Jurnal Syok Septik DR - Taufik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

JOURNAL READING SEPSIS dan SYOK SEPTIK



Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam di RST Bhakti Wira Tamtama Semarang



Disusun oleh : Afifatul Hakimah 01.209.5822



Pembimbing : dr. Taufik K., Sp. Pd., FINASIM, S. H.



FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG 2014



HALAMAN PENGESAHAN



Nama



:



Afifatul Hakimah



NIM



:



01.209.5822



Fakultas



:



Kedokteran



Universitas



:



Universitas Islam Sultan Agung ( UNISSULA )



Tingkat



:



Program Pendidikan Profesi Dokter



Bagian



:



Ilmu Penyakit Dalam



Judul



:



Sepsis dan Syok Septik



Semarang,



Juli 2014



Mengetahui dan Menyetujui Pembimbing Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam RST Bhakti Wira Tamtama Semarang



Pembimbing



dr. Taufik K., Sp. Pd., FINASIM, S. H.



Sepsis dan Syok Septik



Definisi Syok merupakan keadaan dimana terjadi gangguan sirkulasi yang menyebabkan perfusi jaringan menjadi tidak adekuat sehingga mengganggu metabolisme sel atau jaringan. Syok sepsis adalah suatu sindroma sepsis akibat adanya invasi akut kedalam oleh organisme tertentu atau produk toksiknya yang disertai menurunnya tekanan darah lebih dari 40 mmHg dari baseline, dan memberikan respon terhadap pemberian cairan infus dan obat. Pada Tabel1 dapat dilihat perbedaan antara sindroma sepsis dan syok sepsis Tabel1: Perbedaan sindroma sepsis dan syok sepsis



Dalam suatu penellitian dimana bakteri disuntikkan pada peritoneal binatang percobaan, syok sepsis baru teradi setelah 12-24 jam kemudian, dan binatang yang bertahan didapatkan perbaikan hemodinamik dalam waktu 7-10 hari (Parrillo, 1990). Jadi suatu syok sepsis harus melewati fase bakterimia, sepsis, sindroma sepsis. Bakteremia adalah suatu keadaan ditemukannya bakteri dalam kultur darah. Sepsis adalah suatu kejadian infeksi yang disertai meningkatnya frekwensi nafas lebih dari 20x/m atau 10 1/m, denyut jantung lebih dari 90x/m dan suhu rektal diluar range 35,5 C-38,5 C.



Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan hipoperfusi, atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi:



1. Asidosis laktat 2. Oliguria 3. Atau perubahan akut pada status mental Syok septik merupakan keadaan dimana terjadi penurunan tekanan darah (sistolik < 90mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik > 40mmHg dari baseline) disertai tanda kegagalan sirkulasi, meski telah dilakukan resusitasi secara adekuat atau perlu vasopressor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ (Chen dan Pohan, 2007). Epidemiologi Sepsis adalah penyakit yang umum di perawatan intensif dimana hampir 1/3 pasien yang masuk ICU adalah sepsis. Sepsis merupakan satu di antara sepuluh penyebab kematian di Amerika Serikat. Angka kejadian



sepsis



meningkat secara bermakna dalam dekade lalu. Telah dilaporkan angka kejadian sepsis meningkat dari 82,7 menjadi 240,4 pasien per 100.000 populasi antara tahun 1979 – 2000 di Amerika Serikat dimana kejadian Severe sepsis berkisar antara 51 dan 95 pasien per 100.000 populasi (Hurtado, 2009) Dalam waktu yang bersamaan angka kematian sepsis turun dari 27,8% menjadi 17,9%. Jenis kelamin, penyakit kronis, keadaan imunosupresi, infeksi HIV dan keganasan merupakan faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya sepsis. Beberapa kondisi tertentu seperti gangguan organ secara progresif, infeksi nosokomial dan umur yang lanjut juga berhubungan dengan meningkatnya risiko kematian. Angka kematian syok septik berkurang dari 61,6% menjadi 53,1%. Turunnya angka kematian yang diamati selama dekade ini dapat disebabkan karena adanya kemajuan dalam perawatan dan menghindari komplikasi iatrogenik. Seperti contoh pengembangan protokol early goal resuscitation tidak bertujuan untuk mencapai target supranormal untuk curah jantung dan pengangkutan oksigen.(Srpinger, 2009). Sejak 2002 The Surviving Sepsis Campaign telah diperkenalkan dengan tujuan awal meningkatkan kesadaran dokter tentang mortalitas Severe sepsis dan memperbaiki hasil pengobatan. Hal ini dilanjutkan untuk



menghasilkan



perubahan dalam standar pelayanan yang



akhirnya dapat menurunkan angka



kematian secara bermakna.



