Jurnal Internasional [PDF]

  • Author / Uploaded
  • eko
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENGUATAN FAKTOR SOSIAL BUDAYA UNTUK PENCEGAHAN “POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD)” PENYINTAS (KORBAN SELAMAT) BENCANA



Mohamad Rokim [email protected] Magister Psikologi sains Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta Abstract. Post-disaster disaster victims experience Post Traumatic Stress Disorder or (PTSD) However, natural disasters or trauma faced in life do not fully have a negative impact. The presentation below tries to put the research findings that really prove that the people who survived the disaster are very strong, very strong and can develop post-disaster. The factors that determine helpless disasters after disaster victims include social support, personal reinforcement in the form of self-acceptance, self-management, and positive coping strategies that can all be sourced from local cultural values. Keywords : Post-disaster disaster victims experience, experience Post Traumatic Stress Disorder or (PTSD) Abstrak. Para korban bencana pasca bencana mengalami Post Traumatic Stress Disorderatau (PTSD). Namun demikian, bencana alam atau trauma yang dihadapi dalam kehidupan tidak sepenuhnya berdampak negatif. Paparan di bawah ini mencoba untuk meletakkan temuantemuan penelitian yang benar-benar membuktikan bahwa orang yang selamat dari bencana sangat kuat, dan dapat mengembangkan dirinya pasca bencana. Faktor-faktor yang menentukan ketidak berdayaan menjadi kekuatan positif setelah korban bencana adalah dukungan sosial, penguatan pribadi dalam bentuk penerimaan diri, manajemen diri, dan strategi penanggulangan positif yang semuanya dapat bersumber dari nilai-nilai religius dan budaya lokal. Kata kunci: Para korban bencana pasca bencana, Post Traumatic Stress Disorderatau (PTSD) A. PENDAHULUAN Setiap orang pasti pernah mengalami kejadian yang hebat, mengejutkan, atau bahkan mengerikan. Kejadian-kejadian tersebut seringkali akan mengganggu kondisi kejiwaan. Salah satu peristiwa mengerikan yang mungkin dialami oleh seseorang adalah bencana alam. Dampak dari bencana selain merusak bangunan fisik juga dapat menimbulkan dampak psikologis. Bencana alam yang terjadi seringkali dapat menyebabkan trauma bagi para korban. Bencana alam yang berkepanjangan di dunia termasuk di Indonesia sepanjang 10 tahun terajhir ini, disebabkan oleh faktor alam yang berbeda. Dampak bencana alam tidak hanya mengakibatkan hilangnya harta benda tetapi juga nyawa masyarakat di wilayah bencana. Sebelumnya Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB) memprediksi



kerusakan dan kerugian bencana gempa bumi di lombok juli 2018 mencapai Rp 7,45 triliun. Namun, data terakhir menunjukkan kerugian sementara mencapai Rp 8,8 triliun. Berdasar data dari BNPB, rincian kerugian tersebut adalah sebagai berikut: 125.744 unit rumah rusak, terdiri atas rusak berat 74.354 unit dan rusak ringan 51.390 unit. Infrastruktur yang rusak terdapat 174 unit, terdiri atas jembatan (18 unit), jalan (153 ruas), dan tanggul (3 unit). Untuk sarana pendidikan yang rusak sebanyak 635 unit, terdiri atas PAUD (73 unit), SD (294 unit), SMP (93 unit), SMA dan SMK (44 unit), madrasah (104 unit), pesantren (23 unit), dan perguruan tinggi (4 unit). Sebanyak 99 sarana kesehatan rusak, antara lain rumah sakit (3 unit), puskesmas (30 unit) pustu (64 unit) dan posyandu (2 unit). Tempat ibadah yang rusak terdapat 789 unit, terdiri atas masjid (349 unit), mushola/langgar (333 unit), gereja (27 unit), vihara (28 unit) pura/pelinggih (52 unit). Gedung pemerintahan dan swasta yang rusak terdapat 147 unit. Untuk sektor perekonomian dan perdagangan yang terdampak terdapat 1.941 unit terdiri atas kios/toko (1.836 unit), hotel/penginapan (92 unit), pasar tradisional (13 unit). (Michael Hangga Wismabrata, Kompas 28/08/2018, 16:46 WIB) Peristiwa traumatik dapat terjadi pada siapa saja. Seseorang bisa secara tiba-tiba mengalami bencana, baik karena bencana alam ataupun tindak kejahatan tertentu sehingga menyebabkan trauma. Peristiwa tersebut datang tanpa dapat diprediksi sebelumnya, sehingga kondisi psikologis menjadi terganggu. Reaksi terhadap suatu peristiwa dapat berbeda-beda pada setiap orang. Pada sebagian orang suatu bencana tidak menyebabkan trauma, tapi pada orang lain dapat menyebabkan trauma yang mendalam. Terkadang trauma menyebabkan seseorang tidak mampu menjalankan kesehariannya seperti yang biasanya dilakukan, bayangan akan peristiwa tersebut senantiasa kembali dalam ingatannya dan mengusiknya, ia juga merasa tak mampu untuk mengatasinya (Koentara, 2016). Namun perlu diingat, dari banyaknya organisasi memberikan bantuan pasca bencana alam, yang terlihat mungkin hanya berupa bantuan fisik, seperti bantuan medis, makanan, penampungan, baju dan bantuan-bantuan lain yang terbilang penting. Tetapi selain itu, para korban sebetulnya juga membutuhkan bantuan kesehatan mental karena trauma yang timbul dari bencana alam berskala besar. Jika berbicara tentang tindak trauma, ada suatu istilah yang dikenal sebagai Post Traumatic Stress Disorderatau PTSD (gangguan stres pasca trauma) yaitu gangguan stres yang timbul berkaitan dengan peristiwa traumatis luar biasa. Misalnya, melihat orang dibunuh, disiksa secara sadis, korban kecelakaan, bencana alam, dan lain-lain. PTSD merupakan gangguan kejiwaan yang sangat berat, karena biasanya penderita mengalami gangguan jiwa yang mengganggu kehidupannya (Koentara, 2016).



