Juris Vol.7, No.1, Juni 2017 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)



i



Volume 7 No. 1, Juni 2017



Penanggung Jawab Redaksi Patricia Cindy Andriani Pemimpin Umum Muhammad Ikram Afif Wakil Pemimpin Umum Emir Falah Azhari Adelia Hanny Rachman Pemimpin Redaksi Niza Ardania Ningtyas Redaktur Pelaksana Agnes Kusuma Staff Redaktur Ailsa Namira Imani



Chrissie Margareta



Jihan Amalia



Ainunnisa R. A.



Fajar Adi Nugroho



M. Fakhranshah



Aisha Adelia



Hana Oktaviandri



Trigaya Ahimsa



Andre Linggom



Ikhsanul Fikri



Velicia Khoswan



Desain dan Tata Letak Emir Falah Azhari



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



ii



Peer-reviewer



Andreas Pramudianto, S. H., M.Si. Akademisi Politik Lingkungan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia



Arie Afriansyah, PhD. Akademisi Hukum Internasional Publik, Fakultas Hukum Universitas Indonesia



Aristo Marisi Pangaribuan, LL. M. Akademisi Hukum Acara Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia



Muhammad Ramdan Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., PhD. Akademisi Hukum Lingkungan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia



Prof. Agus Sardjono, S. H., M.H. Akademisi Hukum Dagang, Fakultas Hukum Universitas Indonesia



Totok Dwi Diantoro, S. H., M. A., LL.M. Akademisi Hukum Lingkungan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada



Zainal Muttaqin, S. H., M. H. Akademisi Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



iii



PENGANTAR REDAKSI



Menurut Prof. Subekti, tujuan hukum adalah mengabdi kepada tujuan negara. Adapun tujuan negara yakni mewujudkan kemakmuran dan memberikan kebahagiaan pada rakyat di negara tersebut. Tujuan hukum tidak hanya untuk memperoleh keadilan tetapi harus ada keseimbangan antara tuntutan, kepastian hukum dan tuntutan keadilan hukum. Individu dalam menjalani hidup membutuhkan interaksi dengan individu lainnya karena satu individu saja tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup seluruhnya. Dengan adanya interaksi tersebut, maka kemungkinan besar terjadi pertemuan antara kepentingan dari masing-masing individu dan agar kepentingan tersebut dapat dicapai tanpa ada konflik dibutuhkan hukum sebagai pedoman untuk mengatur bagaimana suatu masyarakat atau kumpulan dari beberapa individu dalam memenuhi kepetingannya. Itu sebabnya dibutuhkan suatu aturan yang memaksa dan mengikat masing-masing individu agar ada kepastian bahwa aturan tersebut ditaati. Aturan ini terbentuk dalam suatu hukum. Jurnal ini akan mengkaji berbagai macam isu hukum. Seperti yang dipahami, hukum tidak hanya ada di satu bidang kehidupan manusia saja, misalnya hukum yang mengatur hubungan antara warga negara dengan negaranya. Hukum mencakup segala aspek kehidupan manusia karena sejatinya hukum tidak dapat dilepaskan dari keberadaan masyarakat. Oleh karena iu, sangatlah tepat untuk mengangkat topik hukum secara keseluruhan yang tidak hanya fokus pada satu pokok isu hukum saja. Hal tersebut akan disajikan di dalam tulisan ini. Juris, jurnal kajian ilmu hukum diterbitkan sebagai salah satu produk dari Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LK2 FHUI) yang memuat hasil kajian dan analisis suatu fenomena hukum tertentu oleh para mahasiswa, praktisi, dan akademisi. Diharapkan jurnal hukum ini dapat berkontribusi dalam ilmu pengetahuan khususnya dalam dunia hukum. Dengan terbitnya Juris ini, kami selaku Tim Redaksi berharap pembaca dapat memperoleh manfaat, baik guna menambah pengetahuan pembaca maupun meningkatkan minat dari pembaca dalam bidang literasi dan penulisan. VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



iv



Akhir kata, kami dari Tim Redaksi mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah meluangkan waktu untuk terlibat dalam penyusunan jurnal kajian ilmu hukum ini. Demi perbaikan di edisi-edisi berikutnya, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak.



Selamat membaca,



Tim Redaksi Juris



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



v



SAMBUTAN DIREKTUR EKSEKUTIF LK2 FHUI 2017



Assalamualaikum Wr. Wb. Salam sejahtera bagi kita semua. Suatu kebanggan bagi lembaga kajian keilmuan dapat memberikan sumbangsih nyata pada ilmu pengetahuan melalui sebuah karya. LK2 FHUI senantiasa berkomitmen mendukung perkembangan ilmu hukum dengan karyakarya terbaiknya. Juris adalah salah satu karya LK2 FHUI yang mampu merepresentasikan semangat lembaga ini mewujudkan pola pikir ilmiah dan jiwa keilmuan pada insan muda. Kreativitas dan aspirasi kritis mahasiswa mengenai suatu isu hukum dapat dituangkan dalam Juris agar turut memberikan kontribusi bagi masyarakat. Juris adalah Jurnal Ilmiah Hukum tahunan yang dikelola oleh LK2 FHUI dan merupakan salah satu program kerja dari Bidang Literasi dan Penulisan. Juris telah terdaftar sejak tahun 2011 dan berlangsung hingga sekarang. Setiap tahunnya, LK2 FHUI menerbitkan dua edisi Juris, yaitu pada bulan Juni dan Desember. Konsistensi ini dipertahankan sebagai wujud karakteristik lembaga yang responsif pada isu-isu hukum yang tengah berkembang dan memiliki urgensi untuk dibahas. Berbagai persoalan aktual dari dalam dan luar negeri dibahas dari perspektif hukum dan keilmuan lain yang relevan oleh penulis lokal maupun internasional. Sebagai jurnal hukum mahasiswa satu-satunya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Juris juga sudah berstandar nasional dengan ISSN dan dapat digunakan sebagai referensi penulisan karya ilmiah. Manfaat semacam inilah yang hendak dicapai oleh LK2 FHUI melalui pengembangan dan pembaharuan Juris dari tahun ke tahun. LK2 FHUI Periode 2017, dengan amat bangga, mempersembahkan Juris Volume 7 No. 1 Edisi Juni 2017. Setelah tahun lalu, Juris mengangkat tema mengenai kemaritiman dan perdagangan bebas, maka tahun ini Juris disajikan dalam kerangka tema besar LK2 FHUI Periode 2017, yakni: “Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) dalam Semangat



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



vi



Penegakan Hukum”. Tulisan-tulisan yang terdapat dalam Juris kali ini lebih variatif karena membedah 3 pilar utama dari pembangunan berkelanjutan, yaitu: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Para penulis membahas berbagai permasalahan hukum dari sisi publik maupun privat, mulai dari hukum pidana, hukum internasional publik, hukum lingkungan hingga hukum dagang. Setiap tulisan mengandung sebuah nilai dan kontribusi penulis bagi isu pembangunan berkelanjutan yang menjadi perhatiannya melalui solusi-solusi efektif. Besar harapan kami Juris mampu menjadi pionir dalam pengembangan jurnaljurnal ilmiah mahasiswa di berbagai fakultas hukum di Indonesia. Kehadiran Juris juga diharapkan mampu memberikan ide-ide solutif yang efektif dalam menyelesaikan sejumlah permasalahan hukum negeri ini. Setiap gagasan layak mendapat ruang dalam ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak lupa ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada jajaran penulis hebat yang telah bersedia menuangkan gagasannya dalam Juris. Tanpa kehadiran mereka, Juris tidak akan mampu memberikan manfaat yang optimal. Terima kasih pula kepada panitia Juris Volume 7 No. 1, di bawah kepemimpinan Tyas, selaku Pemimpin Redaksi, dan anggota keluarga Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2017 yang telah bekerja keras menyelesaikan masterpiece ini. Semoga proses 6 bulan yang tidak mudah mampu memberikan hasil yang memuaskan bagi teman-teman. Terakhir, terima kasih kepada bapak/ibu dosen yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menjadi mitra bestari (peer-reviewer) Juris. Kami tidak mampu membalas dengan penghargaan yang besar, namun kontribusi bapak/ibu bagi perkembangan ilmu pengetahuan sejatinya sangat berharga. Semoga Juris dapat menjadi wadah terbaiknya. Akhir kata, saya mewakili LK2 FHUI Periode 2017 mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam proses penyusunan Juris hingga mereka yang senantiasa menunggu terbitnya Juris. Selamat membaca!



Patricia Cindy Andriani Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



vii



DAFTAR ISI



1,5 Derajat: Mampukah Intended Nationally Determined Contributions (INDC) Memenuhi Target Paris Agreement? Dirayati Fatima Turner ………………………………….………....................... 1 Inspektorat Yudisial Sebagai Upaya Pemberantasan Judicial Corruption Guna Mewujudkan Lembaga Kehakiman yang Berintegritas Wahidiyah Putri Rahayu ……………………………………………………... 18 Kritik Terhadap Dualisme Konsep Pemisahan Kekayaan Negara di BUMN (Persero) dalam Hukum Positif di Indonesia dan Dampaknya Terhadap BUMN (Persero) Kharisma Bintang Alghazy …………………………………………………... 36 Penerapan Pertanggungjawaban Strict Liability Sebagai Dasar Pengajuan Gugatan Dalam Perkara Lingkungan Hidup Ezha Nafis Aufa Laili Dan Kenneth Nicholas ………………………………. 55 Penerapan Waris Pidana Sebagai Extraordinary Measure Untuk Memberantas Korupsi di Indonesia Josua Satria Collins …………………………………………………………… 80 Pengakuan Hak Ulayat Laut Masyarakat Hukum Adat Berbasis Environmental Stewardship untuk Mewujudkan Pengelolaan Perikanan yang Berkelanjutan M. Dimas Tribowo Dan Angela Vania Rustandi ……………………………. 97 Penyebab Kredit Bermasalah di Bank Mandiri Feryzal Putra Dan Nurini Aprilianda ……………………………………… 127 Rekonstruksi Asean Intergovernmental Commission On Human Rights (AICHR): Upaya Memperkuat Perlindungan HAM di Asia Tenggara Ratu Durotun Nafisah ……………………………………………………….. 155



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



1



1,5 DERAJAT: MAMPUKAH INTENDED NATIONALLY DETERMINED CONTRIBUTIONS (INDC) MEMENUHI TARGET PARIS AGREEMENT? Dirayati Fatima Turner1



Abstract The Paris Agreement as the latest legal instrument concerning climate change targets a 1.5°C increase in average global temperature. Countries participating in the Paris Agreement are asked to submit Intended Nationally Determined Contributions (INDCs). Research shows that INDCs are incapable of meeting the 1.5°C target. Keywords: climate change, INDCs, IPCC, Paris Agreement, UNFCCC.



1



Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan 2014. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected].



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



2



I. Pendahuluan Pada akhir tahun 2015, diadakan Conference of the Parties 21 yang kemudian melahirkan Paris Agreement. Salah satu target besar dalam Paris Agreement adalah bahwa negara-negara sepakat untuk menahan rata-rata kenaikan suhu global jauh di bawah 2°C dari suhu pre-industrial serta berupaya membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C dari suhu pre-industrial.2 Masing-masing negara diharuskan untuk mempersiapkan, mengkomunikasikan, dan mempertahankan kontribusinya untuk memenuhi target 1,5°C. 3 Negara-negara pada saat itu menyampaikan rencana kontribusi masing-masing sebelum Paris Agreement diselesaikan, sehingga kontribusi itu disebut Intended Nationally Determined Contributions (selanjutnya disebut INDC).4 Isu utama yang hendak dijawab oleh tulisan ini adalah, apakah setelah INDC dari masing-masing negara dihitung, dapat mencapai target 1,5°C yang ditetapkan oleh Paris Agreement? Ternyata, INDC tidak mampu mencapai target tersebut. Alasan pertama, penetapan INDC tidak melalui suatu kalkulasi, melainkan murni berasal dari seberapa besar kemauan suatu negara (voluntary). Idealnya memang INDC ditetapkan melalui suatu kalkulasi. Pertama, dihitung jumlah penurunan emisi global yang dibutuhkan agar target 1,5°C tercapai, kemudian angka itu diterjemahkan menjadi ‘jatah emisi’ bagi setiap negara. Terdapat beberapa teori yang membahas mengenai pembagian jatah emisi ini.5 Namun nyatanya, penetapan INDC tidak memiliki dasar ilmiah. Frasa ‘nationally determined’ menunjukkan bahwa INDC ditentukan oleh masing-masing negara. INDC murni datang dari seberapa besar kemauan suatu negara untuk membatasi kenaikan suhu bumi. Tidak ada yang menjamin bahwa apabila INDC masing2



United Nations, FCCC/CP/2015/10/Add.1, Decision 1/CP.21, 2015, pasal 2 huruf (a). Ibid, pasal 4 angka 2. 4 World Resources Institute, “What is an INDC?,” diakses pada 23 Maret 2017, http://www.wri.org/indc-definition. 5 Lihat Dominic Roser dan Christian Seidel, Climate Justice, penerjemah: Ciaran Cronin (Abingdon: Routledge, 2017), hlm. 97-158; Jeremy Moss, “Climate Justice,” dalam Climate Change and Social Justice, editor: Jeremy Moss (Melbourne: Melbourne University Press, 2009), hlm. 5166; Felix Ekardt, “Climate Change and Justice: Perspectives of Legal Theory,” dalam Climate Change and the Law, editor: Erkki J. Hollo, Kati Kulovesi, dan Michael Mehling (Dordrecht: Springer Science+Business Media, 2013), hlm. 63-79. 3



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



3



masing negara ini dihitung secara utuh sebagai suatu kontribusi global, ia akan memenuhi target 1,5°C. Alasan kedua, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa INDC masing-masing negara, yang berasal dari kemauan masing-masing itu, diproyeksikan tidak akan cukup untuk memenuhi target 1,5°C yang ditetapkan di Paris Agreement. Artikel ini terbagi menjadi empat bagian. Bagian A menjelaskan tentang latar belakang historis Conference of the Parties 21 dan gambaran umum mengenai Paris Agreement. Bagian B menjelaskan kenaikan suhu bumi dari perspektif sains. Dibahas pula alasan mengapa pada akhirnya angka 1,5°C yang ditetapkan di Paris Agreement. Bagian C menjelaskan tentang INDC. Diberikan contoh INDC dari beberapa negara. Pada akhirnya, Bagian D berupaya menjawab pertanyaan, mampukah INDC memenuhi target Paris Agreement?



II. Isi A. Conference of the Parties 21 dan Paris Agreement Pada tanggal 12-23 Februari 1979, diadakan World Climate Conference pertama di Jenewa, Swiss. World Climate Conference (selanjutnya disebut WCC) dihadiri oleh sekitar 300 ahli iklim dari 40 negara. 6 WCC menyatakan perlunya: (a) mengambil keuntungan secara utuh dari pengetahuan manusia saat ini mengenai iklim; (b) mengambil langkah untuk memperbaiki pengetahuan itu secara signifikan; dan (c) melihat dan mencegah potensi perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia yang dapat berdampak buruk bagi kehidupan manusia. 7 WCC adalah pertemuan pertama yang membahas mengenai perubahan iklim secara global. WCC tidak dihadiri oleh para pembuat kebijakan, melainkan oleh ilmuwanilmuwan di bidang iklim. Tidak ada instrumen hukum yang lahir dari WCC, namun



6 Robert M. White, “World Climate Conference: Climate at the Millennium,” Environment, Vol. 21 No. 3 (1979), hlm. 31. 7 William W. Kellogg, “Declaration of the World Climate Conference,” Environmental Conservation, Vol. 6: Issue 2 (April 1979), hlm. 137.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



4



WCC adalah langkah pertama yang sangat penting bagi masyarakat internasional dalam upaya bertindak terhadap perubahan iklim. Pada tahun 1988, didirikan Intergovernmental Panel on Climate Change (selanjutnya disebut IPCC). IPCC adalah badan internasional yang menganalisis sains terkait perubahan iklim. IPCC membekali pembuat kebijakan dengan dasardasar ilmiah mengenai perubahan iklim, dampak dan risikonya di masa depan, serta opsi-opsi untuk adaptasi dan mitigasi. 8 Hingga saat ini, IPCC masih memberikan laporan secara berkala bagi para pembuat kebijakan. Dua tahun kemudian, IPCC dan WCC ke-2 mendorong agar diadakan suatu perjanjian internasional mengenai perubahan iklim. Negosiasi mulai berlangsung di PBB mengenai suatu framework convention. Kemudian pada Earth Summit di Rio de Janeiro tahun 1992, ditetapkan United Nations Framework Convention on Climate Change (selanjutnya disebut UNFCCC), yang mulai berlaku pada tahun 1994.9 Earth Summit pada saat itu sekaligus mendirikan Conference of the Parties (selanjutnya disebut COP), sebagai badan tertinggi dari UNFCCC, yang mengawasi pelaksanaan UNFCCC serta instrumen-instrumen terkait. 10 Ketentuan dalam UNFCCC menyebutkan bahwa COP wajib diadakan setiap tahun, kecuali ditentukan lain oleh COP itu sendiri, 11 maka COP mulai diselenggarakan secara rutin setiap tahun. Pada tanggal 11 Desember 1997, COP 3 melahirkan Protokol Kyoto. Protokol Kyoto mewajibkan negara-negara maju untuk berkomitmen menurunkan emisi mereka. Konsep di balik Protokol Kyoto saat itu adalah bahwa negara-negara maju telah mendapatkan keuntungan dengan cara merusak bumi, sedangkan negaranegara berkembang belum mencapai tahap itu. Oleh karena itu, negara-negara maju 8 Intergovernmental Panel on Climate Change, “IPCC Factsheet: What is the IPCC?,” diakses pada 24 Maret 2017, http://www.ipcc.ch/news_and_events/docs/factsheets/FS_what_ipcc.pdf. 9 United Nations Framework Convention on Climate Change (1), “Background on the UNFCCC: The International Response to Climate Change,” diakses pada 23 Maret 2017, http://unfccc.int/essential_background/items/6031.php. 10 United Nations (2), FCCC/INFORMAL/84, GE.05-62220 (E) 200705, 1992, pasal 7 angka 1 dan 2. 11 Ibid, pasal 7 angka 4.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



5



memiliki kewajiban lebih besar dalam mengurangi perubahan iklim. Karena rumitnya proses ratifikasi, Protokol Kyoto baru berlaku pada tahun 2005. 12 Protokol Kyoto juga melahirkan instrumen-instrumen berupa Clean Development Mechanism, Joint Implementation, dan Carbon Trading. Protokol Kyoto belum menyebutkan target spesifik berupa angka batasan kenaikan suhu rata-rata global. Kemudian COP 21, yang diadakan di Paris, melahirkan Paris Agreement pada tanggal 12 Desember 2015. Paris Agreement dipandang sebagai sebuah langkah maju dari Protokol Kyoto 1997. Paris Agreement tidak lagi membedakan antara negara maju dan negara berkembang layaknya Protokol Kyoto. Selain itu, target 1,5°C juga dipandang sebagai sebuah kemajuan.13 B. Kenaikan Suhu 1,5°C Seperti yang telah dijelaskan di Pendahuluan, Paris Agreement memiliki target pembatasan kenaikan suhu rata-rata global sebesar 1,5°C. Timbul pertanyaan, mengapa harus 1,5°C?. Sebuah hasil penelitian yang dipublikasikan pada tahun 1976 menunjukkan bahwa perbedaan suhu bumi pada zaman es (18.000 tahun yang lalu) dan saat ini adalah sekitar 4,5 - 5,3°C.14 Namun, pada tahun 2011, sebuah analisis baru menunjukkan bahwa perbedaan itu hanya sekitar 3°C.15 Jika suhu bumi turun sebesar 3°C saja dapat menyebabkan terjadinya zaman es, bayangkan apa yang akan terjadi apabila suhu bumi naik sebesar 3°C. Pada tahun 2008, Lean dan Rind mengadakan penelitian mengenai pemanasan global dari pengaruh natural dan antropogenik. Mereka menemukan bahwa tidak



United Nations Framework Convention on Climate Change (2), “Making Those First Steps Count: An Introduction to the Kyoto Protocol.” diakses pada 24 Maret 2017, http://unfccc.int/essential_background/kyoto_protocol/items/6034.php. 13 Lihat Adrian Macey, “The Paris Climate Change Agreement: Text and Context,” Policy Quarterly, Vol. 12: Issue 1, (Februari 2016), hlm. 78; Annalisa Savaresi, “The Paris Agreement: A New Beginning?,” Journal of Energy & Natural Resources Law, Vol. 34: Issue 1 (2016), hlm. 17; Charlotte Streck, Paul Keenlyside, dan Moritz von Unger, “The Paris Agreement: A New Beginning,” Journal for European Environmental & Planning Law, Vol. 13: Issue 1 (2016), hlm. 8. 14 W. Lawrence Gates, “Modeling the Ice-Age Climate,” Science, Vol. 191 (19 Maret 1976), hlm. 1142. 15 J. D. Annan dan J. C. Hargreaves, “A New Global Reconstruction of Temperature Changes at the Last Glacial Maximum,” Climate of the Past, Vol. 9: Issue 1 (2013), hlm. 367. 12



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



6



ada proses natural yang dapat menyebabkan tren kenaikan suhu permukaan bumi saat ini. 16 Sejalan dengan temuan Lean dan Rind, data dari The National Aeronautics and Space Administration (NASA) Earth Observatory juga menunjukkan bahwa dibandingkan dengan faktor-faktor lainnya, faktor manusia paling berpengaruh terhadap pemanasan global. 17 Gambar 1. Kiri: Lean dan Rind; kanan: NASA Earth Observatory.



Pada tahun 2009, Lean dan Rind kembali mengadakan penelitian, kali ini tentang perubahan suhu bumi di masa yang akan datang. Salah satu temuan mereka adalah iklim akan terus mengeluarkan respon terhadap faktor-faktor yang telah mempengaruhinya di masa lampau. Respon ini akan terus berlansung secara linear selama beberapa dekade mendatang.18 Artinya adalah, bahkan bila semua manusia mengubah gaya hidup kita menjadi ramah lingkungan, dampak dari perbuatan manusia di masa lampau masih akan terasa selama beberapa dekade. Oleh karena itu, kita perlu bertindak cepat.



16 Judith L. Lean dan David H. Rind (1), “How Natural and Anthropogenic Influences Alter Global and Regional Surface Temperatures: 1889 to 2006,” Geophysical Research Letters, Vol. 35 (2008), hlm. 6. 17 The National Aeronautics and Space Administration Earth Observatory, “Is Current Warming Natural?,” diakses pada 24 Maret 2017, https://earthobservatory.nasa.gov/Features/GlobalWarming/page4.php. 18 Judith L. Lean dan David H. Rind (2), “How Will Earth’s Surface Temperature Change in Future Decades?,” Geophysical Research Letters, Vol. 36 (2009), hlm. 4.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



7



Joeri Rogelj, et. al. melakukan penelitian untuk melihat apakah memungkinkan untuk menjaga agar suhu rata-rata global hanya meningkat sebesar 1,5°C pada tahun 2100. Dalam penelitiannya, mereka menganalisis skenario energi, ekonomi, dan lingkungan secara terintegrasi. Mereka menemukan bahwa target 1,5°C memungkinkan untuk dilakukan. 19 C. Intended Nationally Determined Contributions COP 17 menghasilkan Durban Platform for Enhanced Action. Di bawah Durban Platform itu, negara-negara sepakat untuk memberikan “intended nationally determined contributions,” jauh sebelum COP 21 di Paris. 20 Akhirnya pada COP 21, negara-negara secara resmi memberikan INDC-nya masing-masing. Indonesia dalam INDC-nya menggunakan ‘business as usual’ (selanjutnya disebut BAU) sebagai perbandingan penurunan emisi. Indonesia berjanji untuk menurunkan emisi sebesar 26% secara mandiri, atau 41% dengan bantuan internasional, di bawah BAU pada tahun 2020. 21 Thailand juga menggunakan ukuran BAU. Thailand beritikad menurunkan emisi GHG sebesar 20% dari BAU pada tahun 2030.22 Tidak ada ukuran baku yang digunakan dalam INDC. Sebagai perbandingan, Malaysia menggunakan tahun 2005 sebagai tahun pembanding, dengan menargetkan tahun 2030. Selain itu, Malaysia menggunakan uukuran intensitas emisi gas rumah kaca (selanjutnya disebut GHG) terhadap GDP. Malaysia beritikad menurunkan intensitas emisi GHG terhadap GDP sebesar 45% pada tahun 2030 dibandingkan dengan tahun 2005.23 Sama dengan Malaysia, Singapura juga menggunakan 2005 sebagai tahun dasar dan 2030 sebagai tahun target, serta membandingkan emisi dengan GDP. Emisi GHG Singapura per S$GDP pada tahun 2005 adalah 0,176 kgCO2e/S$, dan 19 Joeri Rogelj, et. al. (1), “Energy System Transformations for Limiting End-of-Century Warming to Below 1.5°C,” Nature Climate Change, Vol. 5: Issue 6 (21 Mei 2015). 20 United Nations Framework Convention on Climate Change (1), Background on the UNFCCC. 21 Indonesia, Intended Nationally Determined Contribution, hlm. 5-6. 22 Thailand, Intended Nationally Determined Contribution, hlm. 1. 23 Malaysia, Intended Nationally Determined Contribution, hlm. 1.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



8



Singapura menargetkan emisi GHG per S$GDP pada tahun 2030 sejumlah 0.113 kgCO2e/S$.24 India pun menggunakan perbandingan dengan GDP. Target India adalah penurunan intensitas emisi GHG terhadap GDP sebesar 20-25% pada tahun 2020 dibandingkan dengan tahun 2005.25 Brasil pun menggunakan 2005 sebagai tahun dasar. Target Brasil dalam INDC-nya adalah menurunkan emisi GHG sebesar 37% di bawah tingkat tahun 2005 pada tahun 2025. 26 Amerika Serikat menggunakan cara yang sama dengan Brasil. Targetnya adalah menurunkan emisi GHG sebesar 26-28% di bawah tingkat tahun 2005 pada tahun 2025.27 Jepang berkomitmen menurunkan emisi GHG-nya sebesar 26% pada tahun 2030 dibandingkan dengan tahun 2013, dengan estimasi 1,042 milyar t-CO2 eq pada tahun 2030.28 Rusia menggunakan 1990 sebagai tahun dasar. Target Rusia adalah untuk menurunkan emisi GHG sebesar 70-75% dibandingkan dengan tingkat tahun 1990 pada tahun 2030.29 Berbeda dengan negara-negara lain, Tiongkok menyatakan empat target di dalam INDC-nya yang ditargetkan untuk tahun 2030, yakni:30 1. Mencapai puncak emisi karbon dioksida pada tahun 2030 dan melakukan upaya terbaik untuk memuncak secara dini; 2. Menurunkan emisi karbon dioksida per unit GDP sebesar 60-65% dari tingkat pada tahun 2005; 3. Meningkatkan penggunaan bahan bakar non-fosil dalam konsumsi energi primer sejumlah sekitar 20%; dan 4. Meningkatkan volume forest stock sejumlah sekitar 4,5 milyar meter kubik dibandingkan tingkat pada tahun 2005. INDC yang beragam seperti ini menimbulkan masalah. Pertama, tidak ada periode waktu tertentu yang menjadi target. Setiap negara menetapkan tahun targetnya 24



Singapura, Intended Nationally Determined Contribution, hlm. 1. India, Intended Nationally Determined Contribution, hlm. 8. 26 Brasil, Intended Nationally Determined Contribution, hlm. 1. 27 Amerika Serikat, Intended Nationally Determined Contribution, hlm. 1. 28 Jepang, Intended Nationally Determined Contribution, hlm. 1. 29 Rusia, Intended Nationally Determined Contribution, hlm. 1. 30 Tiongkok, Intended Nationally Determined Contribution, hlm. 5. 25



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



9



masing-masing. Kedua, satuan yang dijadikan ukuran pun berbeda-beda. Ada negara yang menggunakan tahun dasar, ada negara yang menggunakan BAU, ada pula negara yang membandingkan dengan GDP. Menjadi sulit untuk melihat progress utuh secara global. D. Kemampuan INDC dalam Pemenuhan Target Paris Agreement Dengan komitmen yang begitu beragam, kita kembali ke pertanyaan, mampukah INDC memenuhi target Paris Agreement? Terdapat beberapa penelitian yang telah menemukan bahwa angka 1,5°C mustahil dicapai oleh INDC. Sebuah penelitian yang diadakan oleh Postdam Institute for Climate Impact Research, Climate Analytics, NewClimate Institute, dan Ecofys menemukan bahwa emisi INDC berada jauh di atas tingkat yang dapat menahan kenaikan suhu ratarata global hingga hanya 1,5°C. 31 Gambar 2. Emisi INDC



Sumber: Postdam Institute for Climate Impact Research, Climate Analytics, NewClimate Institute, dan Ecofys, www.climateactiontracker.org/ClimateAnalytic/Ecofys/NewClimate/PIK



Louise Jeffery, et. al., “How Close are INDCs to 2 and 1.5°C Pathways?,” Climate Action Tracker Update, 1 September 2015, hlm. 1. 31



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



10



Pada Gambar 2, warna biru menunjukkan proyeksi emisi GHG apabila tetap mengikuti peraturan yang ada pada saat penelitian itu dilaksanakan (tahun 2015). Warna merah muda menunjukkan proyeksi GHG apabila mengikuti INDC. Warna kuning menunjukkan proyeksi GHG apabila ingin membatasi kenaikan suhu sebesar 2°C. Warna hijau menunjukkan proyeksi GHG apabila ingin membatasi kenaikan suhu sebesar 1,5°C, sesuai dengan target Paris Agreement. Panah di sebelah kanan menunjukkan selisih emisi GHG pada tahun 2025 dan 2030 antara INDC dengan apa yang seharusnya dilakukan, baik untuk mencapai 2°C maupun 1,5°C. Penelitian lain yang dilakukan oleh Climate Analytics juga menunjukkan bahwa INDC tidak akan memenuhi target 1,5°C yang terdapat di Paris Agreement.32 Gambar 3. Suhu rata-rata global 1900-2100.



Grafik pada Gambar 3 menunjukkan kurva suhu rata-rata global tahun 1900 sampai 2100 (berupa proyeksi). Tanpa peraturan apapun, median kenaikan suhu diproyeksikan sebesar 5,1°C. Dengan peraturan yang ada saat penelitian dilakukan



Michiel Schaeffer, et. al., “Feasibility of Limiting Warming to 1.5 and 2°C,” Climate Analytics, 30 November 2015, hlm. 8. 32



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



11



(tahun 2015), median kenaikan suhu diproyeksikan sebesar 3,6°C. Apabila sesuai dengan INDC, median kenaikan suhu diproyeksikan sebesar 2,7°C. Joeri Rogelj, et. al. dalam penelitiannya menggabungkan data dari beberapa penelitian mengenai



proyeksi kenaikan suhu rata-rata global. Mereka pun



menemukan bahwa apabila kita mengikuti INDC, target 1,5°C tidak akan tercapai.33 Gambar 4. Pemenuhan target kenaikan suhu global INDC.



Dari penelitian-penelitian tersebut, jelas terlihat bahwa INDC tidak mampu memenuhi target pembatasan kenaikan suhu rata-rata global sebesar 1,5°C sesuai Paris Agreement. Bahkan, INDC tidak mampu memenuhi target 2°C.



III. Penutup Upaya global untuk mengatasi perubahan iklim berawal dari dunia sains. Pada tahun 1979, diadakan World Climate Conference pertama, yang dihadiri oleh ilmuwan-ilmuwan di bidang iklim. Pada tahun 1988, didirikan Intergovernmental Panel on Climate Change yang menganalisis sains terkait perubahan iklim sebagai bekal bagi para pembuat kebijakan. Instrumen hukum internasional mengenai perubahan iklim baru muncul pada tahun 1992 pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Joeri Rogelj, et. al. (2), “Paris Agreement Climate Proposals Need a Boost to Keep Warming Well Below 2°C,” Nature, Vol. 534 (30 Juni 2016), hlm. 633. 33



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



12



berupa United Nations Framework Convention on Climate Change. Earth Summit ini sekaligus merupakan Conference of the Parties (COP) pertama. COP 3 pada tahun 1997 melahirkan rezim Protokol Kyoto. Rezim ini membedakan antara negara maju dan negara berkembang. Negara maju dianggap telah lebih banyak menimbulkan perubahan iklim, sehingga dituntut pertanggungjawaban yang lebih besar. Belum ada target spesifik yang hendak dicapai dalam Protokol Kyoto. COP 21 pada tahun 2015 melahirkan Paris Agreement, yang sudah tidak membedakan lagi antara negara maju dan negara berkembang. Paris Agreement juga menetapkan target spesifik, yakni menahan rata-rata kenaikan suhu global jauh di bawah 2°C dari suhu pre-industrial serta berupaya membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C dari suhu pre-industrial. Dari perspektif sains, angka tersebut adalah batas aman yang masih memungkinkan untuk dicapai. Dalam rangka pemenuhan target tersebut, masing-masing negara menetapkan target kontribusi mereka dalam penurunan emisi, yang disampaikan dalam bentuk Intended Nationally Determined Contribution (INDC). Setelah dihitung, ternyata INDC tidak mampu memenuhi target pembatasan kenaikan suhu rata-rata global di Paris Agreement. Lantas, apa yang dapat dilakukan?. INDC bukanlah sesuatu yang permanen. Setelah suatu negara meratifikasi Paris Agreement,



negara



tersebut



akan



menyerahkan



Nationally



Determined



Contribution (selanjutnya disebut NDC).34 INDC hanya merupakan suatu ‘niat,’ sedangkan NDC yang menjadi bentuk kontribusi resmi suatu negara. NDC suatu negara bisa sama dengan INDC-nya, bisa juga tidak. Maka dapat dikatakan bahwa masih ada harapan pemenuhan target 1,5°C. Apabila NDC setiap negara lebih ketat dibandingkan dengan INDC-nya, tidak menutup kemungkinan target Paris Agreement akan tercapai. Pada saat artikel ini ditulis, 139 dari 197 negara telah meratifikasi Paris Agreement. 35 Setelah semua negara memberikan



34



World Resources Institute, “What is an…” United Nations Framework Convention on Climate Change (3), “The Paris Agreement,” diakses pada 24 Maret 2017, http://unfccc.int/paris_agreement/items/9485.php. 35



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



13



NDC-nya, diperlukan penelitian lebih lanjut, apakah NDC tersebut dapat memenuhi target 1,5°C atau tidak. Fakta bahwa INDC tidak mampu memenuhi target Paris Agreement mencerminkan suatu kegagalan dalam pembuatan kebijakan mengenai perubahan iklim di tingkat internasional. Penelitian telah menunjukkan dampak negatif dari kenaikan suhu rata-rata global dalam derajat tertentu. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Paris Agreement pun telah menetapkan target suhu yang masih dimungkinkan untuk dicapai. Terdapat pula beberapa teori mengenai pembagian ‘jatah emisi,’ seperti yang telah dijelaskan di Pendahuluan. Akan tetapi, semua teori itu diabaikan. Paris Agreement gagal menghubungkan antara targetnya (1,5°C) dengan langkahlangkah yang perlu diambil agar target tersebut tercapai (INDC). Apa gunanya begitu banyak penelitian apabila pada akhirnya tidak diimplementasikan dalam regulasi?. Tidak dapat dipungkiri bahwa negosiasi tingkat internasional diwarnai dengan agenda politik. Perlu ada perubahan paradigma dari ‘warga negara’ menjadi ‘warga dunia.’ Penelitian dari Carbon Brief pada tahun 2016 menunjukkan bahwa apabila kita ingin mencapai target 1,5°C, dengan tingkat emisi CO2 yang stagnan sesuai tingkat tahun 2016, ‘jatah emisi’ yang tersisa bagi kita hanya cukup untuk lima tahun ke depan.36 Di saat yang kritis seperti ini, kita perlu mulai berpikir sebagai satu kesatuan ‘warga dunia’ dan memikirkan kepentingan dunia secara utuh, bukan hanya kepentingan masing-masing negara saja. Jika tidak, kita tinggal menunggu kepunahan kita.



36



Carbon Brief, “Analysis: Only Five Years Left Before 1.5C Carbon Budget is Blown,” diakses pada 24 Maret 2017, https://www.carbonbrief.org/analysis-only-five-years-left-before-onepoint-five-c-budget-is-blown.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



14



DAFTAR PUSTAKA



Buku Roser, Dominic dan Christian Seidel. Climate Justice. Penerjemah: Ciaran Cronin. Abingdon: Routledge, 2017.



Bab dalam Buku Ekardt, Felix. “Climate Change and Justice: Perspectives of Legal Theory.” Dalam Climate Change and the Law. Editor: Erkki J. Hollo, Kati Kulovesi, dan Michael Mehling. Dordrecht: Springer Science+Business Media, 2013. Moss, Jeremy. “Climate Justice.” Dalam Climate Change and Social Justice. Editor: Jeremy Moss. Melbourne: Melbourne University Press, 2009.



Artikel Intergovernmental Panel on Climate Change. “IPCC Factsheet: What is the IPCC?.” http://www.ipcc.ch/news_and_events/docs/factsheets/FS_what_ipcc.pdf. The National Aeronautics and Space Administration Earth Observatory. “Is Current Natural?.”



Warming



https://earthobservatory.nasa.gov/Features/GlobalWarming/page4.php. United Nations Framework Convention on Climate Change. “Background on the UNFCCC:



The



International



Response



to



Climate



Change.”



http://unfccc.int/essential_background/items/6031.php. United Nations Framework Convention on Climate Change. “Making Those First Steps



Count:



An



Introduction



to



the



Kyoto



Protocol.”



http://unfccc.int/essential_background/kyoto_protocol/items/6034.php.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



15



United Nations Framework Convention on Climate Change. “The Paris Agreement.” http://unfccc.int/paris_agreement/items/9485.php. World Resources Institute. “What is an INDC?.” http://www.wri.org/indcdefinition.



Jurnal Annan, J. D. dan J. C. Hargreaves. “A New Global Reconstruction of Temperature Changes at the Last Glacial Maximum.” Climate of the Past. Vol. 9. Issue 1. 2013. Gates, W. Lawrence. “Modeling the Ice-Age Climate.” Science. Vol. 191. 19 Maret 1976. Kellogg, William W. “Declaration of the World Climate Conference.” Environmental Conservation. Vol. 6. Issue 2. April 1979. Lean, Judith L. dan David H. Rind. “How Natural and Anthropogenic Influences Alter Global and Regional Surface Temperatures: 1889 to 2006.” Geophysical Research Letters. Vol. 35. 2008. Lean, Judith L. dan David H. Rind. “How Will Earth’s Surface Temperature Change in Future Decades?.” Geophysical Research Letters. Vol. 36. 2009. Macey, Adrian. “The Paris Climate Change Agreement: Text and Context.” Policy Quarterly. Vol. 12. Issue 1. Februari 2016. Rogelj, Joeri, et. al. “Energy System Transformations for Limiting End-of-Century Warming to Below 1.5°C.” Nature Climate Change. Vol. 5. Issue 6. 21 Mei 2015. Rogelj, Joeri, et. al. “Paris Agreement Climate Proposals Need a Boost to Keep Warming Well Below 2°C.” Nature. Vol. 534. 30 Juni 2016. Savaresi, Annalisa. “The Paris Agreement: A New Beginning?.” Journal of Energy & Natural Resources Law. Vol. 34. Issue 1. 2016.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



16



Streck, Charlotte, Paul Keenlyside, dan Moritz von Unger. “The Paris Agreement: A New Beginning.” Journal for European Environmental & Planning Law. Vol. 13. Issue 1. 2016. White, Robert M. “World Climate Conference: Climate at the Millennium.” Environment. Vol. 21. No. 3. 1979.



Dokumen-Dokumen Hukum Amerika Serikat. Intended Nationally Determined Contribution. Brasil. Intended Nationally Determined Contribution. India. Intended Nationally Determined Contribution. Indonesia. Intended Nationally Determined Contribution. Jepang. Intended Nationally Determined Contribution. Malaysia. Intended Nationally Determined Contribution. Rusia. Intended Nationally Determined Contribution. Singapura. Intended Nationally Determined Contribution. Thailand. Intended Nationally Determined Contribution. Tiongkok. Intended Nationally Determined Contribution. United Nations. FCCC/CP/2015/10/Add.1, Decision 1/CP.21. 2015. ____________. FCCC/INFORMAL/84, GE.05-62220 (E) 200705. 1992.



Lain-Lain Jeffery, Louise, et. al. “How Close are INDCs to 2 and 1.5°C Pathways?.” Climate Action Tracker Update. 1 September 2015. Schaeffer, Michiel, et. al. “Feasibility of Limiting Warming to 1.5 and 2°C,” Climate Analytics, 30 November 2015.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



17



BIODATA PENULIS



Dirayati Fatima Turner lahir di Jakarta pada 5 Maret 1996, adalah mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Indonesia



(FHUI),



dengan



peminatan



Hukum



Lingkungan dan Sumber Daya Alam. Ia memiliki ketertarikan terhadap isu lingkungan hidup. Semasa sekolah, ia pernah menulis karya ilmiah berjudul Satwa Liar yang Terancam Punah, juga ikut berkampanye di media sosial untuk isu-isu lingkungan. Ia diterima tanpa tes dan mendapatkan beasiswa di SMP dan SMA, keduanya melalui jalur prestasi akademik. Pada tahun 2013, ia menjadi semifinalis dalam The 7th International Law Moot Court Competition for High School Students di Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan. Saat ini, di samping berkuliah, Dira juga bekerja sebagai tenaga magang di Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik. Di waktu luangnya, Dira memiliki hobi menari. Pada tahun 2007, ia menari di Istana Bogor di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rangka Lomba Lukis dan Cipta Puisi Anak Nasional. Ia juga telah mewakili Indonesia di beberapa festival internasional, yakni 23 April International Pendik Children’s Festival (2007), 13th International Şişli Culture and Art Festival (2012), dan Denizli Municipality 13th International Folk Dance Festival (2013). Ia pun sempat menjabat sebagai Kepala Divisi Tari di Law’s Art Performers FHUI pada tahun 2016.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



18



INSPEKTORAT YUDISIAL SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN JUDICIAL CORRUPTION GUNA MEWUJUDKAN LEMBAGA KEHAKIMAN YANG BERINTEGRITAS Wahidiyah Putri Rahayu1



Abstract The number of judges involved in the issue corruption are corruption so increased, therefore repressive and preventive controlling needs to be strengthened. Many vulnerable bribed judges in court disputing parties due to problematic recruitment system of judges. Goals of the paper are to inform about the urgency of the judicial inspectorate as judicial corruption eradication and to know and identify the concept the judicial inspectorate as eradication efforts of judicial corruption for realize judicial integrity institute. This paper uses the type of normative juridical research is research conducted by reviewing and analyzing the substance of the legislation on main issues. Keyword: judicial corruption, judicial inspectorate



1 Penulis adalah Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Jalan MT Haryono Nomor 169 Malang, 65145, Indonesia, No. Telp. +62-341-575777 Fax +62-341-556505, http://www.hukum.ub.ac.id. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail: [email protected].