Etiologi Penyebab terbesar adalah bakteri gram negatif. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS), yang merupakan komponen terluar dari bakteri gram negatif. LPS merupakan penyebab sepsis terbanyak, dapat langsung mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, yang dapat menimbulkan gejala septikemia. LPS tidak toksik, namun merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung jawab terhadap sepsis. Bakteri gram positif, jamur, dan virus, dapat juga menyebabkan sepsis dengan prosentase yang lebih sedikit. Peptidoglikan yang merupakan komponen dinding sel dair semua kuman, dapat menyebabkan agregasi trombosit. Eksotoksin dapat merusak integritas membran sel imun secara langsung (Hermawan, 2007).



Patogenesis Sepsis melibatkan berbagai mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin. Sitokin proinflamasi dan antiinflamasi terlibat dalam patogenesis sepsis. Termasuk sitokin proinflamasi adalah TNF, IL-1, interferon (IFN-γ) yang membantu sel menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin 1 reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10, yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan. Apabila terjadi ketidakseimbangan kerja sitokin proinflamasi dengan antiinflamasi, maka menimbulkan kerugian bagi tubuh. Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama membentuk LPSab (Lipo Poli Sakarida antibodi). LPSab dalam serum penderita kemudian dengan perantara reseptor CD14+ akan bereaksi dengan makrofag, dan kemudian makrofag mengekspresikan imunomodulator. Hal ini terjadi apabila mikroba yang menginfeksi adalah bakteri gram negatif yang mempunyai LPS pada dindingnya.



Eksotoksin, virus dan parasit yang merupakan superantigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC), kemudian ditampilkan dalam APC. Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari Major Histocompatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan pada peptida MHC kelas II akan berikatan dengan CD4+ (limfosit Th1 dan Th2) dengan perantaraan TCR (T cell receptor). Limfosit T kemudian akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai immunomodulator yaitu: IFN-γ, IL-2 dan M-CSF (Macrophage Colony stimulating factor). Limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN-γ merangsang makrofag mengeluarkan IL-1β dan TNF-α. IFN-γ, IL-1β dan TNF-α merupakan sitokin proinflamasi, pada sepsis terdapat peningkatan kadar IL-1β dan TNF-α dalam serum penderita. Sitokin IL-2 dan TNF-α selain merupakan reaksi sepsis, dapat merusakkan endotel pembuluh darah, yang mekanismenya sampai saat ini belum jelas. IL-1β sebagai imunoregulator utama juga mempunyai efek pada sel endotel, termasuk pembentukan prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah tersensitisasi oleh granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) akan mudah mengadakan adhesi. Interaksi neutrofil dengan endotel terdiri dari 3 langkah, yaitu: 1. Bergulirnya neutrofil P dan E selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan L-selektin neutrofil dala mengikat ligan respektif 2. Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil yang mengikat intergretin CD-11 atau CD-18, yang melekatkan neutrofil pada endotel dengan molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel 3. Transmigrasi neutrofil menembus dinding endotel. Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisozyme yang melisiskan dinding endotel, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga termasuk radikal bebas yang mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs,



sehingga akibatnya endotel menjadi nekrosis, dan rusak. Kerusakan endotel tersebut menyebabkan vascular leak, sehingga menyebabkan kerusakan organ multipel. Pendapat lain yang memperkuat pendapat tersebut bahwa kelainan organ multipel disebabkan karena trombosis dan koagulasi dalam pembuluh darah kecil sehingga terjadi syok septik yang berakhir dengan kematian. Untuk mencegah terjadinya sepsis yang berkelanjutan, Th2 mengekspresikan IL-10 sebagai sitokin antiinflamasi yang akan menghambat ekspresi IFN-γ, TNFα dan fungsi APC. IL-10 juga memperbaiki jaringan yang rusak akibat peradangan. Apabila IL-10 meningkat lebih tinggi, maka kemungkinan kejadian syok septik pada sepsis dapat dicegah. (Hermawan, 2007).