Kegiatan pertolongan medis dan perawatan dalam keadaan siaga bencana dapat dilakukan oleh profesi kesehatan. Berbekal pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki seorang perawat bisa melakukan pertolongan siaga bencana dalam berbagai bentuk (Anggi, 2010). Trauma healing sangatlah penting, melihat banyak dari korban bencana alam mengalami trauma dan ketakutan yang berlebih ketika mendengar suara-suara—yang menyerupai gaung, getaran, atau semacamnya. Trauma healing sendiri diutamakan pada anak-anak dan lansia, yang biasanya mengalami trauma paling kuat, baik stres maupun depresi. Trauma healing seharusnya dilakukan secara teratur agar dapat membangun kembali



mental



para



korban.



Terhadap



anak-anak,



misalnya,



program



trauma healing dapat dilakukan dengan membangun kelompok bermain yang diikutkan ke dalam kelas, atau kegiatan-kegiatan bermain, belajar, membaca buku, kegiatan kesenian—seperti



tari,



musik,



dan



melukis—bahkan



kegiatan



beragama.



Trauma healing yang diberikan pada anak-anak bertujuan agar mereka mampu melupakan kejadian-kejadian yang terjadi pada masa lampau, sehingga membuat mereka lebih siap apabila bencana datang kembali. Kegiatan-kegiatan trauma healing yang diberikan pada anak-anak berbeda pada orang dewasa. Pada orang dewasa, program yang lebih tepat berupa konseling. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah pembangunan kembali wilayah, atau penempatan korban di wilayah baru. Dengan hal tersebut, ingatan tentang bencana di benak mereka bisa terhapus, dan kehidupan baru bisa dimulai. Untuk memahami tentang bencana dan dampak terhadap korban maka perlu memahami beberapa konsep berikut : 1. Trauma Trauma adalah sebuah respon emosi terhadap kejadian yang sangat buruk seperti kecelakaan, pemerkosaan, atau bencana alam. Trauma adalah reaksi fisik dan psikis yang bersifat stress buruk akibat suatu peristiwa, kejadian atau pengalaman spontanitas atau secara mendadak (tiba-tiba), yang membuat individu kaget, menakutkan, shock, tidak sadarkan diri yang tidak mudah hilang begitu sajaA dalam ingatan manusia. Sebagaimana yang disebutkan The American Psychological Association (2010), trauma as an emotional response to a terrible event like an accident, rape or natural disaster. 2. Jenis-jenis trauma



Berdasarkan kajian psikologi (dalam Trauma: Deteksi Dini dan Penanganan awal, 2010) berikut ini adalah jenis-jenis trauma yang dilihat dari sifat dan sebab terjadinya trauma yaitu sebagai berikut : a. Trauma Psikologis Trauma ini adalah akibat dari suatu peristiwa atau pengalaman yang luar biasa, yang terjadi secara spontan (mendadak) pada diri individu tanpa berkemampuan untuk mengontrolnya (loss control and loss helpness) dan merusak fungsi ketahanan mental individu secara umum. Akibat dari jenis trauma ini dapat menyerang individu secara menyeluruh (fisik dan psikis). b. Trauma Neurosis Trauma ini merupakan suatu gangguan yang terjadi pada saraf pusat (otak) individu, akibat benturan-benturan benda keras atau pemukulan di kepala. Implikasinya, kondisi otak individu mengalami pendarahan, iritasi, dan sebagainya. Penderita trauma ini biasanya saat terjadi tidak sadarkan diri, hilang kesadaran, yang sifatnya sementara. c. Trauma Psikosis Trauma psikosis merupakan suatu gangguan yang bersumber dari kondisi atau problema fisik individu, seperti cacat tubuh, amputasi salah satu anggota tubuh, yang menimbulkan shock dan gangguan emosi. Pada saat-saat tertentu gangguan kejiwaan ini biasanya terjadi akibat bayang-bayang pikiran terhadap pengalaman atau peristiwa yang pernah dialaminya, yang memicu timbulnya histeris atau fobia.



d. Trauma Diseases Gangguan kejiwaan jenis ini oleh para ahli ilmu jiwa dan medis dianggap sebagai suatu penyakit yang bersumber dari stimulus-stimulus luar yang dialami individu secara spontan atau berulang-ulang, seperti keracunan, terjadi pemukulan, teror, ancaman. 1. PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) Post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah gangguan kecemasan yang



dapat terbentuk dari sebuah peristiwa atau pengalaman yang



menakutkan/mengerikan, sulit dan tidak menyenangkan dimana terdapat penganiayaan



fisik



atau



perasaan



terancam



(American



Psychological



Association, 2004). Post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah sebuah gangguan yang dapat terbentuk dari peristiwa traumatik yang mengancam keselamatan anda atau membuat anda merasa tidak berdaya (Smith & Segal, 2008). 2. Fase-fase PTSD



