Kaidah Ushuliyah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KAIDAH USULIYAH D I S U S U N OLEH 1.DEVI ARYANI MARPAUNG (0701182135) 2.RAHMADANI NASUTION (0701181085) 3.SITI SEPTIA FEBIYAULA (0701183270)



PRODI ILMU KOMPUTER FAKULTAS SAINS DAN TEGNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUMATERA UTARA 2019



KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan Nya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat besertakan salam bagi Nabi Muhammad SAW yang sangat kita harapkan syafa’atnya di hari akhir nanti. Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat Nya baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran sehingga penulis mampu menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas kelompok dari mata kuliah Fiqih yang berjudul “Kaidah Usuliyah”. Penulis menyadari betul bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan memiliki kesalahan dan kekurangan didalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran yang membangun uttuk lebih baik lagi kedepannya. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan membatu dalam belajar. Terimakasih. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.



Medan, 13 Oktober 2019



Penulis



II



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ................................................................................................. II DAFTAR ISI ............................................................................................................... III BAB I ............................................................................................................................ 4 PENDAHULUAN ........................................................................................................ 4 A. Latar Belakang...................................................................................................... 4 B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 5 C. Tujuan ................................................................................................................... 5 BAB II ........................................................................................................................... 6 PEMBAHASAN ........................................................................................................... 6 A. Pengertian Ushuliyyah.......................................................................................... 6 B. ‘Am dan Khas, Amr dan Nahi .............................................................................. 6 1. ‘Am dan Khas .................................................................................................... 6 A) Lafal Umum ...................................................................................................... 7 B) Lafal Khas ....................................................................................................... 11 2. Amr dan Nahi ................................................................................................... 11 A) Amr (Perintah) ................................................................................................ 11 B) Hukum- hukum yang Mungkin Ditunjukkan oleh Bentuk Amr .................... 15 C) Kaidah- kaidah yang Berhubungan dengan Amr ............................................ 16 3. Nahi (Larangan) ................................................................................................ 16 A) Pengertian dan Bentuk bentuk Nahi ............................................................... 16 B) Beberapa kemungkinan Hukum yang Ditujukan Bentuk Nahi ...................... 17 C) Kaidah- kaidah yang berhubungan dengan Nahi (Larangan) ............................. 18 BAB III ....................................................................................................................... 20 PENUTUP ................................................................................................................... 20 A. Kesimpulan ......................................................................................................... 20 B. Saran ................................................................................................................... 20 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 22 III



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kaidah ushuliyyah adalah kaidah yang berkaitan dengan bahasa. Dan kaidah ushuliyyah ini juga merupakan kaidah yang sangat penting, karena kaidah ushuliyyah merupakan media atau alat untuk menggali kandungan makna dan hukum yang tertuang dalam nash Alquran dan As-Sunnah. Kaidah-kaidah ushuliyah di sebut juga kaidah Istinbat atau kaidah Lugawiyah. Memahami redaksi Al-Qur’an dan Al-Hadits bagaikan menyelam ke dalam samudra yang dalam lagi luas dibutuhkan kunci, metode dan keilmuan khusus untuk sampai ke sana sehingga kita bisa mengetahui maksud dan tujuan nash Al-Qur’an dan Al-Hadits baik dari sudut teks maupun dari aspek makna. Diantara beberapa pembahasan yang berkaitan dengan Ilmu Ushul Fiqih yang didalamnya terdapat kaidah-kaidah (ushuliyah) yaitu tentang ‘Am, Khas, Amr, dan Nahi. Ilmu ushul fiqh menyajikan berbagai cara dari berbagai aspeknya untuk menimba pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Untuk memahami teks-teks dari dua sumber yang berbahasa Arab tersebut, para ulama telah menyusun semacam sistematik yang akan digunakan dalam praktek penalaran fiqih. Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam beberapa tingkat kejelasannya. Secara garis besar, metode istinbath dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu segi kebahasaan, segi mawasid(tujuan) syari’ah, dan segi penjelasan beberapa dalil yang bertentangan. Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an dalam menyampaikan ajaran Allah dan begitu juga Sunnah Rasulullah ada yang berbentuk amr(perintah), nahi(larangan), dan takhyir(pilihan). dari tiga kategori ayat-ayat hukum itulah terbentuk hukumhukum, seperti wajib, mandub, haram, makruh dan mubah. dalam makalah ini, yang



4



akan dibahas adalah masalah metode istinbath bila dilihat dari segi kebahasaan yang berbetuk amr(perintah) dan nahi (larangan).