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



19



I. Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang menganut konsep negara berdasarkan atas hukum. Hal tersebut dirumuskan secara tegas dalam Pasal 1 ayat (3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Sejalan dengan konsep tersebut maka salah satu elemen penting dalam konsep negara hukum menurut The International Commission of Jurists adalah adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary).2 Namun, konteks independensi kekuasaan kehakiman (independency of judiciary) tidak boleh dipahami secara absolut sehingga diperlukan pengimbang independensi dan untuk menjaga kekuasaan kehakiman.3 Pengimbang independensi yang dimaksud di atas merupakan pengimbangan dalam bentuk pengawasan. Kekuasaan kehakiman yang merdeka bukan berarti kekuasaan tersebut bebas dari pengawasan. Berdasarkan konteks supremasi hukum, pengawasan merupakan salah satu unsur esensial dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih, sehingga siapapun pejabat negara tidak boleh menolak untuk diawasi. 4 Menurut Adagium Lord Acton “power tends to corrupts, but absolute power corrupts absolutely”. Artinya, lembaga atau orang yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas (absolut) pasti akan dapat disalahgunakan dan dapat terjadi di waktu yang akan datang. 5 Pengawasan terhadap hakim sangatlah diperlukan untuk menciptakan independensi dan akuntabilitas perilaku hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan serta menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Namun, pengawasan saat ini dinilai kurang maksimal dikarenakan banyak aparat



Jimly Asshidiqie, “Gagasan Negara Hukum Indonesia,” diakses pada 5 April 2017, http://www.jimly.com/makalah/namafile/135/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf. 3 A. Ahsin Thohari, “Desain Konstitusional Komisi Yudisial dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,” Jurnal Legislasi Indonesia, Vol 7:1 (Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundangundangan Kementerian Hukum dan HAM, Maret 2010), hlm. 63. 4 Prim Fahrur Razi, “Sengketa Kewenangan Pengawasan Antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial” (Tesis Magister Universitas Diponegoro, Semarang, 2007), hlm. 49. 5 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Yogyakarta: UII Press, 2003), hlm. 4. 2



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



20



penegak hukum khususnya hakim, terlibat masalah tindak pidana ataupun pelanggaran kode etik. Catatan Komisi Yudisial (KY) menunjukkan sejak Januari hingga Mei 2016 sudah ada 11 aparat pengadilan yang terdiri atas tiga pejabat pengadilan dan delapan hakim yang kasusnya mengemuka di media, belum lagi yang tidak terjangkau publikasi. Data KPK juga menunjukkan bahwa sepanjang 2005-2016 sudah ada 41 aparat penegak hukum yang melakukan atau terkait dengan perbuatan korupsi, termasuk tiga orang yang baru ditangkap KPK, 18 diantaranya adalah hakim yang terlibat kasus suap.6 Pada tahun 2016, Komisi Yudisial menerima 1092 laporan masyarakat dengan rincian berikut:7 Komisi Yudisial (KY) mengungkapkan penanganan laporan masyarakat pada Januari s.d 31 Agustus 2016. Pada periode itu, KY menerima 1.092 laporan masyarakat dan 1.257 surat tembusan. Lebih lanjut, jenis perkara yang banyak diadukan dalam laporan masyarakat itu adalah perdata (49%), pidana (29%), tata usaha negara (8%), dan tindak pidana korupsi (7%), agama (3%) dan pengadilan hubungan industrial (3%). Jenis perkara tindak pidana korupsi meski hanya berjumlah 7% dari total laporan masyarakat yang masuk, tetapi jumlah laporan mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan tahun lalu. Pada periode Januari-31 Agustus 2015, rekapitulasi penerimaan perkara Tipikor yang dilaporkan hanya berjumlah 17. Sementara periode Januari s.d. 31 Agustus 2016 berjumlah 74 laporan. Laporan ini berasal dari pelapor (60,8%), lembaga swadaya masyarakat (29,7%), informasi (5,4%), dan penghubung (4%). Dengan meningkatnya jumlah hakim yang terlibat dalam masalah tindak pidana korupsi, maka pengawasan secara represif maupun preventif perlu diperkuat. Pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisal masih terpaku pada pengawasan yang bersifat represif, yaitu upaya penanganan suatu



Desca Lidya, “Deretan Aparat Hukum di Tangan KPK,” diakses pada 30 Maret 2017, http://www.antaranews.com/berita/562954/deretan-aparat-penegak-hukum-di-tangan-kpk. 7 Press Release Komisi Yudisial, “KY Ungkap Penanganan Laporan Masyarakat Caturwulan II Tahun 2016,” diakses pada 30 Maret 2017, http://www.komisiyudisial.go.id/downlot.php?file=Press-Release-KY-Ungkap-PenangananLaporan-Masyarakat-Caturwulan-II-Tahun-2016.pdf. 6



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



21



masalah setelah masalah tersebut terjadi. Sementara pengawasan preventif masih kurang massive, seperti melalui proses rekrutmen. Eddy Os Hiariej, pakar hukum pidana, dalam wawancaranya bersama CNN Indonesia pada hari Rabu, 25 Mei 2016 menilai bahwa banyaknya hakim yang rentan disuap pihak bersengketa di pengadilan disebabkan sistem rekrutmen hakim yang bermasalah. Eddy berpendapat bahwa rekrutmen hakim yang tidak terbuka sangat mempengaruhi mentalitas seorang hakim. 8 Selain itu, sejarah membuktikan pengawasan internal yang dilakukan Mahkamah Agung ternyata tidak mampu mengemban amanat untuk menumpas judicial corruption atau mafia peradilan di lingkup kekuasaan kehakiman. 9 Terkait rekrutmen hakim, terdapat beberapa subjek yang menjadi panitera. Panitera dalam rekrutmen hakim terdapat dalam Pasal 6 Perma Nomor 6 Tahun 2016 tentang Penyusunan dan Penetapan Kebutuhan Serta Pengadaan Tenaga Hakim. Namun, dalam peraturan tersebut tidak terdapat panitera yang memiliki unsur sebagai pengawas, bahkan Komisi Yudisial yang berwenang dalam mengawasi perilaku atau etika para hakim tidak dilibatkan dalam proses rekrutmen. Perlu diketahui bahwa hakim tidak hanya dituntut untuk memiliki keahlian di bidangnya, namun juga etika khusus yang melekat padanya. Etika merupakan perilaku konkret yang didasarkan pada pandangan moral tertentu yang dimiliki oleh seseorang dalam menjalankan suatu tugas profesional. 10 Etika diperlukan guna memelihara agar penyelenggaraan tugas profesional konsisten dengan tujuannya yang dalam tugas mengadili adalah memberikan keadilan. 11 Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa masalah integritas aparat penegak hukum sudah menjadi masalah



Priska Sari Pratiwi, “Banyak Hakim Terima Suap, Sistem Rekrutmen Dinilai Bermasalah,” diakses pada 6 April 2017, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160526024751-12-133495/banyak-hakim-terima-suapsistem-rekrutmen-dinilai-bermasalah/. 9 John Pieris, “Gerakan dan Langkah Nyata Komisi Yudisial dalam Mengemban Amanat UUD 1945 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi,” (2007). 10 Ahmad Fadlil Sumadi, Pengawasan dan Pembinaan Pengadilan (Malang: Setara Press, 2013), hlm. 272. 11 Ibid. 8



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



22 5 legenda di Tanah Air, tidak mudah untuk mendapatkan aparat penegak hukum yang baik dan jujur.12 Saat ini sangat dibutuhkan seorang hakim yang berintegritas dan tidak hanya menerapkan undang-undang, tetapi juga mampu menegakkan keadilan. Hakim merupakan model atau sistem pengayoman yang matanya tidak boleh ditutup. Hal ini agar hakim mampu berjuang untuk melihat hukum dalam konteks pergolakan serta perubahan zaman. Maka dari itu diperlukan upaya pengawasan secara preventif dengan adanya Inspektorat Yudisial sebagai Upaya Pemberantasan Judicial Corruption Guna Mewujudkan Lembaga Kehakiman yang Berintegritas. Kemudian,



berdasarkan



latar



belakang



tersebut



dapat



ditarik



beberapa



permasalahan yang akan dibahas dalam artikel ini. Pertama, bagaimana urgensi adanya Inspektorat Yudisial sebagai pemberantasan judicial corruption? Kedua, bagaimana konsep Inspektorat Yudisial sebagai upaya pemberantasan judicial corruption guna mewujudkan lembaga kehakiman yang berintegritas?.



II. Isi A.



Urgensi Adanya Inspektorat Yudisial Sebagai Pemberantasan Judicial Corruption



Saat ini banyak terjadi permasalahan yang terjadi pada hakim, seperti yang dapat terlihat dari banyaknya pemberitaan media tanah air bahwa kini hakim tidak lagi dipercaya oleh masyarakat. Saat ini sangat dibutuhkan seorang hakim yang memiliki etika dan moral yang memenuhi persyaratan. Berikut adalah beberapa kriteria hakim yang beretika dan bermoral yaitu, memiliki kemampuan hukum (legal skill) dan pengalaman yang memadai; memiliki integritas, moral dan karakter yang baik; mencerminkan keterwakilan dari masyarakat (baik secara ideologis, etnis, gender, status sosial-ekonomi dan sebagainya); memiliki nalar yang baik; memiliki visi yang luas; memiliki kemampuan berbicara dan menulis; mampu



12



Amir Syamsudin, Integritas Penegak Hukum (Jakarta: Kompas, 2008), hlm 13.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



23



menegakkan negara hukum dan bertindak independen dan impasial; memiliki kemampuan administratif; dan efisien. 13 Maka perlu dilakukan sebuah upaya Inspektorat Yudisial sebagai upaya pemberantasan judicial corruption guna mewujudkan hakim berintegritas melalui perbaikan dalam pola perekrutan hakim. Inilah yang sangat diperlukan untuk menjamin adanya keadilan dalam persidangan, tetapi tentu saja peraturan hakim masih bersifat parsial dan tersebar di seluruh peraturan perundang-undangan. Payung hukum mengenai rekrutmen hakim sangat diperlukan bukan untuk memberikan tanggapan perlu atau tidaknya suatu lembaga eksternal peradilan yang membantu dalam pengawasan dan rekrutmen hakim, tetapi lebih kepada membantu tugas dan kewenangan lembaga eksternal peradilan sehingga bisa memaksimalkan tugas dan kewenangan lembaga ini. Di mana hasilnya dapat menciptakan peradilan yang bebas dari campur tangan pihak-pihak lain. Mahkamah Agung, yang notabenenya sebagai lembaga pemerintahan yudikatif yang independen di dalam bidang peradilannya, harus diimbangi dengan adanya kontrol dan akuntabilitas sehingga tidak terjadi tirani yudikatif. Adanya prinsip check and balances merupakan kerangka besar untuk menghilangkan risiko kemerdekaan hakim yang berpotensi menimbulkan penyimpangan perilaku dan etika. 14 Disinilah perlu adanya lembaga yang mengawasi perilaku hakim disaat sebelum menjadi hakim dan disaat sudah menjadi hakim. Akan tetapi keterlibatan lembaga eksternal tersebut (Komisi Yudisial) dalam pengawasan rekrutmen calon hakim tidak lagi memiliki kewenangan, setelah keluarnya putusan MK No. 43/PUU-XIII/2015. Maka adagium dari Lord Acton “power tends to corrupts, but absolute power corrupt absolutely”, artinya manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas (absolut) pasti akan dapat disalahgunakan, dapat terjadi di waktu yang akan datang.15



13



The Hon. Michael Lavarch, Discussion Paper: Judicial Appointment: Procedure and Criteria (1993). 14 Taufiqurrohman Syahuri, “Peran Komisi Yudisial Dalam Pengawasan Hakim Terhadap Dilema Independensi Kekuasaan Hakim,” hlm. 8. 15 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara…, hlm. 4.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



24



Dari hal tersebut sangat diperlukan adanya pengawasan terhadap calon hakim pada saat rekrutmen hakim. Jika tidak ada tahap pengawasan, secara preventif akan berdampak semakin buruk kedepan. Misalnya semakin banyak berita mengenai pelanggaran kode etik hakim, seperti yang terjadi pada bulan Mei 2016, MKH menjatuhkan sanksi pemecatan dengan hak pensiun kepada Tri Hastono, hakim di Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang terbukti selingkuh. Tri terbukti selingkuh beberapa kali dengan Heryawat, yang merupakan istri dari seorang PNS di Kabupaten Rotendao, Nusa Tenggara Timur (NTT) bernama Suyanto.16 Contoh lainnya yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyerahkan lima tersangka dan barang bukti kasus dugaan penyuapan yang melibatkan dua hakim, yaitu hakim Janner Purba dan Toton, serta kasus tindak pidana korupsi Pengadilan Negeri Bengkulu ke Kejaksaan Tinggi Bengkulu pada Kamis, 15 September 2016.17 Pada tahun 2017, kasus suap juga menyandung salah satu hakim Mahkamah Konstitusi, yaitu Patrialis Akbar. Menurut data KY, kasus penyuapan mendominasi pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH). Perincian kasus tersebut adalah penyuapan 42,2 persen, perselingkuhan 28,9 persen, indispliner 11,1 persen, narkoba 6,7 persen, memainkan putusan 4,4 persen, dan pelanggaran lainnya 6,7 persen. 18 Dari data tersebut dapat terlihat bahwa pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku Hakim (KEPPH) sebagian besar terjadi karena penyuapan. Hal ini dapat memperburuk institusi ini, sehingga perlu adanya pembentukan lembaga peradilan yang berwibawa, bersih, jujur, dan tidak memihak siapapun. Untuk mencapai kriteria menjadi lembaga yang berwibawa, bersih, jujur dan tidak memihak siapapun, diperlukan adanya proses yang mendukung hal tersebut dimana proses itu adalah melalui tahap rekrutmen calon hakim.



Muhammad Nur, “Masalah Penyuapan dan Asusila Dominasi Pelanggaran Etik Hakim,” (15 September 2016), diakses pada 30 Maret 2017, https://beritagar.id/artikel/berita/masalahpenyuapan-dan-asusila-dominasi-pelanggaran-etik-hakim. 17 Phesi Ester, “KPK Serahkan Hakim Janner ke Kejaksaan Tinggi Bengkulu,” (15 September 2016), diakses pada 30 Maret 2017, https://nasional.tempo.co/read/news/2016/09/15/058804429/kpk-serahkan-hakim-janner-kekejaksaan-tinggi-bengkulu. 18 ASH, “Kasus Suap Dominasi Penghukuman Hakim Lewat MKH,” hukum online, diakses pada 30 Maret 2017, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57d922b6478f1/kasus-suapdominasi-penghukuman-hakim-lewat-mkh. 16



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



25



Alasan lain terkait butuhnya yaitu, Inspektorat Yudisial atau pengawas di sini adalah karena Indonesia sebagai negara hukum harus sejalan dengan jiwa dan semangat UUD 1945 yang mengedepankan prinsip keseimbangan dan kontrol antar lembaga tinggi negara. Maka untuk menciptakan Hakim yang berintegritas, memiliki akhlak yang baik, nasionalis, jujur, dan independen harus dari dasarnya atau pada saat tahap seleksi rekrutmen. Saat ini Indonesia telah memiliki Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang diadopsi dari Bangalore Principles of Judicial Conduct. Kode etik tersebut bisa menjadi suatu acuan atau landasan mengenai bisa atau tidaknya lembaga peradilan menghasilkan hakim yang secara yuridis dan etika baik. Mengutip pendapat dari Menteri Kehakiman Belanda, Odette Buitendam, yang menyatakan bahwa ”good judges are notborn but made.”19 Oleh karena itu, perlu adanya sistem rekrutmen yang bagus mulai dari persyaratannya apa, siapa yang menyeleksi, serta bagaimana proses rekrutmennya. Jika sudah ada payung hukum soal RUU jabatan hakim, nantinya diharapkan bisa menjadi peraturan yang tidak indah dalam kata-kata saja tetapi juga indah saat penerapannya. Indah pada saat penerapannya memiiki arti harus sejalan dengan UU yang telah dibuat, yaitu mulai dari parameter yang objektif,



adanya prinsip



keterbukaan partisipasi masyarakat yang berakuntabilitas dan bertransparansi, 20 sehingga tugas



pengawasan itu sangatlah diperlukan guna menjaga



dan



menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku para hakim. B. Konsep Inspektorat Yudisial Rekrutmen Hakim Sebagai Upaya Akselerasi Mewujudkan Hakim yang Berintegritas Hakim merupakan pemeran utama dalam penegakan hukum (law enforcement). Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak akan dibuktikan di pengadilan.



Independensi



peradilan



juga



harus



diimbangi



dengan



Odette Buitendam, “Good Judges Are Not Born But Made: Recruitment, Selection and the Training of Judges in the Netherlands,” The Challenge of Change for Judicial Systems, Edited by Marco Fabri and Philip M. Langbroek (Netherlands: IOS Press, 2000), hlm. 211. 20 Rifqi Sjarief Assegaf, ”Hanya Hakim yang Bersih dan Kompeten yang Layak Adili Koruptor!,” Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 2 No. I (Januari 2002), hlm. 8– 18. 19



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



26



pertanggungjawaban peradilan. Hakim yang ideal merupakan hakim yang berintegritas, dan memenuhi beberapa kualifikasi, yaitu21: 1. Profesional dalam menjalankan tugas; 2. Berwibawa dalam menjaga martabat peradilan; dan 3. Berperilaku baik sesuai Pedoman Perilaku Hakim. Namun dalam kenyataannya kondisi hakim saat ini belum seperti yang diharapkan, independensi hakim mulai tergerus dengan berbagai godaan duniawi dan mengesampingkan kode etik yang seharusnya dijaga. Pengawasan hakim oleh Mahkamah Agung maupun Komisi Yudisial belum maksimal karena pengawasan yang diterapkan hanya pengawasan secara represif. Sehingga perlu adanya upaya preventif melalui rekrutmen hakim. Terkait rekrutmen hakim terdapat beberapa subjek yang menjadi panitera. Panitera dalam rekrutmen hakim terdapat dalam Pasal 6 Perma Nomor 6 Tahun 2016 tentang Penyusunan dan Penetapan Kebutuhan Serta Pengadaan Tenaga Hakim adapun subjek-subjek tersebut, yaitu: 1. Unsur pimpinan dan Hakim Agung; 2. Pejabat Struktural Mahkamah Agung; 3. Akademisi; 4. Psikolog/Assesor; dan 5. Kesekretariatan. Tidak ada panitera yang memiliki unsur sebagai pengawas, bahkan Komisi Yudisial yang berwenang dalam mengawasi perilaku atau etika para hakim tidak dilibatkan dalam proses rekrutmen. Dalam hal rekrutmen hakim, meskipun konstitusi hanya memberikan kewenangan terhadap Komisi Yudisial untuk melakukan seleksi hakim agung saja, namun berdasarkan ketentuan tiga undang-undang bidang peradilan tahun 2009 Komisi Yudisial juga diberikan wewenang yang lebih luas lagi, yaitu Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung memiliki kewenangan



21



Ahmad Fadlil Sumadi, Pengawasan dan Pembinaan Pengadilan (Malang: Setara Press, 2013), hlm 271.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



27



untuk melakukan seleksi pengangkatan hakim pada pengadilan negeri, pengadilan agama, dan pengadilan tata usaha negara. 22 Hal tersebut dijelasakan dalam Pasal 14A ayat (2) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum yang menyebutkan, “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial”, kemudian pada ayat (3) disebutkan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial”. Selain itu, tertuang juga dalam Pasal 13A ayat (2) UU No 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama disebutkan, “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan agama dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial”, kemudian pada ayat (3) disebutkan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial”. Ketentuan yang sama juga terdapat dalam Pasal 14A ayat (2) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan, “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan tata usaha negara dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial”, kemudian ayat (3) menyebutkan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial”. Sistem rekrutmen hakim yang ideal adalah sistem rekrutmen yang dilakukan secara transparan dan adanya pengawasan secara efektif. Hal itu merupakan bagian dari upaya penegakkan independensi dan objektivitas penilaian. Selain itu, dalam rekrutmen hakim faktor penting yang harus dipertimbangkan adalah intelektualitas dan integritas para calon hakim. 23 Maka dari itu diperlukan panitera tambahan yang dapat melakukan pengawasan dalam proses rekrutmen hakim sebagai bentuk pengawasan secara preventif. Pengawasan ini berfungsi untuk mencegah adanya pelanggaran kode etik atau perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh hakim yang telah direkrut. Akan lebih baik jika upaya pengawasan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dilakukan



22 Taufiqurrohman Syahuri, “Sistem Rekrutmen Hakim Berdasarkan Tiga Undang-Undang Bidang Peradilan Tahun 2009 untuk Mewujudkan Peradilan Bersih,” diakses pada 30 Maret 2017, http://www.pkh.komisiyudisial.go.id/id/files/Pustaka/Publikasi/makalah_cha.pdf. 23 Marwan Mas, Nasional Kompas, diakses pada 30 Maret 2017.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



28



dari dua sisi, yaitu pencegahan atau preventif dan penjatuhan sanksi atau penegak hukum yang biasa disebut represif. Gagasan penulis ialah menambahkan elemen baru ke dalam panitera rekrutmen hakim, yaitu Inspektorat Yudisial. Inspektorat Yudisial adalah panitera pengawas dalam rekrutmen hakim yang terdiri dari beberapa anggota Komisi Yudisial. Penulis menjadikan Komisi Yudisial sebagai panitera pengawas bukan tanpa alasan. Alasan tersebut ialah: 1. Menurut Pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945, Komisi Yudisial atau disebut dengan KY mempunyai wewenang sebagai berikut: 24 a. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan; b. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim; c. Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-sama dengan Mahkamah Agung; d. Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Sebagai bentuk pelaksanaan wewenangnya dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim, Komisi Yudisial berhak dalam mengawasi calon hakim yang akan direkrut sebagai bentuk pencegahan dan bentuk upaya akselerasi mewujudkan hakim yang berintegritas. 2. Komisi Yudisial diberi wewenang oleh 3 (tiga) undang-undang terkait peradilan, yaitu UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, UU No 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama dan UU No. 51 Tahun 2009 tentang PTUN. Bahwa sistem perekrutan hakim menurut 3 (tiga) undang-undang tersebut ialah perekrutan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.



24 “Wewenang dan Tugas,” Komisi Yudisial, diakses http://www.komisiyudisial.go.id/statis-38-wewenang-dan-tugas.html.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



pada



30 Maret



2017,



29



3. Komisi Yudisial hanya mengawasi hakim/calon hakim berdasarkan kode etik, bukan peradilan. Sehingga kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak tetap terjaga. Menurut Pasal 20 UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial, dalam menjaga dan menegakkan kehormatan,keluhuran martabat,serta perilaku hakim adalah sebagai berikut: a. Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim; b. Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim; c. Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup; d. Memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim; e. Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim, dan f. Serta mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim. Gambar 5. Inspektorat Yudisial. Pembentukan Panitia Terdiri atas, Pasal 6: 1. Unsur pimpinan dan Hakim Agung 2. Pejabat Struktural MA 3. Akademisi 4. Psikologi 5. Kesekretariatan 6. Inspektorat Pasal 12Yudisial Yang lulus pendidikan diusulkan oleh Ketua MA kepada Hakim, yang tidak lulus dinatakan gugur



Tahapan Seleksi, Pasal 8: 1. Seleksi Administrasi 2. Seleksi Kompetisi Dasar 3. Seleksi Kompetensi Bidang 4. Seleksi Substansi Hukum 5. Psikotes Pasal 11 1. Pendidikan Calon Hakim6. Wawancara Pasal 9 7. Baca Kitab (Khusus 2. Honorarium selama Pengumuman calon hakim Pengadilan Pendidikan Agama) hasil seleksi 3. Honoranium dihentikan setelah mendapat pengangkatan sebagai hakim Pengumuman Lowongan Pasal 7



Bagan tersebut merupakan representasi dari gagasan mengenai Inspektorat Yudisial. Inspektorat Yudisial akan bertugas mengawasi di setiap proses seleksi. Termasuk dalam penentuan calon hakim yang lolos dalam proses seleksi dan



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



30



pendidikan calon hakim. Hal ini bertujuan agar pengawasan dapat dilakukan secara totalitas dan tuntas. Sehingga calon hakim yang lolos dalam pendidikan calon hakim benar-benar hakim yang berintegritas, profesional dan memegang teguh kode etik. Sehingga terwujud penegakan hukum yang ideal.



III. Penutup Urgensi adanya Inspektorat Yudisial Sebagai Pemberantasan Judicial Corruption melalui rekrutmen hakim ialah untuk mewujudkan hakim berintegritas melalui perbaikan dalam pola perekrutan hakim guna menjamin adanya keadilan dalam persidangan. Selain itu, upaya preventif adanya korupsi di lingkungan pengadilan dan penerapan prinsip check and balances merupakan kerangka besar untuk menghilangkan risiko kemerdekaan hakim yang berpotensi menimbulkan penyimpangan perilaku dan etika terutama korupsi. Konsep dari artikel ini ialah menambahkan elemen baru ke dalam panitera rekrutmen hakim, yaitu Inspektorat Yudisial. Inspektorat Yudisial adalah panitera pengawas dalam rekrutmen hakim yang terdiri dari beberapa anggota Komisi Yudisial. Lembaga peradilan sebagai benteng terakhir untuk masa yang akan datang harus lebih memperhatikan kebenaran dan keadilan masyarakat. Pertama, harus bisa mengedepankan rekrutmen dan seleksi calon hakim yang objektif dalam prosesnya seperti adanya parameter yang objektif, partisipasi publik saat pencalonan hakim, akuntabilitas, dan transparansi. Kedua, agar terciptanya hakim-hakim yang berintegritas dan mencegah adanya korupsi di lingkungan pengadilan, maka Mahkamah Agung bersama Komisi Yudisial harus bekerjasama dalam pengawasan perilaku dan kode etik hakim .



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



31



DAFTAR PUSTAKA



Buku Arifin, Firmansyah. Komisi Yudisial Pengawal Reformasi Peradilan, Mendayung diantara Simpati dan Resistensi. Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan. Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial, 2007. Buitendam, Odette. “Good Judges Are Not Born But Made: Recruitment, Selection and the Training of Judges in the Netherlands” dalam The Challenge of Change for Judicial Systems,. Edited by Marco Fabri and Philip M. Langbroek. Netherlands: IOS Press, 2000. Hanitijo, Ronny. Metodologi Penelitian Hukum. Semarang: Ghalia Indonesia, 1982. HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII Press, 2003. Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang : Bayumedia, 2007. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada Media, 2005. Lavarch, The Hon. Michael. Discussion Paper: Judicial Appointment: Procedure and Criteria., 1993. Razi, Prim Fahrur. Tesis: Sengketa Kewenangan Pengawasan Antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Semarang: Universitas Diponegoro, 2007. Sumadi, Ahmad Fadlil. Pengawasan dan Pembinaan Pengadilan. Malang: Setara Press, 2013. Sunny, Ismail. Mencari Keadilan : Sebuah Otobiografi. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2013. Syamsudin, Amir. Integritas Penegak Hukum. Jakarta: Kompas, 2008.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



32



Jurnal Assegaf, Rifqi Sjarief. ”Hanya Hakim Yang Bersih Dan Kompeten Yang Layak Adili Koruptor!.” Jurnal Kriminologi Indonesia. Vol. 2 No. I (2002). Asshidiqie, Jimly. “Gagasan Negara Hukum Indonesia” (2015). Diakses pada 5 April 2017. www.jimlyasshidiqie.com. Syahuri, Taufiqurrohman. “Peran Komisi Yudisial Dalam Pengawasan Hakim Terhadap



Dilema



Independensi



Kekuasaan



Hakim.”



Artikel



Taufiqurrohman.



Dokumen Hukum Indonesia. Undang-Undang tentang Komisi Yudisal. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011. LN RI No. 106 Tahun 2011. TLN No. 5250. ________. Undang-Undang tentang Peradilan Umum. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009. LN RI No. 158 Tahun 2009. TLN No. 5077. ________. Undang-Undang tentang Peradilan Agama. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. LN RI No. 159 Tahun 2009. TLN No. 5078. ________. Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UndangUndang Nomor 51 Tahun 2009. LN RI No. 160 Tahun 2009. TLN No. 5079. ________. Peraturan Mahkamah Agung tentang Penyusunan dan Penetapan Kebutuhan Serta Pengadaan Tenaga Hakim. Perma Nomor 6 Tahun 2016.



Internet ASH. “Kasus Suap Dominasi Penghukuman Hakim Lewat MKH.” Hukum Online. Diakses



pada



30



Maret



2017.



Http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57d922b6478f1/kasus-suapdominasi-penghukuman-hakim-lewat-mkh.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



33



Ester, Phesi. “KPK Serahkan Hakim Janner ke Kejaksaan Tinggi Bengkulu”, Tempo



(15



September



2016).



Diakses



pada



30



Maret



2017,



Https://nasional.tempo.co/read/news/2016/09/15/058804429/kpk-serahkanhakim-janner-ke-kejaksaan-tinggi-bengkulu. Hukum Online. “ICW: Ini Enam Celah Judicial Corruption di Lingkungan MA.” Hukum Online (20 Februari 2016). Diakses pada 18 Februari 2017. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56c7502857175/icw--ini-enamcelah-ijudicial-corruption-i-di-lingkungan-ma. Komisi Yudisial. “Wewenang dan Tugas.” Komisi Yudisial (10 Agustus 2012). Diakses pada 30 Maret 2017. http://www.komisiyudisial.go.id/statis-38wewenang-dan-tugas.html. Lidya, Desca. “Deretan Aparat Hukum di Tangan KPK.” Antara News (25 Mei 2016).



Diakses



pada



30



Maret



2017.



http://www.antaranews.com/berita/562954/deretan-aparat-penegak-hukumdi-tangan-kpk. Nur, Muhammad. “Masalah Penyuapan dan Asusila Dominasi Pelanggaran Etik Hakim.”



Beri



Tagar.



Diakses



pada



30



Maret



2017.



https://beritagar.id/artikel/berita/masalah-penyuapan-dan-asusila-dominasipelanggaran-etik-hakim. Oktafian, Bagus A. “Korupsi Pada Lembaga Peradilan di Indonesian Surabaya.” Kompasiana (14 September 2012). Diakses pada 18 Februari 2017. http://www.kompasiana.com/bagusoa/korupsi-pada-lembaga-peradilanjudicial-corruption-di-indonesia_55178cb4813311fe689de206. Pratiwi, Priska Sari. “Banyak Hakim Terima Suap, Sistem Rekrutmen Dinilai Bermasalah.” CNN Indonesia (26 Mei 2016). Diakses pada 6 April 2017. http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160526024751-12133495/banyak-hakim-terima-suap-sistem-rekrutmen-dinilai-bermasalah/. Press Release Komisi Yudisial. “KY Ungkap Penanganan Laporan Masyarakat Caturwulan II Tahun 2016.” Komisi Yudisial. Diakses pada 30 Maret 2017.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



34



http://www.komisiyudisial.go.id/downlot.php?file=Press-Release-KYUngkap-Penanganan-Laporan-Masyarakat-Caturwulan-II-Tahun-2016.pdf. Syahuri, Taufiqurrohman. “Sistem Rekrutmen Hakim Berdasarkan Tiga UndangUndang Bidang Peradilan Tahun 2009 untuk Mewujudkan Peradilan Bersih.” Komisi



Yudisial.



Diakses



pada



30



Maret



2017.



http://www.pkh.komisiyudisial.go.id/id/files/Pustaka/Publikasi/makalah_ch a.pdf.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



35



BIODATA PENULIS



Wahidiyah Putri Rahayu adalah Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya angkatan 2014. Penulis memiliki berbagai pengalaman dalam bidang organisasi, kepanitiaan, serta telah mendapat berbagai penghargaan di kejuaraan. Kini menjabat sebagai Direktur Utama Forum Kajian dan Penelitian Hukum dan sebagai Staff Pendidikan dan Pengembangan Racana Brawijaya. Selain itu, pernah berkontribusi dalam Eksekutif Mahasiswa pada tahun 2015, yakni sebagai Staff tetap Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Pusat Studi Gerakan dan Kajian, serta dalam Islamic Study Club (ISC). Penulis telah banyak menguti berbagai kepanitiaan di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, diantaranya FKPH Award, TREND FKPH, FKPH Law Fair, Constitutional Law Festival Koordinator Divisi Acara, Staff Divisi Kompetisi Artikel Ilmiah, PK2 Fakultas Hukum, Olimpiade Brawijaya, Kampung Budaya, Olimpiade Tempoe Doeloe, DIKSARPRAM, Home Sweet Home. Selain itu, ia telah berhasil mendapat beberapa penghargaan diantaranya Juara I Presentasi Gagasan Ilmiah Kemah Riset Nasional di IPB Bogor pada tahun 2014 dan Juara III Progrm Kreativitas Mahasiswa (PKM) Rektor Cup Universitas Brawijaya tahun 2015. Serta menjadi Finalis Call For Paper Ekonomi Bebas Korupsi Universitas Gajah Mada tahun 2015, Finalis Call For Paper Eversest Universitas Sumatera Utara tahun 2016, Finalis Lomba Karya Tulis Ilmiah Law Year Universitas Sebelas Maret tahun 2016. Penulis pun aktif dalam berbagai kegiatan penulisan karya ilmiah bidang hukum selama menjadi mahasiswi FH Universitas Brawijaya. Diantaranya adalah esai yang berjudul Greenbottle: Solusi Inovatif Kinerja Monitoring Masyarakat dalam Eliminasi Korupsi di Era Otonomi Daerah, Rekonstruksi Politik Hukum Terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Ilegal Guna Mewujudkan Asas Keadilan Berdasarkan Perspektif HAM, Regulatory Agency dalam Rekrutmen Hakim sebagai Upaya Akselerasi Mewujudkan Hakim yang Berintegritas, Perbandingan Pengaturan Tindak Pidana Cyber Crime di Indonesia, Singapura, Inggris dan Malaysia.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



36



3KRITIK TERHADAP DUALISME KONSEP PEMISAHAN KEKAYAAN NEGARA DI BUMN (PERSERO) DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN DAMPAKNYA TERHADAP BUMN (PERSERO) Kharisma Bintang Alghazy 1 `



Abstract The idea of government’s assets separations within State-Owned-Enterprises (SOE) in Indonesia are in a conflicting dualism of law. There are groups of regulations which have a principle that State-Owned-Enterprises’s assets are categorized as government’s assets. In the other side, there are other groups of regulations which have a different principle that State-Owned-Enterprises’s assets categorized as company’s assets. This dualism of law represents the improper logic of legal thinking in putting government as subject of public law and as subject of private law. This criticism has a purpose to show the proper logic of legal thinking and provide a constructive solution to solve the problems. So that, the State-OwnedEnterprises will have a legal certainty to determine their assets, to perform their functions as a profit-seeking with optimal performance, and also to actualize welfare for people. Keywords: company’s assets, dualism of law, government’s assets, legal certainty, state-owned-enterprises.



1



Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan 2013. Pernah menjadi Wakil Ketua Panitia Simposium Hukum Nasional 2014 dan Ketua Panitia Pengenalan Sistem Akademik (PSAF) FHUI 2016. Sekarang sedang mengemban amanah sebagai Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Vice President of Internal Affairs Komunitas Indonesia Youth Inspiration.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



37



I. Pendahuluan Sejatinya, gagasan negara hukum petama kali diperkenalkan oleh Plato, yang dikonstruksikan ke dalam karangan tertulis ketiganya dengan judul Nomoi. Dalam karya tulisnya, Plato mengemukakan bahwasanya penyelenggaraan negara yang baik harus didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik. 2 Menurut hemat penulis, maksud serupa yang ingin dikemukakan Plato ialah bahwa cara strategis untuk menjalankan fungsi pemerintahan yang baik dalam suatu negara adalah dengan mewujudkan harmonisasi terhadap berbagai macam produk hukum (peraturan perundang-undangan). Seiring berjalannya waktu, gagasan Plato tersebut di atas menjadi dasar bagi negara-negara pasca perang dunia kedua untuk menerapkan konsep negara kesejahteraan (welfare state), yang merupakan antitesis dari konsep negara penjaga malam (nachtwachterstaat). Dengan mendasarkan pada prinsip staatsbemoeienis3, negara kesejahteraan harus memiliki kehendak untuk terlibat aktif dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, sebagai langkah untuk mewujudkan kesejahteraan umum, di samping menjaga ketertiban dan keamanan (rust en orde).4 Lalu, dimanakah letak interelasi antara gagasan Plato dan konsep negara kesejahteraan



dengan



Negara



Republik



Indonesia?



Baik



ide



tentang



penyelenggaraan negara Plato maupun konsep negara kesejahteraan, keduanya merupakan gagasan yang menjadi dasar berdirinya Negara Republik Indonesia hingga saat ini. Hal demikian dapat kita lihat dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), baik pada bagian preambule maupun batang tubuhnya. Ide tentang negara hukum Plato tercermin dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan secara positivistik bahwa, Indonesia adalah negara hukum. Sedangkan, ide tentang negara kesejahteraan tercermin dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945 khususnya, pada klausul “…dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan



2



Tahir Azhary, Negara Hukum Indonesia (Jakarta: UI-Press, 1995), hlm. 20-21. Staatsbemoeienis adalah prinsip yang menekankan pada peran pemerintah dalam kehidupan sosial dan ekonomi, yang secara perlahan kepada pemerintah diberikan kekuasaan untuk melakukan intervensi terhadap kehidupan warga negara. Dikutip dari Ridwan HR, “Pertanggungjawaban Publik Pemerintah dalam perspektif hukum administrasi negara,” Jurnal Hukum No. 22, Vol. 10 (Januari 2003), hlm. 30. 4 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Rajagrafindo, 2011), hlm. 15. 3



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



38



kehidupan bangsa…”. Berdasarkan kedua bukti di atas, dapat pula penulis menyimpulkan sebuah konklusi sederhana. Menurut hemat penulis, para pendiri republik ini berusaha menyampaikan pesan bahwa, untuk mewujudkan negara kesejahteraan, pemerintah Indonesia harus mendasarkan tindakan-tindakannya pada sebuah hukum (peraturan perundang-undangan). Artinya, hukum sebagai instrumen penyelenggaraan kesejahteraan umum. Pernyataan ini semakin ditegaskan oleh Plato bahwa “penyelenggaraan negara yang baik harus didasarkan pada pengaturan yang baik”. Sayangnya, peraturan perundang-undangan yang baik dan harmonis masih menjadi problematika turun-temurun bagi pemerintah Indonesia. Salah satu permasalahan hukum, yang fundamental dan penting namun jarang menjadi sorotan, adalah adanya ketidakselarasan pemahaman dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tentang konsep kekayaan negara di dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Persero. Terdapat sekelompok undang-undang yang memegang teguh sebuah konsep bahwa kekayaan/aset BUMN (Persero) adalah termasuk ke dalam kekayaan negara. Artinya, kelompok ini tidak menghiraukan adanya pemisahan antara uang negara dengan uang BUMN (Persero) sebagai badan hukum privat. Dalam hal ini, negara, yang diwakili oleh pemerintah sebagai pemegang saham, tetap berkedudukan sebagai pemerintah sebagai subjek hukum publik dan tidak mengalami perubahan kedudukan pemerintah sebagai subjek hukum privat. Sehingga, kedudukan pemerintah sebagai salah satu pemegang saham di BUMN Persero tidak setara dengan kedudukan pemegang saham lainnya. Disisi lain, terdapat sekelompok undang-undang yang menegaskan sebuah prinsip bahwa kekayaan/aset BUMN (Persero) tidak termasuk ke dalam kekayaan negara. Artinya, kelompok ini mengamini adanya konsep pemisahan antara uang negara sebagai badan hukum publik dengan uang BUMN (Persero) sebagai badan hukum privat. Pada konsep ini, negara (pemerintah) sebagai pemegang saham mengalami transformasi hukum dari sebuah pemerintah yang berkedudukan sebagai badan hukum publik (negara) menjadi sebuah pemerintah yang setara dengan badan hukum privat. Sehingga, kedudukan negara sebagai salah satu pemegang saham di BUMN (Persero) adalah setara dengan kedudukan pemegang saham lainnya.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



39



Adanya dualisme konsep pemisahan kekayaan negara sebagaimana tersebut di atas, menimbulkan kekacauan logika pemikiran hukum dan menimbulkan dampak yang serius terhadap fungsi BUMN (Persero), yang pada akhirnya akan berdampak pada perekonomian mikro dan makro, termasuk iklim investasi terhadap BUMN (Persero) di Indonesia. Dengan dampak demikian, tentu kita mengamini bahwa perwujudan konsep negara kesejahteraan Indonesia akan semakin terancam dan terhambat. Tulisan ini berusaha menyoroti dan mengkritik ketidakkonsistennya perumus undang-undang dalam membangun logika hukum yang benar terhadap konsep pemisahan kekayaan negara di dalam hukum positif di Indonesia. Tidak hanya menyampaikan sanggahan namun, tulisan ini juga berusaha untuk memberikan solusi konkrit dan konstruktif dalam rangka mewujudkan peraturan perundang-undangan yang harmonis, demi terciptanya penyelenggaraan negara yang baik untuk mewujudkan kesejahteraan umum.



