Kaidah Ziyadah Dan Takdim Takhir [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KAIDAH AL-ZIY>A>DAH, AL-TAQDI>>>>>id at-Tafsi>r, agar pesan-pesan ilahiyah yang terdapat di dalamnya dapat menjadi pegangan untuk diamalkan dalam berbagai aspek kehidupan, baik yang menyangkut hubungan dengan Allah maupun hubungan dengan sesama manusia dan lingkungan.1 Salah satu kaidah yang dapat membantu untuk menangkap pesan-pesan ilahiyah yaitu memahami kaidah ziya>dah taqdir wal hadzf dan kaidah taqdi>m wa ta’khi>r. Olehnya itu penulis mencoba menyajikan kaidah tersebut dalam tulisan ini. Semoga apa yang penulis sajikan bisa menambah wawasan para pembaca dan membantu khususnya umat Islam dalam memahami ayat-ayat alQur’an. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana Pengertian Kaidah Ziya>dah, Taqdir wal Hadzf ,dan Taqdi>m wa Ta’khi>r? 2. Bagaimana Kaidah Ziyadah ,Taqdir wal Hadzf dan Taqdi>m wa Ta’khi>r?



Abd. Karim Hafid, Berbagai Sudut Pandang dalam Memahami Bahasa Arab, (Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 218. 1



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Ziya>dah, Al-Taqdi>r wal Hadzf dan Taqdi>m wa Ta’khi>r 1. Ziya>dah Kata al-ziya>dah adalah bentuk masdar dari akar kata zada, yazidu, zaydan, ziyadatan yang berarti penambahan atau sesuatu yang digabungkan kepada sesuatu yang lainnya.2 Al-ziya>dah secara etimologi menurut Ibnu Faris dilihat dari asal katanya zai, ya‘ dan dal artinya tambahan/kelebihan. Mereka berkata za>da al-syai’ yazi>du fahuwa za>id. 3 ‫ زاد الشىء يزيد فهوزائد‬:‫ يقولون‬. ‫اصل يدل على الفضل‬ ٌ ‫الزاء والياء والدال‬



Secara terminologi, al-ziya>dah} memiliki beragam definisi menurut berbagai pakar ulama, baik dari segi bahasa maupun istilah. Adapun perbedaan ziya>dah, memiliki manfaat dan tujuan dalam menggunakannya di antaranya ialah a. Ulama Nahwu, mengemukakan bahwa ziya>dah tidak memiliki posisi dalam I’rab, maksudnya ziya>dah tidak terletak pada maknanya, akan tetapi, ziya>dah terletak pada lafaz-lafaz tersebut. Begitu pula yang dimaksud oleh ulama Tasrif. b.



Ulama Bahasa, mengatakan bahwa ziya>dah adalah penambahan huruf yang tidak memliki makna dan faedah sama sekali akan tetapi ia sebagai penghias dalam kata.



c.



Ulama Tafsir, mereka cenderung sama dengan pendapat ulama nahwu, dan terlebih ziya>dah tidak mungkin dimasukkan dalam al-Qur´an,



Ahmad Kholabi Kharlie, “ Kontroversi Ulama Seputar Kedudukan Al-ziyadah ‘Ala AlNash dan Dampaknya Terhadap Fiqih,” Al-Qalam 21 no. 101 (Agustus 2004): h. 261 2



Khalid Usman al-Sabt, Qawa´id Al-Tafsir, (Cet. I; Dar Ibn Affan), h. 438.



3



jika ziya>dah itu sebagai huruf penambahan yang tidak mempunyai makna berfaedah atau sia-sia. Sebagian ulama tafsir memperingatkan agar



waspada



menggunakan



istilah



ziya>dah



karena



akan



menimbulkan kesalahpahaman dan kebimbangan dalam masyarakat awam.4 Jika ada satu kata yang dinilai tidak dibutuhkan dalam kalimat, karena kalimat tersebut telah lurus dan jelas maknanya. Bila tanpa huruf ziya>dah itu.hal ini banyak ditemukan dalam bahasa Arab. Tapi hal yang demikian tidak terdapat dalam al-Qur’an. Banyak ulama yamg menolak adanya huruf ziya>dah karena menurut mereka, “tidak ada satupun kata/ huruf di dalam al-Qur’an yang berlebih.” Maka mereka memberi jalan tengah menyatakan bahwa tidak ada ziya>dah dalam al-Qur´an yang tidak mempunyai tujuan atau penambahan makna. Bisa jadi tanpa berlebih itu bukan berarti ia menjadi lurus dan jelas, tapi dengan adanya, maka akan lebih jelas kelurusan itu, dan pemaknaan pada kalimat semakin jelas. Inilah yang dikatakan dengan Ziya>dah. 5 2. Taqdi>r wal Hadzf Dari segi etimologi al-Taqdir memiliki banyak arti, diantaranya yang lebih tepat adalah “bermaksud mengerjakan suatu janji.” 6 Al-taqdi>r menurut ulama Nahwu yaitu “suatu lafaz| yang diinginkan oleh si pembicara namun tidak diungkapkan dengan jelas”. Kata al-haz|f secara etimologi berasal dari kata ‫ف‬-‫ذ‬-‫ ح‬yang berarti penghapusan, pembuangan atau pengguguran.