Fase-fase keadaan mental pasca bencana: a. Fase Kritis Fase dimana terjadi gangguan stres pasca akut (dini/cepat) yangmana terjadi selama kira-kira kurang dari sebulan setelah menghadap bencana. Pada fase ini kebanyakan orang akan mengalami gejala-gejala depresi seperti keinginan bunuh diri, perasaan sedih mendalam, susah tidur,dan dapat juga menimbulkan berbagai gejala psikotik. b. Fase setelah kritis Fase dimana telah terjadi penerimaan akan keadaan yang dialami dan penstabilan kejiwaan, umumnya terjadi setelah 1 bulan hingga tahunan setelah bencana, pada fase ini telah tertanam suatu mindset yang menjadi suatu phobia/trauma akan suatu bencana tersebut (PTSD) sehingga bila bencana tersebut terulang lagi, orang akan memasuki fase ini dengan cepat dibandingkan pengalaman terdahulunya. c. Fase stressor Fase dimana terjadi perubahan kepribadian yang berkepanjangan (dapat berlangsung seumur hidup) akibat dari suatu bencana dimana terdapat dogma “semua telah berubah” 3. Dampak Spiritual pada Korban Bencana Manusia sebagai makhluk yang utuh atau holistik memiliki kebutuhan yang kompleks yaitu kebutuhan biologis, psikologis, sosial kultural dan spiritual. Spiritual digambarkan sebagai pengalaman seseorang atau keyakinan seseorang, dan merupakan bagian dari kekuatan yang ada pada diri seseorang dalam memaknai kehidupannya. Spiritual juga digambarkan sebagai pencarian individu untuk mencari makna. Forman (1997) menyatakan bahwa spiritual menggabungkan perasaan dari hubungan dengan dirinya sendiri, dengan ornag lain dan dengan kekuatan yang lebih tinggi. Kejadian bencana dapat merubah pola spiritualitas seseorang. Ada yang bertambah meningkat aspek spiritualitasnya ada pula yang sebaliknya. Bagi yang meningkatkan aspek spiritualitasnya berarti mereka meyakini bahwa apa yang terjadi merupakan kehendak dan kuasa sang pencipta yang tidak mampu di tandingi oleh siapapun. Mereka mendekat dengan cara mendekatkan spiritualitasnya supaya mendapatkan kekuatan dan pertolongan dalam menghadapi bencana atau musibah yang dialaminya. Sedangkan bagi yang menjauh umumnya karena dasar keimanan atau keyakinan terhadap sang pencipta rendah atau kaarena putus asa



4. Dampak Psikososial pada Korban Bencana Berdasarkan hasil penelitian empiris, dampak psikologis dari bencana dapat diketahui berdasarkan tiga faktor yaitu faktor pra bencana, faktor bencana dan faktor pra bencana (Tomoko, 2009) : 1)



Faktor pra bencana : dampak psikologi pada faktor pra bencana ini dapat ditinjau dari beberapa hal dibawah ini ; a) Jenis kelamin : perempuan mempunyai resiko lebih tinggi terkena dampak psikologis dibanding laki-laki dengan perbandingan 2:1. b) Usia dan pengalaman hidup : kecenderungan kelompok usia rentan stres masing-masing negara berbeda karena perbedaan kondisi sosial politik ekonomi dan latar belakang sejarah negara yang bersangkutan. c) Faktor budaya, ras, karakter khas etnis : Dampak yang ditimbulkan bencana ini lebih besar di negara berkembang dibandingkan dengan negara maju. Pada kelompok usia muda tidak ada gejala khas untuk etnis tertentu baik pada etnis mayoritas maupun etnis minoritas, sedangkan pada kelompok usia dewasa, etnis minoritas cenderung mengalami dampak psikologis dibanding mayoritas. d) Sosial Ekonomi : Dampak bencana pada individu berbeda menurut latar belakang pendidikan, proses pembentukan kepribadian, penghasilan dan profesi. Individu dengan kedudukan sosio ekonomi yang rendah akan mengalami stress pasca trauma lebih berat. e) Keluarga : Pengalaman bencana akan mempengaruhi stabilitas keluarga seperti tingkat stress dalam perkawinan, posisi sebagai orang tua terutama orang tua perempuan. f) Tingkat kekuatan Mental dan kepribadian : Hampir semua hasil penelitian menyimpulkan bahwa kondisi kesehatan mental pra bencana dapat dijadikan dasar untuk memprediksi dampak patologis pasca bencana. Individu dengan maslah kesehatan jiwa akan mengalami stress yang lebih berat dibandingkan dengan individu dengan kondisi psikologis yang stabil.