B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian ‘Am, Khas, Amr dan Nahi? 2. Apa sajakah hukum-hukum ‘Am, Khas, Amr dan Nahi 3. Bagaimana kedudukan ‘Am, Khas, Amr dan Nahi?



C. Tujuan 1. Untuk mengetahui apa pengertian kaidah Ushuliyah 2. Untuk mengetahui apa saja jenis jenis Ushuliyah 3. Untuk mengetahui kaidah dari Ushuliyah



5



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Ushuliyyah Kaidah ushuliyyah adalah kaidah yang berkaitan dengan bahasa. Dan kaidah ushuliyyah ini juga merupakan kaidah yang sangat penting, karena kaidah ushuliyyah merupakan media atau alat untuk menggali kandungan makna dan hukum yang tertuang dalam nash Alquran dan As-Sunnah. Kaidah-kaidah ushuliyah di sebut juga kaidah Istinbat atau kaidah Lugawiyah. Disebut kaidah istinbat karena kata istinbat bila dihubungkan dengan hukum, seperti dijelaskan oleh Muhammad bin ‘Ali al-Fayyumi (w.770 H) ahli Bahasa Arab dan Fikih, berarti upaya menarik hukum dari Alquran dan Sunnah dengan jalan Ijtihad. Secara garis besar, metode istibat dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu segi kebahasaan, segi maqasid (tujuan) syari’ah, dan segi penyelesaian beberapa dalil yang bertentangan. Disebut kaidah lughawiyyah karena berdasarkan makna dan tujuan ungkapanungkapan yang telah di terapkan oleh para ahli bahasa Arab, sesudah diadakan penelitian-penelitian yang bersumber dari kesusasteraan Arab. Dalam hal ini para ulama ushul telah menjadi kebiasaan mereka membicarakan masalah bahasa dan pengertian pengertiannya terlebih dahulu sebab mereka sangat mementingkan untuk mengetahui ciri suatu lafaz (kata) atau uslub (gaya bahasa) karena ciri-ciri itu dapat memberi pengertian tertentu yang dipandang lebih tepat



B. ‘Am dan Khas, Amr dan Nahi 1. ‘Am dan Khas Menurut ahli ushul fiqh, nash-nash yang berkaitan dengan hukum, bila ditinjau dari segi cakupan maknanya dibagi kepada lafal umum (‘am) dan lafal Khusus(khas).



6



A) Lafal Umum 1. Pengertian Lafal Umum Al-Amidi, seorang ulama mazhab Syafi’I, mendefenisikan lafal umum, sebagai berikut:1



Suatu lafal yang menunjukkan dua hal atau lebih secara bersamaan dengan mutlak. Dari defenisi ini diketahui hakikat lafal umumnya, yaitu lafal yang terdiri dari satu pengertian secara tunggal, tetapi mengandung beberapa satuan pengertian(afrad). Setiap lafal tunggal dapat dipakai untuk setiap satuan pengertiannya ecara sama dalam penggunaannya. Bila hukum berlaku pada satu lafal umum, maka hukum itu berlaku pula untuk setiap satuan pengertian yang tercakup dalam lafal itu. Ada beberapa kata yang menunjukkan makna umum, dinataranya: (1) Kata kullu yang berarti setiap dan jami’ yang berarti semua, seperti firman Allah surah al-Baqarah ,2:29:



“Dia-lah Allah, yang menjaikan segala yang ada dibumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”. (2) Kata jama’ (plural) yang disertai Aalif dan Iam diawalnya, seperti kata al-walidat dalam firman Allah Surat al-Baqarah,2:233; 1 Syarifudin amir, Ushul Fiqh (Padang : Publisher Bestari Buana Murni Group Pt, 2004).h130.



7



”Para ibu hendaknya menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh , yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” Kata al-walidat dalam ayat ini bersifat umum, meliput setiap yang bernama ibu. (3) Kata benda tunggal yang dina’rifahkan dengan alif dan lam. Misalnya, kata alinsan pada firman Allah surat Al-Ashr, 103:2:



“Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian” (4) Isim syarat (kata benda untuk mensyaratkan),seperti kata man dalam firman Allah an- Nisa’,4:92:



“Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang berimanan.” (5) Isim makirah (indefinite noun) yang dinafikan , seperti kata la junaha dalam firman Allah al-Mumtaahanah, 60:10:



“Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya.”