II. Isi A. Konsep Pemisahan Kekayaan Negara



Di BUMN (Persero) dalam



Hukum Positif di Indonesia: Sebuah Dualisme Sebagaimana telah disebutkan di atas, perkembangan hukum (peraturan perundangundangan) yang harmonis akan mencerminkan penyelenggaraan negara yang baik. Sayangnya, atmosfer penyelenggaraan negara yang baik masih belum terasa di Indonesia. Buktinya, harmonisasi peraturan perundang-undangan yang baik tidak terlihat dalam banyak produk hukum di Indonesia, salah satu yang paling mendasar dan penting adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang konsep pemisahan kekayaan negara di dalam BUMN (Persero). Ketiadaan hubungan yang serasi antar peraturan perundang-undangan itu dapat dibuktikan dengan adanya 2 (dua) kelompok peraturan yang saling berbeda prinsip, definisi, dan pemahaman terhadap keuangan negara dan keuangan BUMN (Persero). Sekumpulan beberapa peraturan perundang-undangan ini seolah membentuk kubu-nya masing-masing dan saling bertolakbelakang satu sama lain.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



40



Tabel 1. Regulasi pemisahan kekayaan di BUMN. Kelompok Peraturan PerundanganUndangan dengan Prinsip “Keuangan BUMN (Persero) = Keuangan Negara” Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara



Kelompok Peraturan PerundangUndangan dengan Prinsip “Keuangan BUMN (Persero) ≠ Keuangan Negara” Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perbendaharaan Negara tentang Perseroan Terbatas Undang-Undang No. 15 Tahun Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 2004 tentang Pemeriksaan tentang Pasar Modal Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Undang-Undang No. 15 Tahun Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2005 tentang Badan Pemeriksaan 2006 tentang Tata Cara Penghapusan Keuangan Piutang Negara/Daerah Fatwa Mahkamah Agung No. WKMA/Yud/20/VIII/2006



Padahal, sebagai bagian dari sistem hukum, peraturan perundangan-undangan di suatu negara merupakan suatu bagian integral atau sub-sistem dari suatu sistem hukum di negara tersebut.5 Sebagaimana kembali ditegaskan oleh Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, bahwa ruang lingkup dari ilmu hukum adalah kaidah-kaidah hukum (peraturan perundang-undangan), keputusan pejabat, kebiasaan, dan lain sebagainya merupakan suatu struktur menyeluruh yang disebut sistem.6 Alih-alih saling berkorelasi dan berinterelasi satu sama lain sebagai sebuah sistem, kelompok peraturan perundang-undangan tentang keuangan negara malah saling bertolak belakang satu sama lain. 1. Peraturan Perundang-Undangan dengan Prinsip “Keuangan BUMN (Persero) adalah Keuangan Negara” Perseteruan prinsip tentang status keuangan BUMN (Persero) sejatinya berawal saat diberlakukannya 3 (tiga) paket undang-undang di bidang keuangan negara,



5



Setio Sapto Nugroho (Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian Sekretariat Negara), Harmonisasi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Jakarta: Sekretariat Negara, 2009), hlm. 2. 6 Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 39.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



41



khususnya dapat ditemukan dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara). Prinsip demikian dikonstruksikan ke dalam Pasal 2 huruf (g) yang menentukan secara tegas bahwa salah satu yang termasuk ke dalam keuangan negara adalah: “kekayaan negara/daerah yang dikelola sendiri atau oleh atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah”.7 Artinya, kaidah hukum tersebut di atas beranggapan, sekalipun negara telah memisahkan uang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (ABPN) untuk disetorkan ke BUMN (Persero) dengan tujuan investasi, uang tersebut tidak dianggap sebagai uang perusahaan BUMN (Persero) namun, masih dianggap sebagai uang negara. Secara sederhana, kelompok undang-undang ini menganggap negara (dalam hal ini diwakili oleh pemerintah) akan selalu berperan sebagai badan hukum publik, sekalipun pada saat memegang saham dominan di BUMN (Persero). Konsekuensinya adalah segala sesuatu kekayaan BUMN (Persero)/aset perusahaan akan selalu dianggap sebagai aset negara. Terminologi aset negara dalam tulisan ini memiliki makna yang sama dengan barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.8 Dengan adanya pengakuan sebagaimana tersebut di atas, bahwa uang dan aset BUMN (Persero) dianggap sebagai uang negara maka, konsekuensi hukum lainnya adalah ruang gerak BUMN (Persero) dapat dengan mudahnya bersinggungan dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi



(UU



Tipikor).



Lalu,



pertanyaannya



adalah,



bagaimana



bisa



bersinggungan? Salah satu unsur tindak pidana korupsi adalah “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara”. Sedangkan, menurut UU Tipikor, salah satu keuangan negara adalah:



7



Pasal 2 huruf (g) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, 8 Hadiyanto, “Strategic Asset Management: Kontribusi Pengelolaan Aset Negara dalam Mewujudkan APBN yang Efektif dan Optimal,” Era Baru Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi, ed. Anggito Abimanyu dan Andi Megantara (Jakarta: Kompas, 2009), hlm.273.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



42



“hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yayasan, badan hukum,…”.9 Secara sederhana, penulis dapat menganalogikan seperti ini: “Bilamana suatu BUMN (Persero) sebagai badan hukum privat, telah salah dalam mengambil keputusan bisnis dan ternyata mengakibatkan kerugian bagi perusahaan maka, kerugian tersebut dapat dikategorikan sebagai kerugian negara. Sehingga, konsekuensi hukumnya adalah, Direktur BUMN (Persero) dapat dijerat dengan mudahnya oleh pasal-pasal tindak pidana korupsi. Sedangkan, kerugian dalam dunia bisnis merupakan suatu keniscayaan yang tak terhindarkan”. Tidakkah kita melihat adanya ketidaksesuaian penerapan hukum disini? Bagaimana bisa sebuah kehidupan Perseroan Terbatas (subjek badan hukum privat) diterapkan dengan pasal-pasal hukum yang mengatur subjek badan hukum publik? Paradigma demikian tentu mengacaukan logika ilmu hukum yang sebenarnya. Benarkah kekacauan itu ada? Mari kita cermati dalam argumentasi singkat dibawah ini. R. Kranenburg menegaskan bahwa, sudah merupakan communis opinio doctorum dalam ilmu hukum dibedakan secara prinsipiil antara hukum publik dan hukum perdata atau privat, dimana hukum perdata mengatur hubungan hukum (rechtsbetrekkingen) antara sesama individu dalam hubungan horizontal. 10 Sementara itu, hukum publik menata pertalian hukum antara negara dengan warga negaranya secara vertikal. Lalu apa korelasinya antara konsep Kranenburg dengan kekacauan penerapan hukum tersebut di atas? Sesungguhnya, BUMN (Persero) dalam hal ini adalah badan hukum privat atau perdata.11 Sehingga, konsekuensi logisnya adalah segala tindakan dan “kehidupan” dari BUMN (Persero) sudah sepatutnya tunduk pada ketentuan hukum privat (perdata). Argumentasi demikian



9



Penjelasan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang U No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 10 R. Kranenburg, De Grondslagen der Rechtswetenschap Juridische Kennisleer en Methodologie (Harlem: HD Tjeenk Willink, 1995), hlm. 73, sebagaimana dikutip oleh Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum: Teori Praktik, dan Kritik (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 85 11 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN (UU BUMN) menyatakan bahwa “BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan”.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



43



kembali dinyatakan secara positivistik oleh Pasal 4 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) yang menyatakan bahwa: “Terhadap perseroan berlaku undang-undang ini, anggaran dasar perseroan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Selain tunduk pada UU PT, anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan lainnya, BUMN (Persero) sebagai badan hukum perdata juga tunduk dan menaati prinsip “tata kelola perseroan yang baik” (good corporate gorvernance). Sedangkan, yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya” meliputi pearturan yang berkaitan dengan keberadaan dan jalannya Perseroan, termasuk peraturan pelaksanaannya, antara lain peraturan perbankan, peraturan perasuransian, dan peraturan lembaga keuangan. 12 Berdasarkan uraian argumentasi tersebut di atas, sudah tentu dapat kita temukan bahwa kelompok peraturan perundang-undangan ini mengandung ketidaksesuaian antara teori hukum dengan penerapan hukumnya terhadap BUMN (Persero). Ketidaksesuaian itu sudah sangat terang dicerminkan dengan adanya prinsip yang salah kaprah dalam menerapkan kaidah hukum publik (UU Pemberantasan Tipikor) ke dalam subjek hukum privat atau perdata, yakni BUMN (Persero) dan prinsip yang tidak memahami kedudukan pemerintah dalam hukum publik, maupun tidak memahami kedudukan pemerintah dalam hukum privat. Kelompok peraturan perundang-undangan ini sangat bertentangan dan berbeda prinsip dengan kelompok peraturan perundang-undangan lain yang menegaskan prinsip “keuangan BUMN (Persero) tidak sama dengan keuangan negara”. Menurut hemat penulis, kelompok peraturan perundang-undangan itulah yang memiliki prinsip tepat dan sesuai dengan teori hukum adminstrasi negara. 2. Peraturan Perundang-Undangan dengan Prinsip “Keuangan BUMN (Persero) Bukanlah Keuangan Negara” Prinsip “keuangan BUMN bukanlah dianggap sebagai keuangan negara” sejatinya, terkandung dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU BUMN yang menyatakan bahwa, “Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara



12



M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm. 84.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



44



yang dipisahkan”. Lebih lanjut, pengertian memisahkan kekayaan negara berdasarkan penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU BUMN adalah sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat”. Prinsip



ini



kembali



dipertegas



oleh



Fatwa



Mahkamah



Agung



No.



WKMA/Yud/20/VIII/2006, yang pada intinya menyatakan bahwa keuangan BUMN (Persero) bukan lagi merupakan keuangan negara sehingga, pengelolaan dan pertanggungjawabannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN. 13 Secara sederhana, kedua kaidah hukum tersebut di atas berusaha menekankan bahwa uang negara yang telah dipisahkan atau disetorkan ke dalam BUMN (Persero) sebagai investasi modal, tidak lagi akan dianggap sebagai uang negara melainkan, akan berubah statusnya menjadi uang perusahaan BUMN (Persero). Kelompok peraturan perundang-undangan ini mengamini adanya pembedaan antara peran pemerintah sebagai subjek hukum publik dan peran pemerintah sebagai subjek dalam hukum privat atau perdata. Ketika melakukan penyertaan modal kepada BUMN (Persero), pemerintah sebagai pemegang saham yang dominan masih berkedudukan sebagai subjek badan hukum publik. Hal demikian sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN (UU BUMN) yang menyatakan sebagai berikut: “Setiap penyertaan modal negara dalam rangka pendirian BUMN atau perseroan terbatas yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.” Sedangkan kita semua memahami, Peraturan Pemerintah hanya dapat ditetapkan oleh negara sebagai badan hukum publik yang tidak dimiliki oleh negara dalam statusnya sebagai subjek hukum privat.14 Namun, ketika pemerintah telah melakukan pemisahan kekayaan dan berkedudukan sebagai pemegang saham di BUMN (Persero), pemerintah akan mengalami transformasi dari pemerintah yang



13 Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum: Teori, Praktik, dan Kritik (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. xvi. 14 Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum, hlm. xv.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



45



berkedudukan sebagai badan hukum publik (tunduk akan ketentuan hukum publik) menjadi pemerintah yang tunduk akan ketentuan-ketentuan hukum privat atau perdata. Kondisi demikian mengakibatkan putusnya keuangan yang ditanamkan dalam BUMN (Persero) sebagai keuangan negara sehingga, berubah status hukumnya menjadi keuangan Perseroan Terbatas (BUMN Persero) karena, telah terjadi transformasi hukum. 15 Bilamana kita mengaitkan argumentasi sebagaimana tersebut di atas dengan konsep “kerugian keuangan negara” dalam UU Tipikor maka, tentu kerugian yang dialami oleh BUMN (Persero) tidak dapat disebut sebagai kerugian negara. Hal ini disebabkan karena, ketika pemerintah yang merepresentasikan negara sebagai subjek badan hukum privat maka, pada saat itu juga imunitas publik dari negara hilang dan terputus hubungan hukumnya dengan keuangan yang telah berubah ke dalam bentuk saham. 16 Seketika itu pula, peran negara (pemerintah) berubah menjadi subjek hukum yang tunduk terhadap ketentuan hukum privat (perdata) dan (sudah seharusnya) tunduk sepenuhnya kepada UU Perseroan Terbatas maupun ketentuan hukum perdata lainnya. Negara, sebagai pemegang saham, seharusnya tidak bertanggungjawab terhadap kontrak dan transaksi yang dilakukan BUMN (Persero), sekalipun Perseroan itu mengalami kerugian. Hal itu sesuai dengan asas tanggung jawab terbatas (limited liability) yang digariskan pada Pasal 3 ayat 1 UU Perseroan Terbatas.17 Berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut hemat penulis, kelompok peraturan perundang-undangan ini mencerminkan adanya logika berpikir hukum yang sejati. Logika hukum demikian ditunjukkan dengan adanya pengakuan bahwa, negara yang diwakili oleh pemerintah, dapat tampil dan berperan sebagai subjek yang tunduk terhadap ketentuan hukum publik maupun sebagai subjek yang tunduk terhadap ketentuan hukum privat. Termasuk dalam kategori badan hukum publik yaitu negara, provinsi, kabupaten, kotapraja, dan lain-lain. 18 Sedangkan, ketika badan hukum publik itu (negara) terlibat dalam lalu lintas atau perbuatan



15



___________, Aspek Hukum Keuangan Negara pada Perseroan Terbatas yang Sahamnya antara lain Dimiliki oleh Negara, (Makalah dalam Diskusi Intern Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 27 Juni 2002). 16 ___________, Keuangan Publik dalam Perspektif…, hlm. 101. 17 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas…, hlm. 258. 18 Chidir Ali, Badan Hukum (Bandung: Alumni, 1987), hlm. 62.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



46



keperdataan (privaat rechtsverkeer), Ia dilekati dengan kecakapan (bekwaam) hukum yang tunduk dan mengikatkan diri pada hukum privat atau perdata.19 B. Logika Hukum yang Seharusnya dan Kritik Terhadap Dualisme Dalam perspektif logika hukum administrasi negara, negara yang diwakili oleh pemerintah sejatinya dapat berkedudukan sebagai subjek hukum publik maupun berkedudukan sebagai subjek hukum privat atau perdata. Dalam pergaulan hukum, pemerintah sering tampil dengan “twee petten”, dengan dua kepala, sebagai wakil dari jabatan (ambt) yang tunduk pada hukum publik dan wakil dari badan hukum (rechtpersoon) yang tunduk pada hukum privat.20 Afirmasi terhadap konsep kedudukan pemerintah sebagai subjek hukum publik maupun hukum privat (perdata) kembali ditegaskan oleh Hans Kelsen dalam General Theory of Law, yang menyatakan bahwa: “If one of the two parties of one the two parties of a right-duty relationship is an organ of the State, then the other party is not an organ of the State. This is the consequence of the fact that there is — within a national legal order --- only one person which has to be considered as the State. Hence, if one subject in a legal relationship is the State, the other subject cannot be the State; the other subject must be a “private” person. The difficulty in distinguishing between public and private law resides precisely in the fact that the relation between the State and its subject can have not only a “public” but also a “private” character.”21 Secara nyata dan terang, Kelsen mengamini bahwa kedudukan negara (dalam hal ini diwakili oleh pemerintah) tidak hanya mengandung karakter sebagai subjek hukum publik melainkan, juga sekaligus memiliki karakter sebagai subjek hukum privat. Karakter yang dimiliki oleh pemerintah ini berkorelasi langsung dengan perbuatan hukumnya. Secara sederhana, apabila pemerintah bertindak dalam lapangan keperdataan (privat) maka, sudah sepatutnya pemerintah tunduk pada ketentuan hukum perdata (privat), begitupula sebaliknya. Sebagaimana kembali ditegaskan oleh Kelsen: “When the State purchase or rents a house from a private person, according to many legal systems the legal relation between buyer and seller is exactly 19



Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara…, hlm. 72. Ibid, hlm. 69. 21 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Anders Wedberg (New Jersey: The Lawbook Exchange, 2007), hlm. 201. 20



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



47



the same as if the buyer or tenant had been a private person. The legal personality of the State is no different from the legal personality of a private individual, insofar as the duties and rights of the State have the same contents as the duties and rights of the private person”.22 Pemerintah akan mengalami transformasi kedudukan menjadi subjek hukum privat atau perdata dan mempunyai hak dan kewajiban yang setara dengan subjek hukum privat lainnya. Dalam konteks hubungan pemerintah dengan BUMN (Persero), tindakan dalam lapangan keperdataan itu dicerminkan sebagai setiap tindakan pemerintah dalam kapasitasnya sebagai salah satu pemegang saham di BUMN (Persero). Pemerintah sebagai pemegang saham menjadi subjek hukum yang tunduk terhadap ketentuan hukum privat atau perdata, dalam hal ini ketentuan sebagaimana yang ditentukan dalam UU Perseroan Terbatas. Artinya, pemerintah sebagai pemegang saham harus patuh terhadap konsep pemisahan kekayaan yang dipegang teguh oleh UU Perseroan Terbatas sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perseroan Terbatas bahwa: “Pemegang saham tidak bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.” Dengan adanya konsep sebagaimana tersebut di atas, Pemerintah tidak dapat menganggap uang negara yang bersumber dari APBN dan telah disetorkan untuk modal BUMN (Persero) itu tetap berstatus sebagai uang negara. Uang negara itu telah bertransformasi statusnya menjadi uang perusahaan BUMN (Persero). Sebab, BUMN (Persero) sebagai korporasi adalah sebuah badan hukum. Sedangkan, karakteristik suatu badan hukum adalah pemisahan harta kekayaan badan hukum dari harta kekayaan pemilik dan pengurusnya. Dengan demikian, suatu BUMN (Persero) yang berbentuk perseroan terbatas memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan



pemegang



sahamnya,



sekalipun



pemegang



sahamnya



adalah



pemerintah.23 Transformasi hukum terhadap kekayaan BUMN (Persero) sebagai kekayaan yang dipisahkan dapat diperhatikan dalam bagan berikut ini. Gambar 6. Transformasi hukum.



22



Hans Kelsen, General Theory of Law..., hlm. 202 Erman Rajagukguk, Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Negara, Makalah dalam Diskusi Publik “Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi” Komisi Hukum Nasional (KHN) RI, Jakarta, 26 Juli 2006. 23



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



48



Badan Hukum Negara (Keuangan Negara) UU No. 17/2003 UU No. 1/2004 UU No. 15/2004 UU No. 15/2005



Pajak/Laba Usaha (Uang Publik)



Penyertaan Modal (Uang Privat)



BUMN (Persero) (Keuangan Privat) UU No. 19/2003 UU No. 40/2007 PP No. 33/2006 Fatwa MA Tahun 2006



Berangkat dari pemahaman ini, sudah sepatutnya tidak ada uang BUMN (Persero) yang masih dianggap sebagai uang negara (pemerintah). Artinya, seyogyanya pemerintah tidak dapat mengatasnamakan uang BUMN (Persero) sebagai uang negara bahkan lebih jauh lagi, pemerintah tidak dapat mengklaim adanya kerugian negara bilamana BUMN (Persero) mengalami kerugian dalam mengambil keputusan bisnis. Dualisme



pemahaman



dalam



kelompok



peraturan



perundang-undangan



sebagaimana telah tersebut di atas menandakan adanya disparitas pengetahuan antara perumus undang-undang. Carut marut konsep keuangan negara yang diprakarsai oleh kelompok UU Keuangan Negara sejatinya, disebabkan karena tidak adanya pemahaman filosofi tentang keuangan privat (dalam hal ini keuangan perusahaan perseroan BUMN) oleh perumus undang-undang. Adapun, filosofi keuangan privat pada perseroan terbatas atas dasar kebebasan adalah: “…bagaimana keuangan dapat dijadikan alat semata-mata untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, tanpa memperhitungkan implikasi negatif maupun positif bagi kesejahteraan masyarakat. Berbeda dengan filosofi keuangan publik yang menitikberatkan semata-mata keuangan tersebut untuk memberikan sebesar-besar kemanfaatan dan kesejahteraan bagi masyarakat (welfare state).”24 Garis demarkasi pemahaman inilah yang seyogynya menjadi pembeda antara keuangan publik dengan keuangan privat. Sayangya, logika filosofi demikian sama sekali tidak tersentuh oleh kelompok peraturan perundang-undangan UU Keuangan Negara. Kehampaan dasar filosofi dalam kelompok peraturan perundang-undangan UU Keuangan Negara sejatinya juga dapat menyebabkan dampak praktis. Logika sederhana yang akan penulis sampaikan adalah, bilamana pemerintah sebagai 24



Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum, hlm. 102.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



49



pemegang saham BUMN (Persero) tetap berkapasitas sebagai subjek hukum publik maka, kerugian BUMN (Persero) akan dianggap sebagai kerugian negara. Jika kerugian negara itu menyebabkan BUMN (Persero) dalam keadaan pailit dan harus membayar utang-utangnya maka, kekayaan negara lainnya yang berada di luar kekayaan BUMN (Persero) sangat berpotensi untuk dapat ditarik dan digunakan untuk membayar utang-utang BUMN (Persero) yang bersangkutan. Secara lebih sederhana, argumentasi di atas dapat dikonstruksikan seperti ini, “Anda memberikan uang ke rekan kerja anda sebagai modal usahanya dan tetap berprinsip uang yang telah anda setorkan masih merupakan hak milik anda. Kemudian, rekan kerja anda mengalami kerugian dalam usaha bisnisnya dan harus membayar utang namun, kekayaan usahanya tidak cukup membayar utang tersebut sehingga, Ia menarik kekayaan pribadi anda untuk membayar utang itu”. Dapatkah kita melihat, dimana letak keadilannya? Sehatkah logika berpikir demikian? Tentu jelas tidak. Cara berpikir yang sakit demikian sayangnya masih melekat erat dalam kelompok peraturan perundang-undangan UU Keuangan Negara, khususnya dikonstruksikan ke dalam Pasal 2 huruf (g) UU Keuangan Negara. Tidak terbantahkan lagi, dampak dari adanya pasal “celaka” ini dapat sangat berpotensi membangkrutkan negara. Khususnya terhadap BUMN (Persero), dampak konsep logika tersebut di atas dapat berimbas pada keberanian setiap organ BUMN (Persero) dalam mengambil keputusan bisnis. Konsep logika pasal “celaka” di atas nyatanya tidak mengizinkan adanya kerugian dalam mengambil keputusan bisnis (yang mana kerugian dalam dunia bisnis adalah sebuah keniscayaan) sebab, pemerintah akan menganggap kerugian itu sebagai kerugian negara yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. C. Dampaknya Terhadap BUMN (Persero) Berdasarkan argumentasi empiris tersebut di atas, setidaknya terdapat sebuah efek negatif yang bersifat makro terhadap kelangsungan hidup BUMN (Persero). Menurut hemat penulis, dengan adanya persepsi pemerintah yang masih menganggap keuangan BUMN (Persero) sebagai keuangan negara, akan menyebabkan pengambil keputusan bisnis dalam perseroan BUMN dibayangibayangi oleh ancaman pasal tindak pidana korupsi yang imajiner. Bagaimana bisa?



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



50



Pendirian BUMN (Persero) dengan karakteristiknya sebagai badan usaha jelas harus menghasilkan keuntungan atau profitisasi bagi negara. 25 Di sisi lain, BUMN (Persero) sebagai perusahaan negara merupakan alat yang efektif untuk melaksanakan pembangunan. 26 Fungsi profitisasi dan fungsi pembangunan bagi negara sudah jelas tidak dapat terealisasikan. Bilamana organ BUMN (Persero) dibatasi dan diciutkan ruang geraknya dalam mengambil keputusan bisnis oleh kelompok peraturan perundang-undangan UU Keuangan Negara. Kedua fungsi demikian tidak dapat terselenggarakan bilamana, pembedaan peran atau kedudukan pemerintah tidak dihiraukan. Lebih lanjut, tanpa perbedaan peran itu, sistem hukum yang kondusif dan yang memberikan dukungan paling besar bagi tercapainya tingkat pareto optimum bagi perkembangan ekonomi dan good governance dan good coporate governance akan sukar untuk dapat dicapai. 27 Kesukaran untuk mewujudkan keadaan-keadaan sebagaimana tersebut di atas, sejatinya akan berujung pada kesulitan negara untuk memperoleh alokasi pendapat atau pemasukan dari kontribusi BUMN (Persero). Pada akhirnya, pendapatan yang minimal akan berdampak pada penyelenggaraan pembangunan yang tidak optimal sehingga, bermuara pada terhambatnya perwujudan cita-cita negara kesejahtaraan (welfare state).



III.



Penutup



Sesungguhnya, dualisme konsep pemisahan kekayaan negara dalam hukum positif di Indonesia mencerminkan ketidakharmonisan penyelenggaraan pemerintahan, seperti yang ditegaskan oleh Plato. Ketiadaan kaidah hukum yang saling berkelindan membentuk sebuah sistem hukum yang baik dalam negara hukum Indonesia, akan menghambat pada terwujudnya negara kesejahteraan (welfare state). Batu ganjalan itu masih dicerminkan oleh adanya kelompok peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kekayaan negara di BUMN (Persero) dengan logika hukum yang menyimpang dari logika hukum yang sejati. Tidak 25



Amiruddin Ilmar, Hak Menguasai Negara dalam Privatisasi BUMN (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 81. 26 Mar’ie Muhammad dan Astar Siregar, “Badan Usaha Milik Negara”, dalam Hendra Esmara (Penyunting), Memelihara Momentum Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 212. 27 Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum, hlm. 109.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



51



dihiraukannya kedudukan pemerintah sebagai subjek hukum publik maupun sebagai subjek hukum privat atau perdata, berimbas pada kesimpangsiuran status kekayaan BUMN (Persero), apakah berkedudukan sebagai uang negara atau uang perusahaan.



Ketidakjelasan



ini



menjadi



permasalahan



kompleks



dalam



kelangsungan hidup BUMN (Persero) sebagai alat efektif untuk menambah pemasukan negara dan sebagai pelaksana pembangunan. Pemerintah seharusnya melihat keadaan dualisme ini sebagai kegentingan yang tidak dapat ditoleransi lagi. Sejatinya, kehidupan BUMN (Persero) telah memasuki fase darurat karena, telah berkembang dan tumbuh di antara ketidakpastian hukum. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sudah sepatutnya menjadi salah satu alternatif ideal untuk menyelesaikan permasalahan ini dan menetralisasi konsep dualisme kekayaan negara dalam BUMN (Persero) menjadi satu kesatuan konsep yang pasti. Sehingga, kepastian hukum BUMN (Persero) dapat terjamin dan ruang gerak BUMN (Persero) untuk menjalankan fungsinya dapat diselenggarakan secara optimal, demi perwujudan cita-cita negara kesejahteraan.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



52



DAFTAR PUSTAKA



Buku Atmadja, Arifin P. Soeria. Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum: Teori Praktik, dan Kritik Jakarta: Rajawali Press, 2013. Ali, Chidir. Badan Hukum. Bandung: Alumni, 1987. Azhary, Tahir. Negara Hukum Indonesia. Jakarta: UI-Press, 1995. Harahap, M. Yahya. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika, 2015. HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajagrafindo, 2011. Hadiyanto. “Strategic Asset Management: Kontribusi Pengelolaan Aset Negara dalam Mewujudkan APBN yang Efektif dan Optimal” dalam buku Era Baru Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi, diedit oleh Anggito Abimanyu dan Andi Megantara, Jakarta: Kompas, 2009. Ilmar, Amiruddin. Hak Menguasai Negara dalam Privatisasi BUMN. Jakarta: Kencana, 2013. Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. Diterjemahkan oleh Anders Wedberg. New Jersey: The Lawbook Exchange, 2007. Muhammad, Mar’ie dan Astar Siregar. “Badan Usaha Milik Negara” dalam buku Memelihara Momentum Pembangunan, diedit oleh Hendra Esmara, Jakarta: Gramedia, 1985. Nugroho, Setio Sapto (Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian



Sekretariat



Negara).



Harmonisasi



Pembentukan



Peraturan Perundang-Undangan. Jakarta: Sekretariat Negara, 2009. Rajagukguk, Erman. “Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Negara.” Makalah disampaikan dalam Diskusi Publik “Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi” Komisi Hukum Nasional (KHN) RI, Jakarta, 26 Juli 2006.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



53



Soekanto, Soerjono dan Purnadi Purbacaraka. Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993.



Jurnal HR, Ridwan. “Pertanggungjawaban Publik Pemerintah Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara.” Jurnal Hukum No. 22, Vol. 10, (2003).



Makalah Atmadja, Arifin P. Soeria. “Aspek Hukum Keuangan Negara pada Perseroan Terbatas yang Sahamnya antara lain Dimiliki oleh Negara.” Makalah yang disampaikan dalam Diskusi Intern Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 27 Juni 2002.



Dokumen-Dokumen Hukum Indonesia. Undang-Undang tentang Keuangan Negara. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003. LN RI No. 47 Tahun 2003. TLN No. 4286. ________. Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003. LN RI No. 70 Tahun 2003. TLN No. 4297. ________. Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999. LN RI No. 136 Tahun 2001. TLN No. 4152. ________. Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. LN RI No. 106 Tahun 2007. TLN No. 4756.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



54



BIODATA PENULIS



Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan 2013 yang menggeluti konsentrasi peminatan dalam bidang Hukum Administrasi Negara. Pernah mengemban amanah sebagai Wakil Ketua Pelaksana Simposium Hukum Nasional FHUI dengan tema “Peningkatan Peran Pemerintah dan Partisipasi Masyarakat dalam Melawan Kekerasan Seksual” pada tahun 2014 dan Ketua Pelaksana Pengenalan Sistem Akademik FHUI pada tahun 2016. Pada tahun 2015, pernah turut serta mengantarkan Tim LK2 FHUI sebagai Juara 1 Kompetisi Internal Mooting FHUI sebagai peran majelis hakim terbaik. Pada tahun 2017, pengalaman menulisnya pernah diabadikan sebagai Juara 1 kompetisi penulisan esai nasional yang diselenggarakan oleh HMI Koordinator Komisariat Universitas Indonesia dan Juara 3 penulisan artikel nasional yang diselenggarakan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia. Sekarang sedang menjabat sebagai Sekretaris Umum HMI Komisariat FHUI 2017 dan Co-Founder sekaligus Vice President di komunitas kepemudaan Indonesia Youth Inspiration.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



55



PENERAPAN PERTANGGUNGJAWABAN STRICT LIABILITY SEBAGAI DASAR PENGAJUAN GUGATAN DALAM PERKARA LINGKUNGAN HIDUP Ezha Nafis Aufa Laili1, Kenneth Nicholas



Abstract It is almost impossible to determine if someone is liable for any personal injuries from environmental damage. In environmental cases, Plaintiff often uses faultbased liability where the burden of proof is on them to show that injuries was defendant-made due to any intentional or negligent conduct. But today the theory of strict liability is now used when people engage in abnormally dangerous activities. This article will assert the use of strict liability in a personal injury lawsuit. Through strict liability, courts are made easier to make the defendant (person or company) adequately compensate the plaintiff for their injuries. Keywords: lawsuit, liability, strict liability



1



Penulis adalah mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan 2015. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail: [email protected]



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



56



I. Pendahuluan Apabila kita mendengar berbagai berita di Indonesia, kita akan mengetahui bahwa kondisi lingkungan hidup di Indonesia kian hari kian menyedihkan. Maraknya kerusakan lingkungan hidup akibat ulah korporasi yang kemudian menimbulkan suatu bencana yang masif. Dalam hal ini, Indonesia menjadi salah satu penyumbang dalam kehancuran ekosistem global terutama perannya dalam meningkatkan pencemaran udara dan pemanasan. Lihat saja salah satunya yaitu kasus kebakaran hutan yang pernah terjadi di tahun 2015 sebagai kebakaran hutan yang tercatat menimbulkan kabut asap terparah sepanjang sejarah.2 Berlarutnya berbagai permasalahan lingkungan Indonesia ini diyakini sangat signifikan dalam mempengaruhi kelangsungan hidup masyarakat Indonesia maupun global. Menuainya berbagai permasalahan lingkungan di Indonesia dapat timbul dari berbagai sumber mulai dari kurangnya kesadaran masyarakat sampai dengan pengelolaan pemerintah terhadap lingkungan yang rendah dan seadanya. Apabila dikerucutkan dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia, hal yang patut disoroti yaitu buruknya penerapan hukum yang mengedepankan aspek-aspek perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, padahal aturan hukum yang dihadirkan di Indonesia telah cukup memadai dan mengakomodasi terlaksananya prinsip dari hukum lingkungan yaitu sebagai pembangunan berkelanjutan (sustainable development).3 Kembali lagi menelisik kasus kebakaran hutan yang telah terjadi di Indonesia pada tahun 2015 yang tercatat sebagai kasus pencemaran lintas negara (transboundary pollution), pencemaran asap atas kebakaran hutan tersebut merambah tak hanya di



“NASA: Kabut Asap Indonesia Terparah dalam Sejarah,” DW, diakses pada tanggal 15 Januari 2017, http://www.dw.com/id/nasa-kabut-asap-indonesia-terparah-dalam-sejarah/a18756969. 3 Sustainable development adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya. Definisi ini diberikan oleh World Commision on Environment and Development (WCED) atau Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan. Laode M. Syarif, et.al, “Evolusi Kebijakan dan Prinsip-prinsip Lingkungan Global” dalam Hukum Lingkungan: Teori, Legislasi, dan Studi Kasus, (n.p.: USAID, Kemitraan, dan The Asia Foundation, n.t.). hlm. 49. 2



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



57



wilayah Indonesia saja namun Singapura dan Malaysia ikut terkena dampaknya. 4 Hal ini menunjukkan adanya pelanggaran terhadap prinsip tanggung jawab negara (state responsibility) dan kewajiban untuk mencegah terjadinya pencemaran lintas negara (obligation to prevent transboundary injury), sebagaimana Prinsip 2 Deklarasi Rio yang menyatakan bahwa, setiap negara memiliki kewajiban untuk menjamin bahwa kegiatan yang dilakukan di wilayahnya tidak akan menyebabkan kerugian/pencemaran pada wilayah negara lain. 5 Oleh karenanya, persoalan ini tak hanya menjadi beban nasional namun juga internasional yang menimbulkan ketentuan adanya tanggung jawab Indonesia secara langsung (direct state responsibility) atas perbuatan yang dilakukan warganya. 6 Dalam hal kebakaran hutan tersebut, Indonesia memiliki kewajiban untuk menyediakan aturan hukum serta tindak lanjut yang harus dilakukan secara tepat (due diligence) agar kebakaran hutan tidak akan terjadi dan berdampak lintas negara lain. Sebagai bentuk tindak lanjut yang harus dilakukan, Indonesia perlu menerapkan hukum lingkungan yang efektif dan penjatuhan sanksi yang tepat bagi para kontributor terjadinya kebakaran hutan tersebut.7 Namun, dengan terjadinya kebakaran hutan yang marak tersebut, menjadi cermin kegagalan Indonesia dalam mengambil due diligence yang bukan hanya pencegahan tetapi penegakan hukumnya pula sehingga pada akhirnya menimbulkan kerugian pada Indonesia dan lintas negara. Setelah melihat kenyataan tersebut, lantas apa yang perlu dikritisi dari hal tersebut? Kali ini, Penulis akan membahas melalui perangkat hukum yang telah terakomodir oleh Indonesia guna mengaplikasikan due diligence atas permasalahan lingkungan hidup yang terjadi. Pada dasarnya, aturan hukum yang mengatur mengenai



“Indonesian Fires Sending Across South-East Asia Could Become Worst on Record, NASA Warns,” ABC News, diakses 16 Januari 2017, http://www.abc.net.au/news/2015-1002/indonesia-forest-fires-could-become-worst-on-record-nasa-warns/6824460. 5 Andri G. Wibisana, “Pencegahan dan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan,” Hukum Lingkungan: Teori, Legislasi, dan Studi Kasus, (n.p.: USAID, Kemitraan, dan The Asia Foundation, n.t.). hlm. 411. 6 Jennifer R. Kitt, “Waste Exports to the Developing World: A Global Response,” Georgetown International Environmental Law Review, Vol. 7 (1995), hlm. 497. 7 Alan Khee-Jin Tan, “Forest fires of Indonesia: State Responsibility and International Liability”, International & Comparative Law Quarterly, Vol. 48(4), 1999, hlm. 838-839. 4



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



58



lingkungan hidup baik pada ranah administrasi, pidana, maupun perdata telah dimiliki dan dijalankan oleh Indonesia bahkan telah melalui beberapa pembaruan. Disini, Penulis kerucutkan pada pembahasan aturan hukum dalam ranah perdata yaitu



dari



segi



konsep



pertanggungjawaban



perdata.



Dalam



hal



ini,



pertanggungjawaban yang seringkali digunakan adalah “perbuatan melawan hukum” yang mana didasarkan pada kesalahan yang dilakukan oleh pelaku. Namun, apabila dikritisi lebih lanjut diselipkan konsep “strict liability” sebagai pengkhususan perbuatan melawan hukum yang merugikan lingkungan dan oleh karena dampaknya menimbulkan ancaman serius bagi lingkungan. Sebagai salah satu contohnya, yaitu gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melawan PT Kallista Alam. 8 Di dalam gugatannya, KLH mendasarkan dengan pertanggungjawaban berdasarkan perbuatan melawan hukum. Penggugat mendalilkan bahwa Tergugat telah membuka lahan perkebunan dengan cara membakar dengan didasari Pasal 69 ayat (1) huruf h UU PPLH, Pasal 11 PP No. 4 Tahun 2001, Pasal 3 Permen LH No. 10 Tahun 2010, Pasal 26 UU Perkebunan, dan Pasal 1365 KUHPerdata. Penggugat menyatakan bahwa terdapat kesengajaan yang dilakukan oleh Tergugat untuk membuka lahan dengan cara membakar agar dapat menekan biaya pembukaan lahan. Kemudian, Tergugat juga menyatakan bahwa setidak-tidaknya Tergugat telah lalai dalam mencegah dan menanggulangi kebakaran yang terjadi akibat kegiatannya. Namun di dalam kesimpulan dalilnya, Tergugat menyatakan bahwa oleh karena perbuatan yang dilakukan Tergugat tersebut, maka Tergugat dapat dimintakan pertanggungjawaban dengan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) yang mana pelaku usaha wajib bertanggung jawab mutlak atas tindakannya, usahanya dan atau kegiatannya atas kerusakan lingkungan hidup karena menimbulkan ancaman serius bagi lingkungan. Dilihat dari kasus tersebut, terdapat satu hal yang menjadi perhatian. Di dalam uraian dalil gugatannya, Penggugat mendasarkan dengan perbuatan melawan



8



Pengadilan Negeri Meulaboh “Putusan No. 12/Pdt.G/2012/PN.Mbo”, 8 Januari 2014.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



59



hukum, tetapi Penggugat juga menyimpulkan bahwa dapat diterapkan prinsip strict liability. Hal ini menjadi kerancuan tersendiri dan saling bertolak belakang. Oleh karenanya, konsep pertanggungjawaban perdata yang dijadikan sebagai dasar pengajuan gugatan menjadi fokus tersendiri yang akan dibahas lebih lanjut pada tulisan ini. Penulis akan membahas bagaimana penerapan strict liability sebagai dasar pengajuan gugatan dan bagaimana kaitannya dengan pertanggungjawaban perdata lainnya. Untuk memudahkan sistematika pembahasan, Penulis akan membagi ke dalam beberapa bagian yaitu, 1) Pendahuluan, membahas mengenai latar belakang permasalahan, rumusan masalah, dan outline pembahasan pada tulisan ini; 2) Konsep Pertanggungjawaban Perdata di Indonesia; 3) Teori Strict liability di Indonesia; 4) Analisis mengenai penerapan teori Strict liability di Indonesia kaitannya dengan konsep pertanggungjawaban perdata; 5) Kesimpulan.



II. Isi A. Konsep Pertanggungjawaban Perdata di Indonesia Dalam hukum perdata, timbulnya suatu perikatan terdapat dua faktor. Perikatan dapat timbul karena perjanjian dan karena undang-undang. 9 Perbedaan antara kedua sumber perikatan tersebut terletak pada akibat hukum dari hubungan hukum tersebut. Akibat hukum yang lahir dari perjanjian dikehendaki oleh para pihak yang telah bersepakat, sedangkan akibat hukum dari perikatan yang lahir dari undangundang ditentukan oleh undang-undang sendiri dan para pihak yang melakukan perbuatan tersebut mungkin tidak menghendaki akibat hukumnya. Oleh karena itu, pertanggungjawaban perdata dilihat dari ada atau tidaknya perjanjian yang dapat dibedakan menjadi pertanggungjawaban kontraktual dan pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum. Adanya suatu perjanjian menimbulkan tanggung jawab kontraktual yang didasarkan pada hubungan kontraktual, hubungan ini menimbulkan hak dan kewajiban kepada para pihak yang Rosa Agustina, “Perbuatan Melawan Hukum,” (Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003), hlm. 4. 9



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



60



melakukan perjanjian. Apabila terdapat pihak yang tidak melaksanakan kewajiban yang menimbulkan kerugian pada pihak lainnya, maka pihak lain dapat mengajukan gugatan kepada pihak yang tidak melaksanakan kewajiban tadi. Hal inilah yang dimaksud gugatan wanprestasi. 1. Wanprestasi Wanprestasi adalah tidak terlaksananya perjanjian karena kelalaian salah satu pihak. Wanprestrasi dapat terjadi apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasi, terlambat melakukan prestasi, maupun keliru dalam melaksanakan prestasi.10 Akibat yang terjadi dari wanprestasi ini yaitu pihak yang melakukan wanprestasi harus membayar ganti rugi terhadap pihak lain. Dalam KUHPerdata Pasal 1244, Pasal 1245, dan Pasal 1246 menyebutkan bahwa bentuk ganti rugi terdiri dari biaya, rugi, dan bunga. 11 Karena terjadinya wanprestasi yang dilakukan salah satu pihak maka pihak lain dapat menuntut pembatalan ataupun pemenuhan perjanjian. Apabila terdapat pihak yang melakukan pelanggaran terhadap perjanjian yang telah disepakati maka disebut wanprestasi. 2. Perbuatan Melawan Hukum Lain halnya dengan gugatan atas perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) seringkali diartikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan hukum atau undang-undang (onwetmatige daad). Hal ini terjadi karena adanya pengaruh dari ajaran legisme sehingga menimbulkan pengertian perbuatan melawan hukum yang sempit. Pada awalnya, pengertian ini muncul dari Arrest Hoge Raad 6 Januari 1905 atas perkara Singer Naaimachine dan Arrest Hoge Raad 10 Juni 1910 atas perkara Zutphenese Juffrouw. 12 Dalam perkara tersebut, Hoge Raad memenangkan tergugat dengan pertimbangan hukum bahwa tidak terdapat suatu ketentuan undang-undang yang mengaturnya atau dengan kata lain tindakan tergugat bukanlah merupakan perbuatan melawan hukum. Kemudian, pandangan atas perbuatan melawan hukum secara legistis tersebut berubah melalui Arrest Hoge Raad 31 Januari 1919 atas perkara Lindenbaum v.