2)



Faktor bencana : pada faktor ini, dampak psikologis dapat ditinjau dari beberapa hal dibawah ini ; a) Tingkat keterpaparan : Keterpaparan seseorang akan masalah yang dihadapi merupakan variabel penting untuk memprediksi dampak psikologis korban bencana.



b) Ditinggal mati oleh sanak keluarga atau sahabat. c) Diri sendiri atau keluarga terluka. d) Merasakan ancaman keselamatan jiwa atau mengalami kekuatan yang luar biasa. e) Mengalami situasi panik pada saat bencana f) Pengalaman berpisah dengan keluarga terutama pada korban usia muda g) Kehilangan harta benda dalam jumlah besar h) Pindah tempat tinggal akibat bencana i) Bencana yang menimpa seluruh komunitas.



Hal ini mengakibatkan rasa kehilangan pada individu dan memperkuat perasaan negatif dan memperlemah perasaan positif. Semakin banyak fakltor yang diatas, maka akan semakin berat gangguan jiwa yang dialami korban bencana. Apalagi pada saat-saat seperti ini mereka cenderung menolak intervensi tenaga spesialis, sehingga menghambat perbaikan kualitas hidup pasca bencana.



3)



Faktor pasca bencana : Dampak psikologis pasca bencana dapat diakibatkan oleh kegiatan tertentu dalam siklus kehidupan stress kronik pasca bencana yang terkait dengan kondisi psykitrik korban bencana. Hal ini perlu adanya pemantuan dalam jangka panjang oleh tenaga spesialis. Gejala dan dampak psikologis pasca bencana juga dapat dilihat dari daftar gejala Hopkins untuk mengetahui adanya depresi dan kecemasan. Gejala-gejala Hopkins tersebut meliputi perasaan depresi, minat atau rasa senang yang kurang. Gejala perasaan depresi meliputi menangis, merasa tidak ada harapan untuk masa depan, merasa galau dan merasa kesepian.



5. Peran pemerintah Dalam mengatasi trauma psikologis pada anak dan perempuan melalui pelayanan trauma konseling melalui women trauma center dan children center, sekaligus untuk mencegah terjadinya Distres pasca trauma akibat bencana yang dikenal dengan istilah Post Traumatic Stress Disorderatau (PTSD) (gangguan stres pasca trauma) Di samping itu, juga perlu terus dilakukan upaya untuk mempertemukan kembali anak-anak dengan keluarganya dilakukan melalui kegiatan ”reunifikasi keluarga”, sejalan dengan terus mengupayakan pemulihan spiritual (spiritual



healing), pemulihan emosional (emotional healing) terhadap kejadian traumatik yang dihadapi dengan memberikan semangat hidup dan bangkit kembali menjadi sangat penting, penyembuhan fisik (physical healing); dan penyembuhan terhadap kemampuan otak manusia (intelligential healing). B. PEMBAHASAN Bencana silih berganti muncul di berbagai belahan bumi dengan membawa konsekwensi negatif bagi kehidupan, terutama manusia. Semenjak bencana besar gempa dan tsunami pada tahun 2004 yang menewaskan sekira 200.000 korban jiwa masih saja bencana besar selalu melanda negeri ini, gempa bumi di DI Yogyakartata tahun 2006 dengan korban jiwa hampir 500.000 jiwa, di tahun ini pun kita masih menerima cobaan besar dengan gempa di lombok yang terjadi pada tanggal 29 Juli 2018, gempa di Palu dan Donggola yang diikuti tsunami dan likuifikasi makin menyayat pilu hati negeri ini. Bencana selalu membawa efek negatif luar biasa pada seluruh sendi kehidupan manusia. Temuan berbagai penelitian menunjukkan adanya peningkatan yang sangat signifikan pada berbagai problem kesehatan fisik dan psikologis penyintas bencana jangka panjang (Hull dkk, 2002, Morgan dkk, 2003, Galea dkk 2005, dan Dirkzwager dkk, 2006, Lazaratou dkk,2008). Terbatasnya sumber-sumber personal, material, dan sosial banyak dikaitkan dengan rendahnya fungsi dan penyesuaian psikologis individu pasca bencana (Brewin, Andrew dan Valentine, 2000; Zwiebach, Rhodes, dan Roemer,



2011)



berupa



penurunan



kemampuan



individu



dalam



melakukan



penyesuaian diri karena berkaitan dengan perubahan kehidupan personal, interpersonal, sosial, dan ekonomi pasca bencana (Ehrenreich dan McQuaide dalam Retnowati, 2012). Zwiebach juga (2010) menemukan adanya hubungan negatif yang signifikan antara hilangnya kekayaan pribadi, dukungan sosial, dan kesehatan fisik dengan meningkatnya stress psikologis pasca bencana. Dampak bencana menurut Gregor (2005) sangat terasa pada sebagian orang. Kehilangan keluarga dan sahabat, kehilangan tempat tinggal, dan harta benda, kehilangan akan makna kehidupan yang dimiliki, perpindahan tempat hidup serta perasaan ketidakpastian karena kehilangan orientasi masa depan, serta keamanan personal. Baik pada anak maupun pada orang dewasa dampak bencana bervariasi dari jangka pendek sampai jangka panjang. Dampak emosional jangka pendek yang masih dapat dilihat dengan jelas meliputi rasa takut dan cemas yang akut, rasa sedih dan bersalah yang kronis, serta munculnya perasaan hampa. Pada sebagian orang perasaan-perasaan ini akan pulih seiring berjalannya waktu. Namun pada sebagian



