Tanda  menyatakan penjumlahan beberapa fungsi informasi butir tes. Dari hasil pada Tabel 2.2 dapat dicari beberapa fungsi informasi ujian yang hasilnya antara lain tertera pada tabel berikut. Tabel. 4. 44. Fungsi Informasi Ujian Untuk Beberapa Butir Tes.4 Kemampua Fungsi informasi ujian untuk beberapa butir n () 123456 12356 2346 2345 145 156 -4,0 0,028 0,005 0,028 0,003 0 0,002 -3,5 0,109 0,009 0,109 0,005 0 0,004 -3,0 0,426 0,017 0,425 0,01 0,001 0,008 -2,5 1,372 0,041 1,363 0,027 0,009 0,023 -2,0 2,325 0,112 2,273 0,086 0,052 0,078 -1,5 1,658 0,327 1,437 0,283 0,221 0,265 -1,0 1,18 0,771 0,586 0,703 0,594 0,662 -0,5 1,332 1,232 0,381 1,137 0,955 1,046 0,0 1,6 1,577 0,487 1,458 1,18 1,232 0,5 2,779 2,774 1,072 2,64 2,272 1,841 2



Hambleton, Swaminathan, & Rogers, op.cit., p.94. Naga, op.cit., pp. 331-332. 4 Ibid.,p. 334. 3



118



1,0 1,5 2,0 2,5 3 3,5 4,0



4,389 2,899 1,135 0,448 0,211 0,113 0,063



4,388 2,899 1,135 0,448 0,211 0,113 0,063



2,017 1,507 0,703 0,34 0,185 0,107 0,062



4,254 2,778 1,034 0,37 0,153 0,072 0,035



3,847 2,41 0,756 0,188 0,044 0,01 0,001



2,506 1,513 0,533 0,186 0,084 0,047 0,029



Kalau hubungan antara tingkat kemampuan dan nilai fungsi informasi ujian dilukiskan maka grafik fungsi informasi ujian untuk beberapa butir tes ini dapat dilukiskan pada gambar berikut.



Gambar 4. 16. Grafik Fungsi Informasi Ujian Untuk Beberapa Butir Tes. Dari Tabel 2.3 dan Gambar 2.2 dapat dilihat bahwa fungsi informasi ujian dari beberapa butir yang dilibatkan cukup bervariasi, baik dari tingginya maupun posisi kelengkungannya. Semakin banyak butir yang dilibatkan jelas akan semakin menambah tinggi fungsi informasi ujiannya, hal ini disebabkan jumlah total dari masing-



119



masing fungsi informasi butir akan semakin besar pula. Untuk kurva 1, melibatkan butir-butir 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 dengan ketinggian maksimum 4,389 pada saat  =1. Untuk kurva 2 melibatkan butirbutir 1, 2, 3, 5, dan 6 dengan ketinggian maksimum 3,888 pada saat  =1. Untuk kurva 3 melibatkan butir-butir 2, 3,4 dan 6 dengan ketinggian maksimum 2,273 pada saat  = -2. Untuk kurva 4 melibatkan butir-butir 2, 3, 4, dan 5 dengan ketinggian maksimum 4,254 pada saat  =1. Untuk kurva 5 melibatkan butir-butir 1, 4, dan 5 dengan ketinggian maksimum 3,847 pada saat  =1, serta kurva 6 melibatkan butir-butir 1, 5, dan 6 dengan ketinggian maksimum 2,506 pada saat  =1.



120



LATIHAN 4 1. Jelaskan dengan contoh apa yang dimaksud dengan analisis butir klasik, dan analisis butir modern. 2. Jelaskan apa perbedaan antara analisis klasik, dan analisis modern. 3. Apa yang dimaksud dengan teori response butir tes. 4. Jelaskan asumsi yang terdapat pada teori response butir 5. Tuliskan rumus model logistic 1P, 2p dan 3P. 6. Diketahui Responsi 40 responden untuk 2 butir tes objekti sebagai berikut. Buti Responsi Responden r 1 1110 11010 11011 1011 1010 10101 01001 10100 1 0 0 2 0111 11011 1010 1010 1000 11110 11110 01001 1 1 1 1 Tentukan apakah ada independensi lokal berarti dari ke dua butir tes tersebut 7. Gambarkan graik ungsi logistic 3 parameter, jika diketahui data 4 butir tes berikut, untuk nilai parameter kemampuan dari -4 s/d 4 Butir tes nomor... 1 2 3 4



Nilai Parameter Butir a 0,.20 0,50 1,00 2,00



b -1 0 1 2



c 0,00 0,10 0,15 0,20



121



8. Sebutkan dengan contoh, apa yang dimaksud dengan fungsi informasi butir tes. 9. Tentukan masing-masing fungsi informasi butir tes dari data berikut.



Parameter butir a b c



Butir ke 1 1,53 1,63 0,35 2 0,75 1,52 0,031 3 1,75 1,81 0,25 4 1,75 -2,02 0,23 5 1,20 -0,53 0,15 6 0,50 0,54 0,16 10.Sebutkan dengan contoh, apa yang dimaksud dengan fungsi informasi ujian. 11.Tentukan fungsi informasi ujian untuk butir tes nomor 9.



Daftar Pustaka Azwar, Saifuddin. 2001. Tes Prestasi. Fungsi Pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset Aiken, Lewis R. 1988. Psychological Testing and Assessment. Boston: Allyn and Bacon, Inc. Crocker, Linda, & Algina, James. 1986. Introduction to classical and modern test theory. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Cronbach, Lee J. 1990. Essentials of Psychological Testing. New York: Harper Collins Publishers Djaali. 2000. Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta. Gronlund, Norman. E. 1985. Measurement and Evaluation in Teaching. New York: Macmillan Publishing Company.



122



Hambleton, Ronald K; Swaminathan, H; dan Jane Rogers, H. 1991. Fundamentals of Item Response Theory. London: Sage Publications. Hulin, Charles, L., Drasgor, Frits, & Parsons, Charles, K. 1985. Item Respons Theory. Application to Psichological Measuremant. Illinois: Dow Jones- Irwin Homewed. Kepmen Pendidikan Nasional. 2003. Standard Prosedur Operasional (SPO) Ujian Naional. Jakarta: Dirjen Pendidikan Manegah. Kumaidi. 2000. Standardisasi Butir Soal. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Nomor 022 Tahun Ke – 5. p.105 Lazarsfeld P, F & Henry, N. W. 1968. Latent structure analysis. Boston: Houhgton-Mifflin. Lord, Frederick, M. 1990. Aplications of Item Response Theory to Practical Testing Problrms. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers. Naga, Dali, S. 1992. Pengantar Teori Sekor Pada Pengukuran Pendidikan. Jakarta: Besbats Nitko. A. J. 1992. Criterion Refrence testing Worlshop.: Handdouts and Reading Material Tidak dipublikasikan). Cipayung, Bogor: Examination Development Unit (Puslitbang Sisjian) Setiadi, Hari. 1998. Bank Soal yang dikalibrasi dengan konsep IRT memecahkan permasalahan pada ujian-ujian sistematikyg diadakan pada periode-periode tertentu.. Jurnal Kajian Dikbud No. 013, Tahun IV . p. 7 Wright, Benjamin, D, & Stone, Mark, H. 1979. Best Test Design Chicago: Mesa Press.



123