5 0 262 KB
KAIDAH AL-ZIY>A>DAH, AL-TAQDI>>>>>id at-Tafsi>r, agar pesan-pesan ilahiyah yang terdapat di dalamnya dapat menjadi pegangan untuk diamalkan dalam berbagai aspek kehidupan, baik yang menyangkut hubungan dengan Allah maupun hubungan dengan sesama manusia dan lingkungan.1 Salah satu kaidah yang dapat membantu untuk menangkap pesan-pesan ilahiyah yaitu memahami kaidah ziya>dah taqdir wal hadzf dan kaidah taqdi>m wa ta’khi>r. Olehnya itu penulis mencoba menyajikan kaidah tersebut dalam tulisan ini. Semoga apa yang penulis sajikan bisa menambah wawasan para pembaca dan membantu khususnya umat Islam dalam memahami ayat-ayat alQur’an. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana Pengertian Kaidah Ziya>dah, Taqdir wal Hadzf ,dan Taqdi>m wa Ta’khi>r? 2. Bagaimana Kaidah Ziyadah ,Taqdir wal Hadzf dan Taqdi>m wa Ta’khi>r?
Abd. Karim Hafid, Berbagai Sudut Pandang dalam Memahami Bahasa Arab, (Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 218. 1
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Ziya>dah, Al-Taqdi>r wal Hadzf dan Taqdi>m wa Ta’khi>r 1. Ziya>dah Kata al-ziya>dah adalah bentuk masdar dari akar kata zada, yazidu, zaydan, ziyadatan yang berarti penambahan atau sesuatu yang digabungkan kepada sesuatu yang lainnya.2 Al-ziya>dah secara etimologi menurut Ibnu Faris dilihat dari asal katanya zai, ya‘ dan dal artinya tambahan/kelebihan. Mereka berkata za>da al-syai’ yazi>du fahuwa za>id. 3 زاد الشىء يزيد فهوزائد: يقولون. اصل يدل على الفضل ٌ الزاء والياء والدال
Secara terminologi, al-ziya>dah} memiliki beragam definisi menurut berbagai pakar ulama, baik dari segi bahasa maupun istilah. Adapun perbedaan ziya>dah, memiliki manfaat dan tujuan dalam menggunakannya di antaranya ialah a. Ulama Nahwu, mengemukakan bahwa ziya>dah tidak memiliki posisi dalam I’rab, maksudnya ziya>dah tidak terletak pada maknanya, akan tetapi, ziya>dah terletak pada lafaz-lafaz tersebut. Begitu pula yang dimaksud oleh ulama Tasrif. b.
Ulama Bahasa, mengatakan bahwa ziya>dah adalah penambahan huruf yang tidak memliki makna dan faedah sama sekali akan tetapi ia sebagai penghias dalam kata.
c.
Ulama Tafsir, mereka cenderung sama dengan pendapat ulama nahwu, dan terlebih ziya>dah tidak mungkin dimasukkan dalam al-Qur´an,
Ahmad Kholabi Kharlie, “ Kontroversi Ulama Seputar Kedudukan Al-ziyadah ‘Ala AlNash dan Dampaknya Terhadap Fiqih,” Al-Qalam 21 no. 101 (Agustus 2004): h. 261 2
Khalid Usman al-Sabt, Qawa´id Al-Tafsir, (Cet. I; Dar Ibn Affan), h. 438.