Patofisiologi Syok Septik Endotoksin yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses inflamasi yang melibatkan berbagai mediator inflamasi, yaitu sitokin, neutrofil, komplemen, NO, dan berbagai mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan proses homeostasis dimana terjadi keseimbangan antara inflamasi dan antiinflamasi. Bila proses inflamasi melebihi kemampuan homeostasis, maka terjadi proses inflamasi yang maladaptif, sehingga terjadi berbagai proses inflamasi yang destruktif, kemudian menimbulkan gangguan pada tingkat sesluler pada berbagai organ. Terjadi disfungsi endotel, vasodilatasi akibat pengaruh NO yang menyebabkan maldistribusi volume darah sehingga terjadi hipoperfusi jaringan dan syok. Pengaruh mediator juga menyebabkan disfungsi miokard sehingga terjadi penurunan curah jantung. Lanjutan proses inflamasi menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/MOF). Proses MOF merupakan kerusakan pada tingkat seluler (termasuk difungsi endotel), gangguan perfusi jaringan, iskemia reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang diperkirakan turut berperan adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant substance), malnutrisi kalori protein, translokasi toksin



bakteri, gangguan pada eritrosit, dan efek samping dari terapi yang diberikan (Chen dan Pohan, 2007).



Gejala Klinis Sepsis Tidak spesifik, biasanya didahului demam, menggigil, dan gejala konsitutif seperti lemah, malaise, gelisah atau kebingungan. Tempat infeksi yang paling sering: paru, tractus digestivus, tractus urinarius, kulit, jaringan lunak, dan saraf pusat. Gejala sepsis akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita



diabetes,



kanker,



gagal



organ



utama,



dan



pasien



dengan



granulositopenia.



Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi: 1. Sindrom distress pernapasan pada dewasa 2. Koagulasi intravaskular 3. Gagal ginjal akut 4. Perdarahan usus 5. Gagal hati 6. Disfungsi sistem saraf pusat 7. Gagal jantung 8. Kematian (Hermawan, 2007).



Diagnosis Riwayat Menentukan apakah infeksi berasal dari komunitas atau nosokomial, dan apakah pasien immunocompromise. Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi: 1. Demam atau tanda yang tidak terjelaskan disertai keganasan atau instrumentasi 2. Hipotensi, oliguria, atau anuria



3. Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab yang jelas 4. Perdarahan Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mencari lokasi dan penyebab infeksi dan inflamasi yang terjadi, misalnya pada dugaan infeksi pelvis, dilakukan pemeriksaan rektum, pelvis, dan genital.



Laboratorium Hitung darah lengkap, dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan rontgen dada. Biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan. Temuan awal lain: Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia, hiperbilirubinemia,



dan



proteinuria.



Dapat



terjadi



leukopenia.



Adanya



hiperventilasi menimbulkan alkalosis respiratorik. Penderita diabetes dapat mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat. Selanjutnya, trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu trombin, penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC. Azotemia dan hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase meningkat. Bila otot pernapasan lelah, terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis metabolik terjadi setelah alkalosis respiratorik. Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan ketoasidosis yang memperburuk hipotensi. (Hermawan, 2007).



Penatalaksanaan Tiga prioritas utama dalam penatalaksanaan sepsis: 1. Stabilisasi pasien langsung Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vital pasien harus dipantau. Pertahankan curah jantung dan ventilasi yang



memadai dengan obat. Pertimbangkan dialisis untuk membantu fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri pada pasien hipotensif dengan obat vasoaktif, misal dopamin, dobutamin, dan norepinefrin. 2. Darah harus cepat dibersihkan dari mikroorganisme Perlu segera perawatan empirik dengan antimikrobial, yang jika diberikan secara dini dapat menurunkan perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah sampel didapatkan dari pasien, diperlukan regimen antimikrobial dengan spektrum aktivitas luas. Bila telah ditemukan penyebab pasti, maka antimikrobial diganti sesuai dengan agen penyebab sepsis tersebut (Hermawan, 2007). Sebelum ada hasil kultur darah, diberikan kombinasi antibiotik yang kuat, misalnya antara golongan penisilin/penicillinase—resistant penicillin dengan gentamisin. A.



Golongan penicillin



- Procain penicillin 50.000 IU/kgBB/hari im, dibagi dua dosis - Ampicillin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-10 hari B.