10



Ibid. Prof. Subekti, S.H. “Hukum Perjanjian,” (PT. Intermasa, Jakarta, 2005), hlm. 53. 12 Agustina, Perbuatan Melawan Hukum..., hlm. 6. 11



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



61



Cohen (Drukkers Arrest).13 Dalam putusan oleh Pengadilan Negeri (Rechtbank), tergugat diminta mengganti kerugian kepada penggugat karena tergugat telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang yakni melanggar kewajiban hukum. Namun, dalam putusan Pengadilan Negeri (Hof), putusan Rechtbank dibatalkan atas dasar bahwa undang-undang tidak melarang dengan tegas bahwa tindakan yang dilakukan oleh tergugat merupakan perbuatan melawan hukum. Hal ini jelas bahwa pandangan atas perbuatan melawan hukum masih dipandang secara legistis. Namun, melalui Arrest-nya, pengertian atas perbuatan melawan hukum tidak hanya terbatas pada perbuatan yang secara langsung dilarang oleh undang-undang secara tertulis melainkan secara tidak tertulis pula berupa perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, hak subjektif orang lain, kesusilaan, kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.14 Sebelumnya perlu kita ketahui konsep dari perbuatan melawan hukum itu sendiri. Dalam disertasi yang berjudul “Perbuatan Melawan Hukum” terbitan Program Pascasarjana Universitas Indonesia tahun 2013, Prof. Rosa Agustina mendasarkan Perbuatan Melawan Hukum pada Pasal 1365 KUHPerdata, yang memiliki unsurunsur sebagai berikut: a. Perbuatan; b. Perbuatan tersebut melawan hukum; c. Ada kesalahan; d. Ada kerugian; dan e. Terdapat hubungan kausal antara pebuatan dengan kerugian. 15 Unsur kesengajaan dalam perbuatan melawan hukum dianggap ada apabila dengan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja tersebut telah menimbulkan konsekuensi tertentu terhadap fisik dan atau mental atau harta benda korban, meskipun belum merupakan kesengajaan untuk melukai fisik/mental dari korban tersebut. 16



13



Ibid., hlm. 7. Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pascasarjana FHUI, 2003) hlm. 117, lihat juga Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 6-7. 15 _______, Perbuatan Melawan Hukum…, hlm 8. 16 _______, Perbuatan Melawan Hukum…, hlm. 48. 14



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



62



Jadi, perbedaan antara gugatan wanprestasi dan gugatan melawan hukum didasarkan pada ada atau tidaknya suatu pelanggaran perjanjian. Gugatan wanprestasi apabila terdapat suatu pelanggaran atas perjanjian, sedangkan gugatan PMH tidak terkait dengan pelanggaran perjanjian (non-contractual liability). Dalam konteks Civil Law di Belanda, van Schilfgaarde, Nieuw BW menyatakan bahwa dalam gugatan perbuatan melawan hukum mensyaratkan adanya bukti bahwa tergugat: a) melakukan perbuatan yang melawan hukum; dan b) bahwa perbuatan tersebut secara hukum dapat dibebankan (atributed) kepada tergugat.17 Oleh karena itu terdapat dua pembuktian yaitu: pertama, bahwa perbuatan tergugat adalah perbuatan yang salah, hal ini ditunjukkan dengan adanya pelanggaran hak yaitu ketika perbuatan seseorang terkait dengan hak orang lain untuk tidak dirugikan atau hak orang lain atas propertinya; pelanggaran terhadap kewajiban dapat berupa pelanggaran kewajiban yang ditetapkan oleh peraturan perundangundangan atau perizinan; atau perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan (societal care)18 atau apa yang menurut masyarakat merupakan kehati-hatian menurut hukum tidak tertulis yang berlaku dalam masyarakat, dan kedua, bahwa tergugat bersalah. Menurut van Dam, yang dikutip oleh van Schilfgaarde, ukuran kesalahan yang menjadi syarat cukup bagi atribusi pertanggungjawaban merupakan kesalahan objektif. 19 Seseorang dianggap bersalah atas perbuatan melawan hukum yang ia lakukan, apabila orang tersebut telah mengetahui (dianggap mengetahui) risiko dari perbuatannya, tetapi dia tidak melakukan pencegahan atas risiko tersebut. Selain Pasal 1365 KUHPerdata, dapat dijumpai Pasal 1367 KUHPerdata yaitu tanggung gugat (aansprakelijkheid) atau vicarious liability. Pada rumusan Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata mengatur mengenai perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh brang-barang yang berada di bawah pengawasannya.



17 Elizabeth van Schilfgaarde, “Negligence under the Netherlands Civil Code: An Economic Analysist,” California Western International Law Journal, Vol. 21 (1991), hlm. 272. 18 Ibid., hlm. 273. 19 Ibid., hlm. 282-284.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



63



a. Tanggung Gugat untuk Kerugian yang Disebabkan karena Perbuatan Melawan Hukum Orang Lain Kemudian, pada rumusan pasal tersebut telah ditentukan siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perbuatan orang yang menjadi tanggungannya, sebagai berikut yaitu:20 i. Tanggung jawab orang tua dan wali terhadap anak yang belum dewasa (Pasal 1367 ayat (2) KUHPerdata). Dasar pemberian tanggung jawab tersebut dikarenakan kurangnya pengawasan terhadap anak yang belum dewasa, sehingga perbuatan yang dilakukan anak tersebut dapat mendatangkan kerugian. ii. Tanggung jawab majikan dan mereka yang mengangkat orang lain untuk mewakili suatu urusan (Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata). iii. Tanggung jawab guru sekolah dan kepala tukang terhadap murid dan tukang-tukangnya (Pasal 1367 ayat (4) KUHPerdata).21 b. Tanggung Gugat yang Disebabkan karena Barang-barang yang Berada di Bawah Pengawasannya Tanggung jawab terhadap barang atau benda yang berada di bawah penguasaannya secara umum diatur dalam Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata. Selain itu, diatur pula secara spesifik mengenai benda atau barang tersebut yaitu terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh binatang yang dimilikinya diatur dalam Pasal 1368 KUHPerdata serta terhadap ambruknya gedung yang dimilikinya diatur dalam Pasal 1369 KUHPerdata.22



20 21



Agustina, Perbuatan Melawan Hukum…, hlm. 6. Rachmat Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Binacipta, 1979), hlm.



22



Agustina, Perbuatan Melawan Hukum…, hlm. 7.



49.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



64



Pertanggungjawaban Perdata di Indoenesia Dikaitkan dengan Konsep Pertanggungjawaban Perdata di Negara Civil Law Kali ini Penulis akan mengaitkan konsep pertanggungjawaban perdata di Indonesia dengan konsep pertanggungjawaban di negara yang menerapkan Civil Law system yaitu Belanda. Di negara tersebut, dikenal pertanggungjawaban perdata yaitu:23 i.



Tanggung gugat berdasarkan kesalahan (schuldaansprakelijkheid). Dalam konsep ini, penggugat wajib membuktikan kesalahan yang dilakukan oleh Tergugat sehingga dapat menimbulkan kerugian. Apabila dikaitkan dengan konsep di Indonesia, maka tanggung jawab ini termasuk dalam rumusan Pasal 1356 KUHPerdata yaitu Perbuatan Melawan Hukum berdasarkan kesalahan.



ii. Tanggung gugat berdasarkan kesalahan dengan beban pembuktian terbalik (schuldaansprakelijkheid met onkering van de bewijslat). Dalam konsep ini, tidak ada beban pembuktian pada penggugat untuk membuktikan bahwa tergugat tidak berhati-hati sehingga menimbulkan kerugian, melainkan sebaliknya tergugat harus membuktikan bahwa perbuatan yang dilakukan telah cukup berhati-hati. Apabila dikaitkan dengan konsep di Indonesia, maka tanggung jawab ini termasuk dalam rumusan Pasal 1367 ayat (2) dan (5) KUHPerdata mengenai tanggung gugat. iii. Tanggung gugat berdasarkan risiko (risicoaansprakelijkheid). Dalam konsep ini, bentuk tanggung jawab tidak didasarkan pada unsur kesalahan yang dilakukan oleh tergugat. Oleh karenanya, tanggung jawab ini dikenal pula dengan konsep strict liability.24 Namun, tanggung jawab ini hanya berlaku secara terbatas, yaitu hanya dikenakan pada kegiatan



Imamulhadi, “Perkembangan Prinsip Strict liability dan Precautionary Principle dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Pengadilan” dalam Jurnal Mimbar Hukum FH UGM, Vol. 25, No. 3 (Oktober 2013), hlm. 419-420 sebagaimana mengutip Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional (Surabaya: Airlangga University Press, 1996), hlm. 270-280. 24 Ibid., sebagaimana mengutip Mas Ahmad Santosa, 1997, Penerapan Asas Tanggungjawab Mutlak (Strict liability) di Bidang Lingkungan Hidup, ICEL, Jakarta, hlm. 23. 23



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



65



sebagai berikut: 1) Pengelolaan limbah berbahaya; 2) Instalasi pengelolaan limbah; dan 3) Kegiatan tambang pengeboran.25 Di Indonesia, ketentuan ini sejalan dengan rumusan Pasal 88 UU PPLH yang mengatur bahwa tanggung jawab mutlak atau strict liability dikenakan pada tindakan, usaha, dan atau kegiatan yang mana: 1). menggunakan B3; 2). menghasilkan dan atau mengelola limbah B3; dan atau 3). menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. 26 Pertanggungjawaban Perdata di Indoenesia Dikaitkan dengan Konsep Pertanggungjawaban Perdata di Negara Common Law Dalam sistem Anglo Saxon yang kali ini akan Penulis kaitkan dengan konsep di Amerika, dikenal beberapa pertanggungjawaban perdata, yaitu : i.



Tort Liability (Liability based on fault) Dalam konsep ini, pertanggungjawaban didasarkan dengan adanya kesalahan yang dilakukan oleh tergugat. Oleh karenanya, tergugat dapat bebas dari tuntutan ganti rugi apabila penggugat tidak dapat membuktikan unsur kesalahan atas perbuatan yang dilakukan oleh tergugat sehingga menimbulkan kerugian kepada penggugat.27



ii.



Doctrine shifting the burden of proof Dalam konsep ini, menganut sistem pembuktian terbalik yang mana tergugatlah yang harus membuktikan bahwa tidak ada kesalahan yang dilakukan oleh tergugat. Sehingga, tergugat dapat lepas dari tuntutan ganti rugi.28



iii.



Res ipsa loquitur (the thing speaks for itself) Dalam konsep ini, penggugat tidak perlu untuk membuktikan unsur kesalahan yang dilakukan oleh tergugat. Namun, untuk dapat berlaku konsep ini, diperlukan faktor-faktor khusus, yaitu : 1. Instalasi tersebut harus dibawah pengawasan dari tergugat;



25



Imamulhadi, Perkembangan Prinsip Strict liability dan Precautionary Principle, hlm.



420. 26



UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, LN No. 140, TLN No. 5059, Pasal 88 mengatur mengenai tanggung jawab mutlak. 27 Krier, Environment Litigation and The Burden of Proof, Walker Publishing Company, New York (1970), hlm. 119. 28 Ibid.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



66



2. Kerugian tersebut tidak akan timbul apabila dilakukan prinsip kehatihatian; 3. Tidak ada kontribusi yang dilakukan oleh penggugat atas timbulnya kerugian; dan 4. Kerugian yang timbul sulit dijelaskan atau hanya bisa dijelaskan oleh tergugat dan penyebabnya haruslah sulit untuk diketahui. 29 Dalam konsep pertanggungjawaban perdata, res ipsa loquitor berarti fakta berbicara sendiri (the thing speak for itself). Kesalahan dalam arti perbuatan melawan hukum, negligence dari tergugat diasumsikan telah ada, sehinggat tergugat lah yang memiliki beban untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Hal ini berlaku apabila beberapa syarat terpenuhi, yaitu: a) Kerugian harus merupakan kerugian yang sulit dibuktikan penyebabnya. Harus terpenuhi unsur “unknown cause”, b) Kerugian hanya akan terjadi karena kurangnya kehati-hatian (lack of proper care) atau karena adanya negligence (perbuatan melawan hukum), yaitu tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum (negligence) berupa kurangnya kehati-hatian; dan c) Tergugat haruslah orang yang sepenuhnya memiliki kontrol atas situasi yang terjadi. Unsur ini untuk memberikan penjelasan bahwa tergugat telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum (negligence).30 Res ipsa loquitor mirip dengan pembuktian terbalik terbatas. Tergugat bertanggung jawab karena ia telah melakukan perbuatan melawan hukum, tetapi tergugat masih bisa lepas dari pertanggungjawaban jika ia berhasil membuktikan bahwa ia tidak bersalah yaitu perbuatannya tidaklah melawan hukum. Dalam hal ini res ipsa loquitor masih berada dalam ranah pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan. Berbeda dengan perbuatan melawan hukum biasa (negligence), pada res ipsa loquitor unsur negligence dianggap telah terbukti, sehingga tergugat lah yang memiliki beban untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan perbuatan melawan hukum. Oleh



29 Vivienne Harpwood, Principles of Tort Law, Cet ke-4 (London: Cavendish Publishing, 2000), hlm. 144. 30 Andri G. Wibisana, “Pertanggungjawaban Perdata dan Pembuktian dalam Hukum Lingkungan Indonesia,” (n.p, 2015), hlm. 18-19.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



67



karenanya, Hakim Phillips menyatakan bahwa res ipsa loquitor bukanlah sebuah aturan tentang pertanggungjawaban melainkan sebuah aturan tentang pembuktian. Agar res ipsa loquitor dapat berlaku, tergugat memiliki beban untuk menunjukkan bagaimana kerugian terjadi; membuktikan bahwa kerugiannya merupakan kerugian yang biasa terjadi karena adanya negligence; membuktikan bahwa kerugian disebabkan oleh instrumentality (alat atau kegiatan) yang sepenuhnya berada dalam kontrol tergugat. iv.



Strict liability Konsep ini merupakan tanggung jawab seketika pada saat terjadinya perbuatan. Oleh karenanya, strict liability merupakan konsep liability without fault yang tidak didasarkan pada kesalahan yang dilakukan oleh tergugat baik dalam bentuk intentional tort (kesengajaan) ataupun negligence (kelalaian).31 Mengenai strict liability akan dibahas lebih lanjut pada sub-bab tersendiri pada tulisan ini.



v.



Absolute Liability Maksud dari absolute dalam konsep ini dapat dilihat secara prosedural dan material. Secara prosedural, absolute liability membebankan adanya pembuktikan unsur kesalahan sebagai kewajiban pembayaran ganti rugi, sedangkan secara material dalam pembayaran ganti rugi tidak ada batas besaran jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan oleh tergugat.32



B. Teori Strict liability di Indonesia Strict liability mulai dikenal pertama kali di Indonesia melalui Civil Liability Convention for Oil Pollution Damage pada tahun 1969 (CLC 1969)33 yang diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1978. Dalam perkembangannya, Strict liability diadopsi dan diatur secara tersendiri pada



Charles E. Cantu, “Distinguishing the Concept of Strict liability in Tort from Strict Products Liability: Medusa Unveiled,” The University of Memphis Law Review, Vol. 33 (2003), hlm. 826. 32 Imamulhadi, Perkembangan Prinsip Strict liability dan Precautionary Principle, hlm. 421. 33 1969 Brussels Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage, 9 ILM 45 (1970). 31



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



68



pasal dalam undang-undang mengenai lingkungan hidup dan ketenaganukliran sejak tahun 1982.34 Rumusan mengenai konsep strict liability terdapat pada Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yaitu35 : “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan atau mengelola limbah B3, dan atau yang



menimbulkan



ancaman



serius



terhadap



lingkungan



hidup



bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.” Dilanjutkan dalam Penjelasan Pasal 88 UU PPLH yang menyatakan bahwa : “Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak Penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.” Selain itu pula, strict liability diatur dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36 Tahun 2013 tentang Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup ((SK KMA 36/2013). Dalam instrumen hukum tersebut, ditegaskan bahwa: “Proses pembuktian pertanggungjawaban perdata: a. Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1365 KUHPerdata); b. Pembuktian penerapan strict liability (Tanggung Jawab Mutlak).” Dari ketiga rumusan tersebut, dapat dilihat bahwa strict liability di Indonesia diterapkan dalam proses pembuktian saja yang hakikatnya sama dengan perbuatan melawan hukum pada umumnya dengan menghilangkan unsur kesalahan.



Andri G. Wibisana, “Pencegahan dan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan,” dalam Hukum Lingkungan: Teori, Legislasi, dan Studi Kasus, (n.p.: USAID, Kemitraan, dan The Asia Foundation, n.t.). hlm. 472. 35 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, LN No. 140, TLN No. 5059, Pasal 88 mengatur mengenai tanggung jawab mutlak. 34



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



69



C. Analisis Mengenai Penerapan Strict liability di Indonesia Kaitannya dengan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Sebagai Dasar Pengajuan Gugatan Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui ranah perdata diawali dengan adanya gugatan. Gugatan dapat diajukan oleh korban baik secara perorangan, class action, organisasi lingkungan hidup, pemerintah, maupun citizen lawsuit. 36 Tujuan dari



diajukannya



gugatan



tersebut,



tidaklah



lain



untuk



meminta



pertanggungjawaban perdata atau tuntutan ganti rugi dari pihak-pihak atau tergugat yang menyebabkan kerugian kepada korban atau penggugat. Dalam perkara lingkungan hidup yang dapat dimintakan oleh penggugat dapat berupa ganti kerugian baik bersifat material maupun immaterial dan upaya pemulihan lingkungan atas pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh kegiatan tergugat. Dengan demikian, apabila menggunakan konsep pertanggungjawaban perdata yang telah diuraikan oleh Penulis di atas, maka penyelesaian sengketa lingkungan hidup di Indonesia dapat diajukan berdasarkan perbuatan melawan hukum dan strict liability. Namun, pada kenyataanya terjadi hambatan pada penerapan gugatan yang didasarkan pada pertanggungjawaban perdata strict liability. Oleh karenanya, disini Penulis akan membahas mengenai penerapan strict liability sebagai dasar pengajuan gugatan. Pada berbagai kasus lingkungan hidup yang telah ada, praktisi hukum seringkali mengalami miskonsepsi antara penggunaan teori perbuatan melawan hukum dan strict liability. Penggugat mengajukan gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum, tetapi digunakan pula dasar pertanggungjawaban secara strict liability dalam satu gugatan. Padahal, kedua dasar pertanggungjawaban tersebut, merupakan konsep yang berbeda apabila diterapkan sebagai dasar pengajuan gugatan. Sehingga akan terjadi tumpang tindih dan kesalahan dalam penyusunan gugatan apabila PMH menjadi satu dengan strict liability.



36 Syahrul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia Penegakan Berdasarkan Hukum Administrasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2009, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 195.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



70



Pada mulanya, di Indonesia dasar pertanggungjawaban dalam perkara lingkungan hidup adalah berdasarkan perbuatan melawan hukum (PMH) yaitu konsep pertanggungjawaban perdata berdasarkan kesalahan (fault based liability) yang mana terdapat pelanggaran terhadap suatu ketentuan undang-undang, hak subjektif orang lain, kesusilaan, kepatutan dan kehati-hatian yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain. Pada konsep pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan tersebut mensyaratkan adanya unsur kesalahan (fault) baik dalam bentuk kesengajaan (intentional tort) ataupun kelalaian (negligence). Namun, seiring dengan meningkatnya kegiatan, risiko dari sebuah kegiatan atau pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang terbukti dari maraknya kasus lingkungan hidup khususnya kebakaran hutan, rezim pertanggungjawaban bergeser dari yang hanya memperhatikan perilaku/kegiatan yang dilakukan pihakpihak tertentu menjadi sifat dari kegiatan yang dilakukan tersebut. Oleh karenanya, pertanggungjawaban yang semula menekankan pada aspek pihak yang melakukan kegiatan beralih ke kegiatan yang dilakukan. Hal inilah yang dinamakan sebagai pertanggungjawaban



berdasarkan



risiko



atau



risk



based



liability.



Pertanggungjawaban atas dasar adanya risiko yang timbul dari kegiatan yang dilakukan tersebut dikenal sebagai strict liability (tanggung jawab mutlak). Berkembangnya konsep mengenai strict liability berkembang dalam praktek perkara lingkungan hidup guna mengatasi keterbatasan konsep liability based on fault, dimana penggugat seringkali mengalami kesulitan dalam membuktikan adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tergugat. Oleh karenanya, konsep strict liability digunakan bertujuan untuk menjerat pelaku usaha dan atau kegiatan yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan tanpa harus membuktikan unsur kesalahan. Dengan adanya, pergeseran pertanggungjawaban ini akan membuat pelaku usaha dan atau kegiatan semakin berhati-hati dalam bertindak serta dapat mengendalikan perbuatannya dalam melakukan kegiatan yang memiliki risiko terhadap lingkungan hidup. Strict liability merupakan konsep tanggung jawab terhadap pelaku usaha dan atau kegiatan yang dapat digolongkan sebagai jenis kegiatan yang extrahazardous atau ultra hazardous atau abnormally dangerous. Maka, pelaku usaha dan atau kegiatan



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



71



diwajibkan memikul segala kerugian yang ditimbulkan, meskipun bertindak sangat hati-hati untuk mencegah bahaya atau kerugian tersebut, walaupun telah dilakukan tanpa kesengajaan. Dalam konsep strict liability, pertanggungjawaban penggugat tidak dibebankan atas pembuktian unsur kesalahan. Oleh karenanya, strict liability merupakan konsep liability without fault dan berbeda dengan liability based on fault. Penggugat hanya dituntut untuk membuktikan bahwa perbuatan atau kegiatan tergugat termasuk ke dalam kategori abnormally dangerous activity37, kerugian, serta hubungan sebab-akibat antara perbuatan dengan kerugian atau kausalitas. Di samping itu semua, bagaimana penerapan strict liability di Indonesia itu sendiri apabila dibandingkan dengan negara lain? Dalam penerapannya di Indonesia gugatan strict liability merupakan bagian dari gugatan perbuatan melawan hukum. Pada fakta-fakta yang diajukan, penggugat menunjukkan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum seperti yang telah Penulis sampaikan di atas. Dalam asas strict liability, unsur kesalahan dilihat dari segi subjektif yaitu kesengajaan (fault), kelalaian (schuld), dan mens rea. Hal ini tidaklah menjadi penting karena pun pada saat perbuatan dilakukan maka pelaku sudah memikul tanggung jawab. Oleh karenanya, mengenai strict liability sesuai dengan doktrinnya, “unsur kesalahan” tidak perlu dibuktikan dan hanya menempatkan strict liability pada pembahasan unsur-unsur perbuatan melawan hukum. Dalam beberapa kasus di Indonesia, penggugat menunjukkan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dan kemudian meminta pengadilan untuk menyatakan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian tanpa menyatakan bahwa tergugat bertanggungjawab berdasarkan strict liability. Berbeda



dengan



kasus



di



AS



bahwa



dalam strict



liability



tergugat



bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dari perbuatan yang dilakukannya meskipun telah dilakukan secara hati-hati dan bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum. Hal ini menunjukkan bahwa strict liability bukanlah merupakan



37



Restatement (Second) of Torts §§ 519-524A (1977).



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



72



bagian dari gugatan perbuatan melawan hukum. Sifat melawan hukum bukan ditentukan oleh perbuatan yang dilakukan oleh tergugat, melainkan ditentukan sebagai kegiatan yang berbahaya (abnormally dangerous activity) yang kemudian menimbulkan adanya kerugian yang diderita oleh penggugat.38 Kemudian, bagaimana penerapan gugatan yang didasarkan pada strict liability tersebut seharusnya disusun? Mengacu pada Pasal 88 UU PPLH beserta penjelasannya, bentuk pertanggungjawaban secara strict liability dapat disusun dengan sedemikian rupa, yaitu: Pertama kali apabila kita berangkat dari rumusan Pasal 88 UU PPLH maka dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Setiap orang yang tindakan, usahanya, dan atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan atau mengelola limbah B3, dan atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup; 2. Bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang dialami Penggugat; dan 3. Kerugian yang dialami Penggugat disebabkan oleh tindakan, usaha, dan atau kegiatan yang dilakukan Tergugat (kausalitas atau hubungan sebabakibat). Kemudian, merujuk pada penjelasan Pasal 88 UU PPLH bahwa strict liability tersebut yang mana merupakan lex specialis PMH pada umumnya tanpa dibuktikan unsur kesalahan, unsur apa saja yang kemudian harus dibuktikan? Tentu saja kembali pada rumusan Pasal 88 UU PPLH yang telah Penulis uraikan di atas, maka yang harus dibuktikan adalah : 1. Perbuatan 2. Kerugian 3. Kausalitas



38



Supreme Court of Oklahoma dalam perkara Young v. Darter tahun 1961 menyatakan bahwa unsur melawan hukum bukanlah unsur yang perlu diperhatikan dalam strict liability, tergugat bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan dari kegiatannya, meskipun telah dilakukan dengan cara yang sangat hati-hati dan bukanlah termasuk perbuatan yang melawan hukum. Andri G. Wibisana, “Pertanggungjawaban Perdata dan Pembuktian dalam Hukum Lingkungan Indonesia”, (n.p, 2015), hlm. 11-12.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



73



Maka, sudah jelas unsur kesalahan tidak dibuktikan dalam strict liability. Lantas, karena strict liability merupakan lex specialis dari perbuatan melawan hukum bagaimana dengan unsur-unsur yang harus dibuktikan lainnya? Pada berbagai perkara lingkungan hidup yang menerapkan Pasal 88 UU PPLH, maka mereka akan menyandingkan pasal tersebut sebagai lex specialis dari PMH Pasal 1365 KUHPerdata yang dapat diuraikan menjadi: 1. Perbuatan; 2. Perbuatan tersebut melawan hukum; 3. Kesalahan; 4. Kerugian; dan 5. Kausalitas. Dengan membandingkan dua rumusan pasal di atas antara Pasal 88 UU PPLH dan Pasal 1365 KUHPerdata, tentu rumusan Pasal 88 tidak hanya tanpa membuktikan unsur kesalahan melainkan juga unsur melawan hukum. Padahal, dalam penjelasannya sudah tegas bahwa strict liability merupakan lex specialis dari PMH tanpa dibuktikan unsur kesalahan saja. Oleh karenanya, apabila mengacu pada lex specialis dari Pasal 1365 KUHPerdata, pembuktian atas unsur melawan hukum menjadi tidak relevan dengan rumusan Pasal 88 UU PPLH itu sendiri. Apabila kita masih mengamini bahwa lex specialis tersebut merujuk pada Pasal 1365 KUHPerdata akan menimbulkan kerancuan dalam penyusunan gugatannya. Harusnya, dengan dihilangkannya unsur kesalahan dari rumusan pasal perbuatan melawan hukum (PMH), maka akan menghasilkan uraian dari rumusan Pasal yang akan sama dengan Pasal 88 UU PPLH. Namun, sudah jelas dengan mengacu pada Pasal 1365 KUHPerdata akan menyisakan satu unsur pasal yaitu unsur melawan hukum. Lalu bagaimana dengan unsur tersebut? Apakah maksud dari lex specialis mengacu pada Pasal 1365 KUHPerdata telah tepat? Sebenarnya, apabila kita menelurusi sifat melawan hukum dari strict liability itu sendiri, sifat melawan hukum telah ditentukan oleh pembuat undang-undang, yaitu sebagai kegiatan yang berbahaya (abnormally dangerous activity) yang menimbulkan kerugian kepada penggugat. Artinya, sifat melawan hukum bukan



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



74



ditentukan oleh kegiatan atau perbuatan yang dilakukan oleh tergugat, melainkan adanya bahaya, risiko dan kerugian yang diderita oleh penggugat. Oleh karenanya, ukuran dari sifat melawan hukum ini ditunjukkan dalam bentuk kerugian yang diderita oleh penggugat (wrongful losses) yang disebabkan oleh kegiatan tergugat. Maka dari itu, Penulis akan menganalisis kembali rumusan Pasal 88 UU PPLH beserta penjelasan pasalnya. Dalam UU PPLH di Indonesia, strict liability diatur dalam Pasal 88 Bab XII tentang Penyelesain Sengketa Melalui Pengadilan yang menyatakan bahwa: “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan atau mengelola limbah B3, dan atau yang



menimbulkan



ancaman



serius



terhadap



lingkungan



hidup



bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.” Sedangkan dalam penjelasan atas Pasal 88 UU PPLH tersebut, yaitu : “Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak Penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.” Frasa mengenai lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya inilah yang kemudian menjadi pertanyaan. Bagaimana maksud dari lex specialis tersebut? Selama ini, frasa lex specialis dari perbuatan melanggar hukum pada umumnya, selalu merujuk pada PMH Pasal 1365 KUHPerdata seperti yang telah Penulis jabarkan di atas. Padahal, PMH pada umumnya tidak terbatas pada Pasal 1365 KUHPerdata saja melainkan terdapat pula pada Pasal 1366 KUHPerdata yaitu PMH karena kelalaian dan Pasal 1367 KUHPerdata yaitu PMH tanpa kesalahan. Oleh karena Pasal 88 UU PPLH adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan dan lex specialis PMH pada umumnya, maka seharusnya yang dimaksud lex specialis dari PMH pada umumnya merujuk pada PMH tanpa kesalahan yaitu Pasal 1367



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



75



KUHPerdata. Maka dari itu, jelas bahwa Pasal 88 UU PPLH adalah lex specialis dari PMH tanpa kesalahan di bidang di lingkungan hidup. Lagi pula, dari sisi sifat melawan hukum dari strict liability di atas semakin menguatkan bahwa terdapat korelasi yang jelas antara Pasal 88 UU PPLH dengan Pasal 1367 KUHPerdata. Keduanya merupakan konsep pertanggungjawaban yang didasarkan dengan adanya risiko yang timbul. Sehingga, sudah jelas bahwa Pasal 88 UU PPLH dapat dijadikan sebagai dasar pengajuan gugatan yang berdiri sendiri dan terpisah dari PMH berdasarkan kesalahan seperti yang diketahui pada umumnya.



III.



Penutup



Berdasarkan pemaparan dalam tulisan ini, terjadi kerancuan dalam penerapan strict liability di Indonesia. Penggunaan strict liability dalam beberapa gugatan lingkungan hidup di Indonesia sering kali diaplikasikan bersandingan dengan pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum berdasarkan kesalahan. Melihat hal tersebut, tujuan dari munculnya strict liability sebagai pertanggungjawaban yang tidak membebankan dibuktikannya unsur kesalahan menjadi tidak tercapai. Oleh karenanya, diperlukan adanya pemahaman terhadap praktik peradilan di Indonesia khususnya di bidang perdata sehingga dapat menghasilkan perubahan praktik yang lebih efektif dalam penggunaan pertanggungjawaban secara strict liability. Sebagaimana apa yang telah disampaikan oleh Prof. R. Subekti yang menyatakan bahwa, sebagai suatu akibat yang timbul dari hukum perdata, maka dengan sendirinya setiap perkembangan dalam hukum material sebaiknya selalu diikuti dengan penyesuai dalam hukum acaranya.39 Dengan demikian, alangkah baiknya apabila strict liability tidak hanya diterapkan dalam proses pembuktian belaka karena strict liability sejatinya merupakan konsep pertanggungjawaban dan bukanlah aturan mengenai pembuktian. Besar harapan Penulis, agar strict liability dapat diterapkan sebagai dasar pertanggungjawaban dalam pengajuan gugatan dan bukanlah hanya menjadi bagian di dalam gugatan atas perbuatan melawan hukum.



39



R. Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung: Bina Cipta, 1982), hlm. 14



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



76



DAFTAR PUSTAKA



Buku Agustina, Rosa. Hukum Perikatan. Denpasar: Pustaka Larasan, 2012. ____________. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Pascasarjana FHUI, 2003. Cantu, Charles E. “Distinguishing the Concept of Strict Laibility in Tort from Strict Products Liability: Medusa Unveiled” dalam The University of Memphis Law Review, Vol. 33, 2003. Fuady, Munir. Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010. Harpwood, Vivienne. Principles of Tort Law, 4th ed. London: Cavendish Publishing Limited, 2000. Krier, James. Environmental Litigation and The Burden of Proof. New York: Walker Publishing Company, 1970. Rangkuti, Siti Sundari. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Surabaya: Airlangga University Press, 1996. Santosa. Mas Achmad. Penerapan Asas Tanggung Jawab Mutlak (Strict liability) di Bidang Lingkunga Hidup. Jakarta: ICEL, 1997. Subekti. Hukum Acara Perdata. Bandung: Bina Cipta, 1982. ______. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 2005.



Artikel Wibisana, Andri Gunawan. “Aspek Prosedural Gugatan, Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian” dalam Modul Pelatihan Sertifikasi Hakim Lingkungan. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. n.t.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



77



Wibisana, Andri Gunawan. “Pertanggungjawaban Perdata dan Pembuktian dalam Hukum Lingkungan di Indonesai” dalam Modul Pelatihan Sertifikasi Hakim Lingkungan. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. September 2015.



Jurnal Imamulhadi. “Perkembangan Prinsip Strict liability dan Precautionary dalam Penyelesaian Lingkungan Hidup di Pengadilan” dalam Jurnal Mimbar Hukum FH UGM, Vol. 25, No. 3, Oktober 2013. Tan, Alan Khee-Jin. “Forest Fires of Indonesia: State Responsibility and International Liability” dalam International & Comparative Law Quarterly, Vol. 48, No. 4, 1999.



Dokumen-Dokumen Hukum Indonesia. Undang-Undang tentang Ketenaganukliran. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997. LN RI No. 23 Tahun 1997. TLN No. 3676. ________. Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. LN RI No. 140 Tahun 2009. TLN No. 5059. Pengadilan Negeri Meulaboh. Putusan No. 12/Pdt.G/2012/PN.Mbo. (KLHK v. PT. Kallista Alam). Pengadilan Negeri Palembang. Putusan No. 24/Pdt.G/2015/PN.Plg (KLHK v. PT. Bumi Mekar Hijau).



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



78



Internet DW. Diakses Januari 2017. http://www.dw.com/id/nasa-kabut-asap-indonesiaterparah-dalam-sejarah/a-18756969. Cornell University Law School Legal Information Institute. Diakses Januari 2017. https://www.law.cornell.edu/wex/ultrahazardous_activity.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



79



BIODATA PENULIS



Ezha Nafis Aufa Laili adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan 2015 yang kini menjabat sebagai Kepala Divisi Bidang Manajerial Kompetisi Law Student Association for Legal Practice (LaSALe) Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Selama berada di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, pengalamannya di bidang organisasi yaitu pernah menjadi staf Bidang Kajian Ilmiah Lembaga Kajian & Keilmuwan Fakultas Hukum Universitas periode 2016. Ia juga dipercaya sebagai Project Officer dalam kegiatan Kelompok Diskusi Ilmiah (KEDAI) I dengan judul “Meninjau Kembali Payung Hukum Layanan Transportasi Berbasis Aplikasi” yang diselenggarakan pada Mei 2016. Selain itu ia juga pernah menjabat sebagai Kepala Biro Komunikasi & Informasi Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia periode 2016. Pengalamannya di bidang akademik diantaranya adalah sebagai Penuntut Umum Terbaik dan Juara II dalam Internal Moot Court Competition “Piala Rudy Satriyo Mukantardjo IV” Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan sebagai Delegasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam Moot Court Competition “Piala Bulaksumur III” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Selama ia menjabat sebagai Kepala Divisi Manajerial Kompetisi LaSALe, ia juga pernah membimbing delegasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam Moot Court Competition “Piala Abdul Kahar Mudzakkir VIII” yang diselenggarakan oleh Universitas Islam Indonesia.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



80



PENERAPAN WARIS PIDANA SEBAGAI EXTRAORDINARY MEASURE UNTUK MEMBERANTAS KORUPSI DI INDONESIA Josua Satria Collins1



Abstract Corruption in Indonesia becomes a critical problem. Indonesia needs to totally change its strategy to fight against corruption. One of extraordinary strategy is “waris pidana”. In this articles, author analyze some secondary data and make an interview with Akhiar Salmi, S.H., M.H. Based on the analysis, it is found that in “waris pidana”, family members have obligation to pay “uang pengganti” to the government if convicted of corruption was dead and not able to pay the whole of “Uang Pengganti”. This concept can be the best solution because this concept make an internal control in family. Keywords: corruption, family, progressive



1



Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan 2014, beralamat di Jalan Kalibata Timur Nomor 11 Rt. 003 Rw. 010 Kelurahan Kalibata Kecamatan Pancoran 12740 Jakarta Selatan. Penulis dapat dihubungi melalui no. Telp. 021-7943233 atau e-mail [email protected].



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



81



I.



Pendahuluan



Indonesia telah menyatakan diri sebagai negara kesejahteraan (welfare state) di dalam kehidupan bernegara. Hal ini jelas terlihat di dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang menyatakan bahwa salah satu tujuan negara Indonesia adalah mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini berarti pemerintah memiliki tugas untuk memberikan pelayanan yang berkaitan dengan kesejahteraan warga negara, seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, jaminan sosial, dan lain sebagainya. 2 Salah satu tantangan untuk mewujudkan kesejahteraan umum tersebut adalah meluasnya praktik korupsi.3 Korupsi di Indonesia sudah sampai pada titik nadir. Korupsi di negeri ini begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktik korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, serta telah pula menjalar ke dunia usaha.4 Menurut Guru Besar Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Adi Sulistyono, korupsi kian merajalela dan merambah ke berbagai sektor, dari tingkat pusat hingga daerah.5 Korupsi tidak saja menggerus struktur kenegaraan secara perlahan, akan tetapi menghancurkan segenap sendi-sendi penting yang terdapat dalam negara. Gambaran terjadinya praktik korupsi di Indonesia setidaknya tercermin dalam indeks persepsi korupsi yang dikeluarkan beberapa lembaga survei, di antaranya Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) yang dikeluarkan oleh Transparancy International.6 Corruption Perception Index (CPI) merupakan indeks komposit yang mengukur persepsi pelaku usaha dan pakar terhadap korupsi di sektor publik, yaitu korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri, penyelenggara



Eddy Kiswanto, “Negara Kesejahteraan (Welfare State): Mengembalikan Peran Negara dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Indonesia,” Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik 9 (2005), hlm. 95. 3 Frans Winarta, “Mewujudkan Negara Kesejahteraan yang Bebas dari Korupsi,” diakses 22 Maret 2017, http://www.franswinarta.com/news/mewujudkan-negara-kesejahteraan-yang-bebasdari-korupsi/. 4 Muhammad Yusuf, Merampas Aset Koruptor (Jakarta: Buku Kompas, 2013), 1. 5 Tri Agung Kristanto dan Irwan Suhanda, ed., Jangan Bunuh KPK: Perlawanan Terhadap Usaha Pemberantasan Korupsi (Jakarta: Buku Kompas, 2009), hlm. 4. 6 Yusuf, Merampas Aset Koruptor, hlm. 1. 2



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



82



negara dan politisi. Pada tahun lalu, skor CPI Indonesia sebesar 37 dan menempati urutan 90 dari 176 negara yang diukur, di bawah Singapura, Brunei dan Malaysia. Skor CPI berada pada rentang 0-100, berarti negara dipersepsikan sangat korup, sementara skor 100 berarti dipersepsikan sangat bersih.7 Upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan membentuk berbagai macam unit khusus dan mengatur berbagai kebijakan dalam rangka mempersempit kesempatan bagi siapapun untuk melakukan korupsi. Akan tetapi nyatanya hal-hal tersebut belum mampu benar-benar memberantas korupsi di Indonesia. 8



Presiden



Joko



Widodo



sendiri



berdalih



bahwa



dalam



kepemimpinannya, pemerintah sudah menerbitkan sejumlah kebijakan untuk mencegah dan memberantas korupsi. Dimulai dari menginstruksikan kementerian dan lembaga negara untuk mereformasi sektor pelayanan publik yang langsung bersentuhan dengan rakyat, memerintahkan Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan pembenahan di sektor perpajakan serta mengoptimalkan penerimaan negara dari pengelolaan di sektor pangan dan sumber daya alam, meningkatkan transparansi pada penyaluran dana hibah, bantuan sosial serta pengadaan barang dan jasa, menginstruksikan kementerian serta lembaga memanfaatkan teknologi informasi dalam hal pengadaan barang dan jasa serta pola penganggaran, hingga membentuk tim Sapu Bersih Pungutan Liar atau “Saber Pungli”. 9 Akan tetapi, nyatanya upaya-upaya pemerintah selama ini belum “ampuh” untuk memberantas korupsi di Indonesia. Bahkan, bagi beberapa pihak, korupsi di Indonesia malah semakin tumbuh subur dan kompleks. Hal ini terlihat dari “Kasus E-KTP” yang sedang ramai diperbincangkan beberapa waktu terakhir. Menurut peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama S Langkun, “Kasus E-KTP” merupakan kasus terbesar yang



Transparency International Indonesia, “Corruption Perceptions Index 2016,” diakses 22 Maret 2017, http://www.ti.or.id/index.php/publication/2017/01/25/corruption-perceptions-index2016. 8 Sherly Adam, “Peranan Keluarga dalam Pemberantasan dan Penanggulangan Korupsi,” diakses 22 Maret 2017, http://fhukum.unpatti.ac.id/korupsi/257-peranan-keluarga-dalampemberantasan-dan-penanggulangan-korupsi. 9 Fabian Januarius Kuwado, “Upaya Pemerintahan Jokowi-JK Cegah Korupsi,” diakses 22 Maret 2017, http://nasional.kompas.com/read/2016/12/01/18461131/upaya.pemerintahan.jokowijk.cegah.korupsi. 7



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



83



pernah ditangani KPK dari sisi kerugian negara.10 Hal ini dikarenakan diduga sebanyak 49 % anggaran pengadaan E-KTP dinikmati sejumlah nama-nama besar.11 Meski kasus ini masih dalam proses pengadilan, akan tetapi bila dalam persidangan terbukti telah terjadi korupsi, maka tentunya terjadi peningkatan dalam hal kebocoran anggaran negara. Hal ini mengingat pendapat Prof. Sumitro Djojohadikusumo, mantan Menteri Keuangan, yang di beberapa kesempatan mengatakan bahwa kebocoran anggaran negara hingga tahun 1993 sudah mencapai angka 30 %.12 Bila kita asumsikan persentase kebocoran anggaran negara mencapai 49 %, maka Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia mengalami kebocoran sekitar Rp1.000 Triliun dari total anggaran sekitar Rp2.500 Triliun.13 Mencermati luasnya dampak dan sifatnya yang sangat merusak, sistemik serta melembaga maka korupsi dinyatakan sebagai tindak pidana luar biasa (extraordinary crime). Penasihat KPK, Abdullah Hehamahua, mengatakan ada tiga sebab mengapa korupsi di Indonesia menjadi kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Pertama, korupsi di Indonesia sifatnya transnasional atau lintas negara. Kedua, pembuktian korupsi di Indonesia cukup sulit. Ketiga, dampak korupsi itu yang luar biasa. Hal ini terlihat dari sektor ekonomi, utang Indonesia di luar negeri mencapai Rp1.227 tiliun. 14 Elwi Danil mengatakan bahwa karena cukup banyak alasan rasional menempatkan korupsi sebagai extraordinary crime, maka pemberantasannya perlu dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa (extraordinary measure) dan dengan menggunakan instrumen-instrumen hukum yang luar biasa pula (extraordinary