yang lain dampak emosional bencana dapat berlangsung lebih lama berupa trauma dan problem penyesuaian pada kehidupan personal, interpersonal, sosial, dan ekonomi pasca bencana (Ehrenreich dan McQuaide dalam Retnowati, 2012). Gejalagejala gangguan emosi yang terjadi merupakan sumber distres dan dapat mempengaruhi kemampuan penyintas bencana untuk menata kehidupannya kembali. Apabila tidak segera direspons akan menyebabkan penyintas, keluarga, dan masyarakat tidak dapat berfungsi dalam kehidupan dengan baik (Retnowati, 2012). Distres pasca trauma akibat bencana ini dikenal dengan istilah Post Traumatic Stress Disorderatau (PTSD) (gangguan stres pasca trauma) yaitu gangguan stres yang timbul berkaitan dengan peristiwa traumatis luar biasa. Misalnya, melihat orang dibunuh, disiksa secara sadis, korban kecelakaan, bencana alam, dan lain-lain. PTSD merupakan gangguan kejiwaan yang sangat berat, karena biasanya penderita mengalami gangguan jiwa yang mengganggu kehidupannya (Koentara, 2016). Berdasarkan review terhadap 225 artikel penelitian mengenai 132 bencana baik bencana alam, teknologi, maupun kekerasan massa, Norris (2005) menemukan bahwa bencana berpengaruh pada buruknya kesehatan mental penyintas bencana, termasuk di dalamnya depresi, kecemasan, stress trauma pasca bencana, serta keluhankeluhan somatik. Dampak bencana terhadap kesehatan mental ini bervariasi. Selain itu, Kessler (2007) melaporkan adanya peningkatan percobaan dan perilaku bunuh diri serta prevalensi gangguan mood dan kecemasan pada penyintas bencana Badai Katrina yang terjadi pada tanggal 25 Agustus 2005 setelah dilakukan pengukuran pada baseline study dan 12 bulan kemudian pada follow up study. Secara rinci peningkatan kecenderungan ini dirinci sebagai berikut: ide bunuh diri yang semula prosentasenya 2,8 % meningkat menjadi 6,4 % dan perilaku bunuh diri sebagai tindak lanjut dari ide bunuh diri meningkat dari 0,2 % menjadi 0,8 %. Sedangkan prevalensi gangguan mood dan kecemasan meningkat dari 30,7 % menjadi 33,9 %. Penyesuaian psikologis yang positif menurut Seaton (2009) merupakan suatu istilah yang menunjukkan kondisi mental positif yang dialami individu yang mengacu pada kemampuan individu untuk bertindak atau mengatasi masalah secara efektif dalam memenuhi berbagai tuntutan lingkungan yang menekan. Sebagai suatu proses, penyesuaian psikologis mengacu pada kemampuan adaptasi individu pada kondisi lingkungan yang berubah. Riset-riset yang dilakukan banyak mengkaitkan topik penyesuaian psikologis ini pada situasi yang penuh stress, termasuk di dalamnya situasi bencana. Ada 4 dimensi penyesuaian psikologis yang positif menurut Seaton (2009) yaitu 1) penyesuaian psikologis dalam bentuk tidak adanya simtom-simtom psikologis



seperti kecemasan dan depresi, 2) penyesuaian psikologis sebagai kondisi yang normal pada umumnya , 3) dialaminya kondisi wellbeing



sebagai



indikator



penyesuaian psikologis misalnya adanya harga diri yang tinggi atau tingginya kepuasan hidup, dan 4) penyesuaian psikologis sebagai karakteristik individu yang menunjukkan tingkat adaptasi yang positif yang banyak ditunjukkan dengan istilah resilien atau cerdas emosi. Tiga dimensi pertama mengacu pada penyesuaian psikologis yang bermakna sebagai capaian kondisi kesehatan mental, sedang dimensi yang terakhir (no 4) mengacu pada penyesuaian psikologis sebagai proses. Penelitian Tang (2006) menemukan bahwa dampak bencana terhadap kondisi psikologis penyintas bencana tidak hanya negatif, tetapi juga positif. Hasil penelitian Tang (2006) menunjukkan bahwa 6 bulan setelah bencana gempa bumi dan Tsunami Asia Tenggara ada 34 % dari 267 orang penyintas bencana dewasa Thailand yang mengalami penyesuaian psikologis secara positif. Prediktor yang paling menentukan untuk penyesuaian psikologis yang positif pasca bencana adalah pekerjaan sebelum bencana, adanya peningkatan kesadaran dan frekuensi mencari dukungan pasca bencana. Dukungan yang penuh dari lingkungan baik dalam bentuk penghargaan, dukungan afeksi, dukungan informasional maupun dukungan instrumental disertai dengan kesadaran diri bahwa penyintas dapat mengatasi masalahnya menjadikan penyintas dapat mengatasi berbagai problem yang muncul pasca bencana. Hal ini sejalan dengan temuan Ibanez dkk, (2004) yang menemukan bahwa dukungan dari keluarga, teman, dan anggota komunitas sangat berguna bagi penyintas bencana dalam melakukan strategi koping yang efektif Sejalan dengan pandangan tersebut, beberapa ahli menjelaskan penyesuaian psikologis secara positif pasca trauma dengan istilah posttraumatic growth yang ditunjukkan oleh adanya peningkatan hubungan interpersonal dengan orang lain, kekuatan personal, spiritual, penghargaan terhadap hidup, dan kemampuan dalam mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan baru dalam kehidupan (Tedeschi dkk, 2007: Sumalla dan Blanco, 2009: Rajandram dkk, 2010: Dekel dan Nuttman 2009: Zollner dan Maercker, 2006: dan Nishi, Matsuko, dan Kim: 2010). Menurut Retnowati (2012) faktor personal dan lingkungan secara bersama-sama berkontribusi pada munculnya problem mental penyintas bencana pasca bencana. Faktor personal yang mempengaruhi antara lain intensitas rasa takut, kemampuan regulasi emosi, dan tipe koping. Strategi coping yang positif misalnya dengan berpikir bijaksana, melakukan pengelolaan emosi secara tepat, dan pengalihan stress melalui aktivitas yang menyenangkan ternyata efektif membantu anak menyesuaikan diri dengan berbagai stress pasca bencana (Vigna dkk, 2009)