Kamaluddin Abu Nawas, Studi Kritik atas Berbagai Persoalan Kebahasaan, (Cet. I; Sultan Alauddin: AlauddinPress, 2012), h. 54. 4



M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Cet. I; Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 106. Salman Harun, Kaidah-Kaidah Tafsir, Cet. I ( jakarta; QAF Media Kreativa, 2017) h. 332 5



6



Secara terminologi kata al-haz|f menurut para ahli Nahwu dan ahli balagah adalah pengguguran harakat ataupun kata, baik dalam jumlahnya banyak atau sedikit. 7 Jadi al-taqdi>r dalam makalah ini adalah memperkirakan lafaz yang tidak diungkapkan secara jelas, akan tetapi lafaz tersebut hanya tersirat melalui qari>nah (indikasi) kalimat itu sendiri, sedangkan al-haz\f adalah membuang huruf atau lafaz yang tidak akan merusak makna kalimat tersebut dengan alasan-alasan tertentu. 3. Taqd>im wa Takh>ir Kata taqdi>m dalam Mu’jam Maqa>yis fi al-Lughah berasal dari akar kata ‫ ق–د–م‬akar kata ini berarti kepada apa yang terdahulu atau apa yang telah berlalu. Dikatakakan Al-Qidam yang bermakna lawan kata dari huduts atau baharu. Kalau dikatakan syaiun qadim jika waktunya telah berlalu atau sesuatu yang telah lampau.8 Kata taqdi>m lawannya adalah kata ta’khi>r. Taqdi>m yang dimaksud dalam kaidah ini adalah mendahulukan satu lafaz atau ayat yang satu dari lafaz atau ayat yang lain. Kata ta’khi>r berakal kata dari ‫أ–خ–ر‬.9 Arti pokoknya adalah belakang, mundur. Ta’khi>r, membelakangkan, menempatkan di akhir, yaitu lawan kata taqdim. Akan tetapi ta’khi>r yang dimaksud pada kaidah ini adalah mengakhirkan satu kata atau ayat yang satu dari ayat atau kata yang lain. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kaidah taqdi>m dan ta’khi>r adalah suatu dasar atau patokan untuk mengetahui penyebab suatu 7



Rusydi Khalid, Qawaid Tafsir, Cet. I, Alauddin University Press, h. 81



Rusydi Khalid, Kaidah-Kaidah untuk Menafsirkan al-Qur’an, (tc; Jakarta: Sejahtera Kita, 2016), h. 79 mengutip dalam bukunya Ibn Fa>ris bin Zakariya, Mu’jam al-Maqa>yyis fi alLughah, (Cet. I; Beirut: Da>r al-Fikr, 1994), h. 878. 8



Rusydi Khalid, Kaidah-Kaidah untuk Menafsirkan al-Qur’an,h. 79 mengutip dalam bukunya Ibn Fa>ris bin Zakariya, Mu’jam al-Maqa>yis fi al-Lughah,h. 878. 9



lafaz, atau ayat itu didahulukan dan diakhirkan dan untuk memperlihatkan kekhususan, keutamaan dan ketika dibutuhkan.10 B. Kaidah Ziya>dah, Al-Taqdi>r wal Hadzf dan Taqdi>m wa Ta’khi>r 1. Kaidah Ziya>dah Kaidah Pertama



‫زائد يف القرآن ال‬ “Tidak ada kata tambahan dalam al-Qur’an”. Maksud dari kaidah ini bahwa pada dasarnya tidak ada (ziyadah) tambahan di dalam Al-Qur’an karena Al-Qur’an disucikan dari segala bentuk kesia-siaan dan penambahan- penambahan yang tidak berfaedah.11 Ada dua hal yang mencakup kaidah ini: a. Sesuatu yang tidak memiliki makna. karena kalimat yang tidak mengandung makna dipandang sia-sia dan itu artinya cacat. Allah telah menyatakan bahwa al-Qur’an sebagai petunjuk, penyembuh dan penjelasan dan kesemuanya itu tidak mungkin terdapat dalam perkataan yang tidak bermakna. Pada bentuk ini jelas tidak sesuai dengan kemukjizatan al-Qur’an sebagai kitab Allah. Di dalam al-matsal al sa’ir dinyatakan, “ Siapa yang berpendapat bahwa didalam al-Qur’an terdapat kata-kata tambahan yang tidak ada maknanya, ia mungkin tidak mengerti firman itu, atau mungkin saja agama dan akidanya dipertanyakan.”12



10 11 12



323



Rusydi Khalid, Kaidah-Kaidah untuk Menafsirkan al-Qur’an,h.79.



Khalid ibn ‘Usman al-Sabt, Cet. I., h. 350



Salman Harun, Kaidah-Kaidah Tafsir, Cet. I ( jakarta; QAF Media Kreativa, 2017) h.



Sesuatu yang tidak merusak makna aslinya atau tidak mengubah keaslian maknanya meskipun tambahan tersebut dihilangkan. Menurut al-Zarkasyi, ungkapan ulama bahwa ma’ , tambahan, ba’ tambahan dsb., maksudnya adalah bahwa perkataan tersebut tidak cacat tanpa ketidakhadiran huruf ziyadah tersebut, bukan berarti tidak memiliki faedah sama sekali. Karena yang demikian itu tidak diperbolehkan oleh pencipta bahasa, terlebih lagi dalam perkataan Allah swt. Adanya usnsur penambahan dalam perkataan tersebut karena ada unsur kesengajaan atau ada maksud tertentu. Semua pernyataan bahwa dalam al-Qur’an terdapat tambahan, maksudnya adalah untuk menekankan (tawkid) karena penambahan ucapan bukan karena kelalaian penutur tetapi disengaja. 13 Menurut al-Zarkasi, perkataan ulama dalam menyikapi kaidah ziya>dah contohnya ("‫زائدة‬,‫الباء‬,‫ )ما"زائدة‬dalam perkataan tersebut tidak rusak atau cacat maksud dari perkataan tersebut, tanpa ziya>dah bukan berarti pemaknaan aslinya dihapuskan dan tidak memiliki faedah sama sekali, demikian itu tidak diperbolehkan dalam pakar bahasa, terlebih bagi perkataan Allah yang tercantum dalam al-Qur’an.14 Ar-Rafi’ r.a berpandangan bahwa, terdapat kalimat ziya>dah (tambahan) dalam al-Qur´an, sebagaimana firman Allah swt QS. Ali-Imra>n/3: 159.