10 Haris Fadhil, “ICW: Korupsi e-KTP Rp 2,3 T Kasus Terbesar yang Ditangani KPK,” diakses 22 Maret 2017, https://news.detik.com/berita/d-3444229/icw-korupsi-e-ktp-rp-23-t-kasusterbesar-yang-ditangani-kpk. 11 Fachrur Rozie, “Jaksa: 49 Persen Anggaran E-KTP Dinikmati Para Pejabat,” diakses 22 Maret 2017, http://news.liputan6.com/read/2880575/jaksa-49-persen-anggaran-e-ktp-dinikmatipara-pejabat. 12 Joko Tri Haryanto, “Kebocoran vs Efisiensi Anggaran,” diakses 22 Maret 2017, http://www.kemenkeu.go.id/Artikel/kebocoran-vs-efisiensi-anggaran. 13 Wawancara dengan Akhiar Salmi, tanggal 16 Maret 2017 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 14 Mutia Ramadhani, “Inilah 3 Alasan Mengapa Korupsi Disebut Kejahatan Luar Biasa,” diakses 19 April 2017, http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/02/23/lztpqj-inilah-3alasan-mengapa-korupsi-disebut-kejahatan-luar-biasa.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



84



instrument).15 Extraordinary measure di sini melegalkan ketentuan-ketentuan eksepsional yang bersifat menyimpang dari aturan umum. 16 Hal ini pun didukung oleh Sosiolog hukum dari Universitas Diponegoro, Satjipto Rahardjo. Ia menegaskan bahwa penangan korupsi di negeri ini cenderung masih konvensional sehingga korupsi tetap marak. Sehingga, diperlukan strategi total yang progresif untuk berperang melawan korupsi.17 Nurcholis Madjid juga mengatakan bahwa diperlukan upaya radikal untuk memberantas korupsi dengan mengedepankan moralitas dan penegakan hukum. 18 Selain itu, dalam UU Tipikor pun dijelaskan bahwa dalam pemberantasan korupsi diperlukan cara yang luar biasa.19 Artinya, pemberantasannya harus memakai cara-cara inovatif dan di luar kebiasaan. 20 Salah satu strategi inovatif yang dapat dipakai untuk memberantas korupsi adalah penerapan pidana pembayaran uang pengganti terhadap ahli waris dari terpidana korupsi yang telah meninggal dunia, atau yang lebih dikenal dengan istilah “waris pidana”. Waris pidana adalah sebuah konsep pemikiran inovatif untuk memberantas korupsi di Indonesia. Menurut Akhiar Salmi, penerapan waris pidana akan membuat orang yang berniat korupsi akan takut, karena keluarganya yang akan menanggung hukumannya. Sehingga, tercipta sebuah mekanisme pengawasan internal di dalam keluarga untuk menghindari perbuatan korupsi. 21



II. Isi Salah satu strategi progresif yang dapat dipakai untuk memberantas korupsi adalah penerapan pidana pembayaran uang pengganti terhadap ahli waris dari terpidana korupsi yang telah meninggal dunia, atau yang lebih dikenal dengan istilah “waris



15 Elwi Danil, Korupsi, Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 76. 16 Ibid., hlm. 77. 17 Kristanto dan Suhanda, Jangan Bunuh KPK…, hlm. 7. 18 Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi: Pemberantasan dan Pencegahan (Jakarta: Djambatan, 2009), 9 19 Indonesia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999, LN RI No. 140 Tahun 1999, TLN No. 387, Penjelasan Umum. 20 Mahfudz Ali, “Bangkit Melawan Korupsi,” diakses 19 April 2017, http://www.antikorupsi.org/en/content/bangkit-melawan-korupsi. 21 Wawancara dengan Akhiar Salmi, tanggal 16 Maret 2017 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



85



pidana”. Waris pidana sejatinya hanya baru sebatas konsep dan hingga kini belum pernah diterapkan dalam hukum positif di Indonesia, bahkan di dunia. 22 Menurut Akhiar Salmi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, waris pidana adalah warisan pidana yang diberikan kepada ahli waris terpidana korupsi untuk membayar uang pengganti meskipun terpidananya sudah meninggal dunia. Sehingga, jika seorang koruptor yang seharusnya mengembalikan uang hasil korupsi akan tetapi meninggal dunia, maka keluarganya menjadi ahli waris dan bertugas untuk mengembalikan uang hasil korupsi tersebut kepada negara. 23 Dalam tataran pelaksanaannya, bila waris pidana benar-benar diterapkan dalam sistem hukum Indonesia, maka diharapkan dalam suatu putusan pengadilan terhadap terpidana korupsi akan memuat hukuman penjara, uang pengganti, dan denda terhadap terpidana. Selain itu, dalam putusan a quo termaktub juga ketentuan bahwa jika terpidana tidak mampu membayar uang pengganti melalui harta pribadinya dan akhirnya meninggal dunia sebelum mampu membayar seluruh uang penggantinya, maka pembayaran uang pengganti tersebut menjadi tanggung jawab dari ahli waris yang telah ditentukan dalam putusan a quo. Sejak dalam proses ajudikasi, melalui keterangan terdakwa, ditentukanlah siapa ahli waris dari terpidana. Sehingga, setelah diputus bersalah melakukan korupsi, ahli waris terpidana tidak bisa mengelak terhadap ketentuan waris pidana tersebut.24 Prof. Muladi berpendapat bahwa memang pada prinsipnya suatu pidana tidak dapat diwariskan. Tanggung jawab dalam perspektif hukum pidana memandang bahwa dengan meninggalnya terpidana, maka kewajiban melaksanakan pidana menjadi gugur. Namun, aturan mengenai waris sejatinya merupakan domain hukum perdata, sehingga dimungkinkan penerapan waris pidana dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dengan konsekuensi berlaku juga asas-asas/prinsip-prinsip hukum perdata.25



22



Wawancara dengan Akhiar Salmi, tanggal 22 Maret 2017 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 23 Heru Margianto, “Waris Pidana Diusulkan Atasi Korupsi,” diakses 10 Januari 2016, http://nasional.kompas.com/read/2011/02/22/14330454/Waris.Pidana.Diusulkan.Atasi.Korupsi. 24 Wawancara dengan Akhiar Salmi, tanggal 16 Maret 2017 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 25 Anonim, “Waris Pidana dalam Perkara Korupsi, Bisakah?,” diakses 10 Januari 2017, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol14680/waris-pidana-dalam-perkara-korupsi-bisakah-.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



86



Uang hasil korupsi yang harus dikembalikan ke negara tersebut dari segi hukum perdata dianggap sebagai utang terpidana kepada negara yang harus dibayar oleh terpidana. Konsep ini pun diperkuat oleh Fatwa Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 37/T4/88/66/Pid tertanggal 12 Januari 1998 perihal fatwa mengenai eksekusi terhadap hukum pembayaran uang pengganti yang menyatakan bahwa uang pengganti adalah utang.26 Oleh karenanya, jelas bahwa jika kita berbicara mengenai utang, maka sudah tentu masuk dalam ranah perdata. Jika melihat pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), maka berdasarkan ketentuan Pasal 833 KUHPer, kewajiban pembayaran uang pengganti (yang merupakan utang) menjadi tanggung jawab ahli waris terpidana juga jika terpidana meninggal dunia (dalam hal ini pewaris). Tanggung jawab ahli waris untuk membayar utang pewaris ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1100 KUHPer yang menyatakan bahwa, “Para ahli waris yang telah menerima suatu warisan, diwajibkan dalam hal pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain, secara seimbang dengan apa yang masing-masing mereka terima dari warisan tersebut”. 27 Sejatinya, UU Tipikor sekilas telah memuat aturan semacam waris pidana. Berdasarkan Pasal 33 UU a quo, apabila seorang tersangka korupsi meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka Jaksa Pengacara Negara (JPN) atau instansi yang dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. 28 Lalu, dalam Pasal 34 dinyatakan apabila seorang terdakwa korupsi meninggal dunia pada saat proses pengadilan tengah berjalan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka JPN atau instansi yang dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. 29 Akan tetapi waris pidana mencoba memangkas panjangnya proses hukum yang harus ditempuh jika melalui gugatan perdata. Justisia Dalijono, “Tanggung Jawab Ahli Waris Atas Gugatan Keperdataan Yang Timbul Dari Uang Pengganti Sebagai Akibat Putusan Pidana Terhadap Pewaris,” (Skripsi Sarjana Universitas Surabaya, Surabaya, 1994), hlm. vii. 27 Atika Ningsih Devi, “Tanggung Jawab Ahli Waris Terhadap Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi,” (Tesis Master Universitas Andalas, Padang, 2015), hlm. i. 28 Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999, LN No. 140 Tahun 1999, TLN No. 387, Ps. 33. 29 Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999, LN No. 140 Tahun 1999, TLN No. 387, Ps. 34. 26



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



87



Panjangnya proses hukum tersebut tentunya akan memakan biaya, tenaga, dan waktu yang tersita. Selain itu, sulit bagi masyarakat untuk memonitor apakah negara yang diwakili oleh Jaksa telah atau belum mengajukan gugatan perdata terhadap para terpidana yang belum melunasi utang yang berasal dari pidana pembayaran uang pengganti. 30 Oleh karena itu, melalui konsep waris pidana, satu putusan pengadilan terhadap terpidana memiliki kekuatan eksekutorial juga untuk menghukum ahli waris terpidana membayar utang kerugian negara jika terpidana terlebih dahulu meninggal dunia sebelum mampu membayar seluruh kerugian negara yang harus ia bayar kepada negara.31 Terdapat beberapa perbedaan mendasar diantara uang pengganti dan waris pidana. Pertama, dalam hal “domain” hukum, uang pengganti masuk dalam ”domain” hukum pidana, sedangkan waris pidana masuk dalam “domain” hukum perdata. Kedua, menurut sifatnya, uang pengganti bersifat fakultatif atau kebolehan untuk diberikan kepada terpidana, sedangkan waris pidana bersifat imperatif atau kewajiban bagi ahli waris untuk membayar kerugian negara dan tidak dapat menolak. Dan ketiga, menurut kekuatan eksekutorialnya, dalam hal harta benda terpidana tidak cukup membayar uang pengganti, maka sisa uang pengganti hanya dapat dimintakan pertanggung jawabannya kepada ahli waris melalui sebuah gugatan perdata, Sedangkan dalam waris pidana, bila masih ada sisa kerugian negara yang belum dibayarkan, maka cukup atas dasar satu putusan, memiliki kekuatan eksekutorial untuk “memaksa” ahli waris membayar uang penganti sampai lunas.32 Terkait dengan kewajiban ahli waris terpidana membayar utang kerugian negara yang ditinggalkan oleh terpidana, tentunya hal ini bertentangan dengan aturan dalam KUHPer bahwa ahli waris dapat menolak warisan yang ditinggalkan pewaris. Dalam Pasal 1045 KUHPer dikatan bahwa, “Tiada seorang pun diwajibkan menerima suatu warisan yang jatuh padanya”. Selain itu, percampuran Akhiar Salmi, “Pidana Pembayaran Uang Pengganti: Dulu Kini dan Masa Datang,” Jurnal Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun FHUI (2008): 217. 31 Wawancara dengan Akhiar Salmi, tanggal 23 Maret 2017 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 32 Wawancara dengan Akhiar Salmi, tanggal 23 Maret 2017 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 30



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



88



antara peradilan kasus pidana dengan tata beracara perdata tentunya melanggar norma hukum secara umum. Akan tetapi hal ini dapat diatasi melalui pembuatan aturan baru terkait waris pidana, dalam hal ini melakukan revisi UU Tipikor ataupun pembuatan aturan baru. Hal ini karena akan berlaku asas lex specialis derogate legi generali dan asas lex posteriori derogat lex priori. Lex specialis derogate legi generali berarti peraturan yang khusus akan melumpuhkan peraturan yang umum sifatnya atau peraturan yang khususlah yang harus didahulukan. Sedangkan Lex posteriori derogat legi priori berarti peraturan yang baru mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama. 33 Artinya, salah satu ciri dari undang-undang hukum yang khusus dan baru adalah terdapatnya penyimpangan dari undang-undang hukum yang umum dan lebih lama. 34 Hal tersebut dimungkinkan dalam hukum positif selama ada kesepakatan bersama dan kita tidak boleh “terkungkung” dengan alasan harus mengikuti yang sudah ada. Baginya, pembaharuan hukum terjadi ketika ada sebuah inovasi yang belum ada sebelumnya dan tentunya pembaharuan hukum tersebut dibutuhkan jika kita serius ingin memberantas korupsi.35 Namun, yang perlu diingat disini adalah waris pidana bukan mewariskan hukuman badan kepada keluarga koruptor, melainkan hanya mewariskan uang penggantinya. Uang pengganti ini tidak bisa diganti hukuman penjara. Waris pidana digunakan di luar aspek harta kekayaan hasil korupsi yang harus dibuktikan oleh pelakunya jika pelaku menyatakan hartanya itu bukan hasil korupsi. 36 Penerapan waris pidana ini dapat dikatakan menjadi solusi yang tepat sebagai upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Abdul Rahman Ibn Khaldun, memandang bahwa sebab utama korupsi adalah nafsu untuk hidup mewah dalam kelompok yang memerintah. Untuk memenuhi belanja kemewahan itulah kelompok yang



Ari Purwadi, “Harmonisasi Pengaturan Perencanaan Pembangunan Antara Pusat Dan Daerah Pendahuluan Era Otonomi Daerah,” Jurnal Perspektif 18 (2013): 89. 34 Salmi, “Pidana Pembayaran Uang Pengganti: Dulu Kini dan Masa Datang,” 232. 35 Wawancara dengan Akhiar Salmi, tanggal 23 Maret 2017 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 36 Trisuharto Clinton, “Korupsi: Pemidanaan Badan atau Pengembalian Keuangan Negara,” diakses 10 Januari 2017, http://kanalhukum.id/kanalis/pemberantasan-tindak-pidana-korupsiberprespektif-pemidanaan-badan-dan-prespektif-mengembalikan-kerugian-keuangan-negara/27. 33



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



89



memerintah terpikat dengan urusan-urusan korupsi.37 Dengan adanya waris pidana, akan timbul upaya preventif dan represif terhadap nafsu kemewahan tersebut. Preventif karena adanya waris pidana akan menciptakan mekanisme kontrol internal dalam keluarga. Antar anggota keluarga saling mengingatkan untuk tidak korupsi karena keluargalah yang akan menanggung akibatnya. Represif karena adanya waris pidana akan “memiskinkan koruptor”, sehingga uang negara yang dicuri akan terus dikejar sampai lunas meskipun sudah berbeda generasi. Dari dua hal tersebut, penulis memandang bahwa alasan utama mengapa waris pidana bisa menjadi solusi efektif adalah karena terbentuknya mekanisme preventif terhadap perilaku koruptif. Hal ini dikarenakan beberapa kajian mengenai tindak korupsi yang menyebutkan sejumlah sebab atau motivasi orang melakukan korupsi, satu di antaranya adalah tuntutan keluarga. Alasan keluarga tersebut menempati urutan pertama disusul alasan tuntutan masyarakat dan alasan sistem. Pada posisi sebagai alasan pertama bagi seseorang melakukan korupsi, keluarga menjadi entitas yang sangat penting dalam tindak korupsi.38 Bagi para koruptor sekarang ini, yang penting menyelamatkan harta kekayaan. Hukuman badan yang dijalaninya tidak terlalu merisaukan sepanjang keluarganya tidak sampai jatuh miskin. 39 Akhiar Salmi berpendapat bahwa penerapan waris pidana akan membuat orang yang berniat korupsi akan takut, karena keluarganyalah yang akan bertanggung jawab terhadap pembayaran kerugian negara jika koruptor meninggal dunia dan tidak mampu membayar uang penggantinya. Oleh karena itulah, waris pidana dapat menjadi alat kontrol internal dalam keluarga sehingga anggota keluarga saling mengingatkan dan mencegah melakukan tindak pidana korupsi.40 Keluarga sejatinya merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan utama dalam masyarakat, karena dalam keluargalah manusia dilahirkan, berkembang menjadi dewasa. Bentuk dan isi serta cara-cara pendidikan di dalam keluarga akan selalu 37



Syed Hussein Alatan, Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer [The Sociology of Corruption: The Nature, Function, Causes, and Prevention of Corruption], diterjemahkan oleh Al Ghozie Usman (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 8 - 9. 38 Sherly Adam, “Peranan Keluarga dalam Pemberantasan dan Penanggulangan Korupsi”. 39 Maria Hartiningsih, ed, Korupsi yang Memiskinkan (Jakarta: Buku Kompas, 2011), hlm. 132 40 Heru Margianto, “Waris Pidana Diusulkan Atasi Korupsi,” diakses 23 Maret 2017, http://nasional.kompas.com/read/2011/02/22/14330454/Waris.Pidana.Diusulkan.Atasi.Korupsi diakses 10 Januari 2016.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



90



mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya watak, budi pekerti dan kepribadian tiap-tiap manusia. Pendidikan yang diterima dalam keluarga inilah yang akan digunakan oleh anak sebagai dasar untuk mengikuti pendidikan selanjutnya di sekolah. Oleh karena itulah, sikap anti korupsi sudah layaknya sebagai nilai yang harus selalu dijaga dan ditanamkan bagi setiap anggota keluarga.41 Dengan adanya waris pidana ini, maka akan tercipta upaya preventif dari perbuatan korupsi dalam diri keluarga melalui penanaman nilai anti korupsi dalam keluarga. Ketika keluarga menjadi alasan seseorang melakukan korupsi, pada saat itu pula seharusnya keluarga memiliki peranan sangat penting dalam upaya pemberantasan korupsi. 42



III.



Penutup



Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa korupsi telah menjadi permasalahan serius di negeri ini. Korupsi telah merambah ke berbagai sektor kehidupan di Indonesia. Oleh karenanya, banyak pihak sepakat bahwa korupsi telah menjadi extraordinary crime, khususnya di Indonesia. Sebagai extraordinary crime, tentunya diperlukan cara extraordinary measure untuk melawan korupsi. Salah satu extraordinary measure tersebut adalah waris pidana. Dengan adanya waris pidana, maka ahli waris bertanggung jawab atas pembayaran uang pengganti terpidana jika terpidana meninggal dan belum melunasi seluruh pembayaran uang pengganti kepada negara. Akhirnya, dengan adanya konsep ini, maka tercipta upaya preventif dan represif terhadap perilaku koruptif. Hal tersebut akan menciptakan mekanisme internal keluarga sekaligus “memiskinkan” koruptor.



41 42



Sherly Adam, “Peranan Keluarga dalam Pemberantasan dan Penanggulangan Korupsi”. Ibid.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



91



DAFTAR PUSTAKA



Buku Alatan, Syed Hussein. Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer [The Sociology of Corruption: The Nature, Function, Causes, and Prevention of Corruption]. Diterjemahkan oleh Al Ghozie Usman. Jakarta: LP3ES, 1986. Hadikusuma, Hilman. Hukum Waris Adat. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990. Hartiningsih, Maria. Korupsi yang Memiskinkan. Jakarta: Buku Kompas, 2011. Kholis, Efi Laila. Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi. Jakarta: Solusi Publishing, 2010. Oktavia, Vino. Pahami Korupsi di Sekitar Kita. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 2014. Suhanda, Tri Agung Kristanto dan Irwan, ed. Jangan Bunuh KPK: Perlawanan Terhadap Usaha Pemberantasan Korupsi. Jakarta: Buku Kompas, 2009. Yusuf, Muhammad. Merampas Aset Koruptor. Jakarta: Buku Kompas, 2013.



Jurnal Kiswanto, Eddy. “Negara Kesejahteraan (Welfare State): Mengembalikan Peran Negara dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Indonesia.” Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik 9 (2005). Purwadi, Ari. “Harmonisasi Pengaturan Perencanaan Pembangunan Antara Pusat Dan Daerah Pendahuluan Era Otonomi Daerah”. Jurnal Perspektif 18 (2013). Salmi, Akhiar. “Pidana Pembayaran Uang Pengganti: Dulu Kini dan Masa Datang.” Jurnal Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun FHUI (2008).



Skripsi/Tesis Dalijono, Justisia. “Tanggung Jawab Ahli Waris Atas Gugatan Keperdataan Yang Timbul Dari Uang Pengganti Sebagai Akibat Putusan Pidana Terhadap Pewaris.” Skripsi Sarjana Universitas Surabaya, Surabaya, 1994.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



92



Devi, Atika Ningsih. “Tanggung Jawab Ahli Waris Terhadap Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi.” Tesis Master Universitas Andalas, Padang, 2015.



Dokumen-Dokumen Hukum Indonesia. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. ________. Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, LN RI No. 140 Tahun 1999, TLN No. 387, Ps. 2.



Internet Adam, Sherly. “Peranan Keluarga dalam Pemberantasan dan Penanggulangan Korupsi.” Diakses 22 Maret 2017. http://fhukum.unpatti.ac.id/korupsi/257peranan-keluarga-dalam-pemberantasan-dan-penanggulangan-korupsi. Ali,



Mahfudz.



“Bangkit



Melawan



Korupsi.” Diakses 19



April 2017.



http://www.antikorupsi.org/en/content/bangkit-melawan-korupsi. Anonim. “Waris Pidana Dalam Perkara Korupsi, Bisakah.” Diakses 10 Januari 2017.http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol14680/waris-pidanadalam-perkara-korupsi-bisakah-. Anonim. “Waris Pidana dalam Perkara Korupsi, Bisakah?.” Diakses 10 Januari 2017.



http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol14680/waris-pidana-



dalam-perkara-korupsi-bisakah-. Clinton, Trisuharto. “Korupsi: Pemidanaan Badan atau Pengembalian Keuangan Negara.”



Diakses



10



Januari



2017.



http://kanalhukum.id/kanalis/pemberantasan-tindak-pidana-korupsiberprespektif-pemidanaan-badan-dan-prespektif-mengembalikan-kerugiankeuangan-negara/27. Fadhil, Haris. “ICW: Korupsi e-KTP Rp 2,3 T Kasus Terbesar yang Ditangani KPK.” Diakses 22 Maret 2017. https://news.detik.com/berita/d-3444229/icwkorupsi-e-ktp-rp-23-t-kasus-terbesar-yang-ditangani-kpk.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



93



Finansialku. “Pengertian Waris dan 3 Hukum Waris di Indonesia.” Diakses 23 Maret



2017.https://www.finansialku.com/pengertian-waris-dan-3-hukum-



waris-di-indonesia/. Gabrillin, Abba. “Wakil Ketua KPK: Hukuman bagi Koruptor Harus Efektif dan Efisien.”



Diakses



22



Maret



2017.



http://nasional.kompas.com/read/2016/07/27/10123721/wakil.ketua.kpk.huk uman.bagi.koruptor.harus.efektif.dan.efisien. Gultom, Obbie Afrie. “Hukum Waris yang Berlaku di Indonesia.” Diakses 23 Maret 2017.http://www.gultomlawconsultants.com/hukum-waris-yang-berlaku-diindonesia/#. Haryanto, Joko Tri. “Kebocoran vs Efisiensi Anggaran.” Diakses 22 Maret 2017. http://www.kemenkeu.go.id/Artikel/kebocoran-vs-efisiensi-anggaran. Kamus



Besar



Bahasa



“Waris.”



Indonesia.



Diakses



22



Maret



2017.http://kbbi.web.id/waris. Kuwado, Fabian Januarius. “Upaya Pemerintahan Jokowi-JK Cegah Korupsi.” Diakses



22



Maret



2017.



http://nasional.kompas.com/read/2016/12/01/18461131/upaya.pemerintahan. jokowi-jk.cegah.korupsi. Margianto, Heru. “Waris Pidana Diusulkan Atasi Korupsi.” Diakses 10 Januari 2017.http://nasional.kompas.com/read/2011/02/22/14330454/Waris.Pidana. Diusulkan.Atasi.Korupsi. Margianto, Heru. “Waris Pidana Diusulkan Atasi Korupsi.” Diakses 23 Maret 2017. http://nasional.kompas.com/read/2011/02/22/14330454/Waris.Pidana.Diusul kan.Atasi.Korupsi diakses 10 Januari 2016. Ramadhani, Mutia. “Inilah 3 Alasan Mengapa Korupsi Disebut Kejahatan Luar Biasa.”



Diakses



19



April



2017.



http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/02/23/lztpqj-inilah-3alasan-mengapa-korupsi-disebut-kejahatan-luar-biasa. Rozie, Fachrur. “Jaksa: 49 Persen Anggaran E-KTP Dinikmati Para Pejabat.” Diakses 22 Maret 2017. http://news.liputan6.com/read/2880575/jaksa-49persen-anggaran-e-ktp-dinikmati-para-pejabat.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



94



Transparency International Indonesia. “Corruption Perceptions Index 2016” diakses



22



Maret



2017.



http://www.ti.or.id/index.php/publication/2017/01/25/corruptionperceptions-index-2016. Winarta, Frans. “Mewujudkan Negara Kesejahteraan yang Bebas dari Korupsi.” Diakses 22 Maret 2017. http://www.franswinarta.com/news/mewujudkannegara-kesejahteraan-yang-bebas-dari-korupsi/. World Bank. “Corruption and Economic Development.” Diakses 22 Maret 2017. http://www1.worldbank.org/publicsector/anticorrupt/corruptn/cor02.html.



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



95



BIODATA PENULIS



Josua Satria Collins adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan 2014. Penulis merupakan Finalis Mahasiswa Berprestasi tahun 2017 tingkat fakultas di Universitas Indonesia. Pernah menjadi Pemateri dalam Diskusi Rutin V Lembaga Kajian dan Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan tema “Polemik Kewarganegaraan RI Tahun 2016” dan Pemateri KOPDAR Universitas Indonesia Achievement Community Tahun 2016. Penulis memiliki pengalaman magang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia pada tahun 2015 dan 2016 pada Bagian Pranata Peradilan Pengadministrasian dan Registrasi Perkara, Bagian Pranata Peradilan Bagian Administrasi Persidangan, Bagian Risalah, dan Bagian Pranata Peradilan Bagian Pengolahan Data dan Putusan serta bagian Perdata dan Tata Usaha Negara. Adapun pengalaman organisasi dan kepanitiaan yang dimiliki penulis adalah pernah menjabat sebagai Sekretaris Bidang Kajian Ilmiah Badan Pengurus Harian Lembaga Kajian dan Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sebagai Manajer Divisi Training and Competition dalam Badan Pengurus Harian Universitas Indonesia Achievement Community, sebagai Ketua Pelaksana dalam Kepanitiaan Pemilihan Umum Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 2015, Kepala Divisi Research and Development dalam Badan Pengurus Harian di CalonSH.com periode 2017, Volunteer di Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Pemantauan Peradilan Tindak Pidana Korupsi dan pembuatan portal data terkait proses hukum acara pidana di institusi Kepolisian Republik Indoensia pada tahun 2016. Penulis telah beberapa kali mendapat penghargaan dalam perlombaan yang diikuti, seperti Juara 1 “National Ideas Competition Technofest Universitas Hasanuddin” Tingkat Nasional Tahun 2017, Juara 1 “Legal Review Asian Law Student



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



96



Association” Tingkat Nasional Tahun 2016, Juara 1 “Lomba Cerdas Cermat 4 Pilar Kehidupan Bangsa dan Bernegara Tingkat Provinsi DKI Jakarta” Tingkat Regional Tahun 2013, Juara 2 “6th Airlangga Ideas Competition” Tingkat Nasional Tahun 2016, Juara Favorit “Kompetisi Esai Bunga Rampai” Tingkat Fakultas Tahun 2016, serta sebagai Finalis “Legislative Drafting Islamic Law Fair” Tingkat Nasional Tahun 2017. Penulis juga aktif dalam pembuatan karya ilmiah diantaranya pernah dipublikasikan di website Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 2016 dengan judul “Pentingkah Hukum Kebiri?.”



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



97



PENGAKUAN HAK ULAYAT LAUT MASYARAKAT HUKUM ADAT BERBASIS ENVIRONMENTAL STEWARDSHIP UNTUK MEWUJUDKAN PENGELOLAAN PERIKANAN YANG BERKELANJUTAN Angela Vania Rustandi1, M. Dimas Tribowo2



Abstract Tribal people in coastal area have the rights to manage the marine and fisheries resources. Referring to the recognition of the traditional rights (hak ulayat) in the Article 3 Law Number 5 Year 1960 about Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Relation between the tribal people and their environment or the natural resources most likely associated with environmental stewardship theory, where the people act as the manager of the resources. Nowadays, there is a misconception developing where the government and people viewing the marine traditional rights as the basis of the environmental stewardship. While it is supposed to be marine traditional rights which borne from the environmental stewardship. Keywords: environmental stewardship, marine traditional rights.



1 Penulis adalah mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan dapat dihubungi melalui, e-mail [email protected], +6281382166348. 2 Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan dapat dihubungi melalui email [email protected], +6281299097113.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



98



I. Pendahuluan Sebagai Negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia, wilayah Indonesia didominasi oleh perairan seluas 3,9 juta km2 dibanding luas daratan yang hanya 1,9 juta km2.3 Kondisi demikian menyebabkan Indonesia dianugerahi sumber daya kelautan yang berlimpah, mulai dari perikanan, cadangan mineral, hingga keindahan bentang alam. Aneka ragam sumber daya kelautan yang ada saat ini, seperti halnya sumber daya alam pada umumnya, bukanlah sesuatu yang kekal dan tidak ada batasnya, tetapi akan habis dan hilang apabila terus-menerus dieksploitasi oleh manusia. Pengelolaan yang berorientasi pada kesinambungan atau keberlanjutan (sustainability)



merupakan harga mutlak untuk menjamin



ketersediaan sumber daya kelautan kita sehingga dapat dinikmati generasi selanjutnya. Dari data yang dihimpun oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, hingga Tahun 2012 jumlah, nelayan tangkap mencapai 2,2 juta jiwa dan 95% diantaranya adalah nelayan tradisional. 4 Pola pengelolaan oleh masyarakat adat lokal sudah diterapkan sejak dahulu dan memiliki bentuk yang beragam, sebut saja Panglima Laot di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sasi di Maluku, dan Awig-awig di Nusa Tenggara Barat.5 Kearifan pengetahuan lokal (local wisdom and knowledge) seperti ini ditaaati oleh masyarakat karena merupakan suatu tata kaidah hukum adat yang mengikat bagi seluruh anggota kelompok masyarakat. Bahkan, beberapa peraturan hukum adat ini sudah diadopsi ke dalam bentuk Peraturan Daerah, seperti Qanun Panglima Laot. Praktik pengelolaan kelautan yang dilakukan masyarakat adat lokal ini adalah mekanisme pengelolaan yang harus dilestarikan karena selain merupakan bentuk pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat dan perlindungan terhadap



Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI, “Ringkasan Eksekutif: Kajian Subsidi Transportasi Angkutan Laut dalam Rangka Memperkuat Sistem Logistik Nasional,” diakses pada 23 Agustus 2016, http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/edef-kontenview.asp?id=20150327132917660066376. 4 Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, “Temu Akbar Nelayan Indonesia 2015,” diakses pada 23 Agustus 2016, http://www.kiara.or.id/temu-akbar-nelayan-indonesia-2015/. 5 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kontribusi Hukum Adat dalam Pengembangan Hukum Laut di Indonesia (Jakarta: BPHN, 2015), hlm. 23 - 45. 3



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



99



kearifan lokal masyarakat tersebut, bentuk pengelolaan ini juga berkontribusi dalam menjaga keberlanjutan sumber daya yang ada di laut. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), masyarakat adat diakui keberadaannya sepanjang pada kenyataanya masih ada dan tidak bertentangan dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sejalan dengan hal itu, UUD NRI 1945 juga mengamanatkan pengelolaan perkonomian yang



berwawasan



lingkungan dan mengutamakan keberlanjutan. Hal ini diatur dalam Pasal 33 ayat (4) UUD NRI yang merupakan dasar perekonomian Negara. Perlu dipahami bahwa dengan adanya pengakuan eksistensi suatu masyarakat hukum adat, maka dapat dipastikan kewenangan kelompok masyarakat tersebut dalam mengelola wilayahnya terutama sumber daya yang ada di dalamnya akan mendapat pengakuan dan perlindungan juga. Implikasinya adalah keberlanjutan dan kesinambungan sumber daya tersebut ditentukan oleh bagaimana masyarakat yang bertindak tidak hanya sebagai pengampu namun juga pengelola lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan eksistensi maupun kewenangan masyarakat hukum adat terhadap hak ulayatnya, seperti Putusan No.31/PUU/2007 dan Putusan No.35/PUU/2012.6 Sekadar pengakuan eksistensi terhadap suatu masyarakat hukum adat adalah tak berarti apabila hal tersebut hanya akan berdampak pada degradasi sumber daya kelautan yang ada. Sebaliknya, ketika pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat diiringi dengan perlindungan kearifan lokal berupa pengelolaan sumber daya kelautan yang menjamin keberlanjutan terhadap ketersediaan sumber daya tersebut, pengakuan eksistensi masyarakat hukum adat tersebut sejalan dengan makna fundamentalnya. Selain memahami sebuah pengakuan sebagai suatu bentuk upaya perlindungan terhadap kewenangan pengelolaan masyarakat hukum adat terhadap sumber daya kelautan, penting untuk diperhatikan pula bagaimana pola pengelolaan yang paling optimal dapat terwujud di masa yang akan datang.



6



Ibid., hlm. 9 12.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



100



Bagian pembahasan penulisan akan dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, penjelasan konsep masyarakat hukum adat, hak ulayat laut, dan environmental stewardship untuk memberikan gambaran yang jelas dan menyeluruh. Kedua, bukti konkret bahwa tidak seluruh masyarakat adat di Indonesia menerapkan environmental stewardship dalam sistem pengelolaan perikanan mereka. Bagian ini akan dijelaskan dengan memberikan perbandingan antara masyarakat hukum adat di Aceh dan masyarakat hukum adat di Lombok. Masyarakat hukum adat di Aceh telah menerapkan environmental stewardship dalam pengelolaan perikanan mereka sementara environmental stewardship seakan-akan tidaklah hidup di dalam pengelolaan perikanan masyarakat hukum adat di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Bagian ketiga akan berusaha mengupas setiap peraturan perundangundangan yang hidup di Indonesia yang mengatur mengenai masyarakat hukum adat dan hak adat laut. Diharapkan eksplorasi setiap peraturan perundang-undangan akan memberikan pemahaman mengapa kesadaran masyarakat Indonesia atas environmental stewardship sangatlah rendah. Penulisan akan ditutup dengan kesimpulan dari keseluruhan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya. Diharapkan dengan demikian, tidak hanya pengakuan terhadap masyarakat hukum adat termasuk juga kewenangannya sebagai ”manajer” sumber daya kelautan namun manajemen akan menciptakan pengelolaan sumber daya kelautan yang berkelanjutan.



II. Isi A. Masyarakat Hukum Adat, Hak Ulayat Laut, dan Environmental Stewardship Keberadaan masyarakat hukum adat dapat ditelusuri jauh sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Van Vollenhoven telah mengidentifikasi adanya 19 kelompok besar masyarakat hukum adat di Nusantara kala itu. Perlu diingat, penelitian ini masih jauh dari kata selesai sehingga itu jumlah pasti berapa kelompok masyarakat hukum adat pastilah jauh lebih banyak. Dilihat dari sisi historisnya, para pendiri bangsa kita juga mengafirmasi eksistensi kelompok masyarakat hukum adat ini melalui Pasal 18 naskah asli UUD



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



101



1945 sebelum perubahan. Soepomo bahkan mengatakan bahwa akibat dari bentuk Negara Kesatuan yang disepakati sebagai bentuk Negara pada saat itu adalah tidak adanya negara bawahan di bawah NKRI, melainkan hanya daerah pemerintahan saja.7 Inilah yang menjadi dasar kewenangan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat hukum adat yang dapat mengatur sendiri daerahnya, meskipun masih tetap ada kewenangan yang dipegang oleh pemerintah pusat. Karena dinamika ketatanegaraan yang terjadi setelah reformasi kemudian terjadi perubahan pada batang tubuh UUD 1945 yang dilakukan melalui proses amendemen yang mana ketentuan mengenai pengakuan eksistensi masyarakat hukum adat di dalam Pasal 18B ayat (2) terjadi reduksi sehingga hanya terfokus pada pengakuan dan penghormatan saja. Formulasi interpretasi dari Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dapat kita ambil dari penafsiran Mahkamah Konstitusi pada Putusan No. 31/PUU/2007. Di sini, MK menilai bahwa untuk dapat mengetahui apakah suatu masyarakat hukum adat masih eksis adalah melalui penjabaran beberapa unsur, yaitu:8 1. Masih hidup: a. Terdapat masyarakat dengan warga yang memiliki perasaan kelompok (ingroup feeling); b. Terdapat pranata pemerintahan adat; c. Terdapat harta kekayaan dan atau benda-benda adat; d. Terdapat perangkat norma hukum adat; dan e. Jika bersifat territorial maka terdapat wilayah tertentu. 2. Sesuai dengan perkembangan masyarakat: a. Adanya pengakuan dalam bentuk formal perundang-undangan, undangundang di sini dipandang sebagai pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat, undang-undang di sini dapat bersifat umum maupun sektoral seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan, maupun dalam bentuk peraturan daerah; dan “Soepomo menegaskan bahwa dalam bentuk Negara kesatuan eenheidstaat tidak boleh ada Negara bawahan atau onderstaat“ RM. A. B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 362—363. 8 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kontribusi Hukum Adat dalam Pengembangan Hukum Laut di Indonesia , hlm. 9—10. 7



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



102



b. Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). 3. Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia: a. Keberadaanya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan b. Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 4. Diatur dalam undang-undang. Jika melihat ke belakang, sejatinya konstruksi pengakuan masyarakat hukum adat tidak dapat dilepaskan dari timbulnya kewenangan dari masyarakat tersebut untuk mengelola wilayahnya yang kemudian lebih dikenal sebagai hak ulayat.9 Van Vollenhoven memberikan pengertian terhadap hak ulayat sebagai suatu hak tradisional yang bersifat komunal dari masyarakat hukum adat di Indonesia untuk menguasai dan mengelola suatu wilayah tertentu sebagai lapangan kehidupan dalam rangka mendukung kelangsungan hidup anggota masyarakatnya. Hak ulayat yang biasa diasosiasikan dengan hak atas tanah sebenarnya memiliki makna yang lebih luas. Pemaknaan agraria telah tidak hanya mencakup hak atas tanah, seperti yang dijelaskan di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) bahwa termasuk ke dalam pengertian agraria adalah bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.10 Merujuk cakupan di atas, maka tentulah wilayah laut juga dapat dikatakan termasuk sebagai hak ulayat. Perlindungan terhadap hak ulayat ini juga diejawantahkan dalam Pasal 3 UUPA yang pada pokoknya menyatakan bahwa hak ulayat diakui sepanjang menurut kenyataanya masih ada, sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, berdasarkan persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.



9 Kurniawan Warman, Hukum Agraria Dalam Masyarakat Majemuk: Dinamika Interaksi Hukum Adat dan Hukum Negara di Sumatera Barat (Jakarta: HuMa-Jakarta, 2010), hlm. 39—40. 10 Indonesia, Undang-Undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960, Ps. 2 ayat (1).