Faktor lingkungan yang berpengaruh pada penyesuaian psikologis penyintas bencana adalah dukungan sosial. Dukungan sosial merupakan salahsatu prediktor penyesuaian psikologis yang positif pasca bencana. Penelitian dari Aikins (2012) menunjukkan bahwa tingginya dukungan sosial dari orangtua dan dari teman sebaya atau teman sekelas berpengaruh pada tingginya penyesuaian psikologis yang positif pada anak-anak yang mengalami bencana Tumpahan Minyak di Horizan Laut Dalam Badai Katrina. Pina dkk (2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa dukungan sosial dari keluarga besar menjadi penghambat munculnya symptom stress pasca trauma, kecemasan, dan depresi pada remaja penyintas bencana Badai Katrina di Amerika Serikat. Penelitian yang dilakukan oleh Aziz dan Azlam (2012) menunjukkan adanya kecenderungan hubungan negatif antara penyesuaian sosial dan kerja dengan problem psikiatri yang dialami antara lain post traumatic stress disorder, gangguan depresi mayor, fobia ketinggian, distimia, ketakutan pada ketinggian, dan gangguan panik. Tingginya berbagai problem psikiatri ternyata berdampak pada rendahnya penyesuaian sosial dan kerja penyintas bencana gempa bumi di India (Aziz dan Azlam, 2012). Penelitian Chan dkk (2011) ini menunjukkan bahwa religiusitas dalam bentuk ketaatan dan keterlibatan pada kegiatan-kegiatan keagamaan berperan penting bagi peningkatan sumber-sumber psikologis dalam bentuk optimism dan sense optimism yang pada akhirnya sangat membantu penyesuaian psikologis penyintas pasca bencana. Selain itu, koping juga memiliki pengaruh yang sangat kuat pada fungsi psikologis individu pasca bencana baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. Penyesuaian ini ditentukan oleh hilangnya berbagai sumber dan didukung oleh sumber-sumber pelindung atau penjaga, antara lain efikasi koping (Wadsworth dkk, 2009). Penelitian Mabruri (2007) terhadap penyintas bencana Gempa Bumi di Yogyakarta menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya Jawa yang rilo, nrimo, dan sabar mempengaruhi bagaimana korban memandang dan menyikapi bencana yang dialami sehingga memiliki kekuatan pribadi dalam menghadapi peristiwa yang mencekam. Pada mayoritas penyintas erupsi Merapi, nilai-nilai budaya yang dianut, yaitu budaya Jawa, tampaknya juga memiliki kontribusi besar dalam penyesuaian psikologis penyintas pasca bencana. Sikap dan perilaku yang bersumber dari nilai-nilai budaya Jawa ternyata berdampak positif bagi para penyintas sehingga tetap tegar menghadapi berbagai problem berat yang menghadang, termasuk menyikapi berbagai tuntutan yang harus dilakukan pasca bencana (Fathiyah, 2011) Temuan ini sejalan dengan



pandangan Hardin, dkk (2002) yang menjelaskan bahwa nilai-nilai yang diyakini dapat menjadi salah satu sarana untuk mengatasi stressor hidup dan meraih apa-apa yang diharapkan dalam hidup sehingga mengurangi problem mental seseorang pasca bencana. Pada akhirnya penyintas bencana dapat menyesuaian diri dengan kondisi baru pasca bencana. Nilai-nilai budaya yang dimiliki seseorang berpengaruh besar pada penerimaan diri seseorang. Pada kerangka budaya,



budaya memberi pengaruh pada



perkembangan kepribadian seseorang, termasuk di dalamnya bagaimana seseorang memandang dan menerima dirinya (Dayakisni dan Yuniardi, 2003). Nilai-nilai budaya Jawa yang tercermin dari sikap, pandangan hidup yang dimiliki mayoritas penyintas bencana misalnya pandangan Sikap nrimo ing pandum yang dalam paradigma Jawa diartikan sebagai kemauan menerima segala akibat tanpa dibuntuti perasaan sedu sedan ataupun gerutu (Suwardi, 1992) serta diikuti dengan sikap sabar (Djarwadi, 2011) yang berarti menahan diri dari keluh kesah, memahami keterbatasanketerbatasan yang dimiliki dan tidak menginginkan apa yang tidak mungkin ada pada diri). Contoh lain misalnya anggapan bahwa harta, pangkat, dan jiwa yang dimiliki sebagai ’hanya titipan’ belaka dari Tuhan yang suatu saat akan diminta (Amrih, 2011) menyebabkan