ِِ ٍِ ‫ت هَلُم‬ َ ‫…فَبِ َما َرمْح َة م َن اللَّه لْن‬.



Terjemahnya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Para ahli Nahwu mengemukakan bahwa “‫ "ما‬dalam ayat tersebut adalah ziya>dah (tambahan) dari segi I’rab, kebanyakan orang tidak mengetahui 13



Rusydi Khalid, Kaidah-Kaidah untuk Menafsirkan al-Qur’an,h.71



14



Khalid Usman al-Sabt, Qawa’id al-Tafsir, (Cet. I; Dar Ibn Affan), h. 349



menganggap bahwa



itu merupakan tambahan dari susunan lafaz, padahal



ziya>dah merupakan suatu bentuk penggambaran yang jika dihapuskan dari salah satu gambaran, maka akan mengurangi unsur-unsur keindahan yang terdapat di dalam kalimat. Maksud dari ayat tersebut adalah menggambarkan kelemah lembutan Nabi Muhammad saw. terhadap kaumnya. Dan ini merupakan rahmat dari Allah, kemudian dihadirkan huruf ‫ما‬. huruf ini menunjukkan lafaz ta´kid (penguat) yang memberikan penekanan makna "‫( "اللني‬kelemah lembutan). Pada pengucapan kalimat, menimbulkan kesan yang baik, kemudian pemisah huruf " ‫اء‬AA ‫ "الب‬sebagai huruf ja>r dengan majru>r adalah (sebagai lafaz rahma) mengarahkan pada jiwa untuk melakukan tadabbur (perenungan) makna memalingkan pikiran yang bernilai besar dari rahmat dan kasih sayang apa yang terkandung didalamnya. Demikianlah kefasihan bahasa al-Qur´an.15 Telah dijelaskan sebelumya bahwa tidak boleh ada dalam al-Qur´an suatu lafaz yang tidak memiliki makna. Contoh lainnya QS. al-Syu>ra>/42: 11



ِِ ِ ِ ‫الس ِميع الْب‬ )11( ُ‫صري‬ َ ُ َّ ‫س َكمثْله َش ْيءٌ َو ُه َو‬ َ ‫لَْي‬



Abu Hayyan berpendapat dan hampir mirip dengan Ibn Hasyim, bahwa ka>f, dan mis|li



mempunyai arti arti yang sama, sehingga tidak dibenarkan



memahaminya sesuai dengan lafaznya, karena akan dipahami sebagai ‫ه‬AA‫ل مثل‬AA‫يئ مث‬AA‫ش‬ ‫ ليس‬sehingga ia berfungsi sebagai ta’kid, berbeda lagi dengan pendapat Abu Ja’far al-T}usi menggangap bahwa ka>f tersebut bukan ziya>dah karena ia bermakna Allah menafikan ada yang sama dengan dirinya.16



15



Khalid Usman al-Sabt, Qawa’id al-Tafsir, (Cet. I; Dar Ibn Affan), h. 352



Kamaluddin Abu Nawas, Studi Kritik atas Berbagai Persoalan Kebahasaan, (Cet. I; Sultan Alauddin: AlauddinPress, 2012), h. 106-113. 16



Menurut M. Quraish Shihab dalam bukunya, berpendapat ayat yang berbunyi ‫يئ‬AA ‫ ش‬A‫ه‬A A‫ ليس كمثل‬bila diterjemahkan secara harfiah, maka ia akan berbunyi “Tidak ada yang seperti, sepertinya”, demikian dengan kata ka>f dan mis|li keduanya berarti serupa dan seperti, alasan ayat tersebut dapat dipahami artinya dengan lurus dengan ditinggalkan salah satu makna yakni, “Tidak satu yang seperti/serupa dengan Tuhan”, (baik dalam kenyataan maupun dalam hayalan). Pakar tafsir mencari rahasia di balik ziya>dah,. Sementara mereka menjelaskan bahwa yang seperti sepertiNya itu tidak ada, apalagi yang sama denga Dia, Yang MahaKuasa. Dengan demikian kata seperti yang kedua dan menafikan keserupaan dengan sesuatu lebih jelas ddibanding dengan menyebut sekali lagi kata seperti.17 Kaidah Kedua



)‫زيادة املبىن تدل على زيادة املعىن (قوة اللفظ لقوة املعىن‬



“Penambahan bina’ (model) menunjukkan adanya penambahan makna (Kekuatan lafaz untuk kekuatan makna)“ Yang dimaksud dengan kaidah ini adalah setiap kali ada penambahan huruf atau penambahan wazan (timbangan lafaz) atau penambahan tasydi>d pasti berdampak pada penambahan makna atau penegasannya.18 Di antara contoh penambahan wazan adalah ‫رمحن‬AA A ‫ ال‬lebih ba>lig (kuat) dari pada wazan ‫رحيم‬AA A‫ ال‬di mana kata ‫رمحن‬AA A‫ ال‬diarahkan pada kasih sayang Allah di dunia yang mencakup semua makhluk-Nya, baik mukmin maupun kafir, sedangkan ‫رحيم‬AA A ‫ ال‬dikhususkan pada hamba-hamba-Nya di akhirat saja. Begitu juga wazan ‫ الرحيم‬lebih kuat maknanya dari pada wazan ‫راحم‬AA A ‫ ال‬karena ‫رحيم‬AA A ‫ ال‬menunjukkan makna yang berulangkali atau menjadi



17



M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Cet. I; Tangerang: Lentera Hati, 2013), h.107.