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



103



Hak ulayat sangat krusial bagi kelangsungan hidup dan kehidupan masyarakat hukum adat .Terdapat suatu hubungan lahiriah dan batiniah yang turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat dengan hak ulayatnya. 11. Melihat pengertian ini, dapat di-sarikan bahwa hak ulayat adalah kulminasi dari hubungan masyarakat adat dengan lingkungan, terutama sumber daya alamnya. Model pengelolaan alam seperti ini dapat diistilahkan sebagai environmental stewardship atau sebuah pola hubungan manajerial yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan wilayah serta tumbuhan dan tanaman yang ada di dalam wilayah tersebut. Secara praktis, dapat disimpulkan bahwa masyarakat hukum adat melakukan pengelolaan alam yang bertanggung jawab dan perlindungan terhadap lingkungan alamiah melalui konservasi dan praktik pengelolaan berkelanjutan. Environmental stewardship menitikberatkan pada hubungan yang terjalin antara manusia dengan lingkungan sekitarnya serta dengan makhluk hidup lain yang ada di sana. Masyarakat di sini berperan sebagai pengelola yang menjalankan fungsi manajerial terhadap sumber daya yang termasuk ke dalam wilayahnya. Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan ekonomi yang memandang lingkungan dan sumber daya yang ada sebagai objek kepemilikan (ownership) untuk mencapai motif ekonomi. Masyarakat memiliki kedudukan sebagai pemilik dari sumber daya dan bebas melakukan apa saja terhadap sumber daya tersebut.12 B. Praktik Pengelolaan Perikanan Berdasarkan Hak Ulayat Laut Masyarakat Hukum Adat dalam Status Quo Dalam praktiknya, dewasa ini, seringkali pengakuan hak ulayat laut masyarakat hukum adat diberikan sekadarnya saja dan hanya sebagai syarat formalitas bagi masyarakat hukum adat untuk mengelola perikanan di wilayahnya. Mengingat pada faktanya, jumlah masyarakat hukum adat yang tersebar di Indonesia tidak sebanding dengan jumlah aparat penegak hukum untuk mengawasi pelaksanaan hak ulayat laut. Tak lupa pula mengingat kondisi dilematis pada era dewasa ini, di mana di satu sisi masyarakat hukum adat memiliki kewenangan menjalankan hukum adat



11 Menteri Agraria, Peraturan Menteri Agraria tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Permen No. 5 Tahun 1999, Ps. 1 ayat (1). 12 Christopher Rodgers, “Nature’s Place? Property Rights, Property Rules and Environmental Stewardship,” Cambridge Law Journal,Vol. 68 (2009), hlm. 550 - 559.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



104



laut dan mengelola sumber daya laut dan di sisi lain environmental stewardship seringkali tidak berdaya di tengah konsep pengelolaan perikanan yang berorientasi pada ekonomi semata. Untuk itu, perlu ditekankan bahwa environmental stewardship sangatlah penting dalam menjamin pelaksanaan hak ulayat laut masyarakat hukum adat yang ramah lingkungan dan berdasarkan prinsip berkelanjutan. Dalam sub bab berikut ini, penulis akan melakukan perbandingan antara masyarakat hukum adat yang benar-benar melaksanakan hak ulayat laut berbasis environmental stewardship dan masyarakat



hukum adat



yang



melaksanakan hak ulayat laut semata-mata untuk kepentingan ekonomi. 1. Praktik Pengelolaan Perikanan Di Nanggroe Aceh Darussalam Konsep environmental stewardship dan pengelolaan perikanan berkelanjutan tergambarkan dengan kental dalam masyarakat hukum adat di Aceh. Tatanan ini ditemui dalam 147 lhok di seluruh Aceh, yang terletak di 17 kabupaten/kota dari 22 kabupaten/kota di Aceh. Lhok adalah sebuah batasan wilayah kuala atau teluk. Environmental stewardship ini tercerminkan dalam hukum adat Laot yang berlaku secara umum untuk seluruh kawasan maupun yang berlaku spesifik, tergantung dari karakteristik



masing-masing



lhok.13



Selain



mencerminkan



environmental



stewardship, hukum adat Laot juga mencerminkan pengakuan hak ulayat laut masyarakat hukum adat Aceh. 14 Hukum adat Laot Aceh dapat ditafsirkan sebagai seperangkat aturan yang memberikan arahan dan pengaturan hubungan timbalbalik dalam proses pengelolaan wilayah laut beserta sumber daya yang terkandung di dalamnya, lahir dan terwujud sebagai proses interaksi panjang umat manusia dengan lingkungannya di wilayah laut dan pesisir. 15 Secara konstitusional, hukum adat dan hak adat secara umum bagi masyarakat hukum adat sudah diakui melalui pasal 18B UUD 1945. Khusus untuk masyarakat hukum adat laut Aceh, sebenarnya pengakuan yuridis hukum adat Laot Aceh sudah



Sulaiman (1), “Kearifan Tradisional Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Perikanan di Aceh Pada Era Otonomi Khusus,” Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 No. 2 (Mei 2011), hlm. 288. 14 Ibid. 15 Baso Syafiauddi, “Optimalisasi Peran dan Fungsi Hukum Adat Laot/Panglima Laot Dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Aceh Besar,” (Makalah Lokakarya Revitalisasi Pranata Sosial Panglima Laot Dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan di NAD, Aceh: Dinas Perikanan, 2006), hlm. 5. 13



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



105



banyak diatur dalam peraturan daerah Aceh maupun Qanun Aceh. Berikut merupakan sekilas peraturan perundang-undangan yang mengakui hukum adat Laot Aceh: Tabel 2. Peraturan perundang-undangan Hukum Adat Laot. Peraturan Perundang-Undangan



Hal yang Diatur



Undang-Undang Nomor 11 Tahun Memberikan 2006 tentang Pemerintahan Aceh.



kewenangan



kepada



Pemerintah Aceh untuk mengelola sumber daya alam yang hidup di laut, salah satunya meliputi pemeliharaan hukum



adat



laut



dan



membantu



keamanan laut.16 Peraturan Daerah Aceh Nomor 2 Menempatkan hukum adat laut dalam Tahun 1990 tentang Pembinaan dan posisi hukum adat yang diakui dan Pengembangan Kebiasaan Lembaga



Adat



Masyarakat, Adat



Provinsi



Istiadat, diatur di Aceh. beserta Daerah



Istimewa Aceh. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 Salah satu cara melakukan pembinaan tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan pengembangan kehidupan adat dan dan Adat Istiadat.



adat



istiadat



adalah



dengan



perlindungan hak masyarakat adat yang meliputi tanah, rawa, hutan, laut, sungai, danau, dan hak-hak masyarakat lainnya. 17 Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2010 Pengelolaan tentang Perikanan.



perikanan



wajib



mempertimbangkan hukum adat dan atau adat istiadat.18



16



Indonesia, Undang-Undang Dasar Pemerintahan Aceh, UU No. 11 Tahun 2006, Ps. 162 ayat (2) Huruf e. 17 Indonesia, Qanun Aceh Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, Qanun Aceh No. 9 Tahun 2008, Ps. 10 ayat (1). 18 Indonesia, Qanun Aceh Perikanan, Qanun Aceh No. 7 Tahun 2010, Ps. 13 ayat (5).



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



106



Tidak hanya secara normatif, dalam kenyataannya, masyarakat hukum adat Aceh pun berhasil menciptakan pengelolaan perikanan berkelanjutan dengan selalu memertimbangkan faktor environmental stewardship dalam setiap pelaksanaan hak ulayat lautnya. 19 Hal ini dikarenakan environmental stewardship merupakan konsep pengelolaan berbasis pengetahuan tradisional yang sudah berlangsung secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.20 Berikut merupakan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam hukum adat Laot:21 a. Ada hari-hari tertentu yang menjadi hari pantang melaut, antara lain: i.



Hari Kenduri Laot (3 hari)



ii. Hari Jumat (1 hari), dengan tujuan supaya dapat melakukan Shalat Jumat iii. Hari Raya Idul Fitri (3 hari) iv. Hari Raya Idul Adha (3 hari) v. Hari Kemerdekaan 17 Agustus (1 hari) vi. 26 Desember (1 hari), sebagai peringatan tsunami Setidaknya terdapat empat alasan mengapa dikenal hari pantang melaut bagi seluruh masyarakat hukum adat laut Aceh:22 i.



Alasan religius, khusus hari Jumat, jika nelayan tetap melaut, hampir tak mungkin bagi mereka untuk menunaikan Shalat Jumat secara berjamaah tepat waktu;



ii. Pertimbangan ekologis, selalu diupayakan dalam seminggu harus ada satu hari dimana seluruh biota laut dibiarkan berpijah; iii. Alasan reparasi, hari tidak melaut digunakan untuk memperbaiki alatalat tangkap dalam keadaan prima; dan iv. Pada masa reparasi alat tangkap biasanya terjalin pula nilai-nilai komunal (kerja sama atau gotong royong), sebab pekerjaan



19 Sulaiman (2), “Model Alternatif Pengelolaan Perikanan Berbasis Hukum Adat Laot di Kabupaten Aceh Jaya menurut Keberlanjutan Lingkungan yang Berorientasi Kesejahteraan Masyarakat” (Tesis. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2010), hlm.161-177. 20 Sulaiman (1), Kearifan Tradisional Dalam..., hlm. 288-290, Sulaiman (2), Model Alternatif Pengelolaan…, hlm.141-161. 21 Sulaiman (1), Kearifan Tradisional Dalam..., hlm. 288. 22 Sulaiman (2), “Model Alternatif Pengelolaan Perikanan…”



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



107



memperbaiki alat tangkap biasanya dilakukan bersama-sama oleh kelompok nelayan. b. Adat Pemeliharaan Lingkungan Laut Untuk pemeliharaan dan kelestarian lingkungan laut serta makhlukmakhluk hidup yang hidup di sekitarnya, hukum adat Laot menetapkan larangan-larangan sebagai berikut:23 i.



larangan segala jenis alat yang bisa merusak lingkungan, misalkan pemboman, peracunan, pembiusan, atau penyetruman;



ii. larangan penebangan berbagai pohon di pinggir pantai, misalkan pohon arun (cemara), pandan, ketapang, bakau, dan pengambilan terumbu karang; dan iii. larangan mengambil berbagai hewan dan tumbuhan yang dilindungi atau yang termasuk dalam pengawasan peneliti lingkungan. c. Adat Sosial Adat sosial dalam operasional dan kehidupan nelayan, di antaranya sebagai berikut:24 i.



Pada saat terjadinya kerusakan kapal atau alat-alat penangkapan lainnya di laut, mereka memberikan suatu tanda yaitu menaikkan bendera sebagai tanda meminta bantuan. Bagi kapal yang melihat aba-aba tersebut langsung datang mendekati untuk memberikan bantuan; dan



ii. Jika terjadi musibah tenggelam nelayan di laut, seluruh kapal mencari mayat tersebut minimal satu hari penuh dan jika ada kapal yang mendapat mayat di laut, kapal tersebut berkewajiban mengambil dan membawa mayat tersebut ke daratan. Bagi masyarakat hukum adat Aceh yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum adat Laot akan diadili melalui Lembaga Persidangan Hukum Adat Laot dan dapat dikenakan dua sanksi berupa: (i) seluruh hasil tangkapan disita atau (ii) dilarang melaut sekurang-kurangnya tiga hari dan selama-lamanya tujuh hari. 25 Yang menarik, ketentuan-ketentuan hukum adat Laot Aceh tidak hanya berorientasi



23



Ibid. Ibid. 25 Ibid., hlm. 171. 24



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



108



untuk kepentingan masyarakat hukum adat Laot Aceh saja, tetapi juga mempertimbangkan kepentingan ekosistem laut. Di sini jelas sekali terlihat adanya keseimbangan antara aspek sosial, budaya, ekonomi, dan ekologi dalam pengelolaan perikanan. Keseimbangan antara keseluruhan aspek ini merupakan gambaran sempurna terhadap konsep environmental stewardship. Implementasi hukum adat Laot di Aceh dapat berjalan secara maksimal karena adanya peran Panglima Laot. Panglima Laot adalah orang yang memimpin dan mengatur adat istiadat di bidang pesisir dan kelautan. 26 Panglima Laot memimpin lembaga adat dan dipercayakan untuk mengelola lingkungan Laot. Tidak ada informasi yang pasti mengenai sejak kapan Panglima Laot masuk ke dalam hukum adat Laot Aceh. Menurut beberapa sumber, Panglima Laot sudah berkembang sejak era kesultanan di Aceh. Panglima Laot dikukuhkan posisinya melalui Keputusan Gubernur Aceh Nomor 523.11/012/2005 tertanggal 8 Maret 2005 yang dengan jelas menyatakan bahwa Panglima Laot dibutuhkan dalam rangka menyukseskan pembangunan subsektor perikanan, dengan tugas dan wewenang dalam kedudukannya sesuai adat membantu tugas pemerintah dalam pembangunan bidang subsektor perikanan dan masyarakat nelayan dalam arti luas.27 Dalam skala nasional, pengakuan Panglima Laot baru lahir sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh di mana Panglima Laot mendapat tempat di Lembaga Adat Aceh.28 Panglima Laot berbasis di setiap lhok dan ia berada di luar struktur organisasi pemerintahan, tetapi bertanggung jawab kepada kepala daerah setempat (Gubernur, Bupati, Camat, Kepala Desa).29 Secara umum, Panglima Laot di Aceh memetakan peran dan fungsi Panglima Laot dalam empat hal yakni:30 a. melestarikan hukum adat;



26



Indonesia, Qanun Aceh tentang Lembaga Adat, Qanun Aceh No. 10 Tahun 2008, Lembaran Daerah Nanggore Aceh Darussalam Tahun 2008 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 20, Ps. 1 Angka 23. 27 Sulaiman, Model Alternatif Pengelolaan…, hlm. 17. 28 Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, UU No. 11 Tahun 2006, LN RI Tahun 2006 Nomor 62, TLN Nomor 4633, Ps. 98 ayat (3). 29 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kontribusi Hukum Adat…, hlm. 26. 30 HT Bustaman, “Peranan Lembaga Hukum Adat Laot/Panglima Laot dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Provinsi NAD,” (Makalah Lokakarya Dinas Perikanan Provinsi Aceh, Banda Aceh, 2005), 7.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



109



b. melestarikan adat istiadat; c. melestarikan kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat nelayan di Nanggore Aceh Darussalan; dan d. membantu Pemerintah dalam pembangunan perikanan bila diminta. Panglima Laot selalu berpegang teguh pada hukum adat Laot dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya. Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam focus group discussion mereka pada Tahun 2014 juga mengakui bahwa konsep pengelolaan perikanan masyarakat hukum adat Aceh patut dicontoh.31 2. Praktik Pengelolaan Perikanan di Desa Tanjung Luar, Provinsi Nusa Tenggara Barat Desa Tanjung Luar terletak di Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat . Desa Tanjung Luar merupakan satu dari empat desa yang mengelilingi Teluk Jukung. Masyarakat hukum adat di Desa Tanjung Luar memiliki Awig-awig sebagai bentuk hukum adat laut mereka. Secara terminologi, Awig-awig berasal dari kata “wig” yang berarti rusak, sementara “awig” artinya tidak rusak atau baik. 32 Oleh karena itu, secara harafiah Awig-awig adalah mengelola sesuatu untuk menjadi baik. Secara yuridis, eksistensi Awig-awig sudah diakui melalui Perda Kabupaten Lombok Timur Nomor 9 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pantai secara Partisipatif dan Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 10 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah. Dalam konteks hukum adat, Awig-awig pengelolaan adalah kesepakatan antar masyarakat dan atau dengan pihak lain tentang pengelolaan sumber daya perikanan yang dituangkan dalam suatu dokumen kesepakatan bersama, yang ditandatangani oleh Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa serta disahkan oleh Camat.33 Perda Kabupaten Lombok Timur Nomor 9 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pantai secara Partisipatif membagi Awig-awig ke dalam dua bentuk, yaitu (i) Awig-awig



Kementerian Kelautan dan Perikanan, “FGD Kearifan Lokal,” diakses pada 14 September 2016, http://p4ksi.litbang.kkp.go.id/index.php/berita/349-fgd-kearifan-lokal, 32 ICCAS Indonesia, “Awig-awig Kembali ke Teluk Jor,” diakses pada 11 September 2016, http://iccas.or.id/dokumentasi-iccas/Awig-awig-lombok/. 33 Indonesia, Peraturan Daerah Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pantai secara Partisipatif, Perda Ps. 1 angka 25. 31



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



110



yang berupa rencana pengelolaan sumber daya perikanan pantai di setiap kawasan pengelolaan dan (ii) Awig-awig yang berupa daerah perlindungan laut dan suaka perikanan. Masyarakat hukum adat di Desa Tanjung Luar sendiri sudah memiliki Awig-awig secara tertulis dalam bentuk hukum adat Lembaga Masyarakat Desa. Pada tanggal 14 November 1994, lembaga desa ini telah mengeluarkan peraturan adat secara tertulis yang dituangkan dalam Keputusan Desa Nomor: 04/LMD/1994 yang mengatur tentang:34 a. Batas dan jalur penangkapan ikan di Perairan Tanjung Luar; dan b. Sanksi terhadap pelanggaran batas dan jalur penangkapan ikan di Perairan Tanjung Luar. Tujuan dikeluarkannya keputusan ini adalah untuk menciptakan keamanan, ketertiban, dan kenyamanan masyarakat hukum adat Desa Tanjung Luar dalam menangkap ikan dan meminimalisasi perkelahian antara nelayan. Keputusan desa ini disebut sebagai Awig-awig Pengaturan Jalur Laut Penangkapan Ikan bagi Nelayan atau Awig-awig Jalur Laut. Awig-awig Jalur Laut membagi jalur penangkapan menjadi empat jalur yang masingmasing diperuntukkan untuk jenis nelayan yang berbeda-beda, dari nelayan tradisional sampai dengan nelayan yang menggunakan alat tangkap modern. Awig-awig Jalur Laut merupakan implementasi dari peraturan formal, yaitu Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 607/KPTS/UM/1976 tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan.35 Tradisi terkenal lainnya adalah kebiasaan untuk tidak melakukan penangkapan pada hari raya selama dua hari setiap tahun. Indonesia dikenal sebagai negara dengan produksi perikanan hiu dan pari terbesar di dunia, dengan kisaran tangkapan di atas 100.000 ton setiap tahunnya. 36 Salah satu wilayah penangkapan ikan hiu terbesar adalah di



Yudi Wahyudin, “Community Based Management (CBM),” (Makalah disampaikan pada Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, Bogor, 15 September, 2004). 35 Yudi Wahyudin, “Sistem Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pesisir. Pelatihan Pengelolaan Kawasan Konservasi Pengairan,” (Makalah disampaikan pada Kampus Pusat Diklat Kehutanan, 5 Desember, 2003). 36 Prosiding, hlm. 9. 34



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



111



Tanjung Luar. Jenis ikan hiu yang biasa ditangkap adalah Hiu Loreng, Hiu Kejen, Hiu Lonjor, dan Hiu Tikus. Wilayah penangkapan nelayan pun sudah meluas, tidak hanya Tanjung Luar, tetapi meliputi pula Sumba, Salura, Waingapu, Lautan India, Pulau Bali, dan Laut Jawa. Proses pelelangan ikan hiu di Tanjung Luar adalah i.



Pelelangan di tempat pelelangan ikan Tanjung Luar Pelelangan dipimpin oleh juru lelang untuk ikan hiu yang berukuran >1,3 meter. Peserta lelang adalah para pengepul produk hiu yang berasal dari Desa Rumbuk, yaitu desa sentra pengolahan produk hiu.



ii. Pemotongan hiu yang langsung dilakukan di tempat pelelangan ikan Kegiatan pemotongan dilakukan oleh kelompok pemotong berjumlah sekitar 6 orang dengan upah Rp. 5.000,00/ekor ikan hiu. Produk kemudian akan dimasukkan ke dalam karung untuk diolah di Desa Rumbuk. iii. Proses pengolahan Proses pengolahan dilakukan di sentra pengolahan hasil perikanan Rumbuk yang merupakan bentuk binaan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Kelautan dan Perikanan (P2HP KKP) dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



112



Tabel 3. Macam-macam produk ikan hiu yang dijual beserta harganya.



Penangkapan dan pelelangan ikan hiu oleh masyarakat hukum adat Desa Tanjung Luar merupakan bentuk konkret pengelolaan perikanan oleh masyarakat yang tidak berbasis environmental stewardship dan berkelanjutan. Secara yuridis, tidak ada peraturan daerah setempat yang mengatur mengenai penangkapan dan pelelangan ikan hiu. Akan tetapi, penangkapan dan pelelangan ikan hiu diperbolehkan oleh Awig-awig.37 Mantan Kepala Desa Tanjung Luar, Daeng Muhammad Hafiz, pun membenarkan pernyataan bahwa kegiatan penangkapan dan pelelangan ikan hiu sulit dihentikan karena kegiatan ini sudah menjadi kebiasaan secara turun-temurun dan merupakan sumber pendapatan masyarakat.38 Bahkan sebenarnya, pemerintah telah melindungi secara penuh hiu paus melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2013 dan melarang pengeluaran satu jenis hiu koboi 37



Australian Centre for International Agricultural Research. N.d, Summary Report on The Control and Management of Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing in Indonesian Fisheries Management Area 573 (Australia: Australian Centre for International Agricultural Research, 2015), diakses pada 10 September 2016, http://aciar.gov.au/files/node/15312/2_iuu_report_pdf_31714.pdf . 38 Liputan6, “Pasca Penangkapan, Nelayan Penangkap Hiu di Lombok Tiarap,” http://news.liputan6.com/read/2265408/pasca-penangkapan-nelayan-penangkap-hiu-di-lomboktiarap.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



113



dan tiga jenis hiu martil dari wilayah Indonesia ke luar wilayah Indonesia melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59 Tahun 2014. Tidak hanya masyarakat hukum adat Aceh, beberapa masyarakat hukum adat lainnya yang tersebar di Indonesia juga mengikuti jejak Aceh, seperti tradisi Pamali Mamanci Ikang di Desa Bobaneigo Maluku Utara, Tradisi Seke; Maneke di Kepulauan Sangihe Talaut; dan Lubuk Larangan di Sumatera Barat, Sumatera Utara, Jambi, dan Riau.39 Beberapa masyarakat hukum adat dengan karakteristik seperti Desa Tanjung Luar juga terdapat di Indonesia, misalkan Masyarakat Dullah Laut yang hidup di Pulau Dullah, salah satu pulau terbesar di Kepulauan Kei, Maluku Selatan Timur, menggunakan hak ulayat laut untuk mendapatkan posisi sebagai kepala daerah. 40 Masyarakat hukum adat di Sulawesi Selatan juga menggunakan hak ulayat laut untuk eksploitasi besar-besaran dengan cara melelang perairan mereka sendiri untuk menghasilkan target Pendapatan Asli Daerah yang besar-besaran.41 Harus dilakukan pengarusutamaan kepada rakyat Indonesia bahwa hak ulayat laut diakui untuk mempertahankan dan mengembangkan environmental stewardship yang telah dijalankan oleh masyarakat hukum adat dan bukan sebaliknya, hak ulayat laut sekadar diakui sehingga masyarakat hukum adat dapat mengelola perikanan sesuai kewenangan mereka. Dengan kata lain, pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat laut suatu masyarakat hukum adat harus memperhatikan terlebih dahulu apakah masyarakat tersebut sudah melaksanakan environmental stewardship dalam pengelolaan sumber daya lautnya atau belum. Jika environmental stewardship tidak dijadikan salah satu syarat pengakuan eksistensi masyarakat hukum adat, konsep pengelolaan perikanan sebagaimana di Desa Tanjung Luar yang merusak ekosistem laut akan semakin merebak.



“FGD Kearifan Lokal,” diakses pada 11 September 2016. Dedi Supriadi Adhuri, Selling the Sea, Fishing for Power (Canberra: Australian National University E-Press, 2015), hlm. 1. 41 Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Mba Bayu Vita Indah Yanti, Tim Penelitian Kementerian Kelautan dan Perikanan bidang Sosio-Ekonomi pada tanggal 8 September 2016. 39 40



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



114



C. Pengakuan Hak Ulayat Laut Masyarakat Hukum Adat dari Perspektif Konstitusi dan Undang-Undang yang Berlaku di Indonesia Indonesia adalah negara pluralisme yang terceminkan dari keberadaan adat-istiadat dan otoritas-otoritas kelembagaan yang otonom. Untuk itu, diperlukan cara berhukum yang dapat memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya the living law pada masyarakat yang pluralis dan menyinergikannya dengan kepentingan nasional melalui upaya yang dikenal dengan istilah harmonisasi hukum. 42 Harmonisasi hukum ini tercerminkan dari pengaturan yang paralel mengenai pengakuan eksistensi masyarakat hukum adat dan hak ulayat laut dalam konstitusi Indonesia, undang-undang, dan peraturan perundang-undangan di bawahnya. Konstruksi yuridis Pasal 18B (2) UUD 1945 memberikan pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat beserta hak ulayat lautnya. “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Pasal 18B (2) UUD 1945 sejalan dengan pasal 28I (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Kedua pasal ini merupakan akar pengakuan yuridis formal bagi masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya. Namun, pengakuan eksistensi mereka pun ternyata merupakan pengakuan bersyarat, yakni sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Indonesia. Konsekuensi legalnya adalah selama tidak ada undang-undang yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat, maka masyarakat hukum adat tetap tidak ada, meskipun secara sosiologis mereka ada.43 Pertanyaan selanjutnya adalah: Apakah undang-undang dan peraturan perundangundangan lainnya sebagai hukum positif di Indonesia dan peraturan derivatif dari UUD 1945 mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat beserta dengan



42



Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif (Jakarta: Penerbit Kompas, 2006), hlm.



173 - 174. 43 Lalu Sabardi, “Konstruksi Makna Yuridis Masyarakat Hukum Adat dalam Pasal 18B UUDN RI Tahun 1945 untuk Idenfitikasi Adanya Masyarakat Hukum Adat” Jurnal Hukum dan Pembangunan 43 (2013), hlm. 184 - 185.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



115



hak-hak tradisionalnya? Dalam subbab ini, akan dibahas 5 undang-undang yang mengakui masyarakat hukum adat dan hak ulayat laut, yaitu: a. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (UU Nomor 32/2014) b. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU Nomor 31/2004) c. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU Nomor 45/2009) d. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU Nomor 27/2007) e. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU Nomor 1/2014). Tabel 4. Hukum Nasional Indonesia Yang Mengatur Mengenai Masyarakat Hukum Adat dan Hak Ulayat Laut. Objek Pengaturan



Dasar Hukum



Substansi Pengaturan



Pasal 21 (1) UU Nomor Masyarakat hukum adat 27 Tahun 2007 tentang memiliki Pengelolaan



kewenangan



Wilayah atas pemanfaatan ruang



Pesisir dan Pulau-Pulau dan sumber daya perairan Kecil



pesisir



dan



perairan



pulau-pulau kecil pada Pengakuan



wilayahnya.



eksistensi



hak ulayat laut.



Pasal 61 (1) UU Nomor Pemerintah



mengakui,



27 Tahun 2007 tentang menghormati, Pengelolaan



dan



Wilayah melindungi



Pesisir dan Pulau-Pulau masyarakat Kecil



kearifan



hak-hak adat lokal



dan atas



wilayah pesisir dan pulaupulau kecil yang telah



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



116



dimanfaatkan



secara



turun temurun. Pasal 28 (3) huruf c UU Salah satu tujuan kawasan Nomor 27 Tahun 2007 konservasi tentang



adalah



Pengelolaan melindungi wilayah yang



Wilayah



Pesisir



dan diatur oleh adat tertentu,



Pulau-Pulau Kecil



misalkan Panglima Laot, Awig-awig, sasi, mane’e, dan istilah adat tertentu.



Pasal 28 (3) UU Nomor Pengembangan



wisata



32 Tahun 2014 tentang bahari Kelautan



harus



memperhatikan kearifan lokal.



Pengakuan



eksistensi



hukum adat laut



Pasal 42 (1) huruf a UU Pengelolaan ruang laut Nomor 32 Tahun 2014 harus tentang Kelautan



memperhatikan



kearifan lokal.



Pasal 6 (2) UU Nomor Pengelolaan



perikanan



31 Tahun 2004 tentang harus mempertimbangkan Perikanan



hukum adat dan atau kearifan lokal.



Pasal 52 UU Nomor 31 Pengetahuan Tahun



2004



dan



tentang teknologi yang dihasilkan



Perikanan



dalam



rangka



mengembangkan penelitian menghargai lokal.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



harus kearifan



117



Pasal 4 UU Nomor 27 Pengelolaan Prinsip



pengelolaan



perikanan



yang



berkelanjutan



Tahun



2007



Pengelolaan



wilayah



tentang pesisir dan pulau-pulau Wilayah kecil



dilakukan



secara



Pesisir dan Pulau-Pulau berkeadilan, Kecil



berkeseimbangan,



dan



keberlanjutan. Pasal 61 (2) UU Nomor Pengakuan Hubungan antara



hak



ulayat laut dan prinsip pengelolaan



perikanan



yang berkelanjutan



27 Tahun 2007 tentang masyarakat Pengelolaan



hak-hak adat



dan



Wilayah kearifan lokal dijadikan



Pesisir dan Pulau-Pulau acuan dalam pengelolaan Kecil



wilayah pesisir dan pulaupulau



kecil



yang



berkelanjutan.



Berdasarkan tabel di atas, terbukti bahwa dalam peraturan perundang-undangan Indonesia sudah diatur mengenai hak ulayat laut, hukum adat laut, dan prinsip pengelolaan yang berkelanjutan. Substansi pengaturannya pun sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Semua tindakan yang dilakukan berkaitan dengan pengelolaan perikanan, misalkan penciptaan teknologi, wisata bahari, pengelolaan ruang laut, atau recana zonasi, harus menghormati dan melindungi masyarakat hukum adat dan hak ulayat lautnya serta kelestarian ekosistem laut. Pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat dan hak ulayat laut terutama sangatlah tercerminkan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, masyarakat lokal dan masyarakat tradisional, dalam memanfaatkan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, wajib memiliki izin lokasi dan izin pengelolaan. Izin lokasi ini akan menjadi prasyarat untuk memperoleh izin pengelolaan. Sementara, masyarakat hukum adat dikecualikan dari kewajiban memiliki izin lokasi dan izin pengelolaan. Mereka memiliki wewenang untuk memanfaatkan ruang dan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil pada wilayah yang dikategorikan sebagai wilayah



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



118



masyarakat hukum adat. Pengecualian masyarakat hukum adat dari kewajiban untuk memiliki izin lokasi dan izin pengelolaan menunjukkan pengakuan pada derajat yang lebih tinggi terhadap hukum adat. Pengakuan ini jelas lebih konkret daripada sekedar ketentuan yang menyatakan bahwa pengembangan usaha di sektor kelautan dan perikanan harus memperhatikan kearifan lokal dan hukum adat. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tidak secara eksplisit mengakui wilayah pengelolaan ruang laut masyarakat hukum adat dimana hak ulayat laut diberlakukan. Pengakuan terhadap hak ulayat laut dan hukum adat laut sudah diberikan. Dalam melakukan semua tindakan yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan pun dihimbau untuk harus memperhatikan hak ulayat laut dan hukum adat laut. Akan tetapi, tidak ada satu ketentuan pun dalam kedua undang-undang ini yang menentukan dengan jelas wilayah laut mana yang menjadi wilayah keberlakuan hak ulayat laut. Satu-satunya pengaturan tentang wilayah laut yang berkaitan dengan hak ulayat laut adalah Pasal 42 (1) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014, bahwa “Pengelolaan ruang laut dilakukan untuk melindungi sumber daya dan lingkungan dengan berdasar pada daya dukung lingkungan dan kearifan lokal.” Ketentuan ini pun sebenarnya tidak menjelaskan syarat-syarat sebuah wilayah laut dapat diberlakukan hak ulayat laut. Kurang lengkapnya pengaturan ini menyebabkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tidak memberikan jaminan pelaksanaan hak ulayat laut dalam pengelolaan perikanan. Kelemahan lain yang merupakan kelemahan terbesar serta merupakan kelemahan yang menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini adalah hubungan antara hak ulayat laut dan prinsip pengelolaan perikanan yang berkelanjutan sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007. Dalam pasal tersebut, secara jelas menyatakan bahwa pengakuan hak ulayat laut menjadi dasar acuan prinsip pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Ketentuan Pasal 61 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 ini merupakan wujud konkret kesalahan paradigma dewasa ini bahwa hak ulayat laut hanya sekadar diakui tanpa memperhatikan environmental stewardship dan prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



119



III. Penutup Environmental stewardship merupakan model pengelolaan yang menitikberatkan pada hubungan antara masyarakat dengan lingkungannya. Environmental stewardship memegang kunci penting untuk mewujudkan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Namun sayangnya, tidak seluruh masyarakat hukum adat melaksanakan hak ulayat laut berbasis environmental stewardship. Hal ini disebabkan karena environmental stewardship tidak dijadikan pertimbangan dalam memberikan pengakuan hak ulayat laut. Kesalahan paradigma ini sudah sangat berakar di Indonesia, sampai dari regulasinya sendiripun, yaitu Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 hak ulayat laut yang dijadikan dasar acuan environmental stewardship, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, penting sekali untuk mengembalikan pergeseran paradigma ini dengan merubah ketentuan tersebut sehingga environmental stewardship-lah yang menjadi pertimbangan dalam pengakuan hak ulayat laut. Untuk menunjang terciptanya prinsip pengelolaan yang berkelanjutan dan menjamin terpeliharanya environmental stewardship, perlu dilakukan model pengelolaan perikanan berbentuk ko-manajemen. Ko-manajemen adalah kerjasama antara masyarakat hukum adat, pemerintah baik pusat maupun daerah, pihak swasta yang berkepentingan, dan agen eksternal (misalkan: organisasi nonprofit, lembaga pendidikan).44 Ko-manajemen melibatkan aspek demokratisasi, desentralisasi, pembagian kekuasaan, dan pemberdayaan sosial. Ko-manajemen menekankan pengembalian hak ulayat laut masyarakat hukum adat untuk mengelola perikanan tetapi dengan tidak melupakan keberadaan negara, kepentingan pihak swasta, dan pihak-pihak lainnya. Ko-manajemen tidak boleh dipandang sebagai sebuah strategi tunggal untuk menyelesaikan semua masalah pengelolaan perikanan yang timbul, melainkan harus dipandang sebagai sebuah proses pengelolaan perikanan, meliputi adaptasi dan penyesuaian terhadap perubahan kondisi. 45 Ko-manajemen dapat ditempatkan sebagai wadah pelaksanaan environmental stewardship sehingga mendorong terciptanya prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan. 44 R. S. Pomeroy and R. Rivera-Guieb, Fishery Co-Management: A Practical Handbook (Inggris: CABI Publishing, 2006), hlm. 7-9. 45 Ibid. hlm. 10.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



120



DAFTAR PUSTAKA



Buku Adhuri, Dedi Supriadi. Selling the Sea, Fishing for Power. Canberra: Australian National University E-Press, 2015. Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Kontribusi Hukum Adat dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2015. Bustaman, HT. Peranan Lembaga Hukum Adat Laot/Panglima Laot dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Provinsi NAD. Banda Aceh: Dinas Perikanan, 2005. Djajaatmadja, Bambang Iriana. Harmonisasi Hukum pengelolaan Sumber Daya Kelautan dalam Kerangka Desentralisasi. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, 2007. Kusuma, RM. A. B. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004. Pomeroy, R. S. dan Rivera-Guieb, R. Fishery Co-Management: A Practical Handbook. CABI Publishing, 2006. Rahardjo, Satjipto. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas, 2006. __________. Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya. Yogyakarta: Genta Publishing, 2009. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penulisan Hukum. Jakarta: UI Press, 1986. Syafiauddin, Baso. Optimalisasi Peran dan Fungsi Hukum Adat Laot/Panglima Laot dalam Pemanfaatan Dan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Aceh Besar. Banda Aceh: Dinas Perikanan, 2006.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



121



Warman, Kurniawan. Hukum Agraria Dalam Masyarakat Majemuk: Dinamika Interaksi Hukum Adat dan Hukum Negara di Sumatera Barat. Jakarta: HuMa-Jakarta, 2010.



Jurnal Christopher Rodgers. “Nature’s Place? Property Rights, Property Rules and Environmental Stewardship”, Cambridge Law Journal, Vol. 68, November 2009. Sabardi, Lalu. “Konstruksi Makna Yuridis Masyarakat Hukum Adat dalam Pasal 18B UUDN RI Tahun 1945 untuk Idenfitikasi Adanya Masyarakat Hukum Adat”. Jurnal Hukum dan Pembangunan. Tahun ke-43 no. 2 April-Juni 2013. Sulaiman. Kearifan Tradisional dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan di Aceh pada Era Otonomi Khusus. Jurnal Dinamika Hukum. Vol. 11 no. 2 (Mei 2011).



Laporan/Artikel Seminar Australian Centre for International Agricultural Research. N.d. Summary Report on The Control and Management of Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing in Indonesian Fisheries Management Area 573. Diakses pada 10 September



2016.



http://aciar.gov.au/files/node/15312/2_iuu_report_pdf_31714.pdf. Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI. “Ringkasan Eksekutif: Kajian Subsidi Transportasi Angkutan Laut dalam Rangka Memperkuat Sistem Logistik



Nasional.”



Diakses



pada



23



http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/edef-kontenview.asp?id=20150327132917660066376.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



Agustus



2016.



122



Bachtiar, Imam, Husni, Lalu, dan Romdiana. Penyusunan Awig-awig Pengelolaan Sumber Daya Perikanan di Pesisir Selatan Kabupaten Lombok Timur. Diakses



pada



12



September



2016.



https://www.researchgate.net/publication/270893992_PENYUSUNAN_A WIGAWIG_PENGELOLAAN_SUMBERDAYA_PERIKANAN_DI_PE SISIR_SELATAN_KABUPATEN_LOMBOK_TIMUR?enrichId=rgreqe547bf2ba7eae1caafb31443b5c4d98cXXX&enrichSource=Y292ZXJQYWdlOzI3MDg5Mzk5MjtBUzoxODYw NTM1NDU3MDEzNzZAMTQyMTM3MDAzMDcwOQ%3D%3D&el=1 _x_3. Prabuning, Derta, et. al. Rantai Perdagangan hiu dan Pari di Provinsi NTB (Nusa Tenggara Barat) dan NTT (Nusa Tenggara Timur). Simposium Hiu dan Pari di Indonesia, 2015. Setiawan, Iwan dan Nugroho, Ferieigha. Jenis dan Jumlah Tangkapan Hiu di Perairan Laut Selatan Jawa Tengah. Simposium Hiu dan Pari di Indonesia, 2015. Sulaiman. Prospek Hukum Adat Laut dalam Pengelolaan Perikanan di Kabupaten Pidie Jaya Provinsi Aceh. Yustisia. Edisi 87 September-Desember 2013. Wahyudin, Yudi. Sistem Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pesisir. Pelatihan Pengelolaan Kawasan Konservasi Pengairan. Kampus Pusat Diklat Kehutanan. 5 Desember 2003. Wahyudin, Yudi. Community Based Management (CBM). Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. 15 September 2004. Bogor.



Tesis Sulaiman. Model Alternatif Pengelolaan Perikanan Berbasis Hukum Adat Laot di Kabupaten



Aceh



Jaya



menurut



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



Keberlanjutan



Lingkungan



yang



123



Berorientasi Kesejahteraan Masyarakat. Thesis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 2010.



Dokumen-Dokumen Hukum Indonesia. Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007. LN No. 2 Tahun 2014. TLN No. 5490. ________. Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007. LN No. 84 Tahun 2007. TLN No. 4739. ________. Undang-Undang tentang Perikanan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004. LN No. 118 Tahun 2004. TLN No. 4433. ________. Undang-Undang tentang Kelautan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014. LN No. 294 Tahun 2014. TLN No. 5603. ________. Undang-Undang tentang Perikanan. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004. LN No. 62 Tahun 2006. TLN Nomor 5073. Jakarta. ________. Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. LN No. 62 Tahun 2006. TLN No. 4633. ________. Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. LN No. 104 Tahun 1960. TLN No. 2043. ________. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 10 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah. Dalam konteks hukum adat. Lembaran Daerah Kabupaten Lombok Timur Tahun 2006



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



124



Nomor 3. Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 2. Selong. ________. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 9 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pantai Secara Partisipatif. Lembaran Daerah Kabupaten Lombok Timur Tahun 2006 Nomor 2. Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 1. Selong ________. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang lembaga adat. Lembaran Daerah Nanggore Aceh Darussalam Tahun 2008 Nomor 10. Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 20. Banda Aceh. ________. Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2010 tentang Perikanan. Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2011 Nomor 04. Tambahan Lembaran Daerah Aceh Tahun 2011 Nomor 33. ________. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat. Lembara Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2008 Nomor 09. Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 19.



Internet Liputan6. “Pasca Penangkapan, Nelayan Penangkap Hiu di Lombok Tiarap”. Diakses



pada



11



September



2016.



http://news.liputan6.com/read/2265408/pasca-penangkapan-nelayanpenangkap-hiu-di-lombok-tiarap. Kementerian Kelautan dan Perikanan. “FGD Kearifan Lokal”. Diakses pada 14 September 2016. http://p4ksi.litbang.kkp.go.id/index.php/berita/349-fgdkearifan-lokal. ICCAS Indonesia. “Awig-awig Kembali ke Teluk Jor”. Diakses pada 11 September 2016. http://iccas.or.id/dokumentasi-iccas/Awig-awig-lombok/.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



125



Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan. “Temu Akbar Nelayan Indonesia 2015.” Diakses pada 23 Agustus 2016. http://www.kiara.or.id/temu-akbar-nelayanindonesia-2015/.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



126



BIODATA PENULIS



Penulis



merupakan



mahasiswa



Fakultas



Hukum



Universitas Indonesia bernama Muhammad Dimas Tribowo. Aktif di berbagai aktivitas kampus; mulai dari perlombaan, organisasi hingga kegiatan sosial. Penulis pernah menjadi Juara 1 dalam Kompetisi Debat Law Education Day yang diselenggarakan oleh Universitas Katholik Atma Jaya Jakarta pada tahun 2015. Mendapat penghargaan sebagai pembicara terbaik dalam Lomba Debat Bahasa Indonesia di Olimpiade Ilmiah Mahasiswa tingkat Fakultas Hukum UI dan UI pada tahun 2016. Ia juga aktif dalam penulisan karya tulis ilmiah, prestasi yang dimiliki antara lain menjadi Juara 1 di Kompetisi Esai Nasional Indonesia Student Research and Summit 2015, makalah dan presentasi terbaik di acara the First Indonesia Youth Conference on Sustainable Development yang diadakan oleh Universitas Gadjah Mada, Juara 2 dalam Lomba Penelitian dan Pengembangan Perhubungan tahun 2014 yang diadakan oleh Kementerian Perhubungan, serta finalis dalam Kompetisi Legislative Drafting Diponegoro Law Fair 2015. Berkat prestasinya ia juga berhasil menjadi finalis dalam Pemilihan Mahasiswa Berprestasi tingkat FHUI 2016. Ia rmerupakan Kepala Divisi Eksternal dari Indonesia Law Debate Society (ILDS).



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



127



PENYEBAB KREDIT BERMASALAH DI BANK MANDIRI UNIT COMMERCIAL BANKING CENTRE JAKARTA ISKANDARSYAH Feryzal Putra1, Nurini Aprilianda



Abstract This research aims to analyze the causes of non-performing loans at Bank Mandiri Commercial Banking Centre Jakarta Iskandarsyah. Non-performing loans have turned out as a result of the debtor failed to meet the commitments to the credit has been agreed previously. A research on the loan problem was carried out at Bank Mandiri Unit Commercial Banking Centre Jakarta Iskandarsyah and methods applied was empirical research to analyze the effectiveness of the legal instrument offered by the bank. This study is a socio-juridical, which analysis Bank Indonesia Regulation Number 14/15/PBI/2012 regarding the Assessment of Assets Quality of Commercial Bank, then analyzed the sociological aspect and implementation of the rules in the commercial banking, so it could be detected the related attitude toward the credit facilities offered by a bank. It turned out the reasons of non-performing loan are deviation of the credit agreement, a decline in debtor's financial condition, an incorrect financial statements, a declining cooperation of the debtor, non profitable the development of economic conditions, a weak practice of supervision on the debtors so credit covenants is violated, and last but not least is lack of a capability in the human resource capabilities to handle the credit. Keywords: asset quality, credit agreement, non-performing loans.



1



Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Jalan Abdul Muis 52-56A, Jakarta, 10160, Indonesia. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail: [email protected]



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



128



I. Pendahuluan Tahun 2015 menjadi momen yang baik bagi negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang. Pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut diperkirakan akan terus meningkat. Sementara itu, tingkat pengangguran mencatatkan rekor terendah sejak krisis finansial global. Di sisi lain, Indonesia dan negara-negara berkembang lain menghadapi tantangan yang cukup berat. Berdasarkan laporan International Monetary Fund (IMF), pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 2015 melambat menjadi 3,1% dari 3,4% pada tahun sebelumnya, sedangkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2015 melambat menjadi 4,8% dari 5% pada tahun sebelumnya. Rupiah melemah menyentuh level IDR13.785/USD yang dipicu oleh antisipasi kenaikan suku bunga The Fed, depresiasi Yuan, peningkatan permintaan valas untuk pembayaran utang dan dividen secara musiman, serta kekhawatiran terhadap malambatnya ekonomi domestik. Perlambatan ekonomi juga mempengaruhi tingkat inflasi yang hanya sebesar 3,35% atau jauh di bawah 8,36% pada tahun lalu. 2 Faktor-faktor tersebut berdampak negatif terhadap kinerja industri perbankan nasional di tahun 2015. Kualitas aset yang menurun ditandai dengan tingkat NPL (Non-Performing Loan) yang mencapai 2,49%, meningkat dibandingkan 2,16% pada tahun lalu per Desember 2015. Hal ini menyebabkan perbankan harus menyisihkan biaya besar untuk CKPN (Cadangan Kerugian Penurunan Nilai) yang menggerus laba bersih.3



2 3



Laporan Tahunan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk., 2015. Ibid, hal. 57.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



129



Tabel 5. Statistik Perbankan Indonesia Tahun 2013 – Januari 2016 – Otoritas Jasa Keuangan.