8



2. Pembagian Lafal Umum Berdasarkan penelitian ulama terhadap al-nushus , lafal umum terbagi menjadi tiga bagian: 1. Lafal umum yang dimaksudkan secara pasti untuk umum ini disertai indikasi yang menafikan kemungkinan takhsis, seperti firman Allah surat Hud 11:6:



“Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauful Mahfuzh)” Ayat ini merupakan jaminan Allah terhadap semua makhluk untuk mendapat rezki dalam ayat ini merupakan sunnatullah yang tidak dapat di takhsis dan diganti. Ayat ini merupakan qath’I al-dalalah untuk menunjukkan umum. 2. Lafal umum yang dimaksud secara qath’i untuk untuk khusus dengan disertai indikasi yan menafikan lafal tersebut tetap umum. Misalnya, firman Allah surat Ali Imran, 3:97:



“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” Kata al-nas (manusia) dalam ayat ini adalah umu, tetapi yang dimaksudkan hanyalah orang –orang mukhallaf. Secara logika, anak-anak dan orang gila keluar dari kewajiban melaksanakan ibadah haji tersebut.2



2. Syarifudin amir, Ushul Fiqh (Padang : Publisher Bestari Buana Murni Group Pt, 2004).h133.



9



3. Lafal umum yang terbebas dari indikasi yang dimaksud adalah makna umum atau sebagian cakupannya. Misalnya, firman Allah surat al-Baqarah, 2:228:



“wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu)tiga kali quru.” Lafal umum dalam ayat ini adalah al-mutallaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari inidikasi yang menunjukkan makan umumnya atau sebagian. Dalam kasus ini, jumhur ulama berpendapat, sebagaimana dikutip Adip Saleh, berlaku kaidah ushul fiqh bahwa sebelum terbukti ada pentakhishnya, ayat out harus diterapkan kepada smeua satuan cakupannya secara umum. Dalam kajian lafal umum, para ulama juga membahas tentang takhsis. Takhsis ialah penjelasan bahwa yang dimaksud Syar’I dalam suatu lafal umum sejak semula hanya sebagian dari cakupannya, bukan seluruhnya.3 Dengan kata lain , takhsis adalah mengeluarkan sebagian dari satuan yang dicakuo lafal umum dengan dalil. Dalil-dalil yang mentakhsis lafal umum adakalanya berdiri sendiri atau terpisah dari lafal umum. Adapun dalil- dalil takhsis yang tidak berdiri sendiri atau berhubungan langsung dengan lafal umum dalam bahasa arab dikenal dengan istilah istima’, syarat,sifat, dan khiyah. Contoh nya pada firman Allah surat An- Nisa ayat 101, ayat tersebut bersifat umum, tetapi telah ditakhsis oleh syarat yang terdapat pada ayat tersebut. Tegasnya, bagi setiap muslim boleh mengqashar shalat dengan syarat melakukan perjalanan. Sedangkan ,dalil –dalil takhsis yang berdiri sendiri adalah nash, urf, akan dan hikmah al –Tasyti’. Ahli ushul fiqh sepakat menjadikan nash sebagai dalil takhsis.Nash yang dimaksud adalah ayat-ayat al Qur’an , hadis, mutawatir dan mashur. Namun, mereka berbeda pendapat tentang kedudukan hadis ahad sebagai dalil takhsis.Perbedaan 3 Syarifudin amir, Ushul Fiqh (Padang : Publisher Bestari Buana Murni Group Pt, 2004).h134.



10



pendapat ini berawal dari perbedaan menilai bobot dalalah (penunjukan) lafal umum kepada seluruh satuannya. Jumhur ulama berpendapat ,lafal umum dalam Al Qur’an dapat di takhsis oleh Hadia ahad. B) Lafal Khas Lafal Khas adalah suatu lafal yang mengandung satu pengertian secara tunggal. Menurut Abu Zahran , para ulama sepakat memahami lafal Khas menunjukkan untuk pengertian khusus secara qath’i (pasti) dan hukum yang dikandungnya bersifat qath’I selama tidak ada indikasi yang menunjukkan pengertian lain.4 Misalnya pada firman Allah surat al Maidah ayat 89



“Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.” Berdasarkan ayat ini, kaffarat orang melanggar sumpah adalah memberikan makan sepuluh (asyarah) orang miskin . Kata asyarah dalam ayat hanya diciptakan untuk bilangan sepuluh sudah pasti dan tidak ada kemungkinan pengertian lain. Demikianlah dipahami setiap pengertian Khas dalam al Qur’an , selama tidak ada dalil yang memalingkan kepada pengertian lain, seperti makna majazi (metafora). 2. Amr dan Nahi A) Amr (Perintah) Menurut mayoritas ulama ushul fiqh, amr adalah :