18



Khalid Usman al-Sabt, Qawa´id al-Tafsir, h. 356



sifat, sedangkan ‫راحم‬AA‫ ال‬menunjukkan makna kasih sayang yang terjadi satu kali saja. Kaidah Ketiga



‫حيصل مبجموع املرتادفني معىن ال يوجد عند انفرادمها‬ “Penggabungan dua kata yang serupa maknanya akan menghasilkan makna yang tidak ditemukan ketika lafaz tersebut terpisah/tersendiri” Penggunaan dua lafaz yang pada dasarnya mempunyai makna yang sama , menghasilkan makna yang tidak dapat didapatkan ketika disebutkan sendiri(tanpa



sinonimnya).



Misalnya



Q>S



Yusuf/



12:86,



yang



mengabarkan tentang Nabi Ya’kub a.s. :



)86( ‫َأعلَ ُم ِم َن اللَّ ِه َما اَل َت ْعلَ ُمو َن‬ ْ ‫قَ َال ِإمَّنَا َأ ْش ُكو َبثِّي َو ُح ْزيِن ِإىَل اللَّ ِه َو‬ Dengan meletakkan sinonimnya setelah lafaz tersebut, akan memberi kesempurnaan makna yang lebih mendalam dibanding makna ketika masing-masing lafaz berdiri sendiri.19 Kaidah Keempat:



‫كل حرف زيد ىف كالم العرب (للتأكيد) فهو قائم مقام إعادة اجلملة مرة أخرى‬ “Setiap huruf yang ditambahkan dalam kalimat Arab- karena penegasan- maka statusnya sama dengan pengulangan kalimat tersebut” Kaidah tersebut hampir sama dengan kaidah nomor dua yang mengatakan bahwa penambahan bina’ akan berdampak pada penambahan makna. Namun, kaidah kedua tersebut lebih mengarah pada penambahan atau perubahan bina’, sedangkan kaidah keempat ini mengarah pada penambahan huruf, fi’il dan isim, namun penambahan fi’il jarang terjadi atau sedikit sedangkan penambahan isim lebih jarang lagi. Contoh dalam penerapan ini pada QS al-Haqqah/ :14 19



h. 77



M. Rusydi Khalid, Qawa’id Al-Tafsir, “Kaidah-kaidah untuk Menafsirkan al-Qur´an”,



ِ ‫ال فَ ُد َّكتَا َد َّكةً و‬ ِ ِ )14( ‫اح َد ًة‬ ُ َ‫ض َواجْلِب‬ ُ ‫اَأْلر‬ ْ ‫ومُح لَت‬ َ “Dakkat wah}idah” sama dengan mengulangi kata “dukkata”.20 Dalam



‫ دكة‬terambil dari kata ‫ دك‬yakni menjadi sangat rata dan halus akibat hancurnya bagian-bagiannya. Makna tersebut serupa dengan kata ‫دق‬ tafsir al-Misbah, kata



, hanya saja kedua lafaz ini dipahami oleh sebagian ulama dalam arti kehancuran dan bercampurnya bagian-bagian satu dengan yang lain setelah kehancurannya.



‫ دق‬mengandung makna pada bagian-bagian terkecil.



21



Penulis memahami bahwa pengulangan tersebut bukan berarti mengubah makna pada lafaz kalimat, akan tetapi ia sebagai penguat bagi huruf-huruf pada lafaz tersebut, sehingga pengulangan itu ia masuk pada ziya>dah. 2. Kaidah Taqdir wal Hadzf Kaidah Pertama



‫العرب حتذف ما كفى منه الظاهر يف الكالم إذا مل تَ ُشك يف معرفة السامع مكان‬ ‫احلذف‬ “Orang Arab akan membuang perkataan atau lafaz yang sudah cukup dengan kata yang sudah ada/jelas dalam kalimat, jika tidak menimbulkan keraguan terhadap pengetahuan pendengar terhadap posisi kata yang dibuang”. Maksud dari kaidah ini bahwasanya orang Arab itu sejak dahulu terkenal dengan ahli balagah dan fas}a>hah. Salah satu bentuk kafas}ihannya yaitu dengan menganggap cukup sebagian kalam/perkataan. Dikatakan pula bahwa orang Arab tidak menggunakan atau menyebut sebuah kalimat jika susunan kalimat itu telah menunjukkan maksud dari sebuah pembicaraan dan orang yang mendengar itu paham terhadap lafaz|



20



M. Rusydi Khalid, Qawa’id Al-Tafsir, h. 79.



21



M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2017), h. 286.



yang tidak disebutkan. Adapun contoh kaidah ini seperti dalam Q.S. Yusuf (12): 82:



``



‫واسأل القرية اليت كنا فيها والعري اليت أقبلنا فيها‬



Berdasarkan ayat diatas terdapat lafaz yang tidak disebutkan pada kalimat



‫أل القرية‬AA‫ واس‬yaitu kata “‫”أهل‬. Tanpa penyebutan lafaz\ tersebut maka cukuplah



dipahami oleh si pendengar bahwa yang dimaksud adalah kata “penduduk”, karena secara logis tidak mungkin seseorang bertanya pada sebuah negeri akan tetapi kepada penduduknya. Kaidah Kedua



‫الغالب يف القرآن ويف كالم العرب أن اجلواب احملذوف يذكر قبله ما يدل عليه‬ “Mayoritas dalam al-Qur’an dan dalam perkataan orang-orang Arab bahwa jawaban yang dibuang akan disebutkan sebelumnya indikasi yang menunjukan pada jawaban tersebut”. Contoh kaidah ini dapat dilihat pada Q.S. al-Ra’d: 31:



‫ بل هلل األمر مجيعا‬A‫ولو أن قرآنا سريت به اجلبال أو قطعت به األرض أو كلم به املوتى‬ “Dan sekiranya ada suatu bacaan (Kitab suci) yang dengan bacaan itu gunung-gunung dapat digoncangkan atau bumi jadi terbelah atau oleh karenanya orang-orang yang sudah mati dapat berbicara, (tentulah Al Quran Itulah dia). Sebenarnya segala urusan itu adalah kepunyaan Allah Sebagian ulama berpendapat bahwa jawaban yang dihilangkan/tidak disebutkan pada teks ayat diatas yaitu al-Qur’an.Sebagian lagi mengatakan bahwa yang dimaksud adalah kalian pasti ingkar kepada Tuhan yaha Maha Kasih, hal ini sesuai dengan petunjuk ayat sebelumnya:



‫َو ُه ْم يَ ْك ُفُرو َن بِالرَّمْح َ ِن‬



Jawaban kalimat pengandaian atau syarat ada kalanya tidak disebutkan. Untuk mengetahui jawabannya maka kalimat sebelumnya menunjukkan jawaban itu.22 22



Salman Harun, Kaidah-Kaidah Tafsir, h. 332



Kaidah Ketiga



‫ون‬AA ‫لح أن يك‬AA ‫ا يص‬AA ‫ا م‬AA ‫ق اجلواب وليس قبله‬AA ‫ق هبا تعل‬AA ‫د كالم يتعل‬AA ‫اءت "بلى" أو "نعم" بع‬AA ‫ىت ج‬AA ‫م‬ ‫ لفظه لفظ اجلواب‬,‫ فاعلم أن هناك سؤاال مقدرا‬,‫جوابا له‬ “Jika ada lafaz “‫ ”بلى‬atau “‫ ”نعم‬terletak setelah perkataan yang berhubungan dengan keduanya sebagai jawaban dan sebelumnya tidak ditemukan lafaz yang layak menjadi jawabannya, maka terdapat pertanyaan yang tersimpan dengan menggunakan lafaz jawaban”. Kaidah ini mengindikasikan bahwa lafaz tersebut diringkas karena telah diketahui maknanya, contohnya pada QS.al-Baqarah: 112:



‫بلى من أسلم وجهه هلل وهو حمسن فله أجره عند ربه‬ “Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya “ Pertanyaan atas kata ‫ بلى‬dikembalikan pada jawabannya, sehingga maksudnya adalah ‫? أليس من أسلم وجهه هلل وهو حمسن فله أجره عند ربه‬ Kaidah Keempat



‫ فإن‬,‫ فاألوىل االقتصار على الدال منهما‬,‫إذا كان ثبوت شئ أو نفيه يدل على ثبوت آخر أو نفيه‬ .‫ذكرا فاألوىل تأخري الدال‬ Jika penetapan sesuatu atau penafiyannya menunjukkan pada penetapan atau “ penafiyan yang lain, maka prioritasnya adalah membatasi penyebutannya hanya pada indikator keduanya, namun jika keduanya disebutkan, maka diprioritaskan .”pengakhiran indikatornya Maksud kaidah ini adalah jika suatu lafaz memiliki dua sifat yang saling berkaitan, maka yang lebih utama adalah menyebutkan salah satunya.karena jika \keduanya diulangi maka akan terjadi pengulangan yang dapat menimbulkan kebosanan. Akan tetapi jika keduanya disebutkan, maka lafaz penjelas diletakkan setalah lafaz yang dijelaskan.



Salah satu contohnya adalah penyebutan lafaz



‫ها‬AA A ‫( عرض‬lebar)



dalam QS. A

  • n: 133:



    ِ ِ ‫ُأعد‬ ِ ‫السماوات واَأْلرض‬ ٍ ِ ِ ‫ني‬ ْ ُ ‫َو َسا ِرعُوا ِإىَل َم ْغفَر ٍة م ْن َربِّ ُك ْم َو َجنَّة َع ْر‬ َ ‫َّت ل ْل ُمتَّق‬ ُ ْ َ ُ َ َ َّ ‫ض َها‬



    tidak membutuhkan lagi penyebutan lafaz



    ‫ول‬AA‫( ط‬panjang) karena



    pada dasarnya setiap sesuatu yang memiliki lebar pasti memiliki panjang. Maka membatasi penyebutan sifatnya al’ard saja menjadi lebih utama. Namun terkadang lafaz yang saling berkaitan tersebut disebutkan kedua-duanya karena ada alasan tertentu, semisal karena keduanya dianggap penting, seperti penyebutan lafaz



    ‫وال تنهرمها‬setelah lafaz ‫ا أف‬AA‫ل هلم‬AA‫فال تق‬



    yang sebenarnya tidak dibutuhkan, akan tetapi supaya larangan tersebut kuat dan agar mencakup dua aspek, yaitu mafhum (gerak-gerik) atau mantuq (ucapan). Kaidah Kelima



    ‫حذف جواب الشرط يدل على تعظيم األمر وشدته ىف مقامات الوعيد‬ “Penghapusan jawa>b al-syart} menunjukkan pengagungan terhadap perkara tersebut dan dahsyatnya hal tersebut dalam konteks ancaman.” Kaidah ini menjelaskan tentang jawa>b al-syart} yang tidak disebutkan dalam beberapa ayat dengan alasan bahwa penghilangan jawaban lebih menunjukkan pada keagungan, kedahsyatan atau kengerian yang tidak bisa diungkapkan dengan sebuah ungkapan atau dengan sifatsifat tertentu, khususnya jika hal tersebut terkait dengan siksa dan ancaman. Kaidah Keenam



    ‫ ذكر شيئني فيقتصر على أحدمها ألنه املقصود‬A‫ الكالم‬A‫قد يقتضي‬ “Sebuah kalimat terkadang menuntut penyebutan dua hal, akan tetapi dicukupkan penyebutannya pada satu hal saja karena hal tersebutlah yang menjadi tujuan”.