3
jika ziya>dah itu sebagai huruf penambahan yang tidak mempunyai makna berfaedah atau sia-sia. Sebagian ulama tafsir memperingatkan agar
waspada
menggunakan
istilah
ziya>dah
karena
akan
menimbulkan kesalahpahaman dan kebimbangan dalam masyarakat awam.4 Jika ada satu kata yang dinilai tidak dibutuhkan dalam kalimat, karena kalimat tersebut telah lurus dan jelas maknanya. Bila tanpa huruf ziya>dah itu.hal ini banyak ditemukan dalam bahasa Arab. Tapi hal yang demikian tidak terdapat dalam al-Qur’an. Banyak ulama yamg menolak adanya huruf ziya>dah karena menurut mereka, “tidak ada satupun kata/ huruf di dalam al-Qur’an yang berlebih.” Maka mereka memberi jalan tengah menyatakan bahwa tidak ada ziya>dah dalam al-Qur´an yang tidak mempunyai tujuan atau penambahan makna. Bisa jadi tanpa berlebih itu bukan berarti ia menjadi lurus dan jelas, tapi dengan adanya, maka akan lebih jelas kelurusan itu, dan pemaknaan pada kalimat semakin jelas. Inilah yang dikatakan dengan Ziya>dah. 5 2. Taqdi>r wal Hadzf Dari segi etimologi al-Taqdir memiliki banyak arti, diantaranya yang lebih tepat adalah “bermaksud mengerjakan suatu janji.” 6 Al-taqdi>r menurut ulama Nahwu yaitu “suatu lafaz| yang diinginkan oleh si pembicara namun tidak diungkapkan dengan jelas”. Kata al-haz|f secara etimologi berasal dari kata ف-ذ- حyang berarti penghapusan, pembuangan atau pengguguran.
Kamaluddin Abu Nawas, Studi Kritik atas Berbagai Persoalan Kebahasaan, (Cet. I; Sultan Alauddin: AlauddinPress, 2012), h. 54. 4
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Cet. I; Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 106. Salman Harun, Kaidah-Kaidah Tafsir, Cet. I ( jakarta; QAF Media Kreativa, 2017) h. 332 5
6
Secara terminologi kata al-haz|f menurut para ahli Nahwu dan ahli balagah adalah pengguguran harakat ataupun kata, baik dalam jumlahnya banyak atau sedikit. 7 Jadi al-taqdi>r dalam makalah ini adalah memperkirakan lafaz yang tidak diungkapkan secara jelas, akan tetapi lafaz tersebut hanya tersirat melalui qari>nah (indikasi) kalimat itu sendiri, sedangkan al-haz\f adalah membuang huruf atau lafaz yang tidak akan merusak makna kalimat tersebut dengan alasan-alasan tertentu. 3. Taqd>im wa Takh>ir Kata taqdi>m dalam Mu’jam Maqa>yis fi al-Lughah berasal dari akar kata ق–د–مakar kata ini berarti kepada apa yang terdahulu atau apa yang telah berlalu. Dikatakakan Al-Qidam yang bermakna lawan kata dari huduts atau baharu. Kalau dikatakan syaiun qadim jika waktunya telah berlalu atau sesuatu yang telah lampau.8 Kata taqdi>m lawannya adalah kata ta’khi>r. Taqdi>m yang dimaksud dalam kaidah ini adalah mendahulukan satu lafaz atau ayat yang satu dari lafaz atau ayat yang lain. Kata ta’khi>r berakal kata dari أ–خ–ر.9 Arti pokoknya adalah belakang, mundur. Ta’khi>r, membelakangkan, menempatkan di akhir, yaitu lawan kata taqdim. Akan tetapi ta’khi>r yang dimaksud pada kaidah ini adalah mengakhirkan satu kata atau ayat yang satu dari ayat atau kata yang lain. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kaidah taqdi>m dan ta’khi>r adalah suatu dasar atau patokan untuk mengetahui penyebab suatu 7