4 Syarifudin amir, Ushul Fiqh (Padang : Publisher Bestari Buana Murni Group Pt, 2004).h136.



11



Suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya. Perintah untuk melakukan suatu perbuatan, seperti dikemukakan oleh Khudari Bik dalam bukunya Tarikh al- Tasyri;, di sampaikan dalam berbagai gaya atau redaksi , antara lain: 1. Perintah tegas dengan menggunakan kata amr dan yang seakar dengannya. Misalnya dalam ayat :



2. Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas seseorang dengan memakai kata kutiba (‫كتب‬, diwajibkan). Misalnya dalam firman Allah :



12



c. Perintahdengan memaki redaksi pemberitaa (Jumlah khabariyah) namun yang dimaksud adalah perintah. Misalnya dalam ayat:



d. Perintah dengan memakai kata keerja perintah secara langsung. Misalnya firman Allah:



e. Perintah dengan memakai kata kerja mudhari ( kata kerja untuk sekarang dan yang akan datang ) yang disertai oleh lam al-amr (huruf yang berarti perintah).Misalnya pada ayat :



f. Perintah dengan menggunakan kata faradha (mewajibkan). Misalnya pada ayat :



13



… sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sehaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu…(QS. Al-Ahzab [33]:50) g. Perintah dalam bentuk penilaian bahwa perbuatan itu adalah baik . Misalnya firman Allah :



h. Perintah dalam bentuk menjanjikan kebaikan yang banyak atas pelakunya . Misalkan ayat:



14



B) Hukum- hukum yang Mungkin Ditunjukkan oleh Bentuk Amr Suatu bentu perintah, seperti dikemukakan oleh Muhammad Adib Saleh, gyry besar Ushul fiqh Universitas Damaskus, bisa digunakan untuk berbagai perngertian , antar lain : 1.Menunjukkan hukum wajib seperti perintah shalat. 2. Untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu boleh dilakukan, misalnya surah Al Mukminuun ayat 52 yang artinya : “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al Mukminuun :[21]:51) 3. Sebagai anjuran , seperti dalam ayat :



4.Untuk melemahkan , misalnya ayat :



5. Sebagai ejekan dan penghinaan, misalnya firman Allah berkenaan dengan orang – orang yang ditimpa siksa di akhirat nanti sebagai ejekan atas diri mereka dalam surat ad-dukhaan ayat 49:



15



C) Kaidah- kaidah yang Berhubungan dengan Amr Apabila dalam nash (teks) syara’ terdapat salah satu dari bentuk perintah tersebut, maka seperti dikenukakan Muhammad Adib Saleh, ada beberapa kaidah yang mungkin dapat di berlakukan. Kaidah pertama, Pada dasarnya perintah menunjukkan hukum wajib dilaksanakan kecuali ada indikasi atau dalil yang memalingkannya dari hukum tersebut. Contohnya pada ayat 77 surat an-Nisa yang artinya : “… Dan dirikanlah salat dan tunaikan zakat….” Ayat tersebut menunjukkan hukum wajib mendirikan shalat dan membayar zakat. Kaidah kedua, Pada dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan harus berulang kali dilakukan kecualu ada dalil untuk itu. Karena suatu perintah hanya menunjukkan perlu terwujudnya perbuatan yang diperintahkan itu dan hal itu sudah bisa tercapai meskipun hanya dilakukan satu kali. Contohnya pada surah Al Baqarah ayat 196 yaitu perintah melakukan haji satu kali selama hidup. Kaidah ketiga, Pada dasarnya suatu perintah tidak menghendaki untuk segera dilakukan selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan untuk itu, karena yang dimaksud oleh suatu perintah hanyalah terwujudnya perbuatan yang di perintahkan. Seperti dinukil Muhammad Adib Shalih bahwa suatu perintah menunjukkan hukum wajib segera dilakukan, menurut pendapat ini barangsiapa yang tidak segera melakukan suatu perintah diawal waktu ,maka ia berdoa B) Nahi (Larangan) 1. Pengertian dan Bentuk bentuk Nahi Mayoritas ulama ushul fiqh mendefenisikan nahi sebagai larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak



16



yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu. Berikut larangan larangan Allah: a. Larangan secara tegas dengan memakai kata naha atau seakar dengannya yang secara bahasa berarti melarang. b.Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan di haramkan. c.Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan. d. Larangan dengan menggunakan kata kerja mushari’(kata kerja untuk sekarang /mendatang)yang disertai huruf lam yang menunjukkan larangan e. Larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk meninggalkan. f.Larangan dengan cara mengancamm pelakunya dengan siksaan pedih. g. Larangan dengan menyifati perbuatan itu dengan keburukan. h. Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri. 2. Beberapa kemungkinan Hukum yang Ditujukan Bentuk Nahi a. Untuk menunjukkan hukum haram , surah al-Baqarah ayat 221



”Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita wanita mukmin) sebelum mereka beriman . Sesungguhnya budak mukmin



17



lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,sedang Allah mengajak kesurga dan ampunan dengan izin Nya.Dan Allah menernagkan ayat ayat Nya (Perintah perintah Nya) ke pada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. b. Sebagai anjuran untuk meninggalkan ,misalnya ayat 101 surat al maidah



c. Penghinaan ,contohnya ayat 7 surat at-Tahriim :



d.Untuk menyatakan permohonan, misalnya ayat 286 surah al Baqarah



C) Kaidah- kaidah yang berhubungan dengan Nahi (Larangan) Kaidah pertama, Pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan yang dilarang itu kecuali ada indikasi yang menunjukkan hukum lain.



18



Larangan jual beli dalam ayat tersebut menurut mayoritas ulama ushul fiqh menunjukkan hukum makhruh karena ada indikasi, yaitu bahwa larangan tersebut bukan ditunjukkan kepada esensi jual beli itu sendiri tetapi kepada hal hal yang di luar zatnya yaitu adanya ke khawatiran akan melailaikan seseorang dari bersegera sholat jum’at. Jadi yang tidak wajib melakkan sholat jumat seperti wanita boleh berjualan. Kaidah kedua, Suatu larangan menunjukkan fasad (rusak) perbuatan yang dilarang itu jika dikerjakan. Contohnya larangan terhadap suatu zat ialah larangan berzinah ,larangan menjual bangkai, dan dalam masalah ibadah seperti larangan shalat dalamkeadaan berhadas, baik kecil maupun besar. Larangan- larangan dalam hal tersebut menunjukkan batalnya perbuatan itu bilamana tetap dilakukan. Kaidah ketiga, Suatu larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya contohnya ayat 18 surah Luqman :



Larangan tersebut mengajarkan agar berjalan di permukaan bumi dengan rendah hati dan sopan.



19



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Amm adalah lafal yang menunjukkan pengertian umum yang mencakup satuansatuan (afrad) yang ada dalam lafal itu tanpa pembatasan jumlah tertentu.Adapun lafadz Khas menurut bahasa ialah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari `âm..Amar adalah suatu lafaz yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah untuk meminta bawahannya mengerjakan suatu pekerjaan yang tidak boleh ditolak.Nahi adalah suatu lafaz yang mengandung makna tuntutan meninggalkan sesuatu perbuatan. Nahi yaitu larangan, meninggalkan suatu perbuatan yang dilarang untuk melakukannya. Hukum-hukum kaidah-kaidah ushuliyyah, sebagai berikut: Hukum lafaz khas secara garis besar adalah bahwasannya apabila ada nash syar’i, maka ia menunjukkan dengan dalalah yang qath’i terhadap maknanya yang khusus yang ditetapkannya untuknya secara hakekat. Sedangkan hukum bagi madlulnya (yang ditunjukinya) tetap secara pasti, bukan dengan jalan zhann (dengan kuat). Hukum amar yaitu, Mennjukkan hukum wajib seperti perintah untuk salat, Untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu boleh dilakukan, sebagai anjuran dan Sebagai ejekan dan penghinaan. Hukum nahi yaitu, Menunjukkan hukum haram, Sebagai anjuran untuk meninggalkan, Untuk menyatakan permohonan dan penghinaan. B. Saran Penyusun makalah ini hanya manusia yang memiliki keterbtasan ilmunya, yang hanya mengandalkan buku referensi dan rujukan yang telah ada saja. Oleh karena itu, 20



penyusun menyarankan agar para pembaca yang ingin mendalami masalah Kaidah Ushulluiyyah ini, diharpkan agar setelah membaca makalah ini, kemudian membaca sumber-sumber lain yang lebih komplit, yang tidak hanya sebatas membaca makalah ini saja.



21



DAFTAR PUSTAKA Syarifudin Amir,Ushul Fiqh,Padang:Pubisher Bestari Buana Murni Group PT,2004. Ya’qub Aminuddin,Ushul Fiqh,Jakarta:Prenada Media Group,2017. http://shohifu.blogspot.com/2013/05/kaidah-ushuliyah/html (13 Oktober 2019) http://taufiqulkhaliqnurdin.blogspot.com/2016/05/makalah-ilmu-fikih-kaidahkaidah.html (13 Oktober 2019)



22