    Terkadang di dalam suatu perkataan yang disebutkan hanya satu dari dua yang harus disebutkan dikarenakan yang menjadi tujuan utama adalah yang disebutkan saja.Misalnya dalam QS.T}a>ha>/20: 49.



    ‫وسى‬ َ ‫قَ َال فَ َم ْن َربُّ ُك َما يَ ُام‬



    Musa”?



    “Berkata Fir’aun: “Maka siapakah Tuhanmu berdua, wahai



    Seharusnya dalam ayat ini dijelaskan kedua Nabi tersebut berdasarkan d}ami>r al-tas\niyah pada lafaz



    ‫ َربُّ ُكمَ ا‬yaitu



    Nabi Musa as.



    Dan Nabi Harun as. Hal itu terjadi karena Nabi Musalah yang menjadi target utama karena dialah yang dimaksud dalam ayat tersebut sebagai pengemban tanggungjawab misi kenabian. Kaidah Ketujuh



    ‫ بأحدمها عن اآلخر‬A‫ ذكر شيئني بينهما تالزم وارتباط فيكتفى‬A‫ املقام‬A‫قد يقتضي‬ “Konteks kalimat terkadang menuntut penyebutan dua hal yang saling berkaitan dan berhubungan, maka cukup menyebutkan salah satunya saja”. Kaidah ini tidak jauh beda dengan kaidah keenam. Perbedaannya hanya terletak pada hubungan antara kedua lafaz yang sangat erat pada kaidah ini, sedangkan kaidah sebelumnya ditekankan pada mana yang paling penting, bukan pada hubungannya. Oleh karena hubungannya yang begitu erat, maka cukup menyebutkan salah satunya saja. Kaidah Kedelapan:



    ‫ال يقدَّر من احملذوفات إالّ أفصحها وأشدها موافقة للغرض‬ “lafaz yang dibuang tidak bisa diprediksi/diperkirakan kecuali dengan sesuatu yang paling fasih dan yang paling sesuai dengan tujuan”. Di antara kebiasaan berbahasa orang Arab, mereka tidak menilai/memperkirakan maksud dari sesuatu yang mah}z|u>f (yang tidak



    disebutkan) kecuali dengan penilaian yang paling sesuai dan paling tepat dengan maksud yang diinginkan. Misalnya dalam QS.al-Ma>’idah (5): 97.



    ِ ‫ْح َر َام قِيَ ًاما لِلن‬ A...‫َّاس‬ َ ‫َج َع َل اللَّهُ الْ َك ْعبَةَ الَْب ْي‬ َ ‫ت ال‬



    “Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia”. Ayat "‫الكعبة‬



    ‫ل اهلل‬AA A A A‫"جع‬



    terdapat taqdi>r (perkiraan lafaz) di



    dalamnya, ada yang mengatakan taqdi>r-nya adalah nas}b al-ka’bah (sesuatu yang ditegakkan/dipasang) pada Ka’bah, sebagian yang lain mengatakan yang dimaksud adalah h}urmah al-ka‘bah (kesucian Ka’bah), dan yang paling utama adalah yang kedua, karena taqdi>r al-hurmah} (kesucian) dalam hal yang berkaitan dengan al-hadya al-qala>’id dan alsyahr al-h}ara>m tidak diragukan lagi kefasihannya. Sedangkan taqdi>r nas}b jauh dari sifat kefasihan al-Qur’an. Kaidah Kesembilan:



    ‫ينبغي تقليل املقدر مهما أمكن لتقل خمالفة األصل‬ “Selayaknya meminimalisir al-muqaddar (sesuatu yang tersirat) jika hal itu memungkinkan untuk meminimalisir perbedaan dengan aslinya”. Kaidah



    ini



    menunjukkan



    bahwa



    seharusnya



    menghindari/meminimalisir taqdi>r, karena pada dasarnya taqdi>r itu tidak ada. Contohnya pada Q.S. al-Tala>q: 4:



    ‫ِئ‬ ِ ‫َوالاَّل ِئي يَِئ ْس َن ِم َن ال َْم ِح‬ ‫ض َن‬ ْ ُ‫يض ِم ْن نِ َس اِئ ُك ْم ِإ ِن ْارَت ْبتُ ْم فَ ِع َّد ُت ُه َّن ثَاَل ثَ ة‬ ْ ‫َم يَ ِح‬ ْ ‫َأش ُه ٍر َوالاَّل ي ل‬ ِ ‫اَأْلحم‬ .‫ض ْع َن َح ْملَ ُه َّن َو َم ْن َيت َِّق اللَّهَ يَ ْج َع ْل لَهُ ِم ْن َْأم ِر ِه يُ ْس ًرا‬ َ َ‫َأجلُ ُه َّن َأ ْن ي‬ ُ ‫َوُأواَل‬ َ ‫ال‬ َْ ‫ت‬