Rusydi Khalid, Qawaid Tafsir, Cet. I, Alauddin University Press, h. 81
Rusydi Khalid, Kaidah-Kaidah untuk Menafsirkan al-Qur’an, (tc; Jakarta: Sejahtera Kita, 2016), h. 79 mengutip dalam bukunya Ibn Fa>ris bin Zakariya, Mu’jam al-Maqa>yyis fi alLughah, (Cet. I; Beirut: Da>r al-Fikr, 1994), h. 878. 8
Rusydi Khalid, Kaidah-Kaidah untuk Menafsirkan al-Qur’an,h. 79 mengutip dalam bukunya Ibn Fa>ris bin Zakariya, Mu’jam al-Maqa>yis fi al-Lughah,h. 878. 9
lafaz, atau ayat itu didahulukan dan diakhirkan dan untuk memperlihatkan kekhususan, keutamaan dan ketika dibutuhkan.10 B. Kaidah Ziya>dah, Al-Taqdi>r wal Hadzf dan Taqdi>m wa Ta’khi>r 1. Kaidah Ziya>dah Kaidah Pertama
زائد يف القرآن ال “Tidak ada kata tambahan dalam al-Qur’an”. Maksud dari kaidah ini bahwa pada dasarnya tidak ada (ziyadah) tambahan di dalam Al-Qur’an karena Al-Qur’an disucikan dari segala bentuk kesia-siaan dan penambahan- penambahan yang tidak berfaedah.11 Ada dua hal yang mencakup kaidah ini: a. Sesuatu yang tidak memiliki makna. karena kalimat yang tidak mengandung makna dipandang sia-sia dan itu artinya cacat. Allah telah menyatakan bahwa al-Qur’an sebagai petunjuk, penyembuh dan penjelasan dan kesemuanya itu tidak mungkin terdapat dalam perkataan yang tidak bermakna. Pada bentuk ini jelas tidak sesuai dengan kemukjizatan al-Qur’an sebagai kitab Allah. Di dalam al-matsal al sa’ir dinyatakan, “ Siapa yang berpendapat bahwa didalam al-Qur’an terdapat kata-kata tambahan yang tidak ada maknanya, ia mungkin tidak mengerti firman itu, atau mungkin saja agama dan akidanya dipertanyakan.”12
10 11 12
323
Rusydi Khalid, Kaidah-Kaidah untuk Menafsirkan al-Qur’an,h.79.
Khalid ibn ‘Usman al-Sabt, Cet. I., h. 350
Salman Harun, Kaidah-Kaidah Tafsir, Cet. I ( jakarta; QAF Media Kreativa, 2017) h.
Sesuatu yang tidak merusak makna aslinya atau tidak mengubah keaslian maknanya meskipun tambahan tersebut dihilangkan. Menurut al-Zarkasyi, ungkapan ulama bahwa ma’ , tambahan, ba’ tambahan dsb., maksudnya adalah bahwa perkataan tersebut tidak cacat tanpa ketidakhadiran huruf ziyadah tersebut, bukan berarti tidak memiliki faedah sama sekali. Karena yang demikian itu tidak diperbolehkan oleh pencipta bahasa, terlebih lagi dalam perkataan Allah swt. Adanya usnsur penambahan dalam perkataan tersebut karena ada unsur kesengajaan atau ada maksud tertentu. Semua pernyataan bahwa dalam al-Qur’an terdapat tambahan, maksudnya adalah untuk menekankan (tawkid) karena penambahan ucapan bukan karena kelalaian penutur tetapi disengaja. 13 Menurut al-Zarkasi, perkataan ulama dalam menyikapi kaidah ziya>dah contohnya ("زائدة,الباء, )ما"زائدةdalam perkataan tersebut tidak rusak atau cacat maksud dari perkataan tersebut, tanpa ziya>dah bukan berarti pemaknaan aslinya dihapuskan dan tidak memiliki faedah sama sekali, demikian itu tidak diperbolehkan dalam pakar bahasa, terlebih bagi perkataan Allah yang tercantum dalam al-Qur’an.14 Ar-Rafi’ r.a berpandangan bahwa, terdapat kalimat ziya>dah (tambahan) dalam al-Qur´an, sebagaimana firman Allah swt QS. Ali-Imra>n/3: 159.
ِِ ٍِ ت هَلُم َ …فَبِ َما َرمْح َة م َن اللَّه لْن.