Sumber: Data Sekunder, Otoritas Jasa Keuangan, 2016



Gambar 7. Trend NPL Januari 2005 s.d. Januari 2016



Sumber: Data Sekunder, Otoritas Jasa Keuangan, 2016 Realisasi angka NPL (Non-Performing Loan) tersebut sebagian besar berasal dari kontribusi bank milik pemerintah atau yang disebut BUMN, yaitu Bank Mandiri, BRI, BNI, dan BTN, karena bank BUMN merupakan kelompok bank paling berpengaruh dalam industri perbankan Indonesia. Pada Desember 2015, total aset



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



130



keempat bank BUMN tersebut mencapai Rp2.445,47 triliun atau 40% dari total aset industri perbankan nasional sebesar Rp6.132,58 triliun pada Januari 2016. Kinerja bank BUMN sangat mempengaruhi kinerja perbankan nasional karena berposisi sebagai market leader dengan pangsa pasar yang besar. Jika kinerja bankbank BUMN bagus, kinerja industri perbankan keseluruhan juga akan bagus, begitu pula sebaliknya. Tabel 6. Sepuluh Bank dengan Aset Terbesar Posisi September 2015.



Sumber: Data Sekunder, Otoritas Jasa Keuangan, 2016 Salah satu Bank BUMN yang menarik untuk diteliti adalah Bank Mandiri karena dari Tabel 6 terlihat bahwa Bank Mandiri merupakan bank yang terbesar di Indonesia dengan jumlah aset sebesar Rp905,76 triliun. Apabila kinerja Bank Mandiri menurun, dikhawatirkan hal tersebut akan berpengaruh pada industri perbankan nasional. Saat ini, Bank Mandiri mengalami penurunan aset produktif. Berdasarkan laporan keuangan Triwulan I 2016 Bank Mandiri4, rasio kredit bermasalah atau kredit macet (Non-Performing Loan/NPL) konsolidasi Bank Mandiri naik dari 0,89% pada bulan Maret 2015 menjadi 1,16% pada bulan Maret 2016 atau meningkat sebesar 0,27%. Peningkatan ini sebagian besar berasal dari kredit segmen komersial yang meningkat dari 2,6% menjadi 4,4%. Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum menetapkan lima penggolongan kualitas 4



Laporan Triwulan I PT Bank Mandiri (Persero) Tbk., 2016.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



131



kredit, yaitu: a. Lancar; b. Dalam Perhatian Khusus; c. Kurang Lancar; d. Diragukan; atau e. Macet.5 Kredit yang termasuk dalam kualitas Lancar dan Dalam Perhatian Khusus dinilai sebagai Performing Loan, sedangkan kredit yang termasuk dalam kualitas Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet dinilai sebagai Non-Performing Loan (NPL). Kelima penggolongan kualitas kredit tersebut ditetapkan berdasarkan analisis terhadap tiga faktor penilaian, yaitu prospek usaha, kinerja (performance) debitur, dan kemampuan membayar.6 Tingginya NPL (Non-Performing Loan) ini menyebabkan laba bersih Bank Mandiri mengalami penurunan pertumbuhan pada kuartal I tahun ini dibandingkan dengan tahun lalu. Laba pada kuartal I 2015 yang mencapai Rp5,48 triliun turun menjadi Rp3,81 triliun pada kuartal I 2016. Untuk tetap menjaga laba Bank Mandiri meningkat, Bank Mandiri harus menjaga kualitas kreditnya dengan baik. Menjaga kualitas kredit berarti memperbaiki kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL). NPL (Non-Performing Loan) merupakan sesuatu yang kompleks karena NPL (Non-Performing Loan) dapat berasal dari permasalahan internal maupun eksternal bank dan memiliki unsur sebab-akibat yang saling mempengaruhi. Dari sisi internal bank, permasalahan yang krusial adalah kemampuan analisis kredit dan keputusan kredit, sedangkan dari sisi internal debitur, permasalahan dapat terjadi dalam bentuk penyalahgunaan tujuan pemberian fasilitas kredit yang pada hakikatnya terjadi pelanggaran atas perjanjian kredit. Sementara itu, dari sisi eksternal bank, permasalahan bersumber dari adanya persoalan moneter, politik, dan kebijakan pemerintah.



5



Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum, Pasal 12 ayat (3). 6 Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/28/DPNP tanggal 31 Juli 2013 perihal Penilaian Kualitas Aset Bank Umum.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



132



Apabila dikaji lebih dalam, kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) di Bank Mandiri merupakan kredit dari berbagai macam segmen. Peningkatan terbesar berasal dari kredit segmen komersial yang meningkat dari 2,6% menjadi 4,4%, antara lain berasal dari salah satu unit kredit, yaitu Commercial Banking Centre Jakarta Iskandarsyah yang berdasarkan data kredit disebutkan bahwa kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) untuk posisi Maret 2016 mencapai 11,43% atau dengan nominal Rp371 miliar.7 Pencapaian rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) sebesar 11,43% tersebut jauh di atas ketentuan Bank Indonesia yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/2/PBI/2013 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum Konvensional bahwa rasio kredit bermasalah (NonPerforming Loan/NPL) secara netto tidak boleh lebih dari 5% dari total kredit.8 Walaupun secara konsolidasi portofolio kredit Bank Mandiri masih di bawah 5%, adanya pencapaian rasio di atas 5% di suatu unit kerja kredit akan dapat membahayakan bagi Bank Mandiri secara keseluruhan. Apabila permasalahan ini tidak dikelola secara serius, akan timbul kerugian yang besar bagi Bank Mandiri. Permasalahan hukum yang timbul akibat adanya kredit bermasalah ini adalah mengenai prestasi. Berdasarkan Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang selanjutnya disebut KUHPerdata, ada tiga macam bentuk prestasi, yaitu: a. untuk memberikan sesuatu; b. untuk berbuat sesuatu; dan c. untuk tidak berbuat sesuatu. Kredit bermasalah ini muncul akibat debitur gagal memberikan prestasinya, yaitu gagal untuk memenuhi komitmen atau prestasi terhadap kredit yang telah diperjanjikan sebelumnya. Sesuai perjanjian yang telah ditandatangani oleh kreditur dan debitur, debitur harus memberikan prestasi dengan melaksanakan kewajiban yang tepat pada waktunya dan pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian, atau meminta ganti kerugian pada debitur. 7



Bank Mandiri, Data Internal Bulan Maret 2016. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/2/PBI/2013 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum Konvensional. 8



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



133



Penggantian kerugian dapat meliputi biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan, kerugian yang timbul akibat wanprestasi tersebut, dan bunga. Pengertian bunga di sini adalah hilangnya keuntungan yang sudah diperkirakan oleh kreditur seandainya tidak terjadi wanprestasi. Kewajiban debitur untuk membayar ganti rugi tidak serta merta timbul pada saat dirinya lalai. Oleh karena itu, harus ada pernyataan lalai terlebih dahulu yang disampaikan oleh kreditur ke debitur (Pasal 1238 jo. Pasal 1243 KUHPerdata).9 Mengingat permasalahan kredit bermasalah ini diawali dengan adanya kegagalan debitur memberikan prestasi, penulis tertarik melakukan suatu penelitian mengenai penyebab kredit bermasalah dan bagaimana penanganan kredit bermasalah (NonPerforming Loan/NPL), khususnya di Bank Mandiri Unit Commercial Banking Centre Jakarta Iskandarsyah. Oleh karena itu, tulisan ini diberi judul “Penyebab Kredit Bermasalah di Bank Mandiri Unit Commercial Banking Centre Jakarta Iskandarsyah”.



II. Isi A. Analisis Penyebab Terjadinya Kredit Bermasalah berdasarkan Teori Penegakan Hukum Lawrence M. Friedman dan Soerjono Soekanto Teori hukum yang akan dipergunakan untuk menganalisis permasalahan adalah teori efektivitas hukum. Efektivitas merupakan suatu fakta bahwa kaidah hukum secara aktual diterapkan dan dipatuhi, sehingga masyarakat bertingkah laku sesuai dengan kaidah hukum tersebut. Dengan demikian, efektivitas merupakan kondisi dari sahnya suatu kaidah hukum, dalam arti bahwa efektivitas harus menyertai suatu kaidah agar sahnya tidak hilang. 10 Membicarakan tentang efektivitas hukum berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. “Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi sebagai Dasar Gugatan”, diakses tanggal 20 Februari 2017, ttp://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3616/perbuatan-melawan-hukum-danwanprestasi-sebagai-dasar-gugatan. 10 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum (Jakarta: Bina Cipta, 1983), (Soerjono Soekanto II), hal. 20. 9



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



134



Hukum dapat efektif jika faktor-faktor yang mempengaruhi hukum tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Ukuran efektif atau tidaknya suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dilihat dari perilaku masyarakat. Suatu hukum atau peraturan perundang-undangan akan efektif apabila masyarakat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan atau dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan tersebut atau apabila peraturan perundang-undangan tersebut mencapai tujuan yang dikehendaki. Lawrence M. Friedman mengemukakan tiga unsur yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum. Ketiga unsur itu meliputi struktur, substansi, dan budaya hukum. Struktur sistem hukum terdiri dari: a. unsur-unsur jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksinya (yaitu jenis kasus yang mereka periksa dan bagaimana serta mengapa); b. cara naik banding dari satu pengadilan ke pengadilan lainnya; dan c. bagaimana badan legislatif ditata, berapa banyak orang yang duduk di Komisi Dagang Federal, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta prosedur yang harus diikuti. Pengertian substansi meliputi: a. aturan, norma, dan perilaku nyata manusia yang berada dalam hukum;



dan b. produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem itu,



yaitu keputusan yang mereka keluarkan dan aturan baru yang mereka susun. Budaya hukum adalah sikap-sikap dan nilai-nilai yang ada hubungannya dengan hukum dan sistem hukum, berikut sikap-sikap dan nilai-nilai yang memberikan pengaruh, baik positif maupun negatif, kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum. Soerjono Soekanto mengemukakan teori efektivitas hukum.12 Menurutnya, efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh lima faktor, yaitu:



12



Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2008). (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II),hal. 8.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



135



a. faktor hukumnya sendiri (undang-undang); b. faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun



menerapkan hukum; c. faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; d. faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku



atau diterapkan; dan e. faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa, yang



didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat karena merupakan esensi dari penegakan hukum dan juga merupakan tolok ukur dari efektivitas penegakan hukum. Pada elemen pertama, yang menentukan dapat berfungsinya hukum tertulis tersebut dengan baik adalah aturan hukum itu sendiri. Pada elemen kedua, yang menentukan keefektifan kinerja hukum tertulis adalah aparat penegak hukum. Dalam hubungan ini, dikehendaki adanya aparatur yang andal, sehingga aparat tersebut dapat melakukan tugasnya dengan baik. Keandalan dalam kaitannya di sini meliputi keterampilan profesional dan mental yang baik. Pada elemen ketiga, yang menentukan dapat berfungsinya hukum tertulis tersebut dengan baik adalah tersedianya fasilitas yang berwujud sarana dan prasarana bagi aparat pelaksana di dalam melakukan tugasnya. Sarana dan prasarana yang dimaksud adalah prasarana atau fasilitas yang digunakan sebagai alat untuk mencapai efektivitas hukum. Berfungsinya hukum tersebut sangat tergantung pada usaha menanamkan ketentuan hukum itu sendiri. 13 Hukum menentukan peranan apa yang sebaiknya dilakukan oleh para subjek hukum, sehingga hukum yang berlaku tersebut berjalan secara efektif dan semakin mendekati apa yang telah ditentukan dalam kaidah hukum. 14 1. Struktur Penyebab kredit bermasalah pada Bank Mandiri CBC Jakarta Iskandarsyah ini disebabkan oleh satu debitur, yaitu PT XXX. Penyebab ini dapat dianalisis berdasarkan pendapat Lawrence M. Friedman, yaitu tiga unsur yang harus 13 14



________, Penegakan Hukum…, hlm. 77. ________, Penegakan Hukum…, hlm. 79.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



136



diperhatikan dalam penegakan hukum. Ketiga unsur itu meliputi struktur, substansi, dan budaya hukum. Salim H. S. dan Erlies Septiana mengutip pendapat Lawrence M. Friedman. “To begin with, the legal sytem has the structure of a legal system consist of elements of this kind: the number and size of courts; their jurisdiction … structure also means how the legislature is organized … what procedures the police department follow, and so on. Structure, in way, is a kind of crosss section of the legal system … a kind of still photograph, with freezes the action.”15 Berdasarkan penjelasan Lawrence M. Friedman di atas, struktur adalah pola yang menunjukkan tentang bagaimana hukum dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur ini menunjukkan bagaimana pengadilan, pembuat hukum, dan badan serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan. Dalam kredit bermasalah ini, struktur yang terkait adalah bank yang dalam hal ini PT Bank Mandiri (Persero), Tbk Unit Commercial Banking Centre Jakarta Iskandarsyah sebagai kreditur dan Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga regulator dan pengawas perbankan. Masing-masing stakeholder ini saling terkait satu sama lain, sehingga dapat ditentukan apakah pelaksanaan penegakan hukum dapat berjalan dengan efektif. Berikut ini adalah stakeholder terkait kredit bermasalah (NonPerforming Loan/NPL). a. Commercial Banking Centre Jakarta Iskandarsyah Commercial Banking Centre adalah suatu layanan perbankan di Bank Mandiri yang diberikan kepada setiap nasabah yang memiliki usaha menengah, yang fokus bisnisnya adalah memberikan fasilitas kredit pembiayaan, seperti kredit investasi, kredit modal kerja dari limit Rp10 milyar s.d. Rp500 milyar, dan fasilitas Non-Cash Loan yang berupa Garansi Bank, Letter of Credit atau SKBDN, dan pengambilalihan wesel ekspor. Unit Commercial Banking berada di bawah supervisi Regional Wholesale Head yang bertanggung jawab kepada Regional CEO wilayah dan Regional CEO wilayah berkedudukan di bawah Direktur Distribution.



15



Salim H. S. dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014).



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



137



Salah satu Unit Commercial Banking yang ada di Jakarta adalah Unit Commercial Banking Centre Jakarta Iskandarsyah (selanjutnya disebut CBC Jakarta Iskandarsyah) yang berdiri pada bulan Agustus 2011. Unit kerja ini didukung oleh 23 karyawan yang terdiri dari 2 tim marketing/Relationship Manager yang berjumlah 10 karyawan dan 13 karyawan sebagai supporting unit. Unit kerja ini dipimpin oleh Bapak Fajar Setiadi yang bertanggung jawab untuk mencapai target bisnis yang telah ditetapkan oleh Kantor Pusat Bank Mandiri. b. Otoritas Jasa Keuangan Gambar 8. Kronologis Pembentukan OJK.



Sumber: Data Sekunder, Roberto Akyuwen, Budi Nugroho, kajian prospektif fungsi dan wewenang Otoritas Jasa Kuangan dalam pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di Indonesia, Kementerian Keuangan Republik Indonesia 2012 Otoritas Jasa Keuangan selanjutnya disebut OJK adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, yaitu di sektor perbankan, pasar modal, dan sektor jasa keuangan non bank, seperti asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. 16



16



Otoritas Jasa Keuangan, diakses tanggal http://www.ojk.go.id/id/Pages/FAQ-Otoritas-Jasa-Keuangan.aspx.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



10



Maret



2016.



138



OJK adalah lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain serta mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tersebut. Tugas pengawasan industri keuangan non bank dan pasar modal secara resmi beralih dari Kementerian Keuangan dan Bapepam-LK ke OJK pada 31 Desember 2012. Sementara itu, pengawasan di sektor perbankan beralih ke OJK pada 31 Desember 2013 dan Lembaga Keuangan Mikro pada 2015. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK menyebutkan bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen maupun masyarakat. Dengan pembentukan OJK, lembaga ini diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan secara



menyeluruh,



sehingga



meningkatkan daya saing



perekonomian. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi. OJK dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran (fairness). OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011, tugas utama dari OJK adalah melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap: i.



kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan;



ii.



kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal; dan



iii.



kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, serta lembaga jasa keuangan lainnya.



Sementara itu, wewenang yang dimiliki OJK akan dijelaskan sebagai berikut. Terkait khusus pengawasan dan pengaturan lembaga jasa keuangan bank, OJK memiliki wewenang yang meliputi:



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



139



i.



perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank;



ii.



kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;



iii.



pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan dan pencadangan bank; laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; sistem informasi debitur; pengujian kredit (credit testing); dan standar akuntansi bank; serta



iv.



pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank yang meliputi manajemen risiko, tata kelola bank, prinsip mengenal nasabah dan anti-pencucian uang, pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan, serta pemeriksaan bank.



Terkait dengan kredit bermasalah, OJK mengawasi pemberian kredit oleh bank sesuai dengan aturan OJK dan prinsip-prinsip kehati-hatian agar kredit yang dikucurkan bank pada akhirnya tidak menjadi kredit macet, sesuai dengan surat edaran dari Bank Indonesia Nomor 15/28/DPNP tanggal 31 Juli 2013 Perihal: Penilaian Kualitas Aset Bank Umum poin I Umum, yaitu: i.



Dengan meningkatnya kompleksitas usaha dan profil risiko serta dalam rangka mengantisipasi pengaruh perekonomian global, bank perlu meningkatkan kemampuan dan efektivitas dalam mengelola risiko kredit, meminimalkan potensi kerugian dari penyediaan dana, dan mensyaratkan peringkat yang lebih tinggi terhadap prime bank penerbit standby letter of credit (SBLC) yang diperlakukan sebagai agunan tunai.



ii.



Dalam rangka mengelola risiko kredit, bank menetapkan kualitas kredit yang merupakan hasil penilaian atas faktor yang berpengaruh



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



140



terhadap kondisi dan kinerja debitur yang terdiri dari prospek usaha, kinerja (performance) debitur, dan kemampuan membayar debitur. iii.



Selanjutnya, untuk meminimalkan potensi kerugian dari penyediaan dana, bank dapat melakukan Restrukturisasi Kredit terhadap debitur yang masih memiliki prospek usaha dan kemampuan membayar dengan tetap memerhatikan prinsip kehati-hatian dan standar akuntansi keuangan yang berlaku.



iv.



Dalam



rangka



penerapan prinsip



kehati-hatian,



pemenuhan



kewajiban pembayaran angsuran pokok dan atau bunga yang dilakukan debitur mempengaruhi secara bertahap perbaikan kualitas kredit atas kredit yang direstrukturisasi. Secara sederhana, dapat disimpulkan bahwa fungsi OJK adalah membentuk dan menerapkan hukum apabila kredit bermasalah muncul. Hukum dapat berjalan secara efektif apabila fungsi OJK ini dijalankan sesuai ketentuannya. Soerjano Soekanto menyatakan bahwa ada lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu: i.



faktor hukumnya sendiri (undang-undang);



ii.



faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum;



iii.



faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;



iv.



faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; dan



v.



faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa, yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.



Terkait dengan struktur, dapat digolongkan faktor yang terkait struktur, yaitu faktor penegak hukum dan faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Faktor penegak hukum dalam hal ini adalah OJK, mengingat tugas dan wewenang dari OJK adalah: i.



melakukan pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit,



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



141



rasio pinjaman terhadap simpanan dan pencadangan bank; laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; sistem informasi debitur; pengujian kredit (credit testing); dan standar akuntansi bank; serta ii.



melakukan pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehatihatian bank, meliputi manajemen risiko, tata kelola bank, prinsip mengenal nasabah dan anti-pencucian uang, pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan, serta pemeriksaan bank.



Dari tugas dan kewenangan ini, terlihat bahwa efektivitas hukum yang terkait dengan kredit macet ini sangat dipengaruhi oleh kinerja OJK. Apabila OJK tidak menjalankan fungsi pengawasan dengan baik, efektivitas hukum tidak akan tercapai. Salah satu faktor lain yang terkait dengan struktur yang membuat hukum itu bisa efektif dilaksanakan adalah tersedianya sarana dan fasilitas yang baik untuk OJK dalam menjalankan kegiatan pengaturan dan pengawasan terhadap bank. Hal ini dapat terwujud apabila OJK memiliki SDM yang mumpuni dan berintegritas, mengingat dalam melakukan kegiatannya, OJK harus melakukan koordinasi dengan pemerintah (Kementerian Keuangan), Bank Indonesia, dan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan), serta pihak-pihak perbankan. Kegiatan ini harus didukung oleh sarana dan prasarana yang baik yang salah satunya adalah tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas. 2. Substansi Hukum Salim H. S. dan Erlies Septiana mengutip pendapat Lawrence M Friedman mengenai substansi hukum sebagai berikut. “Another aspect of the legal system is its substance. By this is meant the actual rules, norm, and behavioral patterns of people inside the system … the stress here is on living law, not just rules in law books”. Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Yang dimaksud dengan substansinya adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Jadi, substansi hukum menyangkut peraturan perundangundangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



142



pedoman bagi aparat penegak hukum. Permasalahan hukum yang terkait substansi, yaitu: a. Adanya Penyimpangan dari Ketentuan Perjanjian Kredit Dalam kasus kredit macet ini, ketentuan yang mengatur adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk: i.



cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;



ii.



pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang; dan



iii.



pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.



Sesuai



dengan



Pasal



16



Perjanjian



Kredit



Modal



Kerja



Nomor



CRO.JW/899/KWK/2014 tanggal 11 September 2013 yang telah ditandatangani debitur mengenai hal-hal yang wajib dilaksanakan oleh debitur, yaitu “debitur dengan ini berjanji dan karenanya mengikatkan diri kepada bank bahwa selama perjanjian berlangsung mulai dari perjanjian ini ditandatangani sampai dengan seluruh hutang dibayar lunas”, debitur berkewajiban untuk melaksanakan hal-hal sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 mengenai syarat-syarat umum dan melaksanakan hal-hal (affirmative covenant) sebagai berikut. i.



Ayat 1, “Menggunakan fasilitas kredit sesuai dengan tujuan penggunaan kredit.”



ii.



Ayat 5, “Menggunakan fasilitas kredit untuk kepentingan atau kebutuhan sesuai dengan tujuan penggunaan yang tercantum di dalam perjanjian.”



Dari kedua ketentuan ini, yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 dan perjanjian kredit yang telah ditandatangani oleh debitur, penulis berpendapat bahwa aturan telah ditetapkan dengan jelas melalui ketentuan PBI dan perjanjian kredit yang telah ditandatangani tersebut. Akan tetapi, aturan tersebut dilanggar oleh perilaku nyata manusia, dalam hal ini debitur, yang berada dalam sistem



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



143



hukum tersebut padahal secara yuridis formal, perjanjian kredit tersebut sah dan mengikat dengan adanya penandatanganan perjanjian tersebut oleh pihak-pihak penandatangan. Tanda tangan yang dibubuhkan pada perjanjian standar itu juga merupakan satu bukti bahwa yang bersangkutan atau pihak-pihak telah menyepakati tentang isi perjanjian itu atau dengan kata lain, di sini sudah ada unsur konsensualisme (kesepakatan), sehingga perjanjian itu mengikat pihak-pihak. Debitur telah melakukan wanprestasi, hal ini diperoleh setelah mengadakan wawancara yang dilakukan tanggal 10 Januari 2016 dengan pengelola debitur atau Relationship Manager (Jeffry)17, bahwa terjadi penyalahgunaan pemberian fasilitas kredit oleh debitur. PT XXX di dalam permohonan kreditnya merencanakan untuk meng-upgrade mesin produksi, peralatan, dan fasilitas pendukung produksi kertas. Investasi yang direncanakan ditujukan untuk meningkatkan kapasitas terpakai yang semula sebesar 7.800 ton/bulan pada tahun 2014 menjadi sebesar 9.300 ton/bulan pada tahun 2015 (berdasarkan proyeksi), sehingga realisasi produksi debitur pada tahun 2015 dapat melebihi dari realisasi produksi di tahun 2014 dan menghasilkan pendapatan yang meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Akan tetapi, setelah fasilitas kredit diberikan, realisasi produksi ternyata tetap tidak meningkat karena fasilitas kredit yang telah diberikan tidak dipergunakan untuk mengupgrade mesin tersebut, tetapi dipakai untuk keperluan lain, sehingga produksi kertas tidak sesuai dengan proyeksi dan hasil produksinya tidak dapat membayar kewajibannya. Hal ini tidak sesuai dengan covenant yang terdapat di dalam perjanjian kredit, di mana penggunaan kredit harus sesuai dengan perjanjian kredit yang telah dilakukan, dan juga menjadi gambaran bahwa struktur hukum tidak dijalankan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku. b. Penurunan kondisi keuangan debitur Faktor substansi hukum merupakan faktor yang terkait juga dengan penurunan kondisi keuangan, mengingat pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu merupakan faktor dari substansi hukum. Kondisi keuangan debitur



17



Jeffry, Relationship Manager, Wawancara pada Jakarta, 1 Februari 2017.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



144



merupakan akibat dari pengelolaan manajemen perusahaan yang tidak profesional yang dilakukan oleh pengurus atau personil dari debitur tersebut dan akibat dari keputusan atau kebijakan yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem. Penurunan kondisi keuangan ini berkaitan dengan ketidakpatuhan atas ketentuan yang telah dibuat atau yang telah diperjanjikan antara debitur dan kreditur, yang menyebabkan terjadinya penyimpangan dari perjanjian kredit. Penurunan kondisi keuangan memberikan indikasi terjadinya penurunan prestasi usaha atau kondisi keuangan tertentu, yaitu kondisi keuangan debitur semakin memburuk, sehingga tidak dapat membayar kewajibannya setiap bulan. Penyebab permasalahan ini terkait dengan hasil produksi yang tidak maksimal, yang mengakibatkan pendapatan hasil usaha debitur tidak dapat menutupi biaya produksi, sehingga menyebabkan kondisi keuangan debitur semakin memburuk dan tidak dapat membayar kewajibannya.



Tabel 7. Kinerja Keuangan PT XXX Periode Tahun 2013-2015.



Sumber: Data Primer, 2017 (diolah) Berdasarkan data yang diperoleh dari Relationship Manager dan hasil wawancara, diperoleh informasi bahwa sales atau penjualan perusahaan semakin menurun, yaitu dari Rp532,15 miliar di tahun 2014 menjadi Rp129,18 miliar di tahun 2015 dan persentase DER (Debt to Equiry Ratio) semakin meningkat yang menunjukkan komposisi total utang semakin besar dibandingkan dengan total modal sendiri, sehingga berdampak semakin besar beban perusahaan terhadap pihak luar (kreditur). Nilai EBITDA (Earning Before Interest and Tax) mencapai minus 30,61. Hal ini menunjukkan bahwa laba perusahaan semakin menurun. Semakin menurun laba,



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



145



maka semakin berbahaya bagi perusahaan. Hal ini dapat mengakibatkan kegiatan perusahaan berhenti. Sesuai dengan Pasal 10 Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum, kualitas kredit ditetapkan berdasarkan faktor penilaian sebagai berikut. i.



Prospek usaha;



ii.



Kinerja (performance) debitur; dan



iii.



Kemampuan membayar.



Berdasarkan ketentuan PBI di atas, debitur dapat diklasifikasikan sebagai kategori kredit bermasalah karena prospek usaha debitur semakin menurun akibat penjualan yang semakin menurun, yang menyebabkan kinerja dan kemampuan membayar semakin menurun. c. Penyajian Laporan Keuangan Secara Tidak Benar Penyajian laporan keuangan secara tidak benar termasuk dari aspek lain substansi, yaitu pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Kondisi keuangan debitur merupakan akibat dari pengelolaan manajemen perusahaan yang tidak profesional yang dilakukan oleh pengurus atau personil dari debitur tersebut, dan akibat keputusan atau kebijakan yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem. Kondisi debitur yang semakin menurun terlihat dari mutasi penjualan dari rekening giro debitur yang semakin menurun. Hal ini diungkapkan oleh Jeffry (Relationship Manager). Perfomance debitur yang awalnya terlihat baik terbukti semakin buruk setelah dilakukan analisis secara komprehensif dengan melakukan trade checking kepada rekanan bisnis debitur. Analisis menunjukkan bahwa pola usaha debitur bermasalah, banyak invoice (tagihan) yang diberikan oleh para supplier terlambat dibayar bahkan terjadi penunggakan. Akan tetapi, laporan keuangan debitur masih terlihat baik karena debitur tersebut sengaja menyembunyikan kesulitannya. Oleh karena itu, apabila bank tidak meneliti dengan cermat kondisi debitur, bank akan mendapatkan gambaran yang salah tentang kondisi keuangan debitur. d. Menurunnya Sikap Kooperatif Debitur



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



146



Bapak Fajar Setiadi menyampaikan bahwa saat ini debitur menunjukkan sikap nonkooperatif berupa keengganan debitur menyampaikan informasi keuangan yang diperlukan, termasuk menunda penyerahan neraca dan daftar laba atau rugi bulanan atau kuartalan atau tahunan. Debitur juga mencoba mengelak apabila Relationship Manager berencana mengadakan kunjungan (on the spot) kepada debitur. Pada kondisi ini, kunjungan secara tiba-tiba kepada debitur yang bermasalah dapat menjadi cara untuk melawan sikap tidak kooperatifnya debitur.18 Sikap debitur yang tidak kooperatif ini menunjukkan bahwa debitur mulai tidak patuh terhadap isi perjanjian kredit yang telah diperjanjikan. 3. Kultur (Budaya Hukum) Mengenai budaya hukum, Salim H. S. dan Erlies Septiana mengutip pendapat Lawrence M. Friedman sebagai berikut. “The third component of legal system, of legal culture. By this we mean people’s attitudes toward law and legal system their belief … in other word, is the climinate of social thought and social force which determines how law is used, avoided, or abused”.19 Berdasarkan pendapat Lawrence M Friedman di atas, kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap manusia (termasuk aparat penegak hukum) terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat, jika tanpa didukung budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat, penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif. Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau rekayasa sosial tidak lain hanya merupakan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh hukum itu. Untuk menjamin tercapainya fungsi hukum sebagai rekayasa masyarakat ke arah yang lebih baik, bukan hanya dibutuhkan ketersediaan hukum dalam arti kaidah atau peraturan, melainkan juga adanya jaminan atas perwujudan kaidah hukum tersebut ke dalam praktik hukum, atau dengan kata lain, jaminan akan adanya penegakan hukum (law



18 19



Fajar Setiadi, CBC Manager, Wawancara, Jakarta, 1 Februari 2017. Salim H. S. dan Erlies Septiana Nurbani SH., LLM., Penerapan Teori Hukum….



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



147



enforcement) yang baik. Jadi, bekerjanya hukum bukan hanya merupakan fungsi perundang-undangannya belaka, melainkan juga aktivitas birokrasi pelaksananya. Sementara itu, menurut Soerjono Soekanto, kebudayaan diartikan sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Penyebab kredit bermasalah bila dilihat dari perspektif budaya hukum terjadi karena praktik pengawasan terhadap debitur tidak dilakukan secara ketat, sehingga kondisi debitur tidak segera diantisipasi. Praktik pengawasan kredit harus menjadi budaya di Bank Mandiri, khususnya untuk pegawai yang berhubungan dengan kredit. Pada saat kredit itu diberikan kepada debitur, sejak saat itu juga pengawasan harus dilakukan secara intensif. Agar bisa dilakukan secara intensif, pengawasan itu harus dibudayakan atau budaya pengawasan tersebut harus menjadi karya, cipta, dan rasa kepada semua karyawan. Relationship Manager yang baik dapat melihat gejala-gejala penurunan debitur dari transaksi keuangan yang disalurkan ke bank. Apabila transaksi penerimaan atau keuangan mulai menurun dan tidak sesuai dengan proyeksi yang telah dianalisis sebelumnya, Relationship Manager yang menangani debitur tersebut harus segera bertindak dan menanyakan kepada debitur tersebut. Apabila debitur ketahuan tidak melaksanakan ketentuan covenant kredit, maka fasilitas tersebut segera di-freeze atau dibekukan terlebih dahulu sampai debitur dapat menjelaskan permasalahannya. Penjelasan ini disampaikan oleh Bapak Fajar Setiadi pada saat wawancara apakah kondisi debitur tidak dapat diantipasi penurunannya. Penulis berpendapat bahwa pengawasan ini harus dilaksanakan oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem perkreditan ini. Apabila budaya ini dijalankan dengan efektif, terjadinya kredit bermasalah akan bisa diantisipasi terlebih dahulu, sehingga perbaikan kualitas kredit dapat lebih mudah dilakukan.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



148



B. Analisis Kegagalan Pelaksanaan Hukum Anthony Allot mengemukakan tentang efektivitas hukum. la mengemukakan bahwa20 “Hukum akan menjadi efektif jika tujuan keberadaan dan penerapannya dapat mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan dapat menghilangkan kekacauan. Hukum yang efektif secara umum dapat membuat apa yang dirancang dapat diwujudkan. Jika suatu kegagalan, maka kemungkinan terjadi pembetulan secara gampang jika terjadi keharusan untuk melaksanakan atau menerapkan hukum



dalam



suasana



baru



yang



berbeda,



hukum



akan



sanggup



menyelesaikannya”. Konsep Anthony Allot tentang efektivitas hukum difokuskan pada perwujudannya. Hukum yang efektif secara umum dapat membuat apa yang dirancang dapat diwujudkan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Kedua pandangan di atas hanya menyajikan tentang konsep efektivitas hukum, tetapi tidak mengkaji tentang konsep teori efektivitas hukum. Dengan melakukan sintesis terhadap kedua pandangan di atas, dapat dikemukakan konsep tentang teori efektivitas hukum. Teori efektivitas hukum adalah: “Teori yang mengkaji dan menganalisis tentang keberhasilan, kegagalan, dan faktor-faktor yang mepengaruhi dalam pelaksanaan dan penerapan hukum.” Ada tiga fokus kajian teori efektivitas hukum, yaitu: a. keberhasilan dalam pelaksanaan hukum; b. kegagalan di dalam pelaksanaannya; dan c. faktor-faktor yang mempengaruhinya. Keberhasilan di dalam pelaksanaan hukum adalah bahwa hukum yang dibuat itu telah tercapai maksudnya. Maksud dari norma hukum adalah mengatur kepentingan manusia. Apabila norma hukum itu ditaati dan dilaksanakan oleh masyarakat maupun penegak hukum, pelaksanaan hukum itu dikatakan efektif atau berhasil di dalam implementasinya. Kegagalan di dalam pelaksanaan hukum adalah bahwa ketentuan-ketentuan hukum yang telah ditetapkan tidak mencapai maksudnya atau tidak berhasil di dalam 20



Ibid.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



149



implementasinya. Dalam kasus kredit bermasalah ini, perkembangan kondisi ekonomi atau bidang usaha yang tidak menguntungkan pada saat itu menyebabkan kredit bermasalah terjadi. Berdasarkan hasil wawancara dengan Relationship Manager (Jeffry), dijelaskan pada saat itu (tahun 2015), kondisi perekonomian dunia, khususnya di negaranegara Eropa, masih belum stabil akibat resesi dunia, meningkatnya inflasi, serta mahalnya harga dollar yang mempengaruhi debitur dalam memperoleh bahan baku untuk produksi. Akibat naiknya kurs dollar, terjadi penurunan jumlah hasil penjualan barang yang mereka produksi. Di samping itu, debitur mengalami kesulitan bahan baku karena banyak perusahaan penyedia bahan baku tidak bisa beroperasi dan memanfaatkan lahan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) yang mereka kuasai, yang menyebabkan hasil produksinya tidak maksimal, sehingga debitur tidak dapat menutupi biaya operasional seharihari. Selain itu, pada saat yang sama, harga jual kertas tidak bisa dinaikkan dengan adanya persaingan harga dengan kompetitor. Hal ini menyebabkan debitur sulit dalam memenuhi kewajibannya kepada bank, sehingga efektivitas hukum tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.



III. Penutup Berdasarkan uraian dan analisis di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut. Faktorfaktor penyebab kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) di Bank Mandiri Unit Commercial Banking Centre Jakarta Jakarta Iskandarsyah adalah: a. adanya penyimpangan dari ketentuan perjanjian kredit; b. penurunan kondisi keuangan debitur; c. penyajian laporan keuangan secara tidak benar; d. penurunan sikap kooperatif debitur; e. perkembangan kondisi ekonomi atau bidang usaha yang tidak menguntungkan; f. praktik pengawasan terhadap debitur yang tidak dilakukan secara ketat, sehingga debitur melanggar covenant kredit yang sudah ditetapkan; dan



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



150



g. kurangnya kapabilitas sumber daya manusia yang menangani perkreditan. Jika ditinjau dari teori efektivitas hukum menurut Lawrence M Friedman dan Soerjono Soekanto, efektifnya penyebab kredit bermasalah disebabkan hal-hal sebagai berikut. a. Struktur adalah pola yang menunjukkan tentang bagaimana hukum dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur ini menunjukkan bagaimana pengadilan, pembuat hukum, dan badan serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan. Dalam kredit bermasalah ini, struktur yang terkait adalah bank yang dalam hal ini PT Bank Mandiri (Persero), Tbk Unit Commercial Banking Centre Jakarta Iskandarsyah sebagai kreditur dan Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga regulator dan pengawas perbankan. Masing-masing stakeholder ini saling terkait satu sama lain, sehingga dapat menentukan apakah pelaksanaan penegakan hukum dapat berjalan dengan efektif atau tidak. b. Substansi hukum menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum. Dalam kasus kredit macet, ketentuan yang mengatur adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum dan perjanjian kredit yang telah ditandatangani oleh debitur, tetapi dilanggar oleh perilaku nyata manusia atau debitur yang berada dalam sistem hukum tersebut. Perilaku yang dimaksud adalah sikap debitur yang memberikan laporan keuangan yang tidak benar dan bersikap tidak kooperatif. Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap manusia (termasuk aparat penegak hukum) terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat, jika tanpa didukung budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat, penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif. Praktik pengawasan kredit



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



151



harus menjadi budaya di Bank Mandiri, khususnya untuk pegawai yang berhubungan dengan kredit. Pada saat kredit itu diberikan kepada debitur, sejak saat itu juga pengawasan harus dilakukan secara intensif. Agar bisa dilakukan secara intensif, pengawasan itu harus dibudayakan atau budaya pengawasan tersebut harus menjadi karya, cipta, dan rasa kepada semua karyawan.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



152



DAFTAR PUSTAKA



Buku A. Sawir. Analisis Kinerja Keuangan dan Perencanaan Keuangan Perusahaan. Jakarta: PT Gramedia, 2005. Dahlan Siamat. Manajemen Lembaga Keuangan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Indonesia, 2004. Hermansyah. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005. Kasmir. Manajemen Perbankan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. M. Yahya Harahap. Segi-Segi Hukum Perjanjian, Cet 2. Bandung: Alumni, 1986 Remy Sjahdeini, Sutan. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993. R. Ginting. Pengaturan Pemberian Kredit Bank Umum: Diskusi Hukum Aspek Hukum Perbankan, Perdata, dan Pidana terhadap Pemberian Fasilitas Kredit dalam Praktik Perbankan di Indonesia. Bandung: 2005. Soekanto, Soerjono. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014. Soerjono Soekanto. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. Rajawali Pers, Jakarta: 1983. Sutarno. Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank. Bandung: Alfabeta, 2005. Salim HS. Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika, 2003. Sutojo, Siswanto. Strategi Manajemen Kredit Bank Umum: Konsep, Teknik dan Kasus. Jakarta: Damar Mulia Pustaka, 2000.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



153



Salim HS, Erlies Septiana Nurbani. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014. YLBHI dan AusAID. Panduan Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta: Edisi 2014, Yayasan Obor Indonesia, 2014.



Dokumen-Dokumen Hukum Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). ________. Undang-Undang tentang Perbankan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. LN Tahun 1992 No. 31. TLN No. 3472. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995. Kebijakan Perkreditan Bank Mandiri. 2011. Data Internal Bank Mandiri, Maret 2016.



Internet Otoritas



Jasa



Keuangan.



Diakses



tanggal



10



Maret



http://www.ojk.go.id/id/Pages/FAQ-Otoritas-Jasa-Keuangan.aspx.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



2016.



154



BIODATA PENULIS



Penulis bernama Feryzal Putra yang lahir di Palembang pada tanggal 20 Januari 1971. Saat ini penulis bekerja di PT Bank Mandiri (Persero),Tbk dan berkedudukan sebagai Transaction Banking Manager – Transaction Banking Wholesale Region 5, Sudirman, Jakarta. Penulis pernah



menempuh



pendidikan



Magister



Management Universitas Gajah Mada Tahun 2007 serta Magister Kenotariatan Universitas Brawijaya Tahun 2017.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



155



REKONSTRUKSI ASEAN INTERGOVERNMENTAL COMMISSION ON HUMAN RIGHTS (AICHR): UPAYA MEMPERKUAT PERLINDUNGAN HAM DI ASIA TENGGARA Ratu Durotun Nafisah1



Abstract The mandates and function of ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) has limited its movement to work effectively in responding the violation of human rights in Southeast Asia Region. Many cases reported to the institution were left without response. Hence, there is a clear urgency to reconstruct AICHR to be an effective human rights regional mechanism. Using the literature study and research, this paper will examine the solution to strengthen the protection function of this institution by reconstrucing the aspects of subtances and structure. Keywords: AICHR, human rights, regionalism, southeast asia.



1



Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran angkatan 2014. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail: [email protected].



VOLUME 7, NO.1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



156



I. Pendahuluan Phil Robertson pernah melontarkan kritik yang tajam pada AICHR, ia menyatakan “AICHR has 'done next to nothing', it's a joke, it's a human rights organization in name only and having no significat impact whatsoever on the ground”.2 Kritik tersebut diberikan bukan tanpa alasan, keberadaan AICHR saat ini memang jauh dari spirit perlindungan HAM yang sejatinya dilakukan oleh suatu mekanisme HAM regional. ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) dibentuk pada tahun 2009 sebagai komisi yang bertugas untuk mempromosikan dan melindungi HAM di wilayah regional Asia Tenggara. 3 Pembentukan AICHR merupakan respon ASEAN terhadap permasalahan HAM baik di kawasan domestik negara anggota ataupun yang melibatkan antar negara anggota satu dengan yang lain. Keberadaan lembaga ini memang setidaknya menunjukan langkah yang mulai diambil oleh ASEAN untuk memperkuat kerjasama dalam promosi dan perlindungan HAM, melihat kurang populernya isu HAM di kawasan Asia Tenggara dibanding regional lain seperti Amerika, Afrika dan Eropa yang telah terlebih dahulu memiliki mekanisme HAM regionalnya sendiri. 4 Dalam Terms of Reference AICHR (ToR AICHR) yang menjadi dasar pengaturan mandat,5 dijelaskan bahwa fungsi AICHR adalah untuk mempromosikan serta melindungi HAM dan kebebasan fundamental masyarakat ASEAN, menjunjung hak masyarakat ASEAN untuk hidup secara damai, bermartabat, dan sejahtera, mewujudkan tujuan organisasi ASEAN sebagaimana tertuang dalam Piagam ASEAN, serta menjaga stabilitas dan harmoni di kawasan regional Asia Tenggara.