Golongan penicillinase—resistant penicillin



- Kloksasilin (Cloxacillin Orbenin) 4×1 gram/hari iv selama 7-10 hari sering dikombinasikan dengan ampisilin), dalam hal ini masing-masing



dosis



obat



diturunkan



setengahnya,



atau



menggunakan preparat kombinasi yang sudah ada (Ampiclox 4 x 1 gram/hari iv). - Metisilin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-14 hari. C.



Gentamycin



Garamycin, 5 mg/kgBB/hari dibagi tiga dosis im selama 7 hari, hati-hati terhadap efek nefrotoksiknya.



Bila hasil kultur dan resistensi darah telah ada, pengobatan disesuaikan. Beberapa bakteri gram negatif yang sering menyebabkan sepsis dan antibiotik yang dianjurkan: Bakteri Escherichia coli



Antibiotik Ampisilin/sefalotin



Dosis - Sefalotin: 1-2 gram tiap 4-6 jam, biasanya dilarutkan dalam



Klebsiella,



Gentamisin



Enterobacter



50-100 ml cairan, diberikan per drip dalam 20-30 menit untuk menghindari flebitis.



Proteus



Ampisilin/sefalotin



mirabilis Pr. rettgeri, Pr.



- Kloramfenikol: 6 x 0,5 g/hari iv



Gentamisin



morgagni, Pr. vulgaris Mima-Herellea



Gentamisin



Pseudomonas



Gentamisin



Bacteroides



Kloramfenikol/klindamisin



(Purwadianto dan Sampurna, 2000). 3.Fokus infeksi awal harus diobati



- Klindamisin: 4 x 0,5 g/hari iv



Hilangkan benda asing. Salurkan eksudat purulen, khususnya untuk infeksi anaerobik. Angkat organ yang terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang gangren (Hermawan, 2007).



Penatalaksanaan Syok Septik Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan resusitasi yang perlu dilakukan sesegera mungkin. Resusitasi dilakukan secara intensif dalam 6 jam pertama, dimulai sejak pasien tiba di unit gawat darurat. Tindakan mencakup airway: a) breathing; b) circulation; c) oksigenasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan. Pemantauan dengan kateter vena sentral sebaiknya dilakukan untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 812 mmHg, tekanan arteri rata-rata (MAP)>65 mmHg dan produksi urin >0,5 ml/kgBB/jam. 1. Oksigenasi Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat disfungsi atau kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun perfusi. Transpor oksigen ke jaringan juga dapat terganggu akibat keadaan hipovolemik dan disfungsi miokard menyebabkan penurunan curah jantung. Kadar hemoglobin yang rendah akibat perdarahan menyebabkan daya angkut oleh eritrosit menurun. Transpor oksigen ke jaringan dipengaruhi juga oleh gangguan perfusi akibat disfungsi vaskuler, mikrotrombus dan gangguan penggunaan oksigen oleh jaringan yang mengalami iskemia. Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya meningkatkan saturasi oksigen di darah, meningkatkan transpor oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen di jaringan. 2. Terapi cairan



Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian cairan baik kristaloid maupun koloid. Volume cairan yang diberikan perlu dimonitor kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih. Secara klinis respon terhadap pemberian cairan dapat terlihat dari peningkatan tekanan darah, penurunan ferkuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan ekstremitas, produksi urin, dan membaiknya penurunan kesadaran. Perlu diperhatikan tanda kelebihan cairan berupa peningkatan tekanan vena jugular, ronki, gallop S3, dan penurunan saturasi oksigen. Pada keadaan serum albumin yang rendah (< 2 g/dl) disertai tekanan hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan. Transfusi eritrosit (PRC) perlu diberikan pada keadaan perdarahan aktif, atau bila kadar Hb rendah pada keadaan tertentu misalnya iskemia miokardial dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis dipertahankan pada 8-10 g/dl. 3. Vasopresor dan inotropik Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian cairan secara adekuat, tetapi pasien masih mengalami hipotensi. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis rendah secara titrasi untuk mencapai MAP 60 mmHg, atau tekanan sistolik 90 mmHg. Untuk vasopresor dapat digunakan dopamin dengan dosis >8 mcg/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8 mcg/kg/menit atau epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Inotropik yang dapat digunakan adalah dobutamin dosis 2-28 mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mc/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit atau inhibitor fosfodiesterase (amrinon dan milrinon). 4. Bikarbonat



Secara empirik, bikarbonat dapat diberikan bila pH