Terjemahnya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Para ahli Nahwu mengemukakan bahwa “ "ماdalam ayat tersebut adalah ziya>dah (tambahan) dari segi I’rab, kebanyakan orang tidak mengetahui 13
Rusydi Khalid, Kaidah-Kaidah untuk Menafsirkan al-Qur’an,h.71
14
Khalid Usman al-Sabt, Qawa’id al-Tafsir, (Cet. I; Dar Ibn Affan), h. 349
menganggap bahwa
itu merupakan tambahan dari susunan lafaz, padahal
ziya>dah merupakan suatu bentuk penggambaran yang jika dihapuskan dari salah satu gambaran, maka akan mengurangi unsur-unsur keindahan yang terdapat di dalam kalimat. Maksud dari ayat tersebut adalah menggambarkan kelemah lembutan Nabi Muhammad saw. terhadap kaumnya. Dan ini merupakan rahmat dari Allah, kemudian dihadirkan huruf ما. huruf ini menunjukkan lafaz ta´kid (penguat) yang memberikan penekanan makna "( "اللنيkelemah lembutan). Pada pengucapan kalimat, menimbulkan kesan yang baik, kemudian pemisah huruf " اءAA "البsebagai huruf ja>r dengan majru>r adalah (sebagai lafaz rahma) mengarahkan pada jiwa untuk melakukan tadabbur (perenungan) makna memalingkan pikiran yang bernilai besar dari rahmat dan kasih sayang apa yang terkandung didalamnya. Demikianlah kefasihan bahasa al-Qur´an.15 Telah dijelaskan sebelumya bahwa tidak boleh ada dalam al-Qur´an suatu lafaz yang tidak memiliki makna. Contoh lainnya QS. al-Syu>ra>/42: 11
ِِ ِ ِ الس ِميع الْب )11( ُصري َ ُ َّ س َكمثْله َش ْيءٌ َو ُه َو َ لَْي
Abu Hayyan berpendapat dan hampir mirip dengan Ibn Hasyim, bahwa ka>f, dan mis|li
mempunyai arti arti yang sama, sehingga tidak dibenarkan
memahaminya sesuai dengan lafaznya, karena akan dipahami sebagai هAAل مثلAAيئ مثAAش ليسsehingga ia berfungsi sebagai ta’kid, berbeda lagi dengan pendapat Abu Ja’far al-T}usi menggangap bahwa ka>f tersebut bukan ziya>dah karena ia bermakna Allah menafikan ada yang sama dengan dirinya.16
15
Khalid Usman al-Sabt, Qawa’id al-Tafsir, (Cet. I; Dar Ibn Affan), h. 352
Kamaluddin Abu Nawas, Studi Kritik atas Berbagai Persoalan Kebahasaan, (Cet. I; Sultan Alauddin: AlauddinPress, 2012), h. 106-113. 16
Menurut M. Quraish Shihab dalam bukunya, berpendapat ayat yang berbunyi يئAA شAهA A ليس كمثلbila diterjemahkan secara harfiah, maka ia akan berbunyi “Tidak ada yang seperti, sepertinya”, demikian dengan kata ka>f dan mis|li keduanya berarti serupa dan seperti, alasan ayat tersebut dapat dipahami artinya dengan lurus dengan ditinggalkan salah satu makna yakni, “Tidak satu yang seperti/serupa dengan Tuhan”, (baik dalam kenyataan maupun dalam hayalan). Pakar tafsir mencari rahasia di balik ziya>dah,. Sementara mereka menjelaskan bahwa yang seperti sepertiNya itu tidak ada, apalagi yang sama denga Dia, Yang MahaKuasa. Dengan demikian kata seperti yang kedua dan menafikan keserupaan dengan sesuatu lebih jelas ddibanding dengan menyebut sekali lagi kata seperti.17 Kaidah Kedua
)زيادة املبىن تدل على زيادة املعىن (قوة اللفظ لقوة املعىن
“Penambahan bina’ (model) menunjukkan adanya penambahan makna (Kekuatan lafaz untuk kekuatan makna)“ Yang dimaksud dengan kaidah ini adalah setiap kali ada penambahan huruf atau penambahan wazan (timbangan lafaz) atau penambahan tasydi>d pasti berdampak pada penambahan makna atau penegasannya.18 Di antara contoh penambahan wazan adalah رمحنAA A الlebih ba>lig (kuat) dari pada wazan رحيمAA A الdi mana kata رمحنAA A الdiarahkan pada kasih sayang Allah di dunia yang mencakup semua makhluk-Nya, baik mukmin maupun kafir, sedangkan رحيمAA A الdikhususkan pada hamba-hamba-Nya di akhirat saja. Begitu juga wazan الرحيمlebih kuat maknanya dari pada wazan راحمAA A الkarena رحيمAA A الmenunjukkan makna yang berulangkali atau menjadi
17
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Cet. I; Tangerang: Lentera Hati, 2013), h.107.