2



Sarah M. J. Muzart, Unveiling the Invisibility Cloak (Boca Raton: Universal-Publishers, 2012), hlm. 48. 3 Hsien-Li Tan, The Asean Intergovernmental Commission on Human Rights: Institutionalising (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), hlm. 254. 4 Wahyudi Djafar dkk, Laporan Penelitian: Memperkuat Perlindungan Hak Asasi Manusia di ASEAN (Jakarta: International NGO Forum on Indonesian Development dan ICCO, 2014), hlm. 9. 5 Ibid., hlm. 25.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



157



Dalam ToR tersebut terdapat penegasan bahwa dalam menjalankan fungsinya AICHR harus tetap mempertimbangkan karakteristik, perbedaan sejarah, budaya, dan agama di masing-masing negara, serta menjaga keseimbangan hak dan kewajiban. Lebih jauh lagi, juga mengatur bahwa badan konsultatif tersebut harus tetap berpegangan pada prinsip non-intervensi terhadap permasalahan internal negara anggota. Pengaturan demikian selanjutnya menuai berbagai kritik karena dianggap justru akan membatasi AICHR untuk menjalankan perannya secara efektif. Belum lagi, AICHR tidak memiliki fungsi investigasi maupun menerima petisi individual, tetapi hanya terbatas pada peningkatan kesadaran publik, melakukan promosi HAM melalui riset, serta pendidikan dan pemberian informasi. Adapun fungsi dalam hal penangangan konflik, hanya terbatas pada konsultasi. 6 Terbatasnya fungsi tersebut berdampak pada kurang responsifnya AICHR dalam penentasan kasus pelanggaran HAM di wilayah negara anggota ASEAN, misalnya pada kasus penangkapan 13 aktivis perempuan di Kamboja pada tahun 2013 yang memperjuangkan hak ganti rugi akibat penggusuran di kawasan danau Boeung Kak yang semula merupakan tempat tinggalnya, serta terhadap kasus pembantaian 58 orang di Filipina dalam konvoi kelompok politik tertentu untuk kepentingan Pemilu, kasus penghilangan paksa yang diduga dilakukan oleh pemerintah Laos terhadap Sombath Somphone seorang aktivis pembangunan dan lingkungan, hingga pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya di Myanmar yang telah berlangsung bertahun-tahun telah menelan ribuan jiwa. 7 Kasus-kasus tersebut merupakan segelintir dari banyaknya kasus pelanggaran HAM lain yang tidak direspon oleh AICHR. Melihat fungsi AICHR yang begitu terbatas, semakin melunturkan harapan masyarakat ASEAN untuk mendapat perlindungan HAM terutama ketika negaranya sendiri lalai memberikan perlindungan tersebut. Dengan demikian, dirasa perlu adanya rekonstruksi terhadap mandat, fungsi maupun tugas dari



6 7



Ibid. Ibid., hlm. 44.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



158



AICHR demi mewujudkan mekanisme HAM regional yang efektif dan berpegangan pada keadilan subtantif, sehingga keberadaanya dengan tujuan untuk menjunjung hak asasi manusia masyarakat ASEAN tidak sebatas nama dan bersifat semu semata.



II. Isi Dalam bagian ini penulis membagi pembahasan ke dalam beberapa bagian sub bab, yaitu; a) penegakan HAM dalam perspektif Regionalisme; b) konsep Universalime dalam HAM; c) kelemahan AICHR sebagai mekanisme HAM regional ASEAN; d) perbandingan dengan mekanisme HAM regional lain; e) rekonstruksi AICHR sebagai upaya memperkuat perlindungan HAM di Asia Tenggara. Penulis akan terlebih dahulu meninjau secara teoritis konsep penegakan HAM dalam perspektif regionalisme agar adanya pemahaman mengapa mekanisme HAM regional khususnya di ASEAN sejatinya perlu memegang peran yang strategis. Selanjutnya, akan dikaji pula secara teoritis paham universalisme dan partikularisme dalam HAM serta mengkontekstualkannya dengan paham yang dianut ASEAN. Setelah itu, secara praktik akan dilihat bagaiamana efektivitas kinerja AICHR saat ini melalui perbandingan dengan mekanisme HAM regional lain. Pada bagian akhir, penulis akan menyampaikan gagasan-gagasan bentuk rekonstruksi yang dapat dilakukan demi membangun mekanisme HAM regional ASEAN yang lebih responsif dan efektif. A. Penegakan HAM dalam Perspektif Regionalisme Tanggung jawab ASEAN terkait maraknya pelanggaran HAM di beberapa negara di wilayah Asia Tenggara dan sikap yang seharusnya diambil untuk mengatasi masalah tersebut dapat ditinjau dari perspektif regionalisme. Regionalisme merupakan sebuah paham atau kecenderungan suatu negara untuk menjalin kerjasama dengan negara dan aktor bukan negara yang ada disekitarnya, di dalam regionalisme terdapat proyek dan kebijakan yang disepakati bersama dalam



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



159



menyusun strategi di wilayah tertentu.8 Perspektif regionalisme dalam penegakan HAM berarti kecenderungan negara-negara dalam wilayah regional tertentu untuk merespon isu-isu HAM di wilayah regionalnya. Regionalisme dalam penegakan HAM sering direpresentasikan dengan keberadaan mekanisme HAM regional yang biasanya diamanatkan suatu deklarasi HAM untuk menjalankan fungsi perlindungan dan penentasan kasus pelanggaran HAM yang berkenaan dengan negara-negara di wilayah regional tersebut. Menurut Dinah L. Shelton, sistem regional dalam HAM muncul karena adanya perhatian global terhadap HAM setelah berakhirnya Perang Dunia II, meluasnya banyak pergerakan di berbagai wilayah telah mendorong dibentuknya organisasi regional yang menjadikan aspek HAM sebagai salah satu agendanya. 9 Adapun alasan mengapa mekansime HAM regional dibentuk dan banyak dipilih oleh berbagai negara adalah karena mekansime ini dianggap lebih efektif, melihat kedekatan negara-negara di suatu wilayah dengan kesamaan dalam aspek politik, budaya, ekonomi dan sosial, sehingga negara memiliki keterikatan tertentu yang membuatnya lebih mudah untuk tunduk pada aturan-aturan yang disepakati. 10 Keberadaan dari mekanisme HAM regional tidak perlu dipandang akan saling bersinggungan dengan mekanisme HAM yang dimiliki Perserikatan BangsaBangsa (PBB) saat ini. Bahkan PBB sendiri mendorong perkembangan dari keberadaan human right treaties, komisi, bahkan pengadilan di setiap regional. 11



Adapun fungsinya adalah sebagai complement atau pelengkap dari mekanisme



HAM di tubuh PBB. 12



8



Christoph Schreuer, "Regionalism v. Universalism," European Journal of International Law (1995), hlm. 477, diakses pada 15 April 2016, http://www.ejil.org/pdfs/6/1/1308.pdf. 9 Dinah Shelton and Paolo G. Carozza, Regional Protection of Human Rights (New York: Oxford University Press, 2013), hlm. 11. 10 Robin Ann Lukes, "Regional Human Rights Regime: A Comparison and Appraisal," Vanderbilt Journal of Transnational Law, Vol. 20 (1987), hlm. 589; Carole J. Petersen, "Bridging the Gap?: The Role of Regional and National Human Rights Institutions in the Asia Pacific,” AsianPacific Law & Policy Journal, Vol. 13:1 ( 2011): hlm. 184. 11 Ibid. 12 Ibid.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



160



B. Konsep Universalisme dan Relativisme dalam HAM Universalisme (universalism) dan relativisme budaya (cultural relativism) sering saling dipertentangkan satu sama lain. Universalisme berangkat dari konsep hukum alam beranggapan bahwa hak asasi bersifat fundamental yang harus bernilai sama, sehingga terlepas dari nilai, norma, kebiasaan ataupun budaya suatu bangsa, hak asasi yang dianut sebagai suatu kebenaran bagi pemenuhan kebutuhan individu haruslah bersifat universal. 13 Sebaliknya, relativisme budaya beranggapan bahwa hak asasi harus dipandang sesuai dengan konteks kebudayaan masing-masing negara yang tidak jarang berbeda satu sama lain. Relativisme budaya muncul sebagai kritik terhadap universalisme yang dianut negara-negara barat.14 Deklarasi HAM ASEAN sendiri menganut konsep yang kedua, yakni relativisme budaya, deklarasi tersebut mengindikasikan bahwa setiap negara perlu mempertimbangkan perlindungan HAM berdasarkan konteks budayanya masingmasing serta tetap menghargai kedaulatan negara anggota, selain itu terdapat pula prinsip non-intervensi yang membuat negara anggota tidak dapat ikut campur terhadap permasalahan perlindungan HAM yang dilakukan oleh negara anggota lain. 15 Dianutnya prinsip demikian dalam Deklarasi HAM ASEAN selanjutnya sangat berpengaruh terhadap mandat yang dimiliki AICHR sebagai mekanisme HAM regional ASEAN. C. Kelemahan AICHR sebagai Mekanisme HAM Regional ASEAN Berdasarkan Laporan Penelitian International NGO Forum On Indonesia Development (INFID) pada tahun 2014, terdapat banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi di kawasan Asia Tenggara yang tidak direspon oleh AICHR. Jika



13



Azizur Rahman Chowdhury dan Md. Jahid Hossain Bhuiyan, An Introduction to International Human Rights Law (Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2010), hlm. 9. 14 Pranoto Iskandar, Hukum HAM Internasional Sebuah Pengantar Konseptual (Cianjur: IMR Press, 2010), hlm. 367. 15 Attilio Pisanò, "Human Rights and Sovereignty in the ASEAN Path Towards a Human Rights Declaration,” Human Rights Review, Vol. 15: Issue 4 (2014), hlm. 391.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



161



respon diberikan, hal itu tidak memberi dampak signifikan terhadap penentasan kasus. Tidak adanya respon AICHR terhadap banyak kasus pelanggarana HAM yang dilaporkan padanya terjadi karena terbatasnya mandat dan fungsi yang ia miliki. Secara umum AICHR memiliki dua fungsi utama yakni promosi dan proteksi HAM yang diejawantahkan setidaknya ke dalam empat bentuk yakni standart setting, promotion and education, protection, dan reporting.16 Standart setting salah satunya dalam bentuk meningkatkan kapasitas negara-negara anggota untuk dapat memenuhi kewajiban perjanjian HAM dan mendorong negara anggota untuk meratifikasi atau mengaksesi instrumen HAM internasional. Promotion and education berupa meningkatkan kesadaran publik di ASEAN terhadap HAM melalui pendidikan, riset atau penelitian ilmiah, memberikan konsultasi dan dialog atas permasalahan HAM kepada badan lain di ASEAN, institusi nasional suatu negara ataupun organisasi masyarakat sipil. Protection dalam bentuk adanya kajian tentang isu HAM di wilayah Asia Tenggara dan adanya informasi yang didapat dari negara anggota dalam hal perlindungan HAM. Terakhir yakni reporting berupa pemberian laporan kegiatan ataupun laporan lain jika diperlukan kepada Menteri Luar Negeri ASEAN. Terlihat dari mandat dan fungsi yang dijelaskan di atas, AICHR lebih fokus pada promosi HAM dalam bentuk adanya edukasi dan penelitian tertentu, namun dalam hal perlindungan HAM hanya terbatas pada konsultasi dan dialog, yang bahkan pada faktanya hal demikian sangat jarang dilakukan. Begitupun dengan fungsi reporting juga tidak dijalankan dengan baik, kinerja AICHR dapat dikatakan kurang akuntabel dan transparan, bahkan AICHR’s five year work plan yang direncanakan pada tahun 2010 sendiri gagal untuk diplubikasikan, 17 hal demikian semakin membuat publik bertanya-tanya atas kinerja AICHR. Mekanisme HAM yang ideal sejatinya harus sesuai dengan standar internasional baik dalam mempromosikan dan melindungi HAM. Mekanisme HAM yang ideal 16



Wahyudi Djafar dkk, Laporan Penelitian…, hlm. 29-30. Alan Collins, Building a People-Oriented Security Community the ASEAN way (London: Routledge, 2013), hlm. 101. 17



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



162



tersebut dikenal dengan human right mechanism with a protection mandate, protection mandate disini dianggap ideal karena mampu untuk mengkritisi tindakan negara secara tegas atas pelanggaran HAM dan bahkan mengadili hingga meminta pertanggungjawaban negara jika terbukti adanya kesengajaan atau kelalaian yang dilakukan negara sehingga melanggar HAM individu ataupun kelompok. 18 D. Perbandingan dengan Mekanisme HAM Regional Lain Atas kelemahan-kelemahan AICHR tersebut, sejatinya kita dapat berkaca pada praktik mekanisme HAM di regional lain, seperti Eropa, Amerika dan Afrika yang telah lebih dahulu memiliki mekanisme HAM di regionalnya masing-masing. 1.



The European Human Rights System



Di regional Eropa, negara-negara mendasarkan kewajiban promosi dan perlindungan HAM pada European convention on Human Rights and Fundamental Freedoms yang mulai berlaku pada tahun 1953. Konvensi ini mengatur remedy atau pemulihan terhadap pelanggaran HAM yang mengikat negara-negara anggota.19 Sebelumnya, Eropa memiliki baik komisi maupun pengadilan sebagai mekanisme HAM regionalnya, namun saat ini hanya terdapat The European Court of Human Rights. Pengadilan HAM Eropa dapat menyelesaikan dua perkara yakni individual complaint dan inter-state complaint.20 Individual complaint berarti pengaduan yang berasal dari individu atas pelanggaran yang dilakukan negara terhadapnya. Pengaduan ini hanya dapat dilakukan jika terdapat kerugian yang signifikan yang dialami individu tersebut (significant disadvantage) dan jika telah ditempuh segala jalur hukum di ranah domestik negara dari mana ia berasal (exhaustion of local remedy). Sedangkan inter-state complaint merupakan pengaduan negara atau beberapa negara terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara anggota lain.



Adapun



bentuk



putusan



dari



pengadilan



ini



biasanya



meminta



pertanggungjawaban negara dalam bentuk reparasi seperti kompensasi, rehabilitasi,



18



Ibid., hlm. 102. Fekadeselassie F. Kidanemariam, “Enforcement of Human Rights under Regional Mechanisms: a Comparative Analysis,” LLM Theses and Essays University of Georgia School of Law 1-1 (2006), hlm. 12. 20 Ibid., hlm. 19. 19



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



163



restitusi ataupun permintaan untuk mengubah atau mencabut kebijakan negaranya yang terbukti bertentangan dengan perlindungan HAM. 2. The Inter-American Human Rights System Berbeda dengan Eropa yang mekanisme HAM regionalnya bergantung pada pengadilan HAM, mekansime HAM Inter-Amerika memiliki baik komisi maupun pengadilan. Komisi yakni Inter-American Commission on Human Rights dan pengadilan yakni Inter-American Court of Human Rights.21 Adapun perbedaan kewenangan dari keduanya adalah, Komisi HAM Inter-Amerika berfungsi secara umum untuk meningkatkan kesadaran publik terkait HAM, memberikan rekomendasi atas isu HAM negara, membuat laporan tahunan atas kinerja HAM serta memberikan konsultasi kepada negara jika diminta. Selain itu, komisi ini juga memiliki kewenagan tambahan yakni menindaklanjuti petisi individu ataupun kelompok yang merasa haknya dilanggar oleh negara anggota Organization of American States (OAS), petisi tersebut hanya dapat diterima jika semua jalur hukum domestik telah terpenuhi (exhaustion of local remedy), komisi juga bisa meminta respon dari pengadilan terhadap situasi darurat demi mencegah adanya pelanggaran HAM yang berkelanjutan. 22 3.



The African Human Rights System



Mekanisme HAM regional di Afrika berawal dari African Charter on Human Rights and Peoples’ Rights serta lahir di bawah badan regional yakni African Union. Seperti halnya Inter-Amerika, Afrika memiliki komisi dan pengadilan, dalam hal ini The African Commission of Human Rights dan The African Court of Human Rights. Adapun komisinya memiliki fungsi sebagai berikut :23 “The Commission has jurisdiction over the rights set out in the African Charter. Its duties include examining national reports on the situation of human rights which each State is required to submit 21



Ibid., hlm. 18. Lawrence J. LeBlanc, The OAS and the Promotion and Protection of Human Rights, (The Hague: Martinus Nijhoff Publishes, 1977), hlm. 138. 23 “African Commission on Human and Peoples Rights,” The African Comission Mandates (2013), diakses pada tanggal 30 Maret 2017, https://www.opensocietyfoundations.org/sites/default/files/fact-sheet-african-commission-humanpeoples-rights-20130627.pdf. 22



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



164



every other year, adopting resolutions and declarations, country visits, and adjudicating communications (complaints) submitted by Member States, individuals, and NGOs.” Dari penjelasan di atas, dikatakan bahwa Komisi HAM Afrika ini memiliki tugas untuk menilai laporan setiap negara terkait situasi HAM di negaranya masingmasing, melakukan kunjungan, serta mengkomunikasikan dan mengakomodasi pengaduan dari negara anggota, indivudu maupun NGO. Sedangkan Pengadilannya sendiri berfungsi menerima pengaduan atau keluhan dari Komisi HAM Afrika, atau dari suatu negara anggota Uni Afrika terhadap negara anggota lain, atau dari suatu negara anggota UA yang mewakili individu yang merasa jadi korban yang tetap berpegangan pada prinsip exhaustion of local remedy24, komisi ini memiliki mandat opsional yakni menerima pengaduan atau keluhan dari NGO yang mewakili korban seorang individu. Jika dibandingkan antara mekansime HAM regional yang dimiliki AICHR dengan ketiga mekanisme HAM regional di atas, dapat kita temukan perbedaan yang signifikan antara ketiganya dengan AICHR. Pertama, ketiga regional di atas memiliki Pengadilan HAM-nya sendiri disamping komisi, bahkan Eropa saat ini telah mengintegrasikan komisinya dan menjadi hanya memiliki pengadilan. Tidak dimilikinya pengadilan HAM oleh ASEAN sebagai bentuk dari mekanisme HAM regional akan berpengaruh pada efektivitas penentasan pelanggaran HAM di negara-negara anggota ASEAN. Pengadilan dibutuhkan di tingkat regional sebagai respon jika semua jalur hukum di tingkat domestik telah ditempuh individu dan permasalahan atas pelanggaran HAM yang terjadi padanya tetap belum terselesaikan, selain itu pengadilan menjadi jauh lebih efektif karena memiliki putusan yang bersifat mengikat untuk pemulihan individu yang hak-nya terlanggar. Kedua, komisi pada mekanisme regional lain dapat menerima petisi individu dan melakukan investigasi hingga rekomendasi atas pelanggaran yang dilakukan negara. Sedangkan AICHR tidak memiliki fungsi demikian, bahkan banyaknya laporan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh beberapa kelompok pun tidak 24



Vincent Obisienunwo Orlu Nmehielle, The African Human Rights System: Its Laws, Practice, and Institutions (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 2001), hlm. 219.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



165



mendapatkan respon, apalagi ditindaklanjuti dengan investigasi atau adanya bentuk rekomendasi. Ketiga, komisi lain lebih tegas dalam hal kewajiban memberikan laporan atau transparansi terkait isu HAM di negara anggota, sedangkan di AICHR laporan demikian bahkan tidak menjadi kewajiban bagi negara anggota. Selain itu di regional lain, komisi dapat meminta klarifikasi jika terdapat isu pelanggaran HAM di negara anggota, berbeda dengan AICHR yang berdasarkan prinsip nonintervensi, klarifikasi demikian oleh AICHR akan sulit untuk dilakukan. Terbukti dengan berangsung-angsurnya sudah ketegangan konflik di Myanmar terhadap etnis Rohingya. E. Rekonstruksi AICHR sebagai Upaya Memperkuat Perlindungan HAM di Asia Tenggara Rekonstruksi dari suatu lembaga, apalagi dengan ruang lingkup luas yang mengatur hubungan antar negara tidak akan mudah. Setiap negara memiliki kepentingannya masing-masing yang bisa menyulitkan diraihnya suatu konsensus yang nantinya mengikat setiap negara terkait. Dalam merekonstruksi AICHR, terdapat tantangan-tantangan tertentu yang harus dipahami, namun keberadaan tantangan tersebut bukan berarti tidak memberi celah pada kesempatan yang membuat rekonstruksi ini dapat dilakukan. 1. Tantangan dalam Rekonstruksi AICHR Dalam bukunya, Hsien-Li Tan, menjelaskan setidaknya terdapat tiga ciri utama yang menandakan perspektif ASEAN terhadap HAM, yakni : 25 (a) ‘Asian values’, the need to accept the justifiable demands of cultural particularities with respect to human rights and discount those which are merely excuses for continued violations; (b) the predominance of state sovereignty; and (c) the transformative power of regional and domestic rights movements.



25



Hsien-Li Tan, The Asean Intergovernmental Commission on Human Rights, hlm. 6.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



166



Asian Values yang mendasarkan pada pemahaman bahwa terdapat suatu kekhasan atau perbedaan konteks budaya yang akan berpengaruh pada nilai HAM yang dianut, dominannya kedaulatan negara, kekuasaan transformatif regional serta hak pergerakan domestik dalam negeri. Tiga ciri di atas jelas direpresentasikan dalam perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh negara-negara ASEAN, kita mengenal betul adanya prinsip non-intervensi dan penghargaan terhadap kedaulatan negara serta penghargaan terhadap perbedaan budaya, sosial, dan agama masing-masing negara. Adanya perspektif demikian yang telah melekat bahkan dikenal sebagai identitas dari ASEAN akan menyulitkan rekonstruksi mekanisme HAM regional ASEAN saat ini. ASEAN sebagai suatu wadah regional di Asia Tenggara, memang bersifat unik, karena setiap negara memiliki karakteristik budaya yang berbeda-beda serta dimensi kestabilan ekonomi, sosial dan politik yang berbeda-beda pula. Artinya, akan sulit untuk mencapai suatu konsensus yang dapat diterima semua pihak dan bersifat ideal, terutama dalam masalah HAM yang menjadi isu sensitif bagi setiap negara ASEAN. Berbeda dengan regional lainnya, kedewasaan dalam perlindungan HAM terbilang baru bagi ASEAN, bahkan sampai saat ini negara seperti Brunei, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam masih sering dikritik atas kurang terbuka dan demokratisnya pemerintahan negara tersebut serta kurangnya prosedur pengaturan domestik yang ramah dan berorientasi pada HAM. 26 Artinya, kesadaran suatu negara terhadap promosi dan perlindungan HAM memang akan sangat dipengaruhi oleh kedewasaan negara tersebut dalam berpolitik. Hal itu sangat erat kaitannya dengan pengalaman masing-masing negara secara historis. Indonesia misalnya, setelah dibungkam selama lebih dari 30 tahun oleh masa Orde Baru yang tidak ramah terhadap HAM, baru ketika gejolak di masyarakat semakin meningkat sehingga muncul reformasi, kesadaran atas HAM mulai dibangun. Masalahnya dalam konteks ASEAN, proses kedewasaan satu negara dengan yang



26



Ibid., hlm. 39; Andrew Byrnes, Mika Hayashi, and Christopher Michaelsen, International Law in the New Age of Globalization (Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2013), hlm. 197.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



167



lainnya berbeda-beda atau tidak terjadi disaat yang bersamaan, sehingga bahkan sampai saat ini HAM masih menjadi isu yang sangat sensitif di beberapa negara ASEAN. 2. Rekonstruksi Dalam Aspek Subtansi dan Struktur Hukum Tidak dapat kita pungkiri bahwa AICHR jauh dari sempurna dibandingkan mekanisme HAM regional lain. Meskipun demikian, adanya inisiasi pembentukan AICHR yang dalam ToRnya menyinggung beberapa instrumen hukum internasional patut dihargai. Artinya, negara-negara ASEAN mulai terbuka pada “Western concept” yang sering mereka anggap tidak sesuai dalam konteks ASEAN. Mulai berkembangnya konsep HAM yang bersifat universal di kalangan negara-negara ASEAN tidak lepas dari perkembangan modernisasi dan globalisasi yang menuntut negara untuk saling berhubungan hingga lintas regional, sehingga negara-negara ASEAN mulai meresap nilai-nilai dari negara lain terutama Barat yang dianggap baik dan relevan untuk diterapkan. Selain itu, terbukti pula dengan negara-negara anggota ASEAN yang telah meratifikasi ataupun mengaksesi instrumen-instrumen hukum HAM internasional sehingga dapat mengikat negaranya. 27 Melihat salah satu perkembangan positif demikian, rekonstruksi AICHR seharusnya bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan. Adapun penguatan AICHR dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut. a. Merekonstruksi Legal Subtance Dalam merekonstruksi sisi subtansi hukum, penulis mengagas dua aspek yang harus diperbaiki, sebagai berikut: i. Mendefinisikan Ulang Prinsip Non-intervensi (redefining non-interference principle) Terkait penguatan secara subtansi hukum, ASEAN perlu menegaskan makna prinsip non-intervensi, dalam hal ini penulis sebut sebagai redefining nonintervention principle atau mendefinisikan ulang prinsip non-intervensi dari pendekatan terhadap makna yang non-intervensi yang tradisional menuju makna non-intervensi yang progresif sesuai dengan tuntutan perlindungan HAM saat 27



Georg Wiessala, Re-Orienting the Fundamentals: Human Rights and New Connections in EU-Asia Relations, (London: Routledge, 2016), hlm. 67.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



168



ini. 28 Artinya, ASEAN perlu membatasi “to what extent?” atau sejauh apa negara dapat berpegangan pada prinsip tersebut serta dalam hal apa negara diperbolehkan dan tidak diperbolehkan untuk menggunakan prinsip tersebut. Hal ini penting agar tidak ada negara yang dapat melegitimasi kesewenangwenangannya yang merugikan warga negaranya sendiri. Dalam konteks HAM, prinsip non-intervensi tidak dapat disamakan dengan aspek domestik lainnya seperti ekonomi, budaya atau sosial. Hukum HAM internasional sendiri mengatur bahwa HAM bersifat universal dan bahkan human right treaties bersifat jus cogens dan erga omnes artinya berlaku secara umum untuk semua pihak dan tidak dapat disimpangi. 29 Menjadi tidak relevan, jika ASEAN bungkam terhadap pelanggaran HAM yang nyata-nyata terjadi di wilayah regionalnya sendiri dengan mengatasnamakan prinsip non-intervensi. Atas gagasan tersebut, Shaun Narine pernah berpendapat bahwa gagasan seperti itu akan sulit untuk direalisasikan, disebabkan menurutnya ASEAN saat ini cenderung berpegangan pada komitmen secara historis untuk memelihara prinsip kedaulatan dan non-intervensi yang telah lama mengakar menjadi bagian dari ASEAN itu sendiri, pun komitmen untuk mempertahankan ini menurutnya lebih kuat dibanding tekanan untuk perubahan.30 Namun selanjutnya, ia menjelaskan bahwa perubahan makna prinsip non-intervensi dapat saja terjadi, hanya jika ada dorongan yang kuat untuk itu dari negara-negara anggota. Penulis berpendapat bahwa untuk merealisasikan ini dibutuhkan konsensus matang dari negara-negara anggota, secara politik hal ini memang akan sulit karena setiap negara akan berpegangan pada interest nya masing-masing, namun bukan berarti perubahan menjadi tidak mungkin untuk terjadi di kemudian hari. Perlu adanya negara yang memulai inisiasi atau dialog atas isu ini beserta



28



N. John Funston, ASEAN and The principle of Non-Interventio: Practice and Prospects, (Institute of Southeast Asian Studies, 2000), hlm. 9. 29 Andrea Bianchi, “Human Rights and the Magic of Jus Cogens,” The European Journal of International Law, Vol 19 (2008): hlm. 491. 30 Shaun Narine, Asia, ASEAN and the Question of Sovereignty: The Persistence of NonIntervention in the Asia-Pacifif, diedit oleh Mark Beeson dan Richard Stubbs, Routledge Handbook of Asian Regionalism, (London: Routledge, 2012), hlm. 156.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



169



dukungan dari masyarakat ASEAN itu sendiri sehingga akan memunculkan berbagai perspektif yang membuka gerbang pada perubahan. Berkaca pada kondisi saat ini, sebaliknya Mieke Molthof lebih optimis dibanding Shaun Narine, ia justru menangkap sinyal positif atas gagasan redefinisi dari prinsip non-intervensi, menurutnya: 31 “With its new policy of allowing for public criticism of other states affairs where regional security is at stake, together with a more assertive stance on human rights, ASEAN has moved beyond its traditional non-interference approach.” ii. Memperbaiki Subtansi AICHR Terms of Reference ToR AICHR menjadi landasan bagaimana AICHR menjalankan fungsinya. ToR yang dimiliki saat ini perlu diperjelas dengan penguatan dalam aspek tertentu terkait mandat dan fungsi AICHR. Dibandingkan dengan mekanisme HAM regional lain yang memiliki mekansime perlindungan yang komprehensif, bukan hanya fokus pada promosi HAM, maka demi terwujudnya efektivitas penentasan pelanggaran HAM di wilayah Asia Tenggara, AICHR pun perlu diperkuat. Pertama, memperkuat mandat dan fungsi dari AICHR. Mandat dan fungsi AICR perlu dikuatkan untuk mendorong efektivitasnya mekansisme HAM regional ASEAN. Dalam hal, memberi opsi pengaduan oleh individu atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara anggota. Opsi pengaduan tersebut harus dinilai validitasnya dan ditentukan apakah perlu ditindak lanjuti atau tidak. Artinya, perlu dibentuk aturan yang menjadi dasar wewenang AICHR, yang mengatur jenis pelanggaran HAM seperti apa yang kiranya dapat ditindaklanjuti. Misal, jika kita melihat praktik di mekanisme HAM regional lain, yang dapat ditindaklanjuti oleh AICHR hanyalah pelanggaran HAM tertentu yang memiliki significant disadvantegous atau memberi kerugian yang signifikan. Kedua, perlu diberikannya hak untuk melakukan investigasi dan rekomendasi. Dalam melakukan fungsi ini, AICHR tidak dapat sembarangan, artinya perlu dinilai terlebih dahulu sesuai kasus pelanggaran HAM tertentu yang membuat investigasi



Mieke Molthof, "ASEAN and the Principle of Non-Interference,” diakses pada 2 Juni 2017, http://www.e-ir.info/2012/02/08/asean-and-the-principle-of-non-interference/. 31



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



170



perlu dilakukan, selain itu, rekomendasi juga penting sebagai bentuk respon terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh suatu negara. Atas rekomendasi ini, negara yang bersangkutan harus memberikan tanggapan dan melaksanakan rekomendasi yang dianjurkan. Dengan diberikannya fungsi investigasi, maka setelah adanya pengkajian dan verifikasi tertentu, AICHR perlu diberikan kewenangan hingga country visit atau mengunjungi negara bersangkutan untuk memverifikasi validitas aduan. Keberadaan investigasi dan verifikasi menjadi penting bagi suatu mekanisme HAM regional untuk memberikan’tekanan’ terhadap negara yang terbukti melakukan pelanggaran HAM, tidak dilaksanakannya rekomendasi dari AICHR bagi negara yang melanggar HAM akan memberi dampak buruk bagi negara tersebut. Tidak hanya berfungsi sebagai bentuk represif yang akan menurut negara melakukan reparasi yang layak baik itu compensation, restitution atau satisfaction, keberadaan investigasi dan rekomendasi juga diharapkan menjadi bentuk prevention atau pencegahan agar suatu negara tidak melakukan pelanggaran HAM, disebabkan setiap negara akan berusaha menjaga image atau nama baik negaranya di depan negara-negara lain di ASEAN dan bahkan di dunia. b. Merekonstruksi Legal Structure Struktur hukum akan berkaitan dengan aspek kelembagaan atau institusi. Rekonstruksi dari segi struktur yang penulis maksud, sebagai berikut: i. AICHR sebagai Lembaga yang Independen Suatu mekanisme HAM regional harus dapat bekerja secara independen dan objektif32 untuk itu AICHR perlu ditegaskan sebagai komisi yang independen dan mandiri, artinya tidak boleh dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan tertentu negara anggota ASEAN sehingga dapat bekerja secara objektif. Selain itu, sebagai lembaga yang mandiri, AICHR perlu memiliki konsep pengambilan keputusan yang berdasar pada indikator-indikator yang terukur bukan berdasarkan konsensus semata erat yang dengan kepentingan politis dan subjektivitas.



32



Mukul Sharma, Human Rights in a Globalised World: An Indian Diary (Singapore: Sage Publications, 2010), hlm. 250.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



171



Dinamika politik dan kepentingan politik tertentu bukan tidak mungkin menghalangi AICHR untuk bekerja secara efektif apalagi AICHR sendiri ada di dalam ASEAN yang urusan di dalamnya sangat kental dengan urusan-urusan yang bersifat politis. Dengan demikian, diperlukan komitmen bahwa AICHR merupakan lembaga yang independen dalam menjalankan fungsinya yang tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun, lembaga manapun termasuk ASEAN itu sendiri. Terutama dalam hal menjalankan investigasi atas suatu kasus, independensi AICHR menjadi mutlak diperlukan. ii. Komposisi AICHR yang Ideal dengan Equitable Representation Independensi tanpa representasi yang ideal, adil dan seimbang merupakan hal yang mustahil. Artinya, representasi anggota AICHR juga harus proporsional, hal ini juga penting untuk mewujudkan independensi yang diharapkan, pun agar AICHR tidak bertindak secara bias. Maka dari itu, penulis meyakni anggota dari AICHR selain mengakomodir representasi pemerintah dari setiap negara, juga perlu dibuka secara umum kepada masyarakat ASEAN. Dalam hal ini komposisi AICHR perlu diseimbangkan antara pihak pemerintah, masyarakat, dan ahli. Dengan adanya komposisi yang seimbang yang terbuka pada representasi selain pemerintah, diharapkan akan meminimalisasi adanya kepentingan-kepentingan pihak tertentu yang mengarahkan AICHR sesuai dengan harapannya. Representasi dari setiap kalangan nanti akan memiliki fungsi masing-masing dalam hal promosi dan perlindungan HAM. iii. AICHR sebagai Lembaga yang Transparan dan Akuntabel Kinerja AICHR saat ini selain lemah dalam hal fungsinya memberikan perlindungan HAM, juga lemah dalam memberikan transparansi dan akuntabilitas. Adanya kegagalan untuk menjalankan fungsi reporting salah satunya, membuat masyarakat ASEAN tidak mengetahui sejauh mana AICHR telah bekerja. Penulis berpendapat, fungsi reporting dari AICHR harus dijadikan bentuk kewajiban yang mempertanggungjawabkan bagaimana AICHR melaksanakan promosi dan perlindungan HAM. Sejauh mana promosi HAM telah dilaksanakan, bagaimana efektivitas fungsi ini dalam meningkatkan kesadaran publik terkait



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



172



HAM dan bagaimana pula fungsi perlindungan dijalankan, berapa kasus pelangagaran HAM yang telah ditindaklanjuti dan bagaimana respon negara bersangkutan atas rekomendasi dari AICHR perlu diterangkan kepada publik. Memperkuat transparansi dan akuntabilitas akan menjadikan AICHR sebagai lembaga yang dapat dipercaya bukan saja secara internal, tapi eksternal. Upaya ini akan mendorong lebih dikenalnya AICHR oleh masyarakat ASEAN dan meraih simpati dan kepercayaan dari masyarakat. Pada saat ini, AICHR yang tidak transparan dalam menjalankan fungsinya dan banyaknya laporan yang tidak direspon AICHR telah menjadikan masyarakat pesimis terhadap keberadaan mekanisme HAM regional tersebut. Dengan demikian, agar AICHR dapat menjadi mekansime HAM regional sebagaimana seharusnya yang menempatkan kepentingan masyarakat sebagai hal utama, pertanggungjawabannya kepada masyarakat menjadi penting untuk diperhatikan.



III.



Penutup



Sejak terbentuk pada tahun 2009, AICHR telah menuai banyak kritik atas ketidakmampuannya merespon pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di kawasan Asia Tenggara. Ketidakefektifan kinerja dari AICHR tersebut disebabkan fungsi dan mandatnya yang terbatas sebagai badan konsultatif, serta adanya prinsip non-intervensi dan aturan bahwa penghargaan HAM harus sesuai dengan konsep relativisme budaya yang secara luas dikenal telah dianut oleh ASEAN sejak dahulu. Adanya pengaturan demikian secara subtansi dan struktur kelembagaan AICHR yang lemah justru akan menjauhkan masyarakat ASEAN dari harapan bahwa perlindungan HAM tetap dapat mereka miliki meskipun negara mereka sendirilah yang abai. Dengan demikian, rekonstruksi AICHR seharusnya bukan lagi menjadi pilihan, namun menajdi kewajiban untuk segera dilakukan.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



173



Rekonstruksi yang dimaksud setidaknya fokus pada dua hal utama yakni memperbaiki subtansi hukum yang menjadi dasar AICHR dapat beroperasi dan memperbaiki struktur hukum yakni kelembagaan dari AICHR itu sendiri. Dengan memperbaiki fungsi perlindungan HAM saat ini, diharapkan AICHR akan menjadi lembaga yang jauh lebih responsif dan efektif dalam penentasan kasus pelanggaran HAM di wilayah regional Asia Tenggara.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



174



DAFTAR PUSTAKA



Buku Byrnes, Andrew, Mika Hayashi, and Christopher Michaelsen. International Law in the New Age of Globalization. Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2013. Chowdhury, Azizur Rahman dan Md. Jahid Hossain Bhuiyan. An Introduction to International Human Rights Law. Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2010. Collins, Alan. Building a People-Oriented Security Community the ASEAN way. London: Routledge, 2013. Djafar, Wahyudi dkk. Laporan Penelitian: Memperkuat Perlindungan Hak Asasi Manusia di ASEAN. Jakarta: International NGO Forum on Indonesian Development dan ICCO, 2014. Funston, N. John. ASEAN and The principle of Non-Intervention:Practice and Prospects. Institute of Southeast Asian Studies, 2000. Iskandar, Pranoto. Hukum HAM Internasional Sebuah Pengantar Konseptual. Cianjur: IMR Press, 2010. LeBlanc, Lawrence J. The OAS and the Promotion and Protection of Human Rights. The Hague: Martinus Nijhoff Publishes, 1977. M. J. Muzart, Sarah. Unveiling the Invisibility Cloak. Boca Raton: UniversalPublishers, 2012. Narine, Shaun Asia. ASEAN and the Question of Sovereignty: The Persistence of Non-Intervention in the Asia-Pacifif. Diedit oleh Mark Beeson dan Richard Stubbs. Routledge Handbook of Asian Regionalism. London: Routledge, 2012.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



175



Nmehielle, Vincent Obisienunwo Orlu. The African Human Rights System: Its Laws, Practice, and Institutions. The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 2001. Sharma, Mukul. Human Rights in a Globalised World: An Indian Diary. Singapore: Sage Publications, 2010. Shelton, Dinah dan Paolo G. Carozza. Regional Protection of Human Rights. New York: Oxford University Press, 2013. Tan, Hsien-Li. The Asean Intergovernmental Commission on Human Rights: Institutionalising. Cambridge: Cambridge University Press, 2011. Wiessala, Georg. Re-Orienting the Fundamentals: Human Rights and New Connections in EU-Asia Relations. London: Routledge, 2016.



Jurnal Ann Lukes, Robin. "Regional Human Rights Regime: A Comparison and Appraisal." Vanderbilt Journal of Transnational Law, Vol. 20 (1987). Bianchi, Andrea. “Human Rights and the Magic of Jus Cogens.” The European Journal of International Law, Vol 19 (2008). F. Kidanemariam, Fekadeselassie. “Enforcement of Human Rights under Regional Mechanisms: a Comparative Analysis.” LLM Theses and Essays University of Georgia School of Law 1-1 (2006). Schreuer, Christoph. "Regionalism v. Universalism." European Journal of International



Law,



(1995).



Diakses



pada



15



April



2016.



http://www.ejil.org/pdfs/6/1/1308.pdf. Pisanò, Attilio. "Human Rights and Sovereignty in the ASEAN Path Towards a Human Rights Declaration." Human Rights Review, Volume 15, Issue 4 (2014).



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



176



Carole J. Petersen. "Bridging the Gap?: The Role of Regional and National Human Rights Institutions in the Asia Pacific." Asian-Pacific Law & Policy Journal, Vol. 13:1 (2011).



Internet African Commission on Human and Peoples’ Rights. The African Comission Mandates



(2013).



Diakses



pada



tanggal



30



Maret



2017.



https://www.opensocietyfoundations.org/sites/default/files/fact-sheetafrican-commission-human-peoples-rights-20130627.pdf),. Molthof, Mieke. "ASEAN and the Principle of Non-Interference." E-International Relations



Students.



Diakses



pada



2



Juni



2017.



http://www.e-



ir.info/2012/02/08/asean-and-the-principle-of-non-interference/.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



177



BIODATA PENULIS



Ratu Durotun Nafisah adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran angkatan 2014 dengan peminatan Hukum Internasional. Ia pernah menjuarai beberapa kompetisi hukum tingkat nasional seperti Juara Pertama pada Kompetisi Debat Hukum Piala Mohammad Natsir di Universitas Islam Indonesia, Juara Pertama pada Kompetisi



Debat



Hukum



di



Universitas



Negeri



Semarang, serta The Most Outstading Delegate of United Nations Security Council di Paramadina Model United Nations 2016. Penulis memiliki ketertarikan dengan kajian-kajian Hukum Tata Negara dan Hukum Ekonomi, disamping Hukum Internasional serta aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan dan kepanitaan, diantaranya pernah menjadi Ministry of Debating Improvement di English Speaking Union, Universitas Padjadjaran, Staff of International Moot Court Competition Coordinators di Moot Court Society FH Universitas Padjadjaran serta Head of Academic Activities pada ALSA Conference tingkat Asia-Pasifik, penulis juga merupakan anggota aktif dari Padjadjaran Law Research and Debate Society, Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran.



VOLUME 7, NO. 1, JUNI 2017  JURIS LK2 FHUI



Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)