penyintas



bencana



dapat



secara



positif



menerima berbagai



pengalaman yang dialami termasuk pengalaman-pengalaman buruk pasca bencana. Penerimaan diri secara positif ini menurut Maslow (dalam Hjellee dan Ziegler, 1992) dijelaskan sebagai sikap positif terhadap diri sendiri yang ditunjukkan oleh penerimaan keadaan diri secara tenang, bebas dari rasa bersalah, rasa malu, dan rendah diri akibat keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki serta bebas dari rasa cemas akibat adanya penilaian orang lain terhadap keadaan dirinya. Ditambahkan oleh Riff (dalam Kail dan Cavanough, 2000) bahwa orang yang memiliki penerimaan diri yang baik atau positif cenderung memiliki pandangan yang positif tentang diri serta mengakui serta menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas baik buruknya diri serta memandang positif kehidupan yang telah dijalani. Peran pola pikir positif yang menunjukkan penerimaan ini sejalan dengan hasil penelitian (Vigna dkk, 2009) yang menjelaskan bahwa strategi coping yang positif misalnya dengan berpikir bijaksana, melakukan pengelolaan emosi secara tepat, dan pengalihan stress melalui aktivitas yang menyenangkan



ternyata efektif membantu anak menyesuaikan diri dengan



berbagai stress pasca bencana. Salah satu sumber penguatan personal adalah budaya. Nilai nilai budaya yang dimiliki seseorang berpengaruh besar pada penerimaan diri seseorang. Pada kerangka budaya,



budaya memberi pengaruh pada perkembangan kepribadian seseorang,



termasuk di dalamnya bagaimana seseorang memandang dan menerima dirinya. World



Health Organization (2003) mengisyaratkan pentingnya kolaborasi dengan sumbersumber lokal dalam pengelolaan bencana yang berimplikasi pada intervensi yang mengutamakan sudut pandang budaya atau lokal setempat. Sejalan dengan itu, Parelkar, Jones, dan Ollendick (2006) juga menekankan pentingnya menghadirkan faktor protektif untuk mengurangi dampak negatif bencana antara lain menyediakan dukungan sosial, melakukan strategi koping yang efektif, dan memanfaatkan kekuatan budaya setempat antara lain nilai, identitas, dan tradisi dalam menyikapi bencana. Di lapangan pun, berdasar pengalaman menerapkan intervensi pada penyintas bencana gempa bumi di Port Au Prince Haiti diketahui bahwa ketika suatu model diterapkan dengan menyesuaikan budaya setempat, penyintas justru mendapat keuntungan ganda baik dari perspektif barat maupun dari perspektif budaya setempat (James dkk, 2012). Dengan demikian, menempatkan kajian mengenai budaya dalam membahas perilaku individu pasca bencana dapat mendukung penanganan problem psikologis pasca bencana dengan cara memanfaatkannya sebagai bahan acuan peningkatan strategi koping dan manajemen simtom stres pasca trauma. C. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat Analisis review atau Literature review , dari berbagai artikel dan jurnal penanganan dampak bencana serta faktor faktor yang mengurangi dampak Post Traumatic Stress Disorderatau (PTSD). Literature review adalah uraian tentang teori, temuan, dan bahan penelitian lainnya yang diperoleh dari bahan acuan untuk dijadikan landasan kegiatan penelitian untuk menyusun kerangka pemikiran yang jelas dari perumusan masalah yang ingin diteliti



D. KESIMPULAN Hasil penelitian mengungkap bencana selalu menyisakan trauma mendalam terhadap para korban selamat yang mengakibatkan Post Traumatic Stress Disorderatau (PTSD) (gangguan stres pasca trauma). Penyesuaian



individu untuk segera bisa



beradaptasi dengan kondisi bencana sangat tergantung dengan karakteritis dan kecerdasan emosional individu. Penanganan trauma healing yang efektif dan terpadu perlu dilakukan oleh semua pihat termasuk pemerintah dan sosial masyarakat. Para korban bencana mengalami hambatan berat dalam penyesuaiannya. Namun demikian, bencana alam atau trauma yang dihadapi dalam kehidupan tidak sepenuhnya berdampak negatif tetapi juga menimbulkan dampak positif terhadap penyitas bencana