18
Khalid Usman al-Sabt, Qawa´id al-Tafsir, h. 356
sifat, sedangkan راحمAA الmenunjukkan makna kasih sayang yang terjadi satu kali saja. Kaidah Ketiga
حيصل مبجموع املرتادفني معىن ال يوجد عند انفرادمها “Penggabungan dua kata yang serupa maknanya akan menghasilkan makna yang tidak ditemukan ketika lafaz tersebut terpisah/tersendiri” Penggunaan dua lafaz yang pada dasarnya mempunyai makna yang sama , menghasilkan makna yang tidak dapat didapatkan ketika disebutkan sendiri(tanpa
sinonimnya).
Misalnya
Q>S
Yusuf/
12:86,
yang
mengabarkan tentang Nabi Ya’kub a.s. :
)86( َأعلَ ُم ِم َن اللَّ ِه َما اَل َت ْعلَ ُمو َن ْ قَ َال ِإمَّنَا َأ ْش ُكو َبثِّي َو ُح ْزيِن ِإىَل اللَّ ِه َو Dengan meletakkan sinonimnya setelah lafaz tersebut, akan memberi kesempurnaan makna yang lebih mendalam dibanding makna ketika masing-masing lafaz berdiri sendiri.19 Kaidah Keempat:
كل حرف زيد ىف كالم العرب (للتأكيد) فهو قائم مقام إعادة اجلملة مرة أخرى “Setiap huruf yang ditambahkan dalam kalimat Arab- karena penegasan- maka statusnya sama dengan pengulangan kalimat tersebut” Kaidah tersebut hampir sama dengan kaidah nomor dua yang mengatakan bahwa penambahan bina’ akan berdampak pada penambahan makna. Namun, kaidah kedua tersebut lebih mengarah pada penambahan atau perubahan bina’, sedangkan kaidah keempat ini mengarah pada penambahan huruf, fi’il dan isim, namun penambahan fi’il jarang terjadi atau sedikit sedangkan penambahan isim lebih jarang lagi. Contoh dalam penerapan ini pada QS al-Haqqah/ :14 19
h. 77
M. Rusydi Khalid, Qawa’id Al-Tafsir, “Kaidah-kaidah untuk Menafsirkan al-Qur´an”,
ِ ال فَ ُد َّكتَا َد َّكةً و ِ ِ )14( اح َد ًة ُ َض َواجْلِب ُ اَأْلر ْ ومُح لَت َ “Dakkat wah}idah” sama dengan mengulangi kata “dukkata”.20 Dalam
دكةterambil dari kata دكyakni menjadi sangat rata dan halus akibat hancurnya bagian-bagiannya. Makna tersebut serupa dengan kata دق tafsir al-Misbah, kata
, hanya saja kedua lafaz ini dipahami oleh sebagian ulama dalam arti kehancuran dan bercampurnya bagian-bagian satu dengan yang lain setelah kehancurannya.
دقmengandung makna pada bagian-bagian terkecil.
21
Penulis memahami bahwa pengulangan tersebut bukan berarti mengubah makna pada lafaz kalimat, akan tetapi ia sebagai penguat bagi huruf-huruf pada lafaz tersebut, sehingga pengulangan itu ia masuk pada ziya>dah. 2. Kaidah Taqdir wal Hadzf Kaidah Pertama
العرب حتذف ما كفى منه الظاهر يف الكالم إذا مل تَ ُشك يف معرفة السامع مكان احلذف “Orang Arab akan membuang perkataan atau lafaz yang sudah cukup dengan kata yang sudah ada/jelas dalam kalimat, jika tidak menimbulkan keraguan terhadap pengetahuan pendengar terhadap posisi kata yang dibuang”. Maksud dari kaidah ini bahwasanya orang Arab itu sejak dahulu terkenal dengan ahli balagah dan fas}a>hah. Salah satu bentuk kafas}ihannya yaitu dengan menganggap cukup sebagian kalam/perkataan. Dikatakan pula bahwa orang Arab tidak menggunakan atau menyebut sebuah kalimat jika susunan kalimat itu telah menunjukkan maksud dari sebuah pembicaraan dan orang yang mendengar itu paham terhadap lafaz|
20
M. Rusydi Khalid, Qawa’id Al-Tafsir, h. 79.
21
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2017), h. 286.