    “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan dan perempuan yang tidak haid.: Kalimat ‫ َوالاَّل ِئي‬belum memiliki jawaban (khabar) sehingga dibutuhkan al-muqaddar (lafaz yang dikira-kirakan) yaitu ‫ فَعِ َّد ُت ُه َّن ثَاَل ثَةُ َأ ْش ُه ٍر‬karena itulah yang dominan disamping hal itu telah disebutkan sebelumnya .Oleh karena itu, para



    ulama berpendapat bahwa iddah perempuan yang tidak haid adalah tiga bulan dan memang demikian adanya, karena kebanyakan petunjuk/dalil yang menyebutkan hal tersebut.23 3. Kaidah Taqdi>m wa Ta’khi>r Susunan kata dalam tulisan atau ucapan berperanan sangat penting, bukan saja dari sisi keindahannya, tetapi juga makna dan pesan-pesan yang dikandungnya. Karena itu, ketidaktepatan dalam memahaminya dapat berdampak negatif, baik dalam buruk/indahnya susunan, maupun dalam benar atau menyimpangnya ia dari pesan yang dimaksud.24 Kata-kata tertentu yang sama, tapi posisi masing-masing berbeda. Pada salah satu redaksi, misalnya, kata itu terletak terkemudian, ini disebut



    ِ ِ ‫اَأْلر‬ ta’khi>r (mengemudiankan), misalnya redaksi‫ض‬ ْ ‫ َم َاوات َواَل يِف‬A A A A‫ يِف ال َّس‬di ِ ‫م‬A A A A‫ض واَل يِف ال َّس‬ dalam Saba’/34: 3 dan 22; dan redaksi ‫اء‬ ْ ‫ يِف‬di dalam َ َ ِ ‫اَأْلر‬ Yu>nus/10: 61 dan Ali ‘Imra>n/3: 5. Tampak dengan jelas di dalam dua redaksi itu, terjadi terdahulu dan terkemudiankan karena di dalam redaksi



    ‫ء‬



    pertama lafal ‫اَأْلرض‬ ْ terletak terkemudian dari lafal ‫ َما‬A A A‫ ال َّس‬sebaliknya di dalam redaksi kedua lafal tersebut ditempatkan terdahulu darinya.



    .



    ِ ‫ماو‬A A ‫ال َّس‬ Keadaan serupa itu juga terlihat pada penempatan ‫ َماء‬A A ‫س‬ َّ ‫ ال‬dan ‫ات‬ ََ Penempatan serupa inilah yang disebut dengan Taqdi>m dan ta’khi>r.25 a. Kaidah Pertama:



    ‫التقدم يف الزكر ال يعين التقدم الوثوع واحلكيم‬



    23



    M. Rusydi Khalid, Qawa’id Al-Tafsir, h. 82-92



    M. Quraish Shihab, Kaidah-Kaidah Tafsir, Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an, (Cet. III; Jakarta: Lentera Hati, 2015), h. 229. 24



    Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an, Kajian Kritis terhadap Ayat-ayat yang Beredaksi Mirip, (Cet.I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 86-87. 25



    “Disebutkan lebih dahulu tidak berarti terdahulu dalam kenyataan dan hukum”. Kaidah ini penting sekali, yang menjelaskan kepada Anda pendapat-pendapat para mufasir mengenai masalah ini. Yaitu bahwa mereka suka sekali menggali lebih jauh alasan-alasan mengapa sesuatu didahulukan atau dikemudiankan (taqdi>m wa takhi>r). Penggalian itu sampai ke tingkat di mana kebanyakan mereka jatuh ke dalam pemaksaan yang tidak dibenarkan.26 Taqdi>m dan ta’khi>r yang terjadi dalam al-Qur’an mempunyai beberapa arti, kadang didahulukan karena beberapa alasan, didahulukan oleh karena realitasnya yang memang lebih dulu ada, kadang didahulukan karena kemuliaannya, dan kadang didahulukan karena sulit untuk diberi penjelasan. Oleh karena itu tidak selamanya satu kata itu didahulukan karena lebih dulu ada pada realitas.27 Penerapan kaidah ini, dapat dilihat pada contoh dalam QS. al-Baqarah/2: 67 dan 73.



    ِ ‫وِإ ْذ قَ َال موسى لَِقو ِم ِه ِإ َّن اللَّه يْأمر ُكم َأ ْن تَ ْذحَب وا ب َقرةً قَالُوا َأَتت‬ ‫و َن‬AA‫وذُ بِاللَّ ِه َأ ْن َأ ُك‬AAُ‫َال َأع‬ َ ‫َّخ ُذنَا ُهُز ًوا ق‬ ْ َ ُ ْ ُُ َ َ َ ََ ُ ِِ ِ ‫ني‬ َ ‫م َن اجْلَاهل‬ Terjemahnya: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin[56], siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah[57], hari kemudian dan beramal saleh[58], mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.



    ِ ‫ِج َما ُكْنتُ ْم تَكْتُ ُمو َن‬ ٌ ‫َوِإ ْذ َقَت ْلتُ ْم َن ْف ًسا فَ َّاد َارْأمُتْ ف َيها َواللَّهُ خُمْر‬ Salman Harun dkk, Kaidah-Kaidah Tafsir,Bekal Mendasar untuk Memahami Makna AlQur’a>n dan Mengurangi Kesalahan Pemahaman, (Cet. I; Jakarta: PT Qaf Media Kreativa, 2017), h. 342. 26



    27



    Rusydi Khalid, Kaidah-Kaidah untuk Menafsirkan al-Qur’an, h. 86.