Penelitian Tang (2006) menemukan bahwa dampak bencana terhadap kondisi psikologis penyintas bencana tidak hanya negatif, tetapi juga positif. Hasil penelitian Tang (2006) menunjukkan bahwa 6 bulan setelah bencana gempa bumi dan Tsunami Asia Tenggara ada 34 % dari 267 orang penyintas bencana dewasa Thailand yang mengalami penyesuaian psikologis secara positif Paparan di diatas mencoba untuk meletakkan temuan-temuan penelitian yang benar-benar membuktikan bahwa orang yang selamat dari bencana sangat kuat, sangat kuat dan dapat mengembangkan pascabencana. Faktor-faktor yang menentukan dampak positif dalam pencegahan post traumatic stress disorder adalah : 1. Kebijakan pemerintah melakukan trauma healing dengan mengupayakan pemulihan spiritual (spiritual healing), pemulihan emosional (emotional healing) terhadap kejadian traumatik yang dihadapi dengan memberikan semangat hidup dan bangkit kembali menjadi sangat penting, penyembuhan fisik (physical healing) dan penyembuhan terhadap kemampuan otak manusia (intelligential healing) 2. Religiusitas



dalam bentuk ketaatan dan keterlibatan pada kegiatan-kegiatan



keagamaan berperan penting bagi peningkatan sumber-sumber psikologis dalam bentuk optimism dan sense optimism 3. Nilai-nilai budaya Jawa yang rilo, nrimo, dan sabar mempengaruhi bagaimana korban memandang dan menyikapi bencana yang dialami sehingga memiliki kekuatan pribadi dalam menghadapi peristiwa yang mencekam 4. Penerimaan diri secara positif ini, dijelaskan sebagai sikap positif terhadap diri sendiri yang ditunjukkan oleh penerimaan keadaan diri secara tenang, 5. Dalam imlementasinya, tidak ada teori tunggal yang bisa digunakan untuk mengatasi trauma korban bencana, Perlu adanya kolaborasi dengan sumbersumber lokal dalam pengelolaan bencana yang berimplikasi pada intervensi yang mengutamakan sudut pandang budaya atau lokal setempat. 6. Penguatan berbagai potensi individu ( Pekerjaan, Kepercayaan diri, kemampuan diri) lingkungan sosial, budaya dan spiritual merupakan faktor-faktor yang harus di tingkatkan untuk penguatan psikologi positif sehingga penyintas bencana terhindar dari Post-traumatic stress disorder (PTSD)



E. SARAN Perlu adanya kerjasama yang sinergis antara seluruh elemen baik pemerintah, pemangku adat, tokoh masyarakat dan agama dalam upaya peningkatan psikologi positif para penyintas bencana sehingga permasalahan dapat diselesaikan dengan baik



DAFTAR PUSTAKA



Anna, G., Lynn, H., Preiss, M., & Silke, S. (2012). Post - and PeritraumatikStress In Disaster Survivors: an Exploratif Study About the Influence of Individual And Even, European Journal of Psychotraumatology,, 1-11 Brewin,CR; Andrews, B, dan Valentine, JD. (2000) Meta Analysis of Risk Factors for Posttraumatic Stress Disorder in Trauma Adults. Journal of Consulting and Clinical Psychology. 68-74



Chatarina, R., & Enny, H. (2012). Penanganan Dampak Sosial Psikologis Korban Bencana Merapi. Informasi, 97-111 Dayakisni, T dan Yuniardi, S. 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang: UMM Press, Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang. Dekel R, Nuttman-Shwartz O (2009) Posttraumatic stress and growth: the contribution of cognitive appraisal and sense of belonging to the country. Health Social Work 34: 87–96. Fathiyah, KN. 2011. Nilai-Nilai Indegeneous Budaya Jawa menyikapi Bencana dan Perannya pada Kesehatan mental Korban. Proceeding. Disajikan pada Seminar Nasional Revitalisasi Nilai-Nilai Budaya Jawa dalam Membentuk Generasi yang Berkarakter. Yogyakarta : fakultas ilmu pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta. Fathiyah , KN, (2013) Berbagai Faktor Penentu Penyesuaian Psikologis Positif Penyintas, Bencana Pasca Bencana, Jurnal Paradigma, 25-42 Mahdia, F., & Noviyanto, F. (2013). Pemanfaatan Google Maps API untuk Pembangunan Sistem Informasi Manajemen bantuan Logistik Pasca Bencana Alam Berbasis Mobile Web. Jurnal sarjana Teknik Informatika Universitas Ahmad Dahlan, 12-25. Najarian, LM. Goenjian, AK. dkk (2005) The effect of Relocation after Natural Disaster. Journal of Traumatic stress, 511-526 Retnowati,S. 2012. Intervensi Psikososial Saat bencana. dalam Prawitasari, JE. Psikologi Terapan: Melintas Batas Disiplin Ilmu. Jakarta: penerbit Erlangga Setiadi, T. (2013). Perancangan Sistem Informasi Geografis Pemetaan Daerah Rawan Longsor Mitigasi dan Menejemen Bencana di Kab. Banjarnegara. Kesmas, 1-54. Tang, B., & Dheng, Q. d. (2017). A Meta Analysis of Risk Faktor For Post Traumatic Stress Disorder (PTDS) in Adults and Children. Internasional Jurnal Of Envetomental Research and Public Health, 1-20. Jati, W. R. (2013). Analisis Penanggulangan Bencana Berbasis Perspektif Cultural. Jurnal Penanggulangan Bencana, 1-12.



PENGUATAN FAKTOR SOSIAL BUDAYA UNTUK PENCEGAHAN “POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD)” PENYINTAS (KORBAN SELAMAT) BENCANA



Tugas ini diajukan untuk pemenuhan Mata Kuliah Psikologi Umum



Disusun oleh: Mohamad Rokim : 1807044021 Kelas : Magister Psikologi Sain



PROGRAM STUDI MAGISTER PSIKOLOGI SAIN UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA TAHUN 2018