yang tidak disebutkan. Adapun contoh kaidah ini seperti dalam Q.S. Yusuf (12): 82:
``
واسأل القرية اليت كنا فيها والعري اليت أقبلنا فيها
Berdasarkan ayat diatas terdapat lafaz yang tidak disebutkan pada kalimat
أل القريةAA واسyaitu kata “”أهل. Tanpa penyebutan lafaz\ tersebut maka cukuplah
dipahami oleh si pendengar bahwa yang dimaksud adalah kata “penduduk”, karena secara logis tidak mungkin seseorang bertanya pada sebuah negeri akan tetapi kepada penduduknya. Kaidah Kedua
الغالب يف القرآن ويف كالم العرب أن اجلواب احملذوف يذكر قبله ما يدل عليه “Mayoritas dalam al-Qur’an dan dalam perkataan orang-orang Arab bahwa jawaban yang dibuang akan disebutkan sebelumnya indikasi yang menunjukan pada jawaban tersebut”. Contoh kaidah ini dapat dilihat pada Q.S. al-Ra’d: 31:
بل هلل األمر مجيعاAولو أن قرآنا سريت به اجلبال أو قطعت به األرض أو كلم به املوتى “Dan sekiranya ada suatu bacaan (Kitab suci) yang dengan bacaan itu gunung-gunung dapat digoncangkan atau bumi jadi terbelah atau oleh karenanya orang-orang yang sudah mati dapat berbicara, (tentulah Al Quran Itulah dia). Sebenarnya segala urusan itu adalah kepunyaan Allah Sebagian ulama berpendapat bahwa jawaban yang dihilangkan/tidak disebutkan pada teks ayat diatas yaitu al-Qur’an.Sebagian lagi mengatakan bahwa yang dimaksud adalah kalian pasti ingkar kepada Tuhan yaha Maha Kasih, hal ini sesuai dengan petunjuk ayat sebelumnya:
َو ُه ْم يَ ْك ُفُرو َن بِالرَّمْح َ ِن
Jawaban kalimat pengandaian atau syarat ada kalanya tidak disebutkan. Untuk mengetahui jawabannya maka kalimat sebelumnya menunjukkan jawaban itu.22 22
Salman Harun, Kaidah-Kaidah Tafsir, h. 332
Kaidah Ketiga
ونAA لح أن يكAA ا يصAA ا مAA ق اجلواب وليس قبلهAA ق هبا تعلAA د كالم يتعلAA اءت "بلى" أو "نعم" بعAA ىت جAA م لفظه لفظ اجلواب, فاعلم أن هناك سؤاال مقدرا,جوابا له “Jika ada lafaz “ ”بلىatau “ ”نعمterletak setelah perkataan yang berhubungan dengan keduanya sebagai jawaban dan sebelumnya tidak ditemukan lafaz yang layak menjadi jawabannya, maka terdapat pertanyaan yang tersimpan dengan menggunakan lafaz jawaban”. Kaidah ini mengindikasikan bahwa lafaz tersebut diringkas karena telah diketahui maknanya, contohnya pada QS.al-Baqarah: 112:
بلى من أسلم وجهه هلل وهو حمسن فله أجره عند ربه “Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya “ Pertanyaan atas kata بلىdikembalikan pada jawabannya, sehingga maksudnya adalah ? أليس من أسلم وجهه هلل وهو حمسن فله أجره عند ربه Kaidah Keempat
فإن, فاألوىل االقتصار على الدال منهما,إذا كان ثبوت شئ أو نفيه يدل على ثبوت آخر أو نفيه .ذكرا فاألوىل تأخري الدال Jika penetapan sesuatu atau penafiyannya menunjukkan pada penetapan atau “ penafiyan yang lain, maka prioritasnya adalah membatasi penyebutannya hanya pada indikator keduanya, namun jika keduanya disebutkan, maka diprioritaskan .”pengakhiran indikatornya Maksud kaidah ini adalah jika suatu lafaz memiliki dua sifat yang saling berkaitan, maka yang lebih utama adalah menyebutkan salah satunya.karena jika \keduanya diulangi maka akan terjadi pengulangan yang dapat menimbulkan kebosanan. Akan tetapi jika keduanya disebutkan, maka lafaz penjelas diletakkan setalah lafaz yang dijelaskan.
Salah satu contohnya adalah penyebutan lafaz
هاAA A ( عرضlebar)
dalam QS. A