    Terjemahnya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orangorang Shaabi-iin (983) orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat28. …. Dalam Qs. al-Baqarah/2:72 ditemukan kata yang menunjukkan kaidah takdi>m dan takhi>r yang artinya tuduh atau menuduh ini berarti pembunuhan terjadi sebelum Nabi Musa a.s. mengatakan kepada mereka perkataan tersebut. Pada masa Nabi Mu>sa as. ada seorang terbunuh yang tidak dikenal siapa pembunuhnya oleh masyarakat Bani> Isra>il. Mereka ingin mengetahui siapa pembunuhnya untuk menghilangkan kerisauan dan tuduh menuduh di antara mereka. Melalui ayat ini Bani> Isra>il diperintahkan agar merenungkan ketika Nabi Musa as. menyampaikan kepada leluhur masyarakat Yahudi bahwa “sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi,” apapun sapi itu, jantan atau betina (karena kata baqarah bukan dalam arti sapi betina tetapi menunjuk jenis sapi).29 Imam Syaukani dalam tafsirnya menjelaskan pada QS. al-Baqarah/2: 67 bahwa sesungguhnya kisah penyembelihan sapi disebutkan lebih dulu pada tilawahnya dan diakhirkan pada maknanya yang berhubungan dengan QS. alBaqarah/2: 72, dan boleh dikatakan bahwa tertib turunnya ayat sesuai tilawah, seakan-akan Allah memerintahkan mereka menyembelih sapi lalu mereka menyembelihnya. Kemudian terjadilah kasus pembunuhan, maka mereka diperintahkan memukulkan bagian dari anggota sapi betina itu.30 Ahmad Zulfikar Shah, Abdul Hadi, dkk, Taqdi>m wa Takhi>r Dalam al-Qira>’at alS}add}ah Berdasarkan Abullah Ibn Mas’ud r.a, h. 139. 28



    . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol.1 (cet. X; Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 224. 29



    Rusydi Khalid, Kaidah-Kaidah untuk Menafsirkan al-Qur’an,mengutip dalam bukunya Muhammad al-Syauka>ni, Fath} al-Qadir, Juz I, (tc; Beirut: Da>r al-Ma’rifah, 1997), h. 125. 30



    b. Kaidah Kedua:



    ‫ اال ما يعتنون به غالبا‬A‫العرب ال يقدمون‬ “Orang Arab tidak akan mendahulukan satu kata kecuali apa yang mereka perhati”. Penjelasan dari kaidah ini “al’arabu la> yuqaddimu>na illa ma> ya’tanu>na bihi> ghaliban” mencakup sesuatu yang didahulukan untuk memuliakan, mengagungkan atau untuk memotivasi. Kemudian kata ghaliban ini menunjukkan batasan yang diperlukan sebagaimana pada kaidah sebelumnya.31 Untuk memahami lebih jauh tentang kaidah ini dapat dilihat salah satu contoh dalam QS. al-Baqarah/ 2: 43:\



    ِ َّ ‫يموا الصَّاَل ةَ َوآتُوا‬ ‫الراكِعِني‬ َّ ‫الز َكاةَ َو ْار َكعُوا َم َع‬ ُ ‫َوَأق‬ Terjemahnya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’. Ayat ini didahulukan dengan kata shalat karena lebih diprioritaskan. Imam Fakhru al-Ra>zi menjelaskan bahwa mendahulukan shalat pada ayat ini karena ibadah badaniyah yang paling mulia ialah shalat, dan zakat merupakan ibadah yang paling agung berkenaan dengan harta.32



    31



    Rusydi Khalid, Kaidah-Kaidah untuk Menafsirkan al-Qur’an, h. 89



    Rusydi Khalid, Kaidah-Kaidah untuk Menafsirkan al-Qur’an, h. 89 mengutip dalam bukunya Fakhr al-din al-Ra>zi, Mafa>tih al-Ghayb, Juz II, http// www. Al-tafsir.com, h. 69. 32



    BAB III PENUTUP Kesimpulan. Kaidah ziya>dah, kaidah taqdir wal hadzf dan kaidah taqdim dan takhir bagian dari kaidah-kaidah yang terkait kebahasaan atau balagah yang bertujuan untuk memperkuat sebuah kalimat sesuai dengan kebutuhan dalam arti tidak mengambang dan membingungkan. Sebagian ulama tidak menyetujui adanya ziya>dah sebagai penambahan dalam al-Qur´an dikarenakan dianggap sebagai penambahan padahal al-Qur’an sudah jelas-jelas mengandung didalamnya penjelasan yang tak dapat dipungkiri. Tapi demi kebaikan umat selanjutnya ziya>dah disini justru menujukkan keadaan lebih menguatkan al-Qur’an sebagai ahli tafsif dan ahli nawu sependapat dengan keberadaan kaidah ziya>dah dalam al-Qur’an, lain halnya dengan kaidah tafsir takdim dan takhir bahwa kaidah tersebut mengandung arti sebagai patokan penyebab adanya suatu lafaz didalam al-Qur’an.



    DAFTAR PUSTAKA Al-Sabt, Khalid Usman Qawa´id Al-Tafsir, Cet. I; Dar Ibn Affan, h. 438 Hafid, Abd. Karim . Berbagai Sudut Pandang dalam Memahami Bahasa Arab, Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2012, h. 218. Harun, Salman. Kaidah-Kaidah Tafsir, Cet. I jakarta; QAF Media Kreativa, 2017 h. 332 Kharlie, Ahmad Kholabi. “ Kontroversi Ulama Seputar Kedudukan Al-ziyadah ‘Ala AlNash dan Dampaknya Terhadap Fiqih,” Al-Qalam 21 no. 101 Agustus 2004: h. 261 Nawas, Kamaluddin Abu. Studi Kritik atas Berbagai Persoalan Kebahasaan, Cet. I; Sultan Alauddin: AlauddinPress, 2012, h. 54. Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir, Cet. I; Tangerang: Lentera Hati, 2013, h. 106. Shihab, M. Quraish .Tafsir Al-Misbah, Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2017, h. 286. Shah, Ahmad Zulfikar. Abdul Hadi, dkk, Taqdim wa Takhir Dalam al-Qira’at al-addah Berdasarkan Abullah Ibn Mas’ud r.a, h. 139.